You are on page 1of 21

REFLEKSI KHADIJAH 11 RAMADHAN

RELEVANSI DENGAN PEREMPUAN (MUSLIMAH) SEKARANG


Oleh: Mutia Lotono
“Mahasiswi Universitas Halmahera dan Ketua Umum HMI Komisariat Tobelo”

Urgensi studi tentang perempuan yang mengemuka di tengah masyarakat Intelektual yang
bertolak dari satu fenomena ke fenomena lain, paling umum kita dapati dalam ruang-ruang
diskursus tentang Perempuan tema-tema yang diangkat seperti “Perempuan antara ruang
publik dan domestik, perempuan dan politik, kesetaraan Gender dan emansipasi” tentu masih
banyak hal yang perlu di bahas dengan sudut pandang terbuka tentang perempuan tanpa
melibatkan jenis kelamin yang menutup ruang gerak setiap perempuan namun atas dasar
setiap kemampuan dari perempuan.
Tidak menutup kemungkinan yang dinamakan dengan masyarakat intelektual, setiap dari
mereka akan mencari satu bahkan lebih sosok tokoh sebagai kawan dialektika dalam
perjalanan nalar kritisnya begitu juga dengan para masyarakat intelektual perempuan
(Muslimah) saat ini yang bergelut dengan di antara berbagai macam Organisasi, mereka pun
akan mencari sosok Tokoh yang di andalkannya. Di samping itu banyak buku yang
membahas perempuan di sajikan para penulis untuk Generasi.
Di sini saya mencoba dengan pembahasan di khususkan pada perempuan (Muslimah) yang
kemudian di relevansikan dengan sosok Al-kubra (wanita anggung), timbul pertanyaan
apakah kita perempuan (Muslimah) saat ini kekurangan sosok teladan sebagai platfrom
gerakan perjuangan dengan tidak mengandalkan kemuliaan, penghormatan yang sudah Allah
berikan kepada kita, apakah dengan berbusana syar’i mengurangi kata ‘keren’ pada kita
(Muslimah) tentunya banyak pertanyaan atau soal yang harus di sabdakan dalam ruang
dialektika saat ini karena ketidaktahuan akan melahirkan kekeliruan pemaknaan terhadap
sesuatu.
Kita ketahui bersama bahwa sosok Siti Khadijah Binti Khuwalid Ibn Abdul’Uzza Ibn Qusay
Al Asadiyah r.a. yang harta kekayaannya di pergunakan demi untuk tegaknya agama Allah
diantara kerasnya berbagai macam perlawanan dari kafir Qurays. Dikisahkan dalam buku
Peran Polotik Wanita dalam sejarah Islam. Di tulis oleh Asma Muhammad Ziyadah,
menguak berbagai macam kisah diantaranya dalam Bab Pertama: IMPLEMENTASI
POLITIK SECARA UMUM PADA MASA RASULULLAH DAN AL-KHULAFA’AR-
RASYIDIN dengan sub pokok pembahasannya Para wanita yang lebih dulu masuk islam; ke-
Islaman Khadijah
Posisi Khadijah disisi Rasulullah adalah posisi yang paling mulia di antara semua orang yang
terdahulu maupun yang kemudian, pembahasan tentang diri Khadijah sudah cukup banyak
dan terkenal. Hal ini dia tunjukkan lewat perkataan-Nya kepada rasul mengenai ke-
Islamannya “Terimalah kabar gembira wahai anak pamanku dan teguhkan hatimu. Demi
yang diriku ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku berharap engkau menjadi Nabi umat ini.”
Perkataan ini menegaskan satu peranan, hendaknya wanita tetap menjalin hubungan dengan
masyarakat, peduli terhadap keadaannya, menyimak segalah kejadian dan permasalahan di
sekitarnya, agar dia dapat membentuk kesadaran memungkinkan baginya menentukan
pilihan yang paling baik bagi tujuan hidupnya (hlm 6-7).
Dari pemaparan singkat diatas dapat di ambil garis besarnya dengan pemahaman masing-
masing, di sini saya mencoba memberi tahu sedikit yang saya paham bahwa peran perempuan
(muslimah) dalam dakwah Agama Allah sudah lebih dulu di lakukan oleh sosok teladan
wanita agung Siti Khadijah kekasih Rasulullah yang kemudian di susul oleh perempuan
(muslimah) hebat seperti Ummu Sumayah, Ummu Habiba, Ummul Fadhl, Lubabah binti Al-
Harts Al-Hilaliyah, Fatimah binti Al-khathab dan Ummu Kaltsum serta masih banyak
perempuan (Muslimah) zaman Rasul yang memerdekakan akal mereka dari ketersesatan
berfikir.
Kemudian bagaimana dengan kita (muslimah) di era sekarang dengan kuatnya arus
perkembangan zaman mengharuskan penyesuaian, bagaimana bentuk penyesuaiannya,
seperti apa kita menghadapi gelombang perkembangan yang menimbulkan rupa-rupa gaya
hidup, tentu? Kita sebagai masyarakat intelektual sudah punya ikhtiar di setiap derai ombak
zaman yang merinai di antara tempo kita untuk itu dengan kesadaran penuh kita mengakui
peran penting intelektual power serta kecerdasan spritual di berbagai lini kehidupan, maka
dari itu jelaslah sebagaimana perintah Allah paling pertama kepada Rasul yaitu Iqra (Baca) di
mana Allah yang maha Tahu mengetahui betapa pentingnya perkembangan pengetahuan
melalui membaca apa yang tersurat dan tersirat di Alam semesta sebagai proteksi untuk kita
tidak melangkah kepada apa yang belum kita ketahui.
Begitulah Khadijah dengan kecerdasan akal dan hatinya mengimani kenabian Nabi
Muhammad tidak hanya karena dia sebagai isteri saja melainkan kekasih juang dalam
menjalankan Amar ma’ruf nahi mungkar serta kepekaannya terhadap lingkungan masyarakat
yang harta kekayaannya di berikan penuh pada Jalan Allah (tidak berhambur-hambur/boros
pada hal yang tidak esensial).
Melalui ini, saya ingin sampaikan bahwa kita (Muslimah) bukan kekurangan sosok teladan
melainkan kita (muslimah) kurang bersama dengan berbagai macam literatur mengenai
perempuan dalam Islam, padahal begitu banyak sajian mengenai itu terutama ialah Al-Qur’an
kemudian puluhan bahkan ratus buku yang belum kita baca lagi, karena sedari dulu (dalam
sejarah itu sendiri) hanya orang-orang yang mengakui peran penting keberadaan perempuan
dalam suatu peradaban (politik, agama, ekonomi dan lain-lain) merekalah yang akan
memerdekakan perempuan dari berbagai macam penyimpangan termasuk perempuan itu
memerdekakan manusia lain dari berbagai macam perbudakan/penyimpangan seperti
khadijah memerdekakan Zaid bin Haritsah menjadi anak angkat serta masih banyak yang
mengisahkan bagaimana sosok khadijah perannya dalam politik dan ekonomi pada masanya.
Untuk itu jangan menomorduakan seseorang karena jenis kelamin dan status sosialnya
jelaslah dalam QS Al-hujurat ayat 13 “yang paling bertakwah kepada Allah” dialah yang
menjadi kekasih Allah maka dari itu jadikan Allah satu-satunya Arah dalam setiap Hembus
Nafas dan gerak langkah kita.
Tentunya masih banyak hal yang mesti di pelajari oleh kita (Muslimah) akan Sosok mulia
seperti siti Khadijah Isteri Rasulullah, seperti apa yang sudah di ingatkan Oleh bapak
Proklamator bahwa kita tidak boleh melupakan sejarah karena di antara sejarah itulah kita
dapat mengambil pelajaran penting sebagai barometer kita dalam berkehidupan lebihnya lagi
sebagai Alarm untuk kita menjadikan sejarah para orang-orang mulia sebagai
pijakan/pedoman bertingkah laku sesuai akal sehat yang sudah di berikan Allah kepada kita,
betapa kita (muslimah) sudah begitu jauh dari apa yang mesti kita pelajari dan
implementasikan kita tidak hidup begitu saja tanpa dasar pengetahuan yang baik akan diri
sendiri kita mesti berlarut-larut bersama ilmu pengetahuan untuk hidup sebagai pejuang
paripurna sebagai mana yang di gambarkan sosok pejuang paripurna oleh Dr. Ahmad Dahlan
Ranowihardjo paling utama ialah Iman dan ilmu yang matang sebagai instrumen
menjalankan Stratak.
Karena memperjuangkan kebaikan dan melawan kebatilan bukan tugas yang dilebeli pada
jenis kelamin namun tugas makhluk yang bernama manusia, perempuan saat ini secara
empiris kita dapati betapa terpengaruhnya pada jebakan kapitalis (berlomba-lomba
memodifikasi fisik bukan berlomba-lomba mengisi kekosongan akal yang sudah di
karuniakan oleh Allah) Sehingga peradaban yang membutuhkan kehadiran perempuan
berkualitas (Intelektual dan spritual) akan lebih lambat kita capai karena kekurangan duta
pembaharu di era lajunya pertarungan syaraf saat ini.
Oleh karena itu di butuhkannya amunisi pengetahuan yang matang untuk menjadikan kita
sebaik-baik manusia seperti tujuan diciptakannya kita oleh Allah yaitu Khalifah yang
mengabdikan diri semata-mata kepada kehadirat-Nya itulah yang coba saya sampaikan
betapa dalamnya ke-Islaman Khadijah sebagai Perempuan yang merdeka akal dan hatinya
kepada Agama Allah Swt yang di muliakan Suamnya (Nabi Muhammad) dan oleh Allah.
Ketahuilah kita sudah di muliakan di merdekakan tidak ada batasan untuk kita (Muslimah)
dalam menuntut ilmu karena itulah “sudah seharusnya perempuan (Muslimah) mengurus
dirinya sendiri dan maju kedepan kemudian katakan kepada mereka bahwa kita perempuan
(Muslimah) tidak akan tunduk pada kalian (Westernisasi).” Imam Khomeini.
Layaknya perempuan Inspiratif lainnya begitu juga dengan Bunda Khadijah Al-Kubra yang
tidak akan habis ditelan zaman akan selalu di ingat dan dijadikan pedoman sebagai
perempuan yang merdeka, dunia di dapat begitu juga Akhiratnya, Siti Khadijah yang tidak
pergi begitu saja namun meninggalkan pelajaran-pelajaran berharga berbahagialah kita
(Muslimah) yang menjadikan kelahiran kita di bumi sebagai Tongkat estafet perjuangan
Bunda Khadijah karena sesungguhnya Sang wanita Agung tidak pernah pergi dia akan selalu
ada di setiap lahirnya Perempuan-perempuan (Muslimah) dengan dua kecerdasan (Akal dan
hati).

BINORASI PENULIS

Nama Mutia Latono,


kelahiran Desa Galao,
12 Juli 2003.
Meneruskan pendidikan pertamanya SD Islamiyah 2 galao, SMP ISLAM DAGASULI dan
SMA MUHAMMADIYAH TOBELO. Sekarang ia melanjutkan jenjang pendidikan
perguruan tingginya di Universitas Halmahera dan tercatat sebagai mahasiswa aktif semester
Enam, jurusan fisika. Ia juga berbuka tangan untuk bergabung dalam organisasi yang
bernafaskan Islam yaitu himpunan mahasiswa Islam (HMI) cabang Ternate komisariat
Tobelo dan menjabat sebagai ketua umum komisariat Tobelo. Selain itu ia juga membuka
tangan dan berperan untuk melakuakan pendidikan formal lewat taman baca, ia sebagai
peserta untuk masyarakat Halmahera Utara.

TAKDIR JINGGA

Oleh : SITI AMELYA NURLETTE

Malam itu Jalanan yang sunyi, menyimpan rindu tak ingin menunggu satu per satu. pejalan
kaki berjubah putih merapat pada rumah ilahi, sebarang jalan mulai dihampiri pedagang kaki
lima yang hendak ke pasar untuk hari ini, sambil menunggu angkutan kota, sepertinya cuaca
hari ini tak menentu, yang pasti tak akan turun salju. Butiran semangat para pejuang rupiah
mengikuti alunan embun yang menyatu, semangat mereka untuk hidup dalam cinta membara
menjadi motivasi pada mata yang melihat. Ya begitulah manusia, Sambil berjalan pulang ada
perasaan yang sepertinya ragu mungkin ada yang tertinggal. Hehe ternyata jejak kaki yang
tertinggal, di sela keraguan aku mengingat salah satu filsuf barat , Socrates " dia mengatakan
bahwa" aku meragukan semua yang ada di bumi kecuali satu keraguan itu sendiri , Tapi aku
berfikir kalau keraguanku hanya padamu? " Cintaku hehe cinta apaan bego lupakan urusan
cinta, sebab mencintai adalah seni menyakiti diri sendiri kata bang Erik from. Apalagi jika
perempuanmu cantik, sebab cantik adalah luka maka luka itu mungkin perlu penawarnya kata
si penggemar buku buku feminis, dan ternyata seluruh dokter yang ada tidak bisa mengobati
cinta. nihill rasanya sih. Sejak itu, aku berhenti mencari perhatian sebab pada dasarnya cinta
akan datang sendirinya ketika rasa ingin memiliki berada pada satu ruang tak harus ada
perjuangan, dan perjuangan punya konsekuensi yang tentunya tidak semua orang siap atas
konsekuensi itu. Kita tetap adalah ketidakmungkinan sebab kau adalah malam dan aku
mentari yang kau tinggal saat pagi. Pada akhirnya kita hanyalah dualitas yang
mengedepankan kepentingan sebab cinta telah terdefenisi sebagai suatu hal yang Inheren
dengan dunia matematis, pada pelik tetes hujan membasahi perjalanan yang surut seperti
hantu, pada gelombang yang perlahan mengayunkan setiap pijak, pada mentari di siang itu
membakar bahuku, dan pada janji-janji manusia yang merobek setiap nawaituku, aku tak
ingin, jatuh Pun tenggelam, aku hanya ingin tenggelam pada dalamnya cinta, yang datang
membawa pelita sembari bercerita tentang mimpi kita yang entah terwujud atau tidak!
Namun aku percaya selalu ada asa dalam wujud nyata, sebab ketahuilah aku berdoa tanpa
kata, berbisik pada sang maha kuasa atas sebuah harapan pada kenyataan yang lebih baik dari
ini. Ketika senja tiba, aku terbangun dari mimpi kelam menghampiri jendela kamar yang
lurus menghadap langit yang hampir jingga, sembari meruntuhkan istana dalam mimpi, dari
mimpi sang pemimpi yang kian hendakku nikmati sendiri mimpi yang indah ketika itu aku
menemukan emas, membangun istana megah hingga pada, Entah ini namanya fase apa aku
juga bingung ? Ya ternyata ini fase bingung, ketika canggung melihat semua proses yang
sedang di tempuh terasa begitu saja. Anehnya seperti hilang orientasi dari sekian resolusi
yang di susun awal tahun 2023 ini, Salahutu? Mungkin aku akan kembali untuk bertanya
pada alam, watasoi dengan air yang tak bisa bikin kita tenggelam, mengalir membawa setiap
emosi yang berpergian, tumbuhan rindang ber-Fotosintesis aku kerap terhipnotis. Ya aku
harus kembali. Tak sanggup bangun, termenung mengingat segala juang, segala alasan hidup
sampai sekarang dari rindu yang menunggu segalanya usai dengan doa sifat pendosa dengan
malu di hati kelam semoga semua terurai "ingin pulang" Iksan skuter sepertinya mewakili
rasa. Zona nyaman kah ini? Hendak aku melawan dari segala proses yang, dari penaklukan
ada yang paling sulit adalah misi penaklukan diri sendiri, Sebuah lakon di saksikan semesta
berujung muara, berjalan melewati terjal dengan sedikit Egosentrik tanpa musik, hanya irama
dari afeksi yang hendak bernostalgia, kau dan dia di sana. Menari-nari melebur dalam sunyi,
kembali hangat ketika itu aku terbunuh dalam mimpi. Terbuai kembali temukan sepi, rapuh
sembari berbohong jika aku baik saja. Sesekali kau datang padaku dan bertanya, perihal
segala yang bisu. Malam itu ku genggam kata rindu, memeluknya bersama namamu sembari
mengukuhkan asa yang mulai rapuh sebab kita jauh, Namun waktu memberi jawaban atas
segala yang membuatnya ragu. Istana yang coba kita rakit hari itu pun berdiri kokoh tanpa
pemilik. Sebab rindu kita tak pernah temu, bukan aku tak mau menjemput takdirku hanya
saja takdirmu-lah yang mengambilmu dariku sebab kau bukan milikku. Hari berganti hari ada
cumbu yang di titip dalam rindu menunggu bayang-bayang syahdu menjelma menjadi
tunggu, kerap menyiksaku bersamanya. Menyambut pagi dengan sejuta harap akan ada hari
itu, pagi hingga petang sedari hari pun berlalu

Tuan, waktu ke waktuku bertanya pada semesta tentang jawaban dari doa-Ku. Tahukah apa
jawabnya? (Ketidakmungkinan) seraya namamu-Ku ukir dalam Soneta untuk melepas segala
rasa juga harap atas itu. Sebab Suatu hari, bintang bertanya pada bulan tentang siapa memberi
terang pada malam.

Aku melihat Serpihan cahaya menembus dusta, sembari perlahan meruntuhkan istana megah
dalam sanubari, menghapus perlahan jejak dari semua yang sederhana dengan luka yang
sempurna. Memang tak mudah tapi itulah aku dengan inginku cemburu pada malam yang
selalu di temani bulan ,

Katamu..

Ada waktu untuk temu, katanya kau rindu? Nyatanya tak seperti itu, ikhlas melahirkan sabar
dari sadar yang wajar. Meski Kala itu Soneta bersuara lantang pada kata yang tak pernah
hilang, Kendati demikian tak ada lagi kata tentangmu, selesai tanpa mulai akhir diksi sembari
menutup bab tentangmu. Akankah ada mimpi baru, akankah semesta menggantikanmu
dengan yang baru? Adilkah semua ini tuan? Kita adalah manusia yang mengejar
kebahagiaan, aku tahu adil bagimu namun semua mimpi terlihat semu, kau tahu! Aku
hanyalah manusia ambigu .Dari langkah itu selalu ada hikmah, aku kehilangan hal tak
pernahku sangka sekaligus menemukan yang tak pernahku duga, kamu.
Biodata Penulis

Nama : Siti Amelya Nurlette

Mahasiswa Universitas Pattimura Ambon, Fakultas Pertanian,


Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Ia bergabung dalam Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam


(HMI) Cabang Ambon, Komisariat Pertanian Unpatti.
Biografi Anas Urbaningrum, Dari Desa Ke HMI Untuk Reformasi 1998.

Oleh : Fahri Ngabalin

Anas Urbaningrum, anak desa yang Lahir di Desa Ngaglik, Srengat, Blitar, Jawa Timur,
Beliau menempuh pendidikan dari SD hingga SMA di Kabupaten Blitar. Setelah lulus dari
SMA 1 Srengat , Beliau melanjutkan Studi di Universitas Airlangga, Surabaya, melalui jalur
Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) pada 1987. Di kampus ini ia belajar di Jurusan
Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, hingga lulus pada 1992. Setelah itu Beliau
melanjutkan pendidikannya di Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan meraih gelar
master bidang ilmu politik pada 2000. Tesis pascasarjananya telah dibukukan dengan judul
"Islamo-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid" (Republika, 2004). Kini ia tengah
merampungkan studi doktor ilmu politik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. Kapasitas Organisatoris dan intelektual di asah dalam berbagai aktivitas
dalam HMI, HMI Di tapakinya Sejak dari komisariat FISIP Airlangga, Cabang Surabaya,
Badko Jawa Timur Hingga pada Pengurus Besar. Kiprah Anas di kancah politik dimulai di
organisasi gerakan mahasiswa. Ia bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
hingga menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI pada kongres yang diadakan di
Yogyakarta pada 1997. Sebagai seorang aktivis, anak kampung ini banyak menjumpai
dengan berbagai spektrum pemikiran, minat kajiannya cukup luas di tengah menjalani
aktivitasnya sebagai Fungsionaris PB HMI, di tengah itu, ia mampu menjaga ritme dan
semangat intelektualnya. Tulisan Tulisannya banyak di kenali oleh kaum muda sampai saat
ini seperti, Islamo-demokrasi: pemikiran Nurcholish Madjid, Melamar demokrasi: dinamika
politik Indonesia. Ranjau-ranjau reformasi: potret konflik politik pasca kejatuhan Soeharto.
Takdir demokrasi: politik untuk kesejahteraan rakyat pemilu orang biasa: publik bertanya
Anas menjawab menuju masyarakat madani: pilar dan agenda reformasi. Dari corak
pemikiran ini telah banyak melahirkan generasi yang mampu berdiri di tengah arus
modernisasi. Dalam menjalankan Peran Sebagai Ketua Umum PB HMI Periode 1997-1999,
beliau menahkodai organisasi terbesar itu di tengah pusaran perubahan politik pada
Reformasi 1998. Dalam transisi Orde Baru menuju Era Reformasi. Ia banyak terlibat dalam
membangun sistem pemilu baru. Salah satunya, beliau menjadi anggota tim Revisi Undang-
Undang Politik atau Tim Tujuh yang menjadi salah satu tuntutan dalam reformasi 1998.

Binorasi Penulis

Fahri M.Ngabalin
Sekretaris Direktur LAPMI Cabang Ambon
POHON-POHON
Oleh : MUHADIR MUHAMMAD

Suncit mencari-cari sesuatu dari dalam tong sampah. Mengumpulkan barang-barang


bekas yang sengaja dibuang orang di tempat sampah atau yang dibuang di luar tong sampah.
Pengunjung lebih suka membuang di tempat terdekat di mana saja. Mereka yang berpakaian
rapi itu, tak mau repot-repot mencari tempat pembuangan yang berjarak beberapa meter dari
tempat mereka.
Hanya gelas dan botol-botol plastik yang Suncit ambil, lalu dijual ke pengepul.
Sampah plastik, dan botol kaca tak dihiraukan. Akan ada petugas yang membersihkannya.
Pekerjaan itu sudah lama dilakoninya. Sejak ia tinggal di kota ini beberapa tahun belakangan.
Suncit memang tak kenal rasa malu menenteng karung besar di punggung. Pergi dini
hari berpakaian kumal dan lusuh_ dia sudah terbiasa begitu dan sudah profesinya_sore pulang
dengan tentengan karung terisi penuh. Dari pada mengemis atau meminta dalam bentuk
apapun, pekerjaan ini lebih mulia menurutnya.
Di depan gedung itu, orang-orang ramai sejak kemaren, hingga berlanjut besok
sekaligus penutupan acara. Hari pertama pembukaan, Suncit hanya perlu mengais-ngais di
tong sampah, semua yang dincarnya tertumpuk di dalamnya. Halaman dan sekitar gedung
sangat bersih, sampah teratur dimasukkan ke dalam tong yang tersedia.
Tapi hari kedua, Suncit harus berkeliling gedung. Di mana kebanyakan pengunjung
berkerumun dan duduk bersantai, Sampah pun akan teronggok di situ. Mungkin di hari
pertama seperti yang ia lihat dari kejauhan, rombongan orang penting datang dengan
pengawalan ketat. Sehingga orang-orang tak berani membuang sampah sesuka hati.
Suncit tak tahu, dia tak pandai membaca. Wajah orang penting itu mirip seperti yang
terpampang di baliho berukuran besar, lebih besar daru wujud aslinya, lebih besar dari pohon
kelapa. Mungkin supaya terlihat jelas dari puluhan meter mata memandang. Terpampang di
persimpangan lampu merah, terpampang pula di gerbang masuk gedung itu.
Ada gambar pohon mini di setiap baliho. Ukurannya jauh lebih kecil dari potret
pejabat itu. Barangkali kekuasan yang dipegangnya sehingga membuat pohon itu lebih kecil.
Sebab, dengan secarik perintahnya, semua yang lebih besar akan terlihat kecil. Atau memang
pohon itu benar-benar kecil sepereti yang akan mereka pamerkan.
Ivent kali ini membuat Suncit penasaran. Orang-orang yang tak sengaja ia temui
berbicara tentang pohon. Tentang batang yang menarik, tentang kerimbunan, tentang akar
yang meliuk-liuk, juga tentang harga yang lumayan fantastis. Suncit sempat menyimak
sejumlah harga yang dibicarakan. Dia mencoba menghitung menggunakan jari-jari
tangannya, tapi gagal. Jumlah itu terlalu banyak dari jumlah jari tangan dan kakinya.
“Acara apa di sini, Pak?”
“Oh, ini acara kontes pohon-pohon kecil,” Jawab Jamal, lelaki petugas kebersihan
gedung.
Dari lelaki ini dia tahu kapan acara itu berakhir. Dari lelaki ini pula Suncit tahu kapan
acara-acara lain akan digelar. Tentu incarannya sampah yang bernilai ekonomi.
“Yang ikut acara orang-orang kaya, ya Pak?”
“Yang jelas bukan orang miskin seperti kita.”
“Kenapa, kamu tertarik?” Tanya Jamal yang merangkap juru kunci gedung itu.
Suncit tersungging kecil. Dari rautnya menyimpan penasaran tentang pohon-pohon
kerdil itu. Barangkali saja, ada pohon yang tersisa lalu akan ia rawat di halaman rumah
sampai tumbuh besar. Bisa menjadi peneduh dan mengundang ratusan burung-burung yang
hinggap di dahannya. Atau dia berharap ada biji yang tercecer, bisa ia pungut untuk ditanam.
Pasti pohon itu sangat penting sehingga para pejabat kota seheboh ini. Jika pohon sudah
besar, dari dahan-dahan pohon itu akan ia gantungkan karung-karung berisi berbagai jenis
botol plastik, sehingga tidak bertumpuk memenuhi sudut rumah kecilnya yang tak layak huni
itu.
“Kalau kamu tertarik, bagaimana kalau nanti malam datang kesini. Kita lihat semua
pameran pohon-pohon itu,” lelaki yang jauh lebih tua darinya itu menunggu jawaban Suncit.
“Mau... mau...!” Suncit tersenyum lepas. Tersebab Jamal, Suncit bisa masuk ke
lingkungan gedung itu tanpa dilarang petugas keamanan. Selain Suncit, tak pernah ada
pemulung lain yang diperbolehkan.
Dibanding Suncit, Jamal jauh lebih beruntung, mendapat gaji bulanan membersihkan
pekarangan dan ruangan gedung. Bila ada acara besar seperti ini, biasanya akan ada
tambahan pekerjaan menata dan merapikan seisi ruangan sesuai maunya yang punya acara.
Akan ada pula uang tambahan secara suka rela.
Suncit terkesima. Dalam gedung besar itu berjejer ribuan pohon-pohon kecil berbagai
bentuk, berbagai keunikan. Belakangan dia tahu, itulah tanaman yang sering disebut-sebut
orang sebagai tanaman bonsai, pohon yang sudah tua. Tak tak pernah besar dan tak diizinkan
besar oleh perawatnya.
Bonsai tertata rapi dalam pot yang sangat kokoh. Suncit menampakkan ekspresi
kekaguman. Bukan saja untuk benda di hadapannya itu. Tapi kekagumannya itu juga
digunakannya untuk meneropong masa lalunya. Dia teringat sepuluh tahun silam. Bersama
ayahnya, sebelum menjadi pengais sampah, sebuah hutan di kampungnya menjadi tempat
berlangsungnya hidup puluhan kepala keluarga, dan satwa-satwa liar. Membangun rumah
dari ketersedian benda-benda yang terdapat di hutan, bertiang tinggi, dan kokoh.
Umumnya mereka yang mendiami kampung itu, tak pandai membaca dan menulis.
Kegiatan berhutan berlangsung sejak zaman nenek moyang mereka, membuat mereka tak
memerlukan baca dan tulis. Pernah ada guru yang datang atas kemuannya sendiri mengajar
buat anak-anak rimba seperti mereka. Ketika Suncit mulai tergiur belajar menghitung dan
belum sepenuhnya lancar membaca, guru itu pergi menjemput penghargaan ke kota besar.
Belum sempat kembali mengajar, ratusan penduduk hutan perlahan-lahan pindah, ketika
hutan itu mulai dialihfungsikan.
Kampung hutan yang mereka diami ternyata sudah ada yang memilikinya. Mereka
memang pandai menghalau harimau, singa, beruang dan gajah. Tapi mereka tak pandai
melawan dan memusuhi manusia lain yang masuk pelan-pelan menebang hutan mereka,
untuk digunduli menjadi lahan yang mereka tak pernah mengerti.
Mereka pergi menelusuri sepanjang jalan raya, tanpa menyisakan anggota keluarga,
berbekal ember kecil dan penampilan acak-acakan mereka menengadahkan tangan ke semua
pengiba. Suncit, ayah dan ibunya memilih jalan lain. Mengumpul barang bekas di setiap jalan
yang mereka lalui, dari pada harus meminta-minta. Bergeser dari satu tempat ke tempat
berikutnya.
Sejak saat itu ia tak bertemu lagi dengan sahabat-sahabat kecilnya. Hingga Suncit
menetap di sebuah kota, di bawah kolong jembatan, perlahan mendirikan sebuah gubuk di
pinggir sungai diatapi seng bekas yang dilapisi spanduk produk rokok dan Caleg, agar tidak
bocor dan tempias.
“Kamu suka seni?” seorang panitia menghampiri Suncit.
Dia terdiam sejenak. “Orang seperti kami tak sempat memikitkan seni. Bagi kami seni
untuk orang yang sudah melewati garis aman dari kelaparan.”
“Kalau yang ini berapa harganya, Pak.?” Tanya Suncit.
“Kalau yang ini harganya 500 juta. Dan kalau yang ini? 800 juta.”
“Aneh ya pak, pohon di sini mungil-mungil dihargai hingga ratusan juta.”
“Lho memang kenapa dik? Panitia berbadan tegap itu terus memberi pertanyaan.
“Soalnya di kampungku pohon-pohonnya lebih besar dari ini dijual dengan harga
murah beserta tanahnya. Bahkan kami tinggalkan begitu saja.”
“Nah, kalau yang ini beda, Dik. Kampungmu di mana kalau boleh tahu?”
“Kampung kami di rimba.”
“di rimba?” lelaki itu melipat keningnya.
“Iya. Tak ada nama yang lebih indah dari itu. Tapi sudah lama kami tinggalkan sejak
masih kecil. Bahkan aku tak lagi hapal di mana posisinya sekarang.”
“Di kabupaten mana itu?” desak lelaki itu semakin penasaran.
Suncit menggeleng. Dia tak mengerti penempatan nama wilayah.
Saat Suncit masih berbincang dengan panitia itu, Jamal tiba-tiba mendekat dan
terpeleset, tangannya tak sengaja menggapai sebuah pot semen berisi bonsai di sampingnya,
berkeping-keping pecah ke lantai. Pohon mungil itu terpisah dari potnya. Semua terdiam.
Orang-orang yang hadir di malam penutupan acara itu, berhamburan mendekat ke tempat
kejadian.
Keesokan harinya Suncit bekerja seperti biasa. Mengutip sampah di jalanan kota
berjalan kaki meneteng karung besar. Sampai dia terhenti di sebuah gedung tempat biasanya
dia mangkal. Di depan pagar besi yang tertata rapi, biasanya dia akan mudah menemukan
Jamal sedang sibuk bekerja, sembari melambaikan tangan agar ia masuk lewat pintu depan.
Kini Suncit hanya berdiri mematung di gerbang masuk sambil matanya terus mencari Jamal.
Tapi Jamal tak lagi ia lihat. Sejak hari itu, dia pun tak dibolehkan lagi masuk di gedung
mewah itu.***
Pangkalan Kuras, 30 Maret 2023
Binorasi Penulis
MUHADIR MUHAMMAD. Lahir di Dundangan, Pangkalan Kuras, Pelalawan. Alumni FKIP UIR
Pekanbaru. Semasa kuliah aktif di beberapa organissasi Kampus di antaranya HMI dan Tabloid
Mahasiswa AKLaMASI. Pernah menjadi wartawan portal media www.katakabar.com (2011 – 2012).
Tahun berikutnya dipercaya menjadi editor di media tersebut. Cerpen perdananya yang berjudul
“Sialang Menghilang” meraih Juara III dalam lomba Riau Sastra Festival 2022. Karya berikutnya
pernah dimuat dalam antologi Indahnya Berproses (kumpulan Cerpen, yang diterbitkan
Literasi Anak Negri, 2023). Saat ini tinggal di Pelalawan sambil terus menggeluti berbagai
kegiatan sosial.
Email : muhadirmuhammad@gmail.com
NARASI PEMBANGUNAN DAN IRONI SOLASTALGIA
Dokumentasi; Abdul Kadir Jailani Angkotasan. Kondisi rumah
warga Seram Barat, Maluku.

Ketika kita mendengar kata pembangunan, sejenak yang muncul dalam benak kita adalah
infrastruktur, ekonomi, hukum, sosial, budaya, politik, pendidikan dan yang lainnya. Tapi
apa sebenarnya tujuan dari pembangunan itu sendiri sampai hari ini masih belum menemui
titik konkritnya. Berbagai macam gagasan tentang pembangunan berseliweran dimana-
mana. Namun kondisi kesejahteraan baru hanya sebatas angan-angan. Tak ubahnya seperti
lagu-lagu politik yang di umbar di setiap panggung-panggung kampanye. Di indonesia sendiri
sejak awal periode kemerdekaan sampai hari ini (2023) kata kesejahteraan masih jauh dari
harapan. Padahal, sejak periode awal kemerdekaan kesejateraan telah menjadi cita-cita
bangsa ini dan menjadi tujuan pembangunan nasional.
Tujuan Pembangunan Nasional
Di indonseia sendiri, tujuan pembangunan ini termaktub dalam pembukaan UUD 1945
alinea ke-4, “melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Yang kemudian
menjadi tujuan negara kita. Mengutip pendapat Portes (1976) “Pembangunan Nasional yang
di anggap sebagai transformasi untuk bidang sosial budaya, ekonomi, serta pendidikan.
Proses perubahan yang sudah direncanakan ini diharapkan dapat mengubah kehidupan
masyarakat menjadi lebih baik”. Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa yang menjadi
tujuan pembangunan nasional kita secara mendasar adalah untuk mencapai kesejahteraan
guna meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Namun sejak periode kemerdekaan,
apakah tujuan dari pembangunan ini telah tercapai? Atau justru kita semakin berkembang
ke arah yang lebih sengsara? Kedua pertanyaan ini akan membawa kita pada periode awal
gagasan tentang pembangunan ini mulai muncul.

Perang Dunia II dan Narasi Pembangunan


Berakhirnya perang dunia II ditandai dengan perang dingin antara Amerika Serikat dan
Unisoviet. Masing-masing dari kedua belah pihak berusaha memperluas pengaruhnya dan
bersaing dalam perekonomian, salah satu caranya adalah dengan memberikan bantuan
kepada Negara-negara yang terdampak perang dunia II yang kemudian disebut sebagai
program Marshall Plan.
Marshall Plan merupakan kebijakan ekonomi berskala besar pada tahun 1947-1951 oleh
Amerika Serikat yang bertujuan untuk mendirikan kembali kekuatan ekonomi negara-negara
Eropa. Bersamaan dengan ini, banyak negara-negara terjajah seperti yang ada di Asia dan
Afrika terlibat dalam peperangan untuk melepaskan diri dari penjajahan. Banyak negara
yang dilanda kehancuran, kelaparan, kemiskinan akibat perang. Dan pada tahu 1949
presiden Harry Truman menyebut Marhall Plan harus dilakukan di bekas-bekas negara
terjajah dan mulai menyuarakan program pembangunan, sekaligus untuk menanggulangi
ancaman Komunis dengan satu strategi yaitu meluncurkan bantuan ekonomi untuk
pembangunan negara-negara yang baru merdeka. Bantuan ekonomi ini merupakan jalan
bagi Amerika untuk memperluas pengaruh ekonominya di pasar dunia.
Narasi Pembangunan dan Ekspansi Kapitalisme
Dengan terbukanya pasar bebas yang dilandasi dengan ideologi liberal, pada tahun 1960-
1970an pembangunan mulai ditujukan untuk ekspansi kapital dan perluasan Korporasi
Internasional yang mulai tumbuh. Pada periode ini rata-rata negara di dunia mulai
menargetkan pertumbuhan ekonomi dengan cara meningkatkan perdagangan bebas,
percepatan industrialisasi, investasi asing yang bertumpu pada ekspor hasil alam dari negara
berkembang ke negara maju.
Pada tahun 1999 terjadi krisis ekonomi di Asia sehingga memberi ruang untuk bank dunia
dan IMF untuk memaksakan resep neoliberalismenya. Pembangunan di pandu dengan
kekuatan pasar/korporasi yang disebut sebagai program “penyesuaian struktural” yang
memperbesar peran korporasi dan makin banyak terjadi privatisasi, mempercepat aliran
barang dan modal, memfasilitasi investasi dengan memangkas regulasi, memangkas subsidi
sosial dan membentuk koridor ekonomi. Secara sederhana, sistem penyesuaian struktur ini
makin memperkecil peran negara dan makin bertambahnya kekuatan korporasi (kapital).
Akibat dari pembangunan yang berorintasi pasar ini negara dan kapital menjadi dua saudara
yang saling bahu membahu dengan kekuatan besar untuk menjajah dan menciptakan Krisis
Sosial Ekologis hari ini.
Di Indonesia mulai tampak kebijakan yang berorientasi pasar ini setelah presiden Soeharto
membuka keran investasi asing masuk ke Indonesia melalui undang-undang penanaman
modal asing pada tahun 1967 dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri yang termuat dalam
UU No. 6 tahun 1968. Sejak itulah mulai tumbuh investasi di Indonesia sampai hari ini untuk
mengejar pertumbuhan ekonomi. Dan yang terbaru hari ini UU Omnibus Law yang di
muluskan dengan penetapan PERPU Cipta Kerja oleh pemerintah setelah sebelumnya
dinyantakan inskonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan berbagai
kebijakan ini makin menunjukan bahwa makin hari negara ini makin ketergantungan
terhadap investasi (kapital).
IRONI SOLASTALGIA
Karena Indonesia merupakan bagian dari komunitas global, maka kita tidak bisa lari dari
krisis (sosial ekologis) yang melanda dunia hari ini akibat dari kebijakan pembangunan yang
berorientasi pasar. Maraknya kebijakan investasi, membawa serta penguasaan atas lahan
dan privatisasi sumber daya alam oleh segelintir orang. Di daerah-daerah seperti
Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, Jawa dan Maluku tidak sedikit kita menjumpai cerita-cerita
tentang orang-orang kehilangan akibat dari pembangunan. Di Maluku misalnya, salah satu
cerita muncul dari orang-orang negeri/desa Kamal, Kabupaten Seram Bagian Barat. Negeri
yang dahulu mayoritas warganya bekerja sebagai petani ini, kini mulai ketergantungan
dengan industri pabrik pengolahan kayu (Playwood) dan industri pertambangan. Sebelum
masuknya Perusahaan Jayanti Group yang bergerak di industri kayu lapis (playwood) orang-
orang di sini dalam kesehariannya menggantungkan kehidupannya dengan mengolah
tanahnya sendiri. Namun sejak tahun 1983 di mana perusahaan ini mulai beroperasi warga
di Negeri/desa Kamal banyak yang beralih profesi dari petani ke buruh pabrik. Mereka
menjual tanahnya kepada perusahaan dan kepada orang-orang yang datang dari luar untuk
bekerja dan mencari penghidupan di sini. dan setelah PT Djaynti Group berhenti beroperasi
pada tahun 2004 banyak warga yang kehilangan tanahnya dan tidak ada lagi tempat untuk
mereka menggantungkan hidupnya, kondisi ini memaksa mereka untuk mencari
penghidupan di luar daerahnya sendiri. Kondisi inilah apa yang disebut oleh filsuf lingkungan
Australia Glenn Albrecht pada awal tahun 2000an dengan istilah Solastalgia, yaitu perasaan
kerinduan atas rumah, tanah, dan atau komunitas dan lingkungannya yang mengalami
perubahan yang tidak di inginkan, merugikan atau tidak terduga.
Perasaan Solastalgia ini muncul akibat dari kebijakan yang dipaksakan dari atas ke bawah
atas nama pembangunan. Sehingga tanpa di sadari telah menghilangkan tatanan nilai yang
hidup dan berkembang di daerah-daerah pelosok seperti negeri Kamal. Semestinya
pemerintah harus memproteksi setiap kebijakan yang mengarah ke daerah-daerah agar
tetap bisa hidup bersama dengan nilai-nilai dan tatanan yang telah lama hidup dan
berkembang di masyarakat. Selain itu pemerintah juga harus melibatkan masyarakat lokal
secara partisipatif dalam menentukan arah kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup
mereka agar tidak terjadi pemisahan antara masyarakat dengan ruang penghidupannya.
Biodata Penulis
Asri (direktur LKBHMI cabang Ambon)

You might also like