You are on page 1of 8

IJMA’ SEBAGAI SALAH SATU SUMBER DASAR HUKUM ISLAM

Ramadhan Novriyanata (21061024)

UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM LAMONGAN

Ramadhannn052@gmail.com

PENDAHULUAN

PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijma’
Ijma’ secara etimologi berarti yang ‫ )هذا أمر مجمع علٌه االتفاق‬yang berarti kesepakatan.
Ada juga yang mengatakan; ‫داد‬//‫ االع‬yang berarti mengumpulkan dan ada juga yang
mengatakan; ‫ العزم‬seperti yang terdapat dalam penafsiran ayat 71 surat Yunus (.‫فأجمعوا‬
‫ )أمركم وشركاءكم‬1

Ijma' ditinjau dari segi bahasa berarti sepakat, setuju, sependapat (Abd. Aziz, 1988 :
28). Adapun menurut istilah, Ijma' ialah kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari kaum
muslimin pada suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah Saw atas suatu hukum syara' (Az
Zuhaili, 1986 ; 490).

Ijma secara terminolgi didefinisikan oleh beberapa ahli diantaranya (1) Al Ghazali :
Ijma yaitu kesepakatan umat Muhammad Saw secara khusus atas suatu urusan agama;
definisi ini mengindikasikan bahwa ijma tidak dilakukan pada masa Rasulullah Saw,
sebab keberadaan Rasulullah sebagai syar’i tidak memerlukan ijma. (2) Al Amidi : Ijma
adalah kesepakatan ahlul halli wal ‘aqdi atau para ahli yang berkompoten mengurusi
umat dari umat Nabi Muhammad pada suatu masa atau hukum suatu kasus. (Amir
Syarifuddin, 1997) Dari beberapa pendapat mengenai definisi ijma', pada prinsipnya
mereka sependapat bahwa:

1. Ijma' dapat terjadi dengan kesepakatan para mujtahid


1
Amir Abd Aziz, Usul Fiqh al-Islamy, (Siria: Dar el Fikr, 1986) , 417

1
2. Adanya permasalahan yang tidak terdapat dalam nash qoth'i.
3. Terjadi pada masa tertentu.

Dengan demikian, Ijma' di pandang tidak sah, jika:

1. Ada yang tidak menyetujui

2. Hanya ada seorang mujtahid

3. Tidak ada kebulatan yang nyata

4. Sudah jelas terdapat dalam nash.

Apabila suatu peristiwa terjadi dan memerlukan ketentuan hukum dan peristiwa
tersebut dikemukakan kepada para ulama yang memiliki kemampuan berijtihad, dan
mereka kemudian mengambil kesepakatan berupa hukum dari peristiwa tersebut, maka
kesepakatan mereka disebut sebagai ijma’.2

Imam al-Syaukani menyebutkan adanya tiga unsur dalam ijma’, antara lain:

1. Kesepakatan tersebut dilakukan oleh para ulama mujtahid dari kalangan umat
Islam dari seluruh penjuru dunia, tidak boleh ada yang tertinggal satu orang
pun.
2. Kesepakatan terjadi setelah Nabi saw wafat
3. Kesepakatan yang dimaksud adalah kesepakatan dalam masalah hukum
keagamaan3

B. Rukun dan Syarat Ijma’


a. Rukun Ijma’
Menurut para ilmuan ijma’ memiliki beberapa rukun sebagai berikut:
1. Kesepakatan suatau hukum dilahirkan oleh beberapa orang mujtahid dan tidak
dikatakan ijma’ jika hukum itu hasil dari ijtihad satu orang.
2. Kesepakatan tentang suatu hukum harus berdasarkan keputusan bulat seluruh
mujtahid dan tidak cukup dengan pendapat mayoritas.

2
Chamim Tohari, KONSEP IJMA’ DALAM USHUL FIQH DAN KLAIM GERAKAN ISLAM 212, JURNAL
AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, 2019
3
Muhammad al-Syaukani. Irsyad alFuhul ila Tahqiqi al-Haq min ‘Ilm al-Ushul. (Beirut: Dar al-Fikr, tth), h. 72.

2
3. Kesepakatan harus dari seluruh mujtahid pada zamannya yang beraasal dari
seluruh negeri Islam.
4. Hendaknya proses kesepakatan terjadi setelah seluruh para mujtahid
mengemukakan pendapatnya secara elegan dan terbuka baik perkataan ataupun
perbuatan.4
b. Syarat – Syarat Ijma’
Adapun syarat – syarat ijma’ yaitu:

1. Hendaknya orang yang melakukan ijma' adalah para mujtahid yang profesional yang
mempunyai problematika yang hendak disepakati

2. Keputusan ijma' hendaknya berargumentasi pada al-Qur'an dan hadith yang dijadikan
sebagai salah satu argumentasi dalam berijma’. Menurut al-Sinqit menjadikan qiyas dan
ijtihad sebagai dasar argumentasi ijma' terdapat tiga pandangan ulama, yaitu

a). Utopis ( la yutasawwar)

b). Mungkin saja akan tetapi tidak bisa dijadikan hujjah

c). Realistis dan boleh, hal ini terjadi seperti konsensus mengharamkan lemak babi
( shahm al - khinzir) yang diqiyaskan dengan dagingnya.

C. Relenvasi Ijma’ dengan Sumber Hukum Islam Lainnya


Ijma’ diposisikan sebagai salah satu dari sumber hukum Islam selain al-Qur’an,
Sunah dan kias. Konsekuensi yuridisnya, setiap masalah yang telah dijustifikasi tersebut
secara moral memiliki daya ikat bagi umat muslim. Di samping posisinya sebagai produk
ijtihad dan sumber hukum, Ijma’ merupakan metode penerapan dan penetapan aturan
Islam yang tumbuh secara evolutif.5

Sumber yang menurut pengertian bahwasanya adalah rujukan utama yang


menjadi asal sesuatu maka yang menjadi sumber hukum yng paling utama dalam islam
itu hanya Al-Qur’an dan sunnah. Al-Qur’an sebagai sumber utama tidak ada perbedaan
pendapat tentang kehujjahanya karena merupakan sumber hukum yang berasal dari
4
Zainil Ghulam. APLIKASI IJMA’ DALAM PRAKTIK EKONOMI SYARI’AH. Iqtishoduna Vol. 7 No. 1 April
2018, hal 100.
5
Moh. Bahrudin, TEORI IJMA’ KONTEMPORER DAN RELEVANSINYA DENGAN LEGISLASI HUKUM ISLAM
DI INDONESIA (ANALISIS NORMATIF – YURIDIS)

3
Allah, sementara sunnah tidak di ragukan lagi merupakan sumber tersendiri namun tetap
berkaitan erat dengan Al-Qur’an.

Imam Syafi’i memakai dasar-dasar hukum atau dalil-dalil hukum yamg di dalam
hukum islam yaitu Al-Qur’an,sunnah,ijma, dan Qiyas. Tata urutan sumber hukum ini
juga di pakai oleh mazhab-mazhab awal terutama oleh gurunya, Imam Maliki.

Menurut teori hukum klasik landasan hukum islam itu ada 4 dengan tata urutan
alQur’an sunnah, ijma dan qiyas. Akan tetapi menurut ahmad hasan ini merupakan
hukum yang sulit untuk sulit untuk diterima alasanya. Pertama , empat landasan ini
dengan tata urur al-Quran, sunnah, ijma qiyas merupakan hasil perkembangan sejarah
yang berasal dari masa para sahabat. Kedua urutan sumber-sumber hukum tersebut,
sesungguhnya adalah produk yang datang kemudian ketiga ide tentang a’immat al huda
atau pemimpin-pemimpin yang berbimbing lurus tentunya baru muncul setelah empat
khalifah pertama.6

Dialog Imam Syafi’i dengan lawan-lawanya memperjelas bahwa para ahli-ahli


hukum awal menempatkan qiyas sebelum ijma. Perubahan tata urut hukum islam menjadi
al-Quran, sunnah, ijma, qiyas untukk pertama kalinya muncul dalam karyanya, al
Risalah7

Dan sesuai dengan skema sumber hukum islam pada masa-masa sebelumnya,ijma
merupakan urutan yang terakhir. Ijma merupakan satu prinsip untuk menjamin kebenaran
hukum yang muncul sebagai hasil penggunaan qiyas dan merupakan pembatas terhadap
qiyas dan merupakan pembatas terhadap qiyas yang bersifat bisa salah. Imam Syafi’i
memandang ijma sebagai sumber hukum setelah al-Qur’an dan sunah Rasul

D. Macam – Macam Ijma’


Adapun ijma' ditinjau dari sudut cara menghasilkannya, ada dua macam yaitu:
1. Ijma' Shorih

6
Sitty Fauzia Tunai, PANDANGAN IMAM SYAFI’I TENTANG IJMA sebagai SUMBER PENETAPAN HUKUM
ISLAM dan RELEVANSINYA dengan PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DEWASA INI
7
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, kitab al Risalah, (kairo:t.tp,1321 H0, h. 205)

4
Yaitu kesepakatan para mujtahid pada 34 NO. 67/XIll/19971 suatu masa atas
hukum suatu peristiwa dengan menampilkan pendapat masing-masing secara jelas
dengan sistem fatwa atau qodho' (memberi putusan). Artinya setiap mujtahid
menyampaikan ucapan atau perbuatan yang mengungkapkan secara jelas tentang
pendapatnya. Ijma' ini termasuk katagori haqiqi, ijma' yang dijadikan hujah syar'iyah
menurut madzhab jumhur.
2. Ijma' Sukuti
Yaitu sebahagian mujtahid suatu masa menampilkan pendapatnya secara jelas
mengenai suatu peristiwa dengan sistem fatwa atau qodho', sedang sebahagian
mujtahid tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut mengenai
kecocokannya atau perbedaannya. Ijma' mi termasuk pada katagori ijma' i'tibari
(dianggap ada ijma'), karena seorang mujtahid yang diam belum tentu setuju. Oleh
karenanya kehujjahannya dipertentangkan, ia hanya pendapat sebagian mujtahid. 8

ljma' bila ditinjau dari segi dalalahnya terbagi kepada dua, yaitu:
1. Ijma’ Qath’i
Yaitu ijma’ syarih yang berarti bahwa hukumnya diqath’i-kan olehnya. Tidak ada
jalan bagi hukum suatu peristiwa, dengan adanya khilaf.
2. Ijma' Dzanniy
Yaitu ijma’ sukuti, karena tidak adanya dalil yang qath’i yang menunjukkan
hukum masalah tersebut. Ijma’ dengan dalalah dzanniy ini masih bisa dibuat sebagai
bahan untuk berijtihad dengan alasan belum ditemukan alasan yang meng-qath’i-kan.

E. Contoh Ijma’ Dalam Ekonomi

Di era kontemporer saat ini, potret ijma' dapat dijumpai dalam forum-forum
ilmiah seperti Majma’ a-Fiqh al-Islami, Majma’ Nuhuts al-Islamiyah, Dar al-Ifta’ dan
Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia. Sebagian dari aplikasi ijma' dalam
problematika ekonomi syari’ah dan bisnis keuangan sebagai berikut:9
1. Reksadana Konvensional, Haram Menurut Ijma' Ulama’
8
Drs. Zakaria Syafe'I, IJMA SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM (Kajian tentang Kehujjahan Ijma' dan
Pengingkarannya), NO. 6'7/XIll/1997
9
Mohammad Mufid, Lc. M.H.I, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2016), 78.

5
Reksadana adalah sebuah wahana di mana masyarakat dapat
menginvestasikan dananya dan pengurusnya atau fund manager dana itu
diinvestasikan ke portofolio efek. Dalam reksadana konvensional terdapat hal-
hal yang bertentangan dengan syariah baik dalam segi akad, operasi, investasi,
transaksi maupun pembagian keuntungan. Namun demikian dalam reksadana
konvensional tersebut terdapat pula mu'amalah yang dibolehkan dalam Islam
seperti jual beli dan bagi hasil (mudharabah/qirad).
Sebagai solusinya, para ulama’ menawarkan konsep reksadana syari’ah.
Sebgaimana disebutkan dalam Fatwa Dewan Syar’ah Nasional MUI, Nomor:
20/DSN-MUI/IV/2001 bahwa Reksa Dana Syari'ah adalah Reksa Dana yang
beroperasi menurut ketentuan dan prinsip Syari'ah Islam, baik dalam bentuk
akad antara pemodal sebagai pemilik harta (sahib al-mal/rabb al-mal) dengan
manajer Investasi sebagai wakil shahib al-mal, maupun antara Manajer
Investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan pengguna investasi.
2. Ijma' Tentang Keharaman Asuransi Konvensional
Asuransi yang disebut juga pertanggungan, yaitu perjanjian antara dua
pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan dederita tertanggung; yang timbul dari suatu
peristiwa yang tidak pasti, atau yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan. Sedangakan asuransi konvensional adalah
usaha asuransi yang dijalankan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah10
Majelis Ulama’ Fiqh pada pertemuan pertamanya yang diadakan pada
tanggal 10 Sya’ban 1398 M, di Mekkah di pusat Rabithah al-Alam al-Islami
meneliti persoalan asuransi dengan berbagai jenisnya yang bermacam-macam,
setelah sebelumnya menelaah tulisan para ulama dalam persoalan tersebut,
dan juga setelah melihat keputusan Majelis Kibar al-Ulama’ di Kerajaan Saudi
Arabia pada pertemuan kesepuluh di kota Riyadh tanggal 14/1/97M, dengan
10
H. Muhammad Sholahuddin, SE, M.Si., Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan, dan Bisnis Syari’ah AZ, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2011), 13

6
SK No. 55, tentang haramnya asuransi berbasis bisnis dengan berbagai
jenisnya.

PENUTUP
A. Kesimpulan

Ijma’ merupakan salah satu metode yang dipakai ulama mujtahidin dalam
menentapkan hukum, apabila mereka dihadapkan suatu persoalan hukum yang tidak
ditemukan nash dalam al-qur’an maupun dalam al-sunnah yang dapat dijadikan landasan
hukum setelah Rasulullah meninggal dunia.

Apabila suatu peristiwa terjadi dan memerlukan ketentuan hukum dan peristiwa
tersebut dikemukakan kepada para ulama yang memiliki kemampuan berijtihad, dan
mereka kemudian mengambil kesepakatan berupa hukum dari peristiwa tersebut, maka
kesepakatan mereka disebut sebagai ijma’

Dan sesuai dengan skema sumber hukum islam pada masa-masa sebelumnya,ijma
merupakan urutan yang terakhir. Ijma merupakan satu prinsip untuk menjamin kebenaran
hukum yang muncul sebagai hasil penggunaan qiyas dan merupakan pembatas terhadap
qiyas dan merupakan pembatas terhadap qiyas yang bersifat bisa salah

Adapun ijma' ditinjau dari sudut cara menghasilkannya, ada dua macam yaitu:
Ijma' Shorih dan Ijma' Sukuti. ljma' bila ditinjau dari segi dalalahnya terbagi kepada dua,
yaitu: Ijma' yang qoth'i dalalahnya atas hukum (yang dihasilkan) dan ijma' yang dhonni
dalalahnya atas hukum ( yang dihasilkan )

Sebagian dari aplikasi ijma' dalam problematika ekonomi syari’ah dan bisnis
keuangan sebagai berikut: Ijma' Haramnya Bunga Bank, Reksadana Konvensional,
Haram Menurut Ijma' Ulama’, dan Ijma' Tentang Keharaman Asuransi Konvensional

7
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Multazam al-thobi’u wan-Nasru Darul Fkr al-‘Araby, 1958, h.198.
Agil Bahsoan, Kedudukan Ijma SEbagai Dalil Hukum Terhadap Fatwa Ekonomi Islam
Kontemporer Di Indonesia

Amir Abd Aziz, Usul Fiqh al-Islamy, (Siria: Dar el Fikr, 1986) , 417

Chamim Tohari, KONSEP IJMA’ DALAM USHUL FIQH DAN KLAIM GERAKAN ISLAM 212,
JURNAL AQLAM – Journal of Islam and Plurality –Volume 4, Nomor 2, 2019

Moh. Bahrudin, TEORI IJMA’ KONTEMPORER DAN RELEVANSINYA DENGAN LEGISLASI


HUKUM ISLAM DI INDONESIA (ANALISIS NORMATIF – YURIDIS)

Zainil Ghulam. APLIKASI IJMA’ DALAM PRAKTIK EKONOMI SYARI’AH. Iqtishoduna Vol. 7 No.
1 April 2018, hal 100.

Sitty Fauzia Tunai, PANDANGAN IMAM SYAFI’I TENTANG IJMA sebagai SUMBER
PENETAPAN HUKUM ISLAM dan RELEVANSINYA dengan PERKEMBANGAN HUKUM
ISLAM DEWASA INI

Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, kitab al Risalah, (kairo:t.tp,1321 H0, h. 205)

Ors. Zakaria Syafe'I, IJMA SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM (Kajian tentang Kehujjahan
Ijma' dan Pengingkarannya), NO. 6'7/XIll/1997

Mohammad Mufid, Lc. M.H.I, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016), 78.

Mohammad Mufid, Lc. M.H.I, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, 48-50; LTN
PBNU, Ahkam al-Fuqaha’, (Surabaya: Khalista, 2011), 200.

H. Muhammad Sholahuddin, SE, M.Si., Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan, dan Bisnis Syari’ah
AZ, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011), 13

Muhammad al-Syaukani. Irsyad alFuhul ila Tahqiqi al-Haq min ‘Ilm al-Ushul. (Beirut: Dar al-
Fikr, tth), h. 72.

You might also like