You are on page 1of 27

MAKALAH

KASUS STUNTING PADA GIZI KESEHATAN MASYARAKAT

DISUSUN OLEH:

Nama: Wulan Uswatun Khasana

Nim : 2020071014055

Kelas : Epidemiologi Semester 6

Dosen : Konstantina M. Pariribo, Skm, M.Kes

PRODI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA PAPUA

2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
karena berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami. Sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan salah
satu tugas mata kuliah dasar ilmu kesehatan masyarakat tentang “Kasus Stunting
pada Gizi Kesehatan Masyarakat”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan sebaik-baiknya. Penulis juga
sampaikan terimakasih kepada ibu Konstantina M. Pariribo, SKM, M.Kes . selaku
dosen pengajar mata kuliah Epidemiologi gizi serta semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Semoga bantuannya mendapat balasan
yang setimpal dari Allah SWT.
Terlepas dari semua itu kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan baik dari segi penyusunan kalimat ataupun tata bahasanya. Oleh karena itu,
dengan tangan terbuka kami menerima saran dan kritik dari pembaca untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Jayapura, 2 juni 2023

Wulan Uswatun Khasana

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan..............................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................................3
2.1 Gizi Kesehatan Masyarakat............................................................................................3
2.2 Empat Pilar Gizi Seimbang............................................................................................4
2.3 Status Gizi Masyarakat..................................................................................................6
2.4 Penyakit Malnutrisi......................................................................................................11
BAB III.....................................................................................................................................14
PEMBAHASAN......................................................................................................................14
3.1 Stunting..................................................................................................................14
3.2 Analisis Kasus Stunting.........................................................................................15
3.3 Pencegahan dan Penanggulangan Kasus Stunting di Indonesia..........................18
BAB IV....................................................................................................................................23
KESIMPULAN........................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................24

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia akan mengalami bonus demografi pada 2030, di mana angkatan usia
produktif akan mendominasi populasi penduduk dan menjadi penyangga perekonomian.
Bonus demografi yang akan dimiliki Indonesia yaitu Angkatan usia produktif (15-64
tahun) yang diprediksi mencapai 68 persen dari total populasi dan angkatan tua (65 ke
atas) sekitar 9 persen. Tahun 2017, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 70,81
atau tumbuh 0,90 persen dibanding tahun 2016.

Plt. Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian


Komunikasi dan Informatika Rosarita Niken Widiastuti menegaskan pemerintah terus
melakukan penurunan prevalensi stunting atau kekurangan gizi kronik ini. Menurut Niken,
penanganan stunting ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia yang tengah
menghadapi Bonus Demografi.

Selain itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan Indonesia sebagai


negara ketiga dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Asia pada 2017. Angkanya
mencapai 36,4 persen. Namun, pada 2018, menurut data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas), angkanya terus menurun hingga 23,6 persen.

Penurununan dari angka stunting di Indonesia merupakan kabar baik, namun belum
berarti bisa membuat tenang. Karena bila merujuk pada standar WHO, batas maksimalnya
adalah 20 persen atau seperlima dari jumlah total anak dan balita.

Dengan melihat beberapa fakta di atas, maka kami tertarik untuk membahas kasus
stunting yang terjadi di Indonesia khususnya pada tahun 2018 mengenai posisinya
yang belum memenuhi standar WHO meskipun telah mengalami peningkatan dari tahun-
tahun sebelumnya.

Sehingga dengan membawa bahasan tentang Gizi Kesehatan Masyarakat kami


membuat makalah yang berjudul “Kasus Stunting di Indonesia Ternyata Belum
Menurun Sepenuhnya”.

1
1.2 Rumusan Masalah
Dengan mengacu pada latar belakang sebelumnya, maka kami merumuskan
masalah yang akan di bahas pada makalah kali ini sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan stunting?


2. Bagaimana analisis kasus stunting yang terjadi di Indonesia?
3. Mengapa kasus stunting di Indonesia ternyata belum menurun
sepenuhnya?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah
sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui stunting.


2. Untuk mengetahui analisis kasus stunting di Indonesia yang terjadi di
Indonesia.
3. Untuk mengetahui kasus stunting di Indonesia ternyata belum
menurun sepenuhnya.

1.4 Manfaat Penulisan


Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai referensi bagi pembaca untuk mengetahui kasus stunting yang
terjadi di Indonesia khususnya pada tahun 2018 tentang posisi
Indonesia yang belum memenuhi standar WHO.
2. Sebagai sumber dan bahan masukan bagi penulis lain untuk menggali
informasi lebih baik lagi tentang kasus stunting.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gizi Kesehatan Masyarakat


Istilah gizi dalam kesehatan masyarakat mengacu pada gizi sebagai komponen
dari cabang kesehatan masyarakat, “gizi dan kesehatan masyarakat” berkonotasi
koeksistensi gizi dan kesehatan masyarakat, dan gizi masyarakat mengacu pada
cabang kesehatan masyarakat yang berfokus pada promosi kesehatan individu,
keluarga, dan masyarakat dengan menyediakan layanan berkualitas dan program-
program berbasis masyarakat yang disesuaikan dengan kebutuhan yang unik dari
komunitas yang berbeda dan populasi. Gizi masyarakat meliputi program promosi
kesehatan, inisiatif kebijakan dan legislatif, pencegahan primer dan sekunder, dan
kesehatan di seluruh rentang hidup.

Gizi masyarakat berkaitan dengan gangguan gizi pada kelompok masyarakat,


oleh sebab itu, sifat dari gizi masyarakat lebih ditekankan pada pencegahan
(prevensi) dan peningkatan (promotif). Karena berhubungan dengan masyarakat
yang mempunyai aspek cukup luas, maka penanganannya harus multisektor dan
multidisiplin.

Penanganan gizi masyarakat tidak cukup dengan upaya terapi para penderita
saja karena apabila mereka telah sembuh, maka meraka akan kembali lagi ke
masyarakat. Sehingga terapi penderita gangguan gizi masyarakat ini tidak saja
ditunjukkan kepada para penderitanya saja, akan tetapi kepada seluruh masyarakat
tersebut.

Masalah gizi masyarakat bukan hanya menyangkut pada aspek kesehatan,


melainkan aspek-aspek terkait lainnya, seperti ekonomi, sosial-budaya, pendidikan,
kependudukan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, penanganan atau perbaikan gizi
sebagai upaya terapi tidak hanya diarahkan pada gangguan gizi atau kesehatan
saja, melainkan juga ke arah bidang-bidang yang lain. Misalnya, penyakit gizi KKP
(kekurangan kalori dan protein) pada anak-anak balita, tidak cukup dengan hanya
pemberian makanan tambahan saja (PMT), tetapi juga dilakukan perbaikan
ekonomi keluarga, peningkatan pengetahuan, tentang gizi, dan sebagainya.

3
2.2 Empat Pilar Gizi Seimbang

Pedoman Gizi Seimbang yang telah diimplementasikan di Indonesia sejak tahun


1955 merupakan realisasi dari rekomendasi Konferensi Pangan Sedunia di Roma
tahun 1992. Pedoman tersebut menggantikan slogan “4 Sehat 5 Sempurna” yang
telah diperkenalkan sejak tahun 1952 dan sudah tidak sesuailagi dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam bidang gizi serta
masalah dan tantangan yang dihadapi. Dengan mengimplementasikan pedoman
tersebut diyakini bahwa masalah gizi beban ganda dapat teratasi. Prinsip Gizi
Seimbang terdiri dari 4 (empat) Pilar yang pada dasarnya merupakan rangkaian
upaya untuk menyeimbangkan antara zat gizi yang keluar dan zat gizi yang masuk
dengan memonitor berat badan secara teratur. Empat Pilar tersebut adalah:
2.2.1 Mengonsumsi makanan beragam.
Tidak ada satupun jenis makanan yang mengandung semua jenis zat gizi yang
dibutuhkan tubuh untuk menjamin pertumbuhan dan mempertahankan
kesehatannya, kecuali Air Susu Ibu (ASI) untuk bayi baru lahir sampai berusia 6
bulan. Contoh: nasi merupakan sumber utama kalori, tetapi miskin vitamin dan
mineral; sayuran dan buah-buahan pada umumnya kaya akan vitamin, mineral
dan serat, tetapi miskin kalori dan protein; ikan merupakan sumber utama
protein tetapi sedikit kalori. Khusus untuk bayiberusia 0-6 bulan, ASI
merupakan makanan tunggal yang sempurna. Hal ini disebabkan karena ASI
dapat mencukupi kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang dengan optimal,
serta sesuai dengan kondisi fisiologis pencernaan dan fungsi lainnya dalam tubuh.

4
2.2.2 Membiasakan perilaku hidup bersih
Perilaku hidup bersih sangat terkait dengan prinsip Gizi Seimbang, dengan
penjelasan sebagai berikut:
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
status gizi seseorang secara langsung, terutama anak-anak. Seseorang yang
menderita penyakit infeksi akan mengalami penurunan nafsu makan sehingga
jumlah dan jenis zat gizi yang masuk ke tubuh berkurang. Sebaliknya pada
keadaan infeksi, tubuh membutuhkan zat gizi yang lebih banyak untuk
memenuhi peningkatan metabolisme pada orang yang menderita infeksi
terutama apabila disertai panas. Pada orang yang menderita penyakit diare,
berarti mengalami kehilangan zat gizi dan cairan secara langsung akan
memperburuk kondisinya. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang
menderita kurang gizi akan mempunyai risiko terkena penyakit infeksi karena
pada keadaan kurang gizi daya tahan tubuh seseorang menurun, sehingga
kuman penyakit lebih mudah masuk dan berkembang. Kedua hal tersebut
menunjukkan bahwa hubungan kurang gizi dan penyakit infeksi adalah
hubungan timbal balik.
Dengan membiasakan perilaku hidup bersih akan menghindarkan seseorang
dari keterpaparan terhadap sumber infeksi. Contoh:
1) Selalu mencuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir sebelum
makan, sebelum memberikan ASI, sebelum menyiapkan makanan dan
minuman, dan setelah buang air besar dan kecil, akan menghindarkan
terkontaminasinya tangan dan makanan dari kuman penyakit antara lain
kuman penyakit typus dan disentri;
2) Menutup makanan yang disajikan akan menghindarkan makanan
dihinggapi lalat dan binatang lainnya serta debu yang membawa
berbagai kuman penyakit;
3) Selalu menutup mulut dan hidung bila bersin, agar tidak menyebarkan
kuman penyakit; dan
4) Selalu menggunakan alas kaki agar terhindar dari penyakit kecacingan.

5
2.2.3 Melakukan aktivitas fisik.
Aktivitas fisik yang meliputi segala macam kegiatan tubuh termasuk olahraga
merupakan salah satu upaya untuk menyeimbangkan antara pengeluaran dan
pemasukan zat gizi utamanya sumber energi dalam tubuh. Aktivitas fisik
memerlukan energi. Selain itu, aktivitas fisik juga memperlancar sistem metabolisme
di dalam tubuh termasuk metabolisme zat gizi. Oleh karenanya, aktivitas fisik
berperan dalam menyeimbangkan zat gizi yang keluar dari dan yang masuk ke dalam
tubuh.

2.2.4 Mempertahankan dan memantau Berat Badan (BB) normal

Bagi orang dewasa salah satu indikator yang menunjukkan bahwa telah terjadi
keseimbangan zat gizi di dalam tubuh adalah tercapainya Berat Badan yang normal,
yaitu Berat Badan yang sesuai untuk Tinggi Badannya. Indikator tersebut dikenal
dengan Indeks Masa Tubuh (IMT). Oleh karena itu, pemantauan BB normal
merupakan hal yang harus menjadi bagian dari ‘Pola Hidup’ dengan ‘Gizi
Seimbang’, sehingga dapat mencegah penyimpangan BB dari BB normal, dan
apabila terjadi penyimpangan maka dapat segera dilakukan langkah-langkah
pencegahan dan penanganannya. Bagi bayi dan pencegahan dan penanganannya.
Bagi bayi dan balita indikator yang digunakan adalah perkembangan berat badan
sesuai dengan pertambahan umur. Pemantauannya dilakukan dengan menggunakan
KMS.

2.3 Status Gizi Masyarakat


Menurut Djoko Pekik Irianto (2007: 65), status gizi adalah ekspresi dari
keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau dapat dikatakan bahwa
status gizi merupakan indikator baik buruknya penyediaan makanan sehari-hari.

6
I Dewa Nyoman Supariasa (2002: 18), menyatakan bahwa status gizi adalah
ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau
perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu.

Menurut Moch Agus Krisno Budiyanto yang dikutip Krisna Fitriyanto (2011:
13), faktor-faktor 12 yang mempengaruhi status gizi seseorang adalah sebagai
berikut:

a) Produk pangan, (jumlah dan jenis makanan),


b) Pembagian makanan atau pangan;
c) Akseptabilitas;
d) Prasangka buruk pada bahan makanan tertentu;
e) Pantangan pada makanan tertentu;
f) Kesukaan terhadap jenis makanan tertentu;
g) Keterbatasan ekonomi;
i) Selera makan;
j) Sanitasi makanan (penyiapan, penyajian, dan penyimpanan) dan
k) Pengetahuan gizi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi akan saling berinteraksi satu sama
lain sehingga berimplikasi kepada status gizi seimbang. Hal ini sangat penting
terutama bagi pertumbuhan, perkembangan, kesehatan, dan kesejahteraan manusia.
Menurut Djoko Pekik Irianto (2007: 23), secara umum status gizi dibagi
menjadi tiga kelompok yaitu sebagai berikut:

a. Kecukupan Gizi (Gizi Seimbang)

Dalam hal ini asupan gizi seseorang seimbang dengan kebutuhan gizi yang
bersangkutan. Kebutuhan gizi seseorang ditentukan oleh kebutuhan gizi basal,
kegiatan pada keadaan fisiologis tertentu serta dalam keadaan sakit.

b. Gizi Kurang
Gizi kurang merupakan keadaan tidak sehat (patologis yang timbul karena
tidak cukup makan, dengan demikian konsumsi energi dan protein kurang selama
jangka waktu tertentu.
c. Gizi Lebih
Keadaan patologis (tidak sehat) yang disebabkan kebanyakan makanan.

7
Mengkonsumsi energi lebih banyak dari pada yang diperlukan oleh tubuh dalam
jangka waktu yang panjang, dikenal sebagai gizi lebih (Moch. Agus Krisno
Budiyanto, 2001: 14).

Menurut Djoko Pekik Irianto (2006: 65), penilaian status gizi dapat dilakukan
dengan berbagai cara antara lain:

I. Pemeriksaan Langsung

a) Anthropometri Pemeriksaan
Antropometri dilakukan dengan cara mengukur tinggi badan, berat badan,
lingkar lengan atas, tebal lemak (triceps, biceps, subscapula), bertujuan untuk
mengetahui status gizi berdasarkan satu ukuran menurut ukuran lainnya.

b) Pemeriksaan Biokimia.
Pemeriksaan laboratorium (biokimia), dilakukan melalui pemeriksaan
spesimen jaringan tubuh (darah, urine, tinja dan otot) yang diuji secara
laboratoris terutama untuk mengetahui kadar hemoglobin, feritin, glukosa, dan
kolesterol. Pemeriksaan biokimia bertujuan mengetahui kekurangan gizi
spesifik.

c) Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis dilakukan pada jaringan epitel (superfisiel ephiteltissue)


seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral, tujuan untuk mengetahui status
kekurangan gizi dengan melihat tanda-tanda khusus.
d) Pemeriksaan Biofisik
Pemeriksaan biofisik dilakukan dengan melihat kemampuan fungsi serta
perubahan struktur jaringan. Tujuan untuk mengetahui situasi tertentu misalnya
pada orang yang buta senja.

II. Pemeriksaan Tidak Langsung

a) Survei Konsumsi
Penilaian konsumsi makanan dilakukan dengan wawancara kebiasaan
makanan dan penghitungan makanan sehari-hari.

b) Statistik Vital
Pemeriksaan dilakukan dengan menganalisa data kesehatan, seperti angka
8
kematian, kesakitan akibat hal-hal yang berhubungan dengan gizi

c) Faktor Ekologi
Pengukuran status gizi didasarkan atas ketersediannya makan
yang dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologi (iklim, tanah, irigasi).

Menurut I Dewa Nyoman Supariasa (2002: 21) faktor-faktor yang perlu


dipertimbangkan dalam memilih metode penilaian status gizi adalah sebagai
berikut:

a. Tujuan pengukuran.
b. Unit sampel yang diukur.
c. Jenis informasi yang dibutuhkan.
d. Tingkat reliabilitas dan akurasi yang dibutuhkan.
e. Tersedianya fasilitas dan peralatan.
f. Ketersediannya tenaga.
g. Ketersediannya waktu.
h. Dana yang dibutuhkan.

Hal-hal di atas tidak berdiri sendiri, melainkan selalu terkait faktor yang satu dengan
yang lainnya. Dalam penelitian metode status gizi harus memperhatikan secara
keseluruhan dan mencermati keunggulan dan kelemahan metode tersebut. Pengukuran
status gizi anak berdasarkan kriteria antropometrik mungkin mempunyai kelemahan-
kelemahan, namun sampai saat ini dianggap merupakan cara yang paling mudah dan
praktis untuk dilakukan, karena siapa saja dapat melakukannya dengan terlebih dahulu
mendapat latihan. Melakukan penimbangan dan pengukuran tinggi badan anak secara
teratur merupakan langkah yang tepat dalam rangka kewaspadaan terhadap perubahan
keadaan gizi. Data penimbangan berat badan ini sebaiknya ditulis pada kartu grafik
perkembangan berat badan anak yang disebut Kartu Menuju Sehat, dengan demikian
selalu dapat dimonitor satus gizinya.
Dalam ilmu gizi, status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur berat badan dan
tinggi badan sesuai umur secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang
merupakan kombinasi ketiganya. Masing-masing indikator mempunyai makna tersendiri
misalnya kombinasi antara Berat Badan (BB) dan umur membentuk indikator BB menurut
umur yang disimbolkan dengan BB/U, kombinasi antara TB dan umur membentuk
indikator TB menurut umur atau “TB/U”. dan kombinasi antara BB dan TB membentuk
indikator BB menurut TB atau “BB/TB”. Indikator BB/U menunjukan secara sensitif

9
status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak
spesifik karena berat badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh TB.
Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB.
menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini. Dalam
penelitian ini menggunakan rumus BB sebenarnya:

BB dalam tabel menurut tinggi badan x 100%

Pengukuran status gizi menurut rumus (Djoko Pekik Irianto 2007: 80) adalah
sebagai berikut:

Status Gizi = Berat Badan (sebenarnya) X 100% Berat Badan menurut tinggi badan

Status gizi baik/gizi optimal terjadi apabila tubuh memperoleh cukup zat yang
digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,
perkembangan otak, kemampuan kerja dan tingkatan paling baik atau setinggi
mungkin. Menurut Sunita Almatsier (2002: 9), status gizi seseorang dikatakan baik
bila terdapat keseimbangan dan keserasian antara perkembangan fisik dan mental,
terdapat keterkaitan yang erat antara tingkat transportasi penyimpanan, metabolisme
dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan keadaan gizi
dengan konsumsi makanan. Menurut Djoko Pekik Irianto (2004: 133-134), empat
masalah pokok yang paling serius yang dihadapi bangsa Indonesia terkait dengan
penyakit gizi salah adalah sebagai berikut:

a. KKP (Kekurangan Kalori Protein)


KKP umumnya dilami anak-anak dengan status ekonomi kurang karena
makanan hewani relatif mahal, sehingga tidak terjangkau.

b. KVA (Kekurangan Vitamin A)


Anak pada umumnya kurang menyukai sayuran dan buah-buahan yang
merupakan sumber vitamin utama, sehingga sering menyebabkan terjadinya
avitaminosis A.
c. AGB (Anemia Gizi Besi)
Zat gizi banyak terdapat pada makanan hewani serta sayuran yang berwarna
hijau tua. Bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu dan mereka yang tidak
menyukai sayuran akan beresiko kekurangan zat besi (Anemia).
d. GAKI (Gangguan akibat Kekurangan Zat Iodium)
10
Garam beriodium merupakan upaya untuk menghindarkan masyarakat dari
kekurangan iodium.

Munculnya permasalahan gizi tersebut disebabkan oleh kurangnya konsumsi


makanan yang beraneka ragam, pemahaman yang salah terhadap jenis makanan,
ketidak teraturan pola makan serta gaya hidup.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa status


gizi adalah gambaran keseimbangan antara kebutuhan gizi yang diperlukan tubuh
dengan konsumsi zat gizi.

2.4 Penyakit Malnutrisi


Penyakit malnutrisi dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Kelebihan nutrisi/gizi disebut gizi lebih (overnutrition)
2. Kekurangan gizi atau gizi kurang (undernutrition)

Berikut contoh penyakit penyakit malnutrisi:


1. Penyakit kurang kalori dan protein (KKP)
Penyakit ini terjadi karena ketidakseimbangan antara konsumsi kalori atau
karbohidrat dan protein dengan kebutuhan energi, atau terjadinya defisiensi atau
defisit energi dan protein. Pada umumnya penyakit ini terjadi pada anak balita,
karena pada umur tersebut anak mengalami pertumbuhan yang pesat. Apabila
konsumsi makanan tidak seimbang dengan kebutuhan kalori maka akan terjadi
defisiensi tersebut (kurang kalori dan protein).

Penyakit ini dibagi dalam tingkat – tingkat yakni

a. KKP ringan, kalau berat badan anak mencapai antara 84%-95% dari berat
badan menurut standar Harvard
b. KKP sedang, kalau berat badan anak mencapai antara 44%-60% dari berat
badan menurut standar Harvard
c. KKP berat, kalau berat badan anak kurang dari 60% dari berat badan menurut
standar Harvard. Anak atau penderita KKP berat ini tampak sangat kurus, berat
badan kurang dari 60% dari berat badan ideal menurut umurnya.

Penyakit KKP pada orang dewasa memberikan tanda – tanda klinis oedema
atau honger oedema (HO), atau juga disebut penyakit kurang makan, kelaparan
atau busung lapar.

11
2. Penyakit obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebihan yang
dapat mengganggu kesehatan (WHO, 2015). Penyebab mendasar terjadinya
kegemukan dan obesitas adalah ketidakseimbangan energi antara energi yang
masuk dan energi yang keluar. Energi yang masuk adalah jumlah energi berupa
kalori yang di dapatkan dari makanan dan minuman. Sedangkan energi yang keluar
adalah jumlah energi atau kalori yang digunakan tubuh dalam hal seperti bernapas,
digesti dan juga melakukan kegiatan fisik (NIH, 2012).

Adapun faktor resiko yang dapat menyebabkan obesitas antara lain:

1) Gaya hidup tak aktif


Saat ini kebanyakan orang menghabiskan waktu didepan televisi (TV) dan
komputer saat bekerja, di sekolah dan di rumah. Selain itu banyak orang yang
memiliki kendaraan pribadi untuk berpergian walau hanya dengan jarak tempuh
yang pendek. Orang-orang yang tidak aktif lebih mungkin untuk menambah berat
badan karena mereka tidak membakar kalori yang mereka ambil dari makanan dan
minuman. Gaya hidup tidak aktif juga menimbulkan risiko untuk penyakit jantung
koroner, tekanan darah tinggi, diabetes, kanker usus besar dan masalah kesehatan
lainnya (NIH, 2012).

2) Faktor Genetika
Banyak gen yang berkaitan dengan terjadinya obesitas, namun sangat jarang
yang berkaitan dengan gen tunggal. Sebagian besar berkaitan dengan kelainan
pada banyak gen. Pada penyebab gen tunggal, diantaranya yang sudah diketahui
adalah adanya mutase pada gen leptin, reseptor leptin, reseptor melanocortin-4,
proopiomelanocortin dan pada gen PPAR-γ. Adanya mutasi pada multigen
penyebab obesitas saat ini terus diteliti dan diketahui bahwa individu yang berasal
dari keluarga yang obesitas, memiliki kemungkinan obesitas 2-8 kali lebih besar
dibandingkan dengan keluarga yang tidak obesitas. Sangat besar kemungkinan
bahwa penyebab obesitas tersebut bukan hanya pada suatu gen tunggal tapi adanya
mutasi pada beberapa gen (Rankinen et al., 2006).

3) Hormonal
Beberapa masalah hormon dapat menyebabkan kelebihan berat badan dan
obesitas, seperti hipotiroidisme, cushing syndrome, dan polycystic ovarian

12
syndrome.

4) Obat-obatan
Obat-obatan tertentu dapat menyebabkan resiko terjadinya kegemukan seperti
kortikosteroid dan antidepresan.

5) Faktor emosional
Beberapa orang makan lebih banyak dari biasanya ketika mereka bosan, marah
atau stres. Seiring waktu, makan berlebihan akan menyebabkan penambahan berat
badan dan dapat menyebabkan kelebihan berat badan atau obesitas (NIH, 2012).
Dan masih banyak faktor-faktor lain yang menjadi penyebab obesitas.

Penentuan Obesitas
Obesitas di ukur berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) seseorang. IMT
merupakan indeks sederhana dari tinggi dan berat badan yang biasa digunakan
untuk mengklasifikasikan kelebihan berat badan dan obesitas pada orang dewasa.
IMT dinyatakan sebagai berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi
badan dalam meter (kg/m²).
Seseorang dikategorikan kegemukan jika IMT >25 kg/m² dan obesitas jika
IMT>30 kg/m² (WHO, 2015).

Rumus menentukan IMT:


IMT = BB(kg) / TB (m)
Keterangan:

BB: berat badan (kg) TB: tinggi badan (m)

IMT dapat digunakan untuk menunjukan status gizi pada orang dewasa yang
dapat dilihat dalam dalam tabel 1.

13
Tabel 1. Status gizi berdasarkan IMT menurut WHO

BMI
Status Gizi
<18,5
Kurus
18,5-24,9
Normal
25,0-29.9
Pre-Obesitas
30,0-34,9
Obesitas kelas I
35,0-39,9
Obesitas kelas II
>40,0
Obesitas kelas III
Sumber: (WHO, 2015)

14
BAB III

PEMBAHASAN
3.1 Stunting
3.1.1 Definisi Stunting
Stunting adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan
yang kurang jika dibandingkan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau
tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar
pertumbuhan anak dari WHO.

3.1.2 Faktor Terjadinya stunting


Stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak
faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi,
dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Penderita stunting di masa yang akan
datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan
kognitif yang optimal.

3.1.3 Peningkatan kasus Stunting


Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi stunting nasional
mencapai 37,2% meningkat dari tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%).
Artinya, pertumbuhan tak maksimal diderita oleh sekitar 8,9 juta anak Indonesia,
atau satu dari tiga anak Indonesia.

3.2 Analisis Kasus Stunting


3.2.1 Kasus Stunting di Indonesia

Stunting adalah masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan
tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya. Anak yang
menderita stunting akan lebih rentan terhadap penyakit dan ketika dewasa
berisiko untuk mengidap penyakit degeneratif. Dampak stunting tidak hanya
pada segi kesehatan tetapi juga mempengaruhi tingkat kecerdasan anak.

Pemerintah mencanangkan program intervensi pencegahan stunting


terintegrasi yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga. Pada tahun 2018,

15
ditetapkan 100 kabupaten di 34 provinsi sebagai lokasi prioritas penurunan
stunting. Jumlah ini akan bertambah sebanyak 60 kabupaten pada tahun
berikutnya. Dengan adanya kerjasama lintas sektor ini diharapkan dapat menekan
angka stunting di Indonesia sehingga dapat tercapai target Sustainable
Development Goals (SDGs) pada tahun 2025 yaitu penurunan angka stunting
hingga 40%. Prevalensi balita pendek selanjutnya akan diperoleh dari hasil
Riskesdas tahun 2018 yang juga menjadi ukuran keberhasilan program yang
sudah diupayakan oleh pemerintah.

Gambar 1. Masalah Gizi di Indonesia Tahun 2015-2017

Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang


dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga
tahun terakhir, stunting memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan
masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita
pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6%
pada tahun 2017.

Gambar 2. Prevalensi Balita Pendek di Indonesia Tahun 2015-2017

16
Berdasarkan hasil PSG tahun 2015, prevalensi balita pendek di Indonesia
adalah 29%. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2016 menjadi 27,5%.
Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat menjadi 29,6% pada tahun
2017.

Prevalensi balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di Indonesia
tahun 2017 adalah 9,8% dan 19,8%. Kondisi ini meningkat dari tahun
sebelumnya yaitu prevalensi balita sangat pendek sebesar 8,5% dan balita pendek
sebesar 19%. Provinsi dengan prevalensi tertinggi balita sangat pendek dan
pendek pada usia 0-59 bulan tahun 2017 adalah Nusa Tenggara Timur,
sedangkan provinsi dengan prevalensi terendah adalah Bali.

Gambar 3. Peta Prevalensi Balita Pendek di Indonesia Tahun 2017

Dalam diskusi ahli dipaparkan, prevalensi stunting tertinggi di atas 40


persen berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat. Pada angka
30 persen hingga 40 persen berada di Provinsi Aceh, Sumatra Barat, Lampung,
semua Provinsi di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
Provinsi lain memiliki tingkat pravalensi 20 persen hingga 30 persen terkecuali
Bali yang menjadi satu-satunya provinsi dengan pravalensi kurang dari 20 persen.
Masalah stunting haruslah segera di atasi karena kasus stunting ini memiliki
potensi trans-generasi, karena ibu yang stunting akan cenderung memiliki anak
yang stunting. Stunting dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak dan
kesehatan anak hingga masa dewasa dan juga anak stunting akan memiliki

17
daya saing yang rendah dibanding dengan anak yang sehat. Berdasarkan hasil
penelitian, anak stunting memiliki income learning (kemampuan menyerap
pembelajaran) 25 persen lebih rendah dibandingkan dengan anak lainnya yang
tidak mengalami stunting. Selain menghambat pertumbuhan otak dan
perkembangan kecerdasan. Stunting juga meningkatkan resiko penyakit seperti
diabetes dan penyakit lain, karena pertumbuhan yang terhambat mengakibatkan
kelainan sel pankreas.
Tidak heran jika angka stunting di Indonesia tidak berubah dan cenderung
meningkat. Terjadi gagal tumbuh (growth faltering) mulai bayi berusia 2 bulan,
dampak dari calon ibu hamil (remaja putri) yang sudah bermasalah, dilanjutkan
dengan ibu hamil yang juga bermasalah. Hal ini sangat terkait oleh banyak faktor,
utamanya secara kronis karena asupan gizi yang tidak memadai dan kemungkinan
rentan terhadap infeksi, sehingga sering sakit.

3.3 Pencegahan dan Penanggulangan Kasus Stunting di Indonesia


Stunting didefinisikan sebagai kondisi anak usia 0 – 59 bulan, menurut
umur berada di bawah minus 2 Standar Deviasi (<-2SD) dari standar median
WHO. Lebih lanjut dikatakan bahwa stunting akan berdampak dan dikaitkan
dengan proses kembang otak yang terganggu, dimana dalam jangka pendek
berpengaruh pada kemampuan kognitif. Jngka panjang mengurangi kapasitas
untuk berpendidikan lebih baik dan hilangnya kesempatan untuk peluang kerja
dengan pendapatan lebih baik.

Dalam jangka panjang, anak stunting yang berhasil mempertahankan


hidupnya, pada usia dewasa cenderung akan menjadi gemuk (obese), dan
berpeluang menderita penyakit tidak menular (PTM), seperti hipertensi, diabetes,
kanker, dan lain-lain.
Kondisi ini semua sudah semakin jelas untuk Indonesia, yang menunjukkan
adanya tren (kecenderungan) PTM meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2013
(Gambar 4), dimana diperkirakan ada 70-an juta penduduk dewasa (>18 tahun)
yang menderita PTM (Gambar 5). .Gambar 4. Tren Penyakit Tidak Menular Tahun
2007-2013

18
Downloaded by wulan uswatun khasana (wulankhasanah28@gmail.com)

Gambar 5. Kondisi Penyakit Tidak Menular terkait Obesitas pada Usia 18 Tahun ke Atas
Merujuk pada pola pikir UNICEF/Lancet, masalah stunting terutama
disebabkan karena ada pengaruh dari pola asuh, cakupan dan kualitas pelayanan
kesehatan, lingkungan, dan ketahanan pangan, maka berikut ini mencoba untuk
membahas dari sisi pola asuh dan ketahanan pangan tingkat keluarga.

Dari kedua kondisi ini dikaitkan dengan strategi implementasi program yang
harus dilaksanakan. Pola asuh (caring), termasuk di dalamnya adalah Inisiasi
Menyusu Dini (IMD), menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan, dan pemberian
ASI dilanjutkan dengan makanan pendamping ASI (MPASI) sampai dengan 2
tahun merupakan proses untuk membantu tumbuh kembang bayi dan anak.

Strategi ke depan terkait dengan pola asuh, antara lain:


1. Melakukan monitoring pasca pelatihan konselor menyusui utamanya di tingkat
kecamatan dan desa;
2. Melakukan sanksi terhadap pelanggar PP tentang ASI;
3. Melakukan konseling menyusui kepada pada ibu hamil yang datang ke ante
natal care/ANC (4 minggu pertama kehamilan) untuk persiapan menyusui;
4. Meningkatkan kampanye dan komunikasi tentang menyusui;
5. Melakukan konseling dan pelatihan untuk cara penyediaan dan pemberian MP-
ASI sesuai standar (MAD).

19
Kebijakan dan strategi yang mengatur pola asuh ini ada pada Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 128, Peraturan
Pemerintah Nomor 33 tahun 2012 tentang ASI, dan Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan 2015-2019, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.02.02/MENKES/52/2015.

Ketahanan pangan (food security) tingkat rumah tangga adalah aspek penting
dalam pencegahan stunting. Isu ketahanan pangan termasuk ketersediaan pangan
sampai level rumah tangga, kualitas makanan yang dikonsumsi (intake), serta
stabilitas dari ketersediaan pangan itu sendiri yang terkait dengan akses penduduk
untuk membeli. Dalam jangka panjang masalah ini akan menjadi penyebab
meningkatnya prevalensi stunting, ada proses gagal tumbuh yang kejadiannya
diawali pada kehamilan, sebagai dampak kurangnya asupan gizi sebelum dan
selama kehamilan. Amanat ketahanan pangan di Indonesia adalah dari UU Nomor
18 Tahun 2012 tentang Pangan, dan juga UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Strategi ke depan terkait dengan ketahanan pangan, antara lain:

1. Dapat disusun program yang secara khusus ditujukan untuk memenuhi


kebutuhan keluarga miskin meliputi target sasaran termasuk ibu hamil, bentuk
jenis makanan harus memenuhi standar gizi, terintegrasi dengan pelayanan
kesehatan yang lain; dan
2. Perlu dibuat standar bantuan pangan. Asupan gizi yang optimal untuk
pencegahan stunting dapat dilakukan dengan gerakan nasional percepatan
perbaikan gizi yang didasari oleh komitmen negara untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia agar sehat, cerdas dan produktif, yang
merupakan aset sangat berharga bagi bangsa dan negara Indonesia. Untuk
mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas diperlukan status gizi
yang optimal dengan cara melakukan perbaikan gizi secara terus menerus.
Gerakan nasional yang dimaksud meliputi:

20
Sasaran Gerakan Nasional Pelaksanaan Kegiatan
Sasaran utama di masyarakat meliputi: Kegiatan dilaksanakan melalui:
a) Masyarakat khususnya remaja, ibu a) Kampanye nasional dan daerah
hamil, ibu menyusui, anak usia b) Advokasi dan sosialisasi lintas
dibawah dua tahun: sektor dan lintas lembaga
b) Kader-kader dimasyarakat c) Dialog untuk menggalang kerja
c) Perguruan tinggi sama dan kontribusi
d) Pemerintah dan pemerintah daerah d) Pelatihan
e) Media massa e) Diskusi
f) Dunia usaha, dan f) Intervensi kegiatan gizi langsung
g) Lembaga swadaya masyarakat dan (spesifik)
mitra pembangunan internasonal g) Intervensi gizi tidak langsung
(sensitive) dan
h) Kegiatan lain

3.3.1 Kasus stunting di Indonesia menurut WHO


Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukan bahwa balita
di Indonesia yang mengalami stunting berada pada angka 23,6 persen. World
Health Organization (WHO) menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga
dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Asia pada 2017, yang angkanya
mencapai 36,4 persen. Meski pada tahun 2018 kasus stunting berada pada
angka 23,6 persen di Indonesia adalah penurunan dibanding tahun 2017 yang
menunjukan angka 36,4 persen. Namun Angka 23,6 persen masih jauh dari
target World Health Organization (WHO) yakni 20 persen “Meski demikian,
angkanya masih jauh dari target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni 20
persen,” ujar Kepala Balitbang Kesehatan, Siswanto.

21
Gambar 6. Rata-rata Prevalensi Balita Pendek di Regional Asia Tenggara Tahun 2005-2017

Ambang batas prevalensi global stunting oleh WHO mengkategorikan


angka stunting 20 persen hingga 30 persen sebagai tinggi, dan lebih dari atau
sama dengan
30 persen dikatergorikan sangat tinggi. Pada kasus stunting, pada tahun 2017
Indonesia menempati peringkat ke 3 tertinggi di kawasan ASEAN setelah
Timor Leste.

Meskipun di Indonesia terjadi angka penurunan kasus stunting yang


terjadi. Namun Indonesia belum dikatakan sudah memenuhi ambang batas
yang ditentukan oleh WHO, yang berarti Indonesia masih dalam kondisi
mengkhawatirkan dalam kasus stunting ini. Seluruh Provinsi yang ada di
Indonesia masih melebihi ambang batas yang ditentukan terkecuali Bali.

22
BAB IV

KESIMPULAN
Dengan melihat beberapa pembahasan pada makalah di atas, maka dapat kami
simpulkan bahwa stunting adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi
badan yang kurang jika dibandingkan umur. Berdasarkan hasil PSG tahun 2015,
prevalensi balita pendek di Indonesia adalah 29%. Angka ini mengalami penurunan
pada tahun 2016 menjadi 27,5%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat
menjadi 29,6% pada tahun 2017.

Prevalensi balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di Indonesia tahun
2017 adalah 9,8% dan 19,8%. Kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu
prevalensi balita sangat pendek sebesar 8,5% dan balita pendek sebesar 19%. Provinsi
dengan prevalensi tertinggi balita sangat pendek dan pendek pada usia 0-59 bulan
tahun 2017 adalah Nusa Tenggara Timur, sedangkan provinsi dengan prevalensi
terendah adalah Bali.

Karena masalah stunting utamanya disebabkan oleh adanya pengaruh dari pola
asuh, cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan, lingkungan, dan ketahanan pangan.
Maka hal tersebut merupakan langkah yang tepat untuk diperbaiki bersama sesuai
dengan kebijakan pemerintah yang merujuk pada pola pikir UNICEF.

Maka, sudah selayaknya seluruh masyarakat turut serta untuk menjaga kesehatan
diri dan lingkungan bukan karena sebatas patuh terhadap aturan dan kebijakan
pemerintah, namun karena masyarakat sudah sangat menyadari akan pentingnya
kesehatan. Lalu bagaimanakah caranya? Salah satunya dengan peduli terhadap gizi
kesehatan demi menyongsong bonus demografi di Indonesia pada tahun 2030
mendatang.

23
DAFTAR PUSTAKA

Notoatmodjo, Soekidjo. 2011 (edisi revisi). Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni.
Jakarta: PT Asdi Mahasatya
Kementeria Kesehatan RI. 2018. Buletin Jendela Data dan Informasi
Kesehatan: Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Jakarta: Redaksi Pusat Data
dan Informasi

Diakses di laman
www.depkes.go.id Diakses
di laman www.mca-
indonesia.go.id
Jurnal diakses di laman https://eprints.uny.ac.id/9289/3/BAB%202%20-
%2010604227399.pdf
Jurnal diakses di laman
https://hakimkep.wordpress.com/2012/06/08/makalah-gizi- masyarakat/
Jurnal diakses di laman http://digilib.unila.ac.id/19376/16/BAB%20II.pdf
Berita diakses di laman
https://kominfo.go.id/content/detail/17436/kominfo-ajak- masyarakat-
turunkan-prevalensi-stunting/0/sorotan_media
Berita diakses di laman https://beritagar.id/artikel/berita/angka-
stunting-turun-tapi- belum-standar-who

24

You might also like