You are on page 1of 39

Makalah Bedah Dental I

“GAMBARAN RADIOGRAF, RADIO


DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS KISTA &
KELAINAN KELENJAR SALIVA”
Oleh:

Kelompok 3 Kelas A

ANDINI NURFADHILA SALMA 201811018

ANDRY 201811019

ANISA WIDIYA SURYANI 201811020

ANISYAH MECHA PUTRI RIDANI 201811021

ANNISA FAKHRANA FILDZAH 201811022

ANNISA SALSABILA 201811023

ARDELIA PUTRI WIDYADHARI 201811024

ARDHYANTI ARUMDYAH 201811025

Fasilitator: Sandy Pamadya, drg., Sp.RKG

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO


(BERAGAMA)

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah
gambaran radiograf, radio diagnosis dan diagnosis pada kista dan kelainan kelenjar
saliva. Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Bedah Dental I di program studi
fakultas kedokteran gigi di UPDM (B). Selanjutnya penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing mata kuliah Bedah Dental I
kami.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang gambaran radiograf, radio
diagnosis dan diagnosis pada kista dan kelainan kelenjar saliva dapat memberikan
manfaat dan inspirasi bagi pembaca. Kami mohon maaf apabila terdapat kata-kata
yang kurang berkenan.

Jakarta, 1 Juni 2021

Hormat kami,

(Penulis)

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ 2

DAFTAR ISI ............................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 4

1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................. 5

2.1 Gambaran Radiograf, Radio Diagnosis dan Diagnosis Kista ............................. 6

2.2 Gambaran Radiograf, Radio Diagnosis dan Diagnosis Kelainan Kelenjar

Saliva........................................................................................................................21

BAB III PENUTUP................................................................................................... 38

3.1 Ringkasan .......................................................................................................... 38

3.2 Saran .................................................................................................................. 38

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 39

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kista adalah rongga patologis di tulang dan kista sejati menampilkan epitel
tipis lapisan sel yang berasal dari sumber odontogenik atau nonodontogenik.
Meskipun kista umumnya tumbuh perlahan, kista akan terlihat secara klinis saat
tulang membesar atau gigi berpindah. Dalam kasus seperti itu, pencitraan
mungkin menjadi diagnosis pertama yang dilakukan untuk menentukan sifat
kista dan keterlibatan struktur anatomi yang berdekatan.
Kelenjar saliva adalah kelenjar eksokrin yang memproduksi dan
mengeluarkan air liur. Ada tiga pasang kelenjar ludah utama yang terletak di luar
rongga mulut dan banyak kelenjar ludah minor tersebar di seluruh submukosa
mulut. Kelenjar saliva mayor dan minor dapat dipengaruhi oleh berbagai kondisi
yang mencakup beberapa patofisiologi. Namun, kondisi yang mempengaruhi
kelenjar ludah biasanya dibagi menjadi tiga proses penyakit utama: inflamasi,
noninflamasi, dan massa yang menempati ruang. Pencitraan radiografi
memainkan peran utama dalam diagnosis, manajemen, dan tindak lanjut dari
kondisi ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa gambaran radiograf, radio diagnosis dan diagnosis kista?
2. Apa gambaran radiograf, radio diagnosis dan diagnosis kelainan kelenjar
saliva?

4
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami gambaran radiograf, radio diagnosis dan diagnosis kista.
2. Untuk memahami gambaran radiograf, radio diagnosis dan diagnosis
kelainan kelenjar saliva.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Radiograf, Radio Diagnosis dan Diagnosis Kista


2.1.1 Kista Odontogenik
1. Kista Radikular
Kista periapikal (radikular) Kista periapikal (radikular) adalah
jenis kista odontogenik yang paling umum. Lesi ini memiliki sedikit
dominasi laki-laki dan insiden puncak antara usia 30 dan 50 tahun. Kista
periapikal umumnya muncul setelah trauma atau karies gigi. Karies gigi
menyebabkan peradangan pada rongga pulpa yang menyebabkan nekrosis
pulpa. Infeksi kemudian menyebar ke apeks gigi dari akar menyebabkan
periodontitis periapikal, yang mengarah ke abses akut atau granuloma
kronis. Infeksi kronis yang persisten dapat menyebabkan pembentukan
kista periapikal. Pilihan perawatan termasuk pencabutan gigi, terapi
endodontik, dan operasi apikal. Jika kista periapikal tetap ada setelah
operasi pencabutan gigi terkait, ini disebut sebagai "sisa kista". 1
a) Gambaran Radiologi
Kista periapikal muncul sebagai radiolusen kortikasi berbatas tegas
di puncak gigi nonvital. Ekspansi kortikal dapat terlihat pada lesi yang
besar (Gbr. 1 dan 2). Kista periapikal dapat menyebabkan resorpsi
akar pada gigi yang terkena dan dapat menggantikan struktur yang
berdekatan termasuk gigi yang berdekatan dan kanal mandibula. MRI
kista periapikal menunjukkan T2 yang tinggi (karena kandungan
cairan yang tinggi) dan intensitas sinyal T1 yang bervariasi. Gambaran
MRI dengan kontras yang ditingkatkan menunjukkan peningkatan
dinding kistik yang konsisten dengan inflamasi. 1

6
Gambar. 1 Wanita 42 tahun dengan kista periapikal. Radiografi panoramik yang
dipotong menunjukkan lesi radiolusen (kepala panah) di tubuh posterior ramus
mandibula dengan perpindahan kanal mandibula (panah). Kombinasi temuan
menunjukkan penyakit jinak.1

Gambar 2 Laki-laki 25 tahun dengan kista periapikal. Gambar CT A–C, Aksial


(A), sagital (B), dan volume-rendering 3D (C) menunjukkan lesi radiolusen yang
berbatas tegas di sekitar apeks pertama (panah putih, A dan B) dan kedua (panah
hitam, B dan C) geraham (gigi 18 dan 19). Perhatikan kavitas besar pada gigi
yang terkena dengan resorpsi akar ringan (panah, B dan C).1

7
b) Diagnosis
Kista radikular umumnya terletak di daerah apeks dan sangat
jarang ditemukan pada daerah tepi. Kista radikular dapat menimbulkan
rasa sakit dan pembengkakan pada rahang karena adanya proses
peradangan. Jika kista ini terinfeksi, pembengkakan akan terasa sangat
sakit dan dapat meluas secara cepat, dan sebagian menyebabkan radang
dan edema. Pembengkakan berbentuk bulat dan pada awalnya terasa
keras. Ketika tulang mulai menipis, akan terasa berbunyi bila mengalami
tekanan. Pada akhirnya, sebagian dinding tulang akan mengalami resorpsi
sehingga menimbulkan pembengkakan yang berfluktuasi, berwarna
kebiruan, dan berada di bawah membran mukosa. Kista radikular yang
telah membesar disertai pembengkakan dan sensitivitas ringan mungkin
dapat menyebabkan pergeseran dan goyangnya gigi-gigi yang berdekatan
dengan kista tersebut. Permukaan kista radikular dapat kasar atau halus
bergantung pada tingkat perkembangannya. Bagian dalam kista
merupakan suatu massa jaringan lunak seperti daging dan juga eksudat
purulen atau seropurulen. Isi dapat bergumpal-gumpal, berisi kristal-
kristal kolesterol yang sedikit berkilauan.

Gambar 2.3 Gambaran klinis kista radikuler.

8
2. Kista dentigerous (follicular)
a) Gambaran Radiografis

Secara radiografis, kista dentigerous tampak sebagai lesi


radiolusen unilokular berbatas tegas yang berdekatan dengan mahkota gigi
yang belum erupsi, paling sering gigi molar ketiga. CT berguna untuk
mengevaluasi lesi besar dan dapat menunjukkan asal, ukuran, dan isi
internal kista serta mengevaluasi integritas lempeng kortikal dan
hubungannya dengan struktur anatomi yang berdekatan [9]. Perluasan
kortikal yang signifikan atau penipisan pelat kortikal bukal dan lingual
dapat terlihat dengan lesi yang lebih besar . Akar gigi yang terkena
biasanya berada di luar lesi. Lesi besar dapat berkembang menjadi batas
bergelombang karena tingkat ekspansi yang tidak merata dan dapat
menyerupai ameloblastoma dan tumor odontogenik keratocystic. MRI
tidak diperlukan untuk diagnosis dalam banyak kasus; Namun, ini dapat
membantu dalam karakterisasi lesi besar. MRI biasanya akan
menunjukkan T2 tinggi dan sinyal T1 rendah hingga menengah di dalam
kista, sedangkan gigi akan muncul sebagai sinyal kosong. Gambar dengan
kontras yang ditingkatkan dapat menunjukkan peningkatan dinding kista
yang tipis. Adanya dinding ireguler yang tebal atau komponen padat
meningkatkan kemungkinan terjadinya ameloblastoma. FDG PET/CT
menunjukkan serapan FDG latar belakang; namun, jika ada peradangan,
hipermetabolisme FDG ringan dapat dicatat.1

9
Gambar 2.4 Contoh kista dentigerous yang mengalami perpindahan
gigi. (A) Sebuah molar ketiga mandibula dipindahkan ke ramus oleh
kista. (B) Sebuah gigi molar rahang atas dipindahkan ke sinus
maksilaris oleh kista yang mengisi seluruh sinus.2

b) Diagnosis

Kista dentigerous adalah kista odontogenik kedua yang paling


umum terjadi di mandibula dan biasanya ditemukan pada orang dewasa
pada dekade ketiga dan keempat kehidupan. Kista terbentuk di sekitar
mahkota gigi yang tidak erupsi saat cairan berkumpul di antara lapisan
epitel atau antara epitel dan email. . Kista dentigerous biasanya tidak terasa
nyeri (asimptomatik). Oleh sebab itu, kista ini dapat tumbuh sampai ukuran

10
besar sebelum terdiagnosis. Sebagian besar kista dentigerous dapat
ditemukan pada hasil radiografis karena gigi yang impaksi, gigi yang
hilang, dan gigi yang miring atau keluar dari keselarasannya. Banyak pasien
pertama kali mengetahui kista karena pembengkakan yang membesar secara
perlahan-lahan. Terkadang kista dentigerous bisa nyeri, terutama jika terjadi
infeksi sekunder.

Gambar 2.5 A, Panogram dari kista dentigerous yang berhubungan dengan impaksi
gigi premolar satu rahang atas kanan. B, insisi sulkus bukal intraoral dan paparan
kista. C, Spesimen enukleasi dengan gigi terkait.

3. Kista Residual
a. Gambaran Radiologi
Kista residual adalah kista yang tersisa setelah pengangkatan kista
asli yang tidak tuntas. Istilah residu paling sering digunakan untuk kista
radikuler yang mungkin tertinggal, paling sering setelah pencabutan gigi.
Sisa kista terjadi di kedua rahang, meskipun lebih sering ditemukan
di rahang bawah. Episentrum diposisikan di bekas wilayah periapikal dari
gigi yang terlibat dan hilang. Di mandibula, episentrum selalu di atas kanal
saraf alveolaris inferior.3

11
Kista sisa memiliki margin kortikal, kecuali jika
terinfeksi secara sekunder. Bentuknya lonjong atau melingkar.
Aspek internal dari sisa kista biasanya bersifat radiolusen.
Kalsifikasi distrofik dapat ditemukan pada kista yang telah
berlangsung lama.3

Gambar 2.6 Episentrum dari sisa kista yang terinfeksi


ini berada di atas kanal saraf alveolar inferior dan telah
menggeser kanal ke arah inferior (panah). Batas
kortikal tidak kontinu di sekitar seluruh kista. 3

b. Diagnosis
Kista biasanya berukuran kecil (diameter 1 sampai 3
cm) tetapi dapat menjadi berukuran besar jika tidak dirawat).
Lesi digambarkan dengan baik dan bahkan mungkin
radiolusensi kortikasi. Fitur mikroskopis mirip dengan kista
radikuler. Derajat inflamasi kista dan lapisan epitelnya
bervariasi. Kehadiran cholesterol clefts sering terjadi.4

12
Gambar 2.7 4

4. Kista Odontogenik Keratosis


Pada tahun 1956, istilah “odontogenic keratocyst” (kista keratosis
odontogenik) diperkenalkan untuk menamai semua jenis kista pada rahang yang
mengandung keratin.5
a. Gambaran Radiografi
Meskipun keratosis odontogenik dapat terjadi di mana saja di
rahang, mereka paling banyak timbul di badan posterior mandibula (90%
terjadi di distal gigi kaninus) dan ramus mandibula (> 50%). Kadang-
kadang kista dapat berkembang terkait dengan mahkota gigi yang tidak
erupsi atau impaksi dan mungkin sulit dibedakan dari kista dentigerous. 3

Gambar 2.10 Pada gambar panorama ini, terdapat keratokista odontogenik


yang besar terkait dengan folikel gigi molar tiga kanan rahang bawah yang
bergeser. 3

13
Keratosis odontogenik memiliki pinggiran yang well defined dan
terkortikasi. Pinggirannya halus, tetapi batasnya dapat membentuk korteks
tulang yang tebal.3

Gambar 2.8 Keratokista odontogenik besar menempati sebagian besar


kanan tubuh dan ramus mandibula (A). Meskipun ukuran kista besar,
permukaan bukal dan lingual mandibula hanya diperluas sedikit, seperti
yang dapat dilihat pada gambar oklusal (B). Gambar multidetector
computed tomography menunjukkan kurangnya ekspansi rahang bawah
dan kista di antara akar gigi (C).3
b. Diagnosis
Kista keratosis odontogenik yang kecil biasanya tidak menimbulkan
gejala, gejala baru tampak saat terjadi perluasan kista dalam tulang atau
terjadi peradangan. Pada keadaan ini, 50% penderita menunjukkan gejala
klinis berupa pembengkakan yang terlihat licin dan kadang-kadang timbul
di daerah fasial dan lingual dari tulang rahang, terlihat menonjol. Gejala
klinis lainnya adalah parestesia pada bibir, gigi tanggal, dan sakit. Bila
terdapat di rahang bawah akan mengalami perluasan ke bagian tubuh serta
ramus mandibula. Kista keratosis odontogenik cenderung menjadi besar
dan umumnya multilokular. 5

14
Gambar 2.9 (A) Seorang pasien berusia 83 tahun
mengalami sakit di mandibula. (B) Gambaran
radiografi menunjukkan kista yang berukuran besar,
tetapi sulit untuk didiagnosa. (C) Aspirasi dilakukan
untuk pemeriksaan cytopathologic. (D) Hasil
pemeriksaan cytopathologic menunjukkan kista
keratosis odontogenik karena terdapat puing-puing
keratin yang tersebar dan beberapa sel parakeratotik.4

5. Kista Bifurkasi Bukal


Sinonim untuk kista bifurkasi bukal termasuk kista bukal yang
terinfeksi mandibula, kista paradental, dan kista paradental inflamasi.
Buccal Bifurcation Cyst (BBC) mungkin berasal dari sel epitel yang
terletak di membran periodontal dari percabangan bukal molar
mandibula. Karakteristik histopatologi lapisan tidak berbeda. Etiologi
proliferasi tidak diketahui; satu teori menyatakan bahwa peradangan
adalah rangsangan, tetapi peradangan tidak selalu ada.3

15
WHO memasukkan kista ini di bawah kista inflamasi. Ada
kemungkinan bahwa kista paradental molar ketiga dan BBC (terkait
dengan molar pertama dan kedua) adalah entitas yang sama. BBC jelas
merupakan entitas klinis yang berbeda. Perpanjangan enamel terkait ke
daerah furkasi molar ketiga dengan kista paradental belum
didokumentasikan dengan molar yang terlibat di BBC. Selain itu,
komponen inflamasi yang terkait dengan kista paradental tidak selalu
ada pada BBC.3
a. Gambaran Radiologi
Lokasi BBC paling sering ditemukan pada gigi molar satu rahang
bawah, diikuti oleh gigi molar dua. Kista terkadang bilateral. Itu selalu
terletak di furkasi bukal molar yang terkena. Pada film periapikal dan
panoramik, lesi mungkin tampak sedikit di bagian distal dari furkasi
gigi yang terlibat.3

Gambar 2.10 BBC bilateral. A, Gambar panorama menunjukkan


kista yang berhubungan dengan molar pertama rahang bawah.
Permukaan oklusal setiap gigi telah miring dibandingkan dengan gigi
lainnya, dan gigi yang berdekatan telah bergeser. B dan C, film oklusal
dari kasus yang sama. Perhatikan perluasan lengkung halus dari korteks
bukal dan perpindahan akar molar pertama ke dalam pelat kortikal
lingual (panah).3

16
Dalam beberapa kasus, pinggiran tidak langsung terlihat, dan lesi
mungkin merupakan daerah radiolusen yang sangat halus yang melapisi
gambar akar molar. Dalam kasus lain, lesi memiliki bentuk melingkar
dengan batas kortikal yang jelas. Beberapa kista bisa menjadi sangat
besar sebelum terdeteksi. Struktur internal radiolusen.3

6. Kista Odontogenik Glandular


Kista sialo-odontogenik adalah sinonim dari kista odontogenik kelenjar.
Kista odontogenik kelenjar merupakan kista langka yang berasal dari epitel
odontogenik dengan spektrum karakteristik antara lain fitur kelenjar ludah seperti
sel penghasil lendir. Beberapa penulis berhipotesis ada hubungan dengan
karsinoma mukoepidermoid sentral.3
a. Gambaran Radiologi
Kista ini lebih sering terjadi di rahang bawah dan paling sering di rahang
bawah anterior dan di rahang atas, biasanya di daerah globulomaxillary.
Biasanya ada batas kortikal yang mungkin halus atau bergigi. Baik
penampilan unilokuler dan multilokuler dari kista ini telah dilaporkan.3

Gambar 2.11 A, Gambar panorama yang dipotong dari kista


odontogenik kelenjar dengan penampilan multilokuler sangat mirip
dengan ameloblastoma. B, gambar CT aksial yang merinci struktur
kistik internal multilokuler. 3

17
b. Diagnosis
Yang paling banyak berada pada mandibula (80%), terutama
pada regio anterior rahang bawah. Lesi maksila biasa terjadi pada
bagian anterior. Ekspansi rahang jarang terjadi, biasanya
berhubungan dengan lesi mandibula. Rasio gender kira–kira 1
banding 1. Pertengahan usia 50 tahun, dengan perluasan usia pada
dekade kedua hingga kesembilan.5

Gambar 2.12 A, Radiografi dari seorang pria 54 tahun dengan


presentasi ekspansi kortikal bukal kiri daerah parasymphyseal
mandible. Biopsi insisi pada lesi mandibula mengungkapkan
diagnosis dari kista odontogenik glandular. C, Reseksi bedah
dilakukan dan spesimen dikirim ke patologi.4

2.1.2 Kista Non Odontogenik

1. Duktus Nasopalatinus atau Kista Kanal Insisivus


Kista nasopalatinus tumbuh dari sisa epitel embrionik duktus
nasopalatinus sehingga kista ini dapat tumbuh di sepanjang duktus
mulai dari bagian posterior garis tengah palatum menuju jaringan
lunak di regio papila insisif. Secara klinis pertumbuhan kista ini
ditandai dengan adanya pembengkakan pada regio garis median

18
palatum. Pada kista dengan ukuran yang kecil pada bagian posterior
gigi-gigi sentral insisif di daerah papila insisif, sedangkan pada kasus
kista dengan ukuran yang besar akan menyebabkan terjadinya
ekspansi di regio labial dan palatal.6
Pada pemeriksaan klinis untuk menentukan vitalitas gigi insisif
diperlukan perhatian dimana terdapat kemungkinan keadaan gigi yang
non-vital bukan disebabkan lesi pada pulpa, tetapi disebabkan oleh
pembedahan kista di daerah apikal. Hal ini dapat menyebabkan
neuropraxia sehingga tidak didapatkan hasil pemeriksaan vitalitas gigi
yang positif. Dalam membantu penegakan diagnosis dapat dilakukan
pemeriksaan radiologi dan aspirasi pada lesi untuk memastikan
pembengkakan merupakan suatu kista. Dimana pada pemeriksaan
radiologi kista nasopalatinus memiliki gambaran radiologi terdapatnya
gambaran bulat di antara gigi insisif yang dapat membingungkan
dengan kista radikular. Oleh karena itu untuk menentukan kepastian
dari diagnosis radiologi dapat ditegakkan jika gigi-gigi anterior tidak
terdapat karies ataupun gigi-gigi dalam keadaan vital.6

Gambar 2.13 Gambaran radiologis kista duktus nasopalatinus.

2. Kista Nasolabialis atau Kista Nasoalveolar


Kista nasolabial dikenal juga dengan kista nasoalveolar dan
klestadt cyst yang merupakan salah satu kista yang jarang ditemukan
dan tumbuh terbatas hanya pada jaringan lunak pada daerah nasolabial

19
crease. Insidensi kista ini hanya 0,7% dari seluruh kista rahang.
Biasanya bersifat unilateral dan untuk yang bersifat bilateral
ditemukan hanya sekitar 10-11,2%. Seperti pada penelitian yang
dilakukan oleh Lee HM pada tahun 2002, dalam penelitiannya selama
12 (dua belas) tahun hanya ditemukan 18 kasus kista nasolabialis dan
pada penelitian yang dilakukan oleh Zahiruddin, dkk melaporkan
terdapat 5 (lima) kasus kista nasolabialis selama periode 7 (tujuh)
tahun. Prevalensi lebih sering terjadi pada orang dewasa dengan
puncaknya pada usia dekade keempat dan kelima. Walaupun
merupakan kista yang jarang ditemukan, namun dipercaya
pertumbuhan dari kista ini berasal dari sisa epitel pembentuk duktus
nasolakrimalis bagian inferior dan anterior.6
Terdapat 3 (tiga) teori patogenesis terbentuknya kista
nasolabial yaitu: 6
A. Kista terbentuk secara embrionik akibat kegagalan
penyatuan sel pada daerah maksila, dinding medial, dan
lateral nasal.
B. Kista terbentuk secara embrionik dari sisa duktus
nasolakrimalis yang terperangkap.
C. Kista terbentuk secara embrionik dari sel endodermal
duktus nasolakrimalis yang mana bila terjadi trauma pada
daerah sekitarnya akan membentuk kista.
Kista ini umumnya terletak pada daerah subkutan dan daerah
luar otot wajah. Gejala klinis dari kista nasolabial biasanya
asimtomatis, dimana kista ini tumbuh lambat dan memperlihatkan
pembengkakan pada daerah sekitar bibir dan kemudian kista akan
keluar dari lipatan nasolabial dan mengangkat ala nasi sehingga
mengubah bentuk nostril kemudian menyebabkan pembengkakan pada
dasar hidung. Di Dalam rongga mulut kista akan membentuk tonjolan

20
pada sulkus labialis. Pada saat dilakukan pemeriksaan bimanual, kista
akan teraba fluktuatif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan meraba
pembengkakan pada dasar hidung dan sulkus labialis. Bila kista
terinfeksi dapat ditemukan sekret di dalam hidung dan akan terasa
sakit. Kista nasolabial ini juga dapat menyebabkan adanya rasa tidak
nyaman saat menggunakan gigi, obstruksi nafas, dan asimetris pada
wajah. Kista nasolabial mempunyai gambaran histopatologi dimana
pada kista ditemukan banyak sel mukus dan pada dinding kista adalah
pseudostratified dengan bentuk epitel yang columnar dan tidak
bersilia. 6
Diagnosis kista nasolabial dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan gejala klinis dan pemeriksaan histopatologi. Meskipun
saat dilakukan pemeriksaan bimanual, gambaran kista yang lebih jelas
dapat terlihat dengan menggunakan pemeriksaan tomografi komputer,
dan dapat juga menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
yang merupakan modalitas penting untuk mendeteksi kelainan pada
jaringan lunak karena kemampuannya dalam membuat gambaran
jaringan lunak dengan resolusi yang baik. Kista nasolabialis
mempunyai diagnosis banding, yaitu infeksi odontogen, sebaceous
cyst, implanted epidermal inclusion cyst dengan predileksi kejadian
pada wanita lebih besar dibandingkan pria dengan perbandingan 4:1.6

2.2 Gambaran Radiograf, Radio Diagnosis dan Diagnosis Kelainan


Kelenjar Saliva
2.2.1 Radio Diagnosis
Ada berbagai macam metode klinis dan radiologis untuk
mendiagnosis kelainan kelenjar saliva yaitu pemeriksaan radiologis
oklusal dan panoramik, sialografi, ultrasonografi, MRI, sialoendoskopi

21
dan tomografi komputer yang secara tidak langsung dapat memberikan
informasi mengenai keberadaan sialolith maupun kondisi kelenjar
liur.2
A. Film X-Ray standar (oklusal dan panoramik)
Teknik ini secara elektif dapat menunjukkan adanya sialolit
di saluran kelenjar liur, namun mempunyai kelemahan yaitu tidak
dapat memperlihatkan sialolith berukuran kecil dan introglandular
sialolith. Akan tampak pada teknik foto panoramik. 2

Gambar 2.14 : Gambaran batu dengan foto panoramik.


B. Computed Tomographic Scan
Penggunaan computed tomography (CT) umumnya
digunakan untuk menilai massa lesi pada kelenjar ludah. Meskipun
CT scan menghasilkan paparan radiasi pada pasien, teknik ini
kurang invasif dibandingkan sialografi dan tidak memerlukan
penggunaan bahan kontras atau keahlian operator dalam prosedur
sialografi. Selain itu, CT scan dapat menunjukkan batu kelenjar
ludah, terutama batu submandibular yang terletak di bagian
posterior duktus, di hilus kelenjar, atau di substansi kelenjar itu
sendiri. 2
Three-dimensional CT imaging dapat menghasilkan
resolusi dan penggambaran yang jauh lebih baik dari batu dan

22
sistem duktus dengan cara noninvasif. Teknologi cone-beam
computed tomography (CBCT) berbasis kantor telah dievaluasi
sehubungan dengan diagnosis sialolithiasis di kelenjar ludah
mayor dibandingkan dengan ultrasonografi, ditemukan memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Sementara artefak gigi dan
pergerakan pasien yang menghasilkan kualitas gambar yang buruk
dapat membatasi nilai diagnostiknya, ketersediaan, biaya rendah,
dan dosis radiasi CBCT yang lebih rendah, dibandingkan dengan
CT imaging tingkat medis, menjadikannya alternatif yang berharga
untuk diagnosis sialolithiasis noninvasif. 2

Gambar:2.15 (A)Pemindaian tomografi aksial (CT) dari mandibula


dan dasar mulut menunjukkan sialolith submandibular posterior (panah).
(B) CT scan koronal menunjukkan dua batu di saluran submandibular
dekat kelenjar hilus.

23
Gambar: 2.16 (A) Pemindaian tomografi terkomputasi tiga dimensi
(3D-CT) yang menunjukkan batu submandibular besar (S). (B) 3D-CT
scan menunjukkan penyempitan yang tidak teratur dan kerusakan saluran
submandibular akibat peradangan kronis (panah).
C. Magnetic Resonance Imaging
Magnetic resonance imaging (MRI) lebih unggul daripada
CT dalam menggambarkan detail jaringan lunak dari lesi kelenjar
ludah, khususnya tumor atau massa lesi lainnya, tanpa paparan
radiasi pada pasien atau kebutuhan peningkatan kontras.
Rekonstruksi MRI tiga dimensi dan endoskopi virtual MRI pada
sistem duktus telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam
visualisasi kelainan pada kondisi seperti sindrom Sjögren,
sialolithiasis, kista, tumor, dan kondisi inflamasi. Kemajuan dalam
MRI ini mungkin terbukti bermanfaat dalam mengevaluasi dan
memahami hubungan sistem duktal dengan jaringan di sekitarnya
serta kondisi saluran endoluminal. 2
D. Ultrasonografi
Kemajuan teknologi ultrasonografi saat ini telah membuat
modalitas pencitraan ini sangat berharga dalam diagnosis patologi

24
kelenjar ludah. Ultrasonografi dapat menghasilkan gambar dengan
resolusi tinggi, tidak invasif, berbiaya rendah, dan merupakan
prosedur yang mudah dilakukan yang memungkinkan evaluasi
yang akurat dari kelenjar parotis dan submandibular. Dalam
evaluasi tumor kelenjar ludah, informasi penting mengenai
vaskularisasi dapat diperoleh dengan pemeriksaan ultrasonografi
Doppler warna, yang dapat membantu dalam diferensiasi proses
penyakit jinak dan ganas. 2
Ultrasonografi merupakan metode pemeriksaan yang
paling umum untuk lesi nodular dan berguna untuk memandu
biopsi untuk tujuan diagnostik (misalnya, biopsi aspirasi jarum
halus [FNA]), terutama bila pemeriksaan klinis terbatas karena
ukurannya yang kecil atau lokasi akses yang sulit dari bintil.
Akhirnya, ultrasonografi, dengan injeksi bahan kontras intraduktal,
telah diusulkan sebagai pelengkap metode untuk evaluasi penyakit
kelenjar ludah obstruktif. Selain pemeriksaan sistem duktus
kelenjar, evaluasi parenkim dimungkinkan dengan teknik
ultrasound ini. 2
E. Sialografi
Standar emas dalam diagnostik radiologi kelenjar ludah
adalah sialografi, meskipun studi diagnostik ini lebih jarang
dilakukan saat ini dengan lebih sedikit ahli radiologi yang
memiliki keahlian yang diperlukan untuk melakukan sialografi.
Sialografi diindikasikan sebagai bantuan dalam mendeteksi batu
radiopak dan radiolusen (15% sampai 20%), serta sumbat mukosa,
karena dapat mengidentifikasi obstruksi dalam sistem duktus.
Selain itu, sialografi juga berguna untuk menilai sejauh mana
kerusakan saluran saliva atau parenkim kelenjar atau keduanya
sebagai akibat dari penyakit obstruktif, inflamasi, traumatis, dan

25
neoplastik. Selain itu, sialografi dapat digunakan sebagai manuver
terapeutik karena sistem duktus melebar selama penelitian, dan
sumbatan lendir kecil atau puing-puing nekrotik (atau “lumpur”)
dapat dibersihkan selama injeksi media kontras ke dalam sistem
duktus. 2
Teknik sialografi dapat dengan mudah dilakukan dengan
anestesi lokal dan mencakup langkah-langkah berikut:2
• Kanulasi saluran saliva (duktus Stensen atau Wharton) dengan
kateter plastik atau logam,
• Injeksi kontras radiografi media ke dalam sistem duktus dan
substansi kelenjar.
• Akuisisi serangkaian gambar radiografi pada berbagai titik waktu
selama proses ini.

Dua jenis media kontras yang tersedia untuk studi


sialografi adalah larutan yang larut dalam air dan larutan berbasis
minyak. Kedua jenis bahan kontras tersebut mengandung
konsentrasi yodium yang relatif tinggi (25% hingga 40%). 2

Gambar: 2.17 Kanulasi duktus Stensen dengan kateter plastik dan


traksi di pipi untuk meluruskan kelengkungan duktus di area ini.

26
Selain itu sialografi juga mempunyai keuntungan sebagai alat
terapi dimana saat kontras dimasukkan akan menyebabkan dilatasi dari
duktus kelenjar liur sehingga sialolith dapat keluar. Namun sialografi
juga mempunyai kerugian yaitu irradiation doses, nyeri saat dilakukan
prosedur, kemungkinan terjadinya perforasi dari duktus, komplikasi
infeksi dan syok anafilaktik serta makin terdorongnya sialolith
menjadi lebih jauh ke dalam sehingga menyulitkan apabila
direncanakan untuk dilakukan pengeluaran dengan sialendoskopi.
Kontra indikasi pada infeksi akut dari pasien alergi bahan kontras. 2

F. Sialoendoskopi
Modalitas minimal invasif telah diterapkan baru-baru ini untuk
diagnosis dan pengobatan kondisi yang berhubungan dengan kelenjar
ludah mayor. Endoskopi kelenjar ludah (sialoendoskopi) adalah
prosedur khusus yang menggunakan kamera video kecil (endoskopi)
dengan cahaya di ujung kanula fleksibel, yang dimasukkan ke dalam
lubang duktus setelah lubang dilatasi. Endoskopi dapat digunakan
secara diagnostik dan terapeutik. 2
Endoskopi kelenjar ludah dapat menunjukkan struktur dan
kekusutan pada sistem duktus, serta sumbatan mukus dan kalsifikasi di
bawah visualisasi tidak langsung pada monitor video. Endoskopi dapat
digunakan untuk melebarkan struktur kecil dan membersihkan sumbat
lendir kecil dari sistem duktus kelenjar ludah. Selain itu, batu kelenjar
ludah yang terletak di dekat hilus, yang biasanya tidak dapat diakses
dari pendekatan bedah transoral, dapat diangkat dengan endoskopi dan
keranjang fleksibel, sehingga menghindari pengangkatan kelenjar,
yang biasanya diperlukan pada sebagian besar batu yang terletak di
posterior atau intrahilar. Sejak pengenalan awal endoskopi, kemajuan
telah dibuat dalam pengembangan mini-endoskopi (diameter 1,1 mm)

27
dengan beberapa port untuk visualisasi, irigasi, dan instrumentasi
sistem duktal. Perangkat khusus seperti kateter balon kecil (serupa
dengan yang digunakan untuk prosedur angioplasti koroner) dapat
digunakan untuk melebarkan lokasi penyempitan duktu, keranjang
logam kecil atau mini forsep atau penggenggam dapat dimasukkan ke
dalam saluran untuk pengambilan batu langsung.2
Selain itu, perangkat laser atau litotripsi kecil dapat digunakan
melalui endoskopi untuk menginduksi fragmentasi batu besar menjadi
batu yang lebih kecil, sehingga membuatnya setuju untuk pengambilan
keranjang atau evakuasi spontan dari saluran dengan irigasi cairan dari
sistem saluran mengikuti lithotripsi. Selain bertujuan untuk diagnostik,
sialendoskopi juga bisa bersifat terapeutik. Prosedur ini bersifat lebih
aman, tidak terpapar radiasi dan bisa dilakukan pada poliklinik dengan
pemberian anestesi lokal.2

2.2.2 Kondisi Peradangan


Sejauh ini, peradangan merupakan gangguan yang paling
umum terjadi pada kelenjar ludah baik dewasa maupun anak-anak.
Namun, penyebab peradangan berbeda antara dua populasi pasien.
Pada orang dewasa, kondisi peradangan paling sering karena obstruksi
lokal, sedangkan pada anak-anak seringkali karena infeksi virus.
Secara umum, kondisi peradangan kelenjar ludah adalah dibagi
menjadi akut dan kronis. Penyebab peradangan akut dibagi lagi
menjadi infeksi bakteri dan virus. Peradangan kronis paling sering
terjadi karena kronis obstruksi lokal.3
A. Infeksi Bakteri Akut
• Mekansime Penyakit

28
Peradangan pada parenkim kelenjar ludah disebut sialadenitis,
sedangkan inflamasi struktur duktus disebut sialochitis atau
sialadenitis duktal. Peradangan yang disebabkan oleh infeksi
bakteri akut biasanya akibat dari berkurangnya sekresi saliva dan
infeksi retrograde berikutnya pada kelenjar oleh flora mulut
(khususnya, Staphylococcus aureus dan Streptococcus viridan). 3
Pengurangan aliran saliva juga dapat disebabkan oleh
dehidrasi, penyakit seperti diabetes mellitus dan bulimia, dan
beberapa obat seperti diuretik dan antidepresan. Oleh karena itu
kondisi ini sering terlihat pada pasien lansia, pasien pasca operasi,
dan pasien lemah yang menderita kebersihan mulut dan sekresi
saliva rendah. 3
• Fitur Pencitraan Radiografi
MDCT dengan kontras yang ditingkatkan adalah pencitraan
pilihan saat terjadi peradangan akut kelenjar ludah utama
dicurigai. Jenis pencitraan ini menunjukkan fitur
patognomonik dari kondisi ini, seperti pembesaran yang
terkena kelenjar dengan peningkatan perifer, goresan jaringan
lemak yang berdekatan, dan penebalan jaringan subkutan.
Kelenjar getah bening yang terlibat tampak membesar dengan
redaman yang lebih tinggi dari biasanya. Jika ada, abses
muncul sebagai area redaman rendah yang terdefinisi dengan
baik. MRI adalah pencitraan kedua modalitas pilihan karena tak
tertandingi dalam kemampuannya untuk membedakan edema
dari infiltrat inflamasi. Kelenjar yang meradang biasanya
membesar dan mendemonstrasikan sinyal yang lebih rendah
pada T1-weighted MRI dan sinyal yang lebih tinggi pada T2-
gambar tertimbang dibandingkan dengan otot sekitarnya.3

29
Gambar: 2.18 Tomografi komputasi multidetektor dengan
kontras yang ditingkatkan gambar yang menggambarkan kelenjar
parotis kiri (panah) yang lebih besar dari kanan, dengan tidak ada
saran pembentukan abses. Penampilan ini konsisten dengan
sialadenitis akut.
HRUS dapat membantu dalam membedakan antara peradangan
difus dan nanah. Ini juga dapat menunjukkan rongga abses jika ada
di permukaan superfisial lobus kelenjar ludah utama. Baik
sialografi dan skintigrafi kontraindikasi pada kasus peradangan
akut karena minimal teknik invasif yang dapat memperburuk
gejala nyeri dan mungkin juga meningkatkan risiko memasukkan
organisme infektif lebih jauh ke dalam kelenjar yang terlibat.3

2.2.3 Infeksi Virus Akut


A. Mekanisme Penyakit
Beberapa virus dapat menginfeksi kelenjar ludah, termasuk
virus Epstein-Barr (EBV), cytomegalovirus (CMV),
coxsackievirus, virus parainfluenza, dan virus herpes, tetapi virus
gondong adalah penyebab paling umum. Gondongan adalah

30
sebuah penyakit yang biasanya menyerang anak-anak antara usia 5
dan 9 tahun yang disebabkan oleh infeksi paramyxovirus. Epidemi
infeksi ini sering terjadi sebelum munculnya vaksin campak,
gondok, dan rubella (MMR), maka istilah "parotitis epidemik".
Individu yang terinfeksi biasanya menjalani inkubasi periode yang
berkisar antara 2 dan 4 minggu, dan dianggap menular dari 1 hari
sebelum munculnya gejala klinis sampai kira-kira 14 hari setelah
resolusi gejala. 3
B. Fitur Pencitraan Radiografi
Temuan pencitraan tidak spesifik dan diagnosis biasanya
dibuat atas dasar temuan klinis dan adanya antibodi serum
terhadap virus gondok dalam darah. Gambar MDCT dari kelenjar
ludah yang terinfeksi menunjukkan pembesaran kelenjar dan
atenuasi yang sedikit lebih tinggi dari biasanya. Kelenjar yang
membesar juga tampaknya memiliki sinyal MRI berbobot T2 yang
sedikit lebih tinggi dari biasanya.3

2.2.4 Peradangan Kronis


A. Mekanisme Penyakit
Seperti peradangan akut, istilah seperti sialadenitis dan
sialodochitis digunakan tergantung pada struktur kelenjar ludah
yang terlibat. Peradangan kronis sering disebabkan oleh obstruksi
kronis kelenjar ludah. Penyebab dari obstruksi dapat dibagi lagi
menjadi penyebab primer dan sekunder. Penyebab utama termasuk
batu saliva (sialolith), penyempitan duktus (striktur) dan sumbat
mukosa, sedangkan penyebab sekunder termasuk trauma pada
struktur duktus atau lesi yang menempati ruang yang menimpa
struktur duktus. Sialolith bukan hanya penyebab paling umum dari

31
peradangan kronis, tetapi mereka juga merupakan kondisi paling
umum yang mempengaruhi kelenjar ludah pada orang dewasa.
Sialolith dimulai sebagai nidus anorganik di mana zat organik dan
anorganik dari air liur disimpan. Striktur adalah penyebab paling
umum kedua peradangan kronis dan dapat terjadi di kedua
submandibular dan saluran kelenjar parotis. Etiologinya masih
belum diketahui, tetapi penyempitan duktus diduga akibat fibrosis
yang terjadi sekunder sialolith, infeksi berulang, atau trauma
ringan. 3
B. Fitur Pencitraan Radiografi
Gambar proyeksi seperti gambar panorama digunakan
untuk mengidentifikasi sialolith, tampak jelas, bercampur
radiolusen dan radiopak atau seluruhnya entitas radiopak di sekitar
kelenjar ludah yang terlibat. Sayangnya hingga 40% sialolith
mungkin tidak cukup terkalsifikasi untuk muncul di proyeksi
gambar-gambar. Sialografi adalah modalitas pencitraan pilihan
untuk peradangan kronis karena kemampuannya untuk
menggambarkan sialolith (bahkan yang kecil tidak terkalsifikasi),
striktur, dan perubahan halus pada struktur duktus halus kelenjar
ludah. Salah satu gambaran umum dari peradangan kronis adalah
"seperti sosis" gambaran yang menunjukkan daerah obstruksi dan
sialektasia yang berselang-seling. Penampilan khas lainnya adalah
koleksi bola berukuran bervariasi kontras yang mewakili
pembentukan abses. MDCT dan MRI mungkin juga digunakan
dalam kasus peradangan kronis, tetapi sensitivitasnya untuk
mendeteksi kecil sialolith dan striktur lebih rendah daripada
sialografi. Sialendoskopi dilakukan dengan cepat menjadi metode
pencitraan pilihan untuk kondisi obstruktif dari kelenjar ludah

32
karena keuntungan tambahan yang ditawarkannya dalam hal
pengelolaan kondisi ini.3

Gambar 2.19 : Sialografi kelenjar parotis kiri dicitrakan dengan


CBCT. (A) Penampilan sagital dan (B) aksial. Cacat pengisian (panah) di
bagian proksimal duktus Stensen menunjukkan minimal sialolit
terkalsifikasi. Striktur dan pelebaran intermiten utama dan duktus
sekunder adalah tipikal sialodochitis.

Gambar 2.20 : CBCT sialografi kanan kelenjar parotis. Gambar


volume tiga dimensi (A) Sagital dan (B) menunjukkan beberapa koleksi
globular yang bervariasi dari bahan kontras. Ini mewakili abses dalam
kasus sialadenitis kronis.

33
2.2.5 Kondisi Noninflamasi dan Seperti Inflamasi
Tiga kondisi tertentu (sialadenosis, sialadenitis autoimun,
sialadenitis pasca iradiasi) sering muncul dengan tanda-tanda dan
gejala yang mirip dengan kondisi obstruktif kelenjar ludah sehingga
demikian harus dibedakan dari kondisi obstruktif kelenjar ludah.3
A. Sialadenosis
• Mekanisme Penyakit
Sialadenosis atau sialosis adalah pembesaran nonneoplastik
dan noninflamasi terutama pada kelenjar parotis. Penyebab kondisi
ini meliputi berbagai macam gangguan endokrin seperti diabetes
mellitus, sejumlah masalah gizi, kelainan seperti alkoholisme
kronis, dan obat-obatan tertentu seperti obat antiinflamasi
nonsteroid (NSAID). 3
• Fitur Pencitraan Radiografi
MDCT dan MRI menunjukkan pembesaran saliva yang tidak
spesifik pada kelenjar. Mereka juga dapat menunjukkan perubahan
fibrosa atau lemak pada saliva kelenjar tergantung stadium
penyakitnya. Sialografi menyediakan lebih banyak temuan spesifik
seperti melebarnya sistem duktus yang normal. Penampilan ini
disebabkan oleh struktur duktus yang didorong oleh parenkim
hipertrofi.3

34
Gambar 2.21: Sialadenosis. (A) Citra tomografi komputasi
multidetektor menunjukkan pembesaran bilateral kelenjar parotis.
atenuasi dari kelenjar parotis tampak normal. (B) Gambar
tengkorak anteroposterior dari sialogram kelenjar parotis kanan
pada pasien yang sama. Ukuran dan bentuk saluran tampak
normal, tetapi mereka terhampar ke samping, sebuah temuan yang
konsisten dengan sialadenosis.
B. Sialadenitis Autoimun
• Mekanisme penyakit.
Sindrom Sjögren, atau dikenal sebagai sindrom sicca atau
sialosis autoimun, adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
infiltrat limfositik periductal yang menghancurkan asini kelenjar
eksokrin, mengakibatkan penurunan kemampuan yang signifikan
untuk mengeluarkan air liur. 3
• Fitur Pencitraan Radiografi
Sialografi, pada tahap awal penyakit, menunjukkan duktus
normal sistem dan banyak koleksi kontras belang-belang (diameter
<1 mm) bahan didistribusikan secara merata ke seluruh kelenjar.
Awal perubahan tidak terlihat pada MDCT atau MRI. Seiring

35
perkembangan penyakit, saluran menjadi sempit dan koleksi bahan
kontras menjadi bulat (1 hingga 2 mm). Penampilannya
patognomonik dan disebut "pemangkasan pohon” atau “pohon
tanpa daun”. Biasanya, material kontras tetap ada setelah
pemberian sialagogue yang merupakan indikasi bahwa bahan
dikumpulkan secara ekstraduktif. Pencitraan MDCT stadium lanjut
penyakit menunjukkan kelenjar yang membesar dan padat.
Tentang MRI, didefinisikan dengan baik area globular dengan
intensitas sinyal T1 rendah dan intensitas sinyal T2 tinggi terlihat
di seluruh kelenjar.

Gambar 2.22: Sialadenitis autoimun. (A) Gambar


tengkorak lateral dan (B) anteroposterior gambar tengkorak
sialogram kelenjar parotis kiri mengungkapkan banyak koleksi
belang-belang bahan kontras didistribusikan ke seluruh
parenkim kelenjar. Penampilan ini konsisten dengan tahap
awal sialadenitis autoimun.
C. Sialadenitis Pasciradiasi
• Mekanisme Penyakit
Kondisi ini terlihat setelah kedua terapi radiasi sinar eksternal
kepala dan leher dan pengobatan dengan yodium radioaktif 131

36
(131I) untuk pengelolaan kondisi tiroid tertentu. Mengikuti kedua
jenis pengobatan tersebut, reaksi inflamasi yang intens muncul di
kelenjar ludah dan menyebabkan pelampiasan dan obstruksi
struktur duktus. 3
• Fitur Pencitraan Radiografi
Temuan MDCT dan MRI bergantung pada pencitraan stadium
penyakit saat itu dan kemungkinan akan menunjukkan berbagai
tingkat fibrosis kelenjar. Studi sialogram awal menunjukkan
kekosongan aliran di parenkim sehingga atrofi asini sudah mulai
terjadi. Studi sialografi pada tahap akhir dari penyakit tidak
mungkin dilakukan. Pemeriksaan pengobaran nuklir diawal tahap
mengungkapkan serapan normal tetapi ekskresi TPT tertunda.3

Gambar 2.23: Rendering volume tiga dimensi dari kelenjar


parotis kanan sialogram menggunakan cone beam computed
tomography. Bahan kontrasnya terlihat menginfus hanya lobus
aksesori parotis tetapi tidak duktus atau asini dari lobus superfisial
dan dalam kelenjar.

37
BAB III
PENUTUP

3.1 Ringkasan
Kista terbagi menjadi kista odontogenik dan non-odontogenik. Kista
odontogenik terdiri dari kista radikular, kista dentigerous, kista residual, kista
odontogenik keratosis, kista bifurkasi bukal dan kista odontogenik glandular.
Duktus nasopalatinus atau kista kanal insisivus dan kista nasolabialis atau
kista nasoalveolar terdapat pada kista non-odontogenik.
Kelenjar saliva adalah kelenjar eksokrin yang memproduksi dan
mengeluarkan air liur. Ada tiga pasang kelenjar ludah utama yang terletak di
luar rongga mulut dan banyak kelenjar ludah minor tersebar di seluruh
submukosa mulut.
Kelenjar saliva mayor dan minor dapat dipengaruhi oleh berbagai
kondisi yang mencakup beberapa patofisiologi. Namun, kondisi yang
mempengaruhi kelenjar ludah biasanya dibagi menjadi tiga proses penyakit
utama: inflamasi, noninflamasi, dan massa yang menempati ruang.
Ada berbagai macam metode klinis dan radiologis untuk mendiagnosis
kelainan kelenjar saliva yaitu pemeriksaan radiologis oklusal dan panoramik,
sialografi, ultrasonografi, MRI, sialoendoskopi dan tomografi komputer
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan apabila ada
kesalahan dalam penulisan makalah ini, kritik dan saran sangat kami
harapkan. Atas perhatian para pembaca, kami mengucapkan terima kasih.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Cakir B, at all. Cystic and Cystic-Appearing Lession of the Mandible:


Review. American Journal of Roentgenology. 2011. 196(6).
2. Hupp J, Elis E, Tucker M. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery.
Ed 7. Elsevier. Philadelphia 2019: 478
3. White SC, Pharoah MJ. Oral Radiology Principles and Interpretations. 7th
Edition. St. Louis, Missouri: Elsevier Mosby. 2014
4. Fonseca RJ. Oral and Maxillofacial Surgery, VOL 2, Third Edition. St
Louis: Elsevier. 2018; 338-71.
5. Sudiono J. Kista odontogenik : Pertumbuhan, perkembangan dan
komplikasi. Jakarta: EGC. 2010: 1-6
6. PATRICIA, Lady Helena. Prevalensi Kasus Pembedahan Kista Rongga
Mulut yang Dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan Periode Tahun
2014-2017. 2018.

39

You might also like