Professional Documents
Culture Documents
Ketersediaan Fasilitas Bagi Penyandang Disabilitas Di Balai Desa
Ketersediaan Fasilitas Bagi Penyandang Disabilitas Di Balai Desa
Fathur Rafli Fauzi1, Saniyatun Ifat2, Lulu Nabila3, Sabrina Putri Pambajeung4,
Iqbal Maulana Hakim5
Universitas Pancasakti Tegal
Abstract: People with disabilities are a group that requires special attention in everyday life.
One of the important things for people with disabilities is the availability of adequate physical
and non-physical public services to meet their needs. The village hall is one of the places
that is often used by the community for social and administrative activities. Therefore, it is
important to know the availability of physical and non-physical public services for people with
disabilities in village halls. This study aims to evaluate the availability of public services for
persons with disabilities in village halls in preparing inclusive villages. An inclusive village is
a village that provides friendly services for people with disabilities and all walks of life. The
method used in this study was a survey with questionnaires as a data collection tool.
Keywords: Inclusive Village, Public services, Disability
Abstrak : Penyandang disabilitas merupakan kelompok yang membutuhkan perhatian
khusus dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu hal yang penting bagi penyandang
disabilitas adalah ketersediaan pelayanan publik berupa fisik dan non fisik yang memadai
untuk memenuhi kebutuhan mereka. Balai desa merupakan salah satu tempat yang sering
digunakan oleh masyarakat untuk kegiatan sosial dan administratif. Oleh karena itu, penting
untuk mengetahui ketersediaan pelayanan publik berupa fisik dan non fisik bagi penyandang
disabilitas di balai desa. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ketersediaan pelayanan
publik bagi penyandang disabilitas di balai desa dalam mempersiapkan desa inklusif. Desa
inklusif merupakan desa yang memberikan pelayanan ramah bagi penyandang disabilitas
dan semua kelompok lapisan masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
survey dengan quesioner sebagai alat pengumpulan data.
Kata kunci: Desa Inklusif, Pelayanan publik, Disabilitas
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan masyarakat tidak lepas dari dua hal utama, yaitu pembangunan
infrastruktur dan pembangunan mental masyarakat itu sendiri (Australian Government,
2008; CABE. 2008; Colantonio & Dixon, 2009; Donahue, S. & Gheerawo, R., 2007).
Pembangunan yang baik menurut UU Desa No. 6 Tahun 2014 adalah pembangunan yang
melibatkan seluruh komponen masyarakat termasuk penyandang disabilitas sehingga hasil
pembangunan dapat dimanfaatkan bersama. UU ini tidak secara eksplisit menyebutkan
bahwa penyandang disabilitas menjadi prioritas baik sebagai subjek maupun objek
pembangunan, meskipun selama ini mereka menjadi bagian integral dari desa. Keterlibatan
penyandang disabilitas dalam proses pembangunan diharapkan dapat mewujudkan apa
yang disebut dengan desa inklusif. Terkait dengan desa inklusif, penyandang disabilitas
menjadi salah satu poin penting dalam proses mewujudkan desa inklusif ini. Secara
regulasi, sejak diratifikasinya Convention on the Rights of People with Disabilities (CRPD)
pada Oktober 2011 menujukkan bahwa Indonesia mulai menaruh perhatian kepada
penyandang disabilitas dan seluruh aspek yang berkenaan dengannya. CRPD ini kemudian
diterjemahkan ke dalam beberapa perundangan baik tingkat nasional maupun regional.
Misalnya saja, UndangUndang No. 8 Tahun 2016 mengenai Penyandang Disabilitas yang
baru disahkan dapat dianggap sebagai mandat bagi seluruh pemangku kebijakan di semua
level termasuk desa untuk mempertimbangkan dan mengikutsertakan penyandang
disabilitas dalam kerangka dan proses pembangunan daerah.
Penyandang disabilitas merupakan warga negara yang mempunyai kedudukan dan
hak asasi manusia yang setara dalam masyarakat. Kelangsungan hidup penyandang
disabilitas dalam pengembangan diri dan berkontribusi secara optimal dijamin oleh negara.
Pengertian penyandang disabilitas sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas Pasal 1 Ayat 1
yang menyatakan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang
dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan
kesamaan hak.
Penyandang disabilitas mempunyai kedudukan hukum, memiliki hak asasi manusia
yang sama, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Warga Negara Indonesia.
Sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan,
terbelakang, dan/atau miskin disebabkan masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitan,
dan pengurangan atau penghilangan hak penyandang disabilitas. Sebenarnya penyandang
disabilitas sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat. Namun pengaturan dalam Undang-Undang tersebut masih menggunakan paradigma
lama, yaitu belas kasih, pelayanan, atau rehabilitasi (charity based atau social based), yang
menganggap mereka sebagai kelompok yang rentan dan lemah sehingga perlu dibantu.
Pemerintah dan masyarakat belum memberikan kesempatan yang sama kepada
penyandang cacat untuk mengembangkan dirinya melalui kemandirian berdasarkan hak
yang dimilikinya (right based). Dengan dicabutnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997
dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas, terjadi perubahan paradigma terhadap Penyandang Disabilitas. Pemerintah
berupaya untuk menunjukkan komitmennya dalam mewujudkan penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas yang pada akhirnya diharapkan
dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Agar pelaksanaan penghormatan, pelindungan,
dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dapat terwujud dengan optimal, diperlukan
penegakan hukum dan peran serta pihak terkait, seperti Pemerintah dan Pemerintah
Daerah, Komisi Nasional Disabilitas (KND), dan masyarakat.
Pemenuhan hak penyandang disabilitas akan pembangunan haruslah dimulai dari
unit pemerintahan terkecil yaitu pada tingkat desa. Beruntung Indonesia telah memiliki UU
Desa yaitu UU Nomor 6 tahun 2014. Secara implisit, UU Desa mendorong tumbuhnya desa
inklusi, yaitu yang secara harafiah dirumuskan sebagai "desa untuk semua" atau "desa
dihidupi oleh semua dan menghidupi semua". Dalam UU Desa bab I pasal 3 dijelaskan
bahwa pengaturan desa harus berasaskan: a) rekognisi; b) subsidiaritas; c) keberagaman;
d) kebersamaan; e) kegotongroyongan; f) kekeluargaan; g) musyawarah; h) demokrasi; i)
kemandirian; j) partisipasi; k) kesetaraan; I) pemberdayaan; dan m) keberlanjutan. Asas
desa tersebut sangat berhubungan dan bermanfaat dalam penumbuhan desa inklusif.
Selama tiga tahun pelaksanaan UU Desa, desa belum sepenuhnya mampu
mengaktualisasikan norma UU Desa sebagaimana mestinya. Pemenuhan hak penyandang
disabilitas di desa masih mensyaratkan perjuangan para pihak yang berkepentingan
terhadap pemenuhan hak penyandang disabilitas untuk terlibat aktif dalam memfasilitasi
desa dalam mengaktualisasikan norma hukum UU Desa (Direktorat Pemberdayaan
Masyarakat Desa, 2016). Aktualisasi kebijakan publik di tingkat desa yang membuka ruang
bagi pemenuhan hak penyandang disabilitas diperlukan untuk menopang pelaksanan UU
Penyandang Disabilitas. Secara umum, pendekatan yang menjangkau masyarakat secara
utuh terutama di desa masih sulit dirasakan. Diskriminasi, termasuk bagi penyandang
disabilitas dalam memperoleh pelayanan dan kebersamaan dalam lingkup yang sama masih
terlihat jelas (Zulfikar, 2017). Semangat untuk membangun gerakan desa mandiri dengan
pelayanan prima melahirkan pemikiran tentang desa inklusi, yaitu desa yang terbuka,
dialogis, merangkul, dan toleran. Untuk membangun desa inklusi diperlukan sistem dan
jaringan yang mendukung pemenuhan hak penyandang disabilitas. Sistem layanan ramah
penyandang disabilitas saat ini sebatas aksesibilitas bangunan fisik, namun penerimaan
petugas dan prosedur layanan masih sangat terbatas.
Pemberdayaan desa dalam membangun desa inklusi harus dimulai dari penguatan
organisasi desa itu sendiri. Desa haruslah dipandang sebagai subjek berdaulat dalam batas
wilayahnya yang memiliki wewenang mengatur urusan pemerintahan dan masyarakatnya
berdasarkan prakarsa masyarakat dan kewenangan lokal. Pemenuhan dan perlindungan
hak penyandang disabilitas harus dimaksukkan dalam daftar kewenangan lokal berskala
desa dan kewenangan desa berdasarkan hak asal usul. Inilah yang kemudian mendasari
desa inklusi yang tetap menghormati hak tradisional desa dan hak penyandang disabilitas.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelayanan publik bagi disabilitas di balai
desa dengan studi kasus pada Desa Karangmangu. Dengan melakukan analisis terhadap
ketersediaan pelayanan publik yang ada di balai desa, diharapkan dapat memberikan
rekomendasi dan solusi untuk meningkatkan pelayanan publik bagi penyandang disabilitas
di balai desa.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif digunakan untuk
menganalisa deskriptif terhadap hasil wawancara dan quesioner yang disampaikan
oleh para responden. Wawancara dilakukan kepada perangkat desa Karangmangu dan
quesioner yang di buat oleh peneliti ditujukan kepada masyarakat desa khususnya para
penyandang disabilitas di berbagai usia. Metode ini juga di dukung oleh metode
pengumpulan data secara yuridis dan empiris. Hasil penelitian ditemukan bahwa
implementasi pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas di desa karangmangu belum
sepenuhnya berjalan sebagaimana mestinya dan terdapat beberapa faktor yang menjadikan
Pemerintah desa karangmangu belum cukup dalam mengimplementasi pemenuhan hak
bagi penyandang disabilitas.