You are on page 1of 31

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGUNGKAPAN DAN TRANSPARANSI


KASUS :
PT PERUSAHAAN GAS NEGARA ( PT PGN )

MAKALAH
OLEH

Atikah M Hutasuhut 1006763962


Muhammad Erlangga 1006764076
Resti Diana Fauziah 1006712551
Retta Maita Tambun 1006663070

FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI
DEPOK
NOVEMBER 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

“Kami yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah terlampir


adalah murni hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang
kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.
Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk
makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali kami menyatakan dengan jelas
bahwa kami menyatakan menggunakannya.”
Kami memahami bahwa tugas yang kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan
atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.”

Nama NPM Tanda Tangan


Atikah M. Hutasuhut 1006763962
Muhammad Erlangga 1006764076
Resti Diana Fauziah 1006712551
Retta Maita Tambun 1006663070

Mata Ajaran : Tata Kelola Perusahaan


Judul Makalah : Pengungkapan dan Transparansi
Tanggal : 20 November 2013
Dosen : Purwatiningsih
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Prinsip pengungkapan dan transparansi informasi merupakan hal yang sangat
penting dilakukan oleh suatu perusahaan dalam rangka menjaga kepercayaan
stakeholder, khususnya kepercayaan investor dan untuk menciptakan pasar yang
baik. Informasi yang diungkapkan oleh perusahaan haruslah informasi yang
valid, andal, dan berkualitas yang tidak merugikan pihak yang terlibat dalam
pengambilan keputusan. Informasi tersebut meliputi aspek keuangan,
operasional, hukum, manajemen, dan harta kekayaan perusahaan kepada
masyarakat. Salah satu bentuk sumber informasi dari perusahaan adalah berupa
laporan yang dipublikasikan oleh perusahaan. Dengan adanya pengungkapan
informasi yang baik oleh perusahaan, maka diharapkan hal tersebut akan
membantu dalam penetapan harga pasar yang akurat, sesuai dengan apa yang
dibutuhkan oleh investor. Oleh sebab itu, investor dapat lebih hati-hati dalam
mengambil keputusan investasi.

Untuk menunjang adanya pengungkapan dan transparansi pada perusahaan di


Indonesia, maka dibuatlah aturan mempertegas pelaksanaannya, seperti: UU PT,
Peraturan Bapepam, UU BUMN, UU No.19/2003, UU Pasar Modal dan lain-lain.
Meskipun demikian, masih banyak ditemukan pelanggaran terkait prinsip
keterbukaan dalam praktek pasar modal. Salah satu kasus pelanggaran yang
terjadi di Indonesia pada tahun 2007 adala Kasus Perusahaan Gas Negara.

1.2 Perumusan Masalah


- Bagaimana penerapan prinsip OECD yang kelima di Indonesia?
- Bagaiman kaitan prinsip OECD yang kelima mengenai pengungkapan dan
transparansi dengan Kasus Perusahaan Gas Negara.

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan mendalami materi
Tatakelola Perusahaan terutama mengenai Penerapan prinsip OECD yang kelima
tentang pengungkapan dan transparansi. Penulisan makalah ini juga dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk melengkapi nilai tugas mata
kuliah Tatakelola Perusahaan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

1.4 Metodologi
Metode yang penulis gunakan adalah studi kepustakaan.Sumber-sumber
informasi didapat dari jurnal, dan artikel yang berkaitan dengan topik
pembahasan.

1.5 Sistematika Penulisan


Makalah diawali dengan Bab I, yaitu bab Pendahuluan yang memberikan
gambaran mengenai detail penulisan makalah. Dilanjutkan Bab II tentang
landasan teori mengenai pengungkapan dan transparansi. Setelah itu, pada Bab III
penulis membahas mengenai kasu PT Perusahaan Gas Negara dan juga berisi
kesimpulan dan saran.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 OECD Principle 5 : Disclosure and Transparency

Dalam prinsip OECD yang kelima ini menegaskan tentang harus adanya
keterbukaan informasi yang tepat waktu dan akurat terkait hal-hal yang material
dalam perusahaan, seperti keadaan keuangan, kinerja, kepemilikan, dan tata kelola
perusahaan. Dengan adanya keterbukaan informasi, maka struktur perusahaan,
kebijakan perusahaan, kegiatan dan kinerja perusahaan, tanggung jawab
perusahaan terhadap lingkungan dan standar etika, serta hubungan perusahaan
dengan stakeholder nya akan mudah dipahami oleh publik. Maksud dari
keterbukaan yang disyaratkan dalam prinsip OECD yang kelima ini adalah adanya
pengungkapan informasi yang dianggap perlu untuk diberitahukan kepada pihak-
pihak yang membutuhkan, seperti investor, kreditur, dan lain-lain. Dengan
adanya keterbukaan informasi yang maka hal tersebut dapat mengurangi
kemungkinan munculnya biaya-biaya yang tidak terduga karena permasalahan
yang mungkin ditimbulkan dengan tidak adanya penerapan prinsip pengungkapan
dan keterbukaan ini. Tidak seluruh informasi yang ada akan diungkapkan oleh
perusahaan, karena ada beberapa informasi yang akan membahaya kompetitif
suatu perusahaan bila diungkapkan. Untuk menentukan informasi minimum yang
akan diungkapkan ke public, maka perusahaan menerapkan konsep materiality,
yaitu informasi yang apabila dihilangkan atau salah disajikan akan mempengaruhi
pengambilan keputusan ekonomis oleh pengguna laporan keuangan.
Prinsip OECD yang kelima ini terbagi menjadi:
A. Keterbukaan harus meliputi, namun tidak terbatas pada, informasi material
atas:

1. Keuangan dan hasil operasi perusahaan


Melalui laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit kita dapat melihat
bagaimana kinerja dan keadaaan keuangan perusahaan. Adanya laporan keuangan
yang berkualitas bertujuan untuk meningkatkan pengawasan serta menjadi dasar
bagi perusahaan sekuritas dalam melakukan penilaian. Informasi-informasi yang
penting untuk diungkapkan adalah informasi mengenai transaksi dengan pihak
yang mempunyai hubungan afiliasi, kewajiban kontinjen, transaksi offbalance
sheet, serta adanya perusahaan bertujuan khusus.
2. Tujuan perusahaan
Perusahaan perlu mengungkapkan apa saja tujuannya dalam melakukan bisnis.
Oleh sebab itu, perusahaan didorong untuk mengungkapkan informasi mengenai
kebijakan terkait lingkungan, kebijakan publik, etika, dan lainnya. Sehingga,
informasi tersebut dapat membantu investor dalam mengevaluasi hubungan
perusahaan dengan komunitas dimana tempat perusahaan dioperasikan.
3. Kepemilikan saham mayoritas dan hak suara
Investor mempunyai hak untuk mengetahui mengenai struktur kepemilikan saham
dalam perusahaan dan bagaimana pemenuhan hak investor dibandingkan investor
lainnya. Hal tersebut untuk mengidentifikasi adanya ketidakadilan terkait dividend
dan hak investor, pengambilalihan, benturan kepentingan, transaksi dengan afiliasi
dan insider trading. Oleh sebab itu, informasi tentang pencatatan kepemilikan
harus dilengkapi dengan informasi mengenai beneficial ownership. Beneficial
ownership adalah pihak yang memiliki dana, yang mengendalikan transaksi, yang
memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi atau yang melakukan
pengendalian melalui badan hukum atau perjanjian.
4. Kebijakan remunerasi untuk dewan komisaris dan direksi, dan informasi
tentang anggota dewan komisaris, termasuk kualifikasi, proses seleksi,
perangkapan habatan, dan independensinya.
Informasi-informasi tersebut diperlukan oleh investor untuk menilai pemahaman
dan kualifikasi dewan, memperkirakan potensi conflict of interest yang bisa
mempengaruhi pengambilan keputusan, mengetahui hubungan remunerasi
anggota dewan komisaris dan direksi dengan kinerja perusahaan, sehingga
rencana remunerasi tersebut dapat dinilai biaya dan manfaatnya dan dan dapat
dinilai bagaimana kontribusi yang diberikan pada skema insentif yang diberikan
dari perencanaan tersebut.
5. Transaksi dengan pihak afiliasi
Salah satu hal yang penting untuk diketahiu oleh pasar adalah adanya keterbukaan
informasi mengenai transaksi dengan pihak afiliasi. Tujuan dari pengungkapan
informasi tersebut adalah untuk menilai apakah praktek-praktek yang dilakukan
oleh perusahaan dilaksanakan sesuai dengan kepentingan seluruh investor dan
untuk memenuhi ketentuan umum di pasar. Hal-hal yang diungkapkan terkait
transaksi ini mencakup siapa saja pihak yang mempunyai hubungan afiliasi, dan
jumlah transaksi dengan pihak afiliasi.
6. Faktor-faktor risiko yang dapat diperkirakan
Risiko material yang dapat diperkirakan meliputi risiko terkait wilayah geografis
diman tempat operasi perusahaan, ketergantungan terhadap bahan baku, keuangan
dan pasar (tingkat bunga dan nilai tukar), transaksi derivatif atau transaksi off-
balance sheet, serta risiko yang terkait dengan tanggung jawab lingkungan.
7. Hal-hal penting menyangkut karyawan dan stakeholder lainnya.
Informasi yang perlu diungkapakan tersebut mencakup informasi mengenai
bagaimana hubungan karyawan dengan manajemen, pemegang saham, kreditor,
supplier, pemerintah, dan masyarakat.
8. Struktur dan kebijakan tata kelola khususnya berkaitan dengan isi dari
kebijakan tata kelola perusahaan serta penerapannya.
Perusahaan harus melakukan tatakelola perusahaan yang baik dan wajib
melaporkannya, dengan kata lain harus melakukan pengungkapan dan
transparansi terkait penerapan tatakelola perusahaannya.
B. Informasi harus disajikan dan diungkapkan sesuai dengan standar akuntansi
yang berkualitas tinggi dan keterbukaan keuangan dan nonkeuangan.
Perlunya penerapan standar akuntansi yang berkualitas tinggi dan melakukan
keterbukaan dalam hal keuangan maupun nonkeuangan dalam rangka
mewujudkan kualitas pelaporan yang mempunyai tingkat reliabilitas dan
komparabilitas yang semakin tinggi. Dengan demikian, adanya laporan keuangan
yang berkualitas akan membantu meningkatkan kemampuan investor dalam
memonitor dan menilai kinerja perusahaan.

C. Audit tahunan harus dilakukan oleh auditor yang independen, kompeten dan
memenuhi kualifikasi, dalam rangka menyediakan jaminan/ kepastian eksternal
dan objektif kepada pengurus dan pemegang saham bahwa laporan keuangan
perusahaan menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi
keuangan dan kinerja perusahaan.
Yang mana dalam memenuhi kriteria ini, harus ada pemilihan auditor
berkualifikasi dan professional sehingga pendapat auditor independen mengenai
penyusunan dan penyajian laporan keuangan perusahaan memadai, memenuhi dan
dapat dipertanggungjawabkan. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa
laporan keuangan perusahaan telah disajikan secara wajar dan untuk
meningkatkan pengendalian dalam perusahaan.

D. Auditor eksternal harus bertanggung jawab kepada pemegang saham dan


melaksanakan tugasnya terhadap perusahaan dengan menjaga/secara profesional
selama melakukan audit.
Auditor eksternal bertugas untuk memberikan pendapatnya mengenai laporan
keuangan perusahaan, sehingga harus bertanggung jawab terhadap perusahaan
terkait pendapat yang dia berikan. Oleh sebab itu, dalam melakukan penilaian
auditor harus lebih objektif karena dia harus mengutamakan sifat independen,
profesionalisme, dan skeptisnya.

E. Media penyebaran informasi harus memberikan akses informasi yang relevan


bagi pengguna secara sama (equal), tepat waktu dan biaya yang efisien.
Pernyataan diatas menegaskan bahwa perusahaan penting untuk
mempertimbangkan penggunaan media yang tepat dalam rangka penyebaran
informasi kepada publik, seperti contohnya melalui media internet. Perusahaan
harus memberikan informasi yang berkualitas, tidak mahal, tidak susah diakses
dan tepat waktu bagi pihak yang berkepentingan. Saat ini, adanya teknologi
internet semakin mempermudah investor dan publik untuk memperoleh informasi
perusahaan, tanpa menumbulkan biaya.

F. Kerangka corporate governance harus mengarah dan mendorong terciptanya


ketentuan mengenai analisa atau saran dari analis, pedagang perantara efek,
pemeringkat dan pihak lainnya yang relevan dengan keputusan investor , tidak
mengandung benturan kepentingan yang material yang mungkin mempengaruhi
integritas analisa atau saran yang diberikan.
Profesi analis, pedagang perantara efek, pemeringkat dan pihak lainnya harus
memberikan analisa dan saran yang baik bagi perusahaan dalam rangka menjaga
integritas mereka. Sehingga dengan adanya analisa dan saran yang baik, maka
mereka dapat memberikan kontribusi yang baik bagi kelangsungan perusahaan.

2.2 Regulasi yang terkait dengan Pengungkapan dan Transparansi

Ada beberapa ketentuan dan peraturan di Indonesia yang menunjang penerapan


prinsip OECD poin ke 5 ini, yaitu:
1. Ketentuan dalam Undang-Undang PT No. 40/2007  Mengatur
pengungkapan tujuan pendirian perusahaan yang dicantumkan dalam
anggaran dasar perusahaan, terkait dengan informasi mengenai tujuan
perusahaan dalam subprinsip A.
2. Peraturan Bapepam:
a. Peraturan Bapepam Nomor V.A.1  Perijinan Perusahaan Efek,
yang mengatur keterbukaan informasi tentang kualifikasi, proses
seleksi perangkapan jabatan direksi dan dewan komisaris
perusahaan efek.
b. Peraturan Bapepam Nomor V.D.5  pengungkapan risiko secara
rinci dalam pelaporan MKDB.
c. Peraturan Bapepam Nomor VIII.A.1  Akuntan yang berpraktik di
pasar modal harus mempunyai kompetensi yang memadai
dimaksudkan untuk menjaga sikap profesionalitas akuntan.
d. Peraturan Bapepam Nomor VIII.A.2  Pembatasan masa
penugasan baik bagi partner maupun bagi Kantor Akuntan Publik,
demi menjaga independensi akuntan dalam memberikan opini atas
laporan keuangan perusahaan.
e. Peraturan Bapepam Nomor VIII.G.2  Pengungkapan informasi
risiko dalam Laporan Tahunan.
f. Peraturan Bapepam Nomor VIII.G.7  Keterbukaan informasi
mengenai transaksi dengan pihak istimewa bagi emiten dan
perusahaan publik.
g. Peraturan Bapepam Nomor IX.C.2  Pengungkapan informasi
risiko dalam Prospektus dalam rangka penawaran umum.
h. Peraturan Bapepam Nomor X.E.1  Kewajiban Penyampaian
Laporan Berkala Oleh Perusahaan Efek.
i. Peraturan Bepepam Nomor X.K.1  Keterbukaan Informasi yang
Harus Segera Diumumkan kepada Publik.
3. Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor : PER-09/MBU/2012
a. Pasal 3  Mengenai prinsip Transparansi.
b. Pasal 5 ayat 1(c)  Hak pemegang saham memperoleh informasi.
c. Pasal 34  Keterbukaan Informasi.
4. UU No.19/2003 tentang BUMN
a. Pasal 5 (3)  mengenai kewajiban direksi.
b. Pasal 75  mengenai prinsip privatisasi.
5. UU Pasar Modal No. 8/1995
a. pasal 1(25)  tentang prinsip Keterbukaan.
b. Pasal 86(1)  mengenai kewajiban emiten sebagai perusahaan
publik.
c. Pasal 93  mengenai larangan membuat pernyataan tidak benar.
d. Pasal 95  mengenai informasi orang dalam.

2.3 Jurnal Sidharta Utama: Corporate Governance, Disclosure And Its


Evidence In Indonesia

Dalam Tatakelola Perusahaan, kita mengenal dua prinsip yakni pengungkapan


(disclosure)dan (transparency). Pengungkapan menunjukkan relevansi dan sifat
yang dapat diandalkan dalam segala hal yang material. Kedua prinsip ini apabila
diterapkan akan dapat mengurangi apa yang disebut dengan asimetri informasi
yang pada konsekuensinya akan mengurangi dampak dari adverse selection dan
moral hazard.
Penelitian ini melihat regulasi yang mengatur pengungkapan di Indonesia dan
mereviu bukti level pengungkapan yang ada diantara perusahaan publik yang
terdaftar di Bursa Efek.
Di Indonesia, mekanisme privat dalam mengontrol konsekuensi negatif dari
asimetris informasi masih sangat minim. Ditenggarai karena peran direksi dan
komisaris serta pihak kreditur dan bank sangat kecil dalam memonitor aksi
perusahaan. Selain itu, pasar modal dan tenaga kerja juga masih belum
berkembang. Jika tidak ada regulasi, informasi yang disediakan oleh perusahaan
sangat tidak mencukupi. Oleh karenanya, maka dilakukanlah pengembangan pada
peraturan-peraturan.
Bapepam sendiri telah mengeluarkan banyak peraturan-peraturan yang
menciptakan pengungkapan yang lebih berarti yang berdampak pada peningkatan
proteksi terhadap pemegang saham minoritas. Standar akuntansi mulai
diharmonisasikan dengan International Accounting Standard. Bukti yang didapat
secara umum mengungkapkan bahwa tingkat disclosure di Indonesia masih
rendah. Artinya harus ada dorongan yang kuat dari sang regulator melalui
pengembangan regulasi yang ada.

Regulasi yang Mengatur Pengungkapan di Indonesia


Regulasi yang mengatur pengungkapan bagi perusahaan publik di Indonesia
adalah:
 UU No.3 Tahun 1982 tentang Daftar Perusahaan.
 Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 1999 tentang Pernyataan Keuangan
Tahunan.
 Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) untuk perusahaan
publik.
Dalam peraturan perusahaan disebutkan bahwa perusahaan harus menyediakan
informasi yang dapat diakses oleh publik. Tetapi kelemahannya ada pada
pengimplementasian, pengawasan dan pengukuran dalam pelaporan yang tidak
tepat dan tidak tepat waktu.
PP No. 64 1999 menyatakan dasar perusahaan menyerahkan laporan keuangannya
kepada publik. Sebelumnya, hanya perusahaan yang terdaftar di bursa efek saja
yang diwajibkan untuk menyerahkan laporan keuangan yang telah diaudit.
Sekarang, baik laporan keuangan yang sudha diaudit, laporan atas instrumen
utang dan yang memiliki aset atau net aset lebih besar dari 25 juta rupiah.
Bapepam mengeluarkan banyak peraturan pengungkapan keuangan dan
nonkeuangan, misalnya:
1. Perencanaan dan Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
dalam Peraturan Bapepam IX.1.1
2. Keterbukaan Informasi yang Harus Segera Diumumkan Kepada Publik
dalam Peraturan Bapepam XK1
3. Laporan Penggunaan Dana Hasil Penawaran Umum dalam Peraturan
Bapepam XK4
4. Peraturan Bapepam VII.G.2. menyebutkan detail dari apa saja yang harus
dimasukkan dalam laporan tahunan, antara lain:
a. Deskripsi umum : berkaitan dengan informasi umum perusahaan
b. Deskripsi khusus : berkaitan dengan stock price, lokasi, tipe aset,
informasi dividen, realisasi dari penggunaan informasi publik
c. Ringkasan penting dari data finansial : berisikan perbandingan
penjualan, profit, operating income, net income, outstanding share,
net working capital, ROI, ROE, dan semua yang berkaitan dengan
finansial perusahaan dalam beberapa tahun.
d. Diskusi manajemen dan analisisnya : merupakan analisis dari
perbandingan data-data finansial tahun berjalan dan sebelumnya.
e. Financial statement: dipersiapkan sesuai dengan standar akuntansi
yang berlaku.
Herwidiyatmo (2000), kepala Bapepam menyarankan detail yang dibutuhkan
dalam laporan tahunan harus dapat dibandingkan dengan pengungkapan standar
internasional yang paling tinggi. Beberapa peraturan yang dapat melindungi
pemegang saham minoritas juga dikeluarklan oleh Bapepam. Misalnya
megeluarkan aturan yang membutuhkan persetujuan pemegang saham independen
dalam kasus transaksi benturan kepentingan. Dengan dukungan dari Bapepam,
Bursa Efek Jakarta, bekerja sama dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan
Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) sedang mengembangkan presentasi dan
pedoman pengungkapan untuk perusahaan publik di 22 industri. Panduan ini
berdasarkan pada peraturan Bapepam, peraturan industri, dan standar akuntansi
yang berlaku.
Untuk meningkatkan kredibilitas standar akuntansi, maka dewan komite standar
akuntansi (DSAK) memutuskan untuk melakukan harmonisasi standar akuntansi
dengan IAS (International Accounting Standards) yang diterbitkan oleh IASC.
Hasilnya, ada 60 PSAK yang mengcover semua jenis transaksi dan kejadian bisnis
yang relevan dengan perusahaan di Indonesia. Cara meningkatkan kualitas standar
ialah dengan mengeluarkan draft terlebih dahulu untuk diberi tanggapan. Setelah
itu barulah standar disusun.

Laporan Tahunan di Industri Perbankan


Akuntabilitas manajemen disediakan dalam bentuk laporan yang nantinya
mengindikasikan keefektifan manajemen dalam memenuhi tujuan perusahaan.
Untuk Bank di Indonesia, BI dan Bapepam mengatur mandat untuk syarat-syarat
pengungkapan di laporan tahunan untuk industri perbankan yang terdaftar.
Peraturan BI berlaku untuk semua bank di Indonesia. Peraturan Bapepam hanya
berlaku bagi perusahaan terdaftar saja. Karenanya, bagi Bank yang telah terdaftar
di bursa efek, peraturan dari kedua badan ini sering membingungkan karena tidak
seutuhnya sama. Informasi yang diminta BI untuk diungkapkan diantaranya:
a. Informasi umum : berisikan pengenalan direksi, struktur kepemilikan,
struktur organisasi, aktiva perusahaan, peraturan manajemen dari bank
tersebut, produk dan jasa, aktifitas sosial, target di masa depan, IT dan
pengembangan bank.
b. Laporan keuangan dengan perbandingan 2 tahun sebelumnya: berisikan
opini audit, balance sheet, income statement, contigency cash flow
statement dan notes to financial statement.
c. Bagian yang perlu diperhatikan: berisikan analisis kredit seperti persentase
kredit oleh industri, pemberian kredit kepada pihak berelasi, pengembalian
utang, dan hutan jangka panjang baik lokal maupun internasional.
BI tidak mengharuskan adanya diskusi dan analisi manajemen terhadap performa
bank dalam 2 tahun terakhir, dimana Bapepam mengharuskannya. Sebaliknya, BI
mengharuskan detil informasi mengenai struktur kepemilikan termasuk
kepemilikan direksi sedangkan Bapepam tidak mengharuskannya. BI memberikan
sangsi bagi bank yang tidak menerbitkan laporan keuangannya dan
menginformasikan daftar bank yang tidak menyerahkan laporan tahunannya.

Standar Akuntansi bagi Bank


Pada bulan Maret 2000, IAI menerbitkan standar akuntansi baru bagi bank yang
akan diimplementasikan tahun 2000. PSAK lama, No. 31 dirasa tidak
menyediakan pengungkapan yang cukup dengan natur bank yang memiliki
berbagai jenis risiko. Rossieta memimpin penelitian untuk menginvestigasi
kecukupan standar lama dan baru dengan memperhitungkanrisiko yang dipegang
oleh bank. Dia membandingkan standar akuntansi untuk pedoman yang
dikembangkan oleh Komite Basel pada Pengawasan Perbankan, Bank for
International Settlements. Jenis risiko yang harus menerima pengungkapan yang
cukup diantaranya risiko kredit, risiko pasar, risiko likuidasi dan risiko
operasional dan hukum. Analisisnya menunjukkan bahwa standar akuntansi yang
lama (PSAK 31) memiliki keterbatasan yang besar dalam memberikan informasi
kualitatif untuk meningkatkan transparansi bank mengenai risiko. Dari total 20
item pengungkapan, hanya tiga item yang diperlukan untuk diungkapkan. Untuk
risiko likuiditas, bank tidak diwajibkan untuk memberikan informasi kualitatif
sama sekali. Di sisi lain, hanya empat item pengungkapan yang tidak
membutuhkan pengungkapan dalam standar akuntansi yang baru dan tiga item ini
diungkapkan terkait dengan risiko pasar. Dengan demikian, standar baru secara
signifikan meningkatkan pengungkapan eksposur bank terhadap risiko. Untuk
menerapkan standar baru, bagiamanapun cukup rumit, sehingga edisi berikutnya
adalah tingkat kepatuhan bank terhadap standar akuntansi yang baru.

Tingkat Pengungkapan perusahaan Publik di Indonesia


Ada beberapa bukti empiris terkait level pengungkapan dari perusahaan
publik yang terdaftar di Indonesia. Pertama, didasarkan pada studi yang dilakukan
di Botosan (1997) Amerika Serikat, terkait skor pengungkapan. Skor tersebut
mencakup sejumlah daftar informasi wajib dan sukarela untuk diungkapkan yang
terdiri atas lima bagian, yaitu informasi Latar Belakang, Rangkuman Kinerja
Keuangan, Informasi Selain Keuangan, Proyeksi, dan Diskusi&Analisis
Manajemen. Setiap bagian terdiri atas beberapa hal dengan skor awal adalah nol
jika tidak diungkapkan, skor satu jika diungkapkan, dan skur dua jika
pengungkapan diikuti oleh informasi kuantitatif uang tidak diungkapkan pada
laporan keuangan. Secara keseluruhan, terdapat 35 hal untuk diungkapkan dengan
jumlah skor maksimum 75.
Di Indonesia, studi terkait dilakukan oleh Gunawan (2000) terhadap 104
dari 274 perusahaan terdaftar di BEJ pada tahun 1998 dengan memeriksa
laporan tahunan mereka. Secara keseluruhan, skor pengungkapan yang
diperolah relatif rendah, yaitu 41.9% dari item pengungkapan yang
dijelaskan dengan baik pada laporan tahunan. Skor yang rendah ini
disebabkan oleh rendahnya pengungkapan Informasi Non-Keuangan dan
Informasi proyeksi, yang sebagian besarnya memang lebih bersifat
sukarela. Skor pengungkapan lebih lengkat dapat dilihat di Tabel 1.
Deskripsi Skor Aktual/ Skor Maksimum
1. Informasi Latar Belakang 44.25%
2. Rangkuman Kinerja Keuangan 84.9%
3. Informasi Non-Keuangan 17.7%
4. Informasi Proyeksi 4.4%
5. Analisis dan Diskusi Manajemen 55.7%
Skor Keseluruhan 41.9%
Sumber: J. Gunawan, Tabel IV.3, halaman 45-46

Studi ini juga menemukan bahwa tingkat pengungkapan berhubungan positif


dengan ukuran perusahaan dan pengungkit keuangan (financial leverage).
Semakin besar perusahaan maka akan semakin besar insentif untuk memberikan
pengungkapan karena mereka memiliki kontrak dengan berbagai pihak.

Studi lainnya dilakukan oleh Irwanto (2000) yang memeriksa tingkat


pemenuhan terhadap peraturan mengenai kewajiban pada laporan tahunan
perusahaan publik bank berdasarkan peraturan Bank Indonesia dan peraturan
Bapepam. Pengungkapan yang diatur berdasarkan peraturan Banki Indonesia
mencakup tiga bagian, yaitu Informasi Umum, Laporan Manajemen, dan Hal-hal
yang Membutuhkan Perhatian; dengan jumlah hal yang perlu diungkapkan
tersebut mencapai 43 hal. Sementara berdasarkan peraturan Bapepam, terdapat
empat bagian yang dicakup, yaitu Deskripsi Umum, Deskripsi Khusus,
Rangkuman Data Keuangan, dan Diskusi serta Analisis Manajemen; dengan
jumlah hal yang perlu diungkapkan mencapai 49 halaman.

Pemeriksaan terhadap laporan tahun 1998 yaitu dari perusahaan publik,


bank di Indonesia menunjukkan bahwa dari 32 bank yang terdaftar di bursa,
hanya 15 bank yang mempublikasikan laporan tahunannya dan sisanya tidak
mempublikasiknnya karena dilikuidasi atau diambil alih oleh pemerintah. Hasil
pemeriksaan berdasarkan peraturan Bank Indonesia mengindikasikan bahwa
secara keseluruhan hanya 58,3% dari informasi yang diperlukan, telah
diungkapkan. Data terkait terlihat di table berikut:

Tabel 2: Skor Kewajiban Pengungkapan Pada Bank – Peraturan Bank Sentral

Deskripsi Skor Aktual/ Skor Maksimum


1. Informasi Umum 76.2%
2. Laporan Manajemen 59.2%
3. Hal yang Membutuhkan Perhatian 50.9%
Skor Keseluruhan 58.3%
Sumber: Irwanto, Tabel 4.2 dan 4.3, halaman 99-
100

Sementara,pemeriksaan berdasarkan peraturan Bapepam memiliki hasil ayng


sama dengan pemeriksaan berdasarkan peraturan BI. Secara keseluruhan, skor
pengungkapan relatif rendah. Data terkait dapat dilihat pada Tabel 3. Dapat
disimpulkan bahwa secara umum tingkat pemenuhan perbankan publik terhadap
peraturan bank sentral dan Bapepam relatif rendah.
Tabel 3: Skor Kewajiban Pengungkapan Pada Bank – Peraturan Bapepam

Deskripsi Skor Aktual/ Skor Maksimum


1. Deskripsi Umum 73.3%
2. Deskripsi Khusus 34%
3. Rangkuman Data Keuangan 66.7%
4. Analisis dan Diskusi Manajemen 54.7%
Skor Keseluruhan 58.8%
Sumber: Irwanto, Tabel 4.5, 4.5 dan 4.6, halaman 101-103
Studi juga dilakukan oleh Fitriany (2000) terkait tingkat pengungkapan
pada laporan keuangan dari perusahaan asuransi kerugian dan kebakaran yang
terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Temuan dari studi ini juga menunjukkan bahwa
tingkat pengungkapan oleh perusahaan tersebut secara keseluruhan rendah
(kurang dari 60%). Menariknaya, studi tersebut menemukan bahwa auditor
berperan dalam menentukan tingkat pengungkapan.
Sementara studi lainnya yang dilakukan Pricewaterhouse Coopers (1999) yang
melakukan survei terhadap investor institusional di Singapura dan menanyai
persepsi mereka terhadap standar pengungkapan dan transparansi di sejumlah
negara di wilayah Asia-Australia menyimpulkan bahwa Indonesia memiliki
peringkat yang sangat rendah dalam penerimaan standar pengungkapan, sejalan
dengan studi yang telah dibuktikan sebelumnya.

Kesimpulan
Salah satu prinsip tatakelola perusahaan adalah pengungkapan dan
transparansi. Dengan menerapkan prinsip ini, informasi asimetris dapat berkurang
sehingga konsekuensi berupa adverse selection dan masalah moral hazard dapat
diminimalisir. Sebagai dampaknya, cost of capital akan menurun dan nilai
perusahaan akan naik. Pengungkapan yang kredibel juga meningkatkan
kepercayaan investor dan menghasilkan alokasi modal yang lebih baik dalam
ekonomi.
Karena kontrak yang dilakukan perusahaan dengan berbagai pihak,
tekanan moral dan pasar tenaga kerja, perusahaan sesungguhnya memiliki insentif
untuk melakukan pengungkapan. Namun insentif tersebut gagal untuk
memberikan informasi yang optimal karena informasi memiliki karakteristik
sebagai barang publik dan terdapat kegagalan pasar. Ini mendorong diperlukannya
intervensi otoritas pusat untuk mengatur kebutuhan informasi yang dihasilkan
oleh perusahaan.
Untuk perusahaan publik, tingkat informasi asimetris sangat substansial
antara pemegang saham mayoritas yang memiliki aset terkait informasi tertentu
dan pemegang saham minoritas yang tidak memiliki akses tersebut. Lebih jauh
lagi, pasar modal dan tenaga kerja belum berkembang dengan baik. Tanpa adanya
regulasi yang baik, jumlah informasi yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut,
sesuai perkiraan, tidak memuaskan.
Dalam beberapa tahun belakangan, terdapat peningkatan yang signifikan
pada peraturan terkait pengungkapan di Indonesia. Namun bukti empiris
menunjukkan bahwa secara umum, tingkat pemenuhan terhadap peraturan
tersebut masih rendah.

Rekomendasi
Terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan level
pengungkapan dan transparansi diantara perusahaan publik di Indonesia,
diantaranya:
1. Lingkungan tempat beroperasinya perusahaan harus mendukung dan
memotivasi perusahaan untuk menjadi transparan dan melaksanakan
seluruh prinsip pengungkapan. Hal ini membutuhkan peran serta dewan
komisaris, investor dan kreditur.
2. Pemerintah harus terus melanjutkan atau mempercepat pengembangan
pasar saham dan pasar obligasi (debt market). Mereka juga harus meninjau
bursa, peraturan perdagangan, dan sistem supervisi untuk meningkatkan
efisiensi operasi pasar modal.
3. Bapepam atau badan pengatur yang terkait harus menegakkan peraturan
kewajiban pengungkapan dan memantau pemenuhan perusahaan pada
peraturan tersebut. Pemberian sanksi juga dapat diberikan pada perusahaan
yang gagal memenuhi peraturan tersebut.
4. Integritas dari auditor eksternal sangat krusial dalam meningkatkan
kredibilitas laporan keungan. Auditor memiliki peran penting dalam
memastikan perusahaan memenuhi standar akuntansi. Sebelumnya, auditor
juga harus memahami standar dan kode etik. Badan pengatur dan IAI perlu
meyususn kebijakan yang mendorong peningkatan kompetensi auditor.

2.4 BUMN : GOVERNANCE DAN PENGENDALIAN INTERNAL Oleh : Prof


Akhmad Syahroza, PhD (Staf pengajar FEUI)

Jurnal ini menyatakan perlunya penyatuan tujuan antara corporate governance (CG) serta
pengendalian internal, karena dua hal ini berbeda fungsinya. Isu mengenai tatakelola
serta pengendalian internal muncul saat suatu BUMN perbankan yang telah go public di
Indonesia telah mendapatkan peringkat rating sebagai perusahaan yang telah menerapkan
governance secara baik oleh sebuah lembaga pemeringkat. Namun demikian, beberapa
waktu kemudian diperoleh berita bahwa perusahaan tersebut telah dibobol oleh sindikat
yang juga melibatkan orang dalam dengan jumlah uang yang fantastis. Pertanyaan yang
muncul adalah bukankan BUMN yang dimaksud telah dianggap memiliki dan
menerapkan governance secara baik ? Kenapa masih terjadi penyelewengan ?

Dalam kaitan ini perlu dipisahkan antara isu corporate governance dengan pengendalian
internal. Isu CG lebih menekankan kepada hubungan berbagai pihak pada pengendalian
di tingkatan stratejik atau di level korporasi, sementara isu pengendalian internal lebih
menitikberatkan pada upaya pengendalian di tingkat operasional. Namundemikian,
walau fungsi keduanya berbeda dalam tingkatan, keduanya memiliki hubungan yang erat.
Root (1998, p. 8) menyatakan bahwa sudah saatnya konsepsi pengendalian internal
disatukan (merge) dengan tujuan dari CG sehingga pada akhirnya akan menghilangkan
keraguan terhadap fungsi masing-masing dalam kerangka pengendalian korporasi. Jika
hal ini dilakukan, diharapkan kedua konsepsi (CG dan pengendalian internal) dapat
berjalan beriringan dan memberikan sinergi di dalam pelaksanaan aktivitas korporasi,
baik operasional maupun stratejik, di dalam mencapai tujuan perusahaan secara lebih
efektif.

Dari sudut governance, secara simultan “harapan” ini juga harus ditekankan pada
tingkatan board (supervisory board- dewan pengawas) agar dapat menghasilkan esensi
pengendalian yang efektif. Untuk itu peran komite audit sangat penting agar mampu
menghasilkan pengendalian yang efektif sesuai kerangka board governance. Dalam
kaitan fungsi komite audit inilah fungsi governance dan pengendalian internal dapat
dilihat hubungannya secara jelas.

Komite audit berperan penting dalam proses pelaporan keuangan, sebagai


sebuah“financial monitor” dan berperan penting dalam proses laporan keuangan (Abott,
Parker, dan Peters, 2004). Komite audit akan berhubungan dengan pengendalian
keuangan perusahaan, termasuk melakukan telaah (review) terhadap kehandalan
pengendalian internal yang dimiliki perusahaan serta kepatuhan terhadap berbagai
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Komite audit juga berfungsi untuk
melakukan seleksi penunjukan KAP, dan melakukan evaluasi atas kinerja KAP. Cakupan
tugas komite audit tercermin dalam hubungan tidak saja dengan internal auditor
perusahaan tapi juga dengan auditor eksternal dalam upaya menghasilkan laporan
keuangan perusahaan yang mencerminkan GCG (Abott, Parker, Peters, 2004;
Raghunandan dan Rama, 2003; Asbaugh dan warfield, 2003). Komite Audit berperan
penting dalam menilai efektifitas kinerja fungsi internal audit dan eksternal audit.

Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa komite audit memegang peranan cukup
penting dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di dalam perusahaan.
Terutama mengenai kondisi keuangan karena komite audit berhubungan dengan auditor
eksternal, serta mengenai kondisi pengendalian internal perusahaan dengan bantuan
auditor internal. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas akan maksimal dengan
didukung adanya komite audit yang efektif, salah satunya dengan penyatuan tujuan
governance dan pengendalian internal. Prinsip dasar transparansi dan akuntabilitas
berhubungan dengan kualitas informasi yang disajikan oleh perusahaan. Kepercayaan
investor akan sangat tergantung dengan kualitas informasi yang disampaikan perusahaan.
Oleh karena itu perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang jelas, akurat,
tepat waktu dan dapat dibandingkan dengan indikator- indikator yang sama.
BAB III
KASUS PT PERUSAHAAN GAS NEGARA

3.1 Company Profile

PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. merupakan sebuah BUMN yang


bergerak di bidang transmisi dan distribusi gas bumi. Pada awalnya, perusahaan
ini merupakan perusahaan swasta Belanda yang bernama firm L.J.N. Eindhoven
Co. yang berdiri pada tahun 1859. Perusahaan ini dinasionalisasikan dan berganti
nama menjadi Perusahaan Gas Negara pada tanggal 13 Mei 1965 dan pada tahun
1994 statusnya ditingkatkan menjadi PT Perusahaan Gas Negara (Persero) dengan
penambahan ruang lingkup usaha yang lebih luas yaitu selain di bidang distribusi
gas bumi juga di bidang yang lebih ke sektor hulu yaitu di bidang transmisi,
dimana PGN berfungsi sebagai transporter. Kemudian, untuk memaksimalkan
kinerja, meningkatkan diversifikasi kepemilikan kepada stakeholders serta
mempercepat penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate
governance), pemerintah melakukan privatisasi terhadap PGN. Hal ini ditandai
dengan tercatatnya saham PGN pada tanggal 15 Desember 2003 di Bursa Efek
Indonesia dengan kode saham PGAS dan nama resminya menjadi PT Perusahaan
Gas Negara (Persero) Tbk. Pada akhir tahun 2012, kepemilikan saham Pemerintah
atas PGN adalah sebesar 57% dan 43% lainnya dimiliki oleh publik.

3.2 Permasalahan
Yang menjadi permasalahan atas kasus PGN yang melanda pasar modal Indonesia
adalah terjadinya pelanggaran prinsip keterbukaan informasi sehingga
menyebabkan terjadinya praktek insider trading atas transaksi saham PGAS.
Kasus ini muncul ke publik pada tanggal 12 Januari 2007 ketika harga saham
PGAS anjlok. Pada saat itu, harga perdagangan dibuka sebesar Rp9,650.- per
lembar saham dan pada penutupan harga sahamnya jatuh sebesar 23.36% atau
pada posisi Rp7,400.- per lembar sahamnya.
Adapun yang menjadi pemicu jatuhnya saham PGAS ini terjadi karena adanya
panic selling yang melanda investor asing maupun lokal. Faktor penurunan harga
saham PGAS tersebut erat kaitannya dengan koreksi atas rencana besarnya
volume gas yang akan dialirkan, yaitu mulai dari 150 MMSCFD menjadi 30
MMSCFD dikarenakan adanya penundaan proyek pipanisasi South Sumatera–
West Java (SSWJ) yang semula akan dilakukan pada akhir Desember 2006
tertunda menjadi Maret 2007. Informasi ini sebenarnya telah diketahui oleh
manajemen PGN sejak tanggal 12 September 2006, namun manajemen menunda
pengungkapan hal tersebut yang terkait dengan rencana pemerintah melakukan
divestasi saham PGAS sebesar 5.32% pada tanggal 15 Desember 2006. Dengan
adanya rencana divestasi tersebut, dikhawatirkan pengumuman mengenai
penundaan penyelesaian proses pipa gas SSWJ membuat harga saham PGAS
ketika divestasi menjadi rendah. Pada kenyataannya, harga jual saham PGAS
ketika divestasi memang rendah. Sebelumnya, perusahaan sekuritas yang
membantu proses divestasi ini telah melakukan riset bahwa sebenarnya harga
saham PGAS dapat dijual sebesar Rp15,000.- per lembar. Namun, yang terjadi
adalah harga jual saham PGAS pada saat divestasi hanya Rp11,350. Penetapan
harga penjualan saham tersebut pun tanpa melalui melalui rapat formal dengan
jajaran internal Kementerian BUMN dan penjamin emisi.
Pada tanggal 15 Januari 2007, BEJ men-suspend atau menghentikan sementara
perdagangan saham PGAS karena mencurigai adanya sesuatu yang tidak benar
melihat penurunan saham PGAS yang sangat tajam dan melaporkannya kepada
Bapepam-LK selaku pengawas pasar modal. Selanjutnya, pada tanggal 1 Februari
2007, Bapepam-LK menginformasikan kepada publik mengenai perkembangan
pemeriksaan terhadap PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. Berdasarkan
pemeriksaan tersebut, Bapepam-LK telah memperoleh cukup bukti bahwa PGN
telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU Pasar Modal dan Peraturan
Bapepam Nomor: X.K.1 tentang keterbukaan informasi yang harus segera
diumumkan kepada publik dan Bapepam-LK juga melakukan pemeriksaan atas
transaksi saham PGAS yang dilakukan oleh perusahaan efek anggota bursa.
Kemudian, pada tanggal 13 Maret 2007 Bapepam-LK telah menjatuhkan sanksi
administratif berupa denda kepada PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk.
sebesar Rp35,000,000 dan Rp5,000,000,000 kepada direksi dan mantan direksi PT
Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. yang menjabat pada periode Juli 2006
sampai dengan Maret 2007 atas pelanggaran tentang pemberian keterangan yang
secara material tidak benar, yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 UU
Pasar Modal.
Selain itu, Bapepam juga memberikan denda kepada orang dalam perusahaan
PGN yang
melakukan transaksi saham pada periode 12 September 2006 sampai 11 Januari
2007 :
1. Adil Abas (mantan Direktur Pengembangan) sebesar Rp30,000,000
2. Nursubagjo Prijono (mantan Direktur Operasional) sebesar Rp53,000,000
3. WMP Simanjuntak (mantan Direktur Utama dan Komisaris)
Rp2,330,000,000
4. Widyatmiko Bapang (Sekretaris Perusahaan) Rp25,000,000
5. Iwan Heriawan sebesar Rp76,000,000
6. Djoko Saputro sebesar Rp154,000,000
7. Hari Pratoyo sebesar Rp9,000,000
8. Rosichin sebesar Rp184,000,000
9. Thohir Nur Ilhami Rp317,000,000.

Pelanggaran prinsip disclosure and transparency oleh PGN ini juga berdampak
pada penurunan nilai saham-saham BUMN lainnya yang merupakan saham
terbesar di pasar modal. Lemahnya penegakan prinsip ini memengaruhi
pandangan investor atas pasar modal di Indonesia mengenai jaminan untuk
mendapatkan informasi.

3.3 Pembahasan
Kasus ini bermula dari terjadinya penurunan secara signifikan harga saham PGN
di Bursa Efek Indonesia, yaitu sebesar 23,36 persen, dari Rp9.650 (harga
penutupan pada tanggal 11 Januari 2006) menjadi Rp7.400 per lembar saham pada
tanggal 12 Januari 2007. Penurunan harga saham tersebut sangat erat kaitannya
dengan siaran pers yang dilakukan oleh PGN sehari sebelumnya (11 Januari
2007). Dalam siaran pers tersebut dinyatakan bahwa terjadi koreksi atas rencana
besarnya volume gas yang akan dialirkan, yaitu mulai dari 150 MMSCFD
menjadi 30 MMSCFD.
Selain itu, direksi juga menyatakan bahwa tertundanya gas ini (dalam rangka
komersialisasi), yang semula akan dilakukan pada akhir Desember 2006 tertunda
menjadi Maret 2007. Informasi yang dirilis tersebut sebenarnya sudah diketahui
oleh manajemen PGN sejak tanggal 12 September 2006 (informasi tentang
penurunan volume gas) serta sejak tanggal 18 Desember 2006, yaitu munculnya
informasi tertundanya gas ini. Kedua informasi tersebut dikategorikan sebagai
informasi yang material dan dapat mempengaruhi harga saham di bursa, hal
tersebut tercermin dari penurunan hargas saham PGN pada tanggal 12 Januari
2007.
Pelanggaran yang dilakukan oleh PGN dapat dilihat dari beberapa sudut pandang
yaitu prinsip OECD mengenai CG, peraturan Bapepam-LK, peraturan Menteri
Negara BUMN, dan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia seperti Undang-
Undang Pasar Modal serta Undang-Undang BUMN.
 Prinsip OECD 5: Disclosure and Transparency

Dalam prinsip OECD 5 dijelaskan :


“Kerangka corporate governance harus memastikan bahwa keterbukaan
informasi yang tepat waktu dan akurat dibuat terkait semua hal yang
material mengenai perusahaan, termasuk keadaan keuangan, kinerja,
kepemilikan, dan tata kelola perusahaan.”. Pada poin A prinsip OECD
disebutkan “Pengungkapan harus terdiri dari, tetapi tidak dibatasi,
informasi material mengenai...”. Disini dapat dilihat bahwa PGN tidak
melakukan pengungkapan secara transaparan mengenai keterlambatan
penyelesaian proyek pipa gas SSWJ yang merupakan kejadian material
dalam perusahaan kepada publik. Kegagalan pengungkapan tersebut dapat
menyebabkan shareholders, dalam hal ini publik, mengambil keputusan
yang salah dan kepercayaan mereka terhadap perusahaan menjadi
menurun. Pada poin E juga disebutkan bahwa “Saluran penyebaran
informasi bagi pengguna harus sama, sesuai waktu, dan akses dengan
biaya yang efisien atas informasi yang relevan.” Pada kenyataannya,
terdapat indikasi para investor tidak mempunyai informasi satu sama
lainnya yang dapat dilihat dari adanya dugaan yang sangat kuat mengenai
indikasi insider trading.

 Peraturan BAPEPAM-LK No X.K.1: Keterbukaan Informasi yang


Harus Segera Diumumkan Kepada Publik
Poin 1 dalam peraturan ini menyatakan bahwa: “Setiap perusahaan publik
atau emiten yang pernyataan pendaftarannya telah menjadi efektif, harus
menyampaikan kepada Bapepam dan mengumumkan kepada masyarakat
secepat mungkin, paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah
keputusan atau terjadinya suatu peristiwa, informasi atau fakta material
yang mungkin dapat mempengaruhi nilai efek perusahaan atau keputusan
investasi pemodal”. Disini dapat dilihat bahwa PGN melakukan
pelanggaran dengan penundaan pengungkapan informasi/fakta material
yaitu informasi mengenai penundaan penyelesaian proyek pipa gas SSWJ
yang dapat mempengaruhi nilai efek perusahaan dan mempengaruhi
keputusan investasi pemodal lebih dari 2 hari seperti yang telah ditetapkan
oleh Bapepam. Dalam hal ini keterlambatan pelaporan keterbukaan
informasi sebanyak 35 hari.

 Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor : PER-09/MBU/2012 (revisi


PER-01/MBU/2012 mengenai penerapan GCG pada BUMN
Mengacu pada peraturan ini, terdapat beberapa pasal yang dilanggar
seperti :
1. Pasal 3 yang menjelaskan prinsip GCG secara keseluruhan dimana
transparansi menjadi salah satu prinsip yang harus diterapkan.
Namun dalam hal ini, PGN dianggap gagal menerapkannya.
2. Pasal 5 ayat 1(c) mengenai hak pemegang saham yaitu
memperoleh informasi material mengenai BUMN secara tepat
waktu, terukur, dan teratur. PGN sebagai BUMN tidak menaatinya
karena infromasi material terkait penundaan proyek tidak
disampaikan tepat waktu.
3. Pasal 23 mengenai larangan mengambil keuntungan pribadi.
Dalam pasal ini dijelaskan bahwa para anggota direksi dilarang
mengambil tindakan yang mempunyai benturan kepentingan,
mengambil keuntungan pribadi baik secara langsung maupun tidak
langsung dari pengambilan keputusan dan kegiatan BUMN. Dalam
kasus PGN, terdapat 3 tersangka yang ditetapkan berasal dari
direksi karena mereka melakukan transaksi tidak biasa yang
dilakukan sebelum tanggal 12 Januari 2007 ketika harga saham
PGAS mengalami penurunan hingga 23.3 %.

 Undang-Undang No 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal


Terdapat pelanggaran beberapa pasal dalam UU Pasar Modal ini,
diantaranya :
1. Pasal 1 angka 25 mengenai Prinsip Keterbukaan yang merupakan
pedoman umum bagi seluruh pelaku pasar modal untuk
menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat
terkait informasi yang dapat berpengaruh pada keputusan investasi
pemodal terhadap efek perusahaan. PGN melanggar prinsip ini
dengan tidak menginformasikan dalam jangka waktu yang tepat
terkait informasi material penundaan penyelesaian proyek pipa gas
SSWJ.
2. Pasal 86 (1) poin b mengenai kewajiban emiten sebagai perusahaan
publik untuk menyampaikan laporan kepada Bapepam dan
mengumumkan kepada masyarakat tentang peristiwa material yang
mempengaruhi harga efek selambat-lambatnya hari kerja kedua
setelah terjadinya peristiwa tersebut. Pasal ini merujuk pada
peraturan Bapepam No X.K.1 dimana PGN tidak mengungkapkan
informasi peristiwa material dalam jangka waktu paling lambat 2
hari kerja.

3. Pasal 93 yaitu setiap pihak dilarang membuat pernyataan atau


memberikan keterangan yang secara material tidak benar sehingga
mempengaruhi harga efek. Dalam kasus ini, PGN memberikan
keterangan material tidak benar tentang rencana volume gas yang
dapat dialirkan melalui proyek SSWJ. Fakta itu sudah diketahui
atau sewajarnya diketahui oleh direksi, yang kemudian seharusnya
keterangan itu disampaikan kepada publik, namun tidak
disampaikan. Sehingga jelas terjadi bahwa telah terjadi
pelanggaran terhadap pasal 93 UU No. 8/1995 dan diancam dengan
pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp.
15 milyar. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dan sewajarnya
Bapepam-LK menjatuhkan sanksi administratif berupa denda
sebesar Rp. 5 miliar kepada Direksi PGN yang menjabat pada
periode bulan Juli 2006 s.d. Maret 2007 yaitu Sutikno, Adil Abas,
Djoko Pramono, WMP Simanjuntak dan Nursubagjo Prijono.
4. Pasal 95 mengenai orang dalam dari perusahaan publik yang
mempunyai informasi orang dalam dilarang melakukan transaksi
atas efek perusahaan publik yang dimaksud. Dalam penjelasan
pasal 95 memberi arti orang dalam tersebut adalah :
 Komisaris, direktur, atau pegawai emiten atau perusahaan
publik;
 Pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik;
 Orang perseorangan yang karena kedudukan atau profesinya
atau karena hubungan usahanya dengan emiten atau perusahaan
publik memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi
orang dalam; atau
 Pihak yang dalam waktu 6 bulan terakhir tidak lagi menjadi
pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau
huruf c di atas.
Pelanggaran yang dilakukan terkait pada periode 12 September
2006 sampai dengan 11 Januari 2007, 9 orang dalam PGAS
melakukan transaksi saham PGAS, baik direksi maupun mantan
direksi sehingga mereka dikenai sanksi. Sanksi tersebut ditetapkan
antara lain dengan mempertimbangkan pola transaksi dan akses
yang berkaitan terhadap informasi orang dalam.

 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik


Negara
Dari undang-undang ini, beberapa pelanggaran yang dilakukan PT PGN
antara lain:
1. Pasal 5 ayat 3 yaitu mengenai kewajiban Direksi dalam
menjalankantugasnya wajib melaksanakan prinsip profesionalisme,
efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas,
pertanggungjawaban serta kewajaran. Direksi sebagai salah satu
organ perusahaan dalam PT PGN tidak melakukan tugasnya untuk
mewakili perusahaan menyampaikan informasi material tepat
waktu kepada publik sehingga prisnsip transparansi jelas dilanggar.
2. Pasal 75 mengenai prinsip privatisasi yaitu transparansi,
akuntabilitas, pertanggung jawaban dan kewajaran. Pelanggaran ini
terkait dengan keputusan harga saham PT PGN ketika privatisasi
yaitu disetujui harga yang lebih rendah dibandingkan harga riset
yang sebelumnya dilakukan oleh perusahaan sekuritas.
Penyetujuan harga tersebut tidak dijelaskan penyebabnya secara
jelas sehingga PT PGN dianggap tidak transparan.

3.4 Kesimpulan
Prinsip keterbukaan dan transparansi merupakan aspek yang penting dalam GCG
karena berguna dalam meningkatkan kepercayaan pemegang saham sehingga
implementasi keduanya harus benar-benar diperhatikan perusahaan. Dalam kasus
ini, PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. sebagai perusahaan publik
seharusnya menerapkan prinsip ini dengan baik dalam menjalankan usahanya.
Akan tetapi, PGN melakukan pelanggaran prinsip GCG dalam hal keterlambatan
pengungkapan informasi yang material ke publik sehingga menyebabkan para
pemegang saham mengalami misleading dalam mengambil keputusan terkait
investasinya di PGN. Selain itu, kasus ini juga berdampak pada stabilitas Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) pada tanggal 12 Januari 2007 karena penurunan
harga saham PGAS yang signifikan ikut menyebabkan IHSG terpuruk. Adanya
pelanggaran prinsip keterbukaan dan transparansi ini menyebabkan PGN
menghadapi reputation risk, dimana terjadi hilangnya kepercayaan dari investor.
Untuk memperbaikinya, PGN perlu untuk meyakinkan para investornya dengan
kinerja yang baik sehingga dapat mengembalikan kepercayaan mereka.
Penyelidikan atas kasus ini menghasilkan keputusan bahwa 3 orang mantan
direksi dan 6 karyawan dinyatakan bersalah karena mereka dianggap bertanggung
jawab atas terjadinya transaksi curang oleh sejumlah investor yang memanfaatkan
informasi rahasia perusahaan tersebut, yaitu informasi yang belum menjadi
konsumsi publik. Menanggapi kasus yang terjadi ini, Bapepam-LK memberikan
sanksi administratif yaitu berupa pengenaan denda kepada 3 direksi lama PT PGN
dan 6 karyawannya. Bapepam-LK tidak membawa kasus ini ke ranah pidana
dengan alasan proses pidana memakan waktu yang lama hingga mendapat
keputusan pengadilan. Selain itu, Bapepam-LK juga beralasan bahwa mereka
kesulitan mendapatkan alat bukti tertulis apabila ingin melanjutkan kasus ke
pidana. Sanksi yang ditetapkan oleh Bapepam-LK ini dinilai terlalu ringan karena
hanya mengenakan sanksi administrasi. Pemberian sanksi ini juga dinilai tidak
menimbulkan efek jera bagi pelakunya serta tidak transparan.

3.5 Saran
Bapepam-LK perlu lebih tegas dan berani dalam menindak pelaku kasus serupa
sehingga di masa mendatang, kasus seperti ini tidak akan terjadi lagi dan
menyebabkan kerugian bagi para pemegang saham. Bapepam-LK juga harus lebih
proaktif dalam mengawasi seluruh kegiatan transaksi saham yang terjadi di bursa
efek. Selain itu, setiap emiten harus menjalankan prinsip ini dengan sungguh-
sungguh, sehingga tidak terjadi kesalahan akibat ketidakterbukaannya terhadap
suatu fakta atau material dapat menimbulkan kerugian yang amat besar, tidak
hanya kepada investor sendiri, namun dapat berakibat kepada emiten itu sendiri,
akibat kerugian yang diderita akibat kasus ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. OECD Principle 5.
2. Utama. Maret dan April 2003. Corporate Governance, Disclosure, and Its
Evidence in Indonesia. Manajemen Usahawan.
3. EBAR Vol 1, November 2005. Transparansi dan Akuntabilitas.
4. Kasus 2: Kasus PT Perusahaan Gas Negara.
5. http://www.bisnisbali.com/2007/02/19/news/opini/adsa.html/
6. http://bocahpinggiran.wordpress.com/2008/12/20/pelanggaran-prinsip-
disclosure-dalam-insider-trading-kasus-pt-gas-negara/
7. http://www.bumn.go.id/24162/publikasi/berita/pgn-bayar-denda/
8. http://www.bumn.go.id/17435/publikasi/berita/kpk-curigai-indikasi-korupsi-di-
kasus-sahampgn/
9. http://finance.detik.com/read/2007/05/10/111537/778890/6/bapepam-sulit-cari-
bukti-kasus-insider-trading-pgn
10. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16162/pgn-didenda-500-juta
11. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18230/bapepamlk-ungkap
12. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16320/kasus-pgn-segera-
bergulir-ke-kpk
13. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16247/kali-ini-divestasi-
pgndipersoalkan
14. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16206/dpr-segera-usut-lebih-
jauh-kasuspgn
15. http://nasrilbahar.blogspot.com/2007/03/kasus-pgn-menneg-bumn-
dimintamundur.html
16. http://www.tempo.co/read/news/2007/12/27/056114174/Bapepam-Sanksi-
Administratif-PGN-untuk-Kepastian-Hukum

You might also like