You are on page 1of 33

IMPLEMENTASI KONSEP UMMATAN WASATHAN PADA

MASYARAKAT MANDAR DI DESA BONDE KECAMATAN


CAMPALAGIAN

(STUDI ANALISIS Q.S AL-BAQARAH AYAT 143)

PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Agama (S,Ag)
pada program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) Jurusan Ushuluddin Adab dan
Dakwah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Majene

Oleh :

Ahmad Darwis
NIM: 30156117002

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

JURUSAN USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) MAJENE


2021
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Pembimbing penulisan proposal skripsi saudara Ahmad Darwis. NIM:

30156117002, Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir pada Jurusan

Ushuluddin Adab dan Dakwah STAIN Majene, setelah meneliti dan mengoreksi

secara seksama proposal skripsi berjudul “Implementasi Konsep Ummatan Wasathan

pada Masyarakat Mandar di Desa Bonde Kecamatan Campalagian (Studi Analisis

Q.S Al-Baqarah Ayat 143) memandang bahwa proposal skripsi tersebut telah

memenuhi syarat-syarat ilmiah dan dapat disetujui untuk diseminarkan.

Demikian persetujuan ini diberikan untuk diproses lebih lanjut.

Majene, 30 Agustus 2021

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Muhammad Nasir, M.A Zulkifli, M.Th.I


NIP: 197606032008011015 NIP: 198803082019031010

DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................ii

BAB I.................................................................................................................1

PENDAHULUAN............................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.............................................................................1

B. Rumusan Masalah......................................................................................6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................................7

D. Kajian Pustaka/Kajian Terdahulu..............................................................8

BAB II.............................................................................................................11

TINJAUAN TEORITIS................................................................................11

A. Pengertian Ummatan Wasathan..............................................................11

1. Makna Kata Ummah................................................................................11

2. Makna Kata Wasathan.............................................................................14

BAB III...........................................................................................................20

METODOLOGI PENELITIAN...................................................................20

A. Metode Penelitian..................................................................................20

1. Jenis dan Lokasi Penelitian..................................................................20

2. Metode dan Pendekatan Penelitian.......................................................21

3. Metode Pengumpulan Data..................................................................22

4. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data.........................................24

KOMPOSISI BAB.........................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................29
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an sebagai firman Allah swt. tidak henti-hentinya dikaji sepanjang

sejarah, baik oleh yang mengimaminya maupun yang tidak mengimaminya. Namun,

nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an tidak pernah kering, semakin dikaji

semakin terbentang luas nilai-nilai yang belum dapat diselami. Pengkajian yang

lebih intens terhadap nilai-nilai Al-Qur’an diharapkan dapat menemukan paradigma

baru, arahan, dan konsepsi baru.1

Sejak masa awal Islam, terutama pasca turunnya wahyu Al-Qur’an pemeluk

Islam senantiasa berusaha untuk mengerti dan memahami isi kandungannya. Upaya

penafsiran terus dilakukan, meskipun masih sebatas pada ranah linguistik yang

memang masyarakat Arab pada umumnya, terutama Nabi Saw dan para sahabatnya

yang diakui dalam sejarah Islam sangat fasih berbahasa dan mengerti bahasa

sosialnya. Sahabat Ibnu Ibn Mas’ud dan Ibn Abbas misalnya tanpa mengabaikan

sahabat lainnya sangat dipercaya Nabi untuk menjawab persoalan-persoalan sosial

yang muncul dan telah direspon oleh Al-Qur’an sebagai bentuk dialektika wahyu.2

Bagi umat Islam, al-Qur’an merupakan kitab suci yang menjadi manhaj al-

hayat. Mereka disuruh untuk membaca dan mengamalkan agar memperoleh

kebahagiaan dunia akhirat. Dalam realitanya, fenomena pembacaan al-Qur’an sebagai

1
Salim Muin, Metodologi Penelitan Tafsir Maudhu’I (Cet.I; Pustaka Al-Zikra, 2011), h.1.
2
Muhammad Yusuf, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadits, ed. Sahiron
Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadits, (Yogyakarta: TH Press, 2007), h. 35.
2

sebuah apresiasi dan respons umat Islam ternyata sangat beragam. Ada berbagai

model pembacaan al-Qur’an, mulai yang berorientasi pada pemahaman dan

pendalaman maknanya, sampai yang sekedar membaca al-Qur’an sebagai ibadah

ritual atau untuk memperoleh ketenangan jiwa. Bahkan ada pula model pembacaan

al-Qur’an yang bertujuan untuk mendatangkan kekuatan magis (supranatural) atau

terapi pengobatan dan sebagainya.3

Setiap muslim berkeyakinan bahwa manakala dirinya berinteraksi dengan al-

Qur’an, maka hidupnya akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Untuk

mendapatkan petunjuk al-Qur’an, muslim berupaya untuk dapat membacanya dan

memahami isinya serta mengamalkannya, meskipun membacanya saja sudah

dianggap sebagai ibadah. Pembacaan al-Qur’an menghasilkan pemahaman yang

beragam sesuai kemampuan masing-masing, dan pemahaman tersebut melahirkan

perilaku yang beragam pula sebagai tafsir al-Qur’an dalam praksis kehidupan, baik

pada dataran teologis, filosofis, psikologis, maupun kultural.4

Pengalaman berinteraksi dengan al-Qur’an menghasilkan pemahaman dan

penghayatan terhadap ayat-ayat al-Qur’an tertentu secara atomistic. Pemahaman dan

penghayatan individual yang diungkapkan dan dikomunikasikan secara verbal

maupun dalam bentuk tindakan tersebut dapat mempengaruhi individu lain sehingga

membentuk kesadaran bersama, dan pada taraf tertentu melahirkan tindakan-tindakan

kolektif dan terorganisasi. Pengalaman bergaul dengan al-Qur’an itu meliputi

bermacam-macam bentuk kegiatan, misalnya membaca al-Qur’an, memahami dan


3
Abdul Mustaqim, Metodologi Penelitian living Qur’an dan Hadits, ed. Sahiron Syamsuddin,
Metodologi Penelitian living Qur’an dan Hadits, h. 65.
4
Muhammad Azizan Fitriana, Jurnal Studi Living Qur’an dikalangan Narapidana : Studi
Kasus Pesantren At-Taubah Lembaga Pemasyarakatan Kab. Cianjur-Jawa Barat, (Misykat, Volume
03, Nomor 02, Desember 2015), h. 66.
3

menafsirkan al-Qur’an, menghafal al-Qur’an, berobat dengan al-Qur’an, memohon

berbagai hal dengan al-Quran, mengusir makhluk halus dengan al-Qur’an,

menerapkan ayat-ayat al-Qur’an tertentu dalam kehidupan individual maupun dalam

kehidupan sosial, dan menuliskan ayat-ayat al-Quran untuk menangkal gangguan

maupun hiasan.5

Akhir-akhir ini moderasi Islam (wasathiyah) dipertegas sebagai arus utama


keislaman di Indonesia. Ide pengarusutamaan ini disamping sebagai sulusi untuk
menjawab berbagai problematika keagamaan daan peradaban global, juga merupakan
waktu yang tepat generasi moderat harus mengambil langkah yang lebih agresif. Jika
kelompok radikal, ekstrimis, dan puritan berbicara lantang disertai tindakan
kekerasan, maka muslim moderat harus berbicara lebih lantang dengan disertai
tindakan damai.6 Gerakan ini sebenarnya juga merupakan kelahiran kembali generasi
muslim sebagaimana pernah terjadi dalam bentangan sejarah komunitas awal
muslim.7

Dalam konteks uraian tentang moderasi beragama, para pakar sering kali
merujuk kepada QS al-Baqarah/2:143, yaitu :

ۤ
َ‫ةَ الَّتِ ْي ُك ْنت‬Sَ‫ا ْالقِ ْبل‬SSَ‫ا َج َع ْلن‬SS‫ ِه ْيدًا ۗ َو َم‬S‫وْ ُل َعلَ ْي ُك ْم َش‬S‫َّس‬
ُ ‫وْ نَ الر‬SS‫اس َويَ ُك‬ ِ َّ‫هَدَا َء َعلَى الن‬S‫وْ ا ُش‬SSُ‫َو َك ٰذلِكَ َج َع ْل ٰن ُك ْم اُ َّمةً َّو َسطًا لِّتَ ُكوْ ن‬
ُ ‫انَ هّٰللا‬S‫ا َك‬S‫دَى هّٰللا ُ ۗ َو َم‬Sَ‫ َرةً اِاَّل َعلَى الَّ ِذ ْينَ ه‬Sْ‫َت لَ َكبِي‬ ْ ‫ان‬S‫ ۗ ِه َواِ ْن َك‬Sْ‫وْ َل ِم َّم ْن يَّ ْنقَلِبُ ع َٰلى َعقِبَي‬S‫َّس‬
ُ ‫ ُع الر‬Sِ‫َعلَ ْيهَٓا اِاَّل لِنَ ْعلَ َم َم ْن يَّتَّب‬
‫هّٰللا‬
(١٤٣) ‫ف َّر ِح ْي ٌم‬ ٌ ْ‫اس لَ َرءُو‬ِ َّ‫ُض ْي َع اِ ْي َمانَ ُك ْم ۗ اِ َّن َ بِالن‬ ِ ‫لِي‬

Terjemahnya:

5
Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadits, h. 12.
6
Khaled abou El-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim puritan, terj. Helmi Mustofa (Jakarta :
Serambi, 2005), h. 343.
7
Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia : Agama dan Spritualitas di Zaman Kacau,
(Bandung : Mizan, 2017), h. 131.
4

Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat
pertengahan”, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak
menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar
kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke
belakang. Sungguh (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang
yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan
imanmu. Sunnguh Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.8

Terjemah bahasa Mandar:


“Anna bassa toi iyami’pura mappajario mie’ (umma’ Sallang) umma’ lalo
tangnga malaao menjari sa’bi di (panggaunna) bassa tau anna mala toai suro
(Muhammad) menjari sa’bi dipanggauammu mie’. Anna andiangi iyami’
mappatatta’ kibla’ iya muengei (diolo’) me’olo lao selaenna mamoare’i
iyami’ ma’issang to tongang mappeccoe’i Suro anna inai to’o me’alese. Anna
sitonganna (mappalele kibla’) di’o mabe’i sanna’i, selaenna to nabei
patiroang Puang Allah Taala. Anna Puang Allah Taala andiangi napalaosala
tappa’mu mie’, sitonganna Puang Allah Taala Masarro Mappelomo-lomo na
Makkesayang lao di rupa tau”9

Hadirnya Islam dalam masyarakat Mandar adalah hasil dari dakwah yang

dilakukan para ulama dengan berpangkal pada moderasi beragama. Hadirnya Islam

dimulai dari hubungan politik antara kerajaan Gowa dan Mandar. Ulama yang

diyakini sebagai pembawa ajaran Islam di Mandar adalah Syekh Abdurrahim

Kamaluddin yang merupakan ulama kerajaan Gowa. Lontara Balanipa menyebutkan

bahwa Abdurrahim kamaluddin adalah orang membawa Islam ke Kerajaan balanipa

pada sekitar abad 16 pertama kali mendarat di pantai Tammangalle, Balanipa. Syekh

ini kemudian menetap dan meninggal di Binuang hingga ia dikenal dengan gelar

Tuanta Binuang. Keberhasilan Syekh Abdurrahim Kamaluddin atau Tuanta Binuang

8
Idham Khalid Bodi, Koroang Mala’bi : Al-Qur’an Terjemahan Bahasa Mandar dan
Indonesia, (Makassar : Balitbang Agama Makassar, 2019). h. 35.
9
Idham Khalid Bodi, Koroang Mala’bi : Al-Qur’an Terjemahan Bahasa Mandar dan
Indonesia, h. 35.
5

dalam meyebarkan Islam ini karena dia langsung melakukanya di tingkat masyarakat

akar rumput (masyarakat bawah).10

Para ulama yang datang membawa Islam tidak mendominasi, tetapi

melakukan interaksi dialogis dengan mengakomodir budaya lokal yang ada. Dalam

hal ini, perjumpaan Islam dan budaya lokal berlangsung dalam ruang kebudayaan

yang setara. Para ulama yang memiliki latar belakang budaya Arab memanfaatkan

ruang kebudayaan lokal untuk memperkenalkan Islam. Sebaliknya orang Mandar

menerima Islam dengan membingkainya dalam perspektif lokal. Sehingga jawaban

mengenai bagaimana masyarakat Mandar menyelaraskan Islam dan tradisi hingga

mencapai harmonis adalah dengan moderasi.

Hingga saat ini, Kawasan Pambusuang, Campalagian dan Karama adalah

kawasan santri. Di tempat ini, sangat mudah ditemukan kelompok pengajian kitab

tradisional yang sudah diwariskan sejak lama. Para pengajarnya bukan kiai dari luar,

melainkan putera Mandar sendiri yang dikenal dengan sebutan annangguru.

Menariknya, praktik Islam bernuansa lokal di wilayah ini pun tumbuh subur. Tradisi

barazanji, tahlilan, mambaca-baca, marroma, mappatamma’ koroang, makkuliwa

sangat mudah ditemukan disini. Para annangguru bahkan menjadi aktor penting

dalam menjalankan tradisi ini. Annangguru menjadi pusat pertemuan antara Islam

dan narasi sehingga, peran annangguru menjadi sangat sentral dalm menjaga titik

keseimbangan antara keislaman dan kemandaran.11

10
Idham Khalid, Moderasi Dalam Budaya Masyarakat Islam ( Cet I, Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama, 2019), h. 12.
11
Idham Khalid, Moderasi Dalam Budaya Masyarakat Islam, h. 12-13.
6

Menurut Idham, moderasi beragama yang dipegang para penyebar Islam telah

berhasil membuat masyarakat Mandar tidak saja memeluk tetapi juga menjadikan

Islam sebagai identitas kultural mereka. Karenanya, penyebaran Islam di tanah

Mandar bisa menjadi contoh terbaik dalam memperkenalkan agama-agama besar.

Dalam kasus ini proses dialog kultural yang panjang dengan kebudayaan lokal

membuat masyarakat Mandar mudah menerima Islam tanpa kehilangan identitas

mereka. Hal ini disebabkan karena ajaran tawassut Islam bertemu dengan budaya

Mandar yang sangat terbuka. Pertemuan itu berkembang dalam hubungan saling

memperkuat, sehingga terwujud masyarakat Islam moderat di kawasan tersebut dan

sifat moderat juga telah menjadi budaya Mandar.12

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih

jauh mengenai ”Implementasi Konsep Ummatan Wasathan pada Masyarakat Mandar

di Desa Bonde Kecamatan Campalagian” yang berlandaskan pada QS al-Baqarah

ayat 143 dengan menggunakan studi analisis baik dari segi tafsiran dan aspek

sosiologinya, sehingga akan ditemukan makna yang jelas tentang ummatan wasathan

dan sejauh mana implementasi konsep ummatan wasathan tersebut dalam lingkup

kehidupan masyarakat Mandar di desa Bonde.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan di atas, maka pokok


permasalahan dalam penelitian ini ialah bagaimana implementasi ummatan wasathan
pada masyarakat Mandar yang dijabarkan dalam 2 sub masalah sebagai berikut :

1. Apa makna ummatan wasathan dalam Q.S al-Baqarah/2:143 menurut ulama

12
Idham Khalid, Moderasi Dalam Budaya Masyarakat Islam, h. 4.
7

tafsir dan ulama lokal?

2. Bagaimana Implementasi konsep ummatan wasathan pada masyarakat Mandar

di Desa Bonde Kecamatan Campalagian?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang ada, maka tujuan dari penelitian

ini adalah :

1. Untuk mengetahui makna ummatan wasathan dalam Q.S al-Baqarah/2:143

menurut ulama tafsir dan ulama lokal.

2. Untuk mengetahui implementasi konsep ummatan wasathan pada masyarakat

Mandar di desa Bonde Kecamatan Campalagian.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini antara lain :

a. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan akan berguna sebagai sumbangan informasi positif


mengenai ummatan wasathan dan implementasinya pada masyarakat Mandar di desa
Bonde Kecamatan campalagian.

b. Secara Praktis

1) Bagi peneliti dan masyarakat Mandar khususnya di desa Bonde dapat

memberikan motivasi untuk selalu menanamkan konsep nilai-nilai wasathiyah

dalam kehidupan bermasyarakat.

2) Bagi peneliti berikutnya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbaangan atau

dikembangkan lebih lanjut serta sebagai referensi terhadap penelitian sejenis.


8

D. Kajian Pustaka/Kajian Terdahulu

Setelah melakukan penelusuran terhadap berbagai literatur dan karya ilmiah,

khususnya yang berkaitan dengan penelitian penulis, belum ditemukan sebuah karya

atau penelitian secara khusus mengkaji “Implementasi Konsep Ummatan Wasathan

pada Masyarakat Mandar di Desa Bonde Kecamatan Campalagian (Studi Analisis

Q.S Al-Baqarah/2:143). Akan tetapi terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan

judul yang menjadi objek kajian penulis dalam skripsi ini, diantaranya:

1. Buku yang ditulis oleh M. Quraish Shihab berjudul Wasathiyyah; Wawasan

Islam tentang Moderasi Beragama. Dalam buku ini, membahas tentang

makna wasathiyyah, ciri-ciri wasathiyyah, hakikat wasathiyyah, serta

gambaran-gambaran tentang wasathiyyah dalam sekian aspek. Dalam buku

ini juga dipaparkan tentang bagaimana langkah-langkah utama menerapkan

dan dapat mewujudkan wasathiyyah.13

2. Buku berjudul Islamic Building; Memahami Islam Secara Kaffah dalam

Rangka Mewujudkan Moderasi Beragama di Indonesia yang ditulis oleh

Muhammad Fathurrohman dan Muh.Khoirul Rifa’i. Dalam buku tersebut

dipaparkan mulai tentang sumber-sumber ajaran Islam, konsep manusia

sebagai Khalifah Allah dan yang lebih penting untuk keperluan penelitian

skripsi terkait ialah yang membahas tentang konsep ummah dan

Implementasi ummah wasathan dalam konteks ke-Indonesiaan.14

13
M. Quraish Shihab, Wasathiyyah : Wawasan tentang Moderasi Beragama, (Cet. I;
Tangerang: Lentera hati, Sebtember 2019).
14
Muhammad fathurrohman, Islamic Building : Memahami Islam Secara kaffah dalam
Rangka mewujudkan Moderasi Beragama di Indonesia, Cet. I; Yogyakarta: Kalimedia, 2020).
9

3. Karya Ilmiah berbentuk skripsi yang ditulis oleh Sabri Mide dengan judul

Ummatan Wasathan Dalam Al-Qur’an (Kajian Tafsir Tahlili dalam Q.S Al-

Baqarah/2:143). Dalam skripsi ini membahas tentang makna kata Ummatan

Wasathan, kemudian memaparkan analisis Q.S. Al-Baqarah/2:143 mulai dari

asbab al-nuzul, munasabah ayat, analisis kosa kata. Dan menjelaskan

implikasi penafsiran Ummatan wasathan dalam Q.S Al-Baqarah/2:143.15

4. Karya Ilmiah bebentuk Tesis yang ditulis oleh Bagus Wibawa Kusuma

sebagai pemenuhan syarat dalam menyelesaikan program Magister

Pendidikan Agama Islam. Tesis tersebut berjudul Integrasi Nilai-Nilai Islam

Wasathiyyah dan Kearifan Lokal dalam Dakwah Transformatif Pondok

Pesantren Sabilul Hidayah. Dalam pemaparannya dalam tesis tersebut, ia

membahas tentang konsep Islam moderat/wasathiyyah, nilai-nilai Islam

wasathiyyah dan implementasinya berkaitan dengan kearifan lokal. Dalam

tesis tersebut juga membahas tentang konsep dakwah transformatif,

karakteristik dakwah transformatif, dan mengulas sisi pendekatan nilai-nilai

Islam wasathiyyah dan kearifan lokal dalam dakwah transformatif.16

5. Karya Ilmiah berupa Skripsi berjudul “Konsep Nilai-Nilai Moderasi Dalam

Al-Qur’an dan Implementasinya Dalam Pendidikan Agama Islam” yang

ditulis oleh Rizal Ahyar Musaffa sebagai pemenuhan syarat memperoleh

gelar Sarjana Pendidikan dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam. Dalam

Skripsi tersebut dijelaskan tentang prinsip-prinsip moderasi dalam Al-Qur’an

15
Sabri Mide, Ummatan Wasathan Dalam Al-Qur’an, Skripsi (Makassar: Fakultas
Ushuluddin Adab dan dakwah UINAM, 2014).
16
Bagus Wibawa Kusuma, Integritas Nilai-Nilai Islam Wasathiyyah dan Kearifan Lokal
Dalam dakwah Transformatif Ponpes Sabilul Hidayah, Tesis (Malang: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Maulana Malik Ibrahim, 2020).
10

dan fungsinya dalam pendidikan agama Islam, serta analisis moderasi dalam

Q.S Al-Baqarah/2:143 dan implementasinya dalam pendidikan agama

Islam.17

Setelah melakukan pembacaan terhadap beberapa literatur baik dalam bentuk

buku, skripsi, jurnal, dan sejenisnya sudah banyak yang mengkaji tentang konsep

wasathiyah dengan fokus yang berbeda. Namun peneliti mendapatkan perbedaan

yang signifikan antara penelitian yang akan peneliti kaji dengan karya-karya

terdahulu sehingga perlu dilanjutkan untuk penelitian selanjutnya. Dalam tulisan ini

peneliti mencoba memaparkan berbagai pemaknaan atau perspektif dari

annangguru/ulama dan masyarakat Mandar khususnya di Desa Bonde Kec.

Campalagian Kab. Polman tentang konsep wasathiyah dan bagaimana pemaknaan ini

kemudian terwujud dalam kehidupan sehari-hari, atau menjadi dasar perilaku dan

tindakan yang sejalan dengan nilai-nilai wasahiyah dari ajaran Al-Qur’an..

17
Rizal Ahyar Musaffa, Konsep Nilai-Nilai Moderasi Dalam Al-Qur’an dan Implementasinya
Dalam Pendidikan Agama Islam, Skripsi (Semarang : Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Walisongo, 2018).
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Ummatan Wasathan

Mengenai Pengertian Ummatan Wasathan, penulis akan mengurai pengertian

dari kedua kata tersebut. Dengan memberi penjelasan tentang makna kata Ummatan

dan mengurai penjelasan tentang makna kata wasathiyah.

1. Makna Kata Ummah

Kata ummah (‫ )أ َّم ْة‬terambil dari kata ‫ َأ َّم –يَُؤ ُّم‬yang berarti menuju, menumpu,
dan meneladani. Dari akar kata yang sama lahir antara lain kata ‫ َأ ْم‬yang berarti Ibu
dan ‫ا ٌم‬SS‫ ِإ َم‬yakni pemimpin, karena keduanya (ibu dan imam) merupakan teladan,
tumpuan pandangan, dan harapan. Ada sementara paka'r bahasa yang berpendapat
sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim Bin Umar al-Biqa’I (1406-1580) dalam
tafsirnya bahwa kata ‫ أ َّم ْة‬terambil dari kata ‫( اَأل ِّم‬al-ammi) yakni “Keterikutan sejumlah
hal menuju satu arah sehingga berakhir pada Imam”. Ar-Raghib al-Asfahani (w.1109
M) dalam kitab Mu’jamnya, mengemukakan bahwa kata Ummah digunakan untuk
menunjuk semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama yang sama,
waktu atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas
kehendak mereka. Karena itu, binatang-binatang terhimpun karena adanya persamaan
di antara mereka, demikian juga burung burung dinamai ummah oleh al-Qur’an.18
Sebagaimana dalam QS. Al-An’am/6:38 :

‫ ْي ٍء ثُ َّم اِ ٰلى َربِّ ِه ْم‬SS‫ب ِم ْن َش‬ ْ ‫ا فَر‬SS‫الُ ُك ْم ۗ َم‬SSَ‫ ِه ِآاَّل اُ َم ٌم اَ ْمث‬SSْ‫ ُر بِ َجنَا َحي‬SSْ‫ض َواَل ٰۤط ِٕى ٍر يَّ ِطي‬
ِ ‫ا فِى ْال ِك ٰت‬SSَ‫َّطن‬ ۤ
ِ ْ‫ا ِم ْن دَابَّ ٍة فِى ااْل َر‬SS‫َو َم‬
(٣٨) َ‫يُحْ َشرُوْ ن‬

18
M. Quraish Shihab, Islam dan Kebangsaan : Tauhid, Kemanusiaan, dan
Kewarganegaraan, (Cet. I; Tangerang Selatan: Lentera Hati, November 2020), h. 5-6.
12

:Terjemahnya
Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat
(juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam
Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan.19

Terjemah bahasa Mandar :


“Anna andiang diang olo’-olo’ mellene’ di lino anna manu-manu’ iya
melluttus siola da’dua pani’na, selaengna (manu-manu’ di’o) umma’ toi
sittengano’o mie’. Andiangi iyami’ mappealuppeang maui mesa di lalang
kitta’, mane sangga laon di Puang Allah Taala ise’iya dipasirumung.”20

Dalam al-Qur’an kata ummah ditemukan terulang dalam bentuk tunggal


sebanyak 52 kali dan dalam bentuk jamak sebanyak 12 kali. Al-Husain bin
Muhammad ad-Damighani menyebut dalam bukunya kamus Al-Quran sembilan arti
untuk kata ummah, yaitu 1) ‘ushbah (kelompok), 2) millat (cara dan gaya hidup), 3)
tahun-tahun (waktu) yang panjang, 4) kaum, 5) pemimpin, 6) generasi masa lalu, 7)
umat nabi Muhammad saw., 8) orang-orang kafir secara khusus, dan 9) makhluk
(selain manusia yang dihimpun oleh adanya persamaan antarmereka). 21 Meskipun
mempunyai banyak makna, namun benang merah merah yang menggabungkannya
adalah “himpunan”. Kata ini sangatlah lentur, luwes, sehingga dapat mencakup aneka
makna, dan dengan dengan demikian dapat menampung dalam kebersamaannya
aneka perbedaan.22 Rasyid Ridha juga menyimpulkan kata ummah dengan pengertian
jama’ah, yaitu segolongan manusia yang dipersatukan oleh ikatan sosial sehingga

19
Idham Khalid Bodi, Koroang Mala’bi : Al-Qur’an Terjemahan Bahasa Mandar dan
Indonesia, (Makassar : Balitbang Agama Makassar, 2019). h. 216.
20
Idham Khalid Bodi, Koroang Mala’bi : Al-Qur’an Terjemahan Bahasa Mandar dan
Indonesia, h. 216.
21
M. Quraish Shihab, Islam dan Kebangsaan : Tauhid, Kemanusiaan, dan
Kewarganegaraan, h. 7.
22
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Cet. I; Bandung: Mizan Pustaka, 2007), h. 432.
13

mereka dapat dikatakan umat yang satu.23

Ummah sebagaimana yang kita kita tahu dan sering dengar, (singkatnya)
menunjukkan sebuah kumpulan orang, atau banyak saudara muslim kita di Indonesia
khususnya, memahami ummah sebagai kumpulan orang-orang Islam, sehingga
redaksinya (karena mungkin bagi mereka mengandung unsur Arab, dan Islam sarat
akan karakteristik Arab) maka sering dikembangkan “Ummat Islam”. Ungkapan itu
ada benarnya, dan di Indonesia redaksi ‘umat’ banyak mengalami perluasan makna
dan fungsi, jadi ummat bukan hanya dimiliki semata oleh Islam dengan Ummat
Islamnya, tapi disana ada Ummat Kristiani, Ummat Katolik, Ummat Hindu, Ummat
Budha, dan sebagainya yang tidak menutup kemungkinan (seandainya muncul agama
baru) akan meluas lagi. Unik memang, karena di negara lain mungkin tidak demikian
adanya. Ummah memiliki karakter yang berbeda dengan istilah lainnya, ia tidak
sebatas bangsa, suku, atau etnis. Amstrong berpendapat bahwa : “The ummah has
sacramental importance, as a ‘sign’ that God has blessed this endeavour to redeem
humanity from oppression and injustice; its political healt holds much the same place
in a Muslim’s spirituality as aparticular theological option (Catholic, Protestant,
Methodist, Baptist) in the life of a Christian”.24 Demikian Amstrong sempat
menguraikan arti ummah setelah sebelumnya sempat mensetarakan ummah dengan “a
new united community”.25

Bisa saja ulama berbeda pendapat tentang makna-makna di atas, tetapi yang
jelas adalah kata ummah dari tinjauan bahasa bermakna himpunan, baik dalam jumlah

23
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat,.
1036.
24
Muhammad fathurrohman, Islamic Building : Memahami Islam Secara kaffah dalam
Rangka mewujudkan Moderasi Beragama di Indonesia, Cet. I; Yogyakarta: Kalimedia, 2020), h. 137-
138.
25
Muhammad fathurrohman, Islamic Building : Memahami Islam Secara kaffah dalam
Rangka mewujudkan Moderasi Beragama di Indonesia, h. 139.
14

yang besar walapun kecil, baik manusia atau bukan manusia. Dari sini sekali, wajar
jika kebangsaan ditunjuk oleh kata ummah. Hanya saja dalam sekian masyarakat
pengguna bahasa Arab, kata ummah telah menjadi istilah politik dan sosial sehingga
kata tersebut mengandung makna “sekumpulan manusia yang saling terikat
anggotanya dengan ikatan tertentu seperti bahasa, sejarah, atau asal keturunan”. Itu
dari satu sisi, dan dari sisi lain, terikat pula kemaslahatan, kepentingan, dan tujuan
bersama, dan bermukim bersama dalam satu wilayah. 26

2. Makna Kata Wasathan

Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata wasathan/wasathiyyah terambil dari


kata wasatha (‫ )وسط‬yang mempunyai sekian banyak arti. Dalam al-Mu’jam al-washit
yang disusun oleh Lembaga Bahasa Arab Mesir antara lain dikemukakan: “Wasath
sesuatu adalah apa yang terdapat pada kedua ujungnya dan ia adalah bagian darinya,
juga berarti pertengahan dari segala sesuatu. Jika dikatakan : ‫ َش ْي ٌء َو َسط‬maka itu berarti
sesuatu itu antara baik dan buruk. Kata ini juga berarti apa yang diakandung oleh
kedua sisinya walaupun tidak sama. Kata wasath juga berarti adil dan baik. Ini disifati
terhadap tunggal atau bukan tunggal. Dalam al-Qur’an, dan demikian kami jadikan
kamu ummatan wasathan, dalam arti penyandang keadilan atau orang-orang baik.
Kalau anda berkata, ‘dia dari wasath kaumnya’, maka itu berarti dia termasuk yang
terbaik dari kaumnya. Kata ini juga bermakna lingkaran sesuatu atau
lingkungannya.”27

Al-Qardawi mendefinisikan wasathiyyah yaitu sikap atau sifat moderat, adil,

antara dua pihak yang berhadapan atau yang saling bertentangan, sehingga salah satu

26
M. Quraish Shihab, Islam dan Kebangsaan : Tauhid, Kemanusiaan, dan
Kewarganegaraan, h. 8-9.
27
M. Quraish Shihab, Wasathiyyah : Wawasan tentang Moderasi Beragama, (Cet. I;
Tangerang: Lentera hati, Sebtember 2019), h. 2.
15

dari mereka berpengaruh dan mempengaruhi pihak lain, dan tidak ada pihak yang

mengambil alih haknya yang lebih banyak dan mengintimidasi pihak lain. Dari

defenisi tersebut wasathiyyah akan menjadi penetral dari dua sikap yang ekstrem dari

kedua titik. Seperti; titik antara nilai kemanusiaan dan rabbaniyyah, antara ruh dan

materi, antara dunia dan akhirat, antara akal dan wahyu, yang lalu dan yang akan

datang, individu dan sosial, antara idealitas dan realitas, antara yang tetap dan yang

berubah. Antara titik titik yang ekstrem tersebut, diharapkan ada yang menjembatani

sehingga kedua belah pihak saling memberi manfaat dan potensi masing-masing

dengan seimbang, tanpa ada yang berlebihan dan ada yang kekurangan.28

Kata wasath dalam berbagai bentuknya ditemukan lima kali dalam al-Qur’an,

kesemuanya mengandung makna “berada di antara dua ujung”.29

1. Q.S. Al-Baqarah/2:143

‫َو َك ٰذلِكَ َج َع ْل ٰن ُك ْم اُ َّمةً َّو َسطًا‬

Terjemahannya :

Dan demikianlah kami jadikan kamu ummatan wasathan.

Terjemah Bahasa Mandar :

“Anna bassa toi iyami’pura mappajario mie’ (umma’ Sallang) umma’ lalo

tangnga".

2. Q.S. Al-Baqarah/2:238

28
Ahmad Munir, Agus Ramlon Saputra, Implementasi Konsep Islam Wasathiyyah Studi
Kasus MUI Eks. Karesidenan Madiun, (Jurnal Penelitian Islam, Volume 13 No. 1 Tahun 2019), h. 71-
72.
29
M. Quraish Shihab, Wasathiyyah : Wawasan tentang Moderasi Beragama, h. 4.
16

ٰ ‫ت َوالص َّٰلو ِة ْال ُوس‬


‫ْطى‬ َّ ‫َحافِظُوْ ا َعلَى ال‬
ِ ‫صلَ ٰو‬

Terjemahannya:

Peliharalah shalat-shalat (semuanya) dan shalat pertengahan.

Terjemah Bahasa Mandar :

“Alitutui mie’ sambayammu anna alitutui toi samabayang Wustha (tangnga-

tangnga)”.30

ٰ ‫ ْال ُوس‬tersebut, yakni shalat ashar atas dasar ia


Yang dimaksud pada kata ‫ْطى‬

adalah shalat pertengahan dengan menjadikan shalat pertama dalam sehari adalah

subuh.31

3. Q.S. Al-Maidah/5:89

ْ ُ‫ط َعا ُم َع َش َر ِة َم ٰس ِك ْينَ ِم ْن اَوْ َس ِط َما ت‬


ۗ ‫ط ِع ُموْ نَ اَ ْهلِ ْي ُك ْم اَوْ ِك ْس َوتُهُ ْم اَوْ تَحْ ِر ْي ُر َرقَبَ ٍة‬ ْ ِ‫فَ َكفَّا َرتُ ٗ ٓه ا‬

Terjemahannya:
Maka Kaffarat sumpah-sumpah kamu yang kamu sengaja ucapkan sebagai
sumpah lalu kamu batalkan adalah, memberi makan sepuluh orang miskin,
yaitu dari pertengahan yang kamu berikan kepada keluarga kamu.

Terjemah Bahasa Mandar:


“Jari kaffarat (andiang mappogau’) tunda, iyamo mappande sappulo to kasi-
asi, pole di ande iya masahoro mubei pallulluareangmu (sangana’mu),
iyade’mambei’i pakeang, iyade’ mappamaradeka mesa batua”.32

30
Idham Khalid Bodi, Koroang Mala’bi : Al-Qur’an Terjemahan Bahasa Mandar dan
Indonesia, h. 61.
31
M. Quraish Shihab, Wasathiyyah : Wawasan tentang Moderasi Beragama, hal. 4.
32
Idham Khalid Bodi, Koroang Mala’bi : Al-Qur’an Terjemahan Bahasa Mandar dan
Indonesia, h. 199.
17

4. Q.S. Al-Qalam/68:28

(٢٨) َ‫ال اَوْ َسطُهُ ْم اَلَ ْم اَقُلْ لَّ ُك ْم لَوْ اَل تُ َسبِّحُوْ ن‬
َ َ‫ق‬

Terjemahannya:

Berkatalah seorang yang paling bijak di antara mereka, “bukankah aku telah

mengatakan kepadamu, mengapa kamu tidak bertasbih (kepada Tuhanmu)”.

Terjemah Bahasa Mandar :

“Ma’uangmi mesa tau kaminang (macoa pikkirangna) di antarana ise’iya:

“Andiangda’ pura mappa’uangnio mie’ sitinayannao mie’ mattasa’be (lao

Puangmu)”.33

Kata ‫طُهُ ْم‬SS‫ اَوْ َس‬di sini dipahami dalam arti yang terbaik dan paling lurus

pemikirannya, atau yang pertengahan dalam usianya dibanding dengan siapa yang

bersamanya ketika itu.34

5. Q.S. Al-‘Adiyat/100:4-5

(٥) ‫طنَ بِ ٖه َج ْمع ًۙا‬


ْ ‫(فَ َو َس‬٤) ‫فَاَثَرْ نَ بِ ٖه نَ ْقع ًۙا‬

Terjemahannya:
Maka ia (yang berlari kencang itu) menerbangkan debu, dan menyerbu ke tengah-
tengah kelompok.”

Terjemah Bahasa mandar:

“Anna malluttusang kareamus. Mane malluru tama di tangngana mai’di

33
Idham Khalid Bodi, Koroang Mala’bi : Al-Qur’an Terjemahan Bahasa Mandar dan
Indonesia, h. 1060.
34
M. Quraish Shihab, Wasathiyyah : Wawasan tentang Moderasi Beragama, h. 5.
18

bali”.35

Al-Asfahaniy mendefenisikan wasath dengan sawa’un yaitu tengah-tengah di


antara dua batas, atau dengan keadilan, yang tengah-tengah atau yang standar atau
yang biasa-biasa saja. Wasathan juga bermakna menjaga dari bersikap tanpa
kompromi bahkan meninggalkan garis kebenaran agama.36 Sedangkan makna yang
sama juga terdapat dalam Mu’jam al-Wasit yaitu adulan dan khiyaran sederhana dan
terpilih.37

Ibnu ‘Asyur mendefenisikan kata wasath dengan dua makna. Pertama,

defenisi menurut etimologi, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah, atau

sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya ukurannya sebanding. Kedua,

defenisi menurut terminologi, makna wasath adalah nilai-nilai Islam yang dibangun

atas dasar pola pikir yang lurus dan pengetahuan, tidak berlebihan dalam hal tertentu.

Dalam Merriam-Webster Dictionary (kamus digital) yang dikutip Tholhatul Choir,

Moderasi diartikan menjauhi perilaku dan ungkapan yang ekstrem. Dalam hal ini,

seseorang yang moderat adalah seseorang yang menjauhi perilaku-perilaku dan

ungkapan-ungkapan ektrem.38

Menurut Quraish Shihab, menggambarkan secara umum ciri-ciri wasathiyyah


dapat dirangkum dalam tiga hal pokok pada ajaran Islam, yaitu:

1. Akidah/Iman/kepercayaan.
35
Idham Khalid Bodi, Koroang Mala’bi : Al-Qur’an Terjemahan Bahasa Mandar dan
Indonesia, h. 1162.
36
Rizal Ahyar Musaffa, Konsep Nilai-Nilai Moderasi Dalam Al-Qur’an dan Implementasinya
Dalam Pendidikan Agama Islam, Skripsi (Semarang : Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Walisongo, 2018), h. 19.
37
Syauqi Dhoif, Al-Mu’jam Al-Wasit, (Mesir: ZIB, 1972), h. 1061.
38
Rizal Ahyar Musaffa, Konsep Nilai-Nilai Moderasi Dalam Al-Qur’an dan Implementasinya
Dalam Pendidikan Agama Islam, h. 20.
19

2. Syariah/pengamalan ketetapan hukum yang mencakup ibadah ritual


dan nonritual.
3. Budi pekerti.

Pembagian ini pada hakikatnya dalam pengamalan ketiganya, akidah, syariah,


dan akhlak harus menyatu. Pengamalan tidak boleh terlepas dari iman, amal tidak sah
tanpa iman, iman pun menuntut pengamalan. Demikian juga dengan akhlak, karena
akhlak bukan hanya hubungan dengan sesama manusia melainkan juga dengan segala
wujud. Dalam memercayai wujud Tuhan, ada akhlak terhadap-Nya. Dalam shalat,
puasa, dan lain-lain pun ada juga akhlak yang harus menyertainya. Ketika berhadapan
dengan binatang, tumbuhan-tumbuhan, dan makhluk tak bernyawa di alam raya ini
ada juga akhlaknya yang semua itu bercirikan moderasi.39

39
M. Quraish Shihab, Wasathiyyah : Wawasan tentang Moderasi Beragama, h. 44-45.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian
1. Jenis dan Lokasi Penelitian

a. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah penelitian kualitatif lapangan. Penelitian kualitatif


memiliki ciri khas penyajian data menggunakan perspektif emic, yaitu data
dipaparkan dalam bentuk deskripsi menurut bahasa, cara pandang subjek penelitian.40
Sebagaimana sifat kualitatif, peneliti akan lebih menekankan kepada quality
observasi lapangan atau objek penelitian. Pada penelitian ini, penulis akan meneliti
langsung di lokasi terkait dengan konsep wasathiyyah. Kemudian menjelaskan
bagaimana konsep-konsep wasathiyyah yang dijalankan oleh masyarakat Desa Bonde
Kecamatan Campalagian.

b. Lokasi Penelitian

S. Nasution berpendapat bahwa ada tiga unsur penting yang perlu

dipertimbangkan dalam menetapkan lokasi penelitian yaitu; tempat, pelaku, dan

kegiatan.41 Oleh karena itu yang menjadi tempat atau lokasi penelitian adalah Desa

Bonde Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar dengan fokus dan objek

yang diteliti adalah implementasi konsep wasathiyyah masyarakat tersebut dengan

kaca mata Living qur’an. Dalam riset Living Qur’an, model-model resepsi dengan

40
Abdul Mustaqim, Metodologi Penelitian living Qur’an dan Hadits, ed. Sahiron
Syamsuddin, Metodologi Penelitian living Qur’an dan Hadits, h. 72.
41
S. Nasution, Metode Naturalistik Kualitatif, (Bandung: Tarsinto, 1996), h. 43
21

segala kompleksitasnya menjadi menarik untuk dilakukan, untuk melihat bagaimana

proses budaya, perilaku, yang diinspirasi atau dimotivasi oleh kehadiran Al-Qur’an.42

2. Metode dan Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa pendekatan, yaitu:

a. Pendekatan Teologis digunakan untuk mengkaji makna kandungan dari

ayat-ayat al-Qur’an khususnya pada Q.S Al-Baqarah/2:143 dengan metode tahlili.

Metode tahlili adalah suatu metode Tafsir dengan berusaha menjelaskan kandungan

ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat

Al-Qur’an sebagaimana tercantum di dalam mushaf.43 Dengan demikian, penulis akan

menguraikan makna yang dikandung oleh Q.S Al-Baqarah/2:143 mulai dari kosa

kata, konotasi kalimat, latar belakang turunnya ayat, kaitannya dengan ayat yang lain,

dan tidak ketinggalan menguraikan tafsir dan pendapat-pendapat yang telah

diberikan berkenaan dengan ayat tersebut, baik dari Nabi, sahabat, para tabi’in,

mapun ahli tafsir.

b. Pendekatan Sosiologis, yaitu suatu pendekatan yang mempelajari hidup

bersama dalam masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang

menguasai hidupnya.44 Pendekatan ini dibutuhkan untuk mengetahui peran

masyarakat dalam mengamplikasikan dan mempertahankan konsep nilai-nilai

wasathiyyah pada setiap aktivitas. Dengan pendekatan ini juga, penulis dapat

42
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, (Cet II; Yogyakarta: Idea Press,
2015), h. 104.
43
H. Abd. Muin Salim, Metodologi Penelitan Tafsir Maudu’i, (Yogyakarta: Pustaka Al-Zikra,
2011). h. 38.
44
Hasan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, (Cet. IX; Jakarta: Bina Aksara,
1983), h. 1.
22

menemukan bagaimana dan seperti apa wujud konsep wasathiyyah yang

diimplementasikan oleh masyarakat desa Bonde Kecamatan Campalagian dalam

lingkungan bermasyarakat.

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data penelitian, ada beberapa metode yang penulis


gunakan, yaitu:

a. Observasi

Observasi atau pengamatan adalah suatu tindakan manusia untuk menerima

pengetahuan dari dunia luar dengan menggunakan indera. 45 Dalam penelitian ini,

peneliti mengumpulkan data dengan mengamati perilaku, peristiwa atau mencatat

karakteristik fisik dalam kegiatan yang alamiah. Metode ini merupakan cara yang

sangat relevan untuk mengawasi perilaku penduduk disuatu tempat seperti perilaku

dalam lingkungan atau ruang, waktu, dan keadaan tertentu. Meskipun demikian,

metode ini ada pula kelemahannya yaitu tidak dapat mengungkapkan hal-hal yang

sangat pribadi dan perbuatan-perbuatan di masa lampau.46

b. Interview/Wawancara

Interview atau wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang,

melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya

dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu.47 Adapun


45
S. Nasution, Metode Research; Penelitian Ilmiah, (Cet. VII; Jakarta: Bumi Aksara, 2006),
h. 106.
46
Tabrani, Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Tradisi Makkulliwa Pada Masyarakat Nelayan di Desa
Pambusuang Kecamatan Balanipa, Skripsi (Makassar: Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik
UINAM, 2017). h. 47.
47
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian dan Metode Penelitian Sosial, (Cet. VII;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008). h. 79
23

yang menjadi narasumber untuk memperoleh data pada penelitian ini adalah tokoh

ulama yang ada di Campalagian, tokoh agama dan tokoh masyarakat desa Bonde

Kecamatan Campalagian. Selain dari data yang diperoleh langsung dari sumbernya

sebagian data didapatkan dari dokumen yang ada di Pemerintah Desa Bonde sebagai

data pendukung atau juga biasa disebut dengan data sekunder.

Dalam wawancara terdapat dua kategori, yaitu; wawancara tak terstruktur

suatu wawancara yang bersifat luwes, susunan pertanyaanya dan susunan kata-kata

dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, serta wawancara

terstruktur adalah suatu wawancara yang susunan pertanyaannya sudah ditetapkan

sebelumnya (biasanya tertulis) dengan pilihan-pilihan jawaban yang juga sudah

disediakan.48 Dalam hal ini peneliti menggunakan wawancara tak terstruktur atau

biasa juga disebut wawancara mendalam (indept interview).

c. Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan data berupa dokumentasi

yang terkait dengan kondisi Desa Bonde Kecamatan campalagian, Sejarah Desa

Bonde, dan praktek-praktek nilai-nilai wasathiyyah masyarakat Desa Bonde, Data ini

akan dicrosscheck dengan data yang didapatkan melalui wawancara dapat lebih

meyakinkan lagi untuk selanjutnya akan diolah dan dianalisis.

4. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data

A. Teknik Pengolahan Data

48
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian dan Metode Penelitian Sosial, h. 79
24

Analisis data adalah proses menyusun data agar dapat dipahami dengan
mudah. Menyusun data berarti menggolongkannya ke dalam pola, tema, atau
kategori. Untuk mendapatkan hasil yang objektif dalam penelitian ini, maka data
yang didapatkan di lapangan akan diolah dan di analisa secara kualitatif, yaitu dengan
menggambarkan dan menjelaskan hasil-hasil penelitian dari sejumlah data-data yang
telah diperoleh di lapangan selama penelitian berlangsung.49 Dalam penelitian ini
peneliti menggunakan proses analisis data dengan metode sebagai berikut :

1. Metode Deduktif

Suatu cara pengumpulan data yang dimulai dari hal-hal yang bersifat umum
kemudian menyimpulkan secara khusus.50 Yakni mengambil gambaran umum tentang
hal-hal yang berkaitan dengan konsep wasathiyah di lokasi tersebut kemudian
disimpulkan setelah melakukan penelitian.

2. Metode Komparatif

Suatu cara yang dilakukan dengan membandingkan suatu pemahaman dengan


pemahaman lainnya kemudian berusaha menghasilkan kesimpulan dalam bentuk
argumen penulis.51 Dalam hal ini membandingkan penjelasan ulama/annangguru,
serta tokoh agama atau tokoh masyarakat dengan apa yang telah berlangsung di Desa
Bonde Kec. Campalagian Kab. Polewali Mandar, kemudian akan menghasilkan
sebuah kesimpulan.

B. Teknik Analisis Data

49
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial; Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif,
Ed II (Yogyakarta: Erlangga, 2009) h. 99.
50
Tim Pustaka harapan, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, (Surabaya: CV. Pustaka Agung
Harapan, t.th.), h. 227.
51
Idham Hamid, Tradisi Ma’baca Yasin di Makam Annangguru Maddappungan Santri
Pondok Pesantren Salafiyah Parappe, Skripsi (Makassar: Fak. Ushuluddin Filsafat dan Politik, UIN
Alauddin Makassar, 2017), h. 61.
25

1. Display Data

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka

perlu dicatat secara teliti dan rinci. Display ini merupakan bagian dari kegiatan

analisis, dengan dibuatnya display data maka masalah makna data yang terdiri atas

berbagai macam konteks dapat terkuasai dan tidak tenggelam dalam tumpukan data,

seperti bentuk penerapan konsep terkait, alasan dan faktornya sehingga tetap

dijalankan hingga saat ini. Data yang telah diperoleh dari lokasi penelitian penting

untuk di display untuk mengatur penjelasan data.52

2. Reduksi Data

Reduksi data adalah suatu bentuk analisis yang mempertajam, memilih,

memokuskan, membuang, dan menyusun data dalam suatu cara di mana kesimpulan

akhir dapat digambarkan dan diverifikasi.53 Laporan atau data yang diterima dari

lokasi tersebut perlu direduksi, dirangkum, dipilih-pilih hal yang pokok difokuskan

pada hal-hal yang bersangkutan dengan konsep wasathiyah, sehingga lebih mudah

dalam menyelesaikan penulisan skripsi, dan data yang dikumpulkan mempunyai

uraian yang jelas dan tidak menyebar pada penjelasan yang tidak bersangkutan.

3. Mengambil Kesimpulan dan Verifikasi

Setelah melalui banyak penyaringan data dari lokasi penelitian yaitu Desa

Bonde Kec. Campalagian Kab. Polewali Mandar, maka selanjutnya yaitu

52
Idham Hamid, Tradisi Ma’baca Yasin di Makam Annangguru Maddappungan Santri
Pondok Pesantren Salafiyah Parappe, h. 61.
53
Emzir, Metode Penelitian Kualitatif analisis Data, (Cet. IV; jakarta: Rajawali Press, 2014),
h. 131.
26

menyimpulkan, kesimpulan itu mula-mula masih bersifat kabur, diragukan, akan

tetapi dengan bertambahnya data maka kesimpulan akan menjadi bersifat Grounded

(berkembang). Jadi kesimpulan itu harus senantiasa diverifikasi selama penelitian

berlangsung.54 Dengan demikian dapat dikatan bahwa pada penelitian ini

pengumpulan data, reduksi, penyajian dan penarikan kesimpulan merupakan proses

dalam bentuk siklus yang saling berkaitan pada sebelum, sedang, dan setelah

pengumpulan data di lapangan sesuai dengan kebutuhan data untuk penelitian

tersebut.

54
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner, (Yogyakarta: Paradigma, 2012), h.
133.
KOMPOSISI BAB

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

D. Kajian Pustaka

BAB II : TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Ummatan Wasathan

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Lokasi Penelitian

B. Metode dan Pendekatan Penelitian

C. Metode Pengumpulan Data

D. Tektik Pengolahan Data dan Analisi Data

BAB IV : HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Desa Bonde Kecamatan Campalagian Kabupaten


Polewali Mandar

B. Pemaknaan atau Perspektif Ummatan Wasathan menurut ulama tafsir dan


Annangguru/Ulama lokal

C. Bentuk Implementasi Konsep Ummatan Wasathan Masyarakat Desa


Bonde Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan
28

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Muin, Salim, Metodologi Penelitan Tafsir Maudhu’I . Cet.I; Pustaka Al-Zikra, 2011.
Yusuf, Muhammad, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadits, ed. Sahiron
Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadits, Yogyakarta:
TH Press, 2007.
Azizan Fitriana, Muhammad, Jurnal Studi Living Qur’an dikalangan Narapidana :
Studi Kasus Pesantren At-Taubah Lembaga Pemasyarakatan Kab. Cianjur-
Jawa Barat, Misykat, Volume 03, Nomor 02, Desember 2015.
Abou El-Fadl, Khaled, Selamatkan Islam dari Muslim puritan, terj. Helmi Mustofa
(Jakarta : Serambi, 2005.
Bagir, Haidar, Islam Tuhan Islam Manusia : Agama dan Spritualitas di Zaman
Kacau, Bandung : Mizan, 2017.
Khalid, Bodi Idham, Koroang Mala’bi : Al-Qur’an Terjemahan Bahasa Mandar dan
Indonesia, Makassar : Balitbang Agama Makassar, 2019.
Khalid, Idham, dkk, Sejarah Islam di Mandar, Jakarta : Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Lektur Keagamaan Kementerian Agama RI, 2010.
Khalid, Idham, Moderasi Dalam Budaya Masyarakat Islam, Cet I, Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2019.
Shihab, M. Quraish, Wasathiyyah : Wawasan tentang Moderasi Beragama, Cet. I;
Tangerang: Lentera hati, Sebtember 2019.
Fathurrohman, Muhammad, Islamic Building : Memahami Islam Secara kaffah
dalam Rangka mewujudkan Moderasi Beragama di Indonesia, Cet. I;
Yogyakarta: Kalimedia, 2020.
Mide, Sabri, Ummatan Wasathan Dalam Al-Qur’an, Skripsi, Makassar: Fakultas
Ushuluddin Adab dan dakwah UINAM, 2014.
Kusuma, Bagus Wibawa, Integritas Nilai-Nilai Islam Wasathiyyah dan Kearifan
Lokal Dalam dakwah Transformatif Ponpes Sabilul Hidayah, Tesis, Malang:
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Maulana Malik Ibrahim, 2020.
Musaffa, Rizal Ahyar, Konsep Nilai-Nilai Moderasi Dalam Al-Qur’an dan
Implementasinya Dalam Pendidikan Agama Islam, Skripsi, Semarang :
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Walisongo, 2018.
Shihab, M. Quraish, Islam dan Kebangsaan : Tauhid, Kemanusiaan, dan
Kewarganegaraan, Cet. I; Tangerang Selatan: Lentera Hati, November 2020.
30

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan


Umat, Cet. I; Bandung: Mizan Pustaka, 2007.
Munir, Ahmad, Agus Ramlon Saputra, Implementasi Konsep Islam Wasathiyyah
Studi Kasus MUI Eks. Karesidenan Madiun, Jurnal Penelitian Islam, Volume
13 No. 1 Tahun 2019.

Dhoif, Syauqi, Al-Mu’jam Al-Wasit, Mesir: ZIB, 1972.

S. Nasution, Metode Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsinto, 1996.


Mustaqim, Abdul, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, Cet II; Yogyakarta: Idea
Press, 2015.
Salim, H. Abd. Muin, Metodologi Penelitan Tafsir Maudu’i, Yogyakarta: Pustaka Al-
Zikra, 2011.
Shadily, Hasan, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, Cet. IX; Jakarta: Bina
Aksara, 1983.
S. Nasution, Metode Research; Penelitian Ilmiah, Cet. VII; Jakarta: Bumi Aksara,
2006.
Tabrani, Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Tradisi Makkulliwa Pada Masyarakat Nelayan
di Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa, Skripsi Makassar: Fakultas
Ushuluddin, Filsafat dan Politik UINAM, 2017.
Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian dan Metode Penelitian Sosial, Cet. VII;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Idrus, Muhammad, Metode Penelitian Ilmu Sosial; Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif, Ed II Yogyakarta: Erlangga, 2009.
Tim Pustaka harapan, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Surabaya: CV. Pustaka
Agung Harapan, t.th.
Hamid, Idham, Tradisi Ma’baca Yasin di Makam Annangguru Maddappungan Santri
Pondok Pesantren Salafiyah Parappe, Skripsi, Makassar: Fak. Ushuluddin
Filsafat dan Politik, UIN Alauddin Makassar, 2017.
Emzir, Metode Penelitian Kualitatif analisis Data, Cet. IV; jakarta: Rajawali Press,
2014.

Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner, Yogyakarta: Paradigma, 2012.

You might also like