Professional Documents
Culture Documents
Rahayu Dwi Retnaningsih-7a (71211091) Uas HK Kesehatan & Asuransi
Rahayu Dwi Retnaningsih-7a (71211091) Uas HK Kesehatan & Asuransi
MAGISTER MANAJEMEN
UNIVERSITAS ARS
Dalam dunia kesehatan saat ini masalah hukum seringkali terjadi berkaitan dengan adanya
pengaduan maupun pelanggaran hukum dalam praktek kesehatan yang dialami baik oleh
pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun oleh tenaga kesehatan sebagai pihak
yang memberikan pelayanan medis. Berbagai regulasi perundang- undangan dan Peraturan
Menteri Kesehatan yang mengatur tentang pelaksnaan pelayanan kesehatan sudah
diberlakukan, antara lain :
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
- Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang PraktikKedokteran
- Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
- PMK 269 /2008 tentang Rekam Medik
- PMK 290 /2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran ( Informed Consent)
Pertanyaannya :
1. Coba jelaskan kelima Prinsip dalam asuransi kaitannya dengan trilogi perundang-
undangan Tentang Hukum Kesehatan, Praktik Kedokteran dan Rumah Sakit , apakah
prinsip Subrograsi (Subrogration Principle) pengalihan hak untuk menuntut pihak ke 3
penyebab kerugian dapat diterapkan dalam perlindungan terhadap korban yang mengalami
mal praktek ?
Jawab
5 Prinsip dalam Asuransi, yaitu:
1. Insurable interest
Insurable interest adalah hak untuk mengasuransikan, yang timbul dari suatu
hubungan keuangan antara tertanggung dengan obyek yang diasuransikan dan diakui
secara hukum (recognized at law), yang di asuransikan bukan objeknya tp suatu
hubungan keuangan
2. Indemnitas (indemnity),
asuransi satu ini “Merupakan kewajiban positif untuk secara sukarela mengungkapkan
semua fakta material secara akurat dan lengkap terhadap risiko yang diasuransikan
apakah diminta atau tidak”. Jadi, calon tertanggung harus menyampaikan kondisi yang
lengkap dan akurat
4. Subrogasi (subrogation)
Subrogasi merupakan “Hak setiap orang, setelah mengganti rugi Tertanggung dibawah
kewajiban hukum, untuk berdiri diposisi Tertanggung dan mengambil alih hak
Tertanggung dan guna mendapatkan ganti rugi dari pihak lain (pihak lain yang
menyebabkan dan seharusnya bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi).
5. Kontribusi (contribution)
Jadi dengan adanya prinsip Subrogasi, Tertanggung (korban) hanya berhak atas
ganti rugi (indemnitas), tetapi tidak lebih dari itu, dan pihak Penanggung
(Asuransi) berhak mengambil alih setiap keuntungan (profit) yang diperoleh
Tertanggung dari suatu kerugian yang dijamin polis, dan prinsip ini
memperbolehkan pihak penanggung melakukan tuntutan kepada pihak ketiga
(RS) yang bertanggung jawab atas kerugian yang dijamin polis dalam usaha
Penanggung untuk meminimize atau memperkecil kerugian yang terjadi, dengan
catatan bahwa tuntutan itu dilakukan Penanggung atas nama Tertanggung.
3. Coba saudara perbandingkan dan analisis hak-hak pasien berdasarkan Pasal 52 UU No.29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan hak pasien berdasarkan UU No.8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
Aturan dalam peraturan perundang-undangan yang menekankan pada adanya hak pasien
atas isi rekam medis diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Negara Republik Indonesia
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yaitu pasien, dalam menerima
pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
2. Meminta pendapat dokter atau tenaga medis lain;
3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
4. Menolak tindakan medis;
5. Mendapatkan isi rekam medis
Praktik Kedokteran dan hak pasien berdasarkan UU No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen Hak dan Kewajiban Konsumen Pasal 4 Hak konsumen adalah :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Unsur-unsur Malpraktik
Jenis-jenis Malpraktik
Menurut Isfandyarie (2005), ditinjau dari etika profesi dan hukum, malpraktik dapat
dibedakan menjadi dua bentuk yaitu; malpraktik etik (ethical malpractice) dan malpraktik
yuridis (yuridical malpractice). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
a. Malpraktik Etik
Malpraktik etik yaitu tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan
dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan yang
melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan
yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan seperangkat standar etis,
prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan. Malpraktik etik adalah
dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran, sedangkan
etika kedokteran yang dituangkan di dalam KODEKI merupakan seperangkat
standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.
b. Malpraktik Yuridis
Malpraktik yuridis dibagi menjadi menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktik perdata
(civil malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktik
administratif (administrative malpractice). Adapun penjelasannya adalah sebagai
berikut:
1) Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktik perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak
terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh
tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Dalam malpraktik
perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktik yang disebabkan oleh kelalaian
adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis). Karena apabila yang terjadi
adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan tersebut termasuk
dalam malpraktik pidana. Contoh dari malpraktik perdata, misalnya seorang
dokter yang melakukan operasi ternyata meninggalkan sisa perban didalam
tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang tertinggal kemudian
dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban yang tertinggal tersebut.
Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak
menimbulkan akibat negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.
2) Malpraktik Pidana
Malpraktik pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat
akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan
upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
Malpraktik pidana ada tiga bentuk yaitu:
3) Malpraktik Administratif
Malpraktik administratif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan
pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya
menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan
yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya, menjalankan praktek dengan izin
yang sudah kadaluwarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan
medik.
Ketentuan Malpraktik dalam Hukum Indonesia
Ketentuan mengenai malpraktik medis dalam hukum di Indonesia dapat dilihat dari KUHP,
Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan Undang-undang No. 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran. Adapun penjelasan ketiganya adalah sebagai berikut:
a. KUHP
Tindak pidana malpraktik tidak diatur dengan jelas dalam KUHP. Pengaturan di dalam
KUHP lebih kepada akibat dari perbuatan malpraktik tersebut. Pengaturan Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat dilihat dari ketentuan Pasal 53 KUHP
yaitu terkait dengan percobaan melakukan kejahatan pasal ini hanya menentukan syarat-
syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah
melakukan suatu percobaan.
Terkait dengan kealpaan yang menyebabkan mati atau luka-luka dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 359 KUHP. Pasal ini terkait dengan penanggulangan tindak pidana
malpraktik kedokteran dapat didakwakan terhadap kematian yang diduga disebabkan
karena kesalahan dokter. Pasal 359 KUHP ini juga dapat memberikan perlindungan
hukum bagi pasien sebagai upaya preventif mencegah dan menanggulangi terjadinya
tindak pidana malpraktik kedokteran namun perlu juga solusi untuk menghindarkan dokter
dari rasa takut yang berlebihan dengan adanya pasal ini.
Pasal 360 KUHP menyebutkan tentang cacat, luka-luka berat maupun kematian yang
merupakan bentuk akibat dari perbuatan petindak sehingga dari sudut pandang subjektif
sikap batin petindak disini termasuk dalam hubungannya dengan akibat perbuatannya.
Pasal 361 KUHP yang merupakan pasal pemberatan pidana bagi pelaku dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencaharian dalam hal ini jabatan profesi sebagai dokter,
bidan dan juga ahli obat-obatan yang harus berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya
karena apabila mereka lalai sehingga mengakibatkan kematian bagi orang lain atau orang
tersebut menderita cacat maka hukumannya dapat diperberat 1/3 dari Pasal 359 dan Pasal
360 KUHP.
Pasal 304 KUHP, Pasal 306 ayat (2) KUHP kalau salah satu perbuatan yang diterangkan
dalam Pasal 304 mengakibatkan orang mati, si tersalah itu dihukum penjara paling lama
sembilan tahun. Terkait dengan kejahatan terhadap tubuh dan nyawa dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 338, 340, 344, 345, 359, KUHP yang dapat dikaitkan dengan euthanasia,
apabila dihubungkan dengan dunia kesehatan sebagai upaya penanggulangan tindak
pidana malpraktik di Indonesia menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif
tanpa permintaan adalah dilarang. Termasuk juga dengan euthanasia aktif dengan
permintaan.
d. Pengaturan lex spesialis mengatur pembinaan dan pengawasan bagi para pelaku
kesehatan. Pembinaan dilakukan untuk meningkatkan kompetensi dan
profesionalisme para pelaku kesehatan, sementara pengawasan dilakukan untuk
memastikan pelaku kesehatan memenuhi standar kualitas dan etika yang
ditentukan.
Secara keseluruhan, perkembangan hukum kesehatan di Indonesia saat ini dikaitkan
dengan pengaturan lex spesialis yang memfokuskan pada norma keprofesian yang
mengatur tentang kompetensi, kewenangan, pelayanan kesehatan, pembinaan, dan
pengawasan yang harus dipenuhi oleh pelaku kesehatan.