Professional Documents
Culture Documents
Makalah Topik 5 Kelas A Kelompok 3
Makalah Topik 5 Kelas A Kelompok 3
Kelompok 3 Kelas A
ANDRY 201811019
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah
gambaran radiograf, radio diagnosis dan diagnosis pada kista dan kelainan kelenjar
saliva. Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Bedah Dental I di program studi
fakultas kedokteran gigi di UPDM (B). Selanjutnya penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing mata kuliah Bedah Dental I
kami.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang gambaran radiograf, radio
diagnosis dan diagnosis pada kista dan kelainan kelenjar saliva dapat memberikan
manfaat dan inspirasi bagi pembaca. Kami mohon maaf apabila terdapat kata-kata
yang kurang berkenan.
Hormat kami,
(Penulis)
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
BAB II PEMBAHASAN 5
Saliva........................................................................................................................21
3.1 Ringkasan 38
3.2 Saran 38
DAFTAR PUSTAKA 39
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami gambaran radiograf, radio diagnosis dan diagnosis kista.
2. Untuk memahami gambaran radiograf, radio diagnosis dan diagnosis
kelainan kelenjar saliva.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
Gambar. 1 Wanita 42 tahun dengan kista periapikal. Radiografi panoramik yang
dipotong menunjukkan lesi radiolusen (kepala panah) di tubuh posterior ramus
mandibula dengan perpindahan kanal mandibula (panah). Kombinasi temuan
menunjukkan penyakit jinak.1
7
b) Diagnosis
Kista radikular umumnya terletak di daerah apeks dan sangat
jarang ditemukan pada daerah tepi. Kista radikular dapat menimbulkan
rasa sakit dan pembengkakan pada rahang karena adanya proses
peradangan. Jika kista ini terinfeksi, pembengkakan akan terasa sangat
sakit dan dapat meluas secara cepat, dan sebagian menyebabkan radang
dan edema. Pembengkakan berbentuk bulat dan pada awalnya terasa
keras. Ketika tulang mulai menipis, akan terasa berbunyi bila mengalami
tekanan. Pada akhirnya, sebagian dinding tulang akan mengalami resorpsi
sehingga menimbulkan pembengkakan yang berfluktuasi, berwarna
kebiruan, dan berada di bawah membran mukosa. Kista radikular yang
telah membesar disertai pembengkakan dan sensitivitas ringan mungkin
dapat menyebabkan pergeseran dan goyangnya gigi-gigi yang berdekatan
dengan kista tersebut. Permukaan kista radikular dapat kasar atau halus
bergantung pada tingkat perkembangannya. Bagian dalam kista
merupakan suatu massa jaringan lunak seperti daging dan juga eksudat
purulen atau seropurulen. Isi dapat bergumpal-gumpal, berisi kristal-
kristal kolesterol yang sedikit berkilauan.
8
2. Kista dentigerous (follicular)
a) Gambaran Radiografis
9
Gambar 2.4 Contoh kista dentigerous yang mengalami perpindahan
gigi. (A) Sebuah molar ketiga mandibula dipindahkan ke ramus oleh
kista. (B) Sebuah gigi molar rahang atas dipindahkan ke sinus
maksilaris oleh kista yang mengisi seluruh sinus.2
b) Diagnosis
10
besar sebelum terdiagnosis. Sebagian besar kista dentigerous dapat
ditemukan pada hasil radiografis karena gigi yang impaksi, gigi yang
hilang, dan gigi yang miring atau keluar dari keselarasannya. Banyak pasien
pertama kali mengetahui kista karena pembengkakan yang membesar secara
perlahan-lahan. Terkadang kista dentigerous bisa nyeri, terutama jika terjadi
infeksi sekunder.
Gambar 2.5 A, Panogram dari kista dentigerous yang berhubungan dengan impaksi
gigi premolar satu rahang atas kanan. B, insisi sulkus bukal intraoral dan paparan
kista. C, Spesimen enukleasi dengan gigi terkait.
3. Kista Residual
a. Gambaran Radiologi
Kista residual adalah kista yang tersisa setelah pengangkatan kista
asli yang tidak tuntas. Istilah residu paling sering digunakan untuk kista
radikuler yang mungkin tertinggal, paling sering setelah pencabutan gigi.
Sisa kista terjadi di kedua rahang, meskipun lebih sering ditemukan
di rahang bawah. Episentrum diposisikan di bekas wilayah periapikal dari
gigi yang terlibat dan hilang. Di mandibula, episentrum selalu di atas kanal
saraf alveolaris inferior.3
11
Kista sisa memiliki margin kortikal, kecuali jika
terinfeksi secara sekunder. Bentuknya lonjong atau melingkar.
Aspek internal dari sisa kista biasanya bersifat radiolusen.
Kalsifikasi distrofik dapat ditemukan pada kista yang telah
berlangsung lama.3
b. Diagnosis
Kista biasanya berukuran kecil (diameter 1 sampai 3
cm) tetapi dapat menjadi berukuran besar jika tidak dirawat).
Lesi digambarkan dengan baik dan bahkan mungkin
radiolusensi kortikasi. Fitur mikroskopis mirip dengan kista
radikuler. Derajat inflamasi kista dan lapisan epitelnya
bervariasi. Kehadiran cholesterol clefts sering terjadi.4
12
Gambar 2.7 4
13
Keratosis odontogenik memiliki pinggiran yang well defined dan
terkortikasi. Pinggirannya halus, tetapi batasnya dapat membentuk korteks
tulang yang tebal.3
14
Gambar 2.9 (A) Seorang pasien berusia 83 tahun
mengalami sakit di mandibula. (B) Gambaran
radiografi menunjukkan kista yang berukuran besar,
tetapi sulit untuk didiagnosa. (C) Aspirasi dilakukan
untuk pemeriksaan cytopathologic. (D) Hasil
pemeriksaan cytopathologic menunjukkan kista
keratosis odontogenik karena terdapat puing-puing
keratin yang tersebar dan beberapa sel parakeratotik.4
15
proliferasi tidak diketahui; satu teori menyatakan bahwa peradangan
adalah rangsangan, tetapi peradangan tidak selalu ada.3
WHO memasukkan kista ini di bawah kista inflamasi. Ada
kemungkinan bahwa kista paradental molar ketiga dan BBC (terkait
dengan molar pertama dan kedua) adalah entitas yang sama. BBC jelas
merupakan entitas klinis yang berbeda. Perpanjangan enamel terkait ke
daerah furkasi molar ketiga dengan kista paradental belum
didokumentasikan dengan molar yang terlibat di BBC. Selain itu,
komponen inflamasi yang terkait dengan kista paradental tidak selalu
ada pada BBC.3
a. Gambaran Radiologi
Lokasi BBC paling sering ditemukan pada gigi molar satu rahang
bawah, diikuti oleh gigi molar dua. Kista terkadang bilateral. Itu selalu
terletak di furkasi bukal molar yang terkena. Pada film periapikal dan
panoramik, lesi mungkin tampak sedikit di bagian distal dari furkasi
gigi yang terlibat.3
16
bukal dan perpindahan akar molar pertama ke dalam pelat kortikal
lingual (panah).3
Dalam beberapa kasus, pinggiran tidak langsung terlihat, dan lesi
mungkin merupakan daerah radiolusen yang sangat halus yang melapisi
gambar akar molar. Dalam kasus lain, lesi memiliki bentuk melingkar
dengan batas kortikal yang jelas. Beberapa kista bisa menjadi sangat
besar sebelum terdeteksi. Struktur internal radiolusen.3
17
dengan ameloblastoma. B, gambar CT aksial yang merinci struktur
kistik internal multilokuler. 3
b. Diagnosis
Yang paling banyak berada pada mandibula (80%), terutama
pada regio anterior rahang bawah. Lesi maksila biasa terjadi pada
bagian anterior. Ekspansi rahang jarang terjadi, biasanya
berhubungan dengan lesi mandibula. Rasio gender kira–kira 1
banding 1. Pertengahan usia 50 tahun, dengan perluasan usia pada
dekade kedua hingga kesembilan.5
18
lunak di regio papila insisif. Secara klinis pertumbuhan kista ini
ditandai dengan adanya pembengkakan pada regio garis median
palatum. Pada kista dengan ukuran yang kecil pada bagian posterior
gigi-gigi sentral insisif di daerah papila insisif, sedangkan pada kasus
kista dengan ukuran yang besar akan menyebabkan terjadinya
ekspansi di regio labial dan palatal.6
Pada pemeriksaan klinis untuk menentukan vitalitas gigi insisif
diperlukan perhatian dimana terdapat kemungkinan keadaan gigi yang
non-vital bukan disebabkan lesi pada pulpa, tetapi disebabkan oleh
pembedahan kista di daerah apikal. Hal ini dapat menyebabkan
neuropraxia sehingga tidak didapatkan hasil pemeriksaan vitalitas gigi
yang positif. Dalam membantu penegakan diagnosis dapat dilakukan
pemeriksaan radiologi dan aspirasi pada lesi untuk memastikan
pembengkakan merupakan suatu kista. Dimana pada pemeriksaan
radiologi kista nasopalatinus memiliki gambaran radiologi terdapatnya
gambaran bulat di antara gigi insisif yang dapat membingungkan
dengan kista radikular. Oleh karena itu untuk menentukan kepastian
dari diagnosis radiologi dapat ditegakkan jika gigi-gigi anterior tidak
terdapat karies ataupun gigi-gigi dalam keadaan vital.6
19
2. Kista Nasolabialis atau Kista Nasoalveolar
Kista nasolabial dikenal juga dengan kista nasoalveolar dan
klestadt cyst yang merupakan salah satu kista yang jarang ditemukan
dan tumbuh terbatas hanya pada jaringan lunak pada daerah nasolabial
crease. Insidensi kista ini hanya 0,7% dari seluruh kista rahang.
Biasanya bersifat unilateral dan untuk yang bersifat bilateral
ditemukan hanya sekitar 10-11,2%. Seperti pada penelitian yang
dilakukan oleh Lee HM pada tahun 2002, dalam penelitiannya selama
12 (dua belas) tahun hanya ditemukan 18 kasus kista nasolabialis dan
pada penelitian yang dilakukan oleh Zahiruddin, dkk melaporkan
terdapat 5 (lima) kasus kista nasolabialis selama periode 7 (tujuh)
tahun. Prevalensi lebih sering terjadi pada orang dewasa dengan
puncaknya pada usia dekade keempat dan kelima. Walaupun
merupakan kista yang jarang ditemukan, namun dipercaya
pertumbuhan dari kista ini berasal dari sisa epitel pembentuk duktus
nasolakrimalis bagian inferior dan anterior.6
Terdapat 3 (tiga) teori patogenesis terbentuknya kista
nasolabial yaitu: 6
A. Kista terbentuk secara embrionik akibat kegagalan
penyatuan sel pada daerah maksila, dinding medial, dan
lateral nasal.
B. Kista terbentuk secara embrionik dari sisa duktus
nasolakrimalis yang terperangkap.
C. Kista terbentuk secara embrionik dari sel endodermal
duktus nasolakrimalis yang mana bila terjadi trauma pada
daerah sekitarnya akan membentuk kista.
Kista ini umumnya terletak pada daerah subkutan dan daerah
luar otot wajah. Gejala klinis dari kista nasolabial biasanya
asimtomatis, dimana kista ini tumbuh lambat dan memperlihatkan
20
pembengkakan pada daerah sekitar bibir dan kemudian kista akan
keluar dari lipatan nasolabial dan mengangkat ala nasi sehingga
mengubah bentuk nostril kemudian menyebabkan pembengkakan pada
dasar hidung. Di Dalam rongga mulut kista akan membentuk tonjolan
pada sulkus labialis. Pada saat dilakukan pemeriksaan bimanual, kista
akan teraba fluktuatif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan meraba
pembengkakan pada dasar hidung dan sulkus labialis. Bila kista
terinfeksi dapat ditemukan sekret di dalam hidung dan akan terasa
sakit. Kista nasolabial ini juga dapat menyebabkan adanya rasa tidak
nyaman saat menggunakan gigi, obstruksi nafas, dan asimetris pada
wajah. Kista nasolabial mempunyai gambaran histopatologi dimana
pada kista ditemukan banyak sel mukus dan pada dinding kista adalah
pseudostratified dengan bentuk epitel yang columnar dan tidak
bersilia. 6
Diagnosis kista nasolabial dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan gejala klinis dan pemeriksaan histopatologi. Meskipun
saat dilakukan pemeriksaan bimanual, gambaran kista yang lebih jelas
dapat terlihat dengan menggunakan pemeriksaan tomografi komputer,
dan dapat juga menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
yang merupakan modalitas penting untuk mendeteksi kelainan pada
jaringan lunak karena kemampuannya dalam membuat gambaran
jaringan lunak dengan resolusi yang baik. Kista nasolabialis
mempunyai diagnosis banding, yaitu infeksi odontogen, sebaceous
cyst, implanted epidermal inclusion cyst dengan predileksi kejadian
pada wanita lebih besar dibandingkan pria dengan perbandingan 4:1.6
21
2.2.1 Radio Diagnosis
Ada berbagai macam metode klinis dan radiologis untuk
mendiagnosis kelainan kelenjar saliva yaitu pemeriksaan radiologis
oklusal dan panoramik, sialografi, ultrasonografi, MRI, sialoendoskopi
dan tomografi komputer yang secara tidak langsung dapat memberikan
informasi mengenai keberadaan sialolith maupun kondisi kelenjar
liur.2
A. Film X-Ray standar (oklusal dan panoramik)
Teknik ini secara elektif dapat menunjukkan adanya sialolit
di saluran kelenjar liur, namun mempunyai kelemahan yaitu tidak
dapat memperlihatkan sialolith berukuran kecil dan introglandular
sialolith. Akan tampak pada teknik foto panoramik. 2
22
posterior duktus, di hilus kelenjar, atau di substansi kelenjar itu
sendiri. 2
Three-dimensional CT imaging dapat menghasilkan
resolusi dan penggambaran yang jauh lebih baik dari batu dan
sistem duktus dengan cara noninvasif. Teknologi cone-beam
computed tomography (CBCT) berbasis kantor telah dievaluasi
sehubungan dengan diagnosis sialolithiasis di kelenjar ludah
mayor dibandingkan dengan ultrasonografi, ditemukan memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Sementara artefak gigi dan
pergerakan pasien yang menghasilkan kualitas gambar yang buruk
dapat membatasi nilai diagnostiknya, ketersediaan, biaya rendah,
dan dosis radiasi CBCT yang lebih rendah, dibandingkan dengan
CT imaging tingkat medis, menjadikannya alternatif yang berharga
untuk diagnosis sialolithiasis noninvasif. 2
23
Gambar:2.15 (A)Pemindaian tomografi aksial (CT) dari mandibula
dan dasar mulut menunjukkan sialolith submandibular posterior (panah).
(B) CT scan koronal menunjukkan dua batu di saluran submandibular
dekat kelenjar hilus.
24
memahami hubungan sistem duktal dengan jaringan di sekitarnya
serta kondisi saluran endoluminal. 2
D. Ultrasonografi
Kemajuan teknologi ultrasonografi saat ini telah membuat
modalitas pencitraan ini sangat berharga dalam diagnosis patologi
kelenjar ludah. Ultrasonografi dapat menghasilkan gambar dengan
resolusi tinggi, tidak invasif, berbiaya rendah, dan merupakan
prosedur yang mudah dilakukan yang memungkinkan evaluasi
yang akurat dari kelenjar parotis dan submandibular. Dalam
evaluasi tumor kelenjar ludah, informasi penting mengenai
vaskularisasi dapat diperoleh dengan pemeriksaan ultrasonografi
Doppler warna, yang dapat membantu dalam diferensiasi proses
penyakit jinak dan ganas. 2
Ultrasonografi merupakan metode pemeriksaan yang
paling umum untuk lesi nodular dan berguna untuk memandu
biopsi untuk tujuan diagnostik (misalnya, biopsi aspirasi jarum
halus [FNA]), terutama bila pemeriksaan klinis terbatas karena
ukurannya yang kecil atau lokasi akses yang sulit dari bintil.
Akhirnya, ultrasonografi, dengan injeksi bahan kontras intraduktal,
telah diusulkan sebagai pelengkap metode untuk evaluasi penyakit
kelenjar ludah obstruktif. Selain pemeriksaan sistem duktus
kelenjar, evaluasi parenkim dimungkinkan dengan teknik
ultrasound ini. 2
E. Sialografi
Standar emas dalam diagnostik radiologi kelenjar ludah
adalah sialografi, meskipun studi diagnostik ini lebih jarang
dilakukan saat ini dengan lebih sedikit ahli radiologi yang
memiliki keahlian yang diperlukan untuk melakukan sialografi.
Sialografi diindikasikan sebagai bantuan dalam mendeteksi batu
25
radiopak dan radiolusen (15% sampai 20%), serta sumbat mukosa,
karena dapat mengidentifikasi obstruksi dalam sistem duktus.
Selain itu, sialografi juga berguna untuk menilai sejauh mana
kerusakan saluran saliva atau parenkim kelenjar atau keduanya
sebagai akibat dari penyakit obstruktif, inflamasi, traumatis, dan
neoplastik. Selain itu, sialografi dapat digunakan sebagai manuver
terapeutik karena sistem duktus melebar selama penelitian, dan
sumbatan lendir kecil atau puing-puing nekrotik (atau “lumpur”)
dapat dibersihkan selama injeksi media kontras ke dalam sistem
duktus. 2
Teknik sialografi dapat dengan mudah dilakukan dengan
anestesi lokal dan mencakup langkah-langkah berikut:2
Kanulasi saluran saliva (duktus Stensen atau Wharton) dengan
kateter plastik atau logam,
Injeksi kontras radiografi media ke dalam sistem duktus dan
substansi kelenjar.
Akuisisi serangkaian gambar radiografi pada berbagai titik waktu
selama proses ini.
26
Gambar: 2.17 Kanulasi duktus Stensen dengan kateter plastik dan
traksi di pipi untuk meluruskan kelengkungan duktus di area ini.
F. Sialoendoskopi
Modalitas minimal invasif telah diterapkan baru-baru ini untuk
diagnosis dan pengobatan kondisi yang berhubungan dengan kelenjar
ludah mayor. Endoskopi kelenjar ludah (sialoendoskopi) adalah
prosedur khusus yang menggunakan kamera video kecil (endoskopi)
dengan cahaya di ujung kanula fleksibel, yang dimasukkan ke dalam
lubang duktus setelah lubang dilatasi. Endoskopi dapat digunakan
secara diagnostik dan terapeutik. 2
Endoskopi kelenjar ludah dapat menunjukkan struktur dan
kekusutan pada sistem duktus, serta sumbatan mukus dan kalsifikasi di
27
bawah visualisasi tidak langsung pada monitor video. Endoskopi dapat
digunakan untuk melebarkan struktur kecil dan membersihkan sumbat
lendir kecil dari sistem duktus kelenjar ludah. Selain itu, batu kelenjar
ludah yang terletak di dekat hilus, yang biasanya tidak dapat diakses
dari pendekatan bedah transoral, dapat diangkat dengan endoskopi dan
keranjang fleksibel, sehingga menghindari pengangkatan kelenjar,
yang biasanya diperlukan pada sebagian besar batu yang terletak di
posterior atau intrahilar. Sejak pengenalan awal endoskopi, kemajuan
telah dibuat dalam pengembangan mini-endoskopi (diameter 1,1 mm)
dengan beberapa port untuk visualisasi, irigasi, dan instrumentasi
sistem duktal. Perangkat khusus seperti kateter balon kecil (serupa
dengan yang digunakan untuk prosedur angioplasti koroner) dapat
digunakan untuk melebarkan lokasi penyempitan duktu, keranjang
logam kecil atau mini forsep atau penggenggam dapat dimasukkan ke
dalam saluran untuk pengambilan batu langsung.2
Selain itu, perangkat laser atau litotripsi kecil dapat digunakan
melalui endoskopi untuk menginduksi fragmentasi batu besar menjadi
batu yang lebih kecil, sehingga membuatnya setuju untuk pengambilan
keranjang atau evakuasi spontan dari saluran dengan irigasi cairan dari
sistem saluran mengikuti lithotripsi. Selain bertujuan untuk diagnostik,
sialendoskopi juga bisa bersifat terapeutik. Prosedur ini bersifat lebih
aman, tidak terpapar radiasi dan bisa dilakukan pada poliklinik dengan
pemberian anestesi lokal.2
28
lokal, sedangkan pada anak-anak seringkali karena infeksi virus.
Secara umum, kondisi peradangan kelenjar ludah adalah dibagi
menjadi akut dan kronis. Penyebab peradangan akut dibagi lagi
menjadi infeksi bakteri dan virus. Peradangan kronis paling sering
terjadi karena kronis obstruksi lokal.3
A. Infeksi Bakteri Akut
Mekansime Penyakit
Peradangan pada parenkim kelenjar ludah disebut sialadenitis,
sedangkan inflamasi struktur duktus disebut sialochitis atau
sialadenitis duktal. Peradangan yang disebabkan oleh infeksi
bakteri akut biasanya akibat dari berkurangnya sekresi saliva dan
infeksi retrograde berikutnya pada kelenjar oleh flora mulut
(khususnya, Staphylococcus aureus dan Streptococcus viridan). 3
Pengurangan aliran saliva juga dapat disebabkan oleh
dehidrasi, penyakit seperti diabetes mellitus dan bulimia, dan
beberapa obat seperti diuretik dan antidepresan. Oleh karena itu
kondisi ini sering terlihat pada pasien lansia, pasien pasca operasi,
dan pasien lemah yang menderita kebersihan mulut dan sekresi
saliva rendah. 3
Fitur Pencitraan Radiografi
MDCT dengan kontras yang ditingkatkan adalah pencitraan
pilihan saat terjadi peradangan akut kelenjar ludah utama
dicurigai. Jenis pencitraan ini menunjukkan fitur
patognomonik dari kondisi ini, seperti pembesaran yang
terkena kelenjar dengan peningkatan perifer, goresan jaringan
lemak yang berdekatan, dan penebalan jaringan subkutan.
Kelenjar getah bening yang terlibat tampak membesar dengan
redaman yang lebih tinggi dari biasanya. Jika ada, abses
29
muncul sebagai area redaman rendah yang terdefinisi dengan
baik. MRI adalah pencitraan kedua modalitas pilihan karena tak
tertandingi dalam kemampuannya untuk membedakan edema
dari infiltrat inflamasi. Kelenjar yang meradang biasanya
membesar dan mendemonstrasikan sinyal yang lebih rendah
pada T1-weighted MRI dan sinyal yang lebih tinggi pada T2-
gambar tertimbang dibandingkan dengan otot sekitarnya.3
30
2.2.3 Infeksi Virus Akut
A. Mekanisme Penyakit
Beberapa virus dapat menginfeksi kelenjar ludah, termasuk
virus Epstein-Barr (EBV), cytomegalovirus (CMV),
coxsackievirus, virus parainfluenza, dan virus herpes, tetapi virus
gondong adalah penyebab paling umum. Gondongan adalah
sebuah penyakit yang biasanya menyerang anak-anak antara usia 5
dan 9 tahun yang disebabkan oleh infeksi paramyxovirus. Epidemi
infeksi ini sering terjadi sebelum munculnya vaksin campak,
gondok, dan rubella (MMR), maka istilah "parotitis epidemik".
Individu yang terinfeksi biasanya menjalani inkubasi periode yang
berkisar antara 2 dan 4 minggu, dan dianggap menular dari 1 hari
sebelum munculnya gejala klinis sampai kira-kira 14 hari setelah
resolusi gejala. 3
B. Fitur Pencitraan Radiografi
Temuan pencitraan tidak spesifik dan diagnosis biasanya
dibuat atas dasar temuan klinis dan adanya antibodi serum
terhadap virus gondok dalam darah. Gambar MDCT dari kelenjar
ludah yang terinfeksi menunjukkan pembesaran kelenjar dan
atenuasi yang sedikit lebih tinggi dari biasanya. Kelenjar yang
membesar juga tampaknya memiliki sinyal MRI berbobot T2 yang
sedikit lebih tinggi dari biasanya.3
31
menjadi penyebab primer dan sekunder. Penyebab utama termasuk
batu saliva (sialolith), penyempitan duktus (striktur) dan sumbat
mukosa, sedangkan penyebab sekunder termasuk trauma pada
struktur duktus atau lesi yang menempati ruang yang menimpa
struktur duktus. Sialolith bukan hanya penyebab paling umum dari
peradangan kronis, tetapi mereka juga merupakan kondisi paling
umum yang mempengaruhi kelenjar ludah pada orang dewasa.
Sialolith dimulai sebagai nidus anorganik di mana zat organik dan
anorganik dari air liur disimpan. Striktur adalah penyebab paling
umum kedua peradangan kronis dan dapat terjadi di kedua
submandibular dan saluran kelenjar parotis. Etiologinya masih
belum diketahui, tetapi penyempitan duktus diduga akibat fibrosis
yang terjadi sekunder sialolith, infeksi berulang, atau trauma
ringan. 3
B. Fitur Pencitraan Radiografi
Gambar proyeksi seperti gambar panorama digunakan
untuk mengidentifikasi sialolith, tampak jelas, bercampur
radiolusen dan radiopak atau seluruhnya entitas radiopak di sekitar
kelenjar ludah yang terlibat. Sayangnya hingga 40% sialolith
mungkin tidak cukup terkalsifikasi untuk muncul di proyeksi
gambar-gambar. Sialografi adalah modalitas pencitraan pilihan
untuk peradangan kronis karena kemampuannya untuk
menggambarkan sialolith (bahkan yang kecil tidak terkalsifikasi),
striktur, dan perubahan halus pada struktur duktus halus kelenjar
ludah. Salah satu gambaran umum dari peradangan kronis adalah
"seperti sosis" gambaran yang menunjukkan daerah obstruksi dan
sialektasia yang berselang-seling. Penampilan khas lainnya adalah
koleksi bola berukuran bervariasi kontras yang mewakili
pembentukan abses. MDCT dan MRI mungkin juga digunakan
32
dalam kasus peradangan kronis, tetapi sensitivitasnya untuk
mendeteksi kecil sialolith dan striktur lebih rendah daripada
sialografi. Sialendoskopi dilakukan dengan cepat menjadi metode
pencitraan pilihan untuk kondisi obstruktif dari kelenjar ludah
karena keuntungan tambahan yang ditawarkannya dalam hal
pengelolaan kondisi ini.3
33
Gambar 2.20 : CBCT sialografi kanan kelenjar parotis. Gambar
volume tiga dimensi (A) Sagital dan (B) menunjukkan beberapa koleksi
globular yang bervariasi dari bahan kontras. Ini mewakili abses dalam
kasus sialadenitis kronis.
2.2.5 Kondisi Noninflamasi dan Seperti Inflamasi
Tiga kondisi tertentu (sialadenosis, sialadenitis autoimun,
sialadenitis pasca iradiasi) sering muncul dengan tanda-tanda dan
gejala yang mirip dengan kondisi obstruktif kelenjar ludah sehingga
demikian harus dibedakan dari kondisi obstruktif kelenjar ludah.3
A. Sialadenosis
Mekanisme Penyakit
Sialadenosis atau sialosis adalah pembesaran nonneoplastik
dan noninflamasi terutama pada kelenjar parotis. Penyebab kondisi
ini meliputi berbagai macam gangguan endokrin seperti diabetes
mellitus, sejumlah masalah gizi, kelainan seperti alkoholisme
kronis, dan obat-obatan tertentu seperti obat antiinflamasi
nonsteroid (NSAID). 3
Fitur Pencitraan Radiografi
MDCT dan MRI menunjukkan pembesaran saliva yang tidak
spesifik pada kelenjar. Mereka juga dapat menunjukkan perubahan
fibrosa atau lemak pada saliva kelenjar tergantung stadium
penyakitnya. Sialografi menyediakan lebih banyak temuan spesifik
seperti melebarnya sistem duktus yang normal. Penampilan ini
disebabkan oleh struktur duktus yang didorong oleh parenkim
hipertrofi.3
34
Gambar 2.21: Sialadenosis. (A) Citra tomografi komputasi
multidetektor menunjukkan pembesaran bilateral kelenjar parotis.
atenuasi dari kelenjar parotis tampak normal. (B) Gambar
tengkorak anteroposterior dari sialogram kelenjar parotis kanan
pada pasien yang sama. Ukuran dan bentuk saluran tampak
normal, tetapi mereka terhampar ke samping, sebuah temuan yang
konsisten dengan sialadenosis.
B. Sialadenitis Autoimun
Mekanisme penyakit.
Sindrom Sjögren, atau dikenal sebagai sindrom sicca atau
sialosis autoimun, adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
infiltrat limfositik periductal yang menghancurkan asini kelenjar
eksokrin, mengakibatkan penurunan kemampuan yang signifikan
untuk mengeluarkan air liur. 3
Fitur Pencitraan Radiografi
Sialografi, pada tahap awal penyakit, menunjukkan duktus
normal sistem dan banyak koleksi kontras belang-belang (diameter
<1 mm) bahan didistribusikan secara merata ke seluruh kelenjar.
Awal perubahan tidak terlihat pada MDCT atau MRI. Seiring
35
perkembangan penyakit, saluran menjadi sempit dan koleksi bahan
kontras menjadi bulat (1 hingga 2 mm). Penampilannya
patognomonik dan disebut "pemangkasan pohon” atau “pohon
tanpa daun”. Biasanya, material kontras tetap ada setelah
pemberian sialagogue yang merupakan indikasi bahwa bahan
dikumpulkan secara ekstraduktif. Pencitraan MDCT stadium lanjut
penyakit menunjukkan kelenjar yang membesar dan padat.
Tentang MRI, didefinisikan dengan baik area globular dengan
intensitas sinyal T1 rendah dan intensitas sinyal T2 tinggi terlihat
di seluruh kelenjar.
36
(131I) untuk pengelolaan kondisi tiroid tertentu. Mengikuti kedua
jenis pengobatan tersebut, reaksi inflamasi yang intens muncul di
kelenjar ludah dan menyebabkan pelampiasan dan obstruksi
struktur duktus. 3
Fitur Pencitraan Radiografi
Temuan MDCT dan MRI bergantung pada pencitraan stadium
penyakit saat itu dan kemungkinan akan menunjukkan berbagai
tingkat fibrosis kelenjar. Studi sialogram awal menunjukkan
kekosongan aliran di parenkim sehingga atrofi asini sudah mulai
terjadi. Studi sialografi pada tahap akhir dari penyakit tidak
mungkin dilakukan. Pemeriksaan pengobaran nuklir diawal tahap
mengungkapkan serapan normal tetapi ekskresi TPT tertunda.3
37
BAB III
PENUTUP
3.1 Ringkasan
Kista terbagi menjadi kista odontogenik dan non-odontogenik. Kista
odontogenik terdiri dari kista radikular, kista dentigerous, kista residual, kista
odontogenik keratosis, kista bifurkasi bukal dan kista odontogenik glandular.
Duktus nasopalatinus atau kista kanal insisivus dan kista nasolabialis atau
kista nasoalveolar terdapat pada kista non-odontogenik.
Kelenjar saliva adalah kelenjar eksokrin yang memproduksi dan
mengeluarkan air liur. Ada tiga pasang kelenjar ludah utama yang terletak di
luar rongga mulut dan banyak kelenjar ludah minor tersebar di seluruh
submukosa mulut.
Kelenjar saliva mayor dan minor dapat dipengaruhi oleh berbagai
kondisi yang mencakup beberapa patofisiologi. Namun, kondisi yang
mempengaruhi kelenjar ludah biasanya dibagi menjadi tiga proses penyakit
utama: inflamasi, noninflamasi, dan massa yang menempati ruang.
Ada berbagai macam metode klinis dan radiologis untuk mendiagnosis
kelainan kelenjar saliva yaitu pemeriksaan radiologis oklusal dan panoramik,
sialografi, ultrasonografi, MRI, sialoendoskopi dan tomografi komputer
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan apabila ada
kesalahan dalam penulisan makalah ini, kritik dan saran sangat kami
harapkan. Atas perhatian para pembaca, kami mengucapkan terima kasih.
38
DAFTAR PUSTAKA
39