You are on page 1of 11

A-PDF OFFICE TO PDF DEMO: Purchase from www.A-PDF.

com to remove the watermark

MAZHAB TAFSIR IGNAZ GOLDZIHER


PENDAHULUAN Sejarah penafsiran al-Quran telah melewati berbagai fase yang panjang, rumit dan kompleks. Awalnya, penafsiran merupakan usaha menemukan maksud yang sesuai dengan teks, namun pada tahap selanjutnya proyeksi penafsiran terkontaminasi dengan usaha menundukkan al-Quran demi kepentingan kelompok keagamaan dan individu. Jika diteliti, produk-produk penafsiran al-Quran dari generasi ke generasi memiliki corak dan karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah adanya perbedaan situasi sosio-historis di mana seorang mufassir hidup. Bahkan situasi politik yang terjadi ketika mufassir melakukan kerja penafsiran juga sangat kental mewarnai produk-produk penafsirannya. Tidak berlebihan jika Micheil Fucoult pernah menyatakan suatu tesa bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari adanya relasi kekuasaan/politik. Di samping cakupan makna yang dikandung oleh al-Quran memang sangat luas, perbedaan dan corak penafsiran itu juga disebabkan perbedaan keahlian yang dimiliki oleh masing-masing mufassir. Al-Quran itu memang merupakan kitab yang yahtamil wujuh al-mana (mengandung kemungkinan banyak penafsiran). Sehingga adanya pluralitas penafsiran al-Quran adalah sah-sah saja, sepanjang dapat dipertanggung-jawabkan secara moral dan ilmiah. Penafsiran itu dapat diibaratkan sebuah organisme yang selalu tumbuh dan berkembang. Ia akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan seiring dan senafas dengan kemajuan tantangan yang dihadapi manusia. Disinilah kelebihan Ignaz Goldziher, dengan kritis dan objektif menjelaskan berbagai upaya kelompok-kelompok keagamaan atau individu untuk menafsirkan al-Quran, sejak jaman

klasik sampai jaman awal kedatangan dunia modern, serta membongkar motif-motif kepentingan yang tertuang dalam penafsiran mereka.

PEMBAHASAN A. -Biografi Ignaz Goldziher Ignaz Goldziher adalah orientalis Hungaria yang dilahirkan dari keluarga Yahudi pada tahun 1850 Masehi. Ia belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig. Ignaz Goldziher merupakan anak yang selalu ingin tahu, keinginannya untuk memperdalam keilmuannya sangat kuat. Banyak guru-guru yang memuji kepiawaiannya dalam mendefinisikan suatu permasalahan. Semasa di Budapest, Berlin dan Leipzig dia belajar tentang kajian Islam dan pengetahuannya tentang Islam itulah yang membuatnya merasa perlu untuk menimba ilmu langsung di dunia Islam. Pada tahun 1873 ia pergi ke Syiria dan belajar pada Syaikh Thahir al-Jazairi. Kemudian pindah ke Palestina lalu ke Mesir dimana ia belajar dari sejumlah ulama al-Azhar. Sepulangnya dari al-Azhar ia diangkat menjadi guru besar di Universitas Budapest. Karya-karya tulisannya yang membahas masalah keislaman banyak dipublikasikan dalam bahasa Jerman, Inggris dan Prancis. Bahkan sebagaian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan yang paling berpengaruh dari karya-karya tulisannya adalah buku yag berjudul: Muhammadanische Studien, di mana ia menjadi sumber rujukan utama dalam penelitian hadis di Barat. Di samping karyanya yang lain seperti: Le Dogme et Les Lois de LIslam (The Principle of Law is Islam), Introduction to Islamic Theology and Law, Etudes Sur La Tradition Islamique. Ignaz Goldziher meninggal pada tahun 1921.

-Ignaz Goldziher Tentang Mazhab Tafsir Ignaz Goldziher adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah Mazhab Tafsir dalam bukunya Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung yang diterjemahkan oleh oleh Ali Hasan Abd al-Qadir, menjadi Madzahibu al-Tafsir al-Islami (1955), kemudian diedit oleh Abdul Halim al-Najjar. Sejak saat itu, muncul banyak karya dalam bidang madzahibut tafsir atau sejarah tafsir oleh sarjana-sarajana Muslim sendiri, seperti Muhammad Husain al-Dzahabi dengan karyanya Al-Tafsir wal Mufassirun (1961), Abu Yaqdzan Atiyya al-Jaburi dengan kitabnya Dirasah fi al-Tafsir wa Rijalih (1971) dan Abdul Adhim Ahmad al-Gubasyi dengan karyanya Tarikh al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin (1977) dan lain sebagainya. Dalam setiap sirkulasi sejarah Islam, pemikiran yang muncul senantiasa cenderung mencari justifikasi kebenaran bagi dirinya untuk menunjukkan kesesuaian pemikirannya dengan Islam dan dengan apa yang dibawa oleh Rasulallah. Sebab dengan begitu, maka pemikiran tersebut akan mendapat posisi yang kuat di hati para pengikutnya dalam sistem keberagamaan mereka. Kecenderungan ini dan interaksinya dengan penafsiran secara otomatis merupakan wadah bagi tumbuhnya penulisan tafsir aliran yang kemudian pada episode selanjutnya menjadi persaingan dengan penafsiran yang panjang lebar, baik dalam uraian maupun cakupannya. Munculnya Madzahib al-Tafsir, sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan sejarah, sebab setiap generasi selalu menjadikan al-Quran sebagai pedoman hidup, bahkan kadangkadang sebagai legitimasi bagi tindakan dan kepentingannya. Al-Quran sendiri memang sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretable), dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Quran biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi

sosio-kultural di mana ia tinggal, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Di samping itu, ada kecenderungan dalam diri seorang mufassir untuk memahami al-Quran sesuai dengan disiplin ilmu yang ia tekuni, sehingga meskipun objek kajiannya tunggal, yaitu teks al-Quran, namun hasil penafsiran al-Quran tidaklah tunggal, melainkan plural. Oleh karenanya, munculnya Madzahib al-Tafsir tidak dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam. Ia merupakan keniscayaan sejarah. Ignaz Goldziher membagi sejarah dan perkembangan tafsir menjadi tiga periode. 1. Tafsir pada masa perkembangan madzhab-madzhab yang terbatas pada tempat berpijak Tafsir bi al-Matsur. Pada masa awal Islam, para sahabat menafsirkan al-Qur'an dengan pemahaman mereka tentang bahasa Arab dan pengetahuan mereka tentang Azbabun Nuzul. Jika terjadi kemusykilan berkaitan dengan makna al-Quran, mereka merujuk langsung kepada nabi. Begitu pula para tabiin, mereka belajar kepada para sahabat dan mengambil banyak tentang tafsir disamping pengetahuan mereka akan bahasa Arab, kemampuan mereka sangat baik dalam memahami bahasa Arab. Pada mulanya tafsir diriwayatkan dari seorang kepada seorang lainnya. Para sahabat meriwayatkan tafsir dari nabi, kemudian para tabiin meriwayatkan dari sahabat dan meriwayatkannya kepada generasi selanjutnya dan begitulah seterusnya. Menurut Ignaz Goldziher, disyaratkannya bagan (sanad) Hadits merupakan poin yang cukup diperhitungkan dalam wilayah ilmu-ilmu keagamaan dan secara khusus untuk memberikan parameter dalam bidang tafsir. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang dapat disaksikan keshahihannya, yakni tafsir yang didasarkan pada ilmu atau tafsir yang dapat ditetapkan bahwa nabi sendiri atau para sahabatnya bersentuhan

langsung dalam wilayah pengajaran hal itu dan telah menjelaskannya dengan penjelasan makna al-Quran dan dalalahnya. Karena sudah sangat jelas, nabi sendiri sering ditanya tentang makna kosakata dan ayat al-Quran, lantas beliau menjelaskan itu semua. Demikianlah beliau tidak menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan pendapatnya sendiri, tetapi beliau menerima tafsirnya dari malaikat Jibril yang mengajarkan kepada beliau dengan nama Allah (dengan riwayat dari Allah). Disini Ignaz Goldziher secara eksplisit membatasi Tafsir bi al-Matsur hanyalah tafsir pada masa nabi dan masa sahabat. Hal ini sepaham dengan apa yang disampaikan oleh al-Zarqani yang membatasi pada tafsir yang diberikan oleh ayatayat al-Quran, sunnah dan para sahabat. Namun sebagian ulama tidak sepakat dengan batasan tersebut. Para ulama ada yang memasukkan tafsir generasi Tabiin dalam cakupan Tafsir bi al-Matsur. Pada fase ini yang paling mengemuka adalah mengenai perdebatan seputar tata cara bacaan al-Quran. Dimana banyaknya ragam bacaan al-Quran merupakan topik yang sangat panas pada saat itu. Pertarungan argumen tentang cara baca yang benar membentuk mazhab-mazhab yang saling klaim bahwa bacaan merekalah yang paling benar. Munculnya perdebatan seputar bacaan al-Quran pada masa ini menurut Ignaz Goldziher tidak lain merupakan usaha untuk menjaga, melestarikan dan menegakkan kitab suci ini. Ragam bacaan mencerminkan usaha untuk menafsirkan firman Tuhan, karena pada tahap selanjutnya memiliki implikasi yang sangat jauh dalam memahami dan memaknai teks al-Quran.

2. Tafsir pada masa perkembangannya menuju madzhab-madzhab ahli rayi yang meliputi aliran akidah (teologis), aliran tasawuf, dan aliran politik keagamaan. Pada fase ini orientasinya tidak lagi untuk menjaga keotentikan dan penafsiran yang sesuai dengan apa yang dicita-citakan al-Quran, tetapi lebih berorientasi pada bagaimana penafsiran al-Quran ini dapat melegitimasi kelompok-kelompok tertentu, seperti aliran akidah (teologis), aliran tasawuf, bahkan penafsiran al-Quran ini menjadi tunggangan aliran politik keagamaan tertentu. Dalam pandangan Ignaz Goldziher pada generasi terdahulu telah terjadi perpecahan dalam tafsir al-Quran bi al-Matsur. Perpecahan ini pada awalnya tidak dimaksudkan agar penafsiran mereka menyimpang dari karakter riwayat dan naql. Perpecahan ini pertama kali terjadi dari kaum rasionalis yaitu sekelompok orang pemeluk suatu mazhab keagamaan yang hendak menafikan segala bentuk konsepsi seorang muslim dalam keyakinannya tentang uluhiyah (ketuhanan), baik itu hakikatnya atau tatanan ketuhanan lainnya, dan semua hal yang menyingkirkan peran akal. Karena kalau tidak demikian, maka posisi ketuhanan akan turun drastis sampai pada wilayah material yang sangat tidak layak. Kelompok ini juga berusaha menghilangkan semua ikhtiar yang bertentangan dengan tuntutan hikmah dan keadilan. Tentu dapat ditebak bahwa kelompok ini adalah adalah kaum Mutazilah. Tafsir bi Rayi adalah tafsir yang didalam menjelaskan maknanya atau maksudnya, mufassir hanya berpegang pada pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan (istinbath) pun didasarkan pada logikanya semata. Kategori penafsiran seperti ini di dalam memahami al-Quran tidak sesuai dengan ruh syariat yang

didasarkan pada nash-nashnya. Rasio semata yang tidak disertai bukti-bukti akan berakibat pada penyimpangan terhadap Kitabullah. Selain itu, pemahaman akan al-Quran terutama didekatkan pada pendekatan filologis-gramatikal. Pendekatan ayat per ayat atau kata per kata ini tentunya menghasilkan pemahaman yang parsial (sepotong) tentang pesan al-Quran. Bahkan, sering terjadi penafsiran semacam ini secara keterlaluan menanggalkan ayat dari konteks dan aspek kesejarahannya untuk membela sudut pandang tertentu. Dalam kasus-kasus tertentu seperti dalam pandangan akidah (teologis), filosofis dan sufistis, gagasan-gagasan asing sering dipaksakan ke dalam al-Quran tanpa memperhatikan konteks kesejarahan dan kesusastraan al-Quran. 3. Tafsir pada masa perkembangan kebudayaan/keilmuan Islam yang ditandai dengan timbulnya pemikiran baru dalam keislaman oleh Ahmad Khan, Jamalauddin alAfghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha. Menurut kacamata Ignaz Goldziher, permasalahan antara kebudayaan dan Islam merupakan permasalahan yang bertolak belakang, dan jawaban dari keduanya sudah diupayakan sejak lama oleh kebanyakan tradisi keilmuan yang beragam dalam dunia Islam, baik secara teoritis maupan ilmiah. Islam selama ini tidak dianggap sebagai ajaran yang mengabaikan tujuan dasar untuk kemajuan rasional dan kemajuan sosial, kecuali disebabkan karena adanya pengaruh keagamaan yang keliru dan bentukbentuk penafsiran yang salah dari para ulama mutakhir. Penyelewengan ajaran Islam itulah yang selama ini menjadi penyebab utama adanya paradoks bagi makna dan hakikat Islam berupa tidak adanya mobilisasi Islam ke arah paradigma kebudayaan modern. Nilai-nilai etis secara final ditetapkan bagi

segala urusan yang tidak memiliki relevansi kecuali hanya sebatas temporal-relatif; sementara kewajiban-kewajiban dicanangkan, dengan kebenaran syariat (legitimasi agama) yang tidak bisa menerima perubahan dan pergantian. Inilah yang menyebabkan kejumudan kehidupan dalam Islam, dan kekhurafatan (mitos) menampakkan diri hadapan dunia nyata yang asing, yaitu bahwa klaim tentang kesempurnaan Islam barangkali menyerupai sebuah wilayah empat persegi (terbatas). Seandainya masalah-masalah yang memiliki nilai relatif-temporal di dalam Islam itu dipahami secara proporsional, artinya didasarkan pada nilai-nilai relatif-temporalnya begitu juga segala sesuatu itu tidak harus selalu dikembalikan kepada akidah dan moralitas, tetapi kepada prinsip-prinsip dasar sosial, ekonomi dan konstitusional, sebagaimana ia dikembalikan kepada pengetahuan ilimiah tentu umat Islam tidak akan menjadi batu sandungan bagi sistem sosial yang selalu menuntut adanya dinamisasi dan kesinambungan zaman yang selalu berubah, bukan sekedar menawarkan produk-produk pemikiran belaka. Secara spesifik, menurut Ignaz Goldziher, Islam tidak bertolak belakang dengan kemajuan ilmu, karena jika bertolak belakang maka berarti Islam itu bertentangan dengan semangat pembawanya. Padahal Muhammad adalah nabi yang sangat menghargai pentingnya pola pemikiran dengan akal, sebagai karya manusia yang paling tinggi dan mulia. Ignaz Goldziher berpendapat bahwa zaman baru menuntut adanya sebuah sistem baru dan pembebasan dari sistem dan pola-pola pengajaran yang telah ditetapkan oleh generasi klasik. Tidak mungkin mempersiapkan generasi muda Islam kecuali dengan membimbing pola pikir mereka secara wajar, melalui gagasan-

gagasan pemikiran setiap generasi sebagai sebuah kebutuhan (tuntutan) pada masanya dan sejalan dengan ukuran (standar) serta kaidah yang terus berkembang dan tidak statis. Agama Islam bukanlah remukan bangkai yang tidak memiliki ruh kehidupan lagi, tetapi Islam adalah penggerak sejarah dan pola kehidupan, yang spirit kehidupannya tidak boleh dibekukan dalm permasalahan-permasalahan para ulama klasik semenjak zaman dahulu kala.

-Pandangan Para Ulama Para ulama berbeda-beda dalam memetakan mazhab tafsir. Ada yang membagi perkembangan tafsir menjadi empat periode, yaitu pertama, periode Rasulullah SAW.; kedua, periode mutaqaddimin; ketiga, periode mutaakhirin; dan keempat, periode modern (al-Asri). Ada juga yang membagi berdasarkan periodesasinya atau kronologis waktunya, sehingga menjadi mazhab tafsir periode klasik, pertengahan, modern atau kontemporer. Ada pula yang berdasarkan kecenderungannya, sehingga muncul mazhab teologi mufassiranya, sehingga muncul istilah tafsir Sunni, Mutazili, Syii, dan lain sebagainya. Ada pula yang melihat dari sisi perspektif atau pendekatan yang dipakainya, sehingga muncul istilah tafsir sufi, falsafi, fiqhi, ilmi, adabi ijtimai dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang melihat dari perkembangan pemikiran manusia, sehingga mazhab tafsir itu dapat dipetakan menjadi mazhab tafsir yang periode mitologis, ideologis, dan ilmiah. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran melalui penafsiran-penafsirannya mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya umat. Sekaligus penafsiran-penafsiran tersebut dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.

KESIMPULAN Dalam disiplin keilmuan apapun, mulai dari ilmu Tafsir, Tasawuf, Filsafat, dan ilmu-ilmu umum lainnya, selalu ada yang namanya mazhab atau aliran. Munculnya Madzahib al-Tafsir atau aliran-aliran dalam penafsiran al-Quran sesunguhnya merupakan salah satu bentuk pluralitas dalam memahami al-Quran yang disebabkan oleh adanya dialektika antara teks yang terbatas dan konteks yang tak terbatas. Mengkaji Madzahib al-Tafsir secara baik akan menjadikan kita lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan-perbedaan penafsiran yang ada, sehingga kita tidak perlu menganggap final suatu penafsiran, apalagi memutlakkan kebenaran dari hasil penafsiran seseorang, sebab yang mutlak dan absolut sesungguhnya hanya Allah. Apapun hasil penafsiran adalah relatif kebenarannya. Ignaz Goldziher membagi fase sejarah dan perkembangan tafsir menjadi tiga periode. Dimana tiga fase ini merupakan kesimpulan dari karyanya yang berjudul Mazhab Tafsir yang diterjemahkan dari bukunya yang berbahasa Arab Madzahib al-Tafsir al-Islami, yaitu: Periode pertama, Tafsir pada masa perkembangan madzhab-madzhab yang terbatas pada tempat berpijak Tafsir bi al-Matsur. Periode kedua, Tafsir pada masa perkembangannya menuju madzhabmadzhab ahli rayi yang meliputi aliran akidah (teologis), aliran tasawuf, dan aliran politik keagamaan. Dan periode ketiga, Tafsir pada masa perkembangan kebudayaan/keilmuan Islam yang ditandai dengan timbulnya pemikiran baru dalam keislaman oleh Ahmad Khan, Jamalauddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.

DAFTAR PUSTAKA Al-Qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu al-Quran, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006 Amal, Taufik Adnan, Tafsir Kontekstual al-Quran, Bandung: Mizan, 1994 Baidan, Nasruddin, Metode Penafsiran al-Quran, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002 Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir; Dari Aliran Klasik Hingga Modern, Jogjakarta: eLSAQ Press, 2006 Kholid, Abd., Buku Panduan Mata Kuliah Madzahib al-Tafsir, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya Suryadilaga, M. Alfatih, Metodologi Ilmu Tafsir, Jogjakarta: Teras, 2005 Abd. Kholid, (Buku Panduan Mata Kuliah Madzahib al-Tafsir Fakultas Ushuluddin) Abd. Kholid, (Buku Panduan Mata Kuliah Madzahib al-Tafsir Fakultas Ushuluddin) hlm. 31-35 Ignaz Golziher, Mazhab Tafsir, (Jogjakarta: eLSAQ Press, 2006) hlm. 87 Nasruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Quran, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hlm. 42 Ignaz Golziher, Mazhab Tafsir, (Jogjakarta: eLSAQ Press, 2006) hlm. 129 Syaikh Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Quran, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006) hlm. 440 Taufik Adnan Amal, Tafsir Kontekstual al-Quran, (Bandung: Mizan, 1994) hlm. 16 Ignaz Golziher, Mazhab Tafsir, (Jogjakarta: eLSAQ Press, 2006) hlm. 380 Ibid, hlm. 381 Ibid, hlm. 400 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, (Jogjakarta: Teras, 2005) hlm. 108

You might also like