You are on page 1of 4

Makna Senyuman Kedua Orangtua ku

By : Aulia Urrahmi

3 Agustus 1998 lahirlah seorang anak perempuan dengan berat 4kg, sangat berat bukan ?,
mungkin begitu juga perjuangan orangtuaku dalam membesarkanku, ya aku, anak itu diberi
nama Aulia Urrahmi, seorang anak yang memang diberikan kelebihan dalam menangis,
memang memberikan tantangan tersendiri untuk kedua orangtunya , terlahir menjadi anak
terakhir dari 2 bersaudara, dan semuanya perempuan, ayahku, ayah kami, menanamkan pada
kami bahwa saudara seumur hidup tidak akan pernah meninggalkan, jaga dan saling mendukung,
karena kami hanya bertiga dan tidak ada laki2 dikeluarga kami kecuali ayahku, jadi itu lah yang
kami tanamkan didalam diri kami.

Chapter 1

Lelaki kuat itu, ayahku

Ikhlas itu adalah arti dari nama ayahku, dan itu yang aku lihat dari ayahku, beliau adalah
seorang pemuka agama, qori, dan pemuka adat, dan seorang pegawai negeri sipil, petani, dan
tukang, kenapa aku sebut beliau petani dan tukang ?, karena sepulang bekerja jam 4 sore ayah
selalu kesawah, ayah lah yang membuat lemari pakaian kami yang cantik, ayahlah yang
membuat meja belajar kami, ayahku serba bisa, tidak pernah mengeluh, satu hal yang selalu aku
ingat dari ayahku, beliau selalu mudah memberikan apapun yang dimilikinya sekalipun beliau
tak ada apapun, sedikit aku ceritakan ketika aku duduk dibangku sekolah dasar, aku ketika
pulang sekolah langsung ke tempat kerja ayahku, karena jaraknya memang dekat, dan ayahku
selalu menyambutku dengan kata – kata “ ehh, alah pulang ami mah, lai ndk ba’ a tadi di jalanng,
ndk lapa ami ( dalam bahasa minang) “ dan diruangan ayah itu selalu ada makanan ringan yang
diberikan kantornya, pisang, pizza potongan, serabi, gorengan, kue coklat, dan teh botol, itu akan
selalu aku temukan, ayah memberikan itu padaku, padahal aku tau, itu adalah cemilan pagi yang
diberikan kantor ayahku sebelum jam makan siang, dan ayah sengaja tidak memakannya agar
aku bisa menikmatinya. Karena beliau sangat mengetahui bahwa anaknya yang gendut ini sangat
suka itu, dan pada beberapa pertemuan ayahku akan mendapatkan cemilan dan nasi bungkus,
yang mana itu adalah makanan favorit ku bahkan ibuku ketika mengandungku, ayah sengaja
tidak memakannya agar bisa membawanya pulang, dan kami akan makan bersama dimeja
makan, haahh satu bungkus yang nikmat , dan selama aku dikantor ayah ,ayah selalu
menyempatkan untuk mengajakku untuk bermain, di ruangan ayahku ada sebuah meja billiard
dan meja pimpong, dan aku sudah bisa memainkan itu semenjak kelas 5 sd, bukan hanya
permainan duniawi, ayah juga menanamkan nilai nilai agama pada kami, seperti mengaji
tilawah, setelah kami sholat maghrib ayah akan memanggil kami untuk duduk diruang tamu,
ibuku akan mengajarkan kakaku yang pertama, dan aku bersama ayahku, satu irama, aku bisa
mengulangnya belasan kali, pokoknya nggak boleh tidur kalau belum bisa irama yang di ajarkan
ayah, akan tetapi ayah selalu bangga terhadap anaknya, tanpa membedakan, ayah pernah
menggendongku dibahunya karena aku mendapatkan juara satu, semenjak itu aku merasakan
kebanggan yang membuat aku merasakan kecanduan untuk menang dan menang, dan perlahan
beberapa piala berkumpul dirumah kami , tahun tahun yang menyenangkan, akan tetapi yang
namanya dunia, tidak selalu tentang bahagia, setelah kakak2ku sekolah, di MAN 2 Padang
keduanya, dan aku sudah masuk SMP swasta, keuangan kami sudah tidak terkendali, dan salah
satu cobaan adalah ayahku turun jabatan sehingga ayah perlu menjual salah satu rumah kami
kepada temannya, dan saat menerima uang itu, aku ikut bersama ayahku, dan disana ayahku
masih bisa tersenyum dan memberikan beberapa uang itu ke temannya dan masjid, ayahku
pernah bilang kepadaku “ ketika ami bantu orang, nanti orang itu akan bantu ami balik” dan itu
yang aku tanamkan hingga sekarang, kami, tidak belajar karena diajarkan, kami belajar
karna kami melihat kebiasaan yang dilakukan orangtua kami, dan hingga sekarang ayah
adalah pedoman kami dalam hal ke ikhlasan, kesederhanaan, dan membantu.

Chapter 2

Wanita kuat itu adalah ibuku

Ibu adalah teman, sahabat tempat curhatku, karena ibu memang membesarkanku seperti
itu, dari aku kecil ibu yang mengajarkanku sholat dan ayah yang mnegajarkanku mengaji, aku
memakai jilbab semenjak sd dan bukan paksaan, akan tetapi karena aku melihat ibuku selalu
menggunakannya, walaupun masih buka pasang, dan ketika aku meminta dibelikan jilbab, ibuku
langsung membelikanku segala model jilbab, begitu mendukungnya ibuku terhadap segala
sesuatu yang aku inginkan jika itu baik menurut beliau, semuanya akan diusahakan, ketika aku
beranjak dewasa, ibu adalah orang pertama yang aku ceritakan tentang teman dekatku, dan
responnya, bukan marah, beliau memberitahu dengan baik tanpa menyinggung dan menunggu
prosesku secara perlahan, ibuku menerima semua keluh kesahku, kami maskeran sambil cerita,
dan ibu adalah tempat rehat terbaikku, ibuku keras, dalam hal mendidik dan memberikan
pengalaman untuk para anak gadis nya, ibuku membagi pekerjaan rumah kami, kakak pertamaku
menyuci dan setrika, kakaku cuci piring, dan aku menyapu rumah dan halaman, minggu
besoknya, ibuku mengganti tugas kami, aku cuci piring, kakak pertamaku masak dan kakak
kedua ku setrika baju dan mencuci, kecuali kami berhalangan melakukan itu, maka baru ibuku
yang mengerjakannya, ibuku selalu meletakkan secangkir air teh, susu dan roti di atas meja
setiap pagi sebelum ayah bekerja, dan kami sekolah, jika kami menolak meminum susu, maka
ibu akan mengejar kami kedepan pintu dan memaksa kami meminumnya. Ibuku mengantarkan
aku hanya beberapa kali ketika aku masuk Tk, setelah itu ibuku menyuruhku pulang sendiri
dengan angkot, dan meletakkan uang untuk ongkos di kantong tas yang berbeda dan
memberitahuku. Untuk pertama kalinya aku menangis dan angkot yang aku naiki terlewat dari
rumahku, akan tetapi ibuku tidak melakukannya tanpa persiapan, jarak tk ku dan rumahku sangat
dekat, dan pada umumnya semua supir angkotnya mengenal orangtuaku, dan aku sudah di
ajarkan untuk mengetahui dan menyebutkan nama orangtuaku, sehingga ketika supir angkot
menanyakan aku anak siapa dan aku menyebutkan,mereka langsung tau dan mengantarkan aku
kembali ke persimpangan rumahku. Begitu ibu mendidik ku untuk mandiri. Ketika aku SMP
terkadang ibu membiarkan aku memasak sendiri makanan apa yang akan aku bawa kesekolah,
dan waktu itu yang aku bisa hanya nasi goreng. Ibuku adalah pedoman kami dalam menjadi
kuat, jujur, dan mandiri.

Pada intinya, cara orangtuaku mendidik kami, yang pertama adalah menumbuhkan kasih
sayang antar saudara, mandiri, dan kejujuran berasal dari bagaimana orangtuaku menannggapi
ceritaku dan meresponnya, ketika respon yang aku terima ketika bercerita itu baik, itu
membuatku menceritakan segalanya tanpa berbohong sedikitpun. Orangtuaku adalah orangtua
yang kompak, saling mengisi. Jika perlu aku menjelaskan bagaimana orangtua kami mendidik
kami, aku pun bingung, karena semuanya mengalir begitu saja. Tapi yang ku ingat senyuman
mereka yang ikhlas dari dulu hingga sekarang itu yang membuatku kuat dan bisa seperti
sekarang. Bagaimanapun kami, merekalah yang paling bangga atas kami.

You might also like