Professional Documents
Culture Documents
Rosady, 2016
Rosady, 2016
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kelimpahan dan kondisi habitat siput gonggong (Strombus turturella)
di pesisir Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Metode yang digunakan yaitu metode survei pada 6 (enam) stasiun
pengamatan. Pada masing-masing stasiun, dibuat area sampling seluas 100 m x 100 m. Pada area sampling ditarik 5 buah
garis tegak lurus dengan interval 25 meter. Sample diambil pada petak kuadrat seluas 1 m x 1 m setiap 10 meter pada
garis tegak lurus tersebut. Parameter pengamatan meliputi kualitas perairan, substrat, kadar total organik, kelimpahan dan
pola penyebaran siput gonggong. Hasil penelitian diperoleh 3 jenis gastropoda yaitu Strombus turturella, Natica
Gualtieriana, dan Lambis lambis. Nilai kelimpahan siput gonggong tertinggi terdapat pada Stasiun E (Sungai Lepah)
dengan jumlah 0,5 ind/m2 , dan terendah di Stasiun B (Sungai Kecil) dengan jumlah 0,04 ind/m2 , dan pada Stasiun D
(Sekera) tidak ditemukan siput gonggong. Habitat siput gonggong terdapat pada substrat pasir di semua stasiun. Kualitas
perairan di stasiun penelitian dikategorikan layak untuk biota laut dalam baku mutu perairan pada Kep.Men.LH No.51.
Pola penyebaran menunjukan siput gonggong hidup secara berkelompok. Aktivitas masyarakat di pesisir Kabupaten
Bintan yang berpengaruh terhadap kelimpahan siput gonggong antara lain aktivitas penangkapan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi lokal maupun wisatawan, penambangan pasir di laut dan di pantai.
ABSTRACT
This study was conducted to determine the abundance and habitat conditions of g onggong snails (Strombus
turturella) on the coast of Bintan regency, Riau Islands. The research method used is survey method in 6 (six)
observation station. At each station, made the sampling area of 100 m x 100 m, divided by 5 line transects. Sample taken
on quadrat squares 1 m x 1 m Parameters observed include: the water quality, substrate, total organic content,
abundance and distribution patterns of gonggong snails. The results were obtained three types of gastropods are Strombus
turturella, Natica Gualtieriana, and Lambis lambis. The highest abundance of gonggong snails in station E (River Lepah)
with an amount of 0.5 ind / m2, and the lowest at Station B (Small River) with the amount of 0.04 ind / m2, and at
Station D (Sekera) not found gonggong snails. Habitat snails on a substrate of sand on all stations. Water quality in
research stations categorized as feasible for marine life in the water quality standards in Kep.Men.LH 51. Gonggong
dispersal patterns showed snails live in groups. Community act ivities in the coastal district of Bintan that affect the
abundance of gonggong snails among other fishing activities to meet the needs of local consumption as well as tourists,
mining of sand in the sea and on the beach.
untuk menyuplai ke restoran-restoran makanan kecamatan (Bintan Utara, Teluk Sebong, dan
laut (Suhardi 2012 dalam Waris et al 2013). Seri Kuala Lobam) di Kabupaten Bintan.
Salah satu daerah penangkapan siput Stasiun pengamatan merupakan daerah
gonggong di Kep. Riau adalah di Kabupaten penangkapan siput gonggong dengan
Bintan yang terletak di Pulau Bintan. karakteristik masing- masing stasiun yaitu:
Kabupaten ini berbatasan dengan Tanjung a. Stasiun A (Kampung Baru): Stasiun
Pinang dan Pulau Batam. Menurut Amini berupa pantai berbatu dan terdapat
(1986), bulan Mei sampai Oktober merupakan vegetasi hutan pantai, padang lamun, dan
musim puncak untuk penangkapan siput hamparan rumput laut.
gonggong di Kabupaten Bintan. Setiap b. Stasiun B (Sungai Kecil): Terdapat
nelayan di Pulau Bintan mampu menangkap sebuah dermaga panjang yang menuju
3000-4000 ekor/hari (Viruly 2011 dalam tubir pantai. Di sekitarnya terdapat hutan
Waris et al 2013). Hal ini menunjukan mangrove untuk wisata.
tingginya angka penangkapan siput gonggong c. Stasiun C (Sebung): Di sekitar stasiun ini
di Kabupaten Bintan. Selain karena terdapat hutan pantai yang masih cukup
penangkapan, ancaman terhadap penurunan rapa dan padang lamu, serta disepanjang
populasi siput ganggong juga datang dari sempadan pantai dibangun jalan raya yang
perubahan lingkungan di habitatnya. Daerah juga berfungsi sebagai barrier. Juga
pesisir di Kabupaten Bintan yang sering terdapat batuan karang
dijadikan tempat pemukiman atau desa d. Stasiun D (Sekera): Terdapat muara
nelayan di atas laut, daerah pariwisata, sungai yang tidak terlalu besar di bagian
pertambangan, membuat pesisir menjadi Barat pantai. Vegetasi yang berada di
tempat pembuangan limbah. Aktivitas stasiun ini yaitu padang lamun, mangrove,
manusia disekitar pesisir sering dan hutan pantai. Pantai ini menghadap
mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan Pulau Batam.
seperti terganggunya ekosistem lamun dan e. Stasiun E (Sungai Lepah): Daerah ini
mangrove yang menjadi habitat siput terisolasi dari pemukiman dan masih
gonggong. terdapat hutan pantai. Vegetasi yang ada
Penelitian mengenai kelimpahan dan di lokasi yaitu padang lamun dan hutan
kondisi habitat siput gonggong dibutuhkan mangrove. Pantai ini menghadap ke Pulau
untuk memberikan informasi ilmiah mengenai Batam.
kondisi habitat dan kualitas lingkungan yang f. Stasiun F (Desa Busung): Terdapat
mendukung kehidupan siput gonggong. sebuah teluk besar yang menjadi muara
Informasi tersebut sangat diperlukan untuk sungai-sungai kecil. Vegetasi yang ada di
pengelolaan siput gonggong berbasis lokasi ini yaitu padang lamun, hutan
konservasi agar pemanfaatannya sebagai mangrove dan hutan pantai. Mangrove di
bahan pangan dapat berkelanjutan dan Desa Busung masih rapat dan merupakan
kestabilan ekosistem dapat terjaga dengan kawasan hutan lindung dan hutan
baik. produksi terbatas (DKP Bintan 2014).
Pesisir ini menghadap ke bagian pulau
BAHAN DAN METODE PENELITIAN yang bagian Timur.
Penelitian ini dilaksanakan di pesisir
Prosedur Penelitian Pengukuran Parameter
Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau
Fisik-Kimia Perairan
pada bulan November 2014 – Januari 2015.
Pengukuran parameter fisika-kimia air
seperti suhu, salinitas, pH dilakukan secara in-
Metode Penelitian
situ Pengukuran nitrat, fosfat, dan kekeruhan
Metode penelitian yang digunakan dilakukan secara eks-situ di laboratorium
yaitu metode survey pada 6 stasiun di 3 Balai Budidaya Laut Batam.
36
Jurnal Perikanan Kelautan Vol. VII No. 2/ Desember 2016 (35-44)
Pengamatan Substrat
Pengukuran fraksi sedimen dilakukan
dengan pengamatan visual dan metode Keterangan :
gravimetrik dengan mengayak 20 gram Id : indeks distribusi Morisita
substrat yang sudah kering menggunakan N : jumlah total seluruh individu
ayakan bertingkat. Berat sedimen disetiap N : jumlah seluruh petak
ayakan ditimbang dan tekstur substrat pengamatan (50 petak x 1 meter)
dikategorikan sesuai dengan segitiga miller. ∑x2 : jumlah individu jenis i per
Total bahan organik diukur untuk mengetahui petak
kandungan bahan organik pada sedimen di Kategori indeks morisita sebagai berikut:
perairan. Kedua prosedur dilakukan di Lab Id < 1 : distribusi individu cenderung
Proling FPIK IPB. acak
Id = 1 : distribusi individu bersifat
Pengamatan Siput Gonggong dan merata
Gastropoda lainnya Id > 1 : distribusi individu cenderung
Pengambilan data kelimpahan berkelompok.
Strombus turturella dilakukan dengan metode
kwadrat ganda. Ukuran transek penelitian ini Keanekaragaman Biota Gastropoda
mengacu pada Andiarto (1989), setiap stasiun Keanekaragaman jenis merupakan ciri
memiliki area sampling seluas 100m x 100m. khas struktur komunitas, tujuannya untuk
Selanjutnya ditarik lima buah garis tegak lurus mengukur tingkat keteraturan dalam suatu
dengan jarak interval 25 m. Sampel siput sistem. Keanekaragaman dihitung dengan
gonggong dan gastropoda lain yang ada di rumus Indeks Diversitas Shannon-Winner
dalam transek kuadrat berukuran 1m x 1m (Brower dan Zar 1997 dalam Ilmi 2015)
pada garis tegak lurus tersebut setiap 10 meter. sebagai berikut:
Transek kuadrat dibuat dari paralon dan di isi
semen.
37
Vidlia Putri Rosady: Kelimpahan dan Kondisi Habitat siput Gonggong…
Adelia dkk (2013), fluktuasi salinitas di daerah setiap jenis organisme mempunyai kebutuhan
pasang surut sangat tinggi, terutama di daerah senyawa fosfat dalam jumlah berbeda. Adapun
muara sungai yang mengeluarkan sejumlah efek yang ditimbulkan jika suatu perairan
besar air tawar. Salinitas tertinggi terdapat di kelebihan kandungan fosfat dan nitrat yaitu
Stasiun C dengan nilai 31,66 0 /00 . risiko meningkatnya jumlah fitoplankton
Derajat keasaman diseluruh stasiun berbahaya yang membuat perairan menjadi
cenderung basa dengan nilai 8 (ketelitian alat toksik karena proses eutrofikasi (Moore et al.
1,0). Derajat keasaman yang sesuai untuk 2008).
biota laut dalam KepMen LH No. 51 tahun Nilai turbiditas atau kekeruhan di
2004 yaitu 7-8,5. Nilai pH dapat berpengaruh stasiun penelitian berkisar antara 0-7 NTU
terhadap proses kalsifikasi cangkang siput (Nephelometric Turbidity Unit). Nilai terendah
gonggong. Dalam penelitian Fitzer et al terdapat di stasiun F dengan nilai 0.92 NTU.
(2015), Mytilus edulis yang berada pada Hal ini disebabkan oleh gelombang di area
simulasi pengasaman laut, berkurang tersebut tidak besar dan di daerah sekitarnya
ketebalan cangkangnya dan bentuk terdapat hutan mangrove. Sedangkan pada
cangkangnya yang merupakan bentuk adaptasi stasiun B (Sungai Kecil) merupakan daerah
terhadap penipisan cangkang. terkeruh dengan nilai turbiditas 6.77 NTU
Nilai nitrat tidak dapat terdeteksi melebihi baku mutu air laut. Nilai kekeruhan
karena ketelitian alat hanya mencapai 0.1 dapat berpengaruh terhadap habitat siput
mg/l. Nilai fosfat berkisar antara 0,014 mg/l- gonggong karena menghalangi cahaya yang
0,031 mg/l dengan nilai tertinggi terdapat pada masuk ke dasar perairan, yang mana cahaya
stasiun B (0,031 mg/l) dan stasiun E (0,030 ini digunakan fitoplankton untuk
mg/l). Fosfat di perairan digunakan moluska berfotosintesis, sehingga dapat mempengaruhi
untuk pembentukan cangkang dan untuk produktivitas air di lokasi tersebut.
memproduksi energi sehingga sering
ditemukan pada bagian insang dan pembuluh Jenis Substrat dan Total Bahan Organik
darah (Pomeroy et al 1954). Nitrat dan fosfat pada Sedimen
dalam perairan secara alami berasal dari Siput gonggong adalah gastropoda
proses dekomposisi tumbuhan dan hewan, yang hidup pada permukaan substrat atau
limbah domestik, industri, pertanian, dan merupakan hewan bentik. Hasil analisis jenis
peternakan (Ulqodry et al. 2010). Stasium A, substrat untuk masing-masing satsiun yang
B, C, D, dan E mempunyai kandungan fosfat dilakukan di laboratorium Produktivitas
yang melebihi dari baku mutu, namun Lingkungan dan Perairan FPIK IPB, disajikan
dinyatakan dalam Santoso (2007) bahwa pada Tabel 2, berikut ini:
Tipe substrat di seluruh stasiun penelitian Stasiun F dan Stasiun D. Karakter lingkungan
>97% didominasi oleh substrat pasir dari total yang sama diantara dua lokasi ini yaitu
berat sampel. Perbandingan yang hampir terdapat muara sungai dan teluk di sekitar
sama antara ketiga jenis substrat terdapat di pantai. Begitupun dengan Stasiun E dan
39
Vidlia Putri Rosady: Kelimpahan dan Kondisi Habitat siput Gonggong…
Stasiun A memiliki perbandingan yang sama perairan. Bahan organik dapat berasal dari
yang mana kedua lokasi ini memiliki pantai daratan melalui sungai serta serasah mangrove
yang panjang dan memiliki sebuah dan lamun. Menurut Wood (1987), pada
semenanjung. sedimen yang halus, walaupun oksigen sangat
Pada Stasiun C terdapat sebuah terbatas tetapi kandungan bahan organik
konstruksi hasil reklamasi yang menjorok ke tersedia dalam jumlah yang banyak. TOM
laut layaknya dermaga. Keberadaan dermaga yang berada pada lokasi penelitian berkisar
di suatu pesisir dapat mempengaruhi transport antara 47 %- 13 %. Nilai TOM tertinggi
sedimen dan perubahan garis pantai baik terdapat di stasiun F dengan nilai 46,28 % dan
karena sedimentasi ataupun erosi (Supiyati et Stasiun C dengan nilai 42,58%. Pada Stasiun
al. 2013). Perbedaan karakteristik pantai ini B, D, dan E nilai TOM berkisar antara 30% -
dapat mempengeharuhi aliran arus. Dalam 24%.
penelitian Dody (2011) di Teluk Kelabat, . Kandungan TOM pada sedimen di
perbedaan substrat pasir kasar dan pasir habitat siput gonggong adalah sumber
berlumpur di bagian barat dan timur sungai makanan bagi hewan tersebut dan bagi hewan
terjadi karena adanya pola arus yang berbeda. bentik lainnya yang merupakan detrivor. Nilai
Arus yang deras dapat membawa partikel TOM yang tertinggi pada stasiun F dapat
sedimen yang lebih kecil. Bila komposisi disebabkan oleh keberadaannya yang terletak
substrat didominasi oleh lumpur maka akan di kawasan hutan lindung dan muara sungai
membahayakan kehidupan siput itu sendiri. dengan sebagian besar area ditutupi oleh hutan
mangrove. Hutan mangrove merupakan
Tabel 3. Kandungan Total Bahan Organik penyuplai unsur hara dari hasil dekomposisi
pada Substrat di Kabupaten Bintan serasah. Selain itu, pada penelitian kandungan
Kandungan TOM bahan organik pada sedimen di Teluk Buyat
Stasiun Nama Lokasi
(%) oleh Manengkey (2010) ditemukan kasus yang
Kampung serupa, yakni bahan organik paling banyak
A 13,22
Baru
ditemukan di stasiun 3B yang merupakan area
B Sungai Kecil 29,47
teluk dan muara sungai. Menurut Pariwono
C Sebung 42,58
(1996) dalam Manengkey (2010), bahan
D Sekera 24,79 organik pada sedimen merupakan pencemar
E Sungai Lepah 27,65 perairan yang paling umum dijumpai, dan
F Desa Busung 46,28 dampak yang ditimbulkannya tidak langsung.
Tingginya bahan organik dapat menurunkan
Total Organic Matter (TOM) atau kandungan oksigen terlarut dan terjadi proses
Total Bahan Organik pada suatu perairan eutrofikasi yang berakibat terancamnya
dipengaruhi oleh kandungan bahan organik di organisme seperti ikan dan hewan bentik
sedimen melalui proses pengendapan ke dasar lainnya.
40
Jurnal Perikanan Kelautan Vol. VII No. 2/ Desember 2016 (35-44)
41
Vidlia Putri Rosady: Kelimpahan dan Kondisi Habitat siput Gonggong…
Harjo, 2013. Tambang Pasir di Bintan Utara Siddik, J., 2011. Sebaran Spasial dan Potensi
Dilarang Pemerintah Harus Cari Solusi. Reproduksi Populasi Siput Gonggong
Available at: batamtoday.com [diakses (Strombus turturella) di Teluk Klabat
18 April 2016]. Bangka-Belitung. Thesis. Sekolah Pasca
Hülsken, T., 2008. Phylogenetic relationship Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
and species identification within the Suhardi, B., 2012, Analisis Kandungan Logam
Naticidae Guilding, 1834 (Gastropoda: Berat Cd dan Pb pada Siput Gonggong
Caenogastropoda). Ruhr University (Strombus canarium) di Perairan Laut
Bochum. Madung Kota Tanjungpinang. Skripsi.
Jumaidi, I.F., Nasution, S. & Efriyeldi, 2015. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas
Diversity Of Gastropods At Intertidal Ilmu Kelautan dan Perikanan, UMRAH.
Zone Of Pengudang Village Bintan Tanjungpinang.
District. UNRI. Sumich, James L. 1988. An introduction to the
Pratama, R.R., Efrizal, T. & Viruly, L., 2013. Biology of marine life, fourth edition.
An Analysis Abundance And Grossmont College. WCB (Wm. C.
Distribution Pattern of Strombus Brown Publishers) Dubuque, Iowa. Page
Cannarium Population In Coastal Water 82, capt. 6
Of Dompak Island. Maritim Raja Ali
Haji University. Tanjung Pinang. Suwignyo, S., Widigdo B., Wardiatno Y dan
Manengkey, H.W.K., 2010. Kandungan Krisanti M. 2005. Avertebrata Air. Jilid
Bahan Organik Pada Sedimen Di 1. Penebar Swadaya.
Perairan Teluk Buyat Dan Sekitarnya. Thoha, H., 2003. Pengaruh Musim Terhadap
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Plankton di Perairan Riau Kepulauan
UNSRAT, VI, pp.114–119. dan Sekitarnya. MAKARA, SAINS,
Moore, S.K. et al., 2008. Impacts of climate 7(2), pp.59–70.
variability and future climate change on Ulqodry, T.Z. et al., 2010. Karakterisitik dan
harmful algal blooms and human health. Sebaran Nitrat, Fosfat, dan Oksigen
Environmental Health, 7 (Suppl 2), Terlarut di Perairan Karimunjawa Jawa
p.S4. Tersedia di: Tengah. Jurnal Penelitian Sains, 13(D),
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articl p.36.
erender.fcgi?artid=2586717&tool=pmce Waris, R.W.N., Zen, L.W. & Zulfikar, A.,
ntrez&rendertype=abstract. 2014. Kajian Stok Siput Gonggong
(Strombus canarium) Perairan Madong,
Santoso, A.D., 2007. Kandungan Zat Hara Kota Tanjung Pinang, Provinsi
Fosfat pada Musim Barat dan Musim Kepulauan Riau. FIKP, Universitas
Timur di Teluk Hurun Lampung. Jurnal Maritim Raja Ali Haji.
Teknik Lingkungan, 8(3), pp.207–210.
44