You are on page 1of 75

Penegakan Hak Asasi Manusia Dalam

Perspektif Hukum Pidana

Eddy O.S Hiariej


MATERI KULIAH
1. Beberapa Catatan Penting

2. Hukum Pidana Internasional  Pengertian, Sejarah Perkembangan,


Sumber & Asas-Asas serta Karakter Hukum Pidana Internasional. Unsur-
Unsur Internasionalisasi Kejahatan, Jenis & Hierarchi Kejahatan
Internasional. Kejahatan Transnasional & Kejahatan Internasional.
Penegakan Hukum Pidana Internasional

3. Genosida, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan & Kejahatan Perang

4. Mahkamah Pidana Internasional Permanen

5. Mahkamah Pidana Internasional Ad-Hoc & Beberapa Kasus Pelanggaran


Berat HAM  Nuremberg Trial, Tokyo Trial, International Crminal Tribunal
For The Former Yugoslavia (ICTY), International Criminal Tribunal For
Rwanda (ICTR), Extraordinary Chamber di Cambodia, Genocide & crimes
against humanity di Chili, & Gerakan 30 September 1965 di Indonesia
REFERENSI
1. Antonio Cassese, 2003, International Criminal Law, Oxford University
Press.
2. Machteld Boot, 2001, Nullum Crimen Sine Lege and the Subject Matter
Jurisdiction of the International Criminal Court : Genocide, Crimes Against
Humanity, War Crimes, Intersentia, Antwerpen – Oxford – New York.
3. Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams, 2001, Accountability For Human
Rights Atrocities In International Law : Beyond The Nuremberg Legacy,
Second Edition, Oxford University Press.
4. Otto Triffterer, 1999, Commentary on the Rome Statute of the International
Criminal Court, Nomos Verlagsgesellschaft, Baden-Baden.
5. Roy S. Lee, 1999, The International Criminal Court : The Making of The
Rome Statute ; Issues, Negotiations, Results, Kluwer Law International,
The Hague – London – Boston
6. Howard Ball , 1999, Prosecuting War Crimes And Genocide : The Twentieth
– Century Experience, University Press Of Kansas
7. Naomi Roth – Arriaza, 2005, The Pinochet Effect : Transitional Justice In
The Age Of Human Rights, University of Pennsylvania Press, Philadephia.
8. Suzannah Linton, 2002, New Approaches To International Justice In
Cambodia And East Timor, International Review Of The Red Cross :
Humanitarian Debate : Law, Policy, Action.
9. Dina l. Shelton, 2005, Encyclopedia Of Genocide and Crimes Against
Humanity, Vol 1, 2, dan 3, Thomson Gale, Detroit, New York, San
Fransisco, San Diego, New Haven, Conn, Waterville Maine, London,
Munich.
10. International Commission Jurist, 1999, Crimes Against Humanity :
Pinochet Faces Justice.
11. M.Cherif Bassiouni, 2003, Introduction To International Criminal Law,
Transnational Publisher, Inc. Ardsley, New York
12. Roy Gutman & David Rieff (Editor), 1999, Crimes Of War : What The
Public Should Know, New York
13. Tom Fawthrop And Helen Jarvis, 2005, Getting Away With Genocide ? :
Elusive Justice And The Khmer Rounge Tribunal, UNSW Press
14. Statuta Nuremberg, Statuta Tokyo, ICTY, ICTR dan Statuta Roma.
Beberapa Catatan Penting
1. Penindakan terhadap pelanggaran berat HAM dengan
menggunakan instrumen hukum pidana tidaklah mudah karena
lebih bernuansa politik ketimbang masalah hukum. Di satu sisi,
dalam konteks hukum pidana nasional, situasi politik suatu negara
sangat mempengaruhi penindakan terhadap pelakunya, karena
biasanya berkaitan erat dengan otoritarian suatu rezim. Sedangkan
di sisi lain, dalam konteks hukum pidana internasional, terdapat
tarik – menarik antara kedaulatan suatu negara yang diahadapkan
dengan tuntutan masyarakat internasional dalam penegakan HAM.
Kompleksitas masalah ini diperumit dengan adanya sikap politik
yang selalu mendua dari negara-negara barat terhadap
pelanggaran berat HAM yang dilakukan secara sitematis di
belahan bumi lainnya, maupun pelanggaran berat HAM yang
secara sitematis oleh negara-negara barat sendiri.
2. Dari segi peristilahan ‘Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang
Berat’ atau ‘pelanggaran HAM Berat’ adalah terjemahan dari
gross violence of human rights yang BUKAN merupakan istilah
resmi dalam instrumen hukum internasional.
3. Istilah ‘Pelanggaran Berat HAM’ ditujukan terhadap 3 prototipe
kejahatan internasional yaitu, GENOSIDA, KEJAHATAN
TERHADAP KEMANUSIAAN & KEJAHATAN PERANG.
Peristilahan Terhadap Genosida, Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan & Kejahatan Perang
1. Genosida  Crime under international law (Konvensi
Genosida). Serious violations of international humanitarian
law (Statuta ICTY & ICTR). Most serious crime against
international community (Statuta Roma).

2. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan  Most serious crime of


international law (Konvensi Kejehatan Perang & Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan). Serious violations of international
humanitarian law (Statuta ICTY & ICTR). Most serious
crime against international community (Statuta Roma).

3. Kejahatan Perang  Grave breaches (Konvensi Jenewa).


Most serious crime of international law (Konvensi Kejehatan
Perang & Kejahatan Terhadap Kemanusiaan). Grave
breaches (Statuta ICTY). Serious violations of international
humanitarian law (ICTR). Most serious crime against
international community (Statuta Roma).
Pengertian Hukum Pidana Internasional
 Antonio Casesse  International criminal law is a body of international
rules designed both to proscribe international crimes and impose upon States
the obligation to prosecute and punish at least some of those crimes (Hukum
pidana internasional adalah bagian dari aturan-aturan internasional
mengenai larangan-larangan kejahatan internasional dan kewajiban
negara melakukan penuntutan dan hukuman beberapa kejahatan).
 Anthony Aust menyatakan bahwa terminologi hukum pidana
internasional biasanya digunakan untuk menggambarkan aspek-aspek
internasional yang berkaitan dengan kejahatan-kejahatan internasional.
 Menurut Remmelink yang menggunakan istilah ‘ hukum pidana supra
nasional’,menyatakan bahwa hukum pidana internasional pada
hakekatnya adalah hukum pidana yang keberlakuannya pada hukum
antar bangsa tidak bisa mengesampingkan prinsip-prinsip internasional
dan kebiasaan-kebiasaan internasional.
 Roling mendefinisikan hukum pidana internasional sebagai hukum yang
menentukan hukum pidana nasional yang akan diterapkan terhadap
kejahatan-kejahatan yang nyata-nyata dilakukan jika terdapat unsur-
unsur internasional di dalamnya (International criminal law is the which
determines what national criminal law will apply to offences actually
committed if they contain international element).
Schwarzenberger :

1. International criminal law in the meaning of the territorial scope of


municipal criminal law (Hukum pidana internasional dalam arti lingkup
teritorial hukum pidana nasional).
2. International criminal law in the meaning of internationally prescribed
municipal criminal law (Hukum pidana internasional dalam arti aspek
internasional yang diterapkan sebagai ketentuan dalam hukum pidana
nasional).
3. International criminal law in the meaning of internationally authorized
municipal criminal law (Hukum pidana internasional dalam arti kewenangan
internasional yang ditetapkan sebagai ketentuan di dalam hukum pidana
nasional).
4. International criminal law in the meaning of municipal criminal law common
to civilized nations (Hukum pidana internasional dalam arti ketentuan
hukum pidana nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam
kehidupan masyarakat bangsa yang beradab).
5. International criminal law in the meaning of international co-operation in the
administration of municipal criminal justice (Hukum pidana internasional
dalam arti kerjasama internasional dalam mekanisme administrasi peradilan
nasional).
6. International criminal law in the material sense of the word (Hukum pidana
internasional dalam arti kata materiil).
Sejarah Hukum Pidana Internasional
1. Kaisar Justianus Romawi,Abad 16 M perang harus
dilandaskan pada just cause Cicero dan St.Agustine.
2. Pasca Perang Salib Piracy  merusak hubungan
perdagangan antar bangsa.
3. Francisco de vittoria, 1480-1546 Ancaman perang dan
peperangan tidak dapat dibenarkan dengan alasan
perbedaan agama, perluasaan kerajaan dan kemenangan
yang bersifat pribadi defenisi agresi, batas-batas yang
dibolehkan dalam self-defense , pembatasan penggunaan
senjata.
4. Abad 16-18 pakar-pakar hukum seperti Alberto Gentili,
Francisco Suarez, Samuel Pufendorf dan Emerich de vattel
mencari dan membahas dasar-dasar perang.
5. Hugo de Groot, 1625 De Jurre Belli As Pascis Libri Tres 
Pelaksanaan perang secara tidak benar layak untuk dituntut.
Pelaksanaan perang secara melawan hukum bertanggung
jawab atas akibat-akibat yang terjadi dan sepatutnya
diketahui. Jenderal-prajurit yang dapat mencegah kejadian
atau kerugian dapat dipertanggungjawabkan.
6. Pasal 227 Diktat Verssailles tidak dipatuhi
7. 1920 upaya pembentukan mahkamah pidana
internasional dipelopori oleh Vespasien Pella,
Donnedieu de vabres, Quintiliano Saldana, megalos
Ciloyanni dan Rafaele Garofalo.
8. LBB 1927 menetapkan a war of aggression sebagai
international crime.
9. Pasca perang Dunia II Lauterpacht dan Hans kelsen
mendesak pembentukan mahkamah pidana
internasional untuk mengadili penjahat perang negara-
negara poros.
10. Nuremberg Trial 1946  Nazi Jerman
11. PBB menetapkan perbuatan-perbuatan sebagai delicta
juris gentium agresi, kejahatan perang, genosida,
pembajakan di laut, penculikan dan narkotika.
12. Resolusi PBB 21 November 1947 tentang hukum pidana
internasional.
13. Tokyo Trial 1948.
Sumber Hukum Pidana Internasional
Pasal 38 par. 1 Statuta Mahkamah Internasional
a. International convention.
b. International custom.
c. The general principles of law recgonized by
civilized nations.
d. Judicial decisions and the teaching of the
most highly qualified publicist of the
various nations, as subsidiary means for
the determination of rules of law.
Asas-Asas Hukum Pidana Internasional
Secara garis besar, asas-asas hukum pidana internasional
bersumber dari :

1. Hukum Internasional
a. Asas Hukum Pidana Internasional Umum  pacta sun
servanda
b. Asas Hukum Pidana Internasional Khusus  aut dedere
aut punere & aut dedere aut judicare

2. Hukum Pidana Nasional


a. Asas Legalitas
b. Asas Teritorial
c. Asas Ne bis in idem
Asas Legalitas
 Tujuan Hukum Pidana menurut Aliran Klasik
 Melindungi anggota masyarakat dari
tindakan yang sewenang-wenang

 C.S.B.D. Montesquieu (1748) & J.J. Rosseau


(1762) menuntut raja dibatasi dengan hukum
tertulis.

 Pasal 8 Declaration des droits de L‟homme


et du citoyen (1789)  nul ne peut etre puni,
qu‟en vertu d‟une loi etabile et promulguee,
anterieurement au delit et legalement
appliquee.
Anselm von Feuerbach Lehrbuch des peinlichen Recht

 Nulla poena sine lege;


 Nulla poena sine crimine;
 Nullum crimen sine poena legali
 Pasal 4 Code Penal Perancis oleh Napoleon
Bonaparte 1801” “Nulle contravention, nul delit,
nul crime, ne peuvent etre punis de peines, qui n‟
etaient pas prononcees par la loi, avant qu‟ils
fussent commis”
 Pasal 1 WvS Belanda : Geen feit is strafbaar dan uit
kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke
strafbepaling
 Pasal 1 ayat (1) KUHP : “Tiada suatu perbuatan
dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum
perbuatan dilakukan”
 Machteld Boot The formulation of the
Gesetzlichkeitsprinzip in Article 1 StGb is
generally considered to include four separate
requirements. First, conduct can only be
punished if the punishability as well as the
accompanying penalty had been determined
before the offence was committed (nullum
crimen, noela poena sine lege praevia).
Furthermore, these determinations have to
be included in statutes (Gesetze) : nullum
crimen, noela poena sine lege scripta. These
statutes have to be definite (bestimmt) :
nullum crimen, noela poena sine lege certa.
Lastly, these statutes may not be applied by
analogy which is reflected in the axiom
nullum crimen, noela poena sine lege stricta.
Asas Teritorial
1. Asas Teritorial = Hukum Pidana suatu negara berlaku
bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di
negara tersebut  Pasal 2 KUHP

2. Pengecualian atas asas teritorial dapat terhadap :

1. Orang :
a. Kepala Negara Par in parem in hebet in perium
b. Duta Besar dan Konsul serta diplomat
c. Petugas lembaga internasional

2. Tempat :
a. Wilayah Kedutaan Besar
b. Wilayah Angkatan Bersenjata
c. Kapal berbendera negara asing
Perluasan Asas Teritorial
1. Perluasan teknis subjektif & Perluasan
teknis objektif.
2. Perluasan berdasarkan kewarganegaraan
aktif & Perluasan berdasarkan
kewarganegaraan pasif
3. Perluasan berdasarkan prinsip proteksi
4. Perluasan berdasarkan prinsip universal
 Perluasan teknis subyektif  Hukum Pidana suatu negara
berlaku atas perbuatan yang mulai dilakukan di negaranya
tetapi berakhir atau menimbulkan akibat di wilayah negara
lain.
 Perluasan teknis obyektif  Hukum Pidana suatu negara
berlaku atas perbuatan yang mulai dilakukan di negara lain
tetapi berakhir atau menimbulkan akibat di negaranya.
 Kewarganegaraan aktif = Asas Personal = Asas Nasional
Aktif  Hukum Pidana suatu negara berlaku bagi warga
negaranya di mana pun berada.
 Kewarganegaraan pasif = Asas Nasional Pasif  Hukum
pidana suatu negara berlaku atas orang yang melakukan
kejahatan di wilayah negara lain yang akibatnya menimpa
warga negaranya.
 Proteksi  Hukum pidana suatu negara berlaku atas
perbuatan pidana yang melanggar keamanan dan integritas
atau kepentingan vital ekonomi atau kepentingan lainnya
yang hendak dilindungi yang dilakukan di luar wilayah
negara tersebut.
 Universal  Hukum pidana suatu negara berlaku atas
perbuatan pidana yang melanggar kepentingan masyarakat
internasional. Perbuatan tersebut dikualifikasikan sebagai
kejahatan internasional atau delicta jure gentium.
Ne Bis In Idem

Ne bis in idem atau double jeopardy


= seseorang tidak dapat dituntut
lebih dari satu kali di depan
pengadilan dengan perkara yang
sama  untuk menjamin kepastian
hukum dan melindungi hak asasi
manusia.
Karakter Khas Hukum Pidana
Internasional

Bruce Broomhall  5 karakter khas :


1. Pertanggungjawaban individu
2. Pertanggungjawaban pidana tersebut tidak tergantung
dari jabatan yang melekat pada seseorang
3. Pertanggungjawaban individual tersebut tidak
tergantung apakah undang-undang nasional
mengecualikan dari Pertanggungjawaban tersebut.
4. Pertanggungjawaban dimaksud mengandung
konsekuensi penegakan hukum melalui mahkamah
pidana internasional atau melalui pengadilan nasional
yang dilaksanakan pada prinsip universal
5. Terdapat hubungan erat secara historik, praktek dan
doktrin antara hal-hal yang dilarang dari undang-
undang dan landasan hukum internasional pasca-
perang dunia kedua
Unsur-Unsur Internasionalisasi
Kejahatan
1. Tingkah laku yang dilarang berakibat signifikan terhadap
kepentingan internasional, khususnya perdamaian dan keamanan
internasional.
2. Tingkah laku yang dilarang merupakan perbuatan yang buruk dan
dianggap mengancam nilai-nilai yang dianut bersama oleh
masyarakat dunia, termasuk apa yang telah dianggap oleh sejarah
sebagai tingkah laku yang menyentuh nurani kemanusiaan.
3. Tingkah laku yang dilarang memiliki implikasi transnasional yang
melibatkan atau mempengaruhi lebih dari satu negara dalam
perancanaan, persiapan atau perbuatannya, baik melalui
keragaman kewarganegaraan para pelaku kejahatan atau korban
atau perlengkapan yang digunakan melebihi batas-batas negara.
4. Tingkah laku yang membahayakan perlindungan terhadap
kepentingan internasional atau terhadap orang yang dilindungi
secara internasional.
5. Tingkah laku tersebut melanggar kepentingan internasional yang
dilindungi namun tidak sampai pada tahap yang disebut pada poin
pertama dan kedua, namun karena sifat dasarnya, tingkah laku
tersebut dapat dicegah dan ditekan melalui kriminalisasi
internasional
Jenis-Jenis Kejahatan Internasional
1. Kejahatan internasional yang berasal dari
international custom  perbudakan, bajak laut &
kejahatan perang.

2. Kejahatan internasional yang berasal dari konvensi


internasional  pemalsuan uang (International
Convention For The Suppression Of Counterfeiting
Currency, Geneve, April 20, 1929).

3. Kejahatan internasional yang berasal dari


perkembangan hak asasi manusia  Pelanggaran
berat HAM.
Hierarchi Kejahatan Internasional
1. Kejahatan internasional yang disebut sebagai „international crimes‟
adalah bagian dari jus cogens. Tipikal dan karakter dari
„international crime‟ berkaitan dengan perdamaian dan keamanan
manusia serta nilai-nilai kemanusiaan yang fundamnetal.
Termasuk dalam „international crime‟ antara lain adalah genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.

2. Kejahatan internasional yang disebut sebagai „international delicts.


Tipikal dan karakter „international delicts‟ berkaitan dengan
kepentingan internasional yang dilindungi meliputi lebih dari satu
negara atau korban dan kerugian yang timbul berasal lebih dari
satu negara. Termasuk dalam „international delitcs‟ adalah
pembajakan pesawat udara, pembiayaan terorisme, perdagangan
obat-obatan terlarang secara melawan hukum dan kejahatan
terhadap petugas PBB.

3. Kejahatan internasional yang disebut dengan istilah „international


infractions‟. Dalam hukum pidana internasional secara normatif,
„international infraction‟ tidak termasuk dalam kategori
„international crime‟ dan „intetrnational delicts‟. Kejahatan yang
tercakup dalam „international infraction‟ antara lain adalah
pemalsuan dan peredaran uang palsu serta penyuapan terhadap
pejabat publik asing.
Kejahatan Transnasional

1. Tergantung keterkaitan dua yurisdiksi


atau lebih.
2. Objek yurisdiksi asas teritorial dan
asas nasional aktif
3. Yurisdiksi pengadilan nasional
4. Asas aud dedere aud punere
5. Diakui penuh prinsip kedaulatan
negara
Kejahatan Internasional

1. Tidak tergantung keterkaitan dua


yurisdiksi atau lebih.
2. Objek yurisdiksi asas universal
3. Yurisdiksi pengadilan pidana
internasional
4. Asas aud dedere aud judicare
5. Tidak diakui sepenuhnya prinsip
kedaulatan negara
Karakteristik Kejahatan
Internasional
Bassiouni, the ten penal characteristics International Crime :
1. Explicit recognition of prescribed conduct as constituting an international
crime or a crime under international law. (Pengakuan secara eksplisit
tindakan-tindakan yang dipandang sebagai kejahatan berdasarkan hukum
internasional).
2. Implicit recognition of the penal nature of the act by establishing a duty to
prohibit, prevent, prosecute, punish or the like. (Pengakuan secara
implisit sifat-sifat pidana dari tindakan-tindakan tertentu dengan
menetapkan suatu kewajiban untuk menghukum, mencegah, menuntut
atau menjatuhi hukuman pidananya).
3. Criminalization of the proscribed conduct.(Kriminalisasi atas tindakan-
tindakan tertentu).
4. Duty of right to prosecute. (Kewajiban atau hak untuk menuntut).
5. Duty or right to punish the proscribed conduct.(Kewajiban atau hak untuk
memidana tindakan-tindakan tertentu).
6. Duty or right to extradate. (Kewajiban atau hak mengekstradiksi).
7. Duty or right to cooperate to prosecution, punishment, including judicial
assistance in penal proceeding.(Kewajiban atau hak untuk bekerjasama dalam
hal penuntutan, pemidanaan termasuk bantuan judisial dalam proses
pemidanaan)
8. Establishment of criminal jurisdictional basis.(Penetapan suatu dasar-dasar
yurisdiksi kriminal).
9. Reference to the establishment of an international criminal court. (Referensi
pembentukan suatu pengadilan pidana internasional).
10. Elimination of the defense of superior orders.(Penghapusan alasan-alasan
perintah atasan)
Penegakkan Hukum Pidana
Internasional
1. Direct enforcement system  upaya
untuk melaksanakan pembentukan
suatu mahkamah internasional dan
upaya mengajukan tuntutan dan
peradilan terhadap pelaku kejahatan
internasional.
2. Indirect enforcement system  upaya
mengajukan tuntutan dan peradilan
terhadap pelaku kejahatan
internasional melalui undang-undang
nasional.
Genosida

 Istilah genosida terdiri dari dua kata yakni geno dan cide.
Geno atau genos berasal dari bahasa Yunani kuno yang
berarti ras, bangsa atau etnis. Sedangkan cide, caedere
atau cidium berasal dari bahasa Latin yang berarti
membunuh.
 Secara harafiah genosida dapat diartikan pembunuhan
ras. Istilah ini diperkenalkan oleh Raphael Lemkin pada
tahun 1944 – seorang Yahudi kelahiran Polandia yang
bermigrasi ke Amerika pada tahun 1930 – dalam bukunya
Axis Rule In Occupied Europe.
 Lemkin mencatat bahwa istilah yang sama artinya dengan
genocide adalah ethochide yang berasal dari kata Yunani
„ethos‟ yang berarti bangsa dan kata Latin „cide‟.
 Istilah „genocide‟ ini semakin dikenal ketika Amerika
mengajukan tuntutan terhadap para penjahat perang Nazi
Jerman saat Nuremberg Trial digelar.
 Lemkin mendefinisikan genocide secara lengkap sebagai :
” as intentional coordinated plan of different actions aiming at
the destruction of essential foundations of the life of national
groups with the aim of annihilating the groups themselves. The
objectives of such a plan would be disintegration of the
political and social institutions of culture, language, national
feelings, religion, economic existence, of national groups and
the destruction of the personal security, liberty, health, dignity
and even the lives of the individuals belonging to such
groups, …. The actions involved are directed against
individuals, not in their individual capacity, but as members of
the national group”.

 Lemkin membagi genosida ke dalam dua fase. Fase pertama


adalah menghacurkan pola kebangsaan kelompok yang
ditindas. Fase kedua adalah gangguan pola kebangsaan dari
penindas. Gangguan ini dapat dilakukan terhadap populasi
tertindas yang masih tersisa atau atas teritori, setelah bangsa
penindas memindahkan populasi dan menduduki area tersebut
dengan warga kelompok penindas.
 Genosida ini didefinisikan dalam Convention on the Prevention
and Punishment of the Crime of Genocide yang diterima oleh
resolusi Majelis Umum PBB 260A (III), 9 Desember 1948. Dalam
Pasal 1 konvensi disebutkan bahwa genosida yang dilakukan
pada waktu damai atau pada waktu perang adalah kejahatan
menurut hukum internasional (... genocide, whether committed
in time of peace or in time of war, is a crime under international
law...). Sedangkan pengertian genosida dirumuskan secara
lengkap dalam Pasal 2  In the present convention, genocide
means any of the following acts committed with intent to
destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or
religious group, as such :
– Killing members of the group;
– Causing serious bodily or menthal harm to members
of the group;
– Deliberately inflicting on the group conditions of life
calculated to bring about its physical destruction in
whole or in part;
– Imposing measures intended to prevent births within
the group;
– Forcibly transferring children of the group to another
group.
Penuntutan Terhadap Genosida
 Penuntutan terhadap kejahatan genosida telah dimulai pada tahun 1918.
Saat itu dalam pertemuan Imperial War Cabinet, 20 November 1918,
Lord Curzon dari Inggris menekankan upaya penuntutan terhadap para
pemimpin Jerman dan para Turki Muda yang melakukan pembersihan
terhadap etnis minoritas Armenia di Turki. Hanya saja secara objektif
penuntutan tersebut tidak menggunakan istilah „genosida‟ tetapi
menggunakan istilah „atrocious offences against the laws of war‟. Oleh
karena itu, Winston Churchill menyebut „genosida‟ sebagai „the crime
without a name‟ sampai kemudian istilah „genosida‟ diperkenalkan oleh
Lemkin.

 Banyak perbuatan lainnya selama awal abad ke – 20 yang dianggap


sebagai genosida, antara lain pembantaian 70 – 80 ribu suku Bantu
pada tahun 1904 oleh tentara Jerman di Herero, barat daya Africa
(Namibia). Sejarah juga mencatat kisah-kisah pembataian masal yang
sesuai denga definisi genosida adalah pembataian suku Kurdi Turki di
distrik Dersim 1937 – 1938. Pembantain Yahudi oleh Nazi Jerman
selama perang dunia kedua. Pembantaian suku Hutu oleh suku Tutsi di
Burundi 1972. Pemusnahan oleh Khmer Merah di Kamboja dan
kampanye Anfal untuk melawan suku Kurdi Irak 1988. Demikian pula
pembataian masal yang terjadi kemudian di bekas negara Yugoslavia
dan Rwanda.
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
 Istilah „kejahatan terhadap kemanusiaan‟ pertama kali dikenal
dalam deklarasi bersama antar Perancis, Inggris dan Rusia
pada tanggal 24 Mei 1915. Deklarasi bersama ini ditujukan
untuk mengutuk tindakan Turki atas kekejaman yang
dialakukannya selama perang terhadap populasi Armenia di
Turki. Oleh deklarasi tersebut, pembataian terhadap populasi
Armenia dikenal dengan istilah ”crimes against civilization and
humanity.

 Setelah perang dunia pertama berakhir, dalam kaitannya


dengan Perjanjian Versailles, Sekutu mendirikan sebuah komisi
pada tahun 1919 untuk menyelidiki kejahatan-kejahatan perang
yang melanggar Konvensi Den Haag 1907 sebagai hukum yang
akan dipergunakan. Sebagai tambahan kejahatan perang yang
dilakukan oleh Jerman, Komisi juga menemukan bahwa para
prajurit Turki juka melakukan kejahatan terhadap hukum-hukum
kemanusiaan. Namun pada saat itu, Amerika dan Jepang
dengan keras menentang kerimanilasasi atas perbuatan
semacam itu dengan dasar bahwa kejahatan terhadap hukum-
hukum kemanusiaan merupakan pelanggaran moral dan bukan
merupakan pelanggaran hukum.
 Piagam London yang melahirkan Nuremberg Trial, Pasal 6 (c) 
Crimes Against Humanity : Namely, murder, extermination,
enslavement, deportation, and other inhumane acts commited
against any civilian population, before or during the war; or
persecutions on political, racial or religious grounds in execution of or
in connection with any crime within the jurisdiction of the tribunal,
whether or not in violation of the domestic law of the country where
perpetrated.

 Konvensi Mengenai Ketidakberlakuan Pembatasan Aturan Hukum


Untuk Kejahatan Perang Dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan,
Resolusi Majelis Umum PBB 2391 (XXIII), 26 November 1968, Pasal 1
(b)  Kejahatan-kejahatan kemanusiaan apakah dilakukan dalam
waktu perang atau dalam waktu damai seperti yang didefinisikan
dalam Piagam Tribunal Militer Internasional, Nuremberg, 8 Agustus
1945 dan yang dikuatkan dengan resolusi-resolusi Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa, 3 (I) 13 Februari 1946 dan 95 (I) 11
Desember 1946 pengusiran dengan bersenjata, atau pendudukan dan
perbuatan-perbuatan tidak manusiawi, yang diakibatkan dari apartheid,
dan kejahtan genosida, seperti yang didefinisikan dalam Konvensi
1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan
Genosida, sekalipun perbuatan-perbuatan tersebut tidak merupakan
kejahatan terhadap hukum domestik dari Negara tempat kejahatan-
kejahatan itu dilakukan.
 Statuta ICTY, Pasal 5 The International Tribunal shall have the power to
prosecute persons responsible for the following crimes when committed in
armed conflict, whether international or internal in character, and directed
against any civilian pupolation : Murder; Extermination; Enslavement;
Deportation; Imprisonment; Torture; Rape; Persecution on political, racial
and religious grounds; Other inhumane acts.

 Statuta ICTR, Pasal 3  The International Tribunal for Rwanda shall have the
power to prosecute persons responsible for the following crimes when
committed as part of widespread or systematic attack against any civilian
population on national political, ethnic, racial or religious grounds : Murder;
Extermination; Enslavement; Deportation; Imprisonment; Torture; Rape;
Persecution on political, racial and religious grounds; Other inhumane acts.

 Statuta Roma, Pasal 7  For the purpose of this Statute. „Crime against
humanity‟ means any of the following acts when committed as part of
widespread or systematic attack directed against any civilian population,
with knowledge of the attack : Murder; Extermination; Enslavement;
Deportation or forcible transfer population; Imprisonment or other severe
deprivation of physical liberty in violation of fundamental rules of
international law; Torture; Rape, sexual slavery, enforced; prostitution,
forced pregnancy, enforced sterilization, or any other form of sexual
violence of comparable gravity; Persecution against any identifiable group
or collectivity on political, racial, national, ethnic, cultural, religious, gender
as defined in paragraph 3, or other grounds that are universally recognized
as impermissible under international law, in connection with any act referred
to in this paragraph or any crime within the jurisdiction of the court;
Enforced; disapperance of persons; The crime of apartheid; Other inhumane
acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious
injury to body or to mental or physical health.
Kejahatan Perang
 Dalam sejarah perkembangan hukum pidana internasional,
kejahatan perang bersama dengan piracy adalah kejahatan
internasional tertua di dunia. Tuntutan internasional perihal
kejahatan perang pertama kali dilakukan terhadap Peter von
Hagenbach di Breisach, Jerman pada tahun 1474. Hagenbach diadili
di Austria oleh 28 hakim dari persekutuan negara kerajaan suci
Roma dan dinyatakan bersalah atas pembunuhan, pemerkosaan,
sumpah palsu dan kejahatan lain yang melawan hukum Tuhan dan
manusia pada saat ia melakukan pendudukan militer. Dalam
persidangan internasional tersebut, kesatriaan Hagenbach dilucuti
dan dijatuhi hukuman mati.

 Selama perang dunia pertama berlangsung, banyak terjadi


kejahatan perang antara lain yang dilakukan oleh Jerman ketika
menginvasi Belgia. Jerman melakukan deportase warga Belgia
untuk dijadikan budak selama perang berlangsung. Sebenarnya,
pembatasan terhadap konflik bersenjata sudah diusahakan oleh
prajurit Cina terkenal yang bernama Sun Tzu pada abad ke – 6
sebelum masehi. Bangsa Yunani kuno termasuk bangsa yang
pertama memandang larangan-larangan dalm konflik bersenjata
sebagai hukum. Namun, keberadaan istilah kejahatan perang itu
sendiri terdapat dalam Manu, Kitab Hukum Hindu, sekitar 200
tahun sebelum masehi.
Definisi Kejahatan Perang
1. Dienstein  “... war crimes constitute particularly grave offences
against the law of war...”  Dengan demikian hanya perbuatan-
perbuatan tertentu saja yang dinyatakan dalam aturan sebagai
kejahatan perang.
2. Bryan A. Garner  “Conduct that violates international laws
governing war”.
3. Steven R. Ratner  Pelanggaran terhadap hukum-hukum perang
atau hukum humaniter internasional yang mendatangkan
tanggung jawab kriminal individual.
4. London Charter  “War Crimes : Namely, violations of the laws
or customs of war. Such violations shall include, but not be
limited to, murder, ill – treatment or deportation to slave labour or
for any other purpose of civilian populations of or in occopied
territory, murder or ill – treatment of prisoners of war or persons
on the seas, killing of hostages, plunder of public or private
property , wanton destruction of cities, towns or villages, or
devastation not justified by military necessity”
5. Tokyo Trial  “... violations of the laws or customs of war”
6. Statuta ICTY, Pasal 2 & Pasal 3  Grave Breaches Of The Geneva
Convention Of 1949 & Violation Of The Laws Or Customs Of War
7. Statuta ICTR, Pasal 3  Violations Of Article 3 Common To The
Geneva Conventions And Of Additional Protocol II
8. Statuta Roma, Pasal 8 didefinisikan secara rinci.
Beberapa Catatan Perihal Definisi
Kejahatan Perang
1. Istilah „kejahatan perang‟ dalam London Charter & Tokyo Trial
Charter diidentikan dengan kejahatan terhadap hukum-hukum
dan kebiasaan perang.
2. Kejahatan perang dalam London Charter tidak didefinisikan
secara limitatif sehingga dimungkinkan penafsiran lebih lanjut
terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat dikualifikasikan
sebagai kejahatan perang.
3. Istilah „kejahatan perang‟ tidak tercantum secara eksplisit
dalam Statuta ICTY. Dalam Pasal 2 maupun Pasal 3 ICTY yang
substansi dan karakterisitiknya adalah kejahatan perang,
namun dalam statuta tersebut menggunakan istilah
„pelanggaran berat terhadap Konvensi-Konvensi Jenewa 1949‟
dan istilah „pelanggaran hukum-hukum dan kebiasaan-
kebiasaan perang‟.
4. Statuta ICTR tidak secara eksplisit mencantumkan istilah
„kejahatan perang‟, namun substansi dan karakteristik
kejahatan perang yang diatur dalam ICTY dan ICTR secara
prinsip berbeda. ICTR hanya mencantumkan substansi dan
karakteristik kejahatan perang sebagaimana yang dimaksud
dalam Konvensi-Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan
1977.
5. Istilah „kejahatan perang‟ dalam Statuta Roma secara
eksplisit dicantumkan dalam Pasal 8. Selain itu, rumusan
kejahatan perang dalam Statua Roma diatur secara jelas
dan lengkap serta sistematis sehingga sulit ditafsirkan
selain apa yang tertulis.

6. Dalam Statuta Roma, perbuatan-perbuatan yang


dikualifikasikan sebagai kejahatan perang dibagi menjadi
empat kelompok :
• Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa berupa
perbuatan yang ditujukan terhadap orang dan atau benda
yang dilindungi oleh konvensi.
• Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan
kebiasaan konflik bersenjata.
• Pelanggaran terhadap article 3 common to the four
Geneva Convention 1949 dalam hal noninternational
armed conflict.
• Pelanggaran serius lainnya terhadaphukum dan
kebiasaan yang berlaku dalam noninternational armed
conflict.
Mahkamah Pidana Internasional
Permanen (Statuta Roma)
1. Disahkan pada tanggal 17 Juli 1998.
2. Hasil pemungutan suara, 120 negara pendukung, 7
negara penentang dan 21 negara abstain. Diantara 7
negara penentang adalah Amerika, Cina dan Irak
3. Mahkamah permanen yang bersifat sebagai
pelengkap.
4. Berada di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.
5. Tempat kedudukan di Den Haag, Belanda
6. Bahasa resmi Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia dan
Spanyol.
7. Mengadili genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang dan agresi.
Ne bis in idem
1. Tidak seorang pun diadili di depan mahakamah berkenan dengan
perbuatan yang merupakan dasar kejahatan yang mana orang tersebut
telah dinyatakan bersalah atau dibebaskan oleh mahkamah.

2. Tidak seorang pun boleh diadili di depan suatu pengadilan lain untuk
kejahatan yang disebutkan dalam pasal 5 yang mana orang tersebut
telah diadili atau dibebaskan oleh mahkamah

3. Tidak seorang pun yang telah diadili di depan suatu pengadilan lain
untuk perbuatan yang juga dilarang berdasarkan pasal 6, 7 atau 8 boleh
diadili oleh mahakamah berkenan dengan perbuatan yang sama kecuali
kalau proses perkara dalam pengadilan lain itu :

a. Adalah dengan tujuan untuk melindungi orang yang bersangkutan


dari tanggung jawab pidana untuk kejahatan yang berada di dalam
jurisdiksi mahkamah, atau

a. Sebaliknya tidak dilakukan secara mandiri atau tidak memihak


sesuai dengan norma-norma mengenai proses yang diakui oleh
hukum intrenasional dan dilakukan dengan cara yang dalam
keadaan itu tidak sesuai dengan maksud untuk membawa orang
yang bersangkutan ke depan pengadilan.
Prinsip-Prinsip Umum Hukum
Pidana
1. Nullum crimen sine lege
a. Seseorang tidak bertanggung jawab secara pidana
berdasarkan statuta ini kecuali kalau ketika perbuatan
tersebut berlangsung telah dikualifikasikan sebagai
suatu kejahatan dalam statuta ini.
b. Defenisi mengenai kejahatan harus ditafsirkan
dengan ketat dan tidak boleh diperluas dengan
analogi. Dalam hal terdapat kekaburan, defenisi itu
harus ditafsirkan yang menguntungkan orang yang
sedang diselidiki, dituntut atau dihukum  “a more
favorable clause” (Macteld Boot)
c. Tidak mempengaruhi karaktrerisasi dari setiap
perilaku sebagai bersifat pidana berdasar hukum
internasional yang mandiri terhadap statuta ini.
2. Nulla poena sine lege  seseorang yang
dinyatakan bersalah oleh mahkamah dapat
dihukum hanya sesuai dengan statuta ini.
3. Ratione personae non-retroaktif
a. Tidak seorang pun bertanggung jawab secara
pidana berdasarkan statuta ini atas perbuatan yang
dilakukan sebelum diberlakukannya statuta ini.
b. Dalam hal ada perubahan dalam hukum yang dapat
diterapkan kepada suatu kasus tertentu sebelum
keputusan pengadilan, maka berlaku hukum yang
lebih menguntungkan bagi orang yang sedang
diselidiki, dituntut atau dihukum  “change in the
law : rational and benefit of more favorable law”.
(Otto Triffterer)
4. Pertanggungjawaban Pribadi
5. Percobaan, penyertaan dan permufakatan
jahat untuk melakukan perbuatan yang
merupakan yurisdiksi mahkamah.
6. Tidak dimasukkannya yurisdiksi anak-
anak di bawah umur 18 tahun.
7. Tidak ada relevansinya jabatan resmi.
8. Tanggung jawab komandan dan atasan
lainnya.
9. Alasan penghapus tanggung jawab
pidana.
10. Perintas atasan dan ketentuan hukum.
Badan – Badan Mahkamah
1. Kepresidenan
2. Divisi Banding,
Divisi Pangadilan
dan Divisi
Prapengadilan
3. Kantor Jaksa
Penunutut Umum
4. Kepaniteraan
Mahkamah Pidana Internasional
Ad-Hoc

1. Nuremberg Trial
2. Tokyo Trial
3. ICTY
4. ICTR
5. Extraordinary
Chember
Nuremberg Trial
1. Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler memulai kancah perang dunia kedua
dengan menganeksasi Polandia pada September 1939, tepatnya di kota Danzig 
blitzkrieg.
2. Tahun 1940, Hitler menaklukkan Denmark, Norwegia, Belanda, Belgia dan Perancis.
Tahun tersebut merupakan tahun kemenagan Nazi Jerman. Dalam waktu yang
bersamaan dengan perang dunia kedua, bahkan jauh sebelumnya, Hitler telah
melakukan genosida terhadap bangsa Yahudi hampir di seluruh daratan Eropa.
3. Genosida yang dilakukan oleh Nazi Jerman selanjutnya dikenal dengan istilah
holocaust. Secara harafiah ‘holocaust’ berarti deskripsi genosida yang dilakukan
terhadap kelompok-kelompok minoritas di Eropa dan Afrika Utara selama perang
dunia kedua oleh Nazi Jerman.
4. Serangan yang tidak kalah brutalnya juga dilakukan oleh Nazi Jerman ke Sovyet pada
tanggal 22 Juni 1941.  Operasi Barbarosa. Dalam penyerangan tersebut ribuan
warga sipil dipaksa menjadi budak atau digunakan sebagai ’hewan percobaan’ dalam
eksperimen-eksperimen kedokteran.
5. Richard Overy  Russian War  menggambarkan bagaimana Nazi mencari cara
yang efisien untuk membunuh, yaitu dengan menggunakan pasien-pasien mental dari
rumah sakit jiwa Minsk sebagai ‘kelinci percobaan’ setelah menduduki Belarusia.
Jutaan warga Sovyet, laki-laki, wanita dan anak-anak dibunuh oleh regu tembak,
dimusnahkan dalam kamar gas dan dipanggang di kamp maut Nazi bersama jutaan
warga Yahudi Eropa, para intelektual dan kaum Marxis.
6. Ketika Perang Dunia II berlangsung hampir separuh waktu, beberapa
negara di Eropa telah mempersiapkan aturan untuk menuntut para
pelaku genosida dan kejahatan internasional lainnya
7. Oktober 1943, Majelis Internasional London telah berhasil menyusun
draf konvesni berdasarkan hukum nasional sejauh mungkin untuk
mengadili kejahatan perang dalam yurisdiksinya
8. Deklarasi Moskow November 1943 menyepakati bahwa kejahatan
perang yang berskala kecil akan diadili dan dihukum di negara-
negara di mana mereka melakukan kejahatan, sementara kejahatan
perang berskala besar dan pelanggaran yang tidak memiliki lokasi
geografis tertentu akan diperiksa dan diadili oleh suatu keputusan
bersama pemerintah sekutu
9. 8 Agustus 1945, Sekutu menandatangani Perjanjian London yang
mengadopsi Piagam Pengadilan Militer Internasional
10. The Agreement for the Prosecution and Punishment of Major War
Criminals of The Eoropean Axis and Establishing the Charter of the
International Military Tribunal ditandatangani oleh empat negara,
masing-masing Inggris Pernacis, Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Nurmberg Charter yang juga dikenal sebagai London Charter terdiri
dari 30 pasal.
11. Pasal 6 Nuremberg Charter yang menyangkut tiga jenis kejahatan
yaitu kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang dan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal terpenting lainnya dalam
Pasal 6 tersebut adalah mengenai tanggung jawab individu. Dengan
demikian seseorang tidak dapat lagi berdalih bahwa perbuatan yang
ia lakukan adalah untuk kepentingan atau atas perintah negara.
12. Pasal 7, “The official position of defendants, wether as Heads of State
or responsible officials in Government Departmens, shall not be
considered as freeing them from responbility or mitigating
punishment.”

13. Pasal 8, “The fact that the defendant acted pursuant to order of his
Government of a superior shall not free from him responbility, but
maybe considered in mitigation of punishment if the Tribunal
determines that justice so requires.

14. Mahkamah Nuremberg terdiri dari empat orang hakim ditambah dengan
empat hakim pengganti berasal dari keempat negara yang menyusun
Statuta Mahkamah. Mereka adalah, Francis Biddle dari Amerika dengan
John Parker sebagai hakim pengganti. Lord Justice Geoffrey Lawrence
dari Inggris dengan Justice Norman Birkit sebagai pengganti. Dari
Perancis Prof. Donnediu de Vabres sebagai hakim dengan Judge R. Falco
sebagai hakim pengganti. Sedangkan dari Uni Sovyet I.T. Niktchenko
sebagai hakim, dengan hakim penggantinya A.F. Volchkof. Dari keempat
hakim tersebut, Lawrence ditunjuk sebagai ketua mahkamah dengan 3
orang hakim lainnya sebagai anggota.

15. Pengadilan Nuremberg berlangsung selama empat tahap. Tahap


pertama dimulai pada tanggal 20 November 1945 dan berakhir pada
tanggal 1 Oktober 1946 dengan 22 terdakwa. Tahap kedua dimulai pada
tanggal 10 April 1947, kemudian tahap ketiga dimulai pada tanggal 4
Desember 1947 dan tahap terakhir dimulai pada tanggal 13 April 1949.
16. Para terdakwa pengadilan tahap pertama : Hermann Wilhelm
Goering (mati), Alfred Jodl (mt), Wilhelm Keitel (mt), Erich
Raeder (sh), Karl Doenitz (10), Martin Bormann (mt), Hans
Frank (mt), Wilhelm Frick (mt), Joachim von Ribbentrop (mt),
Alfred Rosenberg (mt), Arthur Seyss-Inquart (mt), Rudolf Hess
(sh), Konstantin von Neurath (sh), Franz von Papen (bs),
Baldur von Schirach (sh), Julius Streicher (mt), Hans Fritzsche
(bs), Fritz Sauckel (mt), Walther Funk (sh), Albert Speer (20),
Hjalmar Schacht (bs) & Ernst Kaltenbrunner (mt).
17. Victory justice  Pengadilan sang pemenang
18. Pengecualian asas legalitas
19. Analogi dibolehkan  Tidak ada termoinolodi genocide
20. Donnedieu de Vabres mengatakan bahwa memidana dengan
melanggar asas legalitas memang tidak adil, tetapi tidak
menghukum orang yang bersalah karena kejahatan yang
dilakukannya jauh lebih tidak adil.
21. John Rawls bahwa ketidakadilan dibolehkan untuk
menghindari ketidakadilan yang lebih besar. Penyimpangan
terhadap asas legalitas tidak bisa berlaku luas tetapi terhadap
kasus-kasus khusus.
Tokyo Trial
1. Ada tiga alasan bagi Jepang untuk memulai perang dunia kedua di Asia.
Pertama, kekuasaan pemerintahan dengan kejayaan militer yang
ultranasionalis untuk menyelesaikan masalah perekonomian Jepang,
hanya dapat dilakukan dengan perang yang agresif untuk mengekspansi
suatu wilayah. Kedua, Jepang membutuhkan wilayah yang besar untuk
menyediakan ‘ruang hidup’ bagi orang Jepang guna membangun kekusaan
ekonomi Jepang yang cukup mandiri. Ketiga, Jepang percaya bahwa Cina
adalah musuh utama dan bangsa yang rendah sehingga harus
dimusnahkan.

2. Kekuasaan Jepang mulai menginisiasi perang di Asia berawal dari invasi


ke Cina utara, tepatnya di kota Tientsin pada Juli 1937. Dalam beberapa
bulan kemudian beberapa kota penting di China berhasil direbut, yakni
Shanghai dan Nanking. Serangan yang brutal dilakukan Jepang tidak
hanya terhadap militer Cina, tetapi juga terhadap penduduk sipil. Lebih dari
350 ribu penduduk sipil dan militer Cina diperkosa, disiksa dan dibunuh
dalam enam sampai delapan minggu pendudukan Cina oleh Jepang. Selain
itu, dalam penyerangan ke Cina, Jepang menggunakan gas beracun.
Ribuan orang Cina dijadikan ‘kelinci percobaan’ oleh para dokter Jepang.
Secara keseluruhan jumlah orang Cina yang terbunuh sekitar 19 juta orang
selama 8 tahun perang berlangsung 1937 – 1945. Perang agresif yang tidak
kalah brutalnya juga dilakukan oleh Jepang terhadap Birma, Vietnam,
Kamboja, Malaya dan Philipina.
3. 19 Januari 1946 dibentuklah Mahkamah Tokyo dengan nama resmi
International Military Tribunal for the Far East.

4. Mahkamah Tokyo dibentuk berdasarkan Proklamasi Komandan Tertinggi


Pasukan Sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas Mac Arthur.

5. Pasal 1 Proklamasi Jenderal Douglas Mac Arthur dikatakan, ”There shall be


established an International Military Tribunal for the Far East for the trial of
those persons charged individually, or as members of organization, or in
both capacities, with offences which includes crimes against peace”

6. Amerika menyusun piagam Mahkamah Tokyo yang mengacu kepada


Piagam Nuremberg.

7. Mahkamah Tokyo terdiri dari 11 hakim yang semuanya ditunjuk oleh


Jenderal Douglas Mac Arthur mewakili 11 negara mereka masing-masing
adalah Webb dari Australia sebagai Presiden Mahkamah Tokyo. Hakim
anggota lainnya adalah Mc Dougal dari Canada, Mei dari Cina, Bernard dari
Perancis, Rahabinod Pal dari India, Roling dari Belanda, Northcroft dari New
Zealand, Jaranilla dari Philipina, Patrick dari Inggeris, Higgina dari Amerika
dan Zaranayov dari Uni Sovyet .
8. 3 Mei 1946 -12 November 1948  total terdakwa lebih dari 5.700 orang. Mahkamah
Tokyo pertama mengadili 28 orang terdakwa dengan 55 tuduhan (36 tuduhan
terkait kejahatan terhadap perdamaian, 16 tuduhan menyangkut pembunuhan dan
3 tuduhan mengenai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan). 28
terdakwa  Doihara Kenji (mt), Baron Hirota Koki (mt), Itagaki Seishiro (mt),
Keimura Heitaro (mt), Matsui Iwane (mt), Muto Akira (mt), Tojo Hideki (mt), Araki
Sadao (sh), Hashimoto Kingoro (sh), Hatta Shunroku (sh), Baron Hiranuma Kiichiro
(sh), Hoshino Naoki (sh), Marquis Kido Koichi (sh), Koiso Kuniaki (sh), Minami Jiro
(sh), Oka Takasumi (sh), Oshima Hiroshi (sh), Sato Kenyro (sh), Shimada
Shigetaro (sh), Shiratoti Toshio (sh), Suzuki Teiichi (sh), Kaya Okinori (sh), Umezu
Yoshijiro (sh), Togo Shigenori (20), Shigemitsu Mamoru (20), Matsuoka Yosuke
(wft), Nagano Osami (wft) & Okawa Shumei (strk).
9. Mahkamah Tokyo juga menuai keberatan dengan dasar bahwa ketentuan-
ketentuan dalam piagam tersebut adalah perundang-undangan ex post facto dan
oleh karena itu tidak sah. Mahkamah menolak keberatan tersebut dengan
menyatakan bahwa hukum dari piagam tersebut bersifat mutlak dan mengikat
terhadap pengadilan dan menyatakan dukungan total terhadap pemikiran
Nuremberg.
10. Hakim India, Rahabinod Pal mempersoalkan prinsip nullum crimen sine lege dan
mengkritik secara keras dasar hukum atas opini mayoritas, terutama mengenai
ketidakabsahan perang dan bentuk tanggung jawab individu terhadap tindakan
negara
11. B.V.A. Roling berpendapat bahwa prinsip nullum crimen sine lege bukanlah suatu
prisip keadilan melainkan sebuah kebijakan negara untuk melindungi warga
Negara dari kesewenang-wenangan pengadilan. Pelarangan hukum ex post facto
adalah sebuah ekspresi kebijakan politik yang tidak terlalu digunakan dalam
hubungan internasional.
International Criminal Tribunal for
the Former Yugoslavia (ICTY)
1. Faktor peperangan terjadi di tanah Balkan. Pertama, kelemahan dari
institusi pemerintahan pusat Yugoslavia. Kedua, timbulnya
nasionalisme agresif dalam Serbia. Ketiga, runtuhnya sistem satu
partai komunis di sekitar Eropa pada tahun 1990 termasuk
Yugoslavia. Keempat, nasionalisme Serbia yang meliputi Tentara
Rakyat Yugoslavia.
2. 25 Juni 1991 Slovenia menyatakan kemerdekaan dengan penjagaan
ketat 20.000 tentaranya. Dalam jangka waktu 10 hari Jugoslovenska
Narodna Armija (JNA) memasuki Slovenia dan terlibat pertempuran.
Sementara itu sekitar 22.000 JNA yang diterjunkan di Croatia, Bosnia
dan Herzegovina untuk melakukan perang cepat dan destruktif yang
menghancurkan kehidiupan dan harta benda.
3. Penyerangan JNA ke Croatia, Bosnia dan Herzegovina dilakukan
secara brutal dan merupakan kejahatan perang. Kerugian di Croatia
sendiri ditaksir sekitar 18, 7 milyar Dollar Amerika. Sementara
genosida dan kejahatan terhadap kemanuisaan di Bosnia –
Herzegovina ditujukan kepada populasi Muslim yang mencapai 44 %.
Kekerasan dan kekejaman JNA lebih bertambah brutal setelah
Bosnia dan Herzegovina menyatakan kemerdekaannya pada bulan
Desember 1991. Pada tanggal 6 dan 7 April 1992 sebanyak 14.000
JNA menyerbu Bosnia dan Herzegovina, berhasil melumpuhkan
polisi keamanan, liga patriotik Muslim dan militan Croat yang sulit
mendapatkan persenjataan. Tidak seperti Slovenia dan Croatia,
Bosnia dan Herzegovina terletak dalam wilayah Yugoslavia sehingga
dengan mudah JNA menghacurkan kedua negara tersebut.
4. Dewan Keamanan PBB membentuk komisi ahli pada tanggal 6 Oktober
1992  meneliti pelanggaran hukum internasional yang terjadi di
sana. Komisi ini kemudian menyimpulkan bahwa telah terjadi
pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional dan
merupakan ancaman bagi perdamaian serta keamanan internasional.

5. Selanjutnya berdasarkan Resolusi 827 Dewan Keamanan PBB pada


tanggal 25 May 1993 dibentuklah ICTY yang berkedudukan di Den
Haag, Belanda.

6. Tujuan pembentukan ICTY : Pertama, membawa ke pengadilan orang-


orang yang diduga bertanggungjawab terhadap kejahatan-kejahatan
serius hukum humaniter internasional. Kedua, memberikan keadilan
kepada para korban. Ketiga, untuk menghalangi kejahatan-kejahatan
lebih lanjut. Keempat adalah memberikan kontribusi terhadap
pemulihan perdamaian dengan meminta pertanggungjawaban dari
orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan-kejahatan serius
terhadap hukum humaniter internasional.

7. Yurisdiksi ICTY adalah pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa


1949, kejahatan-kejahatan terhadap hukum-hukum atau kebiasaan-
kebiasaan perang, genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

8. Locus dan tempus delicti  bekas negara Yugoslavia termasuk


Macedonia dan Kosovo sejak 1 Januari 1991 sampai dengan tanggal
yang akan ditetapkan setelah terlaksananya restorasi perdamaian.
9. ICTY terdiri dari 16 hakim tetap dan 12 hakim ad litem dipilih oleh
majelis Umum PBB untuk masa jabatan 4 tahun dan sesudahnya dapat
dipilih kembali. Hakim ICTY dipimpin oleh, Fausto Pocar (Itali),
seorang Wakil, Kevin Parker (Australia) dan 3 orang Presiding Judges,
Patrick Lipton Robinson (Jamaica), Carmel A. Agius (Malta) dan
Alphonsus Martinus Maria Orie (Belanda). 11 hakim lainnya :
Mohamed Shahabudden (Guyana), Mehmet Guney (Turki), Liu Dagun
(China), Andresia Vaz (Senegal), Theodor Meron (Amerika), Wolfgang
Schomburg (Jerman), O-Gon Kwon (Korea Selatan), Jean Claude
Antonetti (Perancis), Iain Bonomy (Inggris), Christine van Den
Wyngaert (Belgia) dan Bakone Justice Moloto (Afrika Selatan).
10. Para hakim dibagi ke dalam 3 majelis dan 1 majelis banding. Setiap
majelis terdiri dari 3 hakim tetap dan maksimum 6 hakim ad litem.
Komposisi majelis pada saat sidang dapat terdiri dari 1 hakim tetap
dan 2 hakim ad litem atau 2 hakim tetap dan 1 hakim ad litem. Majelis
Banding terdiri dari 7 hakim tetap, 5 diantaranya adalah hakim tetap
ICTY dan 2 lainnya berasal dari 11 hakim tetap International Criminal
Tribunal For Rwanda (ICTR).
11. The Office of the Prosecutor (kantor penuntut umum) ICTY bekerja
secara independen pada Dewan Keamanan PBB yang terdiri dari polisi,
kriminolog, analis, pengacara dan jaksa penuntut umum. Adapun
tugas dari kantor penuntut umum adalah melakukan investigasi,
mengumpulkan bukti, mengidentifikasi para saksi dan juga
mempersiapakan dakwaan dan menyampaikan penuntutan kepada
para hakim sebelum sidang dimulai. Saat ini kantor penuntut umum
dipimpin oleh Carla Del Ponte dari Swis sebagai chief of prosecutor
dan David Tolbert dari Amerika sebagai deputy prosecutor.
International Criminal Tribunal for
Rwanda (ICTR )
1. 6 April 1994 Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana dan
Presiden Burundi, Cyprien Ntaryamira tewas dalam kecelakaan
pesawat di Bandara Kigali. Menyusul kematian kedua presiden
tersebut, terjadi pembunuhan besar-besaran yang berdimensi
politik maupun etnik yang dimulai dari Kigali dan menyebar ke
tempat lain di Rwanda.

2. Sebagian kecil anggota Central African yang berasal dari


mayoritas suku di Rwanda yakni Hutu melakukan pembantaian
secara sistematis terhadap suku Tutsi dan Hutu moderat.

3. Dalam waktu yang singkat, jutaan orang di Rwanda hidup dalam


perang dan genosida, namun menimbulkan gelombang
pembunuhan dalam rekor sejarah karena hanya 100 hari lebih
dari 500 ribu orang terbunuh.

4. Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 995 tanggal 8 November


1994 dibentuklah ICTR. 22 Februari 1995 dengan Resolusi 977,
lokasi ICTR berkedudukan di di Arusha, Tanzania.
5. Yurisdiksi ICTR. Pertama, ratione matriae meliputi genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, pelanggaran terhadap Pasal 3 bersama Jenewa
Konvensi dan Protokol Tambahan II. Kedua, ratione temporis kejahatan
yang dilakukan antara 1 Januari - 31 Desember 1994. Ketiga, ratione
personae et ratione loci kejahatan oleh orang Rwanda dan non warga
negara Rwanda di wilayah teritorial Rwanda dan negara tetangganya.

6. Struktur ICTR terdiri dari 3 trial chambers dan 1 appeals chamber. Para
hakim dipilih oleh Majleis Umum PBB dari daftar yang diusulkan oleh
Dewan Keamanan. Hakim-hakim ICTR dipilih dari berbagai sistem hukum
di dunia yang mewakili negara-negara anggota PBB. Mereka dipilih untuk
masa jabatan 4 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Trial dan
appeals chambers beranggotakan 16 hakim dan tidak boleh dari mereka
berasal dari negara yang sama. Masing-masing chamber terdiri dari 3
hakim, sedangkan untuk appeals chamber terdiri dari 5 hakim.
Berdasarkan Resolusi 1431 tanggal 14Agustus 2002 memutuskan
maksimum 18 hakim sebagai hakim ad litem, namun pada saat ini yang
bertugas hanyalah 9 hakim sebagai hakim ad litem.

7. ICTR bertujuan untuk menuntut dan mengadili orang-orang yang


bertanggungjawab atas terjadinya ‘genosida’ dan kejahatan-kejahatan
berat lain yang melanggar hukum humaniter internasional di Rwanda
khususnya yang dilakukan oleh ekstremis Suku Hutu. ICTR memilik
concurrent jurisdiction dan sekaligus primary jurisdiction terhadap
pengadilan nasional baik di Rwanada maupun di negara lain
8. Hakim ICTR : Charles Mechael Dennis Byron (St.Kitts & Nevis)
sebagai presiden dan Khalida Rachid Khan (Pakistan) sebagai
wakil presiden ICTR. Presiding judge : Fausto Pocar (Itali), William
Sekule (Tanzania), Erik Mose (Norwegia). Hakim anggota :
Mohamed Sahabudden (Guyana), Mehmed Guney (Turki), Liu
Dagun (Cina), Andresia Vaz (Senegal), Theodor Meron (Amerika),
Wolfgang Schomburg (Jerman), Arlette Ramaroson (Madagaskar),
Jai Ram Reddy (Fiji), Sergei Alekseevich Egorov (Rusia), Ines
Monica Weinberg de Roca (Argentina) dan Joseph Asoka Nihal De
Silva (Sri Langka).

9. Office of the Prosecution ICTR dikepalai oleh Hassan Bubacar


Jallow (Gambia) dan Bongani Majola (Afrika Selatan) sebagai
deputy prosecutor. Kantor penuntut umum dibagi menjadi dua
seksi yaitu seksi investigasi dan seksi penuntutan. Seksi investiga
dibagi ke dalam tim-tim yang bertanggungjawab untuk
mengumpulkan bukti yang berkaitan dengan orang-orang yang
melakukan kejahatan di Rwanda selama tahun 1994. Seksi
penuntutan bertugas menyusun dakwaan dan penuntutan
terhadap semua kasus sebelum pengadilan dimulai dan
investigasi untuk kepentingan penuntutan.

10. Dalam persidangan terhadap Jean Paul Akayesu, Majelis hakim


banyak melakukan interpretasi ekstensif dan analogi dari unusr-
unsur kejahatan yang didakwakan.
The Law on the Establishment of Extraordinary Chambers in the
Courts of Cambodia for the Prosecution of Crimes Commited During
the Period of Democratic Cambodia (Law on Extraordinary
Chambers
1. Pasca-Perang Indochina, Vietnam memperoleh kemenangan atas Perancis di
Dien Bien Phu, disusul dengan ’Penyelesaian Jenewa’ yang membawa
kemerdekaan penuh terhadap Kamboja dari penjajahan Perancis.
Kemerdekaan Kamboja ini tidak terlepas dari gerilyawan komunis yang
melakukan penyerangan secara total terhadap penjajah Perancis. Kamboja
dipimpim oleh Pangeran Norodom Sihanouk yang telah menjadi raja secara
turun temurun dan berhasil membentuk pasukan yang kuat dengan
dukungan Partai Komunis di Vietnam.

2. 17 Maret 1970, saat berkunjung ke Uni Sovyet dan Cina, Norodom Sihanouk
dikudeta Jenderal Lon Nol dan Pangeran Sisowath Sirik Matak. Pemerintahan
baru dengan nama Republik Khmer bersama aliansinya Amerika memberi
dorongan bagi Sihanouk yang berkolaborasi dengan komunis Khmer Merah
untuk membentuk pemerintahan tandingan. Sihanouk bersama Khmer Merah
mendapat dukungan Korea Utara dan Cina.

3. 17 April 1975 Saloth Sar alias Pol Pot melakukan kudeta terhadap Lon Nol.
Pol Pot adalah seorang penganut ideologi primitif yang mengkombinasikan
kepemimpinan ala komunis Cina di bawah Mao Zedong dengan model
revolusi kebudayaan yang totaliter dan brutal ala Rusia di bawah
kepemimpinan Joseph Stalin.
4. Pol Pot membentuk Pemerintah Khmer Merah yang terdiri
dariKhiue Sampan, Nuon Chea,Ieng Sary, Vorn Vet, Son Sen, Hu
Nim, Thiounn Thiounn, Ieng Thirith, Toch Pheun & Yun Yat.

5. Khmer Merah menculik dan menggiring setiap orang keluar dari


desa dan kota menuju kamp-kamp kerja paksa di pedalaman.
Kamboja diubah menjadi sebuah kamp kerja paksa yang besar di
bawah kepalan tangan Angka atau biasa disebut Angker Padevat
(organisasi revolusi).

6. Pol Pot memecah masyarakat Kamboja menjadi 3 tiang penyokong.


Pertama, keluarga. Anak-anak dipisahkan dari orang tuanya dan
ditempatkan dengan kelompok pemuda yang kemudian
diindoktrinasi untuk memberi informasi pelanggaran peraturan
penumpasan Angka oleh orang tua atau orang dewasa
lainnya.Kedua, Agama Budha. Kuil-kuil Budha ditutup dan
diratakan dengan tanah. Dari 60 ribu pendeta Budha, pasca-Khmer
Merah berkuasa, hanya tiga ribu orang yang ditemukan masih
hidup, selebihnya dibantai, dijadikan budak, sakit atau disiksa.
Ketiga adalah desa. Orang-orang digiring ke tempat-tempat yang
sejauh mungkin dari desa asalnya untuk dijadikan budak dan jika
tidak mau, maka akan dibunuh. Semua orang asing atau orang
Kamboja yang dicurigai diberi label sebagai ’orang baru’ dan diberi
identitas ikat leher khusus pada tubuh mereka.
7. Adapun yang dianggap musuh revolusi Khmer Merah adalah
sebagai berikut : Pertama, Pemimpin pemerintahan, pejabat militer
dan para birokrat adalah target pembersihan pada awal rezim
berkuasa. Kebayakan dari mereka dibunuh di luar pengetahuan
publik baik itu dengan cara dipukul, ditembak di tempat tertutup,
maupun dieksekusi di depan keluarganya. Kedua, etnis minoritas :
Cham sebuah sekte Muslim, etnis Vietnam, etnis Cina dan etnis
Thai. Ketiga, guru, pelajar dan elemen pendidikan lainnya.
Keempat adalah pemimpin lembaga agama.

8. Modus operandi : Pertama, pemerintah menggunakan eksekusi


langsung untuk menghadapi target khusus. Kedua, rezim
menghasut atau sengaja membiarkan perlakuan kejam massal
yang mengakibatkan bayak kematian. Ketiga, bentuk siksaan
yang tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat. Keempat,
menciptakan penindasan, kemiskinan dan kelaparan. Bagi orang
Kamboja yang kuat menghadapi segalanya akan tetap bertahan
hidup, sedangkan bagi mereka yang tidak akan mati dalam
kesengsaraan.

9. Dengan slogan Khmer Merah yang terkenal ”Membiarkan kamu


hidup tidak ada untungnya; menghancurkan kamu tidak ada
ruginya” korban killing field selama tahun 1975 sampai dengan
tahun 1979 saat Pol Pot berkuasa diperkirakan 1,5 – 2 juta jiwa
melayang.
10. Tentara Vietnam merebut kekuasaan dari Khmer Merah dan mengakhiri
genosida, Vietnam disambut sebagai penyelamat dan membentuk
pemerintah Phnom Pen yang condong terhadap Hanoi, Vietnam. Pada
saat yang sama kursi Kamboja di PBB yang selama ini diwakili oleh
Khmer Merah tetap dilanjutkan dengan dukungan Amerika.

11. Pada tahun 1981 Partai Revolusi Rakyat Kampuchea Pro Vietnam
membentuk pemerintah baru, namun ditolak komunitas internasional
atas jasa diplomasi Amerika dan Cina.

12. Pada tahun 1982, Norodom Sihanouk menjadi Presiden Koalisi Republik
Demokrasi Kamboja yang terdiri dari Partai Funicipec, Khmer Merah,
Front Nasional Pembebasan Rakyat Kamboja dan Republik Rakyat
Kamboja yang didukung oleh Vietnam.

13. Pol Pot berusaha melanjutkan keterwakilan Kamboja di Komisi HAM


PBB di Jenewa dan mereka mampu mengeksploitasi semua kesempatan
untuk membajak agenda dan melupakan masalah genosida.
14. Pada tahun 1985 Hun Sen dari Paratai Rakyat Kamboja yang didukung
oleh Vietnam menjadi Perdana Menteri Kamboja dan sejak saat itu
Kamboja dilanda perang gerilya dengan tentara Vietnam.

15. Perundingan damai untuk menyelesaikan masalah Kamboja terus


dilakukan, salah satu diantaranya yang diprakarsai oleh Menteri Luar
Negeri Indonesia Ali Alatas pada tahun 1988. Perundingan yang dikenal
dengan nama Jakarta Informal Meeting berhasil mendudukkan 4 faksi
yang beseturu di Kamboja dalam satu meja perundingan.

16. Salah satu rekomendasi dari Jakarta Informal Meeting yang didukung
oleh ASEAN dan PBB adalah pemilihan pemimpin baru dan penarikan
pasukan Vietnam dari Kamboja, namun ini merupakan suatu hal yang
pelik.
17. Penyelesaian hukum atas kasus killing field di Kamboja telah dimulai
pada tanggal 15 Juli 1979 – pasca-invasi Vietnam ke Kamboja –
pemerintah mengeluarkan Decree Law No. 1 yang menetapkan People‟s
Revolusionary Tribunal untuk memeriksa Pol Pot dan Ieng Sary dalam
kejahatan genosida.
18. People‟s Revolusionary Tribunal dipimpin oleh Hakim Ketua Kheo
Chenda dan Hakim Ketua Pengganti, Chim Chendara serta 10 orang
hakim lainnya sebagai hakim anggota. Sedangkan bertindak sebagai
penuntut umum adalah Marly, seorang kader Khmer Merah yang
melarikan diri ke Vietnam pada tahun 1978. Pada tanggal 26 Juli 1979
surat penangkapan dikeluarkan untuk Pol Pot dan Ieng Sary bersamaan
dengan pemanggilan mereka untuk menyerahkan diri kepada penguasa
yang diumumkan di Balai Kota Phnom Phen selama 7 hari berturut-turut.
19. Pemeriksaan sidang pengadilan terhadap Pol Pot dan Ieng Sary
berlangsung singkat selama 4 hari dari tanggal 15 sampai dengan
tanggal 19 Agustus 1979 di Teater Chaktomuk. Pemeriksaan dilakukan
secara inabsentia sebab Pol Pot dan Ieng Sary tidak pernah hadir dalam
persidangan tersebut. Pemeriksaan terhadap 54 saksi beserta barang
bukti lainnya mengeluarkan putusan yang dibacakan oleh Kheo Chenda
atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Pol Pot dan Ieng Sary.
20. Putusan People‟s Revolusionary Tribunal tidak mendapat tanggapan
serius, baik dari rakyat Kamboja sendiri, maupun dunia internasional. Hal
ini karena para pengikut Pol Pot dan Ieng Sary masih sangat
berpengaruh di Kamboja. Selain itu, penyelesaian masalah hukum di
Kamboja tidak terlepas dari situasi perang dingin antara Cina, Amerika
dan Uni Sovyet. People‟s Revolusionary Tribunal dianggap sebagai
bentukan Vietnam yang melakukan invasi ke Kamboja. Terlebih sistem
hukum yang digunakan bukanlah sistem civil law dengan mengingat
Kamboja adalah jajahan Perancis atau setidaknya mengikuti sistem
common law sebagaimana yang dianut sebagaian besar negara di dunia,
akan tetapi People‟s Revolusionary Tribunal lebih banyak mengikuti
sistem hukum Uni Sovyet.
21.Pada tanggal 17 April 2000 –Perdana Menteri Hun Sen
menerima solusi penyelesaian Kamboja yang
ditawarkan oleh Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan.
Secara formal Annan menawarkan gagasan mengenai
pembentukan Majelis Luar Biasa yang dikenal dengan
nama ”The Law on the Establishment of Extraordinary
Chambers in the Courts of Cambodia for the
Prosecution of Crimes Commited During the Period of
Democratic Cambodia (Law on Extraordinary
Chambers).

22.Majelis Luar Biasa tersebut beranggotakan para hakim


yang berasal dari Kamboja dan PBB. Pada pengadilan
tingkat pertama jumlah hakim sebayak 5 orang dengan
komposisi 3 hakim Kamboja dan 2 hakim PBB.
Sementara pengadilan banding terdiri dari 7 hakim
dengan komposisi 4 hakim Kamboja dan 3 hakim PBB.
Sedangkan majelis hakim pada Mahkamah Agung
beranggotakan 9 hakim dengan ketentuan 5 hakim
Kamboja dan 4 hakim PBB. Ketua Majelis Hakim pada
semua tingkatan berasal dari Kamboja.
23. Pada tanggal 21 Januari 2001 Majelis Nasional Kamboja
menyetujui pembentukan Extraordinary Chambers in the
Courts of Cambodia for the Prosecution of Crimes Commited
During the Period of Democratic Cambodia. Adapun secara
rinci kejahatan yang dapat dituntut menurut Law On
Extraordinary Chambers adalah :

a. Pasal 3 Law On Extraordinary Chambers mengenai pembunuhan,


penyiksaan dan penganiayaan religius diambil dari Pasal 209,
Pasal 210, Pasal 500, Pasal 501, Pasal 503, Pasal 504, Pasal 505,
Pasal 506, Pasal 507 dan Pasal 508 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Kamboja 1956.
b. Pasal 4 Law On Extraordinary Chambers adalah mengenai
genosida sesuai dengan Konvensi Genosida Tahun 1948.
c. Pasal 5 Law On Extraordinary Chambers terkait kejahatan
terhadap kemanusiaan yang diambil dari Statute of the
International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR).
d. Pasal 6 Law On Extraordinary Chambers menyangkut kejahatan
perang yang secara terbatas meliputi pelanggaran berat terhadap
Konvensi Jenewa 1949.
e. Pasal 7 Law On Extraordinary Chambers adalah mengenai
Konvensi Den Haag 154 Tentang Perlindungan Benda-Benda
Budaya Selama Konflik Bersenjata.
f. Pasal 8 Law On Extraordinary Chambers berkaitan dengan
Konvensi Wina 1961 Mengenai Hubungan Diplomatik. Dalam hal
ini adalah kejahatan terhadap orang-orang yang dilindungi
menurut hukum internasional.
24. Mejelis Luar Biasa ini ternyata dalam pra-peradilan untuk mengatasi
perbedaan antara penuntut umum dan hakim penyelidik mengalami
jalan buntu karena baik hakim Kamboja maupun hakim PBB saling
merebut kendali di ruang sidang pengadilan. Selain itu, di satu sisi
Kamboja tidak bisa menjamin peradilan yang jujur terkait impunitas
para pemimpin Khmer Merah, sedangkan di sisi lain, PBB
menghendaki fair trial termasuk terhadap tokoh-tokoh Khmer Merah
yang bertanggung jawab atas killing field tersebut. Pada bulan Juli
2002 Hun Sen kembali bertemu dengan Kofi Annan untuk
membicarakan kelanjutan pengadilan terhadap Khmer Merah.
Akhirnya pada bulan Juni tahun 2003, PBB dan Kamboja membentuk
Mahkamah Internasional terdiri dari Hakim Kamboja dan Hakim dari 7
negara (Australia, Inggris, Amerika, Jepang, Rusia, Perancis dan India).
Adapun hukum yang digunakan untuk mengadili adalah Law On
Extraordinary Chambers.

25. Sampai dengan saat ini pengadilan yang mengadili orang-orang yang
bertanggungjawab atas killing field di Kamboja masih berlangsung.
Tokoh Khmer Merah yang sedang dan akan diadili antara lain adalah
Kaing Guek Eav, Nuon Chea dan Khieu Samphan. Pol Pot sebagai
pemimpin tertinggi Khmer Merah telah meninggal pada tahun 1998.
Demikian pula Son Sen yantg tewas dibunuh pada tahun 1997 dan Ieng
Sary yang diberi amnesti oleh Pemerintah Kamboja pada tahun 1996.
Nuon Chea ditahan dan dihadapkan ke pengadilan pada tanggal 21
September 2007. Chea didakwa menyiksa dan membunuh warga sipil
termasuk dalam pembunuhan biksu dan etnis Vietnam. Chea diancam
dengan pidana penjara seumur hidup. Pada tanggal 8 Februari 2008,
Chea kemudian dihadapkan di pengadilan. Sedangkan Kaing Guek Eav
alias Duch, Kepala Penjara Khmer Merah dihadapkan di pengadilan
pada tanggal 21 November 2007. Sementara Khieu Samphan yang
sedang menunggu giliran untuk diadili menderita strouke dan tidak
dizinkan berobat ke luar dari Kamboja.
Chile
1. Salvador Allende terpilih sebagai presiden pada tahun 1970 dengan
mengantongi 37 % suara  Presiden Amerika Richard M. Nixon
memerintahkan Sekretaris Negara, Henry Kissinger untuk
melakukan sesuatu. Tanpa informasi dari Edward Korry, Duta
Besar Amerika di Chile, Kissinger memerintahkan CIA melakukan
segala cara dalam rangka menghalangi penobatan Allende sebagai
presiden Chile.
2. Berdasarkan konstitusi Chile, jika jumlah suara dalam pemilihan
presiden tidak mencapai mayoritas, maka pemilihan tahap
selanjutnya akan dipilih oleh Kongres. Amerika mencoba
menyuap para legislator dari Partai Kristen Demokrat Chile agar
memilih Jorge Alesandri pesaing terkuat Allende, namun gagal
karena Partai Kristen Demokrat tetap memilih Allende.
3. Amerika mendanai sekelompok pejabat militer untuk melakukan
kudeta, namun ditentang Jenderal Rene Schneider, Panglima
Angkatan Bersenjata Chile yang kemudian mati terbunuh.
4. Hubungan Chile dengan Amerika semakin memburuk saat
pemerintah Allende mengakui keberadaan dan mengadakan
hubungan erat dengan Cuba, Cina, Korea Utara dan Vietnam Utara.
Amerika merespon tindakan Allende dengan menghentikan semua
bantuan keuangan termasuk memblokir berbagai pinjaman.
Sementara itu bantuan rahasia Amerika kepada sekelompok
militer Chile dilipatgandakan
5. Allende mengangkat Jenderal Augusto Pinochet Ugarte sebagai Panglima
Angkatan Bersenjata Chile pada tanggal 23 Agustus 1973. Kurang dari 3
minggu setelah pengangkatan Pinochet, pada tanggal 11 September 1973
terjadi kudeta militer terhadap kekuasaan Allende yang dipimpin
langsung oleh Pinochet. Kudeta militer dimulai dengan serangan udara
yang membombardir Istana Moneda dan turut menewaskan Salvador
Allende. Namun sumber lain ada yang mengatakan bahwa saat terjadi
serangan udara tersebut ke Istana Modeda, Allende bunuh diri dengan
senjata yang dihadiahkan Fidel Castro.

6. Beberapa minggu awal pada saat terjadi kudeta, ratusan warga Chile
menjadi korban hanya untuk menjamin kepatuhan rakyat terhadap
kekuatan militer yang kemudian menjadikan Pinochet sebagai diktator
yang memegang kekuasaan luar biasa

7. Pada awal pemerintahannya, Pinochet memberi pernyataan terbuka


bahwa ia akan memerintah dengan tangan besi sampai bekas-bekas
sistem demokrasi terhapus dari ingatan generasi muda.

8. Keadaan di Chile saat itu tidak jauh berbeda dengan beberapa negara di
Amerika Latin lainnya. Ada perjanjian rahasia antara pemerintah Chile,
Bolivia, Brazil, Argentina, Paraguay dan Uruguay yang dikenal dengan
„Operasi Condor‟  Operasi tersebut dilkaukan oleh rezim-rezim yang
anti demokrasi dengan menggunakan kekuatan militer dan dengan
pendekatan keamanan mengeliminasi lawan-lawan poltiknya. terutama di
Chile di bawah kekuasaan Pinochet, Bolivia di bawah rezim Jenderal Juan
Jose’ Torres dan Uruguay yang dipimpin oleh presiden Hector Gutierres
Ruiz.
9. Selama 17 kekuasaan Pinochet, kekerasan dan penyiksaan kejam
diorganisir oleh Direccion de Intelgencia Nacional (DINA) terhadap
mereka yang beroposisi dengan rezim. Sekitar 3.000 orang termasuk
132 polisi mati selama otoritarian militer tersebut. 1.205 orang mati
dalam 4 bulan terakhir tahun 1973 dan 1.216 orang mati antara tahun
1974 sampai dengan tahun 1977. Pengadilan militer menerapkan asas
retroaktif terhadap kejahatan politik oleh golongan kiri dan
pengadilan sipil membenarkan semua tindakan Pinochet dalam
rangka melindungi kepentingan negara.

10. Sejumlah lokasi yang dijadikan tempat penyiksaan pada rezim


Pinochet adalah Villa Grimaldi, Tres Alamos, Clinica Santa Lucia[6]
dan Clinica de Nuestrasenora des las Nieves. Tempat terakhir yang
disebut biasanya dijadikan tempat pengobatan para oposan Pinochet
dengan kawalan ketat dari aparat militer. Tahanan politik dibuang
pulau Dawson Mereka yang mati ataupun hilang tidak hanya warga
negara Chile namun kebanyakan dari mereka adalah warga negara
Spanyol, Argentina, Luxemburg, Itali, Swis, Belgia dan Perancis.

11. Pada tahun 1990, rezim otoritarian militer Jenderal Augusto Pinochet
Ugarte digantikan oleh Patricio Aylwin Azocar yang membentuk Komisi
Kebenaran Dan Rekonsiliasi (Rettig Commission) untuk menentukan
apa yang terjadi selama rezim Pinochet. Namun komisi tidak
mempunyai kekuasaan untuk melakukan penuntutan terhadap
Pinochet. Hal ini karena selama kekuasaannya, Pinochet telah
menyiapkan seperangkat undang-undang yang melegalkan segala
tindakannya. Diantara undang-undang tersebut adalah undang-
undang amnesti 1978 yang dipersipakan untuk memberikan
pengampunan terhadap semua kekerasan rezim yang dilakukan atas
nama kepentingan negara.
12. Panitia tersebut mendapat hambatan dari pemerintah Chile sehingga
Komisi HAM PBB menggantikan panitia dengan tim reporter khusus
yang melaporkan secara tahunan kepada komisi dan diteruskan kepada
Majelis Umum.

13. Rettig Commission melakukan pencatatan resmi dan investigasi


terhadap kekerasan yang menyerang hak asasi manusia dan
mengakibatkan kematian. Kegiatan investigasi dibatasi untuk kurun
waktu 11 September 1977 sampai 11 Maret 1990, tanggal yang mana
Aylwin menjadi presiden Chile. Laporan Rettig Commision pada Februari
1991 menyebutkan 2.280 orang mati termasuk 164 orang sebagai korban
kekerasan politik dan 2.115 orang sebagai korban kekerasan terhadap
hak asasi manusia. Secara keseluruhan sejak tahun 1973 sampai tahun
1990 jumlah orang hilang sebanyak 3.200, 2.095 dinyatakan mati dan
ribuan orang disiksa dan dipaksa meninggalkan Chile.

14. Pada tahun 2003 Presiden Chile Ricardo Lagos membentuk National
Commission On Political Imprisonment And Tortute (Komisi Nasional
Tentang Tahanan Politik Dan Penyiksaan) yang diketuai oleh Uskup
Sergio Valech. Komisi tersebut melakukan wawancara terhadap 35.000.
mantan tahanan rezim Pinochet dan mengumumkan temuannya pada
tanggal 10 November 2004. Berdasarkan kesaksian mereka diketahui
bahwa berbagai peyiksaan yang dialami semasa dalam tahanan antara
lain disetrum listrik, dipukul, dibakar dengan rokok dan dipaksa menelan
kotoran serta air kencing sendiri. Laporan resmi komisi tersebut
menyatakan bahwa dalam kurun waktu 17 tahun kekuasaan Pinochet
3.197 orang dinyatakan tewas, 30.000. orang disiksa dan dipenjara
secara tidak sah serta 200.000 orang dipaksa meninggalkan Chile dan
lari ke pengasingan.
15. Oktober 1998  Hakim Spanyol Baltasar Garzon dan Manuel Garcia
Castellon memohon ekstradiksi Pinochet ke Spanyol atas segala
kejahatannya terhadap warga Spanyol di Chile maupun Argentina. 16
Oktober 1998  Pinochet ditangkap di London. Negara lain yang juga
memohon ekstradiksi atasPinochet adalah Swiss, Belgia, Perancis,
Itali dan Luxemburg. 23 Oktober 1998, Metropolitan Stipendiary
Magistrates  Section 8 (1) (b) of the Extradition Act 1989
mengeluarkan surat penangkapan terhadap Pinochet. 28 Oktober
1998 High Court In London menyatakan Pinochet punya kekebalan
hukum namun putusan tersebut di banding oleh Lord Chief Justice
Bingham.
16. 25 November 1998 The Law Lords House Of Lords (Lord Nicholls,
Lord Steyn, Lord Hoffman, Lord Slyn dan Lord Loyd) memutuskan
Pinochet tidak punya kekebalan hukum dan tetap akan diekstradiksi
ke Spanyol  Mendagri Jack Straw mengeluarkan Authority To
Proceed terhadap ektradiksi Pinochet.
17. Tuntutan Spanyol atas berbagai penyiksaan yang dilakukan terhadap
warganya dari 31 kasus yang dapat diajukan hanya 2 kasus setelah 8
Desember 1988  Chile meratifikasi konvensi anti penyiksaan.
18. Selama menunggu ekstradiksi terjadi ketegangan hubungan
diplomatik antara Presdien Chile Eduardo Frei dan PM Spanyol Jose
Maria Aznar. Margaret Thatcher  Pemerintah Partai Buruh
melakukan Penculikan Judicial Pinochet, sekutu Inggris dalam
perebutan merebut Malvinas.
19. 11 Januari 2000 Tim Dokter memberikan keterangan medis bahwa
Pinochet menderita Diabetes, Arthitis, dan serangan Jantung Akut
sehingga menggunakan alat pacu jantung. Mendagri Inggris Jack
Straw melepasakan Pinochet kembali ke Chili.
Gerakan 30 September
 Noam Chomsky  Laporan CIA 2500 orang
terbunuh.
 Amnesty International  Lebih dari 1 juta orang
terbunuh.
 Pemerintah Indonesia  Sekitar 500 orang
terbunuh
 Gus Dur  500 ribu eks PKI dibunuh oleh
kelompok Islam
 Robbert Cribb  Indonesian Killings Of 1965-
1966  150 ribu – 2 juta orang dibunuh, disiksa
dan ditahan tanpa proses pengadilan.
Gerakan 30 September
Tanggung Jawab Siapa ???
1. Buku Putih Pemerintah dan Arnold Bracman  PKI
memperalat unsur ABRI bertujuan mengkomuniskan
Indonesia. Kudeta PKI dipercepat 5 tahun dari rencana
awal untuk mengkomuniskan Indonesia karena
kesehatan Soekarno yang kian memburuk.

2. Greg Poulgrain  Rencana Inggris bertemu Rencana


Amerika dalam rangka perang dingin bertujuan
menghentikan politik ofensif Soekarno  Letter
Gilchrist to Sir Harold Cassia yang ditemukan di rumah
Bill Palmer  “….pengaruh apa yang mungkin timbul
dari kunjungan Bunker, utusan istimewa Presiden
Jhonson, ke Jakarta untuk membicarakan perbaikan
hubungan Amerika – Indonesia. Duta Besar Jhons
mengatakan bahwa ia tidak melihat suatu kemungkinan
untuk memperbaiki keadaan itu dan bahwa hal itu tidak
akan merubah rencana semula bersama our local army
friends….”
3. Antonio Dake dan John Hughes  Prsiden
Soekarno dengan tujuan melenyapkan sebagian
oposisi AD. PKI terseret karena dekat dengan
Soekarno  Kesaksian R.H.Soegandhi namun
dibantah oleh Mangil dan Oei Tjoe Tat

4. Presiden soekarno, Oei Tjoe Tat dan Manai


Sophian  Tidak ada pelaku tunggal  sebuah
konspirasi nekolim menggagalkan revolusi
Indonesia dan PKI terpancing.

5. Piter Dale Scott dan Geoffery Robinson CIA


bekerjasama dengan sebuah klik di AD dengan
tujuan menjatuhkan Soekarno dengan demikian
PKI akan jatuh  Teori Domino.

6. Wertheim dan Coen Holtzappel  Cornell Paper 


Sebuah klik di AD yang menyusupi PKI dengan
tujuan mengambil kekuasaan dari Presiden
Soekarno.
SEKIAN

You might also like