You are on page 1of 11

Laporan Praktikum Hari / Tanggal: Jum’at / 5 Maret 2021

Biokimia Klinis Waktu : 08.00-11.00 WIB


PJP : dr. Husnawati, MSi.
Asisten : Amelia Dwi Kusmiarni

URINALISIS

Kelompok 12

Tiara Fibri Yuniasih G84180017


Indra Savitri G84180035
Gusnia Meilin Gholam G84180092

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2021
PENDAHULUAN

Urin merupakan cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang kemudian
akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Ekskresi urin
diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring
oleh ginjal untuk menjaga homeostasis cairan tubuh. Dalam satu hari, manusia
dan hewan mengeluarkan urin sampai beberapa kali (Utomo et al. 2010). Secara
garis besar ada tiga proses dalam pembentukan urin yaitu filtrasi glomerulus,
reabsorpsi, dan sekresi tubulus. Pada manusia sehat sekitar 1200 mL darah
melalui jaringan ekskresi ginjal yang berfungsi setiap menit, dan membentuk
sekitar 125 mL filtrat glomerulus. (Panjaitan dan Bintang 2014).
Pembentukan urine dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang
bebas protein dari kapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Filtrasi adalah proses
penyaringan darah yang mengandung zat-zat sisa metabolisme yang dapat
menjadi racun dalam tubuh. Proses filtrasi (ultrafiltrasi) terjadi pada glomerulus.
Proses ini terjadi karena permukaan aferen lebih besar dari permukaan eferen
sehingga terjadi penyerapan darah. Setiap menit kira-kira 1.200 ml darah masuk
ke dalam glomerulus. Setelah urine primer disimpan sementara dlam kapsula
Bowman, mereka kemudian akan menuju saluran pengumpul (Sumarlin et al.
2009). Selanjutnya, proses penyerapan kembali sebagian besar terhadap glukosa,
natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Proses ini terjadi seara pasif yang
dikenal dengan obligator reabsorpsi dan terjadi pada tubulus atas. Dalam tubulus
ginjal cairan filtrasi dipekatkan dan zat yang penting bagi tubuh direabsorpsi.
Kegiatan ini banyak dipengaruhi oleh hormon-hormon dan zat yang di reabsorpsi
berubah sesuai dengan keperluan tubuh setiap saat (Panjaitan dan Bintang 2014).
Proses ini terjadi di tubulus kontrortus distal dan juga di saluran
pengumpul. Pada bagian ini terjadi proses pengumpulan cairan dari proses
sebelumnya. Pada bagian ini juga masih terjadi penyerapan ion natrium, klorida
serta urea. Cairan yang dihasilkansudah berupa urine sesungguhnya, kemudian
disalurkan ke ringga ginjal. Selanjutnya urine ini akan terkumpul di rongga ginjal
dibuang keluar tubuh melalui ureter, kandung kemih dan uretra. Proses
pengeluaran urine disebabkan oleh adanya tekanan di dalam kandung kemih
(Sumarlin et al. 2009). Faktor yang mempengaruhi volume urin seperti umur,
berat badan, jenis kelamin, makanan dan minuman, suhu badan, iklim dan
aktivitas orang yang bersangkutan (Panjaitan dan Bintang 2014). Praktikum ini
bertujuan mengenal berbagai macam pengujian terhadap urin dan hubungannya
dengan diagnosis suatu penyakit atau kondisi/fungsi organ tertentu, memahami
prinsip-prinsip biokimia pada pengujian urinalisis, dan mengetahui dan melihat
video berbagai macam pengujian urinalisis.
METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan, yaitu urin, asam asetat 6%, pereaksi Bang, asam
sulfosalisilat 25%, pereaksi Benedict, kristal amonium sulfat, amonia pekat,
natrium nitropusida 5%, larutan Benzidin, pereaksi Diazo, dan Zn-asetat jenuh
beralkohol.
Alat yang digunakan pada praktikum ini ialah gelas piala, pipet mohr,
bulb, pipet tetes, labu Erlenmeyer, gelas ukur, urinometer, penangas, kertas
saring, bunsen, gegep, sudip, dan indikator pH universal.

Prosedur Percobaan

Pemeriksaan Visual dan Fisik. Warna dan bau sampel urin diamati,
kemudian berat jenis sampel urin diukur menggunakan urinometer. Bila urin
berbuih digunakan kertas saring untuk menghilangkan buih tersebut, dan
diperhatikan lupa faktor koreksi suhu. BJ dalam tiga angka desimal. Hitunglah
kadar padatan urin dengan cara: kalikan dua angka terakhir BJ urin (dua desimal
terakhir) dengan Koefisien Long (2,6), maka akan diperoleh kadar padatan dalam
gram per 1000 mL urin. Kadar ini hanya perkiraan kasar.
Contoh :
BJ urin = 1,025
Dua desimal terakhir = 25
Maka kadar padatan = 25 X 2,6 = 56 gram/1000 mL.
pH urin diukur dengan indikator pH universal B.

Proteinuria Uji Koagulasi. Sampel urin disaring, kemudian filtrat urin


dipipet sebanyak 5 ml. Dipanaskan hingga mendidih. Kekeruhan yang timbul dan
berwarna putih dapat disebabkan oleh protein, tetapi bisa juga karena fosfat.
Sebanyak 1-3 tetes asam asetat 6% ditambahkan. Bila cairan menjadi jernih
kembali, maka kekeruhan disebabkan oleh fosfat. Bila setelah penambahan asam
asetat kekeruhan makin nyata, maka penyebab kekeruhan adalah protein.
Proteinuria Uji Bang. Sebanyak 5 ml filtrat urin dipipet, lalu
ditambahkan 2 ml pereaksi Bang, dicampur baik-baik dan dipanaskan. Kemudian
dibandingkan uji ini dengan uji koagulasi. Pereaksi Bang adalah larutan bufer pH
4,7.
Proteinuria Uji Asam Sulfosalisilat. Sebanyak 3 ml filtrat urin dipipet,
kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dimiringkan tabung tersebut.
Perlahan-lahan melalui dinding tabung ditambahkan 3 ml pereaksi (25% asam
sulfosalisilat). Asam ini akan membentuk lapisan di bawah cairan urin, jangan
digoyang/dicampur. Setelah 1 menit, kekeruhan yang timbul di pertemuan antara
lapisan asam dan urin diperhatikan.
Glukosuria (Uji Benedict). Sebanyak tepat 5 ml pereaksi Benedict
dipipet ke dalam tabung reaksi yang bersih dan ditambahkan 8 tetes urin yang
sudah disaring. Kemudian dipanaskan di atas nyala Bunsen hingga mendidih,
didinginkan dan perubahan warna larutan diperhatikan. Adanya gula pereduksi
dapat dilihat bila larutan berubah warna menjadi hijau-kuning-merah bata. Catatan
: Urin yang mengandung protein harus diendapkan dahulu proteinnya dengan
pereaksi Bang: pipet 4 ml urin dam tambahkan 2 ml pereaksi Bang, kocok,
panaskan lalu saring. Filtrat yang jernih siap diuji dengan pereaksi Benedict. Urin
yang basa harus dinetralkan terlebih dahulu dengan asam asetat 6%.
Ketonuria (Uji Rothera). Sebanyak 5 ml urin dipipet, ditambahkan
kristal amonium sulfat sampai jenuh. Setelah itu ditambahkan dengan 2-3 tetes
larutan natrium nitroprusida 5% dan 1-2 ml amonia pekat. Warna yang terbentuk
diperhatikan.
(Uji Peroksidase / Uji Benzidin). Ke dalam 3 ml larutan benzidin 1%
ditambahkan 1 ml H2O2 3% dan dicampur baik-baik dengan cara memindah-
mindahkan larutan antara dua tabung reaksi, selanjutnya dibagi ke dalam dua
tabung reaksi tersebut. Urin ditambahkan ke dalam salah satu tabung, sedangkan
tabung yang lain digunakan sebagai blanko. Perhatikan perubahan warna yang
terjadi kemudia dibandingkan dengan blanko.
Bilirubin (Metode Hyman-Bergh). Sebanyak 1 ml pereaksi Diazo yang
masih segar ditambahkan 1 ml urin beralkohol, dibubuhi setetes amonia pekat.
Adanya bilirubin ditunjukkan oleh timbulnya warna merah eosin.
Urobilinogen dan Urobilin (Metode Schlessinger). Sebanyak 5 ml urin
dipipet dan ditambahkan 5 ml suspensi Zn-asetat jenuh beralkohol. Kemudian
ditetesi dengan sedikit amonia, dikocok dan didiamkan sebentar. Selanjutnya
disaring dengan kertas saring kering, dan ditampung filtratnya. Ada atau tidaknya
fluoresensi pada filtrat diamati yang disebabkan oleh adanya urobilin.
Urobilinogen tidak memberi fluoresensi, tetapi setelah dibubuhi beberapa tetes
larutan Lugol akan menghasilkan fluoresensi juga. Hasilnya lebih nyata bila
menggunakan lampu UV.
Uji Nessler untuk Deteksi Amonia di Urin Pembuatan reagen Nessler.
Sebanyak 100 g HgCI2 dan 70 g KI dilarutkan dalam 200 mL aquades yang bebas
amonia. Sebanyak 160 g NaOH dilarutkan dalam 100 mL aquades, lalu
didinginkan. Larutan a dan b ditambahkan sedikit demi sedikit sambil diaduk-
aduk. Campuran larutan tersebut diencerkan menjadi 1 L dengan akuades, lalu
disimpan dalam botol gelap dan dijauhkan dari cahaya matahari langsung. Larutan
ini stabil hingga 1 tahun. Pembuatan standar amonium klorida 5 ppm. Sebanyak
1,9105 g NH4Cl p.a ditimbang, lalu dilarutkan dalam aquades bebas amonia
menjadi 1 L. Sebanyak larutan stok dipipet dan diencerkan dengan aquades bebas
amoia dalam labu takar 1 L. Pengujian amonia dalam urin. Encerkan 1 mL urin
dengan labu takar 50 mL. Sejumlah 3 tabung Nessler disiapkan dan isi setiap
tabung dengan campuran berikut:

PEMBAHASAN

Urinalisis merupakan kegiatan mengidentifikasi urin secara makroskopis,


mikroskopis, dan analisis kimia. Tes makroskopis dapat dilakukan dengan cara
mengamati warna dan transparansi urin. Urin yang normal terlihat bersih, jelas,
dan berwarna kuning pucat hingga gelap dengan bau yang khas. Beberapa faktor
seperti makanan dan obat-obatan dapat mengubah warna urin. Urin yang keruh
dapat disebabkan oleh kandungan kristal trifosfat, asam urat tinggi, infeksi saluran
kemih, dan piuria. Tes mikroskopis meliputi pemeriksaan adanya sel, casts, kristal
dan bakteri dalam urin. Tes ini dilakukan oleh pasien hematuria persisten atau
proteinuria, pada saat hasil tes dipstick mengarah pada penyakit infeksi saluran
kemih. Analisis kimiawi meliputi pemeriksaan pada beberapa parameter, di
antaranya pH, glukosa, keton, protein, hemoglobin, bilirubin, urobilinogen, nitrit,
dan leukosit (Firdausa et al. 2018). Pada praktikum ini dilakukan beberapa tes
makroskopis dan kimiawi menggunakan beberapa uji dengan data sekunder yang
diperoleh pada Tabel 1.

Tabel 1 Penentuan golongan darah


Parameter Hasil Keterangan
Uji Kualitatif
1. Warna kuning pucat normal
2. Transparansi jelas normal
terdapat cincin
Uji Rothera +
ungu
Uji Schlesinger + hijau flouresens
Uji Asam Sulfosalisilat ++ keruh
terdapat endapan
Uji Nessler +
coklat
Uji Benzidin + hijau kebiruan

Berdasarkan data pada Tabel 1, sampel urin yang diuji memiliki warna
kuning pucat dan transparansi yang cukup jelas. Sesuai dengan literatur Firdausa
et al. (2018) yang sudah disebutkan di atas, sampel yang diuji merupakan urin
yang normal. Uji Rothera merupakan uji yang dilakukan untuk mengidentifikasi
keberadaan aseton atau asetoasetat di dalam urin. Prinsip uji ini adalah
pembentukan cincin ungu akibat reaksi antara natrium nitroprusid dan aseton atau
asetoasetat (Killander et al. 1962). Berdasarkan data pada Tabel 1, hasil uji pada
sampel urin menunjukkan terbentuknya cincin ungu. Sesuai dengan literatur
Killander et al. (1962) yang sudah disebutkan sebelumnya, sampel urin positif
mengandung aseton atau asetoasetat. Pada uji ini, digunakan bubuk ammonium
sulfat yang berfungsi untuk mengasamkan sampel (Santhi et al. 2016).
Uji Schlesinger merupakan uji yang dilakukan untuk mengidentifikasi
keberadaan urobilin di dalam urin. Prinsip uji ini adalah pembentukan warna hijau
flouresens akibat reaksi antara pereaksi Schlesinger dengan urobilin, hasil
oksidasi dari urobilinogen. Pada uji ini digunakan lugol untuk mengoksidasi
urobulinogen menjadi urobilin (Nauman dan Hans 1947). Berdasarkan data pada
Tabel 1, hasil uji pada sampel urin menunjukkan terbentuknya warna hijau
flouresens. Sesuai dengan literatur Nauman dan Hans (1947) yang sudah
disebutkan sebelumnya, sampel urin positif mengandung urobilin. Uji asam
sulfosalisilat merupakan uji yang digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan
protein di dalam urin. Prinsip uji ini berdasarkan pada tingkat kekeruhan sampel
akibat reaksi antara asam sulfosalisilat dan protein (Sernita dan Firdayanti 2016).
Berdasarkan data pada Tabel 1, hasil uji pada sampel urin menunjukkan
kekeruhan yang menandakan sampel mengandung protein.
Uji Nessler merupakan uji yang dilakukan untuk mengidentifikasi
keberadaan amonium di dalam urin. Prinsip metode ini berdasarkan pada
pembentukan endapan kuning coklat akibat reaksi antara pereaksi Nessler dengan
ammonium dalam larutan basa (Zhao et al. 2019). Berdasarkan data pada Tabel 1,
hasil uji pada sampel urin menunjukkan terbentuknya endapan coklat. Sesuai
dengan literatur Zhao et al. (2019) yang sudah disebutkan sebelumnya, sampel
urin positif mengandung amonium. Uji benzidin merupakan uji yang digunakan
untuk mengidentifikasi keberadaan darah di dalam urin. Prinsip uji ini
berdasarkan pada perubahan warna indikator akibat reaksi oksidasi chromogen
(benzidin) yang mengindikasi adanya porfirin besi atau heme (Mengko dan Tuda
2016). Berdasarkan data pada Tabel 1, hasil uji pada sampel urin menunjukkan
terbentuknya warna hijau kebiruan yang menandakan sampel mengandung darah.
Pemerikasaan urin secara reaksi biokimia, disebut strip tes urine dan banyak
digunakan di laboratorium klinik. Strip tes ruine juga dapat digunakan sebagao
metode diagnostik. Dalamn penggunaan yang mudah dan cepat, menghasilkan
inforamsi dan dapat sebagai diagnosa. pemeriksaan berat jenis pH, glukosa,
protein, darah, keton, bilirubin, urobilinogen, nitrit dan leukosit esterase.
Dalam pemakaian dianjukran untuk nhati-hati. Dalam penyimpaanan juga
lingkunagan tidak lembab, tidak terkemnan uap,dingin dan sinar matahari (Ronald
Richard 2002). Urine terus-menerus bersifat asam dapat terjadi pada asidosis
metabolik atau respiratorik dan pada pireksia (demam). Sedangkan urine terus
menerus bersifat basa menyatakan adanya infeksi pada saluran kemih oleh
organisme yang menguraikan urea. Urine yang bersifat basajuga terjadi pada
asidosis tubulus ginjal (penyakit ginjal dengan bikarbonat yang tidak dapat di
konversi), pada kekurangan kalium, pada sindrom fanconi (penyakit ginjal dengan
eksresi ammonia yang kurang baik (Mustopa 2016). Data sekunder uji strip ada
pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Uji Strip


Parameter Hasil
Bilirubin -
Urinobilinogen (mg/dL) -
Keton (mg/dL) 3.2
Darah 25
Protein (mg/dL) 0.3
Nitrit -
Leukosit (sel/L) -
Glukosa (mg/dL) 60
Berat jenis 1.030
pH 5.0

Ketika darah pada urine terlihat, kemungkinan darah tersebut akibat


adanya luka dalam pada saluran, kandung kemih atau ginjal. Tabel 2 menunjukan
adanya darah. Urin umumnya berwarna kuning, berbau amoniak, dan jika urin
didiamkan lama akan dapat berubah warna menjadi kuniung keruh. pH urin
berkisar 4.8 – 7.5, jika terdapat protein dalam konsumsi yang jumlahnya besar
akan mengakibatkan urin menajdi lebih asam, namun ketika konsumsi sayuran
jumlah besar akan mengakibatkan urin menajsdi basa. Berat jenis urine berkisar
1.002-1.035 g/mL (Uliyah 2008). Terdapat kasus yang memberikan keterangan
sampel dapat menjadi basa, disebabkan ketika proses pengujian menggunakan
lakmus merah yang mengakibnatkan tidak adanya informasi untuk melihat nilai
sebenarnya. Dibeberapa keterangan ini dapat dikatakan normal, karena pH normal
urin juga dapat mencapai 8.0. bahkan, ketika warna urin kuning kecoklatan, dapat
disebutkan urin normal. Sampai warna dapat lebih pekat, semacam ini
kemungkinan karena adanya dehidrasi atau kekurangan cairan. Yang menjadikan
kurangnya pengenceran dalam urin. Ketika bau amoniak terasa menyengat,
disebabkan urin didiamkan terlalu lama.
Leukosit menurut Sharp dan Merck (2011) leukosit yang terdapat pada
urin norma mempunyai jumlah <5 WBC. Dan 400x10 pada perbesaran. Namun,
hasil uji menemukan glukosa dalam urin. Glukosuria adalah kejadian yang
dikatakan tidak normal pada urin, disebabkan pada ginjal sendiri dapat menahan
glukosa >180 mg/dL pada beberapa kasus. Tabel 2 menerangkan adanya glukosa
sebesar 60 mg/dL, adanya glukosuria disebabkan dan akibat dari yang namanya
hiperglikemia (kasus stress, diabetes melitus, hiperkortikodismus) atau dalam
gangguan tubulus proksimal ginjal (Sharp dan Merck 2011)
Bilirubin umumnya tidak terdapat pada urin normal, akan tetapi ketika
terdapat jumnlah atau kadar yang sedikit pada urin disebabkan tidak terdeteksi
dalam pemerikasaan urin. Ketika bilirubin terdeteksi secara pasti ketika dalam
pemeriksaan urin, hal itu menunjukan adanya kerusakan hati atau obstruksi
empedu dan ditandai warna kuning. Bahkan, ketika sesorang mengalami hepatitis
kronis, kadar bilirubin mengalami kenaikan, dan tidak disertai jaundice (penyakit
kuning). (Nuraini dan Puspita 2017). Tabel 2 menunjukan bilirubin yang normal
Dilakukannya dalam indikasi tes urine dapat membantu mengetahui
adanya infeksi saluran kemih, dan yang menyebabkan bau busuk oleh leukosit,
bakteri dan nitrit. Dapat mengetahuio gangguan metabolisme seperti diabetes
melitus dan komplikasi kehamilan, dan dalam menentukan jenis dari penyakit
ginjal seperti glomerulonephritis, sindroma nefrotik dan pyelonephritis (Naid et
al. 2014)
Beberapa kasus juga memperlihatkan warna urine yang keruh,
kemungkinan diasgnosa untuk wanra tersebut yaitu menderita nefropati, hal ini
akibat dari urine penderita mengandung protein dan glukosa. Tabel 2 menunjukan
kadar glukosa 60 mg/dL. Bahkan ditemukan dalam kasus Mustopa (2016) urine
yang berbusa akibat dari akumulasi protein di dalam urin. Dikuatkan dalam
pernyataan ketika warna urin keruh, bukan hanya akibat dari protein dan glukosa.
Hal tersebut akibat dari infeksi saluran, batu ginjal kemih, infeksi kandung kemih.
Bahkan penyakit menular seprti gonore dan pemakaian obat-obatan sepertti
triamterene dan penggunaan vigra (Mustopa 2016)
Ketika adanya bau urin, disebabkan asam organik terjadi penguapan. Juga
dipengaruhi oleh konsumsi minuman dan makanan. Dalam transport glukosa ke
pdad jaringan-jaringan tubuh, akan menimbulkan hiperglikemia yang mampu
meningkatkan glukosuria. Lipolisim menjadikan produksi asam-asam lemak dan
gliserol dapat berlebihan. Asam lemak bebas itu akan menyebabkan badan keton
oleh hati. Badan keton mempunyai sifat seperti asam, dan jika nterjadi
penumpukan di dalam sirkulasi darah, badan keton menimbulkan asidosis
metabolik dan juga berujung urine berbau keton (Mustopa 2016)
Ketika dalam proses pengujian, terdapat penundaan ketika sampe urin
telah diambil, dapat memengaruhi hasil urinalisis yang terdapat pada parameter
kimiawi urinalisis secara statistik. Penundaan juga penurunan hasil seperti pada
kadar glukkosa. Dan dapat terjadi peningkatan pada parameter pH, eritrosit,
urobilinogen (Naid et al. 2014)

SIMPULAN

Pengujian terhadap urin dan hubungannya dengan diagnosis suatu


penyakit atau kondisi/fungsi organ tertentu dapat dilakukan melalui uji Rothera,
uji Schlessinger, uji asam sulfosalisilat, uji Nessler, dan uji benzidine. Tes
makroskopis dapat dilakukan dengan cara mengamati warna dan transparansi urin.
Tes mikroskopis meliputi pemeriksaan adanya sel, casts, kristal dan bakteri dalam
urin.

DAFTAR PUSTAKA

Firdausa S, Pranawa, Suryantoro SD. 2018. Arti klinis urinalisis pada penyakit
ginjal. J. Ked. N. Med. 1(1): 34-43.
Killander J. Sjolin S, Zaar R. 1962. Rapid tests for ketonuria: a comparative study.
Scandinavian Journal of Clinical and Laboratory Investigation. 14(3):
311-314.
Mengko S, Tuda JSB. 2016. Deteksi porfirin besi pada pakan darah nyamuk liar
antropofilik menggunakan uji benzidine. Jurnal e-Biomedik. 4(2): 1-7.
Mustopa Fl. 2016. Gambaran hasil pemeriksaan urinalisi pada penderita nefropati
diabetik di RSUD Abdul Moeloek Vandar Lampung tahun 2015. Jurnal
Medika Malahayati. 3(3):111-116
Naid T, Mangerangi F, Almahdaly H. 2014. Pengaruh penundaan waktu terhadap
urinalisis sedimen urin. As-Syifa Jurnal Farams. 6(2):212-219
Naumann MD, Hans N. 1947. Schlesinger’s test for urobilin in the presence of
riboflavin and other fluorescent compounds. The Journal of Laboratory
and Clinical Medicine. 32(12): 1503-1507.
Nuraini DF, Puspita E. 2018. Gambaran hasil pemeriksaan bilirubin total pada
pasien hepatitis. Jurnal Insan Cendekia. 4(1):56-60.
Panjaitan RGP, Bintang M. 2014. Peningkatan Kandungan Kalium Urin Setelah
Pemberian Ekstrak Sari Buah Belimbing Manis (Averrhoa carambola). J
Veteriner. 15(1): 108-113.
Santhi D, Dewi R, Santa. 2016. Kimia Klinik. Denpasar (ID): Fakultas Kedokteran
Universitas Undayana.
Sernita, Firdayanti. 2016. Variasi konsentrasi cuka dapur sebagai alternatif
pengganti asam asetat glasial 6% pada pemeriksaan proteinuria pada ibu
hamil di Puskesmas Lepo Lepo Kota Kendari. PKP. 1(1): 23-31.
Sumarlin LO, Muharam S, Vitaria A. 2009. Pemerangkapan ammonium (NH4+)
dari urine dengan zeolit pada berbagai variasi konsentrasi urine. JFST.
110-117.
Sharp M, Corp . 2011. Urinalysis. USA: Kenilworth
Uliyah M. 2008. Keterampilan Dasar Praktek Klinik. Jakarta(ID): Salemba
Medika.
Utomo PM, Widjajayanti E, Budiasih KS. 2010. Adsorpsi nitrogen dari urin
dengan zeolit. J Penelitian Saintek.15(1): 29-28.
Zhao Y. Shi R, Bian X, Zhou C, Zhao Y, Zhang S, Wu F, Waterhouse GIN, Wu
LZ, Tung CH, Zhang T. 2019. Ammonium detection methods in
photocatalytic and electrocatalytic experiment: how to improve the
reability of NH3 production rates. Adv. Sci. 6: 1-9.

You might also like