You are on page 1of 7

Materi Dasar-3

Patogenesis dan Perjalanan Alamiah HIV


Pengantar

Human immunodeficiency virus (HIV) adalah suatu retrovirus yang termasuk famili lentivirus. Jenis
retrovirus memiliki kemampuan untuk menggunakan RNAnya dan DNA sel induk untuk membuat DNA
virus baru dan terkenal pula karena masa inkubasi yang lama. Seperti retrovirus lain, HIV menginfeksi
tubuh, memiliki masa inkubasi yang lama (masa laten klinis) dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan
gejala AIDS. HIV menyebakan kerusakan parah pada system imun dan menghancurkannya. Ini dilakukan
dengan menggunakan DNA limfosit CD4+ untuk bereplikasi. Proses inilah yang menghancurkan limfosit
CD4+.

Petugas kesehatan yang berkaitan dengan layanan HIV AIDS dan IMS perlu memahami tentang
pathogenesis dan perjalanan alamiah HIV serta stadium klinis.

Pokok Bahasan 1. Patogenesis

Sistem Imun Normal

Sistem imun melindungi tubuh dengan mengenali antigen pada bakteri dan virus, lalu bereaksi. Saat
sistem imun ini melemah atau rusak karena virus seperti HIV, tubuh menjadi lebih rentan terhadap infeksi
oportunistik. Sistem imun terdiri atas organ-organ dan jaringan limfoid, termasuk sumsum tulang,
kelanjar timus, kelenjar getah bening, limpa, tonsil, adenoid, apendiks, pembuluh-pembuluh darah dan
limfe. (gambar 1)
Gambar 1.Sistem imun

Semua komponen sistem imun sangat penting dalam produksi limfosit atau sel darah putih. Limfosit T
dab B diproduksi oleh sel induk/stem di sumsum tulang. Sel B akan tetap berada dalam sumsum tulang
untuk proses maturasi, namum sel \t akan menuju kelenjar timus untuk maturasinya. Dalam timus limfosit
T menjadi imunokompeten, bertambah banyak dan berdiferensiasi.

Sel limfosit B

Fungsi utama dari sel-sel B adalah sebagai imunitas atau antibody humoral. Setiap sel B dapat mengenali
target antigen spesifik dan mampu mensekresikan antibodi spesifik. Antibodi berfungsi dengan cara
membungkus antigen, membuat sel-sel ini rentan terhadap fagositosis (proses 'serangan' oleh leukosit atau
makrofag untuk mencerna organisme tak diundang) atau dengan membungkus antigen kemudian memicu
sistem komplemen (yang merupakan respon peradangan). Antibodi merupaan molekul protein serum
yang sangat khusus. Terbagi dalam 5 kelas, yaitu IgG, IgA, IgM, IgE, dan IgD.
Sel limfosit T

Limfosit T atau sel T memiliki dua fungsi utama : regulasi system imun dan membunuh sel-sel yang
membawa target antigen spesifik. Setiap sel T memiliki penanda permukaan, seperti CD4+, CD8+, dan
CD3+, yang membedakan antar sel Sel CD4+ merupakan sel pembantu yang mengaktivasi sel B, killer
cells, dan makrofag saat ada antigen spesifik. Sel CD8+ membunuh sel yang terinfeksi virus atau bakteri,
juga sel-sel kanker. Sel T mampu menghasilkan sitokin (zat kimia yang dapat membunuh sel) seperti
interferon. Sitokin dapat berikatan dengan sel-sel target dan mengaktifkan proses inflamasi. Sitokin juga
meningkatkan perumbuhan sel, mengaktivasi fagosit dan menghancurkan sel target. Interleukin
merupakan jenis sitokin yang berperan sebagai pembawa esan antar sel darah putih. Interleukin
rekombinan (sintetis) saat ini sedang dipelajari dalam uji klinis untuk pasien terinfeksi HIV.

Fagosit

Fagosit terdiri atas monosit dan makrofag, sel darah putih besar yang menelan dan mencerna sel yang
membawa partikel antigen. Sel ini dapat ditemukan di seluruh tubuh, dan membersihkan tubuh dari sel
rusak, memulai respon imun dengan mempresentasikan antigen kepada limfosit, dan penting sebagai
regulasi respon imun dan inflamasi. Sel dendritik, tipe lain dari fagosit, juga termasuk antigen-presenting
cells. Mereka memiliki juluran benang panjang yang membantu menjebak limfosit dan antogen, serta
dapat ditemukan dalam limpa dan kelenjar getah bening. Neutrofil adalah fagosit granulosistik yang
penting dalam respon inflamasi.

Komplemen

aeSistem komplemen terdiri atas 25 protein. Komplemen mampu menulai suatu respon inflamasi saat ia
dan antibody memfasilitasi fagositosis atau melemahkan sel membran bakteri. Protein komplemen saling
berinteraksi dalam cascade aktivasi, memicu respon peradangan. Meskipun system imun kita tampaknya
telah cukup kuat menghadapi predator asing, namun seiring waktu system ini akan kalah oleh HIV.
(Gambar 2).
Gambar 2. Sel-sel system imun

Struktur virus HIV

Virus HIV terdiri dari 2 tipe yaitu HIV 1 dan HIV 2. HIV 2 hanya terdapat pada Afrika tengah dan barat.

HIV merupakan keluarga dari genus Lentiviris dan keluarga dari Retroviridae. Infeksi dari lentivirus pada
umumnya menyebabkan infeksi kronis dengan peroide laten klinis yang panjang, melibatkan susunan
saraf pusat dan mempunyai replikasi yang unik.

Genom retrovirus terdiri daru dua copies identical dari single standed RNA yang mempunyai struktur gen
gag, pol dan env. Gen gag mengkodekan protein inti. Gen pol mengkodekan enzim reverse
transcriptase,protease, dan integrase.Gen env mengkodekan komponen structural yaitu glikoprotein. Gen
lain yang juga penting bagi replikasi virus adalah rev, nef, vif, vpu, dan vpr.

Perbedaan antara HIV 1 dan 2 terletak pada struktur genom


Siklus Hidup HIV

Sel induk yang terinfeksi HIV mempunyai masa hidup yang amat pendek, karena HIV terus menerus
menggunakan sel ini untuk bereplikasi. Sebanyak 10 juta virion (virus individual) akan diproduksi tiap
harinya. HIV pertama menyerang atau tertangkap sel dendritik di membran mukosa dan kulit dalam 24
jam pertama setelah pajanan. Sel-sel yang terinfeksi ini kan menuju kelenjar getah bening dan akhirnya
ke darah perifer dalam 5 hari setelah pajanan, di mana reoplikasi virus menjadi sangat pesat. Siklus
hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu binding and entry, reverse transcription,replikasi, budding,
dan maturasi (Gambar 4) F

Ada 5 fase dalam replikasi virus HIV yaitu

 Binding dan entry (fusion)


 Transkripsi terbalik
 Integrasi DNA virus dgn DNA manusia
 Replikasi
 Budding

Penularan HIV

HIV terdapat dalam cairan tubuh ODHA, dan dapat dikeluarkan melalui cairan tubuh tersebut.
Seseorang dapat terinfeksi HIV bila kontak dengan cairan tersebut. Mskipun virus terdapat
dalam ssaliva, air mata, cairan serebrospinal dan urin, tetapi cairan tersebut tidak terbukti
berisiko menularkan infeksi karena kadarnya sangat rendah dan tidak mekanisme yang
memfasilitasi untuk masuk ke dalam darah orang lain.
Cara penularan yang lazim adalah melalui hubungan sex tanpa kondom, kontak dengan darah
yang terinfeksi (tusukan jarum suntik, pemakaian jarum suntik secatra bersama, dan produk
darah yang terkontaminasi) dan penularan dari ibu ke bayi (selam dan setelah lahir). Cara lain
yang lebih jarang seperti, tato, transplantasi organ dan jaringan, inseminasi buatan, tindakan
medis semi invasif. Cara penularan yang tersering adalah secara seksual melalui mukosa genital
dengan angka kejadian sampai 85% di dunia.
Kemungkinan penularan setiap episod pajanan bervariasi seperti tampak pada tabel di bawah ini.
Risiko penularan tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya adanya ulkus genital atau
infeksi menular seksual (IMS) dan faktor genetik.
Tidak ada risiko penularan pada hubungan sosial, kontak non-seksual seperti, berciuman,
pemakaian bersama alat makan (mis. gelas), sentuh tubuh, atau penggunaan toilet umum. HIV
tidak disebarkan oleh nyamuk atau serangga lainnya.

Pokok Bahasan 2. Perjalanan alamiah HIV dan Stadium Klinis

Perjalanan Alamiah HIV


Pada saat seseorang terpapar dengan HIV, replikasi virus terjadi pada 6 jam pertama dan mencapai
puncaknya pada bulan antara bulan ke 2 dan 3. 10 – 12 hari pertama setelah terinfeksi HIV RNA plasma
dapat terdeteksi dengan menggunakan PCR. Onset viremia setelah seseorang terinfeksi merupakan
masa kritis karena pada saat tersebut terjadi viremia yang tinggi dan mempunyai potensi sangat besar
untuk menyebabkan transmisi. Selain ini metoda dan tehnologi laboratorium untuk penegakkan
diagnosis berperan dalam upaya menentukan apakah seseorang telah terinfeksi HIV. Pada saat ini
terdapat periode jendela yaitu suatu keadaan dimana seseorang sudah terinfeksi akan tetapi hasil
pemeriksaan serologis menunjukkan hasil negative. Keadaan ini perlu diulang sesuai dengan tehnologi
pemeriksaan serologi yang digunakan. Viremia pada awal infeksi terjadi karena pembentukan antibodi
belum mencukupi untuk menekan viremia secara alamiah.

Setelah beberapa minggu terjadi penurunan viremia disertai dengan peningkatan nilai CD4. Pe nurunan
viremia terjadi hingga jumlah virus sangat rendah secara periodik dan sering hingga tidak terdeteksi.
Serokonversi, jika menggunakan pemeriksaan serologi generasi ketiga terjadi antara minggu ke 3 – 6

Infeksi HIV akut (acute HIV infection) terjadi antara hari ke 7 dan 10 . Pada saat ini jumlah CD4 turun
secara drastis sebelum timbulnya anti viral imun respon. Pada saat imun respon telah terbentuk, nilai
CD4 secara bertahap meningkat kembali diiringi pernurunan viremia. Beberapa minggu setelah fase ini
pasien akan masuk dalam fase aymtomatik. Pada fase asymtomatic replikasi virus tetap terjadi. Ada
beberapa alasan mengapa imun respon tidak dapat melakukan eradikasi virus HIV diantaranya adalah
terdapatnya virus HIV dalam jariangan limfoid dengan “low expression” antigen dan tingginya angka
mutasi virus sehingga lolos dari imun respon adalah penyebab tersering.

Progress penyakit selanjutnya tergantung dari kapasitas untuk mengendalikan penyakit dan
merekonsitusi “pool” dari memory T cel yang berada pada jaringan limfoid. Kegagalan pada fase ini
menyebabkan nilai CD 4 turun kembali. Tiap penurunan CD 4 akan diikuti dengan timbulnya infeksi
oportunistik. Terdapat perbedaan jenis infeksi oportunistik yang timbul dari tiap nilai CD 4 yang turun.

Stadium Klinis HIV

You might also like