You are on page 1of 15

PRAKTEK PERBANDINGAN MAZHAB DALAM MASALAH AURAT

DAN THAHARAH MENURUT MAZHAB YANG EMPAT


Diajukan untuk memenuhi
Tugas mata kuliah Perbandingan Mazhab

Dosen Pengampu:
Muhammad Abdillah Ihsan, S.Pd, MA

Disusun oleh:
1. Muhammad Armahedi Mahzar Maula
2. Erlin Ariyanti Putri
3. Lisa Nurmayah
4. Sofya Hafizah

PROGRAM STUDI S-1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)
DARUL ULUM KOTABARU
1444 H/2022 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Praktek
Perbandingan Mazhab dalam masalah Aurat dan Thaharah Menurut Mazhab yang Empat.
Kami berterima kasih kepada Dosen yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya untuk menambah wawasan serta pengetahuan mengenai Jenis- Jenis
Pelayanan dalam Pelayanan Bimbingan Konseling Agama Islam. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
akan kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.

Kotabaru, 21 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULAN
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Aurat........................................................................................................................ 3
B. Thaharah.................................................................................................................. 7

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ........................................................................................................... 11
B. Saran ..................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bersuci (thaharah) merupakan suatu kegiatan membersihkan diri dari segala
kotoran, dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada hanya sekedar
membersihkan, namun termasuk juga bebas dari benda-benda najis. Selain itu,
persyaratan air untuk thaharah yakni tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berwarna.
Dalam hal volume, Rasulullah SAW mengatakan “jika air sudah mencapai ukuran 2
qullah, maka air tersebut tidak mambawa najis”. Namun, air mengalir masih
diperbolehkan meskipun memiliki volume yang lebih kecil karena terpenuhinya aerasi
untuk reaksi- reaksi oksidasi dan penguapan zat-zat yang lebih volatil dari air.

Pada dasarnya wanita sangat menyukai keindahan. Perhiasan dan pakaian indah
senantiasa menjadi dambaan, agar dapat mencuri pandangan lelaki terhadap dirinya. Bila
hal itu dibiarkan, akan menjurus pada perfitnahan dan berbagai macam kehancuran.
Menurut Abbas Mahmud Al-Aqqâd, kejayaan bangsa Romawi pada 100 tahun sebelum
masehi dikarenakan telah menerapkan undang-undang yang melarang wanita
memperlihatkan perhiasan di jalan-jalan umum. Bahkan undang-undang Aubiya
mengharamkan penggunaan perhiasan yang berlebihan, meski di dalam rumah.

Bukan sesuatu yang mengherankan bila kemudian Islam memberikan tuntunan


kepada muslimah tentang tatacara memakai perhiasan dengan metodologi yang sangat
bijaksana. 1 Fungsi pakaian terutama sebagai penutup aurat, sekaligus sebagai perhiasan,
memperindah jasmani manusia. Agama Islam memerintahkan kepada setiap orang untuk
berpakaian yang baik dan bagus. Baik berarti sesuai dengan fungsi pakaian itu sendiri,
yaitu menutup aurat, dan bagus berarti cukup memadai serasa sebagai perhiasan tubuh
yang sesuai dengan kemampuan si pemakai untuk memilikinya. Untuk keperluan ibadah
misalnya untuk shalat di masjid, dianjurkan memakai pakaian yang baik dan suci.

1
Berpakaian dengan mengikuti mode yang berkembang saat ini, bukan merupakan
halangan, sejauh tidak menyalahi fungsi menurut Islam. Namun, diperintahkan untuk
tidak berlebih-lebihan. Berpakaian bagi kaum wanita mukmin telah digariskan oleh
Alquran adalah menutup seluruh auratnya. Hal tersebut selain sebagai identitas
mukminah juga menghindari diri dari gangguan yang tidak diinginkan, pada dasarnya
pakaian muslim tidak menghalangi pemakaiannya untuk melakukan kegiatan sehari-hari
dalam bermasyarakat. Semuanya kembali kepada niat pemakainya dalam melaksanakan
ajaran Allah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perbandingan mazhab dalam masalah aurat?

2. Bagaimana perbandingan mazhab dalam masalah thaharah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui perbandingan mazhab dalam masalah aurat

2. Untuk mengetahui perbandingan mazhab dalam masalah thaharah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Aurat

Aurat menurut pengertian hukum Islam ialah batas minimal dari anggota tubuh
manusia yang wajib ditutupi karena adanya perintah Allah SWT. Dijabarkan lagi bahwa
aurat itu ialah anggota atau bagian dari tubuh manusia yang dapat menimbulkan birahi
atau syahwat dan nafsu bila dibiarkan terbuka. Bagian atau anggota tubuh manusia
tersebut harus ditutupi dan dijaga karena aurat tersebut merupakan bagian dari kehormatan
manusia.

Kata-kata aurat berasal dari bahasa Arab yaitu:

1. Awir yang artinya hilang perasaan, hilang cahaya atau lenyap penglihatan matanya.

2. Âr, yang berarti menutup dan menimbun.

3. A‟war yang berarti mencemarkan apabila terlihat, atau sesuatu yang akan mencemarkan
bila tampak dan terlihat orang lain.1 Dengan demikian aurat menurut pengertian agama
dan tatabahasa ialah anggota atau bagian dari tubuh manusia yang apabila terbuka atau
tampak akan menimbulka rasa malu, ‘aib dan keburukan-keburukan lainnya.

Semua fuqaha sepakat bahwa kewajiban memakai hijab termasuk hukum pasti
dalam Islam. Perempuan berkewajiban menutup tubuhnya dari lelaki asing dengan cadar,
jubah, pakaian panjang, mantel, jas, kain penutup, kerudung dan setiap pakaian lainnya
yang menutupi seluruh tubuh. Tidak ada perbedaan tentang kewajiban (memakai) hijab.
Namun, sebagian fukaha berbeda pendapat dalam hal menutup wajah dan kedua tangan
hingga pergelangan tangan. Sebagian fukaha berpendapat bahwa menutup hal-hal itu juga

1
Abu Mujadiddul Islam, Memahami Aurat dan Wanita, (Lumbung Insani, 2011), hal. 25-26

3
wajib atau mereka menghukuminya iḥṭiyaṭ (hati-hati). Namun mayoritas fukaha tidak
mewajibkan menutup hal-hal tersebut.2

Aurat perempuan yang disepakati oleh para ulama yaitu seluruh tubuh, kecuali
wajah dan telapak tangan. Punggung perempuan adalah aurat, demikian pula rambutnya,
meskipun hanya sehelai. Bagi orang yang bukan mahram, rambut perempuan adalah
termasuk aurat yang wajib ditutup dan haram untuk diperlihatkan kepada mereka. Dalam
keadaan sendirian, atau ketika berkumpul sesama muhrim, aurat perempuan ialah anggota
tubuh antara pusat dan lutut. Namun demikian para ulama berbeda pendapat.

Pakar tafsir Al-Qurthubi, dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ulama besar


Said bin Jubair, Atha dan Al-Auzaiy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah,
kedua telapak tangan dan busana yang dipakainya. Sedang sahabat Nabi Ibnu Abbas,
Qatadah, dan Miswar bin Makhzamah, berpendapat bahwa yang boleh termasuk juga
celak mata, gelang, setengah dari tangan yang dalam kebiasaan wanita Arab di
hiasi/diwarnai dengan pacar, anting, cincin, dan semacamnya.

Syaikh Muhammad Ali As-Sais mengemukakan bahwa Abu Hanifah berpendapat


kedua kaki bukan aurat. Abu Hanifah mengajukan alasan bahwa ini lebih menyulitkan
dibanding dengan tangan, khususnya bagi wanita-wanita miskin di pedesaan yang (ketika
itu) sering berjalan (tanpa alas kaki) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pakar hukum
Abu Yusuf berpendapat bahwa kedua tangan wanita bukan aurat, karena dia menilai
bahwa mewajibkan untuk menutupnya menyulitkan wanita.3

Dalam mazhab asy-Syafi‟i, seperti dikatakan oleh an-Nawawi dan al-Khatib asy-
Syirbini, aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan
(bagian atas atau luar dan bawah atau dalam) sampai pergelangan tangan. Al-Muzani
menambahkan kedua telapak kaki juga tidak termasuk aurat yang wajib ditutup.

Sementara dalam mazhab Maliki ada dua pendapat, yaitu pendapat yang
mengatakan muka dan telapak tangan perempuan bukan aurat dan pendapat yang
menambahkan, kedua telapak kaki juga termasuk bukan aurat. Akan tetapi, Imam
Muhammad bin Abdullah al-Maghribi mengatakan bahwa kalau perempuan merasa
khawatir terhadap fitnah, ia harus menutup muka dan kedua telapak tangannya.
2
brahim Amini, Bangga Jadi Muslimah, (Jakarta: Al-Huda, 2007), h. 25
3
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 2013), hal. 232-233

4
Dalam mazhab Hanbali aurat perempuan adalah seluruh anggota tubuh tanpa
kecuali, hanya untuk shalat dan beberapa keperluan tertentu diperbolehkan membuka kain
muka dan telapak tangannya, tetapi sebagian ulama Hanbali tetap mewajibkan menutup
seluruh anggota tubuh termasuk di dalam shalat. Menurut Abu Bakar al-Harits, bahwa
seluruh anggota tubuh perempuan adalah aurat yang wajib ditutupi termasuk kukunya.

Asy-Syaukani dalam Nail al-Auṭar menyimpulkan perbedaan ulama mengenai


batas aurat perempuan:

Ulama berbeda pendapat mengenai dibatas aurat perempuan, ada yang


mengatakan seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali muka dan telapak tangan. Ini
dikatakan oleh al-Qasim dalam satu dari dua pendapatnya, asy-Syafi‟i dalam
salah satu dari beberapa pendapatnya, Abu Hanifah dalam satu dari dua riwayat
darinya dan Malik. Ada yang mengatakan (auratnya adalah seluruh tubuhnya
kecuali muka, kedua telapak tangan) dan kedua telapak kaki sampai tempat
gelang kaki. Ini dikatakan oleh al-Qasim dalam satu perkataannya, Abu Hanifah
dalam satu riwayatnya, aṡ-Ṡauri dan Abu al-Abbas. Ada yang mengatakan
bahwa auratnya adalah seluruh tubuhnya kecuali muka. Ini dikatakan oleh
Ahmad bin Hanbal dan Dawûd. Ada yang mengatakan bahwa seluruh anggota
tubuhnya adalah aurat tanpa kecuali. Ini dikatakan oleh sebagian murid asy-
Syafi’I dan diriwayatkan juga dari Ahmad.4

Mengenai perihal memandang, pemakalah sedikit paparkan tentang perempuan


memandang laki-laki. Dalam hal ini perempuan memandang seluruh bagian tubuh laki-
laki adalah boleh jika itu adalah suaminya. Apabila laki-laki itu muhrimnya, maka ia boleh
melihat seluruh bagian tubuhnya selain yang terlarang (bagian antara pusar dan lutut).

Adapun jika laki-laki itu asing baginya maka, maka menurut mazhab Hanafi, jika
perempuan itu bisa meredam syahwatnya, maka boleh baginya melihat seluruh bagian
tubuh laki-laki itu kecuali antara pusar dan lutut. Adapun mazhab Maliki dan Hanbali
terdapat dua pendapat. Pendapat pertama, perempuan itu boleh melihat seluruh bagian
4
Tutik Hamidah, Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender, (Malang: Press, 2011), hal. 80-82

5
tubuhnya selain yang dikategorikan aurat (antara pusar dan lutut). Pendapat ini mirip
dengan yang disampaikan mazhab Hanafi, seperti pada hubungan antara seorang laki-laki
dengan muhrimnya yang perempuan.

Pendapat kedua, yaitu pendapat yang juga dipandang kuat, menurut mazhab
Syafi‟i, perempuan itu hanya boleh melihat seperti (bagian tubuh) yang dibolehkan bagi
laki-laki melihatnya dari perempuan yaitu wajah dan kedua telapak tangan.

Hukum perempuan memandang perempuan seperti hukum laki-laki memandang


laki-laki, yaitu seluruh ulama mazhab sepakat membolehkan seorang laki-laki yang bisa
mengontrol syahwatnya untuk melihat tubuh laki-laki lain, kecuali bagian yang merupakan
aurat (antara pusar dan lutut), karena kesamaan jenis dan biasanya pandangan tersebut
tidak disertai syahwat. Seringkali terjadi kondisi darurat yang mengharuskan tubuh
seorang perempuan dilihat oleh perempuan lain. Dalam hal ini, yang terlarang bagi mereka
adalah memandang bagian yang dikategorikan aurat, yaitu antara pusar dan lutut.

Menurut pendapat yang lebih benar dalam pandangan jumhur ulama selain
mazhab Hanbali, haram hukumnya seorang perempuan kafir (ẓimmi atau lainnya)
memandang tubuh seorang muslimah yang bukan muhrimnya. Dengan demikian,
muslimah tersebut mesti harus menutup tubuhnya dan mengenakan jilbab di hadapan
perempuan kafir tadi. Yang boleh dilihat hanya wajah dan telapak tangan. Artinya
perempuan kafir tersebut statusnya seperti laki-laki asing.5

Sementara, menurut mazhab Hanbali tidak ada perbedaaan dalam hal ini antara
dua perempuan yang sama-sama muslim dengan dua orang yang salah satunya muslimah
dan satu lagi perempuan ẓimmi, sebagaimana tidak ada beda antara dua orang laki-laki
yang sama-sama muslim dengan dua laki-laki yang satunya muslim dan yang lainnya
kafir. Alasannya, perempuan-perempuan kafir, seperti dari penganut Yahudi dan lainnya,
dulu juga biasa masuk ke rumah istri-istri Nabi SAW. dan para istri Nabi tersebut tidak
memakai hijab dan tidak juga disuruh untuk berhijab.

Dari keterangan-keterangan tersebut akhirnya para ulama sepakat bahwa, pertama


tidak dibenarkan bagi wanita muslimah membuka auratnya di hadapan orang yang
dikecualikan Allah SWT. lebih dari wajah dan kedua telapak tangannya.

5
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jilid 4), (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 213

6
Kedua, tidak dibenarkan kepada wanita muslimah untuk membuka wajah dan
kedua telapak tangannya, kalau ia tahu, bahwa disekitarnya terdapat orang-orang yang
melihat kepadanya dengan pandangan yang diharamkan Allah, seperti sengaja
memandangnya dan tidak berkedip melihatnya. Mengingat keadaan itulah bisa diterima
keterangan Al-Khatib Asy-Syarbini tentang Imam Al-Haramain, yang melarang
berdasarkan kesepakatan kaum muslimin kepada perempuan-perempuan mereka keluar
rumah dengan muka terbuka.

Ketiga, mereka sepakat membolehkan wanita untuk membuka wajahnya sebagai


keringanan dalam tugas belajar, berobat, menjadi saksi, atau dalam hubungan yang
mengharuskan kesaksian. Itulah hukum Islam mengenai masalah pakaian wanita, yang
sudah disepakati oleh semua ulama kaum muslimin, berdasarkan nash-nash yang jelas dari
kitab Allah SWT. dan hadis shahih dari sunnah Rasulullah.

B. Thaharah

Adapun pengertian secara bahasa, taharah berarti nazhafah (kebersihan).


Sedangkan secara istilah adalah kebersihan dari sesuatu yang khusus yang di
dalamnyaterkandung makna ta’abud kepada Allah. Misalnya ibadah shalat yang
merupakan bentuk pertemuan antara serang hamba dengan Tuhannya, maka diperlukan
adanya kondisi yang bersih dan suci untuk bisa dikatakan syah dalam hal itu. Dan
menunaikan shalat dalam kondisi yang suci dan bersih merupakan bagian dari ta’zim dan
penghormatan kepada Allah SWT.Sholat tidak sah dikerjakan kecuali dengan bersuci
terlebih dahulu. demikian menurut Ijma. Para ulama sepakat tentang wajibnya bersuci
dengan air jika air itu ada dan dapat digunakan, serta tidak ada keperluan lain yang lebih
mendesak, seperti untuk minum. Sementara itu, wajib bertayamum dengan tanah (debu)
jika tidak ada air.

Para Fukaha di kota-kota besar seperti Kufah dan basrah telah sepakat bahwa air
laut, baik yang tawar maupun yang asin, adalah suci dan menyucikan, seperti air-air yang
lain. Namun, terdapat beberapa ulama yang melarang berwudhu dengan air laut. Ada juga
sekelompok ahli fiqh yang membolehkannya ketika dalam keadaan darurat saja.
Sementara itu, ada ahli fiqh lain yang membolehkan bertayamum walaupun ada air laut
untuk berwudhu.

7
Para ulama sepakat bahwa bersuci tidak sah kecuali dengan air. diriwayatkan
dari Ibn Abi Laila dan al-‘Ashim tentang bolehnya bersuci dengan menggunakan cairan
yang lain.

Maliki, Syafi’I, dan Hanbali : najis tidak dapat dihilangkan kecuali dengan air.
Hanafi: najis dapat dihilangkan dengan segala cairan yang suci.

Pendapat paling shahih dari Syafi’i : Air panas karena terkena sinar matahari
hukumnya adalah makruh. Sementara itu, pendapat yang dipilih oleh para pengikutnya
yang kemudian adalah pendapat yang mengatakan bahwa hal itu tidak makruh. demikian
juga menurut tiga imam yang lain yaitu Hanafi, Maliki, dan Hanbali.

Air yang dimasak hukumnya tidak makruh, demikian menurut ke- sepakatan para
ulama. Diriwayatkan dari Mujahid bahwa ia memak ruhkannya. Sementara itu, Hanbali
memakruhkannya jika ia dipanas kan dengan api. Air bekas bersuci (musta'mal)
hukumnya adalah suci, tetapi tidak menyucikan. Demikianlah pendapatyang masyhur di
kalangan maz- hab Hanafi, yang paling sahih dalam mazhab Syafi'i, dan mazhab Hanbali.
Maliki: Air musta'mal dapat menyucikan. Sementara itu, me- nurut sebagian riwayat dari
Hanafi: Air musta mal adalah najis. Demikian juga, menurut pendapat Abu Yusuf.

Air yang berubah karena bercampur dengan ja'faran atau benda- benda suci lain yang
sejenis dan perubahannya sangat jelas, menurut Maliki, Syafi'i, dan Hanbali: Air tersebut
tidak dapat dipergunakan untuk bersuci. Hanafi dan para pengikutnya: Boleh bersuci
dengan air tersebut. Mereka berpendapat bahwa berubahnya air oleh sesuatu yang suci
tidaklah menghilangkan sifat menyucikan selama unsur-unsur airnya tidak hilang.

Air yang berubah karena terlalu lama disimpan atau tidak digunakan hukumnya
adalah suci. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Diriwayatkan dari Ibn Sirin,
bahwa air tersebut tidak boleh digunakan untuk bersuci. Mandi dan berwudu dengan air
Zamzam, menurut Hanbali: Hukumnya adalah makruh. Hal itu demi memelihara
kemuliaannya. Api dan matahari tidak dapat menghilangkan najis. Namun, Hanafi
berpendapat: Api dan matahari dapat menghilangkan najis. Menurut- nya jika ada kulit
bangkai menjadi kering oleh sinar matahari, maka hukumnya suci meskipun tidak
disamak.

8
Demikian pula jika di atas tanah terdapat najis, kemudian kering oleh sinar
matahari, maka tem- pat itu menjadi suci dan dapat dipergunakan untuk shalat. Namun,
tempat itu tidak dapat dipergunakan untuk bertayamum. Hanafi: Api dapat menghilangkan
najis. Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali dalam salah satu riwayatnya: Apabila air tenang kurang
dari dua qullah, ia akan menjadi najis jika terkena benda najis walaupun sifat-sifatnya
tidak berubah. Maliki dan Hanbali dalam riwayat yang lain: Air tersebut suci selama sifat-
sifatnya tidak berubah.

Adapun jika air itu lebih dari dua qullah, yaitu 500 rithl Bagdad atau 180 rith!
Damaskus, atau dalam volume 4 x 4 x 4 hasta, tidaklah men-jadi najis jika terkena benda
najis-kecuali jika sifat-sifatnya berubah. Demikian, pendapat Syafi'i dan Hanbali. Maliki:
Air yang berada di sebuah tempat dengan ukuran tersebut tidak najis jika terkena benda
najis. Namun jika warna, rasa, atau baunya berubah maka hukumnya adalah najis, baik air
itu sedikit maupun banyak.

Hanafi: Campurannya harus diperhatikan. Jika air itu bercampur dengan benda
najis maka hukumnya adalah najis, kecuali jika air terse- but banyak. Air tersebut
dikatakan banyak (ma katsir) apabila digerakkan salah satu tepinya maka tepi lainnya
tidak bergerak. Dalam keadaan demikian, hukumnya tidak najis-jika air tersebut terkena
benda najis.

Hanafi, Hanbali, dan qaul jadid Syafi'i-yang menjadi pendapat paling kuat di
dalam mazhab Syafi'i: Air yang mengalir hukumnya sama dengan air yang tenang.
Malilki: Air yang mengalir itu tidak menjadi najis jika terkena benda najis-kecuali jika air
tersebut berubah, baik ia air yang sedikit maupun banyak. Seperti ini pula qaul qadim
Syafi'i dan yang dipilih oleh sekelompok sahabatnya, seperti al-Baghawi, Imam al-
Haramain, dan al-Ghazali. Imam an-Nawawi, di dalam Syarh al- Muhadzdzib,
mengatakan bahwa inilah pendapat yang kuat.

9
Para ulama: Penggunaan perkakas yang terbuat dari emas untuk makan, minum,
dan berwudu, baik oleh laki-laki maupun perempuan, adalah haram. Syafi'i berpendapat
sebaliknya. Sementara itu, Dawud berpendapat bahwa hal itu haram hanya jika digunakan
untuk minum. Pendapat Hanafi, Maliki, dan Hanbali yang mengharamkannya lebih kuat
daripada pendapat Syafi'i. Para ulama: Menggunakan saluran air yang terbuat dari emas
ada- lah haram. Adapun, menggunakan saluran air yang terbuat dari perak adalah haram
menurut Maliki, Syafi'i, dan Hanbali jika alirannya besar dan untuk hiasan. Hanafi:
Menggunakan saluran air dari perak tidak haram. Bersiwak adalah sunnah menurut
kesepakatan para ulama, Sedang- kan Dawud berpendapat bahwa hukumnya adalah wajib.
Sementara itu, Ishaq berpendapat bahwa apabila bersiwak itu ditinggalkan de- ngan
sengaja maka shalatnya batal.

Apakah bersiwak bagi orang yang sedang berpuasa hukumnya ada- lah makruh?
Hanafi dan Maliki: Hal itu tidak makruh. Syafi'i: Hal itu makruh. Dari Hanbali
diriwayatkan dua riwayat yang mengatakan bahwa hal itu tidak makruh.6

6
Syaikh al-‘Allamah Muhammd bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqh Empat Mazhab, (Bandung:
Hasyimi Press, 2004), hal.13-15

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Aurat menurut pengertian hukum Islam ialah batas minimal dari anggota tubuh
manusia yang wajib ditutupi karena adanya perintah Allah SWT. Dijabarkan lagi bahwa
aurat itu ialah anggota atau bagian dari tubuh manusia yang dapat menimbulkan birahi
atau syahwat dan nafsu bila dibiarkan terbuka. Bagian atau anggota tubuh manusia
tersebut harus ditutupi dan dijaga karena aurat tersebut merupakan bagian dari kehormatan
manusia. Aurat perempuan yang disepakati oleh para ulama yaitu seluruh tubuh, kecuali
wajah dan telapak tangan.

Ulama berbeda pendapat mengenai dibatas aurat perempuan, ada yang


mengatakan seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali muka dan telapak tangan. Ini dikatakan
oleh al-Qasim dalam satu dari dua pendapatnya, asy-Syafi‟i dalam salah satu dari
beberapa pendapatnya, Abu Hanifah dalam satu dari dua riwayat darinya dan Malik. Ada
yang mengatakan (auratnya adalah seluruh tubuhnya kecuali muka, kedua telapak tangan)
dan kedua telapak kaki sampai tempat gelang kaki. Ini dikatakan oleh al-Qasim dalam satu
perkataannya, Abu Hanifah dalam satu riwayatnya, aṡ-Ṡauri dan Abu al-Abbas. Ada yang
mengatakan bahwa auratnya adalah seluruh tubuhnya kecuali muka. Ini dikatakan oleh
Ahmad bin Hanbal dan Dawûd. Ada yang mengatakan bahwa seluruh anggota tubuhnya
adalah aurat tanpa kecuali. Ini dikatakan oleh sebagian murid asy-Syafi’I dan diriwayatkan
juga dari Ahmad.

Pengertian secara bahasa, taharah berarti nazhafah (kebersihan). Sedangkan


secara istilah adalah kebersihan dari sesuatu yang khusus yang di dalamnyaterkandung
makna ta’abud kepada Allah. Maliki, Syafi’I, dan Hanbali : najis tidak dapat dihilangkan
kecuali dengan air. Hanafi: najis dapat dihilangkan dengan segala cairan yang suci.

B. Saran

Demikian yang dapat penulis sajikan dalam makalah ini, tentunya masih banyak
kekurangan yang perlu dibenahi, kami membuka lebar pintu kritik dan saran bagi yang
berkenan, sehingga kesalahan dapat dibenahi serta menjadi pelajaran untuk penulis agar bisa
lebih baik lagi.

11
DAFTAR PUSTAKA

Amini, Ibrahim. 2007. Bangga Jadi Muslimah. Jakarta: Al-Huda.

Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam Wa Adilatuhu. Jakarta: Gema Insani.

Hamidah, Tutik. 2011. Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender. Malang: Press.

Islam, Abu Mujadidul. 2011. Memahami Aurat dan Wanita. Lumbung Insani.

Muhammad, Syaikh al-‘Allamah. 2004. Fiqh Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi Press.

Shihab, M. Quraish. 2013. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.

12

You might also like