You are on page 1of 16

Informasi yang faktual tentang kehidupan Mulla Shadra sangat

jarang. Ia lahir di Syiraz, sebuah kota paling terkenal di Iran,


kawasan sekitar Persepolis (979/980 H/1571/1572 M). Ayahnya
Ibrahim ibn Yahya, bangsawan kota tersebut (tampaknya pejabat
menteri di Provinsi Fars). Tahun lahirnya tidak diketahui. Ia datang
ke Isfahan pada usia yang masih sangat muda dan belajar pada
teolog Baha’uddin Al-‘Amili (w. 1031 H/1622 M), lalu pada
filsuf Peripatetik Mir Fendereski (w. 1050 H/1641 M). Akan tetapi,
gurunya yang utama adalah teolog-filsuf Muhammad, yang dikenal
sebagai Mir Damad (w. 1041 H/1631 M).
Nama lengkap Mulla Shadra adalah Muhammad ibn Ibrahim Yahya
Qawam Syirazi. Ia sering disebut Shadruddin al-Syirazi atau Mulla
Shadra atau Shadra. Di kalangan muridnya, ia lebih dikenal
sebagai Shadr Al-Muta’allihin karena ketinggian tingkat
pengetahuannya tentang hikmah.

Mulla Shadra meninggalkan tiga putri dan dua putra. Putra


tertuanya adalah (Mulla) Ibrahim, seorang filsuf, muhadis,
mutakallim, faqih, dan mistikus dengan bakat kepenyairan yang
menonjol, matematikawan, dan menguasai ilmu-ilmu lain.
Singkatnya, ia seorang ulama prolifik. Putra keduanya, Nizamuddin
Ahmad—lebih dikenal sebagai Mirza Nizam dan Abu Turab—yang
lahir 1031 H (menurut catatan), adalah seorang filsuf, mistikus,
sastrawan, dan penyair. Tiga putrinya adalah Ummah Kultsum,
Zubaidah, dan Ma’shumah. Dua dari putrinya ini menikah dengan
Syaikh Abdurrazak Lahiji, dikenal sebagai Faidh, dan Mulla Muhsin
Faidh Al-Kasyani—merupakan murid-murid favoritnya dan tergolong
sebagai ulama yang menguasai bidang filsafat, ‘irfan, dan ilmu-ilmu
Islam. Baik anak-anak maupun menantu Mulla Shadra adalah ulama
terpandang pada masanya yang menguasai ilmu-ilmu Islam
tradisional.

Aliran isyraq dan berbagai aliran filsafat Islam sebelumnya,


memberikan dampak terhadap kuantitas karya Mulla Shadra.
Karya-karya besar Mulla Shadra lebih dari 20 karya, yaitu sebagai
berikut.
1. Al-Hikmah Al-Muta’aliyah Fi Asfar Al-A’qliyah Al-Arba’ah (teosofi
transendental yang membicarakan empat perjalanan akal pada
jiwa) lebih dikenal dengan Asfar. Kitab ini merupakan karya
monumental karena menjadi dasar bagi karya pendeknya dan
menjadi risalah pemikiran pasca-Avicennian pada umumnya. Kitab
ini menjelaskan pengembaraan intelektual dan spiritual manusia ke
hadirat Tuhan. Juga memuat hampir semua persoalan yang
berkaitan dengan wacana pemikiran dalam Islam, yaitu ilmu kalam,
tasawuf, dan filsafat. Penyajiannya menggunakan pendekatan
morfologis, metafisis, dan historis. Hingga saat ini,
kitab Asfar digunakan sebagai teks tertinggi dalam memahami
hikmah dan hanya digunakan oleh mereka yang telah memahami
teks-teks standar ilmu kalam Syi’ah Imamiyah, filsafat peripatetis
Neo-Platonisme yang dikembangkan oleh Ibnu Sina, teosofi
isyraqi Suhrawardi, dasar-dasar ajaran gnostis Ibnu Arabi, dan
wahyu, termasuk di dalamnya sabda Nabi SAW dan para imam
Syi’ah.
2. Al-Hasyr (tentang kebangkitan). Buku ini terdiri atas delapan bab
yang menjelaskan hari kebangkitan dan semua ciptaan Tuhan;
benda materi, manusia dan tumbuhan akan kembali kepada-Nya.
Nama lainnya adalah Tarh Al-Kawnayn Fi Hasyr Al-Alamin.
3. Al-Hikmah Al-Arsyiyah (hikmah diturunkan dari ‘Arsy Ilahi). Buku
ini menjelaskan Tuhan dan kebangkitan (resurrection) dan
kehidupan manusia setelah mati. Buku ini mendapat kritikan dari
para ulama kalam.
4. Huduts Al-‘Alam (penciptaan alam) membicarakan tentang asal-
muasal penciptaan alam dan kejadiannya dalam waktuberlandaskan
atas al-harakah al-jauharriyyahdan penolakan atas pemikiran Mir
Damad.
5. Kasr Al-Ashnam Al-Jahiliyak Fi Dkaimni Al-
Mutasawwifin (pemusnahan berhala jahiliyyah dalam mendebati
mereka yang berpura-pura menjadi ahli sufi). Mutasawifin adalah
mereka yang berpura-pura menjadi sufi dan meninggalkan syari’at.
6. Kalq Al-A’mal, membicarakan sifat kejadian perbuatan manusia;
kebebasan atau ketentuan ash tindakan manusia. Shadra
mengeluarkan pandangan yang berbeda dengan pendapat para
ulama kalam.
7. Al-Lama’ah Al-Masyriqiyyyah Fi Al-Funun Al-
Mantiqiyyah (percikan cahaya iluminasionis dan seni logika). Buku
ini terdiri atas sembilan bab, merupakan modifikasi dari hikmat al-
Isyraq Suhrawardi karena Shadra memberikan sumbangsih
pemikiran baru dalam bidang logika, metafisika.
8. Al-Mabda’ wa Al-Ma’ad (permulaan dan pengembalian). Berisikan
tentang metafisika, kosmologi, dan eksatologi.
9. Mafatih Al-Ghaib (Kunci alam Ghaib). Buku ini tersusun setelah
shadra mencapai puncak kematangan ilmu, bersisikan doktrin
gnosis tentang metafisika, kosmologi, dan eskatologi yang
berlandaskan dalil-dalil naqli.
10. Kitab Al-Masya’ir (kitab penebusan metafisika). Salah satu dari
kitab Shadra yang menjelaskan teori ontologi yang cukup ringkas.
Buku ini banyak dikaji oleh pemikir Persia.
11. Al-Mizaj (perilaku perasaan). Kitab ini membicarakan perilaku
akibat dari bawaan, perangai dan sifat sebagai cabang dari ilmu
jiwa.
12. Mutasyabihat Al-Qur’an (ayat-ayat mutasyabihat dalam Qur’an),
membicarakan ayat-ayat Qur’an yang sukar dipahami dan metaforis
dari sudut gnosis.
13. Al-Qadha wa Al-Qadar Fi Af’ali Al-Basyar(masalah Qadha dan
Qadar dalam perbuatan manusia). Kitab ini membahas ketetapan,
kebebasan dan cara pemberian Ilahi dapat dilihat dari kacamata
manusia.
14. As-Syawahid Al-Rububiyah Fi Al-Manahij As-
Sulukiyah (Penyaksian Ilahi akan jalan ke arah kesederhanaan
rohani) adalah ringkasan doktrin Mulla Shadra paling lengkap yang
ditulis berdasarkan tujuan gnosis.
15. Sharh-i Shafa
16. Sharh-i Hikmat Al-Ishraq
17. Ittihad Al-‘Aquil wa’I-Ma’qul
18. Ajwibah Al-Masa’il
19. Ittisaf Al-Mahiyyah Bi’I Wujud
20. Al-Tashakhkhus
21. Sarayan Nur Wujud
22. Limmi’yya Ikhtisas Al-Mintaqah
23. Khalq Al-A’mal
24. Zad Al-Musafir
BACA JUGA

 Mulla Shadra. Karya Filsafat


 Ar-Razi. Karya Filsafat
 Ibnu Nadim. Karya dan Pemikiran
25. Isalat-i Ja’I-i Wujud
26. Al-Hashriyyah
27. Al-Alfazh Al-mufradah
28. Radd-i Shubahat-i Iblis
29. At-Tanqih
30. At-Tasawwur wa’I-Tasdiq
31. Diwan Shi’r

Keberhasilan seorang guru ditentukan pula banyaknya murid yang


mengembangkan ilmunya sehingga tercipta suatu mazhab. Hal ini
berlaku bagi Mulla Shadra yang memiliki pelanjut dan pengembang
filsafatnya. Di antaranya adalah Faidh Al-Kasyani, Abdurrazaq
Lahiji, Mulla Husain Tunkabuni, Aqa Jani, Mula Ali Nuri, Mulla Isma’il
Khwaju’i, Mulla Hadi Sabziwai, dan Mulla Hadi Mudarris yang
dilanjutkan generasi Muhammad Baqir As-Sadr.

Dalam tulisan Abdul Hadi, ada empat pokok masalah kefilsafatan


yang dibahas Mulla Shadra dalam karyanya.
a. Berkenaan dengan teori pengetahuan atau epistemologi Mulla
Shadra membahas masalah pengetahuan dan hubungan yang
mengetahui (alim) dan yang diketahui (ma’lum).
b. Metafisika atau ontologi Mulla Shadra membahas masalah
kesatuan transenden wujud (wahdah al-wujud), dan berbagai wujud
yang dibahas oleh para sufi, khususnya sejak Ibnu Arabi dan oleh
filsuf Masya’iyah, seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina.
c. Gerakan substansial atau al-harakah al-jauhariyyah yang dibahas
dalam filsafat Isyraqiyah sejak As-Suhrawardi.
d. Masalah jiwa dan faculty-nya, generasi, kesempurnaan, dan
kebangkitan pada hari akhir yang dibahas, baik oleh filsuf
Masya’iyah maupun Isyraqiyah dan Wujudiah.

Dalam teori pengetahuannya, Mulla Shadra menetapkan tiga jalan


utama mencapai kebenaran atau pengetahuan, yaitu jalan wahyu,
jalan ta’aqqul (inteleksi) atau al-burhan (pembuktian), serta
jalan musyahadahdan mukasyafah, yaitu jalan penyaksian kalbu
dan penyingkapan mata hati, yang dicapai melalui penyucian diri
dan penyucian kalbu. Dengan menggunakan istilah lain, Mulla
Shadra menyebut jalan tersebut sebagai jalan Al-Qur’an, jalan al-
burhan, dan jalan al-‘Irfan(makrifat). Istilah husuli (konseptual)
tersebut merupakan kunci penting memahami teori pengetahuan
Mulla Shadra.

Dalam teori pengetahuannya, Mulla Shadra membagi pengetahuan


menjadi dua jenis, yaitu pengetahuan husuli atau konseptual
(al-‘ilm al-husuli) dan pengetahuan atau ilmu huduri. Bentuk
pengetahuan ini menyatu pada seorang muta’alli, yaitu seseorang
yang telah mencapai pengetahuan berperingkat tinggi, yang disebut
oleh As-Suhrawardi sebagai al-hakim al-muta’ali.

Dikaitkan dengan teori pengetahuannya, tampak bahwa titik pusat


filsafat Mulla Shadra adalah pengalaman makrifat (al-‘irfan) tentang
wujud sebagai hakikat atau kenyataan tertinggi. Pengalaman biasa
tentang alam dunia, tempat benda, dan semua ciptaan mengada
(maujud), dalam metafisika Aristoteles berperan sebagai asas
utama. Hal ini dapat dipahami karena asas metafisika Aristoteles
adalah keberadaan atau kewujudan benda dan ciptaan. Bagi Mulla
Shadra, bukan keberadaan benda itu yang penting, melainkan
penglihatan batin subjek yang mengamati alam keberadaan atau
kewujudan.

Dalam alam keberadaan itu, Mulla Shadra melihat bahwa seluruh


yang maujud bukan sekedar objek yang maujud, melainkan juga
kenyataan atau hakikat yang tidak dapat dibatasi oleh
berbagai mahiyah (quddilas) yang memberinya berbagai
penampakan sehingga maujud dengan beragam wujud dan masing-
masing kewujudan itu bebas dari yang lain. Metafisika wujud Mulla
Shadra ini dikembangkan berdasarkan pengalaman tentang hakikat
dan pembedaan khusuli tentang wujud sebagai ada atau yang ada,
dan gradasi yang dialaminya. Berdasarkan hal tersebut, Mulla
Shadra membedakan antara konsep wujud (mafhum al-wujud) dan
hakikat wujud (haqiqah al-wujud).

Filsafat Mula Shadra berkenaan dengan metafisika atau ontologi


yang membahas proses panjang sesuatu sampai pada tingkat
kesatuan maujud. Hal itu dimulai dengan pemahaman yang utuh
tentang makna eksistensi dan esensi. Mulla Shadra memberikan
finalisasi konsep tersebut. Realitas sejarah menunjukkan hampir
semua filsuf menjadikan objek pertama pembahasannya adalah
tentang eksistensi dan esensi tentang Ketuhanan dan sebagimana
Fazlur Rahman mengungkapkan bahwa: Dari pengalaman sehari-
hari, kita memang tidak bisa menyangsikan realitas luar dan
realitas dalam pikiran kita. Kedua-duanya ada, kedua-duanya dapat
dijadikan subjek alias pokok kalimat berupa kata benda. Semua
yang ada dapat dijadikan pokok kalimat. Inilah yang disebut
oleh Aristoteles sebagai substansi. Bagi Aristoteles, substansi atau
dzat itulah yang mempunyai eksistensi. Yang lainnya, yaitu kata
kerja, kata sifat dan lain sebagainya merupakan keterangan alias
aksiden yang ditambahkan atau esensi yang melekat pada
substansi. Pengetahuan kita tentang substansi itu termasuk
aksiden. Tetapi pengetahuan kita tentang diri kita termasuk esensi
begitu juga pengetahuan Tuhan tentang diri-Nya. Begitu pula sifat-
sifat Tuhan lainnya. Lalu manakah lebih fundamental antara
keduanya?.

Mulla Shadra adalah filsuf penyempurna terakhir teori eksistensi


dan esensi. Berikut ini tabel perbedaan masing-masing mazhab
filsafat Islam dalam masalah eksistensi dan esensi.
Penjelasan tabular tersebut memperlihatkan graduasi tentang
eksistensi dan esensi dari satu tokoh (mazhab) sampai sintesis
Mulla Shadra. Hal itu terlihat dari beragam pandangan yang
berbeda antara masing-masing mazhab/tokoh di atas, sebagai
berikut:
1. Mu’tazilah. Bagi kaum Mu’tazilah, sebagian sifat Tuhan bersifat
esensial, termasuk wujud, esa, ilmu, dan sebagainya. Timbul
pertanyaan, apakah sifat-sifat itu abadi atau tidak. Jawaban yang
umum adalah benar bahwa sifat-sifat itu abadi. Kalau sifat-sifat itu
abadi, apakah sifat-sifat itu ada atau tidak? Tentu saja jawabannya
adalah sifat-sifat itu ada. Jika tidak ada, bagaimana pula sifat-sifat
itu akan disebut dalam firman-firman-Nya? Di sinilah
kaum Mu’tazilah berkeberatan. Kalau sifat-sifat itu ada dan abadi,
Tuhan mempunyai sekutu alias syirik. Tentu saja, ini bertentangan
dengan sifat Tuhan yang paling pokok, yaitu keesaan-Nya. Untuk
menyelesaikan persoalan pelik ini, mereka mengatakan sifat-sifat
itu tidak ada, yang ada hanyalah nama-nama yang diberikan oleh
Tuhan untuk menjelaskan pada manusia. Metode penelitian
kaum Mu’tazilah adalah penggunaan manthiq (logika) untuk
menafsirkan ayat-ayat Qur’an suci. Dari penalaran seperti itu,
mereka hanya mengenal dua realitas. Yang mutlak dan yang nisbi,
dengan jurang tidak terseberangi antara keduanya, kecuali dengan
iman yang rasional.
2. Berbeda dengan Hikmatul Masya’iyyah, kaum filsuf Masya’iyyah,
seperti Ibnu Sina, memiliki pendapat lain, walaupun sama-sama
menganggap tinggi logika Yunani. Tuhan itu ada dan sifat-sifatnya
juga ada. Hanya, keberatan Dzat Tuhan berbeda dengan
keberadaan sifat-sifat Tuhan. Dzat atau substansi, keberadaan atau
eksistensi Tuhan bersifat primer, sedangkan yang keberadaan sifat-
sifat Tuhan, termasuk esensi-Nya bersifat sekunder. Tidak
terbayangkan yang kedua tanpa yang pertama. Sebaliknya, tidak
demikian. Jadi, eksistensi Ilahi mendahului esensi-Nya. Dalam
bahasa ilmu kalam, Dzat mendahului sifat. Dzat dan sifat, sama-
sama merupakan realitas yang nyata. Begitulah pandangan mazhab
Peripatetisme Islam atau Hikmatul masya’iyyah yang ditegakkan
para pendirinya dengan menggunakan nalar rasional terhadap
konsep-konsep intelektual. Berbeda dengan ontologi kalam yang
hanya memahami dua realitas, Yang Mutlak dan yang Nisbi, para
filsuf mengakui adanya perjenjangan diskrit antara keduanya,
seperti kaum Neoplatonis.
3. Hikmatul Wahdatiyah (wujudiyah), para ahli sufi aliran
wujudiyah, misalnya Ibn ‘Arabi, berlawanan dengan pandangan
para filsuf. Menurutnya, wujud itu hanya satu, yaitu Tuhan. Benda-
benda lain tidak mempunyai wujud apalagi sifat-sifat. Sifat-sifat
Tuhan yang mereka sebut a’yan tsabitah (realitas-realitas tetap)
adalah bentuk-bentuk dalam pengetahuan-Nya. Sebenarnya, a’yan
tsabitah itu juga dikenal oleh para pemikir lainnya di kalangan
Muslim dan non-Muslim. Kaum mutakalimun
menyebutnya ma’lumat (yang diketahui) dan kaum falasifah
menyebutnya mahiyyat (quidditas, ke-apa-an atau
esensi). Aristoteles menyebutnya morphe (bentuk-bentuk) dan
gurunya, Plato, menyebutnya eidos (ide-ide). Bagi Ibn ‘Arabi, apa
yang kita hadapi sebagai benda-benda fisik itu tidak lain dari
bayangan realitas tetap itu. Inilah pandangan irfan wihdatul
wujud alias kesatuan realitas. Dalam pandangan ini wujud atau
eksistensi mendahului mahiyyat atau esensi. Para arifin ini
mencurigai penggunaan rasio atau aql, sebagai gantinya mereka
menggunakan intuisi atau pengalaman batin mengenai realitas
sebagai sumber utama pengetahuannya di samping wahyu
tentunya. Dari pengalaman mistik mereka menyimpulkan adanya
jenjang realitas dan kesadaran yang bersifat diskrit.
4. Hikmatul Isyraqiyah. Seorang sufi lainnya dari Persia,
Syihabuddin Suhrawardi yang juga seorang kritikus tajam
filsafat Ibnu Sina, berusaha mengekspresikan pengalaman kesatuan
mistiknya dalam pandangan yang sama sekali lain. Menurutnya,
wujud, alias eksistensi, hanya ada dalam pikiran manusia. Yang
benar-benar ada hanyalah esensi-esensi itu yang tidak lain dari
bentuk-bentuk cahaya dari Mahacahaya, yaitu Tuhan. Cahaya itu
satu dan benda-benda yang banyak dan berbeda-beda itu hanya
gradasi intensitasnya atau kecenderungannya. Dalam pandangan
metafisika cahaya Persi ini, wujud bersifat sekunder, sedangkan
sifat-sifat atau esensi bersifat primer. Dalam bahasa filosofis, ini
berarti esensi lebih fundamental atau mendahului, secara logis,
eksistensi. Inilah pandangan filsafat iluminasionisme alias Hikmatul
Isyraqi. Suhrawardi, pendiri mazhab Isyraqiyah, mengambil
kesimpulan melalui suatu penelitian filosofis yang menggabungkan
metode intuitif mistikus dengan metode rasional filosofis sebagai
pelengkapnya.
5. Hikmatul Muta’alliyah (sintesa). Pandangan Suhrawardi  itu
menjadi dominan di kalangan filsuf Persia pada masa kejayaan
Daulah Shafawiyah di Iran yang kemudian dikenal sebagai mazhab
Isfahan. Demikian juga, Mulla Shadra diajarkan oleh gurunya, Mir
Damad. Akan tetapi, dia juga sangat mengagumi pandangan Ibn
‘Arabi yang menakjubkan itu. Oleh karena itu, ia membalik ajaran
Isyraqiyah dengan mengambil pandangan Ibn ‘Arabi tentang
prioritas eksistensi atau wujud terhadap esensi atau mahiyah, tetapi
ia menolak pandangan Ibn ‘Arabi tentang ketunggalan wujud. Bagi
Mulla Shadra, benda-benda sekitar kita di alam bukanlah tanpa
eksistensi atau ilusi, melainkan ada seperti adanya Tuhan,
sedangkan sifat-sifat atau esensi yang tidak mempunyai eksistensi
sama sekali. Esensi adalah kebalikan dari eksistensi. Jika Tuhan
adalah Ada dan benda-benda juga ada, tidak dapat dihindarkan
secara logika kesimpulan bahwa segala benda adalah Tuhan atau
panteisme seperti yang dituduhkan secara salah oleh para ulama
terhadap pandangan wihdatul wujud. Solusi Mulla Shadra dalam hal
ini adalah gagasan Tasykikul Wujud atau gradasi wujud yang
mengatakan bahwa eksistensi alias wujud mempunyai gradasi yang
kontinu seperti halnya cahaya yang diidentifikasi sebagai Esensi
oleh Suhrawardi. Jadi, menurut Mula Shadra, dari Ada Mutlak
hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi ada-ada nisbi yang tidak
terhingga banyaknya. Dengan perkataan lain, realitas alam semesta
merentang dari kutub Tiada mutlak ke kutub Ada mutlak. Inilah
pandangan kesatuan realitas versi Mulla Shadra yang
disebutnya Hikmatul Muta’aliyyah. Pandangan ini merupakan
sintesis besar yang meliputi pandangan teologis kalam, pandangan
filosofis hikmat dan pandangan mistis irfan.

Menarik untuk dikutip di sini akhir dari petualangan Mulla Shadra


yang melakukan perubahan radikal  dalam tradisi Peripatetik
sampai puncak tertinggi, Shadra mengatakan: Janganlah
membayangkan dengan akal Anda yang keliru bahwa sasaran para
gnostik besar ini (seperti Ibn ‘Arabi) tidak dapat dibuktikan dan
hanya kira-kira atau imajinasi puitis. Jauh dan ini semua:
ketidaksesuaian pernyataan mereka (yang tampak) dengan bukti-
bukti dan prinsip-prinsip pembuktian yang benar... hanyalah karena
kedangkalan pandangan para filsuf yang mempelajarinya dan
karena ketiadaan kesadaran dan pemahaman mereka tentang
prinsip-prinsip pembuktian tersebut. Jika bukan status pengalaman
mereka yang jauh lebih tinggi daripada bukti-bukti formal tersebut
dalam memberikan kepastian, pembuktian logis merupakan sarana
mengakses dan mempresepsi langsung hal-hal yang mempunyai
sebab, karena... berdasarkan prinsip-prinsip para filsuf tentang hal-
hal yang mempunyai sebab ini hanya dapat diketahui dengan pasti
melalui sebab-sebab mereka. Jika demikian, bagaimana pembuktian
logis dan pengalaman langsung dapat bertentangan satu sama lain?
Para sufi yang mengungkapkan (dalam upaya mempertahankan
pengalaman orang-orang semisal Ibn ‘Arabi) kata-kata seperti ‘Jika
Anda dengan pengalaman’ sebenarnya berarti ‘jika Anda menolak
mereka dengan apa yang Anda sebut argumen... jika tidak
demikian, bukti-bukti rasional yang benar tidak dapat bertentangan
dengan pengalaman intuitif.

Pernyataan tersebut dengan sangan eksplisit menegaskan bahwa


pengalaman intuitif, seperti yang dipikirkan Shadra, jauh dari
menolak penalaran, bahkan merupakan bentuk penalaran yang
lebih tinggi, yaitu bentuk yang lebih positif dan konstruktif
dibandingkan dengan penalaran formal. Sebaliknya, Shadra juga
sepenuhnya mengakui wujud aktual dan, karenanya, merupakan
realitas-realitas yang konkret. Dalam kehidupan ini, kita
mengetahui wujud yang sebenarnya melalui ide-ide umum
(yakni, esensi), yang berarti, tidak langsung dalam cara yang
diperantarai.

Oleh sebab itu, dalam kehidupan ini, meskipun memiliki beberapa


jenis pengetahuan dalam alam rasional, kita tidak dapat merasakan
kenikmatan yang kita rasakan melalui pengalaman indriawi
langsung dan akibatnya termotivasi untuk mengarah ke alam
rasional, kecuali dalam kasus-kasus tertentu. Akan tetapi, dalam
kehidupan sesudah mati, alam rasional tersebut diubah menjadi
objek pengalaman yang hidup-ide-ide yang menjadi wujud
sebenarnya bagi para filsuf murni. Menurut Shadra, mengikuti
Neoplatonisme (yakni, Theologia Aristoteles), bada juga ada dalam
alam rasional dan akan menemani jiwa rasional. Sekalipun
demikian, ia akan benar-benar terinteriorisasi dan dikonsumsi oleh
badan. Ajaran ini merupakan kompromi Shadra antara
ajaran Aristoteles tentang kehidupan intelek seperti
diinterpretasikan oleh Alexander dan Ibn Sina, pada satu sisi, dan
keputusan Shadra yang jelas mengenai kehidupan fisik, pada sisi
lain. Bagi Shadra, hal itu merupakan konsekuensi dari ajaran bahwa
bentuk-bentuk wujud yang lebih tinggi tidak menghilangkan dan
menegasikan, tetapi meliputi dan menggabungkan bentuk-bentuk
yang lebih rendah. Oleh sebab itu, ia menolak ajaran abstraksi
kognitif, seperti dalam teorinya tentang pengetahuan.
BACA JUGA

 Pemikiran Feminisme Fatima Mernissi dalam Karya-


Karyanya
 Hasan Hanafi. Islam sebagai Sebuah Aksi yang Menyatu
bagi Kelangsungan Hidup Manusia
 Leila Ahmed. Pemikiran Gender dalam Karya-Karyanya
Filsafat ketiga Mulla Shadra adalah gerakan substansial atau al-
harakah al-jauhariyyah (substantial motion). Para filsuf Muslim
terdahulu mengikuti Aristoteles, yang menggolongkan gerakan
(harakah) termasuk dalam kategori bilangan (kamm), sifat (kaif),
keadaan (wad’), dan tempat (makan). Mulla Shadra mengatakan
bahwa yang disebut itu merupakan aksiden (ard), dan aksiden ada
karena harakah. Setiap perubahan yang terjadi dalam ‘ard atau
aksiden merupakan akibat dari perubahan yang terjadi
dalam jauhar (substansi), karena ‘ard dalam dirinya tidak memiliki
kewujudan atau keberadaan dan kewujudannya tidak bebas dari
perubahan atau gerak substansi.

Menurut Mulla Shadra, berdasarkan hal tersebut, dalam setiap


perubahan selalu ada beberapa maudu’ atau subjek yang
menggerakkan walaupun tidak dapat ditetapkan dan diterangkan
secara mantik. Mulla Shadra mengatakan bahwa seluruh jagat
jasadi, bahkan jagat jiwa dan alam misal, yang melanjutkan
kewujudannya menjadi a’yan sabitah (pola dasar), selalu berada
dalam keadaan berubah dan menjadi. Gagasan al-harakah at-
jauhariyyah (gerakan transsubstansial) merujuk pada kewujudan
atau keberadaan jagat yang peringkatnya rendah, yang berada di
bawah peringkat a’yan sabitah. A’yan sabitah disebut juga oleh para
sufi sebagai al-haqiqah al-asyya’a (hakikat segala sesuatu) dan as-
suwari al-‘ilmiyyah(gambaran ilmiah), yakni gambaran yang ada
dalam pengetahuan wujud tertinggi.

Pandangan Mulla Shadra tentang gerakan berubah dan menjadi


yang berkelanjutan, tidak sama dengan pandangan sufi yang
menyatakan bahwa segala sesuatu binasa dan dicipta kembali.
Menurut para sufi, dalam gerakan penciptaan bentuk berjalan untuk
kembali pada titah Tuhan (al-amr) dan bentuk baru dijelmakan
sebagai tajalli-Nya (teofani). Ajaran ini disebut al-labs ba’d al-
labs, yaitu membinasakan setelah menyingkap bentuk-bentuk.
Ajaran Mulla Shadra disebut al-labs ba’d al-labs, yaitu memakai
bentuk baru setelah diberi bentuk.

Fazlur Rahman mempertegas bahwa badan manusia dalam


perubahan terus-menerus dari embrio ke masa tua merupakan
gagasan lama dan Van den Bergh telah mengutip sejumlah bagian
yang menarik mengenai masalah tersebut dari Plutarch dan
Seneca. Ibn Sinamenggunakan perubahan badan ini untuk
membuktikan ketidakmaterialan jiwa yang menjelaskan identitas
manusia yang abadi meskipun fisiknya berubah. Al-Ghazali dan Ibn
Rusyd menolak argumen ini atas dasar bahwa dalam tumbuh-
tumbuhan dan binatang, identitas ini tetap meskipun kenyataannya
mereka berada dalam perubahan yang terus-menerus. Shadra
berbeda dari pandangan ini dalam dua hal penting. Pertama,
menurutnya seluruh wujud manusia, yakni badan dan pikiran
berada dalam perubahan, tidak hanya badan. Contoh eksplisit
adalah hilangnya kesadaran, bukan perubahan dalam
badan. Kedua, perubahan tidak sekadar perubahan, tetapi
perubahan perkembangan entitas yang bergerak secara progresif
merealisasikan kesempurnaan hingga badan mencapai suatu wujud
yang abadi. Inilah yang dimaksud oleh Shadra dengan ajaran gerak
yang terus-menerus (harakat al-ittishal).

Oleh karena itu, dalam ajaran Mulla Shadra, bentuk


dan maddah (materi) dari sesuatu yang maujud dapat menjelma
menjadi maddahmereka sendiri demi bentuk baru yang merupakan
kemungkinannya. Gerakan menjadi bentuk baru ini berkelanjutan
seakan-akan orang yang memakai baju pada bajunya yang lain.
Semua wujud di dunia ini bergerak secara vertikal (menaik),
sebagai akibat al-harakah al-jauhariyyah sehingga wujud itu
mencapai puncak hakikat a’yan sabitah. Setiap gerakan
mengandung bentuk dari keadaan wujud sebelumnya. 

Sementara gerakan transsubstansial (jauhariyyah) berlangsung


dalam tahap yang dilalui secara menaik atau vertikal. Wujud dunia
ini merupakan mazahir (manifestasi) dari cahaya wujud yang pada
mulanya berupa a’yan sabitah, kemudian a’yan sabitahmelakukan
menurunan (al-qaus an-nuzuli) yang menyebabkan ciptaan hadir
dalam alam kewujudan zahir. Al-harakah al-
jauhariyyahmenandakan pancaran menaik atau vertikal (al-qaus as-
su’udi), yang melaluinya intensitas cahaya wujud yang selalu
bertambah membawa kembali ciptaan itu ke pangkuan a’yan
sabitah-nya di alam jabarut (supernatural).

Dalam hal teori ini, Mulla Shadra telah memberikan landasan


filosofis yang kukuh bagi evolusionisme spiritual Jalaluddin Rumi,
yakni suatu pandangan falsafi bersifat umum yang meliputi seluruh
semesta, sedangkan pandangan evolusionisme materialis hanya
mencakup dunia kehidupan atau dunia biologis.

Sebagaimana Al-Ghazali, yang mengakui adanya kebangkitan


jasmani pada hari akhirat nanti, begitu pula Mulla Shadra. Akan
tetapi, terdapat prinsip yang berbeda dalam rasionalisasi
kebangkitan jasmani tersebut meskipun secara substantif sama.
Mulla Shadra memiliki sepuluh hal yang merupakan dalil Shadra,
khususnya, mengenai kehidupan fisik setelah mati. Berikut ini
adalah ikhtisar prinsip penting filsafatnya dan konsekuensinya,
sebagaimana disebutkan dalam tulisan Fazlur Rahman, yaitu
sebagai berikut.
1. Faktor dasar dalam realitas adalah wujud dan bukan esensi atau
idea abstrak.
2. Perbedaan sesuatu dari lainnya, sebagai entitas individual,
berdasarkan wujudnya yang merupakan wujudnya sendiri; apa
yang disebut kualitas-kualitas dan aksiden-aksiden individual wujud
partikular, dan ditimpa pemindahan (sedang entitas individual terus
berkembang dan berjalan).
3. Wujud, yang merupakan substansi sesuatu yang tunggal,
berubah dan berkembang melalui dirinya. Perubahan ini terjadi dari
yang kurang intern ke yang lebih intens, yakni wujud adalah lebih
atau kurang wujud. Selama perubahan dan gerak ini, bagian-bagian
gerak—saat atau masa-masa-nya, tidak mempunyai wujud
sebenarnya, tetapi hanya wujud potensial (yaitu, hanya sebagai
esensi, wujud mereka hanya ada dalam pikiran). Gerak sebagai
suatu keseluruhan mempunyai wujud dan wujud ini adalah wujud
keseluruhan yang merupakan entitas sesuatu yang menyatu.
4. Dan 5. Karena yang merupakan entitas sesuatu adalah
keseluruhan gerak dan karena gerak berkembang (yakni, dari yang
kurang intens ke yang lebih intens), entitas identik dengan bentuk
akhir sesuatu sebagai terminus ad quem (titik akhir). Istilah-istilah
gerak sebelumnya, baik potensi maupun materialnya, bukan
merupakan entitasnya. Oleh karena itu, dalam hal-hal yang
tersusun dari genus dan diferensia, ia merupakan diferensia
terakhir, bentuk konkret yang merupakan entitas yang sebelumnya.
6. Entitas sesuatu yang menyatu bukanlah urutan yang sama.
Karena derajat wujud berkembang, berbagai kemungkinan baru
pun terbuka. Misalnya, pada tingkat material, bagian-bagian saling
ekslusif sehingga, hitam dan putih tidak dapat menjadi satu dalam
sesuatu yang material. Karena wujudnya berkembang, bentuk-
bentuk yang meningkat lebih tinggi mampu mengandung
kontradiksi dan menyintesisnya dalam bentuk tunggal, sampai jiwa
manusia pada tingkat intelektual secara absolut menjadi
keseluruhan tentang realitas: hakikat tunggal adalah segala
sesuatu.
7. Bahwa kesatuan badan disebabkan oleh jiwa yang merupakan
bentuknya yang terakhir. Badan meskipun dalam gerak terus-
menerus, ia tetap badan yang sama dalam suatu pengertian.
Bahkan, ketika badan beralih menjadi imajinasi, seperti dalam
mimpi, ia tetap badan yang sama. Demikian juga, dalam kehidupan
sesudah mati, badan memelihara identitasnya, meskipun ia berubah
secara mendasar, karena misalnya, tidak lagi badan material. Jika
diajukan pertanyaan mengenai badan A, apakah ia sama dengan
badan A pada usia muda dan tua, dari sudut pandang badan
sebagai materi, ia tentu tidak sama, tetapi dari sudut pandang
badan, yang dianggap sebagai genus, ia tentu sama. Akan tetapi,
ketika pertanyaan diangkat tentang kepribadian A, apakah sama
ketika ia masih kanak-kanak, muda ataukah tua, jawabannya
tentu ya. Oleh karena itu, badan dan kepribadian A dalam
kehidupan sesudah mati secara identik sama dengan yang ada
dalam kehidupan ini—dan sepanjang kehidupan ini.
8. 9. dan 10. Daya imajinasi, seperti telah dibuktikan dalam teori
pengetahuan, bukanlah fakultas yang ada dalam badan, misalnya
otak. Ia tidak ada, lebih-lebih objek-objeknya, dalam dunia ruang
ini. Oleh karena itu, seperti telah dibuktikan sebelumnya, imajinasi
—dan bentuk-bentuk kognitif secara umum—tidak dalam jiwa
sebagai instrumen memersepsi. Sebaliknya, imajinasi hanya
merupakan ciptaan jiwa secara gradual seperti dalam kasus bentuk
material dalam dunia fisik. Dalam kehidupan sesudah mati,
imajinasi-imajinasi ini akan menjadi intens dan terus berlangsung
karena jiwa bebas dari badan material. Oleh sebab itu, surga dan
neraka menjadi entitas-entitas yang terus berlangsung.

Kesimpulannya, Shadra menegaskan bahwa badan sebagaimana ia


akan dibangkitkan(yakni, diciptakan oleh jiwa) secara identik adalah
sama dengan badan ini, kecuali bahwa badan tersebut bukan
material. Shadra pada titik ini menduduki posisi yang sama
dengan Al-Ghazali, dan mencela pandangannya tentang
kebangkitan badan sebagai varian dari perpindahan jiwa.

Dalam karyanya, Syawahid, Shadra membicarakan kehidupan


setelah mati sebagai perpindahan (intiqal) jiwa dari badan ini ke
badan eskatologis, persis seperti Al-Ghazalitentang hakikat
kenikmatan dan kesengsaraan setelah mati. Perbedaannya bahwa
Shadra menyandarkan ajarannya pada prinsip gerak substantif
(harakah jauhariyyah) dan teorinya mengenai dunia imajinasi.
Meskipun demikian, akar-akarnya ada pada Al-Ghazali dan Ibnu
Sina, dan Shadra dengan segala perbaikannya, pada dasarnya
berutang budi kepada keduanya. Sedangkan gerak substantif,
tentu, milik Mulla Shadra.
Untuk mencapai derajat hikmah muta’aliyyahsebagai ajaran poko
Mulla Shadra, Shadra menawarkan empat hierarki kesempurnaan
akal yang juga menggambarkan gerakan konstan-vertikal dalam
skala wujud atau perubahan substantif menuju kesempurnaan
pengetahuan, juga sebagai dasar pemikiran filosofisnya, yaitu
sebagai berikut.
1. Perjalanan yang dimulai dari makhluk menuju hakikat kebenaran
pencipta dengan melepas tabir kegelapan dan cahaya yang
menghalangi seorang salik dan hakikat rohaninya. Dapat dikatakan
pula suatu perjalanan dari maqam nafsu menuju maqam hati, dan
dari maqam hati menuju maqam ruh dan dari maqam ruh menuju
maqam terakhir al-maqshad at-aqsha dan pencapaian tertinggi
yang disebut al-bahjat at-kubra. Pada umumnya, maqam manusia
terdiri atas tiga hal ini. Apabila tabir-tabir tersebut telah terbuka,
seorang salik akan menghadirkan maqam fana dan baqa di dalam
dzat-Nya. Di sinilah terbuka rahasia-rahasia yang tersembunyi dan
yang paling tersembunyi. Pada hierarki ini seorang salik hanya
terpana melihat keagungan dan kebesaran Allah. Kesadaran akan
kebesaran Tuhan muncul dan menyadari bahwa apa yang selain-
Nya adalah nisbi dan sangat kecil. Inilah yang disebut dengan
perjalanan dari makhluq menujuma’rifat. Hierarki pertama ini juga
mendeskripsikan prinsip umum; jauhar(substansi) dan aksiden,
keduanya saling berkait.

2. Perjalanan ini dinamakan perjalanan yang berawal dari hakikat


menuju hakikat dengan hakikat. Pada tingkatan ini,
seorang salikmenjadi seorang wali. Kewujudannya adalah benar,
bukan keraguan. Ia mengawali perjalanannya dari
maqam dzat menuju maqam kamalat dan hadir dalam
kesempurnaan Tuhan. Ia mengetahui nama-nama-Nya, kecuali
yang bukan kawasannya. Sifat dan tindakannya
menjadi fana’ dalam dzat-Nya, sifat dan tindakan Tuhan. Ia
mendengar dengan pendengaran Tuhan, melihat dengan
penglihatan-Nya, berjalan dengan bantuan-Nya, dan bertindak
dengan tindakan-Nya. Sirr menjadi ke-fana-an dzatnya, dapat juga
akhir dari perjalanan pertama dan awal dari perjalanan
kedua, khafa’ menjadi ter-fana’ dalam sifat dan tindakannya,
bahkan fana dalam uluhiyyah-Nya, ikhtifa’ atau paling tersembunyi,
terhapus oleh ke-fana’-an dua hal tadi, akhfa adalah fana’ dalam
dua hal yang awal. Sampai di sini sampailah kepada dairat at-
wilayah, berakhirlah perjalanan kedua.

Hieraki ini membawa seorang salikmenyaksikan bahwa ilmu Allah,


kuasa-Nya, hidup-Nya, dengar-Nya, lihat-Nya, kata-kata-Nya
adalah bagian dari kesempurnaan sifatnya. Ini adalah taraf dari
hakikat menuju hakikat dengan hakikat. Hierarki ini juga
mengidentifikasi bukti dzat Tuhan dan melalui posisi dzat-Nya akan
membuktikan sifat dan tindakan-Nya.
3. Dari hakikat kepada makhluq dengan hakikat. Pada perjalanan ini
ke-fana’-annya berakhir dan mulailah ia kekal melalui kekekalan
(baqa’) Tuhan. Ia menempuh perjalanan dengan hierarki jabarut,
malakut,dan nasut. Ia melihat semua yang ada di alam ini secara
esensial. Ia juga mengecap nikmat kenabian dan memperoleh ilmu
alam ketuhanan melalui dzat, sifat, dan tindakan-Nya. Ia bukan
nabi, tetapi mengikuti peraturan nabi dan mematuhi nabi. Sampai
di sini perjalanan ketiga. Perjalanan ketiga ini menguatkan
keyakinan salik terhadap pemeliharaan-Nya terhadap apa yang Dia
ciptakan, tauhid dan kesatuan dalam perlakuan-Nya dan
kesempurnaan-Nya. Kini semuanya menjadi nyata di mata
seorang salikyang menikmati hierarki terendah hingga yang
tertinggi dan berakhir di alam malakut danjabarut. Tingkatan ketiga
ini adalah pembuktian Shadra yang menjustifikasi adanya substansi
atau jauhar yang bersifat ruhani dan jiwa individual.

4. Perjalanan ini adalah perjalanan dari makhluk menuju makhluk


dengan hakikat. Ia meneliti makhluk, mengetahui sisi hitam dan
putihnya, zahir dan batin-nya, di dunia ini dan di dunia yang akan
datang, kebahagiaan dan siksaan, perhitungan dan mizan. Ia
menyadari bahwa semuanya akan kembali kepada-Nya. Hieraki ini
mengidentifikasi eksistensi jiwa dan apa yang akan dialaminya
kelak di hari akhir. Kitab asfar adalah hierarki pengembaraan akal,
kesempurnaannya adalah pencapaian hierarki keempat.
Pengembaraan ini juga merekonstruksi akal agar terlepas dari
ketidaksempurnaan, atau sebagai “katarsis” pemikiran menuju
ketuhanan, dan kembali menuju kejadian dengan pandangan
metafisikal.

Mulla Shadra bukan sekedar filsuf paling terkenal selama enam


abad terakhir. Bagi sebagian orang, ia dianggap setara dengan Ibnu
Sina dan Al-Farabi, bahkan melampaui keduanya. Meskipun
menguasai semua mazhab filsafat pada zamannya
(Peripatetik, Iluminasionisme, Teologi Islam dan ‘Irfan), ia tidak
pernah secara total dipengaruhi semuanya dan meretas mazhab
filsafatnya sendiri, yakni filsafat transenden (al-hikmah al-
muta’aliyah). Ia mengkritik semua titik lemah yang disuguhkan oleh
filsuf agung sebelumnya dan mencoba menyajikan sejumlah
pemecahan filosofis atas masalah-masalah tersebut.

Hal itu terbukti bahwa Mulla Shadra sebagai seorang filsuf Muslim
yang cukup produktif, kreatif, dan orisinal dengan karyanya yang
begitu banyak, mencakup berbagai bidang pemikiran Islam yang
ditulis, baik dengan bahasa Arab maupun Persia. Dari semua
karyanya, Al-Hikmah Al-Muta’alliyah Fi Asfar Al-‘Aqliyah Al-
Arba’ah adalah karyanya yang terbesar.

Pengaruh pemikirannya merambah ke berbagai belahan dunia Islam


lainnya, seperti Iran, Irak, India, dan Pakistan. Bahkan, Al-Maududi
menerjemahkan secara khusus kitab Al-Asfar Mulla Shadra.
Terakhir, pemikir Islam yang concern terhadap filsafat Mulla Shadra
adalah Fazlur Rahman dengan bukunya The Philosophy of Mulla
Shadra.

You might also like