You are on page 1of 31

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Benigna Prostat Hiperplasia merupakan hiperplasia kelenjar periuteral

yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer Menurut Sjamsuhidajat

dan jong (2005). Benigna Prostat Hiperplasia adalah pembesaran prostat yang

menyumbat uretra, menyebabkan gangguan urinarius. Satu dari setiap empat

laki-laki yang mencapai usia 80 tahun akan membutuhkan pengobatan untuk

Benigna Prostat Hiperplasia. Gangguan ini terjadi akibat efek penuaan dan

adanya androgen yang bersirkulasi. Komplikasi Benigna Prostat Hiperplasia

dapat mencakup kontraksi kandung kemih folunter, dan divertikulasi kandung

kemih. Sistolitisiasis, refluks vesikoureteral, hidronefrosis, dan infeksi saluran

kemih (Nettina, 2003) retensi urine adalah ketidakmampuan mengosongkan

isi kandung kemih sepenuhnya selama proses pengeluaran urine.

Di Indonesia Benigna Prostat Hiperplasia merupakan urutan kedua setelah

batu saluran kemih dan diperkirakan di temukan pada 50 % Pria berusia 50

Tahun dengan angka harapan hidup rata-rata di indonesia yang sudah

mencapai 65 Tahun (Fargan,2003). Menjadi salah satu alternatif pelayanan

pasien Benigna Prostat Hiperplasia dengan operasi TURP (Transuretra

resection of the prostate) di kawasan Indonesia Timur, khususnya Makasar

usia pasien Benigna Prostat Hiperplasia yang dirawat di rumah sakit 85 %

yang berusia > 50 tahun sedangkan usia pasien yang di rawat 95 % berusia >

50 tahun, salah satu komplikasi pasca TURP (Transuretra resection of the

prostate) inkotinen urin, ketidakmampuan seseorang dalam mengontrol urin

1
2

setelah menjalani pasca TURP (Transuretra resection of the prostate) ditandai

dengan urin yang menetes setelah buang air kecil yang disebut Dribbling.

Sedangkan data yang diperoleh dari Rekam Medik RSUD MGR.Gabriel

Manek,SVD Atambua, yaitu tahun 2014 terjadi 48 kasus (P:20 orang, L:28

orang dan 1 orang meninggal), 2015 terjadi 56 kasus (P:1 orang, L:55 orang

dan 1 orang meninggal) dan pada bulan Januari – Maret 2016 terjadi 21 kasus

(P: 1 orang, L:20 orang dan 2 orang meninggal).

Jika hal ini tidak segera ditanggulangi 2-4 % dari beberap pasien dapat

menderita inkontinen total. Dribbling yang terjadi karena pembesaran kelenjar

prostat atau Benigna Prostat Hiperplasia akan menyebabkan abstraksi pada

uretra. Sehingga urin akan tertahan disekitar uretra akibat instabilitas relaksasi

Sfingter uretra oleh karena itu pembesaran lumen disekitar prostat, leher buli-

buli sehingga ke uretra eksternal maupun internal. Hal ini ditandai oleh

diventrikuli membran sekitar dribbling akibat pasca TURP (Transuretra

resection of the prostate), disebabkan oleh lumen di sekitar leher buli-buli tesi

sehingga infuls saraf yang ditemukan menuju ke uretra terganggu. Hal ini

mengakibatkan fase pengosongan urin terganggu akibat maksimilasi relaksasi

Sfingter uretra kurang. Kelemahan otot dasar pelvis akibat Benigna Prostat

Hiperplasia ataupun pasca operasi prostat dapat menjadi penyebab timbulnya

dribbling ( Sjamsuhidajat dan jong, 2005 ).

Upaya penanganan yang perlu diberikan pada pasien dengan Benigna

Prostat Hiperplasia adalah dengan perubahan gaya hidup yaitu mengurangi

minuman-minuman beralkohol dan yang mengandung kafein, pengobatan

dengan Alpah blockers dan 5a-reductase inhibitors untuk dapat merelaksasi


3

otot pada prostat dan leher kandung kemih serta menurunkan derajat hambatan

aliran urine, kateterisasi, pemberian obat antimikrobial, dan langkah yang

terakhir adalah dengan pembedahan untuk mengeluarkan seluruh atau

sebagian dari kelenjar prostate (Suharyanto, Madjid, 2009:253).

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk

mengadakan studi kasus dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. H.L

dan Tn. B.T yang Mengalami Benigna Prostat Hiperplasia dengan Gangguan

Retensi Urine di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Mgr. Gabriel

Manek, SVD Atambua”.

1.2 Batasan Masalah

Masalah pada study kasus ini pada Asuhan Keperawatan Pada Tn. H.L dan

Tn. B.T yang Mengalami Benigna Prostat Hiperplasia dengan Gangguan

Retensi Urine di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Mgr. Gabriel

Manek, SVD Atambua.

1.3 Rumusan Masalah

Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Pada Tn. H.L dan Tn. B.T yang

Mengalami Benigna Prostat Hiperplasia dengan Gangguan Retensi Urine di

Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Mgr. Gabriel Manek, SVD

Atambua ?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Melaksanakan Asuhan Keperawatan Pada Tn. H.L dan Tn. B.T

yang Mengalami Benigna Prostat Hiperplasia dengan Gangguan


4

Retensi Urine di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Mgr.

Gabriel Manek, SVD Atambua.

1.4.2 Tujuan Khusus

Melakukan pengkajian keperawatan pada Tn. H.L dan Tn. B.T

yang Mengalami Benigna Prostat Hiperplasia dengan Gangguan

Retensi Urine di Ruang Bedah RSUD Mgr. Gabriel Manek, SVD

Atambua.

1) Menentukan diagnosis keperawatan pada Tn. H.L dan Tn. B.T

yang Mengalami Benigna Prostat Hiperplasia dengan Gangguan

Retensi Urine di Ruang Bedah RSUD Mgr. Gabriel Manek, SVD

Atambua.

2) Menyusun perencanaan keperawatan pada Tn. H.L dan Tn. B.T

yang Mengalami Benigna Prostat Hiperplasia dengan Gangguan

Retensi Urine di Ruang Bedah RSUD Mgr. Gabriel Manek, SVD

Atambua.

3) Melaksanakan tindakan keperawatan pada Tn. H.L dan Tn. B.T

yang Mengalami Benigna Prostat Hiperplasia dengan Gangguan

Retensi Urine di Ruang Bedah RSUD Mgr. Gabriel Manek, SVD

Atambua.

4) Melakukan evaluasi keperawatan pada Tn. H.L dan Tn. B.T yang

Mengalami Benigna Prostat Hiperplasia dengan Gangguan

Retensi Urine di Ruang Bedah RSUD Mgr. Gabriel Manek, SVD

Atambua.
5

1.5 Manfaat

1.5.1 Manfaat Teoritis

Memberikan gambaran tentang penerapan asuhan keperawatan

pada klien denganBenigna Prostat Hiperplasiadengan gangguan retensi

urine yang meliputi pengkajian, diagnose, keperawatan, perencanaan,

pelaksanaan dan evaluasi.

1.5.2 Manfaat Praktis

1) Bagi perawat

Memberikan masukan bagi perawat dalam menerapkan proses

keperawatan dengan pendekatan asuhan keperawatan meliputi

pengkajian,diagnosa,keperawatan, perencanaan keperawatan,

implementasi, evaluasi dan dokumentasi.

Memberi gambaran bagi perawat dalam menerapkan proses

keperawatan pada pasien dengan Benigna Prostat HiperplasiaDi

Rumah sakit Umum Daerah Mgr. Gabriel Manek SVD Atambua.

2) Bagi Rumah Sakit

Sebagai bahan evaluasi dalam melaksanakan asuhan keperawatan

pada pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia Di Rumah sakit

Umum Daerah Mgr. Gabriel Manek SVD Atambua.

3) Bagi institusi atau pendidikan

Memberikan gambaran tentang penerapan asuhan keperawatan

pada pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia dengan gangguan

retensi urin Di Rumah sakit Umum Daerah Mgr. Gabriel Manek

SVD Atambua.
6

4) Bagi Pasien

Menambah pengetahuan tentang penerapan asuhan keperawatan

pada pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia dari pengkajian

dengan pendokumentasi.

Memperoleh pengalaman yang nyata dalam merawat pasien dengan

Benigna Prostat Hiperplasia dengan gangguan retensi urin Di

Rumah sakit Umum Daerah Mgr. Gabriel Manek SVD Atambua.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anotomi dan Fisiologi Sistem Perkemihan

Gambar 1 : sistem Urinaria Laki-laki


http://www.slideshare.net/djuwahir/anatomi-fisiologi-sistem-urinaria

Distensi kandung kemih oleh air kemih akan merangsang stres

reseptor yang terdapat pada dinding kandung kemih dengan jumlah 250 cc

sudah cukup untuk merangsang berkemih (proses miksi). Akibatnya akan

terjadi refleks kontraksi dinding kandung kemih, dan pada saat yang sama

terjadi relaksasi sprinter internus, diikuti oleh relaksasi sprinter eksternus,

dan akhirnya terjadi pengosongan kandung kemih (Muttaqin, 2011).

Organ-organ sistem perkemihan terdiri dari :

a. Ginjal

Fungsi vital ginjal adalah : untuk mensekresi air kemih dan

pengeluarannya dari tubuh manusia. Disamping itu, ginjal juga merupakan

salah satu dari mekanisme terpenting hemeostatis. Ginjal berperan penting

dalam pengeluaran zat-zat toksin atau racun, memperlakukan suasana

7
8

keseimbangan air, mempertahankan keseimbangan asam basa cairan

tubuh, dan mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat lain

dalam darah (Tarwoto et al, 2009 : 317).

Bentuk ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan. Ginjal kanan terletak

lebih rendah dari ginjal kiri, hal ini karena adanya hati disebelah kanan dan

menekan ke bawah. Bila ginjal dibelah dua, secara longitudinal

(memanjang), dapat terlihat bagian luar yang bercak-bercak disebut

korteks. Serta bagian dalam yang bergaris-garis disebut medula.

Medula terdiri dari bangunan-bangunan berbentuk kerucut yang

disebut renah piramid. Puncak kerucut tadi menghadap ke kaliks tang

terdiri dari lubang-lubang kecil (papila renalis), tiap piramid dipisahkan

satu sama dengan lainnya oleh kolumna renalis. Garis yang terlihat pada

piramid disebut tubulus (Harmono, 2001).

b. Ureter

Air kemih disekresi oleh ginjal, dialirkan ke vesika urinaria

(kandung kemih) melalui ureter. Ureter berada pada kiri dan kanan

kolumna vertebralis (tulang punggung) yang menghubungkan pelvis

renallis dengan kandung kemih.

Panjang ureter kurang lebih 30cm dan berdiameter 0,5 cm. Ureter

sebagian terletak dalam rongga perut (pars abdominalis) dan selanjutnya

berjalan di dalam rongga panggul (pars pelvira). Otogenitis ureter

termasuk berasal dari mesoderm, karena itu ureter juga terletak pada

retroperitoncal. Dinding ureter terdiri atas tiga lapisan yaitu : otot polos,

dan jaringan fibrosa (Muttaqin, 2001 : 21).


9

c. Vesika urenaria

Aliran urene dari ginjal akan bermuara di kandung kemih (vesika)

urinaria). Kandung kemih merupakan kantong yang dapat mengelembung

seperti balon karet, terletak di belakang simphisis pubis, didalam rongga

panggung. Bila terisi penuh, kandung kemih dapat terlihat sebagian dari

rongga penggul.Kandung kemih berbentuk seperti kerucut. Bagian –

bagiannya ialah verteks, fundus dan korpus. Bagian verteks ialah bagian

yang meruncing kearah depan dan berhubungan dengan ligamentum

vesika umbilikale medius. Bagian fundus meruoakanbagian yang

menghadap ke arah belakang dan bawah (Muttaqin, 2001)

Bagian korpus berada di antara verteks dan fundus. Bagian fundus

berpisah dari rektum oleh spasium rektovesikula yang terisi oleh jaringan

ikat duktus deferens, vesikula seminalis. Dinding kandung kemih terdiri

dari tiga lapisan otot polos dan selapis mukosa yang berlipat-lipat. Pada

dinding belakang lapisan mukosa, terlihat bagian yang tidak berlipat,

daerah ini disebut trigonum liestaudi (Harmono, 2001).

d. Uretra

Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung kemih

yang berfungsi menyalurkan air kamih keluar dan juga untuk menyalurkan

semen. Pada laki-laki, uretra berjalan berkelok-kelok, menembus prostat

kemudian melewati lubang pubis, selanjutnya menuju ke penis. Oleh

karena itu, pada laki-laki uretra berbagi menjadi tiga bagian, yaitu : pars

prostatika, pars membranosa, dan pars kevernosa. Muara uretra ke arah

dunia luar disebut meatus (Muttaqin, 2001).


10

2.2 Konsep Dasar Penyakit Benigna Prostat Hiperplasia

2.2.1. Pengertian

Benigna Prostat Hiperplasiaadalah pembesaran kelenjar prostat

nonkanker dijumpai pada lebih dari 50% pria berusia diatas 60

tahun (Elizabrth J.Corwin, 2003). Benigna Prostat Hiperplasia

adalah Pembesaran Prostat yang menghambat uretra dan

menyebabkan gangguan urinarius (Nettina 2001).

Benigna Prostat Hiperplasia adalah Pembesaran klenjar dan

jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan perubahan

endekrin berkenaan dengan prostat penuaan (Suryahanto dan

Madjid, 2009).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka penulis dapat

menyimpulkan Benigna Prostat Hiperplasia adalah salah satu organ

genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan

melingkari uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini

dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan

terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli. Bentuknya sebesar

buah kenari dan berat normal pada organ dewasa + 20 gram

(Purnoma, 2011).

2.2.2. Etiologi

Penyebab Benigna Prostat Hiperplasia belum diketahui secara pasti,

tetapi dapat dikaitkan dengan keberadaan homonal yaitu Hormonal Laki-

laki (androgen yaitu testosteron). Di ketahui bahwa hormonal estrogen

juga ikut berperan sebagai penyebab Benigna Prostat Hiperplasia. Hal ini
11

didasarkan pada fakta, bahwa Benigna Prostat Hiperplasia terjadi ketika

seorang Laki-laki kadar homon estrogen meningkat dan kadar homon

testosteron menurun, dan ketika jaringan prostat meningkat atau menjadi

sensitif terhadap testosteron serta kurang respon terhadap :

Dhydrotestosterone (DHT),yang merupakan testosteron esktrogen. Hasil

riset di cina menunjukkan bahwa laki-laki di daerah pedesaan sangat

rendah terkena Benigna Prostat Hiperplasia dibanding dengan laki-laki

yang hidup di daerah perkotaan (Prasetyo, 2009 : 29).

Hal ini terkait dengan gaya hidup seorang laki-laki yang bergaya

hidup seperti orang barat beresiko lebih tingggi terkena gejalaBenigna

Prostat Hiperplasia di banding dengan laki-laki yang bergaya hidup

tradisional atau pedesaan. Sebagai etiologi sekarang dianggap ketidak

seimbangan endokrin testosteron dianggap mempengaruhi bagian tepi

prostat, sedangkan estrogen (dibuat oleh kelenjar adrenal) (Purnomo,

2001: 51).

Mempengaruhi bagian-bagian tengah prostat dalam pembesaran

prostat jinak (Benigna Prostat Hiperplasia ) otot prostat akan tebal dan

tidak elastis lagi sehingga menekan atau menjempit saluran kemih dan

menyebabkan diran urin terganggu. Seseorang semakin berkurang

produksi testosteronnya pada usia 20 tahun. Produksi testosteron normal

yaitu 250 mg – 1000 mg per liter urin. Setelah itu jumlahnya berkurang

sedikit demi sedikit yaitu 14 % penurunan kadar testosteron dalam darah

mengakibatkan lemak dalam tubuh menumpuk di perut sehingga berat

menjadi buncit. Untuk mempertahankan kadar testosteron dalam darah


12

bisa dilakukan dengan mengkonsumsi makanan yang seimbang dalam

pembesaran prostat jinak atau Benigna Prostat Hiperplasia jumlah sel mati

menurun drastis. Padahal jumlah pertumbuhan sel baru tetap sehingga

terjadi pembesaran prostat untuk menampung jumlah sel yang semakin

banyak (Purnomo, 2001, 52).

Hal-hal yang diduga memicu gangguan pada prostat adalah :

1. Stres kronis

2. Kolesterol tinggi

3. Merokok

4. Makanan tinggi dan rendah serat

5. Mengomsumsi pemacu libido

6. Obesitas

7. Diabetes melitus

(Prasetyo, 2009 : 28).

2.2.3. Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika

dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan

tekanan intravesikel. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus

berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang

terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomic buli-buli berupa

hipertrofi otot detrusor,trabekulasi, berbentuk selula sakula dan

divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh

pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah

atau lover urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal sebagai
13

gejala prostatimus. Tekanan intravesikel yang tinggi diteruskan ke

seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada muara ureter.

Tekanan pada kedua muara ini dapat menimbulkan aliran balik urene

dari buli-buli ke uretra atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini

jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis,

bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal. Obstruksi yang

diakibatkan oleh hyperplasia prostat benigna tidak hanya disebabkan

oleh adanya massa prostat yang menyumbat ureter posterior, tetapi

juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat,

kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu

dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus.

Pada Benigna Prostat Hiperplasia terjadi rasio peningkatan

komponen stroma terhadap epitel. Kalau pada prostat normal rasio

stroma dibanding dengan epitel adalah 2 banding 1, maka Benigna

Prostat Hiperplasia rasionya meningkat menjadi 4 banding 1. Hal ini

menyebabkan pada Benigna Prostat Hiperplasia terjadi peningkatan

tonus otot prostat bila dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal

ini massa prostat yang menyebabkan obstruksi komponen statik

sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik

sebagai penyebab obstruksi prostat (Purnomo, 2011 : 126-127).

2.2.4. Manifestasi klinik

Gejala-gejala Benigna Prostat Hiperplasia dapat diklasifikasikan

karena obstruksi dan eritasi gejala-gejala obstruksi meliputi esidency,

intermiten pengeluaran urin yang tidak tuntas, aliran urin yang baik dan
14

retensi urin, gejala iritasi meliputi sering kemih di malam hari (Nokturia)

dan urgency (dorongan ingin berkemih) dengan adanya stasis urin dalam

kandung kemih akan beresiko terjadinya infeksi saluran kemih dan batu

kandung kemih, batu kandung kemih terbentuk dari kristalisasi dan garam-

garam di dalam urin residup.

Manifestasi klien dengan Benigna Prostat Hiperplasia sebagai berikut :

a) Poliuria (sering buang air kemih) karena warna kandung kemih hanya

mapu mengeluarkan sedikit air kemih.

b) Aliran air kemih menjadi terlambat karena terjadi penyempitan uretra.

c) Hematuria (air kemih mengandung darah) akibat kongesti basis

kandung kemih.

d) Retensi urin.

e) Hidronefrosis dan kegagalan ginjal terjadi akibat tekanan balik

melewati ureter ke ginjal.

(Surhayanto, 2009 : 251)

2.2.5. Penatalaksanaan

Menurut Suharyanto dan Madjid (2009 : 253-354), penatalaksanaan

pada klien dengan Benigna Prostat Hiperplasia, antara lain sebagai berikut:

a) Perubahan gaya hidup yaitu : mengurangi minum-minuman beralkohol

dan yang mengandung kafein.

b) Pengobatan

1. Alpha blokers suatu ogadrenergic receptor antagonists ( misalnya :

doxazonis, terasosin, dan tamsulosin), dapat memperbaiki gejala-

gejala Benigna Prostat Hiperplasia.


15

Alpha blockers dapat merelaksasi otot pada prostat dan leher

kandung kemih, dan menurunkan derajat hambatan aliran urin.

2. Reductase inhibitors (misalnya : finasteride and dustasteride)

ketika digunakan bersama dengan alpha blockers dapat

menurunkan progrensifitas pembesaran prostat.

c) Kateterisasi

d) Pemberian obat antimikrobial

e) Pembedahan

Prostatectomy adalah pembedahan dengan penyeluaran seluruh atau

sebagian dari kelenjar prostate. Abnormalitas prostate, seperti sebuah

tumor atau apabila kelenjar prostate membesar karena berbagai alasan

dapat menghambat aliran urin.

Terdapat beberapa bentuk operasi pada prostat, diantaranya :

1) Transurethral resection of prostate (TURP)

Suatu alat sistoscopy dimasukkan melalui iretra ke prostat, dimana

jaringan disekeliling di eksisi. TURP adalah suatu pembedahan yang

dilakukan pada Benigna Prostat Hiperplasia dan hasilnya sempurna

dengan tingkat keberhasilan 80-90 %.

2) Open prostatectomy

Open prostatectomy adalah suatu prosedur pembedahan dengan

melakukan insisi pada kulit dan mengangkat adenoma prostat melalui

kapsula prostat (retropubic prostatectomy) atau RPP, atau melalui

kandung kemih (suprapubicprostatectomy) atau SPP. Open

prostatectomy diindikasikan apabila masa prostat lebih dari 60 gram.


16

3) Laparoscopy prostatectony

Suatu laparoscopi atau empat insisi kecil dibuat dimana saraf-saraf

lebih mudah rusak dengan teknik retropubic atau suprapubic.

Laparoscopic prostatectomy lebih menguntungkan dibandingkan

dengan pembedahan radikal perineal prostatectomy atau retropubik

prostatectomy dan lebih ekonomis dibandingkan teknik bantuan robot.

4) Robitic – assisted prostatectomy

Robitic – assisted prostatectomy atau pembedahan dengan bantuan

robot. Tangan-tangan robot laparoscopi dikendalikan oleh seorang ahli

bedah. Robot memberikan ahli bedah lebih banyak keterampilan dari

pada laparoscopi konvensional dengan menawarkan keuntungan

keuntungan yang lebih dari pada open prostatectomy, diantaranya

insisi lebih kecil, nyeri ringan, perdarahan sedikit, resiko infeksi

rendah, waktu penyembuhan lebih cepat, dan perawatan lebih pendek.

5) Radical perineal prostatectomy

Radical perineal prostatectomy adalah suatu insisi dibuat pada

perineum ditengah-tengah antara rektum dan skortum, dan kemudian

prostat dikeluarkan.

6) Radical retropubic prostatectomy

Radical retropubic prostatectomy adalah suatu insisi yang dibuat di

abdomen bawah, dan kemudia prostat dikeluarkan (diangkat) melalui

belakang tulang pubis (retropubic) Radical prostatectomy adalah salah

satu tindakan kunci pada kanker prostat.


17

2.2.6. Komplikasi

a. Pembentukan abses ginjal dan perirenal

b. Gagal ginjal kronis

c. Terbentuknya batu saluran kemih

d. Supurasi atau pembentukan abses

2.3. Konsep Dasar Retensi Urin

BatasanKarakteristik

1. Kebutuhan cairan

2. Proses BAK

3. Dipsnew

4. Penurunan suara napas

5. Orthopnew

6. Cyanosis

7. Kelemahan

8. Haus

9. Penurunan turgor kulit

( Nurarif dan Kusuma, 2013)

Faktor Yang Berhubungan

1. Obat-obatan

2. Ketidakmampuanmelakukanhubunganseksual

3. Penumpukan urine

( Nurarif dan Kusuma, 2013)

Retensi Urin adalah ketidakmampuan mengosongkan isi kandung kemih

sepenuhnya selama proses pengeluaran urin.


18

Etiologi :

a. Diabetes

b. Pembesaran kelenjar prostat

c. Kelainan Uretra ( tumor, infeksi kalkalus)

Tanda dan Gejala :

a. Diawali dengan urin mengalir lambat

b. Kemudian terjadi poli urea yang makin lama menjadi parah karena

pengosongan kandung kemih

c. Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih.

d. Terasa ada tekan,kandung terasa nyeri dan merasa ingin BAK

e. Pada retensi berat bisa mencapai 2.000-3.000 cc

Pemeriksaan Penunjang :

a. Pemeriksaan spesimen urin

b. Pengambilan random midstrean

c. Pengambilan umum PH, BJ, kultur protein

d. Sistoskopi (pemeriksaan kandung kemih)

e. IVP (Intravena Pielogram Rontgen dengan bahan kontras)

2.4 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan.

2.4.1 pengkajian.

Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan

merupakan proses yang sistematis dalam pengumpulan data untuk

mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Tahap


19

pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan

keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu (Nursalam, 2001.)

Proses keperawatan pada klien dengan benigna prostat hipertropi

Proses keperawatan pada klien dengan Benigna Prostat Hiperplasia

a. Keragu-raguan dalam memulai berkemih.

b. Aliran urin berkurang baik kekuatan maupun ukurannya.

c. Pengosongan kandungan kemih tak sempurna, karena masih ada

residu urin.

d. Adanya dorongan untuk berkemih.

e. Frekuensi berkemih menjadi lebih sering

f. Sering buang air kemih di malam hari.

g. Disuria (nyeri saat buang air kemih),

h. Hematuria (adanya darah dalam urin)

i. Retensi urin.

j. Pembesaran dan nyeri tekan prostat.

2.4.2 Diagnosa

Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan

respon manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari invidu

atau kelompok dimana perawatan secara akuntabilitas dapat

mengidentifikasikan dan memberikan intervensi secara pasti untuk

menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah dan

mengubah (Nursalam 2001 di kutip dari Carpenito 2000).


20

Diagnosa yang sering muncul pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia :

1. Retensi urin berhubungan dengan pembesaran prostat.

2. Nyeri akut berhubungan dengan prosedur bedah.

3. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik;

trauma prosedur bedah.

4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi bedah.

5. Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan

perubahan status kesehatan (Nurarif dan Kusuma, 2013)

2.4.3 Intervensi Keperawatan

Perencanaan merupakan suatu petunjuk tertulis yang

menggambarkan secara tepat rencana tindakan keperawatan yang

dilakukan terhadap klien sesuai dengan kebutuhan berdasarkan diagnosis

keperawatan.

1. Gangguan retensi urine berhubungan dengan pembesaran prostat.

Intervensi :

a. Awasi pemasukan dan pengeluaran dan karakteristik urine.

R/ memberikan informasi tentang funsi ginjal dan adanya

komplikasi

b. Dorong pasien untuk meningkatan pemasukan cairan.

R/ peningkatan hidrasi membilas bakteri.

c. Kaji keluhan kandung kemih penuh.

R/ retensi urin dapat terjadi, menyebabkan distensi jaringan

(kandung kemih / ginjal)


21

d. Observasi perubahan status mental : perilaku atau tingkat

kesadaran.

R/ akumulasi sisa uremik dan ketidakseimbangan elektrolit dapat

menjadi toksik pada susunan saraf pusat

e. Kolaborasi :

- Pantau pemeriksaan laboratorium : elektrolit, BUN, kreatinin.

R/ pengawasan terhadap disfungsi ginjal.

- Ambil urine untuk kultur dan sensitivitas.

R/ untuk menentukan adanya infeksi saluran kemih, yang

menyebabkan komplikasi.

2. Nyeri akut berhubungan dengan prosedur pembedahan.

Tujuan : Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol

Kriteria Hasil :

a. Tampak rileks

b. Tidur / istirahat dengan tepat.

Intervensi :

1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10)

R/ nyeri tajam, intermiten dengan dorongan berkemih / pasase

urine sekitar kateter menunjukkan spasme kandung kemih, yang

cenderung lebih berat pada pendekatan suprapubik atau TUR

(biasanya menurun setelah 48 jam)

2) Pertahankan potensi kateter dan sistem drainase.

R/ mempertahankan fungsi kateter dan draenase sistem,

menurunkan resiko distensi atau spasma kandung kemih.


22

3) Berikan pasien informasi akurat tentang kateter, drainase dan

spasma kandung kemih.

R/ menghilangkan ansietas dan meningkatkan kerja sama.

4) Berikan tindakan kenyamanan seperti : pengubahan posisi, pijatan

panggung.

R/ menurunkan ketegangan otot, memfokuskan kembali perhatian,

dan dapat meningkatkan kemampuan koping.

5) Berikan rendam duduk atau kompres hangat

R/ meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema,

meningkatkan penyembuhan.

3. Perubahan pola aliminasi urine berhubungan dengan obstruksi

mekanik; Trauma prosedur bedah

Tujuan : Aliran Urine baik / meningkat

Kriteria Hasil :

a. Berkemih dalam jumlah normal tanpa retensi

b. Menunjukkan perilaku yang meningkatkan kontrol kandung

kemih/urinaria

Intervensi :

1) Kaji keluaran urine dan sistem kateter/drainase, khususnya selama

irigasi kandung kemih

R/ Retensi dapat terjadi karena adema area bedah, bekuan darah,

dan spasme kandung kemih

2) Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih.

R/ Mendorong Pasase urine dan meningkatkan rasa normalitas


23

3) Perhatikan waktu, jumlah berkemih, dan ukuran aliran setelah

kateter dilepas. Perhatikan keluhan rasa penuh kandung kemih,

ketidakmampuan untuk berkemih

R/ Kateter biasanya dilepas 2 – 5 hari setelah bedah, tetapi

berkemih dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu

karena edema uretral dan kehilangan tonus

4) Dorong pasien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak

lebih dari 2 - 4 jam per protocol

R/ Berkemih dengan dorongan mencegah retensi urine

5) Ukuran volume residu bila ada kateter suprapubik

R/ Mengawasi keefektifan pengosongan kandung kemih

4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi bedah

Tujuan : Tidak terjadi infeksi

Kriteria Hasil : Mencapai waktu penyembuhan tidak mengalami tanda

infeksi

Intervensi :

1. Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter

regular dengan

sabun dan air, berikan salep antibiotic disekitar sisi kateter

R/ mencegah pemasukan bakteri dan infeksi /sepsis lanjut

2. Ambulasi dengan kantung drainase dependen

R/ Menghindari refleks balik urine, yang dapat memasukan bakteri

dalam kandung kemih


24

3. Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan

pernapasan cepat, gelisah, peka, disorientasi

R/ pasien yang mengalami sistokopi atau TUR prostat beresiko

untuk syok bedah / septic

4. Observasi drainase dari luka, sekitar kateter suprapubik

R/ adanya drain, insisi suprapubik meningkatkan resiko untuk

infeksi, yang diindikasikan dengan eritema, drainase purulen.

5. Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan

perubahan status kesehatan.

Tujuan : Perubahan status kesehatan

Kriteria Hasil :

a. Mengatakan pemahaman situasi individual

b. Menunjukkan terampilan pemecahan masalah

Intervensi :

1. Berikan keterbukaan pada pasien atau orang terdekat untuk

membicarakan tentang masah inkontensia dan fungsi seksual

R/ dapat mengalami ansietas tentang efek bedah dan dapat

menyembunyikan pertanyaan yang diperlukan.

2. Berikan informasi akurat tentang harapan kembalinya fungsi

seksual

R/ impotensi fisiologis terjadi bila saraf perineal dipotong selama

prosedur radikal

3. Diskusikan dasar anatomi, jujur dalam menjawab pertanyaan


25

R/ saraf pleksus mengontrol aliran secara posterior ke prostat

melalui kapsul

4. Intruksikan latihan perineal dan interupsi atau kontinu aliran urine

R/ menungkatkan peningkatan kontrol otot kontinensia urinaria

dan funsi seksual.

2.4.4. Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk

mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah

rencana intervensi disusun dan ditujukan pada nursing others untuk

membantu klien menjapai tujuan yang diharapkan.

Tujuan dari implementasi adalah membantu klien dalam mencapai

tujuan yang telah ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan,

pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping.

Perencanaan asuhan keperawatan akan dapat dilaksanakan dengan baik

jika klien mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dalam implementasi

asuhan keperawatan. Selama tahap implementasi, perawat terus melakukan

data dan memilih asuhan keperawatan yang paling sesuai dengan

kebutuhan klien. Implementasi asuhan keperawatan harus diikuti oleh

pendokumentasian yang lengkap dan akurat terhadap satu kejadian yang

terjadi dalam proses keperawatan (Nursalam, 2001).

2.4.5. Evaluasi

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses

keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan,

rencana/intervensi, dan implementasinya. Tahap evaluasi memungkinkan


26

perawat memonitor kealpaan yang terjadi selama tahap pengkajian,

analisis, perencanaan atau intervensi dan implementasi. Evaluasi adalah

sesuatu yang direncanakan dan perbandingan yang sistematis pada status

kesehatan klien. Dengan mengukur perkembangan klien dalam mancapai

satu tujuan maka perawat dapat menentukan efektifitas asuhan

keperawatan. Meskipun tahap evaluasi diletakkan pada proses

keperawatan tetapi tahap itu merupakan bagian integral pada setiap tahap

prosse keperawatan. Pengumpulan data perlu direvisi untuk menentukan

kecukupan data yang telah dikumpulkan dan kesesuaian perilaku yang

diobsevasi.

Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam

mencapai tujuan. Hal ini dapat melakukan melihat respon klien terhadap

asuhan keperawatan yang diberikan. (Nursalam, 2001)

2.4.6. Dokumentasi

Salah satu tugas dan tanggung jawab perawat adalah melakukan

pendokumentasian mengenai intervensi yang dilakukan. Catatan tersebut

mempunyai banyak manfaat. Tujuan utama dari pendokumentasian adalah

untuk mengidentifikasi status kesehatan klien dalam rangka mencatat

kebutuhan, merencanakan, melaksanakan tindakan keperawatan dan

mengevaluasi tindakan serta dokumentasi untuk penelitian, keuangan,

hukum etika (Nursalam, 2001).


27

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Menguraikan desain yang dipakai dalam penelitian, desain yang

digunakan adalah metode kasus yaitu studi yang mengeksplorasikan suatu

masalah atau fenomena dengan batasan terperinci memiliki pengambilan

data yang mendalam dan menyertakan dari berbagai sumber informasi.

Studi kasus dibatasi oleh waktu dan tempat serta kasus yang dipelajari

berupa perintisan aktifitas atau individu. Study kasus ini adalah untuk

mengeksplorasi masalah. Asuhan keperawatan pada klien dengan Benigna

Prostat Hiperplasia dengan masalah gangguan retensi urin di rumah sakit

umum daerah MGR. Gabriel Manek, SVD Atambua.

3.2 Batasan Istilah

Benigna prostat hiperplasia adalah pembesaran kelenjar dan

jaringan seluler. Kelenjar prostat yang berbahaya dengan perubahan

endotrin dan berkenan dengan proses penuaan prostat adalah kelenjar yang

berlapis kapsula dengan berat kira-kira 20 gram, berada disekeliling uretra

dan dibawah kandung kemih pada pria. Retensi urine adalah

ketidakmampuan mengosongkan isi kandung kemih sepenuhnya selama

pengeluaran urine ( Nursalam 2001).

27
28

3.3 Partisipan

Unit analisis atau partisipan dalam keperawatan umumnya adalah

klien atau keluarga, subyek yang digunakan adalah 2 klien atau 2 keluarga

( Khususnya Dengan Masalah Keperawatan Dan Diagnosa medis Benigna

Prostat Hiperplasia).

3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

Study kasus individu di rumah sakit atambua waktu sejak klien

masuk pertama kali ke rumah sakit sampai pulang dari klien yang dirawat

minimal 3 hari. Jika sebelum 3 hari pasien pulang maka perlu penggantian

pasien yang sejenis dan bila perlu dapat digantikan dengan home care.

3.5 Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan sebagai berikut :

a. Wawancara (hasil analisis berisi tentang identitas pasien, keluhan,

Riwayat penyakit sekarang-dahulu, keluarga dan lain-lain. Sumber

data klien keluarga perawat lainnya.

b. Observasi dan pemeriksaan fisik atau pendekatan pada klien.

3.6 Uji Keabsahan Data

Uji keabsahan data dimaksudkan untuk menguji kualitas data

informasi yanf diperoleh dalam penelitian sehingga menghasilkan data

dengan validitas tinggi. Disamping integritas peneliti menjadi intrumen

utama.

Uji keabsahan data dilakukan dengan memperpanjang waktu

pengamatan atau tindakan, 2 sumber informasi tambahan yaitu


29

menggunakan triangulasi dari 3 sumber data utama yaitu pasien,

perawatan keluarga klien yang berikatan dengan masalah.

3.7 Analisis Data

Analisis data dilakukan sejak peneliti dilapangan, sewaktu

pengumpulan data dengan semua data terkumpul. Analisis data dilakukan

dengan cara mengumpulkan fakta, selanjutnya membandingkan dengan

teori yang ada dan selanjutnya dituangkan dalam opini. Pembahasan dan

teknik analisis yang digunakan dengan cara menarasikan jawaban

mendalam yang dilakukan untuk menyanda semua rumusan masalah

penelitian. Terkait dengan analisis digunakan dengan cara observasi oleh

peneliti dan studi dokumentasi yang menghasilkan data. Urutan dalam data

analisa adalah sebagai berikut :

1) Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dari hasil WOD adalah (wawancara,

observasi, dokumentasi, hasil yang ditulis dalam bentuk catatan

lapangan, kemudian disalin dalam bentuk transkrip.

2) Mereduksi Data

Data hasil wawancara yang dikumpul dalam bentuk catatan

lapangan dan dijadikan dalam bentuk transkrip dan dikelompokan

menjadi data subyektif dan obyektif.

3) Penyajian Data

Penyajian data dapat dilakukan dengan tabel gambar maupun teks

naratif, kerahasiaan dari responden dengan jalan menggambarkan

identitas responden.
30

4) Kesimpulan

Dari data yang disajikan kemudian dibahas dan dibandingkan

dengan hasil-hasil penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan

perilaku kesehatan, kesimpulan dilakukan dengan metode indeksi.

Data yang dikumpulkan dengan data pengkajian diagnosis

perencanaan dan tindakan evaluasi.

3.8 Etika Penelitian

Dicantumkan etika mendasar penyusun study kasus terdiri dari :

1) Informed Consent (persetujuan menjadi klien)

Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan partisipan, dengan

memberikan lembar persetujuan (informed consent). Informed consent

tersebut diberikan sebelum penelitian dilaksanakan agar partisipan

mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya, jika

partisipan bersedia maka mereka harus menandatangani lembar

persetujuan.

2) Anonimity (tanpa nama)

Sesuatu kerahasiaan pasien atau tim kesehatan tidak mencantumkan

nama responden atau klien, tetapi lembar tersebut diberikan kode.

3) Confidentility (kerahasiaan)

Merupakan kerahasiaan informasi pasien dijamin oleh tim kesehatan

dan hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan.


31

DAFTAR PUSTAKA

Basuki. B. Purnomo 2011. Dasar-dasar Urologi, Jakarta.

Corwim, Elisabeth 2009 Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Doengoes, Marilynn E, et al. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman


Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Harmono, M. 2001. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan


Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga.

Hartono Prasetyo, 2009 Panduan Praktis mengenali, mencegah dan mengobati,


Yogyakarta : Citra Publishing.

M.Clevo Rendy, Margareth 2012 Asuhan Keperawatan Medikal Bedah penyakit


Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.

Mansjoer, Arif Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani. 2000. Kapita Selekta


Kedokteran Edisi III Jilid 2, Jakarta.

Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2001. Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan,
Selemba Medika : Jakarta : Salemba Medika.

Nettina, Sandra M, 2001. Pedoman Praktik Keperawatan .Jakarta : EGC.

Nurarif, Amin Huda dan Kusuma, Hardhi. 2013. Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosis Medis & Nanda Noc-Noc, Edisi Reverensi Jilid
1. Yogyakarta : Mediaction Jogja.

Nursalam . 2008. Proses dan Dokumentasi Keperawatan Konsep dan Praktik


Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika.

Syamsuhidayat, Yong. 2005. Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan. Jakarta :


Salemba Medika.

Tarwoto et all. 2009. Anatomi dan Fisiologi Sistem Perkemihan. Yogyakarta :


Nuha Medika.

Tato Suharyanto. Adul Madjid 2009 Asuhan Keperalatan dengan Gangguan


Sistem Perkemihan,A.md-Jakarta

Taufan Nugroho, 2011 Asuhan Keperawatan Bedah Penyakit dalam. Yogyakarta :


Nuha Medika.

You might also like