You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, ada bermacam-macam cara untuk
mencari uang dan salah satunya dengan cara gadai / rahn(‫)الرهن‬. Para ulama’ berpendapat bahwa
gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Akan
tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut, sehingga tidak sedikit dari mereka
yang melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui hukum dasar gadai tersebut. Dalam syari’at
bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syari’at tersebut secara tunai
dan lancar sesuai dengan syari’at yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam
perjalanan jauh seseorang kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali
ke tempat tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.
Dalam kehidupan bisnis baik Klasik dan Modern, masalah penggadaian tidak terlepas dari
masalah perekonomian. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai pnggadaian dijelaskan sebagai
berikut .Selain daripada itu, keinginan manusia untuk memnuhi kebutuhannya, cenderung
membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai kendala, misalnya saja
kekurangan modal, tenaga dan sebagainya. Maka dari itu, dalam islam diberlakukan syari’at
gadai.
Gadai secara umum berupa transaksi peminjaman sejumlah uang dengan memberikan
jaminan berupa perhiasan (emas, perak platina), barang elektronik (TV, kulkas, radio, tape,
video), kendaraan (sepeda, motor, mobil), barang-barang pecah belah, mesin jahit, mesin motor
kapal, tekstil (kain batik, permadani) dan barang lainnya yang dianggap bernilai. Adapun
pengertian hukum dan syaratnya akan dibahas dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Hakekat / pengertian rahn ?
2. Bagaimana sifat rahn ?
3. Apa yang mendasari diadakannya rahn ?
4. Apa rukun dan syarat rahn?
5. Bagaimana cara mengambil manfaat rahn ?

1
6. Bagaimana pandangan Ulama tentang rahn?
7. Apa perbedaan dan persamaan antara gadai syariah dengan gadai konvensional?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui hakekat dari rahn
2. Untuk mengetahui sifat rahn
3. Untuk mengetahui dasar hukum rahn
4. Untuk mengetahui rukun dan syarat rahn
5. Untuk mengetahui cara pengambilan manfaat dari rahn
6. Untuk mengetahui pandangan-pandangan ulama terhadap rahn
7. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan gadai syariah dan gadai konvensional

2
BAB II
PEMBAHASAN
A.                Pengertian Rahn
Menurut bahasa, gadai/ ar-rahn (‫ )الرهن‬berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan dan
penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn (‫ )الرهن‬adalah terkurung atau terjerat.
            Menurut istilah syara’, yang dimaksut dengan rahn adalah:
1.      Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran
dengan sempurna darinya.
2.      Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutang selama ada
dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.
3.      Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-
piutang.
4.      Gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan
hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat
diterima.
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn :

1. Menurut ulama Syafi’iyah:

Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayar ketika
berhalangan dalam membayar hutang.

2. Menurut ulama Hanabilah :


Harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayar harga (nilai) hutang ketika yang
berutang berhalangan (tidak mampu membayar) hutangnya kepada pemberi pinjaman.

B.                 Sifat Rahn


Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang
diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu.
Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas barang yang digadaikan.
      Rahn juga termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah
menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.

3
C.                Dasar  Hukum Rahn
Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan  (brog) adalah
firman Allah Swt.

‫ق هَّللا َ َربَّهُ ۗ َواَل تَ ْكتُ ُم??وا‬ِ َّ‫ض ُكم بَ ْعضًا فَ ْليُ??َؤ ِّد الَّ ِذي اْؤ تُ ِمنَ َأ َمانَتَ??ه َو ْليَت‬
ُ ‫ضةٌ ۖ فَِإ ْن َأ ِمنَ بَ ْع‬
َ ‫َان َّم ْقبُو‬
ٌ ‫وَِإن ُكنتُ ْم َعلَ ٰى َسفَ ٍر َولَ ْم ت َِجدُوا َكاتِبًا فَ ِره‬
‫ُ ال َّشهَا َدةَ ۚ َو َمن يَ ْكتُ ْمهَا فَِإنَّهُ آثِ ٌم قَ ْلبُهُ ۗ َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َعلِي ٌم‬

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ( oleh
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah
Tuhannya ( Al-Baqarah 283).
Syaikh Muhammad Ali as-sayis berpendapat, bahwa ayat Al-Qur’an tersebut adalah
petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi
utang-piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah
barang kepada orang yang berpiutang rahn (‫)الرهن‬.

Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata:

‫ ى‬، ‫ى َوَأ َخ َذ ِم ْنهُ َش ِعيرًا‬


ٍّ ‫ لَقَ ْد َرهَنَ النَّبِ ُّى – صل هللا عليه وسلم – ِدرْ عًا لَهُ بِ ْال َم ِدينَ ِ?ة ِع ْن َد يَهُو ِد‬: ‫س – رضى هللا عنه – قال‬
ٍ َ‫ع َْن َأن‬
 “ Rasullah Saw, telah meruguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu
beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk keluarga
beliau”. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).
                        Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa bermualah dibenarkan juga dengan
non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak ada ke khawatiran bagi
yang memberi  piutang.
Para ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya mubah (boleh). Dan
itu termuat dalam DNS Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang pada zahir
ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di
anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama)

4
membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang pernah
dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam hadist di atas.

D.                Rukun dan Syarat Gadai


Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain
yaitu:
1. Akad dan ijab Kabul
2. Aqid, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun
syarat yang berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini
memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah
adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumyyis, tetapi tidak disyaratkan
harus baligh.
3. Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda uyang dijadikan jaminan ialah
keadaan barang itu tiddak rusak sebelum janji utang harus dibayar. Rosul bersabda: “Setiap
barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai”
4. Ada hutang, disyaratkan keadaan hutang telah tetap.
Menurut ulam Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:
a)      Dapat diperjual belikan
b)      Bermanfaat
c)      Jelas
d)     Milik rahin
e)      Bisa diserahkan
f)       Tidak bersatu dengan harta lain
g)   Dipegang oleh rahin
h)      Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila memenuhi empat
syarat, yaitu:
1)      Orangnya sudah dewasa.
2)      Berpikiran sehat.
3)      Barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadaian
itu  dapat diserahkan/diserahkan kepada penggadai.

5
4)      Barang atau benda yang dapat dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian dan benda
bergerak lainnya dan dapat pula surat-surat berharga ( surat tanah atau surat rumah).

E.                 Pengambilan Manfaat Barang Gadai


Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’ berbeda
pendapat, diantara jumhur fuqaha dan ahmad.
Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat
barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada
utang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Rasul bersbada:
“Setiap orang yang menarik manfaat adalah termasuk riba” ( riwayat Harits bin Abi
Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa
kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka
penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda tersebut disesuaikan dengan biaya
pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu ada padanya. Jika dia
dibiayai oleh pemiliknya, maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai
tersebut.
Rasul bersabda:

‫الظَّ ْه ُر يُرْ َكبُ ِإ َذا َكانَ َمرْ هُونًا َولَبَنُ ال َّدرِّ يُ ْش َرب‬
ُ ُ‫ِإ َذا َكانَ َمرْ هُونًا َو َعلَى الَّ ِذى يَرْ َكبُ َويَ ْش َربُ نَفَقَتُه‬

“ Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiyayaannya apabila digadaikan, binatang


boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiyayaannya, bila digadaikan bagi orang yang
memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya.”
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai tersebut ditekankan pada biaya atau
tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai punya kewajiban
tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu
adalah hewan. Harus membelikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi

6
yang di bolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada
pada dirinya.

F.                 Pandangan Ulama Mengenai Rukun gadai

Rukun gadai menurut Abd al-Rahman al-Jaziri ada tiga yaitu Aqid, Maqud alaih (yang
diakadkan), Shighat (akad gadai). Ibnu Rusyd dalam kitabnya menjabarkan secara detil mengnai
rukun gadai beserta pendapat para imam madzhab. Ia mengatakan rukun gadai terdiri dari tiga
bagian:

1. Orang yang menggadaikan

Tidak ada perselsihan bahwa di antara sifat-sifat orang yang menggadaikan adalah
mahjur alaih dan dikenal sebagai biasa melunasi hutang. Washi (orang yang dipesan untuk
mengurus wasiat) boleh menggadaikan untuk kepentingan orang yang berada dalam kekuasaanya
manakala tindakan tersebut untuk melunasi hutang dan memang diperlukan, pendapat ini
dikemukakan oleh imam Malik.

Menurut Syafi’i, washi dibolehkan menggadaikan karena ada kepentingan yang jelas.
Menurut Malik, budak mukatab (budak yang berupaya memerdekakan dirinya dengan cara
mencicil) dan orang yang diberi izin boleh menggadaikan. Menurut Sahnun, jika seseorang
menerima gadai karena harta yang dihutangkan maka hal itu tidak boleh, maka dalam hal ini
Syafi’i juga mengemukakan pendapat yang sama.

Malik dan Syafi’i sependapat bahwa orang bangkruttidak boleh menggadaikan, namun
Abu Hanifah membolehkan bersamaan dengan itu tidak ada pendapat yang tegas dari Malik
berkenaan dengan orang yang habis hartanya karena hutang, apakah ia boleh menggadaikan?
Dalam arti, apakah perbuatannya itu mengikat atau tidak? Menurut pendapat Malik yang terkenal
ia tidak boleh menggadaikan, yakni sebelum ia menjadi bangkrut.

2. Akad gadai

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa transaksi gadai itu bisa sah dengan memenuhi tiga
syarat. Pertama, harus berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan. Kedua, kepemilikan
barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf. Malik membolehkan penggadaikan

7
mushaf, tetapi penerima gadai dilarang membacanya. Perselisihan dalam hal ini berpangkal pada
jual beli. Ketiga, barang yang digadaikan bisa dijual manakala pelunasan hutang itu sudah jatuh
tempo.

Menurut imam Malik menggadaikan barang yang tidak boleh dijual, itu boleh, seperti
tanaman tani dan buah-buahan yang belum layak dipetik. Jika sudah layak dipetik, maka
menurut Malik boleh dijual untuk melunasi hutang yang sudah jatuh tempo. Tentang
penggadaian buah yang belum layak dipanen, dari Syafi’i ada dua pendapat, boleh
menggadaikan, dan jika masa hutang sudah jatuh tempo, maka buah tersebut bisa dijual dengan
syarat dipetik. Menurut Abu Hamid, pendapat yang paling benar adalah yang membolehkan.
Bagi Malik menggadaikan barang yang belum jelas nilainya seperti dinar dan dirham yang sudah
dicetak, itu boleh.

Menurut Malik dan Syafi’i, kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak
menjadi syarat gadai. Bahkan keduanya membolehkan barang gadaian itu berstatus pinjaman.
Para fuqaha sepakat bahwa di antara syarat gadai adalah ikrar penggadaian bahwa barang
gadaian harus berada di tangan penerima gadaian. Kemudian mereka berselisih pendapat apabila
penerima gadai menerima barang tersebut dengan cara merampas, kemudian orang yang
dirampas barangnya itu menyatakan barang tersebut sebagai barang gadai an yang ada di
tangannya. Dalam hal ini imam Malik membolehkan pemindahan barang yang dirampas itu dari
tanggungan ghashab menjadi tanggungan gadai. Orang yang dirampas barangnya itu
menganggap barangnya tersebut sebagai barang gadai di tangan perampas, sebelum ia menerima
barang itu.

Berbeda dengan Malik, maka menurut Syafi’i, tidak boleh, bahkan barang itu tetap
berada dalam tanggungan ghashab, kecuali jika orang yang dirampas menerima kembali
barangnya. Dalam kaitan ini pula fuqaha pun berselisih pendapat tentang penggadaian bagian
barang dari milik bersama. Menurut Abu Hanifah tidak boleh, tetapi menurut Malik dan Syafi’i
boleh.

3. Barang yang digadaikan

Aturan pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu dapat dilakukan untuk semua
barang yang berharga dan dapat diperjual belikan kecuali jual beli mata uang itu harus tunai.

8
Karena itu, sharf tidak bisa menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal salam, meski pun
menurut Malik, lebih ringan dibanding sharf.

Sekelompok fuqaha zahiri berpendapat bahwa akad gadai hanya berlaku pada barang pesanan.
Demikian itu karena ayat yang berkenaan dengan gadai itu menjelaskan posisi utang piutang
barang dagangan, dan menurut mereka, itu transaksi pesanan.

Menurut madzhab Maliki dibolehkan mengambil gadai pada salam hutang, ghashab
harga barang-barang konsumsi, denda tindak kriminal pada harta benda, serta pada tindak
penganiayaan secara sengaja yang tidak ada qishashnya, seperti al-Ma’mumah dan al-Jaifah.

Gadai juga dibolehkan pada barang pinjaman yang diboleh tanggungan dan tidak
dibolehkan pada barang pinjaman yang tidak di bawah tanggungan. Gadai juga di bolehkan pada
sewa menyewa. Dibolehkan pula pada upah jasa sesudah bekerja, bukan sebelumnya. Demikian
pula gadai bisa diadakan pada mas kawin tetapi tidak boleh pada hudud, qishash atau proses
kemerdekaan budak.

Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang digadaikan itu
memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan.
Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang
menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan
hal ini. Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan
terjadi, baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab
Maliki.

9
G.     Perbedaan dan Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional  

1. pengertian 

a. Pegadaian Syari’ah
Gadai dalam fiqh gadai (rahn) adalah prjanjian suatu barang sebagai tanggungan hutang,
atau menjadikan suatu benda bernilai menutrut pandangan syara sebagai tanggungan pinjaman,
sehingga dengan adanya tanggungan utang ini seluruh atau sebagian utang dapat diterima.

b. Pegadaian Konvensional
Pegadaian Konvensional (Umum) adalah suatu  hak yang diperbolehkan seseorang yang
mempunyai pitutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang
berutang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang, dan yang memberikan
kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut
secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya yang
telah dikeluarkan untuk menyelematankanya setelah barang itu digadaikan.

2.      Persamaan Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah

            Persamaan gadai konvensional dengan gadai syariah adalah seperti berikut:

1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang;


2. Adanya agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang;
3. Barang yang digadaikan di tanggung pemberi gadai;
4. Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang di gadaikan boleh di jual
atau di lelang.

3.      Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensiaonal

            Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional adalah sebagai berikut:

1. Gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa mecari keuntungan, seadangakn gadai
konvensional dilakukan dengan prinsip tolong- menolong tetapi juga menarik
keuntungan.
2. Hak gadai syariah berlaku pada seluruh harta (beda bergerak dan benda tidak bergerak)

10
3. Gadai syariah dilaksanakan melakukan suatu lembaga, sedangkan gadai konvensional
dilaksanakan melalui suatu lembaga (perum pegadaian).

H.                Perlakuan Bunga dan Riba dalam Perjanjian Gadai

Aktivitas perjanjian gadai yang selama ini telah berlaku, yang pada dasranya adalah
perjanjian utang-piutang, dimungkinkan terjadi riba yang dilarang oleh syara’. Riba terjadi
apabila dalam perjanjian gadai ditemukan bahwa harus memberikan tambahan sejumlah uang
atau prosentase tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain
yang telah ditentukan oleh murtahin ( ‫) مرتحن‬. Hal ini lebih sering disebut bunga gadai dan
perbuatan yang dilarang syara’. Karena itu aktivitas perjajian gadai dalam Islam tidak
membenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena larangan syara’, dan pihak yang
terbebani, yaitu pihak penggadai akan merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus
mengembalikan utangnya, dia juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya.

Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah diakui oleh
pemerintah. Mengenai fungsi dari penggadaian tersebut tentu sudah bersifat komersil. Artinya
pegadaian harus memperoleh pendapatan guna menggantikan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan, sehingga pegadaian mewajibkan menambahkan sejumlah uang tertentu kepada
nasabah sebagai imbalan jasa. Minimal biaya itu dapat menutupi biaya operasional gadai. Gadai
yang ada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang
memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan riba, yang dilarang oleh syara’ menurut
A.A. Basyir.

Mengenai riba itu, Afzalurahman dalam Muhammad Skholikhul Hadi, memberikan


pedoman bahwa yang dikatakan riba, di dalamnya terdapat tiga unsur berikut

1)      Kelebihan dari pokok pinjaman

2)      Kelebihan pembayaran itu sebagai imbalan tempo pembayaran;

3) Sejumlah tambahan itu di syaratkan dalam transaksi.

11
BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan

Rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan
pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang”,
Rahn termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah
menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.
Dalam dasar hukum gadai, ada dalil-dalil yang melandasi di perbolehkannya gadai yang
bersal dari Al-Qur’an dan hadis. 
Rukun gadai yaitu akad dan ijab Kabul, akid, barang yang di jadikan jaminan (borg).
Syarat gadai Orangnya sudah dewasa, berpikiran sehat, barang yang akan digadaikan sudah ada
pada saat terjadi akad, barang yang dapat dijadikan jaminan.
Pengambilan manfaat pada barang-barang gadai seperti hewan dan kendaraan ditekankan
pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai
seperti diatas punya kewajiban tambahan.
Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat.
Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi
tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai
dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal ini. Ketiga,
barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi, baik wajib
atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab Maliki.
Perbedaan rahn dengan gadai yaitu gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa mecari
keuntungan, seadangakn gadai konvensional dilakukan dengan prinsip tolong- menolong tetapi
juga menarik keuntungan. Dan persamaan rahn dengan gadai yaitu adanya agunan (barang
jaminan) sebagai jaminan utang.

12
DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah.Cet.I, Alfabeta. Bandung. 2011


Ahmad Azhar Basyir, Riba,Utang-piutang dan Gadai,cet. Ke II, Al- Ma’arif. Bandung. 1983
Hendi Suhendi Fiqih Muamalah, Cet.I, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.2005
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, Dar al-Jiil. Birut. 1990
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia. Bandung. 2006
Sulaiman Rasyid. Fiqh islam, Al-Tahiriyah. Jakarta. 1973

13

You might also like