You are on page 1of 180

STUDI TEMATIK TENTANG

ISTRI-ISTRI NABI SAW DALAM AL-QUR’AN

TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Magister
Dalam Ilmu Agama Islam

Oleh:
ERY KHAERIYAH
NIM : 99.2.00.1.05.01.0108

PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS


SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ery Khaeriyah


NIM : 99.2.00.1.05.01.0108
Tempat, Tgl Lahir : Jakarta, 21 Februari 1975

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis saya yang berjudul Studi Tematik
Tentang Istri-istri Nabi saw dalam Al-Qur’an adalah benar-benar karya asli saya.
Apabila di kemudian hari terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam tesis ini, maka
sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya pribadi.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya dan untuk dipergunakan


sebagaimana mestinya.

Jakarta, Juli 2005


Yang Menyatakan,

Ery Khaeriyah

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul “STUDI TEMATIK TENTANG ISTRI-ISTRI NABI SAW

DALAM AL-QUR’AN” yang ditulis oleh Ery Khaeriyah dengan NIM :

99.2.00.1.05.01.0108 disetujui untuk dibawa ke sidang ujian tesis.

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M. A. Dr. A. Wahib Mu’thi, M. A.

Tanggal………………………………. Tanggal……….…………………..

iii
PENGESAHAN

Tesis yang berjudul “STUDI TEMATIK TENTANG ISTRI-ISTRI NABI SAW

DALAM AL-QUR’AN” yang ditulis oleh Ery Khaeriyah dengan NIM :

99.2.00.1.05.01.0108 telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim

Penguji dalam sidang Munaqasyah Tesis tanggal 21 Juli 2005.

Penguji I Penguji II

Dr. H. Hamdani Anwar, M.A. Dr. Fuad Jabali, M. A.

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M. A. Dr. A. Wahib Mu’thi, M. A.

iv
PEDOMAN TRANSLITERASI DAN SINGKATAN

Pedoman Transliterasi yang digunakan dalam tesis ini mengacu kepada

Buku Pedoman Transliterasi Arab-Latin berdasarkan Keputusan Bersama Menteri

Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 158 Tahun 1987, Nomor

0543 b/u/1987 Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan

Proyek Pengkajian dan Pengembangan Lektur Pendidikan Agama, Jakarta 2003.

Namun dikarenakan hal teknis, maka terdapat modifikasi pada Pedoman Transliterasi

dan Singkatan ini menjadi sebagaimana berikut:

I. Konsonan

‫أ‬ = a ‫ط‬ = th   


‫= ب‬ b 
 ‫ظ‬ = zh
‫ ت‬= t ‫ع‬ = ‘
‫ ث‬= ts ‫غ‬ = gh
‫ج‬ = j ‫ف‬ = f
‫ح‬ = h ‫ق‬ = q
‫خ‬ = kh ‫ك‬ = k
‫د‬= d ‫ل‬ = l
‫ذ‬= dz ‫م‬ = m 
‫ر‬= r ‫ن‬ = n
‫ز‬= z ‫و‬ = w
‫= س‬ s ‫ه‬ = h 
‫= ش‬ sy ‫ء‬ = ’
‫= ص‬ sh  = y
‫= ض‬ dh ‫ة‬ = t

v
II. Madd dan Diftong

â = a panjang

î = i panjang

û = u panjang

‫او‬ = au

‫اي‬ = ai

III. Alif Lam ( ‫) ال‬

Alif lam ( ‫ ) ال‬dalam sebuah kalimat yang bersambung dengan huruf

Qamariyah, tetap ditulis al- (misal al-kitab). Sedangkan alif lam ( ‫ ) ال‬dalam kalimat,

yang bersambung dengan huruf Syamsiyah, ditulis sesuai dengan bunyinya yaitu

huruf l diganti dengan huruf yang sama dengan huruf awal kata tersebut (misal al-

Sunnah menjadi as-Sunnah).

IV. Singkatan-singkatan

swt = subhânahu wata‘âla

saw = shallallâhu ‘alaihi wasallam

r.a. = radhiyallâhu ‘anhu/ha/huma

H = Hijriyah

M = Masehi

W = wafat

Q. S. = Al-Qur’ân Sûrah

h. = halaman

vi
Abstrak
Studi Tematik Tentang Istri-istri Nabi saw dalam Al-Qur’an.

Tesis ini pada dasarnya mencari pembahasan dalam Al-Qur'an yang


mengupas tentang kehidupan istri-istri Nabi Muhammad SAW, khususnya mengkaji
tentang kedudukan mereka dalam Al-Qur’an. Tentunya mereka terpilih menjadi istri
Nabi Muhammad SAW dikarenakan keimanan dan ketakwaan mereka. Kehadiran
mereka sebagai istri seorang Nabi yang mempunyai tugas menyampaikan wahyu
sebagai sumber ajaran Islam tentunya membutuhkan keterlibatan dan peran serta
mereka untuk mendukung peran Nabi dalam menyebarkan agama Islam. Karena itu,
sebagai istri seorang Nabi utusan Allah yang harus menjadi teladan bagi manusia,
maka selayaknya istri-istrinyapun menjadi teladan pula di samping menjadi
penyambung lidah Nabi dalam menyampaikan ajaran Islam.
Istri-istri Nabi Muhammad SAW yang dalam al-Qur’an mendapat gelar
Ummahât al-Mu’minîn ternyata mempunyai beberapa keistimewaan dan keutamaan
dalam Al-Qur’an. Di antara keistimewaan dan keutamaan mereka adalah
mendapatkan balasan yang berlipat ganda dan rezeki yang mulia (surga), kedudukan
yang tidak sama dengan wanita lain, dan rumahnya adalah tempat dibacakan wahyu
Allah (Al-Qur’an) dan sumber Sunnah Nabi. Selain mendapatkan keistimewaan dan
keutamaan, mereka juga mempunyai beberapa kewajiban serta hak sebagai istri Nabi
dan teladan umat. Kewajiban mereka adalah memelihara kehormatan dan kesucian
diri, melaksanakan kewajiban agama seperti mendirikan shalat, menunaikan zakat,
ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, serta menyampaikan dan mengajarkan Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi. Sedangkan hak-hak yang didapat Ummahât al-Mu’minîn adalah
jaminan mendapatkan pemeliharaan kesucian diri, Nabi tidak dibolehkan menikah
lagi setelah menikahi Ummahât al-Mu’minîn, mereka haram dinikahi orang lain
setelah Nabi saw wafat, dan adanya etika tertentu yang harus dipegang oleh kaum
mu’minin apabila bergaul dengan istri-istri Nabi dalam rumah kenabian. Adanya
keutamaan dan keistimewaan bagi Ummahât al-Mu’minîn dikarenakan mereka adalah
para pendamping Nabi saw dalam menjalankan misi risalah dan dakwah Islam. Selain
itu, mereka adalah wanita pilihan yang telah rela memilih keridhoan Allah dan rasul-
Nya sehingga rela hidup dalam kesederhanaan.
Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada pengetahuan ilmiah yang
mengkaji tentang istri-istri Nabi saw, khususnya berdasarkan kajian Al-Qur’an secara
tematik. Buku yang berjudul Nisâ’ an-Nabiy ‘Alaihi ash-Shalâh wa as-Salâm yang
ditulis oleh ‘Âisyah ‘Abdurrahmân Bintusy Syâthi’, yang diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia dengan judul Istri-istri Nabi Fenomena Poligami di Mata Seorang
Tokoh Wanita oleh ‘Abdullah Zaki Alkaf, tidak menjelaskan kedudukan istri-istri
Nabi secara khusus menurut pandangan Al-Qur’an. Sedangkan buku Istri-istri Para
Nabi yang diterjemahkan oleh Fadhil Bahri, Lc. dari dua buah buku yang digabung
menjadi satu: buku satu berjudul Nisâ’ al-Anbiyâ’ fî Dhau’ al-Qur’ân wa as-Sunnah
karya Ahmad Khalîl Jam’ah, dan buku kedua berjudul Azwâj an-Nabiy Shalla Allâhu
vii
‘Alaihi Wa Sallam karya Syaikh Muhammad bin Yûsuf Ad-Dimasyqi, merupakan
buku yang membahas tentang istri-istri Nabi dari sejak Nabi Adam sampai Nabi
Muhammad yang pembahasannya lebih didasarkan kepada hadits-hadits Nabawi.
Maka tesis ini berupaya membahas tentang istri-istri Nabi saw berdasarkan
ayat-ayat al-Qur’an, meskipun nama-nama mereka tidak disebutkan secara khusus
dalam Al-Qur’an. Pembahasan tentang istri-istri Nabi saw ini dianggap penting
mengingat tingginya derajat mereka dengan gelar Ummahât al-Mu’minîn yang
diberikan oleh Allah swt kepada mereka.
Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang dilakukan penulis
adalah melalui lilbrary research (kajian pustaka) dengan mengacu kepada Al-Qur’an
sebagai objek penelitian. Selain Al-Qur’an, sumber rujukan yang dipergunakan
adalah kitab-kitab tafsir dan buku-buku lain yang mendukung tema tersebut. Karena
objek penelitian ini adalah Al-Qur’an, maka metode pembahasan dan analisis yang
penulis gunakan adalah metode Tafsir. Adapun metode Tafsir yang digunakan dalam
mengungkapkan penelitian ini adalah metode Tafsir Maudhu’i (tematik). Tafsir
Maudhu’i adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-Qur’an tentang
tema tertentu, maka tafsir ini juga dinamakan tafsir tematik. Dalam hal ini, penelitian
didasarkan pada data-data yang ada dalam ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan tema
tersebut, di mana ayat-ayat tersebut dikumpulkan dahulu, kemudian dicari hadits-
hadits yang mendukung tema tersebut. Selanjutnya, penulis mempelajari dan
membaca data-data dari kitab-kitab tafsir dan buku-buku lain yang relevan dengan
masalah yang penulis teliti.
Dari data-data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini, akan ditarik
kesimpulan dari hal-hal yang dijadikan obyek penelitian. Kemudian penulis akan
menganalisisnya agar dapat memberikan pemahaman yang optimal.
Adapun penulisan tesis ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan
Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan untuk
Transliterasi, selain mengacu kepada buku tersebut, penulis memodifikasinya
dikarenakan alasan teknis pengetikan.

viii
KATA PENGANTAR

Al-hamdulillah, Segala puji bagi Allah swt, karena atas nikmat dan karunia-

Nya, Penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa

tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, Rasul pilihan Allah swt.

Dalam keadaan yang penuh keterbatasan, tentunya tesis ini tidak akan

selesai tanpa bantuan, saran, masukan, dorongan, support dan do’a dari banyak pihak

dalam proses penulisan dan penyelesaiannya. Oleh karena itu, Penulis merasa perlu

mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A., selaku Direktur Pascasarjana UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, M. A. dan Bapak Dr. A. Wahib Mu’thi,

M. A. yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan ketelitian.

3. Bapak Dr. H. Hamdani Anwar, M.A. dan Dr. Fuad Jabali, M. A sebagai penguji

yang telah memberikan saran, masukan, dan kritik dalam perbaikan tesis ini.

4. Para Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membekali

ilmu kepada penulis dan memberikan bimbingan dan pengarahan.

5. Orang Tua Penulis yang telah memberikan kasih sayang, dorongan dan dukungan

baik moril maupun materil kepada penulis untuk senantiasa menuntut ilmu.

Begitu pula seluruh keluarga besar yang telah memberi dorongan dan

dukungannya.

ix
6. Ketua STAIN Cirebon, Bapak Dr. H. Imron Abdullah, M. Ag. yang senantiasa

mendorong penulis, begitu pula dengan keluarga besar Perpustakaan, Pusat Studi

Gender (PSG), dan Pusat Pengembangan Tilawatil Qur’an (PPTQ) STAIN

Cirebon yang telah memberikan dorongan, dukungan, dan kesempatan bagi

penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

7. Keluarga Besar Yayasan Al-Kamal di mana penulis pernah bernaung, yang telah

mendampingi dan memberikan pengertian. Secara khusus kepada teman-teman

terdekat Penulis yang telah membantu secara langsung, mendorong dan

mendukung Penulis dengan penuh kesabaran dan kasih sayang untuk

terselesaikannya tesis ini, serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan

namanya satu persatu namun mempunyai peran yang sangat berarti.

Semoga Allah swt membalas kebaikan mereka dan mencatatnya sebagai

amal sholeh.

Tesis ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan

saran penulis nantikan demi perbaikan. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini

bermanfaat bagi semua pihak.

Ciputat, Juli 2005

Penulis,

Ery Khaeriyah

x
DAFTAR ISI

Halaman Judul ……..………….……………………………………….………. i


Lembar Surat Pernyataan ..….…………………....…………………….……… ii
Lembar Persetujuan Pembimbing ………………………………......…..……… iii
Lembar Pengesahan ……….…...………………………….…………………… iv
Pedoman Transliterasi dan Singkatan ..………………………………………... v
Abstrak ……….……..………….…………………………………….………... vii
Kata Pengantar ……………………………….………………………………… ix
Daftar Isi …..…………………………………………………………………… xi

BAB I PENDAHULUAN ……………………………....………………. 1


A. Latar Belakang Masalah …………..……………….……….… 1
B. Pembatasan Masalah …………………………...………….…. 13
C. Perumusan Masalah ………………………………………….. 13
D. Tujuan Penelitian …….………………………..….……...….… 14
E. Kajian Pustaka …………………….………………………..… 15
F. Metodologi Penelitian ……………….………………………... 16
G. Sistematika Penulisan ……………………………………...… 17

BAB II PENGUNGKAPAN ISTRI-ISTRI NABI SAW


DALAM AL-QUR’AN ……..……………………..……………. 18
A. Term/Lafaz Yang Berkaitan Dengan/Digunakan Untuk Istri-
istri Nabi saw………….……………………………………... 18
B. Gelar Ummahât al-Mu’minîn Bagi Istri-istri Nabi saw ……... 23
C. Istri-istri Nabi saw ….…………………………....…..………. 31

BAB III KEDUDUKAN ISTRI-ISTRI NABI SAW DALAM


AL-QUR’AN ………….……………………………………........ 106
A. Keistimewaan dan Keutamaan Istri-istri Nabi saw ….....….…. 107
B. Kewajiban Istri-istri Nabi saw ………………………………... 123
C. Hak-hak Para Istri Nabi saw ……………………………….… 143

BAB IV PENUTUP ……………………………………………………….. 156


A. Kesimpulan ……………………………………………….……156
B. Saran ……………………………………………………..…… 158

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah melalui

malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada manusia

agar dijadikan pedoman dan tuntunan hidup. Bahkan Al-Qur’an menamakan dirinya

“petunjuk bagi manusia” (hudan li an-nâs, Q.S. 2: 185). Al-Qur’an membimbing

manusia dari kegelapan kepada terang benderang, serta membimbing mereka ke jalan

yang lurus.1 Al-Qur’an berisi pesan-pesan yang sarat makna bagi kehidupan manusia

agar manusia berada pada jalan yang benar.

Al-Qur’an sebagai kitab suci mampu memecahkan problem-problem

kemanusiaan dalam berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi,

maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh Yang

Maha Bijaksana dan Maha Terpuji. Pada setiap problem itu Al-Qur’an meletakkan

sentuhannya yang mujarab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan

landasan untuk langkah-langkah manusia, dan yang sesuai pula untuk setiap zaman.2

Problem-problem itu akan terpecahkan apabila al-Qur’an dipelajari makna dan

1
Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (t.tmp: Mansyurât al-‘Ashr al-
Hadîts, 1973), h. 9
2
Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits, h. 19
2

kandungannya secara sungguh-sungguh dan mendalam, dan manusia melepaskan diri

dari ego yang membelenggunya.

Bila dipelajari lebih jauh, Al-Qur’an mempunyai aspek pembahasan yang

luas mencakup berbagai sendi kehidupan, duniawi maupun ukhrawi sehingga bila

diteliti, banyak sekali tema yang dibicarakan Al-Qur’an. Fazlurrahman3 dalam

bukunya yang berjudul “Tema-tema Pokok Al-Qur’an”4 setidaknya mengungkapkan

ada beberapa tema yang dibahas dalam al-Qur’an, yaitu Tuhan, manusia sebagai

individu, manusia anggota masyarakat, alam semesta, kenabian dan wahyu,

eskatologi, setan dan kejahatan, dan lahirnya masyarakat Muslim. Sedangkan Quraish

Shihab dalam bukunya “Wawasan Al-Qur’an”5 membagi 33 tema secara detail,

terutama menyangkut aspek ketuhanan dan kehidupan manusia.

Kehidupan manusia banyak dibahas dalam Al-Qur’an. Selain menguraikan

tentang asal usul manusia, kekuatan, kelemahan, dan kelebihan manusia, Al-Qur’an

juga menguraikan kedudukan laki-laki dan perempuan, serta memberikan gambaran

mengenai beberapa tokoh yang dapat dijadikan teladan yang terungkap dalam ayat-

ayatnya secara tegas ataupun tidak terungkap secara langsung namun dapat difahami

dari penyebab turunnya yang berkisar di antara mereka.

Di antara tokoh yang dapat dijadikan teladan adalah isteri-isteri Nabi

Muhammad saw yang di dalam Al-Qur’an mendapat gelar kehormatan Ummahât al-

3
Ia adalah seorang guru besar tentang pemikiran Islam di University of Chicago.
4
Diterjemahkan dari Major Themes of the Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1996), Cet. 2, h. vii
5
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1995), Cet. XIV
3

Mu’minîn berdasarkan surat Al-Ahzâb ayat 6. Ummahât al-Mu’minîn 6 artinya ibu-

ibu dari orang-orang yang beriman. Diungkapkan dalam bentuk jamak (ummahât),

karena keseluruhan isteri yang pernah mendampingi Rasulullah sepanjang beliau

hidup berjumlah 11 orang. Sebutan ini mengandung implikasi yang luar biasa baik

secara hukum, sosial, politis dan etik bagi peran dan posisi isteri-isteri Rasulullah

SAW di hadapan ummatnya. Firman Allah:

...
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mu’min dari diri
mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu mereka…” (Q. S. Al-Ahzab/33:6)

Ayat ini menjelaskan tentang posisi Nabi bagi orang-orang yang beriman. Ia

adalah orang yang harus diutamakan oleh kaum Mu’minin, sebagaimana posisi

seorang bapak bagi anak-anaknya bahkan melebihi dari seorang bapak.7 Karena jika

seorang bapak mendidik dan membimbing anaknya di dunia saja, sementara Nabi

mendidik kaum Mu’min di dunia dan akhirat sehingga kedudukannya lebih utama.8

6
Istilah ini menurut Imam as-Syâfi‘î dan Imam al-Ghazâlî sebagaimana dikutip al-Alûsî
tidak berlaku bagi istri-istri yang sudah diceraikannya. Lihat Abû al-Fadhl Syihâb ad-Dîn as-Sayyid
Mahmûd Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa as-Sab‘ al-Matsânî, (Beirut: Ihya
at-Turâts al-‘Arabî, t.th.), Juz 21, h. 152.
7
Banyak hadits yang menerangkan gambaran posisi Nabi bagi kaum mu’minin, di antaranya
Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawiyah dari Abu
Hurairah ra. Nabi berkata: “Tidaklah seorang mu’min kecuali akulah manusia yang paling utama
baginya di dunia dan akhirat, bacalah oleh kamu (ayat 6 al-Ahzâb). Maka siapa saja seorang mu’min
meninggal sementara ia meninggalkan harta, maka kerabatnya yang mewarisi harta tersebut. Dan
barang siapa yang meninggalkan hutang atau anak-anak yang telantar, maka datanglah kepadaku
karena aku adalah walinya”. Lihat Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân bin Abû Bakr As-Sayûthî, Ad-Durr
al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), Cet. I, Juz 5, h. 350.
Lihat pula al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 21, h. 151
8
Perhatikan Muhammad Ar-Râzî Fakhr ad-Dîn ibn al-‘Allâmah Dhiyâ ad-Dîn, Tafsîr Fakhr
ar-Râzî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), Juz. 25, h. 196.
4

Karena demikian posisi Nabi, maka isteri-isterinya menempati posisi sebagai ibu bagi

kaum mu’minin (Ummahât al-Mu’minîn).9

Posisi ini berkaitan dengan kewajiban untuk menghormati mereka dan

menghormati hak-haknya serta haram mengawininya sebagaimana mereka

diharamkan mengawini ibunya.10 Adapun selain itu seperti melihat, bergaul

diperlakukan sebagaimana hukumnya perempuan ajnabiyyât (orang lain di luar

mahram). 11 Mereka ini adalah pendamping Nabi saw yang turut berperan dalam

dakwah Nabi saw dan pengembangan Islam serta memberikan teladan kepada umat

Islam. Mereka banyak menyokong dan membantu Nabi saw dengan kekuatan pribadi

mereka, kebijaksanaan, kecerdasan, ketabahan, kesetiaan, harta, pengaruh dan

pergaulan yang luas dalam mensyiarkan syariat Allah swt dan pengaruh kekuasaan

Islam di muka bumi. Mereka ini adalah golongan yang dikatakan Allah swt melalui

firman-Nya:

“Sesungguhnya Allah akan memasukkan mereka ke dalam suatu tempat


(syurga) yang mereka menyukainya. Dan sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun.” ( Q. S. Al Hajj/22 : 59 )

9
Karena ayat ini menegaskan Ummahât al-Mu’minîn, disinyalir menurut beberapa riwayat
ada penggalan kalimat yang tercecer yaitu kalimat wa huwa abu lahum (dan ia adalah bapak kamu).
Perhatikan as-Sayûthî, Ad-Dur al-Mantsûr, Juz 5, h. 351.
10
as-Sayûthî, Ad-Dur al-Mantsûr, Juz 5, h. 351. Ibnu Sa‘îd, Ibnu Mundzir dan Imam al-
Baihaqî meriwayatkan dalam Kitab Sunannya bahwa ‘Âisyah ketika ditanya tentang ayat ini oleh
seorang perempuan, ia mengatakan: “Aku adalah ibu bagi kaum pria di antara kamu dan aku bukanlah
ibu bagi kaum wanita”. Sementara Ummu Salamah dalam riwayat Sa‘id mengatakan: “Aku adalah ibu
bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan”.
11
Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz. 21, h. 151
5

Mereka ini, selain menjadi isteri Nabi saw juga menjadi tempat rujukan

ilmu kaum perempuan zaman itu. Bahkan, setelah Nabi saw wafat, beberapa di antara

mereka terus menjadi sumber rujukan utama kaum Muslimin. Hal ini dapat dilihat

melalui peranan Saudah r.a., ‘Âisyah r.a.12, Hafshah r.a., Syafiyyah r.a., Ummu

Habîbah r.a. dan Ummu Salamah r.a.13, di mana mereka termasuk bagian dari ahli

Ilmu dalam al-Qur’an, Hadis, Fikih, Sejarah, dan Bahasa Arab.

Dalam sejarah tercatat bahwa ‘Âisyah r.a. termasuk salah seorang dari tujuh

ahli Majlis Syura selain ‘Umar Ibn Khattâb r.a., ‘Ali bin Abî Thâlib r.a., ‘Abdullah

Ibn Mas’ûd r.a., Zaid bin Tsâbit r.a., ‘Abdullah bin ‘Abbâs r.a., dan ‘Abdullah bin

Umar r.a.. ‘Âisyah r.a, Hafshah r.a. dan Ummu Salamah r.a. juga banyak

meriwayatkan hadits dari Nabi saw yang menjadikan mereka sebagai golongan

Muhadditsah. Kehadiran mereka ini sesungguhnya telah dapat membantu Nabi saw

dalam menyampaikan pesan Islam ke seluruh alam.

Dalam hal ini, Islam telah mengangkat martabat perempuan yang pada

awalnya dinilai sebagai golongan yang lemah dan berada pada taraf yang sangat

rendah di mata masyarakat Arab Jahiliah saat itu. Ini membuktikan bahwa perempuan

yang berilmu harus diberikan penghormatan yang tinggi dalam Islam karena telah

12
‘Âisyah bahkan sangat menonjol dan mendalam ilmu pengetahuannya, sampai-sampai
dikenal secara luas ungkapan yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi
Muhammad saw: “Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira’ (‘Âisyah)”.
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
(Bandung: Mizan, 1995), Cet. IX, h. 278
13
Lihat ‘Abdul Halîm Abû Syuqqah, Tahrîr al-Mar’ah fî ‘Ashr ar-Risâlah, (Kuwait: Dâr al-
Qalam, 1990), Cet. I, Terjemah Bahasa Indonesia Kebebasan Wanita oleh Chairul Halim, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2000), Jil. I, Cet. III, h. 233-236
6

memberikan kontribusi yang sangat besar dalam meneruskan kesinambungan

perjuangan Islam. Allah swt berfirman:

“Allah meninggikan orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang


yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (Q.S. Al Mujâdalah/58 : 11)

Di sisi lain, perjuangan Islam masa Nabi saw menunjukkan betapa

pentingnya kemantapan daya dukung perempuan untuk menjaga dan meneruskan

kelangsungan perjuangan. Nabi saw banyak dibantu oleh kemantapan dan keutuhan

jiwa raga Khadîjah binti Khuwailid r.a., dan juga materi yang dimilikinya. Sayyidah

Khadîjah r.a.,, Ummul Mu’minin yang pertama dalam sejarah Islam adalah seorang

wanita bangsawan dan hartawan yang gigih. Ia senantiasa memberikan dorongan

besar terhadap perjuangan Nabi saw, di samping memainkan peranan sebagai

penolong, pembela, dan pelindung Nabi saw dari setiap ancaman orang-orang

musyrik Quraisy.

Mereka adalah wanita pilihan di mana Nabi saw dibolehkan menikahi

mereka sebagai suatu kekhususan bagi beliau yang tidak diberikan kepada manusia

lain. Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah swt mengizinkan Nabi saw untuk menikahi

wanita-wanita tersebut untuk suatu kebijakan tertentu.


7

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu


yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki
yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan
Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-
laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-
anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, dan anak-anak perempuan dari
saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan
mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau
mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang
mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan
kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki
supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Q. S. Al-Ahzab/33: 50)

Sejarah mengenal bahwa rumah yang pernah ditinggali Nabi bersama istri-

istrinya tidak hanya satu, tetapi dua rumah. Rumah pertama berada di Makkah,

tempat Nabi hidup bersama istri pertamanya, Khadijah r. a. Ketika itu Nabi saw

mengalami perubahan besar dalam kehidupannya sendiri, juga kehidupan bangsa

Arab, dan kehidupan seluruh umat manusia. Sedangkan rumah Nabi saw yang kedua

berada di Madinah. Di sana beliau hidup bersama semua istrinya, kecuali Khadijah

r. a.14

14
‘Âisyah ‘Abdurrahman Bint Asy-Syâthi’ (Selanjutnya disebut Bintusy Syâthi,), Nisâ’ an-
Nabiy ‘Alaih ash-Shalâh wa as-Salâm, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, Tth.), terjemah Bahasa
Indonesia Istri-istri Nabi Fenomena Poligami di Mata Seorang Tokoh Wanita oleh ‘Abdullah Zaki
Alkaf, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), Cet. I, h. 17
8

Perkawinan Nabi saw dengan para isteri beliau bukanlah didasari atas

kehendak dan kepentingan nafsu. Sejarah telah membuktikan betapa di antara

seluruh istri yang dinikahinya, hanya seorang saja yang berstatus gadis, yaitu ‘Âisyah

r.a.15, sedangkan yang lain berstatus janda.16 Di antaranya, ada yang merupakan janda

dari para sahabat yang telah gugur di medan jihad.17 Ada pula yang merupakan

tawanan/tahanan perang,18 dan ada juga yang telah diceraikan oleh suaminya

terdahulu.19 Dalam hal ini, Nabi saw menikahi mereka sebagai langkah untuk

menjaga kebajikan mereka, di samping tuntunan atau arahan wahyu Allah swt, seperti

pernikahan beliau dengan ‘Âisyah r.a. dan Zainab binti Jahsy r.a.20

Dalam kasus pernikahan Nabi dengan Zainab binti Jahsy r.a.yang dinikahi

berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur’an surah al-Ahzâb/33: 36-38:

15
A. Khalîl Jam’ah, Nisâ’ al-Anbiyâ’ fî Dhau’ al-Qur’ân wa as-Sunnah (buku satu), (Damaskus:
Dâr Ibn Katsîr, Tth). dan Syaikh Muhammad bin Yûsuf Ad-Dimasyqi, Azwâj an-Nabiy Shalla Allâhu
‘Alaih Wa Sallam (buku dua), (Damaskus: Dâr Ibn Katsîr, Tth), Terjemahan Bahasa Indonesia: Istri-
istri Para Nabi oleh Fadhli Bahri, Lc., (Jakarta: Darul Falah, 2002), Cet. II, h. 362, Bintusy Syâthi’,
Istri-istri Nabi, h. 69
16
seperti Saudah binti Zam’ah yang merupakan janda dari Sakrân bin ‘Âmr dari Bani ‘Âmir bin
Lu’ay. Ia dan suaminya termasuk dalam rombongan orang-orang Islam yang berhijrah ke Habasyah
pada hijrah yang kedua, kemudian suaminya meninggal di sana. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para
Nabi, h. 430
17
yaitu Ummu Salamah, Hafshah binti ‘Umar bin Khaththâb, dan Zainab binti Khuzaimah
18
yaitu Juwairiyah binti Al-Hârits dan Shafiyyah binti Huyay
19
yaitu Zainab binti Jahsy yang merupakan janda dari Zaid bin Hâritsah
20
Zainab binti Jahsy adalah salah seorang wanita yang dinikahi berdasarkan perintah Allah
dalam Al-Qur’an surah al-Ahzâb/33: 36-38.
9

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula bagi
perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada pilihan yang lain bagi mereka tetang urusan mereka.
Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia
telah sesat, dalam kesesatan yang nyata.” (36) “Dan (ingatlah) ketika kamu
berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan
kamu (juga) memberi nikmat kepadanya: Tahanlah terus istrimu dan
bertakwlah kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa
yang allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang
Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah
mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan
kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk
(mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu
telah menyelesaikan keperluannya kepada istri-isterinya. Dan adalah ketetapan
Allah itu pasti terjadi.” (37) “Tidak ada satu keberatanpun atas Nabi tentang
apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang
demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan
adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (38) (Q S. Al-
Ahzab/33: 36-38)

adalah mengandung hikmah tertentu, yaitu menghapus anggapan masyarakat pada

saat itu yang menyamakan status anak angkat dengan anak kandung. Zainab adalah

bekas istri anak angkat Nabi saw yaitu Zaid bin Hâritsah bin Syarâhîl bin Ka’ab dari

Bani Zaid al-Lât.

Nama-nama para istri Nabi saw tidak disebutkan dalam al-Qur’an secara

langsung. Yang ada dalam al-Qur’an adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan mereka
10

sebagai penyebab turunnya suatu ayat. Meskipun demikian, secara spesifik dan

pribadi, tidak semua istri-istri Nabi saw menjadi penyebab turunnya ayat. Akan

tetapi, terdapat ayat-ayat yang menjelaskan masalah mereka secara massal.

Ayat-ayat yang secara khusus berkaitan dengan peristiwa di lingkaran isteri-

isteri Nabi, meskipun kasusnya bersifat personal dan insidentil (pada seorang atau

dua orang isteri Nabi) tetapi memiliki implikasi hukum yang bersifat mengikat

kepada seluruh ummat Islam (al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafdzi lâ bi khushûsh as-sabab).

Dengan demikian ayat serta kasus yang melatarbelakangi penurunannya (asbâb an-

nûzûl) lebih bermuatan inspiratif bagi pengembangan gagasan serta konstruk

hubungan antara perempuan sebagai isteri, dan laki-laki sebagai suami, dengan

mengaca kepada hubungan antara Nabi dengan isteri-isterinya seperti yang

digambarkan oleh beberapa ayat.

Mereka menjadi wanita pilihan yang dinikahi Nabi saw dikarenakan

mempunyai kelebihan iman dan takwa serta amal shaleh. Al-Qur’an menjelaskan

betapa keimanan mereka telah membuat mereka selamat dari fitnah. ‘Âisyah dalam

al-Qur’an dijelaskan mendapat fitnah dari orang-orang munafik yang berusaha

mencari-cari kesalahan Umm al-Mu’minîn tersebut. Lalu Allah menurunkan wahyu

kepada Nabi saw dalam Q. S. An-Nûr/24: 11-19 yang menjelaskan tentang sucinya

‘Âisyah dari fitnah yang dituduhkan kepadanya.

Meskipun demikian, istri-istri Nabi saw yang mendapat gelar Ummahât al-

Mu’minîn juga manusia biasa yang pernah melakukan kesalahan sehingga Allah swt

menegur mereka melalui Nabi-Nya. Al-Qur’an surah at-Tahrîm/66: 1-5 menjelaskan


11

tentang adanya kecemburuan di antara para istri Nabi saw sehingga bersekongkol

untuk menjatuhkan istri yang lain. Begitu pula tentang adanya keinginan dari istri-

istri Nabi saw untuk hidup layak dan menikmati keindahan duniawi.

Namun demikian, Allah menurunkan ayat-ayat al-Qur’an yang memberi

peringatan, petunjuk, sekaligus janji dan ancaman kepada para istri nabi. Sebagai

seorang pendamping manusia pilihan Allah, hendaknya mereka menjadi teladan bagi

umat manusia khususnya bagi kaum muslimah. Demikian pula saat istri-istri Nabi

meminta nafkah lebih kepada beliau, padahal beliau adalah seorang Nabi dan Rasul

yang hidup dalam kesederhanaan dan bukan seorang Nabi yang hidup dalam

kekayaan yang melimpah, karena kehidupan beliau merupakan teladan dan tuntunan

bagi umat yang beriman. Firman Allah:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Nabi itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q. S. Al-Ahzab/33: 21)

Sehingga Allah swt menyuruh Nabi saw memberikan pilihan kepada istri-

istrinya antara memilih kehidupan duniawi atau Allah dan Rasul-Nya. Firman Allah:
12

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: ‘Jika kamu mengingini


kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu
mut‘ah21 dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu
sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan)
negeri akhirat,maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat
baik di antaramu pahala yang besar’.” (Q. S. Al-Ahzab/33: 28-29)

Maka kemudian istri-istri Nabi saw sebagai orang-orang yang suci memilih Allah dan

Rasul-Nya.

Memang, betapa berat beban mereka sebagai istri Nabi yang harus

memberikan contoh dan teladan kepada manusia. Oleh karena itu, Al-Qur’an

memberikan penjelasan betapa istimewanya mereka dengan gelar Ummahât al-

Mu’minîn dan betapa keistimewaan mereka itu juga berkaitan dengan hak-hak dan

kewajiban mereka sebagai seorang istri Nabi.

Yang jelas, istri-istri Nabi saw begitu banyak meninggalkan suri tauladan

kepada kaum perempuan masa kini, baik dalam soal keilmuan, komunikasi,

diplomasi, perdamaian, politik dan langkah-langkah strategi serta aspek yang lainnya.

Pengorbanan mereka bukan sebatas membantu kaum perempuan saja, tetapi juga

kaum Muslimin, khususnya perjuangan Nabi saw itu sendiri.

Oleh karena itu, wajarlah mereka mendapatkan kedudukan yang mulia di

mana dalam Al-Qur’an disebut sebagai Ummahât al-Mu’minîn. Meskipun demikian,

gelar kehormatan yang mereka sandang bukanlah gelar yang ringan, karena gelar

tersebut mengandung konsekwensi berupa kewajiban dan tanggung jawab yang harus

mereka emban di samping adanya hak-hak tertentu akibat gelar tersebut.

21
Mut’ah adalah suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan
menurut kemampuan suami. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Khadim al-Haramain asy-Syarifain, h. 671
13

Atas dasar inilah, penulis merasa tertarik untuk mengkaji keberadaan istri-

istri Nabi sebagai Ummahât al-Mu’minîn yang memegang peranan penting dalam

dakwah Nabi dan pengembangan Islam kaitannya dengan kemuliaan dan kesucian

mereka dalam al-Quran untuk diambil pelajaran dari ayat-ayat yang berkaitan dengan

istri-istri Nabi saw tentang bagaimana relasi suami istri dalam sebuah keluarga.

Untuk itu, penulis mengangkatnya dalam bentuk tesis yang berjudul: Studi Tematik

Tentang Istri-istri Nabi saw dalam Al-Qur’an.

B. Pembatasan Masalah

Bila dilihat secara umum, pembahasan Al-Qur’an tentang istri-istri Nabi

sangat luas dari sejak Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad saw, baik sebagai istri

yang mendukung karir suaminya sebagai seorang Nabi dan rasul utusan Allah yang

mendapat tugas menyampaikan ajaran agama samawi dari Allah, maupun yang tidak

mendukung peran suaminya.

Melihat luasnya permasalahan, maka masalah yang akan dibahas penulis

dalam tesis ini dibatasi pada pandangan Al-Qur’an tentang istri-istri Nabi Muhammad

saw dan mengungkapkan tentang bagaimana kedudukan mereka dalam Al-Qur’an

kaitannya tentang keistimewaan, kewajiban dan tanggung jawab, serta hak-hak

mereka.
14

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah yang hendak

dibahas adalah bagaimana pandangan al-Qur’an tentang istri-istri Nabi Muhammad

saw, dengan rincian masalah, apa keistimewaan, kewajiban dan tanggung jawab,

serta hak-hak istri-istri Nabi saw dalam al-Quran?”.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan ini adalah untuk diketahui bagaimana relasi suami istri

mempunyai peranan terhadap suami, rumah tangga dan anak-anak, bahkan umat

sehingga diharapkan bisa diketahui bagaimana eksistensi para istri Nabi saw

berpengaruh terhadap kehidupan sosial keagamaan umat Islam saat ini. Sebab,

bagaimanapun, peran mereka memiliki implikasi besar terhadap kelangsungan syiar

agama dan masyarakat Islam saat itu. Hal itu tentunya akan ditelaah dan dianalisis

dalam disiplin ilmu yang penulis pelajari, dikaitkan dengan kehidupan mereka saat

itu.

Oleh karena itu, secara khusus, tujuan penulis mengangkat topik ini adalah

sebagai berikut :

1. Dengan menggali ayat-ayat al-Qur’an, diharapakan pemahaman umat Islam

terhadap Al-Qur’an menjadi lebih berkembang, karena Al-Qur’an adalah

petunjuk dan pedoman hidup bagi Umat Islam.

2. Umat Islam dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari kehidupan istri-istri Nabi

saw, apalagi al-Qur’an memberikan kedudukan yang istimewa kepada mereka.


15

E. Kajian Pustaka

Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada pengetahuan ilmiah yang

mengkaji tentang istri-istri Nabi saw, khususnya berdasarkan kajian Al-Qur’an secara

tematik.

Buku yang berjudul Nisâ’ an-Nabiy ‘Alaihi ash-Shalâh wa as-Salâm yang

ditulis oleh ‘Âisyah ‘Abdurrahmân Bintusy Syâthi’, yang diterjemahkan ke dalam

Bahasa Indonesia dengan judul Istri-istri Nabi Fenomena Poligami di Mata Seorang

Tokoh Wanita oleh ‘Abdullah Zaki Alkaf, tidak menjelaskan kedudukan istri-istri

Nabi secara khusus menurut pandangan Al-Qur’an. Sedangkan buku Istri-istri Para

Nabi yang diterjemahkan oleh Fadhil Bahri, Lc. dari dua buah buku yang digabung

menjadi satu: buku satu berjudul Nisâ’ al-Anbiyâ’ fî Dhau’ al-Qur’ân wa as-Sunnah

karya Ahmad Khalîl Jam’ah, dan buku kedua berjudul Azwâj an-Nabiy Shalla Allâhu

‘Alaihi Wa Sallam karya Syaikh Muhammad bin Yûsuf Ad-Dimasyqi, merupakan

buku yang membahas tentang istri-istri Nabi dari sejak Nabi Adam sampai Nabi

Muhammad yang pembahasannya lebih didasarkan kepada hadits-hadits Nabawi.

Maka tesis ini akan berupaya membahas tentang istri-istri Nabi saw

berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, meskipun nama-nama mereka tidak disebutkan

secara khusus dalam Al-Qur’an. Pembahasan tentang istri-istri Nabi saw ini dianggap

penting mengingat tingginya derajat mereka dengan gelar Ummahât al-Mu’minîn

yang diberikan oleh Allah swt kepada mereka.


16

F. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang dilakukan penulis

adalah melalui lilbrary research (kajian pustaka) dengan mengacu kepada Al-Qur’an

sebagai objek penelitian. Selain Al-Qur’an, sumber rujukan yang dipergunakan

adalah kitab-kitab tafsir dan buku-buku lain yang mendukung tema tersebut. Karena

objek penelitian ini adalah Al-Qur’an, maka metode pembahasan dan analisis yang

penulis gunakan adalah metode Tafsir. Adapun metode Tafsir yang digunakan dalam

mengungkapkan penelitian ini adalah metode Tafsir Maudhu’i (tematik). Tafsir

Maudhu’i adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-Qur’an tentang

tema tertentu,22 maka tafsir ini juga dinamakan tafsir tematik. Dalam hal ini,

penelitian didasarkan pada data-data yang ada dalam ayat al-Qur’an yang berkaitan

dengan tema tersebut, di mana ayat-ayat tersebut dikumpulkan dahulu, kemudian

dicari hadits-hadits yang mendukung tema tersebut. Selanjutnya, penulis

mempelajari dan membaca data-data dari kitab-kitab tafsir dan buku-buku lain yang

relevan dengan masalah yang penulis teliti.

Dari data-data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini, akan ditarik

kesimpulan dari hal-hal yang dijadikan obyek penelitian. Kemudian penulis akan

menganalisisnya agar dapat memberikan pemahaman yang optimal.

Adapun penulisan tesis ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan

Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan untuk

22
‘Abd al-Hayy al-Farmâwî, Al-Bidâyah fî at-Tafsîr al-Maudhû‘i, (Kairo: Al-Maktabah al-
Jumhûriyah, 1977), h. 23
17

Transliterasi, selain mengacu kepada buku tersebut, penulis memodifikasinya

dikarenakan alasan teknis pengetikan.

G. Sistematika Penulisan

Masalah-masalah yang akan dibahas dalam tesis ini, penulis membaginya

menjadi empat bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab I berisi Pendahuluan yang mengemukakan Latar Belakang Masalah,

Pembatasan dan Perumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian, Metodologi

Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab II menjelaskan Pengungkapan Istri-istri Nabi saw dalam Al-Qur’an

yang meliputi Pembahasan Tentang Term/Lafaz yang Berkaitan Dengan/Digunakan

untuk Istri-istri Nabi saw, Gelar Ummahât al-Mu’minîn bagi Istri-istri Nabi saw, serta

Nama-nama Istri-istri Nabi saw yang berisi riwayat singkat kehidupan mereka.

Bab III membahas Istri-istri Nabi saw dalam al-Qur’an yang

mengungkapkan landasan-landasan atau ayat-ayat yang berkaitan dengan istri-istri

Nabi saw. Dalam bab ini, diungkap persoalan Keistimewaan, Kewajiban dan

Tanggung Jawab Istri-istri Nabi saw, serta Hak-hak istimewa mereka.

Bab IV Penutup, merupakan bagian akhir dari sebuah rangkaian tulisan

karya ilmiah ini. Dalam bab ini, penulis akan menarik kesimpulan dan saran dari

keseluruhan pembahasan yang dianggap perlu.


18

Di antara tokoh yang dapat dijadikan teladan adalah para istri Nabi yang di
dalam Al-Qur’an mendapat gelar kehormatan Ummahât al-Mu’minîn. Dalam Al-
Qur’an, selain digambarkan sebagai perempuan yang memiliki kelebihan sebagai
jiwa yang dididik dalam lingkaran kenabian, mereka juga perempuan biasa yang
mengalami pergulatan batin sebagai seorang istri dan manusia pada umumnya.
Karena itu, Al-Qur’an memberikan petunjuk kepada para istri Nabi melalui
pendidikan Nabi terhadap mereka.
Sebagai istri dari seorang Nabi yang menjadi panutan umat dan mempunyai
tugas menyampaikan misi ilahi, mereka mendapatkan kewajiban-kewajiban dan
19

tanggung jawab tertentu serta hak-hak istimewa jika mereka mampu menjalankan
tugas mereka mendampingi Nabi dan ikut menjadi teladan.
BAB II

PENGUNGKAPAN ISTRI-ISTRI NABI SAW DALAM

AL-QUR’AN

A. Term/Lafaz Yang Berkaitan Dengan/Digunakan Untuk Istri-istri Nabi saw

Dalam Al-Qur’an, ada dua lafaz yang digunakan untuk mengungkapkan

istri-istri Nabi, yaitu Azwâj an-Nabiy dan Nisâ’ an-Nabiy.1

1. Azwâj an-Nabiy

Ayat yang menyebut istri-istri Nabi dengan azwâj adalah:

: ... -

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mu’min dari diri
mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu mereka…” (Q. S. Al-Ahzab/33: 6)

-
:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian
mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya
kuberikan kepadamu mut’ah2 dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.
(Q.S. al-Ahzâb/33: 28)

1
Kedua term/lafaz tersebut, dalam terjemahnya diartikan sama, yaitu istri-istri Nabi. Lihat Al-
Qur’an dan Terjemahnya, Khadîm al-Haramain asy-Syarîfain, h. 671-672
2
Mut’ah adalah suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan
menurut kesanggupan suami. Khadîm al-Haramain asy-Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 671
19

-
: …
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-
istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu
miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang
dikaruniakan Allah untukmu…” (Q. S. Al-Ahzab/33: 50)

-
:
“…Dan kamu tidak boleh menyakiti (hati) Nabiullah dan tidak (pula)
menikahi istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya
perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) disisi Allah” (Q. S. al-Ahzâb/33:
53)

:
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuan dan
isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya3 ke
seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Ahzâb/33: 59).

5 … -

3
Beragam pendapat yang menafsirkan makna jilbab. Dalam Al-Qur’an dan terjemahnya, h.
678, jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
Sedangkan dalam CD Holy Qur’an, jilbab adalah sesuatu yang menutupi aurat perempuan.
20

“Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti
kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari pada kamu…” (At-Tahrim/66:
5)

2. Nisâ’ an-Nabiy

Ayat-ayat yang mempunyai makna/menyebut “istri-istri” Nabi dengan

menggunakan lafaz Nisâ’ an-Nabiy adalah:

:
“Hai isteri-isteri Nabi, baranga siapa di antara kamu mengerjakan
perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada
mereka dua kali lipat. Dan demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Q. S. al
Ahzâb/33: 30)

:
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti perempuan yang lain,
jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah
perkataan yang baik.” (Q. S. al-Ahzâb/33: 32)

3. Persamaan dan Perbedaan Makna Keduanya

Dalam “Al-Qur’an dan Terjemahnya” yang diterbitkan oleh Khadim al-

Haramain asy-Syarifain, lafaz azwâjuka, azwâjuhu, azwâjan4 dan nisâ an-Nabiy pada

ayat-ayat di atas diartikan sama yaitu istri-istri Nabi saw, padahal bila melihat asal

katanya, kedua lafaz di atas memiliki ma’na yang berbeda.


21

Kata azwaj merupakan bentuk jama’ dari zawj. Kata zawj berasal dari zâja-

yazûju-zawjan yang secara etimologi berarti “menaburkan, menghasut”5 Dalam

penggunaannya, kata zawj biasa diartikan dengan setiap pasangan dari sesuatu yang

berpasang-pasangan, laki-laki atau perempuan, jantan atau betina bagi hewan (

),6 misalnya pasangan (pair, couple, spouse)

laki-laki/jantan dan perempuan/betina untuk makhluk biologis dan pasangan lainnya

dari benda-benda yang berpasangan, seperti pasangan sandal dan sepatu, langit dan

bumi, musim dingin dan musim panas.7 Khusus bagi manusia lebih sering disebut

suami-isteri.8

Sedangkan kata nisâ/‫ ﻧﺴﺎء‬adalah bentuk jama’ dari mar’ah/‫ ﻣﺮأة‬yang berarti

perempuan yang sudah matang atau dewasa,9 berbeda dengan kata ‫ أﻧﺜﻲ‬yang berarti

jenis kelamin perempuan secara umum, dari yang masih bayi sampai yang berusia

lanjut.10 Kata ‫ ﻧﺴﺎء‬berarti jender11 perempuan, sepadan dengan kata ‫ رﺟﺎل‬yang berarti

4
idhâfah ke an-Nabiy karena kontek ayat sedang membahas tentang Nabi Muhammad saw
5
Lihat Al-Munjid, Al-Munjid Al-Abjadi, (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1968), h.525, Ahmad Warson
Munawwir, Al-Munawwir, (Ttmp: Pustaka Progressif, 1984), h. 630, dan Nasaruddin ‘Umar, Argumen
Kesetaraan Jender Persfektif Al-Qur’ân, (Jakarta: Paramadina, 2001), Cet. II, h. 173
6
Mufradât Alfâdz Al-Qur’ân, h. 220. Bandingkan dengan Ibn Mandzûr, Lisân al-‘Arab, Jilid II,
h. 291
7
Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 173
8
dalam kitab fiqh, isteri disebut ‫ زوﺟﺔ‬bentuk jamaknya ‫زوﺟﺎت‬, sedangkan suami disebut ‫زوج‬.
bentuk jamaknya ‫ ازواج‬. Lihat misalnya Sayyid Quthb, Fiqh as-Sunnah, (Mesir: Maktabah Dâr al-
Turâts, T. Th.), Jilid II, h. 100-110 . Lihat Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 173
9
Lisân al-‘Arab, jilid XV, h. 321. Bandingkan dengan Mu’jam Mufradât Al-Fâdz al-Qur’ân,
h.513
10
Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 159
11
Jender ialah Pembedaan Peran, status, pembagian kerja yang dibuat oleh masyarakat
berdasarkan jenis kelamin. Jender berbeda dengan jenis kelamin/sex. Jenis kelamin atau sex adalah
perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Perempuan menghasilkan sel telur, hamil dan
22

jender laki-laki. Padanannya dalam bahasa Inggris adalah woman (jamaknya women)

yang merupakan lawan kata dari man. Kata ini selain berarti jender perempuan juga

berarti isteri (zawj).12

Lafaz zawj (azwâj) pada ayat-ayat di atas selalu diidhâfahkan dengan

dhamir hu dan ka --tanpa dibarengi/diikuti kata an-nabiy-- yang menunjukkan pada

manusia (dia laki-laki dan kamu laki-laki) sehingga mempunyai ma’na istri (pasangan

dia dan kamu laki-laki, berarti pasangan suami). Karena konteks ayat di atas

pembahasannya tentang Nabi Muhammad saw, maka kata azwâj yang merupakan

jama’ dari zawj berarti istri-istri Nabi saw. Sedangkan kata nisâ yang secara umum

berarti perempuan, pada ayat di atas selalu di-idhâfah-kan dengan kata an-nabiy

sehingga ma’nanya menjadi istri-istri Nabi. Dengan demikian maka kedua lafaz

tersebut mempunyai arti yang sama yaitu istri-istri Nabi.

Meskipun demikian, bila melihat asal kedua kata tersebut yang berbeda, Al-

Alûsî dalam kitab tafsirnya Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm wa as-Sab’

al-Matsânî,13 mencoba mengungkapkan bahwa perbedaan lafaz tersebut mempunyai

alasan. Dalam ayat 30 Q. S. Al-Ahzâb, istri-istri Nabi saw diungkapkan Al-Qur’an

dengan lafaz nisâ an-nabiy, bukan azwâj an-Nabiy, hal itu dikarenakan

pengungkapan keadaan mereka sebagai nisâ dalam beberapa tempat itu lebih

melahirkan, sedangkan laki-laki menghasilkan sperma. Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan


Jender, h. 159
12
Munir Ba’labakkî, Al-Mawrid, (Beirut: Dâr al-‘Ilm lial-Malayain, 1986), h. 1070-1071.
Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 160
13
Lihat Abû al-Fadhl Syihâbuddîn as-Sayyid Mahmûd al-Alûsî, selanjutnya disebut al-Alûsi,
Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa as-Sab’ al-Matsânî, (Beirut: Ihya at-Turâts al-‘Arabî,
t.th.), juz. 21, h. 184
23

berpengaruh dari pada pengungkapan keadaan mereka sebagai “istri-istri”

sebagaimana jelas ma’nanya bagi orang yang memperhatikan. Dengan demikian, ayat

yang mengandung lafaz nisa an-Nabiy, menurut penulis, mengandung pelajaran dan

hukum yang berharga pula bagi perempuan secara umum karena keadaan istri-istri

Nabi seperti perempuan biasa pada umumnya yang bisa saja melakukan kesalahan.

Sedangkan pada ayat yang di dalamnya terkandung lafaz azwâj an-Nabiy, hukum

yang terkandung di dalamnya khusus bagi istri-istri Nabi saw.

Selain itu, pengungkapan nisâ an-Nabiy pada ayat 30 dan 32 Q. S. Al-

Ahzâb tersebut berisi pengajaran langsung dari Allah kepada istri-istri Nabi saw --

tanpa melalui Nabi saw-- menyangkut hukum-hukum yang berlaku bagi mereka,

sedangkan pada Q. S. Al-Ahzâb ayat 28 dan 59 berisi pengajaran Allah bagi para

istrinya melalui perantaraan Nabi saw. Hal ini menandakan jelasnya nasehat yang

dimaksudkan bagi mereka14 karena mereka manusia biasa juga yang mempunyai

potensi untuk melakukan kesalahan sebagaimana perempuan-perempuan lain pada

umumnya, makanya lafaz yang digunakan adalah nisâ an-Nabiy .

B. Gelar Ummahât al-Mu’minîn Bagi Istri-istri Nabi saw

Dalam Al-Qur’an surah al-Ahzâb/33 ayat 6 Allah swt memberikan gelar

kehormatan Ummahât al-Mu’minîn kepada istri-istri Nabi saw:

….
24

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang yang beriman dari diri
mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu mereka….” (Q. S. Al-Ahzab/33: 6)

Ummahât al-Mu’minîn adalah sebuah idiom/gramatikal yang terdiri dari dua

kata, yaitu ummahât dan al-mu’minîn. Gabungan dua buah kata (isim) ini disebut

idhafah15

Ummahât adalah bentuk jama‘ dari kata al-umm yang berarti “ibu” untuk

manusia. Sedangkan bentuk jamak al-umm untuk hewan adalah amât (‫)أﻣﺎت‬. Dalam

kamus Besar Bahasa Indonesia, ibu berarti orang yang melahirkan, sebutan untuk

wanita yang sudah bersuami, panggilan kehormatan kepada wanita yang sudah/belum

menikah.16 Selain berarti ibu, al-umm juga berarti asal, pangkal, sumber, induk.17

Dalam al-Qur’an, penggunaan kata al-umm bukan hanya berlaku bagi

manusia dan hewan. Umm al-Qurâ yang berarti ibu negeri merupakan sebutan untuk

Mekkah,18 Umm al-Kitâb yang berarti pokok-pokok isi Al-Qur’an adalah nama lain

untuk Surah al-Fâtihah. Kepala atau pemimpin disebut imâm yang terambil dari kata

ّ‫ أمّ – ﯾﺆم‬.19

14
al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 21, h. 184.
15
Idhafah adalah mencampurkan dua isim (kata benda) atas satu jalan yang memberi faidah
kepada ma’rifat atau takhsis. Syekh Muhammad bin Abdullah bin Malik al-Andalusy, Matan Alfiyah,
alih bahasa H. Moch. Anwar, (Bandung: Al-Ma’arif, 1988), Cet. IV, h. 208
16
atau bersuami. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.
364-365 dan tim Prima pena, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Ttmp: Gitamedia Press, Tth), h. 293
17
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 42-43
18
Lihat Q. S. Asy-Syûrâ/42: 7
19
Lihat Q. S. Al-Furqân/25: 74
25

Al-Mu’minîn adalah bentuk jama‘ dari al-mu’min yang merupakan isim

fa’il dari âmana - yu’minu (‫ ) أﻣﻦ – ﯾﺆﻣﻦ‬yang berarti beriman. Maka al-mu’min

berarti orang yang beriman.

Maka ma’na Ummahât Al-Mu’minîn secara etimologi adalah para ibu orang-

orang yang beriman. Ibu di sini bukan berarti ibu yang melahirkan, akan tetapi

panggilan kehormatan bagi wanita yang sudah menikah (istri-istri Nabi saw). Ibu ini

berfungsi sebagai asal, pangkal, sumber, induk, pemimpin sesuatu yang menjadi

rujukan dan harus diikuti. Dalam kenyataannya, mereka adalah perempuan-

perempuan yang mendampingi Nabi saw sehingga banyak mengetahui ajaran-ajaran

Islam dari Nabi saw dan kemudian mereka menjadi sumber rujukan ilmu bagi orang-

orang yang beriman setelah wafatnya Nabi dan menjadi contoh/tauladan yang harus

diikuti..

Ma’na Ummahât al-Mu’minîn menurut istilah atau makna yang dimaksud

dalam ayat ini adalah istri-istri Nabi saw yang menempati kedudukan ibu bagi orang-

orang yang beriman. Mereka disebut ibu karena kedudukan mereka –dalam hukum--

adalah seperti kedudukan ibu kandung yang melahirkan, yaitu haram dinikahi

(hubungan mahram), wajib dihormati, dimuliakan, dan diagungkan.20 Sedangkan

dalam hal yang lain, seperti hubungan waris mewarisi, hukum melihat auratnya atau

20
Para ulama sepakat tentang kewajiban menghormati dan memuliakan mereka, serta keharaman
menikahi mereka. Selanjutnya mereka menetapkan bahwa kemuhriman itu tidak berlaku bagi anak-
anak perempuan mereka dan saudara-saudara perempuan mereka. Muh. Nasib ar-Rifâ‘î, Taysîr al-‘Alî
al-Qadîr likhtishâri Tafsîr Ibn Katsîr, (Riyadh: Maktabah Ma‘ârif, 1989), Terjemah Bahasa Indonesia
Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir oleh SyihAbûddin, Jilid III, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2000), Cet. II, h. 829
26

berkhalwat dengan mereka, sama hukumnya dengan wanita lain yang tidak ada

hubungan mahram.

Gelar ini berkaitan dengan kedudukan suami mereka yaitu Nabi

Muhammad saw di antara umatnya. Hendaknya Nabi lebih mereka utamakan dari diri

mereka sendiri dalam urusan dunia maupun agama. Maka sekalipun orang-orang

yang beriman mengutamakan diri mereka, tetapi sebenarnya Nabi saw lebih banyak

memperhatikan, mementingkan, dan mengutamakan mereka. Nabi selalu menolong

dan membantu mereka, selalu berkeinginan agar mereka menempuh jalan yang lurus

yang dapat menyampaikan mereka kepada kebahagiaan yang abadi. Karena itu maka

Nabi sebenarnya lebih berhak atas diri mereka sendiri, cinta Nabi kepada kaum

muslimin melebihi cinta beliau terhadap makhluk Allah manapun.

Sebab turunnya ayat ini adalah bahwasanya tatkala Nabi saw bermaksud

pergi ke perang Tabuk, beliau menyuruh manusia untuk menyiapkan segala yang

diperlukan dan pergi berangkat perang. Namun sebagian mereka berkata bahwa

mereka akan meminta izin terlebih dahulu kepada bapak dan ibu mereka, sehingga

turunlah ayat ini.21

Oleh karena itu, berdasarkan ayat ini, maka hendaknya kaum Muslimin

mengikuti segala perintah Nabi. Nabi adalah pemimpin kaum Muslimin yang

memimpin mereka dalam kehidupan duniawi dan pemimpin mereka ke jalan Tuhan.

Apabila beliau mengajak kaum muslimin berperang di jalan Allah, hendaklah mereka

21
Al-Alûsi, Tafsir Rûh al-Ma‘ânî, Juz 21, h. 151
27

segera ikuti, tidak perlu menunggu izin dari ibu maupun bapak mereka. Hendaknya

kaum muslimin juga bersedia menjadi tebusan, perisai, dan pemelihara Nabi saw.

Karena itu, Nabi saw adalah bapak dari kaum muslimin, dan dengan

demikian, istri-istri beliaupun adalah ibu dari seluruh kaum Muslimin. 22 Prinsip ini

tidak bertentangan dengan firman Allah swt:

….
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara
kamu, tetapi dia adalah Nabi dan penutup para Nabi … ” (Q. S. al-Ahzâb/33:
40)

Yang dimaksud di sini ialah bahwa Nabi Muhammad itu bukan bapak

angkat dari seseorang, melainkan bapak dari seluruh orang-orang yang beriman.23

Pada hadits yang lain diterangkan tentang kepemimpinan Nabi terhadap

kaum Muslimin:

22
Bahkan dalam riwayat ‘Ikrimah terdapat bacaan ‫وھﻮ اﺑﻮھﻢ وأزواﺟﮫ أﻣﮭﺎﺗﮭﻢ‬. Lihat Ibnu ‘Arabî,
Ahkâm al-Qur’ân, j. 3, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), Cet. I, h. 541
23
Lihat Team Tafsir Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VII,
(Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press, 1995), h. 715-718
28

“Abdullah bin Muhammad telah berbicara kepada kami, Abû ‘Âmir telah
berbicara kepada kami, Fulaih telah berbicara kepada kami dari Hilal dari
‘Ali dari Abdurrahman bin Abû ‘Amrah dari Abû Hurairah, Bahwasanya Nabi
Saw bersabda: ‘Tidak seorangpun dari orang-orang yang beriman, kecuali
akulah yang paling dekat kepadanya di dunia dan di akhirat. Bacalah firman
Allah jika kamu sekalian menghendaki: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi
orang-orang yang beriman dari diri mereka sendiri. Maka barang siapa di
antara orang-orang yang beriman meninggal dan meninggalkan harta, maka
harta itu hendaknya diwariskan kepada ‘ashabahnya (ahli warisnya). Dan
barang siapa yang meninggalkan hutang atau anak-anak yang telantar, maka
hendaklah datang kepadaku, karena akulah walinya (orang yang akan
mengurus keadaannya).”24

Dengan demikian, ayat ini sekaligus memberikan penegasan tentang larangan

bagi orang-orang mu’min untuk mengawini istri-istri Nabi karena kedudukan mereka

sebagai Ummahât al-Mu’minîn. Sebagaimana ditegaskan pula dalam Q. S. al-

Ahzâb/33: 5325:

“…Dan kamu tidak boleh menyakiti (hati) Nabi dan tidak (pula) menikahi
istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu
adalah amat besar (dosanya) disisi Allah” (Q. S. al-Ahzâb/33: 53)

Menurut para mufassir, keharaman tersebut berlaku bagi istri-istri Nabi yang

sudah digauli dan tidak berlaku bagi istri-istri Nabi yang dicerai tapi belum digauli.26

24
Al-Bukhori, Shahîh Al-Bukhârî, Kitab Fî al-Istiqrâdh wa adâ’ ad-duyûn wa al-hijr wa at-
taflîs, Bab Ash-sholâh ‘alâ man taroka dainan, Hadits No. 2224, CD Room. Berdasarkan ayat dan
hadits di atas, para ulama sependapat bahwa setelah Rasulullah saw meninggal dunia, imam
menggantikan kedudukan beliau. Karena itu imam wajib membayar hutang orang-orang fakir yang
meninggal dunia, sebagaimana Rasulullah saw melakukannya. Imam membayar hutang itu dengan
mengambil dari Baitul Mâl dari kas negara.
25
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 295, footnote no. 43
26
Ibnu ‘Arabî, Ahkâm al-Qur’ân, j. 3, h. 542
29

Dengan demikian, gelar Ummahât al-Mu’minîn adalah gelar yang berlaku bagi istri-

istri Nabi yang dinikahi beliau secara sah dan sudah digauli.

Sementara itu, putri-putri para istri Nabi saw tidak dapat dianggap sebagai

saudara-saudara perempuan kaum mu’minin. Saudara laki-laki dan saudara

perempuan dari putri-putri para istri beliau juga tidak boleh dikatakan sebagai paman

atau bibi kaum mu’minin dari jalur ibu.27

Para istri Nabi saw dinamakan Ummahât al-Mu’minîn (ibu orang-orang

yang beriman) dan tidak dikatakan Ummahât al-Mu’minât (ibu perempuan-

perempuan yang beriman) berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Sa‘ad dan

Baihaqî dari Masrûq bahwa seorang wanita berkata kepada ‘Âisyah r. a., ”Wahai

ibuku.” ‘Âisyah berkata, “Aku bukan ibumu, tapi ibu kaum laki-laki kalian.”28

Meskipun demikian, terdapat perbedaan pendapat apakah istri-istri Nabi itu menjadi

ibu bagi kaum laki-laki dan perempuan secara umum, atau mereka menjadi ibu bagi

kaum laki-laki saja, sebagaimana diungkapkan Ibnu ‘Arabî:

“Ada yang mengatakan bahwa hal tersebut berlaku bagi kaum laki-laki dan
kaum perempuan, dan ada pula yang mengatakan bahwa hal tersebut hanya
khusus bagi kaum laki-laki karena yang dimaksud dengan Ummahât al-
Mu’minîn ialah menempatkan para istri Nabi saw pada posisi ibu mereka dalam
kemahraman (haram dinikahi) di mana dimungkinkan terdapat kehalalan
(maksudnya halal dinikahi), sedang kehalalan itu tidak terjadi di antara sesama
kaum perempuan. Dengan demikian tidak ada kemahraman antara para istri
Nabi Saw dengan kaum perempuan muslim.”29

27
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 294
28
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 294
29
Setelah itu Ibnu ‘Arabî, Ahkâm al-Qur’ân, j. 3, h. 542, menyebutkan atsar di atas dan berkata,
“Atsar ini shahih.”
30

Dengan demikian, istri-istri Nabi saw tersebut mendapat gelar Ummahât al-

Mu’minîn (ibu orang-orang yang beriman) karena berkaitan dengan hukum, yaitu

keharaman dinikahi selama-lamanya sebagaimana orang-orang yang beriman

diharamkan menikahi ibu mereka. Oleh karena itu, kedudukan istri-istri Nabi dalam

hal ini sama kedudukannya dengan ibu mereka. Meskipun demikian orang-orang

yang beriman tetap tidak boleh melihat ataupun berduaan dengan para istri Nabi saw

sebagaimana keharaman mereka terhadap perempuan yang bukan mahramnya.30

Meskipun sebagian ulama cenderung menyatakan bahwa istri-istri Nabi

mendapat gelar Ummahât al-Mu’minîn karena kedudukannya dalam hukum haram

dinikahi –sehingga mereka menjadi ibu bagi kaum laki-laki yang beriman--, penulis

lebih cenderung menyatakan bahwa gelar Ummahât al-Mu’minîn tersebut berlaku

juga bagi perempuan –ibu bagi perempuan yang beriman--, karena dari segi bahasa,

apa yang diungkapkan dalam Al-Qur’an dalam bentuk Jama’ Muzakkar Sâlim juga

mencakup muannatsnya. Artinya meskipun diungkapkan dengan ‫اﻟﻤﺆﻣﻨﻮن‬, maknanya

mencakup juga bagi ‫ اﻟﻤﺆﻣﻨﺎت‬karena gelar tersebut merupakan gelar kehormatan yang

harus diakui oleh seluruh orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan,

bahwa istri-istri Nabi adalah wanita terhormat yang diberi kedudukan yang mulia

oleh Allah karena mereka adalah wanita yang bertakwa, shalihah, sehingga patut

dijadikan teladan oleh siapapun yang beriman kepada Allah dan Nabi-Nya, baik laki-

laki maupun perempuan.

30
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 294
31

C. Istri-istri Nabi saw

Nabi saw dalam sejarah dikenal mempunyai banyak istri. Di antara mereka

ada yang dinikahi beliau secara sah dan digauli, ada yang dinikahi tapi dicerai

sebelum digauli, dan ada yang sudah dilamar tapi tidak jadi menikah.31 Dalam tesis

ini hanya akan dikemukakan nama-nama isteri yang mendapat gelar Ummahât al-

Mu’minîn. Di atas telah dikemukakan bahwa Ummahât al-Mu’minîn adalah gelar

yang berlaku bagi istri-istri Nabi yang dinikahi beliau secara sah dan sudah digauli.

Bint Asy-Syâthi‘32 menyebutkan 1133 nama yang mendapat gelar Ummahât al-

Mu’minîn. Mereka adalah istri-istri Nabi yang resmi dinikahi olehnya dan telah

digauli Nabi.34 Kesebelas istri Nabi saw tersebut adalah istri-istri Nabi yang terkenal

menurut kesepakatan ulama. Mereka ada yang berasal dari suku Quraisy, bangsa

Arab non Quraisy tapi masih sekutu Quraisy, dan bukan berasal dari Arab namun dari

Bani Israil.

31
Al-Qurthuby dalam menafsirkan ayat ‫ﻗﻞ ﻷزواﺟﻚ‬, Tafsir Al-Qurthuby, CD Room
32
Nama asli beliau ialah Dr ’Aisyah Abdurrahman Bint asy-Syathi’. Beliau adalah guru besar
Sastra dan Bahasa Arab pada Universitas ‘Ain Asy-Syams Mesir. Ia juga pernah menjadi guru besar
tamu di Universitas Islam Umm Durmân, Sudan dan Universitas Qarawiyyin, Maorko. Kajian-
kajiannya yang telah dipublikasikan adalah studinya mengenai Abû al-A’la Al-Ma’arri. Ia merupakan
seorang penulis wanita muslim kenamaan. Lahir di Dumyat, sebelah barat Delta Nil, Mesir. Ia
merupakan salah seorang mufassir dari kalangan wanita, kitab tafsirnya yang terkenal adalah At-Tafsîr
al-Bayân li al-Qur’ân al-Karîm. Adapun bukunya yang membahas tentang istri-istri Nabi adalah
Tarajim Sayyidat Bait an-Nubuwwah (Biografi Istri-istri Nabi), Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,1984.
Buku ini merupakan koleksi dari terbitan sebelumnya pada tahun 1960-an tentang Ibu Nabi Saw; Istri-
istri Nabi Saw (1965); Putri-putri Nabi Saw; Sayyidah Zainab, Putri Imam Ali; dan Sayyidah
Sukainah, putri Imam Hasan. Lihat dalam Barbara Freyer Stowasser, Reinterpretasi Gender: Wanita
dalam Al-Qur’an, Hadits, dan Tafsir, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h.307, footnote no. 3 yang
diterjemahkan oleh H.M.Mochtar Zoerni dari judul aslinya dalam bahasa Inggris Women in the
Qur’an, Traditions, and Interpretations, (New York: Oxford University Press, 1994).
33
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah istri-istri Nabi, ada yang menyebut 11, 12, 13,
14, 15 dan sebagainya. Perbedaan pendapat mengenai jumlah mereka tersebut disebabkan perbedaan
status istri-istri Nabi sebagaimana telah dikemukakan di atas, yaitu yang dinikahi beliau secara sah dan
digauli, yang dinikahi tapi dicerai sebelum digauli, dan yang sudah dilamar tapi tidak jadi menikah
32

Istri-istri Nabi yang berasal dari Quraisy ada enam orang,35 yaitu:

1. Khadîjah binti Khuwailid bin Asad bin ‘Abd al-‘Uzza bin Qushai bin Kilab bin

Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghâlib bin Fihr bin Mâlik bin An-Nadhr bin

Kinânah. 36

2. ‘Âisyah binti Abû Bakar37 bin Abû Quhâfah bin Amir bin ‘Amr Ka‘ab bin Sa‘ad

bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luai.

3. Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththâb bin Nufail bin ‘Abd al-‘Uzza bin Riyah bin

‘Abdullah bin Qurath bin Razah bin ‘Âdî bin Ka’ab bin Luai.

4. Ummu Habîbah binti Abû Sufyân bin Harb bin Umaiyah bin ‘Abdu Syam bin

‘Abdu Manâf bin Qushai bin Kilâb bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghâlib. Ia

wanita Quraisy dari kabilah ‘Âdî.

5. Ummu Salamah binti Abû Umaiyyah Hindun bin Suhail bin al-Mughîrah bin

‘Abdullah bin ‘Amr bin Makhzûm bin Yaqadzah bin Murrah bin Ka’ab bin Luai

bin Ghâlib. Ia wanita Quraisy dari kabilah Makhzûm

6. Saudah binti Zam'ah bin Qais bin ‘Abdu Syams bin ‘Abdu Wadd bin Nashr bin

Mâlik bin Hisl bin ‘Amir bin Luai bin Ghâlib.

Sedangkan istri-istri Nabi dari wanita Arab selain Quraisy, namun dari sekutu-

sekutu Quraisy ada empat orang. Mereka adalah:

34
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 5-7
35
Lihat Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 287-288
36
Al-Hâfizh Ibnu Hajar berkata di Fath al-Bârî 7/167, “Khadîjah binti Khuwailid adalah istri
Rasulullah saw yang nasabnya paling dekat dengan beliau.”
37
Nama asli Abû Bakar adalah Abdullah, gelarnya Atiq. Lihat Syihâb ad-Dîn Abû al-Fadhl
Ahmad bin ‘Ali Bin Hajar Al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, (Beirut: Dar Shâdir, T.
Th.), j. 4, h. 170-171
33

1. Zainab binti Jahsy bin Ri‘ab bin Ya'mur bin Shabîrah bin Murrah bin Kâbir bin

Ghanm bin Dûdan bin Asad bin Khuzaimah

2. Maimunah binti al-Hârits bin Hazn bin Bujair bin al-Huzâm bin Ruwaibah bin

‘Abdullah bin Hilâl bin ‘Âmir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyah bin Hawâzin bin

Manshûr bin ‘Ikrimah bin Khashafah bin Qais Ailan. Jadi Maimunah berasal dari

kabilah Al-Hilâl.

3. Zainab binti Khuzaimah bin Al-Hârits bin ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Abdu Manâf

bin Hilâl bin ‘Amir bin Sha’sha’ah bin Muawiyah bin Hawâzin bin Manshûr bin

‘Ikrimah bin Khashafah bin Qais Ailan. Jadi Zainab binti Khuzaimah berasal dari

kabilah Al-Hilâl.

4. Juwairiyah Binti al-Harits Bin Abû Dhirar bin Habîb bin Aidz bin Mâlik bin

Jadzîmah alias al-Musthaliq bin Sa‘ad bin Ka‘ab bin Amr alias Khuzâ‘ah bin

Rabî‘ah bin Harîtsah bin ‘Amr bin ‘Amir Mai as-Sama’. Jadi Juwairiyah Binti al-

Harits berasal dari kabilah Khuzâ’ah kemudian kabilah Mushthaliq.

Istri Nabi saw yang tidak berasal dari Arab, namun dari Bani Israel ada satu

orang yaitu Shafiyyah binti Huyay bin Akhthab dari Bani An-Nadhir. Mereka inilah

istri-istri yang terkenal yang digauli oleh beliau dan disepakati para ulama.38

Di antara seluruh istrinya tersebut, ada dua orang yang lebih dahulu

meninggal dari Nabi saw yaitu Khadîjah dan Zainab binti Khuzaimah. Sehingga saat

wafatnya, Nabi meninggalkan sembilan orang istri39 yaitu ‘Âisyah, Hafshah, Ummu

38
Lihat Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h.288-289
39
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 289
34

Salamah, Ummu Habîbah, Saudah binti Zam’ah, Zainab binti Jahsy, Maimunah binti

Hârits al-Hilâliyah, Juwairiyah binti Hârits al-Musthaliqiyah, dan Shafiyah binti

Huyay al-Akhthab.

Selain itu masih ada istri-istri Nabi saw yang pernah dinikahi Nabi saw tapi

tidak digauli. Mereka ini telah dicerai oleh Nabi saw. Para ahli berbeda pendapat

mengenai nama dan jumlah mereka. Mereka ini tidak termasuk mendapat gelar

Ummahât al-Mu’minîn karena ayat yang melarang orang-orang mu’min untuk

menikahi istri-istri Nabi saw setelah beliau wafat menurut pendapat para mufassir

ditujukan bagi istri-istri Nabi saw yang telah digaulinya dan bukan bagi istri-istri

yang telah dicerai sebelum digauli. 40

Berikut urutan nama-nama istri Nabi saw berdasarkan urutan pernikahan

Nabi saw dengan mereka sebagaimana yang dikutip Ibnu Sa’ad41 :

1. Khadîjah binti Khuwailid

2. Saudah binti Zam’ah. Dinikahi Nabi saw pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh

kenabian, sebelum Nabi saw pindah ke Madinah.

40
Ibnu ‘Arabî, Ahkâm al-Qur’ân, j. 3, h. 542
41
Seorang penulis biografi muslim yang paling otoritatif. Karya besarnya Ath-Thabaqât Al-
Kubrâ, merupakan kumpulan narasi biografis paling awal dan paling penting di dunia Islam. Ibnu
Sa’ad lahir pada 168 H/764-5 M di Basrah dan wafat pada tahun 230 H/845 M. Dia pindah ke Bagdad
untuk belajar di bawah bimbingan ulama-ulama di sana, khususnya Muhammad Ibnu ‘Umar al-
Waqidi. Dia juga mengunjungi Kufah dan Madinah dalam perjalanannya mencari ilmu. Keandalan
catatan biografis Ibnu Sa’ad diakui oleh banyak ahli tarikh Islam, antara lain Ibnu Hajar al-‘Asqalânî,
Adz-Dzahabî, Al-Khatîb al-Baghdâdî, dan Ibnu Khallikan. Muhammad Ibnu Sa’ad, Purnama
Madinah; 600 Sahabat-Wanita Rasulullah Saw yang Menyemarakkan Kota Nabi, (Bandung: Al-
Bayan, 1997), cet. I. Buku ini merupakan terjemahan ringkas dari jilid kedelapan kitab Ath-Thabaqât
Al-Kubrâ yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Aisha Bewley, The Women at Madina,
terbitan Taha Publishing Ltd. London, 1995, penerjemah Bahasa Indonesia Eva Y. Nukman. Tentang
urut-urutan pernikahan Nabi saw dengan istri-istrinya, lihat hal 193-198
35

3. ‘Âisyah binti Abû Bakr ash-Shiddîq. Dinikahi Nabi saw di Mekkah umur enam

tahun pada bulan Syawwal tahun kesepuluh kenabian. Karena sewaktu dinikahi di

Mekkah ‘Aisyah masih kecil, Nabi saw kemudian menyempurnakan

perkawinannya dengan ‘Âisyah pada bulan Syawwal tahun kedua Hijriyah42 di

Madinah ketika ‘Âisyah berumur sembilan tahun.

4. Hafshah binti ‘Umar bin Khattab.

5. Ummu Salamah. Nabi saw menikahinya pada akhir bulan Syawwal tahun

keempat Hijriyah.

6. Juwairiyah binti Hârits bin Abû Dhirar

7. Zainab binti Jahsy. Nabi saw menikahinya pada bulan Zulqa’dah tahun kelima

Hijriyah.

8. Zainab binti Khuzaimah yang meninggal ketika Nabi saw masih hidup.

9. Ummu Habîbah binti Abû Sufyân bin Harb.

10. Shafiyyah binti Huyay bin Akhthab. Sebelumnya ia adalah hak milik Nabi saw,

kemudian Nabi saw menyempurnakan perkawinannya dengan Shafiyyah pada

bulan Jumadil Akhir tahun ketujuh Hijriyah.

11. Maimunah binti al-Hârits al-Hilaliyah yang dinikahi pada bulan Dzulqa’dah tahun

ketujuh Hijriyah

Allah swt mengizinkan Nabi saw untuk menikahi wanita-wanita tersebut

untuk suatu kebijakan tertentu, firman Allah:

42
Ali Usman, Partisipasi Keluarga Rasulullah SAW dalam Merubah Sosial Budaya Dunia,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1976), Cet. 1, h. 48
36

:
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu
yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki
yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan
Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-
laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-
anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, dan anak-anak perempuan dari
saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan
mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau
mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang
mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan
kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki
supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Q. S. Al-Ahzâb/33: 50)

Pada ayat ini Allah swt secara jelas telah menghalalkan bagi Nabi

Muhammad saw mencampuri wanita-wanita yang telah dinikahi dan telah diberikan

mas kawinnya kepada mereka. Begitu pula hamba sahaya (jariyah-jariyah) yang

diperoleh dalam peperangan, seperti Shafiyah binti Huyay bin Akhthab yang

diperoleh saat perang Khaibar. Shafiyah kemudian dimerdekakan oleh Nabi dan

kemerdekaannya itu dijadikan mas kawin. Demikian juga Juwairiyah binti Al-Hârits

dari Bani Musthaliq yang dimerdekakan dan dinikahi Nabi saw. Adapun hamba

sahaya yang dihadiahkan kepada Nabi adalah Siti Raihanah binti Syam’un dan
37

Mariyah Qibtiyah yang melahirkan putera Nabi yang bernama Ibrahim. Demikian

pula Allah menghalalkan kepada Nabi untuk mengawini anak-anak perempuan dari

saudara laki-laki bapaknya dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan

bapaknya, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya, anak-anak perempuan

dari saudara perempuan ibunya yang turut hijrah bersama Nabi dan perempuan

mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi saw kalau Nabi mau mengawininya.

Kelonggaran-kelonggaran ini hanya khusus untuk Nabi, tidak untuk semua mukmin.

Setelah Nabi menikahi semua istrinya (Ummahât al-Mu’minîn), turun ayat

yang melarang Nabi saw untuk menambah atau mengganti mereka dengan istri yang

lain:

:
“Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan
tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain) meskipun
kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya)
yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.” (Q.
S.Al-Ahzâb/33: 52)

Nama istri-istri Nabi saw tidak disebutkan dalam al-Qur’an secara langsung.

Yang ada dalam al-Qur’an adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan Istri-istri Nabi saw

sebagai penyebab turunnya suatu ayat. Meskipun demikian, secara spesifik dan

pribadi, tidak semua Istri-istri Nabi saw menjadi penyebab turunnya ayat. Akan

tetapi, terdapat ayat-ayat yang menjelaskan masalah mereka secara komunal.


38

Berikut akan dipaparkan mengenai kehidupan Istri-istri Nabi saw,

khususnya kehidupan mereka setelah menikah dengan Nabi saw. Mereka adalah

pribadi-pribadi yang dipelihara oleh Allah dalam kesucian iman dan ajaran yang

benar. Keteladanan mereka dapat dilihat dari akhlak mereka yang mulia, fikiran yang

cerdas, kepribadian yang kuat dan tangguh, yang kesemuanya memberikan peranan

yang sangat besar dalam dakwah Islam. Sehingga wajarlah jika kemudian Al-Qur’an

memberikan kedudukan yang mulia kepada mereka sebagai Ummahât al-Mu’minîn,

serta memberikan keistimewaan-keistimewaan yang lain sebagai balasan atas

keberhasilan mereka dalam memikul beban dan tanggung jawab yang berat yang

harus mereka emban sebagai istri seorang Nabi yang mempunyai tugas yang mulia di

muka bumi ini.

1. Khadîjah Binti Khuwailid

Khadîjah adalah putri Khuwailid bin Asad bin ‘Abd al-‘Uzza bin Qushai Al-

Qurasyiyyah al-Asadiyyah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghâlib bin

Fihr bin Mâlik bin An-Nadhr bin Kinânah.43 Ibunya adalah Fathîmah binti Zaidah

bin al-Asham, nama al-Asham adalah Jundab bin Harim bin Rawâhah bin Hijr bin

‘Abd bin Maish bin ‘Âmir bin Luai.44 Khadîjah lahir kira-kira 15 tahun sebelum

tahun Fîl (tahun gajah).45

43
Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abdullah bin Muhammad Ibnu ‘Abdil Barr al-Qurthubi, Al-Istî’âb fî
Ma’rifah al-Ashhâb, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), cet. 1, juz. 4, h. 379. Al-Hâfiz Ibnu
Hajar berkata di Fath al-Bâri j. 7, h. 167, “Khadîjah binti Khuwailid adalah istri Rasulullah Saw yang
nasabnya paling dekat dengan beliau.”
44
Lihat al-Qurthubi, Al-Istî’âb, h. 379. Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 312
45
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 23
39

Sebelum menikah dengan Nabi saw, Khadîjah bersuamikan ‘Âtiq bin Aidz

bin Abdullah bin Amr bin Makhzûm. Darinya Khadîjah mempunyai satu anak

wanita, yaitu Hindun. Setelah bersuamikan ‘Âtiq bin Aidz, Khadîjah bersuamikan

Abû Hâlah Mâlik46 bin Nabbasy bin Zurârah bin Waqdân bin Habîb bin Salamah bin

‘Adî bin Usayyid bin ‘Amr bin Tamîm, sekutu Bani ‘Abdudar bin Qushai. Khadîjah

melahirkan dua anak dari Abû Hâlah, yaitu Hindun dan Hâlah. Jadi keduanya adalah

saudara laki-laki anak-anak Nabi saw Meskipun demikian, sebagian besar ulama

mengatakan bahwa Khadîjah binti Khuwailid lebih dahulu menikah dengan Abû

Hâlah.47

Setelah itu, sebenarnya banyak pemuka Quraisy yang menginginkan beliau,

tetapi beliau memprioritaskan perhatiannya dalam mendidik putra-putrinya serta

mengurusi perniagaan sehingga beliau menjadi seorang yang kaya raya. Suatu ketika,

beliau mencari orang yang dapat menjual dagangannya. Maka tatkala beliau

mendengar tentang Muhammad sebelum bi'tsah (diangkat menjadi Nabi) yang

memiliki sifat jujur, amanah dan berakhlak mulia, beliau meminta kepada

Muhammad untuk menjualkan dagangannya bersama seorang pembantunya yang

bernama Maisarah. Beliau memberikan barang dagangan kepada Muhammad

melebihi dari apa yang dibawa oleh selainnya. Muhammad al-Amîn pun

46
Sebagian besar sumber menyebutkan bahwa nama asli Abû Hâlah ialah Hindun. al-Hâfiz
menukil dari Ibnu Katsîr di Fath al-Bâri, j. 7, h. 167 empat nama bagi Abû Hâlah: Mâlik menurut
Az-Zubair, Zurârah menurut Ibnu Mandah, Hindun menurut penegasan Al-Askari, dan An-Nabasy
menurut penegasan Abû Ubaid. Menurut Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 313 di
sebagian nasabnya juga terdapat perbedaan pendapat.
47
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 312-313.
40

menyetujuinya dan berangkatlah beliau bersama Maisarah. Perdagangannya tersebut

menghasilkan laba yang banyak. Khadîjah merasa gembira dengan hasil yang banyak

tersebut karena usaha dari Muhammad, akan tetapi ketakjubannya terhadap

kepribadian Muhammad lebih besar dan lebih mendalam dari semua itu. Maka

mulailah muncul perasaan-perasaan aneh yang berbaur di benaknya, yang belum

pernah beliau rasakan sebelumnya. Pemuda ini tidak sebagaimana kebanyakan laki-

laki lain.

Khadîjah merasa pesimis tentang kemungkinan Muhammad mau

menikahinya mengingat umurnya sudah mencapai 40 tahun. Ia juga bukan lagi

seorang wanita muda, tetapi sudah menjadi seorang wanita dewasa, sudah banyak

makan asam-garam kehidupan di dunia ini, pernah dua kali menikah dengan pria dari

kalangan Quraisy, dan sudah berpengalaman bergaul dengan kaum pria lain, yang

mengambil upah dengan membawakan barang-barang dagangannya ke negeri Syam

(Syria).48

Maka di saat dia bingung dan gelisah karena problem yang menggelayuti

pikirannya, tiba-tiba muncullah seorang temannya yang bernama Nafîsah binti

Munabbih yang mengerti tentang perasaannya. Kemudian Nafîsah pergi menemui

Muhammad dan menyampaikan maksudnya. Muhammad pun menerimanya.

Maka kemudian Nafîsah pergi menemui Khadîjah untuk menyampaikan

kabar gembira tersebut, sedangkan Muhammad al-Amîn memberitahukan kepada

paman-paman beliau tentang keinginannya untuk menikahi Khadîjah. Kemudian


41

berangkatlah Abû Thâlib, Hamzah dan yang lain menemui paman Khadîjah yang

bernama ‘Amru bin Asad untuk melamar Khadîjah bagi putra saudaranya, dan

selanjutnya menyerahkan mahar berupa 20 ekor unta.49

Setelah usai akad nikah, disembelihlah beberapa ekor hewan kemudian

dibagikan kepada orang-orang fakir. Khadîjah membuka pintu bagi keluarga dan

handai taulan dan di antara mereka terdapat Halimah as-Sa'diyah yang datang untuk

menyaksikan pernikahan anak susuannya. Setelah itu dia kembali ke kampungnya

dengan membawa 40 ekor kambing sebagai hadiah perkawinan yang mulia dari

Khadîjah, karena dahulu dia telah menyusui Muhammad yang sekarang menjadi

suami tercinta.

Kekaguman Khadîjah terhadap Muhammad dan hasratnya untuk

melangsungkan pernikahan dengannya menjadi kenyataan. Khadîjah menemukan

dalam kepribadian Muhammad sifat-sifat kekeluargaan yang menarik, yang tidak

ditemukannya pada pria-pria lain yang telah berebut mengetuk pintu rumahnya untuk

melamarnya. Yang pasti, pada waktu itu, Siti Khadîjah melihat Muhammad tidak

lebih sebagai gambaran seorang laki-laki yang ideal, bukan sebagai seorang calon

nabi yang ditunggu-tunggu.50

Maka jadilah Sayyidah Quraisy sebagai istri dari Muhammad al-Amîn dan

jadilah dirinya sebagai contoh yang paling utama dan paling baik dalam hal mencintai

suami dan mengutamakan kepentingan suami dari pada kepentingan sendiri.

48
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 23
49
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 47
42

Manakala Muhammad mengharapkan Zaid bin Haritsah, maka Khadîjah

menghadiahkannya kepada Muhammad. Demikian juga tatkala Muhammad ingin

mengambil salah seorang putra pamannya, Abû Thâlib, maka Khadîjah menyediakan

suatu ruangan bagi ‘Alî bin Abî Thâlib r.a. agar dia dapat mencontoh akhlak

suaminya, Muhammad saw.

Saat menikah dengan Khadîjah, Nabi Muhammad saw berusia 25 tahun

sedangkan Khadîjah 40 tahun. Dari Khadîjah, Nabi saw dikaruniai putra-putri yang

bernama al-Qâsim, ‘Abdullâh, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kaltsûm dan Fâtimah.

Perkawinan Nabi Saw dengan Khadîjah berlangsung selama lima belas tahun

sebelum beliau diangkat menjadi rasul pilihan. 51

Nabi saw tidak menikah dengan wanita lain hingga Khadîjah wafat.

Khadîjah hidup bersama Nabi saw selama dua puluh empat tahun beberapa bulan.52

Khadîjah wafat dalam usia 65 tahun pada bulan Ramadhan tiga tahun

sebelum hijrah atau tahun kesepuluh kenabian. Ia dimakamkan di Hajun. Nabi sendiri

yang masuk ke dalam liang kuburnya. Saat itu shalat Jenazah belum diwajibkan.53

Keutamaan Khadîjah

Sebelum menikah dengan Nabi, beliau dikenal sebagai wanita yang

berakhlak mulia. Bahkan pada zaman Jahiliyah ia dijuluki ath-Thâhirah yakni yang

50
Bint Asy- Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 23
51
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 23
52
Diriwiyatkan Ath-Thabrânî di Al-Kabîr, 22/450 sampai dengan kata hingga ia wafat.
53
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 24-25
43

bersih dan suci.54 Beliau memang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mulia dan

pada gilirannya beliau menjadi seorang wanita yang cerdas dan agung. Beliau dikenal

sebagai seorang yang teguh dan cerdik serta memiliki perangai yang luhur. Karena

itulah banyak laki-laki dari kaumnya menaruh simpati kepadanya.

Setelah menikah, sebagai seorang istri, beliau selalu mendukung,

membantu, dan membela suami. Pada saat Nabi Muhammad menerima wahyu yang

pertama dan resmi diangkat Allah menjadi seorang rasul, maka Khadîjah adalah

orang yang pertama kali beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan yang pertama kali

masuk Islam. Bahkan di antara empat orang yang termasuk golongan yang memeluk

Islam pertama kali (as-Sâbiqûn al-Awwalûn) dialah satu-satunya orang dari kalangan

perempuan. Firman Allah:

“Dan Orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling


dulu (masuk surga)” (Q. S. al-Wâqi’ah/56: 10)

Tatkala kemudian datang gelombang keras yang menentang kenabian

Muhammad, maka Khadîjah adalah seorang istri yang selalu mendukung dan

membantu suami. Ia berdiri kokoh membela Nabi, ibarat sebuah gunung yang tegar,

kokoh dan kuat dalam membela Nabi.

54
Al-‘Asqalânî, Al-Istî’âb, j. 4, h. 379
44

Karena sifat-sifatnya yang demikian itu, beliau menjadi sebaik-baik wanita.

Nabi Saw pernah bersabda: “Sebaik-baik wanita adalah Maryam binti Imrân, sebaik-

baik wanita adalah Khadîjah binti Khuwailid.”55

Imam Ahmad, Abû Ya’la, Ath-Thabrânî dengan para perawi hadits

meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. yang berkata:

“Rasulullah saw. membuat empat garis di tanah, kemudian bersabda,


“Tahukah kalian, garis apakah ini?” para shabat menjawab: “Allah dan
Rasul-Nya yang lebih tahu”. Rasulullah Saw. bersabda: “Wanita penghuni
surga yang paling utama adalah Khadîjah binti Khuwailid, Fâthimah binti
Muhammad, dan Asiyah binti Muzâhim, istri Fir’aun, Maryam binti Imrân.”56

55
Bunyi teks hadits tersebut adalah:

Al-Bukhori, Shahîh al-Bukhârî, Kitab Ahâdits al-Anbiyâ’, bab ,


Hadits No. 3178, CD Room
56
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Kitab ‘Di antara musnad Bani Hasyim, bab permulaan
Musnad ‘Abdullah bin ‘Abbâs, Hadits No. 2536, CD Room.
45

Bahkan ‘Âisyah pernah merasa sangat cemburu terhadap Khadîjah

meskipun beliau sudah meninggal dikarenakan Nabi selalu menyebut-nyebut

namanya, sampai-sampai ‘Âisyah berkata, ”Mengapa kau sebut-sebut namanya

padahal ia telah meninggal dan engkau telah diberikan yang lebih baik darinya?”57.

Nabi menjawab yang menggambarkan kedudukan Khadîjah yang sangat mulia di

matanya:

58

“…Allah tidak menganugerahkan kepadaku seorang istri sebagai pengganti


yang lebih baik dari pada Khadîjah r.a. Ia beriman kepadaku ketika orang-
orang mengingkari kenabianku; ia membenarkan ketika orang-orang
mendustakanku; dan ia membantuku dengan harta kekayaannya ketika orang
lain tidak mau memberiku; dan dari rahimnya Allah menganugerahkan anak-
anak bagiku, bukan dari wanita-wanita lainnya.” 59

Banyak sekali sanjungan dan keutamaan Khadîjah yang disebabkan

kebaikan dan jasanya terhadap Nabi dalam menyebarkan dakwah Islam.

2. Saudah binti Zam’ah

57
maksud yang lebih baik dari Khadîjah adalah ‘Aisyah sendiri.
58
Teks lengkap hadits di atas adalah:

….
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Kitab Bâqî Sanad al-Anshâr, bab Hadîts ‘Âisyah, Hadits no
23719. Muslim juga meriwayatkan tentang keutamaan Khadîjah dalam Shahîh Muslim, Bab
Keutamaan Shahabat, Hadits No. 4458-4467
46

Beliau adalah Saudah binti Zam'ah bin Qais bin Abdu Syams bin Abdu

Wadd bin Nashr bin Mâlik bin Hisl bin Amir bin Luai bin Ghâlib60 Al-Quraisyiyah

Al-Amiriyyah. Ibunya bernama Asy-Syumûs binti Qais bin Amru bin Zaid bin Labîd

bin Khidasy bin Amir bin Ghanm bin ‘Âdî bin An-Najjâr. Asy-Syumus adalah putri

saudara laki-laki Salma binti Amr bin Zaid dan Salma adalah ibu Abdul Muthâlib. 61

Saudah masuk Islam sejak awal dan berbaiat. Sebelumnya pernah menikah

dengan As-Sakrân bin Amr bin Abdu Syam bin Abdu Wudd bin Amir bin Luai. As-

Sakrân adalah saudara laki-laki Suhail, Sal, Hathib, dan Salith bin Amru Al-Amîrî

yang semuanya adalah sahabat-sahabat Nabi saw. As-Sakrân masuk Islam bersama

Saudah, kemudian bersama delapan orang dari bani Amir62 termasuk orang yang

pertama kali hijrah ke Habasyah pada hijrah kedua meninggalkan kampung halaman

dan hartanya. Namun ketika tiba di Mekkah As-Sakrân bin ‘Amru meninggal dunia.

Ada yang mengatakan As-Sakrân meninggal di Habasyah.63

Sepeninggal Khadîjah, Nabi saw hidup sendirian sehingga para Sahabat

yang memperhatikan keadaan beliau merasa kasihan. Mereka menginginkan beliau

menikah lagi tapi tidak seorangpun di antara mereka yang berani menyampaikan

keinginan tersebut hingga akhirnya Khaulah binti Hakîm, sosok wanita yang berani

mengemukakan keinginan para sahabat. Khaulah pertama kali mengusulkan ‘Âisyah,

59
Bint asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 35
60
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 430
61
Saudah mempunyai nama panggilan Umm al-Aswad. An-Nawâwî, Tahdzîb, 2, h. 348. A.
Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 430
62
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 71
47

namun dikarenakan ‘Âisyah masih terlalu muda dan dengan kemudaannya tersebut ia

belum mampu mengurus rumah tangga sementara Nabi saw perlu pendamping yang

dapat mengurus anak-anaknya dan rumah tangga, maka kemudian Nabi memilih

untuk lebih dahulu menikahi Saudah binti Zam’ah dan berkumpul dengannya.64

Meskipun demikian, sebelum menikah dengan Saudah, sebenarnya Nabi saw telah

terlebih dahulu melangsungkan akad nikah dengan Âisyah dan tiga tahun kemudian

baru menyempurnakan pernikahannya dengan Âisyah.

Saudah Binti Zam’ah adalah wanita yang pertama kali dinikahi Nabi saw

setelah Khadîjah binti Khuwailid meninggal. Dengannya –Saudah menjadi satu-

satunya isteri beliau setelah wafatnya Khadîjah-- Nabi saw mengarungi bahtera

rumah tangga selama tiga tahun atau lebih, hingga kemudian beliau menikahi ‘Âisyah

binti Abû Bakar As-Shiddiq.65 Nabi saw menikahi Saudah di bulan Ramadhan tahun

kesepuluh kenabian. Beliau menyelenggarakan pernikahan tersebut di Mekkah dan

kemudian hijrah bersama Saudah ke Madinah.66

Nabi saw sebenarnya menginginkan ‘Âisyah terlebih dahulu, tapi karena

beberapa pertimbangan, beliau terlebih dahulu menikahi Saudah binti Zam'ah. Selain

karena pertimbangan usia yang cukup untuk mengelola rumah tangga, Nabi saw

menikahi Saudah dikarenakan Saudah adalah wanita yang mulia. Ia adalah wanita

63
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 430 mengutip pendapat Ibnu Ishâq dan Al-Wâqidî
di Jawâmi’ As-Sîrah, h. 66 mengatakan di Mekkah, sedangkan Musa bin Uqbah dan Abû Ma’syar di
Ushud Al-Ghâbah, 2, 412 mengatakan di Habasyah.
64
Aba Firdaus al-Halwani, Wanita-wanita Pendamping Rasulullah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2001), Cet. IV, h. 52
65
Lihat al-Halwani, Wanita-wanita Pendamping Rasulullah, h. 51-52
66
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 57
48

yang rela hijrah meninggalkan kampung halamannya, menyeberangi dasyatnya lautan

karena ridha menghadapi maut dalam rangka memenangkan dînnya. Semakin

bertambah siksaan dan intimidasi yang diterima olehnya, suami, dan dan delapan

orang dari bani Amir karena mereka menolak kesesatan dan kesyirikan. Selain ujian

itu, ia juga harus kehilangan suami –sang muhajirin-- yang dicintainya di negeri asing

(Habasyah) tersebut. Maka beliaupun menghadapi ujian menjadi seorang janda di

samping juga ujian di negeri asing. Oleh karena itu, maka Nabi saw menaruh

perhatian yang istimewa terhadap wanita muhajirah yang beriman dan telah menjanda

tersebut.

Sebelum menikah dengan Nabi saw, Saudah pernah bermimpi dalam

tidurnya. Dalam mimpinya tersebut sepertinya Nabi saw berjalan hingga menginjak

lehernya. Ia kemudian menceritakan mimpinya tersebut kepada suaminya. Suaminya

berkata kepadanya, “Jika mimpimu benar, aku akan meninggal dunia, kemudian

engkau pasti dinikahi Muhammad.” Pada malam lainnya Saudah bermimpi melihat

bulan jatuh kepadanya. Ia ceritakan mimpinya tersebut kepada suaminya. Suaminya

berkata, “Jika mimpimu benar, maka tidak lama lagi aku akan meninggal dunia dan

engkau akan menikah sepeninggalku.” Sejak hari itu, As-Sakrân, suami Saudah jatuh

sakit dan beberapa lama kemudian ia wafat.

Setelah beberapa lama menikah dan telah hadir dalam rumah tangga Nabi

saw istri-istri yang lain seperti ‘Âisyah, Hafshah binti ‘Umar, Zainab binti Jahsy dan
49

Ummu Salamah binti Abû Umayyah al-Mahzûmiy,67 Saudah pernah hampir

diceraikan oleh Nabi saw, akan tetapi Saudah tetap bertahan ingin menjadi istri Nabi

karena berharap menjadi istri Nabi di dunia dan di akhirat.

“Pertahankanlah aku ya Rasulullah! demi Allah tiadalah keinginanku


diperistri itu karena ketamakan, akan tetapi aku hanya berharap agar Allah
membangkitkan aku pada hari kiamat dalam keadaan menjadi istrimu.”

Oleh karena itu, demi mempertahankan statusnya sebagai istri seorang Nabi,

ia rela memberikan hari gilirannya kepada ‘Âisyah karena ia faham bagaimana

kedudukan ‘Âisyah di hati Nabi, ‘Âisyah adalah istri yang paling dicintai Nabi,

sehingga hari giliran Âisyah menjadi dua hari, hari gilirannya dan hari giliran Saudah.

“Mâlik bin Ismâ’îl telah menceritakan kepada kami, Zuhair telah


menceritakan kepada kami dari Hisyam dari ayahnya dari ‘Âisyah bahwa
Saudah binti Zam’ah memberikan hari gilirannya untuk ‘Âisyah. Nabi membagi
giliran’Âisyah satu hari giliran ‘Âisyah dan satu hari giliran Saudah.”68

Nabi saw kemudian menerima usulan istrinya yang memiliki perasaan yang

halus tersebut. Mengenai hal ini turunlah ayat :

67
Bint Asy-Syâthi, istri-istri Nabi, h. 75
68
Shahih Bukhârî, Kitab Nikah, Bab Perempuan yang Memberikan Hari Giliran suaminya,
Hadits No. 4811, CD Room
50

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyûz69 atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya…” (Q.S. an-Nisâ/4: 128)

Saudah lebih mendahulukan keridhaan suaminya yang mulia, maka beliau

memberikan gilirannya kepada ‘Âisyah untuk menjaga hati Nabi saw. Bahkan Saudah

sudah tidak memiliki keinginan sebagaimana layaknya wanita lain.

Saudah r.a. mampu menunaikan kewajiban dalam rumah tangga Nabi dan

melayani putri-putri Nabi saw. Selain itu ia mampu mendatangkan kebahagiaan dan

kegembiraan di hati Nabi saw, Ibnu Sa’ad berkata:

“Diriwayatkan dari Ibrahim bahwa Saudah berkata kepada Rasulullah:


‘Aku shalat di belakangmu kemarin dan rukuk di belakangmu sampai-sampai
aku memegangi hidung karena khawatir kalau-kalau darahku akan menetes.’
Ibrahim berkata, ‘Rasul tertawa, dan Saudah memang senang membuat Rasul
tertawa.’”70
Saudah tinggal dalam rumah tangga Nabi dengan penuh keridhaan dan

ketenangan dan bersyukur kepada Allah yang telah menempatkan posisinya di sisi

sebaik-baik makhluk di dunia serta karena mendapat gelar umm al-mu’minîn dan

menjadi istri Nabi di surga.

Terdapat perbedaan pendapat tentang tahun wafat Saudah, Bint asy-Syâthi

menyatakan bahwa Saudah wafat pada akhir pemerintahan ‘Umar bin Khattab.71

69
Nusyûz menurut bahasa artinya naik, yaitu merasa lebih tinggi daripada yang lain (Al-Qâmûs
Al-Muhîth, h. 201). Sedang menurut istilah Ulama Fiqh ialah pelanggaran dari pihak istri atau suami
atau keduanya. (Syaikh Shalih Ghanim as-Sadlan, kitab An-Nusyûz, h. 18-19). Sedangkan dalam Al-
Qur’an dan Terjemahnya, nusyûz adalah meninggalkan kewajiban bersuami istri. Nusyûz dari pihak
istri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. Al-Qur’an dan Terjemahnya, foot note no. 291,
h. 123. Sedangkan nusyûz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap istrinya; tidak mau
menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. Al-Qur’an dan Terjemahnya, foot note no. 357, h.
143
70
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 58
71
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 77
51

Sedangkan Ibnu Sa’ad menukil pendapat Abdullah bin Muslim dan Al-Wâqidi,

menyatakan bahwa Saudah wafat di Madinah pada bulan Syawal tahun 54 Hijriyah

pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sofyan. 72

Kebaikan Saudah terhadap Âisyah membuat Âisyah selalu terkenang dan

mengingat perilaku beliau. Selain itu, ‘Âisyah juga terkesan akan keindahan

kesetiaannya, sehingga ‘Âisyah berkata:

“Diriwayatkan daripada ‘Âisyah r.a katanya: Wanita yang paling aku


senangi adalah Saudah bin Zam'ah dan aku ingin jika dapat menjadi seperti
dia. Dia adalah seorang wanita yang tajam fikirannya. Setelah Saudah tua
giliran Nabi saw diserahkan kepada ‘Âisyah. Saudah berkata: Wahai
Rasulullah! Aku berikan giliranku sehari kepada ‘Âisyah. Jadi Rasulullah saw
membahagikan giliran kepada ‘Âisyah dua hari, sehari gilirannya sendiri dan
sehari lagi giliran pemberian Saudah.”73

3. ‘Âisyah binti Abû Bakar

‘Âisyah adalah istri Nabi yang dinikahi dalam keadaan gadis, sementara istri

yang lainnya dinikahi dalam keadaan janda. Ia adalah istri yang paling dicintai Nabi.

72
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 61
73
Riwayat Bukhârî dalam kitab Nikah, Hadits No. 4811, Riwayat Muslim dalam kitab Susuan,
Hadits No. 2657, Riwayat Abû Dâwud dalam kitab Nikah, Hadits No.1826, Riwayat Ibnu Mâjah
dalam kitab Nikah, Hadits No. 1962, Riwayat Ahmad bin Hanbal, dalam juz VI, Muka Surat 68, 76,
117
52

‘Âisyah adalah putri Abû Bakar Shiddiq,74 sahabat Nabi saw yang pertama

kali beriman kepada Nabi saw. Ibunya adalah Ummu Rumân binti ‘Umair bin Amir

dari Bani Al-Hârits bin Ghanam bin Kinânah.75 ‘Âisyah mempunyai gelar (kuniyah)

“Ummu ‘Abdullah”, ‘Abdullah adalah nama keponakan ‘Âisyah yang merupakan

putra Zubair. 76

Abû Bakar menikahkan Nabi dengan ‘Âisyah, yang pada saat itu baru

berumur enam atau tujuh tahun.77 Sebelumnya ia sudah dilamar untuk Jubair bin

Muth’im bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Thaim bin Murrah.78 Nabi

menikahinya pada bulan Syawwal tahun kesepuluh kenabian, tiga tahun sebelum

hijrah dan menyempurnakan perkawinannya pada bulan Syawal, delapan bulan

setelah hijrah di mana saat itu ‘Âisyah berumur sembilan tahun.79 Nabi saw

meninggal ketika ‘Âisyah berumur 18 tahun,80 sehingga ‘Âisyah hidup bersama

beliau selama sembilan tahun.

Umm al-Mu’minîn ‘Âisyah berasal dari Bani Taim yang terkenal dengan

sifat-sifat pemurah, berani, jujur dan memiliki pandangan yang tepat. Mereka juga

74
Nama asli Abû Bakar adalah ‘Abdullah atau ‘Atiq –bin Abû Quhâfah –nama asli Abû
Quhâfah ialah Utsmân—bin Amir bin Amr Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luai.
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 335
75
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 83
76
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 336
77
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 82. Terdapat dua pendapat tentang usia ‘Âisyah saat
dinikahi Nabi. Dalam Shahîh Bukhârî, Kitab Manâqib kaum Anshâr, bab Pernikahan Rasulullah saw
dengan ‘Âisyah, hadits no. 3894, ‘Âisyah mengatakan bahwa ia dinikahi Nabi dalam usia enam tahun.
Sedangkan dalam Shahîh Muslim, hadits no. 1422, ‘Âisyah dinikahi dalam usia tujuh tahun. Namun
jika kedua hadits tersebut disatukan, dapat diambil kesimpulan bahwa ‘Âisyah dinikahi Nabi saw saat
usia enam tahun dan masuk tahun ketujuh.
78
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 83
79
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 61
80
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 62
53

menjadi contoh tentang perlakuan yang baik terhadap kaum wanita dan sikap yang

lemah lembut dan bagus dalam pergaulannya.81 Selain itu ayah ‘Âisyah (Abû Bakar)

memiliki sifat yang mudah bergaul dengan baik kepada teman-temannya, dia juga

memiliki kelembutan hati.82

Sedangkan ibu ‘Âisyah yaitu Ummu Rumân termasuk wanita-wanita besar

dari golongan sahabat. Pada jaman jahiliyah dia pernah menikah dengan ‘Abdullah

bin al-Hârits al-Asady dan mempunyai anak, yaitu Thufail. Kemudian ‘Abdullah

meninggal dan Ummu Rumân dinikahi oleh Abû Bakar. Dari pernikahannya dengan

Abû Bakar dia memperoleh anak yaitu ‘Âisyah dan ‘Abdurrahman.83

‘Âisyah dilahirkan di Makkah empat atau lima tahun setelah Muhammad

diangkat menjadi Rasul.84 Nabi Muhammad mengenal ‘Âisyah sejak masa kanak-

kanaknya, dan beliau menempatkan ‘Âisyah dalam hatinya sebagai seorang anak

yang berharga. Nabi menyaksikan langsung ‘Âisyah yang tumbuh bertambah dewasa.

Masa kanak-kanaknya mulai tersingkap, dia menunjukkan kecerdasan, kelincahan

dan spontanitas yang mengagumkan. Di samping itu, lidahnya juga fasih dan

memiliki hati yang berani, hasil pengaruh didikan Bani Makhzûm.85

Penghargaan Nabi kepada ‘Âisyah sedemikian rupa, sehingga beliau selalu

menasihati Ummu Rumân dengan sabdanya: “Wahai Ummu Rumân, aku nasihatkan

81
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 83
82
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 83
83
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 84
84
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 336
85
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 85
54

agar Engkau memelihara ‘Âisyah dengan baik, dan selalu mengingat aku ketika

Engkau menjaganya.”86

Sesudah datang Hafshah, datang lagi istri-istri Nabi yang lain, sehingga petak

rumah yang sembilan itu penuh. Di antara mereka ada Zainab binti Jahsy, wanita

muda yang cantik, Ummu Salamah binti Abû Umayah, yang memiliki julukan

penyedia perbekalan rombongan dan dikenal sebagai wanita yang memiliki garis

kebapakan yang tinggi. Juga ada Juwairiyyah binti al-Hârits tempat tertujunya mata

orang karena kecantikannya. Shafiyyah binti Huyai, bunga mekar orang Yahudi yang

halus mempesona, dan Ummu Habîbah binti Abû Sufyân pemimpin dan panglima

tentara Mekkah. 87

Di antara para istri Nabi, ‘Âisyah adalah istri yang paling pencemburu dan

paling gigih berjuang untuk memonopoli kasih sayang Nabi. ‘Âisyah beralasan

bahwa dialah wanita pertama yang telah membukakan hati Nabi setelah Khadîjah

wafat. Dan hanya dia sendiri yang dinikahi Nabi dalam keadaan gadis. Dia pun

merasa bahwa dia adalah ‘Âisyah binti Abû Bakar, sahabat Nabi paling terkemuka.88

Pada tahun keenam Hijriyah, yaitu setelah Nabi saw menikahi Zainab binti

Jahsy terjadi peristiwa tuduhan atau Hadits al-Ifki. Ketika itu Nabi Muhammad saw

bersiap-siap untuk berangkat menghadapi perang Bani Al-Mustahiq, lalu beliau

membuat undian di antara istri-istrinya, sebagaimana biasa setiap keluar untuk

86
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 83
87
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 104
88
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 105
55

berpergian atau berperang. Saat itu, ‘Âisyahlah yang mendapat giliran. Maka ‘Âisyah

pun berangkat menemani Rasul saw.89

Di tengah perjalanan, dekat Madinah, mereka berhenti, lalu menginap

setengah malam. Saat mereka berangkat, tidak ada seorangpun yang mengetahui

bahwa ‘Âisyah tertinggal di tempat mereka menginap. Pasukan tersebut sampai di

Madinah saat subuh, lalu unta yang membawa Umm al-Mu’minîn ‘Âisyah dituntun

menuju halaman rumahnya. Kemudian mereka menurunkan haudaj (tempat duduk di

atas unta) perlahan-lahan, ternyata Umm al-Mu’minîn tidak ada di dalamnya.90

Nabi saw terdiam seketika bersama-sama dengan para sahabatnya dalam

keheranan serta kebingungan, sebagian di antara mereka berangkat kembali, mencari

‘Âisyah. Tidak lama kemudian terlihat dari jauh, ‘Âisyah menunggang unta yang

dituntun oleh seorang laki-laki yang mereka kenal, yaitu Shafwân bin Mu’thil as-

Silmiy. Beliau mendengarkan cerita ‘Âisyah tentang sebab mengapa dia tertinggal.

Ternyata waktu itu ‘Âisyah sedang keluar untuk buang hajat sebelum

keberangkatan diumumkan. Saat itu, kalung permata yang dipakainya jatuh dari leher

dan ia tidak mengetahuinya. Ketika kembali ke tempat pasukan, ia meraba lehernya

dan tidak mendapati kalung itu, dan orang-orang sudah siap untuk berangkat. ‘Âisyah

pun segera kembali ke tempat tadi, mencarinya hingga dapat. Peristiwa selanjutnya,

sebagaimana dituturkan ‘Aisyah:

“Orang-orang datang, dan jarak saya begitu jauh, mereka menuntun unta
saya dan memegang haudaj, mengira bahwa saya berada di dalamnya, karena

89
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 111
90
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 111
56

badan saya enteng. Maka mereka kemudian membawa haudaj itu dan
mengikatnya ke atas unta, dan tidak menyadari bahwa saya tak ada di dalamnya.
Mereka pun menuntun unta itu lalu berangkat. Kemudian, saya kembali ke
tempat tersebut tidak ada lagi orang yang memanggil atau menyahut, semua
orang sudah berangkat.
Saya membungkus diri dengan kainku, lalu berbaring di tempat itu, dan
merasa yakin, tentu orang-orang akan menyadari kehilangan saya dan akan
kembali. Sungguh, demi Allah, saya sedang berbaring tiba-tiba lewat Shafwân
bin Mu’thil as-Silmiy, yang rupanya ketinggalan juga dari pasukan karena suatu
keperluan, dan tidak menginap bersama rombongan. Dia melihat pakaian hitam
saya, lalu datang mendekati sehingga dia berdiri di dekat tempat saya – dulu
Shafwân pernah melihat ‘Âisyah sebelum hijab diwajibkan atasnya. Maka
ketika dia melihat saya, dia berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Ini
yang dibawa Nabi saw mengapa sampai tertinggal, wahai yang dilimpahi
rahmat Allah?”
Saya tidak berbicara dengannya. Kemudian dia mendekatkan untanya seraya
berkata, “Silakan naik” dan dia mundur, lalu saya pun naik, dan dipegangnya
kendali unta itu, lalu dengan cepat berangkat menyusul rombongan. Demi
Allah, kami tidak bertemu orang-orang lagi, sampai pagi-pagi, dan rupanya
rombongan sudah sampai disini, dan sampai juga laki-laki ini menuntun unta
yang aku tunggangi.”91

‘Abdullah bin Ubay bin Salul, yang dendamnya terhadap Nabi saw tidak

kunjung habis, terus berusaha membuat tipu muslihat untuk menjatuhkan beliau.

Sekelompok orang yang menerima berita tentang peristiwa itu bertemu dan

menambahi berita tersebut dengan cerita-cerita yang mereka reka sekehendak hati,

untuk memuaskan kekalahan dan rasa dendamnya.92

Dari Ibnu Salul dan orang-orang yang berada di sekitarnya, berita tuduhan

itu tersiar ke seluruh penjuru kota Madinah. Dan berita itu diulang-ulang (ditiupkan

oleh musuh-musuh Muslimin) oleh beberapa orang, diantaranya Hisan bin Tsabit,

penyair Nabi saw, Misthah bin Utsatsah, keponakan Abû Bakar dan tempat curahan

91
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 111-113
92
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 113
57

hatinya, dan juga Hammah binti Jahsy, sepupu Nabi, dan adik istri Nabi Zainab binti

Jahsy. 93

Akhirnya berita itu sampai juga ke telinga Nabi saw juga ke telinga Abû

Bakar dan Ummu Rumân, yang lalu menutup telinganya rapat-rapat. Tetapi tidak

seorangpun di antara mereka, yang berani berterus terang kepada ‘Aisyah mengenai

berita yang tersiar menakutkan itu, karena ‘Aisyah, sejak pulang dari perang Bani

Mushthaliq, sakit agak parah.

‘Aisyah mengetahui apa yang dibicarakan orang tentang dirinya dari Ummu

Misthah binti Abû Rahm bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manâf, yang ibunya adalah

binti Shakhar bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taym, adik ibu Abû Bakar.

Mengenai kejadian ini turun ayat Al-Qur’an surat an-Nûr/24 ayat 11-19.

Setelah ayat-ayat ini turun, maka orang-orang yang memulai mengatakan

dan yang menyebarkan tuduhan itu pun didera, sesuai dengan firman Allah:

( : )
“Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali pukulan, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik.” (QS. An-Nûr/24: 4)94

93
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 113
94
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 119
58

Keutamaan ‘Aisyah

‘Âisyah mempunyai kelebihan dibanding wanita lain. Ia adalah wanita yang

cerdas dan berfikiran tajam, serta kuat hafalannya sehingga ia menjadi tempat

bertanya yang utama tentang al-Hadits dan as-Sunnah.95 Apalagi kedekatannya

dengan Nabi, sebagai istri dan pendamping Nabi, membuatnya banyak mengetahui

riwayat-riwayat dari Nabi saw.

Imam Az-Zuhri berkata: “Sekiranya ilmu ‘Âisyah dikumpulkan, dan

dibandingkan dengan ilmu-ilmu istri-istri Nabi yang lain, dan ditambah dengan ilmu

dari semua wanita, tentulah ilmu ‘Âisyah lebih utama.”96

Hisyâm bin Urwah meriwayatkan dari kakeknya, dia berkata: “Saya belum

pernah melihat seorang wanita yang lebih mengetahui ilmu fiqih, kedokteran dan

syair, melebihi ‘Âisyah”97

Selain itu ia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh istri-istri Nabi yang

lain, di antaranya:

1. Satu-satunya istri yang dinikahi Nabi saw dalam keadaan gadis.

2. Hanya ia yang kedua orang tuanya termasuk orang yang berhijrah.

3. Wahyu turun untuk membersihkan dirinya dan menyelesaikan perkaranya (hadits

al- ifki).

95
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 125. Disebutkan dengan dua istilah yang berbeda dalam
hal ini untuk menjelaskan betapa ‘Âisyah sangat faham dengan ucapan-ucapan Nabi dan perbuatannya.
96
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 125
97
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 126
59

4. Jibril membawa gambarnya dari surga dan menyampaikan bahwa ia adalah istri

Nabi saw.

5. ‘Âisyah dan Nabi saw pernah mandi janabah dari bejana yang sama, di mana

Nabi tidak pernah melakukan hal tersebut dengan istri-istri yang lain.

6. Nabi pernah shalat sedangkan di hadapannya ada ‘Âisyah sedang berbaring.

7. Wahyu turun ketika Nabi saw sedang bersamanya.

8. Nabi saw wafat ketika sedang berbaring di pangkuan ‘Âisyah.

9. Nabi saw wafat pada malam giliran ‘Âisyah.

10. Nabi saw dikuburkan di rumah ‘Âisyah.98

11. ‘Âisyah adalah istri yang paling dicintai Nabi saw

12. ‘Âisyah pernah melihat malaikat Jibril. 99

‘Âisyah adalah salah seorang di antara istri-istri Nabi saw yang dijamin

masuk surga selain Khadîjah, Zainab binti Jahsy, dan Hafshah binti ‘Umar bin

Khaththâb.

Dalam bidang akhlak, ‘Âisyah termasuk orang yang dermawan. Saking

dermawannya, pernah suatu ketika ‘Âisyah dikirim uang sejumlah 100.000 dirham, ia

membagikan uang tersebut sampai habis padahal saat itu ia sedang berpuasa dan ia

tidak ingat untuk menyisihkan uang tersebut untuk dirinya.100

98
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 65, Lihat A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 378-
381
99
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 66-67
100
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 66-67
60

‘Âisyah juga seorang wanita yang zuhud, ia memperbaiki sendiri

pakaiannya. Ia juga seorang yang tidak sombong, ketika akan meninggalnya, ia ingin

menjadi sesuatu yang tidak berarti dan dilupakan.

‘Âisyah wafat dalam usia 66 tahun. Menurut berita yang paling kuat, bahwa

wafatnya ‘Âisyah adalah tanggal 17 Ramdhan 58 H, dan jenazahnya dishalati oleh

Abû Hurairah, kemudian diantarkan pada permulaan malam ke pekuburan Baqi101

sebagaimana yang diwasiatkan olehnya.102

Ayat Al-Qur’an yang turun berkaitan dengan ‘Âisyah

1. Peristiwa Tuduhan terhadap ‘Âisyah (Hadits al-Ifki) dalam Surah An-Nûr/24: 11-

19

101
Di dalam kitab Shahîh al-Bukhâri diterangkan bahwa ‘Âisyah mewasiatkan kepada ‘Abdullah
bin Zubair, anak kakaknya, Asma’, agar beliau dikuburkan bersama-sama rekan-rekannya di
Pekuburan Baqi. Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 126
102
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 126
61

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari


golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi
kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka
mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka
yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu
baginya azab yang besar.(11) Mengapa di waktu kamu mendengar berita
bohong itu orang-orang mu'minin dan mu'minat tidak bersangka baik terhadap
diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita
bohong yang nyata."(12) Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak
mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka
tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-
orang yang dusta.(13) Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya
kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang
besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.(14) (Ingatlah) di
waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan
dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu
menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah
besar(15). Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita
bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha
Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar."(16) Allah
memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu
selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman,(17) dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.(18) Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita)
perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman,
bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui,
sedang, kamu tidak mengetahui.(19)” (Q. S. An-Nisâ/4: 11-19)

2. Teguran Allah kepada Nabi saw akibat perbuatan ‘Âisyah dan Hafshah yang

cemburu terhadap Zainab Binti Jahsy –menurut satu riwayat- atau terhadap

Mariyah Al-Qibthiyah –menurut riwayat lain- dalam Surah At-Tahrîm: 1-5


62

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah


menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (1) Sesungguhnya Allah telah
mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan
Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (2)
Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang
dari isteri-isterinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah)
menceritakan peristiwa itu (kepada ‘Âisyah) dan Allah memberitahukan hal itu
(semua pembicaraan antara Hafshah dengan ‘Âisyah) kepada Muhammad lalu
Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan
menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala
(Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan ‘Âisyah) lalu
Hafshah bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?"
Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal". (3) Jika kamu berdua bertaubat kepada
Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima
kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka
sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-
orang mu'min yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah
penolongnya pula.(4) Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan
memberi ganti kepadanya dengan isteri-isteri yang lebih baik daripada kamu,
yang patuh, yang beriman, yang ta`at, yang bertaubat, yang mengerjakan
ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.(5)”
63

Penjelasan tentang sebab turun ayat tersebut sebagai berikut:

“Diriwayatkan dari ‘Âisyah r.a, beliau berkata: Sesungguhnya Nabi saw


berada di rumah Zainab binti Jahsy, lalu beliau meminum susu, maka aku dan
Hafshah bersepakat, siapa di antara kami berdua yang akan ditemui oleh Nabi
saw nanti, dia mesti mengatakan kepada Rasulullah saw: Sesungguhnya aku
mencium bau getah pokok urfuth darimu. Adakah kamu baru saja
memakannya? kemudian Nabi saw menemui salah seorang dari kami, langsung
saja pertanyaan tersebut diajukan kepada beliau. Tetapi beliau menjawab:
Bahkan aku baru saja minum madu di rumah Zainab binti Jahsy, aku
bersumpah tidak mengulanginya lagi. Lalu Allah menurunkan firman-Nya: َ‫ﻟِﻢ‬
َ‫( ﺗُﺤَﺮﱢمُ ﻣَﺎ أَ َﺣﻞﱠ اﻟﻠﱠﮫُ ﻟَﻚ‬Mengapa kamu mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh
Allah kepada kamu) sampai ayat ‫( ِإنْ َﺗﺘُﻮﺑَﺎ‬Jika kamu berdua bertaubat) kepada
‘Âisyah dan Hafsah. Adapun sebab turun firman Allah yang berbunyi ‫وَإِذْ أَﺳَﺮﱠ‬
‫( اﻟﱠﻨﺒِﻲﱡ إِﻟَﻲ ﺑَﻌْﺾِ أَزْوَاﺟِﮫِ ﺣَﺪِﯾﺜًﺎ‬Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara
rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya, yaitu Hafshah mengenai
satu peristiwa) ialah karena sabda Nabi: Bahkan aku minum madu.” 103

103
Riwayat Bukhâri dalam kitab Tafsîr Al-Qur’ân, Hadits No. 4531, Riwayat Muslim dalam
kitab Talak, Hadits No. 2694, Riwayat Tirmizi dalam kitab Makanan, Hadits No. 1754, Riwayat
Nasâ’i dalam kitab Talak, Hadits No. 3367, Sumpah Nazar dan Pertanian, Hadits No. 3735, Sepuluh
Orang Wanita, Hadits No. 3896, Riwayat Abû Dawud dalam kitab Minuman, Hadits No.3227, 3227,
Riwayat Ibnu Mâjah dalam kitab Makanan, Hadits No. 3314, Riwayat Ahmad bin Hanbal, dalam juz
VI, Muka Surat 221, Riwayat Ad-Dârimi, dalam kitab Makanan, Hadits No. 1986. CD Room Hadits
64

3. ‘Âisyah yang pertama kali ditanyai Nabi saw saat ayat takhyîr (Q. S. al-Ahzâb/33:

28) turun.

:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian
mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya
kuberikan kepadamu mut`ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik….”
(Q. S. Al-Ahzâb: 28)

Ketika turun ayat takhyîr (pilihan antara cerai atau tidak bagi istri-istri),

Nabi saw menemui ‘Âisyah terlebih dahulu sebelum istri yang lainnya, dan

berkata: “Aku akan mengatakan sesuatu kepadamu dan aku ingin engkau tidak

bertindak terburu-buru, namun hendaknya engkau datang kepada orang tuamu.”

‘Âisyah berkata, “Sesuatu apakah itu?” Rasul saw kemudian membacakan ayat

tersebut, kemudian ‘Âisyah berkata, “Haruskah aku meminta pendapat orang

tuaku? Aku memilih Allah dan Rasul-Nya.”

Hak pilih yang dimulai dengan ‘Âisyah terlebih dahulu, menurut Imam an-

Nawâwî, 104 menunjukkan kelebihan dirinya atas istri-istri Nabi yang lain. Saat

ayat ini turun, istri-istri Nabi saw ada sembilan orang selain Khadîjah dan Zainab

binti Khuzaimah yang telah lebih dahulu mendahului Nabi (wafat).

Ayat takhyîr ini turun berkaitan dengan keinginan istri-istri Nabi untuk

memperoleh/memiliki perhiasan dunia.

104
Syarh Shahîh Muslim, J. 10, h. 78-79
65

4. Ayat Tayammum

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan


shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan
jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,
lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang
baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak
hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (al-
Maidah/5: 6)

Mengenai sebab turun ayat ini, Hisyâm bin ‘Urwah meriwayatkan dari

ayahnya bahwa dalam suatu perjalanan bersama Nabi saw, ‘Âisyah kehilangan

kalung yang dipinjamnya di suatu tempat yang biasa disebut “Shalshal”. Setelah

menerima pengaduan ‘Âisyah tentang jatuhnya kalung tersebut, Nabi menyuruh

sahabatnya untuk mencari kalung tersebut. Tidak lama kemudian, tiba waktu

shalat sedangkan saat itu tidak ditemukan air sedikitpun di tempat tersebut.

Akhirnya mereka shalat tanpa berwudhu. Lalu turunlah ayat tersebut. Maka Usaid

bin Hudhair berkata kepada ‘Âisyah, “Semoga Allah membalasmu dengan


66

kebaikan. Demi Allah, tidak pernah turun kepadamu suatu musibah kecuali Allah

menjadikan –setelah—musibah itu suatu kebaikan.”105

4. Hafshah binti ‘‘Umar bin Khaththâb

Beliau adalah Hafshah putri dari ‘Umar bin Khaththâb bin Nufail bin ‘Abdul

‘Uzza bin Riyah bin ‘Abdullah bin Qurath bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Luai,

seorang shahabat agung yang melalui perantaranya Islam memiliki wibawa. Hafshah

adalah seorang wanita yang masih muda dan berparas cantik, bertaqwa dan wanita

yang disegani. Ibunya adalah Zainab binti Maz’un bin Habîb bin Wahb bin Hudzafah

bin Jumah. Ia lahir pada saat orang-orang Quraisy membangun Ka’bah, lima tahun

sebelum kenabian Nabi saw.106

Pada mulanya beliau dinikahi salah seorang shahabat yang mulia bernama

Khunais bin Khudzâfah bin Qais bin ‘Adiy as-Sahmiy Al-Quraisy yang pernah

berhijrah dua kali, ke Habasyah dan Madinah, ikut dalam perang Badar dan perang

Uhud namun setelah itu beliau wafat di negeri hijrah karena sakit yang beliau alami

pada waktu perang Badar.107 Ketika suaminya meninggal, Hafshah masih muda dan

berumur 18 tahun.

Setelah menjadi janda dan sebelum menikah dengan Nabi, ‘Umar bin

Khaththâb pernah menawarkan Hafshah, putrinya tersebut kepada kedua sahabatnya,

105
Muhammad Ibrahim Salim, Nisâ’ Haula ar-Rasul: Al-Qudwah al-Hasanah wa al-Uswah
ath-Thayyibah li Nisâ’ al-Usroh al-Muslimah, alih bahasa Abdul Hayyie al-Kattani dan Zahrul Fata,
Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah Saw, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 129.
Lihat pula Aba Firdaus Al-Halwani, Wanita-wanita Pendamping Rasulullah., h. 245-246
106
A. Khalîl Jam’ah., Istri-istri Para Nabi, h. 396, Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 77
107
Ada yang mengatakan karena luka pada perang Uhud. Namun pendapat pertama lebih
terkenal. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 396.
67

Abû Bakar dan ‘Utsmân bin ‘Affân –yang saat itu baru ditinggal wafat istrinya,

Ruqayyah binti Nabi saw-- untuk menikahi anaknya dikarenakan hatinya sedih

melihat anaknya yang berduka setelah kematian suaminya. Namun kedua sahabatnya

menolak. Kemudian beliau menghadap Nabi saw dan mengadukan keadaan dan

sikap Abû Bakar maupun ‘Utsmân. Maka tersenyumlah Nabi saw seraya berkata:

"Hafshah akan dinikahi oleh orang yang lebih baik dari Abû Bakar dan
‘Utsmân sedangkan ‘Ustmân akan menikahi wanita yang lebih baik daripada
Hafshah (yaitu putri beliau Ummu Kultsum r.a. )"

Kemudian Nabi menikahinya di Madinah pada bulan Sya’ban, tiga bulan

setelah hijrah beliau pada tahun 2 Hijriyah.

Satu riwayat108 menerangkan bahwa Nabi saw menceraikan Hafsah, tapi

kemudian beliau rujuk kembali. Tentang sebab rujuknya, ada beberapa riwayat. Ada

yang menerangkan bahwa rujuk terjadi karena Nabi merasa kasihan melihat ‘Umar

yang memukuli kepalanya sambil berkata, “Allah sudah menghinakan dan tidak

memperdulikan ‘Umar dan puterinya lagi.” Keesokan harinya Malaikat Jibril

menemui Nabi saw dan berkata, “Sungguh, Allah menyuruh Rasulullah supaya rujuk

kepada Hafshah karena kasihan melihat ‘Umar”

Sedang dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Malaikat Jibril a.s. turun

menemui Nabi saw dan berkata, “Rujuklah kepada Hafshah, karena dia adalah

seorang wanita yang sering berpuasa, dan beribadah pada malam hari, dan

108
yakni riwayat Ibnu Hajar al-‘Asqalâni dengan sanad yang berlainan, yang seluruhnya dapat
dikompromikan bahwa beliau menceraikan Hafsah dengan talak satu. Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi,
h. 139
68

sesungguhnya dia adalah istrimu kelak di surga”.109 Riwayat ini menunjukkan

keutamaan Hafshah sehingga malaikat Jibril langsung menyampaikan kepada Nabi

untuk tidak menceraikan Hafshah.

Di antara istri-istri Nabi, selain ‘Âisyah, Hafshah binti ‘Umar bin Khaththâb

dikenang dalam sejarah sebagai Umm al-Mu’minîn yang memelihara naskah pertama

dari Al-Qur’an, Kitab berbahasa Arab yang terbesar kemuliaanya, dan mukjizat Islam

yang kekal setelah Nabi saw meninggal. Pada mulanya, ‘Umar bin Khaththâb

menasihati Abû Bakar, Khalifah pertama, untuk segera mengumpulkan Al-Qur’an

yang saat itu masih berserakan dalam catatan, sebelum habis dan meninggal orang-

orang yang menghafalnya. Abû Bakar menerima nasihat ‘Umar. Kemudian beliau

mengumpulkannya dan menitipkannya kepada Hafshah. Pada masa Khalifah ‘Utsmân

bin Affan, catatan Al-Qur’an tersebut diminta untuk disalin menjadi empat eksemplar

yang kemudian dibagi-bagikannya ke kota-kota besar, serta memerintahkan catatan

lainnya dibakar. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan umat dari perselisihan

yang mungkin timbul dalam membaca Al-Qur’an tersebut. 110

Hafshah wafat pada bulan Sya’ban tahun 45 Hijriyah pada masa

kekhalifahan Muawiyah bin Abû Sufyân, dan dikuburkan di Pekuburan Baqi, di

tempat para Umm al-Mu’minîn lainnya. Marwan bin Hakam yang saat itu menjadi

109
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 139
110
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 144
69

gubernur Madinah, ikut menshalatkannya. 111 Saat wafat, Hafshah berumur 60 tahun.

Selama hidupnya, Hafshah meriwayatkan 60 hadits dari Nabi saw.112

Ayat yang berkaitan dengan Hafshah

Hafshah dan ‘Âisyah adalah dua istri Nabi yang saling mencintai. Suatu

ketika Hafshah pergi ke rumah ayahnya dan berbicara dengannya, kemudian Nabi

saw pergi menemui budak beliau –Mariyah Al-Qibtiyah-- dan bersama Nabi saw,

Mariyah pergi ke rumah Hafshah. Hari itu adalah hari giliran Nabi saw mendatangi

Hafshah. Ketika Hafshah pulang ke rumahnya, ia mendapati Nabi saw bersama

Mariyah sehingga ia cemburu. Setelah Mariyah keluar, Hafshah masuk dan berkata

kepada Nabi, “Sungguh aku tahu orang yang di sampingmu tadi. Demi Allah, engkau

telah menyakitiku.” Nabi lalu meminta keridaan Hafshah dan memintanya menjaga

sebuah rahasia, yaitu Nabi mengharamkan Mariyah untuknya demi keridaan Hafshah

tersebut. Tapi Hafshah kemudian memberitahukan rahasia tersebut kepada

‘Âisyah. 113 Saat itu, turunlah wahyu kepada Nabi Q.S. At-Tahrîm/66: 1:

: /
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah
menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. At-Tahrîm/66: 1)

111
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 144, Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 81
112
Seperti dikatakan Imam Nawâwî di Tahzîb, j. 2, h. 339. Buku-buku tersebut dikumpulkan di
buku Baqi bin Mukhallad, seperti dikatakan Az-Zahabi di Siyar A’lâm an-Nubalâ, j. 2, h. 230
113
Ibnu Jarîr At-Thabârî, at-Tafsîr, j. 28, h. 157. Muhammad bin Sa’ad As-Suyûthi, Ad-Durr al-
Mantsûr fî at-Tafsîr bi al-Ma‘tsûr, j. 8, h. 214-215
70

Ibnu Katsîr mengambil riwayat dari ‘Umar bin Khaththâb yang berkata,

“Nabi saw bersabda kepada Hafshah, ‘Janganlah engkau bercerita


kepada siapapun bahwa Ummu Ibrâhîm (Mariyah) adalah haram bagiku,’
Hafshah berkata, ‘Apakah engkau mengharamkan sesuatu yang telah
dihalalkan Allah bagimu?’ Rasulullah saw bersabda, ‘Demi Allah, aku tidak
akan mendekatinya.’ Rasulullah saw tidak mendekati Ummu Ibrâhîm (Mariyah)
hingga Hafshah menceritakan rahasia tersebut kepada ‘Âisyah, kemudian Allah
Ta’ala menurunkan ayat:

/
:
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian
membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. ” (Q.S. At-Tahrîm/66: 2)114

Keutamaan Hafshah

Hafshah pernah merasa bersalah karena menyebabkan kesusahan dan

penderitaan Nabi dengan menyebarkan rahasianya namun akhirnya menjadi tenang

setelah Nabi saw memaafkan beliau. Kemudian Hafshah hidup bersama Nabi dengan

hubungan yang harmonis sebagai seorang istri bersama suaminya. Manakala Nabi

wafat dan Khalifah dipegang oleh Abû Bakar ash-Shiddîq, Hafshah-lah yang

dipercaya diantara Ummahat al-Mu’minîn termasuk ‘Âisyah didalamnya, untuk

menjaga mushaf Al-Qur'an yang pertama.

Hafshah mengisi hidupnya sebagai seorang ahli ibadah dan ta'at kepada

Allah, rajin shaum dan juga shalat. Sehingga Jibril menurunkan wahyu kepada Nabi

saw untuk melarang Nabi mencerai Hafshah dikarenakan:


71

"Dia adalah seorang wanita yang rajin shaum, rajin shalat dan dia adalah
istrimu di surga". 115

Demikianlah kehidupan Hafshah sehingga ia mendapat julukan Ash-

Shawwâmah (yang banyak berpuasa) dan Al-Qawwâmah (yang banyak mendirikan

shalat malam), yang merupakan tingkatan ibadah yang paling tinggi yang mesti

dijaga manusia dalam kehidupan ini.

5. Zainab binti Khuzaimah

Tidak lama setelah kedatangan Hafshah dalam rumah tangga Nabi,

masuklah Zainab binti Khuzaimah yang terkenal dengan gelar Umm al-Masâkîn, Ibu

orang-orang miskin, pada zaman Jahiliyah. Ia adalah Zainab binti Khuzaimah bin al-

Hârits bin ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Abdu Manâf bin Hilâl bin ‘Âmir bin

Sha‘sha‘ah116 bin Muawiyah bin Bakr bin Hawâzin bin Manshûr bin ‘Ikrimah bin

Khashafah bin Qais Ailan.

Sebelum menikah dengan Nabi, Zainab bersuamikan ‘Ubaidah bin Hârits117

114
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, (Semarang: Toha Putra, tth,) J. 4, h. 412
115
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi., h. 139. Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât, j. 8, h. 84, A. Khalîl
Jam’ah, Nisa’ Mubasysyarât bi al-Jannah, alih bahasa Kathur Suhardi, Wanita yang Dijamin Surga,
(Jakarta: Darul Falah, 2003), Cet. II, h. 463
116
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 147 3, h. 179
117
Banyak riwayat tentang nama suaminya. Ada yang mengatakan namanya Abdullah bin Jahsy,
anak saudara perempuan dari ayah Nabi saw dan saudara laki-laki dari istri beliau, Zainab binti Jahsy.
Ada pula yang mengatakan, pada mulanya Zainab Binti Khuzaimah adalah istri dari Thufail bin al-
Hârits bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manâf. Kemudian Thufail meninggal atau menceraikannya dan
digantikan oleh ‘Ubaidah bin al-Hârits. Lihat Al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah, j. 8, h. 944. Riwayat ketiga
mengatakan bahwa sebelum dinikahi Nabi saw, ia adalah istri ‘Ubaidah bin al-Hârits bin al-Muththalib
bin ‘Abdu Manâf, dan sebelum itu ia adalah istri Jahm bin ‘Amr bin al-Hârits putera pamannya. Lihat
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 147-148
72

yang kemudian terbunuh pada saat perang Badar.118 Nabi Saw menikahi Zainab binti

Khuzaimah pada awal bulan Ramadhan tahun 3 Hijriyah. Ia tinggal bersama Nabi

saw selama delapan bulan,119 kemudian meninggal pada akhir Rabi’ al-Akhir tahun 4

Hijriyah dalam usia 30 tahunan. Nabi menshalatkannya dan menguburkannya di

Baqi. 120

Singkatnya kehidupan Zainab bersama Nabi saw, menjadikan ahli sejarah

tidak banyak menulis biografi beliau. Selain itu, kalaupun ada, kebanyakan mereka

berbeda pendapat tentang tiga hal, nama suaminya sebelum Nabi saw, waktu mati

syahid suaminya, dan nama wali yang menikahkannya. Meskipun demikian, mereka

sepakat pada satu hal, bahwa Zainab mempunyai sifat-sifat yang baik, pemurah dan

kasih sayang terhadap fakir miskin. Setiap namanya disebut, selalu disertai dengan

gelarnya yang mulia, yaitu “Ibu dari orang-orang miskin.”

Bahkan Bint Asy-Syâthi mengutip beberapa pendapat tentang Zainab:121

“Ibnu Hisyam mengatakan, ‘Zainab disebut Umm al-Masâkîn (Ibu dari


orang-orang miskin) karena kasih sayang dan lemah lembutnya kepada
mereka.’122 Dalam Al-Ishâbah, Zainab disebut ibu dari orang-orang miskin
karena ia selalu memberi makanan dan bersedekah kepada mereka.123 Boudly
mengatakan, ‘Zainab adalah seorang wanita yang baik tabiat dan bagus
kelakuannya.’ Dr Haikal menerangkan, ‘Zainab tidak begitu cantik, dia hanya
terkenal dengan perilakunya yang baik dan sifatnya yang pemurah, sehingga ia
diberi gelar ‘Ibu orang-orang miskin.’”

118
Menurut Bint Asy-Syâthi di perang Uhud, Istri-istri Nabi, h. 147
119
ada yang mengatakan selama tiga bulan , Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 148-149
120
Lihat Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 108-109
121
Lihat Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 149-150
122
Ibnu Hisyam, As-Sîrah, j. 4, h. 296
123
Al-Qurthûbî, al-Istî’âb, j. 8, h. 94
73

6. Ummu Salamah

Beliau adalah Hindun binti Abî Umayyah Suhail bin al-Mughîrah bin

‘Abdullah bin ‘Umar bin Makhzûm. 124 Ayahnya adalah putra dari salah seorang

Quraisy yang diperhitungkan (disegani) dan terkenal dengan kedermawanannya,

bahkan mendapat julukan "Zâd ar-Rakbi" yakni seorang pengembara yang berbekal.

Dijuluki demikian karena apabila melakukan perjalanan, tidak pernah lupa mengajak

teman dan juga membawa bekal, bahkan ia mencukupi bekal milik temannya.125

Adapun ibunya bernama 'Atîkah binti Âmir bin Rabî'ah bin Mâlik bin Jazîmah bin

‘Alqamah Jazl ath-Th’ân bin Farâs bin Ghanm bin Mâlik bin Kinânah.126

Di samping memiliki nasab yang terhormat, Ummu Salamah juga seorang

wanita yang berparas cantik, berkedudukan, dan seorang wanita yang cerdas. Pada

mulanya ia dinikahi oleh Abû Salamah ‘Abdullah bin ‘Abd al-Asad bin Hilâl bin

‘Abdullah bin ‘Umar bin Makhzûm.127 Bersama Ummu Salamah, Abu Salamah

seorang shahabat Nabi yang agung yang mengikuti dua kali hijrah, ke Habasyah dan

Madinah. Di Habasyah, Ummu Salamah melahirkan Salamah, di Madinah beliau

melahirkan ‘Umar, Durrah dan Zainab.128

Bagi suaminya, Ummu Salamah adalah sebaik-baik istri, baik dari segi

kesetiaan, kata'atan dan dalam menunaikan hak-hak suaminya. Dia telah memberikan

pelayanan kepada suaminya di dalam rumah dengan pelayanan yang

124
Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 86
125
Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, j. 4, h. 458
126
Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 86
127
Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 87
74

menggembirakan. Beliau senantiasa mendampingi suaminya dan bersama-sama

memikul beban ujian dan kerasnya siksaan orang-orang Quraisy sehingga kemudian

beliau hijrah bersama suaminya ke Habasyah untuk menyelamatkan agama dan

keyakinannya dengan meninggalkan harta, keluarga, kampung halaman dan

membuang rasa ketundukan kepada orang-orang zhalim dan para thagut.

Ummu Salamah beserta suaminya kembali ke Mekkah bersama shahabat-

shahabat yang lain bersamaan dengan disobeknya naskah pemboikotan (terhadap

kaum muslimin dan kaumnya Abû Thalib) dan setelah masuk Islamnya Hamzah bin

‘Abdul Muthallib dan ‘Umar bin Khaththâb r.a.

Kemudian manakala Nabi Saw mengizinkan bagi para shahabatnya untuk

hijrah ke Madinah setelah peristiwa Bai'atul Aqabah al-Kubrâ, Abû Salamah bertekad

untuk mengajak anggota keluarganya berhijrah. Namun keluarga Ummu Salamah

menahan Ummu Salamah sehingga hanya Abû Salamah yang pergi dan putranya

dibawa oleh Bani Abdul Asad, keluarga suaminya. Meskipun demikian, akhirnya ia

dan anaknya dapat bertemu kembali dan dengan bantuan ‘Ustman bin Thalhah,

Ummu Salamah dapat menyusul suaminya hijrah ke Madinah. 129

Ummu Salamah adalah wanita pertama yang memasuki Madinah

sebagaimana beliau juga pernah mengikuti rombongan pertama yang hijrah ke

Habasyah. Selama di Madinah beliau sibuk mendidik anaknya dan mempersiapkan

128
Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, j. 4, h. 458, Ibnu Sa’ad, Ath-
Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 87
129
Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, j. 4, h. 458. Lihat pula Bint
Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 156-158.
75

bekal bagi suaminya untuk berjihad dan mengibarkan bendera Islam. Abû Salamah

adalah sahabat yang mengikuti perang Badar dan perang Uhud. Pada Perang Uhud

inilah beliau terkena luka yang parah karena terkena panah pada bagian lengan

sehingga beliau tinggal menetap untuk mengobati lukanya hingga merasa sudah

sembuh.

Dua bulan setelah perang Uhud, Nabi saw mendapat laporan bahwa Bani

Asad merencanakan hendak menyerang kaum muslimin. Kemudian beliau

memanggil Abû Salamah dan mempercayakan kepadanya untuk membawa bendera

pasukan menuju “Qathn”, yakni sebuah gunung yang berpuncak tinggi disertai

pasukan sebanyak 150 orang. Di antara mereka adalah ‘Ubaidullah bin al-Jarrah dan

Sa‘ad bin Abi Waqqash.

Abû Salamah melaksanakan perintah Nabi saw untuk menghadapi musuh

dengan antusias. Beliau menggerakkan pasukannya pada gelapnya subuh saat musuh

lengah. Maka usailah peperangan dengan kemenangan kaum muslimin sehingga

mereka kembali dalam keadaan selamat dan membawa ghanîmah. Di samping itu,

mereka dapat mengembalikan sesuatu yang hilang yakni kewibawaan kaum muslimin

tatkala perang Uhud.

Pada pengiriman pasukan inilah luka yang diderita oleh Abû Salamah pada

hari Uhud kembali kambuh yang menyebabkannya meninggal dunia. Di saat-saat dia

mengobati lukanya, beliau berkata kepada istrinya: “Wahai Ummu Salamah, aku

mendengar Nabi saw bersabda:


76

“Tiada seorang muslimpun yang ditimpa musibah kemudian dia


mengucapkan kalimat istirja ‘(inna lillahi wa inna ilaihi raji'un), dilanjutkan
dengan berdoa: 'Ya Allah berilah aku pahala dalam musibah ini dan gantilah
untukku dengan yang lebih baik darinya’ melainkan Allah akan menggantikan
yang lebih baik darinya.”

Pada suatu pagi Nabi saw datang untuk menengoknya dan beliau terus

menunggunya hingga Abû Salamah wafat. Maka Nabi saw memejamkan kedua mata

Abû Salamah dengan kedua tangannya dan mengarahkan pandangannya ke langit

seraya berdo'a:

"Ya Allah ampunilah Abû Salamah, tinggikanlah derajatnya dalam


golongan al-Muqarrabîn dan gantikanlah dia dengan kesudahan yang baik
pada masa yang telah lampau dan ampunilah kami dan dia Ya Rabbal
'Âlamîn.”

Ummu Salamah adalah wanita yang sholehah, ia menghadapi ujian tersebut

dengan hati yang dipenuhi dengan keimanan dan jiwa yang diisi dengan kesabaran,

beliau pasrah dengan ketetapan Allah dan qadar-Nya. Ia ingat do'a Nabi saw yang

diriwayatkan oleh Abû Salamah yakni:

"Ya Allah berilah aku pahala dalam musibah ini…"

Sebenarnya ada rasa tidak enak pada jiwanya manakala dia membaca do'a:

"Wakhluflii khairan minha" (dan gantilah untukku dengan yang lebih baik darinya)

karena hatinya bertanya-tanya: 'Lantas siapakah gerangan yang lebih baik daripada

Abû Salamah?'. Akan tetapi beliau tetap menyempurnakan do'anya agar bernilai

ibadah kepada Allah.

Ketika telah habis masa ‘iddahnya, ada beberapa shahabat-shahabat utama

yang bermaksud untuk melamar beliau sebagaimana kebiasaan kaum muslimin dalam
77

menghormati saudaranya, yakni mereka menjaga istrinya apabila mereka terbunuh di

medan jihad. Akan tetapi Ummu Salamah menolaknya.

Nabi saw turut memikirkan nasib wanita yang mulia ini; seorang wanita

mukminah, jujur, setia dan sabar. Beliau melihat tidak bijaksana rasanya apabila dia

dibiarkan menyendiri tanpa seorang pendamping. Pada suatu hari, pada saat Ummu

Salamah sedang menyamak kulit, Nabi saw datang dan meminta izin kepada Ummu

Salamah untuk menemuinya. Ummu Salamah mengizinkan beliau. Beliau ambilkan

sebuah bantal yang terbuat dari kulit dan diisi dengan ijuk sebagai tempat duduk bagi

Nabi. Maka Nabi pun duduk dan melamar Ummu Salamah. Tatkala Nabi selesai

berbicara, Ummu Salamah hampir-hampir tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

Tiba-tiba beliau ingat hadits yang diriwayatkan oleh Abû Salamah, yakni; "Wakhlufli

khairan minha" (dan gantilah untukku dengan yang lebih baik darinya), maka hatinya

berbisik: 'Dia lebih baik daripada Abû Salamah'. Hanya saja ketulusan dan

keimanannya menjadikan beliau ragu, beliau hendak mengungkapkan kekurangan

yang ada pada dirinya kepada Nabi. Dia berkata: “Marhaban ya Rasulullah,

bagaimana mungkin aku tidak mengharapkan anda, ya Rasulullah. Hanya saja saya

adalah seorang wanita yang pencemburu, maka aku takut jika engkau melihat sesuatu

yang tidak anda senangi dariku maka Allah akan mengadzabku, lagi pula saya adalah

seorang wanita yang telah lanjut usia dan saya memiliki tanggungan keluarga.” Maka

Nabi saw bersabda: “Adapun alasanmu bahwa engkau adalah wanita yang telah lanjut

usia, maka sesungguhnya aku lebih tua darimu dan tiadalah aib manakala dikatakan

dia telah menikah dengan orang yang lebih tua darinya. Mengenai alasanmu bahwa
78

engkau memiliki tanggungan anak-anak yatim, maka semua itu menjadi tanggungan

Allah dan Rasul-Nya. Adapun alasanmu bahwa engkau adalah wanita pencemburu,

maka aku akan berdo'a kepada Allah agar menghilangkan sifat itu dari dirimu.”130

Maka beliau pasrah dengan Nabi saw. Dia berkata: “Sungguh Allah telah

menggantikan bagiku seorang suami yang lebih baik dari Abû Salamah, yakni Nabi

saw.” Maka jadilah Ummu Salamah sebagai Umm al-Mu’minîn. Beliau hidup dalam

rumah tangga nubuwwah yang telah ditakdirkan untuknya dan merupakan suatu

kedudukan yang beliau harapkan. Beliau menjaga kasih sayang dan kesatuan hati

bersama para Ummahât al-Mu’minin.

Keutamaannya

Ummu Salamah bukan hanya seorang wanita yang memiliki tubuh yang

menarik dan wajah yang rupawan, bahkan ia adalah seorang wanita yang cerdas dan

matang dalam memahami persoalan dengan pemahaman yang baik dan dapat

mengambil keputusan dengan tepat pula. Hal itu ditunjukkan pada peristiwa

Hudaibiyah manakala Nabi saw memerintahkan para shahabatnya untuk

menyembelih qurban selepas terjadinya perjanjian dengan pihak Quraisy. Namun

ketika itu, para shahabat tidak mengerjakannya karena sifat manusiawi mereka yang

merasa kecewa dengan hasil perjanjian Hudaibiyah yang banyak merugikan kaum

muslimin. Berulangkali Nabi saw memerintahkan mereka akan tetapi tetap saja tak

seorangpun mau mengerjakannya. Maka Nabi saw masuk menemui Ummu Salamah

dalam keadaan sedih dan kecewa. Beliau ceritakan kepada Ummu Salamah perihal

130
Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 91
79

kaum muslimin yang tidak mau mengerjakan perintah beliau. Maka Ummu Salamah

berkata: “Wahai Rasulullah apakah anda menginginkan hal itu? Jika demikian, maka

silahkan anda keluar dan jangan berkata sepatah katapun dengan mereka sehingga

anda menyembelih unta anda, kemudian panggillah tukang cukur anda untuk

mencukur rambut anda (tahallul).”

Nabi saw menerima usulan Ummu Salamah. Maka beliau berdiri dan keluar

tidak berkata sepatah katapun hingga beliau menyembelih untanya. Kemudian beliau

panggil tukang cukur beliau dan dicukurlah rambut beliau. Manakala para shahabat

melihat apa yang dikejakan oleh Nabi saw, maka mereka bangkit dan menyembelih

kurban mereka, kemudian sebagian mereka mencukur sebagian yang lain secara

bergantian.131

Mengenai kepribadian Ummu Salamah, ‘Âisyah menyatakan:

“Ketika Rasululllah menikah dengan Ummu Salamah, aku merasa sedih,


sebab orang melukiskan betapa cantiknya Ummu Salamah. Lalu dengan diam-
diam aku ingin melihatnya. Dan benar…malah lebih dari apa yang dilukiskan
orang. Hal itu kuceritakan kepada Hafshah, tapi dengan tenang ia berkata, ‘Ah,
dia tidak seperti yang digambarkan orang’. Setelah aku bergaul dengan beliau
ternyata benar seperti yang digambarkan Hafshah. Hanya saja aku memang
pencemburu.”132

Demikianlah Âisyah menunjukkan kehalusan budi pekerti dan ketinggian

akhlak Ummu Salamah r. a.

131
Ali Usman, Partisipasi Keluarga Rasulullah, h. 93
132
H.R. Ibnu Sa’ad namun sanadnya agak lemah karena terdapat Al-Waqidi. Lihat Ali Usman,
Partisipasi Keluarga Rasulullah, h. 92-93
80

Kecantikan hatinya juga dapat dilihat dari peristiwa mengurung dirinya Nabi

Muhammad saw yang telah berlalu. Saat Nabi saw jatuh sakit, Ummu Salamahlah

yang memberikan usulan kepada istri-istri yang lain untuk merelakan gilirannya

diberikan kepada ‘Âisyah dan menyerahkan perawatan Nabi kepada ‘Âisyah. 133

Setelah Nabi saw wafat, Ummu Salamah senantiasa memperhatikan urusan

kaum muslimin dan mengamati peristiwa-peristiwa yang terjadi. Beliau selalu andil

dengan kecerdasannya dalam setiap persoalan untuk menjaga lurusnya umat dan

mencegah mereka dari penyimpangan, terlebih lagi terhadap para penguasa dari para

Khalifah maupun para pejabat. Beliau singkirkan segala kejahatan dan kezhaliman

terhadap kaum muslimin, beliau terangkan kalimat yang haq dan tidak takut terhadap

celaan dari orang yang suka mencela dalam rangka melaksanakan perintah Allah.

Pada bulan Dzulqa'dah tahun 59 setelah hijriyah,134 Ummu Salamah wafat

dalam usia 84 tahun. Beliau adalah istri Nabi saw yang terakhir wafat.135 Beliau

wafat setelah memberikan contoh kepada wanita dalam hal kesetiaan, jihad dan

kesabaran.

7. Zainab binti Jahsy

Zainab binti Jahsy adalah seorang istri Nabi saw yang mendapatkan

keutamaan karena pernikahannya dengan Nabi berdasarkan firman Allah (Q. S. al-

133
Ahmad Khoiron Mustafit, Inner Beauty Istri-istri Nabi Muhammad saw, (Jakarta: Qultum
Media, 2004), Cet. 1, h.93
134
Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 87. Namun dalam riwayat Ibnu Abî Haitsamah
oleh Ibnu Hajar al-‘Atsqalâni dalam Al-Ishâbah, j. 4, h. 460 dikatakan bahwa Ummu Salamah wafat
pada tahun 61 H.
135
Al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah, j. 4, h. 460
81

Ahzâb/33: 36-38). Selain itu, pada saat pernikahannya dengan Nabi turun ayat hijâb

(Q.S. al-Ahzâb/33: 53).

Zainab adalah istri yang paling dekat nasabnya kepada Nabi saw. Nasabnya

secara lengkap adalah Zainab binti Jahsy bin Ri‘ab bin Ya'mur bin Shabîrah bin

Murrah bin Kabîr bin Ghanm bin Dudan bin Asad bin Khuzaimah.136 Zainab binti

Jahsy adalah wanita muda, bangsawan, cantik, dan keturunan Bani Asad bin

Khuzaimah al-Mudharry, cucu Abdul Muththalib, putri saudara perempuan ayah Nabi

Muhammad saw.137 Ibu beliau bernama Umaimah Binti ‘Abdul Muthallib. Para ahli

riwayat menceritakan bahwa Zainab berkulit putih, sintal, dan termasuk wanita

sempurna di antara wanita Quraisy. Zainab pun merasa bangga dengan kecantikannya

dan dengan keturunannya yang mulia.138 Pada mulanya nama beliau adalah Barrah,

namun tatkala diperistri oleh Nabi, beliau diganti namanya dengan Zainab.139

Sebelum menikah dengan Nabi, Zainab telah menikah terlebih dahulu

dengan Zaid bin Haritsah bin Syarâhîl bin Ka’ab dari Bani Zaid al-Lât. Pernikahan

Zainab dengan Zaid maupun dengan Nabi saw adalah pernikahan yang didasari

wahyu Allah swt. Ayat berikut turun terhadap Zainab binti Jahsy.

136
Ahmad Khalîl Jam‘ah, Istri-istri Para Nabi, h. 438
137
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 173
138
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 173
139
Berdasarkan hadits riwayat Abû Hurairah r.a yang berkata: “Sesungguhnya nama Zainab
pada mulanya ialah Barrah. Ada orang mengatakan: ‘Dia membersihkan dirinya. Lalu Nabi Saw
memberinya nama Zainab.’” Lihat Bukhori dalam kitab Adab/Etika, Hadits No. 5724, Muslim dalam
kitab Adab, Hadits No. 3990, Ibnu Majah dalam kitab Adab/Etika, Hadits No. 3722, Ahmad bin
Hanbal dalam kitab Juz 2, Muka Surah 459, Ad-Darimi dalam Kitab Meminta Izin, Hadits No. 2582
82

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula bagi
perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada pilihan yang lain bagi mereka tetang urusan mereka. Dan
barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah
sesat, dalam kesesatan yang nyata.” (36) “Dan (ingatlah) ketika kamu berkata
kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu
(juga) memberi nikmat kepadanya: Tahanlah terus istrimu dan bertakwlah
kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang allah
akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang
lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan
terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya
tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluannya kepada istri-isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi.” (37) “Tidak ada satu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah
ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai
sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan
Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (38) (Q S. Al-Ahzâb /33: 36-38)

Zaid tadinya adalah budak Nabi yang kemudian dimerdekakan dan menjadi

anak angkat Nabi sebelum turun ayat:


83

“Panggilah mereka dengan nama ayah mereka…” (Q. S. Al-Ahzâb/33 : 5)

Zaid sering dipanggil dengan Zaid bin Muhammad. Namun sesudah turun

ayat tersebut, Zaid dipanggil dengan nama ayah kandungnya, Zaid bin Haritsah. Zaid

merupakan orang yang pertama kali masuk Islam setelah ‘Ali bin Abî Thâlib. 140

Ketika Nabi saw hijrah ke Madinah, beliau mempersaudarakan sahabat-sahabatnya,

dan Zaid dipersaudarakan dengan Sayyidina Hamzah, paman Nabi Saw.141

Zaid sebenarnya bukanlah seorang budak. Pada suatu ketika dia pergi

bersama ibunya, yaitu Su’dâ binti Tsa’labah untuk mengunjungi keluarga Bani Mi’an

bin Thay’. Lalu Zaid dirampas dari ibunya oleh pasukan berkuda dari Bani Al-Qain

bin Jisr, dan mereka menjualnya di salah satu pasar yang ada di Jazirah Arab, yaitu

pasar Ukaz. Zaid pun kemudian dibeli oleh Hakîm bin Hizâm bin Khuwailid,

keponakan Khadîjah binti Khuwailid, istri Nabi saw, yang sedang mengadakan

perjalanan ke Syam. Saat itu Zaid berumur delapan tahunan.

Suatu hari, Khadîjah –yang pada waktu itu telah menjadi istri Nabi saw–

datang mengunjungi Hakîm bin Hizâm bin Khuwailid. Ketika Khadîjah hendak

kembali pulang, keponakannya mempersilahkan memilih di antara budak-budaknya

untuk dibawa serta. Lalu Khadîjah memilih Zaid, dan seterusnya membawa pulang ke

Makkah. Sesampainya di rumah, suaminya, Nabi saw melihat Zaid, lalu meminta

kepadanya agar anak itu diserahkan kepadanya untuk menjadi pelayan pribadinya.
84

Ayah Zaid, Hâritsah, yang merasa sedih karena kehilangan Zaid kemudian

mengembara mencari berita tentang Zaid dan hingga ia mendengar kabar tentang

anaknya yang berada di Makkah, di rumah Nabi saw. Sesampainya di hadapan Nabi,

ia segera memohon agar diperkenankan menebus anaknya. Tapi Nabi saw

memberikan pilihan kepada Zaid antara beliau atau ayahnya. Namun Zaid lebih

memilih tetap bersama Nabi. Maka dalam suasana yang tegang itu, Nabi saw tampil

mengajukan jalan tengah. Beliau membimbing tangan Zaid, lalu membawanya ke

dekat Ka’bah, ke hadapan kerumunan orang-orang pembesar Quraisy yang saat itu

sedang berada di sana. Beliau meresmikan di hadapan mereka, bahwa Zaid adalah

anaknya, waris-mewarisi dengannya. Dan sejak itu, dia dipanggil dengan nama Zaid

bin Muhammad.142

Setelah Zaid cukup dewasa, maka Nabi saw memilihkan seorang istri

untuknya, yaitu Zainab binti Jahsy. Akan tetapi Zainab menolak, begitu pula

kakaknya, Abdullah bin Jashy, mereka tidak setuju, bahwa seorang wanita bangsawan

keturunan Mudhar dikawinkan dengan seorang bekas budak. Mereka memohon

dengan kerendahan hati kepada Nabi saw agar jangan menghubungkan kehinaan itu

kepada keluarga mereka, karena pada waktu itu, tidaklah pantas seorang putri

bangsawan menikah dengan seorang bekas budak, walaupun sudah dimerdekakan.

Zainab memberi alasan panjang lebar, yang akhirnya dia berkata, ‘Sungguh, saya

tidak mau kawin dengan dia selama-lamanya.’ Kemudian Nabi saw mengemukakan

140
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 175
141
Ibnu Hisyam, As-Sîrah, Juz II, h. 151
85

kepada mereka berdua, kedudukan Zaid terhadap beliau dan terhadap agama Islam,

mengemukakan asal-usulnya sebagai seorang keturunan Arab murni. Tetapi Zainab

dan kakaknya, meskipun sangat sayang kepada Nabi saw dan begitu ingin

menaatinya, tetapi tidak mau menerima, hingga akhirnya turunlah firman Allah:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula bagi
perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada pilihan yang lain bagi mereka tetang urusan mereka. Dan
barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah
sesat, dalam kesesatan yang nyata.” (QS. ِAl-Ahzab/33: 36)

Setelah turun ayat tersebut akhirnya Zainab menikah dengan Zaid. Dengan

pernikahan Zaid dan Zainab, Nabi saw telah melaksanakan dan mengajarkan ajaran

Islam, yaitu menghapuskan perbedaan tingkatan dalam masyarakat.

Akan tetapi kehidupan pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Zainab

tetap tidak dapat melupakan bahwa dia adalah putri bangsawan yang tidak pernah

mengalami status budak sejak nenek moyangnya, dan sedetik pun dia tidak merasa

bahagia untuk menjadi istri dari seorang bekas budak seperti Zaid, yang dulu

memasuki rumah keluarga Zainab sebagai hamba sahaya.

Zaid menderita karena perlakuan Zainab, sehingga kesabarannya habis,

maka dia mengadukan hal tersebut kepada Nabi saw. Berulang kali dia mengadukan

buruknya perlakuan Zainab kepada dirinya, sedang Nabi saw selalu menasihati

142
Lihat Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 173-175
86

supaya Zaid menambah kesabarannya menghadapi perlakuan Zainab, dan menyuruh

agar Zaid menetapkan hatinya terhadap istrinya, serta supaya dia bertakwa kepada

Allah. Sebagaimana firman Allah swt:

“Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) memberi nikmat kepadanya:
Tahanlah terus istrimu dan bertakwlah kepada Allah,…” (Q.S Al-Ahzâb
/33:37)

8. Juwairiyah binti Al-Harits

Juwairiyah adalah putri bangsawan Bani Al-Musthaliq. Ayahnya, Al-Hârits

bin Abû Dhirâr bin Al-Hârits bin Abu Dhirar bin Al-Harits Al-Mushthaliq adalah

pemimpin Bani Al-Mushthaliq.143 Sebelumnya, nama Juwairiyah adalah Barrah,

kemudian Nabi saw mengubah namanya menjadi Juwairiyah karena beliau tidak suka

kalau dikatakan bahwa beliau keluar dari sisi Barrah.144 Sebelum diperistri oleh Nabi

saw, Juwairiyah bersuamikan Musafi’ bin Shafwân Al-Musthaliqi145 yang terbunuh

dalam keadaan kafir.

Dalam sebuah peperangan antara kaum muslimin dengan Bani Al-Musthaliq

yang terjadi di dekat Al-Muraisi, 146 Bani al-Musthaliq mengalami kekalahan. Wanita-

143
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 465.
144
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, Ibid
145
Ibnu Sa’ad, Thabaqat…, j. 8, h. 116
146
Al-Muraisi ialah mata air milik Bani al-Musthaliq dari arah Qadid setelah pantai dari
Madinah ke Mekkah. Di perang tersebut, Nabi saw berhasil mengalahkan Bani Al-Musthaliq. Setelah
87

wanita dari kalangan Bani Al-Musthaliq banyak yang tertangkap sebagai tawanan,

salah satunya adalah Juwairiyah binti Al-Hârits yang saat itu masih bernama Barrah.

Adalah menjadi kebiasaan setelah perang, membagi-bagikan hasil perang dan

Juwairiyah menjadi bagian Tsabit bin Qais bin Syammas. Kemudian ia datang kepada

Nabi saw untuk meminta bantuan kemerdekaan dirinya.147 Ketika itu Nabi saw

bersedia membantunya dan menawarkan Juwairiyah untuk dinikahi. Juwairiyah

membebaskan dirinya dengan membayar sembilan ‘uqiyah148 secara kredit yang

kemudian dibayarkan Nabi saw dan setelah itu menikah dengan Nabi. Maka,

kemerdekaan Juwairiyah sekaligus menjadi maharnya. Juwairiyah dinikahi Nabi saw

pada tahun 5 H,149 pada saat ia berusia 20 tahun.

Ketika kaum muslimin mendengar bahwa Nabi telah menikahi Juwairiyah,

mereka segera melepaskan tawanan Bani al-Musthaliq yang ada pada mereka. Maka,

Juwairiyah telah memberi berkah bagi kaumnya, karena dengan pernikahannya

dengan Nabi saw, sekitar seratus orang --dalam satu riwayat 40 orang-- dari

keluarganya menjadi merdeka, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Ath-Thabrani

dari Mujahid150 bahwa Juwairiyah berkata kepada Nabi saw, ‘Sesungguhnya istri-

itu beliau membunuh beberapa orang Bani Al-Musthaliq, menawan wanita dan anak-anak. Ahmad
Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 466
147
Juwairiyah adalah wanita yang manis dan cantik, siapapun yang melihatnya pasti tertarik
padanya.
148
Satu ‘Uqiyah adalah 12 Dirham atau 28 gram. Kamus Al-Munawwir, h. 48
149
Al-Waqidi sebagaimana tertulis di At-Tahdzîb, Imam Nawâwî, j. 2, h. 336. Ibnu Hisyam,Di
As-Sîrah, j. 3, h. 289 dikatakan bahwa perang Bani al-Musthaliq terjadi pada tahun 6 H.
150
ia adalah Mujâhid bin Jubair Imâm Abû al-Hajjâj al-Makhzûmî, seorang bekas budak kabilah
Makhzûm, Al-Makkî, Qâri’, Ahli Tafsir, Hâfidz yang mendengar hadits dari Sa’ad, ‘Âisyah, Abû
Hurairah, Ummu Hâni’, ‘Abdullah bin ‘Umar, dan Ibnu ‘Abbâs. Ia dekat dengan Ibnu ‘Abbâs dan
salah satu gudang ilmu. Ia wafat pada tahun 103 H. Tadzkirah al-Huffâzh
88

istrimu berbangga diri terhadapku, mereka berkata, ‘Engkau tidak dinikahi Nabi saw.’

Nabi saw bersabda, ‘Bukankah aku telah memberi mahar yang sangat besar?

Bukankah aku telah memerdekaan empat puluh budak dari kaummu?’. Selain itu,

dengan pernikahannya tersebut, ayahnya Al-Hârits bin Dhirâr, juga masuk Islam.151

Sebelum menikah dengan Nabi, Juwairiyah pernah bermimpi sepertinya

melihat bulan berjalan dari Yatsrib (Madinah) hingga jatuh di pangkuannya pada tiga

malam sebelum kedatangan Nabi saw.

Keutamaannya

Juwairiyah adalah wanita yang banyak bertasbih kepada Allah.

“Juwairiyah binti Al-Hârits berkata: ‘Rasûlullâh saw datang kepadaku


pada saat aku sedang bertasbih di suatu pagi kemudian beliau pergi lagi untuk

151
Sebagaimana dikutip Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 466-467 dari Thabrânî,
Al-Kabîr, j. 24, h. 59 dari jalur Abdurrazaq, juga dari Al-Mushannaf, j. 7, h. 271, dan Hakim, Al-
Mustadrak, j. 4, h. 25-26.
89

memenuhi kebutuhan beliau. Pada kira-kira pertengahan siang, Rasûlullâh saw


datang lagi kepadaku pada saat aku masih bertasbih. Beliau bersabda:
‘Engkau masih duduk?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda lagi, ’Maukah
engkau aku ajari kalimat yang jika dibandingkan atau ditimbang dengan
semua tasbihmu, maka sama. Kalimat tersebut ialah Subhânallâh ‘adada
khalqih (Maha Suci Allah sejumlah makhluk-Nya) sebanyak tiga kali,
Subhânallâh zinata ‘arsyih (Maha Suci Allah seberat Arasy-Nya) sebanyak tiga
kali, Subhânallâh ridhâ nafsih (Maha Suci Allah sesuai dengan keridhaan diri-
Nya) sebanyak tiga kali, dan Subhânallâh midada kalimâtih (Maha Suci Allah
sebanyak tinta kalimat-Nya) sebanyak tiga kali.’” 152

Juwairiyah wafat pada tahun 50 H dan dishalati Marwan bin Al-Hakam,

gubernur Madinah. Ia wafat dalam usia 70 tahun. 153

9. Shafiyah binti Huyay

Shafiyah154 adalah puteri dari Huyay bin Akhthab bin Sa’ayah155 bin

Tsa’labah bin Amir bin ‘Ubaid bin Ka’ab bin Al-Khazrâj bin Habîb bin An-Nadhîr

bin Yanhum. Ayahnya adalah pemuka Bani Nadhîr, berasal dari anak keturunan

(kabilah) Lawai bin Ya’qub a.s., dari anak keturunan Nabi Hârûn bin ‘Imrân, saudara

152
Diriwayatkan Muslim di kitab Zikir, do’a, tasbih, taubat, dan istighfar, bab Tasbih di awal
siang dan hendak tidur’. CD Room, Hadits no. 2726. Ahmad, Al-Musnad, 324-325
153
Sedangkan al-Waqidi mengatakan Juwairiyah wafat pada bulan Rabi’ al-Awwal tahun 56 H.
Ada pula yang mengatakan beliau wafat dalam usia 65 tahun. Tentang wafatnya lihat Ibnu Hajar Al-
‘Asqalânî, Al-Ishâbah, j. 4, h. 266, al-Qurthubi, Al-Istî’âb, j. 4, h. 367, Ibnu Sa’ad, Thabaqat, j. 8, h.
120.
154
Ahmad Khalîl Jam’ah dalam Istri-istri Para Nabi, h. 470 mengutip dari Ibnu Zubalah, di Al-
Muntakhab, h. 58 meriwayatkan bahwa nama Shafiyah adalah Habîbah, namun ia diberi nama
Shafiyah karena ia shafiyah (pilihan) Nabi saw di perang Khaibar. Shafiyah juga diberi nama
panggilan Ummu Yahya, sebagaimana disebut Al-Hafizh Ibnu Hajar di Fath al-Bâri’ ketika
menjelaskan hadits no. 2035.
155
Ibnu Sa’ad, Thabaqat, j. 8, h. 120. Dalam Al-Qurthubi, Al-Istî’âb, j. 4, h. 426 dikatakan
Syu’bah, sedang dalam Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah, j. 4, h. 346 dikatakan Sa’anah.
90

Nabi Mûsâ a.s.156 Ibunya bernama Barrah binti Samuel157 saudara perempuan Rifâ’ah

bin Syam’al al-Quraizhah saudara an-Nadhir.158

Shafiyah binti Huyay mempunyai seratus tawanan dan seratus budak. Ia

memberikan semua tawanan dan budaknya kepada Nabi saw. Sedangkan ayahnya

dibunuh bersama Bani Quraidhah.

Sebelum menikah dengan Nabi, Shafiyah pernah menikah dua kali, pertama

dengan Salâm bin Misykam yang kemudian menceraikannya, kedua dengan Kinânah

–ia penyair- bin Ar-Rabî‘ bin Al-Huqaiq An-Nadhri.159 Dari kedua suaminya, ia tidak

mendapatkan anak. Suaminya adalah pemilik benteng Al-Qamûsh, benteng terbesar

di Khaibar.160 Kaum muslimin berhasil menguasai benteng tersebut setelah melewati

pertempuran yang sangat hebat, yaitu perang Khaibar pada bulan Muharram161 tahun

7 H. Kinânah tertangkap dan dipertemukan kepada Nabi saw dalam keadaan masih

hidup. Kinânah adalah orang yang menyimpan harta perbendaharaan Bani Nadhîr.

Maka Nabi saw menginterogasinya tentang tempat penyimpanan harta tersebut.

Namun Kinânah tidak mau mengakui sehingga Nabi saw berkata, ”Seandainya kami

menemukan harta itu padamu, apakah engkau rela dibunuh?” dan Kinânah bersedia.

Setelah mengetahui tempat penyimpanan harta tersebut, Kinânah dibunuh oleh

156
Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah, Ibid
157
Al-Qurthubi, Al-Istî’âb, Ibid
158
Ibnu Sa’ad, Thabaqât, Ibid
159
Ibnu Sa’ad, Thabaqât, Ibid
160
Lihat Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 471-472. Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri
Nabi, h. 208
161
akan tetapi Ahmad Khalîl Jam’ah menyebutkan perang itu terjadi di bulan Ramadhan. Istri-
istri Para Nabi, h. 477
91

Muhammad bin Maslamah yang adiknya, Mahmud bin Maslamah, telah dibunuh oleh

orang-orang Yahudi dalam peperangan tersebut.162

Ketika Shafiyah tiba di perang Khaibar, ia masih pengantin baru dengan

Kinânah. Setelah suaminya dibunuh, Shafiyah menjadi tawanan Nabi saw.163

Tadinya Shafiyah adalah bagian fay’i164 Dihyah Al-Kalbi, namun Nabi saw

menebusnya/membelinya dengan tujuh kambing. Nabi Muhammad saw kemudian

menikahi Shafiyah di bulan Syawal tahun 7 H dengan menjadikan kemerdekaan

Shafiyah sebagai maharnya. Shafiyah menikah dengan Nabi saw pada saat umurnya

belum mencapai 17 tahun.165 Resepsi pernikahan dilaksanakan di bendungan Ash-

Shahba’ selama tiga hari dan Nabi saw membuat makanan hais di hamparan kulit

untuk dimakan orang banyak. 166

Sebelum menikah dengan Nabi saw, Shafiyah pernah bermimpi bulan jatuh

di pangkuannya. Saat mimpinya diceritakan kepada suaminya, suaminya

menamparnya dan berkata, ”Apakah engkau menginginkan penguasa Yatsrib

(Madinah)?”. Shafiyah juga pernah merasa sangat benci kepada Nabi saw karena

Nabi saw telah membunuh ayah dan suaminya. Namun kebenciannya tersebut hilang

setelah Nabi saw meminta maaf kepadanya sambil berkata, ”Wahai Shafiyah,

162
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 208 mengutip dari dari Ibnu Hisyâm, As-Sîrah Ibnu
Hisyâm, j. 3, h. 351, Târîkh ath-Thabâriy, j. 3, h. 95, dan Ibnu Sa’ad, Thabaqât, j. 2, h. 81
163
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 471
164
Fay’i adalah harta hasil rampasan perang
165
Ibnu Sa’ad, Thabaqât, j. 8, h. 129. Lihat Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 471-
477
166
dalam riwayat lain, bendungan ar-Rauha. Menurut Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para
Nabi, h. 472, 476, keduanya benar. Sedang Ibnu Hajar, Fath al-Bâri’, j. 7, h. 548 menguatkan yang
92

sungguh ayahmu telah memprovokasi orang-orang Arab untuk memusuhiku dan

mengerjakan apa yang ia kerjakan.”167

Ketika Shafiyah telah menikah dengan Nabi dan tinggal di rumah Nabi di

Madinah, suatu hari ia mendengar kata-kata yang menyakitkan dari istri Nabi yang

lain, yaitu ‘Âisyah dan Hafshah. Ia mengadukan masalah tersebut kepada Nabi,

kemudian Nabi menjawab, ”Kenapa engkau tidak katakan kepada mereka berdua

tentang kebaikan yang ada pada dirimu, yaitu bahwa suamiku adalah Nabi

Muhammad saw, ayahku Nabi Harun dan pamanku Nabi Musa?”

Suatu riwayat diterangkan168 bahwa Nabi saw bepergian, dan ikut bersama

beliau dua istrinya, yaitu Shafiyah dan Zainab binti Jahsy. Di tengah perjalanan, unta

yang ditumpangi Shafiyah sakit, sedang Zainab memiliki unta cadangan, lalu Nabi

saw berkata pada Zainab, “Unta yang ditunggangi Shafiyah sakit, bagaimana jika

engkau berikan satu untamu kepadanya?” Zainab menjawab, “Saya memberi Yahudi

itu?” Mendengar itu, Nabi memalingkan muka dengan marah, selanjutnya beliau

tidak menegur Zainab selama tiga bulan.169

pertama, yaitu Ash-Shahba’, karena ar-Rauha terletak antara Mekkah dan Madinah, sedangkan ash-
Shahba’ terletak sekitar 12 mil dari Mekkah
167
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 478
168
Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah, j. 8, h. 127, Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 216-217
mengutip dari Sunan Abî Dâwûd
169
Dalam riwayat lain diterangkan, bahwa Nabi tidak mendekati Zainab karena peristiwa
tersebut mulai bulan Dzulhijjah, Muharram, sampai sebagian bulan Safar. Setelah cukup lama barulah
Nabi mendekati Zainab kembali seperti biasanya. Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 217 mengutip
dari Al-Istî‘âb, j. 4, h. 1850
93

Shafiyah wafat pada bulan Ramadlan tahun 50 H170 pada masa

pemerintahan Mu’awiyah dan dikebumikan di Bâqi’. Ia wafat dengan meninggalkan

seratus ribu dirham senilai tanah dan perabotan. Ia mewasiatkan sepertiga

kekayaannya kepada anak saudara perempuannya yang beragama Yahudi.171

Shafiyah meninggalkan namanya di dalam kitab hadits. Di antara orang

yang meriwayatkan hadits darinya ialah keponakan dan budaknya, Kinânah, serta

budaknya yang lain, yaitu Yazid bin Mat’ab, Imam Zain al ‘Âbidîn Âli bin al-Husain

r.a. dan Muslim bin Shafwân. 172

10. Ummu Habîbah Binti Abû Sufyân

Ummu Habîbah adalah putri Abû Sufyân --orang terkemuka di Mekkah dan

pemimpin kaum musyrikin, musuh Nabi saw-- bin Harb bin Umayyah bin ‘Abdu

Syams bin ‘Abdu Manâf bin Kilâb bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghâlib. Ummu

Habîbah adalah wanita Quraisy dari kabilah ‘Adi.

Ibunya adalah Shafiyah binti Abû Al-‘Ash (bin Umaiyah). Shafiyyah adalah

bibi ‘Utsmân bin ‘Affân r.a. dari jalur ayah.173

Nama asli Ummu Habîbah ialah Ramlah menurut pendapat yang paling

terkenal. Ada pendapat lain yang mengatakan nama aslinya Hindun.174

170
Ada juga yang mengatakan tahun 52 H. Kedua pendapat tersebut disebutkan Al-Waqidi di
Ibnu Sa’ad, Thabaqât, j. 8, h. 128-129. Tahun 50 H dikuatkan oleh Ibnu Hajar, Fath al-Bâri’,
penjelasan hadits no. 2035. Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 482
171
Sebagaimana disebutkan Ibnu Sa’ad dari Al-Wâqidi, Thabaqât, j. 8, h. 128. Lihat juga
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 482
172
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 218
173
Az-Zahabi berkata di Siyaru A’lam an-Nubalâ’ 2/219, ”Ummu Habîbah ialah salah seorang
putri paman Nabi saw dari jalur ayah. Di antara istri-istri Nabi, istri yang paling dekat nasabnya
94

Sebelum bersuamikan Nabi saw, Ummu Habîbah bersuamikan Ubaidillah

bin Jahsy. 175 Ummu Habîbah dan suaminya telah memeluk Islam sementara ayahnya,

Abû Sufyân, masih kafir. Untuk menghindari gangguan ayahnya, Ummu Habîbah

bersama suaminya hijrah ke Habasyah pada hijrah kedua dalam keadaan hamil tua.

Kemudian di sana ia melahirkan putrinya, Habîbah, sehingga ia biasa dipanggil

Ummu Habîbah.176

Suatu malam Ummu Habîbah pernah bermimpi melihat wajah suaminya

dalam keadaan jelek.177 Ia kemudian menceritakan mimpinya tersebut kepada

suaminya, namun suaminya tidak memperdulikannya. Esok paginya, ternyata

suaminya telah berpindah agama, menjadi Nasrani178 dan suka minum-minuman

keras hingga meninggal dunia.179 Meskipun demikian, Ummu Habîbah tetap

memeluk agama Islam.

Beberapa saat setelah itu, ia pernah bermimpi didatangi seseorang dan

berkata “Wahai Umm al-Mu’minîn.” Ternyata setelah masa ‘iddahnya habis,

datanglah utusan An-Najasyi yang menyebutkan tentang lamaran Nabi saw

dengan beliau ialah Ummu Habîbah.” Sebagaimana dikutip Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istriPara
Nabi, h. 420
174
Diriwayatkan dari Mush’ab bin ‘Abdullah oleh Al-Hâkim di Al-Mustadrak 4/20. Dua nama
Ummu Habîbah tersebut juga disebutkan di Ansâb al-Asyrâf I/438 dan Jawâmi As-Sîrah h. 35. Imam
An-Nawâwî berkata di At-Tahzîb-nya 2/359, “Nama asli Ummu Habîbah ialah Ramlah. Ada lagi yang
mengatakan Hindun. Nama Ummu Habîbah menurut pendapat yang benar dan terkenal ialah Ramlah
dan itulah pendapat sebagian besar ulama.”
175
‘Ubaidillah adalah anak saudara perempuan ayah Nabi Saw, kakak Zainab binti Jahsy
176
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 225
177
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 225, As-Simth ats-Tsamîn, h. 96.
178
yang merupakan agama penduduk Habasyah
179
Lihat Al-Mustadrak, 4/20
95

kepadanya.180 Sebelumnya, Nabi telah mengutus ‘Amr bin Umayyah adh-Dhamri

kepada An-Najasyi untuk melamar Ummu Habîbah yang saat itu berada di Habasyah.

Setelah itu Ummu Habîbah dinikahi Nabi saw yang diwakili oleh An-Najasy,

sekaligus memberikan maharnya sebesar empat ratus dinar.181 Sedangkan dari pihak

Ummu Habîbah diwakili oleh Khalîd bin Sa’îd bin al-‘Ash. 182 Pernikahan tersebut

terjadi pada tahun 7 H.183 Setelah itu Ummu Habîbah dibawa pulang ke Madinah

untuk bertemu Nabi saw dengan diantar Syurahbil bin Hasanah.184. Beberapa saat

kemudian Nabi saw datang bersama kaum muslimin dari perang Khaibar. Saat itu

usia Ummu Habîbah kira-kira 40 tahunan. 185 Pada saat Ummu Habîbah menikah

dengan Nabi saw, ayahnya Abû Sufyân masih musyrik di Mekkah dan memerangi

Nabi saw.

180
Pernyataan di atas adalah perkataan Ummu Habîbah yang diriwayatkan Ibnu Sa’ad dari
Ismâ’îl bin ‘Amr bin Sa’îd Al-Umawî di Thabaqât, j. 8, h. 97-98, Al-Hakim di Al-Mustadrak 4/20-22,
dan Ibnu Zubalah di Al-Muntakhab h. 59-61. Tentang kisah tersebut, Az-Zahabi berkata di Siyaru
A’lam an-Nubalâ’ 2/221, ”Kisah tersebut mungkar.” Muhammad bin Yusuf ad-Dimasyqi, Istri-
istriPara Nabi, h. 421-422
181
Tentang jumlah mahar dan siapa yang melangsungkan akad pernikahan, terdapat perbedaan
pendapat. Tentang mahar, ada yang mengatakan dua ratus dinar dan empat ribu dirham, namun
pendapat pertama (empat ratus dirham) lebih kuat. Imam Nawawi menyebut dalam Tahdzîb-nya 2/359,
”Al-Kalabadzi Abû Nashr berkata, ’An-Najasyi memberi mahar kepada Ummu Habîbah sebesar empat
ribu dirham dan mengirimnya kepada Nabi saw bersama Syurahbil bin Hasanah.’ Abû Nu’aim berkata,
‘An-Najasyi memberi mahar Ummu Habîbah sebesar empat ratus dinar’.” A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri
Para Nabi, h. 421
182
Seorang pembesar Muhajirin dari keluarganya, Bani Umayyah. Lihat Bint Asy-Syâthi’, Istri-
istri Nabi, h. 228-229, A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 421
183
Ibnu Sa’ad di Ath-Thabaqât, Al-Baladzri di Ansâb al-Asyrâf, dan Ibnu Katsir di Al-Fushûl,
mengatakan bahwa itu terjadi pada tahun 7 H. Ada yang mengatakan tahun 6 H, namun pendapat
pertama lebih kuat. Al-Baihaqi menyebutkan di Ad-Dalâil 3/462 dari Ibnu Mandah bahwa An-Najasyi
menikahkan Nabi Saw dengan Ummu Habîbah pada tahun 6 H. Itu pula yang dikatakan Abû Ubaidah
di Tasmiyatu Azwâj an-Nabiy Shallallahu ‘alaihi wasallam, h.64. Itu dinukil Imam Nawâwî di
Tahdzîb-nya 2/359 dari Abû Ubaidah. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 421
184
Diriwayatkan Thabrânî di Al-Kabîr 23/219 dan Al-Basawi di buku Al-Ma’rifah wa at-Târîkh
3/322. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 422
185
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 231
96

Pada suatu hari ayahnya tiba di Madinah186 dan mendatangi Nabi --yang

ketika itu hendak menyerang Mekkah187-- untuk memperpanjang perdamaian

Hudaibiyah, namun Nabi tidak menerimanya. Kemudian ia mendatangi putrinya, dan

ketika hendak duduk di atas kasur Nabi saw, Ummu Habîbah melipat kasur tersebut,

sehingga Abû Sufyân berkata, ”Putriku, apakah engkau lebih mencintai kasur ini dari

pada ayahmu sendiri atau lebih mencintai ayahmu dari pada kasur tersebut?” Ummu

Habîbah menjawab, “Itu kasur Rasûlullâh saw, sedang engkau orang najis dan

musyrik.”188

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Ibnu Abbas r. a. bahwa ketika Nabi saw

menikahi Ummu Habîbah, turunlah ayat:

:
“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antara kalian dengan
orang-orang yang kalian musuhi di antara mereka dan Allah Maha Kuasa dan
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Mumtahanah/60: 7)189

Keutamaannya

Ummu Habîbah mempunyai sifat wara’, hal itu terlihat dari hadits yang

disampaikan ‘Âisyah r.a.:

186
sebagai utusan kaum musyrikin untuk memperbaharui perjanjian dengan Nabi Saw karena
mereka melanggar perjanjian Hudaibiyah. Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 232.jadi tahun ………..
187
yang kemudian Nabi saw dan kaum Muslimin berhasil menaklukkan Makkah. Peristiwa
tersebut dalam sejarah dikenal dengan “Fathu Makkah”. Pada peristiwa itu Abû Sufyân masuk Islam.
188
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 421. Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 232-233
189
Diriwayatkan Ibnu Sa’ad 8/99 dan Al-Baihaqi di Ad-Dalâil 3/459. As-Sayûthi di Ad-Durr al-
Mantsûr 8/130 mensanadkan hadits di atas kepada Abd. Bin Humaid, Ibnu Al-Munzir, Ibnu ‘Adi, Ibnu
97

“Ketika Ummu Habîbah, istri Rasûlullâh saw hendak meninggal dunia, ia


memanggilku dan berkata, ’Sungguh telah terjadi pada kita apa yang biasa
terjadi pada sesama istri madu. Mudah-mudahan Allah mengampuni itu semua
dan aku menghalalkanmu dari itu semua. ’Aku berkata, ‘Engkau telah
menggembirakanku, mudah-mudahan Allah menggembirakanmu.’ Ummu
Habîbah juga mengutus orang kepada Ummu Salamah dengan membawa
pesan seperti di atas.”190

Selain itu, Ummu Habîbah juga konsisten dengan hadits Nabi saw,

sebagaimana diriwayatkan Zainab binti Ummu Salamah yang berkata:

“Yahya bin Yahya telah menceritakan kepada kami, ia berkata: saya


membacakan kepada Mâlik dari ‘Abdullâh bin Abû Bakr dari Humaid bin Nâfi’
dari Zainab binti Abu Salamah, ia berkata bahwa Zainab berkata: Aku masuk
kerumah Ummu Habîbah istri Rasûlullâh saw ketika ayahnya, Abû Sufyân
wafat. Ia meminta diambilkan wewangian berwarna kuning atau warna
lainnya, kemudian budak wanitanya meminyakinya dengan wewangian tersebut
hingga menyentuh pipinya. Ummu Habîbah berkata, ’Aku tidak membutuhkan
wewangian, hanya saja aku mendengar Rasûlullâh saw bersabda di atas

Mardawaih, Al-Baihaqi, dan Ibnu ‘Asâkir dari jalur Al-Kalbi dari Abû Shâlih dari Ibnu ‘Abbâs r.a.
Baca Târîkh ad-Dimasyqa 1/171. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 422
190
Diriwayatkan al-Hâkim 4/22-23, Ibnu Al-Jauzi di Shifah ash-Shafwah 2/46, dan Ibnu Sa’ad
di Ath-Thabaqât 8/100. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 428-429
98

mimbar: Wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir tidak halal berhias
karena kematian mayit lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya
yaitu selama empat bulan sepuluh hari.’”191

َ
“Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami,
Abû Khâlid yaitu Sulaimân bin Hayyân telah menceritakan kepada kami dari
Dawud bin Abû Hind dari Nu’mân bin Sâlim dari ‘Amr bin Aus berkata:
‘Anbasah bin Abû Sufyân dalam keadaan sakit yang menimbulkan kematiannya
telah menceritakan kepadaku: Saya mendengar Ummu Habîbah berkata, saya
mendengar Rasûlullâh saw bersabda, ’Barang siapa mengerjakan shalat dua
belas raka’at sehari semalam, rumah di surga dibangunkan untuknya karena
shalat-shalat tersebut.’ Ummu Habîbah berkata, ‘Aku tidak meninggalkan
shalat-shalat tersebut semenjak aku mendengarnya dari Rasûlullâh saw.’192

Sebelum wafatnya, Ummu Habîbah meminta maaf kepada ‘Âisyah dan

Ummu Salamah, sebagaimana diceritakan hadits diatas. Ia dikuburkan di pekuburan

Bâqi’. Terdapat perbedaan pendapat mengenai tahun wafat Ummu Habîbah. Ada

yang mengatakan Ummu Habîbah wafat pada tahun 44 H pada masa kekhalifahan

191
Diriwayatkan Bukhâri di Kitâb Jenâzah, bab ’wanita tidak berhias kepada selain suaminya’,
hadits no. 1280, dan Muslim –redaksi di atas menurutnya—di kitab perceraian, bab ‘kewajiban tidak
berhias bagi wanita yang menjalani ‘iddah kematian’, hadits no. 1486. Ibnu Atsîr di Jâmi‘ al-Ushûl
8/149 mensanadkan hadits di atas ke sisa enam buku hadits. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h.
429
99

Muawiyah bin Abû Sofyan.193 Ada juga yang mengatakan ia wafat satu tahun

sebelum wafatnya Muawiyah pada tahun 59 H.194 Selain itu, ada pendapat yang

mengatakan ia wafat tahun 42 H.195 Namun pendapat pertama lebih kuat.196

11. Maimunah binti Al-Harits

Maimunah binti Al-Harits adalah wanita terakhir yang dinikahi Nabi saw.197

Ia sebelumnya bernama Barrah, sampai kemudian Nabi Muhammad saw

mengubahnya menjadi Maimunah.198 Menurut Bint Asy-Syâthi’, Nabi saw menamai

Barrah dengan “Maimunah” karena resepsi pernikahan beliau dengan Barrah terjadi

pada waktu yang dipenuhi berkah dan kemenangan, di mana beliau memasuki

Mekkah untuk pertama kalinya setelah tujuh tahun berselang, dan beliau membawa

serta pengikut-pengikutnya dalam keadaan aman, tidak takut terhadap apapun.199

Maimunah adalah putri Al-Hârits bin Hazn bin Bujair bin Al-Huzâm bin

Ruwaibah bin ‘Abdullah bin Hilâl bin ‘Âmir bin Sha’sha’ah bin Muawiyah (bin

192
Diriwayatkan Muslim di ‘Shalatnya para musafir dan qasharnya’, bab ‘Keutamaan shalat-
shalat rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu, serta penjelasan tentang shalat-shalat rawatib
tersebut’, hadits no.828. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 429
193
Al-Qurthûbî, Al-Istî‘âb, j. 4, h. 1845. Hanya pendapat itu yang ada menurut Ibnu Sa’ad di
Thabaqât, j. 8, h. 100. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 424
194
Imam An-Nawâwî, Tahdzîb j. 2, h. 359. Namun riwayat di atas dianggap lemah oleh Imam
Nawâwî dan Ibnu Hajar dalam pembahasan biografi Ummu Habîbah. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para
Nabi, h. 424
195
Pendapat Ibnu Hibban dan Ibnu Qani’ dalam Al-Ishabah j. 7, h. 654 di pembahasan biografi
Ummu Habîbah. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 424
196
Imam An-Nawâwî, Tahdzîb, menukil dari Ibnu ‘Asâkir, Tarikh ad-Dimasyqa, menyatakan
bahwa Ummu Habîbah pergi ke Damaskus untuk mengunjungi saudaranya, Muawiyah. Ada yang
mengatakan ia wafat di sana. Yang benar ia wafat di Madinah. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi,
h. 424
197
Maksudnya di antara wanita yang beliau gauli. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 462,
Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqat Al-Kubra, j. 7, h. 132.
198
Maimunah adalah pecahan kata al-Yumnu yang berarti keberkahan, dan kata al-mainun yang
berarti diberkahi, menurut Imam Nawâwî di Tahdzîb-nya, j. 2, h. 356. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri
Para Nabi, h. 455
100

Bakr) bin Hawâzin bin Manshûr bin ‘Ikrimah bin Khashafah bin Qais Ailan. Dengan

demikian, Maimunah binti al-Harits berasal dari kabilah Al-Hilal. 200

Ibu Maimunah adalah Hindun binti ‘Auf201 bin Zuhair (bin Al-Hârits) bin

Hamathah bin Himyâr. Ada yang mengatakan bahwa wanita termulia yang pernah

mempunyai menantu-menantu202 (atau wanita tua yang paling mulia menantu-

menantunya203?) adalah Hindun binti ‘Auf, karena menantu-menantunya adalah:

1. Nabi saw

2. Abû Bakar r.a.

3. Hamzah bin ‘Abdul Muthâlib r.a.

4. Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muthâlib r.a.

5. Ja’far bin Abû Thâlib r.a.

6. Ali bin Abû Thâlib r.a

7. Syadad bin Al-Had r.a.204

Adapun putri-putrinya yang merupakan saudara perempuan Maimunah yang

menikah dengan tokoh-tokoh tersebut adalah:

1. Ummu Al-Fadhl Lubabah Al-Kubrâ, istri Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muthâlib r.a. Ia

adalah wanita pertama yang beriman kepada Nabi saw setelah Khadîjah r.a.205

199
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 268
200
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 455
201
Dalam Tahdzîb, j. 2, h. 356, Imam Nawâwî menyebut nama ibu Maimunah adalah Hindun
binti ‘Amr. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 455
202
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 457
203
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 266
204
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 457
205
Ia adalah wanita bangsawan yang dalam sejarah Islam diterangkan bahwa ia pernah memukul
Abû Lahab ketika Abû Lahab masuk ke rumah adiknya, Al-‘Abbas, dan menyeret budaknya, Abû
101

2. Lubabah As-Shughrâ, istri Walîd bin Mughîrah Al-Makhzûmi dan Ibu Khâlid bin

Wâlid.

3. ‘Ashma’ binti Al-Hârits.206 Ia diperistri Ubay bin Khalaf dan melahirkan Abû

Ubay.207

4. ‘Azzah binti Al-Hârits. Ia diperistri Ziyâd bin ‘Abdullah bin Mâlik Al-Hilâli.

Mereka adalah saudara perempuan sekandung Maimunah. Sedangkan

berikut adalah saudara perempuan se-ibu Maimunah:

1. Asmâ’ binti ‘Umais. Ia diperistri Ja’far bin Abû Thalib. Dari pernikahannya

dengan Ja’far ia melahirkan Abdullah, Muhammad, dan ‘Aun. Setelah Ja’far bin

Abû Thalib gugur sebagai syahid, Asma’ binti Umais dinikahi Abû Bakar r.a.

dan melahirkan Muhammad bin Abû Bakar. Setelah Abû Bakar wafat, ia dinikahi

Ali bin Abû Thâlib r.a. yang kemudian melahirkan Yahya bin Ali bin Abû Thâlib.

2. Salmâ binti ‘Umais. Ia diperistri Hamzah bin ‘Abdul Muthâlib r.a. dan

melahirkan Amatullâh208 binti Hamzah. Setelah Hamzah bin Abdul Muthâlib r.a.

Rafi’ dan memukulinya hanya karena Abû Rafi’ masuk Islam. Melihat hal itu maka Ummu al-Fadhl
bangkit mengambil kayu yang ada disana lalu kemudian dipukulkan ke kepala Abû Lahab sehingga
menyebabkan luka yang mengkhawatirkan, sambil berkata: “Engkau menganggap dia lemah karena
tuannya tidak ada di sini?” Setelah itu Abû Lahab hidup tujuh hari lagi karena penyakit yang
ditimpakan Allah kepadanya yang menyebabkan kematiannya. Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h.
265 mengutip dari Ibnu Hisyam, As-Sîrah, Juz II, h.301
206
Menurut Ibnu Sa’ad di Ath-Thabaqât, j. 8, h. 279, Lubabah As-Shughra adalah ‘Ashma’.
Sedang pendapat kedua, yaitu sebagaimana pendapat diatas, adalah menurut Muhammad bin Yusuf ad-
Dimasyqi dalam A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 456
207
Menurut Muhammad bin Yusuf ad-Dimasyqi dalam Istri-istri Para Nabi. Sedang menurut
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 266, ‘Ashma’ binti Al-Hârits melahirkan Abân.
208
Itu adalah namanya di buku aslinya, menurut Abû ‘Umar di Al-Qurthubi, Al-Istî’âb, j. 4, h.
1861. Yang benar namanya ialah Umamah menurut Al-Hâfiz Ibnu Hajar di Al-Ishâbah. Al-Khatib
menyebutkan bahwa Al-Wâqidi menamakannya ‘Imârah dan Ibnu As-Sakan menamakannya
Fathimah. Baca Al-Hâfiz Ibnu Hajar, Al-Ishâbah, j. 7, h. 500-501. Ibnu Sa’ad membuat biografi
102

wafat, ia dinikahi Syadad bin Usamah bin Al-Had Al-Laitsi dan melahirkan

Abdullah dan Abdurrahman.

3. Salamah binti ‘Umais. Ia diperistri Abdullah bin Ka’ab bin Munabbih Al-

Khats’ami. 209

Empat bersaudara yang terdiri dari Maimunah binti Al-Hârits dan kakaknya,

Ummu Fadhl Lubabah al-Kubrâ binti Al-Hârits serta dua adik se-ibu Maimunah yaitu

Asma’ dan Salma binti Umais dinamai Nabi saw dengan “wanita-wanita bersaudara

yang beriman.”210

Sebelum dinikahi Nabi saw, ia bersuamikan Abû Ruhm bin ‘Abd al-‘Uzza

al-Amîri al-Qurasyi dari Bani Mâlik bin Hisl.211 Sebelumnya Maimunah belum

beragama Islam, namun hatinya telah terpikat kepada Agama Islam. Pada saat Nabi

saw melakukan umrah pengganti212 di tahun 7 H213 ia terpikat kepada Nabi saw dan

secara diam-diam memberitahukan kepada kakaknya, Ummu al-Fadhl. Ia kemudian

menyerahkan persoalan tersebut kepada kakaknya, yang kemudian

menyampaikannya kepada suaminya, ‘Abbas bin Abdul Muthâlib, yang tidak lain

adalah paman Nabi saw. Kemudian Abbas menemui Nabi saw untuk menyampaikan

khusus tentang dia dan menamakannya Umâmah. Ketika Ibnu Sa’ad di Ath-Thabaqât j. 8, h. 48 dan
285 membuat biografi tentang ibunya, Salmâ binti Umais, Ibnu Sa’ad menamakannya ‘Imârah.
209
Lihat A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 456-457 dan Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri
Nabi, h. 265-266
210
Lihat Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 265-266
211
Terdapat perbedaan pendapat mengenai nama suaminya tersebut. Ada yang mengatakan
Farwah bin Abdul ‘Uzza bin Asad bin Ghanm bin Dudan, Lihat Al-Qurthûbî, Al-Istî‘âb, j. 4, h. 1917,
Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah, j. 8, h. 127.
212
Disebut umrah pengganti karena umat Islam gagal melaksanakan umrah pada tahun 6 H
karena dihalang-halangi oleh kaum musyrikin Mekkah, sehingga dilakukanlah umrah pada tahun
berikutnya. Lihat Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 263-265
103

hal tersebut, dan Nabi saw menerimanya.214 Dalam suatu riwayat, Maimunah inilah

yang menyerahkan dirinya kepada Nabi saw,215 sebagaimana diterangkan dalam ayat

yang diturunkan oleh Allah mengenai dirinya:


: / …
“ … dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi, kalau
Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua
orang mukmin …“ (Q. S. Al-Ahzâb/33: 50)

Ibnu Hisyam di As-Sîrah an-Nabawiyah216 menyebutkan alasan mengapa

Maimunah binti Al-Harits menyerahkan dirinya kepada Nabi saw: “Itu karena

lamaran Nabi saw ia terima ketika mengendarai unta, kemudian ia berkata, ’Unta ini

dan apa saja yang ada di atasnya menjadi milik Allah dan Rasul-Nya.’ Kemudian

Allah Ta’ala menurunkan ayat tersebut.”

Saat menikah dengan Nabi, ia adalah janda berumur 26 tahun yang ditinggal

mati suaminya.217 Pernikahannya dengan Nabi terjadi pada tahun 7 H.218 Resepsi

pernikahan mereka terjadi di Sarif. 219

213
Setelah melaksanakan perang Khaibar dan kembalinya kaum Muhajirin dari Habasyah. Bint
Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 263
214
Lihat A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 457-459
215
Ibnu Hajar berkomentar, ”Ada yang mengatakan bahwa wanita yang menyerahkan dirinya
kepada Rasulullah itu bukan Maimunah binti Al-Hârits. Ada lagi yang mengatakan bahwa wanita yang
menyerahkan dirinya kepada Rasulullah itu banyak, dan itulah pendapat yang paling mendekati
kebenaran. Ibnu Hajar, Al-Ishâbah, j. 8, h. 127. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 458
216
h. 646
217
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 266
218
Menurut kesepakatan ulama. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 462
104

Mengenai kehidupan Maimunah, para ahli sejarah Islam dan para penulis

biografi sahabat-sahabat Nabi saw tidak banyak menerangkan, selain peristiwa

seputar kecemburuannya terhadap istri Nabi yang lain seperti terhadap ‘Âisyah yang

mendapat kelebihan sebagai istri yang dicintai Nabi saw, dan terhadap Mariyah,

seorang budak yang dianugerahi kemuliaan menjadi ibu dari Ibrahim, putra Nabi

saw.220 Mereka hanya menyebutkan bahwa Nabi saw sedang berada di rumah

Maimunah saat beliau sakit keras. Dalam keadaan sakit yang kemudian membawa

maut kepada beliau, Maimunah dengan segala kerelaannya segera mengizinkan Nabi

untuk dibawa pindah ke rumah yang paling beliau senangi yaitu rumah ‘Âisyah.221

Maimunah wafat pada pertengahan abad pertama Hijriyah222 dan

dimakamkan di Sarif223 sesuai dengan wasiatnya untuk dimakamkan di tempat yang

ia senangi, tempat yang penuh kenangan dengan Nabi saw di mana ia mengadakan

pertemuan dan hubungan yang pertama dengan Nabi saw di sana, di tempat kemah

yang dibangun Nabi saw untuknya.224 Ath-Thabrâni meriwayatkan dari Muhammad

219
atau Saraf menurut Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 268. Di tempat ini ia ia mengadakan
pertemuan dan hubungan pertama dengan Nabi. Tempat ini mempunyai kenangan yang indah baginya
sehingga ia berwasiat bila meninggal nanti agar dikuburkan ditempat tersebut.
220
Lihat Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 268-269
221
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 269
222
Mengenai tahun pastinya Al-Waqidi menegaskan di Ibnu Sa’ad, Thabaqât, j. 8, h. 140 yaitu
tahun 61 H. Mengenai hal ini Az-Zahabi berkomentar, “Maimunah binti al-Hârits tidak hidup hingga
tahun tersebut, karena ia wafat sebelum ‘Aisyah.” Itu pula yang dikatakan Al-Hâfiz Ibnu Hajar Al-
‘Atsqalâni di Al-Ishâbah, j. 8, h. 128.
223
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 269
224
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 463
105

bin Ishâq bahwa Maimunah binti Al-Hârits wafat di perang Harrah pada tahun 63

H.225

Keutamaannya

Mengenai keutamaannya, ‘Âisyah pernah berkata, “… Sungguh, demi

Allah, Maimunah adalah orang paling takwa di antara kami, dialah yang paling

banyak menghubungkan silaturrahim di antara kami.”226

225
Al-Harrah adalah perbatasan tanah haram Madinah dari arah timur. Di tempat tersebut pernah
terjadi perang yang terkenal antara pasukan Yazîd bin Mu’âwiyah dengan komandan perang Muslim
bin ‘Uqbah Al-Muzânî –generasi salaf menamakannya Musrif bin Uqbah— dengan penduduk
Madinah yaitu para sahabat dan selain mereka. Di perang tersebut, banyak sekali korban yang jatuh
dan Madinah dihalalkan selama tiga hari. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 463
226
Sebagaimana diceritakanYazid bin Aslam. Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 269
106

Budi Pekerti Keluarga Nabi Muhammad

33:
----------

Tafsir (Q. S. Al-Ahzab/33: 50)

Setelah pada ayat-ayat yang lalu Allah swt menerangkan soal perkawinan secara

global, maka pada ayat berikut ini Allah menerangkan wanita-wanita yang boleh

dinikahi oleh Nabi saw secara terperinci. Tafsir UII, jilid VII, juz 21

Kelonggaran-kelonggaran ini hanya khusus untuk Nabi, tidak untuk semua

mukmin. dalam pengertian bahwa jika ada seorang wanita yang menyerahkan dirinya

untuk dinikahi oleh seorang muslim, walaupun wanita tersebut menyerahkan dirinya

secara suka rela, maka mas kawinnya tetap wajib dibayar. Berbeda jika wanita itu

menyerahkan dirinya untuk dinikahi oleh Nabi saw, maka ia boleh dinikahi tanpa mas

kawin.
107

Kesimpulan:

1. Allah menghalalkan Bagi Nabi Muhammad untuk menikahi beberapa wanita

termasuk keluarganya yang bukan mahramnya yang sama-sama hijrah dari

Mekkah ke Madinah.

2. Seorang perempuan yang menghibahkan dirinya untuk Nabi saw boleh

dinikahi oleh beliau tanpa mas kawin, hal ini berlaku khusus untuk Nabi saw

saja dan tidak berlaku untuk orang lain.

3. Nabi diperbolehkan pula mencampuri hamba-hamba sahaya (jariyah) yang

diperoleh dari peperangan atau sebagai hadiah.

Tafsir UII, jilid VII, juz 21

Di h. 95227

227
Perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian antara kaum musyrik Mekkah dengan kaum
muslimin yang terjadi pada tahun………. Adapun isi perjanjian Hudaibiyah itu
adalah………………………
BAB III

KEDUDUKAN ISTRI-ISTRI NABI SAW DALAM AL-QURAN

Al-Qur’an sebagai kitab suci, ayat-ayatnya merupakan petunjuk dan

pedoman bagi hidup dan kehidupan manusia. Ayat al-Qur’an ada yang turun

berkaitan dengan sebab tertentu. Ayat tersebut ada yang berlaku umum dan ada pula

yang berlaku khusus. Ayat-ayat yang secara khusus berkaitan dengan peristiwa di

lingkaran istri-istri Nabi saw, meskipun kasusnya bersifat personal dan insidentil

(pada seorang atau beberapa orang istri Nabi saw), tetapi memiliki implikasi hukum

yang bersifat mengikat kepada seluruh ummat Islam (al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafzi lâ bi

khushûsh as-sabab). Dengan demikian kita dapat mengambil hikmah dari setiap ayat

yang turun.

Al-Qur’an sangat menekankan pentingnya Nabi Muhammad saw sebagai

pembawa risalah dan pentingnya dakwah Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia.

Oleh karena itu, Allah swt sangat menghormati Nabi Muhammad saw sebagai

utusannya, termasuk istri-istrinya yang mendapat gelar kehormatan dari Allah sebagai

Ummahât al-Mu’minîn yang mempunyai peranan sangat penting bukan hanya dalam

mendukung dakwah Nabi, Nabi juga sebagai penerus dan penyambung misi Nabi

baik ketika Nabi saw masih hidup maupun setelah wafatnya. Hal ini terbukti di mana

sejarah telah mencatat bahwa para sahabat menjadikan istri-istri Nabi saw sebagai

tempat rujukan ilmu. Demikianlah di antara peran yang dilakukan istri-istri Nabi saw
107

untuk mendukung Nabi saw sehingga agama Islam menjadi tersebar dan menjadi

agama yang besar dan agung di dunia.

Oleh karena itu, maka Allah swt dalam beberapa ayat al-Qur’an memberikan

penghormatan kepada para istri Nabi saw sekaligus bimbingan bagi mereka agar

senantiasa benar dalam melangkah karena mereka adalah teladan dan panutan umat

Islam.

A. Keistimewaan dan Keutamaan Istri-istri Nabi saw

Semua istri-istri Nabi saw yang mendapat gelar Ummahât al-Mu’minîn,

memiliki keutamaan. Keutamaan tersebut lahir karena kedudukan mereka sebagai

istri Nabi saw, dan karena menjadi inspirasi bagi pandangan sistem keagamaan

terhadap perempuan secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena istri-istri Nabi

saw disamping beberapa menjadi tokoh penyebab turunnya ayat atau masuk dalam

lintasan topik bahasan ayat, tetapi juga mereka menjadi perpanjangan tangan Nabi

saw dalam bidang-bidang hukum tertentu yang tidak disampaikan Nabi saw secara

terbuka di hadapan publik atau orang-orang terdekatnya.1

1. Balasan yang Berlipat Ganda

Istri-istri Nabi saw mempunyai kedudukan yang istimewa karena mereka

adalah pendamping seorang Nabi. Kedudukan suami mereka sebagai Nabi dan utusan

1
Misalnya ‘Âisyah yang menjadi rujukan para sahabat setelah Nabi wafat, ia banyak
mengeluarkan fatwa dan meriwayatkan sebanyak 2.210 hadits dari Nabi. Dari jumlah tersebut 174
buah muttafaq ‘alaih, 64 buah infarada bih al-Bukhârî dan 68 buah infarada bihi al-Muslim. Lihat
Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1987), Cet. V, h. 253
108

Allah adalah sebuah kedudukan yang sangat tinggi yang berbeda dari manusia

lainnya. Hal ini menyebabkan kedudukan mereka sebagai istri Nabi tidaklah ringan

dikarenakan menuntut adanya keteladanan dan tanggung jawab yang melebihi

tanggung jawab perempuan muslimah biasa. Oleh karena itu pula, istri-istri Nabi saw

sebagai Ummahât al-Mu’minîn mempunyai kekhususan secara hukum agama

terhadap ‘amal mereka, yaitu berlipatgandanya balasan. Bila di antara mereka ada

yang melakukan perbuatan yang keji, maka akan dilipatgandakan hukuman bagi

mereka. Sebaliknya, bila melakukan amal shaleh, pahala mereka dilipatgandakan,

bahkan mereka akan mendapatkan rezeki yang mulia (surga). Firman Allah:

“Hai isteri-isteri Nabi, baranga siapa di antara kamu mengerjakan


perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat gandakan siksaan kepada
mereka dua kali lipat. Dan demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Q. S. al
Ahzâb/33: 30)

:
“Dan barang siapa di antara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat
kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami
memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki
yang mulia.” (Q. S. al-Ahzâb/33: 31)

Pada ayat 30 Allah swt memperingatkan istri-istri Nabi saw agar selalu

menjaga diri mereka. Karena mereka adalah ibu dari seluruh kaum Muslimin dan
109

menjadi contoh teladan bagi mereka. Perintah Allah itu ialah : “Barang siapa di antara

istri Nabi saw yang mengerjakan ‫ ﻓﺎﺣﺸﺔ‬, perbuatan keji, perbuatan yang terlarang dan

sebagainya, maka mereka akan memperoleh azab dua kali lipat dari azab yang

diterima orang biasa.” Pemberian azab dua kali lipat kepada istri-istri Nabi saw ini

ialah karena para istri Nabi saw termasuk orang-orang yang telah mengetahui dengan

sebenarnya perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, di samping mereka juga

adalah penjaga rumah tangga Nabi saw dari segala perbuatan yang jahat yang

mungkin terjadi di dalamnya.2

Kata ‫ ﻓﺎﺣﺸﺔ‬sendiri biasa diartikan sebagai perbuatan yang sangat keji. Ulama

berpendapat bahwa jika kata tersebut berbentuk definitive ma’rifah, yakni pada awal

katanya dibubuhi alif dan lam (‫) اﻟﻔﺎﺣﺸﺔ‬, maka yang dimaksud adalah perzinahan dan

semacamnya. Namun bila tanpa alif dan lam, maka yang dimaksud adalah dosa

secara umum.3

Memang, manusia tidak luput dari dosa. Demikian pula istri-istri Nabi saw.

Allah swt membuka kemungkinan tersebut pada diri mereka. Meskipun demikian,

perlu digarisbawahi bahwa ancaman ayat di atas adalah bila mereka melakukan dosa

yang demikian jelas, bukan dosa yang merupakan hal-hal kecil, apalagi yang tidak

2
Team Tafsir UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VII, (T.Tmp: Universitas Islam Indonesia,
1995), h. 757-758
3
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Cet. I, vol. 11, h. 259
110

jelas. Dosa dimaksud antara lain nusyuz4 yakni bersifat angkuh dan membangkang

perintah Nabi saw dalam kedudukan beliau sebagai suami. 5

Dalam kenyataannya, istri-istri Nabi saw pernah membuat masalah yang

menjadikan Nabi saw memisahkan diri dari mereka selama satu bulan atau kira-kira

29 hari, sebagaimana dijelaskan mengenai sebab nuzul Q. S. al-Ahzab/33: 28-29:

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian


mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya
kuberikan kepadamu mut’ah6 dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.
Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta
(kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi
siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.” (Q.S. al-Ahzâb/33:
28-29)

Dalam sebuah riwayat dari Imam Bukhari dan Muslim serta Imam Tirmidzi

yang diterima dari Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir, Ibnu Hatim, Ibnu Mardawaih dan

Baihaqy, mereka menerimanya dari ‘Âisyah ra.: “Bahwa Nabi saw mendatanginya

(‘Âisyah ), ketika disuruh Allah untuk menguji dan menyeleksi istri-istrinya. ‘Âisyah

berkata bahwa Nabi saw memulai dari dirinya sambil berkata: “Aku akan

mengingatkanmu satu hal, kamu tidak perlu tergesa-gesa sehingga meminta

keputusan orang tuamu.” Nabi saw tahu bahwa kedua orang tuaku tidak menyuruhku
4
Lihat foot note no. 69 Bab II
5
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Cet. I, vol. 11, h. 259
6
Mut’ah adalah suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan
menurut kesanggupan suami. Khadîm al-Haramain asy-Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 671
111

meninggalkan beliau. Lalu Nabi saw mengemukakan ayat 28 Surah al-Ahzâb sampai

selesai. Setelah itu aku berkata kepadanya: “Dalam hal apa aku harus meminta

keputusan orang tuaku?, karena aku menginginkan Allah dan Rasul-Nya serta

kebahagian akhirat.” Kemudian istri-istri Nabi saw yang lain mengikuti apa yang aku

lakukan.”7

Banyak yang meriwayatkan komunikasi Nabi saw dengan istrinya berkaitan

dengan ayat 28 Surah al-Ahzâb seperti yang dikemukakan di atas. Di antaranya

riwayat Ibnu Said dari Abi Ja’far dengan kandungan yang sama.8 Dalam riwayat Ibnu

Mundzir, Ibnu Abid Hatim dan Ibnu Mardawaih dari ‘Âisyah , dikabarkan Nabi saw

terlebih dahulu menjauhi istri-istrinya (al-hajru) selama satu bulan kemudian

mendatangi ‘Âisyah untuk yang pertama kali sambil mengungkapkan seperti apa

yang terdapat pada hadits sebelumnya.9

Sementara dalam riwayat lain dari Ibnu Said dari Umar Ibnu Said dari ayah

dan kakeknya meriwayatkan bahwa Nabi saw menyeleksi dan menguji istri-istri

beliau,10 dan semuanya memilih Allah dan Nabi-Nya kecuali Al-‘Amiriyyah ia lebih

memilih kaumnya. Menurut riwayat Ibnu Janah perempuan bernama al-‘Amiriyyah

tidak memilih Nabi saw dan kemudian ia hilang akal sampai wafatnya.11

7
Jalâl ad-Dîn bin ‘Abd ar-Rahmân bin Abû Bakr as-Sayûthî, selanjutnya disebut As-Sayûthî,
Ad-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr bi al-Ma’tsûr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), juz. 5, h. 371.
8
As-Sayûthî, Ad-Durr al-Mantsûr, juz. 5, h. 371.
9
As-Sayûthî, Ad-Durr al-Mantsûr, juz. 5, h. 371.
10
ketika ayat ini turun, kebanyakan ulama berpendapat bahwa jumlah istri Nabi pada saat itu
ada sembilan orang dari sebelas orang, karena di antara mereka ada yang telah wafat mendahului Nabi,
yaitu Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah.
11
al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, Juz 21, h. 182. Meskipun demikian, riwayat tentang al-‘Amîriyah
tidak populer.
112

Munculnya perintah Allah untuk menguji dan menyeleksi istri-istri Nabi saw

tersebut, menurut salah satu riwayat dilatar belakangi oleh keluhan para istri Nabi

saw ketika Nabi saw mendapatkan kemenangan dalam sebuah peperangan dengan

bani Nadzir dan bani Quraidzah. Para istri Nabi saw menyangka Nabi saw

mendapatkan harta simpanan kaum Yahudi tersebut, kemudian mereka mengelilingi

beliau sambil menyebut-nyebut kemegahan puteri-puteri kisra (kaisar Persia),

sementara mereka kesempitan. Nabi saw teramat pedih mendengar keluhan istri-

istrinya, kemudian Allah menyuruh membacakan ayat yang berkaitan dengan posisi

dan kedudukan mereka.12

Ilustrasi al-Qur’an yang antroposentris mengenai istri-istri Nabi saw seperti

terdapat pada dua ayat di atas, menyimpulkan adanya kemungkinan muncul karakter-

karakter alamiah (thabî’iy) pada diri istri-istri Nabi saw, sebagaimana halnya kaum

perempuan biasa. Akan tetapi mereka secara kualitas keagamaan telah teruji sehingga

sisi-sisi humanistik dan tabiat-tabiat destruktif menjadi tereliminir melalui bimbingan

Nabi saw, dan Nabi saw sendiri melakukan pendekatan-pendekatan dan komunikasi

yang biasa kepada istri-istrinya sebagaimana layaknya seorang suami pada

umumnya, kepada para istrinya.

Dari gambaran komunikasi Nabi saw dengan istri-istrinya seperti di atas,

dapat disimpulkan bahwa Nabi saw memperlakukan semua istri-istrinya sebagaimana

umumnya para suami: menghormati hak-hak istri, mendengarkan keluhan dan

memberi peringatan (nasihat) kepada istri-istrinya. Dalam kaitannya dengan keluhan


12
al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 21, h. 182.
113

para istri Nabi saw, dapat dipandang dari dua sisi: pertama, hal yang manusiawi

(basyariah) jika para istri tersebut terkadang tampil dengan karakternya yang umum;

mengeluh, memiliki keinginan dan hasrat, cemburu, iri dan lain sebagainya, karena

mereka adalah manusia biasa, kedua, peristiwa yang berkaitan dengan istri Nabi saw

bertujuan memberikan pelajaran (ibrah) kepada ummatnya, berkaitan dengan hukum

dan ajaran Islam mengenai kedudukan dan posisi istri-istri Nabi saw yang mulia dan

istimewa. Di antara keistimewaannya itu adalah mereka mendapatkan dua kali lipat

kebaikan dan pahala dibanding perempuan muslimin pada umumnya.13

Dalam pandangan Muhammad ar-Râzî, ancaman yang diberikan Allah

terhadap para istri Nabi saw dengan dua kali lipat azab jika mereka berbuat

fâhisyah,14 mengandung dua hikmah; pertama, perempuan biasa, jika berzina diberi

azab karena zina mengandung kemafsadatan (mafâsid) sementara istri Nabi saw jika

berzina disamping karena mafâsid juga karena dosa menyakiti hati dan perasaan Nabi

saw, serta merendahkan kedudukannya sebagai makhluk yang terhormat, kedua,

menunjukan kepada kemuliaan para istri Nabi saw, karena sebenarnya istri Nabi

dipelihara oleh Allah dari berbuat dosa.15 Jika perempuan merdeka mendapat sangsi

13
Seperti dijelaskan oleh riwayat Abû Hâtim dari Rabî’ Ibnu Anas yang dikutip oleh al-Alûsî
dalam Rûh al-Ma’ânî, penghargaan kelipatan ganjaran yang menjadi hak para istri Nabi, adalah
penghargaan Allah kepada mereka atas kemuliaan dan keutamaan mereka. Penghargaan tersebut
menjadi hak mereka di dunia dan di akhirat serta tidak hanya diberikan ketika Nabi masih hidup tetapi
juga menjadi hak ketika mereka sudah ditinggalkan Nabi (wafat). Ibid., Juz 22, h. 2.
14
Kata fâhisyah atau fawâhisy adalah perbuatan dosa yang dilakukan secara berpasangan antara
laki-laki dan perempuan seperti zina, liwath. Seperti juga dijelaskan as-Sayûthî dalam ad-Durr al-
Mantsûr, j. 5, h. 371.
15
Muhammad Ar-Râzî Fakhruddîn Ibnu al-‘Allâmah Dhiyâuddîn ‘Umar, selanjutnya disebut
ar-Râzî, Tafsir al-Fakhr ar-Râzî/At-Tafsîr al-Kabîr/Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), Juz
25, h. 208
114

lebih besar dibanding hamba sahaya, bisa menjadi tanda atas kemuliaannya, demikian

pula para istri Nabi karena penisbahannya kepada beliau mendapatkan status

terhormat, karena Nabi lebih utama dibanding diri mereka sendiri.16

Pelipatgandaan azab adalah sesuatu yang amat mudah bagi Allah, sekalipun

terhadap istri-istri Nabi bila mereka berbuat dosa. Hal ini dikarenakan status mereka

sebagai istri Nabi, panutan umat, sehingga perbuatan maksiat yang bersumber dari

mereka lebih berbahaya dari pada perbuatan maksiat yang dilakukan oleh orang

biasa.17 Oleh karena itu, celaan orang terhadap orang ‘alim/orang yang mengetahui

yang berbuat maksiat lebih keras dari pada kepada orang bodoh/yang tidak tahu yang

melakukan maksiat.18

Berdasarkan ayat 30 ini, sebagian ulama menetapkan hukum bahwa untuk

tindakan kejahatan yang sama jenisnya, maka hukuman yang akan diterima oleh

orang-orang yang tahu itu lebih berat dari hukuman yang akan diterima oleh orang

yang tidak tahu. Orang yang tahu telah tahu akibat dari sesuatu perbuatan. Jika ia

melakukan perbuatan itu berarti ia melakukan dengan penuh kesadaran, sedang yang

tidak tahu ia mengerjakan tindakan kejahatan itu, tidak berdasarkan kesadaran dalam

arti yang sebenarnya. Karena itu wajiblah orang-orang tahu itu memperoleh hukuman

dua kali lipat dari hukuman yang diperoleh orang yang tidak tahu. 19 Oleh karena itu

maka hukuman bagi istri Nabi berlaku pula bagi orang yang tahu. Orang yang tahu

16
ar-Râzî, Tafsir ar-Râzî, Juz 25, h. 208
17
Ahmad Mushthafâ Al-Marâghî, selanjutnya disebut al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Jilid VII,
(Beirût: Dâr al-Fikr, 1995), h. 154
18
al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Jilid VII, h. 154
19
Team Tafsir UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VII, h. 758
115

memperoleh hukuman dua kali lipat dari hukuman yang diperoleh orang yang tidak

tahu.20

Setelah Allah swt menerangkan pada ayat 30 bahwa azab kepada istri-istri

Nabi akan dilipatgandakan dua kali lipat jika mereka mengerjakan perbuatan keji,

maka pada ayat 31 Allah swt menerangkan tentang berlipatnya pahala yang akan

diberikan kepada mereka. Mekipun demikian, pahala yang akan diberikan oleh Allah

kepada mereka sebanyak dua kali lipat itu berkaitan dengan mesti adanya dua syarat

pada mereka yaitu ‫ ﯾﻘﻨﺖ‬dan ‫ ﺗﻌﻤﻞ ﺻﺎﻟﺤﺎ‬.

Kata ‫ ﯾﻘﻨﺖ‬yang berarti kesinambungan dalam ketaatan disertai dengan

ketundukan dan rasa hormat mengisyaratkan makna rela dan puas dengan ketetapan

Allah dan Rasul-Nya serta berusaha untuk selalu menjadikan Allah dan Rasul-Nya

rela dan menerima dengan baik amalan-amalan mereka.21 Kata tersebut menunjukan

kualitas moral yang bermuara pada kualitas bathin, yang meliputi kekhusyu’an dan

kerendahhatian di hadapan Allah swt (tawadlu’). Sedangkan kata ‫ﺗﻌﻤﻞ ﺻﺎﻟﺤﺎ‬

menunjukan kepada kualitas serta kuantitas pelaksanaan aspek-aspek formal dari

kewajiban agama seperti sholat, puasa, zakat. Keduanya merupakan hal yang

berbeda.22

Pahala berlipat ganda yang mereka dapatkan karena di dunia mereka diberi

taufik untuk menafkahkan rezeki yang mereka terima di jalan Allah untuk mencapai

keridhaan-Nya disertai perasaan tulus ikhlas. Mereka juga bebas dari segala ketakutan

20
Team Tafsir UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VII, h. 758
21
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 260
22
Lihat al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, juz 22, h. 2
116

dan penyesalan.23 Oleh karena itu, pemberian pahala dua kali itu, adalah karena amal

kebaikan mereka dan karena kerelaan mereka hidup bersama Nabi dalam

kesederhanaan serta imbalan atas kewajiban mereka yang berbeda dengan

perempuan-perempuan lain. 24 Selain itu, pemberian pahala dua kali lipat kepada

mereka merupakan penghargaan dari Allah dikarenakan kedudukan mereka sebagai

”Ummahât al Mu’minîn” yaitu Ibu kehormatan dari segenap kaum mu’minin, dan

karena mereka berada di rumah Nabi saw, tempat turun wahyu Illahi, cahaya hikmat

dan petunjuk ke jalan yang lurus.25

Selain pahala yang berlipat ganda, Allah swt akan memberikan pula rezki

yang mulia bagi istri-istri Nabi yang taat dan melaksanakan amal shalih. Firman

Allah:

:
“Dan barang siapa di antara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat
kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami
memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki
yang mulia.” (Q. S. al-Ahzâb/33: 31)

Sebagian ulama menafsirkan rizqan karîmâ (rizki yang mulia) dengan

surga.26 Sedangkan al-Marâghî menganggap bahwa rizki yang mulia bukan hanya

23
Al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid VIII, h. 3
24
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 260
25
Team Tafsir UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VIII, h. 3
26
Jalâl ad-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân bin Abû
Bakr as-Suyûthî, selanjutnya disebut Al-Mahalli dan As-Suyûthî, Tafsîr Al-Qur’ân al-Karîm/Tafsîr al-
Jalâlain, (Semarang: Al-‘Alawiyyah, T.Th), h. 346
117

surga di akhirat tapi juga kemuliaan di dunia karena mereka menjadi pusat perhatian

seluruh perempuan mu’minat yang memandang kepada mereka dengan penuh

penghormatan dan kewibawaan.27

Ayat ini pada dasarnya memberikan motivasi (targîb) sekaligus kabar

gembira (tabsyîr) dan penghargaan kepada istri-istri Nabi karena posisi dan

kedudukan mereka sebagai pendamping Nabi saw, setelah pada ayat sebelumnya

mereka diancam dan diingatkan (indzâr) dengan adzab dua kali lipat jika mereka

berbuat dosa.

Ayat 30 dapat pula mengandung makna perintah untuk meninggalkan

keburukan sedang ayat 31 dapat mengandung makna perintah untuk melakukan

kebaikan. Menurut Quraish Shihab, penempatan ayat Al-Qur’an yang sedemikian

rupa yang menggandengkan/mendampingkan sesuatu dengan lawannya sehingga

menjadi seimbang --setelah ancaman ada janji-- dikarenakan meninggalkan

keburukan, lebih utama dan perlu didahulukan daripada melaksanakan kebaikan.28

Demikianlah keutamaan para istri Nabi, mendapatkan pahala dan ganjaran

dua kali lipat dibanding perempuan/manusia lain.

2. Kedudukan yang Tidak Sama dengan Perempuan Lain

Sebagai Ummahât al-Mu’minîn, istri-istri Nabi mempunyai kedudukan yang

berbeda dengan perempuan lain, karena memang berbeda dari segi tanggung

jawabnya. Firman Allah swt:

27
Al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid VIII, h. 4
28
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 260
118

)
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti perempuan yang lain,
jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah
perkataan yang baik.” (Q. S. al-Ahzâb/33: 32)

Dalam analisis Râghib al-Asfahânî seperti dikutip oleh Mahmud al-Alûsî

dalam Rûh al-Ma’ânî, kata ahad ( ‫ ) اﺣﺪ‬pada ayat tersebut bermakna nafy li al-istigrâq

(negasi untuk keseluruhan) baik sedikit ataupun banyak. Artinya kata ‫ اﺣﺪ‬tidak

menunjukan kepada seseorang tetapi pada umumnya kaum perempuan, dan tidak

menunjukan kepada penetapan atas satu subjek (itsbât). Sehingga makna ayat tersebut

adalah masing-masing istri Nabi tidak sama dengan perorangan semua perempuan

pada umumnya.29 Ketidaksamaan istri-istri Nabi dengan perempuan lain disebabkan

kedudukan mereka sebagai Ummahât al-Mu’minîn yang diberikan penghormatan

oleh seluruh umat Islam.

Selain itu, ketinggian kedudukan mereka itu diperoleh karena kedekatan

mereka kepada Nabi. Kedekatan ini menjadikan mereka mendapat bimbingan khusus

yakni kesempatan lebih banyak untuk mengenal Nabi dan meneladani beliau. Di sisi

lain, Nabi pun memperlakukan mereka melebihi perempuan-perempuan lain, dalam

kedudukan beliau sebagai suami. Menurut Quraish Shihab, walaupun semua istri

Nabi mendapat kehormatan yang sama, namun antar mereka terjadi perbedaan

29
al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 4.
119

peringkat, bukan saja akibat kedekatan Nabi kepadanya, tetapi juga akibat

berbedanya pengabdian dan ketakwaan mereka. Istri Nabi yang paling utama adalah

Khadijah yang melahirkan anak-anaknya untuk Nabi (kecuali satu, yaitu putra beliau

Ibrahim30). Khadijah mendampingi beliau saat kritis serta mencurahkan segala yang

dimilikinya untuk mendukung perjuangan Nabi Muhammad saw. Selain Khadijah,

istri nabi yang utama adalah ‘‘Âisyah . Beliau adalah satu-satunya gadis yang

dikawini Nabi, dan memiliki banyak pengetahuan sampai-sampai dinyatakan dalam

satu riwayat bahwa setengah tuntunan agama diperoleh melalui ‘‘Âisyah ra.31

Berdasarkan ayat di atas, ada syarat tertentu sehingga mereka dapat berbeda

dengan perempuan lain, yaitu jika mereka bertakwa, menghindari segala yang

mengundang murka Allah dan Rasul-Nya.32 Meskipun demikian, firman Allah

‫( ان اﺗﻘﯿﺘﻦ‬jika kamu bertakwa), bukanlah isyarat bahwa di antara mereka ada yang

belum bertakwa, melainkan bertujuan mendorong mereka untuk lebih meningkatkan

ketakwaan.33

Imam ar-Râzî dalam Mafâtih al-Ghaibnya menyatakan bahwa

kalimat‫ ِإنِ ا ﱠﺗﻘَﯿْﺘُﻦﱠ‬mengandung dua hal: pertama, kalimat tersebut berkaitan dengan

kalimat sebelumnya sehingga ketidaksamaan istri-istri Nabi saw dengan perempuan

lain ditentukan oleh ketakwaan mereka, kedua, kalimat tersebut berkaitan dengan

kalimat sesudahnya sehingga maknanya menjadi ‘jika mereka bertakwa hendaknya

30
Ibrahim adalah putra Nabi dari budak beliau, Mariyah al-Qibtiyyah. Mariyah adalah hadiah
yang diberikan raja Mukaukis untuk beliau.
31
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 261-262
32
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 261
33
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 262
120

mereka tidak merendahkan suara ketika berbicara dengan lelaki lain yang bukan

muhrimnya dan seterusnya’ karena perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam

larangan tersebut merupakan sumber munculnya fâhisyah.34 Oleh karena untuk

menjaga ketakwaan dan kemuliaan mereka itulah maka Allah memberikan aturan-

aturan atau batasan-batasan kepada para istri Nabi saw sehingga akhirnya mereka

dapat menjadi perempuan-perempuan yang berbeda dengan perempuan lainnya.

Dalam konteks fiqh al-mu’âsyarah, ayat di atas mengandung empat tanda-

tanda perempuan yang bersuami dan menjadi ciri-ciri istimewa para istri Nabi

sehingga kemudian mereka berbeda dengan perempuan pada umumnya; pertama

mempertegas perbedaan dengan perempuan pada umumnya (‫;)ﻟﺴﺘﻦ ﻛﺎﺣﺪ ﻣﻦ اﻟﻨﺴﺎء‬

kedua, mempertinggi kualitas ketakwaan ( ‫ ;) ان اﺗﻘﯿﺘﻦ‬ketiga, membatasi dan

mengatur komunikasi dan hubungan dengan orang ( ‫ ;) ﻓﻼ ﺗﺨﻀﻌﻦ ﺑﺎﻟﻘﻮل‬keempat,

memiliki akhlak terpuji yang menjadi teladan ( ‫) وﻗﻠﻦ ﻗﻮﻻ ﻣﻌﺮوﻓﺎ‬.35

Oleh karena itu, selain mendapatkan hak istimewa, para istri Nabi saw pun

mempunyai beban dan tanggung jawab, tugas dan kewajiban yang harus mereka

emban/laksanakan sebagai perempuan pilihan, pendamping Nabi, panutan dan

teladan umat.

3. Rumahnya adalah Tempat Dibacakan Wahyu Allah (Al-Qur’an) dan

Sumber Sunnah Nabi

34
Ar-Râzî, Tafsir ar-Râzî, juz. 25, h. 209
35
Perhatikan penafsiran as-Sayûthî, Ad-Durr al-Mantsûr, juz 5, h. 373
121

Di samping beberapa keistimewaan sebagaimana tersebut di atas, ada satu

hal utama yang menjadikan mereka istimewa dan memiliki berbagai beban, tanggung

jawab, tugas dan kewajiban, yaitu bahwa rumah tempat tinggal mereka dengan Nabi

saw adalah rumah tempat dibacakan ayat-ayat Allah dan sumber sunnah Nabi yang

merupakan pengajaran Nabi saw kepada ummatnya. Oleh karena itu maka tempat

tinggal mereka dengan Nabi saw –atau rumah Nabi saw-- adalah sekolah kenabian

(madrasah an-nubuwwah) karena di dalamnya berlangsung proses pembelajaran dan

komunikasi risalah antara tiga kelompok subjek pembelajaran yaitu Allah swt melalui

Jibril sebagai sumber wahyu, Nabi Muhammad sebagai pengemban risalah dan para

sahabat sebagai sasaran risalah. Maka peran istri Nabi di dalam rumah Nabi tersebut

sangat sentral, mereka adalah kelompok pertama yang mengetahui aktifitas

komunikasi eskatologis Nabi, serta yang paling pertama menerima pengajaran dari

Nabi tentang berbagai hal yang menyangkut ajaran Islam.36

Dengan demikian suasana bathin rumah yang ditempati para istri Nabi

menggambarkan magma spiritualitas, ketenangan, dinamika keilmuan dan tarbiyyah.

Gambaran suasana bathin rumah Nabi beserta para istrinya diungkapkan dengan jelas

oleh Allah swt dalam Surah al-Ahzâb ayat 34:

36
Dalam tradisi ilmu hadits misalnya, kualitas hadits yang diterima oleh ‘Âisyah menempati
kualitas hadits paling baik, karena bisa dipertanggungjawabkan validitasnya sehubungan Aiysah
dipastikan menerimanya dari tangan pertama, Nabi sendiri.
122

“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan
hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah Maha Lembut lagi Maha
Mengetahui.” (QS. al-Ahzâb/33: 34).

Ibnu Said meriwayatkan dari Abû Amâmah Ibnu Sahl ra. ketika

mengomentari ayat ini menjelaskan bahwa Nabi saw shalat sunnah di rumah-rumah

istrinya baik pada malam ataupun siang hari. 37 Sementara ‘Abd ar-Razzâq, Ibnu

Sa’îd, Ibnu Jarîr, Ibnu Mundzîr dan Ibnu Abî Hâtim meriwayatkan dari Qatâdah,

bahwa Nabi saw mengingatkan istri-istrinya tentang apa yang dibacakannya di rumah

masing-masing dari al-Qur’an dan Sunnahnya tentang hal yang wajib dan hal yang

haram. 38

Dalam hal ini, istri-istri Nabi menjadi beruntung karena mengetahui betul

suasana kemu’jizatan al-Qur’an dan bisa ikut terlibat dalam suasana bathin Nabi

ketika akan mendapatkan wahyu sehingga mereka bisa mendapatkan nilai-nilai

esoteris dan eksoteris wahyu, pada saat itu dari tangan pertama. Para istri Nabi

mengetahui betul rahasia dan nilai mendasar dari setiap ajaran syari’at.39 Ia juga

mampu menyaksikan reaksi spontan Nabi dan respon beliau atas berbagai persoalan

yang muncul dari para sahabat atau dari mereka sendiri secara pribadi, atau yang

berkaitan dengan persoalan ummat dan kenabian. Sesuatu yang boleh jadi tidak bisa

didapatkan oleh para sahabat di luar rumah tangga Nabi saw.40

37
as-Sayûthî, Ad-Durr al-Mantsûr, Juz 5, h. 379
38
as-Sayûthî, Ad-Durr al-Mantsûr, Juz 5, h. 379. Perhatikan pula al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz
22, h. 20
39
al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 22, h. 20
40
Para istri Nabi mendapatkan penjelasan dan bacaan dari setiap wahyu yang turun di
rumahnya masing-masing. Lihat al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 22, h. 21.
123

Dengan demikian ukuran-ukuran kuantitatif dan material menjadi tidak

berlaku untuk menilai kemegahan dan wibawa rumah istri-istri Nabi saw. Karena

rumah mereka hanya dihiasi oleh aksesoris spiritual dan keilmuan.

B. Kewajiban Istri-istri Nabi saw

Istri-istri Nabi saw memiliki kewajiban dan tanggungjawab sebagaimana

lazimnya perempuan yang bersuami. Jika menganalisis beberapa ayat al-Qur’an,

semuanya menunjukan bahwa dalam persfektif agama mereka memiliki kewajiban

sama dengan kewajiban yang dibebankan kepada para suami (kaum laki-laki), tetapi

pada area dan domain yang berbeda. Dengan demikian relasi yang terjalin antara

suami istri baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat, bukanlah

relasi dominatif, dimana yang satu berlaku dominan atas yang lain, tetapi relasi

komplementaritas; relasi untuk saling melengkapi satu sama lain. Relasi tersebut

dibangun atas pemahaman terhadap tanggung jawab masing-masing serta areanya.

Kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan kepada istri-istri Nabi saw,

jika di analisis dalam beberapa ayat Surah al-Ahzâb dapat diklasifikasikan ke dalam

tiga bagian. Pertama, kewajiban berkaitan dengan posisinya sebagai istri, kedua

kewajiban keagamaan, ketiga kewajiban kemasyarakatan (social responsibility).

1. Memelihara Kehormatan dan Kesucian Diri

Dalam posisinya sebagai istri, mereka memiliki kewajiban terhadap Nabi

saw, keluarganya (rumahnya) dan diri mereka sendiri. Kewajiban tersebut berkaitan

dengan keharusan memelihara kehormatan serta kesucian diri serta melaksanakan


124

fungsi manajerial di dalam rumah. Sebagaimana disinggung oleh Allah dalam ayat 32

dan 33 Surah al-Ahzâb.

“…Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga


berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah
perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah
kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu,
dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS. al-Ahzâb/33: 32-
33)

Dalam rangka memelihara kehormatan dan kesucian diri para istri Nabi saw,

Allah swt memberikan petunjuk dan pedoman kepada mereka melalui ayat-ayat Al-

Qur’an. Ayat 32 merupakan tuntunan Allah swt kepada mereka menyangkut ucapan,

dilanjutkan dengan bimbingan menyangkut perbuatan dan tingkah laku pada ayat 33.

Di antara tuntunan yang diberikan Allah kepada Ummahât al-Mu’minîn

menyangkut ucapan adalah aturan atau batasan berupa etika berbicara yang meliputi

gaya berbicara dan isi pembicaraan.

Menyangkut gaya berbicara, para istri Nabi saw dilarang berbicara dengan

sikap dan suara yang dibuat-buat “ِ‫“ ﻓَﻠَﺎ َﺗﺨْﻀَ ْﻌﻦَ ﺑِﺎﻟْﻘَﻮْل‬. Kata ‫ ﺗﺨﻀﻌﻦ‬terambil dari kata

‫ ﺧﻀﻮع‬yang pada mulanya berarti tunduk. Bila dikaitkan dengan ucapan, maka yang
125

dimaksud dengan kata ini adalah merendahkan suara. Perempuan menurut kodratnya

memiliki suara lemah lembut. Atas dasar itu, maka larangan di sini harus dipahami

dalam arti membuat-buat suara lebih lembut lagi melebihi kodrat dan kebiasaannya

berbicara. Cara berbicara demikian, bisa dipahami sebagai menampakkan kemanjaan

kepada lawan bicara yang pada gilirannya dapat menimbulkan hal-hal yang tidak

direstui agama.41 Meskipun demikian, larangan ini tertuju kepada mereka jika

berbicara kepada yang bukan mahram. Adapun jika berbicara di hadapan suami,

maka pada dasarnya ia tidak terlarang.42

Larangan berbicara dengan gaya seperti itu, dikarenakan berbicara dengan

laki-laki asing dan memandang secara sembunyi-sembunyi kepada orang fasiq

merupakan pembuka terjadinya fâhisyah.43 Sebab dilarangnya gaya berbicara yang

dibuat-buat seperti dengan merendahkan suara yang melebihi kodratnya dikarenakan

khawatir timbulnya akibat/dampak negatif terhadap mereka terutama menyangkut

kehormatan dan kesucian diri mereka, yaitu adanya keinginan laki-laki asing terhadap

mereka44 sebagaimana dikemukakan dalam ayat. Atau menurut penyusun Tafsir

al-Jalâlain ketika menafsirkan kalimat ٌ‫ ﻓَ َﯿﻄْ َﻤﻊَ اﱠﻟﺬِي ﻓِﻲ ﻗَﻠْﺒِﮫِ ﻣَﺮَض‬adalah perasaan

nifâq45 dari laki-laki yang berbicara dengan mereka.

41
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 11, h. 262
42
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 11, h. 262
43
Khatib ar-Râzî, Tafsîr ar-Râzî, Juz 25, h. 209
44
Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, vol 11, h. 262, kata ‫ ﯾﻄﻤﻊ‬digunakan
untuk menggambarkan keinginan pada sesuatu yang biasanya akibat dorongan nafsu dengan adanya
keinginan atau niat untuk berbuat serong dengan wanita, seperti melakukan zina
45
al-Mahalli dan As-Suyûthi, Tafsîr Al-Qur’ân al-Karîm/Tafsîr Jalâlain, h. 346
126

Selain menghindari gaya pembicaran yang dapat menimbulkan masalah,

terutama keinginan laki-laki asing terhadap mereka, mereka juga diharuskan

senantiasa berkata dengan perkataan yang ma’ruf (‫)ﻗَﻮْﻟًﺎ ﻣَﻌْﺮُوﻓًﺎ‬. Kata ‫ ﻣﻌﺮوﻓﺎ‬di sini

dipahami dalam arti yang dikenal oleh kebiasaan masyarakat. Perintah mengucapkan

yang ma’ruf, menurut Quraish Shihab, mencakup cara pengucapan, kalimat-kalimat

yang diucapkan serta gaya pembicaraan. Dengan demikian, ini menuntut suara yang

wajar, gerak gerik yang sopan dan kalimat-kalimat yang diucapkan baik, benar dan

sesuai sasaran, tidak menyinggung perasaan atau mengundang rangsangan. 46

Diriwayatkan dari sebagian istri-istri Nabi saw bahwa mereka sering

meletakan tangan pada bibirnya ketika berkomuniksi dengan orang lain. Hal itu

dilakukan karena khawatir suaranya berubah, sehingga menjadi kedengaran lembut

dan merdu kemudian dipersepsi keliru.47 Ketegasan dalam nada pembicaraan,

membatasi diri dalam mentasharrufkan harta, dan menjaga jarak dengan bukan

muhrim adalah butiran-butiran kebaikan bagi perempuan yang sudah bersuami baik

pada jaman Jahiliyyah maupun dalam ajaran Islam. 48 Sebaliknya nada pembicaraan

yang lembut dan erotis apalagi pembicaraan yang porno (rofats) adalah bentuk

keburukan dan kebodohan perempuan yang sudah bersuami.49

Dalam konteks lembaga perkawinan ayat ini berkaitan dengan fiqh al-

mu’âsyarah (pemahaman tentang etika pergaulan domestik lembaga perkawinan).

46
al-Mahalli dan As-Suyûthi, Tafsîr Al-Qur’ân al-Karîm/Tafsîr Jalâlain, h. 346
47
al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 5.
48
al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 5.
49
al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 5.
127

Seorang istri harus memiliki etika dan karakter yang jelas yang menegaskan

perbedaan mereka dengan perempuan yang belum bersuami. Etika dan karakter

tersebut muncul sebagai akibat dari kualitas ketakwaan yang mencerminkan rasa

tanggung jawab terhadap Allah dan terhadap suaminya. Wujud etika tersebut dalam

bentuk rambu-rambu ketika berhubungan dengan orang lain. Pada ayat di atas

digambarkan dalam bentuk larangan berkomunikasi yang menimbulkan persepsi

keliru serta kecenderungan-kecenderungan memancing hasrat seksual laki-laki bukan

muhrim.

Selanjutnya dalam ayat 33 Allah memberikan bimbingan menyangkut

perbuatan dan tingkah laku. Dalam ayat ini Allah ingin memastikan bahwa keluarga

dan orang-orang yang berada dalam lingkaran inti kenabian betul-betul menjadi

cermin baik secara moral dan spiritual bagi perubahan sistem kemasyarakatan

Jahiliyyah yang sudah rusak, dan menghindarkan mereka dari kontaminasi kultur

destruktif Jahily untuk menunjang dakwah risalah.

Kata َ‫– ﻗَﺮْن‬begitu dibaca oleh ‘Ashim dan Abu Ja’far-- terambil dari kata

َ‫ اﻗﺮَرْن‬iqrarna dalam arti tinggallah dan beradalah di tempat secara mantap. Ada

juga yang berpendapat bahwa kata tersebut terambil dari kata ‫ ﻗﺮة ﻋﯿﻦ‬yang berarti

sesuatu yang menyenangkan hati. Dengan demikian, perintah ayat ini berarti: Biarlah

rumah kamu menjadi tempat yang menyenangkan hati kamu. Ini dapat juga
128

mengandung tuntunan untuk berada di rumah, dan tidak keluar rumah kecuali ada

kepentingan. 50

Banyak ulama membaca ayat di atas dengan kasrah pada huruf qaf yakni

َ‫ﻗِ ْﺮن‬. Ini terambil dari kata ‫ ﻗﺮار‬yakni berada di tempat. Dengan demikian ayat ini

memerintahkan Ummahât al-Mu’minîn sebagai istri-istri Nabi saw itu untuk berada di

tempat yang dalam hal ini adalah rumah-rumah mereka. Sementara itu, Ibnu

‘Athiyyah membuka kemungkinan memahami kata َ‫ ﻗِﺮْن‬terambil dari kata ‫ وﻗَﺎر‬yakni

wibawa dan hormat. Ini berarti perintah untuk berada di rumah karena hal itu

mengundang wibawa dan kehormatan untuk mereka.51

Sedang menurut Abu al-Fatah al-Hamdany, makna ‫ﻗﺮن‬ adalah

berkumpul.52 Makna ini menjadi relevan ketika mendudukan istri sebagai ibu rumah

tangga yang senantiasa berkumpul dengan putera-puterinya. Secara psikologis dengan

berkumpulnya seorang ibu akan memberikan kenyamanan, perlindungan, fungsi

pendidikan serta pengawasan yang lebih maksimal bagi keluarganya. Di samping itu,

makna ini menjadi relevan jika dikaitkan dengan keharusan pergaulan di dalam

keluarga secara mu’âsyarah bi al-ma’rûf (keintiman yang positif) seperti yang

terdapat pada surat an-Nisâ ayat 19 sebab keintiman (intimate) tidak mungkin terjalin

tanpa berkumpul. Firman Allah:

50
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 263
51
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 263
52
Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 22, h. 6
129

“... Dan bergaullah dengan mereka secara patut. …” (Q.S. An-Nisâ/4: 19)

Penisbahan kata ( ‫) ﺑﯿﻮﺗﻜﻦ‬ kepada dhamir muannats (perempuan),

menunjukan bahwa kaum perempuan memiliki kekuasaan dan otoritas besar di

rumahnya dibanding suaminya sendiri.53 Seorang suami ibarat tamu di rumah

istrinya.54 Inilah fungsi khas (orisinil) seorang istri dalam struktur keluarga muslim

(back to home).55 Dengan kalimat tersebut juga menunjukan keharusan seorang istri

melaksanakan fungsi manajerial rumah tangga suaminya.

Jika mempergunakan pendekatan kebahasan (qawâid al-lughawiyyah) dalam

tradisi ilmu ushul fiqh, dilâlah al-amr yang terdapat dalam kalimat ( ‫ ) ﻗﺮن‬boleh jadi

menunjukan kepada makna imperatif (perintah) yang bersifat wajib. 56 Sehingga

dipastikan istri-istri Nabi saw dan perempuan muslim pada umumnya wajib diam di

rumah memaksimalkan fungsi domestiknya. Dengan maksimalnya peran dan fungsi

perempuan di dalam rumah, secara psikologis bisa membangun fungsi keluarga

secara lebih efektif dengan landasan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah)

53
Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, juz 22, h. 7
54
Perhatikan Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk
Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2003), h. 230. Ini menepis pandangan Barat seolah-olah perempuan
muslim dalam keadaan terbelenggu di rumahnya (kolonialisme gender). Yang justeru terjadi adalah
peran aktif perempuan sebagai manajer dalam miniatur masyarakat paling kecil yaitu keluarga.
Mengatur fungsi-fungsi elemen keluarga secara harmonis. Di sini bisa difahami bahwa persamaan laki-
laki dan perempuan dalam Islam tidak bersifat persamaan kuantitatif, tetapi bersifat komplementaris.
Ini berkali-kali diungkapkan oleh Nasr.
55
Gerakan kembali ke rumah (back to home), ke dalam fungsi orisinil kaum perempuan di
keluarga banyak muncul di Barat dan Amerika ketika gerakan emansipasi cenderung mereduksi
struktur keluarga inti (nuclear family) dan menghancurkan sendi-sendi kekeluargaan.
56
Ibnu Abî Hâtim mengeluarkan hadits yang diterimanya dari Ummi Nailah ra. Berkata: “Abû
Barzah datang ke rumah dan dia tidak menemui istrinya. Kemudian orang memberitahu bahwa istrinya
pergi ke mesjid. Tatkala istrinya datang ia berteriak sambil berkata: “Sesungguhnya Allah telah
melarang perempuan untuk ke luar rumah dan Dia menyuruhnya diam di rumahnya masing-masing,
tidak boleh mengantarkan jenazah, tidak boleh pergi ke mesjid dan tidak boleh menghadiri shalat
jum’at. As-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz 5, h. 374
130

sebagai laboratorium bagi pembentukan pribadi-pribadi calon anggota masyarakat

yang baik.

Di samping melaksanakan fungsi manajemen di dalam rumahnya, dalam

kedudukannya sebagai Ummahât al-Mu’minîn, istri-istri Nabi saw wajib memelihara

kesucian diri. Kesucian (‘iffah) seorang perempuan antara lain melalui kebersahajaan

di dalam berpenampilan sesuai dengan tuntutan syari’at.57 Istri Nabi saw sebagaimana

tercantum pada ayat tersebut di atas dilarang mengeksploitasi dirinya untuk konsumsi

publik yang sangat murah.

Kata ‫وَﻟَﺎ ﺗَﺒَ ﱠﺮﺟْﻦَ ﺗَﺒَﺮﱡجَ ا ْﻟﺠَﺎھِﻠِﯿﱠﺔِ اﻟْﺄُوﻟَﻰ‬, dalam maknanya yang lebih luas adalah

eksploitasi aspek-aspek komersil kaum perempuan untuk konsumsi publik secara

murah seperti kaum yang tidak terdidik secara etik (jâhiliyyah)58. Perempuan secara

qudraty memiliki daya tarik. 59 Daya tarik tersebut menyebabkan kaum perempuan

rentan terhadap berbagai gangguan dan komersialisasi baik disadari atau tidak. Pesan

al-Qur’an yang ditujukan kepada Istri Nabi untuk tidak eksplosif (tabarruj) secara

fisik, mengandung pesan preventif dan antisipatif agar kaum perempuan muslimin

pada umumnya lebih terhormat dan berharga.

Menurut Mujahid, Qatada, dan Ibnu Najih yang diterimanya dari Muqatil

berpendapat bahwa kalimat ‫ﺗﺒﺮج‬ mengandung makna mengelok-elok diri,

57
Lihat Q.S. al-Ahzâb/33 : 59.
58
Menurut Imam al-Zamakhsyari dan Ibnu ‘Athiyyah yang dimaksud Jahiliyyah dalam ayat
tersebut adalah Jahiliyyah sebelum Islam (qabla as-syar’i). Dengan demikian termasuk di dalamnya
tradisi jahiliyyah jaman Nabi Adam, Nuh, Ibrahim dan Musa berupa sifat-sifat kekafiran, kefasiqan
dan penentangan terhadap sya’riat Allah. Al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 8. Bandingkan pula
dengan ar-Râzî, Tafsîr ar-Râzî, juz 25, h. 210, dan as-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz 5, h. 375
59
Dalam al-Qur’an Allah menegaskan bahwa manusia (kaum laki-laki) dijadikan untuk tertarik
dan cinta kepada perempuan, harta dan keturunan. Lihat Q.S. ‘Ali Imrân/3: 14.
131

menghancurkan diri serta genit (atractiveness).60 Kata ( ‫ ) ﺗﺒﺮﺟﻦ‬tabarrajna dan

( ‫ ) ﺗﺒﺮج‬tabarruj terambil dari kata ( ‫ ) ﺑﺮج‬baraja yaitu nampak dan meninggi. Dari

sini kemudian ia dipahami juga dalam arti kejelasan dan keterbukaan karena

demikian itulah keadaan sesuatu yang nampak dan tinggi.61 Termasuk dalam hal ini

seorang perempuan memakai kerudung tetapi tidak sempurna sehingga kelihatan

kalungnya, antingnya, dan pundaknya.62 Sedangkan Imam al-Laits berpendapat

bahwa perempuan disebut tabarruj apabila memperlihatkan keindahan wajahnya,

tubuhnya, sehingga setiap mata bisa memandang dengan penuh kekaguman dan

mengundang syahwat.63 Maka, dalam maknanya secara keseluruhan tabarruj adalah

ekploitasi, komersialisasi dan kolonialisme (penjajahan) kaum perempuan baik secara

fisik, seks atau psikis.64

Adanya larangan ber-tabarruj berarti larangan menampakkan “perhiasan”

dalam pengertiannya yang umum yang biasanya tidak dinampakkan oleh perempuan

baik-baik, atau memakai sesuatu yang tidak wajar dipakai, seperti berdandan secara

berlebihan, atau berjalan dengan berlenggak-lenggok dan sebagainya. Menampakkan

sesuatu yang biasanya tidak dinampakkan --kecuali kepada suami-- dapat

mengundang decak kagum pria lain yang pada gilirannya dapat menimbulkan

60
Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, juz 22, h. 7. Perhatikan pula as-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz 5,
h. 375
61
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264
62
Al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 8
63
Al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 8
64
Al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 8. Perhatikan pula as-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz
5, h. 375 dan ar-Râzî, Tafsîr Ar-Râzî, juz 25, h. 210.
132

rangsangan atau mengakibatkan gangguan dari yang usil.65 Firman Allah dalam Q.S.

An-Nur/24: 60:

60 24/
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan
perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Kata ( ‫ ) اﻟﺠﺎھﻠﯿﺔ‬al-jâhiliyyah terambil dari kata (‫ )ﺟﮭﻞ‬jahl yang digunakan al-

Qur’an untuk menggambarkan suatu kondisi di mana masyarakatnya mengabaikan

nilai-nilai ajaran Ilahi, melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu,

kepentingan sementara, maupun kepicikan pandangan. Karena itu istilah ini secara

berdiri sendiri tidak menunjuk ke masa sebelum Islam, tetapi menunjuk masa yang

ciri-ciri masyarakatnya bertentangan dengan ajaran Islam, kapan dan dimana pun.66

Ayat di atas menyifati jâhiliyyah tersebut dengan al-ûla, yakni masa lalu.

Bermacam-macam penafsiran tentang masa lalu itu. Ada yang menunjuk masa Nabi

Nuh as., atau sebelum Nabi Ibrahim as. Agaknya yang lebih tepat adalah menyatakan

masa sebelum datangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad – selama pada

masa itu – masyarakatnya mengabaikan tuntunan Ilahi,67 temasuk di dalamnya sifat

65
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264
66
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264
67
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264
133

kekafiran, kefasikan, dan penentangan terhadap syariat Islam. 68 Di sisi lain, adanya

apa yang dinamai “Jahiliah yang lalu”, mengisyaratkan akan adanya “Jahiliah

kemudian”. Ini tentu setelah masa Nabi Muhammad saw. Masa kini dinilai oleh

Sayyid Quthub dan banyak ulama lain, sebagai Jahiliah modern. 69

Oleh karena itu, seorang perempuan zaman Nabi akan sama dengan dengan

perempuan sebelum Islam (jahiliah) bila dalam berhiasnya selalu menampakkan

kecantikan mereka kepada kaum lelaki. Kecuali bila yang ditampakkan adalah

sesuatu yang memang biasa tampak, maka itu diperbolehkan dalam Islam.70 Firman

Allah dalam surat An-Nur/24: 31:

24/
“…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) tampak darinya…”

Ketika Islam menyuruh kaum perempuan untuk kembali ke keluarganya

(back to home), seperti yang digambarkan oleh ayat tersebut kepada istri-istri Nabi

sebenarnya mengandung pesan pembebasan bagi kaum perempuan dari kolonialisme

dan dominasi kaum laki-laki, 71 serta kembali kepada ranah dan domainnya yang

hakiki sesuai dengan qudratnya. Ini adalah fungsi emansipatoris kaum perempuan

dalam pengertian yang sebenarnya.


68
Lihat Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 22, h. 8. Bandingkan pula dengan ar-Râzî, Tafsîr Ar-
Râzî, juz 25, h. 210 dan as-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz 5, h. 375
69
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264
70
Al-Mahalli dan As-Suyûthî, Tafsîr al-Jalâlain, juz 2, h. 347
71
Diriwayatkan dari Ibnu Jarîr dari Hakam bin ‘Uyainah berkata: “Masa antara Nabi Adam dan
Nuh sekitar 800 tahun adalah masa yang paling buruk dari kaum perempuan, sementara kaum laki-
lakinya masa yang paling baik. Kaum perempuan tersebut banyak yang menawarkan dirinya untuk
kaum laki-laki. Dan inilah yang dimaksud Jahiliyyah pertama. Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 22, h. 8.
134

Oleh sebab itu pada ayat 59 Surah al-Ahzâb Nabi memerintahkan istri-

istrinya, anak-anak perempuan dan seluruh istri kaum mukminin untuk memakai baju

tertutup (jilbab).

33/
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuan dan
isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya72 ke
seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q. S. al-Ahzâb/33 : 59).

Ayat ini menurut Sa’îd bin Manshûr, Ibnu Sa’îd, ‘Abd Ibnu Hamîd, Ibnu

Mundzir dan Ibnu Abî Hâtim diterimanya dari Abû Mâlik, diturunkan ketika istri-istri

Nabi saw keluar pada malam hari untuk menunaikan hajatnya, kemudian segolongan

kaum munafiq mengganggunya, lalu mereka ditegur dan mereka berkata: “Kami

melakukannya terhadap budak-budak (perempuan).” Maka turunlah ayat ini (perintah

untuk memaki jilbab) agar dapat dibedakan dengan hamba sahaya (‘amat).73

72
Beragam pendapat yang menafsirkan makna jilbab. Dalam Al-Qur’an dan terjemahnya, h.
678, jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
Sedangkan dalam CD Holy Qur’an, jilbab adalah sesuatu yang menutupi aurat perempuan.
73
As-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz 5, h. 414. Demikian pula riwayat Ibnu Jarîr dari Abû
Shâlih ra. dengan kasus dan makna yang hampir sama. Sementara menurut riwayat Sa’îd dari
Muhammad bin Ka’ab al-Qurdzy ra. Berkata, “Kaum lelaki munafiq sering mengganggu perempuan
muslim sehingga menyakiti mereka. Ketika mereka ditegur, mereka berkata, “Kami mengira mereka
hamba sahaya”. Maka Allah menyuruh kaum perempuan untuk membedakan diri dari hamba sahaya
dengan mengulurkan jilbab mereka yang menutupi wajah mereka kecuali dua buah mata, karena hal itu
akan mudah dikenal untuk membedakannya dari hamba sahaya.
135

Seorang perempuan mu’min bisa mengalami kasus serupa, kapanpun dan

dimanapun, oleh sebab itu meskipun ayat ini berlatar belakang kasus yang terbatas

pada Istri Nabi, akan tetapi khitâb dan dilalahnya berlaku untuk semua kaum

perempuan mu’min. 74 Tujuannya secara syar’i adalah ta’abbudy (bentuk pengabdian

kepada Allah), tetapi secara ta’aqquly (berdasarkan alasan rasional) sebagaimana

dijelaskan oleh ayat tersebut adalah agar mudah dikenal dan tidak diganggu kaum

lelaki. Dengan memakai jilbab kaum perempuan mu’min jelas identitasnya, sehingga

bisa dibedakan dari perempuan bukan mu’min dan dari hamba sahaya (‘amat).75

Walaupun ayat tentang jilbab ini berdimensi kultur Arab lama, dan geografis

Madinah yang serba terbatas, sebagaimana nampak dalam beberapa riwayat yang

mendampinginya.76 Akan tetapi relevansinya sangat abadi baik secara normatif syar’i

ataupun secara etik antropologik. Karena dalam makna generiknya jilbab adalah

pakaian yang serba tertutup yang tentu saja akan menjamin keselamatan privasi

74
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Jarîr dan Ibnu Abî Hâtim dan Ibnu Abî
Mardawaih diterima dari Ibnu ‘Abbâs ra ketika mengomentari ayat ini berkata, “Allah menyuruh
perempuan mu’minin ketika keluar rumah memenuhi kebutuhannya agar menutupi wajahnya dari atas
kepala dengan jilbab dan hanya menampakkan bagian mata saja. As-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz
5, h. 415.
75
Menurut riwayat Abî Hâtim dari Sâdy r.a. mengomentari ayat ini berkata, “Orang-orang fasiq
ahli Madinah ketika malam gelap sering mendatangi jalan-jalan untuk mengganggu perempuan, dan
rumah-rumah penduduk Madinah padat, sehingga kalau malam tiba kaum perempuan keluar untuk
menunaikan kebutuhannya, sehingga diikuti oleh kaum lelaki yang fasiq. Jika mereka melihat
perempuan berjilbab, mereka berkata, “Ini perempuan merdeka, awas jaga”. Dan jika melihat
perempuan tidak pakai jilbab mereka brkata, “Ini amat, lalu mereka mengganggunya”. As-Sayûthî, ad-
Durr al-Mantsûr, Juz 5, h. 416.
76
Nasr, misalnya berpendapat bahwa tidak adil kalau Barat bersekongkol untuk menilai dan
membangun imej bahwa jilbab adalah lambang ketertindasan perempuan muslim. Padahal jilbab
(pakaian tertutup) adalah pakaian kebesaran kaum perempuan yang ada pada semua agama dan
budaya. Lihat Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, h. 235.
136

perempuan yang serba menarik. Sehingga akan tetap terpelihara kesucian dan harga

dirinya dibanding jika membiarkan tubuhnya menjadi tontonan orang banyak.

Kini penulis kembali kepada aspek hukum yang dikandung oleh perintah

waqarna atau waqirna fi buyûtikum. Perintah di atas sebagaimana terbaca

ditunjukkan kepada istri-istri Nabi saw. Persoalan yang dibicarakan ulama adalah

apakah perempuan-perempuan muslimah selain istri-istri Nabi dicakup juga oleh

perintah tersebut? Al-Qurthubi (w. 671 H) yang dikenal sebagai salah seorang pakar

tafsir khususnya dalam bidang hukum menulis antara lain: “Makna ayat di atas adalah

perintah untuk menetap di rumah. Walaupun redaksi ayat ini ditujukan kepada istri-

istri Nabi Muhammad saw, tetapi selain dari mereka juga tercakup dalam perintah

tersebut.” Selanjutnya al-Qurthubi menegaskan bahwa agama dipenuhi oleh tuntunan

agar perempuan-perempuan tinggal di rumah, dan tidak keluar rumah kecuali karena

keadaan darurat. Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh oleh Ibnu al-‘Arabi

(1076-1148 M) dalam tafsir Ayat-ayat al-Ahkam-nya. Sementara itu, penafsiran Ibnu

Katsîr sedikit lebih longgar. Menurutnya ayat tersebut merupakan larangan bagi

perempuan untuk keluar rumah, jika tidak ada kebutuhan yang dibenarkan agama,

seperti shalat, misalnya.77

Al-Maududi, pemikir Muslim Pakistan kontemporer menganut paham yang

mirip dengan pendapat di atas. Dalam bukunya al-Hijab, ulama ini antara lain

menulis bahwa “Tempat perempuan di rumah, mereka tidak dibebaskan dari

pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada di rumah dengan tenang dan
77
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 266
137

hormat, sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah tangga. Adapun

kalau ada hajat keperluannya untuk keluar, maka boleh saja mereka keluar rumah

dengan syarat memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu. “Terbaca

bahwa al-Maududi tidak menggunakan kata ”darurat” tetapi “kebutuhan atau

keperluan.” Hal serupa dikemukakan oleh tim yang menyusun tafsir yang diterbitkan

oleh Departemen Agama RI.78

Thâhir bin ‘Asyûr menggarisbawahi bahwa perintah ayat ini ditujukan

kepada istri-istri Nabi sebagai kewajiban, sedang bagi perempuan-perempuan

muslimah selain mereka sifatnya adalah kesempurnaan. Yakni tidak wajib, tetapi

sangat baik dan menjadikan perempuan-perempuan yang mengindahkannya, menjadi

lebih sempurna.79

Persoalannya adalah dalam batas-batas apa saja izin tersebut? Misalnya,

“Bolehkah mereka bekerja?“ Muhammad Quthub, salah seorang pemikir Ikhwan al-

Muslimin menulis, dalam bukunya Ma’rakah at-Taqâlid, bahwa: “Ayat itu bukan

berarti bahwa perempuan tidak boleh bekerja karena Islam tidak melarang perempuan

bekerja. Hanya saja Islam tidak senang dan tidak mendorong hal tersebut. Islam

membenarkan mereka bekerja sebagai darurat dan tidak menjadikannya sebagai

dasar.”80

Dalam bukunya Syubuhât Haula al-Islâm, Muhammad Quthub lebih

menjelaskan bahwa: perempuan pada awal jaman Islam pun bekerja, ketika kondisi

78
Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 672; M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 266
79
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 266-267
80
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 267
138

menuntut mereka untuk bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau tidaknya

hak mereka untuk bekerja, tetapi masalahnya adalah bahwa Islam tidak cenderung

mendorong perempuan keluar rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat

perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas dasar kebutuhan perempuan

tertentu. Misalnya kebutuhan untuk bekerja karena tidak ada yang membiayai

hidupnya, atau karena yang menanggung hidupnya tidak mampu mencukupi

kebutuhannya.81 Sayyid Quthub, menulis bahwa arti waqarna dalam firman Allah

“waqarna fî buyûtikunna, berarti “berat, mantap, dan menetap”. Tetapi, tulisnya lebih

jauh, “Ini bukan berarti bahwa mereka tidak boleh meninggalkan rumah. Ini

mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan selain itu

adalah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya.”82

Sa’id Hawa --salah seorang ulama mesir kontemporer-- memberikan contoh

apa yang dimaksud dengan kebutuhan, seperti mengunjungi orang tua dan belajar

yang sifatnya fardhu ’ain atau kifayah, dan bekerja untuk memenuhi hidup karena

tidak ada orang yang dapat menanggungnya.83

Adapun tabarruj, maka walaupun seandainya kita mendukung yang

menyatakan ayat ini khusus buat istri-istri Nabi, tetapi larangan ber-tabarruj bagi

seluruh perempuan ditemukan dalam ayat yang lain yaitu pada Q.S. An-Nûr: 6084

81
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 267
82
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 267
83
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 267
84
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 267
139

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan


mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan
perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

2. Melaksanakan Kewajiban Agama

Jaminan kesucian istri-istri Nabi dan kemuliaan mereka sebagai istri seorang

Nabi mengantarkan kepada kewajiban dan tanggung jawab kedua bagi mereka yang

bersifat keagamaan. Dalam ayat 33 Surah al-Ahzâb seperti yang sudah dikemukakan

di atas, setelah istri-istri Nabi saw diperintahkan untuk diam di rumah dan membatasi

tampil di ruang-ruang publik (tabarruj), mereka selanjutnya diperintahkan untuk

melaksanakan kewajiban formal agama berupa shalat dan zakat. Kewajiban tersebut

sebagai bentuk pengabdian serta parameter loyalitas kepada Allah dan Rasulnya.

“…dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul-
Nya. …” (Q. S. al-Ahzâb/33: 33)

Pada ayat di atas hanya disebutkan dua kewajiban agama yang dibebankan

kepada istri-istri Nabi saw yaitu shalat dan zakat. Hal tersebut dikarenakan keduanya

adalah asas ibadah badaniah dan ibadah mâliyah.85 Selain itu, keduanya menjadi

parameter ketaatan kepada perintah Allah dan kepada Nabi-Nya. Dengan demikian

85
Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, juz 5, h. 12
140

Allah tidak hanya memberikan kepada istri-istri Nabi seperangkat larangan

sebagaimana terdapat pada penggalan ayat sebelumnya (larangan untuk tabarruj),

tetapi juga memberikan perintah.86 Keduanya dirangkaikan secara berurutan karena

keduanya adalah inti risalah dan sekaligus menjadi inti agama.

3. Menyampaikan dan Mengajarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi

Kewajiban terakhir (ketiga), adalah berkaitan dengan fungsi dan kedudukan

istri-istri Nabi saw sebagai anggota masyarakat (kewajiban yang bersifat sosial

kemasyarakatan). Ini tercantum pada ayat 34 Surah al-Ahzâb:

“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan
hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah Maha Lembut lagi Maha
Mengetahui.” (QS. al-Ahzâb: 34).

Menurut al-Alûsî maksud kalimat ‫ اذﻛﺮن‬adalah ajarkanlah kepada manusia

melalui cara nasihat dan peringatan. 87 Seperti sudah dijelaskan di awal, Ummahât al-

Mu’minîn menjadi saksi dan terlibat dalam situasi serta proses pembentukan risalah.

Sebagian rumah mereka menjadi tempat turunnya wahyu, sehingga merekalah orang

yang paling pertama menerima pengajaran dari Nabi saw.

Kata ‫ذﻛﺮ‬ dapat berarti kondisi yang menjadikan seseorang memelihara

pengetahuan/informasi yang telah diperolehnya. Ini sama dengan menghafal, hanya

saja menghafal penekananya pada aspek perolehan pengetahuan itu, sedang zikir
86
Ar-Râzî, Tafsîr Ar-Râzî, juz 25, h. 210
87
Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, juz 22, h. 20
141

yakni mengingat adalah aspek menghadirkannya. Karena itu ada zikir dengan lidah

dan ada dengan hati. Lalu masing-masing bisa akibat lupa dan bisa juga bukan karena

lupa, tetapi dalam kontes memelihara ingatan/hafalan. 88

Sedangkan penggunaan bentuk mudhâri‘ (kata kerja masa kini dan datang)

pada kata ‫ ﯾُﺘْﻠََﻰ‬, mengisyaratkan perlunya mengingat dan memelihara apa yang

sedang dan akan dibaca dari ayat-ayat al-Qur’an dan hikmah.89

Kata ‫ ﺣﻜﻤﺔ‬, pada ayat ini diperselisihkan oleh ulama. Ada yang

memahaminya dalam arti sunnah Nabi, ada juga yang memahaminya dalam arti

umum, mencakup segala macam ilmu amaliah dan amal ilmiah. Firman Allah dalam

Q.S. Luqmân/31: 12:

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu:


"Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah),
maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang
tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
(Q.S. Luqmân/31: 12)

Ada pula yang mempersempit makna hikmah sehingga hanya mencakup

pesan-pesan dan hukum-hukum agama yang secara khusus terdapat dalam al-

Qur’an.90

88
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 268
89
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 268
90
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 268
142

Ayat ini memerintahkan kepada para istri Nabi agar senantiasa mengingat

dan memelihara ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi bukan hanya untuk diri mereka

sendiri akan tetapi juga untuk kaum muslimin terutama karena mereka menyaksikan

turunnya sebagian ayat-ayat Al-Qur’an dan mengetahui sunnah Nabi.

Selain itu, ayat ini berpesan agar memperhatikan apa yang dibaca di rumah-

rumah Nabi tentang petunjuk-petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Dalam konteks ini Nabi

saw bersabda: “Seorang penghafal al-Qur’an bagaikan pemilik unta, kalau dia

memperhatikan unta itu akan selalu bersamanya dan bila dia melepaskannya ia akan

pergi menjauh” ( HR. Bukhari dan Muslim melalui Ibnu Umar). Di sisi lain, Allah

yang langsung menjanjikan kemudahan memelihara dan memahami al-Qur’an bagi

siapa yang bermaksud memelihara, mengingat dan memahaminya.91

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka


adakah orang yang mengambil pelajaran?” ( Q.S. al-Qamr/54: 17 )

Oleh karena itu, kalimat ‫اذﻛﺮن‬ yang muncul dalam bentuk imperatif,

berfungsi ke dalam diri istri-istri Nabi dan keluar kepada masyarakat. Maksudnya

istri-istri Nabi saw berkewajiban untuk mengingat dan tidak boleh melupakan apa

yang dibacakan di hadapan mereka oleh Nabi berupa ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah,

di samping juga dituntut untuk menyampaikannya kepada masyarakat.92 Tugas

91
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 268
92
Perhatikan komentar Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, juz 22, h. 20
143

pengajaran ini menjadi sangat penting untuk mendukung dakwah Nabi dan

mempercepat penyebaran risalah.

Meskipun ayat 34 di atas tidak menunjuk siapa yang membaca ayat-ayat itu,

namun yang jelas, Nabi saw membacakannya kepada keluarga beliau. Namun

demikian, meskipun mukhâthabnya ditujukan kepada istri-istri Nabi, tetapi

sebenarnya cakupan makna/obyeknya lebih luas, yaitu kepada ummat Islam. Maka,

umat Islam dituntut untuk membaca atau mendengarkan --melalui apa atau siapapun--

ayat-ayat al-Qur’an dan hikmah di rumah-rumah mereka, lalu memperhatikan dan

memelihara pesan-pesannya. “Seorang yang tidak ada di dalam dirinya beberapa ayat

al-Qur’an adalah seperti rumah yang hancur.” Demikian sabda Nabi (HR. At-

Tarmidzi melalui Ibnu ‘Abbâs).93

C. Hak-hak Para Istri Nabi

Istri-istri Nabi sebagai perempuan pendamping Nabi saw mendapatkan

beberapa hak, sebagaimana mereka diharuskan melaksanakan beberapa kewajiban.

Hak-hak tersebut di samping keistimewaan sebagaimana yang telah di jelaskan di

muka, merupakan bagian dari penghormatan Allah kepada mereka sebagai istri-istri

Nabi.

1. Jaminan Mendapatkan Pemeliharaan Kesucian Diri

Sebagai Ummahât al-Mu’minîn yang hidup serumah dengan Nabi, para istri

Nabi senantiasa mendapatkan bimbingan ruhani. Bimbingan ini mengarahkan mereka


93
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 269
144

untuk melaksanakan berbagai ketentuan agama. Selain itu, Nabi senantiasa menegur

mereka bila melakukan kesalahan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang

pendamping Nabi. Sehingga, ketika mereka betul-betul insyaf dan sadar akan

kewajiban mereka dan telah mentaati segala ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya,

Allah memberikan jaminan pemeliharaan kesucian. Selain itu, ketentuan-ketentuan

tersebut bagi mereka tiada lain agar mereka tetap suci, bersih dari segala dosa.

Jaminan Allah ini diberikan sebagai penghargaan atas prestasi mereka karena

memiliki komitmen keagamaan yang tinggi dalam mendampingi Nabi saw. Firman

Allah:

“... Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,


hai ahl al-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Q. S. al-
Ahzâb/33: 33)

Kata ( ‫ ) اﻟﺮﺟﺲ‬ar-rijs pada mulanya berarti kotoran. Ini dapat mencakup

empat hal. Kekotoran berdasar pandangan agama, akal, tabiat manusia, atau ketiga

hal tersebut sekaligus. Khamr dan perjudian adalah kotoran menurut pandangan

agama dan akal. Khamr yang melekat pada badan adalah kotoran dari segi syara’,

meminumnya adalah kotoran dalam pandangan agama dan akal. Debu di baju dan
145

keringat yang melekat adalah kotoran dalam pandangan tabiat manusia. Sedang

bangkai adalah kotoran dalam pandangan agama, akal dan tabiat manusia.94

Meskipun secara tekstual ayat ini sedang membahas Istri-istri Nabi, ulama

berbeda pendapat tentang siapa saja yang dicakup oleh Ahl al-Bait pada ayat ini.

Kata ‫ اﻟﺒﯿﺖ‬sendiri secara harfiah berarti rumah, yaitu rumah tempat tinggal istri-istri

Nabi Muhammad saw. Rumah itu beliau bangun berdampingan atau menyatu dengan

masjid, yang terdiri dari sembilan kamar yang sangat sederhana95 sesuai dengan

jumlah istri Nabi pada saat ayat ini turun.

Melihat konteks ayat, maka istri-istri Nabi Muhammad saw termasuk di

dalamnya, bahkan merekalah yang pertama dituju oleh konteks ayat ini. Sebagian

ulama memperluas dengan memahami kata al-Bait dalam arti Baitullah al-Haram

sehingga Ahl al-Bait adalah penduduk Mekah yang bertakwa. Namun pendapat ini

jelas keluar dari konteks pembicaraan ayat. Meskipun demikian, dari sisi lain, tidak

dapat juga dikatakan bahwa Ahl al-Bait hanya istri-istri Nabi saw saja. Hal ini

dikarenakan redaksi ayat yang digunakan sebagai mitra bicara dalam konteks uraian

Ahl al-Bait bukannya bentuk yang digunakan khusus buat perempuan

(muannats/feminin) tetapi justru mudzakkar/maskulin yang dapat juga digunakan

untuk pria bersama perempuan. Ayat tersebut tidak menggunakan istilah ‫ﻟﯿﺬھﺐ ﻋﻨﻜﻦ‬

(yang digunakan terhadap mitra bicara perempuan), tetapi redaksi yang digunakan

adalah ‫ ﻟﯿﺬھﺐ ﻋﻨﻜﻢ‬dalam bentuk mudzakkar. Ini berarti ahl al-Bait bukan hanya istri-

94
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264
95
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 263-264
146

istri Nabi tetapi mencakup pula sekian banyak pria. Pandangan ini didukung oleh

riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini ini turun di rumah istri Nabi saw, Ummu

Salamah. Ketika itu Nabi saw memanggil Fâthimah, putri beliau bersama suaminya

yakni ‘Ali bin Abî Thâlib dan kedua putra mereka (cucu Nabi saw) yakni al-Hasan

dan al-Husain. Nabi saw menyelubungi mereka dengan kerudung sambil berdoa: “Ya

Allah mereka itulah Ahl Baitku, bersihkanlah mereka dari dosa dan sucikanlah

mereka sesuci-sucinya.” Ummu Salamah yang melihat peristiwa ini berkata: “Aku

ingin bergabung ke dalam kerudung itu, tetapi Nabi saw mencegahku sambil

bersabda: Engkau dalam kebajikan … Engkau dalam kebajikan….” (HR. at-Tirmidzi,

ath-Thabrânî dan Ibnu Katsîr melalui Ummu Salamah ra.).96

Jika dianalisis, penolakan Nabi saw untuk memasukkan Ummu Salamah ke

dalam kerudung itu, bukan karena beliau bukan ahl al-Bait, tetapi karena yang masuk

di kerudung itu adalah yang didoakan Nabi saw secara khusus, sedang Ummu

Salamah sudah termasuk sejak awal dalam kelompok Ahl al-Bait melalui konteks

ayat ini. Atas dasar ini ulama-ulama salaf berpendapat bahwa Ahl al-Bait adalah

adalah seluruh istri Nabi saw bersama Fathimah, ‘Ali bin Abî Thâlib serta al-Hasan

dan al-Husain. 97

96
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 265.
97
Ulama Syi’ah kenamaan, Thabathaba’i membatasi pengertian Ahl al-Bait pada ayat ini
hanya terbatas pada lima orang yang masuk dalam kerudung itu, yaitu Nabi Muhammad saw, ‘Ali bin
Thâlib, Fâthimah az-Zahra’ serta al-Hasan dan al-Husain. Sedang pembersihan mereka dari dosa dan
penyucian mereka dipahaminya dalam arti ‘ishmat yakni keterpeliharaan mereka dari perbuatan dosa.
Bahkan Imâm Mâlik dan Abû Hanîfah berpendapat bahwa Ahl al-Bait adalah semua anggota keluarga
Nabi Muhammad saw yang bergaris keturunan sampai kepada Hâsyim yaitu ayah kakek Nabi saw,
putra ‘Abdullah, putra ‘Abdul Muthâlib, putra Hâsyim. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,
vol. 11, h. 265-266
147

Selain itu, ketika Allah memindahkan khitab ayat (iltifât)98 dari jama’

muannatsah mukhâtabah ( ‫ ) اﻧﺘﻦ‬--pada saat menyebutkan beberapa perintah dan

kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Ummahât al-Mu’minîn-- kepada jama

mudzakar mukhâtab (‫ )اﻧﺘﻢ‬pada saat membicarakan tentang jaminan yang akan Allah

berikan kepada istri-istri Nabi saw (berupa kesucian diri dan keluarga) menarik untuk

dianalisis. Hal ini menunjukan keistimewaan seorang istri yang shaleh (melalui

gambaran istri-istri Nabi) yang akan memberikan implikasi yang sangat luas bagi

kemaslahatan orang banyak. Sebab dhamîr ( ‫ ) اﻧﺘﻢ‬lebih umum dilalahnya dibanding

dhamîr ( ‫) اﻧﺘﻦ‬. Artinya seorang istri yang shaleh tidak hanya memberi manfaat bagi

dirinya, tetapi juga keluarganya.99

2. Nabi Tidak Menikah lagi Setelah Menikahi Istri-istrinya

Allah swt telah menghalalkan Nabi menikahi istri-istrinya yang menjadi

Ummahât al-Mu’minîn berdasarkan ayat 50 Surah al-Ahzâb. Setelah Nabi menikahi

semua istrinya, turun ayat yang melarang Nabi saw untuk menambah atau mengganti

mereka dengan istri yang lain:

98
Perpindahan khitâb (subjek atau objek) ayat sering terjadi dalam Al-Qur’an, untuk
menjelaskan dan memberi tanda adanya perhatian dan dilalah khusus pada ayat. Dalam ilmu balaghah
ini di sebut iltifât.
99
Menurut pandangan ar-Râzî, Allah meninggalkan dhamîr muannats dan menggantinya
dengan dhamîr mudzakar agar mencakup kepada seluruh ahl al-bait baik perempuan atau laki-lakinya,
masuk pada orang yang mendapat jaminan Allah. Ar-Râzî, Tafsîr Ar-Râzî, juz 25, h. 210
148

“Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan


tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain) meskipun
kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya)
yang kamu miliki. Adalah Allah atas segala sesuatu maha pengawas.” (Q. S. al-
Ahzâb/33: 52)

Ketika itu Nabi saw memiliki sembilan orang istri.100 Mereka semua telah

menjadi Ummahât al-Mu’minîn, dan semua telah rela memilih Allah dan Rasul-Nya

walau hidup dalam kesederhanaan. Di sisi lain, Nabi saw pun menikahi mereka atas

pertimbangan kemaslahatan dakwah atau pemeliharaan kaum lemah. Atas dasar itu,

maka Allah membenarkan Nabi saw mempertahankan perkawinan beliau dengan

mereka, dan dalam saat yang sama beliau tidak lagi diperkenankan menikahi wanita

lain, tidak juga menceraikan mereka lalu mengganti salah seorang di antara mereka

dengan wanita lain.101

Larangan mengganti istri-istri Nabi yang telah ada dengan istri-istri yang lain

(‫)وﻻان ﺗﺒﺪل ﺑﮭﻦ ﻣﻦ اْزواج‬, dipahami oleh sementara orang sebagai larangan

mempertukarkan istri antar dua orang suami. Al- Qurthubi mengemukakan pendapat

sementara ulama serta riwayat dari ad-Dâraquthni bahwa Abû Hurairah ra.

menyatakan bahwa pada masa Jahiliah pergantian tersebut adalah dengan ucapan

seorang suami kepada pria lain: “Tukarkanlah istrimu kepadaku dan aku pun

menukarkan istriku kepadamu, nanti kutambahkan sesuatu untukmu”, lalu turunlah

ayat ini. Pendapat yang disinggung oleh al-Qurthubi dan ditampiknya ini, sungguh

tidak tepat karena cara hubungan seperti ini sama sekali tidak dikenal pada masa

100
dua orang telah lebih dahulu wafat, Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah.
101
Demikian lebih kurang pendapat Sayyid Quthub, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,
Vol. 11, h. 299-300, h. 306
149

jahiliah. Lebih buruk lagi pendapat itu, jika dikatakan larangan tersebut ditujukan

kepada Nabi. Sungguh jauh dari kesopanan siapa pun yang berpendapat demikian.102

Larangan Allah kepada Nabi untuk menikah lagi atau mengganti istri-istrinya

yang ada dengan wanita lain adalah karena Allah bermaksud hendak memelihara

Nabi,103 demi kebaikan Nabi sebagai pemimpin umat serta kebaikan para istri Nabi

sebagai Ummahât al-Mu’minîn yang telah rela memilih hidup bersama Nabi dalam

kesederhanaan duniawi, mengesampingkan segala keinginan akan keindahan dunia.

Mereka juga menjadi contoh dan teladan bagi kaum muslimah dalam kesetiaan

terhadap suami dan keyakinan mereka.104

3. Haram Dinikahi setelah Nabi saw Wafat

Penyebutan istri-istri Nabi saw sebagai Ummahât al-Mu’minîn pada

dasarnya mempunyai dampak tertentu dari segi hukum. Karena istri-istri Nabi

menjadi ibu dari orang-orang yang beriman, maka mereka mempunyai kedudukan

seperti ibu dari orang-orang yang beriman, orang-orang yang beriman harus

menghadapi mereka (Ummahât al-Mu’minîn) seperti menghadapi ibu mereka

102
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 11, h. 307
103
sesuai dengan makna kata ‫ رﻗﯿﺒﺎ‬, yang akar katanya terdiri dari huruf-huruf ra’, qaf dan ba’.
Makna dasarnya adalah tampil tegak lurus untuk memelihara sesuatu. Pengawas adalah raqîb, karena
Dia tampil memperhatikan dan mengawasi untuk memelihara yang diawasi. Allah yang bersifat Raqîb,
adalah Dia yang mengawasi, atau yang menyaksikan, atau mengamati dari saat ke saat, makhluk-Nya.
Demikian tiga makna yang dikemukakan al-Qurthubi. Allah Raqîb terhadap segala sesuatu,
mengawasi, menyaksikan dan mengamati segala yang dilihat dengan pandangan–Nya, segala yang
didengar dengan pendengaran-Nya, serta segala yang wujud dengan ilmu-Nya. Perlu pula ditambahkan
bahwa pengawasan ini, bukan bertujuan mencari kesalahan atau menjerumuskan yang diawasi, tetapi
justru sebaliknya. Ayat-ayat al-Qur’an yang menampilkan sifat Allah ini, memberi kesan pengawasan
yang mengandung makna pemeliharaan, demi kebaikan yang diawasi, sejalan dengan makna
kebahasaan yang dikemukakan di atas. Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 11, h. 307-
308
104
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 11, h. 308
150

sendiri, yaitu harus menghormati Ummahât al-Mu’minîn dan tidak boleh menikah

dengan mereka selama-lamanya, sebagaimana ibu mereka sendiri yang telah

melahirkan mereka. Keharaman menikahi istri-istri Nabi saw ini berdasarkan ayat:

“…Dan kamu tidak boleh menyakiti (hati) Nabiullah dan tidak (pula)
menikahi istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya
perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) disisi Allah” (Q. S. al-Ahzâb/33:
53)

Menurut al-Qurthubi larangan mengawini istri Nabi saw pada ayat di atas

dikarenakan ada ucapan seorang munafik yang berkata, “Kalau Muhammad

meninggal, maka saya akan mengawini istrinya.” Riwayat lain menyatakan bahwa

yang mengucapkan adalah seorang mu’min. Ketika ayat ini turun akhirnya dia

bertobat dan menebus dosa-dosanya (kafârat) dengan memerdekakan hamba sahaya,

menyumbangkan sepuluh unta untuk jihad fi sabilillah dan melaksanakan ibadah haji

dengan berjalan kaki.105

Keharaman menikahi istri-istri Nabi dikarenakan mereka mendapat gelar

Ummahât al-Mu’minîn dan Ummahât al-Mu’minîn mempunyai tugas yang tidak

ringan setelah meninggalnya Nabi saw. Selain berdosa, ada alasan lain mengapa istri-

105
mengenai istri Nabi yang akan dinikahi, menurut riwayat Ibnu Abî Hâtim dari Ibnu Zaid dan
as-Suddi adalah ‘Âisyah. Sedangkan orang mu’min yang berniat menikahinya, menurut riwayat Ibnu
Abî Hâtim dari Ibnu ‘Abbâs dan as-Suddi adalah Thalhah bin ‘Ubaidillah. Lihat K. H. Q. Shaleh dan
H. A. A. Dahlan, Asbâbun Nuzûl, Edisi Kedua, (Bandung: Diponegoro, 2003), Cet. 10, h. 440-441
151

istri Nabi tersebut haram dinikahi. Syekh Muhammad bin Yusuf ad-Dimasyqi106

mengungkapkan pendapat Ibnu Thulun yang meresum alasan keharaman menikahi

istri-istri Nabi saw:

“Ada perbedaan pendapat mengenai alasan keharaman menikahi istri-istri


Nabi saw Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah beliau wafat. Ada yang
mengatakan sebabnya karena istri-istri Nabi saw shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah ibu kaum Mu’minin. Ada lagi yang mengatakan bahwa penghalalan istri-
istri Nabi saw shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang selain beliau itu
merendahkan kedudukan beliau. Ada lagi yang mengatakan bahwa alasannya
karena mereka istri-istri Nabi saw shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga. Ada
lagi yang mengatakan bahwa alasannya ialah karena perempuan di surga
menjadi suami [istri] dari suami terakhirnya di dunia.”107

4. Etika Pergaulan dalam Menghadapi Rumah Tangga Nabi

Nabi Muhammad adalah utusan Allah swt yang membawa kabar gembira

kepada manusia yang beriman akan adanya pahala bagi mereka yang beramal sholeh.

Selain itu, Nabi juga memberikan peringatan kepada umat manusia akan adanya

balasan berupa siksa dan azab bagi manusia yang mengingkari ajaran yang

dibawanya. Oleh karena itu, agar manusia mendapatkan pahala dan terhindar dari

dosa sehingga dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat, Nabi Muhammad diutus

untuk memberikan petunjuk mengenai jalan yang mesti ditempuh manusia. Petunjuk

itu berupa ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnahnya. Sebagai seorang Nabi yang

mempunyai jasa yang begitu agung, maka seyogyanya manusia senantiasa

menghormati Nabi Muhammad. Oleh karena itu, Allah swt mengatur umat manusia

106
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 295
107
Maka apabila istri-istri Nabi yang merupakan Ummahât al-Mu’minîn tidak menikah lagi,
otomatis mereka akan menjadi penghuni surga sebagaimana suami mereka, Nabi saw.
152

dengan aturan pergaulan terutama dalam menghadapi Nabi dan rumah tangganya

(istri-istrinya). Firman Allah:

“Hai orang-orangyang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah


Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu
waktu masak (makanannya); tetapi jika kamu diundang maka masuklah, dan
bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asik memperpanjang
percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu
Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu
(menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada
mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang
demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. …” (Q. S. al-Ahzâb/33:
53)

Dalam ayat di atas Allah menerangkan kepada kaum mu’minin untuk

menghormati Nabi-Nya, termasuk di dalamnya istri-istrinya yang menjadi ibu bagi

mereka (Ummahât al-Mu’minîn) baik dalam keadaan menyendiri atau di dalam

khalayak ramai.

Ada dua hal pokok yang dikandung ayat ini, pertama, menyangkut etika

mengunjungi Nabi (rumahnya) di mana di dalamnya terdapat istri-istrinya, kedua,

menyangkut hijab –yang berkaitan dengan etika berhubungan dengan para istri Nabi.
153

Dalam hal yang pertama, menurut sahabat Nabi, Anas bin Malik, ayat ini

turun ketika Nabi melangsungkan pernikahannya dengan Zainab Binti Jahsy. Ketika

itu Nabi menyiapkan makanan untuk para undangan. Namun setelah mereka makan,

sebagai undangan. Namun setelah mereka makan, sebagian undangan –dalam riwayat

ini dikatakan tiga orang– masih tetap duduk berbincang-bincang. Nabi saw masuk ke

kamar ‘‘Âisyah lalu keluar, dengan harapan para tamu masih tinggal itu telah pulang,

tetapi belum juga, maka beliau masuk lagi ke kamar istri yang lain, demikian

seterusnya, silih berganti masuk dan keluar ke kamar-kamar semua istri beliau.

Akhirnya mereka keluar juga setelah sekian lama Nabi saw menanti. Anas Ibnu Malik

yang menuturkan kisah ini berkata: “Maka aku menyampaikan hal tersebut kepada

Nabi saw maka beliau masuk. Aku pun ketika itu akan masuk tetapi telah dipasang

hijab antara aku dan beliau, lalu turunlah ayat ini”.108

Dalam riwayat lain sahabat Nabi saw Anas Ibnu Malik menyatakan bahwa

Sayyidina Umar ra. mengusulkan kepada Nabi saw, “Wahai Nabi, orang baik dan

tidak baik masuk ke rumahmu, apakah tidak sebaiknya engkau memerintahkan

Ummahât al-Mu’minîn (istri-istri Nabi) memasang hijâb?” Maka turunlah ayat ini

yang memerintahkan penggunaan tabir. Kedua riwayat di atas tidak harus

dipertentangkan. Bisa saja Sayyidina ‘Umar mengusulkan beberapa saat sebelum

terjadinya undangan Nabi merayakan perkawinan beliau dengan Zainab ra. itu.109

108
HR. Bukhari melalui Anas Ibnu Malik. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,Vol. 11, h.
309-310
109
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,Vol. 11, h. 310
154

Dari ayat ini, ada beberapa aturan kesopanan (etika) yang dijelaskan dalam

menghadapi Nabi dan rumah tangganya (istri-istrinya, Ummahât al-Mu’minîn):

1. Menyangkut etika mengunjungi Nabi (rumahnya) di mana istri-istri beliau berada

di dalamnya :

a. Orang yang beriman dilarang memasuki rumah-rumah Nabi saw kecuali setelah

mendapatkan izin dari beliau ( َ‫ﻟَﺎ َﺗ ْﺪﺧُﻠُﻮا ﺑُﯿُﻮتَ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱢ إِﻟﱠﺎ َأنْ ﯾُ ْﺆذَنَ ﻟَﻜُﻢْ إِﻟَﻰ ﻃَﻌَﺎمٍ ﻏَﯿْﺮَ ﻧَﺎﻇِﺮِﯾﻦ‬

‫)إِﻧَﺎه‬. Meskipun redaksi ayat ini menunjukkan adanya undangan untuk makan,

akan tetapi dalam prakteknya, sebelum dan sesudah ayat ini turun, sahabat Nabi

yang datang --baik untuk makan ataupun selainnya— tetap setelah mendapat

izin dari beliau.

b. Bila mendapat undangan makan dari Nabi, hendaknya mereka datang setelah

mengetahui masakan yang disiapkan oleh Nabi dan istri-istrinya sudah siap,

sehingga mereka tidak lama menunggu sampai masaknya makanan yang akan

dihidangkan untuk mereka. Bila makanan belum siap dan mereka masih sibuk

menyiapkan hidangan, maka masuknya tamu itu akan mengganggu ketenangan

keluarga Nabi saw, dan karena bilamana istri Nabi saw sedang bekerja akan

terlihat sebagian anggota tubuhnya yang tidak boleh terlihat oleh para tamu

c. Hendaknya segera keluar/pulang apabila mereka telah selesai makan tanpa asyik

memperpanjang percakapan, karena yang demikian itu benar-benar mengganggu


155

Nabi saw (tuan rumah), padahal beliau sendiri merasa malu untuk menyuruh

tamu keluar.110

2. menyangkut hijab –yang berkaitan dengan etika berhubungan dengan para istri

Nabi, seorang mu’min apabila ada suatu keperluan --untuk meminta sesuatu,

meminjam sesuatu barang, atau lain sebagainya ke rumah istri-istri Nabi saw,

hendaknya melakukannya dari belakang tabir dan tidak boleh berhadapan secara

langsung. Ditetapkan aturan yang demikian karena hal tersebut lebih mensucikan

hati kedua belah pihak dan tidak pula menyakiti hati Nabi saw. Aturan tentang

tabir ini kemudian menjadikan ayat ini dikenal dengan sebutan ayat hijâb.

110
Dari kandungan ayat ini pula disimpulkan bahwa menghadiri undangan sifatnya sunnah,
meminta izin sifatnya wajib, dan berlama-lama sehingga mengganngu hukumnya haram. M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 311
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian tentang istri-istri Nabi saw dalam al-Qur’an dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut:

1. Ayat-ayat yang menerangkan tentang istri Nabi menggunakan dua term/lafaz,

yaitu Azwâj an-Nabiy dan Nisâ an-Nabiy. Pada lafaz Azwâj an-Nabiy, hukum

yang berlaku hanya bagi istri-istri Nabi yang mendapat gelar Ummahât al-

Mu’minîn. Sedang pada Nisâ an-Nabiy, meskipun ayat tersebut turun berkaitan

dengan istri-istri Nabi, akan tetapi ayat tersebut dapat berlaku umum ma’nanya

bagi seluruh perempuan yang beriman karena ayat-ayat al-Qur’an merupakan

petunjuk dan peringatan bagi seluruh manusia (al-‘Ibroh bi ‘umûm al-lafzhi lâ bi

khushûsh as-sabab). Selain itu, Ummahât al-Mu’minîn adalah teladan bagi

perempuan yang beriman, maka mereka perlu dijadikan contoh.

2. Istri-istri Nabi yang dinikahi beliau secara sah dan sudah digauli adalah Khadîjah

binti Khuwailid, Saudah binti Zam’ah, ‘Âisyah binti Abû Bakar ash-Shiddîq,

Hafshah binti ‘Umar bin Khaththâb, Ummu Salamah, Juwairiyah binti al-Hârits

bin Abû Dhirar, Zainab binti Jahsy, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Habîbah

binti Abû Sufyân bin Harb, Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, Maimunah binti

al-Hârits al-Hilâliyah. Mereka mendapatkan merupakan gelar kehormatan yang


157

diberikan oleh Allah swt, yaitu Ummahât al-Mu’minîn. Gelar tersebut berasal dari

al-Qur’an surah Al-Ahzâb/33 ayat 6.

3. Ummahât al-Mu’minîn secara etimologi berarti para ibu orang-orang yang

beriman. Meskipun demikian, ibu di sini bukan berarti ibu yang melahirkan,

melainkan yang menempati kedudukan ibu bagi orang-orang yang beriman.

Mereka disebut ibu karena kedudukan mereka bagi orang yang beriman adalah

seperti kedudukan ibu kandung yang melahirkan dalam hal kewajiban dihormati

dan dimuliakan, dan haram dinikahi (hubungan mahram). Sedangkan dalam hal

yang lain, seperti hubungan waris mewarisi, hukum melihat auratnya atau

berkhalwat dengan mereka, sama hukumnya dengan wanita lain yang tidak ada

hubungan mahram.

3. Istri-istri Nabi saw dalam al-Qur’an mempunyai beberapa keistimewaan dan

keutamaan. Di antara keistimewaan dan keutamaan mereka adalah mendapatkan

balasan yang berlipat ganda dan rezeki yang mulia (surga), kedudukan yang tidak

sama dengan wanita lain, dan rumahnya adalah tempat dibacakan wahyu Allah

(Al-Qur’an) dan sumber Sunnah Nabi. Selain mendapatkan keistimewaan dan

keutamaan, mereka juga mempunyai beberapa kewajiban serta hak sebagai istri

Nabi dan teladan umat. Kewajiban mereka adalah memelihara kehormatan dan

kesucian diri, melaksanakan kewajiban agama, serta menyampaikan dan

mengajarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sedangkan hak-hak yang didapat

mereka adalah jaminan mendapatkan pemeliharaan kesucian diri, Nabi tidak

dibolehkan menikah lagi setelah menikahi mereka, mereka haram dinikahi orang
158

lain setelah Nabi saw wafat, dan adanya etika tertentu yang harus dipegang oleh

kaum mu’minin apabila bergaul dengan istri-istri Nabi dalam rumah kenabian.

Adanya keutamaan dan keistimewaan bagi mereka dikarenakan mereka adalah

para pendamping Nabi saw dalam menjalankan misi risalah dan dakwah Islam.

Selain itu, mereka adalah wanita pilihan yang telah rela memilih keridhoan Allah

dan rasul-Nya sehingga rela hidup dalam kesederhanaan.

B. Saran-saran

1. Hendaknya umat Islam selalu mempunyai orang-orang yang dapat dijadikan

tokoh atau teladan dalam perilaku sehari-hari. Istri-istri Nabi saw yang mendapat

gelar Ummahât al-Mu’minîn merupakan tokoh-tokoh yang dapat dijadikan contoh

dan teladan terutama bagi wanita yang beriman.

2. Meskipun ayat-ayat yang disebut dalam tesis ini merupakan ayat yang berkaitan

langsung dengan istri-istri Nabi saw baik sebab turunnya ataupun khithabnya,

namun hendaknya ayat-ayat tersebut tetap dijadikan pedoman bagi umat Islam

pada umumnya dan kaum wanita pada khususnya. Karena ayat-ayat Al-Qur’an

merupakan petunjuk, rahmat dan penawar bagi orang yang beriman. Terutama

agar dapat memperoleh petunjuk tersebut, maka sebaiknya ayat-ayat al-Qur’an

dikaji kembali secara lebih mendalam.


159

Lalu apa sebenarnya keterkaitan ketakwaan dengan menghindari berbicara


dengan laki-laki asing dan keharusan mereka berbicara dengan perkataan yang
ma’ruf?
1. Takwa adalah takut kepada Allah. Maka hendaknya Ummahât al-Mu’minîn
senantiasa merasa takut kepada Allah khususnya azab karena mereka adalah
seorang istri nabi. Maka hendaknya mereka selalu memelihara diri dari azab
Allah, terutama karena mereka sebagai pendamping seorang Rasul, maka
seharusnya mereka menjaga diri mereka, minimal dengan menghindari berbicara
dengan melemah lembutkan suara. Bagaimanapun sebagai seorang istri nabi,
mereka adalah kepanjangan lidah Nabi dalam menyampaikan ajaran Nabi setelah
beliau meninggal, maka tentunya mereka selalu berhubungan dengan orang lain,
terutama para sahabat yang kebanyakan adalah laki-laki yang menanyakan
tentang hukum-hukum agama kepada mereka. Selain itu, setelah Nabi saw wafat,
mereka adalah janda-janda yang mempunyai kedudukan terhormat di mata umat,
maka tentu saja ada orang yang bermaksud kurang baik kepada mereka. Oleh
karena itu, maka yang pertama kali dilarang adalah berkata dengan mengada-
ngada suara.
2. Selain menghindari gaya pembicaran yang dapat menimbulkan masalah, terutama
keinginan laki-laki asing terhadap mereka, mereka juga diharuskan senantiasa
berkata dengan perkataan yang ma’ruf, yaitu senantiasa menjaga gaya dan isi
pembicaraan sehingga terkesan wajar dan apa yang dibicarakan hanyalah hal-hal
yang mengandung faedah bagi umat.

SARAN
DAFTAR PUSTAKA

‘Abdul Hâdi, Ahmad, Al-Umm fi al-Qur’ân al-Karîm, terjemah Bahasa Indonesia Al-
Qur’an Berbicara Tentang Ibu oleh Abdul Aziz Salim Basyarahil, Jakarta:
Gema Insani Press, 2001, Cet. IV

Abu Syuqqah, Abdul Halim, Tahrir al-Mar’ah fî ‘Ashr ar-Risâlah, penerjemah


Chairul Halim, jilid 2, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, Cet. 2

Al-Abyârî, Ibrâhîm, Al-Mausû‘ah Al-Qur’âniyyah, Jilid VIII, T.Tmp: Mu’assasah


Sijil al-‘Arab, 1984.

Ahmad, KH. Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996

Al-Qur’an dan Terjemahnya, Khadim al-Haramain asy-Syarifain

Al-Alûsî, Abû al-Fadhl Syihâbuddîn as-Sayyid Mahmûd, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-
Qur’ân al-‘Adzîm wa as-Sab’ al-Matsânî, Beirut: Ihya at-Turâts al-‘Arabî, t.th.

Al-‘Asqalânî, Syihâb ad-Dîn Abû al-Fadhl Ahmad bin ‘Ali Bin Hajar, Al-Ishâbah fî
Tamyîz ash-Shahâbah, Beirut: Dar Shâdir, T. Th., j. 4

Badr, Abdullah Abu as-Su’ud, Tafsîr Umm al-Mu’minîn ‘Âisyah Radhiya Allâhu
‘anhu, alih bahasa M. Syamsuddin PT, Jakarta: Darul Falah, 1996

Al-Baidhawi, ‘Abdullah Ibnu ‘Umar, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, Beirût:


Dâr al-Fikr, Tth.

Ba’labakkî, Munir, Al-Mawrid, Beirut: Dâr al-‘Ilm lial-Malayain, 1986

Al-Bâqi, Muhammad Fu’ad ‘Abd, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Qur’ân al-


Karîm, Beirût: Dâr al-Fikr, Tth.

Bin Ishaq, M. Yasar, Sirah Ibnu Ishaq Sejarah Nabi Tertua, Buku ke-1, Dewi
Candraningrum, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002

Bint Asy-Syâthi’, ‘Âisyah ‘Abdurrahman, Nisâ’ an-Nabiy ‘Alaihi ash-Shalâh wa as-


Salâm, Beirût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, Tth., terjemah Bahasa Indonesia Istri-
istri Nabi Fenomena Poligami di Mata Seorang Tokoh Wanita oleh ‘Abdullah
Zaki Alkaf, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001, Cet. I
160

Al-Biqâ‘î, Burhân al-Dîn Abû al-Hasan Ibrahîm bin ‘Umar, Nazm al-Durâr fî
Tanâsub al-Âyât wa as-Suwâr, Juz VI, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995,
Cet. I

Al-Bukhârî, Abû ‘Abdillah Muhammad bin Ismâ‘îl bin Ibrâhîm Ibnu al-Mughîrah bin
Bardizbah al-Jâfî, Shahîh al-Bukhârî, Indonesia: Dâr Ihya’ al-Kutub al-
‘Arabiyyah,1981

Dahlan, Ahmad B. Zaini, As-Sîrah an-Nabawiyyah, Tashih Nâjî as-Suwaid, Beirût:


Dâr Ihya at-Turâts al-‘Arabiy, 1995

Dahlan, H. A. A. (ed.), Tafsir al-Qur’an al-Karim: Pendekatan Syalthut dalam


Menggali Essensi al-Qur’an, Bandung: CV Diponegoro, 1990, Cet. I

Dayyab, Hifni Bek, et al., Qawâ‘id al-Lughah al-‘Arabiyah, alih bahasa Prof. Drs. H.
Chatibul Umam, et al., Jakarta: Darul Ulum Press, 1991

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:


Balai Pustaka, 1989

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997, Cet. IV

Al-Farmawî, ‘Abd al-Hayy, Al-Bidâyah fî at-Tafsîr al-Maudhû‘iy, Kairo: Al-


Maktabah al-Jumhûriyah, 1977

Al-Furqon, Edisi 12 Th. II/Rojab 1424 H

Ibnu Dhiyâ’ ad-Dîn ‘Umar, Muhammad Ar-Râzi Fakhr ad-Dîn, Tafsîr al-Fakhr ar-
Râzi/At-Tafsîr al-Kabîr/Mafâtîh al-Ghaib, Beirût: Dâr al-Fikr, 1985, Cet. III

Al-Ghazaly, Muhammad, Fiqh Sirah, Bandung: Al-Ma’arif, Tth.

Haikal, Muhammad Husain, Hayah Muhammad, Kairo: Dâr al-Ma’arif, 1977,


terjemahan Bahasa Inggeris The Life of Muhammad oleh Ismail Raji al-Faruqi,
terjemahan Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia Sejarah Hidup Muhammad oleh
Ali Audah, Jakarta: Pustaka Jaya, 1974

Al-Halwani, Aba Firdaus, Wanita-wanita Pendamping Rasulullah, Yogyakarta: Mitra


Pustaka, 2002

Hamka, Prof. Dr., Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987


161

Hasan, Maimunah, 46 Pilihan Hikayat Wanita Muslimah, Yogyakarta: Absolut, 2002,


Cet. I

Hawwa, Said, Ar-Rasul Muhammad SAW, Terjemahan Bahasa Indonesia Ar-Rasul


oleh Jasiman Lc et. al., Solo: Media Insani Press, 2002, Cet. I

IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi,
Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1994, Cet. III

Ibnu ‘Arabî, Abû Bakr Muhammad bin ‘Abd al-Lâh, Ahkâm al-Qur’ân, Beirût: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988, Cet. I

Ibnu Hisyam, Abû Muhammad ‘Abdul Mâlik, As-Sîrah an-Nabawiyah, Beirût: Dâr
al-Jail, Tth.

Ibnu Katsîr, Abû al-Fidâ’, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Semarang: Toha Putra, tth

Ibnu Malik al-Andalusy, Syekh Muhammad bin Abdullah, Matan Alfiyah, alih bahasa
H. Moch. Anwar, Bandung: Al-Ma’arif, 1988

Muhammad Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah; 600 Sahabat-Wanita Rasulullah Saw


yang Menyemarakkan Kota Nabi, penerjemah Bahasa Indonesia Eva Y.
Nukman. (Bandung: Al-Bayan, 1997), cet. I.

Mustafit, Ahmad Khoiron, Inner Beauty Istri-istri Nabi Muhammad saw, (Jakarta:
Qultum Media, 2004), Cet. 1, h.93

Jam’ah, Ahmad Khalîl, Nisâ’ al-Anbiyâ’ fî Dhau’ al-Qur’ân wa as-Sunnah (buku


satu), Damaskus: Dâr Ibn Katsîr, Tth. dan Syaikh Muhammad bin Yûsuf Ad-
Dimasyqi, Azwâj an-Nabiy Shalla Allâhu ‘Alaihi Wa Sallam (buku dua),
Damaskus: Dâr Ibn Katsir, Tth, Terjemahan Bahasa Indonesia Bahasa
Indonesia: Istri-istri Para Nabi oleh Fadhli Bahri, Lc., Jakarta: Dârul Falah,
2002, Cet. II

Keraf, Dr. Gorys, Komposisi: Sebuah Kemahiran Bahasa, Ttmp: Nusa Indah
Yayasan Kanisius, 1980, Cet. VI

Khalil, Moenawar, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, Jakarta: PT Bulan


Bintang, 1994

Al-Mahalli, Jalâl ad-Dîn Muhammad bin Ahmad dan Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân
bin Abû Bakr as-Suyûthî, Tafsir al-Jalâlain, Semarang: Al-‘Alawiyyah, T.Th
162

Al-Marâghî, Ahmad Mushthafâ, Tafsîr al-Marâghî, Jilid VII dan VIII, Beirût: Dâr al-
Fikr, 1995

Al-Munawar, Prof. Dr. H. Said Agil Husin, M. A., Al-Quran membangun Tradisi
Kesalehan Hakiki, Editor Abdul Halim, Jakarta: Ciputat Press, 2002, h. 230

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap,


Surabaya: Pustaka Progressif, 1997/2002, Cet. XXV

Mustafit, Ahmad Khoiron, Inner Beauty Istri-istri Nabi Muhammad saw, Jakarta:
Qultum Media, 2004, Cet. 1

Nasr, Seyyed Hossein, The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk
Kemanusiaan, Bandung: Mizan, 2003

Al-Qaththan, Manna’ Khalil, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, t.tmp: Mansyurât al-


‘Ashr al-Hadîts, 1973

Al-Qurthûbî, Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil Barr, Al-
Istî’âb fî Ma’rifah al-Ashhâb, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995, cet. 1,
juz. 4

Quthb, Sayyid, Fî Zilâl al-Qur’ân, Beirût: Dâr al-‘Arabiyah, Tth.

-------------, Fiqh as-Sunnah, Mesir: Maktabah Dâr al-Turâts, Tth.

Rahman, Fatchur, Ikhtishar Musthalahul Hadits, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1987, Cet.


V

Rahman, Fazlur, Major Themes of the Qur’an, terjemahan Bahasa Indonesia Tema-
tema Pokok al-Qur’an oleh Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1996, Cet. 2

Razwy, Sayid A. A., Khadijatul Kubra, A Short Story of Her Life, New York: Tahrike
Tarsile Qur’an, 1992, terjemah Bahasa Indonesia Menapak Jalan Suci Sang
Putri Mekah: Sejarah Khadijah al-Kubra, Istri Rasulullah SAW oleh Mustofa
Budi Santoso, Jakarta: Lentera, 2002, Cet. I

Ridha, Muhammad Rasyîd, Tafsîr al-Manâr, Kairo: Maktabah al-Qâhirah, Tth.

Ar-Rifa’I, M. Nasib, Taysîr al-‘Aliy al-Qadîr Likhtishari Tafsîr Ibn Katsîr, Riyadh:
Maktabah Ma‘ârif, 1989, Terjemahan Bahasa Indonesia Kemudahan Dari
Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir oleh Syihabuddin, Jilid III, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000, Cet. II
163

Sa’ad, Ibnu, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, Beirut: Dâr Shâdir, T.Th., jil. 8

Salim, Muhammad Ibrahim Nisâ’ Haula ar-Rasul: Al-Qudwah al-Hasanah wa al-


Uswah ath-Thayyibah li Nisa al-Usroh al-Muslimah, alih bahasa Abdul Hayyie
al-Kattani dan Zahrul Fata, Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah
Saw, Jakarta: Gema Insani Press, 2002

As-Sayûthî, Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân bin Abû Bakr, Ad-Durr al-Mantsûr fî at-
Tafsîr al-Ma’tsûr, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990, Cet. I

Ash-Shâbûnî, Muhammad ‘Ali, Shafwah at-Tafâsir, Jakarta: Dâr al-Kutub al-


Islamiyyah, 1999/1420

Shafiyurrahman, Syaikh, Ar-Rahîq al-Makhtûm Bahts fî as-Sîrah an-Nabawiyah ‘alâ


Shahîbihâ Afdhalu ash-Shalâh wa as-Salâm, terjemahan Bahasa Indonesia
Sirah Nabawiyah oleh Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997

Shaleh, K. H. Q. dan H. A. A. Dahlan, Asbâbun Nuzûl, Edisi Kedua, Bandung:


Diponegoro, 2003, Cet. 10

As-Shauwaf, Muhammad Mahmud, Istri-istri Nabi yang Suci dan Hikmahnya, alih
bahasa A. Aziz Arief, Padang: Angkasa Raya, 1992

Shihab, Dr. M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1995

--------------------, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan


Umat, Bandung: Mizan, 1995, Cet. XIV

--------------------, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,


Jakarta: Lentera Hati, 2002, Cet. I

As-Siddieqy, T. M. Hasbi, Tafsir An-Nur, Jakarta: Bulan Bintang, 1973

Stowassser, Barbara Freyer, Women in The Qur’an, Traditions, and Interpretation,


terjemahan Bahasa Indonesia Reinterpretasi Gender: Wanita dalam al-Qur’an,
Hadits, dan Tafsir oleh H. M. Mochtar Zoerni, Bandung: Pustaka Hidayah,
2001, Cet. I

Subhani, Ja’far, The message, Terjemahan Bahasa Indonesia Ar-risalah: Sejarah


Kehidupan Rasulullah SAW oleh Muhammad Hasyim dan Meth Kieraha,
Jakarta: Lentera,1996, Cet. II
164

Asy-Syâl, Jâbir, Qishash an-Nisâ’ fî Al-Qur’ân, terjemahan Bahasa Indonesia Al-


Qur’an Bercerita Soal Wanita oleh H. Aziz Salim Basyarahil, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000, Cet. XVI

Ath-Thabârî, Abû Ja’far Muhammad, Jâmi‘ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân, Mesir:


Musthafâ al-Bâb al-Halabi, 1954

Team Tafsir Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VII dan
VIII, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press, 1995

Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Persfektif Al-Qur’ân, Jakarta:


Paramadina, 2001

Usman, Ali, Partisipasi Keluarga Rasulullah SAW dalam Merubah Sosial Budaya
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, Cet. 1

Wensinck, A.J., Al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîts an-Nabawî, Leiden:


Maktabah Brill, 1936

Yusuf, Amru, Istri Rasulullah Contoh dan Teladan, Jakarta: Gema Insani Press,
2001

Az-Zamakhsyarî, Mahmud Ibnu ‘Umar, Al-Kasysyâf ‘an Haqâiq at-Tanzîl wa ‘Uyûn


al-‘Aqawîl fî Wujûh at-Ta’wîl, Mesir: Musthafâ al-Bâb al-Halabi, 1966

You might also like