You are on page 1of 1

Fikih Kebencanaan disahkan melalui surat keputusan nomor 102/KEP/I.

0/B/2015 tanggal 29
Syakban 1436 H/16 Juni 2015 M, dalam kajian yang terapkan bertujuan tentang Konsep Bencana,
Bagaimana memaknai Bencana, Cara Pandang Pengelolaan Bencana, Pemenuhan Hak Korban
Bencana, dan Masalah Ibadah pada Saat Bencana.
Bagian yang tidak kalah pentingnya dari masalah kebencanaan adalah masalah persepsi
mengenai bencana. Sebagian kejadian alam yang merupakan siklus alamiah, seperti gunung berapi
dan gempa bumi, misal-nya, masih sering dipahami sebagai akibat tindakan yang dilakukan
manusia. Sering dikatakan peristiwa tersebut terjadi akibat kemaksiatan dan rusaknya akidah
penduduk setempat. Dengan cara berpikir demikian, pihak yang paling kasihan adalah korban
bencana karena mereka harus menanggung derita ganda. Mereka kehilangan segalanya, mulai dari
harta, nyawa sanak famili dan bahkan kebahagiaan hidup, sekaligus juga menjadi sasaran kutukan
pihak-pihak lain.
Pada sebagian masyarakat, cara pandang yang keliru terhadap bencana juga melahirkan
respons tidak rasional, yaitu dilakukannya ritual-ritual mistik yang secara ilmiah justru tidak
memiliki keterkaitan dengan bencana. Di sinilah titik ironinya. Bencana yang menyengsarakan
justru malah melahirkan kesyirikan. Padahal, jika dilihat dari sunnatullah, banyak kejadian alam
adalah murni disebabkan oleh perubahan tata alam. Misalnya gempa disebabkan oleh pergeseran
lempeng bumi, gunung berapi yang disebabkan oleh meningkatnya tekanan perut bumi, dan
seterusnya. Peristiwa tersebut hampir tidak memiliki hubungan sebab akibat dengan perilaku dan
sikap manusia terhadap agama dan alam sekitarnya. Ini adalah proses alamiah yang diciptakan
oleh Allah dalam mengurus alam ini, yang pasti mengandung berbagai hikmah dan manfaat untuk
kehidupan. Di sinilah sebenarnya cara pandang manusia akan menentukan sikapnya terhadap
kejadian alam tersebut, apakah secara positif atau negatif.
Namun harus diakui, memang ada pula bencana yang terkait dengan perilaku manusia.
Umumnya terjadi akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh eksploitasi manusia terhadap alam
secara berlebihan. Dalam hal ini, banyak orang yang melakukan tindakantindakan yang menurut
perhitungan nalar pun berpotensi menimbulkan bencana. Dalam ajaran Islam, kerusakan yang
terjadi di bumi ini diyakini sebagai akibat kesalahan tindakan manusia dalam menjalankan fungsi
kekhalifahannya. Kesalahan tindakan manusia terjadi karena yang bersangkutan tidak mampu
mengendalikan dan menyeimbangkan hak, kewajiban, dan fungsinya sebagai hamba dan khalifah-
Nya.
Oleh sebab itulah, ritual keagamaan dan peribadatan yang dijalani seorang muslim harus
mampu mendatangkan manfaat bagi pembinaan, penataan, dan pengembangan pribadi islami.
Hal ini hanya dapat terwujud jika praktik peribadatan dipahami dan dilaksanakan dengan cara
yang tepat. Kesalahan ritual dapat mengakibatkan salah satunya hilangnya kesadaran dan kearifan
manusia sebagai makhluk wakil Tuhan di bumi, sehingga mendorongnya untuk melakukan
tindakan-tindakan salah lainnya yang pada gilirannya akan berefek pada munculnya berbagai
bencana yang harus ditanggung umat manusia.
Berdasarkan hal di atas, sudah saatnya untuk meluruskan cara pandang dan merubah cara
merespons masyarakat terhadap bencana. Perubahan cara pandang tersebut tentunya tidak boleh
dilepaskan dari ajaran dan doktrin keagamaan. Dari berbagai perspektif yang bisa dikembangkan
untuk menjadi pijakan sikap positif dalam memandang, menyikapi, dan mengakrabi bencana,
maka Fikih Kebencanaan kemudian dirumuskan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
sebagai pedoman bagi warga Muhammadiyah khususnya, dan umat Islam pada umumnya. Sebagai
pedoman sehari-hari, Fikih Kebencanaan dapat dijadikan tuntunan untuk menghindari perilaku
yang dapat merusak lingkungan dan mendatangkan bencana.
Selain itu, Fikih Kebencanaan menyuarakan keberpihakan pada kaum duafa dan kelompok-
kelompok yang potensial tereksploitasi dan terpinggirkan.

You might also like