Professional Documents
Culture Documents
Bukuimun 4
Bukuimun 4
net/publication/369022321
CITATIONS READS
0 3,427
11 authors, including:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Imam Agus Faizal on 06 March 2023.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah, Rob
seluruh alam yang telah memberikan karunia kepada
kami hingga kami dapat menyelesaikan Buku Ajar
Imunologi.
Byky Ajar Imunologi ini terdiri dari 9 bab yang masing-
masing memiliki capaian pembelajaran mata kuliah
dalam rangka mendukung capaian pembelajaran lulusan
program studi. Tipa Bab terdiri dari Capaian
pembelajaran, materi , tugas, rangkuman dan referensi.
Pada saat menggunakan buku ini, mulailah dengan
membaca capaian pembelajaran lulusan, capaian
pembelajaran mata kuliah.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan modul ini. Oleh karena itu, saran baik dari
tutor maupun dari mahasiswa akan kami terima dengan
terbuka. Semoga buku ini dapat bermanfaat, dan
membantu mahasiswa dalam pembelajaran Imunologi.
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I KONSEP DASAR IMUNOLOGI
Titin Supriatin.S.Kep.,Ns.,M.Kep
A. SEJARAH
Imunologi berasal dari Bahasa latin yang
terdiri dari dua kata yaitu immunis da logos.
Immunis yang berarti kebal atau bebas, logos
berarti ilmu. Kata immunis dahulu dipakai oleh
raja Romawi untuk menyebut warganya yang
bebas.
Imunologi sudah dikenal sejak ratusan
tahun sebelum masehi, Raja Mithridates
Eupatoris VI seorang Raja Yunani pada 132-63 SM
sebagaia orang pertama ahli imunologi di dunia.
Saat itu Raja Mithridates Eupatoris VI merasa
cemas pada masa pemerintahannya musuh-
musuh yang tidak nampak olehnya suatu saat
akan membunuhnya dengan menggunakan racun.
Sang raja mengebalkan dirinya dengan mencari
segala jenis racun yang ada pada saat itu dan
meminumnya sedikit demi sedikit sehingga
1
dirinya kebal terhadap racun tersebut. Upaya
pengebalan diri terhadap racun yang dilakukan
Raja Yunani ini dinamakan mithridatisme.
Sebutan imunitas pertama kali diketahui
Ketika terjadi wabah di Athena tahun 430 SM.
Thuchydides ahli sejarah perang Peloponnesia
menggambarkan terjadinya wabah di Athena,
orang yang sembuh dari penyakit sebelumnya
mengobati penyakit tanpa terkena penyakit
sekali lagi.
Pada abad ke-12, bangsa Cina juga
menerapkan pengetahuan yang sama untuk
menanggulangi wabah penyakit cacar. Cara
pencegahan penularan ini kemudian dikenal
dengan istilah variolasi.
Pada tahun 1798, Edward Jenner
mengamati bahwa seseorang dapat terhindar
dari infeksi variola secara alamiah, bila ia telah
terpajan sebelumnya dengan cacar sapi (cow
pox). Sejak saat itu, mulai dipakai vaksin cacar
walaupun pada waktu itu belum diketahui
bagaimana mekanisme yang sebenarnya terjadi.
Memang imunologi tidak akan maju bila tidak
diiringi dengan kemajuan dalam bidang
teknologi. Dengan ditemukannya mikroskop
maka kemajuan dalam bidang mikrobiologi
meningkat dan mulai dapat ditelusuri penyebab
penyakit infeksi.
Penelitian ilmiah mengenai imunologi baru
dimulai setelah Louis Pasteur pada tahun 1880
2
menemukan penyebab penyakit infeksi dan
dapat membiak mikroorganisme serta
menetapkan teori kuman (germ theory)
penyakit. Penemuan ini kemudian dilanjutkan
dengan diperolehnya vaksin rabies pada manusia
tahun 1885.
B. DEFINISI
Imunologi merupakan salah satu bidang
ilmu yang mempelajari tentang mekanisme dari
seluler, molecular, serta fungsional system
imun. Imunologi berakar dari Imunitas atau
kekebalan dari penyakit tertentu akibat adanya
rangsangan molekul asing dari luar maupun dari
dalam tubuh hewan atau manusia, baik yang
bersifat infeksius maupun kemudian juga
termasuk non-infeksius. Imunologi juga berarti
ilmu yang mempelajari kemampuan tubuh untuk
melawan atau mempertahankan dari serangan
patogen atau organisme yang menyebabkan
penyakit.
Tubuh memerlukan imunitas atau
kekebalan agar tidak mudah atau terhindar dari
serangan penyakit yang dapat menghambat
fungsi organ tubuh. Salah satu bentuk dari
imunitas yaitu adanya antibodi yang di hasilkan
oleh sel-sel leukosit atau sel darah putih. Sel
darah putih bekerja dengan cara mengikat dan
kemudian menghancurkan sel-sel patogen atau
penyebab penyakit.
3
Immunitas (imunitas) selanjutnya dipakai
untuk suatu pengertian yang mengarah pada
perlindungan dan kekebalan terhadap suatu
penyakit, dan lebih spesifik penyakit infeksi.
Konsep imunitas yang berarti perlindungan dan
kekebalan sesungguhnya telah dikenal oleh
manusia sejak jaman dahulu.
Sistem imun adalah system dalam tubuh
manusia yang berperan dalam pertahanan diri,
sementara itu imunologi merupakan cabang ilmu
yg focus mempelajari tentang fungsi pertahan
tubuh, antigen, antibody. Ilmu ini menekankan
peran imunitas, baik terhadap reaksi yang
terjadi pada tubuh kita. Mulai dari reaksi
hieprsensitif, penolakan jaringan ataupun alergi.
Istilah inilah yang kemudian lebih sering dikenal
dengan isltilah system imun.
4
terserang penyakit tertentu salah satunya mudah
terkena kanker.
Berikut adalah organ yang paling
berpengaruh dalam system imun. Sistem imun
merupakan system pertahan diri tubh kita
terhadap infeksi. Baik itu infeksi yang sifatnya
makromolekul asing sampai serangan organisme
seperti parasite, virus dan bakteri. kekebalan
imun di dalam tubuh berfungsi untuk melawan
bakteri dan virus jahat yang masuk di dalam
tubuh. Peran imun juga mampu meminimalisir
bakteri yang berkembang menjadi tumor. Imun
juga mampu melawan protein tubuh dan molekul
lain yang ada pada gangguan autoimun.
Secara garis besar, organ dan jaringan
system imun manusia terdiri dari:
1. Adenoid
Adenoid terletak di belakang saluran
rongga hidung. Bentuknya berupa kelenjar.
Adenoid berfungsi melawan infeksi dan
kuman yang masuk melalui hidung dan mulut.
Kelenjar adenoid yang tidak mampu
mengatasi virus dan bakteri yang masuk,
dapat menimbulkan pembengkakan yang
disebut dengan adenoitis.
2. Sumsum Tulang Belakang
Sumsum tulang belakang adalah organ
tempat memproduksi sel darah baru. sumsum
tulang belakang termasuk ke dalam jaringan
limfatik, karena mampu memproses limfosit
5
muda, menjadi limfosit T dan limfosit B.
Pada sumsum tulang banyak ditemukan sel
imun yang dihasilkan oleh sel induk tulang
belakang.
3. Kelenjar Limfa (Getah Bening)
Kelenjar limfa fungsinya membawa
limfosit ke bagian organ limfoid dan aliran
darah. Kelenjar getah bening mengalir ke
kelenjar getah kapiler. Getha kapiler
memiliki lapisan yang tipis dan memiliki
banyak lubang kecil. Lubang kecil inilah yang
menjadi jalan gas, nutrisi dan air lewat
masuk disekitarnya. Ada beberapa titik yang
sering digunakan getah bening berkumpul,
yaitu dileher, selangkangan, para-aorta dan
di axilae. Tempat-tempat jika terjadi
penumpukan memunculkan benjolan hingga
ke permukaan kulit.
4. Peyers Patches
Peyers Patches terletak di usus halus.
Peyers Patches sebenarnya masih termasuk
jaringan limfoid.
5. Pembuluh Limpa
Limpa terletak di rongga perut. Di
pembuluh limpa terdapat cairan yang disebut
cairan limpa yang berasal dari cairan
ekstrasel (Cairan darah yang meresap dari
kapiler darah). Sama seperti usus, cairan
limpa juga mengandung lemak. Lemak yang
6
terdapat di usus diangkut oleh pembuluh
limpa.
Pembuluh limpa memiliki cabang halus
yang bagian ujungnya terbuka. Lokasinya di
sela- sela otot. Bentuk pembuluh limpa mirip
dengan vena yang memiliki katup banyak.
Pembuluh limpa terbagi menjadi 2 bagian,
yaitu limpa kanan (Dada kanan) dan limpa
kiri (Dada kiri). Fungsi pembuluh limpa kanan
sebagai penampung cairan limpa dari kepala,
leher, dada, paru, dan lengan sisi kanan.
Sebaliknya, pembuluh limpa kiri menampung
cairan limpa dari kepala, kemudian ke leher,
dada, lengan, dan tubuh bagian bawah sisi
kiri.
6. Glandula Thymus
Glandula thymus berfungsi pada proses
sekresi hormone thymopoetin dan thymosin.
Dua hormon inilah yang akan mempengaruhi
perkembangan limfosit. Limfosit terbagi
menjadi Limfosit T Sitotoksik, Limfosit T
Helper, Limfosit B, dan Sel plasma. Hasil
produksi glandula thymus akan mematurasi
(mematangkan) Limfosit T ke jaringan Limfa
lainnya.
Limfosit T Sitotoksik berfungsi
memonitoring sel tubuh. Limfosit T Sitotoksik
akan merespon lebih aktif Ketika ada antigen
permukaan yang bersifat abnormal. Sel ini
akan menyerang dan menghancurkan sel
7
abnormal yang masuk. Sementara itu,
Limfosit T Helper akan bekerja lebih agresif
Ketika dirangsang dengan antigen presenting
sel (semacam makrofag). Disinilah T Helper
melepaskan factor yang mendorong
proliferasi sel Limfosit B. Ketika Limfosit B
berubah menjadi sel memori dan sel plasma,
ia akan memproduksi antibody. Lain halnya
dengan limfosit, sel plasma memiliki
reticulum endoplamik kasar yang banyak.
Reticulum endoplamik kasar inilah yang
bekerja untuk memproduksi antibody.
7. Nodus Limfatikus
Nodus Limfatikus atau Limfonodi
mengandung makrogfag dan limfosit dalam
jumlah banyak. Fungsi Limfatikus sebagai
kekebalan tubuh yang melawan
mikroorganisme. Lokasi Limfatikus di system
Limfatik.
8. Tonsil (Amandel)
tonsil adalah organ yang paling sering
memperoleh paparan benda asing dan
potagen. Tonsil atau yang sering disebut
amandel, terletak di kerongkongan sebelah
kiri dan kanan belakang rongga mulut. Tonsil
merupakan bagian jaringan kekebalan tubuh
dari serangan benda asing dan potagen
berbahaya.
Benda asing dan potagen yang masuk
kemudian dimasukkan ke sel Limfoit. Oleh
8
sebab itu, imun tonsil sangat penting,
terutama pada anak-anak. Struktur
imunologis tonsil paling besar ditemukan
pada anak-anak usia 4 sampai 10 tahun.
Sementara itu, pada usia 60 tahun ke atas,
tonsil mengalami penurunan dan fungsinya
akan digantikan dengan jaringan lain.
Anak di bawah usia 6 tahun, terutama
anak-anak balita, sering memasukkan
berbagai macam ke dalam mulutnya. Untuk
menjaga ketahanan tubuh, kelenjar tonsil
pada batita memproduksi lebih banyak sel
imun. Oleh karenanya, meskipun balita
sering memasukkan benda asing ke dalam
mulut, si anak dapat terbebas dari penyakit.
Apabila terjadi gangguang akibat peradangan
tonsil, anak jatuh demam dan sulit menelan
makanan.
9. Limfosit
Limfosit merupakan jenis sel darah
putih yang berfungsi melawan infeksi. Sel
darah ini bekerja dan merespon benda asing
yang ada di dalam darah. Limfosit memiliki
dua komponen, yaitu pulpa merah dan pulpa
putih. Pulpa merah terdapat di sinus dan
berfungsi sebagai organ filtrasi, yaitu
menghancurkan darah yang sudah tua dan
rusak dengan bantuan makrofag. darah tua
dan darah rusak jika dibiarkan memiliki
kecenderungan untuk merusak.
9
Pada pulpa putih terdapat limfosit dan
makrofag. Benda asing yang masuk di pulpa
putih dapat menstimulasi limfosit. Limfosit
di dalam pulpa putih berfungsi untuk
mengidentifikasi antigen. Pulpa putih juga
berfungsi memproduksi antibody untuk
melawan infeksi dan mengaktifkan respon
imunologi terhadap antigen di dalam darah.
Pada dasarnya, semua jenis sel darah,
termasuk imun seperti limfosit dibentuk di
sumsum tulang belakang. Dari hasil proses
tersebut Sebagian menjadi tipe lain, dan
Sebagian lagi menjadi sel imun disebut
fagosit.
D. DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja KG dan Rengganis Iris (2010).
Imunologi Dasar. Universitas Indonesia
Press. Jakarta
10
Maurice R. G. O’Gorman and Albert D.
Donnenberg (2008). Handbook of Human
Immunology. 2nd. by Taylor & Francis
Group, LLC CRC Press, an informa
business
11
12
BAB II SISTEM IMUNITAS NON
SPESIFIK
Dodik Luthfianto, S.Pd., M.Si
A. Tujuan pembelajaran :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian sistem
imunitas non spesifik
2. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme sistem
imunitas non spesifik
3. Mahasiswa mampu menjelaskan komponen sistem
imunitas non spesifik
4. Mahasiswa mampu menyebutkan bagian sistem
imunitas non spesifik
B.Materi
1. Pengetian Sistem imunitas Non Spesifik
Tubuh manusia memiliki suatu sistem
pertahanan terhadap benda asing dan patogen
misalnya bakteri, virus, protozoa, dan parasite
pertahanan ini disebut sebagai sistem imunitas.
Komponen-komponen sistem imunitas bermacam-
macam dan terdapat dalam jaringan limforetikuler
13
yang letaknya tersebar diseluruh tubuh diantaranya
adalah: sumsum tulang, kelenjar limfe limpa, timus,
saluran nafas, saluran pencernaan, dan organ
lainnya.
14
walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar
zat tersebut.
15
Selain pertahanan berupa fisik dan kimiawi
dalam sistem imunitas non spesifik juga
membutuhkan pertahanan lapis kedua yang
dilakukan oleh berbagai jenis protein yang larut
didalam darah diantaranya adalah : mediator
inflamasi, sitokin, sel natral killer (NK), sel dendrit,
makrofag dan neutrophil.
16
atau debu) yang terperangkap dari udara
pernapasan melalui sistem transportasi
mukosiliaris. Mekanisme batuk dan
bersin termasuk kedalam pertahanan fisik
dalam menghadapi invas patogen dengan
batuk dan bersin merupakan suatu usaha
untuk mengeluarkan benda asing yang masuk
ke dalam tubuhnya melalui sistem
pernapasan. Pertahanan fisik berperan dalam
melindungi tubuh dari patogen yang berasal
dari lingkungan.
b. Pertahanan biokimia
Pertahanan biokimia dalam sistem
imunitas non spesifik berupa zat-zat kimia
yang akan mengeliminasi mikororganisme
yang lolos dari pertahanan fisik/ mekanik.
Berbagai macam bentuk pertahanan ini
antara lain : pH asam yang disekersikan
lambung, kelenjar keringat, serta ASI dan
saliva. ASI mengandung antibodi yang dapat
melindungi bayi dari infeksi.
c. Pertahanan humoral
Pertahanan humoral melibatkan
molekul-molekul yang laut untuk
megeliminasi dan melawan mikroba yang
berhasil masuk kedalam tubuh. Pertahanan
humoral akan bantyak muncul pada bagian
tubuh yang mengalami . dilalui oleh mikroba.
17
Contoh dari pertahana humoral adalah
interferon dan sistem komplemen.
d. Pertahanan seluler
Dalam peertahanan seluler banyak
melibatkan sel-sel sistem imun untuk
melawan mikroorganisme. Sel-sel tersebut
banyak ditemukan dalam sirkulasi darah dan
jaringan. .Contoh sel yang dapat ditemukan
dalam sirkulasi adalah neutrofil, eosinofil,
basofil, monosit, sel T, sel B, sel NK, sel
darah merah, dan trombosit. Contoh sel-sel
dalam jaringan adalah eosinofil, sel mast,
makrofag, sel T, sel plasma, dan sel NK
(Natural Killer).
a. Sel epitel
Sel epitel merupakan bagian pertama
jika terjadi infeksi baik oleh antigen maupun
mikroorganisme. Peranan dari sel epitrl ini
adalah sebagai perlindungan secara kimiawi,
mekanik dan biologis. Sel epitel banyak
terdapat pada kulit, saluran pencernaan,
paru-paru, mata hidung dan mulut.
18
b. Sel fagosit
Fagositosis merupakan istilah secara
harfiah adalah memakan dan dapat
dianalogikan dengan proses pinositosis.
Fagositosis merupakan suatu proses dan cara
untuk memekan bakteri atau benda asing
yang dilakuakn dimanasetelah benda asing
melekat dipermukaan makrofag, maka
makrofag akan membentuk sitoplasma
melekuk kedalam untuk membungkus bakteri
dan benda asing tersebut .
19
oleh sel darah putih. Jenis-jenis sel darah
putih yang dapat melakukan fagositosis
adalah neutrofil, monosit, eosinofil, dan sel
pembuluh alami. Jika sel telah dirusak oleh
antigen maka sel tersebut akan mengirimkan
sinyal kimiawi yang menarik sel fagosit untuk
datang. Sel fagosit akan memasuki jaringan
yang terinfeksi lalu menelan dan mencerna
semua mikroba yang ada.salah satu contoh
sel fagpsit adalah makrofag. Makrofag
merupakan sel fagosit mononuclear yang
fungsi utamanya adalah fagositosis
mikroorganisme dan kompleks molekul asing
lainnya.
20
c. Sel eosinophil
Eosinofil merupakan salah satu bagian
dari sel darah putih yang berfungsi untuk
melindungi diri dari parasit dan penyakit,
dan juga bertanggung jawab untuk
memunculkan reaksi alergi. Salah satu jenis
dari sel darah putih adalah eosinofil.
Eosinofil dapat ditemukan dalam semua
jaringan di seluruh tubuh, dan dapat hidup
selama beberapa minggu sebelum sumsum
tulang belakang kembali mensuplai sel darah
putih ke tubuh.
21
rusak, dan mengatur pelepasan zat kimia
pada saat menyerang bakteri.
d. Sel mast
Mastosit sangat mirip dengan granulosit
basofil, salah satu golongan sel darah
putih dan membuat banyak spekulasi bahwa
mastosit dan basofil berasal dari jaringan
yang sama Basofil meninggalkan sumsum
tulang setelah dewasa sedangkan mastosit
teredar dalam bentuk yang belum matang.
Sel mast banyak mengandung granula yang
mengandung histamin dan heparin yang
berperan langsung dalam reaksi alergi dan
hipersensivitas
22
e. Sel Natural killer (NK)
Sel natural killer merupakan bagian dari
respon bawaan yang termasuk dalam kelas
limfosit. Sel natural killer atau sel NK
merupkan bagian penting dari sistem imun
seseorang. Sel natural killer merupakan
turunan limfosit dan bagian dari sel darah
putih yang bisa membantu membunuh sel
berbahaya dalam tubuh. Jumlah sel NK yang
dimiliki manusia sekitar 10-15% dari seluruh
limfosit perifer darah. Sel natural killer
diproduksi di sumsum tulang belakang,
kelenjar timus, tonsil, dan juga kelenjar
limpa. Sel-sel ini juga disebut sel pembunuh
alami karena sel-sel ini dapat bertindak
segera tanpa perlu aktivasi. Sel target
(kanker atau sel yang terinfeksi virus) akan
mengalami kematian. Jumlah sel NK dalam
tubuh hanya sekitar 10-15% dari semua
limfosit dalam darah.
23
cara mencegah kanker. Karena sel ini akan
agresif menyerang sel-sel abnormal dan
mencegah sel melakukan pembelahan diri
masif atau proliferasi dan proses pelepasan
diri dari koloni untuk menyebar atau
metastasis. Sel Natural Killer memiliki
kemampuan dalam membedakan sel sehat
dan sel tidak normal. Sel ini dapat dengan
efektif membaca DNA nukleus dan
memastikan apakah sel dihadapannya dalah
sel sehat atau sel abnormal. Cara kerja sel
natural killer terbagi menjadi 5 tahapan
yaitu : 1). sel Natural Killer bekerja
berkeliling mengikuti saluran limfosit
menuju seluruh bagian tubuh. sel ini cukup
peka terhadap sinyal keberadaan sel kanker
dalam tubuh. Tidak hanya sel kanker,
sel Natural Killer juga melawan serangan
akibat bakteri, virus dan mikroba lain. 2).
Sel Natural Killer membaca sinyal
keberadaan sel yang tidak sebagaimana
biasa/ abnormal. Sel dapat mengidentifikasi
dari senyawa yang diproduksi, perilakunya,
formasi serta bentuknya, hingga komponen
protein yang ada. 3). Sel Natural Killer akan
mendekat pada sel asing untuk membaca
nukleus dari sel asing tersebut. Apabila sel
asing tersebut menunjukan jejak DNA yang
berbeda dari sel tubuh manusia
bersangkutan, maka sel Natural Killer akan
24
membacanya sebagai sel yang harus
dimatikan. 4). Sel Natural Killer membentuk
kelompok hingga muncul semacam koloni
yang menyerang masif dan terarah pada sel
abnormal tersebut. Sel akan menyerang
membran dari sel asing tersebut, kemudian
secara khusus mengincak nukleus sel hingga
sel asing ini meledak dan hancur. 5).
Sel Natural Killer juga akan melepas
semacam hormon yang bekerja memberi
sinyal bagi sel-sel sistem imun lain untuk
turut menyerang sel asing tersebut. Semakin
kuat sel asing yang dihadapi, semakin banyak
pula hormon dilepas dan semakin besar
koloni sistem imun yang akan dihadirkan.
f. Protein Komplemen
Komplemen merupakan sistem yang
terdiri atas sejumlah protein yang berperan
dalam pertahanan hospes, baik dalam sistem
imun nonspesifik maupun sistem imun
spesifik. Aktivasi komplemen merupakan
usaha tubuh untuk menghancurkan antigen
asing. Komplemen merupakan salah satu
sistem enzim serum yang berfungsi antara
lain untuk lisis bakteri, oposonisasi yang
meningkatkan fagositosis partikel antigen,
mengikat reseptor komplemen spesifik pada
sel sistem imun sehingga memicu fungsi sel
spesifik untuk memproduksi antibodi.
25
Komplemen berfungsi mengaktifkan
fagosit dan membantu destruktif bakteri dan
parasit karena komplemen dapat
menghancurkan sel membran bakteri.
Komplemen merupakan faktor kemotaktik
yang mengarahkan makrofag ke tempat
bakteri, komponen yang mengendap pada
permukaan bakteri sehingga memudahkan
makrofag untuk mengenal dan
memfagositosis (opsonisasi).
26
selain bermanfaat bagi pertahanan tubuh,
sebaliknya juga dapat membahayakan
bahkan mengakibatkan kematian
27
berikatan dengan sel mast dan menginduksi
terjadinya degranulasi dengan pelepasan
mediator-mediator vasoaktif seperti
histamin
C. Rangkuman
28
D. Tugas
1. Jelaskan sifat dari system imunitas non spesifik!
2. Jelaskan mekanisme pertahanan system imunitas
non spesifik dalam menghadapi paparan dari
antigen/ mikroorganisme !
3. Gambarkan proses fagositosis mikroba oleh sel
makrofag !
4. Jelaskan tahapan kerja dari sel Natural killer !
5. Jelaskan 3 tahap alur aktifasi system komplemen
!
E. Referensi
29
Siagian, Ernawati. (2018). Immunology. Jakarta :
Gramedia.
F. Glosarium
Patogen : mikroorganisme parasit yang dapat
menyebabkan penyakit pada inangnya
seperti tubuh manusia
Inflamasi : reaksi kekebalan alami yang dimiliki
tubuh untuk melawan berbagai serangan
penyakit atau mikroorganisme jahat
Sitokin : molekul peptida atau protein yang
berfungsi dalam komunikasi antar sel.
sel natural killer : turunan limfosit yang mempunyai
andil sangat besar dalam sistem imun
bawaan
dendrit : bagian neuron yang berfungsi menangkap
rangsangan dalam bentuk impuls dan
menghantarkannya ke akson
makrofag : sel fagosit terpenting dalam sistem imun
yang berasal dari sel monosit dewasa
yang menetap di jaringan
neutrophil : salah satu jenis sel darah putih yang
ada di dalam tubuh manusia
antigen : zat yang dapat merangsang sistem
kekebalan tubuh untuk menghasilkan
antibodi sebagai bentuk perlawanan
30
mukosa : apisan kulit dalam, yang terutup pada
epitelium dan fungsinya sendiri terlibat
dalam proses absorpsi dan proses sekresi.
Antibodi : zat kimia yang beredar di aliran darah dan
termasuk dalam bagian dari sistem
imunitas atau kekebalan tubuh
Interferon: potein alami dari sistem kekebalan
tubuh manusia yang berfungsi melawan
penyebab penyakit (patogen), seperti
bakteri dan virus,
Eosinophil : Salah satu jenis sel darah putih yang dari
kategori granulosit yang berperan
dalam sistem kekebalan dengan
melawan parasit multiselular dan
beberapa infeks
Basofil : salah satu jenis sel darah putih yang
memiliki peran penting sebagai bagian
dari sistem kekebalan tubuh. berperan
penting dalam menghasilkan reaksi
peradangan untuk melawan infeksi dan
turut berperan dalam munculnya reaksi
alergi.
Monosit : Salah satu jenis sel darah putih yang
berfungsi untuk melawan infeksi dan
meningkatkan kekebalan tubuh
Fagositosis : proses seluler dari fagosit dan protista
yang menggulung partikel padat dengan
membran sel dan membentuk fagosom
internal.
31
Proliferasi : Pertumbuhan dan pertambahan sel yang
sangat cepat (dalam keadaan abnormal)
Inflamasi : eaksi kekebalan alami yang dimiliki tubuh
untuk melawan berbagai serangan
penyakit atau mikroorganisme jahat.
Lobus : bagian korteks serebri yang terletak di
belakang dan berhubungan dengan
penafsiran rangsangan visual.
Hipersensifitas : reaksi dari sistem kekebalan yang
terjadi saat jaringan tubuh sehat
mengalami cidera atau luka.
Vasodilatasi : merupakan pembesaran dari
pembuluh darah di dalam tubuh.
Histamin : salah satu zat kimia yang diproduksi saat
tubuh alami alergi
Lisis : peristiwa pecah atau rusaknya integritas
membran sel dan menyebabkan
keluarnya organel sel.
Anaphylatoxins : fragmen protein yang terbentuk
saat sistem komplemen teraktivasi dan
terdiri dari C3a, C4a, C5a
G. Indeks
Patogen 1, 3, 5, 6, 7, 8, 10
Inflamasi 2, 5, 6, 9
Sitokin 2, 5
sel natural killer 6, 7, 10
32
dendrit 16
makrofag 16, 20, 19, 22
neutrophil 16
antigen 16, 17, 18, 19, 22, 24
mukosa 17
antibody 19, 22
interferon 17
eosinophil 19, 24
basophil 19, 20
monosit 17, 18
fagositosis 18, 19, 22
proliferasi 19, 21
lobus 19
vasodilatasi 20
histamin 20, 23
lisis 22
anaphylatoxins 23
33
34
BAB III SISTEM IMUN ADAPTIF
Cut Indriputri, S.Tr.AK., M.Imun
35
disebut antigen. Respon imun adaptif yang efektif
melibatkan dua kelompok sel utama, yaitu sel limfosit
dan produknya (antibodi), dan antigen-presenting cell
(APC).
1. Jenis Imunitas Adaptif
Imunitas adaptif dibagi menjadi dua, yaitu Imunitas
Humoral dan Imunitas yang Dimediasi oleh Sel (Cell-
Mediated Immunity).
a. Imunitas Humoral
Imunitas ini dimediasi oleh protein-protein
yang disebut antibodi. Antibodi diproduksi oleh sel
plasma, sel hasil diferensiasi limfosit B. Antibodi
yang disekresikan masuk ke dalam sirkulasi dan
cairan mukosa, kemudian menetralisasi dan
mengeliminasi mikroba ekstraselular dan toksinnya.
b. Cell-mediated immunity
Dimediasi oleh jenis limfosit T, yaitu limfosit T
helper dan limfosit T sitotoksik. Limfosit T helper
mengaktivasi sel fagosit untuk menghancurkan
mikroba yang sudah dicerna sebelumnya dan
limfosit T sitotoksik berperan mengeliminasi sel
yang terinfeksi mikroba intraselular (seperti virus
dan bakteri tuberkulosis).
36
Imunitas Cell-mediated
Humoral Immunity
Mikroba
Respon
limfosit
Limfosit T Limfosit T
Limfosit B Helper Sitotoksik
Antibodi
sekresi
Mekanisme
efektor
37
2. Sumber Imunitas Adaptif
Imunitas seseorang dapat diperoleh secara aktif
maupun pasif. Imunitas aktif adalah imunitas yang
diperoleh melalui aktivasi sel-sel imun. Hal ini
dapat terjadi melalui infeksi (secara alami), atau
melalui vaksinasi (secara buatan). Imunitas pasif
adalah imunitas yang diperoleh tanpa perlu aktivasi
sel-sel imun. Imunitas dapat langsung diperoleh
melalui transfer antibodi, baik secara alami
(melalui ibu ke anak) atau buatan (transfer antibodi
monoklonal).
Antibodi Antibodi
Infeksi Vaksinasi maternal monoklonal
38
3. Spesifisitas Imunitas Adaptif
Imunitas adaptif memiliki spesifisitas yang
sangat tinggi. Spesifisitas atau kemampuan
mengenali antigen yang dimiliki ini sangat unik.
Walaupun setiap limfosit hanya memiliki satu jenis
reseptor epitop (TCR atau BCR), mereka mampu
mengenali dan membedakan setiap jenis patogen
yang memiliki begitu banyak molekul antigen, di
mana masing-masing dapat memiliki beberapa
epitop.
Dasar spesifisitas dan keragaman yang luar
biasa ini adalah bahwa limfosit mengekspresikan
reseptor yang terdistribusi secara klonal untuk
antigen, yang berarti bahwa populasi total limfosit
terdiri dari banyak klon yang berbeda (masing-
masing terdiri dari satu sel dan turunannya), dan
setiap klon mengekspresikan reseptor antigen yang
berbeda dari reseptor klon lainnya.
4. Mekanisme Memori
Salah satu keunikan imunitas adaptif adalah
dapat mengembangkan mekanisme memori. Istilah
memori muncul karena sel-sel ini mampu mengingat
paparan antigen sebelumnya. Ketika terjadi
paparan infeksi, imunitas adaptif akan mempelajari
dan mengingat patogen penyebab infeksi tersebut,
sehingga dapat memberikan pertahanan dan
perlindungan jangka panjang terhadap infeksi
berulang. Imunitas adaptif meningkatkan respons
39
yang lebih besar dan lebih efektif terhadap paparan
berulang untuk antigen yang sama.
Respon terhadap paparan pertama, disebut
respon imun primer, diperankan oleh limfosit
naif, yaitu limfosit yang pertama kali terpapar
dengan antigen. Istilah naif mengacu pada sel-sel
yang secara imunologis belum pernah terpapar
oleh antigen sebelumnya. Paparan berikutnya
dengan antigen yang sama menyebabkan respons
yang disebut respons imun sekunder. Respon ini
biasanya lebih cepat, lebih besar, dan lebih
mampu mengeliminasi antigen dibanding respons
primer. Respons sekunder adalah hasil aktivasi
limfosit memori, yang merupakan sel berumur
panjang yang diinduksi selama respons imun
primer.
Memori juga merupakan salah satu alasan
mengapa vaksin memberikan perlindungan
jangka panjang terhadap infeksi. Vaksinasi
terhadap virus dapat dilakukan menggunakan
virus aktif yang dilemahkan, atau bagian
tertentu dari virus yang tidak aktif. Baik virus
utuh maupun partikel virus yang dilemahkan
sebenarnya tidak dapat menyebabkan infeksi
aktif. Sebaliknya, vaksin ini hanya meniru
keberadaan virus aktif untuk menstimulasi
respons imunitas. Dengan mendapatkan
vaksinasi, tubuh seolah terpapar pada suatu
antigen virus, sehingga menghasilkan antibodi
40
khusus, dan memperoleh memori tentang virus
tersebut, tanpa perlu mengalami sakit.
Beberapa gangguan dalam sistem memori imunologi
dapat menyebabkan penyakit autoimun. Mimikri
molekuler dari self-antigen oleh patogen infeksius,
seperti bakteri dan virus, dapat memicu penyakit
autoimun karena respon imun reaktif silang terhadap
infeksi. Salah satu contoh organisme yang menggunakan
mimikri molekuler untuk bersembunyi dari pertahanan
imunologis adalah infeksi Streptococcus.
Sel plasma
Respon
anti-X
Sel
Titer antibodi serum
sekunder
plasma
Sel
Sel B plasma
memori
Sel B Respon
naif anti-X
primer
Minggu ke
41
5. Respon Imun Adaptif terhadap Mikroba
Jika sistem imun innate tidak mampu dalam
menghadapi paparan mikroba, respon imun adaptif
akan diaktivasi. Dalam hal ini sistem imun innate dan
adaptif saling bekerjasama. Oleh sebab itu,
mekanisme respon imun adaptif dimulai dari
presentasi antigen oleh APC kepada limfosit T naif
(rekognisi antigen); aktivasi limfosit; eliminasi antigen
melalui imunitas humoral dan selular; regulasi respon
imun (homeostasis); dan mekanisme memori.
Diferensiasi
Imunitas
humoral
Limfosit T
naif
Limfosit B
naif
42
Gambar3. 4. Tahapan respon imun adaptif terhadap
mikroba. Respons imun adaptif terjadi dalam beberapa
langkah. Langkah pertama adalah rekognisi (pengenalan)
antigen pada titik waktu 0 yang mengarah pada aktivasi sel T
naif atau sel B yang secara langsung mengikat antigen. Fase
efektor terdiri dari aktivasi limfosit dan eliminasi antigen yang
berlangsung selama lebih kurang 14 hari. Ketika antigen telah
dimusnahkan, fase kontraksi (homeostasis( respon imun
dimulai, sebagian besar sel B dan T mati oleh apoptosis dan
hanya sedikit sel berumur panjang yang bertahan dan
memberikan respon imun memori. (Sumber: Abbas et al.,
2016)
a. Rekognisi antigen
Sebelum sampai pada tahap eliminasi, suatu
patogen harus dikenali dahulu, baik struktur
penyusunnya, maupun antigennya. Hal ini
dimaksudkan agar respon yang dihasilkan lebih
spesifik dan efektif. Ketika terjadi paparan mikroba
(patogen), sel-sel penyaji antigen (APC) khususnya
sel dendritik residen segera menangkap patogen
tersebut dan membawanya ke organ limfoid
sekunder untuk dipresentasikan ke limfosit T naif.
Antigen protein mikroba diproses dalam sel
dendritik untuk menghasilkan peptida yang akan
dipresentasikan pada permukaan sel yang terikat
43
pada molekul MHC. Sel T naif akan mengenali
kompleks peptida-MHC ini, dan ini adalah langkah
pertama dalam inisiasi respons sel T. Di sisi lain,
Protein antigen yang sama juga diproses oleh
limfosit B untuk dipresentasikan ke sel T. Limfosit B
juga dapat memproses antigen polisakarida dan
antigen nonprotein lainnya yang tidak dapat
dilakukan APC dan sel T.
b. Aktivasi limfosit
Sel dendritik aktif mampu
mengekspresikan molekul kostimulator dan
mensekresikan sitokin yang keduanya diperlukan,
selain antigen, untuk menstimulasi proliferasi dan
diferensiasi sel T. Proses ini melibatkan tiga sinyal
utama, yaitu sinyal 1 (aktivasi); sinyal 2
(kostimulasi); dan sinyal 3 (sekresi sitokin).
Sinyal ini memastikan bahwa respons
imun adaptif benar diinduksi oleh mikroba dan
bukan oleh zat yang tidak berbahaya. Sinyal yang
dihasilkan dalam sel T oleh keterlibatan reseptor
antigen dan reseptor kostimulator menyebabkan
transkripsi berbagai gen, yang menyandikan sitokin,
reseptor sitokin, molekul efektor, dan protein yang
mengontrol kelangsungan hidup sel.
Ketika diaktifkan oleh antigen dan
kostimulator di organ limfoid, sel T naif kemudian
mengeluarkan sitokin yang berfungsi sebagai
growth factor dan merespons sitokin lain yang
disekresikan oleh sel dendritik. Kombinasi sinyal
44
(antigen, kostimulasi, dan sitokin) merangsang
proliferasi (ekspansi klon) sel T dan diferensiasinya
menjadi sel T efektor.
Sitokin
Sinyal 3
Sinyal 1
Sinyal 2
Sel T Naif
Sel Dendritik
45
c. Eliminasi antigen
Dalam mengeliminasi anitgen, sistem imun
adaptif mengembangkan dua mekanisme utama,
yaitu cell-mediated immunity dan imunitas
humoral. Imunitas humoral diperankan oleh
antibodi sementara cell-mediated immunity
diperankan oleh sel T.
1) Cell-mediated immunity
Beberapa sel T efektor yang dihasilkan di
organ limfoid dapat bermigrasi kembali ke
dalam darah dan kemudian ke tempat mana
pun di mana antigen (atau mikroba) berada.
Sel-sel efektor ini diaktifkan kembali oleh
antigen di tempat infeksi dan melakukan
fungsinya untuk mengeliminasi mikroba. Sel T
helper dapat berdiferensiasi menjadi subset sel
efektor yang berbeda dengan fungsi yang
berbeda. Beberapa dari sel T helper merekrut
neutrofil dan leukosit lain ke tempat infeksi; sel
T helper lainnya mengaktifkan makrofag untuk
membunuh mikroba yang difagosit; dan yang
lainnya tetap berada di organ limfoid untuk
membantu aktivasi limfosit B untuk
memproduksi antibodi. Selain sel T hepler, sel
T sitotoksik (CTL) berperan membunuh secara
langsung sel yang terinfeksi atau mengandung
mikroba di sitoplasma. Dengan menghancurkan
sel yang terinfeksi, CTL menghilangkan
reservoir infeksi.
46
Berikut peran limfosit T dalam
mengeliminasi antigen;
a) Merekrut netrofil dan leukosit lain ke
tempat infeksi;
b) Mengaktifkan makrofag untuk
membunuh mikroba yang difagosit;
c) Membantu aktivasi limfosit B untuk
memproduksi antibodi;
d) Membunuh sel yang terinfeksi virus
oleh sel T sitotoksik.
2) Imunitas Humoral
Imunitas humoral diperankan oleh
antibodi, produk dari limfosit B. Pada saat
aktivasi, sel B berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi sel plasma yang mensekresikan
berbagai kelas antibodi (IgM, IgG, IgE, IgA, IgD)
yang memiliki fungsi berbeda.
Banyak antigen non protein, seperti
polisakarida dan lipid, memiliki beberapa
determinan antigenik (epitop) identik yang
mampu bereaksi secara langsung dengan
reseptor antigen sel B dan memulai aktivasi sel
B tanpa memerlukan bantuan sel T. Antigen
protein biasanya terlipat dan tidak
mengandung epitop identik, sehingga tidak
dapat mengikat reseptor antigen secara
bersamaan, sehingga respons sel B terhadap
antigen protein memerlukan bantuan sel T
helper (CD4+). Sel B menelan antigen protein,
mendegradasinya, dan mempresentasikannya
47
(peptida) melalui molekul MHC kepada sel T
helper. Sel T helper kemudian mengekspresikan
sitokin dan protein permukaan sel, yang
bekerja sama untuk mengaktifkan sel B.
Aktivasi sel B tanpa bantuan sel T disebut T-
independent dan dengan bantuan sel T disebut
T-dependent.
48
afinitas tinggi. Antigen non-protein (misalnya, polisakarida)
dapat mengaktifkan sel B tanpa bantuan sel T. Sebagian
besar respons yang bergantung pada T dibuat oleh sel B
folikel, sedangkan sel B zona marginal dan sel B-1 berperan
lebih besar dalam respons yang tidak bergantung pada sel
T (Sumber: Abbas et al., 2016).
Sel B yang diaktivasi secara langsung oleh
antigen non protein biasanya mensekresikan
antibodi dengan fungsi terbatas dan memiliki
afinitas rendah terhadap antigen. Sementara
antigen protein, dengan melibatkan bantuan
sel T, dapat merangsang produksi beberapa
jenis antibodi dengan fungsi berbeda dan
memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap
antigen. Selain itu, antigen protein dapat
menginduksi sel plasma dan sel B memori yang
berumur sangat panjang.
Respons imun humoral bertahan melawan
mikroba dengan berbagai cara. Antibodi dapat
mengikat dan menetralisasi mikroba sehingga
mencegahnya menginfeksi sel. Antibodi dapat
melapisi (opsonisasi) mikroba dan menargetkannya
untuk difagositosis, karena sel-sel fagosit (neutrofil
dan makrofag) mengekspresikan reseptor spesifik
untuk antibodi (reseptor Fc). Selain itu, antibodi
juga dapat mengaktifkan sistem komplemen jalur
klasik untuk menghancurkan dinding sel mikroba
49
dan mengembangkan mekanisme sitotoksik sel
untuk menghancurkan mikroba atau sel yang
terinfeksi. Jenis antibodi tertentu dan mekanisme
transpor antibodi juga memiliki peran berbeda pada
lokasi anatomi tertentu, termasuk lumen saluran
pernapasan dan saluran pencernaan serta plasenta
dan janin.
1 2 3 4 5
Aktivasi Transitosis &
Netralisasi Opsonisasi komplemen ADCC Neonatal immunity
Gambar 7. Fungsi antibodi secara umum
50
sel memori berumur panjang, yang dapat bertahan
selama bertahun-tahun setelah infeksi dan
meningkatkan respons yang cepat dan kuat
terhadap paparan berulang dengan antigen.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas, K.A., Lichtman, A.H., Pillai S. (2016). Basic
Immunology: Functions and Disorders of the Immune
System (5th edition). Canada: Elsevier
2. Bioninja. Types of Immunity.
https://ib.bioninja.com
3. Carlberg, C and Velleuer, E. (2022). Molecular
Immunology. Jerman: Springer
4. Khanacademy. (2017). Adaptive immunity.
https://www.khanacademy.org
5. Lee, G.H., Cho, M.Z., Choi, J.M. (2020). Bystander
CD4+ T cells: crossroads between innate and
adaptive immunity. Experimental & Molecular
Medicine, 52, 1255-1263.
https://doi.org/10.1038/s12276-020-00486-7
51
52 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
BAB IV REAKSI ANTIGEN & ANTIBODI
Dr. Ns. Ady Purwoto, S. Kep., M.
kep., S. H., M. H., M. Kn
A. Tujuan Pembelajaran
Mampu memahami materi tentang reaksi antigen
dan antibodi.
B. Penjelasan Materi Dengan Ilustrasi Dan Conto
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 53
.
54 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
1. Respon Tubuh Terhadap Antigen
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 55
antigen dan menjaga kekebalan humoral
sehingga menghasilkan antibodi dalam plasma darah
selain itu juga untuk melisiskan sel-sel yang sudah
terinfeksi adanya antigen.
Saat pengaktivisan tersebut sel B lebih
memperbanyak diri agar sel-sel tersebut dapat
digunakan sebagai sel respon sekunder untuk
menyerang antigen sehingga pemaparan antigen
tersebut yang datang langsung menuju ke sel B akan
diproduksi antibodinya untuk melawan sel antigen
tersebut. sehingga antigen yang masuk dan diikat oleh
antibodi tersebut akan menjadi sebuah bagian epitel
yang mana epitel tersebutlah yang menentukan antara
56 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
kecocokan antigen dengan antibodi apabila antigen
tersebut sudah diikat oleh antibodi dan diuraikan untuk
dibuang keluar tubuh bersama dengan aliran darah
maka antigen tersebut tidak termasuk antigen yang baik
untuk sistem kekebalan tubuh.
C. Rangkuman
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 57
5. Jelaskan perbedaan dari antigen dan antibodi serta
Bagaimana hubungan antara antigen dan antibodi
dalam sistem tubuh anda?
6. Bagaimana cara kerja antibodi tersebut pada saat
tubuh kita diserang oleh bakteri virus jelaskan cara
kerjanya?
7. Mengapa antigen dikeluarkan dari sistem tubuh oleh
antibodi?
8. Di mana letak antigen dan di mana letak antibodi
jelaskan masing-masing letak kedua reaksi tersebut
beserta dengan contohnya!
E. Referensi
58 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Penanganan Sampel dalam Pembuatan Suspensi Sel Darah
Merah. Biomedika , 12 (2), 187–196.
https://doi.org/10.31001/biomedika.v12i2.546
Mutiawati, VK (2013). PERBEDAAN DERAJAT
AGLUTINASI PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH ANTARA
ERITROSIT TANPA PENCUCIAN DENGAN PENCUCIAN PADA
PENDERITA TALASEMIA. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala , 13
(2), 65–70. Diambil dari
http://jurnal.unsyiah.ac.id/JKS/article/view/3404
F. Glosarium
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 59
yang mana memiliki sebuah fungsi untuk membantu adanya
sistem imun yang ada di dalam tubuh.
Patogen : suatu agen dalam biologis yang
menyebabkan penyakit dalam sistem inang sehingga
membantu virus-virus dan bakteri yang di dalam sel tubuh
tersebut berkembang dan membentuk suatu penyakit.
Polipeptida : susunan antara beberapa molekul dari
peptida yang tersusun dalam suatu gugus amino yang mana
terdapat antara beberapa karbon.
Reaksi : suatu bentuk gejala yang timbul adanya
ikatan antara kedua belah zat atau molekul sehingga
menciptakan sebuah konfigurasi molekul.
Tubuh : bentuk fisik dari kerangka manusia yang
dilengkapi dengan adanya zat-zat dan molekul di dalamnya.
Virus : mikroorganisme dari patogen yang tidak
memiliki kelengkapan dalam selulernya sehingga virus
tersebut akan saling bergantung terhadap molekul-molekul
yang ada di sekitarnya.
G. Indeks
Antigen...................................................61,
85,121
Antibodi.................................................3,65
,89
Imun........................................................2,
7,16,89
Molekul..................................................3,12
,89
Virus.......................................................12,
89
60 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
BAB V SISTEM LIMFATIK
Dr. Padoli SKp.M.Kes
A. Tujuan pembelajaran :
B. Materi
1. Pendahuluan
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 61
Sistem limfatik terdiri dari cairan yang disebut getah
bening, pembuluh yang disebut pembuluh limfatik yang
mengangkut getah bening, sejumlah struktur dan organ
yang mengandung jaringan limfatik (limfosit dalam
jaringan penyaring), dan sumsum tulang merah (lihat
gambar 1) . Sistem limfatis di dalam tubuh kita merupakan
suatu sistem yang berperan dalam menjaga keseimbangan
cairan dalam tubuh, mengabsorpsi lemak dan substansi
lainnya dalam sistem pencernaan dan yang paling penting
adalah sebagai sistem pertahanan tubuh dari
mikroorganisme dan substansi asing lainnya. Sebagian
besar komponen penyaring plasma darah melalui dinding
kapiler darah untuk membentuk cairan interstisial. Setelah
cairan interstitial masuk ke pembuluh limfatik, itu disebut
getah bening. Perbedaan utama antara cairan interstisiil
dan getah bening berada: cairan interstisial ditemukan
antara sel, dan getah bening terletak di dalam pembuluh
limfatik dan jaringan limfatik. Jaringan limfatik adalah
bentuk khusus dari jaringan jaringan ikat retikuler yang
mengandung banyak limfosit. Dua jenis limfosit
berpartisipasi dalam respon imun adaptif: sel B dan sel T.
62 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
a. Keseimbangan Cairan
Sistem limfatik mengembalikan kelebihan cairan
dan protein dari jaringan yang tidak dapat kembali
melalui pembuluh darah. Cairan sering terkumpul di
ruang kecil yang mengelilingi sel, yang dikenal sebagai
ruang interstisial. Kapiler getah bening kecil
menghubungkan ruang-ruang ini ke sistem limfatik.
Sekitar 90% plasma yang mencapai jaringan dari kapiler
darah arteri kembali melalui kapiler vena dan vena. 10%
sisanya berjalan melalui sistem limfatik.
b. Transport Lipid Makanan
Sistem limfatik memainkan peran kunci dalam
fungsi usus. Pembuluh limfatik mengangkut lipid dan
vitamin yang larut dalam lemak (A, D, E, dan K) yang
diserap oleh saluran pencernaan. Bagian dari selaput usus
di usus kecil mengandung tonjolan kecil seperti jari yang
disebut vili. Setiap vili mengandung kapiler limfa kecil,
yang dikenal sebagai lakteal. Ini menyerap lemak dan
vitamin yang larut dalam lemak untuk membentuk cairan
putih susu yang disebut chyle. Cairan ini mengandung
lemak getah bening dan emulsi, atau asam lemak bebas.
Ini memberikan nutrisi secara tidak langsung ketika
mencapai sirkulasi darah vena. Kapiler darah mengambil
nutrisi lain secara langsung.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 63
c. Pertahanan Tubuh
Sistem limfatik bertanggung jawab untuk
mengambil kelebihan air dan protein interstitial serta sel-
sel lain, termasuk bakteri, yang dapat masuk ke jaringan
melalui luka kecil atau luka di kulit. Bakteri dan antigen
lainnya diangkut oleh sistem limfatik dari interstitium ke
limfosit di kelenjar getah bening, di mana respon imun
dapat dimulai.
Bagaimana sistem limfatik melawan infeksi?
Sistem limfatik menghasilkan sel darah putih yang
disebut limfosit. Ada dua jenis limfosit: sel T dan sel B.
Keduanya berjalan melalui sistem limfatik. Saat
mencapai kelenjar getah bening, mereka bersentuhan
dengan virus, bakteri, dan partikel asing dalam cairan
getah bening. Setelah kontak, limfosit membentuk
antibodi dan mulai mempertahankan tubuh. Mereka juga
dapat menghasilkan antibodi dari ingatan jika mereka
telah menemukan patogen spesifik di masa lalu. Sistem
limfatik dan aksi limfosit merupakan bagian dari respon
imun adaptif tubuh. Ini adalah tanggapan yang sangat
spesifik dan tahan lama terhadap patogen tertentu.
64 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Gambar 5.1: Anatomi Sistem Limfatik (OpenStax
Rice University , 2016. Anatomy and Physiology
Houston, Texas, P 982)
3. Pembuluh Limfatik (Lymph Vessels ) dan Sirkulasi
Getah Bening
Pembuluh limfatik dimulai sebagai kapiler
limfatik. Kapiler ini, yang terletak di ruang antar sel,
ditutup pada satu ujung (Gambar 2). Sama seperti kapiler
darah berkumpul untuk membentuk venula dan kemudian
vena, kapiler limfatik bersatu untuk membentuk lebih
besar pembuluh limfatik (lihat Gambar1), yang
menyerupai vena kecil dalam struktur tetapi memiliki
dinding yang lebih tipis dan lebih banyak katup. Pada
interval sepanjang pembuluh limfatik, getah bening
mengalir melalui kelenjar getah bening, dikemas organ
berbentuk kacang yang terdiri dari massa sel B dan sel T.
Perbedaan utama antara sistem limfatik dan
kardiovaskular pada manusia adalah bahwa getah bening
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 65
tidak dipompa secara aktif oleh jantung, tetapi dipaksa
melalui pembuluh oleh gerakan tubuh, kontraksi otot
rangka selama gerakan tubuh dan pernafasan. Pompa
pernafasan secara bergantian mengembang dan menekan
getah bening pembuluh darah di rongga dada dan
membuat getah bening terus bergerak. Pembuluh getah
bening di ekstremitas, terutama tungkai, dikompresi oleh
otot rangka yang mengelilinginya; ini adalah pompa otot
rangka. Katup satu arah (katup semi-lunar) di pembuluh
limfatik menjaga agar getah bening tetap bergerak ke arah
jantung. Getah bening mengalir dari kapiler limfatik,
melalui pembuluh limfatik, dan kemudian dialirkan ke
sistem peredaran darah melalui saluran limfatik yang
terletak di persimpangan vena jugularis dan subklavia di
leher.
a. Kapiler Limfatik
Kapiler limfatik, juga disebut limfatik terminal,
adalah pembuluh di mana cairan interstitial memasuki
sistem limfatik menjadi cairan limfe. Kapiler limfe
berbentuk seperti pipa, memiliki struktur yang hampir
sama dengan kapiler darah tetapi memiliki permeabilitas
yang lebih besar dari kapiler darah demikian dapat
menyerap molekul besar seperti protein dan lemak.
Terletak di hampir setiap jaringan dalam tubuh, pembuluh
ini terjalin antara arteriol dan venula dari sistem peredaran
66 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
darah di jaringan ikat lunak tubuh. Pengecualian adalah
sistem saraf pusat, sumsum tulang, tulang rawan, gigi,
epidermis dan kornea mata, yang tidak mengandung
pembuluh getah bening.
Kapiler limfatik juga berdiameter sedikit lebih
besar dari kapiler darah dan memiliki struktur satu arah
yang unik itu memungkinkan cairan interstitial mengalir
ke dalamnya tetapi tidak keluar. Kapiler limfatik dibentuk
oleh satu lapisan sel endotel setebal sel dan merupakan
ujung terbuka dari sistem, memungkinkan cairan
interstitial mengalir ke dalamnya melalui sel yang
tumpang tindih (lihat Gambar 2). Ketika tekanan
interstisial rendah, penutup endotel menutup untuk
mencegah aliran balik. Saat tekanan interstisial
meningkat, ruang antar sel terbuka, memungkinkan cairan
masuk. Masuknya cairan ke dalam kapiler limfatik juga
dimungkinkan oleh filamen kolagen yang berlabuh
kapiler ke struktur sekitarnya. Saat tekanan interstisial
meningkat, filamen menarik penutup sel endotel,
membukanya lebih jauh untuk memungkinkan masuknya
cairan dengan mudah. Ketika kelebihan cairan interstisial
itu menumpuk dan menyebabkan pembengkakan
jaringan, filamen penahan ditarik, membuat bukaan antar
sel semakin besar sehingga lebih banyak cairan dapat
mengalir ke kapiler limfatik.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 67
Gambar 5. 2: Kapiler Limfatik (OpenStax Rice
University , 2016. Anatomy and Physiology Houston,
Texas, P 983)
68 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
b. Pembuluh Limfe Besar (Lymph Vessels )
Dinding pembuluh limfe besar memiliki ketebalan
yang hampir sama dengan vena kecil serta lapisan yang
sama tetapi batas antar lapisan tidak jelas. Pada tunika
intima terdapat sel endotel, serat elastis, serat kolagen tipis
dan membrana elastika interna. Tunika media terdiri dari
otot polos yang berjalan oblik dan sirkuler serta serat
elastis. Sedangkan pada tunika adventisia dapat terlihat
otot polos yang berjalan longitudinal dan oblik dan serat
kolagen. Pembuluh limfe memiliki katup atau valvula
yang berfungsi untuk mencegah aliran balik cairan limfe
Pembuluh limfatik dibagi menjadi dua kelompok
besar; pembuluh limfatik superfisial dan dalam. Pembuluh
superfisial terletak di lapisan subkutan kulit tempat
mereka mengumpulkan getah bening dari struktur
superfisial tubuh. Mereka cenderung mengikuti drainase
sistem vena dan pada akhirnya mengalir ke pembuluh
limfatik yang dalam. Pembuluh limfatik yang dalam
membawa getah bening dari organ dalam. Berbeda dengan
pembuluh superfisial, pembuluh dalam disertai dengan
arteri. Arteri ini bersandar ke dinding pembuluh limfatik
yang dalam, memberi tekanan padanya dan membantu
aliran getah bening.
Sepanjang jalan, pembuluh limfatik superfisial dan
dalam melewati kelenjar getah bening yang memantau isi
getah bening. Pembuluh limfatik yang membawa getah
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 69
bening menuju kelenjar getah bening dikenal sebagai
aferen, sedangkan pembuluh yang membawa getah bening
dari kelenjar getah bening disebut pembuluh limfatik
eferen. Pembuluh limfatik eferen keluar dari area tertentu
bagian tubuh, selanjutnya mereka bergabung membentuk
trunkus (batang) getah bening (trunkus limfatik). Trunkus
limfatik diberi nama sesuai dengan wilayah tubuh tempat
mereka mengalirkan getah bening. Ada empat pasang
Trunkus: lumbar, bronkomediastinal, subklavia dan
jugularis. Trunkus lumbar mengalirkan getah bening dari
tungkai bawah, dinding dan jeroan panggul, ginjal,
kelenjar adrenal, dan dinding perut. Trunkus usus
mengalirkan getah bening dari perut, usus, pankreas,
limpa, dan sebagian hati. Trunkus bronkomediastinal
mengalirkan getah bening dari dinding toraks, paru-paru,
dan jantung. Trunklus subklavia mengalirkan tungkai
atas. Trunkus Jugularis mengalirkan kepala dan leher.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 71
Semua jaringan dalam tubuh mengandung
banyak cairan jaringan yang berasal dari darah dan
seluruh kandungannya beserta hasil sekresi sel berupa
bahan-bahan yang telah dipergunakan dan akan
dibuang. Sekitar 21 liter cairan plasma keluar dari
kapiler dan masuk ke dalam jaringan. Untuk menjaga
komposisi dan volume cairan dalam jaringan dan
pembuluh darah, maka cairan jaringan tersebut akan
diabsorpsi kembali ke dalam pembuluh darah. Cairan
yang tidak terabsorpsi berjumlah sekitar 3 liter
perhari akan masuk ke dalam pembuluh limfatik dan
menjadi cairan limfe atau getah bening. Karena
sebagian besar protein plasma terlalu besar
meninggalkan pembuluh darah, cairan interstitial
hanya berisi sedikit jumlah protein. Protein yang
meninggalkan plasma darah tidak bisa kembali ke
darah melalui difusi karena gradien konsentrasi
(protein tingkat tinggi di dalam kapiler darah, tingkat
rendah di luar) menentang gerakan tersebut. Namun,
protein dapat bergerak dengan mudah melalui kapiler
limfatik yang lebih permeabel ke dalam getah bening.
Cairan limfe merupakan cairan yang jernih
kekuningan dengan komposisi menyerupai plasma
dan cairan interstisial. Tergantung di mana getah
bening diproduksi, komposisi getah bening dapat
bervariasi (misalnya getah bening yang diproduksi di
sistem pencernaan kaya akan lemak).
72 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Aliran limfe sekitar 100 ml /jam melalui
ductus torasikus dan sekitar 20 ml/jam mengalir ke
dalam sirkulasi melalui saluran lain, sehingga
diperkirakan aliran limfe 120 ml/jam atau 2-3 liter per
hari. Cairan limfe juga mengandung banyak zat lain
termasuk ; 1) Protein, trigliserida, mineral, nutrien,
dan substansi lain, yang memberi nutrisi pada
jaringan, 2) Sel rusak, sel kanker, dan partikel asing
(seperti bakteri dan virus) yang mungkin masuk ke
dalam cairan jaringan yang akan di filtrasi dan
dihancurkan oleh limfonodus. Selain itu cairan limfe
juga mengandung limfosit yang beredar dalam sistem
limfatis.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 73
Organ dan jaringan limfatik sekunder adalah area
di mana sebagian besar respon imun terjadi. Mereka
termasuk kelenjar getah bening, itu limpa, dan nodul
limfatik (folikel). timus, kelenjar getah bening, dan
limpa dianggap organ karena masing-masing dikelilingi
oleh a kapsul jaringan ikat; kelenjar getah bening,
sebaliknya, tidak dianggap organ karena tidak memiliki
kapsul.
1) Sumsum Tulang Merah
Di dalam embrio, sel darah dibuat di kantung kuning
telur. Saat perkembangan berlanjut, fungsi ini diambil
alih oleh limpa, kelenjar getah bening, dan hati.
Belakangan, sumsum tulang mengambil alih sebagian
besar fungsi hematopoietik, meskipun pada tahap akhir
dari diferensiasi beberapa sel dapat terjadi di organ lain.
Sumsum tulang merah adalah kumpulan sel yang
longgar di mana hematopoiesis terjadi, dan sumsum
tulang kuning adalah tempat penyimpanan energi, yang
sebagian besar terdiri dari sel-sel lemak. Sumsum tulang
merah merupakan jaringan penghasil limfosit B dan T.
Sel B mengalami hampir semua perkembangannya di
sumsum tulang merah, sedangkan sel T yang belum
matang disebut timosit, meninggalkan sumsum tulang
dan sebagian besar matang di kelenjar timus. Limfosit-
limfosit ini berperan penting untuk melawan penyakit
2) Kelenjar Timus
74 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Timus memiliki fungsi spesifik, yaitu tempat
perkembangan limfosit yang dihasilkan dari sumsum
merah untuk menjadi limfosit T. Timus tidak berperan
dalam memerangi antigen secara langsung seperti pada
organorgan limfoid yang lain. Untuk memberikan
kekebalan pada limfosit T ini, maka timus
mensekresikan hormon tipopoietin.
Timus terletak tepat mediastinum antara sternum
dan aorta. (Gambar 4). Satu pembungkus lapisan
jaringan ikat menyatukan kedua lobus, tetapi kapsul
jaringan ikat memisahkan keduanya. Ekstensi dari
kapsul, yang disebut trabekula, menembus ke dalam dan
membagi setiap lobus menjadi lobulus. Setiap lobulus
timus terdiri dari korteks luar yang sangat gelap dan
medula sentral dengan pewarnaan lebih terang. Korteks
terdiri dari sejumlah besar sel T dan sel dendritik yang
tersebar, sel epitel, dan makrofag. Sel T imatur (sel pra-
T) bermigrasi dari sumsum tulang merah ke korteks
timus, di mana mereka berkembang biak dan mulai
matang. Sel T yang sedang berkembang disebut timosit.
Timosit kemudian pindah ke medula timus, di mana
terjadi diferensiasi lebih lanju. Sel dendritik yang
berasal dari monosit (mereka memiliki proyeksi
bercabang yang panjang yang menyerupai dendrit
neuron), membantu proses pematangan. Setiap sel epitel
khusus di korteks memiliki beberapa proses panjang
yang mengelilingi dan berfungsi sebagai kerangka kerja
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 75
untuk 50 sel T. Ini sel epitel membantu "mendidik" sel
pra-T dalam proses yang dikenal sebagai seleksi positif.
Selain itu, mereka menghasilkan hormon timus yang
dianggap membantu pematangan T sel. Hanya sekitar
2% sel T yang berkembang bertahan hidup di korteks.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 77
Sistem kekebalan bayi baru lahir adalah belum
sepenuhnya matang, dan bayi lebih rentan infeksi
tertentu daripada anak-anak yang lebih tua dan orang
dewasa. Biasanya pada usia 2 tahun, sistem kekebalan
menjadi matang dan berfungsi penuh. Ini sebabnya
beberapa vaksin, seperti vaksin campak, tidak
direkomendasikan untuk bayi berusia kurang dari 15
hingga 18 tahun usia bulan. Sistem kekebalan mereka
belum matang cukup untuk menanggapi vaksin dengan
kuat, dan perlindungan yang diberikan oleh vaksin
mungkin tidak lengkap.
3) Nodus Limfe
78 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
fibroblas merupakan stroma (kerangka pendukung
dari jaringan ikat) dari kelenjar getah bening.
Parenkim (bagian yang berfungsi) dari kelenjar getah
bening dibagi menjadi korteks superfisial dan medula
dalam. Korteks terdiri dari korteks luar dan korteks
dalam. Pada korteks luar adalah kumpulan sel B
berbentuk telur yang disebut nodul limfatik (folikel).
Nodus limfatik yang terdiri dari terutama sel B
disebut nodul limfatik primer.
Sebagian besar kelenjar limfatik di korteks luar
adalah nodul limfatik sekunder, yang terbentuk
sebagai respons terhadap antigen (zat asing) dan
merupakan situs sel plasma dan pembentukan sel
memori B. Setelah sel B di kelenjar limfatik primer
mengenali antigen, nodul limfatik primer
berkembang menjadi nodus limfatik sekunder.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 79
Korteks bagian dalam tidak mengandung kelenjar
getah bening. KOrtek bagian dalam terutama terdiri dari
sel T dan sel dendritik yang memasuki getah bening
simpul dari jaringan lain. Sel dendritik menyajikan
antigen untuk sel T, menyebabkan proliferasi mereka. Sel
T yang baru terbentuk kemudian bermigrasi dari kelenjar
getah bening ke area tubuh di mana ada aktivitas antigenik
Kelenjar getah bening ditemukan berkelompok di
sepanjang jalur pembuluh getah bening, dan getah bening
mengalir melaluinya node dalam perjalanan ke vena
subklavia. Getah bening masuk sebuah simpul melalui
beberapa pembuluh getah bening aferen dan keluar
melalui satu atau dua pembuluh eferen. Saat getah bening
melewati kelenjar getah bening, bakteri dan bahan asing
lainnya difagositosis oleh makrofag yang diam
(stasioner). Sel plasma berkembang dari limfosit terkena
patogen dalam getah bening dan menghasilkan antibodi.
Antibodi ini pada akhirnya akan mencapai darah dan
beredar ke seluruh tubuh.
80 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Gambar 5.6: Sistem pembuluh limfatik dan
kelompok nudus limfatik (Valerie C. Scanlon, Tina,
2007,Essential Of Anatomy and Physiology, F. A. Davis
Company, Philadelphia, Page 325)
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 81
Nodus mengandung limfosit, yang masuk dari
aliran darah melalui pembuluh khusus yang disebut
venula endotel tinggi. Sel T berkumpul di korteks
bagian dalam (paracortex), dan sel B diatur di pusat
germinal di korteks luar. Getah bening, bersama
dengan antigen, mengalir ke nodus melalui pembuluh
limfatik aferen (masuk) dan meresap melalui nodus
limfa, di mana ia bersentuhan dengan dan
mengaktifkan limfosit. Limfosit aktif, dibawa dalam
getah bening, keluar dari nodus melalui pembuluh
eferen (keluar) dan akhirnya memasuki aliran darah,
yang mendistribusikannya ke seluruh tubuh. Terdiri
dari vasa aferen dan vasa eferen.
Fungsi dari limfonodus, adalah : menyaring
cairan limfe, membentuk antibodi , membentuk
limfosit dan membatasi penyebaran sel tumor
4) Nodul Limfatik
Nodul limfatik (folikel) adalah massa jaringan
limfatik berbentuk telur yang tidak dikelilingi oleh
kapsul. Karena mereka tersebar di seluruh lamina
propria (jaringan ikat). selaput lendir yang melapisi
saluran pencernaan, saluran kemih, dan saluran
reproduksi serta saluran pernapasan, nodul limfatik di
dalamnya area ini juga disebut sebagai limfatik terkait
mukosa jaringan (MALT). Meskipun banyak nodus
82 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
limfatik berukuran kecil dan soliter, beberapa terjadi
dalam beberapa agregasi besar di bagian tertentu
tubuh. Di antaranya adalah Tonsil di daerah faring
dan kumpulan folikel limfatik (plak Peyer) di ileum
usus halus. agregat nodul limfatik juga terjadi pada
apendiks. Biasanya ada lima tonsil, yang membentuk
cincin di persimpangan rongga mulut dan orofaring
dan di persimpangan rongga hidung dan nasofaring.
Tonsil diposisikan secara strategis untuk
berpartisipasi dalam respons kekebalan terhadap zat
asing yang dihirup atau disuntikkan. Tonsil faring
tunggal atau adenoid, tertanam di dinding posterior
nasofaring. Keduanya Tonsil Palatine terletak di
daerah posterior dari rongga mulut, satu di kedua sisi;.
Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil
palatine dan adenoid dan dapat dilakukan jika tonsil
meradang kronis dan bengkak, seperti yang mungkin
terjadi pada anak-anak
5) Limpa (Spleen)
Selain kelenjar getah bening, limpa adalah organ
limfoid sekunder utama. Limpa (Lien) merupakan
jaringan limfatik yang terbesar. Limpa terletak di
kuadran hipokondriakal kiri rongga perut atas, tepat
di bawah diafragma, di belakang perut. Panjangnya
sekitar 12 cm (5 inci) dan melekat pada batas lateral
lambung melalui ligamen gastrosplenic. Limpa
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 83
adalah organ yang rapuh tanpa kapsul yang kuat, dan
berwarna merah tua karena vaskularisasinya yang
luas. Tulang rusuk bagian bawah melindungi limpa
dari trauma fisik. Permukaan atas limpa halus dan
cembung dan sesuai dengan permukaan cekung
diafragma. Organ tetangga membuat lekukan di
permukaan visceral limpa — impresi lambung
(lambung), impresi ginjal (ginjal kiri), dan impresi
kolik (fleksi kolik kiri usus besar). Limpa memiliki
hilus yang dilewati arteri limpa, vena limpa, dan
pembuluh limfatik eferen. Suatu kapsul jaringan ikat
padat mengelilingi limpa dan ditutupi oleh membran
serosa, peritoneum visceral. Trabekula meluas ke
dalam dari kapsul. Kapsul ditambah trabekula, serat
retikuler, dan fibroblas membentuk stroma limpa;
parenkim limpa terdiri dari dua yang berbeda jenis
jaringan yang disebut pulpa putih dan pulpa merah.
Pulpa putih adalah jaringan limfatik, sebagian besar
terdiri dari limfosit dan makrofag diatur di sekitar
cabang arteri limpa disebut arteri sentral.
84 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Gambar 5.7: Struktur Limpa (Gerard J. Tortora,
Bryan H. Derrickson. 2014, Principles of Anatomy and
Physiology 14th Edition, John Wiley & Sons, Inc. P
809)
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 85
fungsinya mempengaruhi darah itu mengalir melalui
itu daripada getah bening.
Fungsi limpa setelah lahir adalah:
1) Mengandung sel plasma yang menghasilkan
antibodi terhadap antigen asing.
2) Mengandung makrofag tetap (sel RE) yang
memfagosit patogen atau bahan asing lainnya di
dalam darah. Makrofag limpa juga memfagosit sel
darah merah tua dan membentuk bilirubin. Oleh
cara sirkulasi portal, bilirubin dikirim ke hati untuk
diekskresikan dalam empedu.
3) Menyimpan trombosit dan menghancurkannya
saat masih ada tidak berguna lagi. Limpa tidak
dianggap sebagai organ vital, karena organ lain
mengkompensasi fungsinya jika limpa harus
diangkat (splenektomi). Hati dan sumsum tulang
merah akan mengeluarkan sel darah merah tua
dan trombosit dari peredaran. Limpa
menghilangkan partikel-partikel asing, agen
mikrobia, dan sel-sel darah tua atau degeneratif
dari sirkulasi.
4) Banyak kelenjar getah bening dan nodul akan
memfagosit patogen (seperti halnya hati) dan
memiliki limfosit untuk diaktifkan dan sel
plasma untuk diproduksi antibodi. Meskipun
redundansi ini, seseorang tanpa limpa agak lebih
86 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
rentan terhadap infeksi bakteri tertentu seperti
pneumonia dan meningitis.
5) Limpa juga merupakan gudang penyimpanan
keping-keping darah. Limpa dapat menyimpan
sampai 1/3 jumlah keping darah yang
bersirkulasi, splenektomi dapat berakibat
trombositosis sedang, pembesaran limpa dapat
berakibat trombositopenia. Aliran darah yang
lambat dalam limpa memberi kesempatan
dihilangkannya eritrosit tua dan cacat. Sel-sel
yang tak mampu mengadakan deformasi sewaktu
melewati limpa (misalnya sperosit pada anemia
hemolitik autoimun) akan difagositosis.
Demikian pula, limpa mampu menghilangkan
benda-benda H (Heinz bodies) dan parasit dari
permukaan eritrosit
6) Limpa adalah organ hematopoetik selama
kehidupan fetal dan neonatal. Meskipun tidak
merupakan fungsi utama pada makhluk dewasa,
namun dia tetap bertahan pada umur dewasa.
Limpa juga merupakan tempat pendewasaan
eritrosit. Limpa punya fungsi imunitas melalui
sel B dan sel T
6) Kelainan Sistem Limfatik
Sistem limfatik mungkin tidak menjalankan fungsinya
secara memadai karena:
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 87
a) Penyumbatan (obstruksi): Obstruksi pada sistem
limfatik menyebabkan penumpukan cairan
(limfedema). Obstruksi dapat terjadi akibat jaringan
parut yang berkembang ketika pembuluh atau nodus
limfa rusak atau diangkat selama pembedahan, terapi
radiasi, cedera, atau infeksi cacing kremi (filariasis)
yang menyumbat saluran limfatik negara tropis).
b) Infeksi: Infeksi dapat menyebabkan pembengkakan
kelenjar getah bening karena kelenjar getah bening
meradang. Kadang-kadang kelenjar getah bening itu
sendiri dapat terinfeksi (limfadenitis) oleh organisme
yang menyebar melalui sistem limfatik dari tempat
asal infeksi.. Limfadenitis adalah istilah yang
digunakan saat pembengkakan kelenjar getah bening
terasa nyeri atau memiliki tanda peradangan
(misalnya kemerahan atau nyeri tekan), biasanya
karena infeksi virus atau bakteri.
c) Filariasis limfatik (FL) : merupakan salah satu
penyakit yang paling melemahkan dan merusak
penampilan seseorang. Infeksinya disebabkan oleh
tiga cacing helmintik – Wucheraria bancrofti, Brugia
malayi dan Brugia timori, dan ditularkan oleh
nyamuk yang termasuk dalam 4 kelompok vector –
Culex, Anopheles, Aedine dan Mansonia. Cacing –
cacing tersebut menghuni saluran limfatik (getah
bening) dan menyebabkan terjadinya penyumbatan
rongga limfatik, yang pada fase selanjutnya
88 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
menyebabkan pembengkakan (lymphoedema) dan
elephantiasis.
d) Kanker: Kanker sel darah putih seperti limfoma dapat
berkembang di kelenjar getah bening, dan tumor di
organ lain dapat menyebar (bermetastasis) ke kelenjar
getah bening di dekat tumor. Kanker di kelenjar getah
bening dapat mengganggu aliran cairan limfatik
melalui kelenjar getah bening. Kanker di daerah lain
dapat menyumbat saluran limfatik.
Limfangiosarcoma adalah tumor yang sangat langka
yang dapat berkembang di sel-sel sistem limfatik.
C. RANGKUMAN
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 89
membawa getah bening masuk dan keluar dari kelenjar
getah bening.
3. Rute aliran getah bening adalah dari kapiler limfatik ke
pembuluh limfatik ke trunkus getah bening ke ductus
toraksikus (saluran limfatik kiri) dan saluran limfatik
kanan ke vena subklavia. Getah bening mengalir karena
kontraksi otot rangka dan gerakan pernafasan, katup
dalam pembuluh limfatik juga membantu aliran getah
bening.
4. Organ limfatik primer adalah sumsum tulang merah dan
timus. Organ limfatik sekunder adalah getah bening,
limpa, dan kelenjar getah bening.
5. Timus terletak di antara tulang dada dan pembuluh darah
besar di atas jantung. Ini adalah tempat pematangan.sel T
6. Kelenjar getah bening berkapsul, struktur berbentuk telur
yang terletak di sepanjang pembuluh limfatik. Getah
bening masuk kelenjar getah bening melalui pembuluh
limfatik aferen, disaring, dan keluar melalui pembuluh
limfatik eferen. Kelenjar getah bening adalah tempat
proliferasi sel B dan sel T.
7. Limpa adalah jaringan limfatik tunggal terbesar di dalam
tubuh. Di dalam limpa, sel B dan T sel menjalankan
fungsi kekebalan dan makrofag menghancurkan patogen
yang ditularkan melalui darah dan menjadi merah aus sel
darah secara fagositosis.
8. Nodul limfatik tersebar di seluruh mukosa
gastrointestinal, pernapasan, kemih, dan saluran
90 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
reproduksi. Jaringan limfatik ini disebut jaringan limfatik
terkait mukosa (MALT).
D. TUGAS
Jawablah latihan berikut dengan menuliskan jawabannya di
lembar yang telah disediakan.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 91
E. Erytrosit
ANSWER: A
92 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Berikut tidak termasuk Organ limfoid adalah …
A. Sumsum merah
B. Nodus limfa
C. Limpa
D. Timus
E. Parotis
ANSWER: E
REFERENSI:
94 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
8. Valerie C. Scanlon, Tina, 2007,Essential Of Anatomy
and Physiology, F. A. Davis Company, Philadelphia,
Page 319 – 337
Glosarium :
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 95
Pecondary lymphoid organs: tempat di mana limfosit
meningkatkan respons imun adaptif; contohnya termasuk
kelenjar getah bening dan limpa
Thymus: organ limfoid primer; tempat limfosit T
berkembang biak dan matang
96 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
BAB VI SITOKIN
RINI AMBARWATI.S.Kep.Ns.M.Si
A. Kompetensi Dasar
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang sitokin dan
peranannya dalam respon imun non spesifik dan spesifik
B. Tujuan pembelajaran
1. Mahasiswa mampu menjelaskan sitokin.
2. Mahasiswa mampu menyebutkan macam-macam
sitokin.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan peran sitokin
dalam proses peradangan.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan peran sitokin
dalam respon imun spesifik.
C. Materi
1. Pendahuluan
Sitokin adalah nama yang umum, berasal dari
dua kata dari bahasa Yunani, yaitu “cyto’ yang
berarti sel dan “kinos” yang berarti pergerakan.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 97
Dalam hal ini sitokin memang beperan dalam
pergerakan sel-sel imun menuju ke tempat
infeksi.Sitokin merupakan protein yang dihasilkan
oleh sel dan berfungsi terhadap sel itu sendiri
maupun sel-sel lain di sekitarnya (Gambar
18).Sitokin ini berperan dalam aktivasi sel-sel
imun (baik non spesifik maupun spesifik),
mengatur hematopoiesis maupun membantu
terjadinya peradangan (inflamasi).
Tidak langsung :
a. Menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin
lain atau bekerja sama dengan sitokin lain
dalam merangsang sel (sinergisme)
b. Mencegah ekspresi reseptor atau produksi
sitokin (antagonisme)
3. Ciri-ciri Sitokin :
a. Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi sebagai
respons terhadap rangsang mikroba dan antigen
lainnya dan antigen lainnya dan berperan sebagai
mediator pada reaksi imun dan inflamasi.
b. Sekresi sitokin terjadi cepat dan hanya sebentar,
tidak disimpan sebagai molekul preformed.
Kerjanya sering pleiotropik (satu sitokin bekerja
terhadap berbagai jenis sel yang menimbulkan
berbagai efek) dan redundan (berbagai sitokin
menunjukkan efek yang sama). Oleh karena itu,
efek antagonis satu sitokin tidak akan menunjukkan
hasil nyata karena ada kompensasi dari sitokin yang
lain.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 99
c. Sitokin sering berpengaruh terhadap sintesis dan
efek sitokin yang lain.
d. Efek sitokin dapat lokal atau sistemik.
e. Sinyal luar mengatur ekspresi reseptor sitokin atau
respons sel terhadap sitokin
f. Efek sitokin terjadi melalui ikatan dengan
reseptornya pada membran sel sasaran
g. Respons selular terhadap kebanyakan sitokin terdiri
atas perubahan ekpresi gen terhadap sel sasaran
yang menimbulkan ekspresi fungsi baru dan kadang
proliferasi sel sasaran.
4. Fungsi Sitokin
Sitokin berperan dalam imunitas nonspesifik
dan spesifik dan mengawali, mempengaruhi dan
meningkatkan respons imun nonspesifik. Pada imunitas
nonspesifik, sitokin diproduksi makrofag dan sel NK
(natural killer), berperan pada inflamasi dini,
merangsang poliferasi, diferensiasi dan aktivasi sel
efektor khusus seperti makrofag. Pada imunitas spesifik
sitokin yang diproduksi sel T mengaktifkan sel-sel imun
spesifik.
100 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
5. Mekanisme Kerja Sitokin
Terdapat 3 cara kerja sitokin, yaitu
autokrin, parakrin dan endokrin.
a. Autokrin
Sitokin yang dihasilkan akan bekerja pada sel yang
memproduksinya
Gambar 6.2.
b. Parakrin
Sitokin yang berfungsi pada sel sel –sel yang
terdapat disekitarnya
Gambar 6.3.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 101
c. Endokrin
Sitokin yang dihasilkan akan berfungsi pada sel sel
yang letaknya jauh dari sel penghasil sitokin, di
sebar melalui darah contohnya : hormon
Gambar 6.4.
102 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Karakteristik sitokin juga cukup khas, diantaranya
: (1) akan diproduksi oleh-sel yang teraktivasi karena
mengenal patogen, (2) sitokin yang diproduksi kemudian
akan berikatan dengan reseptor yang ada di permukaan
sel target, (3) ekspresi reseptor sitokin ini akan diatur
oleh sinyal eksternal, (4) sitokin yang sudah mencapai
sel target dapat mengubah ekspresi gen sel target,
sehingga akan terjadi perubahan sifat dan perbanyakan
sel target, (5) produksi sitokin juga akan diatur sehingga
tidak terlalu banyak pada tubuh (feedback mechanism).
Gambar 6. 5.
7. Penggolongan Sitokin.
sitokin ini dapat digolongkan menjadi beberapa
golongan berdasarkan fungsinya. Sitokin digolongkan
menjadi : Sitokin yang berperan dalam pengaturan
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 103
respon imun non spesifik; Sitokin yang berperan
dalam pengaturan respon imun spesifik; dan Sitokin
yang berperan dalam hematopoiesis.
104 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
mencegah
produksi IL-21
dan ekspresi
kostimulator dan
MHC-II
IL-12 Makrofag, sel Sel T:
dendritik diferensiasi Th1
Sel NK dan sel T :
sintesis IFN-γ,
meningkatkan
aktivitas sitolitik
IL-15 Makrofag, sel Sel NK :
lain proliferasi
Sel T : proliferasi
(sel memori
+
CD8 )
IL-18 Makrofag Sel NK dan sel T :
sintesis IFN-γ
IFN-α, IFN-β IFN-α : makrofag Semua sel :
IFN-β : fibroblas antivirus,
peningkatan
ekspresi MHC-I
Sel NK : aktivasi
IFN-γ Th1 Aktivasi sel NK
dan makrofag,
induksi MHC II
Kemokin Makrofag, sel Leukosit :
endotel, sel T, kemotaksis,
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 105
fibroblas, aktivasi, migrasi
trombosit ke jaringan
TNF Makrofag, sel T Sel endotel :
aktivasi
(inflamasi,
koagulasi)
Neutrofil :
aktivasi
Hipotalamus :
panas
Hati : sintesis
APP
Otot, lemak :
katabolisme
(kaheksia)
Banyak jenis sel :
apoptosis
1) IL-1
Fungsi utama IL-1 adalah sama dengan TNF,
yaiu mediator inflamasi yang merupakan respons
terhadap infeksi dan rangsangan lain. Bersama TNF
berperan pada imunitas nonspesifik. Sumber utama
IL-1 juga sama dengan TNF yaitu fagosit
mononuklear yang diaktifkan.
2) Il-6
IL-6 berfungsi dalam imunitas nonspesifik,
diproduksi fagosit mononuklear, sel endotel
106 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
vaskular, fibroblas dan sel lain sebagai respons
terhadap mikroba dan sitokin lain. Dalam imunitas
nonspesifik, IL-6 merangsang hepatosit untuk
memproduksi APP dan bersama CSF merangsang
progenitor di sumsum tulang untuk memproduksi
neutrofil. Dalam imunitas spesifik, IL-6 merangsang
pertumbuhan dan diferensiasi sel B menjadi sel mast
yang memproduksi antibodi.
3) IL-10
IL-10 merupakan inhibitor makrofag dan sel
dendritik yang berperan dalam mengontrol reaksi
imun nonspesifik dan imun selular. IL-10 diproduksi
terutama oleh makrofag yang diaktifkan. IL-10
mencegah produksi IL-12 oleh makrofag dan sel
dendritik yang diaktifkan. IL-10 mencegah ekspresi
kostimulatori molekul MHC-II pada makrofag dan sel
dendritik.
4) IL-12
IL-12 merupakan mediator utama imunitas
nonspesifik dini terhadap mikroba intraselular dan
merupakan induktor kunci dalam imunitas selular
spesifik terhadap mikroba. Sumber utama IL-12
adalah fagosit mono nuklear dan sel dendritik yang
diaktifkan.
5) IL-15
IL-15 diproduksi fagosit mononuklear dan
mungkin jenis sel lain sebagai respons terhadap
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 107
infeksi virus, LPS dan sinyal lain yang memacu
imunitas nonspesifik. IL-15 merupakan faktor
pertumbuhan dan faktor hidup terutama untuk sel
CD8+ yang hidup lama.
6) IL-18
IL-18 memiliki stuktur yang homolog dengan
IL-1, namun mempunyai efek yang berlainan. IL-18
diproduksi makrofag sebagai respons terhadap LPS
dan produk mikroba lain, merangsang sel NK dan sel
T untuk memproduksi IFN-γ. Jadi IL-18 adalah
induktor imunitas selular bersama IL-21.
8) IFN tipe I
IFN tipe I (IFN-α dan IFN-β) berperan dalam
imunitas nonspesifik dini pada infeksi virus. Nama
interferon berasal dari kemampuannya dalam
intervensi infeksi virus. Efek IFN tipe I adalh proteksi
terhadap infeksi virus dan meningkatkan imunitas
selular terhadap mikroba intraselular. IFN tipe I
mencegah replikasi virus, meningkatkan ekspresi
108 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
molekul MHC-I, merangsang perkembangan Th1,
mencegah proliferasi banyak jenis sel antara lain
limfosit in vitro.
IFN tipe I diproduksi oleh sel terinfeksi virus
dan makrofag. Interferon adalah sitokin berupa
glikoprotein yang diproduksi makrofag yang
diaktifkan, sel NK dan berbagai sel tubuh yang
mengandung nukleus dan dilepas sebagai respons
terhadap infeksi virus. IFN mempunyai sifat
antivirus dan dapat menginduksi sel-sel sekitar sel
yang terinfeksi virus menjadi resisten terhadap
virus.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 109
b. Peran Sitokin pada Imunitas Spesifik
Sitokin berperan dalam proliferasi dan
diferensiasi limfosit setelah antigen dikenal dalam
fase aktivasi pada respons spesifik dan selanjutnya
berperan dalam aktivasi dan proliferasi sel efektor
khusus.
1) IL-2
IL-2 adalah faktor pertumbuhan untuk sel T yang
dirangsang dan berperan pada ekspansi klon sel T
setelah antigen dikenal. IL-2 meningkatkan
proliferasi dan diferensiasi sel imun lain (sel NK,
sel B). IL-2 meningkatkan kematian apoptosis sel T
yang diaktifkan antigen melalui Fas. Fas adalah
golongan reseptor TNF yang diekspresikan pada
permukaan sel T.
IL-2 merangsang proliferasi dan diferensiasi sel T,
sel B dan NK. IL-2 juga mencegah respons imun
terhadap antigen sendiri melalui peningkatan
apoptosis sel T melalui Fas dan merangsang
aktivitas sel T regulatori.
2) IL-4
IL-4 merupakan stimulus utama produksi IgE dan
perkembangan Th2 dari sel CD4+ naif. IL-4
merupakan sitokin petanda sel Th2. IL-4
merangsang sel B meningkatkan produksi IgG dan
IgE dan ekspresi MHC-II. IL-4 merangsang isotipe
sel B dalam pengalihan IgE, diferensiasi sel T naif
ke subset Th2. IL-4 mencegah aktivasi makrofag
110 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
yang diinduksi IFN-γ dan merupakan GF untuk sel
mast terutama dalam kombinasi dengan IL-3.
3) IL-5
IL-5 merupakan aktivator pematangan dan
diferensiasi eosinofil utama dan berperan dalam
hubungan antara aktivasi sel T dan inflamasi
eosinofil. IL-5 diproduksi subset sel Th2 (CD4+) dan
sel mast yang diaktifkan. IL-5 mengaktifkan
eosinofil.
4) IFN-γ
IFN-γ yang diproduksi berbagai sel sistem imun
merupakan sitokin utama MAC dan berperan
terutama dalam imunitas nonspesifik dan spesifik
selular. IFN-γ adalah sitokin yang mengaktifkan
makrofag untuk membunuh fagosit. IFN-γ
merangsang ekspresi MHC-I dan MHC-II dan
kostimulator APC. IFN-γ meningkatkan diferensiasi
sel CD4+ naif ke subset sel Th1 dan mencegah
proliferasi sel Th2.
5) TGF-β
Efek utama TGF-β adalah mencegah proliferasi dan
aktivasi limfosit dan leukosit lain. TGF-β
merangsang produksi IgA melalui induksi dan
pengalihan sel B.
6) Limfotoksin
LT diproduksi sel T yang diaktifkan dan sel lain. LT
mengaktifkan sel endotel dan neutrofil,
merupakan mediator pada inflamasi akut dan
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 111
menghubungkan sel T dengan inflamasi. Efek ini
sama dengan TNF.
7) IL-13
IL-13 memiliki struktur homolog dengan IL-4 yang
diproduksi sel CD4+ Th2. IL-13-R ditemukan
terutama pada sel nonlimfoid seperti makrofag.
Efek utamanya adalah mencegah aktivasi dan
sebagai antagonis IFN-γ. IL-13 merangsang
produksi mukus oleh sel epitel paru dan berperan
pada asma.
8) IL-16
IL-16 diproduksi sel T yang berperan sebagai
kemoatraktan spesifik eosinofil.
9) IL-17
IL-17 diproduksi sel T memori yang diaktifkan dan
menginduksi produksi sitokin proinflamasi lain
seperti TNF, IL-1 dan kemokin.
10) IL-25
IL-25 memiliki struktur seperti IL-17, disekresi sel
Th2 dan merangsang produksi sitokin Th2 lainnya
seperti IL-4, IL-5 dan IL-13. IL-17 dan IL-25 diduga
berperan dalam meningkatkan reaksi inflamasi
yang sel T dependen bentuk lain.
C. RANGKUMAN
Sitokin adalah keluarga protein sebagai mediator
dan regulator respon imun alami dan didapat. Sitokin
bekerja saling berinteraksi satu sama lain sehingga
membentuk konsep "network ".
Fungsi sitokin adalah mengatur selsel imun untuk
mengeliminir mikroba, menagtur hematopoiesis dan
membantu terjadinya peradangan inflamasi. Istilah lain
yang menunjukan sel penghasil, sel target maupun cara
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 113
kerja sitokin : 1. monokin sitpokin yang dihasilkan oleh
sel makrofag, 2. Limfokin sitokin yang dihasilakn oleh
limfosit, 3. Interleukin adalah sitokin yang dihasilkan
dan berfungsi untuk leukosit, kemokin adalah sitokin
yang berfungsi untuk menstimulasi pergerakan sel sel
respon imun ke tempat infeksi. Cara kerja sitokin
melalui autokrin, Parakrin dan endokrin. Kemampuan
Kerja Sitokin
Terdapat beberapa kemampuan kerja sitokin yaitu
pleiotropisme, redundansi, sinergi dan antagonism.
sitokin bisa berperan dalam respon imun non spesifik,
spesifik maupun pada hematopoiesis. Dalam respon
imun non spesifik sitokin sangat berperan dalam proses
peradangan, sedangkan pada respon imu spesifik sangat
berperan dalam aktivasi sel-sel imun spesifik
D. TUGAS
1. Apakah sitokin itu?
2. Apa nama sitokin yang dihasilkan oleh sel-sel
leukosit?
3. Hormon adalah salah satu sitokin yang dihasilkan
dengan cara
4. Apa peran sitokin dalam respon imun spesifik?
5. Apa yang dimaksud dengan TNF (Tumor Necrosis
Factor) ?
E. REFERENSI
114 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Abbas, A. K., Licthman, A. H. & Pillai, S., 2016.
Imunologi Dasar Abbas: Fungsi dan Kelainan Sistem Imun
(5th ed). Singapura: Saunders
F. Glosarium
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 115
Biokimia : Ilmu yang mempelajari tentang peranan
berbagai molekul dalam reaksi dan proses kimia yang
berlangsung dalam tubuh makhluk hidup.
116 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
kemokin : sitokin yang berfungsi untuk
menstimulasi pergerakan sel-sel leukosit ke
tempat infeksi.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 117
Pleiotropisme : Kemampuan satu sitokin untuk
bekerja pada beberapa jenis sel target.
118 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
BAB VII SISTEM KOMPLEMEN
Imam Agus Faizal, S.Tr.A.K.,
M.Imun
A. Tujuan pembelajaran :
Mahasiswa mampu menjelaskan definisi komplemen.
Mahasiswa mampu mendefinisikan mekanisme jalur
aktivasi komplemen.
Mahasiswa mampu menjelaskan fungsi komplemen.
B. Sistem Komplemen
1. Pendahuluan
Sistem komplemen adalah salah satu mekanisme
efektor utama dari imunitas humoral dan juga
merupakan mekanisme efektor yang penting berperan
pada innate immunity. Dinamakan komplemen berawal
dari percobaan yang dilakukan oleh ilmuwan Jules
Bordet tak lama setelah penemuan antibodi. Dia
menunjukkan bahwa jika serum segar mengandung
antibakteri antibodi ditambahkan ke bakteri pada suhu
fisiologis (37° C), maka bakteri tersebut lisis. Namun,
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 119
jika serum dipanaskan hingga 56°C atau lebih, ia
kehilangan kapasitas litiknya. Hilangnya kapasitas litik
ini bukan karena untuk pembusukan aktivitas antibodi,
karena antibodi relatif panas stabil, dan bahkan serum
yang dipanaskan mampu mengaglutinasi bakteri.
Kapasitas litik serum dapat dipulihkan dengan
menambahkan serum segar, bahkan dari hewan yang
belum diimunisasi. Bordet menyimpulkan bahwa untuk
melisiskan bakteri, serum harus mengandung komponen
labil panas lain yang ada di semua individu dan
membantu, atau melengkapi, fungsi litik antibodi. Atas
penemuan itu makan dinamakan komplemen.
Sistem komplemen terdiri dari serum dan protein
permukaan sel yang berinteraksi satu sama lain dan
dengan molekul lain dari sistem kekebalan tubuh dengan
cara yang sangat diatur untuk menghasilkan produk yang
berfungsi untuk menghilangkan mikroba. Protein
komplemen adalah protein plasma yang biasanya tidak
aktif; mereka akan aktif saat kondisi tertentu untuk
menghasilkan produk yang memediasi berbagai fungsi
efektor. Beberapa fitur pelengkap aktivasi sangat
penting untuk fungsi normalnya diantaranya:
a. Sistem komplemen diaktifkan oleh mikroba dan
oleh antibodi dan lektin yang terikat pada mikroba
dan lainnya antigen.
b. Aktivasi komplemen melibatkan proteolisis
berurutan protein untuk menghasilkan kompleks
enzim dengan aktivitas proteolitik.
c. Beberapa produk pembelahan yang aktif secara
biologis dari aktivasi komplemen menjadi terikat
120 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
secara kovalen permukaan sel mikroba, terhadap
antibodi yang terikat pada mikroba dan antigen lain,
dan sel tubuh yang apoptosis.
d. Aktivasi komplemen dihambat oleh protein
regulator yang hadir pada host cells normal dan
terbebas dari mikroba.
122 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
a. Komplemen Jalur Alternatif
Jalur alternatif aktivasi komplemen
menghasilkan proteolisis C3 dan keterikatan stabil
dari kerusakannya produk C3b ke permukaan
mikroba, tanpa peran antibodi. Biasanya, C3
dalam plasma terus menerus dihidrolisis dan
kemudian dibelah dengan kecepatan rendah (1%
sampai 2% dari total plasma C3 per jam) untuk
menghasilkan C3b dalam proses yang disebut C3
tickover. Proses ini melibatkan Faktor B dan D,
yang akan dijelaskan nanti. Protein C3
mengandung ikatan thioester reaktif yang
tertanam di wilayah protein yang dikenal sebagai
domain thioester. Saat C3 dibelah, molekul C3b
mengalami konformasi dramatis berubah dan
domain thioester membalik (pergeseran besar
sekitar 85 Å), memperlihatkan reaktif yang
sebelumnya tersembunyi ikatan tioester. Sejumlah
kecil C3b dapat menjadi kovalen melekat pada
permukaan sel, termasuk mikroba, melalui domain
tioester, yang bereaksi dengan gugus amino atau
hidroksil protein permukaan sel atau polisakarida
untuk membentuk amida atau ester ikatan. Jika
ikatan ini tidak terbentuk, C3b tetap ada fase
cairan, dan ikatan thioester reaktif terbuka
dengan cepat terhidrolisis, membuat protein
menjadi tidak aktif. Alhasil maka aktivasi
komplemen tidak dapat dilanjutkan didalam
plasma.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 123
Ketika C3b mengalami perubahan konformasi
setelah pembelahan, wilayah pengikatan untuk
protein plasma yang disebut Faktor B juga terbuka.
Faktor B kemudian berikatan dengan protein C3b
yang sekarang secara kovalen terikat pada
permukaan sel. Bound Factor B pada gilirannya
dibelah oleh protease serin plasma yang disebut
Faktor D, melepaskan fragmen yang disebut Ba dan
menghasilkan fragmen yang lebih besar disebut Bb
itu tetap terhubung ke C3b. Kompleks C3bBb
adalah alternatifnya jalur C3 convertase dan
berfungsi untuk membelah lebih banyak molekul
C3, sehingga menyiapkan urutan amplifikasi.
Bahkan ketika C3b dihasilkan oleh jalur klasik atau
lektin, dapat membentuk kompleks dengan Bb,
dan kompleks ini mampu membelah lebih banyak
C3. Dengan demikian, jalur alternatif C3
convertase berfungsi untuk memperkuat aktivasi
komplemen ketika diprakarsai oleh salah satu dari
tiga jalur. Ketika C3 dipecah, C3b tetap melekat
pada sel dan C3a dilepaskan. Fragmen yang larut
memiliki beberapa kebutuhan biologis
124 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 125
Gambar 7.2. Mekanisme komplemen jalur
alternatif
Aktivasi jalur alternatif mudah terjadi pada
sel mikroba permukaan tetapi tidak pada sel
mamalia. Jika kompleks C3bBb adalah terbentuk
pada sel mamalia, dengan cepat terdegradasi dan
reaksi diakhiri oleh pergerakan beberapa protein
regulator yang ada pada sel-sel ini. Kurangnya
protein regulator pada sel mikroba memungkinkan
diikat dan aktivasi jalur alternatif pada C3
convertase. Selain itu, protein lain dari jalur
alternatif, yang disebut properdin, dapat mengikat
dan menstabilkan Kompleks C3bBb, dan
keterikatan properdin sangat sesuai terhadap
mikroba dibandingkan dengan host cell normal.
Beberapa molekul C3b dihasilkan oleh jalur
alternatif C3 convertase berikatan dengan
convertase itu sendiri. Hal ini mengakibatkan
pembentukan kompleks yang mengandung satu
bagian Bb dan dua bagian molekul C3b, yang
berfungsi sebagai jalur alternatif C5 convertase,
yang akan membelah C5 dan memulai langkah-
langkah akhir aktivasi komplemen.
130 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
c. Komplemen Jalur Lektin
Aktivasi Jalur lektin aktivasi komplemen
dipicu oleh pengikatan polisakarida mikroba ke
lektin yang bersirkulasi, seperti plasma mannose-
binding lectin (MBL), atau ke ficolin. Lektin
terlarut ini adalah protein mirip kolagen yang
secara structural menyerupai C1q. MBL, L-ficolin,
dan H-ficolin adalah protein plasma; M-ficolin
terutama disekresikan dengan diaktifkan makrofag
dalam jaringan. MBL memiliki kolagen seperti N-
terminal domain dan domain C-terminal
direkognisi oleh karbohidrat (lektin) sehingga
dengan demikian merupakan anggota keluarga
kolektin aglutinin serum. Ficolin memiliki struktur
yang mirip, dengan domain seperti kolagen
terminal-N dan domain seperti fibrinogen
terminal-C. Domain mirip kolagen membantu
menyusun struktur tiga heliks dasar yang dapat
membentuk oligomer orde tinggi. MBL berikatan
dengan residu manosa pada polisakarida, dan
domain mirip fibrinogen dari ficolin berikatan
Glikan yang mengandung N-acetylglucosamine.
Polisakarida ini dan glikan melimpah terdapat
pada bakteri dan jamur. Kemudian, MBL dan
ficolins berasosiasi membentuk MBL-associated
serine proteases (MASPs) termasuk MASP1, MASP2,
dan MASP3 (lihat Tabel 13.6). MASP secara
struktural homolog dengan protease C1r dan C1s
dan melayani fungsi yang hampir sama yaitu
pembelahan C4 dan mengaktifkan C2 jalur
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 131
komplemen. Multimer dari MBL berasosiasi dengan
MASP1 dan MASP2 (atau MASP3 dan MASP2), dan
MASP2 adalah protease yang memotong C4 dan C2.
Peristiwa selanjutnya di jalur ini identik yang
terjadi pada jalur klasik.
C. Rangkuman
Sistem komplemen adalah salah satu mekanisme efektor
utama dari imunitas humoral dan juga merupakan
mekanisme efektor yang penting berperan pada innate
immunity.
Sistem komplemen terdiri dari serum dan protein
permukaan sel yang berinteraksi satu sama lain dan
dengan molekul lain dari sistem kekebalan tubuh dengan
cara yang sangat diatur untuk menghasilkan produk yang
berfungsi untuk menghilangkan mikroba..
Jalur aktivasi komplemen dibagi menjadi 3 yaitu jalur
alternatif, jalur klasik dan jalur lektin.
Fungsi utama sistem komplemen dalam innate immunity
dan adaptive immunity humoral adalah untuk
mempromosikan fagositosis mikroba di mana
komplemen diaktifkan, untuk merangsang terjadinya
inflamasi, dan untuk menginduksi lisis mikroba,
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 133
opsonisasi, ,menstimulasi respon inflamasi dan sitolisis
yang dimediasi oleh komplemen.
D. Tugas
1. Gambarlah mekanisme jalur aktivasi komplemen jalur
klasik, jalur klasik dan jalur lektin!
Ketentuan menggambar wajib memakai buku
gambar ukuran A4, dan memakai pewarna untuk
pewarnaan tiap jalur komplemen.
2. Jelaskan fungsi dari komplemen!
E. Referensi
Abul K. Abbas, Andrew H. Lichtman, Shiv Pillai. 2021.
Cellular and Molecular Immunology. Elsevier.
Bordet J. On the agglutination and dissolution of red blood
cells by the serum of animals injected with
defibrinated blood. Ann Inst Pasteur . 1898;12:688–
695 (In this study a serum component other than
antibody that helped antibodies cause the lysis of red
blood cells, later to be called “complement,” was
discovered. Bordet received the Nobel prize for this
discovery.).
Garcia B.L, Zwarthoff S.A, Rooijakkers S.H, Geisbrecht B.V.
Novel evasion mechanisms of the classical
complement pathway. J Immunol . 2016;197:2051–
2060.
Goldberg B.S, Ackerman M.E. Antibody-mediated
complement activation in pathology and protection.
Immunol Cell Biol . 2020;98:305–317.
134 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Haapasalo K, Meri S. Regulation of the complement system
by pentraxins. Front Immunol. 2019;10:1750.
Liszewski M.K, Java A, Schramm E.C, Atkinson J.P.
Complement dysregulation and disease: insights from
contemporary genetics. Annu Rev Pathol .
2017;12:25–52.
Presumey J, Bialas A.R, Carroll M.C. Complement system in
neural synapse elimination in development and
disease. Adv Immunol . 2017;135:53–79.
Reis E.S, Mastellos D.C, Hajishengallis G, Lambris J.D. New
insights into the immune functions of complement.
Nat Rev Immunol . 2019;19:503–516.
Ricklin D, Lambris J.D. New milestones ahead in
complement-targeted therapy. Semin Immunol .
2016;28:208–222.
Xie C.B, Jane-Wit D, Pober J.S. Complement membrane
aĴack complex: new roles, mechanisms of action, and
therapeutic targets. Am J Pathol . 2020;190:1138–
1150.
F. Glosarium
Antibodi: produk tubuh saat melawan patogen untuk
membasmi patogen.
Antigen: zat asing yang masuk ke dalam tubuh. Misalnya
pathogen terdiri dari bakteri, virus, jamur dan parasit.
Apoptosis: proses kematian sel.
Cell host: sel tuan rumah pada tubuh
Fagositosis: proses memakannya sel kekebalan terhadap
pathogen.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 135
Humoral: sistem kekebalan tubuh yang diproduksi oleh
tubuh, contohnya antibodi.
Imunitas: sistem kekebalan tubuh manusia.
Opsonisasi: pelapisan antigen oleh antibodi,
komplemen, fibronektin, yang berfungsi untuk
memudahkan fagositosis
Reseptor: penanda sinyal, biasanya terdapat di sel
maupun pada mikroba.
Serum: komposisi sel darah, bagian paling atas dari sel
darah dan biasanya serum akan terlihat Ketika darah
didiamkan atau disentrifus.
G. Indeks
Adaptive immunity
Antibodi
Apoptosis
Antigen
Host cell
Humoral
Imunitas
Innate immunity
Jalur alternatif
Jalur klasik
Jalur lektin
Komplemen
Opsonisasi
Plasma
Reseptor
Serum
136 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
BAB VIII HIPERSENSITIVITAS
Fajar Husen, S.Si., M.Si
A. Tujuan pembelajaran:
Mampu memahami dan menjelaskan reaksi
hipersensitivitas terhadap antigen serta tipe tipe reaksi
hipersensitivitas.
B. Materi
1. Definisi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas merupakan suatu kondisi
atau reaksi yang dapat menyebabkan suatu keadaan
cidera patologis ataupun cidera pada suatu jaringan.
Keadaan tersebut terjadi karena adanya peningkatan
sensitivitas serta aktivitas terhadap suatu antigen yang
pernah dipajankan dan telah dikenali sebelumnya.
Respon imun nonspesifik ataupun respon imun spesifik
yang biasanya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi
protektif (memberikan perlindungan) terhadap infeksi
atau keganasan sel kanker, namun karena
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 137
hipersensitivitas dapat menyebabkan hal yang
merugikan bagi tubuh. Sehingga hipersensitivitas juga
dapat dikatakan sebagai reaksi dan respon imun di dalam
tubu yang berlebihan (over act). Umumnya bahwa reaksi
hipersensitivitas dapat terjadi pada dua kejadian utama,
yaitu respon imun terhadap antigen asing yang sifatnya
infeksius seperti mikroba atau yang non-infeksius berupa
antigen yang berada di lingkungan sekitar (misal debu),
dan kedua adalah respon dari sistem imun terhadap
antigen yang berasal dari dalam tubuh sendiri (autolog).
Keadaan dan respon terhadap antigen autolog ini terhadi
akibat kegagalan terhadap toleransi diri (self-
tolerance), atau yang biasa dikenal sebagai
autoimunitas. Autoimunitas dapat menyebabkan suatu
kelainan penyakit yang dikenal sebagai autoimmune
disease.
138 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Reaksi hipersensitivitas sangat jelas
memberikan efek menciderai dan merugikan bagi
penjamu/ host. Rekasi ini timbul
140 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Gambar 8.1. Pelepasan Mediator Mast Cells
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 141
Rangkaian yang lebih lengkap kejadian yang
terjadi pada reaksi hipersensitivitas berupa alergi,
disajikan pada Gambar 8.2.
142 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
paparan berikutnya (repeat exposure) maka terjadi
pengikatan silang antara antobodi (IgE) yang terikat
antigen serta pelepasan mediator dari mast cells. Hal
tersebut akan menyebabkan reaksi patologis
hipersensitivitas segera.
144 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Terdapat tiga fase utama pada reaksi
hipersensitivitas tipe I yang dapat kita
sederhanakan, diantaranya yaitu:
146 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Leukosit dapat bergerak dengan lebih cepat
karena adanya stimulus dari sitokin yang telah
diproduksi oleh mast cells. Hal tersebut menyebabkan
reaksi fase lambat. Jenis leukosit yang paling berperan
pada reaksi ini diantaranya adalah neutrophil,
eosinophil, serta sel Th2. Sementara tumor necrosis
factor (TNF) akan mempengaruhi laju reaksi inflamasi.
Pengerahan leukosit pada reaksi hipersensitivitas tipe
I juga dipengaruhi karena adanya kemokin yang di
release oleh mast cells. Protease kemudian sekresikan
oleh neutrophil dan eosinophil, akibatnya terjadi
tissue damage. Kerusakan jaringan yang terjadi
semakin diperparah dengan adanya releasing sitokin
proinflamasi yang di sekresikan oleh sel Th2. Dapat
disimpulkan bahwa sel eosinophil sangat berperan
besar pada reaksi kerusakan jaringan dan alergi.
Aktivitas sel eosinophil ini sangat didukung dengan
aktivasi yang dilakukan IL-5 (yang merupakan sitokin
hasil sekresi dari mast cells, sel Th2 dan sel innate
lymphoid cells (ILCs).
150 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
a. Jalur lisis sel yang diemdiasi oleh complement
(Complementt mediated lysis of cell)
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 151
Melalui jalur ADCC, antibodi akan terikat
dengan antigen pada sisi Fab nya. Sementara pada
bagian Fc dari antibodi memiliki reseptor sel
sitotoksik. Antiobdi akan mengubungkan target
antigen (misal mikroba) dengan sel sitotoksik dan
mendukung proses pembunuhan/ killing.
Kebanyakan sel sitotoksik juga berisi enzim digestif
dan hidrolitik, yang akan dikeluarkan pada bagian
permukaan sel target sehingga proses killing dapat
terjadi. Antibodi bertindak sebagai perantara atau
mediator yang akan membawa antigen ke sel
sitotoksik, serta sebaliknya sel sitotoksik sangat
bergantung pada antibodi untuk mengikat antigen
(oleh karenanya pada reaksi ini dikenal sebagai
antibody-dependent cellular cytotoxicity.
3. Jalur opsonisasi
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 153
Gambar 8.4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 157
Gambar 8.6. Fase Sensitasi dan Efektor Pada
Hipersensitivitas Tipe Lambat (DTH)
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 159
C. Rangkuman
1. Hipersensitivitas merupakan sebuah reaksi imun
terhadap antigen yang dapat menyebabkan keruskan
jaringan. Penyakit akibat reaksi hipersensitivitas adalah
hypersensitivity disease atau inflamasi yang
diperantarai oleh imunitas. Reaksi ini muncul akibat
respon abnormal dan tak terkontrol terhadap antigen
asing/ sendiri (self)
2. Pembagian tipe hipersensitivitas didasarkan atas cara
atau mekanisme terjadinya kerusakan pada jaringan.
160 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Hipersensitivitas tipe I (reaksi cepat), disebabkan oleh
aktivasi terhadap sel Th2 dan Tfh yang menghasilkan IL-
4, serta produksi antibodi (IgE) akibat antigen eksogen
(envirnonment), atau sensitasi mast cells oleh IgE serta
degranulasi mast cells pada repeat exposure.
Hipersensitivitas tipe II (sitotoksik), yang diperantarai
oleh antibodi IgG dan IgM, menyebabkan reaksi inflamasi
yang dimediatori oleh complement dan menyebabkan
kerusakan jaringan. Hipersensitivitas tipe III (kompleks
imun), diperantarai oleh antibodi terlarut (IgG dan IgM),
dimana ikatan antigen-antibodi yang membentuk
kompleks imun yang tedeposit di berbagai tempat
(menyebabkan inflamasi). Hipersensitivitas tipe IV (tipe
lambat), diperantarai oleh sel T, menyebabkan reaksi
inflamasi akibat produksi sitokin pro-inflamasi yang
disekresi oleh sel T CD4+, dan sel Th17, serta killing yang
dilakukan sel T sitotoksik (CD8+).
D. Tugas
1. Jelasakan tentang konsep “alergi” berdasarkan
matreri hipersensitivtas yang sudah kalian pelajari,
dan jelaskan salah satu contoh kejadian alergi
berikut mekansime yang terjadi
2. Jelaskan perbedaan reaksi hipersensitivitas tipe II
dan III yang saudara ketahui. Jelaskan dalam bentuk
narasi.
E. Referensi
Abbas, A. K., Lichtman, A. H., & Pillai, S. (2016). Basic
Immunology: Functions and Disorders of the Immune
System (H. Kalim (ed.); 5th Editio). Elsevier.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 161
Rittenhous-Olson, K., & Ernesto, D. N. (2013a).
Contemporary Clinical Immunology And Serology (1st
Editio). Perason Eduaction, Inc.
Rittenhous-Olson, K., & Ernesto, D. N. (2013b). Imunologi
Dan Serologi Klinis Modern: Untuk Kedokteran Dan
Analis Kesehatan (MLT/CLT): Edisi Terjemahan (Dian
Ramadhani, Devi Yulianti, Risalia Reni Arisanti, Retno
Martini. 2017 (H. Octavius & E. A. Mardella (eds.)).
Penerbit Buku Kedokteran: EGC.
Zubir, F. Z. (2015). Reaksi Hipersensitivitas tipe III. In
Konsep Konsep Dasar Imunologi (pp. 149–158). Divisi
Pulmonologi dan Alergi Imunologi – Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, Universitas Sumatera Utara (USU).
F. Glosarium
GM-CSF: Granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor (GM-CSF)
G. Indeks
162 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Antigen Presenting Cells (APC), 11,12
Hipersensitivitas, 1,2,5,7,9,14
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 163
164 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
BAB IX IMUNOLOGI MUKOSA
apt. Muh Taufiqurrahman M.Farm
A. Tujuan pembelajaran :
Mampu memahami respon imunologi pada mukosa
B. Materi
1. Pendahuluan Imunologi Mukosa
Sistem imunitas mukosa merupakan bagian sistem
imunitas yang penting dan berlawanan sifatnya dari
sistem imunitas yang lain. Sistem imunitas mukosa lebih
bersifat menekan imunitas, karena hal-hal berikut;
mukosa berhubungan langsung dengan lingkungan luar
dan berhadapan dengan banyak antigen yang terdiri
dari bakteri komensal, antigen makanan dan virus
dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan sistem
imunitas sistemik. Antigen-antigen tersebut sedapat
mungkin dicegah agar tidak menempel mukosa dengan
pengikatan oleh IgA, barier fisik dan kimiawi dengan
enzim-enzim mukosa.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 165
Antigen yang telah menembus mukosa juga
dieliminasi dan reaksi imun yang terjadi diatur oleh sel-
sel regulator. Hal ini untuk mencegah terjadinya
respons imun yang berlebihan yang akhirnya merugikan
oleh karena adanya paparan antigen yang sangat
banyak. Sedangkan sistem imunitas sistemik bersifat
memicu respons imun oleh karena adanya paparan
antigen. Sistem imunitas mukosa menggunakan
beberapa mekanisme untuk melindungi pejamu dari
respons imunitas yang berlebihan terhadap isi lumen
usus. Mekanisme yang dipakai adalah barier fisik yang
kuat, adanya enzim luminal yang mempengaruhi
antigen diri yang alami, adanya sel T regulator spesifik
yang diatur fungsinya oleh jaringan limfoid usus, dan
adanya produksi antibodi IgA sekretori yang paling
cocok dengan lingkungan usus. Semua mekanisme ini
ditujukan untuk menekan respons imunitas. Kelainan
beberapa komponen ini dapat menyebabkan
peradangan atau alergi.
168 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
lokal atau regional di mana mereka menjadi APC aktif
dan merangsang sel T baik untuk produksi atau
downregulatory. respon imun (menekan). HEV
memungkinkan limfosit B dan T naif untuk memasuki
MALT (dan kelenjar getah bening). Mereka beralih dari
MALT dan kelenjar getah bening ke sirkulasi perifer
setelah dipersiapkan untuk menjadi memori/efektor B
dan sel T, di mana mereka kemudian akan ekstravasasi
di situs efektor mukosa (dicontohkan oleh mukosa usus
di sebelah kanan). Profil lokal molekul adhesi vaskular
dan kemokin mengontrol proses ini, dengan sel endotel
bertindak sebagai penjaga gerbang regional untuk
imunitas mukosa. Beberapa limfosit B tetapi sejumlah
besar plasmablast dan sel plasma IgA (dimer/polimer)
dan IgM (pentamer) yang mengekspresikan rantai-J
dapat ditemukan di usus lamina propria. Selain itu,
sejumlah besar sel T, sebagian besar CD4+, dan
beberapa sel plasma IgG yang tidak umum dengan
berbagai tingkat rantai-J (J), biasanya ada. Selain itu,
SIgA dan SIgM dibuat melalui transportasi epitel yang
dimediasi pIgR (mSC), dan kebocoran paraseluler
sejumlah kecil (panah rusak) dari antibodi IgG yang
diproduksi secara lokal dan yang diturunkan dari plasma
ke dalam lumen adalah ciri khas lainnya. Reseptor Fc
neonatal berpotensi terlibat dalam transpor IgG aktif
tertentu (tidak diindikasikan). Perlu dicatat bahwa
rantai IgG dan J tidak dapat berinteraksi untuk
menyediakan situs pengikatan untuk pIgR. Selain itu,
diagram ditampilkan menunjukkan distribusi limfosit
intraepitel, terutama reseptor sel-T/+CD8+ dan
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 169
beberapa/+sel T. Karakteristik sel M dan "kantungnya"
yang terdiri dari berbagai jenis sel ditunjukkan pada
inset (pojok kiri bawah). Dengan izin Elsevier, karikatur
diubah dari Brandtzaeg dan Pabst1. Sel penyaji antigen,
sel dendritik, sel dendritik folikuler, venula endotel
tinggi, jaringan limfoid terkait mukosa, komponen
sekretori membran, reseptor Ig polimer, IgA sekretori,
dan IgM sekretorik adalah contoh tipe sel.
3. Respons Umum Imunologi Mukosa
Antigen yang berada di lumen diambil oleh sel
epitelial abortif dan sel epitelial spesifik (sel membran
atau sel mikrofold atau sel M) di mukosa induktif,
dibawa atau langsung ditangkap oleh antigen-
presenting cel (APC) profesional (APC terdiri dari; sel
dendritik (DC), sel limfosit B dan makrofag) dan
dipresentasikan kepada sel-sel T konvensional αβ CD4+
dan CD8+, semuanya berada pada tempat induktif.
Beberapa antigen juga bisa langsung diproses dan
dipresentasikan oleh sel epitelial kepada sel T
intraepitelial tetangga (neighboring intraepithelial T
cells) meliputi sel T dengan limited resevoire
diversity (sel T γδ dan sel NKT). Respons imun mukosa
dipengaruhi oleh alamiah antigen, tipe APC yang
terlibat dan lingkungan mikro lokal. Dengan kebanyakan
tipe adalah antigen non patogen (protein makanan),
jalur normal untuk sel dendritik mukosa dan APC lain
terlihat melibatkan sel T helper 2 dan respons berbagai
sel T regulator, biasanya hasilnya adalah supresi aktif
imunitas sistemik, toleransi oral. Antigen dan adjuvant,
meliputi kebanyakan patogen, mempunyai motif
170 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
disensitisasi oleh APC mukosa sebagai pertanda bahaya
(contoh; ligan toll-like reseptor (TLR)) disatu sisi dan
kondisi proinflamasi pada umumnya, menghasilkan
respons imun yang lebih kuat dan luas, baik sekresi
hormonal maupun sisi efektor imunitaas seluler dan
tidak menghasilkan toleransi oral. Ini diasumsikan
bahwa pengenalan patogen oleh TLR APC mukosa
membedakan dari respons pada flora komensal. Tetapi
terakhir ditemukan bahwa pada kondisi normal, bakteri
komensal dapat dikenali oleh TLR, interaksi ini
tampaknya suatu yang penting untuk menjaga
homeostasis epitel di usus.
Sel B maupun sel T yang tersensitisasi,
meninggalkan tempat asal dimana berhubungan dengan
antigen (contohnya plak payeri), transit melewati
kelenjar limfe, masuk ke sirkulasi, dan kemudian
menempatkan diri pada mukosa terseleksi, umumnya
pada mukosa asal dimana mereka kemudian
berdeferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori,
membentuk IgA sekretori. Afinitas sel-sel ini
kelihatannya dipengaruhi secara kuat oleh integrin
pada tempat spesifik (homing reseptors) pada
permukaannya dan reseptor jaringan spesifik
komplementari (adressin) pada sel endotel kapiler.
Pada penelitian terbaru mengindikasikan bahwa sel
dendritik mukosa dapat mempengaruhi
properti homing . Sel dendritik dari plak payeri dan
limfonodi mesentrik, tetapi tidak sel dendritik dari
limfa dan perifer, meningkatkan ekspresi reseptor
homing mukosa α4β7 dan reseptor CCR9, suatu reseptor
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 171
untuk gut-assosiated chemokine sel T memori dan sel T
CD8+ memori, untuk lebih suka homing di epitel
intestinal. Juga, sel dendritikimprinting of gut homing
specifity, terlihat terdiri dari retinoid acid yang
diproduksi oleh sel dendritik intestinal tetapi tidak oleh
sel dendritik limfoid lain. Ini mungkin bisa menjelaskan
dugaan sistem imun mukosa umum dimana imunosit
teraktivasi pada suatu tempat menyebarkan imunitas
ke jaringan mukosa jauh dari pada oleh karena imunitas
sistemik. Pada saat yang sama, oleh karena kemokin,
integrin dan sitokin terekspresi berbeda diantara
jaringan mukosa, fakta tersebut juga bisa menerangkan
sebagian, mengapa didalam sistem imun mukosa, ada
hubungan kompartemenisasi khas dengan tempat
mukosa terinduksi (contohnya usus dengan glandula
mamae dan hidung dengan saluran pernafasan dan
genital).
Adanya hubungan kompartemenisasi ini menjadi
pertimbangan tempat diberikannya imunisasi mukosa
akan efek yang diharapkan. Imunisasi oral akan
menginduksi antibodi di usus halus (paling kuat di
proksimal), kolon asenden, glandula mamae dan
glandula saliva tetapi tidak efektif menginduksi
antibodi di segmen bawah usus besar, tonsil dan genital
wanita. Sebaliknya imunisasi perektal, akan
menghasilkan respons antibodi yang kuat di rektum
tetapi tidak di usus halus dan colon proksimal. Imunisasi
per nasal dan tonsil akan memberikan respons antibodi
di mukosa pernafasan atas dan regio sekresi (saliva dan
nasal) tanpa respons imun di usus, tetapi juga terjadi
172 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
respons imun di mukosa vagina seperti yang terlihat
pada usaha imunisasi HIV. Penelitian pada tikus
ditemukan bahwa suntikan transkutan bisa
menimbulkan efek imunitas di mukosa vagina.
4. Mekanisme efektor dan regulator pada imunologi
mukosa
1. Mekanisme efektor
Selain mekanisme pembersihan antigen
mekanis dan kimiawi, imuitas mukosa terdiri dari sel
lain berupa sistem imune innate yang meliputi
netrofil fagositik dan makrofag, denritik sel, sel NK
(natural killer), dan sel mast. Sel-sel ini berperan
dalam eliminasi patogen dan inisisasi respons imun
adaptif. Mekanisme pertahanan sistem imun
adaptif di permukaan mukosa adalah suatu sistem
yang diperantarai antibodi IgA sekretori, kelas
imunoglobulin predominan dalam sekresi eksternal
manusia. Imunoglobulin ini tahan terhadap protease
sehingga cocok berfungsi pada sekresi mukosa.
Induksi IgA melawan patogen mukosa dan antigen
protein terlarut bergantung pada sel T helper.
Perubahan sel B menjadi sel B penghasil IgA
dipengaruhi oleh TGF-β dan iterleukin (IL)10
bersama-sama dengan IL-4. Diketahui bahwa sel T
mukosa menghasilkan dalam jumlah yang banyak
TGF-β, IL-10 dan IL-4, sel epitelial mukosa
menghasilkan TGF-β dan IL-10, menjadi petunjuk
bahwa maturasi sel B penghasil IgA melibatkan
lingkungan mikro mukosa yaitu sel epitel dan
limfosit T tetangga.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 173
Walaupun IgA predominan sebagai
mekanisme pertahanan humoral, IgM dan IgG juga
diproduksi secara lokal dan berperan dalam
mekanisme pertahanan secara signifikan. Sel T
limfosit sitolitik mukosa (CTL) mempunyai peran
penting dalam imunitas pembersihan patogen virus
dan parasit intraseluler. Sel CTL ini juga akan
terlihat setelah pemberian imunisasi oral, nasal,
rektal ataupun vaginal dan yang terbaru
perkutaneus.
2. Mekanisme regulator
Sistem imun mukosa telah mengembangkan
berbagai cara untuk menjaga toleransi
terhadap antigen-self, antigen lingkungan pada
mikroflora, antigen makanan dan material udara
terhirup. Tolerasi tersebut melalui mekanisme;
aktifasi sel penginduksi kematian (induce-cell
death), anergi dan yang paling penting induksi sel T
regulatori. Anergi terhadap sel T antigen spesifik
terjadi bila inhalasi atau menelan sejumlah besar
protein terlarut, dan penghilangan (deleting) sel T
spesifik terjadi setelah pemberian antigen dosis
nonfisiologis, secara masif. Pada percobaan tikus
sudah diketahui ada 4 sel T regulator, yaitu;
(i) antigen-induced CD4+ T helper 2 like cells yang
memproduksi IL-4 dan IL-10, dan antagonis sel
efektor T helper 1, (ii) sel CD4+CD45RBlowyang
memproduksi IL-10, (iii) sel CD4+ dan CD8+ yang
memproduksi TGF-β (T helper 3), (iv) Sel
174 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Treg (CD4+CD25+) yang mensupresi proliferasi
melalui suatu sel contact-dependent mechanism.
Meskipun in vitro, sel yang terakhir dapat
dikembangkan menjadi suatu bentuk sel antigen
spesifik in vivo setelah imunisasi. Sel ini bisa juga
mengubah aktifitas supresor pada sel CD4+ lain
dengan cara menginduksi ekspresi dari transkripsi
faktor Foxp3 dan atau ikatan MHC klas II dengan
molekul LAG-3 pada sel seperti infectious
tolerance. Mereka juga mempunyai hubungan
langsung antara sel T inhibitor oleh Sel T reg , T
helper 3, sel Tr 1. Selanjutnya natural
human CD4+CD25+ Treg mengekspresikan integrin
α4β7 mukosa, ketika bersama sel T CD4+
konvensional menginduksi sel T sekresiTr 1 like IL
10 dengan aktifitas supresor kuat terhadap sel T
efektor, dimana α4β1 Treg –positif lain
memperlihatkan cara yang sama dengan cara
menginduksi Thelper 3-like TGF-β-secreting
supressor T cells.
Data dari studi terakhir mengindikasikan
bahwa kesemua sel regulator yang berbeda tipenya
dan mekanismenya dapat diinduksi atau ditambah
(expand) oleh adanya antigen mukosa mengawali
terjadinya toleransi perifer. Sel T CD8+ γδ
intraepitelial mukosa respirasi dan usus juga
dicurigai berperan dalam toleransi mukosa. Jadi,
mekanisme pertahanan mukosa
dariautoagressive dan penyakit alergi melibatkan
berbagai tahap regulasi. Sedangkan aktivasi,
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 175
survival dan ekspansi sel regulator ini tampaknya
dikontrol oleh jenis terspesialisasi APC, khususnya
sel dendritik jaringan spesifik meliputi sel dendritik
di hati, plak payeri, mukosa intestinal dan paru.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 181
sel dan dapat menyebabkan kelainan autoimun pada
neonatus yang mengalami timektomi.
6. Aspek Klinis Imunologi Mukosa
a. Imunisasi
Alasan utama menggunakan vaksinasi
melalui mukosa adalah bahwa fakta kebanyakan
infeksi masuk melalui permukaan mukosa dan pada
infeksi ini, jarang diberikan vaksin topikal untuk
menginduksi respons imun protektif. Vaksinasi
mukosa diharapkan akan memberikan perlindungan
dengan cara mencegah penempelan dan kolonisasi
patogen pada epitel mukosa dan mencegah
penetrasi dan replikasi di mukosa serta menangkal
ikatan toksin mikrobial pada epitel mukosa dan sel
lain yang terkena. Beberapa organisme (V.
cholerae) memberikan imunitas dengan cara
memproduksi IgA sekretori dan dihubungkan
dengan memori imunologi. Organisme lain (H.
pylori, klamidia, herpes) memberikan imunitas
protektif dengan diperantarai oleh sel T helper CD4
dan mungkin juga sel sitolitik CD8 dan sel NK. Pada
mukosa pernafasan dan genital yang lebih
permeabel dan mudah dipenetrasi oleh antibodi
daripada mukosa intestinal, juga bisa mendapatkan
imunitas protektif dengan pemberian imunisasi
parenteral. Cara yang sama juga bisa terjadi pada
infeksi enterik (Shigella spp dan Salmonella typhi).
Infeksi kedua organisme ini bisa menyebabkan
penyakit setelah multiplikasi dan induksi inflamasi
di kelenjar limfoid mukosa. Walaupun demikian
182 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
masih ada kesulitan dalam mengembangkan vaksin
mukosa untuk mendapatkan kadar antibodi IgAs
yang memadai. Baru beberapa vaksin mukosa yang
ditemukan. Idealnya vaksin mukosa: (i) terlindungi
dari eliminasi fisik dan enzim pencernakan, (ii)
tempat target masuk mukosa meliputi membran
atau sel M, (iii) paling tidak, vaksin untuk melawan
infeksi, menstimulasi secara tepat sistim
imun innate yang akan mengaktifkan sistem imun
adaptif. Untuk itu perlu dicari sistem pengantaran
antigen dan adjuvant yang baik. Dalam penelitian,
adjuvant yang paling baik adalah toksin kolera.
Molekul DNA bakteri atau oligodeoxynucleotide juga
merupakan adjuvant yang menjanjikan.
Pada vaksin oral polio, akan bisa
menghasilkan antibodi di darah yang menimbulkan
efek proteksi mencegah terjadinya mielitis akibat
sebaran virus polio yang menempel di sistem saraf.
Kelebihan OPV dibanding dengan IPV, OPV bisa juga
mempoduksi IgAs yang memberikan respons imun
lokal di mukosa intestinal, tempat primer virus polio
untuk replikasi dan multiplikasi. Hal ini bisa
mencegah penularan orang ke orang, dan
menimbulkan herd immunity. Walau ada
kelemahan akan adanya virulensi yang pulih pada
virus vaksin sehingga bisa menyebabkan sakit.
Vaksin-vaksin untuk melawan infeksi enterik
antara lain V.cholerae, S.typhidan rotavirus. Tetapi
masih belum ditemukan vaksin untuk ETEC dan
shigella. Kolera merupakan organisme terbanyak
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 183
penyebab diare bakterial. Sebelumnya diberikan
imunisasi parenteral tetapi tidak menimbulkan
respons imun mukosa usus sehingga sekarang sudah
ditarik. Saat ini ada 2 vaksin kolera oral yang terdiri
dari pertama, vaksin rekombinan dan vaksin
inaktifasi yang terbukti aman dan stabil, efektif,
dan bisa menghasilkan herd immunity. Efek poteksi
didapat dari produksi antibodi SigA anti-toksin dan
anti-bakterial di usus. Kedua, vaksin kolera hidup
yang dilemahkan terbukti aman dan bisa
memberikan proteksi 60-100% di negara tidak
endemis, tetapi tidak bisa membeikan proteksi yang
bermakna di negara endemis sepeti Indonesia.
Vaksin terhadap tifus pertama kali berupa
vaksin sel utuh, memberikan proteksi yang baik
tetapi terdapat reaksi lokal yan berat dan sering
demam. Saat ini ada 2 jenis yang direkomendasikan
yaitu vaksin yang terdiri dari antigen Vi kapsul
polisakarida murni, diberikan secara parenteral
dosis tunggal yang memberikan proteksi 70% dan
aman ditoleransi dengan baik. Jenis yang lain
adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang diberikan
secara oral memberikan perlindungan 67% selama 3
tahun, akan tetapi proteksi imunitas mukosa lokal
belum diketahui. Vaksin rotavirus yang terdahulu
adalah suatu vaksin quadrivalen dari rotavirus resus
monyet, tetapi cepat ditarik karena dicurigai
menyebabkan intususepsi. Saat ini telah
dikembangkan vaksin oral rotavirus hidup yang
dilemahkan, memberikan proteksi 62-90%.
184 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Vaksin untuk infeksi saluran nafas antara lain
vaksin influensa dan pneumokok yang disuntikkan.
Diharapkan akan terbentuk IgG yang melindungi
penyebaran sistemik organisme tersebut. Dimana
mungkin juga secara transudasi memberikan
proteksi lokal mukosa saluran pernafasan bawah.
Saat ini telah ada vaksin influensa yang diberikan
topikal lewat nasal. Dengan cara ini tejadi respons
imun seperti alamiahnya, bisa terjadi imunitas lokal
dengan membentuk sIgA yang menempel di
permukaan virus hemaglutinin dan neuroamidase
dan sistemik dengan cara membentuk IgG yang
mencegah penyebaran virus sistemik, viremia.
Kedua macam vaksin tersebut memberikan proteksi
sebesar 60-90%.
Vaksin mukosa untuk imunoterapi saat ini
mulai dipikirkan. Adanya toleransi imunologi di
mukosa menjadikan pilihan strategi untuk
mengembangkannya, untuk mengobati kesakitan
yang diakibatkan reaksi imun terhadap alergen
maupun antigen-self atau autoimmune disease.
Masih perlu diteliti lagi seberapa besar dan
seberapa sering alergen yang diberikan untuk bisa
menimbulkan efek protektif dengan aman. Teknik-
teknik baru dengan menggunakan modifikasi
alergen, vaksinasi gen alergen atau analog peptida
digabung dengan adjuvant yang sesuai
meningkatkan keamanan dan efikasi imunoterapi
mukosa pada alergi dan asma.
b. Penyakit inflamasi usus
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 185
Ada dua penyakit yang penting pada
penyakit inflamasi usus (inflammatory bowel
disease) yaitu kolitis ulserativa (UC) dan Crohn’s
disease (CD). Kedua penyakit itu bisa mengenai baik
anak-anak maupun dewasa. Penyakit UC adalah
suatu keadaan yang ditandai dengan adanya respons
inflamasi dan perubahan morfologi pada kolon.
Inflamasi terbatas di sepanjang kolon dan dapat
diikuti dengan ulkus, edema dan perdarahan.
Sedangkan CD adalah inflamasi menyerupai UC
tetapi bisa terjadi di seluruh bagian dari usus.
Bisanya segmen yang sakit diselingi bagian segmen
usus yang sehat disebut sebagai skip area.
Respons inflamasi yang merusak disebabkan
langsung oleh karena pengenalan terhadap self-
antigen seperti musin, sel goblet, kolonosit, dan
sel-sel lain. Sejumlah penelitian mencurigai CD
pada manusia adalah suatu penyakit yang
diperantarai sel T helper 1 dan berlebihan.
Sedangkan untuk UC masih sedikit diketahui apa
yang memerantarainya. Beberapa studi
menyebutkan bahwa profil sitokin UC lain dengan
CD. Kemungkinan yang lebih berperan dalan UD
adalah T helper 2 dibanding T helper 1, juga
dicurigai adanya respons imun humoral yang
abnormal terjadi pada UC.
c. Imunitas mukosa saluran pernafasan pada asma
dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
Imunoglobulin A berperan pada homeostasis
mukosa dan pertahanan host serta merupakan
186 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
mekanisme pertahanan pertama terhadap kelainan
jalan nafas kronis. Ini sudah diketahui, tetapi
perannya terhadap PPOK dan asma baru sedikit
diketahui. Pada PPOK diperkirakan bahwa respons
IgA mukosa terganggu dan terjadi kekurangan
transport IgA melewati epitel bronkus, yang
mungkin memunculkan proteinase neutrofil, dimana
akan mendegradasi reseptor imunoglobulin yang
dimediasi rute transepitelial ini. Sebaliknya,
respons IgA terhadap alergen pada asma memainkan
peran suatu proses patogenik dengan cara aktifasi
eosinofil. Jadi, IgA menginduksi degranulasi
eosinofil, dimana kita ketahui bahwa produk
degranulasi eosinofil terdiri dari mediator-mediator
inflamasi yang menyebabkan klinis asma terjadi.
Defisiensi IgA selektif berhubungan dengan
peningkatan prevalensi atopi, dimana pada
percobaan pada tikus dengan asma menunjukan
adanya efek protektif oleh IgA. Sehingga masih
diperlukan penelitian lagi untuk mencari peran
imunitas mukosa dan kemungkinan imunoterapi
yang efektif terhadap asma dan PPOK.
d. Peran imunitas mukosa urogenital terhadap
infeksi saluran kemih
Selain pertahanan fisik, kimiawi dan sistem
imune innate , IgA mempunyai peran yang sangat
penting dalam pertahana terhadap antigen dan
patogen di saluran urogenital. Ada satu penelitian
yang mengukur kadar IgA urine pada anak-anak
perempuan dengan ISK asimtomatik dan anak-anak
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 187
ISK simtomatik dibandingkan dengan anak sehat
tanpa ISK. Mereka menemukan bukti bahwa pada
anak sehat, ekskresi IgA rendah pada bayi kurang
dari 6 bulan dan pada umur 6-15 tahun terlihat
sekresi IgA meningkat dengan bertambahnya umur.
Pada anak-anak dengan ISK berulang asimtomatik
tanpa kelainan saluran kemih, ternyata mempunyai
kadar IgA yang lebih rendah dibanding kontrol.
Sedangkan pada anak dengan ISK simtomatik tanpa
kelainan saluran kemih mempunyai kadar ekskresi
IgA yang lebih tinggi dari kontrol. Anak dengan ISK
simtomatik dengan kelainan saluran kemih
mempunyai kadar ekskresi IgA paling tinggi.
Disimpulkan bahwa kadar IgA rendah bisa dijadikan
pertanda terjadinya ISK berulang pada anak-anak
perempuan tanpa kelainan saluran kemih.
Imunoterapi kelihatannya mempunyai
prospek yang baik untuk tatalaksana ISK dimasa
mendatang. Paling tidak ada 2 penelitian yang
mendukung hal tersebut. Penelitian dengan
menggunakan vaksinasi pervaginal terdapat
perbadaan bermakna angka reinfekasi dibanding
plasebo. Pada kelompok vaksin memperlihatkan 50%
pasien tidak terjadi reinfeksi ISK dibanding hanya
17% pada plasebo. Sedangkan penelitian yang
menggunakan vaksin oral, suatu metaanalisis
menyatakan bahwa pasien ISK yang mendapatkan
vaksin (18 uropatogenik E. coli) terjadi penurunan
yang nyata pada angka rekurensi dibanding dengan
plasebo. Tidak didapatkan perbedaan efek samping
188 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
yang bermakna dibanding kontrol. Sehingga, dengan
adanya resistensi yang semakin meningkat,
imunoterapi terhadap ISK akan menjadi alternatif
yang efeksif dan aman.
Sistem imun mukosa mempunyai tiga fungsi
utama yaitu; (i) melindungi membran mukosa dari
invasi dan kolonisasi mikroba berbahaya yang
mungkin menembus masuk, (ii) melindungi
pengambilan (uptake) antigen-antigen terdegradasi
meliputi protein-protein asing dari makanan yang
tercerna, material di udara yang terhirup dan
bakteri komensal, (iii) melindungi berkembangnya
respons imun yang berpotensi merugikan terhadap
antigen-antigen tersebut bila antigen tersebut
mencapai dalam tubuh.
Mekanisme pembersihan antigen melalui
beberapa cara yaitu; mekanis dengan barries fisik,
kimiawi dengan enzim-enzim, sistem
imune innatemeliputi netrofil fagositik dan
makrofag, denritik sel, sel NK (natural killer), dan
sel mast. Sel-sel ini berperan dalam eliminasi
patogen dan inisisasi respons imun adaptif.
Mekanisme pertahanan sistem imun adaptif di
permukaan mukosa adalah suatu sistem yang
diperantarai antibodi IgA sekretori. Sistem imunitas
mukosa mempunyai berbagai cara untuk menjaga
toleransi terhadap antigen-self, antigen lingkungan
pada mikroflora, antigen makanan dan material
udara terhirup. Tolerasi tersebut antara lain melalui
mekanisme; aktifasi sel penginduksi kematian
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 189
(induce-cell death), anergi dan yang paling penting
induksi sel T regulator. Adanya toleransi imun ini
melindungi tubuh dari terjadinya reaksi imun yang
berlebihan yang merugikan.
Kelainan klinis yang berhubungan dengan
imunitas mukosa diantaranya adalah defisiensi IgA
selektif, inflammatory bowel disease, asma dan
PPOK . Defisiensi IgA selektif adalah defisiensi berat
atau total tidak ada imunoglobulin A dalam serum
atau sekresi, tanpa ada defisiensi klas
imunoglobulin lain dimana fungsi sel T limfosit,
fagosit dan komplemen masih normal. kemungkinan
penyebab defisiensi ini adalah gangguan sintesis
akibat sel B tidak bisa mencapai matur atau
gangguan sekresi. Penyakit inflamasi usus
(inflammatory bowel disease) yaitu kolitis
ulcerativa (UC) dan Crohn’s disease (CD),
penyebabnya belum diketahui. Sejumlah penelitian
mencurigai CD pada manusia adalah suatu penyakit
yang diperantarai sel T helper 1 dan berlebihan.
Sedangkan untuk UC masih sedikit diketahui apa
yang memerantarainya. Pada asma, respons IgA
terhadap alergen memainkan peran suatu proses
patogenik dengan cara aktifasi eosinofil, sedangkan
PPOK diperkirakan bahwa respons IgA mukosa
terganggu dan terjadi kekurangan transport IgA
melewati epitel bronkus, yang mungkin
memunculkan proteinase neutrofil, dimana akan
mendegradasi reseptor imunoglobulin yang
dimediasi rute transepitelial ini.
190 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Sistem imunitas mukosa ternyata
mempunyai sifat kompartemenisasi dimana ada
hubungan imunitas antara satu kompartemen
dengan kompartemen lain. Adanya hubungan
kompartemenisasi ini menjadi pertimbangan
tempat diberikannya imunisasi mukosa akan efek
yang diharapkan. Vaksinasi mukosa dan imunoterapi
kelihatannya mempunyai prospek yang baik untuk
tatalaksana infeksi dimasa mendatang,
menggantikan peran antibiotik yang semakin
bertambah resistensinya dan antivirus. Untuk itu,
pemahaman imunologi mukosa yang komplek dan
belum sepenuhnya dimengerti menjadi sangat
penting.
C. Rangkuman
Sistem imunitas mukosa lebih bersifat menekan
imunitas, karena hal-hal berikut; mukosa berhubungan
langsung dengan lingkungan luar dan berhadapan
dengan banyak antigen yang terdiri dari bakteri
komensal, antigen makanan dan virus dalam jumlah
yang lebih besar dibandingkan sistem imunitas
sistemik. Hal ini untuk mencegah terjadinya respons
imun yang berlebihan yang akhirnya merugikan oleh
karena adanya paparan antigen yang sangat banyak.
Sistem imunitas mukosa menggunakan beberapa
mekanisme untuk melindungi pejamu dari respons
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 191
imunitas yang berlebihan terhadap isi lumen usus.
Mekanisme yang dipakai adalah barier fisik yang kuat,
adanya enzim luminal yang mempengaruhi antigen diri
yang alami, adanya sel T regulator spesifik yang diatur
fungsinya oleh jaringan limfoid usus, dan adanya
produksi antibodi IgA sekretori yang paling cocok
dengan lingkungan usus.
Mekanisme proteksi terhadap antigen pada mukosa,
terdiri dari: membran mukosa yang menutupi mukosa
dan enzim adalah perlindungan mekanik dan kimiawi
yang sangat kuat, sistem imun mukosa innate berupa
eliminasi antigen dengan cara fagositosis dan lisis,
sistem imun mukosa adaptif dimana selain melindungi
permukaan mukosa juga melindungi bagian dalam
badan dari masuknya antigen lingkungan. Sel-sel ini
terakumulasi di dalam atau transit antara
berbagai Mucosa-Assosiated Lymphoid
Ttisssue (MALT), bersama-sama membentuk sistem
organ limfoid terbesar pada mamalia. Sistem imun
mukosa mempunyai tiga fungsi utama yaitu; (i)
melindungi membran mukosa dari invasi dan kolonisasi
mikroba berbahaya yang mungkin menembus masuk,
(ii) melindungi pengambilan (uptake) antigen-antigen
terdegradasi meliputi protein-protein asing dari
makanan yang tercerna, material di udara yang
terhirup dan bakteri komensal, (iii) melindungi
berkembangnya respons imun yang berpotensi
merugikan terhadap antigen-antigen tersebut bila
antigen tersebut mencapai dalam tubuh. Secara
192 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
fungsional, MALT terdiri dari dua komponen yaitu
jaringan limfoid mukosa terorganisir dan sistem
imunologi mukosa tersebar.
Mukosa hidung di tengah berfungsi sebagai contoh
bagaimana DC intra- atau subepitel diam dapat
menangkap antigen di situs efektor dan bermigrasi
melalui pengeringan limfatik ke kelenjar getah
bening lokal atau regional di mana mereka menjadi
APC aktif dan merangsang sel T baik untuk produksi
atau downregulatory. Mereka beralih dari MALT dan
kelenjar getah bening ke sirkulasi perifer setelah
dipersiapkan untuk menjadi memori/efektor B dan
sel T, di mana mereka kemudian akan ekstravasasi di
situs efektor mukosa (dicontohkan oleh mukosa usus
di sebelah kanan). Profil lokal molekul adhesi
vaskular dan kemokin mengontrol proses ini, dengan
sel endotel bertindak sebagai penjaga gerbang
regional untuk imunitas mukosa. Beberapa limfosit B
tetapi sejumlah besar plasmablast dan sel plasma IgA
(dimer/polimer) dan IgM (pentamer) yang
mengekspresikan rantai-J dapat ditemukan di usus
lamina propria.
Selain itu, sejumlah besar sel T, sebagian besar CD4+,
dan beberapa sel plasma IgG yang tidak umum dengan
berbagai tingkat rantai-J (J), biasanya ada. Respons
Umum Imunologi Mukosa Antigen yang berada di
lumen diambil oleh sel epitelial abortif dan sel
epitelial spesifik (sel membran atau sel mikrofold atau
sel M) di mukosa induktif, dibawa atau langsung
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 193
ditangkap oleh antigen-presenting cel (APC)
profesional (APC terdiri dari; sel dendritik (DC), sel
limfosit B dan makrofag) dan dipresentasikan kepada
sel-sel T konvensional αβ CD4+ dan CD8+, semuanya
berada pada tempat induktif. Respons imun mukosa
dipengaruhi oleh alamiah antigen, tipe APC yang
terlibat dan lingkungan mikro lokal. Dengan
kebanyakan tipe adalah antigen non patogen (protein
makanan), jalur normal untuk sel dendritik mukosa dan
APC lain terlihat melibatkan sel T helper 2 dan respons
berbagai sel T regulator, biasanya hasilnya adalah
supresi aktif imunitas sistemik, toleransi oral.
Antigen dan adjuvant, meliputi kebanyakan patogen,
mempunyai motif disensitisasi oleh APC mukosa
sebagai pertanda bahaya (contoh; ligan toll-like
reseptor (TLR)) disatu sisi dan kondisi proinflamasi
pada umumnya, menghasilkan respons imun yang lebih
kuat dan luas, baik sekresi hormonal maupun sisi
efektor imunitaas seluler dan tidak menghasilkan
toleransi oral. Ini diasumsikan bahwa pengenalan
patogen oleh TLR APC mukosa membedakan dari
respons pada flora komensal..
D. Tugas
Uraikan Pengembangan terkini dari penerapan Imunologi
Mukosa
E. Referensi
Alswat, K., Al-Harthy, N., Mazrani, W., Alshumrani, G.,
Jhaveri, K., & Hirschfield, G. M. (2012). The spectrum
194 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
of sclerosing cholangitis and the relevance of IgG4
elevations in routine practice. Official journal of the
American College of Gastroenterology| ACG, 107(1),
56-63.
Alpert, M. D., Harvey, J. D., Lauer, W. A., Reeves, R.
K., Piatak Jr, M., Carville, A., ... & Evans, D. T. (2012).
ADCC develops over time during persistent infection
with live-attenuated SIV and is associated with
complete protection against SIVmac251 challenge.
Abul K. Abbas, Andrew H. Lichtman, Shiv Pillai. 2020.
Basic Immunology: Functions And Disorders Of The
Immune System, Sixth Edition. Elsevier Inc.
Bertolino, P., Trescol-Biémont, M. C., & Rabourdin-
Combe, C. (1998). Hepatocytes induce functional
activation of naive CD8+ T lymphocytes but fail to
promote survival. European journal of immunology,
28(1), 221-236..
Canary, L. A., Vinton, C. L., Morcock, D. R., Pierce, J.
B., Estes, J. D., Brenchley, J. M., & Klatt, N. R. (2013).
Rate of AIDS progression is associated with
gastrointestinal dysfunction in simian
immunodeficiency virus–infected pigtail macaques. The
Journal of Immunology, 190(6), 2959-2965..
Flatz, L., Cheng, C., Wang, L., Foulds, K. E., Ko, S. Y.,
Kong, W. P., ... & Nabel, G. J. (2012). Gene-based
vaccination with a mismatched envelope protects
against simian immunodeficiency virus infection in
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 195
nonhuman primates. Journal of virology, 86(15), 7760-
7770.
Holmgren, J., & Czerkinsky, C. 2005. Mucosal immunity
and vaccines. Nature medicine, 11(4), S45-S53.
Johnson AG, Richard J. Ziegler P, Louise Hawley P.
2019. Board Review Series : Microbiology &
Immunology. 5th Edition. Volume 53. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins
Judy Owen, Jenni Punt, Sharon Stranford. 2019. Kuby
Immunology. 9th edition. W.H. Freeman & Company.
Manafe, A. M., Fouk, M. F. W., & Ratu, M. 2020. Asuhan
Keperawatan Pada Nn. Gb Dan Tn. Mba Yang Mengalami
Hiv/Aids Dengan Masalah Perubahan Membran Mukosa
Oral Di Ruang Melati Dan Flamboyan Rsud Mgr. Gabriel
Manek, Svd Atambua. Jurnal Sahabat Keperawatan,
2(02), 18-32.
Li W, Deng G, Li M, Liu X, Wang Y. 2012. Roles of
Mucosal Immunity against Mycobacterium tuberculosis
Infection. Tuberculosis research and treatment.
Ogra, P. L., Mestecky, J., Lamm, M. E., Strober, W.,
McGhee, J. R., & Bienenstock, J. 2012. Handbook of
mucosal immunology. Academic Press.
Prakoeswa, F. R. 2020. Peranan Sel Limfosit Dalam
Imunulogi: Artikel Review. Jurnal Sains dan Kesehatan,
2(4), 525-537.
Rich, R., et al. 2019. Clinical Immunology Principles
and Practice. Elsevier Inc.
196 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Sato S, Kiyono H. 2012. The mucosal immune system of
the respiratory tract. Current opinion in virology.
Sproston, N. R., & Ashworth, J. J. 2018. Role of C-
reactive protein at sites of inflammation and infection.
Frontiers in Immunology, 9(APR), 1–11.
https://doi.org/10.3389/fimmu.2018.00754
Wahyuni, I. S., Sufiawati, I., & Levita, J. 2022.
Farmakologi Obat Ulserasi Mukosa Mulut. Penerbit
NEM.
F. Glosarium
G. Indeks
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 197
198 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
BAB X IMUNODEFISIENSI
Witriyani,S.Kep.,Ns.,M.Kep.,CWCS
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan kegiatan belajar ini,
Mahasiswa diharapkan:
1. Mampu memahami pengertian imunodefisiensi
2. Mampu memahami klasifikasi imunodefisiensi
3. Mampu memahami etiologi imunodefisiensi
4. Mampu memahami manifestasi klinis
imunodefisiensi
5. Mampu memahami dampak imunodefisiensi
terhadap tubuh
B. Materi
1. Pengertian Imunodefisiensi
Imunitas merupakan kekebalan terhadap
penyakit terutama penyakit infeksi. Imun sistem
adalah semua hal yang berperan dalam proses imun
seperti sel, protein, antibody dan sitokin/kemokin.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 199
Fungsi utama sistem imun adalah pertahanan
terhadap infeksimikroba, walaupun substansi non
infeksious juga dapat meningkatkan kerja sistem
imun. Respon imun adalah proses pertahanan tubuh
terhadap semua bahan asing, yang terdiri dari
sistem imun non spesifik dan spesifik.
Imunodefisiensi adalah kondisi ketika
kekebalan tubuh terganggu sehingga tidak bisa
melawan infeksi dan penyakit. Jenis gangguan ini
dapat membuat tubuh mudah terinfeksi oleh virus
dan bakteri. Gangguan ini bisa dimiliki sejak lahir
(primer) atau didapatkan di kemudian hari
(sekunder). Keadaan ini terjadi oleh adanya
penurunan atau ketiadaan respon imun normal. Hal
ini dapat terjadi secara primer yang pada umumnya
disebabkan oleh kelainan genetik yang diturunkan,
serta secara sekunder akibat penyakit utama lain
seperti infeksi, pengobatan kemoterapi,
sitostatika, radiasi, obat-obatan imunosupresan
(menekan sistem kekebalan tubuh) atau pada usia
lanjut dan malnutrisi (Kekurangan gizi).
2. Klasifikasi Imunodefisiensi
Imunodefisiensi terbagi menjadi dua, yaitu
imunodefisiensi primer yang hampir selalu
ditentukan faktor genetik. Sementara
imunodefisiensi sekunder bisa muncul sebagai
komplikasi penyakit seperti infeksi, kanker, atau
efek samping penggunaan obat-obatan dan terapi.
200 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
a. Imunodefisiensi Primer
Gangguan immunodefisiensi primer merujuk
beragam gangguan yang ditandai dengan
berkurangnya atau tidak adanya salah satu atau
lebih komponen dari sistem kekebalan tubuh.
Gangguan tersebut dapat bersifat kronis dan
biasanya merupakan gangguan yang cukup penting.
Imunodefisiensi primer menyebabkan individu tidak
dapat merespon secara adekuat infeksi yang ada
sehingga respon terhadap gangguan infeksi tidak
adekuat. Para peneliti telah mengidentifikasi lebih
dari 150 jenis imunodefisiensi primer.
Imunodefisiensi dapat mempengaruhi limfosit B,
limfosit T, atau fagosit. Gangguan imunodefisiensi
primer diantaranya yaitu:
1) Defisiensi IgA (imunoglobulin)
Imunoglobin ditemukan terutama di air
liur dan cairan tubuh lain sebagai perlindungan
pertama tubuh. Penyebabnya genetik maupun
infeksi toksoplasma, virus cacar, dan virus
lainnya. Orang yang kekurangan IgA cenderung
memiliki alergi atau mengalami pilek dan infeksi
pernapasan lain walaupun tidak parah.
2) Granulomatos kronis (CGD)
Penyakit imunodefisiensi yang diwariskan
sehingga penderitanya rentan terhadap infeksi
bakteri atau jamur tertentu. Penderitanya tidak
dapat melawan infeksi kuman yang umumnya
ringan pada orang normal.
3) Bruton's Agammaglobulinemia
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 201
Kelainan yang ditandai kegagalan
prekursor limfosit B karena cacat pada gen
kromosom X. Penyakit ini paling sering
ditemukan pada pria walaupun secara sporadik
terjadi juga pada wanita. Penyakit mulai
terlihat pada usia 6 bulan setelah imunoglobin
maternal mulai habis.
4) Severe combined immunodeficiency (SCID)
SCID adalah gangguan sistem kekebalan
tubuh serius karena limfosit B dan limfosit T.
Mereka yang kekurangan hampir mustahil
melawan infeksi. Bayi yang mengalam SCID
umumnya mengalami kandidiasis oral, diaper
rash, dan kegagalan berkembang.
5) Sindroma DiGeorge (thymus displasia)
Sindrom cacat lahir dengan penderita
anak-anak yang lahir tanpa kelenjar timus.
Tanda sindroma ini antara lain menurunnya level
sel T, tetanus, dan cacat jantung bawaan.
Telinga, wajah, mulut dan wajah dapat menjadi
abnormal.
6) Sindroma Chediak-Higashi
Ditandai dengan ketidakmampuan
neutrofil untuk berfungsi sebagai fagosit secara
normal.
7) Hyper IgM syndrome
Penyakit ini ditandai dengan produksi IgM
tetapi defisiensi IgA dan IgE. Akibatnya terjadi
cacat pada respon imun sel T helper dan
202 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
maturasi sel B dalam sekresi imunoglobin
terhambat.
8) Wiskott-Aldrich Syndrome
Penyakit yang terkait dengan kromosom X
ditandai dengan trombositopenia, eksema, dan
rentan infeksi sehingga menyebabkan kematian
dini.
b. Imunodefisiensi Sekunder
Penyakit ini berkembang umumnya setelah
seseorang mengalami penyakit. Penyebab yang lain
termasuk akibat luka, kurang gizi atau masalah
medis lain. Sejumlah obat-obatan juga
menyebabkan gangguan pada fungsi kekebalan
tubuh. Immunodefisiensi sekunder, diantaranya
yaitu :
1) Infeksi
HIV (human immunodeficiency virus) dan AIDS
(acquired immunodeficiency syndrome) adalah
penyakit umum yang terus menghancurkan sistem
kekebalan tubuh penderitanya. Penyebabnya adalah
virus HIV yang mematikan beberapa jenis limfosit
yang disebut sel T-helper. Akibatnya, sistem
kekebalan tubuh tidak dapat mempertahankan
tubuh terhadap organisme biasanya tidak
berbahaya. Pada orang dewasa pengidap AIDS,
infeksi HIV dapat mengancam jiwa.
2) Kanker
Pasien dengan kanker yang menyebar luas
umumnya mudah terinfeksi mikroorganisma. Tumor
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 203
bone marrow dan leukimia yang muncul di sumsum
tulang belakang dapat mengganggu pertumbuhan
limfosit dan leukosit. Tumor juga menghambat
fungsi limfosit seperti pada penyakit Hodgkin.
3) Obat-obatan
Beberapa obat menekan sistem kekebalan
tubuh, seperti obat kemoterapi yang tidak hanya
menyerang sel kanker tetapi juga sel-sel sehat
lainnya, termasuk dalam sum-sum tulang belakang
dan sistem kekebalan tubuh. Selain itu, gangguan
autoimun atau mereka yang menjalani transplantasi
organ dapat mengurangi kekebalan tubuh melawan
infeksi.
4) Pengangkatan Lien
Pengangkatan lien sebagai terapi trauma atau
kondisi hematologik dapat menyebabkan
peningkatan suspeksibilitas terhadap infeksi
terutama Streptococcus pneumoniae.
3. Etiologi
Beberapa penyebab dari immunodefisiensi
yang didapat antara lain:
a. Penyakit keturunan dan kelainan metabolisme
1) Diabetes
2) Sindroma Down
3) Gagal ginjal
4) Malnutrisi
5) Penyakit sel sabit
204 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
b. Bahan kimia dan pengobatan yang menekan
sistem kekebalan
1) Kemoterapi kanker
2) Kortikosteroid
3) Obat immunosupresan
4) Terapi penyinaran
c. Infeksi
1) Cacar air
2) Infeksi sitomegalovirus
3) Campak Jerman (rubella kongenital)
4) Infeksi HIV (AIDS)
5) Mononukleosis infeksiosa
6) Campak
7) Infeksi bakteri yang berat
8) Infeksi jamur yang berat
d. Penyakit darah dan kanker
1) Agranulositosis
2) Semua jenis kanker
3) Anemia aplastik
4) Histiositosis
5) Leukemia
6) Limfoma
7) Mielofibrosis
8) Mieloma
e. Pembedahan dan trauma
1) Luka bakar
2) Pengangkatan limpa
f. Lain-lain
1) Sirosis karena alkohol
2) Hepatitis kronis
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 205
3) Penuaan yang normal
4) Sarkoidosis
5) Lupus eritematosus sistemik
4) Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang menonjol pada
Imunodefisiensi adalah infeksi berulang atau
berkepanjangan atau oportunistik atau infeksi
yang tidak umum yang tidak memberikan respon
yang adekuat terhadap terapi antimikroba. Telah
diketahui bahwa reaksi imunologi pada infeksi
merupakan interaksi antara berbagai komponen
dalam sistem imun yang sangat komplek. Kelainan
pada sistem fagosit, limfosit T dan limfosit B
maupun dalam sistem komplemen dapat
menampilkan gejala klinik yang sama sehingga
sulit dipastikan komponen mana dari sistem imun
yang mengalami gangguan. Penderita dengan
defisiensi limfosit T biasanya menunjukan
kepekaan terhadap infeksi virus, protozoa, dan
jamur yang biasanya dapat diatasi dengan respon
imun seluler. Gejala penyakit imunodefisiensi
berbeda-beda tergantung pada jenisnya dan
individu. Tanda dan gejala imunodefisiensi
meliputi:
a) Pneumonia, bronkitis, infeksi sinus, infeksi
telinga, meningitis, atau infeksi kulit yang
berulang
b) Infeksi darah
c) Peradangan dan infeksi organ dalam
206 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
d) Kelainan darah, seperti jumlah trombosit yang
rendah atau anemia
e) Masalah pencernaan, seperti kram, kehilangan
nafsu makan, mual, dan diare
f) Pertumbuhan dan perkembangan lambat atau
tertunda
g) Gangguan autoimun, seperti lupus,
rheumatoid arthritis serta diabetes tipe 1.
5) Dampak Imunodefisiensi Terhadap Tubuh
Respon imun bawaan merupakan garis
pertahanan pertama terhadap organisme yang
berpotensi menyerang pertahanan tubuh.
Pengenalan yang baik terhadap ancaman dan
induksi gangguan dari kaskade inflamasi
merupakan langkah-langkah penting dalam
mengeliminasi organisme patogen dari sistem.
Kegagalan sistem bawaan untuk mengidentifikasi
patogen akan berdampak menunda induksi respon
imun dan dapat memperburuk hasil infeksi.
Banyak sel dan protein yang terlibat dalam respon
imun bawaan termasuk diantaranya fagosit
(neutrofil dan makrofag), sel dendritik dan
protein komplemen. Fagosit terutama bertanggung
jawab untuk proses fagositosis, sebuah proses di
mana sel menelan dan menghilangkan patogen
yang menyerang tubuh. Protein komplemen
berfungsi untuk mengidentifikasi dan
mengopsonisasi (mantel) antigen asing membuat
mereka rentan terhadap fagositosis. Cacat
dalam pengembangan dan fungsi dari setiap
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 207
unsur-unsur kekebalan bawaan dapat
menyebabkan imunodefisiensi primer dan kata
lain gangguan imunodefisiensi primer akan
berdampak pada kurang adekuatnya sel tubuh
membentuk pertahanan untuk mengikat
patogen. Kegagalan ini pada umumnya disebabkan
oleh karena mutasi gen atau faktor biokimia lain
seperti enzym.
Sedangkan imunodefiensi sekunder akan
berdampak yaitu semakin menurunnya respon
kekebalan tubuh manusia dimana individu
tersebut akan mudah sekali mengalami infeksi
oportunistik (infeksi penyerta) sehingga kualitas
hidup individu tersebut akan semakin menurun.
C. Rangkuman
Imunodefisiensi adalah kondisi ketika
kekebalan tubuh terganggu sehingga tidak bisa
melawan infeksi dan penyakit. Jenis gangguan ini
dapat membuat tubuh mudah terinfeksi oleh virus
dan bakteri. Imunodefisiensi terbagi menjadi dua,
yaitu imunodefisiensi primer yang ditentukan
faktor genetik. Sementara imunodefisiensi
sekunder bisa muncul sebagai komplikasi penyakit
seperti infeksi, kanker, atau efek samping
penggunaan obat-obatan dan terapi.
Beberapa penyebab dari immunodefisiensi
yang didapat antara lain Penyakit keturunan dan
kelainan metabolisme, bahan kimia dan
208 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
pengobatan yang menekan sistem kekebalan,
infeksi, penyakit darah dan kanker, pembedahan
dan trauma serta lain-lain.
Tanda dan gejala imunodefisiensi antara lain
meliputi Pneumonia, bronkitis, infeksi sinus, infeksi
telinga, meningitis, atau infeksi kulit yang
berulang, infeksi darah, peradangan dan infeksi
organ dalam, kelainan darah, seperti jumlah
trombosit yang rendah atau anemia, masalah
pencernaan, seperti kram, kehilangan nafsu
makan, mual, dan diare, pertumbuhan dan
perkembangan lambat atau tertunda, gangguan
autoimun, seperti lupus, rheumatoid arthritis serta
diabetes tipe 1.
Gangguan imunodefisiensi primer akan
berdampak pada kurang adekuatnya sel tubuh
membentuk pertahanan untuk mengikat patogen.
Kegagalan ini pada umumnya disebabkan oleh
karena mutasi gen atau faktor biokimia lain seperti
enzym.
Sedangkan imunodefiensi sekunder akan
berdampak yaitu semakin menurunnya respon
kekebalan tubuh manusia dimana individu
tersebut akan mudah sekali mengalami infeksi
oportunistik (infeksi penyerta) sehingga kualitas
hidup individu tersebut akan semakin menurun.
D. Tugas
1. Jelaskan pengertian imunodefisiensi!
2. Jelaskan klasifikasi imunodefisiensi!
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 209
3. Sebutkan jenis-jenis gangguan imunodefisiensi
primer!
4. Sebutkan jenis-jenis gangguan imunodefisiensi
sekunder!
5. Jelaskan etiologi imunodefisiensi!
6. Sebutkan penyakit keturunan dan kelainan
metabolisme yang menjadi penyebab
imunodefisiensi!
7. Sebutkan macam-macam infeksi yang menjadi
penyebab imunodefisiensi!
8. Jelaskan manifestasi klinis imunodefisiensi!
9. Jelaskan dampak imunodefiensi primer
terhadap tubuh!
10. Jelaskan dampak imunodefiensi sekunder
terhadap tubuh!
E. Referensi
Abbas, AK., Andrew, HL., and Shiv P. 2007. Cellular and
Molecular Immunology. Philadelphia Saunder
Elsevier.
Delves, J.P. Seamus,J.M.,Dennis, R.B.,Ivan,M.R. 2006.
Essential Immunology. Australia. Blackwell
Pusblishing.
Kusumo,DP. 2012. Gangguan Imunodefisiensi Primer
(PID). Universitas Kristen Indonesia.Widya.
Martini, Frederic.H. 2001. Fundamental of Anatomy &
Phisiology. 5th Ed. NewJersey. Prentice-Hall.
Sloane, Etho. 2004. Anatomi Fisiologi Bagi Pemula.
Jakarta. EGC.
210 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Thibodeau, G.A., Patton, Kevin.T. 2007. Anatomy and
Phisiology. Missouri. Mosby.
Tortora, GJ,B.R Funke,C.L. 2010. Case. Microbiology:
An Introduction. 10th Edition. New York. Pearson
education.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 211
212 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
BAB XI PROSES PATOLOGIS
HIPERSENSITIVITAS
Oleh: Aziza Rahmi, M.Biomed
216 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Gambar 1 Empat Tipe Reaksi Hipersensitivitas
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 217
Reaksi tipe 1
Reaksi tipe yang disebut tipe cepat, reaksi
anafilaksis atau reaksi alergi dikenal reaksi yang segerea
timbul sesudah antigen masuk kedlam tubuh. Istilah alergi
yang pertama kali digunakan von Pirquet pada tahun 1906
218 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
diartikan sebagai reaksi penjamu yang berubah” bila
terjadi kontak dengan bahan yang sama untuk kedua kali
atau lebih
Antigen yang masuk tubuh akan ditangkap oleh
fagosit, diprosesnya lalu dipresentasikan ke sel Th2. Sel
yang akhir melepas sitokin akan merangsang sel B untuk
membentuk IgE. IgE akan diikat terutama oleh sel mast
mellaui reseptor Fc ( juga oleh basofil dan eosinophil). Bila
ada allergen yang sama masuk tubuh akan diikat oleh IgE
tadi (spesifik) dan menimbulkan degranulasi tersebut
mengeluarkan berbagai mediator antara lain histamin
(Gambar 1) yang didapat dalam granul-granul sel dan
menimbulkan gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe 1
Penyakit-penyakit yang timbul segera
sesudah tubuh terpajan dengan allergen adalah asma
bronkial, rhinitis, ultikaria dan dermatitis atopic.
Disamping histamin, mediator lain seperti prostaglandin
dan leukotrin (SRS-A) yang dihasilkan metabolism asam
arakidonat berperan pada fase lambat dari reaksi tipe I
yang sering timbul beberapa jam sesudah kontak dengan
alergen
Hipersensitivitas tipe 1 ditandai oleh reaksi
alergi yang terjadi segera setelah pemaparan dengan
antigen yang disebut allergen. Jenis reaksi ini penting dan
sering dijumpai. Pemaparan antigen yang pada hakekatnya
tidak berbahaya untuk pertama kali, tidak menimbulkaaan
reaksi yang merugikan. Tetapi pemaparan berikutnya
dapat menimbulkan reaksi local maupun sistemik yang
kadang- kadang demikian hebat dan membahayakan seperti
yang terjadi pada renjatan anafilaktik
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 219
Istilah atopi menyatakan gejala klinik dari
hipersensitivitas tipe 1 mencakup asma eksim,hay fever, dan
urtikaria. Gejala ini biasanya muncul pada individu dengan
anggota kelurga yang menunjukan gejala yang sama, yaitu
menunjukan reaksi alergi segera terpapar pada antigen
lingkungan.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 221
Mekanisme kerusakan jaringan
Proses sitolisis terjadi melalui beberapa mekanisme
yaitu:
a. Proses sitolisis oleh sel efektor. Pada proses
sitolisis ini perlu kontak antar sel efektor dengan
sel sasaran. Kontak ini terjadi melalui molekul
immunoglobulin yang terikat oleh antigen pada
permukaan sel sasaran yang kemudian
berinteraksi dengam reseptor Fc yang terdapat
pada permukaan sel efektor, misalnya makrofag
,neutrophil, eosinophil dan sel NK. Dengan
demikian fragmen Fc merupakan jembatan
antara sel efektor dengan sel sasaran (opsonic
adherence)
222 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
b. Proses sitolisis oleh komplemen. Proses sitolisis
oleh komplemen terjadi karena Clq merupakan
reseptor Fc larut dan pengikatannya pada
kompleks antigen-antibodi yang terdapat pada
permukaan sel merangsang aktivasi C3.
Selanjutnya terjadi aktivasi komplemen melalui
jalur klasik yaitu aktivasi C5b-9 diikuti lisis sel
sasaran secara langsung.
c. Proses sitolis oleh sel efektor dengan bantuan
komplemen (immune adherence). Sel sasaran
yang dilapisi komplemen dapat rusak oleh sel
efektor karena sel efektor memiliki resepetor
utntuk c3b dan c3d. Pengikatan C3b dan C3d
melalui reseptor C3 pada permukaan sel efektor
meningkatkan proses sitolisis oleh sel efektor.
226 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
reaksi hipersensitivitas. Keadaaan imunopatologik
akibat pembentukan komplek imun ada dalam 3
golongan
1. Akibat kombinasi infeksi kronis yang ringan
dengan respon antibody yang lemah,
menimbulkan pembentukan komplek imun
kronis yang dapat mengendap diberbagai
jaringan
2. Komplikasi dari penyakit autoimun dengan
pembentukan autoantibodi secara terus
menerus yang berikatan dengan jaringan self
3. Komplek imun yang terbentuk pada permukaan
tubuh misalnya dalam paru-paru, akibat
terhidupnya antigen secara berulang kali
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 227
4. Reaksi Tipe IV : reaksi Hipersensitivitas tipe
lambat
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 229
d. Reaksi granulomata
232 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Gambar 11.5. Granulomata Tuberkulosis
Daftar Pustaka
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 233
2013, https://www.ptonline.com/articles/how-to-
get-better-mfi-results.
234 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
TENTANG PENULIS
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 239
Laboratorium Medis (D4 TLM) mulai sejak 2019 sampai
sekarang dan menjabat Ketua Bidang SDM dan Pendidikan
Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Ahli Teknologi
Laboratorium Medik Indonesia (DPC PATELKI) Cilacap
(2021- sekarang) serta aktif sebagai pengurus regional DIY
JATENG di Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Teknologi
Laboratorium Medik Indonesia (AIPTLMI).
240 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
Dodik Luthfianto, S.Pd., M.Si. Lahir
di Tuban – Jawa Timur 18 Agustus 1984
adalah dosen tetap Prodi S1 Gizi di
Institut Teknologi Sains dan kesehatan
(ITS) PKU Muhammadiyah Surakarta.
Lulus S1 Sarjana Pendidikan Biologi
Fakultas Ilmu dan Pendidikan Universitas
Ronggolawe Tuban tahun 2008, lulus S2 Program Magister
Sains di Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret
tahun 2012. Mengampu mata kuliah Biologi manusia,
Biokimia dan Mikrobiolgi pangan. Selain mengajar penulis
juga akitf dalam menulis jurnal nasional dan oral presntasi
dalam pertemuan ilmiah
.
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 241
Muh Taufiqurrahman adalah putra ke
dua dari tiga bersaudara dari pasangan
Ibrahim, BA dan Asiah S.Pd. Lahir 22
Agustus 1993 di Bima, Provinsi Nusa
Tenggara Barat, Indonesia. Penggiat
literasi ini telah menamatkan pendidikan
SDN 55 Kota Bima, MTS Negeri 1 Kota
Bima, dan SMA Negeri 4 Kota Bima. Ia
saat ini tinggal di Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan
Timur bersama istri. Setelah lulus Program Magister
Farmasi Universitas Pancasila, terhitung Agustus 2022, ia
diamanahkan menjadi Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan (STIKES) Dirgahayu, Kota Samarinda.
244 | B u k u A j a r I m u n o l o g i
B u k u A j a r I m u n o l o g i | 245