You are on page 1of 17

Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Aceh

Makalah
diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah dan Perkembangan Tasawuf
di Indonesia
dosen pengampu: Drs. Tamami, M.Ag.
oleh:
Nadya Pramesti Cahyani (NIM 1191040107)
Nur Hani’A Fajriah (NIM 1191040112)
Reiva Auria Nurcahya Muslim (NIM 1191040122)
Rini Antika Agustina (NIM 1191040131)
Salsabila Aulia (NIM 1191040142)
Kelas Tasawuf Psikoterapi 2C

PROGRAM STUDI TASAWUF PSIKOTERAPI


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2019
SEJARAH DAN PEMIKIRAN TASAWUF DI ACEH

A. Pendahuluan
Masuknya agama Islam di Nusantara pada umumnya dilakukan
dengan jalan damai yakni melalui perkawinan, perdagangan, kesenian dan
lain sebagainya. Melalui perkawaninan misalnya terjadinya perkawinan
antara seorang pedagang yang beragama Islam dengan putri seorang
bangsawan pada waktu itu yang pada akhirnya akan menghasilkan
keturunan beragama Islam, selanjutnya melalui perdagangan yaitu adanya
komunikasi antara pedagang yang beragama Islam dengan para pembeli
maupun pedagang lain yang bukan beragama Islam sehingga ketika
komunikasi tersebut terjadi para pedagang yang beragama Islam tersebut
selain menjual barang dagangannya, mereka juga menyampaikan
kelebihan agama yang dianutnya kepada pembeli, sedangkan melalui
kesenian yakni dengan cara mengganti istilah-istilah yang dipergunakan
dalam kesenian perwayangan yang sebelumnya banyak menggunakan
istilah dalam agama Hindu-Budha dengan istilahistilah yang terdapat
dalam agama Islam (Yatim,1993:92). Selain melalui cara-cara di atas,
proses penyebaran Islam dilakukan juga melaui ajaran-ajaran tertentu.
Ajaran yang dimaksud adalah ajaran tasawuf. Berkat ajaran-ajaran tasawuf
inilah agama Islam dapat diterima dan berkembang dengan pesat di
Nusantara. Hal ini sesuai dengan pendapat Posponegoro (1984:181) yang
mengemukakan bahwa kedatangan Islam hingga terbentuknya masyarakat
muslim di Indonesia pada abada ke-13 disebabkan oleh masa arus
penyebaran dan kedatangan ajaran tasawuf. Kedatangan agama Islam di
Indonesia pada abad ke 13 Masehi dibawa oleh pedagang-pedagang dari
Gujarat (India), hal ini berdasarkan bentuk-bentuk angka yang terdapat
pada makam-makam yang diketemukan di Samudera Pasai dan di Jawa.
Sedangkan bukti-bukti adanya hubungan langsung antara pedagang-
pedagang dari Arab dengan pedagang-pedagang di pulau Jawa baru pada
masa kemudian seperti adanya utusan-utusan dari kerajaan Mataram Islam
dan Banten ke Mekkah pada Pertengahan Abad ke 17 (Graff, 1985:12).
Adapun kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah kerajaan Samudera
Pasai yang terletak di pulau Sumatera dan berdekatan dengan Selat
Malaka. Pada waktu itu kerajaan Samudra Pasai menjadi tempat
bertemunya para pedagang yang berasal dari Persia, Arab dan India,
sehingga mata pencarian utama rakyat ketika itu adalah pelayaran dan
perdagangan. Raja pertama yang memeluk agama Islam adalah Sultan
Malik Al Saleh. Aceh yang dikenal dengan sebutan “Serambi Mekah” atau
halaman depan atau gerbang ke tanah suci Mekah merupakan tempat di
mana agama Islam berkembang dan menyebar ke berbagai pelosok
Nusantara. Seperti halnya daerah lain di Nusantara, salah satu ajaran yang
memiliki peranan penting dalam penyebaran agama Islam di Aceh adalah
ajaran tasawuf. Ajaran tasawuf dalam penyebaran agama Islam di
Nusantara cocok dengan latar belakang masyarakat setempat yang saat itu
dipengaruhi oleh asketisme Hindu, Budha, dan sinkretisme kepercayaan
lokal. Selain itu, tasawuf mempunyai kecenderungan untuk bersikap
toleran terhadap pemikiran dan praktik tradisional semacam itu yang
sebenarnya bertentangan dengan praktek tauhid (Amin, 2014:325).
Tasawuf masuk dan berkembang di Aceh seiring dengan masuknya Islam
di Aceh. Hal ini tak lepas dari peran para sufi yang menyebarkan Islam di
Aceh. Selain itu, konsep ajaran tasawuf yang tidak jauh berbeda dengan
konsep kepercayaan sebelum masyarakat memeluk Islam membuat mereka
lebih mudah menerima Islam aspek tasawuf dari pada aspek aspek agama
Islam yang lain. Perkembangan tasawuf di Aceh dapat dibagi dalam dua
priode, yakni priode klasik dan priode modern. Dalam periode klasik
pengaruh pemikiran tasawuf falsafi dari Baghdad dan Persia masih
mendominasi. Seperti yang terlihat dalam konsep-konsep falsafi dalam
mistisisme Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan lainnya
(Solihin, 2008:39)

B. Pembahasan

a. Sejarah Masuknya Islam di Aceh


Pembahasan sejarah dan pemikiran tasawuf di Aceh sangat erat
kaitannya dengan masuknya agama Islam itu sendiri. Masuknya Islam ke
daerah ini memiliki peran besar bagi penyebaran Islam di Nusantara. Para
sejarawan sepakat bahwa Islam pertama kali masuk ke Nusantara bermula
di Aceh.1

Dengan posisi Nusantara yang terletak di periferi dunia Islam dalam


jangka yang relatif lama dianggap sebagai Islam pinggiran dan jauh dari
bentuk asli seperti halnya Islam di Timur Tengah. Pandangan ini
menjadikan kajian Islam Nusantara yang dilakukan oleh sarjana Eropa
menjadi pincang.2

Kajian yang dilakukan oleh Snouck C. Hurgronje tentang agama dan


sistem sosial orang Aceh, yang kemudian dibukukan dengan judul De
Atjehers (1893) dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan
1
M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung, Pustaka Setia, 2001, hal. 21
2
Prof. Dr. Miftah Arifin, M. Ag., Sufi Nusantara, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2013, hal. 15
judul Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya (1996). Snouck berpendapat
bahwa asal negara yang membawa Islam ke Nusantara adalah India. Hal
ini didasarkan atas beberapa argumen. Pertama, kurangnya fakta yang
menjelaskan peranan bangsa Arab dalam proses Islamisasi. Kedua,
hubungan perdagangan Nusantara dengan India telah lama terjalin. Ketiga,
inkripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera memberikan
gambaran hubungan Sumatera dengan Gujarat. Clifford Geertz juga
meyakini hal yang sama dengan Snouck mengenai datangnya Islam dari
India, sehingga perkembangan agama Islam di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh agama Hindu, Budha, dan bahkan animisme, sebab
terputusnya hubungan Indonesia dengan Makkah dan Kairo sebagai
sumber Islam yang berlangsung sampai dengan abad ke-19.3

Dalam pandangan Barat, historiografi Nusantara lebih banyak berisi


"mitos" daripada berisi sejarah. Oleh sebab itu, mudah untuk dipahami
bahwasannya para peneliti lebih mengutamakan sumber-sumber Barat
yang ditulis oleh orang Eropa yang datang di Nusantara. Tulisan-tulisan
ini pada gilirannya menggiring adanya distorsi dan miskonsepsi dalam
memandang Islam Nusantara. Mekipun demikian, tidak semua orientalis
melakukan hal yang sama, sebab ada juga di antara mereka yang telah
melakukannya secara lebih objektif, menggali sumber-sumber lokal seperti
yang dilkaukan oleh De Graff dan Pigeaud.4

Ketika marcopolo melaporkan bahwa orang-orang Perlak adalah


penyembah berhala, namun karena terus-menerus berhubungan dengan
pedagang Saracen yang terus-menerus melabuhkan kapalnya maka mereka
beralih kepada hukum Mohamet. Tomè Pires dan orang Iberia abad ke-16
lainnya dalam masalah ini cenderung mengikuti pendapat Marcopolo yang
menekankan bahwa kontak-kontak perdagangan Muslim dari wilayah
Barat tersebut adalah penjelasan yang memadai mengenai Islamisasi.5

Sejarah Nusantara sesungguhnya sudah mulai ditulis sejak melalui


pandangan orang asing, baik dalam kutipanyang rinci maupun yang sulit
untuk dibuktikan. Karena mula-mula hanya dikenal melalui kesaksian-
kesaksian dari luar, kawasan Asia Tenggara dalam jangka yang lama
hanya dianggap sebagai kawasan pertemuan, penampungan, dan
kolonisasi.6

3
Prof. Dr. Miftah Arifin, M. Ag., Sufi Nusantara, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2013, hal. 15-16
4
Ibid.
5
Ibid., hal. 17
6
Ibid., hal. 17-18
Akibatnya, para sarjana tidak tahu pasti kapan penduduk Nusantara
memeluk agama Islam, hanya mengira-ngira bahwasannya agama Islam
telah masuk di Nusantara pada abad pertama Hijriyah atau abad 7 M.
pendapat ini didasarkan atas ramainya jalur niaga yang dilakukan oleh
oranng-orang Arab dengan dunia Timur. Pada abad ke-7 M ini
perdagangan dengan Tiongkok melalui Ceylon sangatlah marak sehingga
pada abad ke-8 dijumpai banyak pedagang-pedagang Arab di Kanton. Dan
menurut berita Tiongkok tahun 674 M terdapat kabar bahwa ada seorang
pembesar Arab yang menjadi pimpinan orang Arab di pantai Barat
Sumatera.7 Keadaan ini menyebabkan para saudagar Arab Muslim harus
tinggal lama di gugusan pulau Melayu dan kesempatan ini digunakan
untuk mendakwahkan Islam di tempat-tempat yang mereka singgahi.
Diantara mereka banyak yang menikahi penduduk setempat. Hasil
perkawinan ini melahirkan generasi baru muslimin di gugusan pulau
Melayu tersebut. Dengan demikian, Islam datang ke gugusan pulau-pulau
Melayu melalui laut India dan juga Laut Cina Selatan secara langsung dari
negeri Arab.8

Van Leur dan Schrieke menegaskan bahwa faktor-faktor politik


ternyata lebih krusial dibanding faktor niaga sebagai pijakan dasar
islamisasi di Nusantara. Di sisi lain, A. H. Johns dan Fatimi lebih
memandang serius bukti-bukti dari dalam dan merekrontuksi penjelasan
tandingan mengenai islamisasi Nusantara. Ternyata, proses islamisasi
yang terjadi di Nusantara juga berpusat pada kaum sufi yang cakap di
bidang ilmu kebatinan, memiliki kekuatan spiritual dan tidak kalah
penting, mereka ini mampu memadukan dan menggunakan unsur-unsur
kebudayaan pra-Islam yang terbungkus dalam semangat islam
(sinkritisme).9

Statemen-statemen ini sesungguhnya masih bisa diperdebatkan


kembali, sebab keduanya memberikan penjelasan secara benar namun
dalam dimensi dan fenomena yang berbeda. Kedatangan Islam di
Nusantara memang tidak bisa dilepaskan oleh faktor niaga dan
kepentingan ekonomi, namun juga acap kali diperkuat oleh faktor politi.
Tanpa kedatangan para saudagar Muslim, orang-orang di Asia Tenggara
mungkin akan susah untuk berkenalan dan memeluk agama ini; tetapi
tanpa kekuasaan politik dan kerajaan, Islam akan terlalu sulit untuk
mampu menaklukkan wilayah di luar pusat-pusat perniagaan. Oleh sebab

7
Ibid., hal. 18
8
Solihin, op. Cit., hal. 22
9
Prof. Dr. Miftah Arifin, M. Ag., Sufi Nusantara, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2013, hal. 22
iu, tampaknya kedua aspek ini tidak sehausnya dipertentangkan sebab
keduanya justru saling melengkapi satu dengan yang lainnya.

Meskipun demikian, proses peralihan keberagaman individu selalu


melibatkan persoalan batiniah dan emosu, demikian juga peralihan
penduduk Nusantara dari agama lokal ke agama Islam senantiasa
melibatkan persoalan-persoalan batini. Dalam kaitan inilah, para sufi
pengembara ini mampu memelihara kontinuitas kepercayaan dan praktik
keberagaman penduduk lokal sehingga agama baru tidak dianggap sebagai
sesuatu yang asing, aneh, dan membahayakan. Dengan kemampuan dan
kewibawaan yang dimiliki, para sufi pengembara ini dapat dengan mudah
menaklukan elite masyarakat (raja dan bangsawan). Para sufi inilah yang
berkeliling merambah ke berbagai tempat di Nusantara yang dengan
sukarela ikut merasakan kemelaratan, mereka mengajarkan teosofi
sinkretis yang sangat akrab dengan orang-orang Indonesia, mereka
mumpuni dalam hal magis, dan memiliki kekuatan-kekuatan
penyembuhan untuk mengobati orang. Oleh karena itu, Johns
menyimpulkan bahwa agama Islam tidak akan pernah tertanam dan
mengakar di kalangan rakyat Nusantara sebelum kedatangan para sufi
pengembara ini dan kemudian menjadi agama baru yang dominan, yang
hal ini baru terjadi pada abad ke-12 M.10

Tokoh lain yang melihat pentingnya pendekatan Tasawuf dalam


penyebaran Islam di Nusantara ini adalah Uka Tjandrasasmita. Ia
berpendapat bahwa sejak abad ke-13 M penyebaran Islam melalui tasawuf
di Indonesia termasuk kategori yang berfungsi dan membentuk kehidupan
sosial bangsa Indonesia karena sifat spesifik tasawuf yang memudahkan
penerimaan masyarakat yang belum Islam pada lingkungannya. H. A. R.
Gibb mengatakan bahwa penyebaran Islam yang spektakuler di negara-
negara Asia Tenggara adalah berkat sikap sufi yang dalam banyak hal
cenderung kompromis dengan dat istiadat dan tradisi setempat. Di
samping itu, patut juga dicatat bahwa faktor lain yang memudahkan tugas
sufi adalah bahwa orang-orang Indonesia sendiri memiliki kecenderungan
spiritualitas yang tinggi.11

b. Sejarah Pemikiran Tasawuf di Aceh


Pemikiran tasawuf di Aceh banyak berkaitan dengan pemikiran
Tasawuf di wilayah-wilayah lain di Nusantara, baik dari aspek sejarah
maupun subtansi pemikirannya. Dari aspek sejarah, banyak terbukti bahwa

10
Prof. Dr. Miftah Arifin, M. Ag., Sufi Nusantara, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2013, hal. 22-23
11
M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung, Pustaka Setia, 2001, hal. 27
dari tokoh-tokoh sufi acehlah kemudian tasawuf menyebar dan
membentuk jaringan-jaringan ke seluruh Nusantara. Sedangkan secara
substansial, pemahaman tasawuf di Aceh mempengaruhi daerah-daerah
lain memiliki kecenderungan isi dan corak pemikiran tasawuf yang mirip
dengan tasawuf di Aceh. Kendati sebetulnya telah banyak mengalami
pergeseran atau modifikasi.

Ketika Aceh sedang mengalami puncak kejayaan, ternyata secara


substansial, mazhab tasawuf Ibnu Arabid an Al-Jilli yang berwatak
pantheisme, telah mendominasi pemikiran dan penghayatan keagamaan
dalam istana dan kalangan masyarakat umum, terutama karena ajaran itu
telah di anut dan disebarkan oleh dua orang pemuka tasawuf di Aceh
terkenal, yaitu Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin Sumatrani (w.
1630 M). Melalui kedua orang sufi ini. Terutama melalui penulisan kitab-
kitab dalam Bahasa melayu, ajaran tasawuf Ibnu Arabi yang kemudian di
Aceh dikenal dengan Wujudiyyah dianut secara luas olehmasyarakat
umum dan kalangan istana. Hal ini berkat jasa dan wibawa Syamsuddin
yang bergelar syekh islam. Ajaran tasawuf Wujudiyyah menjadi ajaran
formal dan mendapat dukungan luas masyarakat Aceh.12

Selanjutnya muncul tokoh sufi lain, seperti Nuruddin Ar-Raniri, Abd


Ra’uf As- Sinkli, dan lain-lain, yang menggeser bahkan menolak
pemikiran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani.

c. Hamzah Fansuri dan Pemikiran Tasawufnya


Hamzah Fansuri lahir di kota Barus (Fansur). Kota fansur terletak
dipantai barat sumatera Utara, diantara singkil dan sibolga. Masa hidupnya
diperkirakan sebelum tahun 1630an.13

Hamzah fansuri seorang ulama besar . dia pernah melakukan


perjalanan ke Pahang, kedah, dan jawa untuk menyebarkan ajaran-
ajarannya. Hamzah fansuri menguasai Bahasa arab, Persia dan urdu.
Mengingat karya-karyanya, ia sering dianggap sebagai salah seorang tokoh
sufi awal yang paling penting di wilayah Melayu-Indonesia dan juga
seorang perintis terkemuka tadisi kesusastraan melayu14

Syair-syair syekh Hamzah tercatat dalam buku-bukun kesusastraanya


antara lain Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Punguk, Syair
12
Ahmad Dudy, “Tinjauan Atas Al-Fath Al-Mubin ‘Ala Al-Mulhidin karya Syeikh Nuruddin Ar-
Raniri”, dalam: Ahmad Rifai Hasan, Warisan Intelektual Islam Indonesia, Bandunng, Mizan, 1990,
hlm. 21.
13
Abd. Rahim Yunus, loc cit
14
Azyumardi Azra, loc cit
Sidang Faqir, Syair Ikan Tongkol, dan Syair Perahu. Dalam bentuk kitab
ilmiah diantaranya Asrarul ‘Arifin fi Bayaani ‘Ilmis Suluuki wat Tauhid,
Syarbul ‘Asyiqiin, Al-Muhtadi, Ruba’I Hamzah Al-Fansuri.15

Tidak sedikit yang menolak pemikiran Hamzah Al-Fansuri karena


faham widhatul wujud, dan ittihadnya.oleh karena itu banyak orang yang
mengecapnya sebagai seorang yang zindiq, sesat, kafir dan lain-lain. Ada
juga yang menyangka sebagai pengikut ajaran syiah dan mengakui bahwa
ia bermahzab syafi’I di bidang fiqih. Dalam bidang tasawuf ia mengikuti
tarekat qadiriyah yang dibangsakan pada syekh Abdul Qadir Jailani16.
Mengenai hamzah Fansuri sebagai penganut tarekat Qadiriyah dapat
dipahami dari salah satu ungkapannya yang berbunyi,

Hamzah nin asalnya Fansuri

Mendapat wujud di tanah Shahr Nawi

Beroleh Khilafat ilmu yang ali

Dari ‘Abd Qadir Jailani

Hamzah Fansuri menerima tarekat tersebut ketika belajar di Baghdad,


pusat penyebaran tarekat Qadariyah. Tarekat ini memandang syekh Abdul
Qadir sebagai pendirinya. Disinilah ia menerima baiat dan ijazah dari
tokoh sufi Qadiriyah. Hamzah fansuri sangat giat mengajarkan ilmu
tasawuf sesuai faham yang diyakininya. Ada riwayat yang mengatakan
bahwa ia pernah sampai keseluruh semenanjung melayudan
mengembangkan ilmu tasawuf di negri perak, perlis, Kelantan,
Terengganu, dan lain-lain. Selanjutnya mengenai pemikiran-pemikiran Al-
Fansuri tampaknya banyak dipengaruhi wahdatul wujudnya Ibn ‘Arabi. 17
Ajaran tasawuf Al-Fansuri terdapat ajaran yang berkaitan dengan hakiat
wujud dan penciptaan. Menurutnya, wujud itu hanya satu walaupun
terlihat banyak. Dari wujud yang satu ini ada yang merupakan kulit
(mazhhar, kenyataan lahir) dan ada yang berisi (kenyataan batin0. Semua
bend yang ada sebenarnya merupakan manifestasi dari yang hakiki yang
disebut Al- Haqq Ta’ala. Ia menggambarkan wujud Tuhan bagaikan
lautan dalam yang tak bergerak, sedangkan alam semestanmerupakan
gelombang lauta wujud Tuhan. Pengalran dari dzat yang mutlak di
umpamakan gerak ombak yang menimbulakk uap, asap, dana wan, yang
15
Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokoh di Nusantara, Al-Ikhlas
Surabaya 1930, hlm. 37
16
Ibid., hlm, 36-37
17
S.M. Naquib Al-Attas, New Light on The Life of Hamzah Fansuri, JMBRAS, vol. 40, 1967, hlm. 50
kemudian menjadi dunia gejala itulah yang disebut ta’ayyun dari dzat yang
lata’ayyun. Itu pulalah yang disebut tanazalul. Kemudian segala sesuatu
kembali lagi pada Tuhan (Taraqqi) yang digabarkannbagaikan uap, asap,
awan, lalu hujan dan sungai dan kembali ke lautan. Ajaran ini banyak
ditolak oleh generasi selanjutnya yang mengaku mengembangkan tasawuf
sunni.

Demikianlah Hamzah fansuri dengan pemahaman tasawufnya yang


banyak meimbulkan pro dan kotra.

d. Pemikiran Tasawuf Syekh Syamsudin Al-Sumatrani


Nama asli dari Syekh Syamsuddi Al Sumatrani adalah
Syamsuddin Abdullah as Sumatrani, beliau merupakan tokoh sufi
kenamaan di Aceh. Beliau hidup pada masa kejayaan Kesultanan Aceh,
di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda atau yang disebut dengan
Mahkota Alam (1607-1636). Beliau wafat pada tahun 1630.

Beliau adalah seorang keturunan ulama, ayahnya bernama Abdullah


Al Sumatrani. Beliau mendapat pendidikan kesufian dari Hamzah Al
Fansuri, yang mengajarkan paham wujudiyyah. dan pendapat lain
mengatakan bahwa beliau pernah belajar pada Sunan Bonang di Jawa. 18
Namun perjalanan hidup salah satu sufi di Nusantara ini sulit sekali
untuk dirangkai secara menyeluruh. Hal ini disebabkan tidak
ditemukannya catatan otobiografisnya, juga karena sulitnya sumber -
sumber akurat yang dapat dijadikan sebagai rujukan.19

Ajaran/Pemikiran Syekh Syamsudin Al-Sumatrani

Ajaran Tasawufnya
Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang sufi yang
mengajarkan faham wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan
mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. 20

18
Parpatih, Datuk. Februari 2015. “SYAMDUDDIN SUMATRANI: TOKOH TASAWUF DARI ACEH”. E-
Jurnal IAIN Imam Bonjol Padang. http://ejournal.uinib.ac.id/. 5 April 2020.
19
Firdaus. Desember 2018. “MERETAS JEJAK SUFISME DI NUSANTARA”. E-Jurnal UIN Raden Intan
Lampung. http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/alAdyan. 5 April 2020.
20
Firdaus. Desember 2018. “MERETAS JEJAK SUFISME DI NUSANTARA”. E-Jurnal UIN Raden Intan
Lampung. http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/alAdyan. 5 April 2020.
Pemikiran Kalam Syamsuddin al-Sumaterani, dalam buku Tasawuf
Nusantara karya Dr. Hj. Sri Mulyati, MA bahwa ajaran pokok tasawuf
Syekh Syamsuddin Al-Sumatrani antara lain:
1. Tentang Allah, Syekh Syamsuddin Al-Sumatrani mengajarkan
bahwa Allah itu Esa adanya, Qodim, dan Baqa.
2. Tentang penciptaan, Menurutnya penciptaan dimulai dari Dzat
yang mutlak.
3. Tentang Alam dan Manusia, Alam dalam pandangan al-Sumaterani
terbagi atas dua. Pertama alam syahadah yaitu alam yang dapat
ditangkap oleh panca indera, baik yang di bumi maupun di langit;
Kedua alam gaib yaitu alam yang tidak dapat ditangkap oleh panca
indera dimanapun keberadaannya, seperti malaikat, jin, dan ruh
manusia.
4. Tentang Alam Arwah dan Alam Mitsal, Ini berarti bahwa Tuhan
haruslah menciptakan alam. Menurutnya, penciptaan alam oleh
Tuhan berawal dengan penciptaan makhluk pertama. Makhluk
pertama adalah nur (cahaya), Segenap makhluk atau alam adalah
berasal dari cahaya Tuhan, tetapi derajat diantara semua makhluk itu
dibedakan.
5. Tentang Alam Ajsam, Alam Ajsam adalah alam yang mampu
ditangkap oleh panca indra.
6. Tentang Alam Manusia, Manusia martabat ketujuh dari wujud Tuhan,
disebut dengan kata syay‘ jami‘ dan dilihat dari unsur lahiriahnya
unsur tanah, air, udara, dan api. Sedangkan dilihat dari segi batiniah
terdiri dari, 1) wujud, yang di maksud adalah zat; 2) ‗ilm, yang
dimaksud adalah sifat-sifat; 3) nur, yang dimaksud adalah nama-
nama; dan 4) syuhud, yang dimaksud adalah perbuatan-perbuatan.

Secara garis besar, ajaran dan pandangan Syamsuddin As-


Sumatrani adalah sebagai berikut:
1. Tuhan adalah wujud yang awal, sumber dari segala wujud dan
kenyataan satu-satunya.
2. Zat adalah wujud Tuhan. Ia (Tuhan) adalah kesempurnaan dalam
kemutlakan yang tinggi, Zat itu wujud dan asal dari segala yang
ada. Wujud Allah SWT men-cakup baik yang kelihatan maupun
yang tidak kelihatan
3. Sifat Allah SWT qadim dan baka, sedangkan sifat manusia fana.
4. Ajaran wujud tercakup dalam martabat tujuh, Martabat tujuh tidak
lain adalah jalan kepada Tuhan.
5. Kalimah syahadat, la ilaha illallah tiada Tuhan selain Allah‘
ditafsirkan juga sebagai Tiada Wujudku hanya Wujud Allah‘.
6. Orang yang memiliki makrifat (pengetahuan) yang sempurna
adalah orang yang mengetahui aspek tanzih (perbedaan)‘ dan tasybih
(kemi-ripan/keserupaan)‘ antara Tuhan dan makhlukNya.
7. Hakikat zat dan sifat dua puluh adalah satu. Jadi, zat itulah sifat.

Ketujuh butir ajaran/pandangan tersebut sesungguhnya bukan murni


ajaran Syamsuddin, melainkan ajaran kaum Wujudiyyah pada
umumnya. Namun, karena dalam seluruh karangannya membahas tujuh
martabat, maka Syamsuddin lebih dikenal sebagai tokoh sufi yang
menyebarkan ajaran Martabat Tujuh

Membahas tentang martabat tujuh dan sifat dua puluh Tuhan.


Konsep martabat Tujuh, mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada
dalam alam semesta, termasuk manusia, adalah aspek lahir dari hakikat
yang tunggal yaitu Tuhan. Tuhan sebagai Yang Mutlak tidak dapat
dikenal baik oleh akal, indera, maupun khayal.

Diantara ajarannya adalah bahwa Tuhan saja yang wujud. Hal ini di
dasarkan pada ayat AlQur’an:

‫ا وه‬,‫او لو‬,‫نطابالو رهاظالو رخ‬

“Dialah Yang awal, Yang akhir, Yang Dhahir (tampak), dan Yang batin
(tersembunyi).”

Selain itu, Syamsuddin al-Sumatrani juga menekankan pentingnya Syari’at di


jalan Sufistik. Karena menurutnya, ada keterkaitan antara Syari’at dan
Tasawuf di antara berbagai tahap pengalaman sufistik dan Syari’at. Dalam
Syarh al-Asyiqin beliau menulis:

“Siapa pun yang memagari dirinya dengan Syari’at, ia tidak akan


pernah diganggu syetan. Siapa pun yang beranggapan bahwa Syar’at tidak
terlalu penting atau siapa pun yang meremehkannya, ia menjadi kafir
sebab Syari’at bagaikan perahu, Syari’at adalah rangkanya, thariqah adalah
deknya, haqiqah adalah muatannya, dan ma’rifat adalah keuntungannya. Jika
rangka rusak, perahu tentu saja akan tenggelam”

Meskipun demikian, Syamsuddin al Sumatrani pada umumnya dipandang


sebagai kaum sufi “wujuddiyah”, yang menganut gagasan panteisme21
tentang Tuhan.
21
Berasal dari bahasa Yunani artinya adalah “Tuhan adalah semuanya dan
semuanya adalah Tuhan”, ajaran yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan
dan hukum-hukum alam semesta; penyembahan (pemujaan) kepada semua dewa dari
berbagai kepercayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia; p.1017.
Wujūdiyyah bisa dikatakan Wahdat Al- Wujūd. Kata Wahdat Al-
Wujūd berarti kesatuan wujud. Dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai
unity of existence.22

Konsep Martabat Tujuh cenderung berhubungan dengan teori Tanazul


dalam Tasawuf. Tanazul (tanzil) di artikan sebagai turunnya Wujud dengan
penyingkapan Tuhan, dari kegaiban ke alam penampakan melalui berbagai
tingkat perwujudan. Teori ini menggambarkan bahwa manusia sebgai
makhluk sempurna merupakan pancaran dari Wujud Sejati, yang
menurunkan wujud wujud-Nya dari alam rohani ke alam materi

Pengaruh Ajaran atau Pemikiran Syekh


Pada masanya, Syekh Syamsuddin alSumatrani mampu membuat paham
wahdat al-wujud mendapat tempat yang layak dalam kerajaan Aceh.
Sehingga pengikut paham ini banyak sekali. Paham martabat Tujuh,
diperkirakan masuk di Aceh sebelum tahun 1030/1619 M. Hal itu terbukti
dengan adanya kitab Tuhfah al-Mursalah yang menjadi rujukan utama
ajaran ini selesai di tulis tahun 1000/1590 M, oleh al-Burhanpuri. Dimana
isinya tentang tajalli al-Haqq secara singkat dan jelas menggantikan
konsep tajalli dari ulama. Sementara itu di Jawa, ajaran martabat tujuh
baru berkembang pada akhir abad ke 17 M.

e. Sufisme Nuruddin Ar Raniri

Riwayat Hidup Nuruddin Ar-Raniry


Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di pantai Gujarat,
india. Nama lengkapnya adalah Nurudin Muhammad bin Hasanjin Al-Hamid
Asy-Syafi‘I Ar-Raniri. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti,tetapi
kemungkinan besar menjelang abad ke-16. Ia mengikuti langkah keluarganya
dalam hal pendidikannya. Pendidikan pertamanya diperoleh di Ranir dan
kemudian dilanjutkan ke wilayah Hadhamaut. Ketika masih di negeri asalnya,
ia sudah banyak menguasai ilmu agama. Di antara guru yang paling banyak
memengaruhinya adalah abu Nafs Sayyid Imam bin Abdullah bin Syaiban,
seorang guru Tarekat Rifa‘iyah keturunan Hadhramaut-Gujarat, India.

Menurut catatan Azyumardi Azra, A-Raniri merupakan tokoh


pembaharuan di Aceh. Ia mulai melancarkan pembaharuan islamnya di Aceh
setelah mendapat pijakan kuat di istana Aceh. Pembaharuan utamanya adalah
memberantas aliran wujudiyah yang dianggap sebagai aliran sesat. Ar-Raniri
dikenal juga sebagai syekh islam yang mempunyai otoritas untuk
mengeluarkan fatwa menentang aliran wujudyyah ini. Bahkan lebih jauh, ia
22
Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2014), cetakan ke-VI, hal 297
mengeluarkan fatwa yang mengarah pada perbuuan orang-orang sesat. ketika
ia berada di Negeri asalnya, ia sudah menguasai banyak tentang Ilmu Agama.
Diantara guru yang paling banyak mempengaruhinya adalah Abu Nafs Syayid
Imam bin ‗Abdullah bin Syaiban, ia seorang guru Tarekat Rifaiyah keturunan
Hadhramaut Hujarat, India. Gurunya yang paling terkenal adalah Abu Hafs
Umar bin Abdullah Ba Syayban alTarimi al-Hadhrami, yang juga dikenal
sebagai Sayyid Umar alAlaydrus. Pembaruan utamanya adalah memberantas
aliran wujudiyah yang dianggapnya sebagai aliran sesat. Ar-Raniry dikenal
mula sebagai Syekh Islam yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan
fatwa menentang Aliran wujudiyah. Bahkan lebih jauh ia mengeluarkan fatwa
yang mengarah pada perburuan terhadap orang-orang sesat.12 Ar-Raniry
dikatakan pulang kembali ke India setelah dia dikalahkan oleh dua orang
murid Hamzah Fansuri pada suatu perdebatan umum. Ada riwayat
mengatakan dia meninggal di India. Menurut Sirajuddin Abbas, riwayat hidup
Syaikh Nuruddin ar-Raniry dapat dijumpai dalam ensiklopedi Ulama-Ulama
India berjudul Nuzhah al-Khawatir (dalam bahasa Arab) karangan Abdul Haj
Fakhruddin al-Hasany. Di sini disebutkan Syaikh Nuruddin wafat di kampung
halamannya sendiri sekitar tahun 1068H.

1. Ajaran Tasawuf Nurruddin Ar-Raniry


a. Tentang Tuhan.
Pendirian Ar-Raniry dalam masalah ketuhanan pada umumnya
bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham mutakalimmin
dengan paham para sufi yang diwakili Ibn ‗Arabi. Ia berpendapat
bahwa ungkapan‖ wujud Allah dan Alam Esa” berarti bahwa alam ini
merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang batin, yaitu Allah,
sebagaimana yang dimaksud Ibn ‗Arabi. Namun, ungkapan itu pada
hakikatnya menjelaskan bahwa alam ini tidak ada. yang ada hanyalah
wujud Allah Yang Esa. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa alam ini
berbeda atau bersatu dengan Allah. Pandangan Al-Raniry hampir sama
dengan Ibn ‗Arabi bahwa alam ini merupakan tajalli Allah. Namun,
tafsiranya di atas membuatnya terlepas dari label panteisme Ibn Arabi.
b. Tentang Alam.
Ar-Raniry berpandangan bahwa alam ini diciptakan Allah melalui
tajalli. Ia menolak teori Al-faidh (emanasi) Al-Farabi karena hal itu dapat
memunculkan pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga menjerumuskan
pada kemusyrikan.16 Alam dan falak, menurutnya, merupakan wadah
tajalli asma dan sifat Allah dalam bentuk yang kongkrit. Sifat ilmu ber-
tajalli pada alam akal; Nama Rahman ber-tajalli pada arsy; Nama Rahim
ber-tajalli pada kursy; Nama Raziq ber-tajalli pada falak ketujuh; dan
seterusnya.
c. Tentang Manusia.
Manusia, menurut Ar-Raniry, merupakan mahluk Allah yang
paling sempurna di dunia sebab manusia merupakan khalifah Allah di
bumi yang dijadikan dengan citraNya. Juga, karena ia mazhhar (tempat
kenyataan asma dan sifat Allah paling lengkap dan menyeluruh).
Konsep insan kamil, katanya, pada dasarnya hampir sama dengan apa
yang telah digariskan Ibnu Arabi.
d. Tentang Wujudiyyah.
Inti ajaran wujudiyyah, menurut Ar-Raniry, berpusat pada wahdat
Al-wujud dapat membawa kepada kekafiran. Ar-Raniry berpandangan
bahwa jika benar Tuhan dan mahluk hakikatnya satu, dapat dikatakan
bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia dan jadilah
seluruh mahluk sebagai Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik
buruk atau baik, Allah turut serta melakukanya. Jika demikian halnya,
maka manusia mampu mempunyai sifat-sifat Tuhan.
e. Tentang Hubungan Syari‘at dan Hakikat.
Pemisahan antara syariat dan hakikat, menurut Ar-Raniry
merupakan sesuatu yang tidak benar. Untuk menguatkan
argumentasina, ia mengajukanbeberapa pendapat pemuka sufi,
diantaranya adalah Syeikh Abdullah Al-Aydarusi yang menyatakan
bahwa tidak ada jalan menuju Allah, kecuali melalui syari‘at yang
merupakan pokok dan cabang islam.

f. Abd. Ra’uf As-Sinkli dan Pemikiran Tasawufnya


Nama lengkapnya adalah Abd. Ra’uf bin Ali Al-Jawi Al-Fansuri
As-Sinkli. Beliau merupakan tokoh utama dan mufti besar kerajaan Aceh
pada abad ke-17 (1606-1637M). As-Sinkli sempat menerima ba’iat
tarekat Syatariyyah di samping ilmu-ilmu sufi yang lian, termasuk sekte
dan bidang ruang lingkup ilmu pengetahuan yang ada hubungan
dengannya. 23

“Menurut Hasyimi, ayah As-Sinkli berasal dari Persia yang datang


ke Samudera Pasai pada akhir abad ke-13 dan menetap di Fansur, Barus,
sebuah kota pelabuhan tua di pantai barat Sumatera. Pendidikannya
dimulia dari ayahnya di Simpang Kanan lalu berlanjut ke Samudera Pasai
dan belajar pada Syekh Samsuddin As-Sumatrani di Dayah Tinggi. Setelah
itu berlanjut ke Arab dan belajar dari Syekh Shafiuddin Ahmad Ad-
Dajjani Al-Qusyasyi (1583-1660) dan Syekh Ibrahim Al-Kurani (1616-
1689). As-Sinkli pun diberi selendang putih oleh gurunya sebagai pertanda
23
Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya:
Al Ikhlash, 1930, hlm. 50
bahwa ia telalh dilantik sebagai Khalifah Mursyid dalam orde tarekat
Syatariyyah.” (Solihin, 2001, hlm. 50)

Selain Abd. Muhyi Pamijahan di Jawa, murid As-Sinkli yang lain


antara lain adalah Syekh Burhanuddin Ulakan (w. 1691 M) yang aktif
mengembangkan tarekat Syatariyyah di Minangkabau, Sumatera Selatan.

Pemikiran Tasawuf As-Sinkli dapat dilihat antara lain pada


persoalan untuk merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Kendati
demikian, ajaran tasawufnya mirip dengan Syamsuddin As-Sumatrani dan
Nuruddin Ar-Raniri, yaitu menganut faham satu-satunya wujud hakiki,
yakni Allah. Alam ciptaan-Nya bukan merupakan wujud hakiki, tapi
bayangan dari yang hakiki. Dengan begitulah menurutnya jelas bahwa
Allah berbeda dengan alam.24

Menurut pandangannya, dzikir merupakan suatu usaha untuk


melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan dzikir hati akan selalu
mengingat Allah. Tujuan dzikir adalah mencapai fana’ (tidak ada wujud
selain Allah). Pandangannya yang lain bertalian dengan martabat
perwujudan. Menurutnya ada tiga martabat perwujudan; Pertama,
martabat ahadiyyah atau la ta’ayun, alam pada waktu itu masih
merupakan hakikat gaib yang masih berada dalam ilmu Tuhan. Kedua,
martabat wahdah atau ta’ayyun awwal, yang sudah ada potensi
tercipatnya alam. Ketiga, martabat wahidiyyah atau ta’ayyun tsani,
disinilah alam tercipta. Namu, bagi As-Sinkli, jalan untuk mengesakan
Tuhan adalah dengan ber-dzikir “laa ilaaha illallah” hingga mencapai
kondisi fana’.25

g. Pengaruh Pemikiran Tasawuf bagi Pattani


Daerah Pattani memiliki pertalian erat dengan kerajaan Islam di
Aceh. Pertalian ini dilihat dari dua sudut yaitu hubungan sejarah Islam
dengan Samudera Pasai (sebelum menjadi Aceh) dan sudut pengaruh
pemikiran Islam (fikih, kalam dan tasawuf) dari para ulama Aceh dengan
Pattani di masa selanjutnya.26
Khusus dalam tasawuf, secara tradisi dalam pandangan orang-
orang Islam di Pattani, selalu menganggap sumber kerohaniannya berasal
dari Samudera Pasai, seperti Syekh Sa’id, salah satu ulama dari Pasai yang
menyebarkan Islam di Pattani. Dari situlah banyak muncul ulama-ulama
ternama di Pattani. Seperti Wan Ahmad, ulama yang lama tinggal di
24
Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung: PUSTAKA SETIA, 2001, hlm. 51
25
Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung: PUSTAKA SETIA, 2001, hlm. 52
26
Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung: PUSTAKA SETIA, 2001, hlm. 53-
54
Mekkah dan hamper semua muslim Nusantara belajar padanya. Selain itu
juga ada Zainul Abidin bin Muhammad Pattani yang keluarganya berasal
dari Sumatera. Ada juga Syekh Daud yang menerima tarekat Syatariyyah
dari Syekh Muhammad Al-As’ad, dengan latar tasawuf Syatariyyah ini
beliau memiliki guru yang sama dengan Abdul Ra’uf Singkel dari Aceh.27

C. SIMPULAN
Perkembangan tasawuf di kalangan Islam mengalami beberapa
periode, yakni priode pembentukan pada abad I Hijriah yang ditandai
munculnya bibit-bibit tasawuf, priode pengembangan pada abad III dan IV
Hijriah yang sudah mempunyai corak yang berbeda dengan tasawuf
sebelumnya, priode konsolidasi pada abad V Hijriah yang ditandai dengan
kompetsisi dan pertarungan antara tasawuf semi falsafi dan tasawuf Sunni,
priode falsafi pada abd ke VI Hijriah yang ditandai dengan munculnya
tasawuf Falsafi dan periode pemurnian yang terjadi setelah abad VI
Hijriah. Berkat kedatangan para ulama tersebut, pemikiran, penghayatan,
pengalaman, dan pengamalan keagamaan menjadi sangat berkembang di
kawasan kerajaan Islam Aceh. Di samping itu, tasawuf dan tarekat juga
berkembang pesat dan mewarnai kehidupan keagamaan di Aceh. Dari
Aceh, kemudian tasawuf dan tarekat tersebar luas ke seluruh Nusantara,
bahkan hingga berpengaruh ke daerah Pattani dan wilayah-wilayah lain di
Semenanjung Melayu. Para ahli dan tokoh di Aceh yang turut
mengembangkan tasawuf di Aceh melalui pemikiran- pemikirannya adalah
Hamzah Fansuri yang pemikiran- pemikirannya tentang tasawuf banyak
dipengaruhi oleh Ibnu ‘Arabi dalam faham wahdat wujud-nya. Syamsudin
Sumatrani, dalam pemikiran tasawufnya, Syamsuddin Sumatrani
membahas tentang Martabat Tujuh dan sifat dua puluh Tuhan. Konsep
Martabat Tujuh. Nurrudin al-Raniri, yang berusaha kerasa membongkar
kelemahan dan kesesatan faham wujudiyyah yang dianggap bertentangan
dengan Al- Qur’an dan Hadist. Terakhir, Abdur Rauf As-Sinkili yang tetap
menolak paham wujudiyah yang menganggap adanya penyatuan antara
Tuhan dan hamba.

27
Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung: PUSTAKA SETIA, 2001, hlm. 54-
56
D. DAFTAR PUSTAKA
Solihin, M. 2001. Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia. Bandung:
Pustaka Setia.

Arifin, Miftah. 2013. Sufi Nusantara. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Parpatih, Datuk. Februari 2015. “SYAMDUDDIN SUMATRANI: TOKOH


TASAWUF DARI ACEH”. E-Jurnal IAIN Imam Bonjol Padang.
http://ejournal.uinib.ac.id/.(5 April 2020.)

Firdaus. Desember 2018. “MERETAS JEJAK SUFISME DI NUSANTARA”. E-


Jurnal UIN Raden Intan Lampung.
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/alAdyan. (5 April 2020.)

Mustofa. 2014. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Abdullah, Hawash. 1930. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di


Nusantara. Surabaya: Al Ikhlash.

Dudy, Ahmad. 1990. Tinjauan Atas Al-Fath Al-Mubin ‘Ala Al-Mulhidin karya
Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, dalam: Ahmad Rifai Hasan, Warisan Intelektual
Islam Indonesia. Bandunng: Mizan.

You might also like