Professional Documents
Culture Documents
RESEARCH ARTICLE
franciscadevina@student.uns.ac.id
ABSTRACT
Fiscal decentralization is a financial transfer mechanism from the State Revenue and Expenditure Budget
that is related to state financial policies on economic activities of local communities. Equitable distribution
of financial capacity between regions must be in line with the amount of authority in government affairs that
is delegated to autonomous regions. This then has the aim of increasing the potential of each region which
then becomes the hallmark of the area. In developing the potential of a good regional financial area, it really
affects where the transfer of funds from the government must be fulfilled and structured. So a law is needed
to regulate between central government funds to local governments. This research was conducted using
normative juridical research or normative legal research methods. The normative juridical research method
is library law research which is carried out by examining library materials or secondary data. This research
is related to the theory of the formation of legislation so that it is expected to be able to examine whether the
current regulations are included in good and correct regulations. This paper analyzes the optimization of
financial transfers from the central government to local governments based on laws that have been and are
still in effect in Indonesia. The results of the discussion, that it is important for the existence of regulations
on a regional budget that is made so that it needs to be studied more thoroughly. One of the influential
aspects is the transfer of central government funds to the regions which is reflected in the pattern of central
and regional financial relations in the implementation of regional autonomy and the management of regional
revenues in financial administration.
Keywords: Decentralization, Autonomy, Finance, Central Government, Local Government.
Desentralisasi fiskal yaitu mekanisme transfer keuangan dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara yang berhubungan dengan kebijakan keuangan negara terhadap aktivitas
perekonomian masyarakat daerah. Pemerataan kemampuan keuangan antar daerah harus
selaras dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah
otonom. Hal ini kemudian memiliki tujuan untuk meningkatkan potensi dari masing-masing
daerah yang kemudian menjadi ciri khas dari daerah tersebut. Dalam mengembangkan
potensi daerah keuangan daerah yang baik sangat memengaruhi dimana transfer dana dari
pemerintah harus terpenuhi serta terstruktur. Maka diperlukan undang- undang untuk
mengatur antara dana pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Penelitian ini dilakukan
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
278 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 2, Year 2022
dengan menggunakan penelitian yuridis normatif atau metode penelitian hukum normatif.
Metode penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan atau data sekunder belaka. Penelitian ini
dikaitkan dengan teori pembentukan perundang-undangan sehingga diharapkan mampu
mengkaji apakah peraturan saat ini sudah termasuk dalam peraturan yang baik dan benar.
Tulisan ini menganalisa tentang optimalisasi transfer keuangan dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah berdasarkan undang-undang yang pernah dan masih berlaku di
Indonesia. Hasil pembahasan, bahwa penting untuk adanya peraturan terhadap suatu
anggaran daerah yang dibuat sehingga perlu dikaji lebih menyeluruh. Salah satu aspek yang
berpengaruh yaitu transfer dana pemerintah pusat ke daerah yang tercermin dalam pola pola
hubungan keuangan pusat dan daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah serta
manajemen penerimaan daerah dalam penyelenggaraan keuangan.
Kata Kunci: Desentralisasi, Otonomi, Keuangan, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah.
INTRODUCTION
Otonomi Daerah berkaitan dengan desentralisasi yang juga menggandeng pengelolaan
keuangan daerah, perencanaan ekonomi termasuk menyusun program-program
pembangunan daerah dan perencanaan lainnya yang dilimpahkan dari pusat ke daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia memberikan konsekuensi adanya pembagian
kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (bidang moneter dan
fiskal nasional yang didesentralisasikan kepada daerah).
Desentralisasi fiskal adalah mekanisme transfer keuangan dari APBN yang
berhubungan dengan kebijakan keuangan negara yaitu untuk mewujudkan ketahanan fiskal
berkelanjutan terhadap aktivitas perekonomian masyarakat. Pemerataan kemampuan
keuangan antar daerah yang sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan
yang diserahkan kepada daerah otonom dengan adanya kebijakan desentralisasi fiskal.
Desentralisasi fiskal merupakan konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Desentralisasi fiskal memiliki tujuan untuk meningkatkan potensi daerah, dalam hal ini
adalah dari segi fiskal.
Kebijakan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 bertujuan untuk
mendorong perekonomian daerah dan mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah
di Indonesia (Indah, 2011). Proses tersebut diawali dengan pengesahan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang- Undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua
regulasi tersebut sudah mengalami beberapa kali revisi hingga yang terakhir Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang- Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk
menciptakan aspek kemandirian di daerah. Sebagai konsekuensinya, daerah kemudian
menerima pelimpahan kewenangan di segala bidang, kecuali kewenangan dalam bidang
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal serta keagamaan.
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 2, Year 2022 279
Indonesia sebagai negara hukum tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang
berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Konsep negara hukum tidak
1
Tjahya Supriatna, “Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah,” (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 21.
2
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, “Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,” (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 13.
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
280 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 2, Year 2022
terpisahkan dari pilarnya sendiri yaitu paham kedaulatan hukum. Paham ini adalah ajaran
yang mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi terletak ada hukum atau tidak ada kekuasaan
lain apapun, kecuali hukum semata3.
Teori peraturan perundang-undangan yang baik salah satunya yaitu teori negara
hukum dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menegaskan bahwa Indonesia dalam beraktivitas pemerintahan dan ketatanegaraan
didasari mekanismenya dalam mengatur masyarakat didasarkan dengan peraturan atau
konstitusi. Konsekuensi negara hukum ialah bahwa negara Indonesia harus berdasarkan
hukum (rechtstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan (machtstaat). Negara diselenggarakan
dengan prinsip the rule of law, not of man.
Dalam teori negara hukum menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum
sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Konsekuensi negara hukum
sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ialah bahwa negara Indonesia harus
berdasarkan hukum (rechtstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan (machtstaat). Negara
diselenggarakan dengan prinsip the rule of law, not of man.
Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya dengan istilah rechtsstaat
itu mencakup empat elemen penting, yaitu perlindungan hak asasi manusia, pembagian
kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang dan peradilan tata usaha negara.
Jimly Asshiddiqie merumuskan prinsip negara hukum Indonesia yang merupakan
pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat
disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang
sebenarnya, yaitu :
1. Supremasi hukum (supremacy of law).
2. Persamaan dalam hukum (equality before the law).
3. Asas legalitas (due process of law).
4. Pembatasan kekuasaan
5. Organ-organ campuran yang bersifat independen.
6. Peradilan bebas dan tidak memihak.
7. Peradilan tata usaha negara.
8. Peradilan tata negara (constitutional court).
9. Perlindungan hak asasi manusia.
10. Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat).
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechtsstaat).
12. Transparansi dan kontrol sosial.
13. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 maka
setiap sendi kehidupan bermsyarakat, berbangsa, dan bernegara diselenggarakan
berdasarkan hukum. Dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan, produk
hukum berupa peraturan perundang-undangan merupakan pedoman hukum yang menjadi
instrumen pelaksanaan Indonesia sebagai negara hukum.
Selain itu, berdasarkan teori perundang-undangan dengan kenyataan menurut Jhon
Michael Otto antara perundang-undangan dengan kenyataan kita temukan adanya
perbedaan yaitu kepastian hukum nyata sesungguhnya mencakup pengertian kepastian
3
Sobirin Malian, “Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945”, (Yogyakarta: FH UII Press,
2001), 36-37.
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 2, Year 2022 281
hukum yuridis, namun sekaligus lebih dari itu. Jhon Michael Otto mendefinisikannya
sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu:
1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten dan mudah diperoleh (accessible),
diterbitkan oleh atau diakui karena (kekuasaan) negara;
2. Bahwa instansi-instansi pemerintah menerapkan aturan-aturan hukum itu secara
konsisten dan juga tunduk dan taat terhadapnya
3. Bahwa pada prinsipnya bagian terbesar atau mayoritas dari warga-negara menyetujui
muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan
tersebut;
4. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak (independent and
impartial judges) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu
mereka menyelesaikan sengketa hukum yang dibawa ke hadapan mereka;
5. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.
Menurut Jhon Michael Otto semakin baik suatu negara hukum berfungsi, maka
semakin tinggi tingkat kepastian hukum nyata. Di sini dapat dikatakan bahwa tingkat
kepastian hukum nyata hampir selalu dapat digambarkan beranjak dari tiga jenis faktor.
Pertama dari aturan-aturan hukum itu sendiri, kedua dari instansi-instansi
(kelembagaan/institutions) yang membentuk dan memberlakukan serta menerapkan
hukum dan yang bersama-sama dengan hukum membentuk sistem hukum, dan ketiga dari
lingkungan sosial yang lebih luas: faktor-faktor politik, ekonomi dan sosial-budaya.
Desentralisasi fiskal menghubungkan keuangan pusat dan daerah dalam kaitan dengan
pelaksanaan politik desentralisasi. Hubungan keuangan antara pusat dan daerah pertama
kali diatur secara formal-legal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Negara dengan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus
Rumah Tangganya Sendiri.
Salah satu tujuan desentralisasi fiskal adalah untuk meningkatkan kapasitas daerah
dalam pelaksanaan otonomi daerahnya. Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan
1957 Pasal 2 menegaskan bahwa pendapatan pokok daerah terdiri dari pajak daerah;
retribusi daerah, pendapatan negara yang diserahkan kepada daerah, dan hasil perusahaan
daerah tetapi pendapatan negara yang diserahkan kepada daerah ini, adalah menjadi inti dari
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Oleh karena itu, undang-undang
perimbangan keuangan 1957 di atas merupakan perwujudan dari politik desentralisasi fiskal
pada jamannya.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia saat era Reformasi secara resmi dimulai
sejak 1 Januari 2001. Proses tersebut diawali dengan pengesahan Undang-Undang (UU)
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPD). Sampai
saat ini kedua regulasi tersebut telah mengalami beberapa kali revisi hingga terbitlah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia pada awalnya
hanya ditujukan untuk menciptakan aspek kemandirian di daerah. Daerah kemudian
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
282 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 2, Year 2022
4
Nota Keuangan dan RAPBN 2012, h.V-41
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 2, Year 2022 283
yang bersangkutan. Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan
Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyebutkan prinsip pendanaan untuk
penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka hubungan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Hal ini meliputi:
1. Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah didanai
dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan
2. Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di
Daerah didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Ruang lingkup Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah sebagaimana Pasal 2 meliputi:
1. Pemberian sumber Penerimaan Daerah berupa Pajak dan Retribusi;
2. Pengelolaan Transfer ke Daerah;
3. Pengelolaan Belanja Daerah;
4. Pemberian kewenangan untuk melakukan Pembiayaan Daerah; dan
5. Pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional.
Dengan ditetapkannya UU ini, diharapkan dapat menciptakan alokasi sumber daya
nasional yang efektif dan efisien dalam pengaturan tata kelola hubungan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
284 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 2, Year 2022
kepada pemerintah daerah yang diatur dalam undang-undang tentang Pemerintah Daerah.
Pendanaan tersebut mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan
yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pemerintahan. (Ahmad Yani,
2008: 42)
Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan dan penugasan
urusan pemerintahan kepada daerah secara nyata dan bertanggung jawab harus diikuti
dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil,
termasuk perimbangan keuangan antara pemerintah pusat san pemerintah daerah, sebagai
daerah otonom, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan tersebut dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. (Mardiasmo,
2004:106).
Dalam pendanaan penyelenggaraan pemerintahan agar dapat terlaksana secara efisien
dan efektif perlu diatur pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, sedangkan
penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dibiayai dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penyelenggaran kewenangan pemerintahan yang
menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), baik kewenangan pusat yang didekonsentrasikan kepada gubernur atau
kepada pemerintah di bawahnya dalam rangka tugas pembantuan. Dengan otonomi, daerah
dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan, peranan investasi
swasta dan perusahaan milik daerah sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan
dan pembangunan ekonomi.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah
dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu
meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama
sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut, sebagai
berikut : menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah,
meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat, memberdayakan
dan menciptakan ruang publik bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan. (Sadu Wasistiono, 2010:31).
Sejalan dengan upaya untuk memantapkan kemandirian pemerintah daerah yang
dinamis dan bertanggung jawab, serta mewujudkan pemberdayaan dan otonomi daerah
dalam lingkup yang lebih nyata, maka diperlukan upaya meningkatkan efisiensi, efektifitas
dan profesionalisme aparatur pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya alam
maupun sumber daya lainnya milik daerah, sedangkan upaya tersebut dapat dilakukan
melalui peningkatan profesionalisme dan manajemen pemerintahan yang handal.
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 2, Year 2022 285
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
286 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 2, Year 2022
CONCLUSION
Teori peraturan perundang-undangan menyebutkan bahwa Indonesia sebagai negara
hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah
negara hukum”. Ajaran ini mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi terletak ada hukum atau
tidak ada kekuasaan lain apapun. Semakin baik suatu negara hukum berfungsi, maka
semakin tinggi tingkat kepastian hukum nyata yang dipengaruhi aturan-aturan hukum itu
sendiri, instansi (kelembagaan) yang membentuk dan memberlakukan serta menerapkan
hukum dan yang bersama-sama dengan hukum membentuk sistem hukum, serta lingkungan
sosial yang lebih luas berupa faktor-faktor politik, ekonomi dan sosial-budaya.
Kelembagaan dari teori di atas membentuk hukum yang nyata dan diterapkan dalam
lingkungan sosial yang diawali dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah serta Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kemudian Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang- Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan terakhir
Pemerintahan Daerah dan berakhir pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Undang-Undang
tersebut kemudian mengatur pola hubungan keuangan pusat dan daerah untuk mendukung
penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan
berdasarkan kewenangan pemerintah pusat, desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Dalam Pasal 106 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa Transfer
Ke Daerah (TKD) terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK), Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan dan Dana Desa.
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 2, Year 2022 287
REFERENCES
Ahmad Yani, 2008, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Indonesia, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Lestariningsih, “PENGELOLAAN PENERIMAAN DAERAH MELALUI
DESENTRALISASI FISKAL DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI
DAERAH.9”, 2014, 15-36.
Malian, Sobirin, 2001, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, Yogyakarta: FH
UII Press
Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta: Ind-Hill Co.
Nurlan Darise, 2006, Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta:Indeks Kelompok Gramedia
Raharjo Adisasmita, 2011, Pengelolaan Pendapatan Dan Anggaran Daerah, Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Redi, Ahmad, 2018, Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta: Sinar
Grafika.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2012, Penelitian Hukum Normatif, Cetakan ke- 8, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
Supriatna, Tjahya, 1996, Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah, Jakarta: Bumi Aksara.
Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia