You are on page 1of 27

BAB IV

DATA DAN ANALISIS

A. Data

1. Letak Geografis

Kabupaten Takalar merupakan salah satu wilayah kabupaten di Provinsi

Sulawesi Selatan yang terlatak pada bagian selatan. Letak astronomis

Kabupaten Takalar berada pada posisi 5°30’ – 5°38’ Lintang Selatan dan

119°22’ – 119°39’ Bujur Timur dengan luas wilayah kurang lebih 566,51

Km2. Secara administrasi Kabupaten Takalar terdiri dari 9 kecamatan, 24

kelurahan dan 76 desa.

Kecamatan Galesong Utara merupakan salah satu Kecamatan yang terletak di

sebelah utara dengan luas wilayah 15,11 Km dan berjarak 27 kilometer dari

ibukota Kabupaten Takalar. Ibu Kota Kecamatan Galesong Utara terletak di

Kelurahan Bontolebang.

Desa Aeng Batu-Batu merupakan salah satu dari 10 Desa/Kelurahan yang

terletak di Kecamatan Galesong Utara, memiliki luas wilayah 2,17 Km 2.

Dengan batasan administrasi sebagai berikut :

 Sebelah Utara : Desa Aeng Towo dan Kota Makassar

 Sebelah Timur : Desa Bontolanra dan Desa Pakkabba

 Sebelah Selatan : Desa Tamalatea dan Desa Bontolebang

 Sebalah Barat : Selat Makassar

59
Gambar 4.1 Peta Administrasi Desa Aeng Batu-Batu

60
Gambar 4.2 Peta Lokasi Penelitian

61
2. Abrasi

Abrasi merupakan proses terkikisnya material penyusun pantai oleh

gelombang dan material hasil kikisan itu sendiri terangkut ke tempat lain oleh

arus. Abrasi pantai tidak hanya membuat garis-garis pantai menjadi

menyempit, bila dibiarkan bisa menjadi lebih berbahaya. Hal tersebut dapat

mengancam pemukiman penduduk yang berada di areal pantai. Dari sudut

pandang keseimbangan interaksi antara kekuatan-kekuatan asal darat dan

kekuatan-kekuatan asal laut, Abrasi terjadi karena kekuatan-kekuatan asal

laut lebih kuat daripada kekuatan-kekuatan asal darat.Faktor utama terjadi

Abrasi adalah aktivitas gelombang di pantai yang terjedi secara terus menerus

dan tidak dapat ditahan oleh material pantai.

Kenaikan air laut juga menjadi penyebab peningkatan abrasi yang

dikarenakan pemanasan global menyebabkan suhu muka laut menjadi lebih

hangat dan meningkatkan level muka laut, hal ini diperkirakan terus

meningkat di masa datang. Tinggi muka laut dapat berubah dari tahun ke

tahun selama waktu jangka panjang, tergantung kepada ENSO dan siklus IPO

yang terjadi secara musiman. Intergovernmental Panel on Climate Change

(IPCC), memperkirakan bahwa level muka laut akan terus meningkat untuk

beberapa abad ke depan bahkan jika emisi gas rumah kaca telah stabil, hal ini

dikarenakan oleh waktu respon laut yang cukup lama. Pencairan es

diperkirakan akan menyebabkan kenaikan level muka laut dalam orde

beberapa meter selama beberapa abad sampai milenium ke depan. Bahkan

untuk skenario perubahan iklim yang paling minimal.

Demikian, abrasi di Kabupaten Takalar terjadi hampir diseluruh wilayah

pesisirnya dan masih berlangsung hingga saat ini. Berdasrkan penelitian yang

62
dilakukan oleh kelompok kami bahwa wilayah-wilayah yang rentan akan

kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas air laut adalah Desa Aeng Batu-

Batu Kecamatan Galesong Utara dimana parameter yang sangat berpengaruh

adalah geomorfologi. Pada wilayah tersebut terdapat pemukiman, sawah

irigasi, tegalan. Kecamatan Galesong Utara dimana parameter yang sangat

berpengaruh adalah perubahan garis pantai yaitu pada wilayah tersebut terjadi

abrasi sebesar 1.2 – 2.8 m/thn, kenaikan muka air laut pada wilayah tersebut

termasuk tinggi sekitar 6.3 mm/thn, Pasang surut pun tinggi diwilayah

tersebut yaitu sekitar 1.39 m sehingga desa tersebut dikatakan sangat rentan

terhadap kerusakan.

3. Topografi dan Kemiringan Lereng

Berdasarkan kondisi topografi Wilayah Kabupaten Takalar berada pada

ketinggian 0 – 1000 meter diatas permukaan laut (mdpl), dengan bentuk

permukaan laut (mdpl), dengan bentuk permukaan lahan relatif datar,

bergelombang hingga perbukitan. Sebagian besar wilayah Kabupaten Takalar

merupakan daerah dataran dan wilayah pesisir dengan ketinggian 0 – 100

mdpl, yaitu sekitar 86,10% atau kurang lebih 48,778 Km 2. Sumber data yang

diperoleh dan hasil analisa GIS, menujukkan keadaan topografi dan

kelerengan Kabupaten Takalar sangat bervariasi, yang secara umum berada

pada kisaran 0 - 2%, 2 - 15%, 15 - 30%, 30 – 40% dan > 40%.

Kemiringan lereng dan garis kontur merupakan kondisi fisik topografi suatu

wilayah yang sangat berpengaruh dalam kesesuaian lahan dan banyak

mempengaruhi penataan lingkungan alami. Untuk kawasan terbangun,

kondisi topografi berpengaruh terhadap terjadinya longsor dan terhadap

konstruksi bangunan. Kemiringan lereng merupakan salah satu faktor utama

63
yang menentukan fungsi kawasan, untuk diarahkan sebagai kawasan lindung

atau kawasan budidaya. Berdasarkan kondisi topografi Desa Aeng Batu-Batu

berada pada ketinggian 0-300 meter diatas permukaan laut (mdpl), dengan

bentuk permukaan lahan relatif datar dengan kemiringan 0-8%.

Tabel 4.1 Kriteria Kemiringan Lereng


Variabel Kriteria Nilai
0-8 (Datar) 1
>8-15 (Landai) 2
Kemiringan
>15-25 (Agak Curam) 3
Lereng
>25-45 (Curam) 4
>45 (Sangat Curam) 5

Tabel 4.2 Data Kemiringan Lereng Desa Aeng Batu-Batu

Desa Aeng Batu-Batu Kemiringan Lereng

Lokasi 1
0-8 (Datar)
Lokasi 2 0-8 (Datar)

Lokasi 3 0-8 (Datar)

64
Gambar 4.2 Kemiringan Lereng Desa Aeng Batu-Batu

65
66
Gambar 4.3 Topografi Desa Aeng Batu-Batu

67
4. Jenis Tanah

Adapun jenis tanah yang terdapat di Desa Aeng Batu-Batu yaitu tanah

inceptisol, (Dystropepts, Ustropepts, dan Tropaquepts) yang merupakan

tanah muda, tetapi lebih berkembang daripada Entisol dan umumnya

mempunyai horison kambik dan tanah Ultisol (Haplustuls) yang merupakan

tanah-tanah dengan akumulasi (penimbunan) liat di horison bawah (horison

argilik), bersifat masam, kejenuhan basa (jumlah kation) pada kedalaman 180

cm dari permukaan tanah kurang dari 35 %.

Tabel 4.3 Data Kriteria Jenis Tanah

Variabel Kriteria Nilai

Histosol 1

Inceptisol 2

Jenis Tanah Molisol 3

Alfisol 4

Ultisol 5

Tabel 4.4 Data Jenis Tanah Desa Aeng Batu-Batu

Desa Aeng Batu-Batu Jenis Tanah

Lokasi 1 Inceptisol

Lokasi 2 Inceptisol

Lokasi 3 Inceptisol

67
68
69
5. Angin

Kondisi iklim wilayah Kabupaten Takalar dan sekitarnya secara umum

ditandai dengan jumlah hari hujan dan curah hujan yang relatif tinggi, dan

sangat dipengaruhi oleh angin musim. Pada dasarnya angin musim di

Kabupaten Takalar dipengaruhi oleh letak geografis wilayah yang merupakan

pertemuan Selat Makassar dan Laut Flores, kondisi ini berdampak pada

putaran angin yang dapat berubah setiap waktu. Kondisi tersebut utamanya

terjadi pada Kecamatan Galesong Utara, sehingga pada beberapa kawasan di

wilayah ini mengalami kekeringan terutama pada musim kemarau. Beberapa

wilayah lainnya juga menghadapi ancaman bencana alam lainnya yang

disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia

sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan

lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Angin topan atau dikenal aingin puting beliung adalah suatu fenomena

meteorologis berskala lokal dan terjadi dalam waktu singkat. Meskipun

fenomena ini berlangsung secara singkat, namun dampaknya dapat

menimbulkan kerusakan dan kerugian yang cukup besar hingga korban jiwa.

Angin topan disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan dalam suatu sistem

cuaca. Angin ini berasal dari awan Cumulonimbus (Cb) yaitu awan yang

bergumpal berwarna abu-abu gelap dan menjulang tinggi. Namun, tidak

semua awan Cumulonimbus menimbulkan angina topan. Angin topan bisa

terjadi kapan dan dimana saja, baik didarat maupun di laut dan jika terjadi di

laut durasinya lebih lama dibandingkan dengan darat. Angin topan umumnya

terjadi pada siang atau sore hari, dan terkadang pada malam hari dan lebih

sering terjadi pada peralihan musim (pancaroba).

69
Bencana alam angin topan di Kabupaten Takalar hampir terjadi diseluruh

wilayah kecamatan, utamanya pada daerah pesisir. Berdasarkan dari data

Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Takalar bencana angin topan hampir

terjadi setiap tahunnya. Kejadian bencana alam angin topan dari data terakhir

pada tahun 2018 terjadi 62 kejadian dan tertinggi dalam tiga tahun terakhir

yaitu pada tahun 2017 mencapai 1.444 kejadian.

Akibat dari kejadian tersebut menimbulkan dampak yang cukup serius

dengan kerusakan yang tidak ringan bahkan ada yang menimbulkan kerugian

yang tidak sedikit yang akan mengganggu ruang publik untuk kehidupan.

Dampak-dampak yang bisa ditimbulkan oleh angin topan yang bersifat

merusak seperti:

 Kerusakan pada rumah serta infrastruktur wilayah

 Dalam kasusnya ada beberapa yang menimbulkan korban jiwa

 Menimbulkan kerugian material

 Merusak kebun-kebun warga

 Menciptakan banyak puing-puing dari kerusakan materi serta sampah

yang berserakan

 Dapat menggangu aktifitas perekonomian.

Dampak buruk dari angin topan, dapat meluluh lantahkan tempat dengan area

seluas 5 kilometer. Dalam hal ini rumah serta banyak tanaman akan hancur

serta tumbang. Bukan hanya itu namun makhluk hidup juga bisa mati akibat

terlempar atau terbentur oleh benda-benda keras yang ikut masuk dalam

pusaran angin. Angin puting beliung merupakan bencana yang bisa muncul

kapan saja, dan susah untuk diprediksi. Sehingga pembangunan yang akan

direalisasikan harus tahan terhadap tiupan angin kencang, utamanya pada

70
daerah yang memiliki risiko tinggi terjadinya angin topan. Penyiapan ruang

evakuasi untuk bencana ini juga diperlukan untuk mengurangi dampak yang

lebih besar terhadap masyarakat.

Tabel 4.5 Data Kriteria Jenis Angin Musim

Variabel Kriteria Nilai

Angin Lemah 1

Angin Sedang 2

Angin Ribut 3

Badai 4

Angin Topan 5

Tabel 4.6 Jenis Angin Desa Aeng Bat-Batu

Desa Aeng Batu-Batu Jenis Angin

Lokasi 1
Angin Sedang

Lokasi 2 Angin Ribut

Lokasi 3 Angin Sedang

71
72
Gambar 4.4 Peyebaran Isu Resiko Bencana Angin Topan Kabupaten Takalar

72
6. Pasang Surut

Pasang surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya

permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya

gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh

matahari, bumi dan bulan. Pengaruh benda angkasa lainnya dapat diabaikan

karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih kecil. Faktor non astronomi

yang mempengaruhi pasut terutama di perairan semi tertutup seperti teluk

adalah bentuk garis pantai dan topografi dasar perairan. Puncak gelombang

disebut pasang tinggi dan lembah gelombang disebut pasang rendah.

Perbedaan vertikal antara pasang tinggi dan pasang rendah disebut rentang

pasang surut (tidal range). Periode pasang surut adalah waktu antara puncak

atau lembah gelombang ke puncak atau lembah gelombang berikutnya. Harga

periode pasang surut bervariasi antara 12 jam 25 menit hingga 24 jam 50

menit.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pasang surut berdasarkan teori

kesetimbangan adalah rotasi bumi pada sumbunya, revolusi bulan terhadap

matahari, revolusi bumi terhadap matahari. Berdasarkan teori dinamis

penyebab pasang surut adalah kedalaman dan luas perairan, pengaruh rotasi

bumi (Gaya Coriolis), dan gesekan dasar. Selain itu juga terdapat beberapa

faktor lokal yang dapat mempengaruhi pasut disuatu perairan seperti,

topografi dasar laut, lebar selat, bentuk teluk, dan sebagainya, sehingga

berbagai lokasi memiliki ciri pasang surut yang berlainan.

Penentuan konstanta pasang surut air laut berhubungan dengan komponen –

komponen harmonik gaya yang menyebabkan terjadinya pasang surut.

Setelah komponen-komponen harmonik gaya pembangkit pasut, maka

73
selanjutnya dilakukan penentuan nilai perubahan amplitudo dan fase dari

setiap komponen harmonik terhadap kondisi bumi setimbang yang nantinya

dinyatakan dalam sebuah konstanta. Hukum Laplace mengatakan

“gelombang komponen pasang surut setimbang selama penjalarannya akan

mendapatkan respon dari laut yang dilewatinya, sehingga amplitudonya akan

mengalami perubahan, dan fasenya mengalami keterlambatan, namun

frekuensi atau kecepatan sudut masing-masing komponen adalah tetap”.

Komponen-komponen harmonik yang telah diperoleh dari teori gaya

pembangkit pasut merupakan komponen periodik yang memiliki frekuensi

dan kecepatan sudut tertentu.

Abel 4.7 Kriteria Pasang Surut

Variabel Kriteria Nilai

Pasang Surut Harian Ganda 1

Pasang Surut Tunggal 2

Pasang Pasang Surut Condong Ke Harian Ganda 3

Surut Pasang Surut Harian Tunggal 4

Tabel 4.8 Jenis Pasang Surut Desa Aeng Batu-Batu

Desa Aeng Batu-Batu Pasang Surut

Lokasi 1 Pasang Surut Harian Tunggal

Lokasi 2 Pasang Surut Harian Tunggal

Lokasi 3 Pasang Surut Harian Tunggal

74
B. Analisis

1. Analisis Regresi Linear Berganda

Teknik analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis menggunakan

analisis regresi berganda dengan meregresikan variabel independen terhadap

variabel dependen, Uji hipotesis ini dibantu dengan menggunakan program

SPSS versi 23.

a. Koefisien Determinasi

Uji koefisien deteminasi digunakan untuk mengetahui seberapa besar

kemampuan variabel bebas (independen) dalam menerangkan variabel

terikat (dependen).

Tabel 4.9 Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2)

Model Summary

Adjusted R Std. Error of the


Model R R Square
Square Estimate

1 .995a .991 .976 .159

a. Predictors: (Constant), Pasang Surut, Angin, Jenis Tanah

Sumber : Output SPSS 23 (DiOlah 2021)

Hasil uji koefisien determinasi menunjukkan nilai R2 (Adjusted R

Square) dari model regresi sebesar 0,976, hal ini berarti bahwa 97,6%

yang menunjukkan bahwa bencana abrasi dipengaruhi oleh variable

kemiringan lereng, jenis tanah, angin dan pasang surut air laut.

75
b. Uji Simultan

Uji simultan digunakan untuk mengetahui pengaruh secara bersama-

sama antara variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil uji

simultan dapat dijelaskan pada tabel dibawah ini:

Tabel 4.10 Hasil Uji F- Uji Simultan

ANOVAa

Sum of Mean
Model df F Sig.
Squares Square

Regression 5.283 3 1.761 69.636 .014b

1 Residual .051 2 .025

Total 5.333 5

a. Dependent Variable: Y

b. Predictors: (Constant), Kemiringan Lereng, Pasang Surut, Angin,


Jenis Tanah

Sumber : Output SPSS 23 (DiOlah 2021)

c. Uji Parsial

Uji parsial digunakan untuk menguji hipotesis secara parsial guna

menunjukkan pengaruh tiap variabel independen secara individu

terhadap variabel dependen. Hasil uji parsial dapat dijelaskan pada

tabel dibawah ini

Tabel 4.11 Hasil Uji T- Parsial

Unstandardized Standardized

Model Coefficients Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 11.098 .243 45.607 .000

76
Kemiringan
.509 .072 .881 7.089 .000
Lereng

Jenis Tanah .010 .121 .019 .079 .938

Angin -.107 .126 -.213 -.850 .397

Pasang Surut .063 .051 .123 1.242 .217

a. Dependent Variable: Abrasi

Sumber : Output SPSS 23 (DiOlah 2021)

Berdasarkan tabel diatas dapat dianalisis model estimasi sebagai

berikut : Y = 11,098 + 0,509 X1 + 0,010 X2 - 0,107 X3 + 0,063 X4 +

e .Hasil interpretasi atas penelitian yang diajukan dapat dilihat sebagai

berikut:

1.) Analisis Pengaruh Kemiringan Lereng terhadap Bencana

Abrasi

Berdasarkan tabel 4.11 dapat dilihat bahwa variabel kondisi

kemiringan lereng memiliki t hitung sebesar 7,086 > t tabel 0,741

dengan koefisien beta unstandardized sebesar 0,509 dan tingkat

signifikansi 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Hal ini berarti

kondisi kemiringan lereng berpengaruh positif dan signifikan

terhadap bencana abrasi.

2.) Analisis Pengaruh Jenis Tanah terhadap Bencana Abrasi

Berdasarkan tabel 4.11 dapat dilihat bahwa variabel jenis tanah

memiliki t hitung sebesar 0,079 < t tabel 0,741 dengan koefisien

beta unstandardized sebesar 0,010 dan tingkat signifikansi 0,938

yang lebih besar dari 0,05. Hal ini berarti jenis tanah tidak

berpengaruh positif dan signifikan terhadap bencana abrasi.

3.) Analisis Pengaruh Angin Terhadap Bencana Abrasi

77
Berdasarkan tabel 4.11 dapat dilihat bahwa variabel angin

memiliki t hitung sebesar -0,850 < t tabel 0,741 dengan koefisien

beta unstandardized sebesar -0,107 dan tingkat signifikansi 0,397

yang lebih besar dari 0,05. Hal ini berarti angin tidak berpengaruh

positif dan signifikan terhadap bencana abrasi.

4.) Analisis Pengaruh Kondisi Pasang Surut Terhadap Bencana

Abrasi

Berdasarkan tabel 4.11 dapat dilihat bahwa variabel kondisi

pasang surut memiliki t hitung sebesar 1,242 > t tabel 0,741

dengan koefisien beta unstandardized sebesar 0,063 dan tingkat

signifikansi 0,217 yang lebih besar dari 0,05. Hal ini berarti

kondisi pasang surut berpengaruh positif dan signifikan terhadap

bencana abrasi.

2. Analisis Deskriptif

Menurut Sugiyono (2005: 21) menyatakan bahwa metode deskriptif adalah

suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu

hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih

luas. Tujuan dari metode ini adalah untuk menggambarkan suatu keadaan

yang ada pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab akibat melalui

identifikasi dari gejala yang ada dari permasalahan. Meteode ini dapat

digunakan secara luas sehingga dapat membantu dalam identifikasi atas

variabel yang ada. Beberapa keuntungan yang diperoleh dari penggunaan

metode deskriptif yaitu :

 Informasi deskriptif dapat langsung difokuskan pada satu pokok

teoritis.

78
 Informasi deskriptif membolehkan perluasan konsep-konsep suatu

perspektif.

 Teoritis yang ada pada temuan yang membuktikan kebenaran

peramalan yang dibuat dalam teori.

Informasi deskriptif dapat menggaris bawahi aspek-aspek metodologis yang

penting dari kumpulan dan penafsiran data. Sehingga dengan menggunakan

pendekatan deskriptif diharapkan dapat dilakukan identifikasi kondisi

kawasan tepi laut yang ada pada saat ini yang selanjutnya dapat diketahui

upaya atau mitigasi dari bencana abrasi tersebut.

d. Upaya Mitigasi Bencana Abrasi di Desa Aeng Batu-Batu

Berdasrkan dari pembahasan analisis faktor-faktor penyebab abrasi di

Desa Aeng Batu-Batu, maka dapat diketahui bahwa faktor alam

merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya abrasi di Desa

Aeng Batu-Batu. Namun selain faktor alam tersebut, terdapat pula

faktor aktivitas manusia yang saat ini turut berkontribusi sebagai

faktor penyebab terjadinya abrasi di Desa Aeng Batu-Batu itu sendiri.

Adapun keseluruhan faktor-faktor yang meyebabkan abrasi di lokasi

penelitian tersebut adalah faktor ketidak tersediaan vegetasi di pesisir

pantai, faktor kemiringan lereng yang datar, faktor jenis tanah yang

memiliki struktur lumpur atau lempungan, faktor geologi yang mudah

terkikis oleh gelombang air laut, faktor tipe pantai yang berpasir,

faktor pasang surut air laut yang dapat menghasilkan gelombang, serta

faktor gelombang laut yang cukup besar di lokasi penelitian.

Setelah mengetahui faktor-faktor penyebab abrasi pada lokasi

penelitian diatas, maka langkah selanjutnya ialah mencoba

79
merumuskan alternatif konsep mitigasi bencana sebagai upaya

penanganan dalam meminimalisir bencana abrasi yang terjadi di

pesisir pantai lokasi penelitian Desa Aeng Batu-Batu. Dalam

perumusan konsep mitigasi bencana abarasi ini juga tidak terlepas dari

pendapat-pendapat yang telah dikemukakan oleh parah ahli

sebelumnya, namun tidak seluruh pendapat dapat digunakan sebagai

solusi sebab hal ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik fisik pantai

dan bentuk permasalahan yang dimiliki oleh lokasi penelitian. Selain

itu, perbedaan karakteristik fisik pantai dan bentuk serta tingkat

permasalahan yang dimiliki sangat menentukan tindakan seperti apa

yang dapat dilakukan sebagai upaya mitigasinya. Adapun bentuk

mitigasi yang dapat dilakukan sebagai upaya penanganan bencana

abrasi di peisisir pantai lokasi peneltian Desa Aeng Batu-Batu yang

sesuai dengan karakteristik pantai serta bentuk permasalahannya

adalah sebagai berikut :

1.) Pembuatan Revetment (Pelindung Tebing Pantai)

Revetment merupakan struktur pelindung pantai yang dibuat

sejajar pantai dan biasanya memiliki permukaan miring.

Strukturnya biasa terdiri dari beton, timbunan batu, karung pasir,

dan beronjong (gabion). Karena permukaannya terdiri dari

timbunan batu atau blok beton dengan rongga-rongga diantaranya,

maka revetment lebih efektif untuk meredam energi gelombang.

Bangunannya dibuat untuk menjaga stabilitas tebing atau lereng

yang disebabkan oleh arus atau gelombang. Ada beberapa tipe

dari revetment, seperti: Rip-rap (batuan yang dicetak dan

80
berbentuk seragam), beton, dan batu alam (blok beton). Untuk

lebih jelasnya mengenai bentuk/ilustrasi dari revetment tersebut

adalah sebagai berikut:

Gambar 4.5 Ilustrasi Bentuk Penerapan Konsep Revetment

2.) Pembuatan Seawall (Tembok Laut)

Seawall (dinding), hampir serupa dengan revetment, yaitu dibuat

sejajar pantai tapi seawall memiliki dinding relatif tegak atau

lengkung. Seawall pada umumnya dibuat dari konstruksi padat

seperti beton, turap baja atau kayu, pasangan batu atau pipa beton

sehingga seawall tidak meredam energi gelombang, tetapi

gelombang yang memukul permukaan seawall akan dipantulkan

kembali dan menyebabkan gerusan pada bagian tumitnya. Untuk

lebih jelasnya mengenai bentuk/ilustrasi dari seawall tersebut

adalah sebagai berikut :

Gambar 4.6 Ilustrasi Bentuk Penerapan Konsep Seawall

3.) Pembuatan Bangunan Pemecah Gelombang (Talud)

81
Pemecah gelombang sejajar pantai, dibuat terpisah ke arah lepas

pantai, tetapi masih di dalam zona gelombang pecah (breaking

zone). Bagian sisi luar pemecah gelombang memberikan

perlindungan dengan meredam energi gelombang sehingga

gelombang dan arus di belakangnya dapat dikurangi. Pantai di

belakang struktur akan stabil dengan terbentuknya endapan

sedimen. Pencegahan abrasi dengan membangun pemecah

gelombang buatan di sekitar pantai dengan maksud mengurangi

abrasi yang terjadi tanpa dibarengi dengan usaha konservasi

ekosistem pantai (seperti penanaman bakau dan/atau konservasi

terumbu karang).

Gambar 4.7 Ilustrasi Bentuk Penerapan Kosep Talud

82

You might also like