You are on page 1of 140

LAPORAN KELOMPOK

PRAKTIK KERJA LAPANGAN TERNAK BESAR


PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN XXXV
UNIVERSITAS AIRLANGGA
DINAS KETAHANAN PANGAN DAN PETERNAKAN
KABUPATEN KEDIRI
PERIODE 07 JUNI – 03 JULI 2021

Oleh :
Kelompok 1A Tandem I
Mey Vanda Pusparina Sajida, S.KH. 062013143006
Cut Vaya Rizki Ilmaya, S.KH. 062013143009
Faisal Ahmad Giffari Firdaus, S.KH. 062013143034
Yulistia Nur Fadhilah, S.KH. 062013143037
Hidayatul Nur Wijayanti, S.KH. 062013143041
Friko Winokha Rahmaneta, S.KH. 062013143044
Agus Krisdiyantoro, S.KH. 062013143051
Putri Apriyanti Verleansyah, S.KH. 062013143054
Lexy Rizal Trisnawan, S.KH. 062013143055
Nadhiva Rachmatania, S.KH. 062013143080
Muhammad Imaduddin Fiqhi, S.KH. 062013143094
Ruhil Agnie Abdillah, S.KH. 062013143097

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN


PEDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN XXXV
UNIVERSITAS AIRLANGGA
DINAS KETAHANAN PANGAN DAN PETERNAKAN
KABUPATEN KEDIRI
PERIODE 07 JUNI – 03 JULI 2021

Oleh:
MAHASISWA PPDH XXXV KELOMPOK 1A TANDEM I
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA

Koordinator,
Praktik Kerja Lapangan Pembimbing Lapangan

Dr. Tri Wahyu Suprayogi, M.Si., drh. Drh. Sekar Sulistiyo


NIP. 196304011990021001

Mengetahui,
Wakil Dekan I
Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga

Dr. Rimayanti, drh., M.Kes


NIP. 196303121988032003

2
KATA PENGANTAR
Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan ridha yang telah
dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan serta laporan praktik kerja
lapangan di Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Kabupaten Kediri.

Penulis ucapkan terima kasih kepada Dr. Tri Wahyu Suprayogi, M.Si., drh selaku
koordinator PKL yang selama ini telah memberikan banyak bimbingan serta penempatan
untuk mahasiswa dapat melakukan pengembangan potensi dan pemahaman melalui PKL
Ternak Besar. Selain itu atas segala ilmu dan bimbingan kepada mahasiswa PKL, kami
mengucapkan terima kasih juga untuk Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Kabupaten
Kediri telah memberi izin praktik, serta Drh. Sekar Sulistiyo, Drh. Eko Purwono dan Drh.
Lilik Sugiarti yang telah membimbing mahasiswa selama menjalankan Praktik Kerja
Lapangan.

Penulis menyadari bahwa laporan PKL ini masih jauh dari kesempurnaan yang
disebabkan oleh keterbatasan ilmu pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki penulis.
Untuk itu segala kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan untuk dijadikan koreksi
dalam penulisan selanjutnya.

Kediri, 19 Juni 2021

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN 2
KATA PENGANTAR 3
DAFTAR ISI 4
BAB 1 PENDAHULUAN 6
1.1 Latar Belakang 6
1.2 Tujuan 7
1.2.1 Tujuan umum 7
1.2.2 Tujuan Khusus 7
1.3 Manfaat 7
1.4 Tempat dan Waktu Kegiatan 7
1.5 Deskripsi Kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Dinas Ketahanan Pangan dan
Peternakan Kediri 8
1.6 Analisis Hasil Kegiatan 9
1.7 Peserta 9
BAB 2 PEMBAHASAN 10
2.1 Manajemen Perkandangan 10
2.1.1 Manajemen Perkandangan Sapi 10
2.1.2 Manajemen Perkandangan Kambing dan Domba 13
2.2 Manajemen Pakan 15
2.2.1 Kebutuhan Nutrisi dalam Pakan Ruminansia 15
2.2.2 Fakta di Lapanagan 17
2.2.3 Korelasi Pemberian Pakan Dengan Kondisi Kesehatan Ternak 18
2.3 Manajemen Pengolahan Limbah Ternak 19
2.3.1 Biogas 20
2.3.2 Kompos 22
2.4 Inseminasi Buatan – Pemeriksaan Kebuntingan 26
2.4.1 Pemeriksaan Kebuntingan 26
2.4.2 Inseminasi Buatan 31
BAB 3 PEMBAHASAN KASUS 42
3.1 Tabel Kegiatan dan Kasus Perkecamatan 42
3.1.1 Purwoasri 42

4
3.1.2 Kunjang 43
3.1.3 Kepung 45
3.2 Pembahasan Kasus Yang di Temui 49
3.2.1 Scabiosis pada Sapi 49
3.2.2 Bovine Ephermeral Fever 53
3.2.3 Laminitis 56
3.2.4 Pink Eye 59
3.2.5 Red Water Disease (Babesiosis) 62
3.2.6 Ektoparasit 66
3.2.7 Distokia Fetalis Oversize 68
3.2.8 Prolapsus Uteri 71
3.2.9 Retensio Secundinarium 75
3.2.10 Hipokalsemia 81
3.2.11 Infectious Bovine Rhinotracheitis Bentuk Genital 83
3.2.12 Mastitis 85
3.2.13 Pericarditis Traumatica 89
3.2.14 Suspect Helminthiasis 93
3.2.15 Glaukoma 96
3.2.16 Hipofungsi Ovarium 99
3.2.17 Bovine Cutaneus Papillomatosis 102
3.2.18 Abses 107
3.2.19 Clostridium Tetani 110
3.2.20 Hernia Umbilikalis 113
BAB 4 PENUTUP 116
4.1 Kesimpulan 116
4.2 Saran 117
DAFTAR PUSTAKA 118
Lampiran 121

5
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan ternak merupakan salah satu hal yang penting harus dipertahikan dalam
pemeliharaan peternakan, baik sapi potong, sapi perahm kambing maupun domba. Apabila
suatu penyakit menyerang ternak tersebut akan dapat menurunkan produktivitas, efisiensi
pakan, hingga penurunan reproduksi ternak. Manajemen kesehatan ternak berhubungan erat
dengan usaha pencegahan infeksi dari agen-agen infeksius. Dapat dilakukan dengan menjaga
biosekuriti, menjaga higienitas, dan sanitasi dari kandang, serta mengatur manajemen pakan
yang baik agar terciptanya suatu ternak dengan kondisi yang sehat dan optimal.

Peternakan sapi potong, sapi perah, serta ruminansia lainnya memegang peranan
penting untuk mendukung ketahanan pangan dalam penyediaan kebutuhan pangan protein
asal hewan untuk kelangsungan hidup manusia. Ternak sapi potong dimanfaatkan untuk
kebutuhan daging, sedangkan ternak sapi perah dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
susu.

Dalam pelaksanaan kesehatan ternak profesi dokter hewan memiliki pengaruh yang
besar, dikarenakan dokter hewan dapat melakukan adanya suatu pencegahan penyakit,
diagnose penyakit, dan pengobatan penyakit yang dapat terjadi pada hewan ternak. Selain itu
profesi dokter hewan dituntut untuk menyediakan pelayanan yang lebih spesifik terhadap
industru produk hewan maupun pelestarian lingkungan di Indonesia melalui kesejahteraan
dan kesehatan hewan.

Sebelum menyandang gelar dokter hewan, mahasiswa harus menyelesaikan studi


program Pendidikan Profes Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga, sebagai persiapan dan pemantapan kemampuan dan keterampilan sebelum
menjadi dokter hewan. Oleh karena itu mahasiswa diharuskan untuk menyelenggarakan
program praktik kerja lapangan hewan besar, untuk dapat memperoleh pengalaman dan
pengajaran secara langsung. Program tersebut diharapkan dapat dilaksanakan di Dinas
Ketahanan Pangan dan Peternakan Kabupaten Kediri, dan mahasiswa yang mengikuti
program tersebut dapat menambah wawasan serta pengetahuan yang akan dapat berguna
ketika menjadi praktisi Dokter Hewan dikemudian hari.

6
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
a. Meningkatkan kemampuan, keterampilan dan pemahaman mahasiswa koasistensi
PPDH FKH Universitas Airlangga tentang manajemen peternakan hewan besar
serta upaya-upaya pencegahan, penaganan dan pengendalian penyakit pada ternak
hewan besar di lokasi Praktik Kerja Lapangan.
b. Meningkatkan kerja sama antar perguruan tinggi dengan instansi terkait, dalam
hal ini Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga dengan Dinas
Ketahanan Pangan dan Peternakan Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

1.2.2 Tujuan Khusus


a. Mahasiswa dapat mempraktikan teori-teori yang telah dipelajari selama
perkuliahan dan pembekalan saat Praktik Kerja Lapangan.
b. Mahasiswa dapat menganalisis dengan cermat berbagai kasus atau permasalahan
dalam peternakan hewan besar.

1.3 Manfaat
Manfaat dari pelaksaan Praktik Kerja Lapangan (PKL) Hewan Besar ini adalah
mahasiswa koasistesi PPDH FKH Universitas Airlangga mendapatkan pengetahuan,
pengalaman, dan wawasan dalam tata laksana manajemen peternakan hewan besar seperti:
pemeliharaan ternak, pengolahan pakan, dan obat untuk ternak besar, serta menerapkan ilmu
yang diperoleh dari perkuliahan dan kegiatan ini guna membekali diri dan keterampilan untuk
masuk dalam dunia kerja, khususnya di ternak besar.

1.4 Tempat dan Waktu Kegiatan


Praktek Kerja Lapangan (PKL) mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH)
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga di bidang Ternak Besar berlokasi di Dinas
Ketahanan Pangan dan Peternakan, Jl. Penanggungan 12 Kabupaten Kediri, Jawa Timur..
Praktek Kerja Lapangan (PKL) tersebut dilaksanakan pada tanggal 7 Juni – 3 Juli 2021.

No Kegiatan Bentuk Pelaksanaan Waktu

7
1 Penerimaan dan Luar Jaringan Dokter Hewan Dinas 07 Juni 2021
pembekalan praktek Kabupaten Kediri
kerja lapangan

2 Pelaksanaan Luar Jaringan Dokter Hewan Dinas 07 Juni – 26


Kesehatan Hewan Kabupaten Kediri Juni 2021
dan Diskusi

3 Diskusi dan Evaluasi Luar Jaringan Dokter Hewan DKPP 23 Juni 2021

4. Diskusi dan Evaluasi Dalam Jaringan Dosen FKH UNAIR 28 Juni – 02


Juli 2021

1.5 Deskripsi Kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Dinas Ketahanan Pangan
dan Peternakan Kediri
a. Penerimaan

Kegiatan penerimaan berupa perkenalan diri secara langsung dari peserta kegiatan
Praktik Kerja Lapangan Hewan Besar, mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan
Gelombang XXXV Kelompok 1A Fakultas Kedokteran Hewan, Univesitas Airlangga,
dengan pihak Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Kabupaten Kediri.

b. Pembekalan Materi

Kegiatan ini disampaikan dari pihak Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan
Kabupaten Kediri kepada Peserta PKL mengenai peraturan, jenis dan jadwal, serta
kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan di lokasi PKL. Selain itu memberikan
pembekalan materi terkait manajemen ternak besar juga disampaikan sebelum terjun di
lapangan.

c. Praktik Lapangan

Kegiatan yang di lakukan di tempat yang telah ditentukan oleh pihak tim PKL dengan
persetujuan dari Wakil Dekan I FKH UNAIR dan pihak Dinas Ketahanan Pangan dan
Peternakan Kabupaten Kediri dan di damping oleh dokter hewan yang bertugas dan
bersangkutan, dengan dalam pelaksanaan PKL kegiatannya tetap mematuhi protocol
kesehatan yang berlaku.

8
1.6 Analisis Hasil Kegiatan
Analisis hasil kegiatan berdasarkan pada data yang diperoleh selama masa kegiatan
Praktik Kerja Lapangan Hewan Besar. Data diperoleh dari hasil pengamatan dan diskusi
selama melakukan kegiatan Praktik Kerja Lapangan Hewan Besar. Analisis hasil kegiatan
kemudian digunakan untuk pengembangan ilmu dalam bidang profesi dokter hewan dan
sebagai bahan evaluasi pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan Hewan Besar oleh Dinas
Ketahanan Pangan dan Peternakan Kabupaten Kediri.

1.7 Peserta
Peserta kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Dinas Ketahanan Pangan dan
Peternakan Kabupaten Kediri adalah 12 orang mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan
Gelombang XXXV Kelompok 1A Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga,
Surabaya. Biodata lengkap peserta kegiatan Praktik Kerja Lapangan Hewan Besar di Dinas
Ketahanan Pangan dan Peternakan Kabupaten Kediri.

No. Nama NIM


Putri Apriyanti Verleansyah, S.KH. 06201314305
1
4
Ruhil Agnie Abdillah, S.KH. 06201314309
2
7
Muhammad Imaduddin Fiqhi, S.KH. 06201314309
3
4
Faisal Ahmad Giffari Firdaus, S.KH. 06201314303
4
4
Lexy Rizal Trisnawan, S.KH. 06201314305
5
5
Agus Krisdiyantoro, S.KH. 06201314305
6
1
Friko Winokha Rahmaneta, S.KH. 06201314304
7
4
Mey Vanda Pusparina Sajida, S.KH. 06201314300
8
6
Cut Vaya Rizki Ilmaya, S.KH. 06201314300
9
9
Nadhiva Rachmatania, S.KH. 06201314308
10
0
Yulistia Nur Fadhilah, S.KH. 06201314303
11
7

9
Hidayatul Nur Wijayanti, S.KH. 06201314304
12
1

BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Manajemen Perkandangan
Kandang merupakan salah satu faktor lingkungan hidup ternak, harus bisa memberikan
jaminan untuk hidup yang sehat dan nyaman sesuai dengan tuntutan hidup ternak dan
bangunan kandang diupayakan harus mampu untuk melindungi ternak dari gangguan yang
berasal dari luar seperti sengatan matahari, cuaca buruk, hujan dan tiupan angin kencang.

10
Persyaratan kandang merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam membangun
usaha peternakan.

2.1.1 Manajemen Perkandangan Sapi


2.1.1.1 Manajemen Perkandangan Sapi Berdasarkan Teori
Syarat perkandangan sapi yang baik perlu memperhatikan beberapa hal diantaranya;
pemilihan lokasi kandang, tata letak kandang, konstruksi kandang, bahan kandang, dan
perlengkapan kandang, sehingga dapat meningkatkan produktivitas (Sugeng dan Sudarmono,
2008; Sandi dan Purnama, 2017). Lokasi kandang dibuat berjauhan dari rumah tinggal dan
diusahakan menghadap ke arah matahari terbit. Kandang sapi dapat berupa kandang barak
atau kandang individual. Selain itu, sebaiknya disediakan juga kandang pemerahan, kandang
khusus untuk pejantan, dan kandang untuk pedet (Williamson & Payne 1993). Luas kandang
individu untuk pedet adalah 1.03 x 1.52 m dan kandang dewasa 1.83x1.22 m (Williamson &
Payne 1993).

Tinggi kandang 3 m, dan atap dibuat lebih tinggi sehingga ventilasi udara cukup lebar.
Ventilasi berfungi untuk mengurangi kelembaban dalam kandang, mengurangi organisme
penyakit, mengurangi debu dan udara kotor sehingga mudah diganti dengan udara segar,
mengurangi limbah produksi terutama yang berasal dari kotoran dan urine seperti amonia,
hidrogen sulfida, karbondioksida, dan gas methan (Santosa 2002). Bangunan kandang
sebaiknya dilengkapi dengan sistem drainase atau pengaliran air agar kotoran mudah
dibersihkan dan air buangan mengalir lancar (Suharno & Nazaruddin 1994). Dinding
kandang terbuat dari tembok, kayu, bambu, atau bahan bangunan lainnya. Lokasi kendang
yang berada di daeran dataran rendah yang suhu lingkungannya relatif panas, dinding
kendang sebaiknya dirancang lebih terbuka (Rasyid dan Hartati, 2007).

Atap sebaiknya dibuat dari genting atau asbes dengan ketinggian 3 sampai 4 meter dan
kemiringan atap sekitar 30 - 40 o dengan model atap shade atau atap dua bidang. ). Lantai
kandang diusahakan dibuat dari semen dengan kondisi kedap air, tahan lama, tidak licin, dan
dibuat miring ke arah selokan atau drainase. Selokan atau drainase kandang terbuat dari
semen, dengan bentuk persegi dengan ukuran lebar 20 – 30 cm dan kedalaman 5 – 10 cm
yang bertujuan untuk memudahkan pembuangan kotoran dan menjaga lantai kandang agar
tetap kering (Rasyid dan Hartati, 2007).

11
Peralatan kandang yang perlu disiapkan antara lain tempat pakan dan minum, serta alat
pembersih kandang seperti sapu lidi dan ember. Untuk tempat pakan dan minum atau
palungan, dibuat dengan dengan ketentuan lebar, kedalaman, dan tinggi disesuaikan dengan
tinggi mulut dan ukuran kepala sapi dengan tujuan sapi tidak mengalami kesulitan saat
makan dan minum. Selain persyaratan tersebut, hal yang sangat penting yang harus
diperhatikan adalah kebersihan kandang, Kandang dapat dikatakan bersih apabila memenuhi
lima kriteria kebersihan kandang yaitu tidak terdapat kotoran ternak, tidak terdapat makanan
ternak yang berceceran, tidak terdapat genangan air, dan tidak terdapat sampah yang
berserakan.

Gambar 2.1 Kondisi kandang sapi yang memenuhi syarat

2.1.1.2 Kondisi Kandang Sapi di Lapangan


Kondisi perkandangan sapi di lapangan tempat dilakukannya PKL (Praktik Kerja
Lapangan) selama 3 minggu yang dilakukan di Kecamatan Kepung, Kunjang, dan Purwoasri,
Kabupaten Kediri ditemukan dalam kondisi yang bermacam macam. Perbedaan kondisi
kandang pada peternakan warga tersebut ditentukan berdasarkan kemampuan finansial serta
pengetahuan yang dimiliki oleh peternak tersebut. Beberapa gambaran kondisi kandang yang
kami temui selama
Berdasarkan hasil temuan kami dilapangan, mayoritas manajemen perkandangan yang
diterapkan masih kurang memenuhi syarat manajemen perkandangan yang baik berdasarkan
beberapa literasi yang kami temukan. Beberapa hal tersebut seperti lokasi kandang yang
sangat dekat dengan tempat tinggal peternak, bangunan kandang yang relatif rendah, tempat
pakan dan minum (palungan) yang dibuat sederhana, kandang beralaskan tanah yang basah ,
tidak memiliki selokan atau drainase untuk saluran pembuagan kotoran yang memadai, dan
sirkulasi udara disekitar kandang kurang sehingga kelembaban tinggi. Selain hal tersebut,

12
sanitasi dan kebersihan kandang kurang baik seperti banyak kotoran yang menumpuk di
sekitar kandang yang dapat menjadi sumber penyakit. Adapun kondisi kandang yang kami
temukan dapat di dilihat pada gambar berikut ini :

Gambar 2.2 A) tempat pakan dan minum (palungan) B) kondisi tampak belakang kandang

Gambar 2.3 A) kondisi atap yang pendek B) bangunan kandang yang sempit

Gambar 2.4 A) kondisi lantai kandang dari tanah basah B) dinding kandang tertutup

13
2.1.2 Manajemen Perkandangan Kambing dan Domba
2.1.2.1 Manajemen perkandangan Kambing dan Domba Berdasakan Teori
Kandang kambing dan Domba adalah tempat dimana ternak kambing dan domba dapat
leluasa bergerak dan berbaring. Kandang kambing dan domba ada dua model, yaitu model
lantai (lemprak) dan model panggung (Septian, 2015). Sistem perkandangan yang lebih baik
untuk kambing dan domba adalah sistem panggung dikarenakan pengambilan kotoran ternak
pada kandang panggung lebih mudah dilakukan. Kotoran berada di bawah kandang sehingga
pengambilan kotoran tidak mengganggu ternak (Setiawan, 2004). Penggunaan kandang
panggung lebih disenangi karena memudahkan peternak dalam melakukan sanitasi kandang
serta tidak bercampur dengan pakan. Hal ini dapat memudahkan peternak saat memberi
pakan hijauan dan bersamaan dengan pembersihan kandang dari sisa pakan sebelumnya
(Suherman, 2017). Konstruksi kandang kambing domba meliputi atap, dinding, lantai,
kerangka, ruang kandang, dan tempat pakan, kolong, dan tempat penampung kotoran (Rianto,
2008). Atap kandang berguna untuk menghindarkan ternak dari air hujan dan terik matahari
serta menjaga kehangatan pada malam hari. Atap kandang hendaknya dibuat miring sekitar
30 derajat, agar air hujan dapat lancar mengalir. Ketinggian atap hendaknya tidak terlalu
rendah agar kandang tidak terasa panas. Dinding kandang berguna untuk membentengi ternak
agar tidak lepas, menahan angin, dan menahan suhu udara agar tetap nyaman. Lantai kandang
panggung dapat dibuat dari bilah bambu atau kayu. Lebar bilah sekitar 3 cm dan jarak antar
bilah sekitar 1,5 cm. Jarak antar bilah tidak boleh terlalu rapat agar kotoran dapat jatuh ke
kolong. Kerangka kandang dapat dibuat dari bambu atau kayu.
Kerangka kandang harus dibuat dengan bahan bahan yang mempunyai kekuatan dan
ketahanan yang lama. Ruang kandang adalah tempat dimana ternak dapat leluasa bergerak
dan berbaring. Luas kandang yang diperlukan oleh seekor kambing atau domba jantan adalah
1,20 x 1,40 m2, betina 1,00 x 1,50 m2. Jika ruang kandang dibuat memanjang dan tidak
disekat sekat, maka luas rantai per ekor dapat dikurang. Kolong kandang hendaknya digali
sedalam kurang lebih 20 cm pada bagian pinggirnya dan pada bagian tengah dibuat miring ke
arah salah satu sisinya. Degan demikian, bila hujan, kotoran akan mengalir ke luar kolong
melalui saluran dan tertampung di bak penampung. Tempat penampug kotoran hendaknya
dibuat paling tidak berjarak 10 m dari kandang agar tidak mengganggu kesehatan ternak.
Apabila memungkinkan, diatas tempat penampung kotoran tersebut dibuatkan atap agar
kotoran yang tertampung tidak terkena hujan

14
Gambar 2.5 Kondisi kandang kambing dan domba yang memenuhi syarat
2.1.2.2 Kondisi Kandang Kambing dan Domba Di Lapangan
Berdasarkan hasil temuan kami di lapangan tempat dilaksanakannya PKL, kondisi
kandang kambing dan domba sebagian besar sudah memenuhi syarat perkandangan sesuai
literasi yang kami temukan. Namun, sebagian kecil para peternak di lapangan masih belum
mampu menerapkan manajemen perkandangan sesuai dengan kriteria. Adapun kekurangan
yang umumnya ditermukan di lapangan mengenai lokasi kandang yang terlalu berdekatan
dengan rumah peternak serta kondisi kandang yang dibuat seadanya seperti tidak adanya
tempat pakan dan minum, alas kandang masih tanah, dan lain sebagainya. Salah satu contoh
kandang kambing yang kami temukan seperti pada gambar berikut.

15
Gambar 2.6 (A) Kandang kambing beralas tanah serta kurang tempat pakan dan minum (B)
Lokasi kandang yang berdekatan dengan rumah

Berdasarkan hasil pengamatan kami, mayoritas para peternak di tempat kami


melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) belum mampu menerepkan manajemen
perkandangan yang tepat. Hal tersebut dikarenakan peternak setempat memiliki prinsip
bahwa ternak yang mereka miliki dijadikan sebagai tabungan atau bukan sebagai sumber
penghasilan utama. Para peternak setempat biasa menyebutnya dengan istilah “rojokoyo”.

2.2 Manajemen Pakan


2.2.1 Kebutuhan Nutrisi dalam Pakan Ruminansia
Kebutuhan pakan dari tiap ternak berbeda – beda sesuai dengan jenis, umur, bobot
badan, keadaan lingkungan dan kondisi fisiologis ternak. Pakan harus mengandung semua
nutrisi yang dibutuhkan ternak, namun tetap dalam jumlah yang seimbang. Nutrisi yang
dibutuhkan oleh ternak antara lain karbohidrat, lemak, protein, vitamin, air dan unsur
anorganik serta mineral. Keseimbangan kandungan nutrisi dalam jumlah dan proporsi yang
memenuhi kebutuhan fisiologis, reproduksi dan produksi ternak. Pakan ternak dinyatakan
seimbang apabila diberikan kepada ternak dapat memenuhi kebutuhan hidup ternak tanpa
menimbulkan gangguan kesehatan bagi ternak.
Umumnya pakan ternak ruminansia terdiri dari hijauan dan konsentrat. Imbangan
kedua pakan tersebutlah yang akan memenuhi kebutuhan hidup ternak ruminansia. Hijauan
bahan pakan utama dari ternak ruminansia, utamanya untuk kebutuhan serat kasar. Beberapa
contoh hijauan pakan antara lain: rumput gajah, rumput raja, rumput setaria, daun lamtoro,
daun gamal, jerami padi, jerami kacang tanah, pucuk jagung muda, dan lainnya. Pada sapi
potong pemberian pakan hijauan sebesar 10-12% dari bobot badan sapi. Konsentrat
merupakan campuran dari beberapa bahan pakan untuk melengkapi gizi yang kurang dari
pemberian pakan hijauan. Bahan pakan konsentrat yang dapat diberikan pada ternak biasanya
adalah dedak padi, bungkil kedelai, jagung giling, bungkil kacang tanah, ampas tahu, ampas
kecap dan lainnya, atau juga dapat memberikan konsentrat pabrikan yang telah
diformulasikan dalam pembuatannya (seperti Konsentrat Gemuk A dan Konsentrat Susu A).
Pakan konsentrat yang diberikan pada sapi potong pada umumnya sebanyak 1-2% dari bobot
badan sapi. Pada sapi perah, pakan umumnya ditujukan untuk mendapatkan produksi susu
yang maksimal, sehingga terdapat perbandingan dalam pemberian hijauan dan konsentrat,

16
sebagai berikut: P1 (70% hijauan : 30% konsentrat) akan menghasilkan kadar lemak susu
tinggi, produksi tertinggi, efisiensi sama seperti P3, P2 (60% : 40%) akan menghasilkan
kadar lemak susu tinggi seperti P1, produksi susu rendah seperti P3, dan efisiensi sama
seperti P3, P3 (50% : 50%) akan menghasilkan kadar lemak susu lebih rendah. Konsentrat
untuk kambing dan domba umumnya memiliki kandungan serat kasar kurang dari 18%.
Pakan tambahan dapat juga digunakan atau ditambahkan guna merangsang
pertumbuhan ternak, mencegah penyakit, serta melengkapi komposisi nutrisi pakan
ternak. Terdiri antara lain campuran mineral dan vitamin, seperti: Premix A, Premix
B, dan lainnya. Pakan tambahan biasanya diberikan 1% dari total pakan.
Tabel 1. Kandungan nutrisi beberapa jenis bahan pakan ternak ruminansia
Kandunagn bahan kering pakan (%)
BK
Jenis pakan Energi /
(%) PK SK LK Ca P
TDN
Rumput gajah 21 52,4 9,6 32,7 1,9 - -
Rumput setaria 24 54 12,7 35 2 - -
32,
Singkong 81,8 3,3 4,2 3,3 - -
3
Daun jagung 21 40 9,9 29,5 1,8 - -
87,
Jerami padi 43,2 4,2 32,5 1,5 - -
5
88,
Bungkil kedelai 83,2 41,3 8,6 15 0,2 0,74
6
Bungkil kacang tanah 86 65 49,5 5,3 - 0,11 0,74
24,
Daun lamtoro 77 24,2 21,5 3,7 1,4 0,21
8
89,
Dedak padi halus 67 15,9 8,5 9,1 0,06 1,55
6
26,
Ampas tahu 79 23,7 23,6 10,1 - -
2
Gaplek 86 69 1,7 1,6 - 0,1 0,04
Tetes (molase) 86 53 4,2 - - 0,11 0,74

Tabel 2. Persyaratan mutu pakan konsentrat sapi perah (dalam %)


Kadar Protein Lemak TDN
Kadar air Kalsium Fosfor
abu kasar (min.) kasar (min.)
Dara 14 10 15 7 0,6-1 0,4-0,6 70
Laktasi 14 10 14-18 7 0,6-1,3 0,4-0,8 68
Bunting 14 10 16 7 0,8-1,2 0,4-0,8 68
Pejantan 14 12 12 6 0,6-0,8 0,3-0,6 65

17
Tabel 3. Persyaratan mutu pakan konsentrat sapi potong (dalam %)
Kadar Kadar Protein Lemak TDN
Kalsium Fosfor
air abu kasar (min.) kasar (min.)
Penggemukan 14 12 13 7 0,6-1,2 0,4-0,8 68
Indukan 14 12 12 6 0,8-1,2 0,6-0,8 65
Pejantan 14 12 12 6 0,6-0,8 0,3-0,6 65

Tabel 4 Persyaratan mutu pakan konsentrat kambing (dalam %)


Kadar Protein Lemak Fosfor TDN
Abu Kalsium
air kasar (min.) kasar (min.) (min.)
Anakan 13 8 16 7 0,3-0,8 0,4 65
Laktasi 13 9 14 7 0,3-0,8 0,4 65

Tabel 5 Persyaratan mutu pakan konsentrat domba (dalam %)


Protein kasar Lemak Fosfor
Kadar air Abu Kalsium TDN (min.)
(min.) kasar (min.)
13 8 10 7 0,3-0,8 0,2 60
2.2.2 Fakta di Lapanagan
Populasi ternak yang dipelihara oleh masyarakat Kediri pada umumnya hanya dalam
skala kecil dari 1 hingga 3 ekor. Pemeliharaan ternak besar yang dilakukan oleh warga Kediri
bertujuan sebagai tabungan dan sampingan pekerjaan usai menyelesaikan pekerjaan di
ladang. Hal tersebut membuat pemeliharaan ternak hanya dilakukan sewajarnya bahkan tidak
jarang kurang mendapatkan perhatian. Kondisi kandang dan pakan pun sering kali
disepelekan oleh peternak.
Pakan yang diberikan pada ternak umumnya berupa hijauan dan sesekali diberikan
konsentrat. Jenis hijauan yang diberikan diantaranya ialah rumput gajah, batang jagung, dan
rumput lapangan. Tambahan pakan yang diberikan pada ternak berupa konsentrat. Konsentrat
yang diberikan pada umumnya terdiri dari dedak, bekatul, pollard, ataupun pakan jadi.
Pemberian minum tidak menerapkan konsep pemberian minum ad libitum melainkan
diberikan bersamaan dengan konsentrat atau warga lokal menyebut dengan istilah dicombor.
2.2.3 Korelasi Pemberian Pakan Dengan Kondisi Kesehatan Ternak
Kurangnya pemahaman peternak mengenai nutrisi yang dibutuhkan pada pakan tentu
berdampak pada performa yang dihasilkan ternak. Seringkali ditemui sapi dengan kondisi
tubuh kurus, defisiensi mineral hingga tidak mampu berdiri hingga penurunan kemampuan
dalam reproduksi.

18
Pakan merupakan faktor utama dalam pemeliharaan ternak. Proses pencernaan
makanan pada ruminansia merupakan proses yang komplek. Sebagian besar konsumsi bahan
pakan sebagai suplai nutrisi untuk mikroflora rumen. Pada proses produksi komponen energi
dan protein yang dapat dicerna dan diserap. Mikro organisme pada rumen memiliki beberapa
tipe namun sebagian besar mencerna karbohidrat komplek, termasuk selulosa, karbohidrat
dasar, memproduksi volatile ftty acids (VFA) seperti asetat, propionat, dan butirat. Propionat
menjadi substrat energi utama yang digunakan oleh ruminansia dan diubah menjadi glokosa
pada hati. Hewan memerlukan protein tidak terkecuali ternak ruminansia khususnya protein
nabati sebagai sumber nitrogen untuk mikroflora rumen. Komposisi dan kualitas protein
dalam pakan tergantung pada profil asam amino dan daya cernanya. Bahan pakan protein
dikategorikan sebagai bahan yang dapat terdegradasi dalam rumen dan tidak dapat
terdegradasi dalam rumen pada basis kemampuan mikroba untuk menghidrolisa protein
dalam rumen (Yendraliza, 2013).
Nutrisi dari pakan yang dikonsumsi oleh ternak dapat memengaruhi produksi serta
kondisi kesehatan ternak. Bila pemberian dan susunan pakan yang diterima oleh ternak tidak
seimbang seperti kekurangan karbohidrat atau kelebihan lemak, maka dapat menyebabkan
kekacauan metabolisme karbohidrat dan lemak serta akan memengaruhi metabolime badan
keton yang akhirnya dapat mengakibatkan ketosis (Ayuningsih, 2007). Nutrisi bahan pakan
juga dapat meningkatkan programming dan ekspresi metabolik pathway yang memungkinkan
ternak mencapai potensi genetiknya untuk reproduksi. Hal tersebut indikasi dari metabolit
blood-borne sebagai perantara, sebagai contoh yaitu aktivasi nutrisi dari generator pulse
Gonadothrophin Releasing Hormone (GnRH) (Yendraliza, 2013).

Gambar 2.7 Pakan hijauan yang diberikan pada ternak

19
Gambar 1.8 Konsentrat pabrikan yang diberikan pada ternak.
2.3 Manajemen Pengolahan Limbah Ternak
Peningkatan populasi ternak sapi maupun kambing akan meningkatkan limbah yang
dihasilkan. Kebanyakan peternak tradisional yang kami temui pada praktek kerja lapangan
hanya menumpuk limbah didekat kandang tanpa pengolahan yang lebih lanjut. Apabila
limbah tersebut tidak dikelola sangat berpotensi menyebabkan pencemaran lingkungan
terutama dari limbah kotoran yang dihasilkan ternak setiap hari. Pembuangan kotoran ternak
sembarangan dapat menyebabkan pencemaran pada air, tanah dan udara (bau), berdampak
pada penurunan kualitas lingkungan, kualitas hidup peternak dan ternaknya serta dapat
memicu konflik sosial. Pengelolaan limbah yang dilakukan dengan baik selain dapat
mencegah terjadinya pencemaran lingkungan juga memberikan nilai tambah terhadap usaha
ternak.
Pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk kompos dapat menyehatkan dan
menyuburkan lahan pertanian. Selain itu kotoran ternak juga dapat digunakan sebagai sumber
energi biogas. Sumber energi biogas menjadi sangat penting karena harga bahan bakar fosil
yang terus meningkat dan ketersediaan bahan bakar yang tidak konstan dipasaran,
menyebabkan semakin terbatasnya akses energi bagi masyarakat termasuk peternak. Berikut

20
proses pengolahan limbah yang sudah diterapkan di wilayah tempat kami melakukan
kegiatan Praktek Kerja Lapangan.
2.3.1 Biogas
Biogas adalah campuran gas yang dihasilkan oleh bakteri metanogenik yang terjadi
pada material-material yang dapat terurai secara alami dalam kondisi anaerobik. Pada
umumnya biogas terdiri atas gas metan (CH4) sebesar 50-70%, gas karbon dioksida (CO2)
sebesar 30-40%, Hidrogen 5 – 10% dan gas-gas lainnya dalam jumlah yang sedikit. Untuk
memanfaatkan kotoran ternak menjadi biogas diperlukan beberapa syarat sebagai berikut:
1. Ketersediaan ternak
Jenis, jumlah dan sebaran ternak di suatu daerah dapat menjadi potensi bagi
pengembangan biogas. Hal ini karena biogas dijalankan dengan memanfaatkan kotoran
ternak. Untuk menjalankan biogas skala individual atau rumah tangga diperlukan kotoran
ternak dari 2 – 4 ekor sapi dewasa.
2. Kepemilikan ternak
Jumlah ternak yang dimiliki oleh peternak menjadi dasar pemilihan jenis dan kapasitas
biogas yang dapat digunakan. Bila ternak sapi dewasa yang dimiliki lebih dari 4 ekor , maka
dapat dipilih biogas dengan kapasitas yang lebih besar (berbahan fiber atau semen) atau
beberapa biogas skala rumah tangga.
3. Pola pemeliharaan ternak
Ketersediaan kotoran ternak perlu dijaga agar biogas dapat berfungsi optimal. Kotoran
ternak lebih mudah didapatkan bila ternak dipelihara dengan cara dikandangkan
dibandingkan dengan cara digembalakan.
4. Ketersediaan lahan
Untuk membangun biogas diperlukan lahan di sekitar kandang yang luasannya
bergantung pada jenis dan kapasitas biogas. Lahan yang dibutuhkan untuk membangun
reaktor biogas skala terkecil (skala rumah tangga) adalah 14 m2 (7 m x 2 m).
5. Tenaga kerja
Untuk mengoperasikan biogas diperlukan tenaga kerja yang berasal dari
peternak/pengelola itu sendiri. Hal ini penting mengingat biogas dapat berfungsi optimal bila
pengisian kotoran ke dalam reaktor dilakukan dengan baik serta dilakukan perawatan
peralatannya. Banyak kasus mengenai tidak beroperasinya atau tidak optimalnya biogas
disebabkan karena: pertama, tidak adanya tenaga kerja yang menangani unit tersebut; kedua,

21
peternak/pengelola tidak memiliki waktu untuk melakukan pengisian kotoran karena
memiliki pekerjaan lain selain memelihara ternak.

6. Manajemen limbah/kotoran
Manajemen limbah/kotoran terkait dengan penentuan komposisi padat-cair kotoran
ternak yang sesuai untuk menghasilkan biogas, frekuensi pemasukan kotoran, dan
pengangkutan atau pengaliran kotoran ternak ke dalam reaktor. Bahan baku reaktor biogas
adalah kotoran ternak dan air dengan perbandingan 1:3. Frekuensi pemasukan kotoran
dilakukan setiap satu atau dua hari sekali. Pemasukan kotoran ini dapat dilakukan dengan
cara diangkut atau melalui saluran.
7. Kebutuhan energi
Sumber energi dari biogas dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan jika ketersediaan
sumber energi lain terbatas. Bila sumber energi lain tersedia maka peternak dapat diarahkan
untuk mengolah kotoran ternaknya menjadi kompos.
8. Jarak (antara kandang reaktor dan rumah)
Agar pemanfaatan energi biogas dapat optimal sebaiknya antara kandang, reaktor dan
rumah tidak terlampau jauh.
9. Pengelolaan hasil samping biogas
Pengelolaan hasil samping biogas ditujukan untuk memanfaatkannya menjadi pupuk
cair dan pupuk padat (kompos).
10. Sarana Pendukung
Sarana pendukung berupa peralatan kerja digunakan untuk
mempermudah/meringankan pekerjaan/perawatan instalasi biogas. Selain sepuluh faktor di
atas, kemauan peternak/pelaku untuk, menjalankan instalasi biogas dan merawatnya serta
memanfaatkan energi biogas menjadi modal utama dalam pemanfaatan kotoran ternak
menjadi biogas

22
Gambar 2.9 (a) Lubang pengisian kotoran hewan, (b) Tabung penampungan gas, (c) Saluran
pengeluaran limbah, (d) Radiator biogas, dan (e) Lampu berbahan bakar biogas

Gambar 3.0 Ilustrasi Biogas

2.3.2 Kompos
Limbah peternakan dan pertanian, bila tidak dimanfaatkan akan menimbulkan dampak
bagi lingkungan berupa pencemaran udara, air dan tanah, menjadi sumber penyakit, dapat
memacu peningkatan gas metan dan juga gangguan pada estetika dan kenyamanan (Nenobesi
et al., 2017). Satu ekor sapi setiap harinya menghasilkan kotoran berkisar 8 – 10 kg per hari
atau 2,6 – 3,6 ton per tahun atau setara dengan 1,5-2 ton pupuk organik sehingga akan
mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan mempercepat proses perbaikan lahan (Huda
and Wikanta, 2017).
Limbah ternak sebagai hasil akhir dari usaha peternakan memiliki potensi untuk
dikelola menjadi pupuk organik seperti kompos yang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan daya dukung lingkungan, meningkatkan produksi tanaman, meningkatkan
pendapatan petani dan mengurangi dampak pencemaran terhadap lingkungan (Nugraha and
Amini, 2013; Nenobesi et al., 2017).
2.3.2.1 Lokasi
PT. Wilis Indogreen, Kediri

23
2.3.2.2 Jenis Limbah yang Digunakan
a) Urine Sapi
Urine sapi merupakan kotoran yang dikeluarkan dari proses pencernaan sapi dalam
bentuk cairan. Urin sapi merupakan komoditi yang berharga karena urine sapi mengandung
unsur Nitogen yang tinggi yang berguna untuk menyuburkan tanah. Banyak penelitian yang
telah dilakukan terhadap urin sapi, diantaranya adalah Refliaty (2001) melaporkan bahwa
urin sapi mengandung zat perangsang tumbuh yang dapat digunakan sebagai pengatur
tumbuh diantaranya adalah IAA.
Urin sapi juga memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman
jagung. Karena baunya yang khas, urin ternak juga dapat mencegah datangnya berbagai hama
tanaman, sehingga urin sapi juga dapat berfungsi sebagai pengendalian hama tanaman
b) Feses Sapi
Feses adalah produk buangan saluran pencernaan hewan yang dikeluarkan melalui anus
atau kloaka. Pada manusia proses pembuangan kotoran dapat terjadi (tergantung pada
individu dan kondisi) antara sekali setiap satu atau dua hari hingga beberapa kali dalam
sehari. Kotoran sapi yang berupa feses mengandung nitrogen yang tinggi. Jumlah Nitrogen
yang dapat diperoleh dari kotoran sapi dengan total bobot badan ± 120 kg (6 ekor sapi
dewasa) dengan periode pengumpulan kotoran selama tiga bulan sekali mencapai 7,4 kg.
Jumlah ini dapat disetarakan dengan 16,2 kg Urea (46% Nitrogen) (Iroi dan Yuliarti 2009).
Menurut Putro bau khas dari feses disebabkan oleh aktivitas bakteri. Bakteri
menghasilkan senyawa seperti indole, skatole, dan thiol (senyawa yang mengandung
belerang), dan juga gas hidrogen sulfida. Feses hewan dapat digunakan sebagai pupuk
kandang dan sebagai sumber bahan bakar yang disebut bio gas.
2.3.2.3 Alat
- Ember/karung goni sebagai tempat penyimpanan akhir.
- Adukan.
- Plastic penutup.
- Tali rapia
- pH meter
- Termometer

24
2.3.2.4 Bahan
- Kotoran Ternak 75 kg
- EM4 sebanyak 2 sendok makan
- Gula sebanyak 2 sendok makan
- Sekam 15 kg
- Air sebanyak 2 liter

2.3.2.5 Proses Pembuatan Pupuk Kompos


a) Pengumpulan kotoran di kandang perhari
Pengangkutan kotoran pada kandang yang sudah terisi kotoran sapi, pengankutan ada 2
cara, cara pertama menggunakan pekerja borongan, dengan cara sederhana menggunakan
sekop lalu mengisinya ke dalam karung lalu diangkut oleh truk untuk di simpan dilahan yang
telah disiapkan untuk proses dekomposisi, dan cara yang ke dua menggunakan cara yang
modern seperti penggunaan bobcat (mobil pengangkut kecil) lalu kotoran itu diangkut oleh
truk dan di simpan dilahan yang telah di sediakan.
a) Pembongkaran kotoran dilahan
Setelah kotoran di bawah kelahan yang luasnya sekitar 1 hektar, dan luas petak untuk
menjemur kotoran tersebut 10x10 meter, lalu tinggi kotoran yang di tentukan perpetak ialah
50cm. Lalu perpetak lahan jemuran yang harus diisikan kotoran yang akan diolah menjadi
pupuk organik kurang lebih sekiran 1 ton kotoran sapi yang masih mempunyai kadar air 70%.
b) Penyimpanan (proses dekomposisi)
Adapun penyimpanan yang dilakukan selama 3-6 bulan, mengapa
penyimpanan kotoran sapi bisa berselang selama berbulan-bulan karna agar terjadinya proses
dekomposisi. Proses dekomposisi ialah proses pembusukan yang terjadi menjadi bentuk yang
lebih sederhana. Penjemuran dilakukan oleh panas matahari berguna untuk terjadinya proses
pelapukan dan terjadinya pengurangan kadar air, dan pada saat proses penjemuran harus
dilakukan pembolak-balikan kotoran tersebut agar terjadinya proses pertukaran udara dan
proses pengeringan bisa merata.
c) Pengayakan
Proses pengayakan terbagi dalam dua cara yaitu manual dan menggunakan mesin,
dimana pada cara manual dipergunakan saringan yang terbuat dari rang dan kayu, dan di

25
kerjakan oleh pekerja, sedangkan cara kedua iyalah menggunakan mesin penggilingan
kotoran sapi yang membatu di hancurkan oleh mesin.
e) Packing
Pengepakan dengan karung atau bag, proses ini adalah proses terakhir dari siklus
pembuatan pupuk organik ini. Dan kemudian dikirim dan penjualan bisa dilakukan di pabrik
itu sendiri.
2.3.2.6 Pengaplikasian Pupuk pada Tanaman
a) Pengaplikasian pupuk organik padat pada tanaman: Berikan pupuk organik padat
secukupnya pada tanaman.
b) Penggunaan pupuk jangan terlalu banyak, dan penyiraman dilakukan secara teratur.
2.3.2.7 Manfaat Pupuk Kompos
a) Memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga menjadi ringan.
b) Memperkuat daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak berderai.
c) Menambah daya ikat tanah kepada air dan unsur-unsur hara tanah.
d) Memiliki unsur hara yang lengkap.
e) Membantu proses pelapukan bahan mineral.
f) Memberikan ketersediaan bahan makanan untuk mikroba.
g) Menurunkan aktivitas mikroorganisme merugikan.
2.3.2.8 Dokumentasi

26
2.4 Inseminasi Buatan – Pemeriksaan Kebuntingan
2.4.1 Pemeriksaan Kebuntingan
Diagnosis kebuntingan pada sapi merupakan faktor penting dalam evaluasi masalah
selama kebuntingan, pemeriksaan kebuntingan awal juga dapat mencegah kerugian yang
dialami peternak dalam pemeliharaan sapi contohnya akibat tidak terdeteksinya kematian
embrio dini. Beberapa metode diagnosis kebuntingan yang telah dilakukan meliputi palpasi
rektal, ultrasonography, dan pemeriksaan hormon kebuntingan.
Palpasi rektal merupakan metode yang paling banyak dilakukan dalam pemeriksaan
kebuntingan dan evaluasi reproduksi pada sapi, kerbau, dan kuda karena pelaksanaannya
yang ekonomis, cepat dilakukan, dan merupakan metode yang akurat dalam melakukan
pemeriksaan kebuntingan (Hafez dan Hafez, 2000). Letak saluran reproduksi yang dekat
dengan rektum dan dengan elastisitas rektum membuat operator dapat melakukan palpasi
organ reproduksi melalui dinding rektum dan mendeteksi beberapa karakteristik yang
berhubungan dengan adanya kebuntingan atau tidak (Bekele 2016). Prosedurnya palpasi
rektal dalam rangka pemeriksaan kebuntingan yang dilakukan selama pembelajaran Praktik
Kerja Lapangan Ternak Besar meliputi:
● Mengarahkan dan menahan keluhan sapi untuk menghindari dan mengurangi bahaya
pada petugas pemeriksa maupun sapinya
● Perhiasan seperti cincin, gelang, dan jam tangan dilepaskan terlebih dahulu dan kuku
tangan dipotong pendek agar tidak melukai rektum sapi
● Menggunakan rectal glove untuk meminimalkan terjadinya kontaminasi tangan
petugas PKB dengan mukosa rektum sapi

27
● Melumasi rectal glove dengan air sabun. Sabun yang dipilih memiliki sifat tidak
mengiritasi
● Tangan dikuncupkan lalu dimasukkan ke rektum sapi dan apabila terdapat feses yang
mengganggu jalannya palpasi, dapat dikeluarkan terlebih dulu.
● Setelah tangan masuk, tangan diteruskan hingga melampaui organ atau bentukan yang
ingin dipalpasi, lalu perlahan ditarik kembali untuk mengembalikan lipatan pada
rektum dan merelaksasi rektum. sembari melakukan palpasi pada organ maupun
bentukan pada organ reproduksi
● Palpasi rektal harus dilakukan dengan cepat agar tidak menimbulkan
ketidaknyamanan dan rasa sakit pada sapi.
Pemeriksaan dengan metode ini akan akurat apabila dilakukan pada usia kebuntingan
lebih dari 35 hari, yang mana kornua uteri akan mengalami sedikit pembesaran. Diagnosis
tidak adanya kebuntingan dapat ditentukan dengan pemeriksaan terhadap uterus, biasanya
setelah melakukan palpasi dan tidak ditemukan adanya tanda-tanda positif kebuntingan.
Tabel 2.1 Pemeriksaan Negatif Kebuntingan

Jenis sapi Limosin


Berat badan ±300kg
Umur sapi 2 tahun
Warna sapi Coklat
Umur -
Kebuntingan
Hasil Recording inseminasi buatan sebelumnya tidak diingat oleh
pemeriksaan peternak, hal ini menimbulkan kerancuan antara ada atau
tidaknya kebuntingan. Saat dilakukan palpasi rektal, terdapat
bentukan kantong kecil sehingga dapat diduga umur
kebuntingan 2 bulan, namun bentukan tersebut bisa jadi adalah
kandung kemih yang terisi urine. Saat dilakukan palpasi lagi, sapi
urinasi dan uterus semakin jelas teraba bahwa tidak ada
tanda-tanda positif kebuntingan

28
Dokumentasi

Pemeriksaan kebuntingan yang dilakukan selama Praktik Kerja Lapangan diduga sapi
yang diperiksa tidak sedang bunting sebab cervix teraba pada lantai pelvis dan kornua uteri
teraba kosong dengan ukuran yang relatif simetris. Tanda kebuntingan positif yang dapat
diperhatikan adalah adanya korpus luteum, fetus, kotiledon/karunkel, amnion, pembesaran
salah satu kornua uterus, dan fetal membrane slip (Hafez dan Hafez, 2000).

Pada pelaksanaan palpasi rektal, korpus luteum yang gagal mengalami regresi setelah
21 hari setelah inseminasi dapat dirasakan saat palpasi, hal ini mengindikasikan adanya
kemungkinan kebuntingan pada sapi. Akan tetapi prosedur pemeriksaan regresi korpus
luteum ini dapat menimbulkan kerancuan apabila ada korpus luteum persisten pada hewan
yang tidak bunting. Apabila melakukan palpasi amnion, akan terasa adanya kantung
membulat dan mengembang, dengan diameter 1-2cm yang mengambang pada cairan
allantois, namun teknik palpasi amnion dianggap berbahaya akibat adanya kemungkinan
ruptur pada kantung amnion atau kerusakan pada jantung embrio. Selanjutnya, pemeriksaan
kebuntingan dapat dilakukan dengan melakukan palapasi pada allantochorion atau membrane
slip yang memiliki strtuktur lembut dan menyelip di antara ibu jari dan jari pada saat
perabaan uterus dari dinding rektum. Pembesaran salah satu kornua uteri juga dapat menjadi
petunjuk adanya kebuntingan pada sapi dan dapat teraba seperti balon yang berisi air. Pada
banyak kasus, diagnosis adanya korpus luteum pada ovarium yang dekat dengan kornua uteri
yang membesar dapat menjadi tanda yang kuat akan adanya kebuntingan, namun diagnosa
yang salah dapat terjadi pada kasus-kasus pyometra, mucometra, atau involusi uteri yang
tidak sempurna. Pada usia kebuntingan 45-50 hari, kantung amnion akan menjadi kurang
29
mengembang dan hal ini memudahkan untuk mempalpasi fetus yang berkembang (Noakes, et
al., 2001).

Tabel 2.2 Pemeriksaan Kebuntingan Positif 9 Bulan

Jenis sapi Limousin


Berat badan ±300kg
Umur sapi 2 tahun
Warna sapi Coklat
Umur 9 bulan
Kebuntingan
Hasil Teraba kedua kaki fetus pada saat pemeriksaan kebuntingan,
pemeriksaan dan saat kaki dipegang fetus, terdapat Gerakan refleks menarik
dari fetus. Kaki fetus teraba hingga tulang tarsal/karpal
Dokumentasi

Tabel 2.3 Pemeriksaan Kebuntingan Positif 6 Bulan

Jenis sapi Simental


Berat badan ±300kg
Umur sapi 3 tahun
Warna sapi Coklat dan putih

30
Umur 6 bulan
Kebuntingan
Hasil Teraba bagian anterior fetus (kepala) yang berukuran kurang
pemeriksaan lebih sebesar telapak tangan orang dewasa
Dokumentasi

Pada umur kebuntingan bulan pertama, perkembangan uterus statis dengan korpus
luteum yang tumbuh pada satu ovarium. Pada bulan kedua, ada pembesaran kornua uterus
yang disebabkan oleh adanya cairan fetus. Dilanjut pada usia kebuntingan tiga bulan, uterus
mulai turun dan fetus sudah mulai teraba. Pada usia kebuntingan 4-7 bulan, uterus berada
pada dasar abdomen, fetus dapat sulit dipalpasi, kotiledon dapat dipalpasi dengan ukuran
sekitar 2-5cm, arteri uterina mediana mengalami hipertropi dan fremitus. Pada usia
kebuntingan 7 hingga menjelang kelahiran, kotiledon, fremitus, dan bagian dari fetus dapat
diraba (Hafez dan Hafez, 2000).

Gambar 2.1 gambaran organ reproduksi saat melakukan palpasi rektal

31
2.4.2 Inseminasi Buatan
2.4.2.1 Pengertian Umum (Pengertian, Tujuan, Keuntungan, Kerugian)
A. Pengertian Umum

Inseminasi buatan (IB) atau kawin buatan (artificial insemination), sering pula disebut
"kawin suntik" Oleh para peternak. Artificial artinya tiruan atau buatan, sedangkan
insemination berasal dari kata Latin, inseminatus. In sama dengan pemasukan atau
penyampaian deposisi. Seminatus berarti semen atau sperma (air mani), yaitu cairan yang
mengandung sel kelamin jantan atau sel sperma (disebut spermatozoon jika tunggal dan
spermatozoa jika jamak) yang diejakulasikan melalui penis pada waktu kopulasi atau Saat
penampungan sperma (Ismaya, 2014).

Inseminasi buatan didefinisikan sebagai suatu proses pemasukan atau deposisi sperma
atau air mani (semen) ke dalam saluran organ (alat) kelamin betina pada Saat berahi (estrus)
dengan menggunakan alat buatan manusia dan dilakukan oleh manusia. Pengertian sperma di
sini adalah hasil ejakulasi atau penampungan sperma dari ternak jantan yang sehat dan telah
dewasa. Penggunaan sperma dapat dalam bentuk segar, sperma cair (sperma yang telah
diencerkan), dan sperma beku (sperma cair yang telah ditambah krioprotektan/gliserol dan
dibekukan di dalam nitrogen cair pada suhu 196°C. Dalam praktiknya, pelaksanaan IB tidak
sesederhana seperti yang disebutkan di atas, tetapi jauh lebih kompleks yang meliputi: seleksi
pejantan unggul, pemeliharaan pejantan unggul, penampungan sperma, penilaian atau
evaluasi sperma, pengenceran sperma, penyimpanan sperma, pengangkutan sperma,
bimbingan dan penyuluhan kepada peternak, pelaksanaan inseminasi, catatan (recording), dan
evaluasi hasil inseminasinya (Ismaya, 2014).

Inseminasi buatan pada ternak sapi dan kerbau biasanya menggunakan teknik
rektovaginal (rectovaginal insemination atau rectocervical insemination). Dengan teknik ini,
IB dapat dilakukan dengan mudah, praktis, dan fertilitasnya tinggi, jika dibanding dengan
teknik yang lain, yaitu teknik vaginal insemination maupun cervical insemination. Dalam
pelaksanaan 1B diperlukan adanya catatan (recording), antara lain: tanggal perkawinan, nama
dan nomor identifikasi pejantan, gejala birahi ternak yang di-IB, letak deposisi sperma, dan
hasil pemeriksaan kebuntingan (PKB), serta tanggal kelahiran, jenis kelamin anak, dan
kondisi anak dan induknya (Ismaya, 2014).

32
Hasil IB secara nyata dapat dilihat pada keturunannya. Namun demikian, cara tersebut
memerlukan waktu yang lama karena harus menunggu kelahiran selama kurang lebih 9 bulan
pada sapi dan 10,5 bulan pada kerbau sejak perkawinan terakhir. Oleh karena itu, evaluasi
yang cepat dan lebih mudah dilakukan adalah dengan mengevaluasi hasil IB yang meliputi:

1. Angka inseminasi (service/conception, SIC), yaitujumlah inseminasi yang diperlukan


untuk mendapatkan konsepsi atau jumlah straw (sperma beku) yang telah digunakan
untuk 1B dibagi dengan ternak yang bunting.
2. Induk yang tidak minta kawin kembali (nonreturn rate, NRR), yaitu persentase induk
yang tidak minta kawin kembali atau jumlah induk yang tidak minta kawin kembali
(30-60 hari, 61—90 hari setelah perkawinan) dibagi dengan jumlah induk yang
dikawinkan lalu dikalikan 100%.
3. Angka konsepsi (conception rate), yaitu persentase konsepsi yang telah terjadi
berdasarkan pemeriksaan kebuntingan (PKB) melalui eksplorasi rektal atau jurnlah
induk yang bunting berdasarkan PKB melalui rektal dibagi dengan jumlah induk yang
dikawinkan lalu dikalikan 100%.
4. Angka kelahiran (calving rate), yaitu persentase anak yang dilahirkan dari induk yang
dikawinkan atau jumlah anak (pedet/belo) yang dilahirkan dibagi dengan jumlah
induk yang dikawinkan lalu dikalikan 100%.
5. Jarak beranak (calving interval), yaitu jumlah waktu yang diperlukan (hari) dari Saat
melahirkan sampai pada Saat melahirkan berikutnya.

Untuk memasyarakatkan 1B sebagai teknologi baru kepada masyarakat di pedesaan


khususnya, diperlukan bimbingan dan penyuluhan yang terus-menerus sehingga masyarakat
mengetahui secara langsung bahwa anak hasil IB adalah baik, sehat, lebih besar, cepat besar,
dan harganya lebih mahal, sehingga menguntungkan peternak. Dengan cara ini maka
masyarakat di pedesaan dapat menerima inovasi teknologi baru tersebut, dan Secara
bersama-sama serta dengan penuh kesadaran peternak akan minta sapi dan kerbaunya di-IB
sesuai dengan jenis bibit yang diinginkan (Ismaya, 2014).

B. Maksud dan Tujuan Inseminasi Buatan

Inseminasi buatan (IB) dimaksudkan untuk membantu para peternak memperoleh bibit
unggul dengan cara yang murah dan mudah sehingga peternak tidak perlu memelihara ternak
jantan sebagai pejantan, tetapi pemeliharaan pejantan dapat dialihkan untuk tujuan

33
penggemukan atau untuk ternak kerja. Di samping itu, dimaksudkan pula untuk
meningkatkan kemampuan reproduksi ternak melalui pencegahan penyakit kelamin
(Brucellosis, Vibriosis, Leptospirosis, Trichomoniasis) yang sering berkembang melalui
perkawinan secara alami. Dengan IB diharapkan ada peningkatan kualitas anak yang
dilahirkan, dengan berat lahir yang lebih besar, pertumbuhannya lebih cepat, dan harga
jualnya jauh lebih tinggi, sehingga menambah pendapatan peternak (Ismaya, 2014).

Adapun tujuan IB adalah untuk meningkatkan mutu genetik ternak sehingga diperoleh
ternak-ternak yang berkualitas dengan produktivitas yang tinggi (kenaikan berat badan,
produksi susu/daging) yang tinggi, atau mampu bekerja lebih lama dan lebih kuat (gerobak,
nggaru dan ngluku) dan tahan terhadap suatu penyakit. Di samping itu, bertujuan pula untuk
menyebarluaskan bibit unggul secara meluas ke pelosok desa. Lebih dari itu, tentu saja IB
dapat meningkatkan pendapatan petani-peternak, meningkatkan atau menghemat devisa
negara, dan memperluas kesempatan kerja (Ismaya, 2014).

C. Keuntungan Inseminasi Buatan

Bagi peternak, IB sangat menguntungkan karena tanpa memelihara pejantan unggul


dapat memperoleh bibit (sperma beku) yang unggul, sehingga menghasilkan keturunan yang
unggul. Di samping, itu mencegah meluasnya penyakit kelamin yang sering ditularkan
melalui perkawinan alami. Peternak memperoleh keturunan yang cepat besar di samping
tinggi produksinya (kenaikan berat badan dan produksi susu). Lebih dari itu, peternak juga
dapat memperoleh bibit yang mampu bekerja di sawah (membajak) lebih kuat untuk sapi dan
kerbau atau mampu lari dengan kencang untuk tujuan karapan di Madura dan pacuan kerbau
di Bali, karena peternak dapat memilih bibit yang sesuai dengan seleranya. Oleh karena itu,
dengan adanya program IB, peternak dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar dari
usaha peternakannya. Lebih dari itu, peternak juga diuntungkan dengan adanya program IB
tersebut, yakni dengan adanya pemeriksaan kebuntingan (PKB) oleh petugas dari dinas
peternakan setempat sehingga induk-induk yang mengalami gangguan reproduksi dapat
dicegah dan diobati sehingga efisiensi reproduksinya semakin haik (Ismaya, 2014).

Dengan IB maka penggunaan pejantan yang unggul dapat digunakan secara maksimal.
Sebagai gambaran, jika pejantan kawin secara alami, satu perkawinan alami hanya akan
menghasilkan satu keturunan karena pada sapi dan kerbau jarang melahirkan kembar. Namun
demikian, apabila dilakukan penampungan sperma sapi atau kerbau. Saat ejakulasi maka

34
dalam satu ejakulat dengan volume sperma 5 ml, dengan total konsentrasi spermatozoa hidup
tidak kurang dari 6,0 miliar. Apabila konsentrasi satu dosis sperma beku untuk sekali IB
mengandung 30 juta sel ml, berarti satu ejakulat (6 miliar sel sperma) dapat digunakan untuk
IB sebanyak 200 ekor sapi betina. Seekor pejantan di balai inseminasi buatan biasanya
ditampung sekali seminggu. Apabila dalam setahun dilakukan penampungan selama delapan
bulan, berarti seekor pejantan dapat menghasilkan tidak kurang dari 6.400 dosis sperma beku
setahun. Ini berarti dalam satu tahun seekor pejantan mampu menghasilkan sperma yang
dapat digunakan untuk perkawinan buatan sebanyak 6.400 kali. Apabila S/C = 2 sampai 3
maka dari 6.400 dosis tersebut akan menghasilkan anak tidak kurang dari 1.700 sampai 2.500
ekor/tahun (jika angka kematian anak mencapai 20%). Angka ini sangat tinggi jika dibanding
dengan kemampuan mengawini secara alami seekor pejantan dalam setahun hanya 70 sampai
80 kali atau hanya menghasilkan kurang lebih 75 ekor pedet, seandainya setiap kali
perkawinan mampu menghasilkan kebuntingan dan melahirkan anak (Ismaya, 2014).

Dengan IB maka potensi untuk meningkatkan seleksi terhadap pejantan dan


keturunannya sangat dimungkinkan sehingga kelak akan bermanfaat dalam meningkatkan
populasi sapi dan kerbau yang berkualitas. Pejantan yang unggul dengan fertilitas yang tinggi
dapat memperpendek jarak beranak (calving intenul) pada ternak sapi maupun pada kerbau,
sehingga efisiensi reproduksi dapat tercapai dan produktivitas ternak menjadi lebih tinggi
sehingga lebih menguntungkan bagi peternak karena pendapatannya meningkat (Ismaya,
2014).

Dengan adanya program IB maka proses bimbingan dan penyuluhan pada peternak
berjalan lebih baik. Oleh karena itu, peternak harus lebih memperhatikan ternaknya, baik
dalam hal pemberian pakan, mengamati gejala birahi dengan cermat, maupun memastikan
kapan peternak harus segera melaporkan kepada inseminator untuk mendapatkan layanan
kawin suntik. Lebih dari itu, peternak akan lebih serius menangani ternaknya dengan
menunjukkan catatan bahwa ternaknya semakin baik (Ismaya, 2014).

Perkawinan dengan IB tidak dibatasi oleh tempat dan waktu. Perkawinan dapat
dilakukan pada pagi, siang, sore, bahkan pada malam hari sesuai dengan kondisi optimal
keadaan berahi dan kesanggupan inseminator. Adapun tempat perkawinannya dapat
dilakukan di kandang kawin, di kandang ternak, atau di mana saja asal memungkinkan
dilakukannya kawin suntik. Di samping itu, IB mampu mengatasi kesulitan perkawinan

35
karena perbedaan besar tubuh atau berat tubuh yang relatif besar sehingga secara alami sulit
terjadi perkawinan. Apabila seekor pejantan unggul mengalami cedera kaki, hal tersebut tidak
menghalangi pejantan tersebut untuk tetap diambil spermanya, yaitu dengan menggunakan
elektroejakulator (Ismaya, 2014).

D. Kerugian Inseminasi Buatan

Apabila jumlah pejantan sedikit atau terbatas maka dimungkinkan dalam suatu daerah
bibit sperma beku (frozen semen) yang ada juga terbatas. Bila ini terjadi dalam waktu yang
lama, dapat menyebabkan terjadinya perkawinan keluarga atau inbreeding, sehingga
menyebabkan produktivitas ternaknya menurun. Namun, hal ini dapat diatasi dengan tata
laksana yang baik mengenai distribusi sperma beku ke daerah, misalnya setiap 2 tahun harus
ada pergantian bibit sperma beku dalam suatu daerah. Apabila sapi atau kerbau dara di-IB
dengan sperma dari bibit sapi yang bertubuh besar (secara genetik) maka sering terjadi
kesulitan beranak sehingga sebaiknya sapi atau kerbau dara dikawinkan dulu dengan pejantan
secara alami dengan jenis ternak yang sama atau di-IB dengan sperma beku dari jenis ternak
yang sama. Setelah beranak berikutnya dapat dikawinkan dengan jenis sapi atau kerbau yang
berbeda atau dari pejantan yang lebih besar (Ismaya, 2014).

Jika sperma tercemar dengan bibit penyakit kelamin, akan terjadi penyebaran penyakit
secara cepat dan meluas. Jika inseminator kurang terampil maka akan terjadi pengulangan IB.
Apabila inseminator kasar atau ceroboh dalam melakukan inseminasi dapat menyebabkan
Iuka pada bagian dalam alat reproduksi sapi atau kerbau sehingga dapat terjadi infeksi.
Gangguan pada alat reproduksi dapat menurunkan efisiensi reproduksi (Ismaya, 2014).

Pada kasus induk yang sudah bunting, tetapi masih menunjukkan gejala birahi, apabila
induk tersebut dikawin suntik pada bagian corpus uteri atau lebih dalam lagi dapat terjadi
abortus (abortion). Maka, pada induk-induk yang diduga sudah bunting, tapi masih
menunjukkan gejala berahi, sperma harus dideposisikan di bagian tengah serviks (mid cervix)
(Ismaya, 2014).

Dengan semakin berkembangnya peternakan sapi perah, sapi potong, kerbau, dan
ternak yang lain di Indonesia, maka semakin diperlukan inseminator yang banyak.
36
Inseminator-inseminator tersebut harus bermental baik dan bertanggung jawab dalam
melaksanakan tugasnya karena salah satu penyebab gagalnya perkawinan adalah inseminator
yang kurang terampil (Ismaya, 2014).

2.4.2.2 Pelaksanaan IB (Waktu, Tempat, Metode, dan Prosedur)


Waktu pelaksanaan inseminasi buatan yang paling baik yaitu dimulai pertengahan
estrus sampai dengan kurang lebih 6 jam setelah estrus berakhir. Waktu ovulasi sapi rata-rata
terjadi 12 jam setelah estrus berakhir. Pelaksanaan IB pada awal, pertengahan dan akhir masa
estrus sapi memberikan nilai angka kebuntingan (CR) 44%, 82%, dan 75% (Hardijanto, dkk.,
2010). Panjang siklus estrus normal pada sapi induk 21±3 hari dan sapi dara 20±3 hari. Sapi
mempunyai rerata lama estrus 12 jam dengan variasi normal antara 2-30 jam setelah
munculnya estrus. Panjang estrus post partus rata-rata selama 21-42 hari setelah beranak,
sedangkan siklus estrus yang fertile akan terjadi pada fase berikutnya. Fase silent ovulation
dikenal sebagai periode infertile (post partum anestrum). Fertilitas terbukti rendah pada estrus
pertama setelah beranak, terutama pada hewan-hewan yang masih muda. Pada sapi, fertilitas
maksimal akan tercapai 60-90 hari setelah beranak (Priyanto, 2021).

Periode estrus merupakan masa keinginan kawin yang memiliki manifestasi birahi
secara fisik. Sapi akan sering menguak dan biasanya tidak tenang, mengangkat tinggi
kepalanya, nafsu makan dan memamah biak menurun, vulva semakin membengkak dan
mukosa vulva bewarna merah tua, terlihat jelas pengeluaran lender transparan. Selama
periode ini folikel terus berkembang dengan cepat. Gejala fisik yang tampak dari luar dan
umum diketahui oleh peternak adalah 3A (Abang, Abuh dan Anget). Apabila sapi betina
tersebut dilepas, maka akan mencari pejantan untuk mengawininya dan akan menaiki sesame
betina. Sapi yang tepat pada periode birahi ini apabila dikumpulkan Bersama dengan sesame
betina akan memperlihatkan tingkah diam bila dinaiki (standing heat). Ekor biasanya
diangkat dan lender transparan menggantung di vulva atau terdapat pada ekor dan pantat.
Vulva tampak membengkak, lunak, oedematous dan mengendur. Sapi yang birahi terlihat
sering kencing. Lender birahi yang cukup banyak 50-100 ml yang terdapat di dalam vagina
berasal dari sel-sel selaput lender serviks di bawah pengaruh estrogen. Pada puncak birahi,
viskositas lender tersebut paling rendah dengan elastis pengalirannya paling tinggi. Os
servikalis eksterna berwarna merah muda, oedematous, agak mengendor dan membuka pada
waktu estrus. Variasi perubahan tersebut terlampau besar antara individu sapi sehingga cara
ini masih belum sepenuhnya efektif sebagai indikasi birahi (Hardijanto, dkk., 2010).
37
Deteksi estrus yang seharusnya mudah diamati oleh peternak, saat ini menjadi tidak
sederhana dan butuh pengamatan lebih lajut. Hal ini dikarenakan banyaknya kasus di
lapangan seperti delay ovulasi pada sapi-sapi crossbreed, delay pubertas yang menyebabkan
banyaknya kasus inbreeding dan pemberian pakan yang tidak terkontrol. Estrus bisa
dipastikan lebih lanjut dengan melihat status perkembangan folikelnya menggunakan USG
dan pintu serviksnya menggunakan mikro kamera (Priyanto, 2021).

Deteksi birahi juga bisa dilakukan dengan melakukan eksplorasi rektal dimana
perabaan organ reproduksi betina melalui dinding rectum oleh petugas inseminasi.
Pemeriksaan rektal selama birahi dan selama 1-2 hari sebelum dan sesudah birahi akan
menunjukkan uterus yang menengang, kaku dan agak oedematus karena rangsangan
estrogenic terhadap otot dan tenunan uterus. Hal ini sangat jelas terasa pada sapi dara.
Biasanya 1-5 folikel kecil mulai berkembang tetapi mengalami atresia selama estrus dan
sesudah ovulasi. Pada palpasi rektal sewaktu permulaan estrus, folikel memiliki diameter
kurang lebih 1,25 cm (Hardijanto, dkk., 2010).

Penumpahan semen di dalam corpus uteri menghasilkan nilai angka kebuntingan (CR)
kurang lebih 65,6%. Hal ini karena dapat menghemat energi spermatozoa sehingga
mempunyai peluang mencapai tuba falopii lebih cepat. Segi negativenya yaitu bila sapi betina
yang di IB ternyata bunting dan kebetulan menunjukkan gejala birahi, maka mengakibatkan
abortus. Kurang lebih 3-6% sapi-sapi betina yang sedang bunting muda akan mengalami
gejala birahi (Hardijanto, dkk., 2010).

Penumpahan semen bisa dilakukan pada tiga tempat diantaranya serviks uteri, corpus
uteri dan cornua uteri. Perbedaan hasil dari ketiga cara tersebut tidak nyata, tetapi lebih
dianjurkan untuk menyemprotkan semen pada canalis cervikalis dengan pertimbangan
dinding serviks lebih tebal dari dinding uterus sehingga mengurangi resiko terlukanya
dinding uterus oleh ujung gun, mengurangi resiko terjadinya abortus pada sapi yang bunting
tetapi tetap menunjukkan gejala birahi, canalis cervikalis merupakan media yang paling
cocok bagi spermatozoa, menghindari infeksi dari agen infeksius yang terbawa oleh sperma.
Deposisi semen yang berjumlah sedikit melalui insemination gun harus dilakukan beberapa
milimeter dari ujung dalam serviks pada pangkal corpus uteri. Lipatan anuler transversal
serviks dapat menjadi penghalang mekanik terhadap spermatozoa yang bergerak maju ke
uterus. Lipatan tersebut berjumlah 3 buah. Apabila lipatan dinyatakan sebagai posisi 1-3

38
dihitung dari os cervicalis externa, dan pangkal corpus uteri sebagai posisi keempat, maka
tempat deposisi semen yang terbaik adalah posisi keempat (VanDemark and Moller, 1950).

Pelaksanaan IB yang sering digunakan yaitu dengan cara recto-vaginal dengan diawali
pemeriksaan rektal untuk memastikan sapi tersebut buntng atau tidak dan sekaligus
memeriksa intensitas birahinya. Prosedur pelaksanaan IB diawali dengan pencairan semen
beku (thawing). Straw yang berada di dalam container diambil dengan cara membuka tutup
container, kemudian memilih straw yang ingin di pakai menggunakan pinset. Setelah itu
straw dimasukkan pada air bersuhu 35-38°C selama 30 detik dan menutup Kembali container.
Setelah thawing cukup, straw diambil, dibersihkan dan dikeringkan. Perlu dicatat tanda-tanda
serta nomor straw yang ada didalam plastik straw. Pegang straw secara vertikal pada penutup
laoratariumnya. Pada penutup pabrik, dimasukan ke dalam insemination gun sejauh yang
dapat dicapai. Pegang insemination gun tetap dalam posisi vertikal. Gunting tutup
laboratarium diatas permukaan semen yang ada gelembung udaranya, sehingga tersisa 25
sentimeter straw tetap menonjol keluar. Straw memiliki dua tutup yaitu : 1. Tutup straw
pabrik (factory plug) yaitu tutup straw yang dibuat di pabrik, biasanya terdiri 3 bagian yaitu
atas: tali tutup sintetis; tengah: tepung polyvinyl alkohol dan bawah: tali tutup sintetis. Tutup
ini menyumbat salah satu ujung straw. 2. Tutup straw laboratorium (laboratory plug) adalah
tutup straw yang dipasang setelah pengisian semen, yang terbuat dari bahan tepung sintetis
yang dikeraskan. Ambil plastik sheat yang masih bersih. Lewat pangkal plastik sheat
diselubungkan pada inseination gun yang sudah berisi straw, kemudian di kunci. Doronglah
stick dengan perlahan-lahan sampai semen sedikit tersembur keluar. Dengan demikian
insemination gun siap dipakai. Inseminasi dilakukan dengan Dengan tangan kanan
memegang insemination gun tangan kiri yang bersarung tangan dimasukan kedalam rektum.
Mula-mula pungung tangan kiri diberi pelicin lalu ujung kelima jari di tutup rapat, sehingga
sewaktu di masukan ke rectum, berikut pula udara yang berada dibelakang ujung jari. Udara
ini akan merangsang rektum sehingga sapi berusaha mengeluarkan kotoran dari rektum
dengan sendirinya. Jika hal tersebut gagal maka inseminator harus mengeluarkan feses
terlebih dahulu sampai bersih. Ujung insemination gun di masukan ke vagina didorong terus
dengan miring ke atas membentuk sudut 45° supaya ujung insemination gun tidak terhalang
oleh verticulum sub uretra. Tangan kiri di masukan ke dalam rektum untuk memfiksir
serviks. Kadang – kadang di dalam vulva terdapat lipatan yang dapat menghalangi ujung
insemination gun. Ini dapat dihindari dengan mendorong serviks yang telah dipegang dengan

39
tangan kiri ke arah cranial. Yang mengatur jalannya insemination gun adalah tangan kiri dan
diusahkan masuk ke mulut serviks atau canalis cervicalis atau uterus. Bila ujungnya
insemination gun telah masuk serviks uteri, maka tangan kanan menyemprotkan semen.
Setelah itu mengeluarkan pipet plastic dari alat kelamin dan tangan yang masih berada dalam
rectum memassage serviks untuk merangsang kontraksi uterus. Metode rectovaginal ini
sangat mudah dan murah, sehingga dapat di gunakan pada peternak sapi yang besar. Sering
seorang inseminator memegang pangkal ekor sapi. Hal ini harus dihindari karena dari ekor
tersebut biasanya terdapat ekskresi alat kelamin yang sering di tulari oleh kuman-kuman
(Hardijanto, dkk., 2010).

2.4.2.3 Kemungkinan Kegagalan IB


Faktor keberhasilan IB dipengaruhi oleh pengetahuan peternak dalam gejala berahi,
pelaksanaan IB, pengalaman inseminator, dan kualitas spermatozoa (Toelihere, 1997).
Menurut Hoesni (2015), faktor-faktor yang memengaruhi IB adalah fertilitas, keterampilan
inseminator, deteksi berahi, waktu inseminasi, jumlah spermatozoa, dosis inseminasi dan
komposisi semen serta beberapa hal yang dapat mempengaruhi IB adalah kondisi ternak,
tingkat pendidikan peternak, pengalaman melahirkan untuk sapi, kualitas sperma yang baik
dan tenaga inseminator yang berpengalaman. Salah satu kunci keberhasilan IB adalah sapi
dipelihara secara intensif dengan cara dikandangkan. Hal ini akan memudahkan dalam
deteksi berahi serta memudahkan petugas untuk melaksanakan IB (Ihsan, 2010).

2.4.2.4 Penerapan IB di Lapangan


Contoh pelayanan IB yang dilakukan pada kegiatan PKL ini yaitu :

Anamnesa Sapi mengalami gejala birahi seperti sering


berteriak, gelisah, nafsu makan menurun,
majang, keluar lender bening pada vulva atau
sering disebut pela-pelo.

Signalmen

Jenis hewan Sapi


Ras Limousin
Warna rambut Merah kecoklatan
Jenis kelamin Betina

40
Suhu 38,8ºC
Umur ± 1 tahun (dara)
BCS 3
Frekuensi jantung 80/menit
Frekuensi nafas 30/menit
Temuan klinis Mukosa vulva membengkak dan hiperemi,
terdapat cairan kental bewarna transparan yang
mulai mengering di luar vulva
Hasik pemeriksaan Terasa cornua uteri yang masih simetris dan tidak
per-rectal ada tanda-tanda bahwa sapi tersebut bunting
Tgl IB Rabu, 9 Juni 2021
Jenis straw Straw merah muda (Limousin)

Pelaksanaan IB dilakukan pada saat akhir masa estrus dengan ditandai hanya sedikit
leleran cairan serviks (pela-pelo) bewarna transparan yang keluar dan mulai mengering.
Deposisi semen dilakukan pada pintu ke empat yaitu setelah melewati cincin serviks ke tiga
atau pangkal dari corpus uteri. Semen indukan limousine dipilih untuk sapi dara dengan
pertimbangan ukuran anak yang dihasilkan tidak terlalu besar dan diharapkan cocok untuk
kondisi alat reproduksi sapi dara. Sapi betina dengan BCS 3 menunjukkan kondisi tubuh yang
siap untuk diberikan IB karena nutrisi tubuh terpenuhi dan menghasilkan kondisi reproduksi
sapi bagus. Hal ini dibuktikan dengan hasil palpasi rektal organ reproduksi sapi betina yang
menunjukkan keadaan ovarium yang bagus tidak ada kelainan seperti hipofungsi ovari.
Pelaksanaan IB dilakukan oleh dokter hewan berkompeten sesuai dengan ketentuan
pelaksanaan IB.

Dokumentasi pelaksanaan IB:

41
Gambar 2.2 A. Proses thawing semen beku dan mempersiapkan IB gun. B. Proses
pelaksanaan inseminasi buatan.

BAB 3 PEMBAHASAN KASUS


3.1 Tabel Kegiatan dan Kasus Perkecamatan
3.1.1 Purwoasri
No. Tanggal Dokter Hewan Pemb. Lapangan Kegiatan
1. 7 Juni 2021 drh. Sekar Sulistyo Diskusi
2. 8 Juni 2021 drh. Sekar Sulistyo Diskusi
BEF
3. 9 Juni 2021 drh. Sekar Sulistyo Scabies Sapi
IB
4. 10 Juni 2021 drh. Sekar Sulistyo Diskusi
5. 11 Juni 2021 drh. Sekar Sulistyo Diskusi
Hipofungsi Ovari
Helminthiasis
6. 14 Juni 2021 drh. Sekar Sulistyo
IB
PKB
42
7. 15 Juni 2021 drh. Sekar Sulistyo Diskusi
Kunjungan Pabrik
Biogas
8. 16 Juni 2021 drh. Sekar Sulistyo BEF
Hipofungsi Ovari
PKB
Prolaps Uteri
9. 17 Juni 2021 drh. Sekar Sulistyo PKB
IB
10. 18 Juni 2021 drh. Sekar Sulistyo Diskusi
PKB
IB
11. 21 Juni 2021 drh. Sekar Sulistyo
Suntik Kesehatan
Sapi
Lepas Jahit Prolaps
Uteri
12. 22 Juni 2021 drh. Sekar Sulistyo
IB
Helminthiasis
13. 23 Juni 2021 drh. Sekar Sulistyo Diskusi
14. 24 Juni 2021 drh. Sekar Sulistyo Diskusi

3.1.2 Kunjang
Tanggal Dokter Hewan Pembimbing Lapangan Kegiatan

7 Juni 2021 Drh. Eko Purwono Pemeriksaan


Kebuntingan
Inseminasi Buatan

Laminitis Pada Sapi

Malnutrisi Pedet

8 Juni 2021 Drh. Eko Purwono Bovine Ephermeral


Fever
Pemeriksaan
Kebuntingan
Inseminasi Buatan

43
9 Juni 2021 Drh. Eko Purwono Inseminasi Buatan

Pemeriksaan
Kebuntingan
10 Juni 2021 Drh. Eko Purwono Pemeriksaan
Kebuntingan pada sapi
Inseminasi buatan
pada sapi
11 Juni 2021 Drh. Eko Purwono Fetal death pada sapi
dara
Rapat SPIB Papar

14 Juni 2021 Drh. Eko Purwono Inseminasi Buatan


Pemeriksaan
Kebuntingan
15 Juni 2021 Drh. Eko Purwono Prolapsus Vagina
Pemeriksaan
Kebuntingan usia
kebuntingan 9 bulan
Malnutrisi
Inseminasi Buatan
16 Juni 2021 Drh. Eko Purwono Inseminasi Buatan
Pemeriksaan
Kebuntingan
Glaucoma
Retensio
Sekundinariumm
17 – 18 Juni 2021 Drh. Eko Purwono Pemeriksaan
Kebuntingan
Inseminasi Buatan

19 Juni 2021 Retensio


sekundinarium
Pemeriksaan
Kebuntingan
21 Juni 2021 Drh. Eko Purwono Pemeriksaan
Kebuntingan 9 bulan
Inseminasi Buatan
Perawatan Post
Prolapsus Uteri
22 Juni 2021 Drh. Eko Purwono Inseminasi Buatan
44
Pemeriksaan
Kebuntingan 6 bulan
Helminthiasis
Metestrus
23 Juni 2021 Drh. Eko Purwono Inseminasi Buatan
Retensio
Sekundinarium
Suspect Babesiosis
Myasis Cutaneus
Helminthiasis

3.1.3 Kepung
Tanggal Dokter Hewan Pembimbing Lapangan Kegiatan

7 Juni 2021 Drh. Lilik Sugiarti Penanganan kasus


Bovine Ephemeral
Fever (BEF) pada sapi
Penanganan Abses
pada Lutut sapi
Penangan Retensio
sekundinae pada sapi
perah
Penanganan pedet
dehidrasi
Pemeriksaan
kebuntingan pada sapi
Penanganan kasus
infeksi preputium
pada pedet
Penanganan kasus
ektoparasit pada sapi
8 Juni 2021 Drh. Lilik Sugiarti Penangan kasus
helminthiasis pada
sapi
Malnutrisi pada pedet

Penanganan Red
Water Disease pada
sapi

45
Penanganan Retensio
Sekundinae pada sapi
Penanganan
ektoparasit pada sapi
9 Juni 2021 Drh. Lilik Sugiarti Pemeriksaan
hipofungsi ovarium
pada sapi
Penanganan Distokia
pada sapi
Penanganan
Clostridium tetany
pada kambing
Penanganan diare
pada kambing
Penanganan malnutrisi
pada pedet
10 Juni 2021 Drh. Lilik Sugiarti Pemeriksaan
Kebuntingan pada sapi
Hipofungsi ovari pada
sapi
Distokia maternal
pada kambing
Laminitis pada sapi

Malnutrisi pada sapi

12 Juni 2021 Drh. Lilik Sugiarti Helminthiasis pada


sapi
Hernia umbilicalis
pada pedet
Laminitis pada sapi

Hipocalcemia pada
kambing post partus
Pemeriksaan
kebuntingan pada sapi
Nafsu makan menurun
pada sapi

46
Retensio plasenta
pada sapi
Keratokonjungtivitis
pada sapi
14 Juni 2021 Drh. Lilik Sugiarti Retensio Sekundinae
Perawatan post partus

Bovine Ephemeral
Fever (BEF)
Pemeriksaan
Kebuntingan
Perawatan kambing
post partus
Kambing keseleo
Sapi laminitis
15 Juni 2021 Drh. Lilik Sugiarti Bovine Ephemeral
Fever (BEF)
Abses pada kaki
Retensio Sekundinae
Perawatan Kambing
post partus
laminitis
16 Juni 2021 Drh. Lilik Sugiarti Sapi demam
Abses pada saluran
telinga sapi
mastitis
Pericarditis traumatica
Retensio Sekundinae
Investasi ektoparasit
pada sapi
17 Juni 2021 Drh. Lilik Sugiarti Helminthiasis
Nafsu makan menurun

19 Juni 2021 Drh. Lilik Sugiarti Distokia dan torsio


uteri pada kambing
Papilloma
Pododermatitis
Abses
Ektoparasit
Nafsu makan menurun
47
21 Juni 2021 Drh. Lilik Sugiarti Penanganan kasus
parasit darah pada
sapi
Penanganan kasus
Endometritis pada sapi
Penanganan kasus
malnutrisi pada sapi
Penanganan kasus
cacingan pada sapi
Penanganan kasus
pedet yang diduga
terkena virus
Penanganan kasus BEF
pada pedet
22 Juni 2022 Drh. Lilik Sugiarti Penanganan kasus
parasit darah pada
sapi
Penanganan kasus
Keratokonjungtivitis
pada pedet

3.2 Pembahasan Kasus Yang di Temui


3.2.1 Scabiosis pada Sapi
Anamnesa Nafsu makan menurun, sapi menggosokkan bagian punggung
pada dinding sekitar kandang, menggerak-gerakan kepala
kearah belakang, serta mengibaskan ekor kearah badan yang
terdapat lesi.
Signalmen:
- Jenis Hewan Sapi

- Ras Peagon

- Warna Rambut Coklat Kehitaman

- Jenis Kelamin Jantan

- BB dan Usia 500 Kg

- Temperatur 38,5℃

- Pulsus 80/menit

48
- Respirasi 28/menit

- Riwayat Obat Tidak ada

3.2.1.1 Etiologi
Scabies merupakan suatu kondisi penyakit pada kulit yang dapat terjadi pada manusia
maupun hewan. Penyakit ini disebabkan oleh parasite tungau dari spesies Sarcoptes scabiei.
Dapat menularkan dari hewan ke hewan maupun hewan ke manusia begitu pula sebaliknya.
Parasite ini termasuk ke dalam arthropoda dalam family sarcoptidae. Tungau berwarna putih
krem dan berbentuk oval yang cembung pada bagian dorsal dan pipih pada bagian ventralnya.
Terdapat enam genus tungau yang ditemukan pada mamalia yang menyebabkan penyakit ini
diantaranta Cnemidocoptes, Chorioptes, Psoroptes, Sarcoptes, Notoedres, dan Otodectes.
Namun yang memiliki jangkauan untuk menginfeksi atau menyebabkan penyakit paling luas
adalah genus Sarcoptes (Currier et al., 2012; Pudjiatmoko dkk., 2014).

Gambar 3.1 Sarcoptes scabiei (Pudjiatmoko dkk., 2014)

3.2.1.2 Gejala Klinis


Perjalanan penyakit ini memiliki masa inkubasi yang bervariasi pada masing-masing
hewan, yaitu berkisar 10-42 hari. Dimana pada awal infeksi dari parasite akan menyebabkan
kulit mengalami erythema atau kemerahan. Selanjutnya kemerahan tersebut akan membentuk
papula dan vesikula kemudian disertai adanya peradangan yang terjadi akan diikuti dengan
pembentukan eksudat karena adanya iritasi. Oleh karena hal tersebut hewan akan
menunjukkan kelakuan gelisah atau tidak tenang karena rasa gatal yang disebabkan oleh
infeksi parasite. Rasa gatal akan menggiring hewan untuk menggosokan bagian tubuh yang
49
gatal tersebut pada dinding kandang dan pergesekan tersebut akan menyebabkan luka yang
semula papula dan vesikula akan mengalami perdarahan dan eksudat yang mengendap pada
kulit pada akhirnya akan membentuk keropeng atau kerak. Nafsu makan sapi akan terganggu
yang menyebabkan sapi mengalami kekurusan dan apabila tidak ditangani dengan baik akan
dapat mati karena kurang gizi. Selain itu apabila pengobatan tidak dilakukan secara tuntas
akan menyebabkan terjadinya infeksi sekunder (Pudjiatmoko dkk., 2014).

Pada sapi ini mengalami gejala klinis penurunan nafsu makan, terdapat lesi berupa
keropeng yang merupakan eksudat yang sudah mongering, sapi terus merasa gelisah akibat
rasa gatal yang ditimbulkan oleh parasite pada kulit serta terdapat bagian kulit yang
mengalami erythema.

3.2.1.3 Pathogenesis
Penularan awal terjadi secara kontak langsung pada hewan penderita. Infestasi dari
parasite tersebut berawal dengan tungau betina aktif membuat liang pada bagian epidermis
kulit, kemudian betina sarcoptes meletakan telurnya. Telur tersebut akan menetas dalam 3-4
hari setelahnya berubah menjadi larva berkaki 6. Selanjutnya larva tersebut akan berkembang
menjadi nimfa stadium I dan II yang berkaki 8. Tungau akan berkembang menjadi dewasa
dan berkembang biak kembali dalam waktu 2-4 hari. Akibat yang ditimbulkan dengan adanya
parasite pada bagian epidermis kulit akan menumbulkan pruritus atau rasa gatal pada bagian
tersebut. Kulit akan mengalami erythema kemudian akan berlanjut dengan terbentuknya
papula, vesikula dan terjadi peradangan yang membentuk keropeng dan eksudat karena
adanya iritasi. Luka terbuka pada kulit ditimbulkan akibat sapi menggesekan tubuhkan
dengan lungkungan sekitarnya hingga terjadi luka dan perdarahan. Eksudat akan mengendap
dan membentuk keropeng (Pudjiatmoko dkk., 2014; Currier et al., 2012).

3.2.1.4 Diagnosis
Diagnosa penyakit dapat dilakukan dengan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
pada keropeng kulit. Kerokan keropeng kulit diletakkan pada object glass kemudian ditetesi
dengan larutan KOH 10% dan ditutup dengan cover glass. Setelah itu dilakukan pemeriksaan
secara mikroskopis untuk melihat adanya parasite Sarcoptes scabiei (Pudjiatmoko dkk.,
2014).

50
Selanjutnya dapat dilakukan diagnose menggunakan tes tinta pada terowongan melalui
papula yang terdapat pada permukaan kulit, dan dapat dilakukan juga dengan teknik ELISA
untuk mendeteksi antibody dari parasite Sarcooptes scabiei (Pudjiatmoko dkk., 2014)

3.2.1.5 Diagnosa Banding


- Dermatitis oleh jamur

3.2.1.6 Prognosis
Berdasarkan lesi yang terdapat pada bagian cervical dan dorsal dari sapi lesi tersebut
tergolong belum terlalu parah, sehingga prognosa dari penyakit ini adalah fausta.

3.2.1.7 Terapi
Penangan pasien penderita scabies dapat dilakukan secara langdung mengenai kulit
(secara topical), oral dan parenteral. Obat yang biasanya diberikan dalam penanganan scabies
secara topical adalah pemberian larutan Benzena hexa chloride 1% dengan kadar serbuk BHC
0,625%, Emulsi Benzyl benzoate 25%, Lindane 20%, malathion dan phoxim (Pudjiatmoko
dkk., 2014). Sebelum diberikan obat secara topical terlebih dahulu keropeng dibersihkan
dengan cara scraping karena parasite Sarcoptes scabiei terletak didalam lapisan kulit,
sehingga penetrasi obat akan lebih baik apabila keropeng dibersihkan terlebih dahulu. Selain
itu dapat diberikan pengobatan secara sistemik salah satu obat yang cukup ampuh adalah
Ivermectin yang diberikan secara subcutan dengan dosis 200 mg/KgBB.

Di lapangan pengobatan dilakukan dengan memberikan injeksi obat Wormectin yang


mengandung 22, 23-dihydroavermectin B1a dan 22,23-dihydroavermectin B1b 1% yang
diinjeksikan secara subcutan dengan dosis pada sapi 1ml/50 kg BB. Selain itu obat topical
yang diberikan yaitu kudix spay yang berisi Neomycin sulphate dan Ampicillin/Amoxycilin.

3.2.1.8 Edukasi Peternak


Peternak disarankan untuk membersihkan kandang secara rutin, kemudian
membersihkan tubuh sapi paling sedikit sehari sekali, serta menjaga sanitasi dari kandang.

51
3.2.1.9 Dokumentasi

3.2.2 Bovine Ephermeral Fever


Anamnesa Sapi dilaporkan adanya penurunan nafsu makan, kepincangan
saat berjalan, dan leleran pada hidung
Signalmen:
- Jenis Hewan Sapi

- Ras Simental

- Warna Rambut Coklat dan Putih

- Jenis Kelamin Jantan

- BB dan Usia 300 Kg dan usia 2,5 tahun

- Temperatur 40,5℃

- Pulsus 80/menit

- Respirasi 27/menit

52
- Riwayat Obat Tidak ada

3.2.2.1 Etiologi
Bovine Ephemeral Fever (BEF) adalah suatu penyakit viral pada sapi yang ditularkan
oleh serangga (arthropod borne viral disease), bersifat benign non contagius, yang ditandai
dengan demam mendadak dan kaku pada persendian. Penyebab BEF merupakan virus
Double Stranded Ribonucleic Acid (ds-RNA), memiliki amplop, berbentuk peluru dengan
ukuran 80 x 120 x 140 nm yang mempunyai tonjolan pada amplopnya. Virus BEF diklasifi
kasikan sebagai Rhabdovirus dari famili Rhabdoviridae, dan masih satu kelompok dengan
virus rabies dan vesicular stomatitis. Strain (galur) yang ada memiliki kesamaan secara
antigenik, tetapi berbeda dalam hal virulensi (Kementrian Pertanian, 2014).

3.2.2.2 Gejala Klinis


Gejala awal yang muncul adalah demam tinggi secara mendadak (40,5 – 41°C), nafsu
makan hilang, peningkatan pernafasan dan kesulitan bernafas (dyspneu), diikuti dengan
keluarnya Ieleran hidung dan mata (lakrimasi) yang bersifat serous. Jalan kaku dan pincang
karena rasa sakit yang sangat, kemudian dapat terjadi kelumpuhan dan kesakitan pada kaki,
otot gemetar serta lemah. Kekakuan mulai dari satu kaki ke kaki yang lain, sehingga hewan
tidak dapat berdiri selama 3 hari atau lebih. Leher dan punggung mengalami pembengkakan.
Produksi susu menurun dengan tajam. Kadang-kadang pada tahap akhir kebuntingan diikuti
adanya keguguran. Gambaran darah dalam fase demam menunjukkan adanya kenaikan
jumlah neutrophil dan penurunan limfosit. Biasanya dijumpai lekositosis pada awal penyakit,
kemudian diikuti dengan leukopenia (Kementerian Pertanian, 2014).

3.2.2.3 Pathogenesis
Penyakit BEF bersifat sporadik. Masa inkubasi penyakit berkisar antara 2-10 hari dan
kebanyakan penderita menunjukkan gejala dalam waktu 2-4 hari. Angka morbiditas biasanya
tinggi, tetapi angka mortalitas rendah (2-5%). Gejala klinis bervariasi dan bahkan tidak
semua sapi atau kerbau yang terinfeksi menunjukkan tanda klinik. Di daerah endemik BEF
dapat menginfeksi sapi-sapi muda setelah antibodi maternal habis atau hilang, yaitu pada
umur 3 - 6 bulan. Di daerah non endemik sapi semua umur sangat rentan terhadap BEF
(Kementrian Pertanian, 2014).

53
Nyamuk dari golongan Culicoides sp., Aedes sp. dan Culex sp. Dapat bertindak sebagai
vektor penyakit. Kejadian penyakit biasanya pada musim hujan, di mana banyak ditemukan
serangga. Penyakit dipindahkan dari sapi sakit ke sapi sehat melalui gigitan serangga.
Penularan secara langsung belum pernah dilaporkan. Secara buatan penyakit dapat ditularkan
dengan menyuntikkan 0,002 ml darah sapi sakit yang sedang menunjukkan gejala demam,
secara intravena (Kementrian Pertanian, 2014).

Pada persendian sapi yang diserang BEF banyak ditemukan penimbunan cairan keruh
kekuningan yang segera membeku apabila kapsul persendian dibuka. Jumlah cairan yang
berlebih dalam rongga badan dan kantong perikard, bendungan selaput lendir abomasum,
nekrosis fokal pada otot kerangka dan kulit. Seringkali ditemukan pembengkakan
limfoglandula, emfi sema pulmonum dan bronchitis (Kementrian Pertanian, 2014).

3.2.2.4 Diagnosa
Diagnosa penyakit dapat didasarkan atas gejala klinis, isolasi dan identifi kasi virus.
Secara serologi antibodi dapat dideteksi dengan CFT (complement fixation test), serum
neutralization test (SNT), Agar Gel Precipitation Test (AGPT) dan enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA) yang diambil pada saat kondisi akut dan konvalesen. Secara
molekuler virus BEF dapat didiagnosa dengan Polymerase Chain Reaction (PCR), dot blot
hybridization dan sequencing.

3.2.2.5 Diagnosa Banding


Seringkali BEF dikelirukan dengan infeksi Septicaemia Epizootica (SE), Surra,
Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), virus Parainfl uenza-3, virus respiratory syncytial
dan bovine adenovirus.

3.2.2.6 Prognosis
Berdasarkan gejala klinis yang terlihat pada sapi tersebut dapat disimpulkan bahwa
penyakit tidak terlalu parah sehingga prognosa dari penyakit ini adalah fausta.

3.2.2.7 Terapi
Pemberian antibiotika berspektrum luas dianjurkan untuk mencegah infeksi sekunder
dan multi vitamin untuk mengatasi adanya stress (Kementerian Pertanian, 2014).

54
Terapi yang diberikan untuk kasus ini adalah Vetadryl® Inj. sebanyak 12 ml secara
intramuscular, Analdon® Inj. sebanyak 5 ml secara intramuscular, dan Biodin® sebanyak 15
ml secara intramuscular.

3.2.2.8 Edukasi Peternak


Peternak disarankan untuk memerhatikan peranan serangga pengisap darah yang
diduga memegang peranan dalam penyebaran penyakit dan pemakaian insektisida untuk
membunuh serangga di sekitar daerah terjangkit dan mengisolasi hewan sakit.

3.2.2.9 Dokumentasi

Kondisi Sapi dan Kandang Hasil Pemeriksaan Suhu

Salah Satu Kaki Sedikit Diangkat dan Pemberian Terapi


Pincang saat Berjalan

55
3.2.3 Laminitis
Anamnesa Sapi dilaporkan dengan adanya penurunan nafsu makan dan
pincang saat berjalan, ketika disentuh kakinya sapi merasa
kesakitan
Signalmen:
- Jenis Hewan Sapi

- Ras Simental

- Warna Rambut Coklat dan Putih

- Jenis Kelamin Jantan

- BB dan Usia 2 tahun 400 kg

- Temperatur 38,7℃

- Pulsus 78/menit

- Respirasi 30/menit

- Riwayat Obat Tidak ada

3.2.3.1 Etiologi
Laminitis merupakan peradangan lamina dinding kuku pada hewan ternak, dapat terjadi
pada sapi, domba, ataupun kambing. Laminitis sering menimbulkan rasa tidak nyaman dan
sakit pada lamina kuku, kepincangan, perubahan struktur kuku, penurunan produksi susu, dan
reproduksi. Penyebab dari laminitis ini erat kaitannya dengan keadaan asidosis pada rumen
akibat meningkatnya konsumsi pakan tinggi karbohidrat. Selain itu laminitis dapat
disebabkan oleh trauma pada kuku, gangguan nutrisi, teknik pemotongan kuku yang salah,
gangguan hormonal, gangguan vaskularisasi darah ke daerah kaki, infeksi sistemik atau
kondisi yang menyebabkan endotoksin misalnya mastitis, dapat pula disebabkan karena
endometritis yang terjadi pasca melahirkan. Manajemen pemeliharaan yang buruk
merupakan faktor penting yang dapat menimbulkan kasus laminitis tersebut (Aiello et al.,
2000).

56
3.2.3.2 Gejala Klinis
Sapi yang terkena laminitis lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berbaring dan
punggung akan melengkung ketika kaki ditempatkan dibawah lebih dari blasanya.
Kadang-kadang berdiri dengan kaki depan menyilang. Kebengkakan dan pelunakan terjadi di
atas coronet dan di atas bantalan tumit. Distensi vena pada bagian kaki bawah sehingga
pulsus digital dapat dipalpasi. Kuku pada bagian solar menjadi lunak, ulcer, benvarna kuning
seperti lilin dan berminyak serta hemorhagi dan memar sering terjadi dibawah solar. Berjalan
pada carpus dan selalu menunduk (praying position). Kesakitan pada solar saat dilakukan tes
kuku. Hewan pincang secara kronis. Bentuk laminitis kronis yaitu ulcer dan abses pada
daerah solar, erosi tumit daerah solar ganda serta perubahan pada bentuk kuku (Aiello et al.,
2000).

3.2.3.3 Pathogenesis
Laminitis dapat disebabkan oleh manajemen pemeliharaan ternak yang kurang baik,
seperti komposisi pakan dan keseimbangan pakan antara konsentrat dan serat untuk
meningkatkan proses ruminansi. Ketidakseimbangan antara konsentrat dan serat dapat
menimbulkan asidosis rumen, ketosis, dan endotoksemia.

Asidosis rumen menyebabkan menurunnya pH sistemik yang dapat mengaktifkan


mekanisme vasoaktif sehingga terjadi peningkatan pulsus dan aliran darah keseluruh tubuh.
Asidosis juga akan memicu keluarnya histamin sebagai reaksi adanya perubahan,
ketidakseimbangan, dan penyakit, yang pada akhirnya akan menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah. Vasokonstriksi pembuluh darah ini akan mengakibatkan tekanan pada
daerah kuku dan kaki hewan ternak sebagai penyangga berat badan. Pada akhirnya peredaran
darah di kuku akan semakin berkurang dan berhenti sehingga akan terjadi hypoxia
(kekurangan oksigen) selanjutnya akan menimbulkan necrosis pada bagian teracak (Aiello et
al., 2000).

3.2.3.4 Diagnosa
Diagnosa Laminitis berdasarkan anamnesa, gejala klinis, dan melihat reaksi sapi ketika
kaki diangkat dan diketok-ketok pada bagian kuku.

3.2.3.5 Diagnosa Banding


Laminitis dapat dikelirukan dengan keadaan pododermatitis.

57
3.2.3.6 Prognosis
Berdasarkan gejala klinis yang terlihat pada sapi tersebut dapat disimpulkan bahwa
penyakit tidak terlalu parah sehingga prognosa dari penyakit ini adalah fausta.

3.2.3.7 Terapi
Terapi pada kasus Laminitis adalah :

● Penggunaan phenilbutazon, mineral oil dan methionine


● Teknik makan yang mengurangi intake sodium
● Penggunaan antihistamin pada kasus laminitis akut
● Penggunaan acetyl promazine yang berpengaruh terhadap pembuluh darah dan
analgesik
● Penggunaan heparin antikoagulan untuk mencegah thrombosis ditambah dengan
phenoxy benzamin untuk memperbaiki aliran darah perfer dengan memblok reseptor
alfa adrenergik dan dilakukan balut dingin pada kaki serta pencahar ringan untuk
mempercepat pengeluaran toks.n sehingga proses penyembuhan laminitis dapat
berlangsung cepat
● Menurut Aiello et al. (2000), terapi laminitis dapat juga dilakukan dengan
perendaman kuku dalam larutan CuS04 5%, Penisilin 20.000 IU secara intramuscular,
Sulfamethazine 200 mg/kg BB secara intravena (IV)
● Terapi yang diberikan untuk kasus ini adalah Penstrep-400® secara intramuscular,
Analdon® Inj. secara intramuscular, dan Vetadryl® Inj. secara intramuscular.

3.2.3.8 Edukasi Peternak


Peternak disarankan untuk memasang karpet pada lantai kandang dan menghindari
penggunaan alas beton secara langsung untuk mengurangi pergesekan kuku dengan lantai
kandang yang dapat menyebabkan perlukaan kuku.

58
3.2.3.9 Dokumentasi

Kondisi Sapi dan Kandang Laminitis pada Kaki Depan Sebelah Kiri

3.2.4 Pink Eye


Anamnesa Sapi mengalami kegelisahan ketika siang hari dan mata sapi
mengalami kemerahan yang sudah berlangsung selama 3 hari.
Signalmen:
- Jenis Hewan Sapi

- Ras Peranakan Ongole

- Warna Rambut Putih

- Jenis Kelamin Jantan

- BB dan Usia 3 tahun ±350 𝑘𝑔

- Temperatur 39℃

- Pulsus 80/menit

- Respirasi 28/menit

- Riwayat Obat Tidak ada

3.2.4.1 Etiologi
Keratokonjunctivitis adalah keradangan pada cornea dan konjnctiva pada mata. Dapat
meyerang pada ternak sapi, kerbau, domba serta dapat menular pada kasus penyakit pink eye

59
dan juga tidak dapat menular (akibat traumatik). Penyakit Pink eye disebabkan oleh bakteri
Moraxella bovis merupakan bakteri gram negatif berbentuk double coccus. Namun, kejadian
keratokonjuctivitis akibat traumatic umumnya disebabkan oleh debu, pasir yang
berterbangan, infestasi vector lalat disekitar mata, helminthiasis (Thelazia sp.,), hijauan pakan
yang mengiritasi mata dan sinar ultraviolet berlebihan (Angelos, 2020).

3.2.4.2 Gejala Klinis


- Mata berair atau hiperlakrimasi (epiphora)
- Cornea mata mengalami kemerahan
- Photophobia (sensitive terhadap cahaya)
- Radang kelopak mata (blepharitis)

Masa inkubasi terjadi 2-3 hari bahkan sampai dengan 3 minggu. Pada umumnya gejala
awal berupa mata lembab, terjadi sedikit konstriksi pada pupil, serta photophobi yang di
tandai dengan mata yang sering ditutup untuk menghindari cahaya. Selain itu, akan mulai
keluar air mata dan terlihat adanya penyempitan pupil secara jelas serta terjadi kekeruhan
pada kornea.

Lakrimasi disertai dengan timbul vesikel yang kemudian pecah dan menyebabkan
luka/ulcer, kekeruhan kornea akan terjadi secara menyeluruh pada hari ke 4 atau ke 5.
Pembesaran pembuluh darah tampak pada daerah perifer dari kornea pada hari ke 7 sampai
hari ke 10. Pada saat radang akut sudah mereda, sekresi mata makin purulen. Setelah 10
sampai 15 hari, kornea mulai terlihat jernih yang dimulai dari daerah perifer ke bagian
tengah. Kesembuhan total akan terjadi 25-50 hari. Kerusakan kornea dapat menjadi lebih
parah sehingga mengakibatkan kebutaan.Penyakit ini akibat infeksi maupun noninfeksi dapat
terjad pada mata dapat terjadi unilateral ataupun bilateral (Pudjiatmoko dkk., 2014).

3.2.4.3 Pathogenesis
Penularan penyakit pink eye dapat berlangsung secara langsung melalui sekresi air
mata yang mengandung bakteri Moraxella bovis dan dapat diperparah dengan penularan
secara tidak langsung seperti peran vektor lalat (Musca autumnalis, Musca domestica,
Stomoxys calcitrans) yang sering dijumpai disekitar mata, debu dan pasir yang berterbangan,
cacing mata, dan defisiensi mineral (copper dan selenium) (Angelos, 2020).

3.2.4.4 Diagnosa
- Berdasarkan lesi dan gejala klinis
60
- Fluoresence Antibody Technique (FAT)
- Isolasi dan identifikasi

3.2.4.5 Diagnosa Banding


- Keratoconjuncivitis
- Keratitis
- Konjunctivits
- Keratojunctivitis traumatica
- Cacing mata (Thelazia sp.)

3.2.4.6 Prognosis
Berdasarkan tingkat keparahan dan terapi yang dapat dilakukan prognosisnya adalah
fausta.

3.2.4.7 Terapi
- Antibiotik
● Chloramphenicol : Erlamycetin® (Salep mata)
● Oxytetracycline : Medoxy-LA®
- Antihistamin : Vetadryl® Inj.

Terapi yang tepat untuk kasus keratokunjunctivitis akibat infeksi adalah dengan
menggunakan antibiotika yang senstifi terhadap agen penyebab dan memperbaiki menejemen
pemeliharan. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan isolasi pada hewan
yang terinfeksi dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan penularan kepada hewan lain.
Menurut Ahmed, 2009 ada beberapa pendekatan yang dapat dilakuakn untuk pengobatan
kasus keratokunctivitis. Injeksi pada subkonjunctivitav menggunakan antibiotik seperti
penisilin dan aminoglikosida. Kedua dengan terapi topical umumnya dengan silver nitrat 1%
dan zinc sulfat 0.4% yang dikombinasikan dengan oxytetrasiklin secara parentral. Ketiga
dengan sistemik dengan menggunakan antibiotic oxitetrasiklin dan flofenicol. Keempat
dengan pembedahan seperti melakukan exenteration.

3.2.4.8 Edukasi Peternak


- Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan kandang
- Menghindari sapi dari debu atau pasir yang berterbangan di sekitar kandang
- Melakukan isolasi pada sapi yang sakit agar tidak menularkan kepada sapi yang sehat
(pink eye).
61
- Menjauhkan sapi dari jangkauan sinar matahari
3.2.4.9 Dokumentasi

(a) Mata mengalami kemerahan ; (b) Sapi Mengalami hiperlacrimasi

3.2.5 Red Water Disease (Babesiosis)


Anamnesa Sapi ini baru saja dibeli di pasar hewan 3 hari lalu. Sapi dalam
keadaan bunting ±6 𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛. Menurut peternak sejak sapi ini
dibawa ke kandang sudah mengalami kencing darah ± 3 ℎ𝑎𝑟𝑖
Signalmen:
- Jenis Hewan Sapi

- Ras Limosin

- Warna Rambut Coklat tua

- Jenis Kelamin Jantan

- BB dan Usia 2 tahun ±300 𝑘𝑔

- Temperatur 42℃

- Pulsus 130/menit

- Respirasi 60/menit

- Riwayat Obat Tidak ada

62
3.2.5.1 Etiologi
Babesiosis atau tick fever atau red water adalah penyakit yang disebabkan protozoa
Babesia sp., dan terdistribusi di sirkulasi darah. Penyakit ini dapat menyerang hewan liar dan
ternak seperti sapi akibat gigitan caplak Boophilus sp., (Aiello dan Moses, 2011).

3.2.5.2 Gejala Klinis


- Anemia - Nafsu makan menurun
- Ikhterus - Lesu (depresi)
- Hemoglubinuria - Ruminasi terhenti
- Demam 42℃ - Pernafasan cepat
- Bulu Kusam dan berdiri

Manifestasi klinis yang ditimbulkan akibat penyakit ini adalah demam, hewan
kekurangan darah dan mengalami anemia. Penyakit ini sangat patogen pada sapi dewasa,
tetapi anak sapi kurang dari satu tahun relatif lebih tahan. Masa inkubasi babesiosis antara 2 –
3 minggu pada infeksi alam, tetapi dapat berjalan lebih cepat jika dilakukan inokulsi di
laboratorium, yaitu 4-5 hari (B.bigemina) dan 10-14 hari (B.bovis). Mula-mula sapi akan
mengalami peningkatan suhu tubuh (demam) selama 2 minggu lebih, dan diikuti dengan
anemia hebat, selaput lendir menjadi kuning dan kadang- kadang terjadi haemoglobinuria
(kencing berwarna merah darah = red water). Gejala lain yang nampak pada sapi adalah bulu
kusam, lesu, nafsu makan menurun, ruminasinya terhenti, pernafasan cepat dan sesak, kulit
tipis dan iketrik, kadang-kadang teramati gejala syaraf, seperti berputar-putar dan konvulsi.

Secara garis besar, gejala klinis pada ternak (sapi Bos Taurus) yang mengalami babesiosis
dapat digolongkan menjadi tiga katagori, yaitu :

a. Susceptible, yaitu hewan dengan gejala klinis dan membutuhkan pengobatan untuk
mencegah kematian (hewan rentan).
b. Intermediate, yaitu hewan dengan gejala klinis parasitemia, penurunan packed cell
volume (PCV) ≥ 21,5 % yang ditandai dengan meningkatnya suhu tubuh. Pada
kelompok hewan ini, tidak memerlukan pengobatan dengan segera karena dapat
seembuh dengan sendirinya.
c. Resistant, yaitu hewan yang tidak menunjukkan gejala klinis tetapi ditemukan B.bovis
dalam preparat darah. Terjadi penurunan PCV <21,5% dan hewan tidak mengalami
peningkatan suhu tubuh yang nyata (Pudjiatmoko dkk., 2014).

63
3.2.5.3 Pathogenesis
Babesiosis ditularkan melalui vektor caplak, caplak berinang satu secara transovarial
sedangkan caplak berinang dua atau tiga secara “stage to stage”. Vektor yang mampu
menularkan Babesia sp., pada ternak adalah Boophilus microplus karena mampu
mentransmisikan Babesia bovis, Babesia bigemina, dan bahkan Anaplasma marginale
(Jonsson et al., 2008). Parasit ini masuk ke dalam tubuh caplak pada saat caplak menghisap
darah inang. Di dalam tubuh caplek, Babesia sp., akan memperbanyak diri di dalam sel epitel
saluran pencernaan yang selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh dan melakukan invasi ke
induk semang. Babesia sp., akan berkembang menjadi larva di dalam telur caplak
(Transovarial transmission) (Lubis, 2006). Selain penularan melalui peran vektor, dapat
terjadi secara mekanik akibat penggunaan alat-alat kedokteran yang tidak steril ketika
melakuakan tindakan medis seperti potong tandung (dehorning), vaksinasi, sterilisasi dan lain
sebagainya. Penyakit ini bersifat zoonosis yang peunularannya terjadi melalui transfusi darah
dan melalui vektor (Dirjen Pertanian dan Keswan, 2012).

3.2.5.4 Diagnosa
● Pemeriksaan mikrokopis ● Pemeriksaan darah
dengan preparat ulas darah lengkap
tipis

● Enzym-Linked ● Pemeriksaan fungsi hati


Immunosorbent Assay
(ELISA)

● Polymerase Chain Reaction ● Urinalisis


(PCR)

● Immunoglobulin G (IgG)

3.2.5.5 Diagnosa Banding


Menurut Banavides and Sacco (2007) sebagai berikut :
● Anaplasmosis ● Leptospirosis

● Trypanosomiasis ● Intoksisasi tembaga


(Cu)

64
● Theileriosis

● Hemogluinuria

3.2.5.6 Prognosis
Infausta dan berakhir mati.

3.2.5.7 Terapi
- Obat NSAID : Flunixin meglumine (Fortis®)
- Antiprotozoa : Deminazene aceturate (Berenil®) dan Imidocarb dipropionate
(Imizol®) (Aiello dan Moses, 2011).
- Multivitamin dan suplemen : Biodin® dan vitamin B Kompleks®

Hewan yang menderita babesiosis dapat diobati dengan diminazene diaceturate,


imidocarb, amicarbalide. Efektiftas pengobatan sangat tergantung pada deteksi dini penyakit.
Vaksinasi menggunakan B. bovis dan B. bigemina yang telah dilemahkan untuk mengurangi
virulensinya, dilaporkan cukup efektif dan banyak dilakukan dibeberapa negara, seperti
Argentina, Brazil, Uruguay dan Afrika. Namun vaksinasi tidak disarankan dilakukan pada
hewan yang sedang bunting dan berproduksi, pemeberian pada anak sapi tidak pernah
dilaporkan adanya efek samping yang ditimbulkan post vaksinasi. Pengembangan vaksin
inaktif (killed vaccine) yang dibuat dari darah anak sapi yang diinfestasi B. divergens masih
terus dikembangkan hingga saat ini (Pudjiatmoko dkk., 2014).

3.2.5.8 Edukasi Peternak


- Mengurangi semak-semak yang berada disekitar kandang dengan harapan dapat
mengurangi populasi vector penyebab Babesiosis
- Menjaga kebersihan lingkugan di sekitaran kandang

65
3.2.5.9 Dokumentasi

Terjadi hemoglubinuria

3.2.6 Ektoparasit
Anamnesa Kambing tampak tidak nyaman, kondisi tubuh kurus, terdapat
manifestasi caplak di permukaan kulit.
Signalmen:
- Jenis Hewan Kambing

- Ras -

- Warna Rambut Hitam Putih

- Jenis Kelamin Betina

- BB dan Usia 2 tahun ±25 𝐾𝑔

- Temperatur 39,5℃

- Pulsus 86/menit

- Respirasi 20/menit

- Riwayat Obat Tidak ada

66
3.2.6.1 Etiologi
Caplak merupakan salah satu ektoparasit yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
terhadap induk semangnya. Caplak memiliki kepentingan menghisap darah induk semangnya
untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Spesies caplak yang menyerang sapi adalah
Rhipicephalus sp. family Ixodidae. Rhipicephalus sp. merupakan caplak berumah tiga (three
host tick) yang artinya pada setiap stadium caplak menghisap darah dari hospes yang
berbeda. Setelah menghisap darah caplak akan jatuh dan akan mengalami ekdisis di
lingkungan. Kerugian yang diakibatkan oleh manifestasi caplak yaittu kerusakan kulit akibat
gigitan caplak, anemia, kurus, penurunan produksi, dan media transmisi penyakit dalam.

3.2.6.2 Gejala Klinis


- Terdapat manifestasi caplak Rhipicephalus sp.
- Alopesia
- Hewan merasa tidak nyaman karena gatal

3.2.6.3 Pathogenesis
Seekor caplak dapat menghisap darah sebanyak 0,3 ml dalam satu hari (RALP, 1982),
yang seiring berjalannya wakti dapat menyebabkan anemia sehingga menghambat
pertumbuhan, menimbulkan rasa gatal, bahkan dapat merusak kulit, karena dapat
menimbulkan jaringan nekrotik pada kulit yang menyebabkan kualitas dan harga kulit turun.
Selain itu, caplak dapat bertindak sebagai vektor agen patogenik yang lain seperti Babesia
bigemia, Babesia argentina, Anaplasma marginale, Coxiella burnetti, dan Borrellia theileri
(Soulsby, 1982).

3.2.6.4 Diagnosa
Diagnosa penyakit ektoparasit dilakukan dengan melihat gejala klinis yang tampak dan
ditemukannya caplak pada tubuh hewan.

3.2.6.5 Diagnosa Banding


- Penyakit ektoparasit yang disebabkan oleh spesies lainnya.

3.2.6.6 Prognosis
Fausta

67
3.2.6.7 Terapi
Ivermectin 1 mL/50 KgBB sub cutan. Ivermectin bekerja dengan cara merangsang
pelepasan GABA (Gamma Amino Butiric Acid) yang berada di dalam sistem saraf serangga.
Pelepasan GABA dapat memblokir impuls saraf sehingga menyebabkan kegagalan fungsi
sistem saraf dan menyebabkan paralisa.

3.2.6.8 Edukasi Peternak


Menjaga sanitasi kandang, pakan hijauan yang akan diberikan hendaknya dilayukan
terlebih dahulu, ternak yang terinfeksi caplak Riphicephalus dipisahkan dengan ternak yang
lain agar tidak terjadi penularan.

3.2.6.9 Dokumentasi

3.2.7 Distokia Fetalis Oversize


Anamnesa Induk sapi merejan namun tidak ada tanda fetus akan keluar
dari saluran.
Signalmen:
- Jenis Hewan Sapi

- Ras Simental

- Warna Rambut Coklat Putih

68
- Jenis Kelamin Betina

- BB dan Usia 3 tahun ±350 𝐾𝑔

- Temperatur 38,7℃

- Pulsus 82/menit

- Respirasi 31/menit

- Riwayat Obat Tidak ada

3.2.7.1 Etiologi
Distokia merupakan suatu penyakit pada hewan dimana hewan mengalami kesulitan
pada saat proses melahirkan. Penyakit distokia seringkali dijumpai pada hewan sapi yang
disebabkan oleh induk sapi yang pertamakali melahirkan, masa kebuntingan yang terlalu
lama, induk sapi yang terlalu cepat dikawinkan, dan manajemen nutrisi dalam pakan yang
kurang baik. Distokia ditandai dengan perpanjangan waktu proses kelahiran, sulit, dan tidak
mungkin tanpa bantuan manusia (Febrianila et al., 2017).

Berdasarkan penyebabnya distokia dapat dibagi menjadi dua yaitu distokia maternal
dan distokia fetalis. Distokia maternal terjadi karena adanya faktor yang menyababkan
kelainan pada saluran kelahiran dan organ pendukung kelahiran. Faktor saluran kelahiran
disebabkan kegagalan mengalami dilatasi pada uterus, serviks, vagina, dan vulva serta ukuran
dari pelvis yang kurang memadai. Selain itu, distokia maternal dapat disebabkan oleh
kegagalan untuk mengekspulsi fetus yang disebabkan adanya anomali pada organ uterus yang
mengalami inertia uteri dan torsio uteri sehingga mengakibatkan ketidakmampuan merejan
dan obstruksi pada saluran kelahiran .

Distokia fetal dapat terjadi karena faktor ukuran fetus yang terlalu besar (fetal oversize,
fetal monster) dan faktor kesalahan posisi fetus (maldisposisi fetal) seperti malpresentasi,
malposisi atau malposture fetal Ukuran fetus yang besar dipengaruhi oleh banyak faktor yang
meliputi : keturunan, faktor pejantan yang terlalu besar sedangkan induk kecil, lama
kebuntingan, jenis kelamin fetus yaitu fetus jantan cenderung lebih besar, kebuntingan
kembar, pernah beranak sebelumnya serta nutrisi induk seperti pemberian pakan terlalu

69
banyak sehingga dapat meningkatkan berat badan fetus dan timbunan lemak intrapelvis yang
dapat menurunkan efektifitas perejanan.

3.2.7.2 Gejala Klinis


- Induk sapi terlihat merejan
- Fetus tidak ada tanda keluar dari saluran kelahiran
- Induk sapi tampak kelelahan
- Konstruksi otot uterus lemah

3.2.7.3 Pathogenesis
Distokia maternal yang disebabkan kekurangan tenaga pengeluaran disebut inersia
uteri. Inersia uteri disebabkan ketidakmampuan kontraksi uterus untuk mengeluarkan fetus
yang terjadi sejak stadium pertama kelahiran. Pada sapi, inersia uteri paling umum
disebabkan oleh hipokalsemia, serta menjadi penyebab kemungkinan dilatasi serviks tidak
lengkap sehingga mengakibatkan penyumbatan pada saluran kelahiran.

Selain itu, defisiensi K dapat menyebabkan kelemahan otot termasuk otot uterus
sehingga secara tidak langsung mengakibatkan gangguan reproduksi dengan cara
menghambat penggunaan protein dan energi. Hal tersebut mengakibatkan kelemahan tonus
otot uterus sehingga dapat meningkatkan kepekaan terhadap metritis dan retensi plasenta
(Chaudhary and Singh, 2004; Upadhyay et al., 2006; Sattler and Fecteau, 2014). Pemberian
pakan yang mengandung K dalam jumlah yang berlebihan (5% BK) diduga dapat
mengakibatkan tertundanya pubertas dan ovulasi, gangguan perkembangan korpus luteum
(yellow body) serta meningkatkan kejadian anestrus pada sapi (Velladurai et al., 2016).
Pemberian diet tinggi K mengakibatkan tertundanya pubertas, ovulasi, perkembangan korpus
luteum dan meningkatnya kejadian anestrus pada sapi (Kumar, 2014). Pemberian diet tinggi
K pada masa kering selama 2 sampai 3 minggu sebelum melahirkan dapat mengakibatkan
dysplasia abomasum dan gangguan uterus (DeGaris and Lean, 2008).

3.2.7.4 Diagnosis
Berdasarkan dari gejala klinis yang tampak

3.2.7.5 Diagnosa Banding


- Konstipasi
- Endometritis
- Mumifikasi
70
- Maserasi fetus

3.2.7.6 Prognosis
Dubius

3.2.7.7 Terapi
Injeksi oksitosin IM. Menurut Caldwell dan Young (2006), pada dasarnya fungsi
oksitosin untuk merangsang kontraksi yang kuat pada dinding uterus sehingga mempermudah
dalam proses kelahiran dan merangsang kelenjar mammae. Di samping itu tentunya oksitosin
juga berfungsi mengeluarkan sisa plasenta dalam uterus. Semakin cepat uterus kembali ke
keadaan sebelum bunting (involusi uterus) tentunya akan mempercepat munculnya berahi
pascapartus. Selanjutnya dilakukan penarikan fetus secara paksa untuk membantu proses
kelahiran.

3.2.7.8 Edukasi Peternak


Proses melahirkan pada sapi normal berlangsung selama +/- 12 jam, apabila proses
kelahiran melebihi 12 jam harus segera memanggil dokter hewan untuk membantu proses
partus dan pasca partus. Selain itu, diperlukan juga penambahan mineral dan konsentrat pada
pakan saat usia kebuntingan sapi sudah tua.

3.2.7.9 Dokumentasi

71
3.2.8 Prolapsus Uteri
Anamnesa Sapi mengalami penurunan nafsu makan, setelah melahirkan
uterus ikut keluar dari saluran kelahiran.
Signalmen:
- Jenis Hewan Sapi

- Ras Simental

- Warna Rambut Coklat Putih

- Jenis Kelamin Betina

- BB dan Usia 3 tahun ±300 𝐾𝑔

- Temperatur 38,9℃

- Pulsus 79/menit

- Respirasi 32/menit

- Riwayat Obat Tidak ada

3.2.8.1 Etiologi
Prolaps Uteri merupakan komplikasi langka (<1% dalam kebuntingan) dengan kornua
uterus yang terlipiat ke dalam dan keluar dari vulva, umumnya terjadi dalam 24 jam setelah
kelahiran. Meski kejadiannya yang jarang, namun kasus ini merupakan kasus darurat yang
harus segera ditangani, sebab organ yang keluar dapat terkontaminasi, terluka akibat trauma
fisik maupun cuaca ekstrem, membengkak, hemoragi, dan dapat terbalik seluruhnya hingga
menyebabkan rupture pada arteri uterus yang akan berlanjut menjadi syok dan kematian.
Peternak sebaiknya disarankan untuk tidak memindah-mindahkan ternaknya dan
membungkus uterus yang terbalik dengan kantung plastik untuk mencegah kontaminasi pada
organ (Potter, 2008). Kasus prolapsus dapat terjadi pada semua hewan ternak terutama sapi
yang sudah tua, namun kasus prolaps jarang ditemui pada kuda, anjing.

3.2.8.2 Faktor Predisposisi


Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya prolaps uteri, termasuk
berkurangnya kontraksi uterus akibat inersia, berkurangnya prostaglandin, adanya kelainan
myometrial akibat regangan berlebih dalam uterus, distokia, hipokalsemia juga dapat
72
menyebabkan otot uterus melemah dan melambatkan terjadinya involusi pada serviks.
Penyebab lain dari prolapsus uteri adalah retensio sekundinarum karena berat sekundinae
yang menggantung di luar tubuh dapat menyebabkan dinding uterus terdorong keluar dan
terbalik, sedang serviks masih dalam keadaan terbuka lebar atau ligamentum lata uteri kendor
(Hariadi, dkk., 2011).

Faktor seperti kurangnya gerak dari induk juga mempermudah terjadinya prolaps uteri,
karena lemahnya otot penggantung uterus. Selain itu, juga bisa disebabkan oleh terlalu sering
melahirkan. Faktor eksternal seperti cuaca dan komposisi pakan juga dapat menyebabkan
terjadinya prolaps. Perubahan kandungan kalsium, fosfor, dan magnesium dalam pakan
dimungkinakn menjadi faktor predisposisi dalam kasus prolaps, selain itu kemiringan
kandang dengan posisi belakang lebih rendah dari posisi depan juga dapat memicu prolaps
(Peter, 2021; Hariadi, dkk., 2011). Pada kegiatan Praktik Kerja Lapangan, sapi yang
mengalami prolaps kemungkinan disebabkan oleh kemiringan kandang yang kurang tepat.

Pada awal terjadinya kasus, biasanya tidak terjadi gangguan umum pada penderita.
Induk hanya merejan terus. Uterus yang mengalami prolapsus akan dikotori oleh kotoran
yang ada di lantai kandang. Kemudian, induk akan menunjukkan kondisi tidak tenang dan
selalu melihat ke belakang atau ke kanan dan ke kiri, berbaring dan bangun lagi, kemudian
diakhiri dengan selalu berbaring saja (Hariadi, dkk., 2011).

3.2.8.3 Gejala Klinis


Gejala klinis dari prolaps uteri sangat terlihat jelas dengan bentukan uterus yang
terbalik dan keluar dari vulva. Saat kasus prolaps masih belum berlangsung lama, jaringan
terlihat normal, namun apabila prolaps telah terjadi selama beberapa jam, jaringan akan
tampak membesar dan edematous. Selain itu, gejala pada tubuh sapi juga dapat terlihat
adanya gangguan kesehatan seperti menurunnya nafsu makan, memamah biak tidak teratur,
naiknya suhu tubuh dan denyut nadi. Beberapa sapi akan menunjukkan gejala hipokalsemia
seperti lemah, depresi, dan kecemasan. Syok hipovolemik juga dapat terjadi secara sekunder
akibat berkurangnya darah dari rupturnya pembuluh darah di uterus maupun ovarium. Gejala
syok yang tampak meliputi membrane mukosa yang pucat, menurunnya capillary refill time
dan takikardia juga sering terjadi (Potter, 2008).

Pada kegitan Praktik Kerja Lapangan, sapi yang mengalami prolaps berada pada posisi
berbaring, hal ini disebabkan dari keadaan sapi yang sedikit mulai lelah, namun sapi masih

73
dapat diberdirikan, sehingga proses reposisi dapat dilakukan dengan keadaan sapi berdiri.
Sebelumnya, dalam keadaan sapi masih berbaring, mukosa uterus yang mengalami prolaps
dapat terkontaminasi oleh kotoran di kandang. Dari luar terlihat ada semcam tumor berwarna
merah yang mengkilat, berada di luar tubuh di bawah vulva. Jika kasus prolaps tidak segera
ditangani sampai beberapa jam saja, makan warna merah tersebut akan berubah menjadi
gelap kemudian berubah menjadi coklat. Bila terjadi gangrene maka warna mengkilat
tersebut akan menghilang (Hariadi, dkk., 2011).

3.2.8.4 Diagnosa Banding


Prolaps uteri dapat dengan jelas terlihat selama pemeriksaan fisik pada sapi. Akan
tetapi, kemungkinan diagnosa lainnya meliputi prolaps urethral, cystocele, enterocele, abses,
dan massa ginekologi lainnya.

3.2.8.5 Penanganan dan Terapi


Sebelum reposisi dilakukan, endometrium harus dibersihkan terlebih dulu dengan air
dingin dari membrane fetus dan kotoran lainnya, hal ini membantu mengurangi edema pada
jaringan. Organ yang mengalami prolaps kemudian dinaikkan setinggi tulang ischium untuk
memudahkan reposisi dan meredakan gangguan vaskuler. Penekanan pada uteri selama
didorong masuk ke saluran reproduksi dilakukan dengan kedua tangan, saat kornua uteri
sudah memasuki vagina, kornua uteri dipijat masuk secara perlahan ke dalam saluran
reproduksi (Peter, 2021). Pada kegiatan praktik kerja lapangan, setelah dilakukan reposisi
seperti cara yang telah disebutkan, vulva sapi dijahit matrass, hal meminimalisasi jahitan
yang terlihat keluar Kemudian sapi diberi injeksi analgesil Sulfidon sebanyak 10ml untuk
mengurangi rasa sakit pasca tindakan dan vitamin B12 sebanyak 5 ml untuk terapi suportif,
dan bollus colibac juga diberikan secara intrauterine sebagai chemotherapy.

74
Gambar 3.2 Contoh Teknik Jahitan Mattrass.
3.2.8.6 Edukasi Peternak
Setelah penanganan prolaps dilakukan, sapi diajak untuk berkeliling sekitar
pekarangan, hal ini dilakukan guna mereposisi uterus pasca uterus dimasukkan kembali, hal
ini sesuai dengan buku ajar Ilmu Kemajiran pada Ternak oleh Hariadi, dkk (2011). Sapi juga
diberikan air gula untuk memenuhi kebutuhan tenaga pasca melahirkan.

3.2.8.7 Dokumentasi

3.2.9 Retensio Secundinarium


Anamnesa Sapi melahirkan secara normal pada tanggal 15 Juni 2021
pukul 18.00 WIB tetapi tidak diikuti keluarnya plasenta anak.
Terhitung sudah 21 jam plasenta tidak keluar hingga
penanganan oleh dokter pada tanggal 16 Juni 2021 pukul
15.00 WIB. Sapi tidak mau makan dan lemah. Sapi selalu
dikandangkan dan telah partus sebanyak 1 kali.
Signalmen
75
Jenis hewan Sapi potong

Ras Simental

Warna rambut Cokelat dan putih pada wajah

Jenis kelamin Betina

Berat badan ± 300 kg

Suhu 39,3ºC

Umur ± 3 tahun

BCS 3

Frekuensi jantung 140/menit

Frekuensi nafas 38/menit

Riwayat obat -

3.2.9.1 Etiologi
Retensi sekundinarum merupakan suatu kondisi selaput fetus menetap lebih lama dari
8-12 jam di dalam uterus setelah kelahiran. Sapi yang tidak segera diberikan pertolongan
akan mengalami gangguan kesehatan karena selaput fetus akan mengalami pembusukan
dalam saluran alat kelamin induk dan bersifat racun (Hariadi, dkk.,2011). Penyebab retensio
sekundinarum meliputi infeksi yang menyebabkan uterus lemah untuk berkontraksi, pakan
yang mengakibatkan kekurangan vitamin A, dan kekurangan exercise terutama pada sapi
yang dikandangkan sehingga otot uterus tidak kuat untuk berkontraksi (Affandhy, 2007).

Retensio sekundinarum dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya terdapat


gangguan mekanis, yaitu selaput fetus terjepit kanalis servikalis karena terlalu cepat menutup.
Induk kekurangan kekuatan untuk mengeluarkan selaput fetus setelah melahirkan yang
disebabkan adanya atoni uteri pasca melahirkan, gangguan pelepasan sekundinae dari
karunkula induk, radang yang akut seperti plasentitis atau kotiledonitis, penyakit kelamin
menular seperti Brucellosis, Trichomoniasis dan Vibriosis. Penyebab lainnya yaitu terlalu

76
cepat melahirkan karena plasenta pada waktu itu belum mengalami proses degenerasi dan
sapi kekurangan mineral dan vitamin selama bunting (Hariadi, dkk.,2011).

3.2.9.2 Gejala Klinis


Gejala klinis dapat terlihat adanya selaput fetus yang menggantung di luar vulva 12 jam
atau lebih sesudah kelahiran normal, abortus ataupun distokia. Vulva bengkak bewarna
kemerahan, kontraksi uterus tampak lemah, adanya bauk arena ada pembusukan, produksi
menurun, suhu tubuh meningkat, frekuensi pulsus meningkat dan berat badan semakin
menurun (Purba, 2008; Hariadi, dkk., 2011).

Selaput fetus yang menggantung di luar uterus kadang-kadang sampai menyentuh lantai
kandang, sehingga dapat terinjak sapi lainnya, labia vulva bengkak dan bewarna kemerahan,
terdapat bitnik-bintik merah (vaat injectie). Sekundinae dapat menutup keluar urine (meatus
urinarius) sehingga induk susah urinasi. Rasa sakit pada perut sering terasa, ekor di
gerak-gerakkan, bagian tarsus kotor, terlihat adanya kontraksi uterus yang lemah. Terdapat
bau spesifik, yaitu bau sekundinae yang mulai mengalami pembusukan. Kotoran cokelat
keluar dari uterus sehingga mencemari ekor, pantat, dan tarsus. Kesehatan induk mulai
terganggu dan kelihatan depresi, sekresi susu dapat menurun karena nafsu makan menurun,
dan respirasi cepat, serta suhu tubuh meningkat. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah
metritis atau metroperitonitis, bila terjadi luka yang besar atau robeknya dinding uterus pada
waktu pertolongan retensio sekundinarum dan vaginitis kronis, bila terjadi peradangan atau
luka-luka pada vagina (Mustofa, dkk., 2019).

3.2.9.3 Pathogenesis
Retensio sekundinarum atau retensio plasenta merupakan keadaan dimana gagalnya
pelepasan vili kotiledon fetal dari kripta karunkula maternal. Vili fetal akan mengkerut dan
mengendur terhadap kripta karunkula karena tidak ada darah yang mengalir ke vili fetal
setelah fetus keluar dan korda umbilikalis putus. Uterus terus berkontraksi dan sedikit
menerima aliran darah sehingga menyebabkan karunkula maternal mengecil, kripta pada
karunkula berdilatasi dan vili kotiledon akan terlepas dari karunkula sehingga plasenta juga
terlepas. Kondisi retensio sekundinarum berarti terganggunya pemisahan dan pelepasan vili
fetalis dari kripta maternal sehingga terjadi pertautan. Kasus retensio sekundinarum
disebabkan oleh 3% gangguan mekanis dan 1-2% kasus disebabkan karena induk kekurangan
kekuatan untuk mengeluarkan sekundinae setelah melahirkan. Kemungkinan penyebab yang

77
lain yaitu karena defisiensi hormon seperti oksitosin dan estrogen yang menstimulir kontraksi
uterus pada waktu melahirkan (Manan, 2002).

3.2.9.4 Diagnosis
Diagnosa retensio sekundinarum di lapangan dapat ditegakkan dengan
memperhatikan anamnesa dari peternak, gejala klinis dan pemeriksaan klinis seperti palpasi
intravaginal. Anamnesa biasanya menunjukkan plasenta yang belum keluar selama lebih dari
8-12 jam setelah melahirkan. Palpasi intravaginal dilakukan untuk memastikan penyebab dari
terjadinya retensio sekundinarum dan juga menentukan seberapa parah kejadian retensio
sekundinarum (Affandy, 2007). Berdasarkan hasil anamnesa dan gejala klinis yang
ditemukan, sapi tersebut mengalami retensi sekundinarum dikarenakan terdapat sekundinae
yang keluar menggantung dari alat kelamin. Diagnosis oleh dokter hewan kemudian
dilanjutkan dengan eksplorasi vaginal dan mendapatkan hasil palpasi yakni terasanya
keberadaan sisa kotiledon yang teraba licin karena masih terbungkus oleh selaput fetus.

3.2.9.5 Diagnosa Banding


Diagnosis retensio sekundinarum umumnya mudah ditegakkan dan sangat mudah
dibedakan dengan perdarahan postpartum lainnya. Diagnosa sulit ditegakkan bila diikuti
atonia uterus yang merupakan keadaan uterus yang gagal berkontraksi setelah lahirnya fetus.
Tanda dan gejala yang dapat ditemukan adalah perdarahan hebat, nyeri abdomen, dan
gangguan hemodinamik. Tanda dan gejala atonia uterus dapat juga ditemukan pada penderita
retensio sekundinarum. Hal ini dikarenakan atonia uterus dapat menjadi salah satu penyebab
terjadinya retensio sekundinarum. Perbedaan antara atonia uterus dan retensio plasenta adalah
tidak adanya kontraksi uterus dengan plasenta yang sudah dilahirkan (Greenbaum, et al.,
2017).

3.2.9.6 Prognosa
Prognosa kasus retensio sekundinarum tergantung oleh gejala yang tampak dan tingkat
keparahan infeksi. Penanganan yang cepat dan tepat akan memberikan prognosa fausta atau
dapat mengembalikan kesuburan serta tidak terganggunya sapi tersebut dalam bereproduksi
kembali (Toelihere, 1985).

3.2.9.7 Terapi
Penanganan yang sering dilakukan yaitu dengan melepas sekundinarum secara manual,
walaupun efek sampingnya sangat tidak menguntungkan bagi sistem reproduksi sapi.

78
Pelepasan secara manual dapat mengakibatkan terjadinya infeksi uterus yang lebih parah dan
sering bila dibandingkan dengan pengobatan yang lebih konservatif dan pelepasan plasenta
secara manual dapat mengakibatkan calving interval yang berkepanjangan. Selain itu, bakteri
patogen intrauterin ditemukan di semua sapi yang diberikan penanganan dengan pelepasan
plasenta secara manual (Patel, R.V. and S.C. Parmar, 2016). Kejadian retensi sekundinarum
pada kasus ini tetap melakukan penarikan sisa plasenta yang masih menggantung di bibir
vulva agar tidak terjadi retensi yang berkelanjutan, dimana pada pada kasus retensi plasenta
menunjukkan peningkatan suhu tubuh dan diikuti dengan pulsus yang meningkat, sehingga
plasenta yang masih tertinggal dalam saluran reproduksi harus segera dikeluarkan agar tidak
terjadi pembusukan yang dapat menyebabkan infeksi yang biasanya dilakukan dengan
penarikan atau pelepasan secara manual terhadap plasenta yang masih tertaut.

Obat yang diberikan untuk penanganan kasus ini yaitu Intertrim LA dengan 1 ml nya
mengandung sulfadoxine 200 mg dan Trimethorprim 40 mg . Kombinasi Sulfadoxine dan
Trimethoprim bekerja secara sinergis potensiasi, bersifat bakterisidal terhadap bakteri gram
negatif dan gram positif seperti E. coli, Haemophilus, Pasteurella, Salmonella,
Staphylococcus, Streptococcus spp. dan parasit darah seperti Leucocytozoon spp dengan
dosis yang diberikan yaitu sebanyak 15 ml secara intramuscular (1 ml per 10-15 kg BB).
Sulfadoxine dan Trimethoprim menghambat sintesis asam folat bakteri dan parasit darah
dengan cara yang berbeda sehingga menghasilkan hambatan ganda. Pemberian antibiotik
sistemik pada kasus retensio sekundinarum yang disertai demam (sapi dalam kasus ini
bersuhu 39,3ºC) dinilai lebih efektif dalam menangani kasus tersebut (Risco dan Hernandez,
2003). Pemberian kemoterapi secara intrauterine sangat dianjurkan untuk diberikan agar lebih
optimal dalam menangani infeksi sekunder pada organ reproduksi sapi betina. Obat yang
diberikan secara intrauterin pada kasus ini yaitu colibac® sebanyak dua bolus dengan
kandungan sulfanamide dan trimethorprim. Pemberian colibac® bentuk bolus lebih efektif
diberikan dalam bentuk serbuk kenudian dibalurkan pada dinding uterus agar kinerja obat
lebih efektif dan menghindari resiko dikeluarkannya kembali bolus melalui kontraksi uterus.

Hal-hal yang perlu menjadi pertimbangan tentang, penggunaan antimikrobial secara


intrauterin tidak selalu dapat menurunkan kejadian radang uterus atau metritis, maupun
meningkatkan fertilitas (Lima, 2013). Oxytetracycline, yang sering digunakan untuk terapi
intrauterin pada sapi yang menderita retensio plasenta, menghambat metalloproteinase
(MMPs) yang esensial untuk perbaikan endometrium pada spesies lain, dapat mengganggu
79
mekanisme penempelan plasenta normal, sedangkan penggunaan antibiotik secara sistemik
adalah lebih menguntungkan pada kasus metritis disertai demam. Terapi sapi yang hanya
menderita retensio plasenta dan demam dapat mengurangi penggunaan antimikrobia yang
tidak perlu (Drillich et al., 2006). Pengobatan retensio plasenta pada sapi selama 5 hari
dengan 2,2 mg/kg of ceftiofur hydrochloride efektif untuk mencegah metritis apabila
dibanding dengan estradiol cypionate atau tidak diobati, akan tetapi selanjutnya
mengakibatkan terjadinya peningkatan performa reproduksi yang tidak signifikan (Risco and
Hernandez, 2003).

Penanganan dengan pelepasan secara manual masih merupakan pilihan treatment


pertama di Indonesia, karena masih kurangnya sosialisasi kepada peternak mengenai dampak
dari pelepasan plasenta secara manual terhadap saluran reproduksi yang dapat menyebabkan
perlukaan dan infeksi, baiknya pelepasan secara manual dilakukan dengan menggunting sisa
plasenta yang masih menggantung diluar vulva tanpa memasukkan tangan ke dalam
intravagina untuk menghindari terjadinya perlukaan pada uterus, setelah itu sisa-sisa plasenta
yang masih tertinggal di dalam uterus dapat dikeluarkan dengan pemberian antibiotik dalam
bentuk bolus yang dimasukkan dalam intrauterine, pemberian antibiotik dalam bentuk
solution yang diaplikasikan secara intramuskuler, kurang baik dan tepat dibandingkan dengan
pemberian antibiotik dalam bentuk bolus. Penanganan dengan pemberian hormon adalah
penanganan yang cukup baik, tetapi perlu mengetahui pertimbangan apa yang membatasi
penggunaan hormon dalam penanganan kasus retensi plasenta maupun kasus-kasus
reproduksi lainnya, hal yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan hormon adalah body
score condition (BCS) dari sapi, apabila BCS sapi yang akan diberikan penanganan dengan
injeksi hormon di atas 2 maka injeksi hormon boleh diberikan tetapi bila BCS sapi di bawah
nilai 2 maka penanganan dengan pemberian hormon tidak dianjurkan. Preparat vitamin
B-Kompleks tidak perlu diberikan dalam rangka penanganan kasus gangguan reproduksi,
pada kasus ini diberikan Vitol® sebanyak 10 ml secara parenteral intra muscular yang berisi
vitamin A,D,E untuk mendukung metabolisme dan fungsi dari sel- sel organ reproduksi.
Pengobatan dengan injeksi Vetadril® sebagai antihistamin dan Analdon® sebagai analgesic
diperlukan untuk meringankan rasa sakit yang diderita oleh sapi selama proses penanganan
dan sebagai antisipasi jikalau terjadi alergi.

Pemberian hormon yang sering digunakan dalam mengobati retensio sekundinarum


adalah prostaglandin dan oksitosin. Hormone ini berperan dalam kontraksi uterus dan retensi
80
akibat atonia uteri. Hormon ini akan menyebabkan kontraksi dan dilatasi serviks. Pertolongan
retensio sekundinarum dapat dilakukan dengan memberikan injeksi hormone oksitosin secara
intramuskuler dengan dosis 100 IU atau dietilbesterol sebanyak 15-60 mg secara
intramuskuler diulang selama 4 hari dan melakukan pencucian dengan larutan antiseptic
(rivanol 1%) secara intrauterine dan diberikan penisilin 1.000.000 IU bila terjadi infeksi.
Pada kasus tertentu, misalnya tidak memungkinkannya dilakukan eksplorasi vaginal karena
serviks yang menutup, plasaenta dibiarkan memisah secara alami (Hariadi, dkk., 2011).

3.2.9.8 Eduksi Peternak


Peternak perlu memahami bahwa setelah fetus dilahirkan, maka akan segera diikuti
keluarnya sekundinarum atau plasenta atau dawon dalam Bahasa Jawa kurang dari 8-12 jam.
Jika belum keluar lebih dari waktu tersebut maka peternak harus segera lapor agar tidak
terjadi gangguan pada sapi betina tersebut terutama adanya kemungkinan infeksi yang lebih
lanjut seperti endometritis dan terlambatnya siklus reproduksi sapi selanjutnya. Peternak yang
melaporkan dengan segera akan diberikan edukasi yang sekiranya bisa dilakukan sendiri oleh
peternak seperti memberikan pakan berupa daun bambu atau daun waru karena memiliki
kandungan oksitosin yang berguna untuk melancarkan kontraksi uterus, sehingga
sekundinarum bisa lekas dikeluarkan. Selain itu, juga bisa digunakan untuk melancarkan
pancaran air susu karena kontraksi alveoli mammae lancar. Kebiasaan peternak untuk
menggantungkan beban pada sekundinarum sebaiknya tidak diperkenankan untuk
menghindari perlukaan dan infeksi pada saluran reproduksi (Affandhy, et al., 2007).

3.2.9.9 Dokumentasi

81
3.2.10 Hipokalsemia
Anamnesa Induk berusia 1 tahun baru pertama kali
partus, pasca partus tidak mampu berdiri,
pakan sehari-hari adalah hijauan berupa
dedaunan.
Signalmen:
- Jenis Hewan Kambing

- Ras Kacang

- Warna Rambut Putih-coklat

- Jenis Kelamin Betina

- BB dan Usia 20 kg

- Temperatur 37oC

- Pulsus 75/menit

- Respirasi 22/menit

- Riwayat Obat Tidak ada

3.2.10.1 Etiologi
Hipokalsemia adalah suatu kondisi penurunan kadar kalsium dalam darah yang terjadi
sebelum, saat, atau setelah melahirkan. Kebutuhan kalsium pada akhir kebuntingan dan masa
awal laktasi cukup tinggi sehingga jika kadar kalsium dalam pakan tidak mencukupi,
sementara mobilisasi kalsium dalam darah mengalami defisiensi maka induk akan mengalami
hipokalsemia. Pada kasus yang parah, hewan akan rebah pada sisi lateral tubuh dan
mengalami koma (Lestari dan Solfaine, 2014).

3.2.10.2 Gejala Klinis


Gejala klinis yang umum pada hipokalsemia adalah hewan tidak mampu berdiri, untuk
kasus berikut kambing tidak mampu berdiri pasca proses partus. Kondisi lain yang menyertai
adalah nafsu makan menurun dan mukosa pucat akibat dehidrasi. Gejala khas dari
hipokalsemia adalah hewan rebah pada tulang sternum dan kepala menengok ke sisi belakang
82
tubuh membentuk huruf “S”, tetapi pada kasus berikut kambing tidak menunjukkan gejala
demikian.

3.2.10.3 Pathogenesis
Pembentukan colostrum pada induk menyusui membutuhkan asupan kalsium yang
tinggi. Apabila kadar kalsium dalam pakan tidak mencukupi, secara fisiologis tubuh akan
mengambil kalsium dari dalam tubuh sendiri, seperti dari tulang, gigi dan tanduk. Jika proses
tersebut tidak diimbangi dengan konsumsi kalsium dari luar tubuh maka akan terjadi
defisiensi kalsium dalam darah yang menyebabkan hewan tidak mampu berdiri dan lemah
(Balitbang, 2011).

3.2.10.4 Diagnosis
Berdasarkan anamnesa dan gejala klinis yang muncul, diagnosis mengarah ke
hipokalsemia.

3.2.10.5 Diagnosa Banding


Toxic mastitis, Trauma, Paralisis, Acidosis Rumen

3.2.10.6 Prognosis
Fausta

3.2.10.7 Terapi
Terapi yang diberikan adalah injeksi Calcidex (mengandung kalsium gluconate) secara
subcutan sebanyak 20 ml untuk mengatasi kekurangan kalsium dalam tubuh hewan. Terapi
dilanjutkan dengan pemberian injeksi Biodin (mengandung ATP, magnesium, kalium,
natrium dan vitamin B 12) secara intramuscular sebanyak 5 ml untuk menambah energi dan
memperkuat otot hewan supaya mampu berdiri kembali serta memulihkan metabolisme.
Injeksi Vet B1 (mengandung vitamin B1) secara intramuscular sebanyak 4 ml diberikan pula
untuk membantu menjaga fungsi saraf pada otot-otot tubuh hewan. Selain terapi injeksi,
petugas di lapangan juga memberikan resep obat minum berupa tablet Calec (mengandung
kalsium laktat) 5 tab/hari untuk menambah asupan kalsium pada kambing hingga 5 hari ke
depan.

3.2.10.8 Edukasi Peternak


Memberikan hijauan sepanjang waktu dan rutin menambahkan mineral dalam pakan.

83
3.2.10.9 Dokumentasi

3.2.11 Infectious Bovine Rhinotracheitis Bentuk Genital


Anamnesa Glans penis keluar dari preputium dan
mengalami pembengkakan bernanah
selama sekitar satu minggu. Empat hari
pasca terapi pertama masih belum ada
perbaikan kondisi, sehingga dibutuhkan
terapi lanjutan.
Signalmen:
- Jenis Hewan Sapi

- Ras Limousin

- Warna Rambut Merah

- Jenis Kelamin Jantan

- BB dan Usia 150 kg usia 8 bulan

- Temperatur 38,2 oC

- Pulsus 80/menit

- Respirasi 28/menit

- Riwayat Obat Tidak ada

84
3.2.11.1 Etiologi
Infectious Bovine Rhinotracheitis disebabkan oleh bovine herpesvirus-1 yang termasuk
ke dalam famili Herpesviridae. Manifestasi dari penyakit ini bisa dalam bentuk pernapasan,
genital, dan konjungtiva. IBR bentuk genital pada hewan betina bisa menyebabkan infeksi
mukosa dan vagina dikenal juga sebagai Infectious Pustular Vulvovaginitis (IPV), sedangkan
pada hewan jantan bisa menyebabkan radang pada glans penis dan preputium atau disebut
balanopostitis (Dirjennakkeswan, 2014).

3.2.11.2 Gejala Klinis


Gejala klinis pada kasus IBR bentuk genital yang menyerang hewan jantan adalah
adanya peradangan pada area genital. Glans penis dan preputium dari sapi mengalami
pembengkakan disertai adanya pus. Gejala ini bertahan selama kurang lebih satu minggu
sejak pertama kali diketahui oleh peternak, lebih lama daripada peradangan yang diakibatkan
oleh trauma fisik.

3.2.11.3 Pathogenesis
Penularan IBR pada sapi bisa secara vertikal melalui intra uterin maupun horisontal
melalui semen yang tercemar dan inhalasi dari cairan hidung yang mengandung virus. Gejala
klinis pada umumnya muncul pasca inkubasi selama 1-3 hari. Infeksi virus bisa berjalan
secara laten dan hewan masih menularkan virus meski tanpa memunculkan gejala (Balitbang,
2009).

3.2.11.4 Diagnosis
Berdasarkan anamnesa dan gejala klinis diagnosis mengarah ke IBR bentuk genital.

3.2.11.5 Prognosis
Baik, pada infeksi alami IBR bisa sembuh dengan sendirinya

3.2.11.6 Diagnosa Banding


Balanopostitis akibat trauma fisik

3.2.11.7 Terapi
Langkah pertama yang dilakukan oleh petugas adalah membersihkan bagian yang
meradang dengan antiseptik iodine, selanjutnya diberikan antibiotik topikal Limoxin spray
(mengandung Oxytetracycline) untuk mencegah pertumbuhan bakteri pada area tersebut.
Terapi selanjutnya adalah injeksi Medoxy LA (mengandung Oxytetracycline) secara

85
intramuscular sebanyak 8 ml untuk mengatasi adanya infeksi sekunder. Injeksi Sulpidon
(mengandung Dypirone dan Lidocaine) secara intramuscular sebanyak 9 ml juga dilakukan
untuk mengurangi rasa sakit pada hewan penderita supaya hewan merasa lebih nyaman.
Terapi diulang pada empat hari pasca terapi pertama sebab belum terjadi perbaikan kondisi
setelah dilakukan terapi pertama, langkah dan obat yang diberikan serupa akan tetapi dosis
pada obat injeksi dikurangi masing-masing sebanyak 2 ml.

3.2.11.8 Edukasi Klien


Menjaga kebersihan kandang dan sapi.

3.2.11.9 Dokumentasi

3.2.12 Mastitis
Anamnesa Sapi dara sehabis melahirkan anak
pertama, kemudian saat pemerahan
kolostrum terlihat kemerahan, dan
ambing sedikit membengkak. Warna
kolostrum kemerahan diduga akibat
pecahnya pembuluh darah.
Dikhawatirkan terjadi mastitis yang
semakin parah sehingga diharapkan
segera dilakukan penanganan dan terapi.

Signalment :

- Jenis hewan Sapi

86
- Ras Limosin

- Warna rambut Coklat kemerahan

- Jenis kelamin Betina

- Berat badan dan Usia 300 kg usia 2,5 tahun

- Temperatur 38,4 oC

- Pulsus 78/menit

- Respirasi 35/menit

- Riwayat obat Tidak ada

3.2.12.1 Etiologi
Penyebab penyakit mastitis yaitu akibat infeksi bakteri. Bakteri yang dapat
menyebabkan mastitis antara lain Streptococcus agalactiae, Streptococcus disgalactiae,
Streptococcus uberis, Streptococcus zooepidemicus, Staphylococcus aeureus, Escherichia
coli, Enterobacter aerogenes, Pseudomonas aeruginosa, Mycoplasma sp., Nocardia
asteoides.

3.2.12.2 Gejala Klinis


Mastitis yang terjadi pada sapi tersebut menunjukkan gejala yaitu demam, kebengkakan
pada ambing dan puting, kemudian saat dilakukan pemerahan air susu, air susu terlihat pecah
dan berwarna kemerahan.

Mastitis dikatakan bersifat sub klinis apabila gejala klinis radang tidak ditemukan saat
pemeriksaan ambing. Tanda-tanda radang jelas ditemukan, seperti kebengkakan ambing,
panas saat diraba, rasa sakit, warna kemerahan dan terganggunya fungsi, air susu berubah
sifat, seperti pecah, bercampur endapan atau jonjot fibrin, reruntuhan sel maupun gumpalan
protein. Proses yang berlangsung secara sub akut ditandai dengan gejala sebagaimana di atas,
namun derajatnya lebih ringan sebab ternak masih mau makan dan suhu tubuh masih dalam
batas normal. Proses berlangsung kronis apabila infeksi dalam suatu ambing berlangsung
lama, dari suatu periode laktasi ke periode berikutnya. Proses kronis biasanya berakhir
dengan atropi kelenjar mammae (Wijayanti dan Ardigurnita, 2019).

87
3.2.12.3 Patogenesis
Duval (1997) menjelaskan bahwa proses infeksi pada mastitis terjadi melalui beberapa
tahap, yaitu adanya kontak dengan mikroorganisme dimana sejumlah mikroorganisme
mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter), kemudian dilanjutkan dengan
masuknya mikroorganisme akibat lubang puting yang terbuka ataupun karena adanya luka.
Tahap berikutnya, terjadi respon imun pada induk semang. Respon pertahanan pertama
ditandai dengan berkumpulnya leukosit-leukosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang
telah menempel pada sel-sel ambing. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan
mengalami multiplikasi dan sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam.
Fagositosis bakteri oleh neutrofil mulai terlihat pada 6 jam setelah infeksi. Setelah 12 jam
pasca infeksi, neutrofil mengalami perubahan-perubahan yang bersifat degeneratif,
mengakibatkan bakteri dapat mencapai lumen alveoli dan terjadi peningkatan jumlah bakteri
ekstraseluler pada 18 jam setelah infeksi (Anderson dan Chandler 1975). Hurley dan Morin
(2000), menjelaskan bahwa peradangan pada ambing diawali dengan masuknya bakteri ke
dalam ambing yang dilanjutkan dengan multiplikasi.
Pembuluh darah ambing mengalami vasodilatasi dan terjadi peningkatan aliran darah
pada ambing. Permeabilitas pembuluh darah meningkat disertai dengan pembentukan produk
produk inflamasi, seperti prostaglandin, leukotrine, protease dan metabolit oksigen toksik
yang dapat meningkatkan permeabilitas kapiler ambing.
3.2.12.4 Diagnosis
Diagnosis dapat dilakukan dengan mengamati adanya peradangan pada ambing dan
puting dan mengamati adanya perubahan warna dari susu yang dihasilkan. Uji lapangan dapat
dilakukan dengan menggunakan California Mastitis Test (CMT), yaitu suatu reagen khusus
untuk pengujian adanya mastitis subklinis sebelum dilakukan isolasi dan identifi kasi bakteri
penyebab di laboratorium. Spesimen yang diperlukan adalah susu yang diperah dari kwartir
yang dicurigai dengan memberikan kode dari setiap kwartir. Susu dimasukkan ke dalam
tabung steril dan dikirimkan dalam keadaan segar dingin.
3.2.12.5 Diagnosa Banding
Penyakit mastitis dapat dikelirukan dengan pembesaran ambing akibat tumor
3.2.12.6 Prognosis
Fausta atau penyakit ini masih bias disembuhkan

88
3.2.12.7 Terapi
Secara teoritis, pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan antibiotik sesuai
dengan bakteri yang menginfeksi, dan disarankan agar dilakukan uji sensitivitas terhadap
bakteri sebelum melakukan pengobatan agar diperoleh hasil yang optimal. Pengobatan juga
bisa ditambahkan dengan obat obatan antipiretika dan antiinflamasi untuk mengurangi
demam dan peradangan.

Terapi yang diberikan di lapangan

● Injeksi antibiotik secara intramammary yaitu Biomycin® dengan komposisi


mengandung amoksisilin trihidrat 100 mg dan neomisin sulfat 50 mg. Dosis yang
diberikan yaitu 5 ml / kuartir ambing sapi. Antibiotik ini ampuh membunuh bakteri
seperti E.Coli, Staphylococcus, dan Streptococcus spp.
● Injeksi intramuskular terapi antipiretika dan anti inflamasi yaitu Fortis® dengan dosis
10 ml dengan komposisi mengandung flunixin meglumine. Obat tersebut merupakan
obat antiradang yang digunakan untuk mengurangi peradangan, sehingga meredakan
nyeri dan menurunkan demam.
● Injeksi Sulpidon® dosis 10 ml yang mengandung dipyrone dan lidocaine dalam
bentuk cairan injeksi. Dipyrone bekerja secara langsung pada susunan syaraf pusat,
sehingga sangat efektif untuk menurunkan panas (antipiretik), menghilangkan rasa
sakit (analgesik) dan kejang-kejang (antispasmodik).
● Pemberian injeksi vitamin K yaitu Hemostop K® yang mengandung vitamin K.
Diberikan sebanyak 10 ml berfungsi untuk membantu proses pembekuan darah.

3.2.12.8 Edukasi Client


Peternak disarankan untuk menjaga selalu higiene dan manajemen pemerahan. Apabila
pemerahan dilakukan secara manual, tangan harus dalam kondisi bersih saat melakukan
pemerahan. Peternak disarankan untuk melakukan dipping pasca pemerahan atau tindakan
pencelupan putting susu dengan menggunakan antiseptik atau desinfektan dengan tujuan
supaya bakteri yang ada di sekitar putting tidak mencemari susu pada saat pemerahan
selanjutnya serta menjaga putting agar tetap dalam keadaan steril. Selain itu, perlu
diperhatikan sanitasi kandang untuk mencegah timbulnya bibit bibit penyakit. Kondisi
kandang yang kotor dapat memperbanyak timbulnya bakteri bakteri patogen penyebab
penyakit.

89
3.2.12.9 Dokumentasi

3.2.13 Pericarditis Traumatica


Anamnesa Pedet usia 5 bulan tidak nafsu makan
Diduga akibat banyak makan benda
asing, Kondisi pedet dengan frekuensi
jantung nya sangat cepat, konsistensi
kotoran nya padat, Sering keluar leleran
darah dari hidung dan tekstur gumba
tidak normal, apabila gumba ditusuk
akan keluar darah dengan konsistensi
encer

Signalmen :

- Jenis hewan Sapi (Pedet)

- Ras Limousin

- Warna rambut Coklat kemerahan

- Jenis kelamin Jantan

- Berat badan dan Usia 50 kg usia 5 bulan

- Temperatur 39,7oC

90
- Pulsus 140/menit

- Respirasi 48/menit

- Riwayat Obat Tidak ada

3.2.13.1 Etiologi
Perikarditis traumatika merupakan peradangan perikardium disertai dengan akumulasi
radang berupa serosa atau fibrinosa. umumnya diakibatkan oleh adanya benda asing seperti
kawat, jarum, paku, plastik, logam, kayu ataupun batu pada retikulum kemudian menembus
dinding retikulum, diafragma dan kantong perikardium yang mengakibatkan perikarditis
Traumatika.

3.2.13.2 Gejala Klinis


Adapun gejala klinis yang dapat ditemukan pada perikarditis traumatika pada sapi
yaitu sapi akan merasa kesakitan seperti bruxism dan mendengus, gerak sapi akan terbatas,
kaku, olekranon diputar ke luar, respirasi superficial, suhu tubuh meningkat, takikardia,
edema submandibular, terjadi distensi vena jugularis dan pada umumnya kondisi dan nafsu
makan ternak dengan perikarditis traumatika abnormal.

3.2.13.3 Pathogenesis
Perikarditis traumatika terjadi sebagai kelanjutan dari penusukan benda tajam dari
dalam retikulum. Kuman pembusuk yang terbanyak diisolasi adalah F. necrophorum..
Menurut Omid dan Mozaffari (2014), struktur mukosa retikulum yang mirip sarang lebah
membuat benda asing dapat berdiam di dalam retikulum, dan kontraksi retikulum yang kuat
akan mendorong benda asing tajam menembus dinding retikulum dan menyebabkan
traumatic reticuloperitonitis. Benda asing di dalam rumen dapat menyebabkan peluruhan dan
pengerdilan papilla rumen, respons inflamasi dan hyperplasia muncul karena adanya tekanan
pada dinding rumen yang diakibatkan oleh benda asing (Vanita et al., 2010).

Dalam proses penusukan tersebut bisa berlanjut hingga menembus kantong


perikardium, yang terjadi sekali saja atau berulang kali, dan akan menimbulkan
kuman-kuman pembusuk. Sebagai reaksi atas tusukan tersebut, jaringan elastis, pleura dan
perikard, akan mengalami peradangan yang reaksi selanjutnya berupa penebalan kedua
jaringan tersebut. Selanjutnya di sekitar proses radang akan terjadi pemecahan komponen
91
darah yang kemudian sebagai jonjot-jonjot fibrin Dalam keadaan lanjut. perikardium menebal
kadang mencapai 1 cm. Karena penebalan tersebut kardium kehilangan sifat elastisnya,
menjadi kenyal, hingga hal tersebut akan mengurangi keleluasaan kontraksi dan relaksasi
jantung. Radang akan menghasilkan cairan perikard, atau hidroperikard yang kemudian
digunakan oleh kuman-kuman untuk makin berkembang biak. Cairan yang semula jernih
akan berubah menjadi mukopurulen yang biasa tercampur dengan darah, hingga warna
menjadi kecoklatan.. Dalam cairan radang dapat terlihat adanya reruntuhan sel, fibrin dan
sel-sel darah. Oleh kerjaan kuman jaringan dan cairan radang jadi berbau amis, sedang gas
yang terbebas kan akan berbau busuk. Adanya gas di atas cairan di dalam perikard akan
menyebabkan menggembungnya perikard, hingga jantung dengan perikard akan menempati
sebagian besar rongga dada. Kompresi cairan perikard ke arah luar akan mengakibatkan
kesusahan pernafasan, dispnoea, sedang tekanan ke arah dalam akan makin membatasi
kebebasan jantung dalam relaksasi otot-ototnya. Oleh tercelupnya jantung di dalam cairan
kental untuk jangka waktu yang lama akan mengakibatkan degenerasi miokard, hingga
kekuatan jantung pun makin menurun. Oleh gangguan sirkulasi (kelemahan jantung) yang
disertai dengan kurangnya unsur-unsur makanan yang dapat diserap akan terjadi
hipoproteinemia, yang kemudian akan mengakibatkan terjadinya busung (oedem) jaringan.
Bagian yang sering mengalami busung adalah kulit di bawah kepala, leher (gelambir), perut
bagian bawah, kelenjar susu, dan pada hewan jantan juga pada skrotumnya. Tidak jarang
kejadian perikarditis traumatika juga disertai dengan hidrotoraks, hidrops ascites, dan atau
hidrops anasarka oleh adanya rasa sakit di daerah dada penderita akan meregangkan kaki
depannya (sikap abduks), karena rasa sakit pada saat bergerak, penderita menjadi kelihatan
malas bergerak. Penderita lebih banyak berdiri, karena bila dipakai untuk tiduran akan
mengakibatkan tekanan pada rongga dada (Subronto, 1989).

Pedet di lapangan yang menderita kasus ini diduga karena kurangnya pengawasan dari
pemilik ternak sehingga tanpa sengaja pedet tersebut memakan benda asing yang terdapat di
sekitar kandang. Sehingga terjadilah perikarditis traumatika dengan perjalanan penyakit
seperti yang sudah dijelaskan di atas.

3.2.13.4 Diagnosa
Diagnosis yang dapat dilakukan pada perikarditis traumatika adalah dengan melihat
gejala klinis, selain itu dapat dilakukan dengan tes glutaraldehida. Selain itu, bisa juga
dilakukan pemeriksaan radiografi thorax dan retikulum untuk menunjukkan benda asing.
92
Ultrasonography juga merupakan metode pilihan untuk diagnosis. Bisa juga menggunakan
metode karakterisasi efusi perikardial.

3.2.13.5 Diagnosa Banding


Adapun diagnosa banding dari penyakit perikarditis traumatika adalah
Hydroperikardium dan Pleuritis.

3.2.13.6 Prognosis
Infausta (tidak dapat disembuhkan) apabila tidak dilakukan tindakan operatif. Fausta
(dapat disembuhkan) atau dubius (kemungkinan sembuh dan kemungkinan juga tidak)
apabila dilakukan tindakan operatif pada penyakit ini.

3.2.13.7 Terapi
Secara teori, penyakit ini tidak bisa disembuhkan jika tidak dilakukan tidakan operatif.
Apabila dilakukan Tindakan operatif sebaiknya saat kondisi belum parah, jika sudah sangat
parah, kemungkinan prognosa tetap infausta atau tidak bisa disembuhkan. Penanganan kasus
ini dilapangan mula mula dengan diberikan terapi supportif yaitu injeksi Biodin® secara
intramuskular sebanyak 10 ml, akan tetapi terapi supportif ini hanya sebagai penguat dan
tidak bisa menyembuhkan penyakit tersebut.

3.2.13.8 Edukasi Peternak


Para peternak diharapkan untuk selalu mengawasi dan memperhatikan kondisi pedet
sejak hari pertama lahir. Pastikan pedet mendapatkan asupan nutrisi yang baik seperti
kolostrum, susu, vitamin, dengan jumlah yang cukup. Perhatikan selalu tingkah laku pedet.
Jangan membiarkan pedet terlepas begitu saja hingga akhirnya sering memakan benda benda
asing di sekitar kandangnya. Karena hal tersebut merupakan awal mula timbulnya penyakit
Perikarditis traumatiika. Selain itu, manajemen kebersihan kandang juga perlu di perhatikan.
Bersihkan kandang secara rutin agar terhindar dari adanya kotoran kotoran yang tidak
diinginkan yang bisa memicu timbulnya penyakit.

3.2.13.9 Dokumentasi

93
3.2.14 Suspect Helminthiasis
Anamnesa Peternak menyatakan bahwa sapinya mengalami diare dan
penurunan nafsu makan. Kemudian peternak tersebut
mencoba meminta bantuan kepada paramedis dan selang
beberapa hari kondisi sapi tidak kunjung membaik dan
menunjukkan kondisi diare yang semakin memburuk
dengan konsistensi feses yang semakin cair atau diare
profus. Sapi yang semula masih sanggup untuk berdiri,
dalam 2 hari terakhir sudah tidak sanggup berdiri dan
nampak semakin lemas. Peternak menyatakan bahwa sapi
telah lama tidak diberi obat cacing.
Signalment
- Jenis hewan Sapi
- Ras Ongole crossbreed
- Warna rambut Putih
- Jenis kelamin Jantan
- Bb dan usia 450 kg / 6 Tahun
- Temperature 37,55 °C
- Pulsus 62 kali/ menit
- Respirasi 27 kali/ menit
- Riwayat obat Tidak ada

3.2.14.1 Etiologi
Helminthiasis merupakan penyakit hewan menular strategis yang kurang mendapat
perhatian, sehingga dalam penanganannya seringkali kurang maksimal. Penyakit ini
merupakan penyakit yang disebabkan oleh berbagai jenis cacing yaitu klas trematoda,

94
nematoda, dan cestoda. Klas nematoda gastrointestinal menjadi jenis cacing yang paling
umum diketahui menginfeksi saluran pencernaan ternak ruminansia. Cacingan pada ternak
sangat kurang mendapatkan perhatian dari peternak karena dirasa tidak mengganggu
kesehatan dan aktivitas ternak. Faktanya cacingan pada ternak dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan, penurunan berat badan, mengganggu status kesehatan secara umum sehingga
mudah terinfeksi penyakit lain, hingga dapat mengakibatkan kematian. Gangguan pada
pertumbuhan yang berlangsung cukup lama dapat menurunkan produktivitas.

3.2.14.2 Gejala Klinis


Gejala klinis dari sapi yang mengalami helminthiasis umumnya yaitu, diare, rambut
kusam dan berdiri, nafsu makan menurun, dan Body Condition Score (BCS) rendah hingga
pertumbuhan terganggu. Pada kasus dilapangan, sapi yang diduga mengalami cacingan
menunjukkan gejala penurunan nafsu makan, diare, dehidrasi, bahkan kondisi sapi sudah
tidak sanggup untuk berdiri. Pada kasus helminthiasis atau cacingan umumnya juga dapat
ditemukan telur maupun cacing pada feses ternak. Namun pada kasus kali ini, diagnosa
dilakukan sebatas anamnesa dari peternak karena peralatan yang tidak mendukung.

3.2.14.3 Pathogenesis
Faktor penyebab penyakit cacingan diantaranya ialah akibat adanya interaksi antara
hospes (ternak), agen penyakit (infeksi cacing) dan lingkungan. Pada lingkungan tropis
basah, tingkat infeksi cacing pada ternak cukup tinggi. Hal tersebut dapat terjadi sebagai
akibat dari telur cacing yang masuk ke dalam tubuh ternak melalui pakan hijauan yang
dikonsumsi dan berkembang di dalam saluran pencernaan ternak. Organ pencernaan
umumnya hepar dan usus halus menjadi predileksi utama dari beberapa jenis cacing yang
akan menghisap nutrisi, darah, dan mampu mengakibatkan iritasi serta kerusakan pada
mukosa usus. Kerusakan mukosa usus dapat mengakibatkan gangguan penyerapan nutrisi dan
pencernaan sehingga membuat ternak tampak kurus (Paramitha dkk., 2017).

Selain itu, gangguan penyerapan nutrisi yang dialami oleh ternak akan mengakibatkan
penurunan kualitas kesehatan seperti kebutuhan nutrisi pokok yang tidak terpenuhi, usaha
penggemukan pada ternak akan terhambat, dan gangguan reproduksi sebagai akibat
kurangnya asupan nutrisi untuk tubuh.

Faktor utama terjadi cacingan pada sapi di peternakan warga umumnya diakibatkan
kurang adanya perhatian pada pakan yang diberikan pada ternak maupun sanitasi kandang.

95
Hijauan pakan yang diperoleh langsung diberikan pada ternak tanpa diangin-anginkan
terlebih dahulu. Hal tersebut dapat memiju diare karena hijauan banyak mengandung air dan
beresiko tercemar kotoran maupun agen parasitik lainnya. Sehingga ketika termakan, ternak
akan mudah terkena diare. Sanitasi kandang yang kurang baik juga dapat meningkatkan
persebaran agen penyakit.

3.2.14.4 Diagnosis
Diagnosis dapat dilakukan dengan mengamati gejala klinis yang ditunjukkan oleh sapi.
Dari anamnesa dan gejala klinis yang ditunjukkan oleh sapi ongole crossbreed dimungkinkan
bahwa sapi menderita helminthiasis. Sebagai upaya penegakan diagnosis harus dilakukan
pemeriksaan lanjutan berupa identifikasi jenis dan derajat infeksi dari cacing. Identifikasi
telur cacing pada feses sapi dapat menggunakan metode apung dan sedimentasi. Pemeriksaan
pasca mati pada organ dalam khususnya organ pencernaan untuk menemukan cacing dewasa.

3.2.14.5 Diagnosa Banding


Malnurtrisi, Salmonellosis, dan Bovine Viral Diarrhae (BVD).

3.2.14.6 Prognosa
Fausta

3.2.14.7 Terapi
Adapun terapi yang diberikan kepada sapi yaitu,

- Infus Ringer Laktat, berfungsi sebagai terapi cairan untuk mengatasi dehidrasi yang
dialami sapi. Pada kasus ini, sapi ongole crossbreed membutuhkan 1 flacon larutan
Rinnger Laktat.
- Biodin®, obat ini mengandung adenosin triphosphat, garam aspartarte, sodium
selenite, dan Vitamin B12. Secara umum obat ini berfungsi untuk memperbaiki proses
metabolisme tubuh hewan sehingga mampu meningkatkan kerja otot menjadi lebih
baik dan daya tahan tubuh hewan lebih prima.
- Multivitamin, berfungsi untuk mencegah dan mengobati defisiensi vitamin, gangguan
pertumbuhan, proses penyembuhan penyakit
- Albendazole serbuk, berfungsi sebagai antihelminthiasis.

96
3.2.14.8 Edukasi Peternak
Helminthiasis merupakan penyakit yang tidak langsung mengakibatkan kematian
namun dapat menimbulkan kerugian yang besar dari segi ekonomi. Oleh karena hal tersebut
perlu dilakukan beberapa tindakan pencegahan yaitu,

- Pemberian obat cacing pada sapi dapat dilakukan secara berkala


- Pemberantasan siput air secara biologik sebagai upaya pemutus rantai siklus hidup
cacing Fasciola sp.
- Tidak memberikan pakan hijauan yang tumbuh di dekat selokan
- Tidak menggembalakan sapi di dekat area selokan

3.2.14.9 Dokumentasi

3.2.15 Glaukoma
Anamnesa Dari keterangan yang diperoleh dari peternak, diperoleh
informasi bahwa sapi mengalami penurunan nafsu makan,
feses memiliki konsistensi yang lebih lunak atau cair, kondisi
rambut berdiri, dan terjadi gangguan pertumbuhan.
Signalment
- Jenis hewan Sapi
- Ras Simental crossbreed
- Warna rambut Merah

97
- Jenis kelamin Jantan
- Bb dan usia 350 kg / 15 bulan
- Temperature 38,22 °C
- Pulsus 68 kali/ menit
- Respirasi 33 kali/ menit
- Riwayat obat Tidak ada

3.2.15.1 Etiologi
Glaukoma adalah keadaan pada mata yang mengalami tekanan intra okuler (TIO)
secara mendadak akibat aposisi iris dengan jalinan trabekular pada sudut bilik mata. Kondisi
iris yang terdorong atau menonjol ke depan mengakibatkan outflow humour aquous
terhambat sehingga TIO meningkat. Berdasarkan etiologi, glaukoma dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu, glaukoma primer, glaukoma sekunder, dan glaukoma kongenital. Glaukoma
pada sapi dikaitkan dengan anomali iridokorneal kongenital dan uveitis anterior. Uveitis
merupakan radang di dalam bola ata yang mengakibatkan perlekatan antara iris dengan lensa
(sinekia posterior) atau perlekatan antara pangkal iris dan tepi kornea (goniosinekia).

3.2.15.2 Gejala Klinis


Adapun gejala klinis pada sapi yang mengalami galukoma yaitu,

- Sapi lebih sering nampak gelisah dan sensitif. Hal tersebut terjadi karena kelemahan
fungsi mata dan berakhir penciutan lapang pandang yang dapat berakhir dengan
kebutaan.
- Pada bola mata tampak lingkaran seperti pelangi ketika melihat ke arah cahaya
- Memiliki sudut buta (blind spot)
- Nampak kelainan pada pupil mata yang memiliki ukuran yang tidak sama.

3.2.15.3 Pathogenesis
Patogenesis glaukoma belum dapat dijelaskan secara pasti namun dapat dimungkinkan
sebagai akibat dari peningkatan resistensi aliran cairan akuos menyebabkan peningkatan
tekanan intraokular, tetapi lokasi dan perubahan morfologis yang terlibat masih belum
dipastikan. Adapun teori utama patogenesis glaukoma yaitu, a) Teori mekanik (Peningkatan
TIO menyebabkan kerukasan kepala saraf optik), b) Teori vaskular (Penurunan aliran darah

98
sebagai penyebab utama atrofi optik). Kerusakan saraf yang terjadi pada glaukoma dapat
dibedakan menjadi kerusakan saraf primer dan kerusakan saraf sekunder. Kerusakan saraf
primer meliputi beberapa faktor yang masing-masing dapat merusak sel ganglion retina dan
neronnya yaitu, faktor mekanis, faktor vaskular, faktor genetik, dan faktor metabolisme
(Virgana, R. 2007). Faktor kerusakan sekunder dapat terjadi sebagai akibat dari infesksi,
peradangan, penyumbatan pembuluh darah, dan cedera akibat paparan zat kimia.

Kondisi sapi yang diduga mengalami glaukoma pada kasus ini kurang memperoleh
perhatian dari peternak karena dianggap tidak mengganggu performa sapi. Peternak juga
kurang mengetahui secara pasti sejak kapan mata sapi memiliki bentuk yang tidak normal
sehingga penyebab terjadinya glaukoma pada kasus ini tidak dapat dipastikan secara pasti.

3.2.15.4 Diagnosis
Diagnosa glaukoma dapat dilakukan dengan penegakan diagnosa berupa tonometry,
ophthalmoscopy, dan gonioscop.

3.2.15.5 Diagnosa Banding


Katarak, pink eye, tumor intraokuler, trauma pada mata, fakoanafilaksis, sindroma
struge-weber, carotid-cavernous fistula (CCF), dan krisis galucomatocyclitic.

3.2.15.6 Prognosis
Dubius

3.2.15.7 Terapi
- Salep mata oxytetracycline HCl. Salep mata antibiotik yang mengandung
oxytetracycline yang efektif untuk trakoma dan infeksi lain pada mata oleh gram
positif dan gram negatif yang sensitif.
- Phenylject®, merupakan obat yang mengandung phenyllbutazone yang berfungsi
sebagai Non steroidal anti inflammatory drug.
- Tetramison, berfungsi sebagai pembasmi cacing pada sapi, kambing, domba, kuda,
dan babi. Pemberian obat cacing pada kasus glaukoma dimaksudkan sebagai tindakan
prefentif bilamana diketahui penyebab dari glaukoma ialah akibat infeksi cacing.

3.2.15.8 Edukasi Peternak


Kondisi glaukoma pada ternak dapat megakibatkan ternak tidak tenang dan
meningkatkan tingkat stress karena penglihatan ternak terganggu. Pengobatan yang

99
diperlukan berupa tindakan operasi namun kondisi di lapangan harus mempertimbangkan
kondisi perekonomian peternak, sehingga yang dapat dilakukan yaitu berupa pengobatan
tetes mata pada mata sapi dengan tetramison.

3.2.15.9 Dokumentasi

3.2.16 Hipofungsi Ovarium


Sapi masih dalam usia produktif dan terjadi
Anamnesa
kawin berulang (repeat breeder). Pakan
yang diberikan berupa hijauan saja.
Signalemen:

Jenis Hewan Sapi

Ras Simental

Warna Coklat

Jenis Kelamin Betina

BB dan Usia +/- 350 kg

Temperatur 38,8℃

Pulsus 73/menit

Respirasi 31/menit

Riwayat obat -

100
3.2.16.1 Etiologi
Hipofungsi ovarium merupakan suatu kondisi dimana ovarium kurang berfungsi secara
normal yang ditandai dengan tidak adanya perkembangan folikel. Rendahnya sekresi GnRH
di hypothalamus, sehingga terjadi rendahnya sekresi FSH dan LH akibat kurangnya
rangsangan kelenjar di hipofisa anterior yang akan menyebabkan folikel ovarium tidak
berkembang dan hewan tidak menunjukkan gejala estrus (Pemayun, 2010). Hipofungsi
ovarium biasa terjadi pada sapi dara dan sapi setelah beranak. Menurut Arthur (1989),
terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini, diantaranya:

● Defisiensi nutrisi
● Efek musim dan suhu lingkungan yang ekstrim
● Masalah genetik dengan lamanya rekondisi fungsi ovarium pasca beranak
● Respon suckling / menyusui (endocrine feedback reaction). Aktifitas menyusui akan
menstimulasi sekresi hormone prolaktin, yang menyebabkan perpanjangan masa
anestrus (tidak birahi) post partus. Hormone prolaktin dapat mengurangi sensitifitas
ovarium khususnya pada tingkatan kadar hormone – hormone pemicu birahi. Selain
itu, pedet yang masih lama menyusui menyebabkan kekurusan pada induk sehingga
kondisi tubuh yang harusnya mencukupi untuk melakukan aktifitas hormonal
dialihkan ke sistem perbaikan kondisi tubuh.
● Sanitasi kandang yang buruk
● Kurangnya exercise

3.2.16.2 Gejala Klinis


Sapi yang mengalami hipofungsi ovarium menampakkan gejala klinis anestrus. Selain
itu, sapi mengalami repeat breeder atau kawin berulang. Tidak terdapat folikel yang cukup
matang untuk diovulasikan, hal ini dikarenakan gangguan hormone FSH dan LH, sehingga
pada pemeriksaan palpasi per rektal, ovarium yang mengalami hipofungsi akan teraba licin
dan pipih.

3.2.16.3 Pathogenesis
Penyebab yang biasa ditemukan di Kediri ialah manajemen pakan yang buruk dengan
pemberian pakan dalam jumlah yang tidak tercukupi mengakibatkan nutrisi yang diabsorpsi
ke dalam tubuh ternak tidak mencukupi dengan nutrisi dibutuhkan untuk penggunaan energi

101
harian. Hal ini menyebabkan kondisi tubuh ternak memburuk sehingga mengganggu fungsi
tubuh secara keseluruhan.

3.2.16.4 Diagnosis
Diagnosis dapat diteguhkan setelah melakukan palpasi per rektal, dengan ovarium
teraba licin dan pipih atau bahkan tidak ada folikel yang berkembang. Terjadinya kawin
berulang (repeat breeder).

3.2.16.5 Diagnosa banding


Gejala utama yang terlihat pada hipofungsi ovarium adalah anestrus yang
berkepanjangan. Fase anestrus pada siklus estrus normalnya terjadi selama 1 – 6 bulan.
Ditandai dengan inaktivitas ovarium, kondisi ini juga terjadi pada kebuntingan, sistik ovari,
corpus luteum persisten (CLP), mumifikasi, hypoplasia ovari, pyometra dan endometritis
subklinis.

3.2.16.6 Prognosis
Fausta

3.2.16.7 Terapi
Terapi yang diberikan ialah dengan pemberian GnRH, yang akan menstimulasi kelenjar
di hipofisa anterior untuk mensekresikan gonadotropin FSH dan LH. LH bekerja sama
dengan FSH untuk menstimulir pematangan folikel dan pelepasan estrogen. Pertumbuhan dan
perkembangan folikel menghasilkan hormone estrogen sehingga sapi dapat menunjukkan
gejala birahi (Suartini dkk. 2013). Pemberian Vitol yang mengandung komposisi vitamin A,
D dan E. Pemberian vitamin E dapat membantu pelepasan FSH, ACTH dan LH.

3.2.16.8 Edukasi Peternak


Kasus hipofungsi ovarium yang dijumpai selama PKL lebih dominan disebabkan oleh
sapi yang mengalami malnutrisi, sehingga edukasi yang dapat diberikan pada ternak ialah
dengan memperbaiki pakan ternak terlebih dahulu, dengan tidak hanya memberikan sapi
pakan berupa hijauan saja, namun juga pakan konsentrat.

102
3.2.16.9 Dokumentasi

3.2.17 Bovine Cutaneus Papillomatosis


Peternak baru saja membeli sapi dan umur
Anamnesa sapi masih muda, setelah beberapa minggu
tampak lesi kutil di beberapa lokasi pada
tubuh sapi.
Signalemen:

Jenis Hewan Sapi

Ras Simental

Warna Coklat

Jenis Kelamin Betina

BB dan Usia +/- 250 kg

Temperatur 38,4℃

Pulsus 75/menit

Respirasi 28/menit

Riwayat obat -

103
3.2.17.1 Etiologi
Cutaneus papillomatosis atau kutil merupakan tumor kulit yang berbentuk sepeti
bunga kol, disebabkan oleh Bovine papillomavirus. Pada ternak sapi umur muda, kutil
ditemui pada sekitar leher. Penularan kutil ini dapat melalui kontak langsung, makanan,
penggunaan jarum suntik yang berulang dan peralatan kandang lainnya yang terkontaminasi
ternak penderita.

3.2.17.2 Gejala Klinis


Gejala klinis yang ditimbulkan sangatlah jelas dengan adanya kutil pada permukaan
kulit dari ternak yang terserang. Permukaan tumor ini agak kasar, seperti bunga kol, dan tidak
menimbulkan rasa nyeri (Soeharsono et. al., 2010).

Gejala klinis yang tampak ialah terdapat kutil yang tersebar di seluruh tubuh, seperti
pada hidung, telinga, bagian temporal kepala, tubuh bagian dorsal, bagian abdomen, tubuh
bagian posterior, ekstremitas cranialis dan caudalis.

3.2.17.3 Pathogenesis
Penularan kutil ini dapat melalui kontak langsung, pakan, penggunaan jarum suntik
yang berulang dan peralatan kandang yang terkontaminasi ternak penderita. Kutil timbul
akibat infeksi virus masuk melalui lesi atau abrasi kulit. Lesi kulit dapat terjadi akibat tatto
sekitar telinga untuk ear tag, sekitar hidung akibat luka pemasangan bull leads (tali hidung),
dan lesi akibat terkena kawat berduri. Virus masuk ke dalam jaringan epidermis kemudian
memperbanyak diri (bereplikasi) pada basal sel epitel. Replikasi virus menyebabkan
pertumbuhan epitel berlebihan.

Karena sapi yang dipelihara oleh peternak merupakan sapi baru beli, sehingga diduga
cutaneus papillomatosis yang diderita sapi disebabkan oleh manajemen pemeliharaan
sebelumnya. Selain itu, vector seperti lalat atau ektoparasit lainnya juga dapat menyebarkan
penyakit ini.

Salib dan Farghali (2011) mengatakan bahwa tingkat infestasi kutu yang tinggi
(76,92%) diamati di antara hewan yang terinfeksi. Dipercayai bahwa kutu memiliki dua peran
yang menginduksi untuk papilomaosis pada sapi. 1) Kutu menembus kulit dan menciptakan
pintu masuk, sehingga virus dapat memasuki jaringan kulit, menginfeksi basal keratinocytes,
dan mereplikasi material genomic pada lapisan spinous dan granular epidermis, dan
menyebabkan perkembangan kutil yang berlebihan. 2) Kutu menghisap banyak volume darah
104
inang dengan menyisipkan hipostomenya di dalam kulit dan mensekresikan cement dari
kelenjar saliva untuk mempertahankan hypostome pada kulit, kemudian kutu merusak barrier
kulit saat menghisap darah inang, sekresi saliva mencegah terjadinya pembekuan darah dan
juga mempunyai efek immunosuppressive. Immunosuppressive meningkatkan infeksi virus
papilloma.

3.2.17.4 Diagnosis
Diagnosis papillomatosis pada sapi dikonfirmasi dengan adanya kutil yang berbagai
ukuran pada tubuh sapi dan pemeriksaan histopatologi (Salib dan Farghali, 2011). Pada kasus
yang ada di Kediri, diagnosis dilakukan berdasarkan gejala klinis yang tampak.

3.2.17.5 Diagnosa Banding


Cacar pada sapi dan tumor

3.2.17.6 Prognosis
Fausta

3.2.17.7 Terapi
Penyebaran penyakit dapat dikurangi dengan isolasi ternak penderita. Kutil dapat di
angkat melalui pembedahan atau melalui diikat dengan benang jahit dibagian dasarnya,
tergantung dari jumlah, tipe, ukuran dan lokasinya. Selain dengan pembedahan dan
pengikatan, kutil dapat disembuhkan dengan pembuatan autovaksin yang di injeksikan secara
subcutaneous di daerah dekat dengan kutil. Berkurangnya kutil terjadi kira-kira tiga minggu
setelah vaksinasi dan dalam enam minggu kutil secara spontan hilang dengan menunjukkan
total kesembuhan. Setelah pengobatan, kutil pada sapi ini tidak tumbuh lagi (Sreeparvathy et.
al., 2011).

Adapun proses pembuatan dan terapi dengan autovaksin adalah:

● Koleksi Kutil. Kutil diambil dari hewan terinfeksi. Sebelum kutil diambil terlebih
dahulu dilakukan anastesi lokal dengan lidocain pada lokasi kutil yang akan disayat.
Penyayatan dilakukan dengan menggunakan pisau bedah. Setelah kutil diambil
dilakukan pembuatan autovaksin dengan metode Budhiyadnya (2014).
● Pembuatan Autovaksin (Budhiyadnya, 2014). Pembuatan autovaksin dilakukan
melalui tiga langkah yaitu: Koleksi virus, Inaktivasi virus, Formulasi autovaksin.

105
● Kutil terkumpul, ditimbang sebanyak 1gr, masukkan ke dalam lumpang kemudian
digerus selanjutnya ditambahkan PBS Isotonik PH 7 – 7,2 sterill dengan perbandingan
1:1 {1 gr sayatan kutil + 1 ml PBS Isotonik PH 7 – 7,2}.
● Gerusan yang telah tercampur PBS Isotonik dimasukkan kedalam test tube lalu di
sentrifuge 3000 rpm selama 15 menit.
● Koleksi supernatan kemudian masukkan dalam test tube yang baru ditambah
antibiotik {Procaine Penicillin-G (0,1gr/ml) dan Stretomycin Sulfat (0,02gr/ml)}
Perbandingan penambahan antibiotik dengan supernatan adalah 1:10 (1 bagian
antibiotik + 9 bagian supernatan).
● Inaktivasi virus (Budhiyadnya, 2014): 10 ml Supernatan yang diperoleh ditambahkan
b-propiolactone 10% sebanyak 0,025 % dari volume supernatant (10 ml).
● Formulasi autovaksin (Budhiyadnya, 2014): Virus yang telah di inaktifasi pada suhu
4°C selama 48 jam ditambah Thimerosal 10 %, Selanjutnya tambahkan Al (OH)3 2 %
sebanyak 0,25 % dari volume supernatan (10ml). Divortek setiap 2 jam dalam suhu
4°C selama 24 jam, Setelah 24 jam hentikan vortek, selanjutnya berikan Al(OH)3 2%,
inkubasi selama 24 jam dalam suhu 4°C, Setelah inkubasi buang supernatan sampai
batas endapan Al(OH)3 2%.

Imunoterapi dilakukan dengan cara injeksi autovaksin secara sub kutan (s.c) sebanyak
1ml/20kg berat badan dan pengulangan (booster) satu kali dengan volume yang sama,
interval empat minggu setelah dilakukan injeksi pertama. Selanjutnya dilakukan pengamatan
selama enam minggu. Booster interval empat minggu dilakukan mendasar pada respon
imunitas dan penelitian yang dilakukan Budhiyadnya (2014). Autovaksin mampu meregresi
kutil antara 4-6 minggu.

106
Gambar 3.3 Proses Pembuatan Autovaksin
Penanganan yang dilakukan di lapangan ialah dengan menginjeksi Xylazine 2cc secara
intramuscular, guna meminimalisir gerak atau sebagai penenang. Hal ini dilakukan karena
sapi bergerak sangat aktif saat dilakukan penanganan. Penanganan kutil digunting
menggunakan gunting bedah hingga terjadi pendarahan minimal. Luka dispray dengan
menggunakan Limoxin spray. Injeksi Sulphidon 15cc dan Multivitamin 10cc secara
intramuscular.
3.2.17.8 Edukasi Peternak
Luka bekas kutil yang dipotong memungkinkan untuk tumbuh kembali, sehingga
apabila bekas luka menunjukkan pertumbuhan kembali maka diberilah kapur sirih yang
dicampur dengan sabun. Kapur sirih yang dicampur dengan sabun hanya dioleskan pada
bekas luka, hal ini ditujukan untuk membantu pengelupasan lapisan kulit. Menjaga sanitasi
dan kebersihan kandang guna mencegah terjadinya infeksi sekunder. Sebaiknya apabila
ternak penyakit kutil segera pisahkan dengan ternak yang lain pada kandang isolasi dan
panggil petugas kesehatan untuk mengobatinya.

107
3.2.17.9 Dokumentasi

3.2.18 Abses

Anamnesa Terdapat benjolan besar di daerah pipi kanan kambing. Jika ditekan
benjolan tersebut terasa lembek. Untuk makan dan minum masih
normal. Belum terjadi demam.

Jenis Hewan Kambing

Ras Kambing PE

Warna Rambut Belang hitam putih

108
Jenis Kelamin Betina

Berat Badan 20 Kg

Suhu 38,5° C

Umur 2 Bulan

BCS 3

Frekuensi Jantung 90/Menit

Frekuensi Nafas 35/Menit

Riwayat Obat -

3.2.18.1 Etiologi
Abses merupakan akumulasi lokal dari eksudat purulent yang berasal dari degeneratif
sel-sel radang, sebagai reaksi sel radang. Abses merupakan kumpulan nanah yang terbentuk
akibat jaringan yang rusak, pada hewan ternak sering ditemukan pada permukaan tubuh.
Penyebab abses diantaranya adalah bakteri Pseudomonas sp, pyogenes (kelompok
streptococus), terkadang Escherichia Coli yang merupakan bakteri yang umumnya terdapat di
lingkungan radang.

Luka yang terbuka dibagian permukaan tubuh akan memudahkan bakteri masuk secara
persisten dan akan menyebabkan terbentuknya eksudat purulent. Bakteri yang biasa
menyerang luka adalah bakteri pyogenikseperti staphylococus aurus, saat kulit terjadi
perlukaan maka tubuh akan merespon dengan adanya sel-sel darah putih yaitu neutrofil dan
makrofak untuk membunuh bakteri yang ada, jika infeksi terlalu parah maka sel-sel darah ini
akan mati lalu membentuk nanah dan peradangan terus terjadi. Abses yang terjadi dapat
membuat ruptur jaringan peradangan dan infeksi akan semakin lama terjadi.

3.2.18.2 Gejala Klinis


Terdapat kebengkakan dan benjolan yang ditemukan memiliki konsistensi yang lembek
dan disertai fluktuasi didalamnya bila dipalpasi. Apabila diincisi dan ditekan dengan tangan
maka akan keluar cairan kental, keruh berwarna merah kekuningan. Hal ini menunjukkan
bahwa luka tersebut telah terkontaminasi oleh mikroorganisme pyogenes.

109
3.2.18.3 Pathogenesis
Abses dapat terjadi dikarenakan adanya trauma, luka oleh benda asing, ataupun luka
bakar. Abses terjadi karena reaksi pertahanan tubuh dari jaringan untuk menghindari
penyebaran infeksi didalam tubuh.

Agen penyebab infeksi menyebabkan keradangan dan infeksi sel disekitarnya sehingga
menyebabkan pengeluaran toksin. Toksin tersebut menyebabkan sel radang, dan sel darah
putih menuju ke tempat keradangan atau infeksi. Terbentuk dinding abses untuk mencegah
infeksi meluas ke daerah tubuh lain.

3.2.18.4 Diagnosis
Diagnosis berdasarkan gejala klinis.

3.2.18.5 Diagnosa Banding


- Selulitis
- Kista Sebaceous

3.2.18.6 Prognosis
Fausta

3.2.18.7 Terapi
● Anastesi local Lidovap 2% 2 ml
● Dilakukan penyayatan pada benjolan abses menggunakan silet
● Flushing dengan air bersih
● Inj. Penstrep 2 ml
● Inj. Multivitamin 2 ml
● Inj. Analdon 2 ml
● Menyemprot Limoxin spray pada bagian yang telah disayat.

3.2.18.8 Edukasi Peternak


Peternak harus memperhatikan kambing ternaknya jika terdapat luka. Segera
membersihkan luka dan memberi antiseptic agar bakteri yang ada di lingkungan sekitarnya
tidak meninfeksi. Melakukan pengobatan jika luka semakin parah dan tidak kunjung
membaik.

110
3.2.18.9 Dokumentasi

3.2.19 Clostridium Tetani

Anamnesa Kambing sudah pernah partus sebelumnya, pasca partus muncul


gejala otot kaku, kembung dan pernah terjadi prolapsus vagina
pada saat partus. Nafsu makan tidak terjadi perubahan Tidak
terjadi demam.

Jenis Hewan Kambing

Ras Kambing PE

Warna Rambut Hitam Putih

Jenis Kelamin Betina

Berat Badan 45 Kg

Suhu 40° C

Umur 2 Tahun

BCS 3

111
Frekuensi Jantung 100/menit

Frekuensi Nafas 45/menit

Riwayat Obat -

3.2.19.1 Etiologi
Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani. C.tetani merupakan bakteri
berbentuk batang Iangsing, berukuran 0.4-0.6x2-5 mikron dan bersifat motil. Spora Cl.tetani
bersifat sangat resisten, dapat tahan bertahun-tahun bila dalam keadaan terlindung terhadap
sinar matahari dan panas. Pada biakan muda bakteri tetanus bersifat Gram positif, dan cepat
berubah menjadi Gram negatif pada biakan yang lebih tua.
Ada 10 macm serotype bakteri tetanus yang semuanya mempunyai H dan O antigen,
kecuali tipe IV yang tidak mempunyai H antigen. Toksin yang dibentuk ada 2 macam yaitu:
1. Hemolysin : tetanolysin, menghemolyse eritrosit, tidak berperanan sebagai penyebab
tetanus
2. Neurotoksin: tetanospasmin, menyebabkan spasmus otot-otot, berperanan sebagai
penyebab tetanus.
3.2.19.2 Gejala Klinis
- Kaku otot
- Kembung
- Prolapses vagina

3.2.19.3 Pathogenesis
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora ini melalui
luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk oleh besi, luka bakar, luka lecet, otitis media,
infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, kadang–kadang luka tersebut hampir
tak terlihat.

Tetanospasmin, atau secara umum disebut toksin tetanus, adalah neurotoksin yang
mengakibatkan manifestasi dari penyakit tersebut. Tetanospasmin masuk ke susunan saraf
pusat melalui otot dimana terdapat suasana anaerobik yang memungkinkan Clostridium tetani

112
untuk hidup dan memproduksi toksin. Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf
simpatis pada kasus yang berat, sehingga terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang
labil, takikardi, keringat yang berlebihan dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urin.
Hal ini dapat menyebabkan komplikasi kardiovaskuler. Tetanospamin yang terikat pada
jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi oleh antitoksin tetanus.

3.2.19.4 Diagnosis
Diagnosis tetanus sudah cukup kuat hanya dengan berdasarkan anamnesis serta
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan kultur C. tetani pada luka, hanya merupakan penunjang
diagnosis. Adanya trismus, atau risus sardonikus atau spasme otot yang nyeri serta biasanya
didahului oleh riwayat trauma sudah cukup untuk menegakkan diagnosis.

3.2.19.5 Diagnosa Banding


Adanya tanda kekejangan yang terjadi maka tetanus dapat

dikelirukan dengan penyakit lain seperti:

- Gras tetani : pada penyakit ini terdapat hypocalcemia


- Keracunan striknin : kekejangan yang terjadi tidak tergantung adanya rangsangan dari
luar
- Muscular rheumatism : merupakan penyakit kronis.
- Stif f lamb disease : ada gejala diare
- Rabies : ada gejala kelumpuhan

3.2.19.6 Prognosis
Fausta

3.2.19.7 Terapi
- Calcidex 5cc
- Fortis 1 ml
- Kanamycin 1 ml

3.2.19.8 Edukasi Peternak


Pasca terapi peternak diharapkan memberikan konsumsi pada kambingnya berupa
rumput muda.

113
3.2.19.9 Dokumentasi

3.2.20 Hernia Umbilikalis


Anamnesa Nafsu makan menurun, tidak mau berdiri, lesu, saat lahir
plasenta pedet tidak putus secara sendiri dari induk sehingga
oleh peternak dipotong sendiri, lubang umbilikus terlalu besar.
Signalmen:
- Jenis Hewan Sapi

- Ras Limosin

- Warna Rambut Coklat

- Jenis Kelamin Jantan

- BB dan Usia 1 bulan , 30 kg

- Temperatur 38,7℃

- Pulsus 82/menit

- Respirasi 31/menit

- Riwayat Obat Tidak ada

114
3.2.20.1 Etiologi
Hernia adalah penonjolan abnormal organ, sebagian organ atau jaringan ke dalam
rongga abdomen melalui suatu celah alami dari individu tersebut atau lubang abnormal yang
terjadi pada dinding abdomen atau diafragma (Krishnamurthy, 1995). Hernia umbilicalis
adalah cacat anatomis dimana otot-otot di sekitar umbilicus terpisah sehingga bagian dari
usus menonjol dari rongga perut. Ada beberapa kemungkinan alasan mengapa dinding perut
gagal menutup yaitu gagal menutup saat kelahiran, cacat genetic, infeksi bakteri, dan kondisi
lingkungan saat neonatal (Rutten-Ramos dan Deen, 2006; Straw et al., 2009). Kejadian hernia
umbilikalis ini merupakan kondisi yang tidak berbahaya tetapi akan berakibat fatal jika
diikuti dengan rupturnya gastrointestinal akibat tercepit cincin hernia (Smith, 2002).

3.2.20.2 Gejala Klinis


- Nafsu makan menurun
- Terdapat penonjolan pada bagian umbilicus
- Umbilicus tidak tertutup sempurna

3.2.20.3 Pathogenesis
Setelah persalinan normal, otot polos yang mengelilingi umbilicus akan berkontraksi
untuk menutup peritonium dan arteri umbilikalis serta urachus ke dalam perut (Rings, 1955).
Proses penutupan sering kali tidak berlangsung sempurna, muskulus abdominal tidak
berkembang sempurna, muskulus rektus abdominis dan aponeurosis mengalami hipoplastik,
atau linea alba yang memanjang dari kartilago xiphoideus sampau pubis melebar dan
menipis. Masalah yang muncul saat hernia umbilicalis adalah abses paa pusar dan fistula
urachal (Trent, 1987).

3.2.20.4 Diagnosa
Hernia umbilicalis, diagnose dilakukan dengan palpasi bagian yang menojol maupun
ultrasonografi (Kurt and Cihan, 2013).

3.2.20.5 Diagnosa Banding


- Abses
- Tumor

115
3.2.20.6 Prognosis
Fausta

3.2.20.7 Terapi
- Vitol 4 cc (Vitamin A,D,E)
- Intertrim La 4 cc (Antibiotik)
- Flunixin 4 cc (Analgesik, antipiretik, antiinflamasi)

3.2.20.8 Edukasi Peternak


Untuk mengembalikan posisi usus yang masuk ke kantung penis harus dilakukan
tindakan operasi. Kondisi hernia umbilicalis tidak berbahaya, tetapi menyebabkan harga saat
dijual menjadi turun.

3.2.20.9 Dokumentasi

116
BAB 4 PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Praktik Kerja Lapangan oleh Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter
Hewan Gelombang XXXV Universitas Airlangga kelompok 1A di Dinas
Ketahanan Pangan dan Peternakan Kabupaten Kediri berlangsung di tiga tempat
diantaranya Kecamatan Purwoasri, Kunjang dan Kepung. Kegiatan ini selesai
dilaksanakan dengan lancar sesuai dengan jadwal kegiatan yang telah
ditentukan dan memiliki kesimpulan sebagai berikut :

a. Pelayanan kesehatan hewan oleh dokter hewan di ke tiga


kecamatan sudah berjalan dengan baik bila ditinjau dari peternak
yang sudah dilayani dengan baik. Pelayanan yang diberikan
meliputi Kesehatan hewan, inseminasi buatan dan pemeriksaan
kebuntingan pada ternak.
b. Kasus yang sering ditangani selama pelayanan kesehatan hewan
diantaranya retensio sekundinarum, prolapsus uteri, helminthiasis,
infestasi ektoparasit, hipofungsi ovari, babesiosis, laminitis,
distokia dan BEF. Inseminasi buatan pada sapi sudah sering
dilakukan tetapi peternak masih butuh edukasi lebih terutama
perihal cara mendeteksi birahi.
c. Puskeswan yang dibangun di Kecamatan Purwoasri memiliki
peranan penting dalam mensejahterahkan masyarakat melalui
kesehatan hewan khususnya ternak dan menjadi fasilitas
masyarakat dalam mengembangkan usaha ternak, pencegahan dan
penanggulangan penyakit ternak serta konsultasi perihal reproduksi
dan manajemen pemeliharaan ternak.

117
4.2 Saran
Kegiatan Praktik Kerja Lapangan telah selesai dilaksanakan dan terdapat
beberapa saran yang dapat diberikan kepada berbagai pihak seperti :

a. Peternak sebaiknya lebih meningkatkan lagi sanitasi lingkungan,


manajemen pemeliharaan, kandang, dan pakan. Peternak dianjurkan
untuk segera lapor kepada dokter hewan apabila ternaknya mengalami
gangguan kesehatan agar tidak mengalami kerugian lebih banyak.
Peternak disarankan untuk memberikan variasi pakan seperti mineral
blok, fermentasi atau silase.
b. Dinas mengoptimalkan kegiatan kesehatan hewan di puskeswan dan
penyuluhan secara berkala kepada peternak agar pengetahuan
peternak utamanya tentang manajem pemeliharaan bisa meningkat.
Komunikasi dan diskusi antara inseminator ataupun petugas dengan
dokter hewan setempat harus dioptimalkan guna menambah wawasan
tentang kasus-kasus yang terjadi di lapangan. Pelayanan kesehatan
hewan yang dilakukan sebaiknya tetap memperhatikan standar
operasional seperti sterilisasi dan pemakaian alat pelindung diri.
Evaluasi tentang pelayanan kesehatan terutama terkait peneguhan
diagnosa penyakit sebaiknya didukung dengan hasil laboratoris.
Recording inseminasi buatan, pemeriksaan kebuntingan dan edukasi
perihal kesehatan reproduksi ternak sangat penting untuk
disosialisasikan untuk mewujudkan swasembada daging Di Indonesia.

118
DAFTAR PUSTAKA

Aiello et al. 2000. The Merck Veterinay Manual. Whitehouse Station. USA.
Aiello SE, Moses MA, 2011. Babesiosis. Didalam: Jogersen WK, editor. The Merk
Veterinary Manual. Ed ke-10 [Internet]. [diunduh 19 Juni 2021]. Tersedia pada:
http://www.merckmanuals.com/babesiosis.html.
Affandhy, L., W.C. Pratiwi, dan D. Ratnawati. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan
Reproduksi pada Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Pasuruan.
Angelos, J. A. 2020. Infectious Keratoconjunctivitis in Animal (Pink eye, Infectious
Ophthalmia). Veterinary Clinics of North America; Food Animal Practice Vol. 31(1):
61-79.
Arjentinia. 2013. Penyakit Kardiovaskuler Pada Hewan Besar. Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Udayana. Denpasar.
Arthur GH., dkk. 1989. Veterinary Reproduction and Obstretic – 6th Ed. Bailliere Tindal:
London.
Badan Standarisasi Nasional. SNI 3148-1:2017. Pakan konsentrat – Bagian 1: Sapi perah
Badan Standarisasi Nasional. SNI 3148-2:2017. Pakan konsentrat – Bagian 2: Sapi potong.
Badan Standarisasi Nasional. SNI 8819:2019. Pakan konsentrat domba penggemukan.
Badan Standarisasi Nasional. SNI 8818:2019. Pakan konsentrat kambing perah.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. Hipokalsemia pada Sapi. Pekanbaru.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2009. Strategi Pengendalian Penyakit
Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) di Indonesia. Bogor.
Banavides, M. V. dan Sacco, M. S. 2007. Differential Bos Taurus Cattle Response to Babesia
bovis Infection. Vet. Parasitology 150: 54-64.
Barnett, G.F. 1968. Boophilus microplus(Acarina : Ixodidae): experimental infestation in
cattle restrained from grooming. Exp. Paracitol 26(3): 323-328.
Bekele, N., Addis, M., Abdela, N., dan Ahmed, W. 2016. "Pregnancy Diagnosin in Cattle for
Fertility Management': A Review." Global Veterinaria 16 (4): 355-364.
Budhiyadnya, IGE. 2014. Modifikasi Metode Autovaksin Dan Tingkat Keberhasilannya
Sebagai Imunoterapi Cutaneous Papilomatosis Pada Sapi (Studi Kasus di BPTUHPT
Padang Mangatas). Thesis, Andalas University.
Chaudhary, S and Singh, A. (2004). Role of Nutrition in Reproduction: A review. Intas
Polivet, Vol. 5 : 229-234.
Currier, R. W., Walton, S. F., & Currie, B. J. 2012. Scabies in Animals and Humans: History,
Evolutionary, Perspectives, and Modern Clinical Management. Ann.N.Y. Acad. Sci,
50.
Dada, I. K., & Ananta, M. G. (2017). CASE REPORT: TREATMENT OF UMBILICAL
HERNIA IN DURIC PIG. Indonesia Medicus Veteriner, 169-180.
Darya, I. W., & Putra, T. R. 2012. Diagnosis dan Penatalaksanaan Artritis Septik. JFKUNUD,
47.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2014. Manual Penyakit Hewan
Mamalia. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Manual Penyaki Mamalia. Subdit
Pengamatan Penyakit Hewan Dirjen Pertanian dan Kesehatan Hewan Republik
Indonesia: Jakarta.

119
Drillich, M., Reichert, U., Mahlstedt, M., et al. 2006. “Comparison Of Two Strategies For
Systemic Antibiotic Treatment Of Dairy Cows With Retained Fetal Membranes:
Preventive Vs. Selective Treatment.” J Dairy Sci 89(5):1502-8.
Ghanem MM. 2010. A comparitive study on traumatic reticuloperitonitis and traumatic
pericarditis in Egyptian cattle. Department of Animal Medicine, Faculty of Veterinary
Medicine, Benha University. Egypt .
Goodarzi, M., Khamesiour, F., Mahallati, S. A., Dehkordi, M. K., & Shahrzad. 2015. Study
On Prevalence of Bacterial Causes in Calves Arthritis. ARPN JABS, 2016.
Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals 7th ed. Philadelphia : Lippincotts
Williams and Wilkins.
Hardijanto., S. Susilowati., T. Hernawati., T. Sardjito dan T.W. Suprayogi. 2010. Buku Ajar
Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Surabaya. Airlangga University Press.
Hariadi, M, S.H. Wurlina, H.A. Hermadi, B. Utomo, Rimayanti, I.N. Triana dan H. Ratnani.
2011. Buku Ajar Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Surabaya. Airlangga University Press.
Hoesni, F. 2015. Pengaruh keberhasialn inseminasi buatan (IB) antara sapi bali dara dengan
sapi bali yang pernah beranak di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari. J.
Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. 15(4).
Ihsan, M. N. 2010. Indeks fertilitas sapi PO dan persilangannya dengan Limousin. J. Ternak
Tropika. 11(2).
Ismaya. 2014. Bioteknologi Inseminasi Buatan pada Sapi dan Kerbau. Yogyakarta. Gadjah
Mada University Press.
Jackson PGG. 2004. Handbook of Veterinary Obstetric. Elsevier : Saunders.
Jonsson, N. N., Bock, R. E., Jorgensen, W. K. 2008. Productivity and Health Effect of
Anaplasmosis and Babesiosis on Bos indicus Cattle and Their Cross, and the Effect of
Differing Intensity of Tick Control in Australian. Vet. Parasitology 03(22): 1-9.
Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Direktorat
Kesehatan Hewan. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia.
Kementerian Pertanian, 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan.
Kofler, J. 2017. Surgical Treatment of Septic Arthritis of Proximal Joints and Treatment of
Bone Sequestra in Cattle. RACA, 57.
Laktasi. Universitas Pandjadjaran Sumedang.
Lestari, B. A. dan Solfaine, R. 2014. Kasus Hipokalsemia pada Sapi Perah FH di KUD Tani
Wilis Sendang Tulungagung. J. VITEK 4: 1-11.
Lima, F.S. 2013. Manipulating ovarian function and uterine ehath with the aim of improving
fertility in dairy cattle. PhD Disseration.
Lubis, F. Y. 2006. Babesiosis (Piroplasmosis). Cermin Dunia Kedokteran 152: 27-29.
Manan D. 2002.Ilmu Kebidanan pada Ternak.Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.
Meredith MJ. 2000. Animal Breeding and Infertility. Australia : Blackwell Science Ltd.
Mustofa, I., S. Utama., T.I. Restiadi., S. Mulyati danT.D. Lestari. Ilmu Kebidanan Hewan.
Surabaya. Airlangga University Press.
Noakes DE, Parkinson TJ, England GCW. 2001. Arthur’s Veterinary Reproduction and
Obstetrics. London: W.B. Saunders.
Paramitha, R.P., R.Ernawati, dan S. Koesdarto. 2017 Helminthiasis Saluran Pencernaan
Melalui Pemeriksaan Feses Pada Sapi di Lokasi Pembuangan Akhir (LPA) Kecamatan
Benowo Surabaya. Journal of Parasite Science.
Patel, R.V. and S.C. Parmar. 2016. Retention Of Fetal Membranes and its clinical perspective
in bovines. Scholars Journal Of Agriculture and Feterinary Science. 3(2) 111-116.

120
Pathologic Findings. Department of Animal Medicine, Faculty of Veterinary Medicine,
Zagazig University. Egypt.
Pemayun, TGO. 2010. Kadar Progesteron Akibat Pemberian PMSG dan GnRH pada Sapi
Perah yang Mengalami Anestrus Postpartum. Buletin Veteriner Udayana. 2(2): 85-91.
Peter, A. T. (2021). Management of Vaginal, Cervico-Vaginal, and Uterine Prolapse. In R. M.
Hopper, Bovine Reproduction, Second Edition (pp. 563-578). Hoboken, New Jersey:
John Wiley & Sons, Inc.
Potter, T. (2008). Prolapse of the Uterus in the Cow. UK Vet, 13(1), 1-4.
Priyanto, Langgeng. 2021. Ilmu Reproduksi Sapi Untuk Orang Lapangan. CV Veterinary
Indie Publisher.
Pudjiatmoko, Syibli, M., Nurtanto, S., & Dkk. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia.
Jakarta: Diktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Purba, HJ. 2008. Gangguan Reproduksi Sapi Perah di PT Greenfields Indonesia, Malang.
Laporan Praktik Kerja Lapangan. Program Keahlian Teknologi dan Manajemen Ternak.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
RALP, W. 1982. Strategic dipping for tick control in Northern Australia Rural Res. 116:
12-14.
Rasyid A., Hartati. 2007. Petunjuk Teknis Perkandangan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. ISBN : 978-979-8308-71-0
Rianto, E. 2004. Bahan Penyuluhan Kandang Kambing. Lembaga Pengabdian Kepada
Masyarakat. Universitas Diponegoro.
Risco CA, J Hernandez. 2003. Comparison of Ceftiofur Hydrochloride and Estradiol
Cypionate for Metritis Prevention in Dairy Cow.
Salib, FA. Dan Farghali, HA. 2011. Clinical, epidemiological and therapeutic studies on
Bovine Papillomatosis in Northern Oases, Egypt in 2008. Veterinary World. 4(2):53-
59.
Sandi, S dan Purnama, P. P. 2017. Manajemen Perkandangan Sapi Potong di Desa Sejaro
Sakti Kecamatan Indralaya Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal Peternakan Sriwijaya Vol. 6
(1) : 12-19.
Sandi,S., P.P.Purnama.2017. Manajemen Perkandangan Sapi Potong di Desa Sejaro Sakti
Kecamatan Imdralaya Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal Peternakan Sriwijaya : Vol 6, No1.
Sattler, N. and Fecteau, G. (2014). Hypokalemia Syndrome in Cattle. Veterinary Clinics of
North America: Food Animal Practice, 30(2): 351-357.
Seid, A. 2019. Review on Infectious Bovine Keratoconjunctivitis and its Economic Impacts
in Cattle. Journal od Dairy & Veterinary Sciences : 1-8.
Septian, A. D., M. Arifin dan E. Rianto. 2015. Pola Pertumbuhan Kambing Kacang
Jantan di Kabupaten Grobogan. J. Anim. Agriculture. 4 (1) : 1-6
Setiawan, A.I. 2004. Memanfaatkan Kotoran Ternak. Cetakan 8. Jakarta, Penebar Swadaya.
82 Halaman.
Soeharsono, Syafriati, T. dan Naipospos, T.S.P. 2010. Atlas Penyakit Hewan di Indonesia.
Udayana University Press.
SOUISBY, E.J .L . 1982. Helminth Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals.
Bailliere, Tindall dan Cassel Ltd. London.
Sreeparvathy, M., Harish, C., and Anuraj, K.S. 2011. Autogenous Vaccination as Treatment
Method for Bovine Papillomatosis. India Journal of Livestock Science
2:38-40.
Suartini, NK. Trilaksana IGHB., Pemayun TGO. 2013. Kadar Estrogen dan Munculnya
Estrus setelah Pemberian Buserelin (Agonis GnRH) pada Sapi Bali yang Mengalami
Anestrus Postpartum Akibat Hipofungsi Ovarium. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan.
121
Subronto. 1989. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suharno, dan Nazaruddin. 1994. Ternak komersial. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suherman, E.Kurniawan. 2017. Manajemen Pengelolaan Ternak Kambing di Desa Batu Mila
Sebagai Pendapatan Tambahan Petani Lahan Kering.
Tharwat. 2011. Traumatic Pericarditis in Cattle: Sonographic, Echocardiographic and
Toelihere MR, 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.
VanDemark dan Moeller 1950 .Iimu Reproduksi Ternak. Freeman and Co. San Fransisco.
Velladurai, C., Selvaraju, M. and Napolean R. E. (2016). Effects of Macro and Micro
Minerals on Reproduction in Dairy Cattle A Review. International Journal of
Scientific Research in Science and Technology. Volume 2 | Issue 1 | : 68 – 70.
Vurgana, R. 2007. Ocular Pharmacotherapy in Glaucoma. Bagian Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Unpad. Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung.
Widodo, E. (2014). Hernia Umbilikalis pada Pedet, case report. Buletin Laboratorium
Veteriner, 10-12.
Wijayanti, D., F.Ardigurnita. 2019. Pengembangan Larutan Daun Binahong sebagai
Antiseptic mengatasi Mastitis pada Sapi Perah di Kelompok Ternak Giri Mukti,
Tasikmalaya. Journal Pengabdian Masyarakat. Vol 4, No 2.
Yendraliza. 2013. Pengaruh Nutrisi Dalam Pengelolaan Reproduksi Ternak (Studi Literatur).
Ayuningsih, Budi. 2007. Pengaruh Nutrisi Terhadap Timbulnya Ketosis Pada Sapi.

Lampiran

122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140

You might also like