You are on page 1of 4
vaz 74 p Buln Dawah \ al-Fatdad berbagi fuedah d stor eneak °* adalah salah satu tokoh besar meninggal saat Imam Ahmad berada umat Islam, imam ahlus sunnah , dalam kandungan ibundanya, Shafiyah. wal jamaah. Dengan sebab ketegaran dan kokohnya beliau dalam memegang prinsip agama, juga kegigihan perjuangan beliau pula, Allah w= tolong agama ini dan terjaga pula sunnah Rasul- Nya Terlahir pada tahun 164 H di Kota Marw, sebuah wilayah di sudut negeri Persia yang saat ini kota tua itu oleh para ahlinya masuk dalam wilayah Turkmenistan, berdekatan dengan Afghanistan. Meski terlahir di Persia namun kabilah asli beliau, Bani Syaiban berasal dari kota Bashrah, Irak. Di kemudian hari sebagian dari kabilah Bani ! Syaiban berpindah ke negeri Persia, para tamu yang diutus dari negeri Arab. termasukkakek-kakekbeliausendiri. ' Retiau begita memuliakan para tan itu Di masa kecil, Imam Ahmad hidup _ sebagaimana pesan baginda Nabi (yang dalam asuhan ibu. Beliau tidak pernah — artinya), “Barang siapa yang beriman menatap wajah ayahnya, Muhammad bin kepada Allah dan Hari’ Kiamat maka j [ee Ahmad bin Hanbal 2% Hanbal Asy-Syaibani ai yang telah Demikian pula dengan kakek beliau yang telah wafatjauh sebelum itu. Konon, sang kakek pernah menjabat sebagai wali kota Sarkhas dan salah satu tokoh dakwah diera dinasti Abbasiyah. Adapun ayahnya terdaftar sebagai seorang prajurit di negeri Marw. Hanya saja simbol-simbol ketentaraan jarang dikenakan. la lebih senang dengan baju gamis dan jubah biasa layaknya rakyat sipil. Walaupun hanya prajurit biasa, Muhammad dikenal sosok baik hati lagi penderma. Pintu rumah tak pernah ditutup untuk menyambut kedatangan MOHON TIDAK DIBACA KETIKA KHUTBAH BERLANGSUNG | 1 hendaklah ia memuliakan tamunya.” Demikianlah kepribadian mulia yang terus ditekuni Muhammad, ayahanda Imam Ahmad hingga beliau dijemput malakul maut dalam usia kurang lebih 30: tahun. Tak lama berselang lahirlah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa setelah menjanda, Shafiyah dipindahkan oleh keluarganya dari Marw ke kota Baghdad. Lalu di sanalah Shafiyah melahirkan Ahmad. Meski masih diperbincangkan tempat kelahiran beliau, namun kiranya bisa dipastikan bahwa ? masa kecil beliau dihabiskan di Baghdad hingga beliau mulai thalabul ilmu dengan serius. Begitulah profil singkat ayah beliau, tentara pemberani nan baik hati. Dan juga kakek beliau, seorang penguasa yang cinta ilmu dan semangat dalam berdakwah. Sifat-sifat terpuji yang juga menurun pada diri Ahmad. Baghdad, kala itu dikenal sebagai pusatnya ilmu dunia. Baghdad telah melahirkan banyak ulama di berbage bidang ilmu. Negeri itu dulu aman dan makmur. Kemakmuran negeri itu saat ini hanya sebuah kenangan masa lalu. Ibarat kota hantu, Baghdad saat ini dicekam kekalutan, dibalut kemiskinan, keindahan telah hancur berkeping-keping menyatu dengan puing-puing yang berserakan di segenap sudut kota. Ya, demikianlah Allah Maha mengatur nasib alam semesta ini sesuai kehendak- Nya. Kehendak yang tidak pernah dapat ditolak. Kehendak yang penuh dengan hikmah. Dengan hikmah yang agung, Allah ve tidak merubah nasib suatu kaum sehingga mereka berbuat sesuatu yang berakibat berubahnya nasib mereka sendiri Perhatikanlah, Allah (yangartinya): “Sesungguhnya Allah tidak merubah berfirman 2] MOHON TIDAK DIBACA KETIKA KHUTBAH BERLANGSUNG =» < keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya.” (QS. Ar-Ra’du: 11) Kemudian Allah @ juga memperingatkan kita dalam ayat yang lain (yang artinya): “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi penduduknya mengingkari nikmat- nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang setalu mereka perbuat.” (QS. An-Nahl: 112) Di usia 15 tahun Ahmad mulai serius menuntut ilmu hadits. Guru beliau yang pertama adalah Husyaim bin Basyir ‘Al-Wasithy. Imam Ahmad bersimpuh di hadapan sang guru ini demi menimba hadits-hadits darinya. Semenjak mereguk segarnya ilmu, bak tetes-tetes embun di pagi hari yang dingin menyejukkan, pemuda berperawakan tinggi dan berkulit coklat kehitaman itu terus mencari dan mencari ilmu. Wafatnya sang guru, Husyaim bin Basyir ai pada tahun 183 H tidak menghentikan langkahnya, tidak : pulamenyurutkan semangat. Setahun dua tahun berikutnya beliau lalui di Baghdad untuk berguru kepada ulama setempat. Setelah’ itu barulah beliau merantau ke berbagai pelosok negeri untuk memburu ilmu lebih banyak lagi. Belasan tahun beliau bersabar untuk sementara menunda pernikahan. Beliau ingin lebih fokus dengan tafaquh fiddin. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Jauzi «i dalam Shaidul Khaathir, hal.178, “Menurutku, bagi thalibul ilmi yang masih pemula, sebisa mungkin mengusir jauh-jauh keinginan untuk menikah. Lihatlah, Imam Ahmad tidaklah _ menikah kecuali setelah berumur 40 tahun. Yang demikian adalah agar lebih terjaga konsentrasi dan keseriusannya dalam menuntutilmu.” Ya, setelah usia beliau genap 40 tahun, barulah beliau menikahi Ummu Shalih ‘Abbasah bintul Fadhl. Istri shalihah. Bersamanyalah sang imam membangun keluarga sakinah, terang dengan cahayaiman danamial shalih. ‘Tentang Ummu Shalih ini, sang imam pernah bercerita kepada salah satu kawan dekatnya, Al-Marrudzi, “Istriku tinggal bersamaku hampir tiga puluh tahun, satu kalipun aku dan dia belum pernah berbeda pendapat dan berselisih paham.” Rayhanah adalah istri beliau yang lain. Dinikahinya sepeninggal Ummu Shalih. Beliau adalah ibu dari Abdullah, yang di kemudian hari juga menjadi seorang imam besar penerus sekaligus periwayat hadits-hadits Imam Ahmad, Pembaca sekalian, puluhan tahun beliau menuntut ilmu. Sehingga ribuan hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi telah dihafal diluar kepala. Belum lagi riwayat-riwayat yang berulang, atsar-atsar dari para shahabat, fatwa-fatwa dan tafsir dari kalangan tabi’in. Jika itu dikumpulkan semua dan dihitung, maka hafalan beliau menembus bilangan sejuta. Sungguh luas anugerah ilmu yang Allah berikan kepada sang imam: Semoga Allah ridha kepadanya. Dan semoga Allah terus memberikan manfaat untuk Islam dan kaum muslimin dengan sebab ilmu yang beliau ajarkan, dan keteguhan beliau dalam memegang akidah yang beliau teladankan. Imam Asy-Syafi'i, guru beliau mempersaksikan bahwa saat beliau meninggalkan Baghdad, maka orang yang paling berilmu, orang yang beliau pandang paling kuat agama dan luhur akhlaknya, serta paling banyak memiliki keutamaan tidak lain adalah Ahmad bin Hanbal. Imam Adz-Dzahabi mempersaksikan bahwa Imam Ahmad adalah tokoh besar yang sangat berpengaruh dan disegani. Penghulu dalam bidang ilmu hadits dan ilmu fikih. Panutan umat dalam ketekunan beribadah, dan teladan dalam hal menjaga martabat dan kehormatan diri. Disanjung oleh lawan dan kawan. Menutup tulisan sederhana ini, mari kita simak bagaimana ketegaran Imam Ahmad dalam memegang kebenaran. Beliau korbankan segalanya demi tegaknya kebenaran. Suatu pagi, khalifah Al-Mu’tashim membesuk Imam Ahmad dan menyapanya dari balik jeruji. “Bagaimana keadaanmu wahai Ahmad?” “Aku dalam keadaan baik wahai Amirul mukminin. Namun aku bermimpi dan mimpi ini terus aku alami. Sungguh aku selalu terbangun dan terperanjat dengan apa yang aku lihat dalam mimpi-mimpi itu. Aku melihat bahwa Al-Qur’an telah mati, akulah yang memandikannya, mengkafaninya lalu aku pun menshalatinya.” “Celaka kamu hai Ahmad! Al-Qur’an tidak mungkin mati? Apakah kamu bermaksud mengejekku?” “Bahkan itu ucapanmu, menurutmu Al- Qur’an adalah makhluk. Dan bukankah tiap makhluk pasti akan mati?” Al-Mu’tashim melemparkan pandangan kepada Ibnu Abi Duad, seolah meminta saran pendapatnya. Ibnu Abi Duad adalah satu di antara tokoh-tokoh penyebar keyakinan kafir, bahwa Al- Qur’an adalah makhluk dan bukan kalamullah. Tokoh-tokoh itu sangat dekat dengan penguasa. Mereka manfaatkan kedekatan itu untuk menyusupkan ajaran sesat dengan polesan syubuhat sehingga kekufuran tampak sebagai keimanan, kebatilan terkesan kebaikan. Ujungnya, keyakinan itupun menjadi sebuah ajaran legal, wajib dianut oleh semua warga, tidak boleh ditolak. Siapa menentang maka ia akan dipenjara, dicambuk bahkan dibunuh. “Wahai Amirul mukminin, cambuk saje | Selain cambuk, tidak ada terapi yang bisa menyadarkannya!” “Wahai Ahmad, jangan engkau binasakan dirimu sendiri. Ucapkan Al-Qur’an_ itu makhluk, cukup! Engkaupun bebas!" Seru khalifah, “Sampaikan kepadaku satu saja ayat Allah atau satu riwayat dari rasul-Nya, yang mendukung keyakinanmu.” pinta Ahmad. Permintaan yang takmungkin dipenuhi. “Tkat dia! Siksa !", ketika para pengusung kebatilan tak mampu berdalil, maka mereka akan melawan ahlul haq secara fisik. Cetar !! pecutan pertama menggoreskan bilur merah yang panjang. “Bismillah.” Ucapan beliau ini menyiratkan bahwa beliau harus berbuat sesuatu sehingga butuh pertolongan Allah. Cetar ! Lecutan kedua menyusul tidak kalah dahsyatnya. “Laa haula walaa quwwata illa billah.” Tawakkal beliau semakin kuat. Cetar !! lecutan ketiga semakin meyakinkan beliau untuk tetap membela Al-Haq,apapun yang terjadi. “Al-Quran adalah ucapan Allah bukan makhluk!” Diterbitkan oleh: ondok Pesantren Tamaamul Minnah Seruan yang membahana itu seolah mengomando algojo untuk mencambuk lagi. Cetar'! “Tak akan menimpaku selain apa yang telah ditaqdirkan Allah atasku.” Di saat itulah, Ibnu Abu Duad mencoba menghampiri Imam Ahmad, menawarkan pembebasan bersyarat. “Wahai Ahmad, bisikkan ke telingaku sesuatu agar engkau dibebaskan oleh khalifah!” “Engkau wahai Ibnu Abi Duad, mendekatlah kepadaku! Bisikkan ke telingaku ucapan yang akan menyelamatkanmu darisiksa Allah.” Kesombongan telah menutup mata hati Ibnu Abi Duad. Ajakan yang baik justru dibalas dengan kekejaman dan tindakan semena-mena. Dengan congkaknya ia berpaling lalu memberikan isyarat kepada algojo untuk terus menyiksa Ahmad tanpa ampun Dan terbukti, hukuman dera itu pun baru berakhir setelah Imam Ahmad tak sadarkan diri. Itulah cuplikan kecil dari Imam Ahmad; ketegaran tak tergoyahkan, pengorbanan tak berbatas. Bertahun tahun terkurung hingga khalifah yang berkuasapun silih berganti, namun keyakinan beliau tidak berganti. Di saat banyak penuntut ilmu dan ulama dimasa itu berjatuhan, terseret gelombang fitnah, hanya Imam Ahmad saja yang tetap kokoh hingga fitnah itu berakhir di masa khalifah Al-Mutawakkil, dan : keyakinan bahwa Al-Qur’an kalamullah + pun tetap terjaga. Penulis: Al-Ustadz Fauzi Isnain w.- Penasohat: Al-Ustadz Abu Muhammad Musa Pemimpin Usaha: Abu Tagy Pemimpin Redaksi: liyas Kontributor: Asaticzah Ahlussunnah Saran & Pertanyaan (dengan identitas): 089611374514. Alamat Redaksi: Kampung Krajan 2, Ds, Bengle, Kec. Majalaya, Karawang

You might also like