Professional Documents
Culture Documents
ISBN 978-623-313-365-4
ISBN 978-623-313-366-1 (PDF)
viii, 189 halaman; 14 x 21 cm
Penulis :
Blasius Sudarsono | Dian Novita Fitriani | Ayu Yuli Wijayanti
Khusnul Khatimah | Rusdan Kamil | Suprayitno | Rahmi
ii
Kata Pengantar
iii
3. Bagian 3: menjelaskan dokumen dalam berbagai
pendekatan yang terdiri dari a) arkeologi pengetahuan
Foucault, dan b) dokumen tutur sebagai instrumen
riset.
iv
sama lain dengan cara yang berbeda.” (Lund, 2010). Selain itu,
Michael Buckland berpendapat bahwa para neo-dokumenter
termotivasi oleh tulisan kontemporer dari intelektualitas
berorientasi sosiologis di luar bidang ilmu perpustakaan dan
informasi, seperti Foucault dan Strauss di mana fakta ilmiah
dibangun dengan membuat dokumen dari jenis yang berbeda.
Pada saat ini, Gorichanaz mengembangkan studi fenomenologis
tentang potret diri (selfie) sebagai dokumen yang memiliki
ekspresi.
Ketiga, keilmuan akan terus berkembang dalam bidang
apa pun. Buku “Antologi Ilmu Dokumentasi Baru” merupakan
perayaan karena adanya peningkatan dan kegembiraan
dengan memunculkan kembali topik dan desain keilmuan
yang membentengi konstruksi sosial pengetahuan dengan
melahirkan teoretis dan metodologis di dalam dan di seluruh
disiplin ilmu. Lebih lanjut, pembaca diharapkan untuk
menghindari pemikiran biner, retorika yang dapat menyebabkan
amnesia sejarah dan kenaifan meninggalkan keilmuan sebelum
waktunya demi topik baru yang sedang tren.
KSKI berterima kasih kepada tim internal KSKI sendiri
yang mengupayakan buku ini yang terdiri dari tulisan-tulisan
dari produktivitas pengawas, pengurus, serta anggotanya
seperti Blasius Sudarsono, Dian Novita Fitriani, Khusnul
Khatimah, Rusdan Kamil, Suprayitno, dan Ayu Yuli Wijayanti.
Ucapan terima kasih juga KSKI tujukan kepada Perpusnas Press,
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. KSKI juga sangat
berterima kasih kepada para pembaca buku ini yang mungkin
saja menginspirasi dan menuliskan karya-karya lanjutan yang
terinspirasi dari buku ini.
v
Terakhir, salah satu ungkapan latin yang sangat saya ingat
semasa pertukaran pelajar tahun 2011 hingga saat ini adalah
pena lebih tajam daripada pedang (calamus gladio fortior), maka
berkaryalah dan selamat membaca.
vi
Daftar Isi
Kata Pengantar.................................................................iii
Prolog | Perjalanan Dokumentasi
Blasius Sudarsono.............................................................1
Akademi Dokumentasi
Blasius Sudarsono.......................................................... 15
Studi Dokumentasi; Sejarah,
Perkembangan Dan Disiplin Ilmu
Dian Novita Fitriani........................................................33
“What Is Documentation?”
: Pemikiran Suzanne Briet Tentang Dokumentasi
Dian Novita Fitriani........................................................59
Dokumentasi Dalam Perspektif Komplementer
Ayu Yuli Wijayanti dan Blasius Sudarsono....................85
Dari Aspek Material Ke Aspek Sosial Dokumen:
Tinjauan Atas Pemikiran Michael K. Buckland Dan
Bernd Frohmann Tentang Definisi Dokumen
Khusnul Khatimah........................................................101
Alkimia Dokumen(Tasi) Menuju Domain Baru
Pengalaman Informasi: Sebuah Tinjauan
Rusdan Kamil ...............................................................113
Arkeologi Dokumen: Kontribusi Pemikiran Michel
Foucault Terhadap Gerakan Dokumentasi Baru
Suprayitno.....................................................................131
vii
Dokumen Lisan Sebagai Instrumen Penelitian
Rahmi............................................................................169
Epilog | Prospek Perkembangan Ilmu
Dokumentasi Baru
Dian Novita Fitriani......................................................185
Biodata Penulis..............................................................191
viii
Prolog
Perjalanan Dokumentasi
Blasius Sudarsono
1
atas “bangkai burung” yang disimpan di museum ornitologi
di University of California, Berkeley. Waktu itu Buckland
mempertanyakan mengapa bangkai itu disimpan di lokasi
termahal dalam kampus. Setelah menerima penjelasan,
Buckland berpendapat bahwa bangkai-bangkai itu setara
dengan fungsi buku dalam perpustakaan. Sayang dia belum
berhasil menemukan referensi yang mendukung pendapatnya.
Baru pada 1988, W. Boyd Rayward memberikan manifesto yang
ditulis oleh Suzanne Briet pada 1951 yang berjudul Qu’est-ce que
la documentation? Rayward adalah pribadi yang menulis disertasi
tentang kehidupan Paul Otlet, pencetus gerakan dokumentasi
di Eropa. Briet sendiri adalah tokoh dokumentalis di Prancis.
Apa yang digagas Buckland ternyata telah ditulis Briet hampir
40 tahun sebelumnya. Kemudian, sebagai presiden ASIS&T
waktu itu, Buckland menggerakkan upaya penerjemahan
karya para perintis dan pioner dokumentasi dari Eropa dalam
rangka menelusuri sejarah tumbuh dan berkembangnya Ilmu
Informasi.
Di Norwegia, pada 1989 terbit Undang-Undang Deposit
baru. UU tersebut mengamanatkan bahwa yang harus
didepositkan adalah semua publikasi dalam format apa saja,
tidak terbatas pada buku. Menjawab kriteria deposit itu Niels
W. Lund memilih kata “dokumen” dan bukan “informasi”.
Konsekuensi dari terbitnya UU tersebut juga muncul
kebutuhan tenaga profesional, khususnya yang bersedia
bekerja di bagian utara Norwegia. Maka Lund mendirikan
di Tromso sebuah program akademik bernama School of
Documentation Studies (dokumentasjonsvitenskap). Pemilihan
kata dokumentasi ini, dapat dikata tanpa ada pengetahuan
tentang makna dokumentasi seperti yang dibangun Paul
Otlet dan Briet sebelumnya. Suatu ketidaksengajaan yang
ternyata benar! Selanjutnya, terjadi kerjasama antara Buckland
2
dan Lund dalam membangun Document Academy. Pada
2003 untuk pertamakalinya diselenggarakan Documentation
Academy Meeting (DOCAM). Dalam DOCAM muncul gerakan
dokumentalis baru (Neo-Documentalist Movement). Sejak itu
DOCAM diselenggarakan tiap tahun. Kini menjadi agenda
internasional tahunan tentang dokumen sebagai inti studi
yang dibahas secara holistik dari sisi; kemanusiaan, sosiologi,
filsafat, dan teknologi informasi. DOCAM memunculkan Ilmu
Dokumentasi Baru.
3
lain yang berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan
yang berada di Indonesia. Tugas inilah yang menjadi konsep
awal dokumentasi MIPI. Dalam kalimat tugas itu jelas tidak
membatasi dokumentasi hanya terkait pustaka saja, melainkan
juga mencakup benda-benda lain (dokumentasi nonpustaka).
Tugas tersebut menjadikan MIPI harus membangun pusat
dokumentasi ilmiah. Hasilnya PDIN dibentuk pada 1 Juni 1965.
Hanya sayang Surat Keputusan Menteri Research Nasional
menjadikan tiga deviasi dalam berdirinya PDIN. Deviasi pertama
adalah pergeseran dari konsep dokumentasi menjadi konsep
perpustakaan. Deviasi kedua mengapa PDIN menyatakan dirinya
perpustakaan khusus dan bukan perpustakaan penelitian.
Deviasi ketiga adalah dengan tidak dikembangkannya konsep
subject specialist secara lebih jelas, meski sebutan tersebut selalu
diucapkan dan dipakai.
1990 | Sebagai pemegang otoritas Kepemimpinan PDII-
LIPI, mulai berusaha agar ketiga deviasi tersebut diluruskan
pada kedudukan yang benar. Dengan kata lain menjadikan
deviasi bernilai “nol”.
1992 | Lahir kalimat: “Pada awal mula, adalah kehendak
manusia untuk mengekspresikan apa yang dipikirkan dan/atau
dirasakannya pada pihak lain” (BS). Kalimat ini menjadi awal
untuk menerangkan makna dokumentasi. Selanjutnya lahir
konsep yang disebut “Logika Dokumentasi” (BS).
2001 | Upaya mengembalikan deviasi menjadi “nol”
yang terjadi pada 1965 saat PDIN dibentuk, ternyata gagal.
Selanjutnya penulis mengalami dilema: “Akan tetap fokus pada
dokumentasi atau fokus pada falsafah kepustakawanan?”
2003 | Pilihan lebih fokus pada Falsafah Kepustakawanan
Indonesia dengan merintis mata kuliah “Falsafah
4
Kepustakawanan Indonesia” pada program pascasarjana
ilmu perpustakaan. Untuk sementara topik dokumentasi
ditinggalkan. Namun kenyataannya selalu terombang-ambing
antara dua bidang tersebut, yang menjadikan pembelajaran
dokumentasi menjadi lambat.
2013 | Rencana menyampaikan pidato pamit dengan
judul Kesetiaan Pustakawan yang merupakan tinjauan filosofis
yang diturunkan dari The Phillosophy of Loyalty. Namun usulan
ini tidak disetujui Kepala PDII yang meminta penulis untuk
menyampaikan tentang dokumentasi. Maka judul pidato pamit
menjadi Memaknai Dokumentasi, yang di dalamnya dibahas
tentang Logika Dokumentasi.
2014 | Masa mulai menemukan dan berkenalan dengan
dokumentasi baru, khususnya mempelajari kegiatan Document
Academy serta pertemuan tahunannya yang bernama Document
Academy Meeting (DOCAM). Ilmu Dokumentasi Baru berfokus
pada studi “dokumen” yang minimal dilihat dari empat
perspektif, yaitu: kemanusiaan, sosiologi, filsafat, dan Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK). Ilmu Dokumentasi Baru
adalah Kebangkitan kembali “dokumentasi yang terlupakan”
2015 | Mulai ditulis hasil pembelajaran menjadi draf buku
tentang dokumentasi yang waktu itu masih berjudul sementara
Logika Dokumentasi. Bulan November 2015 naskah siap cetak
diserahkan pada PDII-LIPI dengan harapan akan diterbitkan
sebagai salah satu buku dalam rangka ulang tahun ke 50 dari
PDII-LIPI. Tanpa keterangan yang jelas, justru naskah buku
diteruskan ke LIPI Press. Berarti proses persiapan penerbitan
dimulai lagi dari awal.
2016 | Masa penilaian dan pembahasan draf buku oleh
LIPI Press. Disepakati buku yang akan diterbitkan diberi judul:
Menuju Era Baru Dokumentasi (MEBD). Buku siap diedarkan pada
5
November 2016. Penulis menyebut MEBD baru mengenalkan
atau mengantar ke “gerbang kemerdekaan berpikir tentang
dokumentasi”.
Cakupan ilmu dokumentasi meluas karena inti dari ilmu itu
yang adalah dokumen, dan dipelajari secara holistik dari berbagai
disiplin ilmu. Penulis berpendapat bahwa ilmu dokumentasi
baru adalah ilmu murni dari beragam lembaga dokumenter
seperti: galeri, perpustakaan, arsip, museum, monumen, dan
situs. Selain itu dokumentasi adalah proses, produk, dan ilmu.
Perkembangan inilah yang sepertinya tidak mudah diterima
bagi pihak yang terbiasa dengan konsep lama. Selain itu karena
sifatnya yang memang “baru”, wajar belum banyak yang tertarik
untuk mempelajari dan mendalami. Namun ternyata ada empat
buah tinjauan atas buku: Menuju Era Baru Dokumentasi. Dalam
buku ini empat buah tinjauan buku itu dilampirkan.
2018 | Beberapa pribadi yang tertarik mulai berhimpun
melakukan studi bersama meski diskusi dilaksanakan secara
online. Dapat dikatakan mereka adalah sebagian pioneer
Ilmu Dokumentasi Baru di Indonesia. Hasil studi itulah yang
disampaikan dalam buku ini. Sebagai hasil pembelajaran awal
tentu cakupan buku ini masih terbatas. Harus diingat bahwa
perjalanan panjang selalu diawali dengan satu langkah kecil.
Langkah kecil itulah ditandai dengan terbitnya buku ini.
6
Academy) beserta pertemuan tahunannya yang lebih dikenal
dengan nama DOCAM (Document Academy Annual Meeting).
Seluk beluk DOCAM menjadi sesuatu yang wajib dipelajari dan
dipahami oleh masing-masing anggota KSDB. Setiap anggota
berusaha mempelajari dan memahami sejarah, kegiatan, dan
perkembangan DOCAM serta konsep terkait, yang muncul
dari perspektif humanity, sociology, philosophy, dan technology,
khususnya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Begitu
beragam aspek pembahasan dalam DOCAM, menjadikan
beragam pilihan topik yang dapat dipelajari masing-masing
anggota KSDB. Setiap anggota bebas memilih topik yang
menjadi minat-perhatiannya. Hal ini selaras dengan sasaran
MEBD yaitu “mengantar ke depan pintu gerbang kemerdekaan
berpikir tentang dokumentasi”. Kebebasan berpikir, antara
lain dilaksanakan dengan memilih topik yang akan dipelajari,
dan sangat ditekankan mengingat begitu luas cakupan
bidang dokumentasi baru. Diharapkan anggota sudah dapat
menentukan spesialisasi. Langkah awal pembelajaran itulah
yang dilaporkan dalam buku ini.
Laporan pertama tentu tentang tonggak jalan pembelajaran
kelompok studi. Tonggak penanda titik awal berangkat itu
adalah Akademi Dokumen atau Document Academy beserta
pertemuan tahunannya yaitu DOCAM. Semua informasi
tentang Document Academy dan DOCAM dapat diakses dari
situs resmi mereka dengan alamat http://documentacademy.
org/. Pada tulisan pertama buku ini semua yang ada dalam
situs tersebut diuraikan secara singkat. Sangat diharap agar
penelaahan atas situs tersebut dilakukan secara cermat, karena
pada dasarnya situ tersebut dapat digali secara mendalam dan
akan ditemukan secara komprehensif konsep atau teori terkait
ilmu dokumen(tasi) baru. Uraian pada bab pertama ini memang
7
hanya tinjauan permukaan. Para peminat ilmu dokumen(tasi)
baru diharapkan benar dapat mengeksploitasi situs ini.
Akademi Dokumentasi
Pada artikel ini dibahas tentang document academy yang
merupakan jaringan internasional para “pembelajar, artis,
serta profesional dari berbagai bidang” yang berminat
dalam mengeksplorasi dokumen. Document Academy
menyelenggarakan pertemuan secara rutin setiap tahunnya
sejak tahun 2003 hingga saat ini yang disebut sebagai Document
Academy Annual Meeting. Dari pertemuan rutin tersebut
menghasilkan teori baru tentang dokumen yang dilihat dari
perspektif kemanusiaan (humanity), ilmu sosial (sociology),
filsafat (philosophy) serta teknologi informasi dan komunikasi
(TIK). Artikel ini juga menjelaskan secara ringkas teori baru
tentang dokumen.
8
What is Documentation?
Artikel ini menjelaskan tentang konsep dokumentasi dari
karya Briet pada tahun 1951 yaitu pamflet setebal empat puluh
delapan halaman yang berjudul Qu’est-ce que la documentation?
(What is Documentation). Dalam karya Briet ini dibagi menjadi 3
bagian. Bagian pertama, Briet menjelaskan tentang pemahaman
dokumen yang berkembang tidak hanya terbatas pada objek dua
dimensi namun objek tiga dimensi hidup. Bagian kedua, Briet
menjelaskan bahwa profesi dokumentalis merupakan profesi
yang berbeda dengan profesi yang sebelumnya dan serupa,
seperti pustakawan. Bagian ketiga, Briet mengungkapkan
bahwa pusat dokumentasi dibutuhkan dalam lingkup lokal
hingga internasional.
9
Dari Aspek Material ke Aspek Sosial Dokumen:
Tinjauan atas Pemikiran Michael K. Buckland
dan Bernd Frohmann tentang Definisi Dokumen
Artikel ini menjelaskan menjelaskan pengertian dokumen
dan dokumentasi melalui pemikiran dua pakar dokumentasi:
Michael K. Buckland dan Bernd Frohmann.
Melalui kedua artikel yang telah dijelaskan, terlihat bahwa
baik Buckland dan Frohmann sama-sama mengkritik dominasi
aspek material dari dokumen dalam perbincangan dalam
Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Buckland dan Frohmann
menawarkan perspektif lain, yaitu aspek sosial dalam melihat
dokumen. Buckland (1997) melihat bahwa dokumen bukan
sekedar objek fisik yang mengandung informasi atau pembuktian
tertentu, tetapi relevansi terhadap dokumen itu sendiri
merupakan suatu konstruksi sosial. Sedangkan Frohmann
(2009) memandang bahwa tidak ada satu definisi tunggal dari
dokumen, melainkan dapat dibangun dari argumen-argumen
yang telah ada sebelumnya.
10
Arkeologi Dokumen: Kontribusi Pemikiran
Michel Foucault Terhadap Gerakan Dokumentasi
Baru
Perkembangan gerakan neodokumentasi melihat dokumen
secara penuh, 360º dari berbagai disiplin keilmuan. Salah
satunya adalah dengan perspektif Foucauldian, yang melihat
dokumen dari sudut teori dokumen kritis, yang dijelaskan
dalam artikel ini. Meskipun objeknya sama, sama-sama fisik,
dalam perspektif Foucault, dokumen dilihat dari analisis
wacana. Dokumen diartikan sebagai bagian wacana yang
merepresentasikan suatu even sejarah. Dokumen tidak dilihat
dari aspek material semata, namun jauh melampaui pada
kondisi dokumen itu berada dengan menggunakan aspek sosial
lewat kerja arkeologi yang bersifat membongkar dan menelisik
retakan-retakan dan keterputusan yang ada (melalui analisis
wacana).
11
untuk memahaminya dengan lebih baik sehingga praktisi
dan akademisi dapat melakukan tanggung jawab profesional
mereka untuk mengumpulkan, menggambarkan, mengatur,
dan melestarikan tradisi dan sejarah lisan. Dari perspektif
keilmuan, kini terbuka medan yang luas dan perlu dilakukan
studi mendalam. Dalam rangka menyusun disertasinya Penulis,
melakukan studi dan penelitian dengan perspektif ini di Negeri
Sakura. Studi dan penelitiannya dilaporkan dalam antologi ini.
12
Bagian I
Tonggak Perkembangan
Dokumentasi
13
14
Akademi Dokumentasi
Blasius Sudarsono
Catatan Awal
15
Academy pada alamat: http://documentacademy.org/. Pada
situs inilah kelompok studi “Karya Studi Kedokumentasian
Indonesia (KSKI)” memulai pembelajarannya. Pokok-pokok
yang terdapat dalam laman itu disampaikan secara ringkas di
sini, sebagai pengenalan pada ilmu dokumentasi baru. Selain
itu dimaksudkan juga agar ada kesamaan langkah dalam
pembelajaran selanjutnya.
16
luas dan beragam. Dari DOCAM muncul “ilmu dokumentasi
baru”. Sampai kini Document Academy dan DOCAM masih
menjadi kelompok minoritas di kalangan masyarakat global
ilmu perpustakaan dan informasi. Bahkan mungkin di
Indonesia kebanyakan juga belum mengenal atau menyadari
kehadiran DOCAM. Tulisan ini bertujuan mengenalkan seluk
beluk DOCAM dan kegiatan serta capaiannya sebagai ilmu
dokumentasi baru. Berikut pokok-pokok terpenting dari hasil
pemikiran DOCAM.
17
sering juga disebut masyarakat informasi. Namun Buckland
lebih berpendapat bahwa pada dasarnya semua masyarakat
sudah dan adalah masyarakat informasi. Menurutnya lebih
tepat disebut “masyarakat dokumen”. Hal ini lebih mengena
justru pada saat sekarang dengan hadirnya teknologi informasi,
masyarakat tidak dapat terlepas dari dokumen. Bangun tidur di
pagi hari, yang pertama dilihat adalah pesan pada handphone
android-nya dan melihat pesan dan menjawab pesan itu, bahkan
tidak jarang menjawab dengan swafoto (selfie) atau sekedar
menulis jawaban. Bukankah itu membuat dokumen? Sepanjang
hari kenyataannya kita bekerja dengan dokumen. Halaman
situs, buku, surat kabar, artikel, formulir, iklan, televisi,
pemberitahuan, tanda jalan, karya seni, catatan, unggahan
pada media sosial, pos elektronik, memo, surat, dan sebagainya.
Dalam salah satu makalah di DOCAM, dibahas makalah berjudul
“From Womb to Tomb: Learning to Live with Documents,” oleh
Frederick W. Guyette (2017). Dalam makalah tersebut dikatakan
bahwa hidup manusia tidak dapat dipisahkan dari dokumen.
Dokumen dalam kenyataannya dapat dilihat dari aspek fisik,
aspek sosial, dan aspek mental. Untuk dapat berfungsi dalam
masyarakat, untuk memahami arti dari semua itu, kita harus
tahu bagaimana bekerja dengan jenis dokumen tertentu. Ada
beda cara kita menanggapi berbagai dokumen tersebut. Maka
benar-benar bahwa makna mendasar dari dokumen harus kita
pelajari, pahami, maknai dan hayati.
18
dalam Bahasa Inggris. Arti kata itu berubah seiring dengan
kemajuan mesin cetak dan matangnya sistem hukum. Dalam
hal ini arti baru kata dokumen menjadi bentuk tertulis sebuah
bukti sesuatu. Dengan berkembangnya komunitas keilmuan
global pada abad 19, penyebaran dokumen menjadi vital bagi
kemajuan ilmu pengetahuan seperti halnya kemajuan bidang
hukum. Selanjutnya dengan perkembangan pesat teknologi
digital, kata dokumen menemukan “kaki baru” seperti istilah
“mouse”, “scroll”, dan masih banyak kata-kata lainnya. Kini
jika kita mendengar kata “dokumen” biasanya mengingatkan
kita tertuju pada file pengolah kata (word processor) seperti
“dokumen Microsoft Word” atau “google document”. Dari
kenyataan ini terbukti bahwa konsepsi tentang dokumen
berubah sepanjang sejarahnya. Sepanjang waktu, konsepsi kata
dokumen terkait dengan pengertian mengajar, bukti, sistem
sosial, komunikasi, teknologi, perwakilan, dan masih banyak
lagi. Kini para pembelajar bidang dokumentasi berpikir dan
berpendapat bahwa kata dokumen dipengaruhi oleh tradisi
yang kaya. Bahwa sebenarnya kata dokumen jauh lebih dari
sekedar teks. Berikut akan disampaikan beberapa pemikiran
tentang dunia studi dokumen(tasi).
19
mengutamakan dokumen dan tidak hanya pada buku. Otlet
berpendapat dokumen dapat juga berupa spesimen biologi
dan/atau objek dalam museum (artefak). Jadi bagi Otlet
dokumen saat itu masih terbatas pada dua dan tiga dimensi
mati (Sudarsono, 2016). Pada 1951, Suzan Briet, seorang
pustakawan Prancis menerbitkan pamflet yang menyatakan
bahwa binatang, dalam hal ini adalah antelope juga merupakan
dokumen setara dengan buku yang menjadi koleksi sebuah
perpustakaan. Pada 1987, Buckland menemukan keheranannya
atas bangkai burung yang disimpan di museum ornitologi
Berkeley. Setelah dijelaskan mengapa bangkai burung disimpan
di museum tersebut, dia berpendapat bahwa bangkai burung
itu setara dengan buku dari koleksi perpustakaan. Waktu itu
Buckland belum menemukan acuan pendukung hipotesisnya.
Baru dia menyadari bahwa hampir 40 tahun sebelumnya Briet
sudah menuliskan bahwa binatang adalah juga dokumen. Dari
pemikiran Briet ini, semakin memperluas definisi dokumen
yang tidak lagi obyek dua dimensi mati, namun berkembang
menjadi tiga dimensi hidup (Sudarsono, 2016).
Berdasar fenomena di atas, para pembelajar sampai
pada kesimpulan bahwa apapun dapat menjadi dokumen
jika dimaksudkan seperti itu. Butir ini menunjukkan
pentingnya manusia dalam membuat dokumen karena tanpa
manusia dokumen itu tidak dapat menjadi bukti, tidak dapat
mengajarkan atau yang lainnya. Ada pendapat lain juga seperti
dari dokumentalis Prancis Jean Meyriat (1921 – 2010). Dia
katakan ada dua jenis dokumen: 1) document by intention seperti
buku atau surat kabar yang dibuat dalam rangka pelayanan
sebagai dokumen, 2) document by attribution seperti antelope-nya
Briet yang tidak diciptakan sebagai dokumen, namun ternyata
menjadi dokumen karena akhirnya berfungsi sebagai dokumen
yang diperlukan pihak tertentu. Menanggapi hal ini Buckland
20
menambahkan bahwa “thing can also be made into documents in
a more broadly accepted way”. Namun jika apapun dapat menjadi
dokumen, apakah konsep itu tidak kehilangan esensinya?
Sepintas sepertinya demikian. Namun ada aspek penting yang
menjadikan sesuatu menjadi dokumen. Hal tersebut antara lain
adalah: indexicality, complementarity, fixity, documentality dan
productivity.
Indexicality (Indeksikalitas)
Dokumen adalah perwakilan. Dokumen menunjuk pada hal atau
benda lain. Dalam tradisi filsafat Charles Sanders Peirce (1839 –
1914). Ide ini dikatakan sebagai “indexicality”. Secara lebih jelas
tentang “index finger” dan “pointer finger” dua-duanya berarti
benda yang sama. Dalam bahasa Indonesia disebut dengan
nama “jari telunjuk”. Briet menyatakan bahwa hubungan antara
dokumen dan “indexicality” dalam mendefinisikan dokumen
sebagai sebuah “symbol or indexical sign” (simbol atau tanda
indeksikal). Hal ini dilanjutkan oleh Ron Day yang menulis
tentang dokumen dan “indexicality”, dan menyebutnya sebagai
“aboutness” atau “mengenai apa saja”.
Complementarity (Komplementaritas)
Dalam ilmu fisika, prinsip komplementaritas dikembangkan
untuk menerangkan mengapa objek tertentu memiliki properti
khusus hanya dapat diamati dengan eksperimen eksklusif
mutual
Sebagai contoh, pada satu percobaan, cahaya dapat diamati
sebagai gelombang, namun pada eksperimen lain, cahaya dapat
diamati sebagai serangkaian partikel. Analogi ini dipakai oleh
21
Niels Windfeld Lund bahwa dokumen juga dapat didefinisikan
dengan komplementaritas. Dikatakan bahwa dokumen
memiliki aspek informational (mental), material (physical),
dan communicational (social). Komponen mental mencakup
aspek kognitif tersendiri. Komponen material mencakup
aspek teknologikal and fisikal dari sebuah dokumen. Sedang
komponen sosial mencakup aspek dokumen dalam bidang
ekonomi, politik dan aspek budaya dari dokumen. Dengan
konsep komplementaritas kita menerima bahwa dokumen
tidak hanya bermakna sebatas isi dari dokumen saja.
Fixity (Ketepatan)
Dalam bentuk fisik, dokumen dapat dikatakan relatif stabil.
Buku dari abad 15-an sebagai contoh dapat saja tetap sama
seperti sejak dicetak. Kenyataannya dokumen secara inheren
tetap namun dapat dibawa-bawa. Hal ini yang menjadikan
kekuatannya, menurut Bruno Latour yang mengukuhkan
konsep “immutable mobile”. Menurut pandangan John Seely
dan Paul Duguid, document’s fixity juga memungkinkannya
membangun grup sosial, dalam arti komunitas muncul karena
membaca teks yang sama. David Levy menekankan bahwa
dokumen khususnya dalam sebuah “web” tidak semuanya tetap.
Dia kenalkan “twin notion of fluidity”. Dia katakan juga adanya
ketegangan antara “fixity” dan “fluidity”
Documentality (Dokumentalitas)
Istilah documentality atau dokumentalitas dicetuskan oleh Bernd
Frohman yang menyatakan adanya kekuatan yang dimiliki oleh
dokumen. Dikatakan bahwa dokumentalitas adalah:
22
…. kapasitas yang digunakan untuk: menghasilkan, memampukan,
mengizinkan, memengaruhi, menjadikan mungkin, menangkal
atau menolak …. dalam relasi dan susunannya dengan benda lain
(Frohmann, 2012).
Productivity (Produktivitas)
Dari sebuah dokumen dapat dihasilkan dokumen baru sebagai
turunannya. Briet menyebutnya sebagai dokumen primer dan
23
dokumen sekonder. Dalam kasus antelope yang dipelihara di
kebun binatang, antelope itu sendiri dapat dikatakan sebagai
dokumen primer, dan begitu banyak dokumen sekonder yang
dapat dihasilkan.
Seorang profesor dari sebuah museum mendiskusikan
dalam klas. Binatang yang hidup itu ditempatkan dalam
sangkar dan dikatalog (di kebun binatang). Saat binatang itu
mati, maka bangkainya diawetkan (disimpan dalam museum).
Pada kesempatan tertentu awetan itu dapat dipinjamkan
untuk pameran. Juga dapat difilmkan dan dipertunjukkan di
sinema. Suaranya juga dapat direkam dalam disk. Monograf
pertama dimaksudkan sebagai “treatise” dalam wujud piringan,
selanjutnya dibuat ensiklopedia khusus (zoologi), baru menjadi
ensiklopedia umum. Karya itu dikatalog dan disimpan dalam
perpustakaan setelah diterbitkan (katalog penerbit dan
bibliografi nasional). Dokumen kemudian dapat digandakan
(dalam bentuk gambar, cat air, lukiskan, patung, foto, film,
film mikro), kemudian diseleksi, dianalisis, dideskripsikan,
diterjemahkan (produksi dokumenter) … dan seterusnya.
Rangkaian itulah beragam proses yang berawal dari dokumen
primer. Dengan kata lain dimungkinkan produktivitas yang
tinggi.
24
informasi. Beruntunglah dengan munculnya kembali tradisi
neodokumentasi, semua warisan tersebut disatukan kembali
sejalan dengan perspektif global yang kaya, mewujudkan studi
yang berfokus pada dokumen. Studi dokumentasi baru tidak
melupakan sejarahnya yang berakar dari ilmu perpustakaan
dan informasi. Hanya saja jika perpustakaan dan ilmu
informasi telah menentukan fokus pada teknologi, di pihak
lain studi dokumen(tasi) memungkinkan kita melakukan
rekonsiliasi aspek teknologi dengan manusia, baik secara
pribadi atau individu maupun sosial. Pada alur ini, studi
dokumen memanfaatkan dan mendapat keuntungan luas dari
disiplin akademik tradisional, dari studi komunikasi dan filsafat
ilmu sampai studi kemanusiaan dan museum. Document
Academy sendiri adalah dokumen dari tradisi baru tentang
studi dokumen(tasi). Menghargai keberagaman perspektif dan
mendorong kolaborasi inovatif di antara para peneliti, praktisi
dan masyarakat luas.
Bibliografi
Dalam situs http://documentacademy.org/ juga dimuat
literatur ilmiah terpilih tentang dokumen dan dokumentasi,
yang meliputi teori, sejarah, dan penelitiannya. Semua literatur
tersebut telah dibahas dan didiskusikan para pembelajar neo-
documentation dalam DOCAM. Melengkapi daftar literatur inti
ini, juga dapat diikuti semua makalah yang diterbitkan dalam
Proceedings from the Document Academy terdiri atas laporan
penelitian dalam bidang neo-document(ation) studies. Semua
makalah tersebut diketahui dan telah didiskusikan oleh para
pembelajar dokumentasi baru. Selain dari bibliografi inti ini,
pribadi yang berminat mempelajari bidang ini hendaknya juga
menyimak apa saja yang disampaikan dalam setiap pertemuan
25
tahunan DOCAM. Documentation Academy sangat terbuka
dalam menerima masukan ataupun pertanyaan mengenai studi
dokumentasi baru. Komunikasi tertulis dapat disampaikan ke
info@documentacademy.org.
Pertemuan Tahunan
Pertemuan tahunan merupakan kesempatan bertemu bagi
anggota akademi maupun siapa saja yang berminat dalam
neo-documentation. Pada kesempatan itu dipresentasikan
hasil studi terbaru, karya yang sedang berjalan, tinjauan, dan
hasil percobaan. Penyampaian pemikiran dapat bervariasi
dari presentasi akademik, pelatihan singkat, sampai ke sesi
storytelling. DOCAM memungkinkan penelitian dan diskusi
secara terbuka. Situs akademi ini juga mendaftar semua
pertemuan tahunan DOCAM sejak 2003 – 2018. Sejak 2014
akses pada hampir seluruh makalah lengkap (full text) tersedia
melalui situs https://ideaexchange.uakron.edu/docam/.
Berikut adalah lokasi diselenggarakannya DOCAM sejak
2003 sampai kini.
• 13–15 Agustus 2003, University of California, Berkeley,
California, U.S.A.
• 22–24 Oktober 2004, University of California, Berkeley,
California, U.S.A.
• 7–9 Oktober 2005, University of California, Berkeley,
California, U.S.A
• 13–15 Oktober 2006, University of California, Berkeley,
California, U.S.A.
• 11 Oktober 2007, University of California, Berkeley,
California, U.S.A.
26
• 28–29 Maret 2008, University of Wisconsin, Madison,
Wisconsin, U.S.A.
• 28–29 Maret 2009, University of Wisconsin, Madison,
Wisconsin, U.S.A.
• 20–21 Maret 2010, University of North Texas, Denton,
Texas, U.S.A.
• 30 September – 2 Oktober 2011, Linnaeus University,
Växjö, Sweden
• 15–17 Agustus 2012, University of Western Ontario,
London, Ontario, Canada
• 9–22 Juni 2013, University of Tromsø, Tromsø, Norway
• 7–9 Agustus 2014, Kent State University, Kent, Ohio, U.S.A.
• 20–22 Juli 2015, University of Technology, Sydney,
Australia
• 30 September – 1 Oktober 2016, University of North Texas,
Denton, Texas, U.S.A.
• 29–30 September 2017, University of Indiana, Bloomington,
Indiana, U.S.A.
• 4–6 Oktober 2018, University of Torino, Turin, Italy
• 12–14 Juni 2019, University of Toulon, Toulon, France
• 5–8 Agustus 2020, Faculty of Information & Media Studies,
University of Western Ontario, London, Ontario, Canada
dan dilaksanakan secara daring karena kondisi pandemi
• 17 – 18 Agustus 2021, Linnaeus University, Växjö, Sweden
dan dilaksanakan secara daring karena kondisi pandemi
• 12-13 Agustus 2022, The University of Akron, Akron, Ohio,
U.S.A
27
Dengan menyimak apa yang disampaikan dalam setiap
DOCAM, akan diketahui sejarah dan perkembangan neo-
document(ation). Selain itu juga akan diketahui bahwa
dokumen(tasi) dapat dilihat secara holistik 360°dari segala
disiplin keilmuan. Mungkin sebelumnya tidak pernah
dibayangkan bahwa cakupan dokumen(tasi) akan begitu luas.
Apalagi jika masih dipakai konsep atau teori dokumen(tasi)
kuno, yang melihat dokumen(tasi) hanya dari aspek fisik saja.
Pusat Penelitian
• Dicen IDF, Laboratoire Dispositifs d’Information et de
Communication à l’Ére Numérique, Paris, France beralamat
di https://www.dicen-idf.org/
28
• LabOnt, Laboratory for Ontology at the University of
Torino, Italy, Turin, Italy beralamat di https://labont.it/
• LinCS, the Linnaeus Centre for Research on Learning,
Interaction and Mediated Communication in Contemporary
Society, a national center of excellence funded by the
Swedish Research Council, at the University of Gothenburg,
Sweden beralamat di https://lincs.gu.se/
• Center for the History of Psychology at the University
of Akron, Ohio, USA beralamat di https://www.uakron.
edu/chp/
• The MuseLab at Kent State University, Ohio, USA
beralamat di https://www.themuselab.org/
• Classification and Documentation Lab, at Indiana
University, Bloomington, USA beralamat di http://
robertdmontoya.com/index.php/com-class-lab/
• The Visual Thinking Laboratory, at the University
of North Texas, Denton, USA beralamat di https://
informationscience.unt.edu/research-centers
Program Penelitian
• Das Dokumentarische: Exzess und Entzug, a doctoral
research group at Ruhr University Bochum, Germany
beralamat di https://das-dokumentarische.blogs.ruhr-uni-
bochum.de/en/
• ALMPUB–trg: Archive, Library, and Museum institutions,
digitization, and the public sphere, a research group at
the Arctic University of Norway, Tromsø beralamat di
https://en.uit.no/forskning/forskningsgrupper/gruppe?p_
document_id=534721
29
Program Akademik
• Media and Document Studies Program at the Arctic
University of Norway, Tromsø, Norway beralamat di
https://uit.no/utdanning/program/446379/medie-_og_
dokumentasjonsvitenskap_-_master
• The Swedish School of Library and Information Science at
the University of Borås, Sweden beralamat di https://
uit.no/utdanning/program/446379/medie-_og_
dokumentasjonsvitenskap_-_master
• CityLIS, Department of Library & Information Science at
City, University of London, UK beralamat di https://www.
city.ac.uk/about/schools/mathematics-computer-science-
engineering/library-information-science/information-
studies-scheme
Rangkuman
Telah disampaikan pokok-pokok terpenting dari isi laman
Document Academy. Uraian singkat ini menjadi langkah awal
dalam mempelajari dokumentasi baru. Untuk memudahkan
akses pada sumber lain, sengaja dalam uraian ini disampaikan
alamat situs yang harus diakses dan dipelajari. Oleh karena
itu eksplorasi dari apa yang disampaikan dalam bagian ini
hendaknya dilakukan dengan lengkap dan cermat. Document
Academy dan DOCAM benar-benar menjadi titik tolak
keberangkatan para pihak yang berminat mempelajari bidang
baru ini.
30
Referensi
Frohmann, B. (2012). The documentality of Mme Briet’s
antelope.
In Communication matters: materialist approaches to media,
mobility, and networks (pp. 173–182). Routledge.
Sudarsono, B. (2016). Menuju era baru dokumentasi. LIPI Press.
31
32
Studi Dokumentasi; Sejarah,
Perkembangan Dan Disiplin Ilmu
Dian Novita Fitriani
33
komite tersebut meluncurkan proposal untuk membangun
program studi dokumentasi sebagai program dasar dari
pendidikan pustakawan dan arsiparis. Program studi tersebut
diusulkan di dua tempat lain di Norwegia, yaitu Moi Rana
dan Trondheim. Setelah proses politik yang panjang, akhirnya
diputuskan bahwa program studi dokumentasi harus dimulai
di Tromsø pada 1995 dan diresmikan pada Januari 1996.
Keputusan ini diambil karena kurangnya jumlah pustakawan
di Norwegia Utara, sehingga Asosiasi Pustakawan Norwegia
menyarankan Studi Dokumentasi dimulai di bagian utara
untuk melengkapi yang ada di bagian selatan, Oslo. Dalam hal
ini komite memutuskan untuk memilih dokumentasi, bukan
informasi yang saat itu sedang menjadi fokus perhatian dari
berbagai pendidikan perpustakaan, karena menurut mereka
dokumentasi mengundang perspektif yang jauh lebih luas
(Sakre dan Latham, 2016; Lund, 2016; Skare, 2019).
Uraian di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya
pilihan nama Studi Dokumentasi tidak didasarkan pada kritik
paradigmatik dari ilmu perpustakaan dan informasi. Namun
hal tersebut lebih kepada kepentingan politik yang pragmatis
dan umum dalam kaitannya dengan pendirian Perpustakaan
Nasional di Norwegia pada tahun 1989 dan peluncuran Undang-
Undang Deposit Norwegia yang mendefinisikan dokumen
secara luas. Meskipun tidak berlandaskan atas pengertian
dokumen secara luas dari Otlet, Undang-Undang Deposit ini
menjadikan ide Otlet ekspilisit (Lund, 2007; Skare dan Latham,
2016).
Niels W. Lund, profesor pertama dalam studi dokumentasi
memutuskan untuk memperluas perspektif dengan
menggunakan istilah “dokumen” dan “dokumentasi”. Dalam
tahun-tahun berikutnya, studi dokumentasi banyak diklaim
34
sebagai nama yang kuno. Namun Niels W. Lund berkali-kali
berargumen bahwa yang terjadi adalah sebaliknya, gagasan
dokumen dan dokumentasi memperluas perspektif dan
memberikan peluang mahasiswa untuk mempelajari semua
jenis dokumen (Lund, 2010; Lund, 2016).
35
perpustakaan setempat. Sedangkan lainnya berasal dari latar
belakang pendidikan lain yang ingin menjadi pustakawan. Saat
itu, Lund merupakan satu-satunya orang yang dipekerjakan
di program studi dokumentasi. Ia bertanggung jawab atas
segalanya, seperti mengajar, penelitian, administrasi, akuisisi
buku perpustakaan dan banyak lagi. Lund berhasil menjadi
profesor pada Agustus 1996. Hingga tahun 1998, ia tidak
mendapatkan anggota staf pengajar. Lund saat itu mencoba
mencari ilmuwan sosial dan ilmuwan teknis/ ilmuwan komputer
untuk membantunya. Sejak awal proses perencanaan program,
Lund ingin merekrut dari berbagai fakultas yang beragam.
Kondisi ini memberikan peluang untuk mengundang dosen
tamu yang tertarik datang dan berbicara tentang jenis dokumen
khusus mereka, seperti puisi, sastra Inggris klasik, dokumen
asli dan permainan komputer. Meskipun karya program studi
dokumentasi dapat berada pada banyak bidang, namun karena
alasan praktis ditempatkan di School of Humaniora (Lund, 2016).
Program studi dokumentasi tingkat sarjana pertama kali
diakui oleh Universitas Tromsø pada tahun 1995. Meskipun
saat itu program sudah dibuka secara penuh, namun belum
resmi diakui oleh Pemerintah Norwegia. Program sarjana
terdiri dari unsur-unsur berikut;
36
Lulusan program studi dokumentasi (setara dengan
gelar sarjana) akan memenuhi syarat untuk melamar posisi
sebagai kepala perpustakaan umum di Norwegia, khususnya
di perpustakaan yang sangat kecil di Norwegia Utara (Lund,
2016).
Pada tahun pertama program studi dokumentasi, terdapat
dua prinsip utama pada kurikulumnya. Pertama adalah
pendekatan pelengkap untuk dokumentasi sebagai disiplin
ilmu. Dalam hal ini dilihat dari tiga pendekatan berbeda,
yaitu: humaniora, ilmu sosial, dan ilmu teknik – alam. Prinsip
kedua adalah prinsip Problem Based Learning (PBL) atau prinsip
pembelajaran berbasis masalah. Seperti misalnya di awal
kelas, mahasiswa diberikan pertanyaan “apa itu dokumen?”.
Pertanyaan tersebut terbuka untuk didiskusikan oleh mahasiswa
dalam mencari jawabannya (Lund, 2016).
Dengan dua prinsip tersebut, tahun pertama dibagi menjadi
empat blok dan dua blok di setiap semester. Blok satu hingga
tiga mencakup produksi dan penyebaran dokumen, sedangkan
blok empat mengintegrasikan ketiga perspektif dengan studi
dokumentasi dalam suatu proyek. Blok pertama menawarkan
pengantar umum studi dokumentasi, analisis dokumen, dan
sirkuit dokumen (yaitu siklus hidup dokumen dari produksi,
organisasi hingga penggunaannya) dengan penekanan pada
produksi dokumen. Blok kedua adalah pengantar terkait
masalah dokumen, penggunaan dokumen, dan prinsip-prinsip
dasar untuk mengatur semua jenis dokumen. Pada semester
kedua ditawarkan blok tiga dan empat. Tujuan ketiga adalah
memperkenalkan mahasiswa pada masalah dalam penyebaran
dokumen dan menghubungkan pengetahuan dan ketrampilan
dasar dalam pengambilan dokumen serta mencari pengetahuan
yang terdokumentasi. Pada blok keempat yang merupakan
37
blok terakhir memiliki tujuan untuk membuat proyek besar
mengintegrasikan tiga perspektif dengan studi dokumentasi
(Lund, 2016).
Dengan menggunakan PBL sebagai prinsip dalam
kurikulum, daftar bacaan tidak dapat dirumuskan sebelumnya.
Mahasiswa diberikan beberapa daftar bacaan, namun bukan
bukan sebagai bacaan wajib tetapi bacaan yang mungkin
relevan. Pada tahun 1995, Lund mulai menyusun daftar bacaan
sebelum mahasiswanya masuk. Daftar bacaan disusun ke dalam
8 bagian, yaitu;
1. Konsep dokumen – sejarah terminologi dan disiplin
2. Produksi dokumen
3. Dokumen dalam perspektif teknologi informasi
4. Organisasi pengetahuan
5. Hukum Informasi
6. Teknologi komputer
7. Organisasi dokumen – sistem organisasi
8. Institusi dokumen
38
lainnya. Terakhir dan menjadi paling penting adalah proyek
kerja mahasiswa yang disupervisi. Dengan berbagai perbedaan
proyek, mahasiswa dapat memahami banyak masalah-masalah
dalam Dokvit. Proyek kerja mahasiswa dapat dianggap
penelitian dan dilakukan pada tahun pertama. Hal ini bertujuan
untuk mengajarkan kepada mahasiswa mendekati pertanyaan
menarik dan memecahkan masalah secara sistemastis, dengan
kata lain disebut penelitian. Setelah mahasiswa menyelesaikan
proyek mereka, mereka mengambil ujian lisan. Tujuan utama
dari ujian lisan ini hukan untuk memeriksa apakah mahasiswa
sudah membaca bacaan mereka, namun untuk memberikan
kesempatan baik pada dosen, penguji dari eksternal dan
mahasiswa mendiskusikan proyek mereka. Dari ujian lisan
ini dimungkinkan untuk memunculkan pertanyaan baru
dalam studi dokumentasi sehingga mampu mengembangkan
kesadaran antara mahasiswa dan fakultas lain tentang utilitas
dan minat Dokvit (Lund, 2016).
Pada awal pendiriannya, Dokvit memiliki program di
semua tingkatan (sarjana, master, dan Ph.D.). Dokvit juga
menjalin kerjasama penelitian nasional maupun internasional
dan melakukan publikasi ilmiah oleh mahasiswa Dokvit dengan
fokus pada dokumen yang dapat ditemukan di berbagai jurnal
internasional. Namun sistem pendidikan di Norwegia berubah.
Salah satu perubahan terjadi pada tahun 2003 di mana
Norwegia mengimplementasikan Deklarasi Bologna sehingga
menciptakan sistem pendidian 3 tahun untuk tingkat sarjana,
2 tahun untuk tingkat master, dan 3 tahun untuk tingkat
Ph.D. Konsekuensi utama dari perubahan ini adalah adanya
pemisahan program dalam 1 atau 2 semester menjadi program
yang lebih kecil ke dalam 6 semester. Penulisan tugas akhir
mahasiswa dikerjakan ketika semester akhir berdasarkan dari
proyek yang dikembangkan selama magang dengan durasi 6-8
39
minggu di lembaga perpustakaan atau dokumentasi lainnya
(Skare, 2019).
Pada tahun 2006, Studi Dokumentasi mendirikan program
master baru yang lulusannya memiliki kualifikasi untuk bidang
LAM (Library, Archive, Museum). Program master ini ditujukan
untuk lulusan sarjana dari berbagai ilmu, sehingga mereka dapat
menggabungkan pengetahuan mereka dengan kualifikasi yang
dibutuhkan pada bidang LAM. Meskipun program ini dianggap
normal bagi pendidikan pustakawan di berbagai universitas di
AS, namun saat itu sistem Norwegia mengharuskan mahasiswa
memiliki gelar sarjana yang linier dengan program master.
Munculnya program ini mengakibatkan perdebatan, sehingga
pada tahun 2014 universitas memutuskan untuk menutup
program master ini berdasarkan evaluasi dari Norwegian
Agency for Quality Assurance in Education (NOKUT) (Skare,
2019).
Nama program Documenatation Studies diubah menjadi
Media and Documentation Studies pada tahun 2012, yang
diawali pertama kali oleh program sarjana. Mahasiswa pertama
program sarjana terdaftar pada musim gugur tahun 2013, dan
mahasiswa pertama program master terdaftar pada tahun 2016.
Pergantian nama menjadi Media and Documentation Studies
diharapkan mampu mengakomodir perkembangan dokumen.
Perspektif dokumen mencakup dimensi materi dan juga aspek
format media.
Pada tahun pertama program Documentation Studies banyak
mahasiswa yang tertarik untuk membandingkan berbagai
media, seperti novel, adaptasi film, atau versi digital dari
buku cetak. Saat itu media baru seperti CD-ROM, disket, dan
homepage juga dipelajari oleh mahasiswa. Saat ini permainan
pada komputer, film, dan media digital lainnya juga dipelajari
40
oleh mahasiswa karena fokusnya pada dokumen multimedia.
Dapat disimpulkan bahwa program studi dokumentasi
merupakan program inovatif dan secara strategis dari awal
peluncuran hingga saat ini. Program ini juga telah menyediakan
tenaga professional untuk banyak perpustakaan dan arsip di
Norwegia Utara (Skare, 2019).
Setelah mendirikan program studi dokumentasi di
Universitas Tromsø, Lund bertemu dengan Michael Buckland
dan W. Boyd Rayward pada konferensi CoLIS 2 (Conception of
Library and Information Science) di Kopenhagen pada Agustus
1996. Gagasan Lund tentang program Documentation Studies
yang memiliki cakupan luas untuk pustakawan sejalan dengan
perkembangan internasional pada akhir 1990-an. Hubungan
kolegial diantara mereka melahirkan tradisi neodokumentalis.
Mereka juga menerjemahkan naskah-naskah bahasa Prancis
dan memperkenalkan Otlet serta Briet kepada masyarakat.
Dengan didukung oleh Undang-Undang Deposit, keberadaan
program studi dokumentasi semakin kuat.
Sebagai disiplin yang masih muda di universitas, program
studi dokumentasi perlu mencari kerjasama dan dukungan
di luar Tromsø dan Norwegia. Pada tahun 2003 didirikan
Document Academy (DOCAM) dengan agenda konferensi
tahunan rutin. Awalnya DOCAM sendiri didirikan dan dinamai
di sebuah kafe di San Fransisco oleh Maribeth Back dan
Niels Windfeld Lund pada musim semi 2001. DOCAM bukan
organisasi kaku, tidak ada konstitusi, staf atau anggaran rumah
tangga (Document Academy, n.d.).
DOCAM adalah pertemuan global yang mengkaji tentang
dokumentasi dan dokumen. DOCAM mengeksplorasi masalah
dan aplikasi dokumentasi dan dokumen dalam berbagai
kalangan, baik dari akademisi, seniman, pelaku bisnis hingga
41
masyarakat pada umumnya. Pada tahun 2006, DOCAM
merayakan 10 tahun studi dokumentasi dengan publikasi
antologi yang disebut A Document (Re)turn. Contributions from
a Research Field in Transition.
Buku antologi ini berisi juga makalah-makalah yang telah
dipresentasikan setiap tahun sejak tahun 2013. Dalam kata
pengantar antologi ini, editor menyatakan bahwa mereka yakin
dengan munculnya media komunikasi baru, penelitian dengan
sudut pandang dokumen akan semakin relevan dan berkembang
(Skare et.al. 2006 dalam Skare, 2016). Sejak tahun 2014,
makalah-makalah dari konferensi tahunan telah diterbitkan
dalam jurnal terbuka dan melalui proses peer-reviewed yang
dapat diakses pada https://ideaexchange.uakron.edu/docam/
(Skare, 2019).
Disiplin Ilmu
Lund mencoba mempelajari 10 tahun pertama keberadaan ilmu
dokumentasi yang terbilang masih dalam masa “anak-anak”.
Untuk mengkaji studi dokumentasi sebagai disiplin ilmu secara
penuh, Lund mendasarkan pada kriteria yang disebutkan oleh
Frans Gregersen dan Simo Køppe. Dalam bukunya yang berjudul
Science and Passion (1985 dalam Lund, 2007), Gregersen dan
Køppe mendefinisikan disiplin ilmu secara penuh dengan
karakteristik berikut;
42
runtuh melalui sejarah. Hal sama juga terjadi dalam disiplin
ilmu, termasuk upaya interdisipliner, multidisipliner dan
transdisipliner. Dalam hal ini, dokumentasi sebagai disiplin
ilmu baru layak mendapatkan tempat dalam himpunan disiplin
ilmu dengan menentukan wilayah dokumentasi. Pendekatan
tersebut tidak hanya menjawab tentang “apa itu dokumentasi”,
namun juga menentukan batas-batas dokumentasi.
Adanya undang-undang deposit menantang sistem
perpustakaan Norwegia dalam dua hal, yaitu mengenai akses
dan pelestarian secara terbuka dan gratis. Dengan membuat
cakupan pengertian dokumen secara luas, perpustakaan
harus memberikan akses dan melestarikan dokumen digital.
Hal ini tidak hanya menantang sistem perpustakaan, namun
juga menantang seluruh sistem disiplin universitas. Pada
akhirnya program studi dokumentasi menjadi bagian dari ilmu
humaniora di Universitas Tromsø, tetapi juga dipertimbangkan
di ilmu sosial. Pada prinsipnya, studi dokumentasi juga dapat
ditempatkan di ilmu alam. Lalu pertanyaannya, apakah
studi dokumentasi milik ilmu alam, ilmu sosial atau ilmu
humaniora memang tidak mudah dijawab. Salah satu alasan
mengalokasikan studi dokumentasi di ilmu humaniora adalah
tema keseluruhan dari program ini “bagaimana manusia
berurusan dengan dokumen?” Namun mungkin orang bertanya,
“apakah ilmu humaniora berurusan dengan apa yang dilakukan
oleh manusia secara total?” Dalam gagasan Prancis atau bagian
lain dunia Latin/ francophone, ilmu humaniora mencakup
sosiologi, kedokteran, psikologi, dan studi tentang ekspresi
manusia seperti linguistic dan sastra (Foucault, 1966). Dalam
dunia anglophone/ Inggris, humaniora adalah yang pertama
dan utama mempelajari ekspresi manusia seperti linguistik,
studi sastra, sejarah dan seni. Hal ini juga terjadi negara-negara
Skandinavia termasuk Norwegia.
43
Masalah utama yang dihadapi Dokvit dalam lingkungan
humaniora adalah Dokvit lebih mirip dengan sosiologi dan
fisika, yang memiliki perspektif khusus tentang ekspresi
manusia, baik dalam bentuk lukisan, buku atau laman web.
Dokvit memandang bahwa lukisan, buku maupun laman web
adalah dokumen yang dapat dianalisis sebagai dokumen.
Ekspresi manusia adalah dokumen yang memiliki keunikan.
Itu merupakan dokumen yang khusus, namun tidak hanya
dokumen. Hal inilah yang membedakan studi dokumentasi
dengan studi lainnya dalam lainnya dalam ilmu humaniora.
Dalam ilmu humaniora, berkembang disiplin khusus untuk
studi ludology atau studi tentang game, yaitu studi yang
membandingkan game dengan literatur atau seni visual.
Berbeda halnya dengan studi dokumentasi yang lebh tertarik
membandingkan jenis ekspresi, missal permainan dengan novel
untuk melihat perbedaan pada fitur umum.
Selain perspektif komparatif, banyak ekspresi yang saat ini
merupakan kombinasi dari ekspresi, seperti ilustrasi dengan
teks dalam publikasi tercetak maupun berbagai media lainnya
seperti kata, suara, gambar diam dan gambar bergerak pada
laman web dan sebagainya. Hal ini merupakan tantangan bagi
disiplin klasik yang mengarah pada upaya interdispliner, seperti
studi media dan budaya.
Sebagian besar disiplin ilmu ditentukan oleh objek atau
metode. Ketika objek melintasi berbagai disiplin ilmu, hal ini
masih menjadi perselisihan antara disiplin ilmu yang berbeda
terkait konsep mana mana yang akan digunakan. Hal ini
diilustrasikan oleh Graham Larkin dan Lisa Pon dala jurnal
Word and Image. Mereka menekankan menekankan bagaimana
materialitas teks cetak di Eropa pada era modern awal tidak
dapat dipisahkan dari gambar yang sering diproduksi. Mereka
44
tidak membedakan antara kata dan gambar tentang sejarah
produksi dan penerimaan. Namun mereka membuat pembagian
antara bibliografi deskriptif atau sosiologi teks dengan sosiologi
gambar. Gagasan sosiologi teks dalam arti luas berasal dari
McKenzie. Dalam ceramahnya tentang Bibliografi dan Sosiologi
Teks, ia mendefinisikan teks sebagai data verbal, visual, oral,
numerik, dalam bentuk peta, cetakan, musik, arsip, suara
yang direkam, film, video, dan informasi yang disimpan dalam
komputer, fakta apapun dari epigraphy (tulisan) hingga bentuk
terbaru discography (rekaman suara) (McKenzie, 1999, p.13
dalam Lund, 2017).
Larkin dan Pon (2001) sebagai seorang sejarawan tertarik
mengusulkan sosiologi gambar untuk memperkuat paralel
dengan pandangan McKenzie. Mereka menuntut perbedaan
konseptual antara bentuk verbal dan visual. Hal ini disebabkan
oleh perbedaan yang “tak terhindarkan” antara gambar dan
kata-kata terkait keunikan pada masing-masing medium.
Konflik tradisional masih terjadi dalam ilmu humaniora
antara disiplin ilmu umum, seperti semiotik dan studi budaya,
yang mencakup semua ekspresi makna dengan disiplin terpisah
untuk setiap jenis medium. Pertanyaan penting bagi ilmuwan
dokumen berbeda pandangan dengan ilmuwan di bidang
sastra atau sejarawan seni? Pertanyaan ini yang masih menjadi
pertanyaan mahasiswa Dokvit selama bertahun-tahun.
45
berkaitan dengan pengembangan kurikulum Dokvit selama
dekade terakhir, membuat pedoman untuk kursus dan proyek
dalam program. Pada pengantar di tahun pertama, tahun 1996,
mahasiswa diminta untuk memilih dokumen dan kemudian
mengkajinya dengan pertanyaan-pertanyaan berikut; 1) siapa
yang membuatnya? (produsen), 2) sarana apa yang digunakan?
3) bagaimana cara yang digunakan? (tradisi/model), 4. Dokumen
yang sebenarnya didokumentasikan? (konten/bidang/domain).
Dalam Dokvit, produsen tidak hanya terbatas pada yang
membuat dokumen tersebut, namun juga termasuk ilustrator,
pencetak dan penerbit. Sedangkan dalam studi sastra dan seni,
penulis dan seniman menjadi fokus utama, dan agen manusia
lain yang terlibat dalam proses produksi material serta sosial
dianggap lebih rendah dari analisis buku sebagai seni atau
sastra.
Masalah serupa muncul pada pertanyaan kedua. Dalam
studi sastra, fokus perhatian utama pada kata-kata yang
kemudian dipersepsikan oleh pembaca. Sedangkan studi sastra
tidak mempertimbangkan warna atau ukuran huruf. Hal ini
berkaitan dengan masalah “konten” dokumen. Sehingga muncul
pertanyaan, apakah ukuran huruf berdampak pada makna atau
isi buku? Dalam hal ini, sarana didefinisikan sebagai huruf,
ukuran huruf, warna, kata-kata khusus, ilustrasi, kualitas kertas,
dll. Layaknya sebuah lukisan, sarana didefinisikan bagaimana
menggunakan kuas, pigmen dan kanvas untuk membangun
dokumen artistik. Namun dalam studi sastra, penggunaan alat-
alat yang sangat praktis bukan perhatian utama.
Erwin Panosfsky (1938 dalam Lund, 2007) menulis tentang
objek sejarah seni. Humaniora dan ilmu alam memiliki perbedaan
dalam mendefinisikan sebuah karya seni sebagai objek buatan
manusia yang menuntut untuk mengalami estetika. Ilmuwan
46
yang berhubungan dengan fenomena alam dapat langsung
menganalisisnya. Sedangkan kaum humanis yang berhadapan
dengan tindakan dan ciptaan manusia, ia harus secara mental
memerankan kembali tindakan dan menciptakan kembali
ciptaan. Dengan proses ini, objek nyata dari kemanusiaan
dapat muncul. Hal ini dapat dilihat dari para sejarah filsafat
memperhatikan patung atau buku bukan pada materialnya,
namun maknanya. Makna dapat dipahami bahwa makna dapat
diperoleh ketika menyadari pikiran-pikiran yang diekspresikan
dalam buku dan konsep artistik yang memanifestasikan diri
dalam patung (Panofsky, 1955, 37-38, dalam Lund, 2007). Hal
ini menjadi permasalahan bagi sarjana dokumen yang bekerja
sebagai pustakawan atau kurator museum seni. Pustakawan
maupun kurator tidak dapat menghindari berurusan dengan
sifat-sifat fisik serta pikiran yang tertanam dalam pekerjaan
fisik.
Para akademisi disiplin ilmu lain dalam ilmu humaniora
mendefinisikan dan menempatkan dokumen material dalam
konteks budaya. Pertanyaannya adalah apakah hal tersebut juga
menjadi kasus dalam analisis dokumen? Salah satu pertanyaan
yang sulit dijawab karena hal ini adalah permasalahan
mendefinisikan “apa itu dokumen” atau membuat interpretasi
tentang dokumen. Hal inilah yang menjadi kompleksitas
produksi dokumen, di mana konten bukanlah sesuatu yang
melekat dan esensial dalam dokumen fisik. Metode yang
digunakan oleh mahasiswa dokumen adalah dekonstruksi dari
konten yang tampak atau “jelas” dan ditempatkan yang lebih
eksplisit dari suatu dokumen dalam lingkungan tertentu yang
membuatnya menjadi dokumen tertentu.
Ini juga ditunjukkan dalam dua proyek lain dari seminar
disiplin pertama. Proyek kedua adalah tentang melakukan kerja
47
lapangan menggunakan tradisi kerja lapangan antropologi,
mempelajari produksi dokumen di suatu organisasi atau
lembaga tertentu dalam waktu singkat.
Jika seseorang mengambil museum seni sebagai contoh,
orang dapat mengamati bahwa banyak dokumen berbeda
dibuat. Pameran dapat dianggap sebagai dokumen multimedia
dan kompleks, di mana beberapa karya seni membentuk
bagian dari keseluruhan dokumen. Selain pameran itu sendiri,
seseorang mungkin memiliki katalog, iklan untuk pameran,
kartu pos, dan sebagainya. Beberapa dari dokumen-dokumen
ini dapat dianggap layak untuk dipelajari dalam disiplin ilmu
lain, seperti karya seni yang dipamerkan, catatan, kartu pos dan
surat-surat antara kurator dan seniman, sponsor, dan otoritas
publik tentang organisasi pameran. Hal ini menunjukkan bahwa
objek yang dipelajari tidak hanya karya seni yang dipamerkan,
juga mengenai dokukem yang berkaitan dengan pameran
secara langsung dan tidak langsung. Ini juga menunjukkan
kompleksitas jumlah orang yang terlibat dalam suatu produksi,
dan tidak hanya beberapa orang yang biasanya dianggap sebagai
pencipta utama dokumen yang paling penting, dalam hal ini
para seniman dalam pameran.
Pada semester pertama program sarjana studi dokumentasi,
mahasiswa diminta untuk mengatur database beberapa
dokumen tertentu. Kemampuan ini bukan hanya dibutuhkan
untuk menjadi pustakawan, namun juga melatih orang dalam
mengatur dokumen di laptop dan membuat anotasi dokumen
sehingga mudah ditemukan ketika dibutuhkan. Hasil dari
pelatihan ini diharapkan mahasiswa menyadari kompleksitas
dokumentasi. Dokumen tidak dapat hanya dianggap tentang
satu masalah spesifik, namun harus dilihat dalam lingkungan
tertentu serta bagaimana dokumen dianalisis. Pelatihan dasar
48
ini menjadi fondasi dasar untuk project yang lebih besar tentang
dokumentasi bagi mahasiswa.
Para mahasiswa bebas memilih bidang spesifik mereka
dengan dilihat dari 3 pendekatan dasar Dokvit, mencakup
dimensi fisik, sosial dan budaya. Dari proyek ini menghasilkan
berbagai tema, di antaranya “batu nisan sebagai dokumen”,
“kuda sebagai dokumen”, “Guernica Picasso sebagai dokumen”,
“lilin sebagai dokumen”, “konser sebagai dokumen”, “pameran
museum sebagai dokumen”, “pengelolaan arsip di pabrik
perikanan”, “studi perbandingan Alkitab di media cetak dan
online”, dan banyak lagi. Dari berbagai keberagaman proyek ini
menunjukkan bahwa bidang Dokvit tidak dapat didefinisikan
sebagai bidang empiris tertentu, tetapi dengan mengambil
perspektif khusus atas dunia, melihat kehidupan manusia
dari perspektif dokumentasi. Dengan ditambah 3 perspektif
yang digunakan, hal ini penting bagi para mahasiswa dan
pengembangan bidang penelitian lebih spesifik untuk Dokvit.
Tema kedua yang muncul dalam studi Dokvit adalah agen
manusia terlibat dalam proses dokumentasi. Jika pameran
museum disebut sebagai dokumen, tentu ada peran arsitek
juga kurator ilmiah dalam pameran arekeologi. Begitu pun
dalam bidang musik atau film, terdapat peran berbagai agen
yang terlibat dalam musik seperti composer, musisi, konduktor,
manajer, atau teknisi. Sedangkan berbagai agen yang terlibat
dalam film seperti sutradara, artis, fotografer, produser, penulis
naskah, atau pemotong).
Akhirnya, tema ketiga dapat dirumuskan sebagai
tradisi dokumentasi di berbagai bidang. Mengikuti dua
tema sebelumnya, tradisi dokumentasi telah berkembang di
masyarakat. Seperti yang telah diungkapkan oleh ahli dokumen,
tipe dokumen dapat dikembangkan seperti yang diungkapkan
49
Briet, Brown dan Duguid, Frohmann, dan Pedaque, sehingga
berbagai tipe dokumen ini dapat menciptakan tradisi cara
mendokumentasikan dalam bidang tertentu, seperti dalam
seni, kesehatan, perawatan, agama, bisnis, administrasi publik
dan sebagainya. Hal ini menawarkan kesempatan untuk kembali
ke sejarah dan membuat studi sejarah tradisi dokumentasi
dari berbagai bidang. Hal ini juga dapat menjadi landasan bagi
eksperimen untuk mengubah tradisi dan membuat penyelidikan
tentang kemungkinan konsekuensi dari perubahan itu.
50
gerak tubuh dan ucapan. Begitu halnya dengan bentuk
dokumentasi berbeda dari formulir dokumentasi politik atau
administrasi seperti pidato, laporan, dan formulir (Lund, 2007).
Lalu, apa perbedaan bentuk dokumentasi dan konsep
analitis dokumen? Buku yang berisi novel adalah bentuk
dokumentasi dan juga dokumen. Jika mempertimbangkan buku
sebagai dokumen, bukan sebagai bentuk dokumentasi, perlu
diperhatikan bagaimana pembuatannya, menggunakan model
analitis yang lebih spesifik dan fokus pada produsen, sarana dan
mode yang digunakan. Dengan cara ini dimungkinkan untuk
membuat studi yang lebih tepat dari berbagai dokumen dan
menyimpan analisis dalam kerangka umum serta komparasi
studi dokumentasi (Lund, 2007).
Dalam analisis spesifik dari dokumen, seseorang
menghadapi masalah baru mengenai bagaimana menangani
bagian-bagian kecil dokumen secara sistematis. Dalam hal ini,
banyak mahasiswa beralih ke semiotik atau disiplin empiris
yang lebih spesifik sebagai landasan untuk mengenalisi secara
terperinci. Konsep semiotika yang menggunakan sistem tanda
(signs), tanda (the sign), dan terakhir namun bukan akhir,
pasangan penanda (signifier) dan yang ditandai (signified)
telah digunakan banyak mahasiswa sebagai alat analisis pada
tingkat mikro dokumen. Sebagian besar orang menganggap
dokumen bukan sebagai “tanda”, tetapi lebih kepada “sistem
tanda”. Namun pada saat yang sama, gagasan signifikan ini
menciptakan masalah karena ketergantungan pada teori
semiotik. Hal ini biasanya berkaitan dengan hubungan antara
konten dan bentuk/ekspresi yang memiliki persamaan antara
yang ditandai dengan penanda dalam kerangka semiotik. Jika
sebaliknya kita membagi antara “makna” asbtrak dan “bentuk”
fisik dengan ekspresi dari sesuatu (baik dalam bentuk fisik,
51
sosial dan mental), kita dapat masuk ke bentuk tersebut dan
melihat bagaimana bentuk tersebut terbuat dari sejumlah
bagian khusus yang lebih kecil (Lund, 2007).
Argumen tersebut relevan untuk mengembangkan konsep
analitik lain untuk dokumen, sehingga menghasilkan konsep
dokumen. Hal ini berhubungan juga dengan kata kerja dan
sufiks dasar Latin yang sama dengan dokumen, yaitu “docere”
dan “mentum”, di mana seseorang dapat mendefinisikan
suatu dokumen sebagai bagian dari suatu dokumen tertentu.
Misalnya foto di koran dapat menjadi dokumen itu sendiri
jika dibuat di luar koran. Pada saat yang sama, koran bukan
dokumen yang sama jika tidak memiliki foto sebagai ilustrasi.
Namun pada dasarnya kembali lagi pada konsep umum pada
bentuk dokumentasi. Surat kabar merupakan salah satu jenis
dokumentasi, baik yang memmiliki artikel dengan dengan
ilustrasi maupun surat kabar tanpa ilustrasi (Lund, 2007).
Dari berbagai uraian diatas didapatkan bahwa terdapat
kerangka kerja konseptual untuk studi dokumentasi baik
pada tingkat umum maupun tingkat spesifik. Kerangka kerja
konseptual ini dapat menjadi analisis untuk mahasiswa
Dokvit untuk menciptakan sesuatu yang berbeda dari studi
lain. Mungkin pertanyaan “apakah perbedaan hanya terkait
penamaan yang berbeda atau Dokvit telah membuat sebuah
perbedaan besar?” Pertanyaan ini mungkin masih sulit untuk
dijawab, bahkan setelah 10 tahun Dokvit didirikan (Lund,
2007).
52
jelas. Sebenarnya orang dapat saja mengklaim bahwa tidak
ada yang baru di Dokvit dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan studi ini sudah ditangani oleh disiplin ilmu lain, misalnya
ilmu perpustakaan dan informasi, studi komunikasi, studi
media, studi budaya, dan sebagainya. Namun, pada dasarnya
hal baru untuk Dokvit merujuk pada tiga masalah utama yang
juga dibahas dalam artikel ini.
Masalah utama dapat dirumuskan dalam satu pertanyaan
“Apa itu dokumen yang baik?” Pertanyaan ini masuk pada
dimensi praktis dalam membuat dokumen secara konkrit
menggunakan berbagai jenis sarana fisik, maupun masuk
ke dalam sosial dan budaya. Selanjutnya, Dokvit dianggap
metadisiplin, melintasi banyak domain berbagai disiplin ilmu
terkait. Metadisiplin dapat memberikan pengetahuan baru
yang tersembunyi di antara disiplin yang ada. Hal ini tidak
dipandang bersaing, tetapi lebih kepada saling melengkapi
sehingga memberikan perspektif komparatif untuk berbagai
ekspresi dan media. Akhirnya studi dokumentasi yang masih
berumur 10 tahun cakupannya melampaui perpustakaan,
arsip, dan museum. Karena studi dokumentasi tidak hanya
fokus pada dokumen yang sudah dibuat, namun juga proses
pembuatan dokumen oleh seniman, dokter, birokrat, politisi,
dan sebagainya.
53
menjadi gelar program di semua tingkatan yaitu B.A, M.A,
dan Ph.D serta 6 anggota dosen permanen. Setiap tahunnya
meluluskan 200 siswa dari semua tingkat dan kembali ke
masyarakat sebagai sarjana dokumen.
Seiring berjalannya waktu, Studi Dokumentasi juga
mengembangkan penelitian independen di tingkat internasional
yang disebut Akademi Dokumen atau Document Academy
(DOCAM). DOCAM telah menyelenggarakan sejumlah
lokakarya dan sekolah musim panas dengan para sarjana,
komunitas dan peneliti yang berorientasi pada dokumen.
Selain itu, DOCAM juga menyelenggarakan konferensi tahunan
yang dimulai sejak tahun 2003 di UC Berkeley. DOCAM adalah
konferensi yang relatif kecil, namun terus berkembang dengan
mengeksplorasi kemungkinan pendekatan dokumen dalam
peneliitian, bisnis dan seni.
54
Referensi
Lund, N.W. (2007). Building discipline, creating a profession: an
essay on the childhood of “Dokvit”. Dalam R. Skare, N.W.
Lund, & A. Vårheim (ed.). A Document (Re)turn (hal. 11-
26). https://hdl.handle.net/10037/966
Lund, N.W. (2010). Document, text and medium: concepts,
theories and disciplines. Journal of Documentation 66(5), hal.
734-749. https://doi.org/10.1108/00220411011066817
Lund, N.W. (2016). How it all started: 1996, the first year of
Dokvit. Proceedings from the Document Academy, 3, Issue
1, Article 2. https://doi.org/10.35492/docam/3/1/2
Skare, R. & Latham, K.F. (2016). Tromsø and documentation
studies: 20 years young (editorial). Proceedings from the
Document Academy, 3, Issue 1, Article 1. https://doi.
org/10.35492/docam/3/1/1
Skare, R. (2019). Documentation studies at the University
of Tromsø: a new way to educate librarians? Education
for Information, 35(4), hal. 455-463. https://doi.
org/201910.3233/EFI-180228
55
56
Bagian II
57
58
“What Is Documentation?” :
Pemikiran Suzanne Briet Tentang
Dokumentasi
Dian Novita Fitriani
Pendahuluan
1 Mundaneum adalah lembaga yang didirikan oleh Paul Otlet dan Henri La
Fontaine
59
beberapa contoh dokumen, di antaranya benda-benda alami,
artefak, benda-benda yang mengandung jejak aktivitas manusia
(seperti temuan arkeologis), model penjelasan, permainan
pendidikan, dan karya seni (Buckland, 1997).
Otlet berpendapat bahwa dokumen mengandung
pengetahuan yang menjadikannya objektif dan
menempatkannya pada status sosial tertentu. Dalam hal ini
dokumen tidak terbatas pada tulisan dalam objek tercetak.
Objek fisik, gambar dan ilustrasi, partitur musik, dan apapun
yang bernilai sebagai bukti dan mendokumentasikan sesuatu
dapat disebut dokumen. Otlet melihat artefak dalam museum
juga sebagai sumber pengetahuan sehingga dimasukkan sebagai
dokumen (Buckland, 1991). Dari pemikiran Otlet ini, Sudarsono
(2016) meyimpulkan bahwa dokumen yang dimaksud Otlet
adalah objek dua dimensi tertulis atau tercetak atau dalam
format lain, serta dalam tiga dimensi tidak hidup. Singkatnya ia
menyebut sebagai dokumen dua dan tiga dimensi mati.
Pada tahun 1935, Walter Schuermeyer menulis: “Saat
ini kita memahami dokumen sebagai dasar material untuk
memperluas pengetahuan kita, yang tersedia untuk studi atau
perbandingan”.
Man versteht heute unter einem Dokument jede materielle
Unterlage zur Erweiterung unserer Kenntnisse, die einem Studium
oder Vergleich zugaenglich ist. (Buckland, 1997)
Demikian pula, the International Institute for Intellectual
Cooperation, sebuah badan Liga Bangsa-Bangsa yang
dikembangkan bekerja sama dengan Union Français des
Organismes de Documentation, mendefinisikan dokumen
sebagai setiap sumber informasi, dalam bentuk materi, dapat
digunakan untuk referensi atau studi sebagai otoritas. Contoh:
manuskrip, cetakan, ilustrasi, diagram, spesimen museum, dan
60
lain-lain. Definisi tersebut dituangkan dalam tiga bahasa, yaitu
bahasa Inggris, Perancis dan Jerman.
(English) Document: Any source of information, in material form,
capable of being used for reference or study or as an authority.
Examples: manuscripts, printed matter, illustrations, diagrams,
museum specimens, etc.
(French) Document Toute base de connaissance, fixée
matériellement, susceptible d’être utilisée pour consultation,
étude ou preuve. Exemples: manuscrits, imprimés, représentations
graphiques ou figurés, objets de collections, etc.
(Germany) Dokument: Dokument is jeder Gegenstand, der
zur Belehrung, zum Studium oder sur Beweisfuehrung dienen
kann, z.B. Handschriften, Drucke, graphische oder bildliche
Darstellungen, usw (Buckland, 1997)
Tokoh dokumentasi selanjutnya adalah Suzanne Briet.
Briet dapat disebut sebagai tokoh sentral dalam “generasi
kedua” dokumentasi Eropa. Jika generasi pertama terwujud
dalam karya Paul Otlet (1868-1944), maka generasi kedua
adalah Suzanne Briet. Harus diakui bahwa Briet adalah pionir
dokumentasi setelah Paul Otlet dan Henri La Fontaine. Bahkan
ia mendapat gelar Madame of Documentation. Karya utama Briet
pada tahun 1951 yaitu pamflet setebal empat puluh delapan
halaman yang disebut, What is Documentation? (Qu’est-ce que
la documentation?) diterbitkan oleh cabang Union Française
des Organismes de Documentation (UFOD). UFOD adalah
sebuah organisasi yang didirikan Briet tiga tahun sebelum
ia mengambil pensiun dini dari Bibliothèque Nationale pada
usia enam puluh tahun. Karya ini berfungsi sebagai manifesto
untuk generasi kedua gerakan dokumentasi Eropa. Ini adalah
karya revolusioner yang memperluas ruang lingkup ilmu
perpustakaan dan melampaui penekanan Otlet pada “buku”
61
sebagai bentuk utama dan figur dalam manajemen informasi
(Furner, 2007).
Briet memiliki keunikan dalam konsep dokumentasinya
di mana ia menghubungkan dokumentasi dengan tanda-
tanda documenter tentang asal dan fungsi budaya. Meskipun
mengikuti pendiri dokumentasi Eropa, Paul Otlet, namun ia
berbeda dari Otlet dalam memahami “sains” dan “budaya”. Ia
lebih banyak mendokumentasikan dalam konteks ekonomi
kapitalis militer-industri pasca perang dan juga dalam hal
perkembangan global. Briet berdiri di antara utopia informasi
Otlet dan teori informasi sibernetika di Amerika Serikat
yang melihat budaya dan bahasa manusia sebagai media yang
merepotkan untuk komunikasi dan transmisi informasi yang
berhasil.
Briet mendefinisikan dokumen yang dimulai dengan
pernyataan bahwa, “A document is evidemce in support of a fact”
(Un document est une preuve à l›appui d›un fait”) (Briet, 1951,
p. 7). Dalam hal ini, implikasi dokumen tidak hanya dilihat
sebagai teks, tetapi akses untuk pembuktian. Kemudian ia
kolaborasikan dengan brilian dalam hal tanda-tanda indeksikal
atau simbolis apa pun yang diawetkan atau direkam ke arah
akhir yang mewakili, menyusun kembali atau membuktikan
suatu fenomena fisik atau intelektual.
Any concrete or symbolic sign, preserved or recorded toward the
ends of representing, of reconstituting, or proving a physical or
intellectual phenomenon
Tout indice concret ou symbolique, conservé ou enregistré, aux fins
de représenter, de reconstituer ou de prouver un phénomène ou
physique ou intellectuel. (Briet, 1951, Day, et.al., 2006, p.7)
62
Dalam hal ini, ia mengadopsi argumen yang disarankan
para dokumentalis sebelumnya yang dipandang dari perspektif
budaya, seperti yang ia ungkapkan tentang “linguistik dan
filsafat”.
Artikel Briet yang terbit pada tahun 1951 berjudul
“Qu’est-ce que la documentation” (“What is Docummentation?”)
memberikan sebuah pemahaman baru tentang konsep
dokumentasi. Merujuk dari artikel tersebut, tulisan ini akan
membahas tiga pokok pemikiran Briet, yaitu pemahaman
tentang dokumentasi, profesi dokumentalis dan kebutuhan
pusat dokumentasi saat itu.
63
modern” dan munculnya dokumentasi sebagai profesi yang
berbeda dari segi teknik, standar, dan pelatihan. Briet
merupakan salah satu dari tiga pustakawan perempuan pertama
yang dipekerjakan di sana. Walaupun pustakawan merupakan
profesi yang secara historis didominasi oleh perempuan di AS,
namun hal tersebut tidak terjadi di Perancis khususnya di antara
dua Perang Dunia. Pada masa itu, Briet berada pada masa awal
pergeseran demografis di mana di mana jumlah staf profesional
perempuan berubah dari hampir 10% dari tahun 1927 menjadi
lebih dari 50% pada Perang Dunia II (Maack, 1983, p.434,
Maack, 2004).
Pada tahun 1924, Pierre-René Roland-Marcel menjadi
administrator jenderal PNP yang memiliki prioritas pertama
adalah modernisasi perpustakaan. Namun ia tidak memiliki
pengalaman sebelumnya dengan perpustakaan. Dia segera
memulai reformasi legislatif yang menempatkan perpustakaan
pada basis keuangan yang lebih kuat. Pada saat yang bersamaan,
ia memperluas kewenangannya atas beberapa perpustakaan
penelitian besar di Paris. Untuk mencapai tujuannya, ia perlu
merekrut seorang personel baru. Roland-Marcel merekrut Briet
karena ia mendapatkan urutan pertama ketika ujian sertifikasi
nasional untuk pustakawan. Selain itu, Briet juga memiliki
kemampuan Bahasa Inggris yang lancar serta memiliki
pengetahuan praktis dan kecerdasan yang luar biasa (Maack,
2004).
Roland-Marcel menganjurkan layanan publik sebagai sarana
untuk meningkatkan efektivitas, visibilitas dan dukungan
politik dari PNP. Namun ia menyadari bahwa ia memerlukan
dukungan keuangan dari luar. Oleh karena itu ia mengaktifkan
komunitas dari PNP dan pada tahun 1926 ia mengawasi
pendirian kantor dokumentasi yang ditempatkan di bawah
64
naungan komunitas tersebut. Kantor dokumentasi tersebut
memiliki dua tanggung jawab yang terpisah namun terkait, yaitu
(1) memusatkan permintaan untuk informasi yang dikirim ke
Administrator-Jenderal, dan (2) menawarkan layanan bebayar
yang akan memberikan salinan, foto, terjemahan, abstrak, dan
bibliografi (Briet, 1929, p.1, Maack, 2004).
Briet kemudian berkomentar bahwa pustakawan PNP
sudah terbebani sehingga tidak dapat secara efektif menanggapi
permintaan informasi tertulis, karena akan mengganggu aliran
aktivitas normal (Briet, 1929, p.1, Maack, 2004). Oleh karena
itu, Briet yang memiliki minat pada layanan dan modernisasi,
diberikan tanggung jawab untuk menyatukan semua permintaan
informasi tertulis. Kemudian ia menugaskan ke spesialis
berkualitas di perpustakaan atau mengirimkannya ke kantor
dokumentasi jika diperlukan layanan berbayar (Briet, 1932b,
p.3, Maack, 2004). Dalam mengelola layanan baru tersebut, ia
sangat dipengaruhi oleh rekomendasi yang dibuat oleh pakar
perpustakaan pada pertemuan 1927 di Paris yang disponsori
oleh Institut Kerja Sama Intelektual (Institute of Intellectual
Co-operation) dari Liga Bangsa-Bangsa. Rekomendasi tersebut
adalah: 1) setiap Perpustakaan Nasional membentuk “Pusat
Informasi Nasional” agar para peneliti dapat menemukan
di perpustakaan atau di koleksi khusus mana menyimpan
dokumentasi yang mereka butuhkan disimpan; (2) agar pusat
informasi nasional didanai secara memadai, sehingga dapat
menyediakan katalog kartu, bibliografi cetak, sumber biografi,
katalog induk dan direktori koleksi khusus di setiap negara;
(3) agar antar pusat nasional ini bekerja sama erat satu sama
lain untuk menemukan sumber informasi yang diperlukan para
peneliti, baik dari dalam maupun luar negeri (Maack, 2004).
Prestasi profesional utama Briet di PNP adalah pada
minatnya dalam bidang layanan dan modernisasi. Pada tahun
65
1930 hingga 1954, Briet merencanakan, mendirikan, dan
mengawasi Salle des Catalogs et Bibliographies yang dibangun di
ruang bawah tanah. Salle des Catalogs et Bibliographies merupakan
layanan bagi pemakai dengan konsep dasar modernisasi
bibliografi atau dikenal dengan istilah dokumentasi. Bibliografi
yang sebelumnya disimpan di tumpukan tertutup, kemudian
dibuka untuk masyarakat secara umum. Selain itu, ia juga
mengorganisir pengindeksan tambahan dan mengembangkan
layanan konsultasi bibliografi.
Briet aktif secara nasional maupun internasional dalam
pengembangan dokumentasi. Briet sendiri telah berpartisipasi
dalam berbagai konferensi di tahun 1920-an dan 1930-an,
dan selama perang dia juga menghadiri konferensi tentang
dokumentasi di Salzburg yang diorganisir oleh para tokoh
Jerman (Briet, 1943, h. 78, Maack, 2004). Pada tahun 1931, ia
berpartisipasi dalam pendirian Union Franqaise des Organismes
de Documentation (UFOD), sebuah organisasi himpunan
dokumentalis di Prancis yang merupakan analog Prancis dari
American Docummentation Institute (didirikan tahun 1937
dan saat ini disebut American Society for Information Science
and Technology). Pada tahun 1944, Briet menjabat sebagai
Sekretaris Jenderal UFOD dan kemudian sebagai wakil presiden
UFOD pada 1948. Perhatian Briet dalam menyiapkan tenaga
pelaksana dokumentasi sangat besar. Ia adalah pemimpin dalam
pengembangan pendidikan profesional untuk spesialis baru ini.
Briet mengembangkan (dan UFOD mengadopsi) rencana untuk
mendirikan sekolah pertama bidang dokumentasi di dunia.
Pada tahun 1951, diresmikan Institut National de Techniques
de la Documentation at the Conservatoire National des Arts et
Metiers (INTD), dan Briet menjadi direktur sekolah tersebut.
Briet juga pernah menjabat wakil presiden FID (Buckland,
2006, Sudarsono, 2016).
66
Pada tahun 1950-an dalam banyak hal menandai puncak
karir Suzanne Briet. Pada 25 Oktober 1950, Julien Cain
memberinya The Cross of the Legion of Honor di ruang katalog
dan bibliografi yang telah ia pimpin selama bertahun-tahun.
Karya Briet dihormati tidak hanya di Prancis, tetapi juga tingkat
internasional. Ia aktif dalam FID, IFLA, serta bekerja pada
proyek-proyek untuk UNESCO. Seiring dengan pengajarannya
di INTD dan banyak proyek dan kegiatan asosiasinya, ia juga
terus mengawasi layanan Ruang Katalog dan Bibliografi di
PNP. Selain itu, Julien Cain memberinya tanggung jawab
menyelenggarakan pameran di PNP dalam merayakan ulang
tahun keseratus Arthur Rimbaud (1854-1891), seorang penyair
brilian dari Ardennes yang masih terdapat hubungan dengan
keluarga Briet. Ia ingat kemudian bahwa setelah membaca studi
pertamanya tentang penyair, Cain mengatakan, “Anda akan
memberikan wajah baru kepada Rimbaud” (Rimbaud, 1976,
hal.101). Pameran seratus tahun ini adalah salah satu usaha
terakhir Briet di Bibliotheque Nationale (BN) menandai transisi
ke tahap selanjutnya dalam hidupnya (Maack, 2004).
67
Karya Otlet dan Briet pada zaman itu menekankan
beberapa hal, yaitu: internasionalisasi, standarisasi, kelebihan
dokumenter, mengoordinasi dan mendorong komunikasi
ilmiah, serta dokumentasi tidak kalah penting dari perdamaian
dunia (masa Otlet) dan pengembangan dokumentasi
dalam skala internasional (masa Briet). Dari karya mereka,
penekanan dokumentasi tidak hanya mempertimbangkan
tatanan sosial di mana dokumentasi berlangsung, tetapi
juga bentuk dan kondisi budaya untuk agensi dokumentasi
menjadi peran sentral. Dokumentasi Eropa merupakan gerakan
penting tetapi dilupakan. Dokumentasi Eropa seharusnya
mampu menjembatani kepustakawanan dan ilmu informasi.
Dokumentasi Eropa berbeda dengan tradisi kepustakawanan
Eropa (khususnya sebelum Perang Dunia Kedua), di mana
dokumentasi lebih menekankan layanan kepada pengguna
dalam konteks budaya, intelektual dan pembangunan sosial.
Berbeda juga dengan kepustakawanan di kedua sisi Atlantik,
dokumentasi mendorong dan meramalkan penggunaan
teknologi dan media baru dalam penyampaian dan produksi
informasi serta pengetahuan. Hal tersebut menekankan pada
bentuk fisik dan dokumen serta pentingnya menghubungkan
bentuk tersebut sebagai representasi perantara. Dokumentasi
Eropa pada dasarnya merupakan fenomena modernis dan salah
satu yang penting hingga saat ini (Briet, 1951, Buckland, 2006).
Buku Briet mengadvokasi dokumentasi Eropa terhadap
batas-batas tradisional dan fokus kepustakawanan serta
pendidikan profesional perpustakaan. Dengan menggunakan
analisis budaya dan kritik, buku ini menandai dan melihat
transisi dari budaya buku dengan budaya dokumen dalam
berbagai bentuk dan format. Buku ini terbagi menjadi 3 bagian.
Bagian I Briet mendorong batas-batas pengertian dokumen
untuk memasukkan segala bentuk materi dengan menggunakan
68
pendekatan semiotik. Dalam hal ini Briet menyebutkan bahwa
binatang hidup juga disebut sebagai dokumen. Bagian II Briet
berpendapat bahwa dokumentalis merupakan profesi baru
dan berbeda dengan profesi yang ada sebelumnya. Bagian III
Briet berpendapat bahwa dibutuhkan lembaga dokumentasi
yang memiliki layanan yang terbuka dan aktif melayani
kebutuhan masyarakat. Dengan perspektif modernis dan
dikombinasikan dengan semiotik, pemikiran Briet ini patut
mendapatkan perhatian. Hal ini dikarenakan berbeda dari yang
selama ini berkembang dan menawarkan alternatif pandangan
secara ilmiah dari sudut pandang positivis yang telah begitu
mendominasi ilmu informasi. Buku karangan Briet ini tidak
hanya penting dari masa lalu, namun juga penting untuk saat
ini dan masa depan.
69
Definisi ini dianggap paling akurat untuk waktu itu namun
juga paling abstrak. Dokumen adalah “apa pun wujud fisik
atau tanda-tanda indeksikal konkret maupun simbol yang
diawetkan atau direkam yang memiliki fungsi untuk mewakili,
menyusun kembali atau membuktikan suatu fenomena fisik
atau intelektual” (Briet, 1951, Day, 2006).
Gagasan Briet bermula dari pertanyaan pada enam objek
dan bertanya apakah masing-masing adalah dokumen. Enam
objek tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 1.
Objek Dokumen?
Bintang di langit Tidak
Foto dari bintang Iya
Batu di sungai Tidak
Batu di museum Iya
Binatang di alam liar Tidak
Binatang di kebun binatang Iya
Sumber : Data Olahan Penulis yang diadaptasi dari Briet (1951)
70
Seorang profesor di museum menyebutkan dalam kualiahnya.
Hewan yang hidup ditempatkan di kandang dan dikatalog
dalam kebun binatang. Setelah binatang tersebut mati, binatang
tersebut akan disimpan di museum. Kemudian dipinjamkan
untuk pameran, gambarnya dimainkan di bioskop. Suaranya
direkam menjadi sebuah rekaman. Kemudian direkam juga
dalam bentuk monograf, ensiklopedi khusus (zoologi, juga
dalam ensiklopedi umum. Karya-karya tersebut dikatalogkan
di perpustakaan, setelah diumumkan di publikasi (katalog
penerbit dan Bibliografi Nasional Prancis). Dokumen-dokumen
tersebut kemudian disalin ulang dalam berbagai bentuk,
misalnya gambar, cat air, lukisan, patung, foto, film, mikrofilm)
lalu dipilih, dianalisis, dijelaskan, diterjemahkan (produksi
dokumenter). Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa kijang
yang disimpan di Kebun Botani adalah dokumen awal dan
dokumen lainnya dari kijang tersebut adalah dokumen sekunder
atau turunan (Briet, 1951, Bishop, 2003, Day, et.al., 2006).
Dalam hal ini ditegaskan bahwa seekor kijang yang berlari liar
di dataran Afrika tidak dapat disebut sebagai dokumen. Namun
jika ia ditangkap, dibawa ke kebun binatang dan dijadikan objek
studi, seekor kijang tersebut dapat disebut sebagai dokumen.
Kijang tersebut telah menjadi bukti fisik untuk dipelajari.
Buckland (1997) menyatakan bahwa aturan Briet untuk
menentukan kapan suatu objek menjadi dokumen masih kurang
jelas. Ia menyimpulkan bahwa suatu objek dapat dikatakan
sebagai dokumen, jika:
1. Ada materialitas: objek fisik dan tanda-tanda fisik saja;
2. Ada intensionalitas: ini dimaksudkan agar objek
diperlakukan sebagai bukti;
3. Objek harus diproses: objek ini harus dibuat menjadi
dokumen, dan
4. Ada posisi fenomenologis: objek dianggap sebagai
dokumen.
71
Buckland juga menambahkan bahwa pemahaman Briet
tentang dokumen dapat dianalogikan tentang bagaimana suatu
gambar dibuat seni dengan membingkainya sebagai seni. Suatu
objek menjadi “dokumen” ketika diperlakukan sebagai dokumen,
yaitu sebagai tanda fisik atau simbol, dipertahankan atau
direkam, dimaksudkan untuk mewakili, untuk merekonstruksi
atau menunjukkan fenomena fisik atau konseptual.
72
banyak berkembang di banyak negara, seperti Prancis (1935,
1942, 1948, 1951), Inggris (1928), Belanda (1937), Belgia
(1947, dan Swiss (1946). Maka lahirlah profesi baru yang
disebut dengan dokumentalis. Dokumentalis adalah profesi
yang melakukan keahlian dokumentasi, dari teknik, metode
dan alat dokumentasi (Briet, 1951, Day, et.al., 2006).
Setelah ledakan tipografi yang dimulai pada kuartal ketiga
abad kesembilan belas, teori dokumentasi sedikit demi sedikit
berkembang. Pada awalnya buku diterbitkan dari daun. Seiring
dengan perkembangan kebutuhan akan mobilitas, bentuk-
bentuk dokumen berkembang melalui penemuan modern.
Seseorang tidak lagi puas dengan buku, fragmen tercetak, artikel
ulasan, kliping koran, salinan arsip. Seseorang memindahkannya
ke dalam mikrofilm. Perkembangan bentuk-bentuk dokumen
dan bertambahnya jumlah dokumen menuntut teknik-teknik
dokumentasi untuk disempurnakan (Briet, 1951, Day, et.al.,
2006).
Dokumentasi telah berkembang, pertama-tama pada
bidang penelitian ilmiah dalam ilmu maupun aplikasinya.
Sedangkan dalam ilmu humaniora terlambat mengadopsinya.
Memang dalam bidang sains dan teknologi, dokumentasi
hampir selalu diperbarui dalam rentang waktu yang sangat
sempit. Sebaliknya dalam ilmu humaniora, dokumetasi berasal
dari akumulasi; sastra, sejarah, filsafat, hukum, ekonomi dan
sejarah sains yang merupakan hasil dari masa lalu. Pengetahuan
adalah konservatif, ilmu pengetahuan adalah revolusioner.
Evolusi pengetahuan manusia adalah kompromi permanen
antara dua sikap mental. Penemuan dan penjelasan, refleksi
dan hipotesis menjadi bidang pemikiran mereka. Dokumentasi
menjadi pelayan mereka yang melayani sesuai kebutuhan (Briet,
1951, Day, et.al, 2006).
73
Uraian di atas menunjukkan bahwa dokumentasi terkait
erat dengan kehidupan para peneliti atau ilmuwan atau
cendekiawan. Dalam bidang ini, dokumentasi telah menjadi
salah satu faktor produktivitas paling efektif. Namun tidak
hanya terbatas dengan itu. Dokumentasi juga berpartisipasi
dalam kegiatan industri, komersial, administrasi, pengajaran,
dan lain-lain. Dokumentasi dapat berupa penjajaran, pemilihan,
dan perbandingan dokumen hingga produksi dokumen
terlengkap. Dengan demikian, isi dari dokumentasi adalah
antardokumen (Briet, 1951, Day, et.al., 2006).
Profesi Dokumentalis
Pada bagian ini, Briet mendeskripsikan munculnya profesi baru
yaitu dokumentalis. Ia mengungkapkan beberapa persyaratan
dari dokumentalis; 1) seorang subject spesialist, di mana ia
menguasai subjek khusus yang berkaitan dengan lembaga
tempat bekerja, 2) memahami berbagai bentuk dokumen dan
perlakuannya (pemilihan, konservasi, seleksi dan reproduksi),
3) menghormati dokumen dalam integritas fisik dan
intelektual, 4) mampu melanjutkan interpretasi dan pemilihan
nilai dokumen yang menjadi tanggung jawabnya sehubungan
dengan distribusi atau sintesis dokumennya (Briet, 1951, Day,
et.al., 2004).
Robert Pages menyebutkan bahwa profesi pustakawan,
arsiparis, dan kurator museum adalah profesi “pradokumentalis”
dan pustakawan saat ini menjadi bagian dari profesi
dokumentalis. Profesi dokumentalis seringkali ditemukan
perpustakaan khusus, bagian penelitian, buletin analitik dan/
atau bibliografi, layanan foto – mikrofilm, ruang pameran,
kliping pers, dan terjemahan. Arsiparis, pustakawan, kurator
koleksi mueum tercakup di dalamnya. Oleh karena itu selain
74
spesialisi budaya, dokumentalis juga memiliki pengetahuan
tentang profesi yang dekat dengannya.
Perpustakaan khusus cenderung dekat dengan pusat-pusat
penelitian dan sebagian besar perpustakaan cenderung berubah
menjadi pusat-pusat dokumentasi, dengan atau tanpa nama.
Dalam sebuah organiasi penelitian, dokumentalis merupakan
salah satu bagian dari tim yang melaksanakan tindakan yang
mendasar bagi suatu negara. Dokumentalis disebut sebagai
profesi setengah intelektual, setengah manual. Ia berperan
sebagai pembantu penelitian praktis yang menjadi “pelayan
dari para pelayan ilmu pengetahuan” (Briet, 1951, Day, et.al.,
2006).
Dokumentalis memiliki tugas untuk membuat dokumen
sekunder dari aslinya dengan menerjemahkan, menganalisis,
membuka kembali, memotret, menerbitkan, memilih,
membandingkan, dan mengoordinasikan dokumen-dokumen.
Metode yang digunakan adalah: standarisasi, pencarian
dokumen, bibliografi, katalog, pengarsipan, klasifikasi,
penyebaran, dan eksposisi. Instrumen atau alat dokumentasi
ditemukan dalam katalog dan kartunya, file, kliping koran,
mesin tik, kalkulator, mesin sortir, fotografi, mikrofilm, dan
transmisi jarak jauh. Metode kerja dokumenter dipinjam dari
teknik lama atau milik profesi ‘tetangga’. Seperti klasifikasi, lebih
khusus lagi katalogisasi berasal dari profesi pradokumentalis.
Pengarsipan dan klasifikasi menjadi hal penting dalam pekerjaan
dokumentalis, namun pekerjaan yang profesional terletak pada
produksi dokumenter (Briet, 1951, Day, et.al, 2006).
Teknik dokumenter dengan sangat jelas menandai dua
kecenderungan yang berbeda. Pertama adalah menuju skema
aljabar (katalog, kode, perforasi, klasifikasi melalu tanda yang
disepakati secara konvensional). Kedua adalah menuju perluasan
75
besar-besaran “pengganti pengalaman hidup” (foto, film,
televisi, rekaman suara, siara radio). Berbagai teknik tersebut
menarik tidak hanya untuk profesinya akan semakin sadar,
namun juga untuk audiensnya yang terus bertumbuh hingga
tak terhitung banyaknya. Bagaimanapun yang ditampilkan
baik gambar, suara, maupun bentuk komunikasi lainnnya akan
ditangkap dan menimbulkan berbagai tanggapan. Hal ini dapat
dipahami bahwa dokumentasi adalah cara yang tepat untuk
mengumpulkan pengetahuan atau ide (Briet, 1951, Day, et.al.,
2006).
Kemampuan dalam melakukan seleksi merupakan peran
yang paling penting dari profesi dokumentalis. Sehingga
seorang dokumentalis harus memiliki pengetahuan tentang
subjek, ketidakberpihakan, dan rasa keterkaitan dengan
dokumen. Di pusat departemen khusus, seorang dokumentalis
harus mampu mengirimkan dokumen dengan cepat. Dokumen
yang diproduksi sesuai dengan permintaan atau didistribusikan
dengan spontan sesuai dengan kebutuhan kelompok kerja.
Dengan demikian, komponen kemampuan yang harus dimiliki
oleh profesi dokumentalis adalah kolektivisasi, spesialisasi,
koordinasi, reproduksi dokumenter, distribusi, manajemen
lengkap, kodifikasi, seleksi, individualisasi, dan ekonomi (Briet,
1951, Day, et.al., 2006).
Perbedaan kualifikasi pendidikan dan keahlian yang
dibutuhkan oleh dokumentalis dengan profesi lainnya yang
berdekatan, seperti arsiparis, pustakawan, kurator museum
dan teknisi dapat dilihat pada tabel berikut:
76
Tabel 2.
Tabel 2.
Kualifikasi Prioritas
Kualifikasi Prioritas
Teknisi I II III
Teknisi (Operasional/ Pendidikan Dasar atau Teknik dasar dalam Teknik dasar dalam
Bantuan teknis) lanjutan penanganan dokumen penggunaan dan produksi
dokumen
Arsiparis, Pustakawan, Pendidikan tinggi dan Teknik dalam penanganan Spesialisasi budaya
Kurator koleksi pengetahuan umum dokumen (sejarah,
preservasi dan
komunikasi)
77
dokumentasi internasional, jenis pengguna, daftar dokumen
administrasi, dokumentasi khusus dan sumber dayanya yang
beragam, pembuatan dokumen, dan ‘dokumentografi’. Selain
itu juga terdapat mata pelajaran umum dari bidang terkait,
seperti; perekaman dan pelestarian dokumen, bibliografi,
katalog, kepustakawanan, arsip, studi museum, penerbitan dan
manajemen. Kursus teknis dokumentasi yang sesuai dengan
tingkat menengah dan lebih tinggi dari pendidikan profesional
ini telah bergabung dengan Conservatoire National des Arts
et Metiers atas perintah Kementerian Pendidikan Teknis
tertanggal 1 Desember 1950, dengan nama Institut National des
Techniques de la Documentation. Kurikulum dalam pendidikan
ini disiapkan untuk industri dan komersil. Namun dalam tahun
pertama masih dalam tahap persiapan. Tahun pertama ini
seperti pengantar untuk instruksi khusus di tahun kedua yang
berkaitan dengan penelitian metodologis atau teknis yang terus
meningkat tingkatannya dalam kaitannya dengan penemuan,
organisasi dan psikologi terapan (Briet, 1951, Day, et.al., 2006).
78
Pusat Telekomunikasi Nasional, Kantor Teknis Percetakan, dan
banyak lembaga dokumentasi lainnya (Briet, 1951, Day, et.al.,
2006).
Pusat-pusat dokumentasi menghasilkan dokumen
sekunder yang diuraikan dari dokumen awal. Mereka
mengorganisir dokumen sekunder tersebut melalui rantai
produksi dokumenter. Mereka memiliki bidang spesialisasi
yang lengkap dalam setiap bahasa dan setiap negara. Dokumen
primer maupun dokumen sekunder mereka layankan untuk
pengguna secara langsung, pihak internal lembaga maupun
luar lembaganya. Pusat dokumentasi seperti ini cenderung
menegaskan dirinya dengan pertumbuhan organisasi nasional
maupun internasional yang harus dipertimbangkan (Briet,
1951, Day, et.al., 2006).
Pusat dokumentasi harus memberikan layanan sesuai
dengan kebutuhan pengguna. M. Luther Evans telah melakukan
kritik yang sangat akut terhadap kekurangan yang terjadi
di lembaga-lembaga tertentu ketika kebutuhan pengguna
diabaikan. Ia yakin bahwa layanan perpustakaan, seperti
yang kita tahu, dijalankan sesuai kebutuhan secara spesifik
masing-masing subjek. Sementara pusat dokumentasi harus
menyediakan layanan yang disesuaikan dengan para peneliti
yang secara langsung terkait. Ia juga mengakui bahwa metode
yang dikerjakan oleh perpustakaan dirasa kurang fleksibel,
sehingga dibutuhkan kemampuan profesional yang didapatkan
dari pendidikan profesional yang sesuai (Briet, 1951, Day, et.al.,
2006).
Pada awalnya muncul gagasan agar dokumentasi administrasi
diorganisir di tingkat kewilayahan (M. Pouteau, Kongres No.
1937). Gagasan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan
melahirkan upaya untuk mengatur administrasi prefektur
79
dan subprefektur. Pada tingkat nasional di bawah Direktur
Arsip Prancis, Charles Braibant, pusat dokumentasi didirikan
terhubung dengan universitas atau perpustakaan kota, akademi,
masyarakat ilmuwan, kamar dagang, dan pre “feet” office yang
mampu memberikan dokumentasi terkini tentang dokumentasi
legislatif, administratif, ekonomi, politik atau budaya
. Saat itu dokumen-dokumen ditarik ke dalam reservoir yang
luas dan menjadi pusat pengumpulan dan pelestarian semua
dokumen warisan nasional, jurnal umum dan koleksi yang
sangat langka. Museum, perpustakaan dan arsip saat itu
tumbuh tanpa batas (Briet, 1951, Day, et.al., 2006).
Pada tahun 1946 dan diputuskan pada 30 Desember 1950,
Prancis membentuk komisi atau antar adminstrasi untuk
meninjau kegiatan administrasi pusat dalam hal dokumentasi.
Tahun 1938-1939, Prancis membentuk Komite Dokumentasi
Prancis dan direformasi pada tahun 1951 di bawah presiden
M. Julien CAIN, administrator PNP. CAIN harus memastikan
representasi dari negara-negara asing terhadap dokumentasi
Prancis yang merupakan Bagian Prancis dalam Federasi
Internasional untuk Dokumentasi (Briet, 1951, Day, et.al.,
2006).
Di negara-negara maju, masyarakatnya lebih sadar akan
kebutuhan dokumentasi yang diselenggarakan secara nasional.
Dari negara-negara inilah berkumpul bersama dalam konferensi
internasional. International Federation for Documentation
(FID) yang berkedudukan di Den Haag mengadakan pertemuan
tahun yang dihadiri oleh delegasi dari 20 negara (Jerman, Belgia,
Cina, Denmark, Spanyol, Amerika Serikat, Finlandia, Prancis,
Inggris, Hongaria, Indonesia, Italia, Jepang, Belanda, Portugal,
Rumania, Swedia, Swiss, Cekoslowakia, Afrika Selatan) dan
koresponden dari banyak negara lainnya. Sebelum menjadi FID,
80
konferensi internasional ini disebut IIB (1895) menghasilkan
UDC dan bibliografi repertoar. FID menghasilkan dua karya
yaitu UDC dan metode teknis dokumentasi (Briet, 1951, Day,
et.al., 2006).
Untuk memahami organisasi dokumentasi internasional,
digambarkan sebagai sebuah diagram yang memiliki tiga tingkat,
yaitu bidang horizontal, bidang vertikal, dan bidang diagonal.
Bidang horizontal adalah bidang geografis di mana orang
melihat organisasi lokal, regional, nasional dan internasional.
Bidang vertikal adalah bidang spesialisasi yang agregasinya
menghasilkan bentuk-bentuk seperti ensiklopedi dari semua
dokumen primer yang ada berdasarkan pesanan yang terwujud
dengan baik. Bidang diagonal menggambarkan asosiasi
dan federasi teknisi dokumenter. Organisasi dokumenter
internasional ini diharapkan mampu memainkan peran sebagai
motor dan membangun hubungan dengan peneliti (Briet, 1951,
Day, et.al., 2006).
Penutup
Karya Briet Qu’est-ce que la documentation? atau What is
documentation? (1951) merupakan karya revolusioner yang
memperluas ruang lingkup ilmu perpustakaan dan penekanan
Otlet pada dokumen. Briet mendefinisikan dokumen tidak
hanya terbatas pada objek dua dimensi mati, namun juga
tiga dimensi hidup. Pertanyaannya yang provokatif dengan
menggunakan contoh kijang jenis baru yang telah ditemukan di
Afrika sebagai dokumen. Konsep dokumentasi Briet memiliki
keunikan di mana ia menghubungkan tanda-tanda dokumenter
dengan asal dan fungsi budaya.
81
Referensi
Bishop, M.H. (2003). Briet’s antelope: some tought on Suzanne
Briet (1894-1989) and conversation document. WAAC
Newsletter, 25(1), 12-16.
Briet, S. (1951). Qu’est ce que la documentation? Paris: EDIT http://
martinetl.free.fr/suzannebriet/questcequeladocumentation.
Briet, S. (2006). What is documentation? Transl. & ed. by R. E.
Day & L. Martinet. Lanham, MD: Scarecrow Press. http://
ella.slis.indiana.edu/~roday/briet.html
Buckland, M. (1991). Information as thing. Journal of the
American Society for Information Science, 42(5), 351-360.
http://people.ischool.berkeley.edu/~buckland/thing.
html
Buckland, M. (1997). What is a “document”? Journal of the
American Society for Information Science, 48(9), 804-809.
https://doi.org/10.1002/(SICI)1097-
4571(199709)48:9<804::AID-ASI5>3.0.CO;2-V
Buckland, M. (2006). A brief biography of Suzanne Renee
Briet. Dalam R. E. Day & L. Martinet (Eds.), What is
documentation? English Translation of the Classic French
Text. Lanham, MD: Scarecrow Press.
Buckland, M. (2013). The Reception of Suzanne Briet in the
United States. Bulletin of Association for Information
Science and Technology. Volume. 39, Nomor 4.
Buckland, M. (2013). The reception of Suzanne Briet in the
United States. Bulletin of Association for Information
Science and Technology 39(4), 40-41.
82
Buckland, M. (N.d.) Suzanne Briet, 1894-1989: “Madame
Documentation.” [Website] Diakses pada 5 Maret 2019
dari http://people.ischool.berkeley.edu/~buckland/briet.
html.
Furner, J. (2007). What is Documentation? English Translation
of the Classic French Text (review). Libraries & the Cultural
Record, 43(1), 107–109. doi:10.1353/lac.2008.0003
Maack, M.N. (2004). The lady and the antelope : Suzanne Briet’s
contribution to the French documentation movement.
Library Trends 52(4), 719-747. http://hdl.handle.
net/2142/1704
Sudarsono, B. (2016). Menuju era baru dokumentasi. LIPI Press.
83
84
Dokumentasi Dalam
Perspektif Komplementer
Ayu Yuli Wijayanti dan Blasius Sudarsono
PENDAHULUAN
85
of documents. Dalam tulisan ini, penulis sampaikan pokok-
pokok pemikiran Lund, Skare, dan Buckland tentang perspektif
komplementer.
86
akan lebih berperan di masyarakat jika mengutamakan layanan
informasi. Meski dia sadar bahwa Lund berpikir dalam upaya
pengembangan ilmu dokumentasi, namun Wilkerson tidak
akan pernah tertarik jika tidak membicarakan informasi. (In
other words, if you want to be a socially responsible librarian, you
have to stick to information and leave the documents behind).
Padahal menurut Lund, informasi tidak akan ada tanpa adanya
dokumen. Selain itu dokumentasi adalah konsep terbaik untuk
menjelaskan aspek sosial, kultural, dan material dari bidang
kepustakawanan. Berikut adalah penjelasan Lund terkait
perspektif komplementer tentang dokumentasi (Documentation
in a complementary perspective).
87
penggunaan kata-kata tersebut sebagai suatu konsep, sehingga
benar-benar jelas makna penggunaan kata-kata tersebut.
Biasanya informasi didefinisikan sebagai isi dari pesan.
Sebuah struktur mental atau konfigurasi berdasar interpretasi
dari pesan. Dengan demikian informasi terletak dalam tubuh
seseorang. Di pihak lain dokumentasi biasanya selalu berada di
luar tubuh. Komunikasi biasanya didefiniskan sebagai proses
berbagi pesan (sharing messages). Sesuatu yang terletak di antara
dua manusia. Dengan demikian ketiga unsur ini (informasi,
dokumentasi, dan komunikasi) dapat disebut komplementer
satu sama lain yang dapat mendeskripsikan sebuah fenomena
dari tiga sudut pandang. Hasilnya tentu berbeda tergantung
konsep mana yang dipakai dalam observasi.
Tentang Komplementaritas
Pemikiran tentang komplementaritas digagas Lund dengan
mengikuti pola pemikiran Niels Bohr. Pemikiran Bohr
dikemukakan dalam rangka menerangkanTeori Kuantum
(Quantum Theory). Dalam teori Kuantum, dinyatakan ada
dua atau lebih unsur yang berbeda, namun ternyata saling
melengkapi atau komplementer (complementary), meski unsur-
unsur tersebut tidak saling terikat. Contohnya dalam teori
cahaya yang dapat dilihat sebagai gelombang namun dapat juga
dilihat sebagai partikel. Gelombang dan partikel dua fenomena
berbeda namun dua hal itu saling melengkapi dalam memahami
teori cahaya. Selain itu tidak ada keterkaitan partikel dan
gelombang dalam fenomena cahaya.
Bagaimana penerapan konsep komplementaritas dalam
bidang perpustakaan? Lund menerangkan dengan penjelasan
berikut. Seseorang dapat mengamati dan memahami sebuah
88
buku sebagai fenomena material, dengan lembaran-lembaran
tercetak yang terbuat dari kertas. Dalam kasus ini, orang akan
berbicara buku sebagai “dokumen”. Dari sudut komunikasi,
dapat diamati bahwa buku sebagai fenomena sosial dalam
masyarakat. Sedang dari sudut pandang informasi, buku dapat
dilihat sebagai struktur mental atau konfigurasi kognisi. Sangat
tergantung dari konsep yang mana yang diterapkan, buku
dapat dikata sebagai fenomena material, fenomena sosial,
atau fenomena mental. Mengikuti pola pikir Bohr tentang tiga
unsur “komplementer namun eksklusif”, maka buku bukan
merupakan sintesa dari tiga unsur komplementer tersebut.
Artinya dapat dikatakan bahwa buku adalah 100% fenomena
material, 100% fenomena sosial, dan 100% fenomena mental.
89
Sebuah perkecualian terjadi di Norwegia. Pada 1996,
Department of Documentation Studies didirikan di University
of Tromso. Pemilihan kata dokumentasi dimaksudkan untuk
memenuhi kriteria Undang-Udang Deposit yang baru yang
mengamanahkan delivery of any publication independent of
medium. Jadi bukan hanya buku yang wajib diserahkan kepada
Perpustakaan Nasional Norwegia, namun termasuk foto,
rekaman suara, video, floppy discs, cd-rom dan media-media
lainnya. Kata dokumen diyakini dapat menunjukkan atau
mewakili berbagai format tersebut. Perkembangan teknologi
digital juga menambah jenis format yang dihasilkan. Tenaga
lembaga dokumenter perlu memahami konsep mendasar tentang
dokumen. Selain itu diyakini bahwa kata dokumen memiliki
mutu komplementer dan diharapkan dapat lebih mendukung
pengembangan disiplin keilmuan bidang perpustakaan dalam
kerangka keilmuan yang lebih bersifat umum.
90
untuk menghasilkan dokumen. Manusia menggunakan alat
tersebut dengan cara tertentu, dan hasilnya adalah dokumen.
Dengan tiga konsep yang berkaitan yaitu: dokumentasi,
dokumen, dan doceme, proses dokumentasi maupun produk
dokumen dapat diurai lebih lanjut. Dapat dibandingkan antara
format dokumentasi, jenis dokumen maupun doceme yang
berbeda. Juga dimungkinkan dilakukan analisis atas aspek
material, aspek sosial, maupun aspek mentalnya. Maka jika
ada pendapat bahwa dokumen adalah faktor sekunder dari
informasi, tentu dapat dikatakan bahwa pendapat itu hanya
memperhatikan aspek mental saya dan melupakan aspek
sosial maupun aspek materialnya. Dipandang dari konsep
komplementer, pernyataan itu dapat dikata tidak masuk akal.
Ilmu Terapan
Dalam bidang perpustakaan, informasi dan dokumentasi telah
mentradisi bahwa yang dipelajari lebih pada sisi how to do dan
sedikit yang tertarik menjawab pertanyaan why to do. Banyak
upaya pembelajaran dan pengembangan berfokus pada upaya
mencari solusi peningkatan layanan perpustakaan, informasi
dan dokumentasi. Dengan kata lain dapat dikatakan banyak
upaya hanya fokus pada teknologi dan rekayasa di bidang
perpustakaan, informasi, dan dokumentasi. Dalam disiplin
keilmuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan penelitian
lebih bersifat sebagai penelitian mendasar dan bukan penelitian
praktis. Penelitian sebatas demi ilmu. Tujuannya lebih pada
upaya mencari pemahaman umum tentang kehidupan manusia
dan budayanya.
Sebagai ilustrasi dapat disampaikan perbedaan antara
“konservatori” dan “departemen musik” pada sebuah
91
universitas. Pada konservatori tujuan pembelajaran adalah
agar dapat memainkan musik, sedang pada departemen musik
tujuannya adalah agar dapat menganalisis karya musik. Namun
Lund menjelaskan juga bahwa selalu ada hubungan antara teori
dan praktik, meski kadang juga bertentangan. Teori muncul
dari praktik dan percobaan. Di sisi lain teori juga dapat diuji
coba untuk menyempurnakan atau meningkatkan praktik yang
sudah biasa dilakukan. Jika dokumentasi dimaksudkan sebagai
ilmu terapan, maka selalu ada peluang melakukan analisis
kondisi sosial, tradisi budaya, dan kemungkinan teknis sebagai
suatu yang terintegrasi.
92
pada aspek materi buku itu. Seperti judul, pengarang, penerbit,
dll. dapat diperoleh dari kulit buku (cover), dan halaman judul.
Keterangan lebih rinci biasanya dapat ditemui pada colophon
buku. Dari semua keterangan tersebut dapat diduga isi atau
subjek dari buku tersebut. Tidak kalah pentingnya adalah juga
rancangan atau desain cover buku. Pilihan warna, termasuk
pilihan huruf idealnya memang ada relasi dengan isi buku
tersebut.
Dari desain cover dan tata letak huruf juga dapat diperoleh
makna tertentu dari buku tersebut. Belum lagi jika dilihat siapa
pengarang buku tersebut. Membaca nama pengarang, dapat
diperoleh gambaran juga tentang bidang bahasan sebuah buku.
Meski ada ungkapan do not judge book by its cover, namun kesan
dari cover itu selalu ada. Skare memberi ilustrasi cukup luas
untuk menguatkan argumentasi bahwa masing-masing unsur
yang saling melengkapi itu tidak terlepas secara eksklusif.
Pernyataan Lund tentang 100% fenomena material, 100%
fenomena sosial, dan 100% fenomena mental tidak terbukti
dengan kasus sebuah buku. Justru aspek-aspek tersebut hadir
bersama dalam hubungan satu sama lain.
93
adalah pokok-pokok terpenting dalam makalah Buckland
berjudul The physical, mental and social dimensions of documents.
Aspek Fisik
Dokumen adalah objek yang menyatakan sesuatu. Pada dasarnya
merupakan bentuk fisik, namun dapat juga berupa suatu
persepsi yang muncul secara noninderawi, seperti inspirasi.
Kadang rekaman elektronik dipandang sebagai nonfisik.
Namun pendapat ini salah, karena sistem elektronik adalah
fisikal. Dapat dibahas tentang teks dalam pengertian abstrak.
Namun teks dan karya hanya akan “ada” sebagai dokumen
dalam manifestasi fisik. Kadang ada anggapan bahwa rekaman
elektronik bukanlah fisikal. Namun hal itu jelas salah. Rekaman
itu tidak akan ada jika tidak ada muatan magnetik, atau daya
listrik. Sistem elektronik adalah sistem fisik. Memang dapat
didiskusikan teks atau karya pada tataran abstrak. Namun teks
atau karya itu hanya akan menjadi dokumen dalam pengertian
fisik. Dikatakan dokumen ada dalam ruang dan waktu. Dengan
pernyataan itu berarti dokumen menempati ruang fisik. Sistem
informasi dibuat untuk memberi informasi, namun itu hanya
dapat dilakukan dengan sesuatu bersifat fisik.
Aspek Mental
Dikatakan bahwa dokumen harus mempunyai aspek fisik.
Namun dimensi fisik saja tidaklah cukup. Harus ada fungsi bahwa
dokumen itu menerangkan atau berpotensi menerangkan.
Susan Briet, menerangkan bahwa dokumen harus menjadi
bukti. A document is proof in support of a fact. Status sebagai
dokumen sangat individual, atau bergantung pertimbangan
pribadi. Oleh karena itu dapat dikata sangat subjektif. Persepsi
94
tersebut muncul hanya dalam alam pikiran, setiap yang hidup
atau dalam alam pembelajaran. Tentu saja persepsi itu dapat
berubah seiring dengan perubahan pengetahuan individu,
sampai saat matinya. Meski konsekuensi dari perubahan
persepsi ini mugkin diikuti, namun esensi persepsi itu sendiri
tidak dapat diikuti atau diukur.
Aspek Sosial
Kata “sosial” sebagai adjektiva sering digunakan dalam kaitannya
dengan kata dokumen. Salah satu contoh penggunaannya
dalam pernyataan “kehidupan sosial dari dokumen” atau
dokumen sebagai “jejak sosial”. Namun jika kita mengingat
bahwa hanya individu yang dapat menerima informasi melalui
sarana dokumen (dalam hal ini melalui konstruksi mental),
maka perlu diperhatikan perbedaan aspek sosial di satu sisi
dengan aspek mental di sisi lain. Jika kita abaikan unsur sosial
saat menggunakan figuratively untuk menyatakan multiplicity.
Khususnya interaksi antara dua atau lebih pribadi yang
saling mempengaruhi dalam usahanya memahami kenyataan.
Seseorang dapat membuat ide subjektif yang mungkin saja
diterima sebagai ide objektif pihak lain. Sikap kasar dapat
dinyatakan dengan pandangan bermusuhan, atau dengan
ancaman menggunakan senjata, ataupun kata-kata, pada
pihak lain yang selanjutnya mengartikan tindakan itu sehingga
memunculkan reaksi mengikuti tafsir pribadi. Dalam hal
ini pemahaman subjektif dari dua atau lebih pribadi tidak
dapat dihindarkan serta menimbulkan “kebiasaan” dari suatu
kelompok sosial. Dimensi sosial ini tercermin dalam tindakan
kolaboratif mereka.
95
KOMBINASI
Beberapa contoh berikut dapat menerangkan penerapan
kombinasi dari tiga dimensi di atas.
96
lain adalah genetika dan lingkungan hidupnya. Perilaku mental
kita sangat dipengaruhi oleh lingkungan hidup sekitar kita,
terutama pribadi di sekitar kita. Pengetahuan dan pengalaman
interaksi kita dengan apa yang kita pelajari dari mereka baik
langsung maupun tidak langsung. Dalam lingkungan hidup
kita terjadi proses sosial. Buckland menjelaskan bahwa untuk
memahami teks tertulis secara mendalam, perlu dipahami
konteks budaya penulisnya. Dalam diskusi kita ini, dokumen
memiliki unsur fisik dan mental. Namun karena unsur mental
erat terkait dengan unsur sosial, maka eksistensi dokumen
tentu saja juga erat dengan dimensi sosial secara tidak langsung
melalui unsur mental. Dari sinilah jelas hubungan bahwa
sebuah dokumen harus memenuhi unsur sosial seperti juga
unsur mental dan fisikal.
RANGKUMAN
Lund menekankan bahwa teori tidak dapat dipisahkan dari
praktik, justru terlebih, bahwa teori juga dapat diperoleh dari
praktik atau eksperimentasi. Dengan proses yang setara, teori
juga dapat dikaji untuk menemukan cara atau prosedur yang
lebih tepat. Jika didefinisikan bahwa “dokumentasi” adalah
ilmu yang melatarbelakangi praktik, maka akan dapat dianalisis
kondisi sosial, tradisi budaya, dan kemungkinan teknis dalam
suatu perpaduan secara menyeluruh.
Skare melihat kemungkinan bahwa penelitian dokumentasi
dapat dianalisis menurut dari tiga perspektif secara simultan.
Sehingga dapat dilakukan analisis yang lengkap secara
seimbang tanpa membedakan masing-masing perspektif.
Karena jika hanya dilihat dari satu perspektif saja, hal itu dapat
dilakukan dalam konteks disiplin tertentu. Dalam hal ini tentu
tidak seluruh aspek diperlakukan secara setara. Sebagai contoh
97
dalam menganalisis sebuah buku, harus selalu dilihat secara
menyeluruh tidak hanya dari segi yang biasanya dideskripsikan
dalam proses katalogisasi. Hubungan antara setiap unsur
dapat dikaji lebih mendalam dari segi sosial, budaya, dan
teknik penerbitan buku. Analisis secara menyeluruh dari tiga
perspektif itulah yang ditekankan oleh Skare sebagai konsep
“komplementer” dan saling mempengaruhi.
Dalam bahasan atas pemikiran Lund dan Skare, Buckland
menyimpulkan bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah
“dokumen” memiliki sudut fisik, sudut mental, dan sudut sosial.
Untuk memahami dokumen itu apa, Buckland berpendapat
bahwa tinjauan dari sebuah sudut tidak cukup tanpa melihat
dari dua sudut lainnya. Baik pemikiran Lund maupun Skare
memang saling menguatkan. Sebuah dokumen biasanya
memang sangat ditentukan fisiknya. Namun fisik saja tidaklah
cukup untuk menerangkan sejatinya sebuah dokumen. Harus
dilengkapi dengan aspek mental. Jelas bahwa aspek mental
ini berbeda dengan aspek fisik. Jadi jika hanya ditelaah dari
aspek fisik yang sangat dipengaruhi metoda ilmiah, maka
tinjauan ilmiah dapat dikata belumlah cukup. Hal inilah yang
dapat dipakai untuk menjelaskan sulitnya memahami konsep
relevance jika dipikirkan dari teori informasi Shannon-Weaver
yang berat pada aspek non mental.
Titik pandang sosial adalah keharusan dalam teori
dokumen, karena aspek mental dilahirkan dari perkembangan
budaya. Selain itu Penghapusan dokumen juga harus memenuhi
kontrol sosial masyarakat. Buckland berpendapat bahwa
sangatlah banyak cakupan kajian atau penelitian dalam “isu
pokok” di bidang dokumentasi untuk masa dua puluh tahun
mendatang, bahkan lebih jauh lagi.
98
Referensi
Buckland, M. (2016). The physical, mental and social
dimensions of documents. Proceedings from the Document
Academy, 3(1), 4. https://doi.org/ 10.35492/docam/3/1/4
Lund, N.W. (2004). Documentation in a complementary
perspective. Dalam Rayward, W.B. (ed.), Aware and
responsible: papers of the Nordic-international colloquium on
social and cultural awareness and Responsibility in library,
information and documentation studies (SCARLID). Oxford.
pp. 93-102.
Skare, R. (13 Oktober 2006). Complementarity – a concept possible
to be achieved in document analysis? [Presentasi]. DOCAM
2006, University of California, Berkeley.
Wilkerson, J. (2001). ‘Re: Food for thought?’ listserv, 24 Mei,
http://listserv.utk.edu/cgi-bin/wa?A2=ind0105&L=jesse
&F=&S=&P=5600
99
100
Dari Aspek Material Ke Aspek
Sosial Dokumen: Tinjauan Atas
Pemikiran Michael K. Buckland
Dan Bernd Frohmann Tentang
Definisi Dokumen
Khusnul Khatimah
Pendahuluan
101
coping styles. Material factors associated with physical inactivity
were income, employment status and financial problems. All
correlates of physical inactivity were unequally distributed over
educational groups, except optimistic and palliative coping.
Personality and coping style were the main contributors to the
observed educational differences in physical inactivity. That is
to say, parochialism, locus of control, neuroticism and active
problem focussing explained about half of elevated odds ratios of
physical inactivity in the lower educational groups. The material
factors, equivalent income and employment status explained
about 40% of the elevated odds ratios. Psychosocial and material
correlates together reduced the odds ratios of lower educational
groups by on average 75%. These results have practical
consequences for the design of more effective interventions to
promote physical activity. In particular, personality and coping
style of risk groups, such as lower educational groups, should
be taken into consideration at the Future development of these
interventions, as well as inequalities in material restrictions
related to engaging in physical activity. Supplementary
interventions focussing on childhood conditions which,
partly, influence both personality and physical inactivity may
also contribute to a reduction of socio-economic differences
in physical inactivity. (C. Kebangkitan minat mempelajari
dokumen dan dokumentasi muncul kembali pada dasawarsa
1980-an. Kebangkitan ini menimbulkan kembali keingintahuan
untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang apa yang
dimaksud dengan dokumen.
Istilah dokumen berasal dari bahasa Latin, documentum
yang erat kaitannya dengan pengajaran dan instruksi. Hingga
abad ke 17, istilah dokumen berarti ce qui sert a` instruire,
enseignement, lec¸on atau sesuatu yang melakukan fungsi
instruksi, mengajar, dan memberi kuliah. Sehingga pada masa
102
itu, pengajaran atau perkuliahan yang dilakukan secara lisan
dianggap sebagai dokumen (Lund & Skare, 2017).
Pada perkembangannya, dokumen mengalami pergeseran
makna menjadi sesuatu yang tertulis dan memberikan bukti
atau informasi dalam berbagai subjek. Dalam pengertian ini,
yang dianggap sebagai dokumen adalah manuskrip, koin,
foto, dan lain-lain (Lund & Skare, 2017). Penekanan pada
aspek material dari dokumen ini dianggap menjadi salah satu
penyebab istilah dokumen menjadi terlupakan khususnya di
Amerika. Dengan teknologi digital, dokumen dianggap tidak
relevan, karena informasi dapat diakses tanpa hambatan fisik
seperti ruang dan waktu. Lund & Skare (2017) membantah
anggapan ini. Menurut keduanya, dokumen digital tetaplah
bersifat fisik sebagaimana dokumen lainnya, hanya bentuknya
saja yang berbeda.
Selanjutnya, dokumen dianggap tidak dapat dilepaskan
dari masyarakat di mana dokumen tersebut berada. Dengan
kata lain, selain aspek material, dokumen juga memiliki aspek
sosial kultural. Pemikiran ini antara lain didasari dari sejumlah
pemikiran para ahli di bidang filsafat seperti Peirce, Foucault, dan
Derrida. Buckland (1997) berpendapat bahwa dengan adanya
tradisi semiotik bahwa objek merupakan tanda, maka sudah
sewajarnya jika pemaknaan dokumen tidak lagi ditekankan
pada aspek materialnya saja, melainkan bagaimana dokumen
tersebut dipersepsikan oleh masyarakat pada lingkungan sosial
yang beragam.
Dalam artikelnya yang berjudul What is a document?
(Buckland, 1997), Michael Buckland juga menjelaskan bahwa
pengertian tentang dokumen masih terbuka untuk didiskusikan
dan dikembangkan khususnya dalam perkembangan teknologi
yang mempengaruhi peralihan dokumen tradisional ke
103
dokumen digital, di mana pada dasarnya segala jenis dokumen
digital seperti pesan elektronik atau laporan tahunan sama-
sama hadir sebagai “a string of bits.” Belasan tahun kemudian,
Bernd Frohmann meninjau kembali pertanyaan Buckland
tentang pengertian dokumen dengan memberikan alternatif
cara memaknai dokumen dalam artikelnya Revisiting ‘What
is a document?’ (Frohmann, 2009). Tulisan ini bertujuan
menjelaskan hubungan di antara kedua pemikiran tersebut
serta sumbangannya dalam pengembangan teori dokumen.
What Is A Document?
Dalam artikelnya, Michael Buckland (1997) mengumpulkan
sejumlah jawaban terhadap pertanyaan “Apa yang dimaksud
dengan suatu dokumen?” berdasarkan pemikiran para ahli,
seperti Paul Otlet, Suzanne Briet, hingga Ranganathan, hingga
sumbangan dari bidang antropologi dan semiotik. Buckland
membangun perkembangan dari dokumentasi di Eropa dan
mengaitkannya dengan diskusi tentang bentuk fisik dari
informasi yang ditulisnya pada artikel Information as thing
(Buckland, 1991).
Secara historis, pada akhir abad ke 19 terjadi peningkatan
jumlah terbitan, khususnya publikasi ilmiah dalam jumlah
yang siginifikan sehingga diperlukan teknik untuk mengelola
publikasi tersebut, seperti mengumpulkan, melestarikan,
menyusun, memberikan deskripsi, menemukan kembali, serta
menyebarkan dokumen. Teknik ini secara tradisional disebut
dengan bibliografi. Namun, di Eropa khususnya, istilah ini
dianggap tidak lagi memadai sehingga diganti dengan istilah
dokumentasi (Buckland, 1997).
104
Walaupun pada praktiknya kebutuhan terhadap
dokumentasi mengalami peningkatan, tetapi Buckland
menyayangkan hanya sedikit yang tertarik untuk menggali lebih
dalam mengenai dokumentasi, khususnya tentang pengertian
dokumen itu sendiri.
Documentation was a set of techniques developed to manage
significant (or potentially significant) documents, meaning, in
practice, printed texts. But there was (and is) no theoretical
reason why documentation should be limited to texts, let alone
printed texts. There are many other kinds of signifying objects
in addition to printed texts. And if documentation can deal with
texts that are not printed, could it not also deal with documents
that are not texts at all? How extensively could documentation
be applied? Stated differently, if the term ‘‘document’’ were
used in a specialized meaning as the technical term to denote
the objects to which the techniques of documentation could be
applied, how far could the scope of documentation be extended.
What could (or could not) be a document? The question was,
however, rarely formulated in these terms. (Buckland, 1997, p.
805)
Paul Otlet merupakan salah satu tokoh yang
mengembangkan pengertian dokumen. Menurut Otlet
(1934), objek dapat dianggap sebagai dokumen jika seseorang
mendapat informasi berdasarkan pengamatannya terhadap
objek tersebut. Walaupun demikian, pengertian Otlet masih
terbatas pada objek sebagai benda dua dan tiga dimensi mati
(Sudarsono, 2016). Pemikiran ini kemudian dikembangkan
oleh Suzanne Briet yang berpendapat bahwa Antelope yang
dipelihara di kebun binatang sebagai bahan pengamatan untuk
pembelajaran merupakan dokumen primer (Briet, 1951).
Dengan demikian batasan pengertian dokumen tidak lagi
105
sekedar sebagai benda dua atau tiga dimensi mati melainkan
juga tiga dimensi hidup (Sudarsono, 2016). Secara spesifik,
(Briet, 1951) mengatakan bahwa dokumen merupakan segala
tanda fisik atau simbolik, dipelihara atau direkam, dimaksudkan
untuk mewakili, merekonstruksi, atau menunjukkan fenomena
fisik atau konseptual.
Selain Otlet dan Briet, Buckland juga menyebutkan
pengertian dokumen menurut Donker Duyvis dan Ranganathan.
Menurut Donker Duyvis (1942) dokumen adalah repositori
dari ekspresi pemikiran manusia. Oleh karena itu, menurut
Buckland, pemikiran Duyvis cenderung kepada sisi kognitif
dari media pesan. Sedangkan Ranganathan (1963) cenderung
melihat dokumen dengan batasan lebih sempit, yaitu bahwa
dokumen merupakan “a record on more or less flat surface.” Oleh
karenanya, Ranganathan menolak jika material audiovisual
seperti televisi dianggap sebagai dokumen.
Sejumlah pemikiran tersebut memiliki persamaan, yaitu
bahwa dokumen merupakan ekspresi dari pengetahuan
atau informasi dalam bentuk material atau fisik. Buckland
berpendapat bahwa yang membedakan pemikiran para
dokumentalis tersebut dengan pandangan kontemporer yaitu
bahwa saat ini pemaknaan dianggap sebagai hasil konstruksi
sosial. Dengan kata lain, apakah signifikansi dan karakter
dokumen sebagai bukti (evidential character) ditentukan oleh
orang yang melihat dokumen tersebut.
106
Bernd Frohmann, seorang pakar dari Fakultas Informasi dan
Studi Media, The University of Western Ontario. Frohmann
terutama tertarik bukan untuk menjawab pertanyaan tersebut,
melainkan justru pada pertanyaan Buckland itu sendiri. Hal ini
dituliskannya dalam artikelnya berjudul Revisiting ‘What is a
document?’ (Frohmann, 2009).
Menurut Frohmann, seseorang dapat melakukan studi
dokumentasi tanpa dibatasi pada pengertian dokumen
dan dokumentasi. Frohmann mendasari pemikirannya
menggunakan kritik Hilary Putnam terhadap konsep dari John
Stuart Mill tentang definisi realis serta konsep filosofi dasar
bahasa. Pada dasarnya, kedua konsep tersebut menyatakan
bahwa di balik bahasa yang kita gunakan sehari-hari selalu ada
“framework of rules” yang menjadi justifikasi penggunaan bahasa
tersebut. Tanpa kerangka aturan tersebut, dikhawatirkan
bahasa menjadi tidak terarah dan komunikasi tidak berjalan
dengan lancar. Demikian pula halnya dengan definisi. Maka
definisi yang baik tidak bersifat arbitrer, melainkan merupakan
hasil dari analisis dan klasifikasi terhadap atribut sehingga
relevan dengan pemahaman ilmiah.
Putnam berpendapat bahwa pertanyaan terkait justifikasi
definisi tidak selalu harus hadir dalam percakapan sehari-hari
(Nagl & Mouffe, 2001). Justifikasi seperti ini biasanya hanya
diperlukan dalam hubungannya dengan situasi empiris dan
filosofis tertentu. Seseorang biasanya tidak akan menanyakan
kepada lawan bicaranya seperti “Kenapa kamu menyebut benda
itu sebagai X?” kecuali orang tersebut memang membutuhkan
pemahaman lebih lanjut tentang definisi dari yang X tersebut
dari lawan bicaranya. Bisa jadi orang tersebut baru pertama
kali melihat benda tersebut, atau ia pernah melihat tetapi
mengenalnya dengan sebutan lain. Frohmann setuju pada
pendapat Putnam. Menurut Frohmann,
107
Our concepts can lack fixity (and to this degree Wittgenstein is
Derridean), what counts as following a rule can be multiple,
yet we still can communicate and speak meaningfully, about
documents and anything else, because there is no general,
inherent ambiguity of language, only specific, contingent
ambiguities for particular speakers under specific conditions.
(Frohmann, 2009, p. 294)
Dengan demikian, kita dapat menggunakan istilah dokumen
dalam situasi yang sama sekali baru tanpa bergantung pada
satu pengertian umum mengenai dokumen dan dokumentasi.
Untuk menjelaskan hal ini, Frohmann menggunakan pendapat
Wittgenstein (1958) tentang menjalin serat benang dengan
serat benang lainnya, sehingga kekuatan benang tidak terdapat
pada beberapa serat tertentu yang panjangnya mencapai
keseluruhan benang melainkan pada tumpang tindihnya serat-
serat tersebut.
Sebagai contoh, konsep dokumen menurut Otlet dan
Briet di mana dokumen merupakan bukti (serat pertama)
dikaitkan dengan konsep dokumen sebagai objek fisik (serat
kedua). Kemudian kedua konsep tersebut dapat kita kaitkan
lagi dengan gagasan bahwa dokumen merupakan produksi
dari pernyataan yang mengandung fungsi pembuktian (serat
ketiga). Selanjutnya, dalam beberapa kasus tertentu, konsep
dokumen sebagai objek fisik dan produksi pernyataan dapat
menuntun kita untuk membatasi dan mengontrol pesan
(serat keempat), seperti dalam “cabinet of curiosities” (suatu
kumpulan dari benda-benda unik yang memancing rasa
kagum dari yang melihat) Dalam hal ini, menurut Frohmann,
konsep dokumen sebagai bukti kehilangan kekuatannya karena
cabinet of curiosities sengaja dipertunjukkan sedemikian rupa
dengan menghindari segala petunjuk bahwa benda-benda yang
108
dipamerkan tersebut memiliki suatu pembuktian tertentu atau
menerangkan sesuatu. Meskipun demikian, benda-benda yang
dipajang dalam cabinet of curiosities dikelola dengan proses
dokumentasi yang sama dengan manusrip, buku, dan tulisan
lainnya sebagai sumber intelektual untuk perkembangan
pengetahuan.
Selain dikelola dengan proses yang sama, “curiosities”
merupakan penanda kelas sosial di Inggris pada abad ketujuh
belas (Swann, 2001 dalam Frohmann, 2009). Pada saat itu
banyak orang dari kelas sosial atas yang mengalami krisis
aristokrasi yang disebabkan kurangnya posisi untuk orang-
orang dari kelas sosial tersebut untuk terlibat dalam jabatan-
jabatan bergengsi. Akibatnya, orang dari kelas sosial atas ini
mencari dan menciptakan cara baru untuk mempertahankan
identitas mereka. Salah satu caranya adalah dengan membeli
dan mengoleksi benda-benda yang unik, langka, dan tidak biasa.
Dengan begini, kalangan sosial atas Inggris ini membedakan
dirinya dengan kelas sosial lain di bawahnya.
Melalui kedua argumen ini, Frohmann menyimpulkan
bahwa meskipun cabinet of curiosities tidak memiliki fungsi
pembuktian sebagaimana lazimnya suatu dokumen, tetapi
karena dikelola dengan proses dokumentasi yang sama
dengan dokumen lainnya, serta memiliki kuasa dokumen,
maka cabinet of curiosities juga merupakan bentuk dokumen.
Selain itu, Frohmann juga menyimpulkan bahwa pertanyaan
“What is document?” yang diajukan Buckland lebih menyerupai
upaya untuk menyebarkan rhizoma, daripada menumbuhkan
sebatang pohon.
109
Kesimpulan
Melalui kedua artikel yang telah dijelaskan, terlihat bahwa
baik Buckland dan Frohmann sama-sama mengkritik dominasi
aspek material dari dokumen dalam perbincangan dalam
ilmu perpustakaan dan informasi. Buckland dan Frohmann
menawarkan perspektif lain, yaitu aspek sosial dalam melihat
dokumen. Buckland (1997) melihat bahwa dokumen bukan
sekedar objek fisik yang mengandung informasi atau pembuktian
tertentu, tetapi relevansi terhadap dokumen itu sendiri
merupakan suatu konstruksi sosial. Sedangkan Frohmann
(2009) memandang bahwa tidak ada satu definisi tunggal dari
dokumen, melainkan dapat dibangun dari argumen-argumen
yang telah ada sebelumnya. Dengan perkembangan ini, diskusi
mengenai pengertian dokumen dan dokumentasi tentu tidak
akan pudar oleh zaman. Sebaliknya diharapkan akan menuntun
kita kepada kemungkinan-kemungkinan baru dalam studi
tentang dokumen dan dokumentasi selanjutnya.
110
Referensi
Borko, H. (1968). Information science: What is it? American
Documentation, 19(1), 3–5. https://doi.org/10.1002/
asi.5090190103
Briet, S. (1951). Qu’est-ce que la documentation. EDIT.
Buckland, M.K. (1991). Information as thing. Journal of the
American Society for Information Science, 42(5), 351–
360.
Buckland, M.K. (1997). What is a “document”? Journal of the
American Society for Information Science, 48(9), 804–
809.
Duyvis, F.D. (1942). Normalisatie op het gebied der documentatie.
NIDER.
Frohmann, B. (2009). Revisiting “what is a document?”
Journal of Documentation, 65(2), 291–303. https://doi.
org/10.1108/00220410910937624
Lund, N.W., & Skare, R. (2017). Document theory. In
Encyclopedia of Library and Information Science (ed. ke-
4, pp. 1372–1380). CRC Press. https://doi.org/10.1081/E-
ELIS4
Nagl, L., & Mouffe, C. (2001). The legacy of Wittgenstein:
Pragmatism or deconstruction. Peter Lang.
Otlet, P. (1934). Traité de Documentation. Editiones Mundaneum.
Ranganathan, S.R. (Ed.). (1963). Documentation and its facets.
Asia Publishing House.
Sudarsono, B. (2016). Menuju era baru dokumentasi. LIPI Press.
111
Swann, M. (2001). Curiosities and texts: The culture of collecting
in early modern England. University of Pennsylvania
Press.
Wittgenstein, L. (1958), in Anscombe, G.E.M. (Ed.),
Philosophical Investigations. Macmillan.
112
Alkimia Dokumen(Tasi) Menuju
Domain Baru Pengalaman
Informasi: Sebuah Tinjauan
Rusdan Kamil
Pendahuluan
113
pada konteks tertentu (misal: ekonomi & politik) pada aspek
sosial. Namun hingga satu dekade kemudian para ilmuwan
lebih asyik membahas pada aspek fisik yang berkaitan dengan
infrastruktur temu balik dan sosial mengenai bagaimana
dokumen memberikan dampak pada masyarakat. Hal ini seperti
yang dilaporkan Buckland (2015) bahwa dalam satu dekade
terakhir berbagai karya yang terbit kurang mengeksplorasi
lebih jauh bagaimana hubungan seorang individu dengan suatu
dokumen pada aspek mental dari teori komplementaritas.
Christine Bruce, dkk (2014) menerbitkan sebuah buku
yang berjudul Information experience: approaches to theory and
practice Mereka membahas bagaimana pengalaman informasi
menjadi domain penelitian baru di bidang perilaku informasi.
Mereka mendefinisikan domain ini sebagai pemahaman
complex, multidimensional engagement with information (p. 4)
yang berfokus pada,
the way in which people experience or derive meaning from the way
in which they engage with information and their lived worlds as
they go about their daily life and work. This goes beyond how they
make meaning from an objective entity identifiable as information,
to consider what informs them and how they are informed,
encompassing the many nuances of that experience within different
cultures, communities and contexts (Bruce, 2014, p.6)
Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menghargai
pengalaman manusia dalam informasi adalah fenomenologi
yang kini mulai marak digunakan. Bahkan pada CoLIS ke-9
di Uspalla menghadirkan sebuah panel khusus membahas
mengenai peranan fenomenologi dalam studi perpustakaan
dan informasi yang diisi oleh Iulian Vamanu, Tim Gorichanaz,
Kierstein Latham dan Ana Soursa pada tahun 2016.
Fenomenologi sendiri secara etimologi berasal dari dua kata
114
Yunani yaitu phenomenon yang memiliki arti kenampakan
dan logos yang memiliki arti pengetahuan atau pendapat.
Fenomeologi berkembang menjadi dua aliran pertama adalah
fenomenologi hermaneutis dan kedua fenomenologi deskriptif
yang keduanya digunakan dalam membedah pengalaman
manusia khusunya dalam disiplin psikologi dan humanior,
metode ini telah digunakan untuk memeriksa hubungan antara
orang dengan objek informasi yang bermanfaat pada kajian LIS
(Vamanu, dkk, 2016).
Dengan sedikitnya literatur mengenai aspek mental
dokumen dan perkembangan domain serta pendekatan
baru pada kajian Library and Information Science, maka Tim
Gorichanaz dan Kierstein Latham menulis sebuah artikel yang
berjudul Document phenomenology: a framework for holistic
analysis. Terbit pada tahun 2016, artikel yang membahas secara
mendalam mengenai bagaimana dokumen itu dapat eksis
(being) dan berkembang (becoming) dalam kehidupan seseorang.
Makalah ini mencoba membahas ulang artikel tersebut serta
melakukan penelusuran lebih lanjut mengenai keberhasilan,
komentar serta perkembangan lebih jauh dari artikel tersebut
sampai lahirnya teori baru yang menghargai pengalaman
manusia sebagai bagian tak terpisahkan dari dokumen(tasi).
Metodologi
Dalam makalah ini sumber data disusun dengan menggunakan
studi literatur. Sumber utama dari tulisan ini adalah artikel
Gorichanaz dan Latham (2016), serta publikasi lain nya yang
relevan dengan topik seputar dokumentasi, pengalaman
informasi dan fenomenologi. Seluruh literatur yang terkumpul
115
dibaca mendalam selanjutnya penulis membuat berbagai
catatan dari setiap bacaan dan disajikan ulang dalam makalah
ini.
Hasil
Hubungan antara dokumen dan proses dokumentasi serta
pengalaman manusia adalah hal yang menarik untuk
terus ditelisik lebih jauh. Latham sebelumnya (2014)
menerbitkan sebuah artikel berjudul Experiencing documents
yang mendiskusikan narrative structure of lived experience,
mengeksplorasi pengalaman pengunjung museum sebagai
transaksi pengalaman orang dengan koleksi (dokumen).
Gorichanaz (2015) selanjutnya mengatakan sebuah objek
informasi hanya akan menjadi dokumen dengan syarat
pengalaman manusia harus ditambahkan sehingga terjadilah
transaksi antara orang-objek. Ketertarikan keduanya pada
aspek pengalaman mendorong mereka untuk memuat sebuah
kerangka holistik mengenai aspek pengalaman dan proses
dokumentasi dalam artikel berjudul Document phenomenology:
A framework for holistic analysis yang diterbitkan di Journal Of
Documentation pada tahun 2016 yang menjadi pertanyaan
pembuka dalam artikelnya adalah
“Do documents exist? Or, perhaps more to the point:
How do documents exist?” Eksisnya sebuah dokumen menjadi
perhatian bagi mereka, yang terbagi dalam dalam dua babak
(act).
Dalam babak pertama mereka mengeksplorasi documental
becoming dengan menggabungkan empat jenis informasi
yang membentuk fusi dengan individu hingga membentuk
sebuah makna. Pada documental becoming setiap aspek pada
116
teori komplementer berubah menjadi informasi yang akan
memberikan makna holistik pada dokumen. Aspek materialitas
Lund berkembang menjadi informasi intrinsik dan Abstrinsic
dokumen, aspek mentalitas Lund berkembang menjadi
informasi Adstrinic dan aspek sosial Lund berkembang menjadi
informasi ekstrinsik yang akan dijelaskan lebih lanjut dibawah.
Dalam babak kedua mereka memeriksa konsep documental being
dengan menyajikan kerangka documental berupa. 1. konsep
dokumen itu sendiri, 2. Bagian-bagian dokumen, 3. Dokumen
sebagai bagian dari sistem. Pembingkaian ini berlaku sama
untuk setiap struktur fenomenologis pada babak (act) pertama.
117
maka kita tidak bisa mengindahkan entitas yang lain. Latham
(2014) telah menyajikan suatu konsep yang menawarkan
kerangka pengalaman dokumen sehingga memunculkan
pengalaman kontinu berupa susunan pengalaman analitis
(efferent) berupa kognitif, logika, dan intelektual di satu sisi
dan susunan pengalaman sintesis (aesthetic) berupa emosional,
spiritual dan holistik. Berikut ini adalah kerangka holistik yang
diajukan oleh keduanya
1. Informasi intrinsik sebagai physical properties yakni
informasi yang disampaikan oleh objek itu sendiri.
Dalam sebuah dokumen, informasi intrinsik
disampaikan melalui properti seperti teks, warna,
bentuk, materi, dan umur. Hal ini menjadikan ruang
dan waktu adalah dimensi mendasar dari informasi
intrinsik.
2. Informasi ekstrinsik sebagai attributed properties
yakni Informasi yang tidak disampaikan oleh objek
tersebut, tetapi muncul dari kajian tentang objek itu
sendiri bersama-sama dengan informasi dari sumber
lain. Informasi ekstrinsik seringkali muncul sebagai
informasi mengenai asal usul dokumen dan tentang
bagaimana objek itu diproduksi atau hadir ke dunia.
3. Informasi abtrinsic sebagai properties related to their
psycho-physiological state, yakni informasi yang dapat
dipahami secara hermeneutik atau merupakan hasil
tafsiran tentang pengalaman orang dengan dokumen.
Informasi abstrinsik ini dimaknai sebagi informasi
emosinal dan atau perasaan ketika seseorang
bertransaksi dengan dokumen.
4. Informasi adtrinstic sebagai properties related to their
past and social life adalah informasi yang bukan berasal
dari dokumen secara langsung, tetapi merupakan
hasil kajian yang muncul dari konteks sosiohistoris
yang berhubungan dengan informasi abstrinstik yang
memicu memori emosional.
118
The Dance of Experience
Dalam deskripsi yang mudah, transaksi dokumen dapat kita
gambarkan sebagai empat jenis informasi yang bersatu dan
diproses oleh orang hingga dibuat menjadi bermakna dalam
suatu tindakan. Dalam arti lain dokumen yang mungkin tidak
disadari oleh individu yang memberikan suatu fakta, seringkali
hadir dengan sendirinya. Ini dihasilkan dari suatu pemaknaan
sebagai tindakaan, yang dapat dirasakan dengan atau tanpa
kesadaran eksternal. Penting untuk dicatat bahwa proses ini
tidak hanya ada dalam dokumen itu sendiri. Tetapi juga dalam
bagian-bagian dokumen serta sistem dokumen.
119
bagaimanakah bagian-bagian ini dianalisis melalui kerangka
pengalaman seorang individu ini? Mereka berdua menyerukan
untuk mempertimbangkan sebuah fenomena yang luas
dapat di framing dari berbagai perspektif tertentu, sehingga
memudahkan proses analisis fenomena dengan berbagai
metode. Pada bagian ini akan dianalisis tiga buah frame yang
membuat fenomena dokumen dianalogikan sebagai sebuah
fraktal yaitu sebuah pola yang dapat dibagi-bagi secara dinamis
membentuk pola yang sama dengan skala yang berbeda dengan
jumlah tak berhingga.
120
Doceme
Konsep yang diperkenalkan oleh Lund (2004) , doceme memiliki
arti adalah bagian dari dokumen, yang dapat diidentifikasi dan
dianalisis meruapakan salah satu bagian parsial dari proses
dokumentasi, yang berarti bahwa dokumen tersusun dari
berbagai doceme, misalkan pada sebuah majalah. Gambar dan
tulisan berfungsi sebagai doceme dan membentuk dokumen
utuh yaitu majalah. Akhiran -eme sekarang digunakan untuk
menggambarkan konsep atomistik/serba materi dalam berbagai
bidang studi, tetapi itu memiliki asal-usul dalam konsep fonem/
bunyi dalam linguistik. Jika kita menganggap seseorang yang
menonton Star Wars: The Force Awakens sebagai dokumen,
banyak sekali doceme yang dapat diidentifikasi. Beberapa di
antaranya meliputi:
• teks pembukaan film (informasi intrinsik)
• pengetahuan tentang film box office yang masih kasar
(informasi ekstrinsik)
• emosi yang dirasakan karena spoiler (informasi
abtrinstik)
• kenangan tinjauan kritis yang dibaca orang sebelum
melihat film (informasi adrinsik)
doc
Gagasan menganai doceme mengarahkan kita pada analisis kata
linguistik lainya seperti phoneme, phone dan phonetic. Maka
akan ada analogi doceme, doc dan docetic yang dijelaskan sebagai
berikut.
• Doc adalah sebuah komponen fisik yang mennyusun
sebuah dokumen yang dihasilkan dari informasi
maupun makna, dia dapat tersusun dari objek maupun
manusia yang berfungsi sebagai informasi intrinsik
121
atau materil sebuah dokumen. Semua aspek material
adalah doc. Mulai dari bentuk, warna, ukuran dan
sebagainya.
• Docetic adalah istilah adjektiva untuk doc yang
dimaknai sebagai analisis yang memungkinkan untuk
mempertimbangkan segala aspek material yang di
masa depan berpeluang menjadi doc. Analisis semacam
ini bermanfaat untuk arsiparis, museum, konservator
serta bibliografer karena memberikan semacam
informasi mengapa objek berubah menjadi dan
berkembang sebagai dokumen dan yang lainnya tidak.
122
diterbitkan oleh DOCAM pada tahun 2017. Dia menganalisis
bagaimana laba-laba dapat berfungsi sebagai dokumen melalui
berbagai informasi fisik dan kontekstual yang diberi makna
oleh aktor manusia (act one), serta bagaimana laba-laba
dieksplorasi sebagai bagian dari komponen dan sistem sosio-
kultural yang terjadi sepanjang waktu historisnya (act two).
Dari keingintahuan inilah laba-laba muncul sebagai pendahulu
kecerdasan buatan dan dia dieksplorasi sangat jauh oleh para
ilmuwan. Artikel ini memberikan gambaran bahwa fenomenologi
dokumen yang dikembangkan berhasil diterapkan dengan baik,
namun hal ini bukan tanpa kritik seperti yang diungkap oleh
Lund dalam panel yang diselenggarakan pada DOCAM 2016
berasama dengan Gorichanaz dan Latham. Kekurangan dari
model ini adalah kurang memperhatikan kerangka temporal
yang mempertimbangkan waktu dan menyoroti media yang
digunakan dalam proses dokumentasi atau aspek fisik (Lund,
Gorichanaz & Latham, 2016)
Untuk menjawab kekuraangan ini, Gorichanaz dalam
disertasi doktoralnya (2018) mengembangkan teori baru
yang dinamai a first person theory of documentation. Dia
menganalisis tiga teori dokumentasi yang berkembang yakni
teori komplementaritas, fenomenologi dokumen dan document
work. Dia menganalisis kekurangan dan kelebihan dari teori-
teori yang ada dan mencoba mensintesisnya menjadi teori
baru. Pengalaman yang dimaksudkan di sini adalah sebagai
sesuatu yang berbeda dialami masing-masing orang dengan
menggunakan perspektif orang pertama dalam proses
dokumentasi.
Dia menganalogikan kerangka pengalaman dokumentasi
ini seperti aliran sungai berbatu yang memiliki bagian hulu
dan hilir, dengan menggunakan metafora Sungai yang
123
memiliki batas, aliran air dan bebatuan. Batas sungai dimaknai
sebagai dasar atau pondasi dokumentasi yang terkadang
dia melebar, menyempit, dangkal serta dalam. Aliran air
adalah proses dokumentasi yang berarus tenang atau berarus
deras. Sedangkan bebatuan membuat jeram disungai adalah
hambatan selama proses dokumentasi. Metafora ini adalah
frame pengalaman dan perilaku dokumentasi dimulai dari
fondasi-proses-hambatan, ini sesuai dengan document work
yang dikembangkan pada eksplorasi seorang ahli taman yang
membuat perencanaan komprehensif mengenai taman Shofuso
Japanese House and Garden di kota Philadelphia (Gorichanaz,
2016).
Air sebagai proses digambarkan sebagai pekerjaan teknis
suatu karya dokumentasi yang juga berfungsi sebagai kerangka
waktu. Dokumen di sini seperti yang dijelaskan pada documental
becoming yang terdiri dari 4 atribut informasi. Sebuah proses
dokumentasi dimaknai sebagai titik tertentu dalam aliran
sungai, media untuk membuat dokumen akan tetap ada (dalam
beberapa bentuk) dan membentuk bergabung menjadi dokumen
(sesuai dengan hukum termodinamika pertama: energi tidak
dapat diciptakan atau dimusnahkan, tetapi energi dapat berubah
bentuk). Hal ini memungkinkan untuk menganalisis pada setiap
proses dokumentasi pada waktu (t) tertentu, di mana seseorang
mengakses pengetahuan untuk memperkaya perspektif selama
melakukan proses dokumentasi sebagai pencarian informasi
(information seeking) yang merupakan bagian dari perilaku
informasi (information behavior) (Gorichanaz, 2018, p. 108).
Batas dari sungai sebagai fondasi dokumentasi dimaknai
sebagai nilai, tujuan dan struktur naratif dari kasus
dokumentasi tertentu. Hambatan sebagai sungai yang memiliki
jeram akan muncul selama proses dokumentasi dan hadir secara
124
objektif atau dalam kata-kata Heidegger (2010) Vorhanden
yang diterjemahkan hadir-di-tangan. Maksudnya kesadaran
seseorang terhadap hambatan selama proses dokumentasi
ini akan terjadi dan menghambat pengalaman dokumentasi.
Proses dokumentasi sebagai air tak dapat dipungkiri akan selalu
menemui jeram hambatan ini (Gorichanaz, 2018).
Kerangka ini mengatasi berbagai hambatan dari teori
yang pernah berkembang, dan menawarkan kerangka kerja
yang holistik dalam memahami kegitan dokumentasi dari
waktu ke waktu. Kerangka ini juga menghargai pengalaman
orang pertama dan menghubungkan berbagai teori yang
berkembang dan terpisah satu sama lain. Dalam disertasinya,
Gorichanaz (2018) mengulas bagaimana perilaku informasi
dan proses dokumentasi 7 orang seniman kota Philadelpia
dalam pembuatan self potrait dan menunjukan keberhasilan
kerangka kerja/teori yang dikembangkan di atas. Dalam
menutup disertasinya dia mengatakan bahwa kerangka kerja
ini sebaiknya diterapkan atau diaplikasikan untuk menganalisis
kasus kasus dokumentasi lain.
Penutup
Seluruh ulasan dalam artikel ini menyajikan berbagai
perkembangan terbaru terkait teori dokumentasi khusunya
berkaitan dengan aspek mental. Artikel ini juga memperkenalkan
domain baru penelitian untuk ilmuwan dan praktisi LIS
Indonesia pada bidang pengalaman dan fenomenologi
informasi yang baru-baru ini mendapatkan perhatian yang luas
dari komunitas ilmuwan LIS di dunia.
125
Referensi
Bruce, C., Davis, K., Hughes, H., Partridge, H., and Stoodley, I.
(Ed.). (2014). Information experience: approaches to theory
and practice (Vol. 9). Emerald. https://doi.org/ 10.1108/
S1876-056220149
Buckland, M.K. (2015). Document theory: An introduction.
Dalam M. Willer, A.J. Gilliland, & M. Tomić (Ed.), Records,
archives and memory: Selected papers from the Conference
and School on records, archives and memory studies,
University of Zadar, Croatia, May 2013, (pp. 223–237).
University of Zadar.
Frohmann, B. (2012), “The documentality of Mme Briet’s antelope”,
in Packer, J. and Crofts Wiley, S.B. (Eds), Communication
Matters: Materialist Approaches to Media, Mobility and
Networks, Routledge, New York, NY, pp. 173-182.
Gorichanaz, T. (2015). For every document, a person: a co-
created view of documents. Proceedings from the Annual
Meeting of the Document Academy, 2(1), 9. https://doi.
org/10.35492/docam/2/1/9
Gorichanaz, T. (2016). A gardener’s experience of document
work in a historical landscape site. Proceedings of the
Association for Information Science and Technology, 53(1),
1-10. https://doi.org/10.1002/pra2.2016.14505301067
Gorichanaz, T. (2018). Understanding self-documentation
[Disertasi Doktor, Drexel University]. http://
timgorichanaz.com/pdf/gorichanaz-dissertation.pdf
Gorichanaz, T. (2019). A first person theory of documentation.
Journal of Documentation, 75(1), 190-212. https://doi.
org/10.1108/JD-07-2018-0110
Gorichanaz, T., & Latham, K.F. (2016). Document
126
phenomenology: a framework for holistic analysis.
Journal of Documentation, 72(6), 1114–1133. https://doi.
org/10.1108/JD-01-2016-0007
Gorichanaz, T., Vamanu, I., Latham, K. F., & Suorsa, A. Here’s
to the things themselves: Outcomes of a discussion
panel on phenomenology in LIS. Di Presentasikan pada
Conceptions of Library and Information Science 9.
Heidegger, M. (2010). Being and time. Suny Press.
Latham, K. F. (2014). Experiencing documents. Journal of
Documentation, 70(4), 544–561. https://doi.org/10.1108/
JD-01-2013-0013
Lund, N. W., Gorichanaz, T., & Latham, K. F. (2016). A
discussion on document conceptualization. Proceedings
from the Document Academy, 3(2), 1. DOI: https://doi.
org/10.35492/docam/3/2/1
Lund, N.W. (2004). Documentation in a complementary
perspective. Dalam R.W. Boyd (Ed.), Aware and responsible:
Papers of the Nordic-international colloquium on social and
cultural awareness and responsibility in library, information
and documentation studies (SCAR-LID) (pp. 93–102).
Scarecrow Press.
Munson, S. N. (2017). The spider: Anaylsis of an automaton.
Proceedings from the Document Academy, 4(2), 1. https://
doi.org/10.35492/docam/4/2/1
Schutz, A. (1972). The phenomenology of the social world.
Northwestern University Press.
Sudarsono, B. (2016). Menuju era baru dokumentasi. LIPI Press.
Wood, E. and Latham, K.F. (2014). The objects of experience:
Transforming visitor-object encounters in museums. Left
Coast Press.
127
128
Bagian III
129
130
Arkeologi Dokumen:
Kontribusi Pemikiran Michel
Foucault Terhadap Gerakan
Dokumentasi Baru
Suprayitno
Pendahuluan
131
lama dengan analisis diskursus inilah yang disebut dengan
metode arkeologi, mirip dengan konotasi kerja arkeologi atau
kepurbakalaan yang mengekskavasi tanah untuk mengungkap
lapisan-lapisan (stratigrafi) kebudayaan sehingga arsip
yang akan digali dianggap sebagai situs arkeologis material
(Giannachi, 2016, p. 47).
Peneorian dokumen oleh para profesional dilakukan
pada awal abad ke-20 dengan tokoh terkenalnya seperti Paul
Otlet dan Suzanne Briet. Dengan pendekatan Eropa, kedua
tokoh ini berusaha menumbuhkembangkan konsep dokumen
dan dokumentasi. Namun, pasca-Perang Dunia II, konsep
“informasi” terlihat mulai menjadi buzzword yang lebih laku
dibanding “dokumentasi” seiring berkembangnya teknologi
“informasi” yang menghasilkan kemudahan cetak dan salinan
“dokumen,” khususnya di Amerika.
Pada arkeologi Foucault, konsep dokumen menjadi menarik
didiskusikan karena konsep ini banyak dibahas oleh berbagai
disiplin. Salah satu disiplin yang fokus pada dokumen adalah
Ilmu Perpustakaan dan Informasi/Library and Information
Science (LIS). Sebelum membahas pengertian dokumen dalam
perspektif arkeologinya Foucault, penulis terlebih dahulu akan
membahas perjalanan sejarah teori dokumen dan dokumentasi
dalam bidang LIS.
132
fungsi pengajaran dan instruksi, yang juga meliputi alat peraga,
model, ceramah. Bahkan, tindakan lisan seperti pidato pun
dianggap sebagai dokumen. Perubahan makna dokumen yang
lebih mementingkan sesuatu yang tertulis (written) terjadi
ketika memasuki era modern di Prancis. Pada abad modern
tersebut, dokumen dipahami sebagai pengetahuan tertulis dan
isinya benar. Penyematan pada dokumen sebagai yang tertulis,
“historical testimony” atau “evidence” ini terutama datang dari
sejarawan dari aliran positivis sehingga konotasinya merujuk
pada truth and objectivity, sebagai lawan dari monumen, yang
konotasinya adalah intensionalitas (Ceserani, 2019), yakni
adanya kesadaran yang masih mengacu pada maksud dan
tujuan tertentu.
Setelah terjadi Revolusi Prancis, dokumen saat itu
memainkan peran penting karena digunakan sebagai alat
legitimasi politik, ekonomi, hukum, dan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, legitimasi ini sangat tergantung kemampuan
aktor dalam mendokumentasikan hak-hak dan klaim mereka
(Lund & Skare, 2017).
Legitimasi hukum banyak digunakan dalam bidang
kearsipan sehingga aspek penting yang ditekankan adalah
preservasi dan autentisitas dokumen. Dari sinilah diplomatika
sebagai akar dari ilmu kearsipan lahir karena saat itu banyak
bertebaran dokumen palsu yang disalahgunakan untuk
kepentingan politik, terutama untuk mendapatkan klaim
keturunan dari bangsawan (Duranti, 1998). Legitimasi hukum
pada kearsipan ini juga sangat terkait dengan pengutamaan
penggunaan arsip sebagai sumber primer dalam penulisan
sejarah (historiografi). Pengutamaan dokumen di atas yang lain
sebagai satu-satunya sumber sejarah ini nantinya dikritik oleh
sejarawan kritis dari mazhab Annales di Prancis yang memperluas
133
cakupan dokumen tidak sebatas dokumen resmi pemerintah,
tetapi juga tinggalan arkeologi, bangunan arsitektur, figuratif,
teks sastra dan monumen. Perluasan cakupan dokumen di
luar arsip tersebut oleh Le Goff disebut sebagai “revolusi
dokumenter.” Tokoh-tokoh pendukung revolusi dokumenter
ini antara lain sejarawan mazhab Annales seperti Lucien Febvre
dan Marc Bloch, ahli sastra Paul Zumthor, dan termasuk filsuf
Michel Foucault (Ceserani, 2019), meskipun nantinya Foucault
tetap menolak untuk merujuk dokumen atau peristiwa sejarah
ke konsep total hubungan sosial, serta kritik terhadap semua
sejarah yang bersandar pada asumsi Platonis tentang kebenaran
abadi (Lord, 2007, hlm. 362).
Pada legitimasi ilmu pengetahuan, konteks zaman yang
mendominasi saat itu adalah pendekatan positivisme yang
mengedepankan objektivitas proses dan hasil penelitian.
Dengan demikian, hasil/produk ilmiah ini banyak dihimpun
oleh perpustakaan dengan pendekatan ilmiah pula. Salah
satu syarat ilmiah adalah bahwa produk dokumentasi harus
terekam sehingga bila dilakukan verifikasi keilmuan dapat
dibuktikan secara objektif. Kegiatan dokumentasi modern
pertama dimotori oleh Henry La Fontaine bersama Paul Otlet
(1868-1944) yang membuka International Office of Sociological
Bibliography pada tahun 1983, dan selanjutnya dikembangkan
lagi menjadi International Institute of Bibliography (IIB) pada
tahun 1895. Di IIB ini mulailah digunakan sistem klasifikasi
Dewey/Dewey Decimal Classification (DDC). Pendirian IIB ini
awalnya memang untuk tujuan pragmatis untuk memudahkan
kerja intelektual/keilmuan dengan mimpinya Otlet kelak
menjadi semacam “mesin penjelajah ruang dan waktu” (Otlet,
1990 dalam Lund & Skare, 2017). Seiring berjalannya dinamika
keilmuan saat itu, Paul Otlet mulai memikirkan definisi
dokumen yang saat itu hanya terbatas yang tertulis, citra,
134
dan rekaman suara, menjadi meluas dengan dimasukkannya
objek alam, artefak, model, spesimen, permainan, dll. menjadi
cakupan definisi dokumen. Bagi Otlet, dokumen adalah
apa pun yang memiliki fungsi representasi dan evidensial
(Rayward, 2016). Mimpi Paul Otlet saat itu adalah menjadikan
dokumentasi seperti Universal Book yang di dalamnya berisi
juga fungsi-fungsi dokumentasi pustaka, arsip, dan museum
dengan model yang tersentral (Lund & Skare, 2017).
Tokoh dokumentasi lainnya adalah Suzanne Briet (1894-
1989). Sama seperti Paul Otlet, Briet terkenal kontribusinya
dalam dokumentasi juga berangkat dari upaya praktis
memecahkan apa sebenarnya yang disebut dokumen. Dalam
upayanya menjawab pertanyaan tersebut, Briet menerbitkan
buku kecil pada tahun 1951 yang merupakan sejenis manifesto:
“Qu’est-ce que la documentation?” (What is documentation?) (Briet,
1951, 2006). Dokumen didefinisikan oleh Briet sebagai bukti
yang mendukung fakta (2006, hlm. 9). Sebenarnya, Briet sendiri
mengakui bahwa definisinya masih menimbulkan problem
teoretis, terutama bila dihadapkan dengan pendekatan yang
dipakai oleh ahli bahasa dan filsafat yang selalu mendasarkan
pemikirannya pada logika dan minutia (Lund & Skare, 2017).
Karena pengaruh pemikiran ahli bahasa dan filsafat,
Briet mendefinisikan ulang dokumen menjadi “any concrete or
symbolic indexical sign [indice], preserved or recorded towards the
ends of representing, of reconstituting, or of proving a physical
or intellectual phenomenon” (2006, hlm. 10). Definisi ini mirip
dengan definisi semiotik Charles S. Peirce (1839-1914) yang
menjelaskan tanda (sign), yang dilihat secara triadik: ikon,
indeks, dan simbol. Dari sini tampak bahwa Briet menganggap
dokumen di satu sisi sebagai tanda yang bersifat konkret, di sisi
lain sebagai tanda simbolik. Hal ini dijelaskan dari pertanyaan
135
yang terkenal akan bintang, dan binatang. Apakah bintang dan
seekor kijang (antelope) merupakan dokumen? Tentu tidak.
Akan tetapi, foto dan katalog bintang dan seekor kijang, dan
binatang yang dikatalog dalam kebun binatang merupakan
dokumen (Briet, 2006, hlm. 10). Objek konkret (seekor kijang
dalam kebun binatang) adalah dokumen primer (concrete
sign/initial document) yang memiliki ciri koneksi fisik dengan
objek yang direpresentasikan, sementara dokumen sekunder
(second documents) adalah turunan dari dokumen primer yang
dapat beraneka ragam bentuknya, seperti katalog, rekaman
suara, monograf tentang kijang, artikel tentang kijang dalam
ensiklopedia, dsb.
Dokumen sekunder inilah yang disebut dengan tanda
simbolik yang tidak memiliki kaitan langsung dan kaitan fisik
dengan dokumen primer, tetapi sebaliknya tergantung dengan
pikiran subjektif dan interpretatif para dokumentalis. Dalam
totalitasnya, dokumen sekunder menciptakan jenis budaya
baru bagi ilmuwan, pusat dokumentasi yang dijalankan oleh
dokumentalis yang menjalankan kerja dokumentasi (Briet, 2006,
hlm. 11). Lund & Skare (2017) menjelaskan teknik budaya baru
dalam dokumentasi ini dengan pernyataan bahwa pekerjaan
yang tepat bagi lembaga dokumentasi adalah memproduksi
dokumen sekunder yang diturunkan dari dokumen-dokumen
primer yang tidak diciptakan oleh lembaga-lembaga ini pada
umumnya, tetapi terkadang mereka lestarikan. Inilah yang
disebut dengan inti profesi dokumentalis. Lebih lanjut, Briet
menjelaskan bahwa dokumen sekunder bisa dinamai dengan
sebutan: terjemahan, analisis, buletin dokumenter, files,
katalog, bibliografi, dosir, foto, mikrofilm, seleksi, ringkasan
dokumenter, ensiklopedia, dan alat bantu temu kembali/finding
aids (2006, hlm. 25-26).
136
Di dalam museum, apa pun dapat menjadi dokumen,
“anything can be a document; nothing is a document before it is
considered as a document (Martinez-Comeche, 2000, dalam Lund,
2009, hlm. 12). Dalam museum, proses menjadi dokumen ini
dapat didekati dengan proses musealisasi (musealization), yaitu
proses ilmiah yang meliputi kegiatan utama dalam museum:
preservasi (seleksi, akuisisi, manajemen koleksi, konservasi);
penelitian (termasuk cataloguing); dan komunikasi (melalui
pameran, publikasi, dsb.) (Desvallées & Mairesse, 2010, hlm.
51). Musealisasi ini merupakan momentum maupun proses
ketika suatu objek/koleksi museum ditransformasikan dari
satu keadaan/fungsi awal ke keadaan/fungsi baru untuk
menyebarkan pengetahuan sehingga museum berfungsi
sebagai repositori pengetahuan tentang objek. Oleh karena itu,
objek yang telah dimusealisasi akan kehilangan fungsi awalnya
dan berubah menjadi sumber ikonik pengetahuan ketika objek
tersebut dikoleksi oleh museum (Maranda, 2009, p. 253).
Sebagai contoh, sebuah sepeda yang disimpan di museum.
Sebelum masuk museum, fungsi awal sepeda adalah sebagai
alat transportasi. Setelah masuk menjadi koleksi museum
maka pertama-tama akan mengalami proses musealisasi
(dengan proses penilaian dan kajian tertentu) sehingga ketika
dikomunikasikan untuk penyebaran pengetahuan, baru ia
menjadi dokumen. Relasi musealisasi dalam museum mirip
dengan kegiatan penilaian (appraisal) dalam kearsipan dalam
menentukan suatu status dokumen menjadi arsip statis
(archives). Dalam kajian warisan budaya, kegiatan musealisasi
ini juga dekat hubungannya dengan heritagisasi (Desvallées
& Mairesse, 2010, hlm. 50), yakni proses menjadikan objek
sebagai warisan budaya.
Sama seperti Paul Otlet, pemikiran Suzanne Briet terhadap
teori dokumen dianggap spesial yang bertujuan mempromosikan
137
bidang profesi baru karena menjadikan perpustakaan sebagai
pusat dokumentasi yang proaktif. Pada satu sisi, pendekatan
Briet berbeda dengan Paul Otlet. Bila Paul Otlet lebih suka
pada model sentralisasi, Briet justru menekankan pada model
desentralisasi dokumentasi serta mementingkan diversitas
dokumen sekunder yang menurunkan dokumen pertama/
primer/inisial (Lund & Skare, 2017).
Gambaran singkat pemikiran Otlet dan Briet di atas oleh
pemikir gerakan dokumentasi baru dianggap sebagai gerakan
dokumentasi pertama yang masih mendominasi pada lembaga-
lembaga dokumenter. Seiring dengan pendekatan ilmu
pengetahuan yang multidisipliner, teori dokumen generasi
pertama kini mulai banyak dikembangkan oleh teoris gerakan
dokumentasi baru lewat berbagai disiplin ilmu, mulai dari
filsafat, ilmu sosial humaniora, hingga teknologi informasi
dan komunikasi. Sudarsono (2016) dalam upayanya mengikuti
gerakan dokumentasi baru ini mengatakan bahwa awal mula
gerakan dokumentasi baru dimulai sejak tahun 2003 ketika
diadakan pertemuan The Annual Meeting of the Document
Academy, (DOCAM). Studi dokumentasi berupaya merayakan
tradisi dokumen, tidak sekadar seperti pada bidang LIS yang
cenderung fokus pada teknologi, tetapi juga merambah bidang
studi lain yang menggunakan “dokumen” dalam arti luas sebagai
titik tolak, mulai masalah properti dokumen digital (Levy,
2001), sampai bidang-bidang lainnya seperti antropologi (Riles,
2006), sastra dan film (Skare, 2010), kelisanan (Turner, 2009),
medical informatics/telemedicine (Olsen dkk., 2012), museum
(Latham, 2012), dan filsafat (Ferraris, 2012).
Tokoh-tokoh pemikir dalam gerakan dokumentasi baru
ini antara lain, selain tokoh utamanya Rayward, Buckland, dan
Lund, adalah Joacim Hansson, Bernd P. Frohmann, Maurizio
138
Ferraris, G.E.A. Pleshkevich; Ronald E. Day, dll. Teoris-teoris ini
kini cenderung bergeser pemikirannya dari mempermasalahkan
aspek materialitas menjadi aspek sosial. Pendekatan pada aspek
sosial dalam melihat teori dokumen ini disebut dengan teori
dokumen kritis. Teori dokumen kritis berkembang utamanya
dalam tradisi kritis dan Marxis pada filsafat, sosiologi, dan
antropologi (Lund & Skare, 2017). Para teoris kritis dari Marxist
dan fenomenologis ini mengkritik praktik dekomentasi saat
itu karena terlalu mengagung-agungkan (fetisisasi) teknologi
kapitalis (Riles, 2006, hlm. 6) dan sekaligus menandai hilangnya
kuasa (power) teori dokumen profesional, khususnya di dunia
Anglofon, dengan munculnya teori informasi sebagai basis
transformasi ilmu dokumentasi menjadi ilmu informasi (Lund
& Skare, 2017, hlm. 1375).
Salah satu pemikir terkenal dalam teori dokumen kritis
adalah Foucault itu sendiri, lewat karyanya Arkeologi. Dari
sini, Foucault mengembangkan pemikiran sejarah dengan
memperkenalkan teori dokumen umum yang melihat dokumen
bukan pada isi atau pesan, tetapi lebih kepada peran aktif dan
peran material sebelumnya pada dokumen sebagai batu bata
pembentuk bangunan totalitas sejarah. Pergeseran fokus kerja
arkeologinya Foucault ini sampai membuat Gilles Deleuze
(1986) menjuluki Foucault sebagai the new archivist. Foucault
menunjukkan bahwa teori dokumen kritis ini selain dapat
digunakan dalam kajian sejarah, juga sebagai alat kritis terkait
masyarakat modern secara umum.
139
seperti kata ruko untuk akronim rumah toko) oleh para ahli,
susah untuk digolongkan pada bidang keilmuan serta aliran
filsafat tertentu bila dibandingkan, misalnya, dengan ilmuwan
sosial lain yang telah diterima umum. Misalnya, Claude Levi-
Straus sebagai tokoh antropologi, Louis Althusser dengan
teori Marxis-nya, atau Jacques Lacan dengan psikoanalisisnya
(Hardiyanta, 2016). Teori Foucault banyak membahas relasi
kekuasaan dan pengetahuan, pengawasan masyarakat (kontrol
sosial) lewat institusi kemasyarakatan, seperti penjara,
rumah sakit umum, dan rumah sakit jiwa. Banyak orang yang
menyematkan Foucault sebagai pemikir pascastrukturalis dan
pascamodernis, meskipun Foucault sendiri menolak pelabelan
tersebut.
Buku Archaeology of Knowledge bukan satu-satunya yang
membahas tentang arkeologi karena buku ini merupakan
keberlanjutan dari buku sebelumnya yang secara eksplisit juga
menggunakan istilah arkeologi, yaitu The Birth of the Clinic dan
The Order of Things sehingga lewat 3 karya terhadap metode
penyingkapan tersebut, pendekatan Foucault ini terkenal
dengan istilah arkeologi.
140
Foucault pada mesin pencari Google, sampai tanggal 19 Agustus
2019 ini, ada 50.100.000 tohokan terkait Foucault.
Bila disiplin lain sudah banyak menyitir pemikiran Foucault,
bagaimana dengan bidang ilmu perpustakaan dan informasi/
Library and Information Science (LIS)/Studi Dokumentasi?
Menurut Olsson (2010), bidang LIS termasuk terlambat dalam
menggunakan pemikiran Foucault ini. Dikatakan oleh Olsson
bahwa selama ini LIS didominasi oleh Amerika yang fokus pada
perilaku pencarian dan proses mental para pencari informasi
individu. Paradigma penelitian ini, dengan kecenderungan
positivisnya, sangat jauh berbeda dari benua tempat karya
Foucault dikembangkan. Salah satu konsekuensi dari ini
adalah bahwa fokus, penggunaan bahasa, dan pengetahuan
yang diasumsikan pada karya Foucault tidak sama dengan
kebanyakan peneliti dan praktisi LIS, dan akibatnya karya
Foucault sulit ditafsirkan dan dihargai dalam LIS (hlm. 63).
Penelitian tentang pengaruh karya Foucault dalam LIS juga
telah dilakukan oleh Dewey (2015), dalam tesisnya yang berjudul
Use and Nonuse of Michel Foucault’s The Archaeology of Knowledge
and The Order of Things in Archival, Library, and Information
Science Journal Literature, 1990-2015: Reflections on How Foucault
Became a Foucauldian Discursive Formation. Ringkasan tesis
ini juga sudah dimuat di Journal of Documentation Volume 72
Nomor 3, tahun 2016. Temuan Dewey ini menjelaskan bahwa
karya Foucault, terutama Archaeology of Knowledge dan The
Order of Things¸ yang semula dianggap (dalam hipotesis awal)
banyak diwacanakan dalam jurnal-jurnal kearsipan, LIS, dan
ilmu informasi, ternyata sedikit digunakan dalam jurnal-jurnal
tersebut. Kalaupun ada, penjelasannya relatif singkat, tidak
jelas, dan berlalu begitu saja. Pendek kata, karya-karya Foucault
yang sudah lama dianggap sentral dan mendasar dalam analisis
141
diskursus, tampak relatif sedikit digunakan dalam pembahasan
diskursus pada bidang Archival, Library, and Information Science.
Sehubungan dengan tulisan Olsson (2010) dan Dewey
(2015) di atas, penulis bermaksud mengaitkan dengan
pemikiran para neo-documentalists yang menjadikan dokumen
sebagai titik pusat pewacanaan tersebut. Banyak orang yang
menyebut bahwa filsafat Amerika adalah filsafat pragmatisme,
sementara Eropa lebih kepada idealisme. Penulis berpendapat
bahwa pendekatan bidang LIS di Amerika, yang oleh
Olsson (2010) dianggap cenderung lebih suka pendekatan
positivis, dapat dikatakan lebih menyukai pendekatan filsafat
pragmatisme, sementara Eropa, banyak yang mengikuti aliran
Idealisme. Perbedaan kecenderungan LIS di Amerika Utara
dan Eropa juga oleh Lund & Skare (2017) dicirikan dengan
lebih mementingkan aspek pragmatis oleh Amerika dengan
pemberian akses sebesar-besarnya kepada publik, sementara
LIS di Eropa lebih mementingkan pengembangan teori dan
kegiatan preservasi. Bila dikaitkan dengan sejarah gerakan
neodokumentasi, penulis melihat ada upaya gagasan teori
dokumen dikembalikan ke Eropa. Misalnya, jalinan pemikiran
awal dari Paul Otlet, terus dikembangkan oleh Suzanne Briet,
dalam waktu yang lama baru disadari oleh Amerika (khususnya
Buckland dan Rayward) dan akhirnya bersama Niels Windfeld
Lund dari Universitas Tromsø mendirikan DOCAM.
Relasi pragmatis dan idealis ini memang tidak perlu
dipertentangkan karena keduanya saling melengkapi. Bila kita
melihat sejarah lahirnya Documentation Studies di Universitas
Tromsø yang didirikan oleh Lund, faktor pemicunya justru dari
hal pragmatis yakni karena adanya tuntutan kebutuhan pasar.
Selain itu juga karena adanya amanat Undang-Undang Deposit
yang baru tahun 1989 yang secara eksplisit menyatakan bahwa
142
semua publikasi, apa pun formatnya harus didepositkan. Oleh
karena itu, konsep yang dianggap tepat untuk mewadahi kriteria
koleksi apa pun adalah dokumen, bukan informasi. Penggunaan
konsep dokumen ini mendorong Lund untuk lebih ekstensif
meneorikannya lewat Documentation Studies di Universitas
Tromsø, yang sebenarnya konsep dokumen ini sudah
dikembangkan oleh pendahulunya, Paul Otlet dan Suzanne
Briet, yang terrnyata sejalan dengan pemikiran Lund itu sendiri
(Sudarsono, 2016). Studi dokumentasi itu sendiri tumbuh
dari ilmu perpustakaan (library science) pada akhir abad ke-19.
Hanya saja, bila ilmu perpustakaan dan informasi memiliki
fokus teknologi yang jelas, studi dokumen(tasi) memungkinkan
untuk mendamaikan teknologi dengan manusia, baik individu
maupun sosial. Dengan cara ini, studi dokumen menarik dan
menguntungkan berbagai disiplin akademis tradisional, dari
studi komunikasi dan filsafat ilmu hingga studi humaniora dan
museum. DOCAM sendiri merupakan dokumen tradisi baru
dalam studi dokumen(tasi), menghargai keragaman perspektif
ini dan mendorong kolaborasi yang inovatif dan holistik di
antara para peneliti, praktisi, dan publik.1
Buku Arkeologi ini memang lebih banyak berbicara mengenai
historiografi, dan tidak aneh kalau di dalamnya juga membahas
konsep-konsep dokumen, monumen, dan arsip. Ketiga
konsep ini dalam disiplin keilmuan juga menjadi objek kajian
bidang arsip, ilmu perpustakaan dan informasi serta kajian
dokumentasi. Dengan demikian, tulisan ini akan menjelaskan
arti dokumen, monumen, dan arsip menurut Foucault, yang
memang berbeda dengan pandangan teoris dan praktisi arsip,
perpustakaan dan ilmu informasi, serta studi dokumentasi.
143
Dasar Filsafat Sejarah Tradisional
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa Arkeologi mengkritik
sejarah tradisional yang memandang sejarah sebagai rentetan
(seri), yang mengedepankan keberlanjutan (continuity).
Pendekatan sejarah dengan cara pandang ini bisa disebut
sebagai Sejarah Tradisonal/Lama. Untuk mudah memahami
nalar berpikir pendekatan tradisional, penulis memberikan
contoh dengan penerapan museum sejarah yang dibahas oleh
Timadar (2011). Alasannya adalah contoh ini mudah dipahami
dalam membedakan pendekatan tradisional dengan pendekatan
sejarah baru yang nantinya ditawarkan oleh Foucault.
Dalam memahami Arkeologi, perlu dijelaskan terlebih
dahulu tentang kritik Foucault tentang sejarah selama ini.
Sejarah yang dikritik oleh Foucault ini biasa disebut sebagai
sejarah tradisional, sedangkan yang ditawarkan oleh Foucault
adalah sejarah baru. Pada sejarah tradisional, ciri yang menonjol
adalah adanya cara pandang bahwa rentetan peristiwa berjalan
secara berkelanjutan/kontinu dan waktu dilihat secara linear
secara teratur dengan dikaitkan bahwa masa kini merupakan
totalitas dari masa sebelumnya sehingga puncak peristiwa
sekarang ini adalah dikondisikan sebagai yang terbaik.
Dengan demikian, sejarah dalam pandangan tradisional masih
mengutamakan hukum sebab akibat. Untuk memahami lebih
mudah gambaran sejarah ini, penulis menggunakan ilustrasi
museum sejarah beserta koleksinya seperti yang dijelaskan oleh
Lord (2007).
Museum sejarah pada umumnya menggunakan koleksinya
sebagai alat untuk menyampaikan pesannya kepada pengunjung
tentang pentingnya sejarah. Koleksi ini dapat disamakan dengan
dokumen. Lord (2007) menjelaskan bahwa museum sejarah
dalam pandangan sejarah tradisional dilihat dengan cara model
144
lama, yaitu platonik dan hermeneutika. Pada model platonik,
ciri utamanya adalah rekognisi dan rekoleksi (recognition and
recollection). Pada recognition, objek adalah contoh khusus dari
konsep universal, dan kita mengakui yang universal tersebut
melalui perjumpaan-perjumpaan dengan yang khusus. Sebuah
tombak (spear), misalnya, adalah contoh objek khusus dan kita
mengakui suatu konsep universal bahwa tombak merupakan
alat perang atau penanda perang secara umum, yang baik secara
sadar maupun tidak kita sudah tahu apa itu makna tombak.
Oleh karena itu, makna universal dianggap sebagai sesuatu
yang rasional. Objek dianggap memiliki makna tunggal, sebagai
pembawa memori dari yang universal dan yang mewakili
sehingga untuk mengungkapkan makna harus dibutuhkan
suatu ingatan (recollection). Dalam konteks museum sejarah yang
menggunakan model lama ini, sebagian besar koleksinya (bisa
juga diartikan dokumennya) cenderung menampilkan koleksi
pilihan sebagai representasi suatu masa yang memungkinkan
pengunjung untuk mengaitkannya dengan konsep-konsep
universal. Untuk bisa memahami suatu objek dibutuhkan
pengetahuan akan masa lalu yang membutuhkan memori.
Dengan demikian, dapat diartikan bahwa objek merupakan
pembawa memori (Lord, 2007, hlm. 356).
Kedua, model hermeneutika. Hermeneutika merupakan seni
menginterpretasikan teks dengan maksud mengaitkan maksud
pengarangnya sebagai konteks historisitasnya. Sebagai ilmu
tentang penafsiran, hermeneutika sebenarnya sudah dipakai
sejak Abad Pertengahan. Dalam periode ini, hermeneutika
digunakan sebagai teori penafsiran Alkitab. Namun, dalam
perkembangannya, hermeneutika berkembang dan diterapkan
untuk metode ilmu-ilmu sosial (Geisteswissenschaften), dengan
tokoh-tokoh terkenalnya seperti Schleiermacher dan Wilhelm
Dilthey. Hermeneutika pun terus berkembang dengan beragam
145
bentuknya dan memunculkan tokoh-tokoh seperti Martin
Heidegger, Paul Ricoeur, Hans-Georg Gadamer, dll. (Lubis,
2015).
Lebih lanjut, Lubis (2015) menjelaskan bahwa hermeneutika
terbagi menjadi tiga jenis/kelompok. Pertama, hermeneutika
teoretis. Kelompok ini fokus pada upaya mencari makna sesuai
dengan maksud penulis atau penggagas teks. Tokoh-tokohnya
adalah Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey. Kedua, adalah
hermeneutika filsafat. Hermeneutika ini tidak mencari makna
objektif (sesuai dengan maksud pengarang aslinya) karena
adanya keyakinan bahwa dalam aktivitas menafsirkan ada
pertemuan atau perjumpaan antara pembaca dan teks. Di sini
diasumsikan bahwa ketika berjumpa dengan “teks,” pembaca
atau penafsir sebetulnya telah memiliki prasangka/prejudice
sehingga hermeneutika ini justru hendak memproduksi makna
baru. Tokoh-tokohnya adalah Martin Heidegger dan Hans-Georg
Gadamer. Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini tidak
bertujuan mencari pemahaman yang sesuai maksud pengarang,
juga tidak ingin memproduksi makna baru. Hermeneutika ini
melihat teks dengan sikap curiga (kritis) karena melihat teks
tidak sebagai sesuatu yang bebas dari kepentingan (hegemoni
dan dominasi). Dengan kata lain, teks bisa saja menyelusupkan
ide-ide atau kesadaran palsu. Tokohnya antara lain Jürgen
Habermas (Lubis, 2015, hlm. 256-257).
Hermeneutika yang banyak dipakai di museum adalah
hermeneutika milik Hans-Georg Gadamer. Menurutnya, masa
lalu yang dihadirkan kembali bukan lagi dalam arti sesuatu
yang sudah diketahui, melainkan membuat sesuatu pada masa
kini dengan cara memutar ulang (replay) ingatan masa lalu yang
sudah diketahui (Gadamer, 2004, dalam Lord, 2007, hlm. 357).
Pengunjung museum biasanya dibuat dapat memahami masa
146
lalu dengan cara mengaitkannya dengan masa lalu lewat kondisi
yang dirasakan pengunjung untuk saat ini (Lord, 2007, hlm.
358). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ciri model
lama ini adalah recognition, recollection, and replay.
Model lama di atas dikritik oleh Lord (2007) dengan
mengenalkan model baru yang mendasarkan pemikirannya
dengan pendekatan Foucault. Bagi Foucault, pemahaman
harus dipisahkan dari rekognisi, rekoleksi, dan memori, dan
berpihak pada pemahaman yang “mengganggu”, tidak stabil
dan menolak identitas yang tetap. Objek tidak lagi menjadi
alat memori dan alat pengetahuan untuk membentuk identitas
yang diasumsikan (hlm. 363).
... documents have been used, questioned, and have given rise to
questions; scholars have asked not only what these documents
meant, but also whether they were telling the truth, and by what
right they could claim to be doing so, whether they were sincere or
deliberately misleading, well informed or ignorant, authentic or
tampered with. But each of these questions, and all this critical
concern, pointed to one and the same end: the reconstitution,
on the basis of what the documents say, and sometimes merely
hint at, of the past from which they emanate and which has now
disappeared far behind them; the document was always treated
as the language of a voice since reduced to silence, its fragile, but
possibly decipherable trace (Foucault, 2002, hlm.7).
Foucault menolak objek yang selalu dikaitkan dengan
sumber tunggal yang menggiring pemaknaan universal. Sejarah
dalam konteks Arkeologi berpijak pada filsafat akan pemutusan
subjek karena subjektivitas hanya akan membawa pada
dominasi (Firmansyah, 2003, hlm. 94). Pemutusan subjek ini
disebut dengan diskontinuitas, yang memiliki ciri-ciri retakan
(rupture), ambang batas, seri dan transformasi. Tugas sejarawan
147
adalah justru harus mengungkap proses keterputusan tersebut.
Sejarah tidak lagi mengharuskan penggiringan pada penemuan
akar identitas, tetapi berkomitmen pada pencarian yang hilang
tersebut.
Dengan menggunakan pendekatan Arkeologi milik
Foucault, Lord (2007) menawarkan model baru dalam museum
sejarah. Model baru ini adalah model yang menggunakan aliran
filsafat pascastrukturalis Foucault dalam memperlakukan
benda sejarah (baca: dokumen). Objek tidak lagi menjadi alat
memori dan alat pengetahuan untuk membentuk identitas
yang diasumsikan. Sebaliknya, objek/dokumen memproduksi
pengetahuan.
Timadar (2011) berpendapat bahwa model pengetahuan
yang digagas oleh Foucault adalah model Wikipedia, bukan
Encyclopedia of Britanica/America, dsb. Museum sebagai
ensiklopedia berarti bekerja untuk mengategorikan,
mengklasifikasikan, dan menata dunia ke dalam totalitas
universal dalam lingkup dan pemahaman universal. Oleh
karena itu, dalam model ensiklopedia, museum mempunyai
misi untuk menyebarkan pengetahuan dalam sebuah institusi
yang dikendalikan dan dipantau (hlm. 100). Model ini mirip
dengan Universal Book yang diimpikan oleh Paul Otlet yang
mengedepankan pengetahuan yang tersentral dan total.
Impian Otlet akan Universal Book, yang mengedepankan
“fakta” yang terkandung dalam dokumen ini, menjadikan Otlet
dianggap sebagai pendukung positivisme. Rayward (1994)
mengatakan bahwa pemikiran Paul Otlet harus ditempatkan
dalam konteks paradigma positivisme Thomas Samuel Kuhn
(1922-1996) abad ke-19.
Otlet’s primary concern is not with the document or the text or
with the author. It was also not with the user of the system and
148
his or her needs or purposes. Otlet’s concern was for the objective
knowledge that was both contained in and hidden by documents.
His view of knowledge was authoritarian, reductionist, positivist,
simplistic, and optimistic! (Rayward, 1994, hlm. 247).
Bernd Frohmann juga menilai bahwa positivismenya Otlet
juga tampak pesan yang diusungnya, yaitu “konten epistemik
dokumen” (2004, hlm. 36).
Otlet’s story of the Universal Book is an epistemic narrative writ
large, and perhaps the most radical reification of information
before our contemporary musings about digital information as
pure thought. The monographic principle, according to which a
book’s ‘facts’ are extracted without loss—indeed, with great gain—
displays in starkest relief the idea of information as the epistemic
content of documents. The criterion of identity for Otlet’s ‘facts’ is
epistemic: if it contributes to knowledge, then it is extracted and
recorded on a card (Frohmann, 2004, hlm. 39-40).
Sebaliknya, dalam model Wikipedia, pengetahuan tidak
hanya menjadi hak para ahli semata, tetapi juga memberikan
peluang kepada kontributor bukan ahli untuk berpartisipasi
mengemukakan pendapatnya. Dengan demikian, istilah Foucault
matinya pengarang/subjek/sejarawan dapat diterapkan dalam
Wikipedia dengan istilah tiadanya dominasi pengarang tunggal.
Semua kontributor diberi hak yang sama. Bukan objektivitas
yang dicari, karena hal itu tidak mungkin. Dalam Wikipedia,
subjektivitas A, B, C, dan seterusnya tidak menjadikan kita lagi
berpikir subjektif, melainkan trans-subjektif (Timadar, 2011,
hlm. 100). Dalam konteks museum, peran kurator bukan sebagai
pendikte kebenaran, tetapi diserahkan oleh pengunjung/
visitor untuk mengonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Bila
dikaitkan dengan tokoh dokumentasi, model dokumentasi ini
selaras dengan yang dijelaskan oleh Briet yang menghendaki
149
desentralisasi dokumentasi serta mementingkan diversitas
dokumen sekunder yang menurunkan dokumen pertama/
primer/inisial (Lund & Skare, 2017). Contoh penggunaan
Wikipedia dari pandangan Briet ini sejalan dengan inti dari
Wikipedia itu sendiri yaitu kolaborasi antara “Neutral Point of
View” (NPOV) and good faith (Reagle Jr., 2010, hlm. 45).
Istilah arkeologi Foucault selalu disandingkan dengan
istilah genealogi. Bila arkeologi pengetahuan berkonotasi
dengan analisis diskursus, genealogi bermakna lebih dalam dan
luas karena selalu dikaitkan dengan relasi kuasa. Bagi Foucault,
relasi pengetahuan dan kuasa selalu melengkapi. Di mana ada
pengetahuan, di situ pasti ada kuasa. Hanya saja, kuasa di sini
bukan dalam arti kuasa yang dipahami pemikir sebelumnya
sebagai sesuatu yang mendominasi, dan dimiliki pemegang
kekuasaan, serta konotasinya negatif yang menindas, tetapi
juga pengawasan masyarakat yang difungsikan oleh pranata
disiplin seperti rumah sakit jiwa, penjara, sekolah, serta dalam
bentuk pengetahuan (knowledge) yang diyakini kebenarannya
(Madasari, 2019, hlm. 23).
Bahasan tentang analisis diskursus sebagai praktik
arkeologi akan dijelaskan di bawah ini, yang sebelumnya harus
dijelaskan terlebih dahulu prinsip-prinsip penting arkeologi
serta term-term penting dalam arkeologinya Foucault, seperti
statement, discourse, discursive formation, document, dan archive.
Prinsip-Prinsip Arkeologi
Berikut ini merupakan prinsip-prinsip arkeologi seperti
diuraikan oleh Foucault (2002, hlm. 156-157):
1. Arkeologi tidak mendefinisikan pemikiran, representasi,
citra, tema yang diungkap dalam diskursus, tetapi
150
diskursus itu sendiri, yang dipraktikkan menurut aturan
tertentu. Arkeologi tidak memperlakukan diskursus seperti
dokumen, sebagai sesuatu yang lain, sebagai elemen yang
harus transparan, tetapi diskursus sebagai yang masih
harus diungkap, diskursus peduli dengan suatu monumen,
dan bukan suatu disiplin interpretatif. Arkeologi menolak
menjadi “alegoris.”
2. Arkeologi tidak berusaha menemukan kembali transisi yang
kontinu dan tak terindra yang mengaitkan diskursus yang
menghubungkan dengan diskursus lainnya. Sebaliknya,
arkeologi menentukan diskursus dalam kekhususannya;
menunjukkan dengan cara apa diskursus mengatur yang
operasinya tak dapat direduksi menjadi aturan lainnya.
Arkeologi bukan semaca “doxology,” melainkan suatu
sistem diferensial modalitas diskursus.
3. Arkeologi tidak diatur sesuai figur mapan ouvre. Arkeologi
tidak mencoba menjangkau moment tempat ouvre
itu muncul pada horizon yang anonim. Ia juga tidak
berkeinginan menemukan kembali poin enigmatik ketika
individu dan masyarakat saling berinversi. Arkeologi bukan
suatu psikologi/sosiologi/antropologi penciptaan. Ouvre-
nya bukan untuk arkeologi, melainkan menggantinya
dalam konteks totalnya atau dalam jaringan kasualitas
yang mendukungnya. Otoritas subjek kreatif, sebagai
raison d’etre dan prinsip kesatuannya, dengan demikian
menjadi agak asing bagi ouvre tersebut.
4. Arkeologi tidak berusaha mengembalikan apa yang telah
dipikirkan, diharapkan, dituju, dialami, dan diimpikan oleh
manusia pada momen tertentu yang diekspresikan dalam
diskursus. Arkeologi tidak berusaha mengulang apa yang
telah dikatakan dengan menjangkaunya dalam identitas
sebelumnya. Arkeologi bukan usaha kembali kepada asal-
usul yang paling rahasia; ia adalah deskripsi sistematis
suatu objek-diskursus.
151
Analisis Diskursus Arkeologi
Istilah arkeologi dalam buku Arkeologi ini tidak merujuk pada
disiplin arkeologi yang berkaitan dengan penggalian situs
purbakala secara makna denotatif, tetapi secara konotatif, yaitu
metode kerja “penggalian” lapisan-lapisan diskursif. Untuk
memahami Arkeologi, perlu dijelaskan bahwa Foucault hendak
mengkritik historiografi sebelumnya yang disebut dengan
historiografi tradisional. Pandangan tradisional mengenai
sejarah adalah bahwa sejarah dilihat sebagai totalitas dan terus
berlanjut. Tema paling dominan pada sejarah tradisional adalah
tema-tema besar sehingga sejarah memang terkesan untuk
orang-orang yang menang. Kita tahu bahwa sejarah besar dalam
pandangan tradisional biasanya berbicara pada hal-hal yang
besar, entah itu tokoh, maupun peristiwa/event. Tokoh atau
peristiwa besar ini sering disebut sebagai monumen.
Sebagaimana diketahui, penulisan sejarah/historiografi
tidak bisa mengabaikan sumber penulisan sejarah, terutama
dokumen dan arsip. Dalam Arkeologi ini, kata dokumen disebut
22 kali, dokumentasi 4 kali, 6 kali untuk monumen, dan arsip ada
25 kali. Dalam pandangan tradisional ini, historiografi dilihat
dari monumen menjadi dokumen. Sejarah dianggap sebagai
mengingat monumen masa lalu, bertransformasi menjadi
dokumen-dokumen, yang selanjutnya dokumen-dokumen
tersebut dirangkai oleh sejarawan menjadi pernyataan dan
diskursus yang selalu dikaitkan dengan diskursus utama seperti
sejarah nasionalisme, sejarah tokoh besar, dan para pemenang
dan alurnya mengutamakan keberlanjutan (continuity) dan
totalitas.
Inilah yang dikritik oleh Foucault. Bagi Foucault, sejarah
yang selalu dikaitkan dengan tema-tema besar dan selalu
merujuk kepada masa lalu, selalu berujung pada dominasi dan
152
mementingkan kepentingan pihak-pihak tertentu. Pemikiran
ini memang ciri khas dari pascamodernis yang menentang
sumber pertama/privilese tertentu. Foucault, sebaliknya, lebih
menyukai sejarah orang-orang biasa, dan sejarah masa kini. Bagi
Foucault, individu/orang-orang biasa ini (baik yang dibesarkan
oleh dokumen sejarah maupun yang dilupakan) sebenarnya
adalah produk yang tak terpisah dari penggelaran episteme yang
menguasai struktur pikir mereka. Dengan demikian, individu
yang dibesarkan oleh dokumen sejarah sekalipun adalah sosok
yang secara regulatif dibentuk oleh kesadaran episteme yang ia
diami. Arkeologi, dengan demikian, bekerja pada bagaimana
episteme mampu mematrikasi kebenaran tunggal dalam pikiran
setiap individu (Firdaus, 2002).
Arkeologi dalam melihat monumen, tidak berusaha melihat
monumen yang singular, melainkan hanya pada monumen
tertentu saja. Arkeologi membaca pernyataan individu sebagai
monumen dan karena itu juga melihat adanya diskursus jamak
yang menjadi bagiannya (Walker, 2018). Arkeologi pengetahuan
membedakan antara pernyataan (statement), diskursus
(discourse), dan formasi diskursif (discursive formation).
Pernyataan/Statements
Pernyataan (statement) adalah atom atau unit terkecil dari
diskursus. Pernyataan adalah elemen material dalam formasi
diskursif. Ia bisa berupa kalimat, dokumen, atau keseluruhan
buku. Pernyataan ini tidak mengacu pada konsep/ide dalam
pikiran seseorang. Contoh gampangnya, tulisan ini. Untuk
melihat sebagai pernyataan, tulisan ini jangan dilihat tentang
Foucault. Tulisan ini disebut sebagai pernyataan karena muncul
dalam konteks formasi diskursif tertentu. Dengan kata lain,
tulisan ini ada karena dalam rangka menjadi Antologi Ilmu
153
Dokumentasi Baru, yang rencana awalnya akan diterbitkan
pada bulan April 2019. Tentu saja, bersamaan dengan jenis
pernyataan lainnya, seperti artikel teman-teman lainnya.
Pernyataan ini penting karena akan membentuk formasi
diskursif tentang masalah yang sudah ditentukan. Jelasnya,
masalah yang ditentukan tersebut, katakanlah Antologi Ilmu
Dokumentasi Baru, muncul dalam konteks dirinya, bukan
konteks lainnya. Terkait konteks, penulis berpendapat bahwa
hal ini sejalan dengan teori kearsipan karena sejatinya arsip itu
tidak mementingkan informasi/isi/tentang apanya, melainkan
bukti (evidence) mengapa arsip itu ada. Hal ini pernah ditegaskan
oleh Acland (1992) bahwa “the pivot of archival science is evidence,
not information.”
Perlu digarisbawahi bahwa Foucault tidak membahas
tentang apakah pernyataan/dokumen/artikel ini benar
atau salah. Analisis arkeologi Foucault terhadap pernyataan
merupakan suatu perspektif gambaran syarat/kondisi teks ini
muncul. Hal lainnya yang menarik perhatian Foucault adalah
bahwa formasi diskursif yang material juga memiliki dampak
material. Sebagai contoh, bila tulisan ini nantinya menjadi salah
satu bab (chapter) dalam Antologi Ilmu Dokumentasi Baru, maka
tulisan ini akan dibaca oleh banyak orang. Apa kemungkinan
yang terjadi selanjutnya? Banyak kemungkinan yang terjadi.
Tulisan/statement/dokumen tersebut bisa memberi dampak
kepada pembaca lain, misalnya menyebabkan orang lain
mengembangkan tulisan tersebut, menyitir tulisan tersebut
sehingga tulisan pertama tersebut berpotensi melahirkan
dokumen lain. Dengan demikian, tulisan yang muncul pada
Antologi Ilmu Dokumentasi Baru berdampak secara signifikan
pada produksi dan penampakan (appearance) pernyataan/
dokumen lainnya. Hal ini tampaknya sejalan dengan istilah
primary and secondary document yang dibahas oleh Briet.
154
Proses reproduksi dan sirkulasi dokumen ini terjadi karena
pernyataan/dokumen tersebut bersifat real, memiliki aspek
material, dan dengan demikian berpotensi secara fisik untuk
bersirkulasi di antara para pembaca. Sebaliknya, para pembaca
memiliki kapasitas untuk memanipulasi, menggunakan,
mentransformasi, menukarkan, menggabungkan, menyusun,
dan bahkan memusnahkannya (Foucault, 2002).
Diskursus (Discourse)
Diskursus adalah finalnya, sekumpulan pernyataan yang sudah
terumuskan. Diskursus adalah arsipnya analis diskursus.
Akan tetapi, diskursus bukanlah struktur dan tidak berada
pada tataran yang berbeda dari pernyataan. Pernyataan tidak
memanifestasi dirinya sebagai suatu struktur diskursif.
Dengan demikian, diskursus adalah suatu aktivitas/praktik
yang dipantik terlebih dahulu oleh seseorang atau pengarang,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Foucault sendiri: “We shall
call discourse a group of statements in so far as they belong to the
same discursive formation” (Foucault, 2002, hlm. 117).
155
dokumen, dan bersifat nyata. Buku tentang filsafat pada suatu
perpustakaan akan ditata pada suatu rak dan ditempatkan
pada kelas filsafat. Dalam pendekatan Arkeologi, yang menjadi
fokusnya bukanlah buku ini isinya tentang apa, tetapi mengapa
buku tersebut ditata/diatur/ditempatkan pada kelas filsafat,
bukan seni. Akhirnya menuju pada pertanyaan mendasar
seperti: Mengapa kita melakukan pembagian ilmu seperti sains,
seni, filsafat, dll.? Dari mana asal pembagian ilmu tersebut?
Apa yang melatarbelakangi aturan seperti ini? Bagaimana
aturan-aturan ini bisa dipertanyakan? Jawaban seperti ini
biasanya tidak lepas dari diskursus kuasa dan pengetahuan.
Di mana ada pengetahuan, di situ pasti ada kuasa. Inilah yang
disebut dengan formasi diskursif, yang ingin dibongkar oleh
Foucault. Dengan kata lain, Foucault berusaha mengeksplorasi
kehadiran eksternal suatu dokumen dalam diskursus, bukan
pengungkapan yang internalnya (Upward, 2005, hlm. 209).
Contoh lain tentang formasi diskursif adalah upaya
“penertiban bahasa” pada era Orde Baru. Pada tahun 1988,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) dan Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI). Bila kita melihat dokumen tersebut sebagai
dokumen, atau tentang apakah dokumen tersebut maka yang
jawaban didapat hanya dokumen tentang tata Bahasa Indonesia.
Pustakawan barangkali hanya fokus pada isinya dan klasifikasi
bahasa semata. Arsiparis barangkali akan fokus pada isi dan
asal-usul dokumen tersebut dibuat. Namun, bila dilihat dari
perspektif Foucauldian meskipun sama-sama dokumennya,
akan dibongkar mengapa TBBBI dan KBBI tersebut ada dan
menjadi formasi diskursif dengan metode analisis diskursus.
Hal yang perlu diketahui adalah bahwa analisis diskursus
bukanlah analisis teks. Foucault, sebagaimana dijelaskan dalam
156
Andersen (2003) dalam menjelaskan analisis diskursusnya
berbeda dengan analisis teks, dengan mencontohkan pada
sebuah buku. Outline suatu buku tidak muncul begitu saja.
Tidak ada buku yang lahir dengan kuasa dirinya sendiri,
melainkan karena kondisi dan relasi kondisionalnya dengan
buku lainnya. Keberadaan buku karena adanya suatu relasi atau
jaringan. Buku selalu membawa suatu sistem referensi dengan
buku, teks, serta kalimat lainnya, serta struktur referensi yang
begitu kompleks dan heterogen, tergantung kepada apakah kita
sedang berkaitan dengan suatu disertasi tentang fisika, koleksi
pidato politik, atau bahkan novel fiksi ilmiah. Memang, buku
hadir dengan sendirinya dalam bentuk objek yang tangible,
tetapi unit yang tangible itu adalah variabel yang sifatnya relatif,
tidak membiarkan dirinya sendiri dikonstruksi atau dinyatakan
sehingga tidak dapat dijelaskan di luar yang diskursif (hlm. 9).
Kembali kepada contoh TBBBI dan KBBI. Dalam analisis
diskursus tersebut, ada konteks yang tidak boleh dicerabut,
yaitu era Orde Baru. Konteks ini bisa disebut dengan episteme.
Episteme merupakan sistem pemikiran atau nalar logika yang
mengendalikan dasar pemikiran dan perkembangan ilmu
pengetahuan pada setiap zaman. Epsiteme ini mirip dengan
paradigma yang dijelaskan oleh Thomas Samuel Kuhn. Menurut
Foucault, adalah penting untuk mengungkap episteme yang
tersembunyi dalam diskursus tertentu. Dengan demikian,
bila kita ingin mengetahui mengapa suatu episteme bisa
mendominasi pada era tertentu, maka telusurilah asal-usul dan
dasar pemikiran episteme tersebut. Cara kerja pembongkaran
arkeologi yang membongkar ini sama dengan cara kerja
dekonstruksinya Derrida (Lubis, 2014). Pembongkaran di
balik TBBBI dan KBBI ternyata ada kuasa di balik dokumen
tersebut, yakni upaya membuang paham sosialisme Soekarno
dalam dokumen-dokumen sejarah. TBBBI dan KBBI yang
157
dihidupkan oleh Soeharto adalah kuasa secara halus di balik
upaya mengatur penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan
benar, ada upaya kepentingan menghilangkan konsep/kosa
kata berbau sosialisme dan komunisme. Hal ini terbukti bahwa
semenjak Orde Baru berkuasa, banyak kata dalam diskursus
Orde Lama tidak muncul lagi. Misalnya, kata “revolusi”,
“kontra revolusi”, “antek-antek kapitalis-kapitalis”, “Nasakom”,
“Manipol Usdek” telah berganti dengan kata “pembangunan”,
“anti pembangunan”, “stabilitas nasional”, “penataran” dan
lain-lain sehingga bahasa dapat dilihat sebagai “arena politik”
(Hoed, Widjojo & Noersalim, 2004, hlm. 3, 202).
Foucault kerap dianggap sebagai tokoh pascastrukturalis
dalam kajian semiotik, yang dipertentangkan dengan Ferdinand
de Saussure (1857–1913) yang strukturalis. Formasi diskursif
bukanlah sistem linguistik yang diidealkan sebagaimana yang
diusulkan oleh Ferdinand de Saussure. Bagi Foucault, formasi
diskursif adalah real dan konkret, seperti halnya urutan buku
dalam rak perpustakaan atau kalimat pada suatu artikel.
Dengan demikian, formasi diskursif adalah entitas yang dapat
dilihat, disentuh, dialami karena susunan ini terdiri atas objek
material seperti buku (Radford, 2005).
158
“formasi diskursif” (hlm. 130), hukum pertama tentang apa
yang dapat dikatakan (the first law of what can be said), sistem
umum formasi dan transformasi pernyataan (general system
of the formation and transformation of statements). Dengan
demikian, metode arkeologi menjelaskan diskursus (discourses)
sebagai praktik-praktik yang dikhususkan dalam elemen arsip
(hlm. 147).
Diskursus terkadang merupakan domain umum dari
semua pernyataan (statements), terkadang sebagai sekelompok
pernyataan yang dapat diindividualisasikan, dan terkadang
juga sebagai aturan praktik dari sejumlah pernyataan. Dengan
demikian, diskursus adalah sekelompok pernyataan dalam
suatu sistem tunggal formasi; sehingga kita dapat mengatakan
diskursus klinik, diskursus ekonomi, diskursus sejarah alam, dan
diskursus psikiater (Foucault, 2002, hlm. 121). Setiap diskursus
mengandung kuasa (power) untuk mengatakan sesuatu lain
daripada yang sebenarnya dikatakan; ada suatu multiplikasi
petanda yang terkait dengan penanda tunggal. Contoh TBBBI
dan KBBI di atas sekiranya bisa menggambarkan adanya relasi
kuasa dan diskursus atau pengetahuan ini. Teori kritis dari
Foucault (dan juga Derrida) dalam bidang LIS di Indonesia juga
sudah ada yang menggunakannya (lihat misalnya oleh Anugrah,
2016; Fitriani, 2018; Haikal, 2015; Laugu, 2013; Lawanda,
2019; Mayesti, 2019; Putra, 2019; Saifuddin, 2014; Sugihartati,
2019; Suprayitno, 2017; dan Umam, 2017).
Dari pembahasan di atas, istilah dokumen dan arsip sama-
sama diartikan sebagai formasi diskursif. Hanya saja, istilah
dokumen lebih secara eksplisit diartikan sebagai sesuatu yang
real/memiliki aspek fisik, sementara arsip lebih diartikan secara
metaforis sebagai hukum/law. Foucault menggunakan istilah
arsip (the archive) secara lebih luas yang merujuk pada any body of
159
resources, apa pun mediumnya, untuk membuat suatu argumen.
Penggunaan makna arsip secara metaforis ini sama dengan
pendekatan semiotika dengan pandangan pascastrukturalis
(Suprayitno, 2017).
Simpulan
Selama ini, konsep dokumen beserta turunannya, baik buku,
rekod, maupun arsip dalam kajian kearsipan, ilmu perpustakaan
dan informasi, banyak dilihat dari segi isinya tentang apa. Bila
pustakawan dan dokumentalis yang menanganinya, biasanya
akan dikaitkan dengan klasifikasi kelasnya, seperti DDC
sehingga membantu pengguna menemukan informasi tentang
sesuatu itu dengan cepat. Bila arsiparis, mereka akan fokus pada
isinya tentang apa dan unit mana yang menciptakan (prinsip
asal-usul) sehingga dalam melayani pengguna selalu pada
prinsip tersebut. Perspektif semacam itu masih memandang
dokumen lebih pada aspek fisik.
Seiring dengan gencarnya gerakan neodokumentasi,
dokumen kini menjadi sentral kedudukannya sehingga neo-
dokumentalis melihat dokumen baik dari dimensi fisik,
mental, dan sosial (Buckland, 2016). Aspek fisik adalah
melihat dokumen sebagai fisik, buku sebagai buku yang terdiri
atas kumpulan halaman kertas yang dijilid dengan deskripsi
bibliografisnya. Begitu juga arsip, bila dilihat sekadar fisik, ia
hanya didefinisikan sekadar rekaman informasi yang dibuat
dan diterima dalam rangka menjalankan fungsi organisasi,
dan sebagainya. Pada aspek mental, hal ini seperti yang pernah
dibahas oleh Suzanne Briet, yang mendefinisikan dokumen
sebagai bukti yang mendukung fakta (Briet, 1951/2006, hlm.
9). Pandangan ini mirip semiotik yang melihat dokumen
tergantung dari perspektif mental seseorang yang menganggap
160
dokumen sebagai penanda (sigifying something). Pada aspek
sosial, dokumen dilihat dari berbagai jaringan yang saling
berkepentingan, dan ini yang paling banyak menarik dari kajian
sosial dan humaniora. Foucault adalah salah satu yang tertarik
dengan pendekatan sosial kritis yang biasa dikenal dengan
pendekatan atau perpektif Foucauldian.
Meskipun objeknya sama, sama-sama fisik, dalam perspektif
Foucault, dokumen dilihat dari analisis diskursus. Dokumen
diartikan sebagai bagian diskursus yang merepresentasikan
suatu event sejarah. Dokumen tidak dilihat dari aspek material
semata, tetapi jauh melampaui pada kondisi dokumen itu
berada dengan menggunakan aspek sosial lewat kerja arkeologi
yang bersifat membongkar dan menelisik retakan-retakan
dan keterputusan yang ada (melalui analisis diskursus).
Analisis diskursus ini mengajak teoris dan praktisi bidang
kearsipan, LIS, dan studi dokumentasi untuk berpikir kritis.
Bila selama ini mereka lebih fokus pada tentang apa dokumen
tersebut, maka dengan analisis diskursus bisa memperlakukan
dokumen tersebut jauh melampaui (beyond) pada sekadar isinya
tentang apa, tetapi mengapa dokumen tersebut membentuk,
formasi-formasi apa yang menyebabkan dokumen tersebut
diwacanakan. Tentu saja, pemikiran Foucaut ini akan semakin
memperkaya perspektif secara teoretis pada teori dokumen
sehingga memperkuat bahwa “dokumen/arsip” yang secara fisik
dan real menjadi objek keseharian para arsiparis, pustakawan
dan dokumentalis tidak sekadar didominasi oleh teoris-teoris
humaniora saja, tetapi mereka juga mampu melihat mengapa/
ada apa di balik materi tersebut dengan kerja arkeologi dalam
upaya menelisik yang tersirat di balik yang tersurat, aspek sosial
di balik yang material. Menurut penulis, jejaring yang ikut
membentuk pemaknaan suatu dokumen bisa dilihat pada teori
Acto-Network-Theoy dari Latour (2007) dan Arkeologi Media
dari Huhtamo dan Parikka (2011).
161
Dengan menggunakan kritik Foucault atas sejarah
tradisional, perspektif Foucauldian dalam melihat dokumen
bisa membantu akademisi dan praktisi bidang LIS untuk dapat
lebih besikap kritis terhadap apa itu dokumen. Dokumen tidak
diterima begitu saja bahwa isinya adalah sesuatu yang sudah
terberikan, tetapi akademisi dan praktisi LIS punya spirit
kebebasan untuk mengonstruksinya lewat praktik-praktik
diskursif.
162
Referensi
Acland, G. (1992). Managing the record rather than the relic.
Archives and Manuscripts, 20(1), 57-63.
Andersen, N.Å. (2003). Discursive analytical strategies:
Understanding Foucault, Kosseleck, Laclau, Luhmann. UK:
The Policy Press.
Anugrah, E.P. (2016). Perkembangan Wacana tentang Citra
Perpustakaan di Internet. https://pdfs.semanticscholar.
org/2113/d65d09de8a15eb16a4d1e0d706eca08cbaf5.
pdf.
Briet, S. (1951, 2006). What is documentation? English translation
of the classic French text. Lanham: Scarecrow Press. http://
info.slis.indiana.edu/~roday/what is documentation.pdf
Buckland, M. (2016). The physical, mental and social dimensions
of documents. Proceedings from the Document Academy,
3(1), Article 4. https://doi.org/10.35492/docam/3/1/4
Ceserani, R. (2019). The difference between “document”and
“monument”. Dalam C. van den Bergh, S. Bonciarelli,
& A. Reverseau (Eds.), Literature as Document: Generic
Boundaries in 1930s Western Literature (hlm. 15-27).
Leiden: Brill.
Deleuze, G. (1986). Foucault (Sean Hand, penterj.). Minneapolis:
University of Minnesota Press.
Desvallées, A. & Mairesse, F. (Eds.). (2010). Key concepts of
museology. Armand Colin.
Dewey, S.H. (2015). Use and nonuse of Michel Foucault’s the
archaeology of knowledge and the order of things in archival,
library, and information science journal literature, 1990-2015:
reflections on how Foucault became a Foucauldian discursive
163
formation. [Tesis, UCLA] Electronic Theses and Dissertation.
https://escholarship.org/uc/item/2jj0s1r6.
Duranti, L. (1998). Diplomatics: New uses for an old science.
Lanham: Scarecrow Press.
Ferraris, M. (2012). Documentality: Why it is necessary to leave
traces. Fordham University Press.
Firdaus, A. (2002). Membumikan Foucault dalam pikiran
positivis kita. Gerbang: Jurnal Studi Agama dan Demokrasi,
12(V), 167-199.
Firmansyah, J. (2003). Arkeologi pengetahuan: Studi tentang
pemikiran Michel Foucault dan pengaruh bagi Mansour Faqih
terhadap diskursus modernisasi (Sebuah kajian filsafat).
[Tesis, Universitas Indonesia].
Fitriani, D.N. (2018). Relasi kuasa kebijakan Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia dalam mendukung penerapan
DDC di Indonesia. [Tesis, Universitas Indonesia].
Foucault, M. (2002). The archaeology of knowledge (A.M.S. Smith,
penerj.). Edisi Revisi. London: Routledge.
Frohmann, B. (2004). Deflating information: from science studies
to documentation. Toronto: University of Toronto Press.
Giannachi, G. (2016). Archive everything: Mapping the everyday.
England: MIT Press.
Haikal, M. (2015). Dekonstruksi wacana censorship pada teks
Antologi Kepustakawanan Indonesia. [Skripsi, Universitas
Negeri Syarif Hidayatullah].
Hardiyanta, P.S. (2016). Michel Foucault disiplin tubuh: Bengkel
individu modern. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
164
Hoed, B.H., Widjojo, M.S., & Noersalim, M. (2004). Bahasa
sebagai arena pertarungan: Sebuah pendahuluan. Dalam
M.S. Widjojo & M. Noersalim (Ed.), Bahasa negara versus
bahasa gerakan mahasiswa: Kajian semiotik atas teks-teks
pidato Presiden Soeharto dan selebaran gerakan mahasiswa
(hlm. 1-31). Jakarta: LIPI Press.
Huhtamo, E., & Parikka, J. (Ed.). (2011). Media archaeology:
Approaches, applications, and implications. Univ of
California Press.
Latham, K.F. (2012). Museum object as document: Using
Buckland’s information concepts to understand museum
experiences. Journal of Documentation, 68(1), 45-71.
Latour, B. (2007). Reassembling the social: An introduction to
actor-network-theory. Oxford: OUP.
Laugu, N. (2013). Representasi kuasa, ideologi, kontestasi,
perpustakaan perguruan tinggi Islam, UIN Sunan Kalijaga,
UII, UMY, Yogyakarta. [Disertasi, Universitas Gadjah
Mada].
Lawanda, I.I. (2019). Kerahasiaan pribadi berkomunikasi di
media sosial. Dalam Laksmi, dkk. (Ed.), Buku antologi
kajian dalam bidang ilmu perpustakaan dan informasi:
filosofi, teori, dan praktik (hlm. 199-215). Jakarta: ISIPII
Press.
Levy, D.M. (2001). Scrolling forward: Making sense of documents
in the digital age. New York: Arcade Publishing.
Lord, B. (2007). From the document to the monument:
Museums and the philosophy of history. Dalam S.J.
Knell, S. MacLeod & S. Watson (Ed.), Museum Revolutions:
How Museums Change and Are Changed (hlm. 355-366).
Canada: Routledge.
165
Lubis, A.Y. (2014). Postmodernisme: Teori dan metode. Jakarta:
Rajawali Pers.
Lubis, A.Y. (2015). Pemikiran kritis kontemporer: Dari teori
kritis, culture studies, feminisme, postkolonial hingga
multikulturalisme. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Lund, N.W. (2009), Document Theory. Annual Review of
Information Science and Technology, 43(1), 1–55. https://
doi.org/10.1002/aris.2009.1440430116
Lund, N.W. dan Skare R. (2017). Document Theory. Dalam
J.D. McDonald dan M. Levine-Clark, Encylopedia of
Library and Information Science, ed. ke-4. CRC Press.
https://www.routledgehandbooks.com/doi/10.1081/E-
ELIS4-120053306
Madasari, O. (2019). Genealogi sastra Indonesia: Kapitalisme,
Islam, dan sastra perlawanan. http://www.okkymadasari.
net.
Maranda, L. (2009). Museology, back to the basics:
Musealization. Dalam A. Desvallées (Ed.), Museology:
Back to Basics, ICOFOM Study Series, Issue 38 (hlm. 251-
258). Musée royal de Mariemont.
Mayesti, N. (2019). Critical discourse analysis dalam riset ilmu
perpustakaan dan informasi. Dalam Laksmi, dkk. (Ed.),
Buku antologi kajian dalam bidang ilmu perpustakaan
dan informasi: filosofi, teori, dan praktik (hlm. 135-152).
Jakarta: ISIPII Press.
Olsen, B. I., Lund, N.W., Ellingsen, G., & Hartvigsen, G. (2012).
Document theory for the design of socio‐technical
systems: A document model as ontology of human
expression. Journal of Documentation, 68(1), 100-126.
DOI: 10.1108/00220411211200347.
166
Olsson, M.R. (2010). Michel Foucault: Discourse, Power/
Knowledge, and the Battle for Truth. Dalam G.J. Leckie,
L.M. Given, dan E. Buschman (Ed.), Critical theory
for library and information science (hlm. 63-74). Santa
Barbara: Libraries Unlimited.
Putra, P. (2019). Information seeking in library: Study of the
thinking of Michel Foucault. MetaKom: Jurnal Kajian
Komunikasi, 3(1), 75-93.
Rayward, W.B. (Ed.). (2016). European modernism and the
information society: Informing the present, understanding
the past. London: Routledge.
Radford, G.P. dan Radford, M.L. (2005). Structuralism,
post-structuralism, and the library: de Saussure and
Foucault. Journal of Documentation, 61(1), 60-78. DOI:
10.1108/00220410510578014.
Rayward, W.B. (1994). Visions of Xanadu: Paul Otlet (1968–
1944) and hypertex. JASIS, 45, 235–250.
Reagle Jr., J.M. (2010). Good faith collaboration: The culture of
Wikipedia. London: MIT Press.
Riles, A. (Ed.). (2006). Documents: Artifacts of modern knowledge.
Michigan: University of Michigan Press.
Saifuddin. (2014). Membangun konsep filosofis layanan
perpustakaan: Sebuah ikhtiyar untuk memotret praktik
layanan perpustakaan dalam perspektif sosiologis. Libraria,
2(1), 80-93.
Skare, R. (2010). Nanook of the North (1922) – On the role of
paratextual elements for the understanding of the film.
Neohelicon, 37(1), 231-246.
167
Sudarsono, B. (2016). Menuju era baru dokumentasi. (M.
Yudhawasthi, ed.). Jakarta: LIPI Press.
Sugihartati, R. (2019). Deconstruction and reconstruction of
the roles of librarians and librarianship from a critical
Perspective. Dalam Laksmi, dkk. (Ed.), Buku antologi
kajian dalam bidang ilmu perpustakaan dan informasi:
filosofi, teori, dan praktik (hlm. 25-43). Jakarta: ISIPII
Press.
Suprayitno. (2017). Konsep arsip menurut Foucault dan
Derrida dalam perspektif semiotik: Tantangan bagi
arsiparis. Prosiding International Seminar of Archives:
Development of Archives Management in Indonesia (hlm.
29-52). Yogyakarta: Arsip Universitas Gadjah Mada.
Timadar, R. (2011). Museum sejarah menurut Foucault: Studi
kasus Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat. [Tesis,
Universitas Indonesia].
Turner, Deborah. (2009). Conceptualizing Oral Documents USA :
University of Washington
Umam, Z.K. (2017). Islam, arsip, dan arsipelago: Sebuah
refleksi keindonesiaan. Jurnal Sejarah, 1(1), 105-120.
DOI:10.17510/js.v1i.1.54.
Upward, F. (2005). The records continuum. Dalam McKemmish,
Sue et al (Ed.), Archives: Recordkeeping in society (hlm.
197-222). Wagga Wagga: Charles Sturt University Press.
Walker, A. (2018). Monuments of the present: The document
and monument in Michel Foucault’s archaeology. [Tesis,
the University of Western Ontario]. Electronic Thesis
and Dissertation Repository. http://ir.lib.uwo.ca/
cg i/viewcontent.cg i?ar ticle=7801&contex t=etd.
168
Dokumen Lisan Sebagai
Instrumen Penelitian
Rahmi
169
dengan perilaku informasi, manajemen pengetahuan, kebijakan
informasi, warisan budaya, dan pengembangan profesional
yang melibatkan kelisanan. Dokumen lisan memperluas ruang
lingkup ilmu perpustakaan dan informasi dan menyiratkan
kebutuhan untuk memahaminya dengan lebih baik sehingga
praktisi dan akademisi dapat melakukan tanggung jawab
profesional mereka untuk mengumpulkan, menggambarkan,
mengatur, dan melestarikan tradisi dan sejarah lisan (Turner,
2012b). Penelitian di luar karakteristik tersebut juga diperlukan
untuk mengatasi kelisanan atau oralitas yang terletak di berbagai
jenis konteks sosial yang dapat menggabungkan sampel yang
lebih besar. Dokumen lisan juga harus menentukan apakah dan
bagaimana perangkaian tindakan yang melibatkan kelisanan
atau oralitas (termasuk gerakan tubuh, kedipan mata, gerakan
tangan, respons audiens, dan lainnya) berkontribusi pada
informasi yang disampaikan secara lisan sambil bertatap muka
(Turner, 2012a, 2012b).
Dokumen lisan dapat merujuk ke berbagai sumber
daya. Sebagai contoh, dokumen lisan dikumpulkan hanya
dari mekanisme pengiriman lisan yang hasilnya suatu hari
nanti dapat membantu meningkatkan pemahaman transmisi
informasi lisan. Cakupan yang lebih luas dari dokumen lisan
diperlukan yang dapat mencakup pengiriman pesan instan,
pesan dan panggilan berbasis Internet atau berbasis suara,
telekonferensi, Twitter, dan mode lain yang digunakan untuk
mengirimkan informasi yang memiliki karakteristik kelisanan
yang telah diabaikan dari studi dokumen (Turner, 2012a,
2012b). Namun, dokumen-dokumen ini memberi para peneliti
beberapa cara untuk merefleksikan kehidupan sehari-hari yang
bermanfaat untuk penyelidikan bidang ilmu, salah satunya
adalah perilaku pencarian informasi (Quarantelli, 1987,
1997; Rahmi dkk, 2019a, 2019b). Oleh karena itu, tulisan ini
170
bertujuan untuk memaparkan dokumen lisan sebagai salah
satu instrumen penelitian juga membahas pendekatan untuk
analisis sumber tersebut dengan mengeksplorasi dokumen
lisan melalui pendekatan analisis wacana (content analysis).
171
membahas berbagai jenis dokumen yang digunakan dalam ilmu
sosial, Scott (1990) telah membedakan antara dokumen pribadi
dan dokumen resmi, dan selanjutnya mengklasifikasikan
dokumen pribadi sebagai dokumen pribadi dan bukan dokumen
negara. Lebih lanjut, perbedaan penting yang dibuat oleh Scott
(1990) berhubungan dengan 4 (empat) kriteria untuk menilai
kualitas dokumen, yaitu:1) Keaslian: apakah dokumen tersebut
asli dan asal tidak perlu dipertanyakan?; 2) Kredibilitas: apakah
dokumen bebas dari kesalahan dan distorsi?; 3) Keterwakilan:
apakah dokumen itu tipikal dari jenis dokumennya, dan, jika
tidak, apakah tingkat ketidaktipikalannya diketahui?; dan 4)
Arti: apakah dokumen jelas dan dapat dipahami?. Perbedaan-
perbedaan ini dipaparkan dalam buku Social Research Methods
(Metode-metode Penelitian Sosial) yang ditulis oleh Bryman
(2016).
172
Selain itu, analisis wacana dapat menggunakan pendekatan
kuantitatif yang biasanya memerlukan penerapan kategori yang
telah ditentukan sebelumnya ke sumber; ECA menggunakan
beberapa kategorisasi awal, tetapi ada potensi yang lebih
besar untuk perbaikan kategori-kategori tersebut dan generasi
yang baru. Selain itu, ECA menekankan konteks di mana
dokumen dihasilkan, Altheide (2004) menjelaskan langkah-
langkah yang diperlukan peneliti untuk: 1) menghasilkan
pertanyaan penelitian; 2) menjadi terbiasa dengan konteks di
mana dokumen dihasilkan; 3) menjadi akrab dengan sejumlah
kecil dokumen (6-10); 4) menghasilkan beberapa kategori
yang akan memandu pengumpulan data dan menyusun
jadwal untuk mengumpulkan data dalam hal kategori yang
dihasilkan; 5) menguji jadwal dengan menggunakannya untuk
mengumpulkan data dari sejumlah dokumen; dan 6) merevisi
jadwal dan memilih kasus untuk mempertajam. Setelah proses
ini selesai, jadwal dapat digunakan untuk pengumpulan data
dari dokumen. Analisis wacana sebagai strategi mencari tema
dalam data seseorang terletak di pendekatan pengkodean yang
sering digunakan dalam analisis data kualitatif.
173
wawancara dan perincian transkripsi, kesaksian dikumpulkan
dari berbagai buku, laporan, dan arsip digital yang diterbitkan
ke sejumlah besar cerita lokal yang tersebar di beberapa wilayah,
yang jika tidak demikian akan sangat mahal untuk dicapai
(misalnya, dengan wawancara manual/konvensional). Juga,
ini memastikan reproduksibilitas temuan karena sumber asli
tersedia untuk umum (Turner, 2012a).
Untuk pendekatan metode penelitian, Rahmi (2019a)
menggunakan analisis wacana untuk meneliti perilaku
pencarian informasi terkait bencana yang valid dan dapat
ditiru dengan mengkode dan menafsirkan kesaksian orang-
orang secara sistematis (Morgan, 1993; Hsieh dan Shannon,
2005; Krippendorff, 2018). Penelitian dimulai dengan
mengumpulkan dokumen lisan yang terdiri dari kesaksian
118 orang masyarakat lokal dari gempa bumi dan tsunami
Jepang tahun 2011 yang diterbitkan setahun setelah kejadian,
yang memberi masyarakat lokal waktu yang cukup untuk
merenungkan peristiwa tersebut sambil mempertahankan
ingatan akan pengalaman mereka. Kesaksian orang-orang
dikumpulkan dari mekanisme wawancara dan dituliskan ke
dalam transkrip yang hasilnya dapat membantu meningkatkan
pemahaman tentang transmisi informasi lisan; dan dengan
demikian, kesaksian orang yang digunakan dalam penelitian ini
dapat dianggap sebagai dokumen lisan (Turner, 2012a, 2012b).
Kesaksian orang yang digunakan dalam penelitian ini termasuk
memo atau teks tertulis yang mirip dengan buku harian, atau
dalam bahasa Jepang disebut Shuki (lihat Gambar 1).
174
Gambar 1
175
Pengumpulan Kesaksian
Tabel 1 merangkum koleksi kesaksian 118 orang yang termasuk
dalam penelitian Rahmi (2019a). Halaman merujuk ke nomor
halaman dari kesaksian dalam laporan masing-masing. Laporan
pertama dan kedua didasarkan pada wawancara dengan
masyarakat setempat dan para profesional yang terlibat dalam
bencana, sedangkan laporan ketiga memiliki wawancara dengan
perwakilan organisasi di berbagai sektor seperti sekolah, rumah
sakit, stasiun pemadam kebakaran, dan bisnis lokal. Secara
keseluruhan, 4.756 kalimat dari 143 orang diidentifikasi dari
3 (tiga) koleksi. Setelah pengkodean, 118 memiliki setidaknya
satu contoh perilaku pencarian informasi yang dianalisis dalam
penelitian ini pada Tabel 1.
Tabel 1
Tabel 2 menunjukkan distribusi kesaksian usia dan jenis kelamin. Rahmi (2019a) menggunakan tahapan teori
Tabel 2 menunjukkan distribusi kesaksian usia dan
perkembangan psikososial untuk membagi kategori usia menjadi adolescene (13-19), early adulthood (20-39),
adulthood (40-64), dan maturity (65>) (Erikson, 1950, 1968), karena pengkategorian ini adalah salah satu kategorisasi
jenis kelamin. Rahmi (2019a) menggunakan tahapan teori
usia yang paling terkenal dalam penelitian sosial. Distribusi usia kesaksian tidak tersedia di hampir setengah dari
kesaksian. Untuk kesaksian dengan informasi usia, mayoritas berada pada kategori adulthood (40-64). Untuk
perkembangan psikososial untuk membagi kategori usia
distribusi jenis kelamin, ada lebih banyak data pria daripada data wanita.
176
kesaksian tidak tersedia di hampir setengah dari kesaksian.
Untuk kesaksian dengan informasi usia, mayoritas berada pada
kategori adulthood (40-64). Untuk distribusi jenis kelamin, ada
lebih banyak data pria daripada data wanita.
Tabel 2
Metode Pengkodean
Rahmi (2019a) mengikuti prinsip-prinsip umum pengkodean
yang disarankan oleh Hsieh dan Shannon (2005). Pertama,
rencana analisis disusun karena peneliti memiliki tujuan, seperti
memberikan laporan terperinci tentang perilaku pencarian
informasi terkait bencana dari dokumen lisan. Selain itu,
rencana analisis berfokus pada faktor utama perilaku pencarian
informasi, seperti 1) kebutuhan informasi (information needs),
2) sumber informasi (information source), dan 3) saluran
informasi (information channel). Untuk mencapai tujuan ini,
Rahmi (2019a) mengambil pendekatan analisis wacana untuk
analisis data. Gambar 1 menunjukkan contoh dokumen lisan
dari kesaksian, akun kesaksian utama (first-account) dari laki-
laki, dan usia tidak diketahui. Dokumen memiliki judul, alamat,
nama, dan usia. Dari kesaksian utama, deskripsi tentang
bagaimana orang tersebut secara aktif mencari informasi
tentang pasokan bahan bakar.
Kedua, variabel perilaku pencarian informasi diberi kode.
Meskipun Rahmi (2019a) memiliki keseluruhan kategori dasar
177
seperti kebutuhan informasi, sumber informasi, dan saluran
informasi sebelum memulai pengkodean, contoh ditambahkan
dan direvisi selama proses pengkodean kesaksian. Proses
pengkodean adalah proses berulang dan pengkodean didasarkan
pada level kategori dan subkategori bukan berdasarkan level
kalimat, sehingga satu kategori dapat terdiri dari satu atau lebih
kalimat. Jika, misalnya, satu kebutuhan informasi memiliki
lebih dari dua saluran informasi, setiap saluran informasi
dipisahkan dengan kebutuhan informasi yang sama.
Selanjutnya, kode dibuat agar dapat diandalkan
dengan membuat dan memperbarui codebook selama proses
berlangsung. Rahmi (2019a) mengidentifikasi setiap anotasi
dengan kebutuhan informasi, sumber informasi, dan saluran
informasi. Setelah mengulangi proses ini beberapa kali, hasilnya
ditinjau untuk data yang tidak lengkap atau hilang. Ketiga,
data analisis kuantitatif dimasukkan ke dalam perangkat lunak
bernama, atlas.ti. Pengkodean awal dari semua kategori dan
subkategori perilaku pencarian dilakukan dan selanjutnya
diperiksa oleh 2 (dua) peneliti dalam domain perilaku pencarian
informasi. Ketidaksepakatan antara keduanya diselesaikan
bersama dengan pemeriksaan ulang yang cermat atas kasus
dan diskusi yang sesuai. Langkah terakhir melibatkan validasi
integritas dan konsistensi anotasi. Memiliki anotasi perilaku
pencarian informasi yang akurat adalah minat utama peneliti,
dan dengan demikian, statistik inferensial mengenai hubungan
antara konsep perilaku pencarian informasi, dan efek tahap
temporal pada perilaku pencarian informasi terkait bencana
tidak diperoleh karena ukuran sampel. Oleh karena itu, analisis
deskriptif dipilih untuk mengawali tahapan lebih lanjut seperti
analisis inferensial.
178
Hasil
Temuan Rahmi (2019a) menunjukkan bahwa dokumen lisan
seperti kesaksian tertulis dapat menjadi sumber daya berharga
untuk mempelajari perilaku pencarian informasi terkait
bencana dari sejumlah besar populasi yang didukung oleh
penelitian dari Turner (2012a); Thatcher dkk. (2015). Tidak
seperti wawancara manual/konvensional, Rahmi (2019a)
tidak memiliki kendali penuh atas bagaimana kesaksian
diwawancarai, direkam, ditranskripsikan, dan diedit untuk
publikasi. Lebih lanjut, perlu dicatat bahwa kesaksian-
kesaksian tersebut pada awalnya tidak dikumpulkan untuk
studi perilaku pencarian informasi, tetapi untuk tujuan yang
lebih umum dari pengarsipan kenangan tentang pengalaman
bencana. Keterbatasan ini harus ditanggapi dengan serius.
Namun, dokumen lisan ini menawarkan serangkaian konsep
yang memungkinkan Rahmi (2019a) untuk mendapatkan akun
terperinci dari perilaku pencarian informasi terkait bencana.
Yang paling penting, karena dokumen lisan tersebut adalah
karya yang diterbitkan, peneliti lain dapat mempelajarinya
untuk memvalidasi, mereproduksi, atau memperluas temuan.
Studi ini juga menawarkan kasus-kasus di mana dokumen
lisan (Turner, 2010) dapat dimanfaatkan sebagai sumber yang
berguna untuk mempelajari perilaku pencarian informasi
terkait bencana. Selain itu, kontribusi dari penelitian Rahmi
(2019a) ini menunjukkan bahwa kesaksian tertulis orang yang
digunakan dapat menjadi sumber alternatif untuk menganalisis
lebih lanjut kejadian perilaku pencarian informasi terkait
bencana dan faktor yang muncul seperti tahap temporal dan
indera manusia (Rahmi, 2019a, 2019b). Konten kesaksian
tersebut dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Dengan
demikian, penelitian Rahmi mengusulkan tahap temporal
bencana (2019a) dan indera manusia (2019b) sebagai faktor
179
penting untuk dipertimbangkan pada pengembangan lebih
lanjut pemodelan perilaku pencarian informasi terkait bencana.
180
kesamaan di antara peneliti yang menggunakan wawancara
lisan untuk penelitian dan penulisan. Bagian pertama buku
tersebut didasarkan pada laporan simposium dan diskusi oleh
para akademisi mengenai tradisi dan sejarah lisan di Inggris,
dan bagian kedua adalah wawancara akademisi dengan penulis
non-fiksi, Sawachi Hisae, dan seorang penulis “reportase”,
Honda Katsuichi.
Karya pertama yang jelas disebut “sejarah lisan” berasal
dari The Japan Library Association (Nippon Toshokan Kyokai).
Sekelompok anggotanya mengorganisasi satuan tugas, Oraru
Hisutori Kenkyukai (kelompok studi sejarah lisan), untuk
mencatat sejarah perpustakaan umum di kota-kota berukuran
menengah hingga kecil. Diterbitkan pada tahun 1998, Chusho
toshi ni okeru kokyo toshokan no unei adalah produk dari wawancara
tradisi lisan tersebut. Meskipun metode dan format wawancara
lebih seperti dialog, buku ini penting karena ia direncanakan dan
dilakukan sebagai proyek sejarah lisan untuk merekam sejarah
rinci dari beberapa perpustakaan melalui narasi lisan saja.
Grup tersebut masih ada, dengan rencana untuk melakukan
wawancara lainnya. Sedangkan di dunia, selain dokumen lisan,
ada kemungkinan dan kelebihan untuk menggunakan bentuk
tradisi lisan lain untuk penelitian, contohnya rekaman video,
kesaksian untuk wawancara, transkripsi, dan duplikasi (Turner,
2012a).
Sebagai penutup, bagaimana dengan tradisi dan sejarah
lisan di Indonesia? Duija (2005) sudah menjelaskan mengenai
tradisi lisan, naskah dan sejarah di Indonesia serta kaitannya
dengan politik kebudayaan. Tulisan ini dapat menjadi pemicu
mengenai perkembangan penggunaan dokumen lisan sebagai
instrumen utama penelitian.
181
Referensi
Altheide, D.L. (2004). Ethnographic content analysis. Dalam
Lewis-Beck, M. S., Bryman, A., & Futing Liao, T. (Ed.),
The SAGE encyclopedia of social science research
methods (Vol. 1-0). Sage Publications. https://doi.
org/10.4135/9781412950589
Bryman, A. (2016). Social research methods. Oxford university
press.
Couttenier, M. (2010). No Documents, No History. Museum
History Journal, 3(2), 123-148. https://doi.org/10.1179/
mhj.2010.3.2.123
Duija, I.N. (2005). Tradisi Lisan, Naskah, dan Sejarah: Sebuah
Catatan Politik Kebudayaan. Wacana, 7(2), 111-124.
Erikson, E. (1968). Youth: Identity and crisis. W.W. Norton.
Erikson, E.H. (1950). Growth and crises of the “healthy
personality.” Dalam M.J.E. Senn (Ed.), Symposium on
the healthy personality (pp. 91–146). Josiah Macy, Jr.
Foundation.
Frohmann, B. (2004). Documentation redux: prolegomenon to
(another) philosophy of information. Library Trends 52(3),
387-407. http://hdl.handle.net/2142/1683
Hsieh, H.F., & Shannon, S.E. (2005).Three approaches to qualitative
content analysis. Qualitative health research, 15(9), 1277-
1288. https://doi.org/10.1177/1049732305276687
Krippendorff, K. (2018). Content analysis: An introduction to its
methodology. Sage publications.
Morgan, D.L. (1993). Qualitative content analysis: a guide to
paths not taken. Qualitative health research, 3(1), 112-
121. https://doi.org/10.1177/104973239300300107
182
Quarantelli, E.L. (1987). Disaster studies: An analysis of the
social historical factors affecting the development of
research in the area. International Journal of Mass
Emergencies and Disasters, 5, 285-310. http://udspace.
udel.edu/handle/19716/1335
Quarantelli, E.L. (1997). Ten criteria for evaluating the
management of community disasters. Disasters, 21(1), 39-
56. https://doi.org/10.1111/1467-7717.00043
Rahmi, R., Joho, H., & Shirai, T. (2019a). An analysis of natural
disaster‐related information‐seeking behavior using
temporal stages. Journal of the Association for Information
Science and Technology, 70(7), 715-728. https://doi.
org/10.1002/asi.24155
Rahmi, R. (2019b). The Use of Sight, Hearing, and Touch
on Information-seeking Behaviour of the Great East
Japan Earthquake. Journal of Information and Media
Studies, 18(1), 13-27.
Scott, J. (1990). A Matter of Record: Documentary Sources in
Social Research Polity.
Scott, J. (1990). A Matter of Record: Documentary Sources in
Social Research. Polity Press.
Thatcher, A., Vasconcelos, A.C., & Ellis, D. (2015). An
investigation into the impact of information behaviour
on information failure: The Fukushima Daiichi nuclear
power disaster. International Journal of Information
Management, 35(1), 57-63. https://doi.org/10.1016/j.
ijinfomgt.2014.10.002
Turner, D. (2010). Orally‐based information. Journal
of Documentation, 66(3), 370-383. https://doi.
org/10.1108/00220411011038458
183
Turner, D. (2012a). Oral documents in concept and in situ, part
I. Journal of Documentation. 68(6), 852-863. https://doi.
org/10.1108/00220411211277073
Turner, D. (2012b). Oral documents in concept and in situ, part
II: managerial decrees. Journal of Documentation, 68(6),
864-881. https://doi.org/10.1108/00220411211277082
Yamamoto, E. (2000). Possibilities of Oral History in Japan--Its
Present and Future. 椙山女学園大学研究論集 社会科学
篇, (31), 39-48.
184
Epilog
Prospek Perkembangan Ilmu
Dokumentasi Baru
Dian Novita Fitriani
Pendahuluan
“Ours is a document society” – documentacademy.org -
185
burung” yang disimpan di museum ornitologi di University of
California, Berkeley.
Dari pengertian dokumen ini, berkembang pemikiran
tentang dokumen. Lund melihat dokumentasi dari teori
komplementer yang diadopsi dari pemikiran Niels Bohr tentang
teori kuantum. Menurut Lund, pada sebuah dokumen terdapat
aspek material, sosial dan mental yang saling melengkapi atau
komplementer (complementary). Kemudian berkembang lagi
pemikiran dari Michael K. Buckland dan Bernd Frohmann
yang mengkritik dominasi aspek material pada dokumen dan
lebih menekankan pada aspek sosial dokumen. Pada satu sisi,
Kierstein F Latham dan Tim Gorichanaz mencoba menganalisis
aspek mentalitas pada teori komplementer dengan pendekatan
fenomenologi. Perkembangan teori dokumen tentu tidak hanya
terhenti pada pemikiran-pemikiran tersebut. Perkembangan
teori dokumen dapat juga disimak pada tautan berikut https://
documentacademy.org/?bibliography.
186
pada DOCAM diterbitkan Proceeding from The Document
Academy yang dapat diakses pada https://ideaexchange.uakron.
edu/docam/. Mulai tahun 2020, prosiding ini juga diindeks oleh
scopus dengan source ID: 21101030341.
Perkembangan keyword selama tahun 2020-2021 dari
artikel yang dipresentasikan pada DOCAM dan diambil dari
scopus dapat dilihat dari gambar di bawah ini:
Gambar 1. Hasil Analisis Keyword dengan menggunakan VOS Viewer
187
hal ini, pengertian dokumen dari ilmu dokumentasi baru yang
merupakan “anything can be document if it is considered as such”.
Gambaran dokumen sebagai pusat ilmu dokumentasi baru
digambarkan pada gambar berikut:
Gambar 2. Dokumen sebagai Pusat Ilmu Dokumentasi Baru
188
Buku ini memberikan pengetahuan awal tentang ilmu
dokumentasi baru dan gambaran studi dari ilmu dokumentasi
baru yang sangat terbuka untuk berbagai disiplin ilmu. Semoga
buku ini dapat mendorong munculnya berbagai karya tentang
ilmu dokumentasi baru dengan berbagai pendekatan disiplin
ilmu.
189
Referensi
Sudarsono, B. (2016). Menuju era baru dokumentasi. LIPI Press.
190
Biodata Penulis
191
Perpustakaan Nasional RI. Mulai tahun 2019 diamahi sebagai
sekretaris jenderal pada Karya Studi Kedokumentasian Indonesia
(KSKI).
192
Universitas Indonesia. Saat ini menjabat sebagai Arsiparis di
Kementerian Ketenagakerjaan RI dan aktif sebagai anggota
KSKI sebagai koordinator bidang studi.
193
194
Tentang Perpusnas PRESS