You are on page 1of 165

WAWASAN SIHIR

DALAM TAFSÎR AL-KABÎR

TESIS
Diajukan Kepada Sekolah Pasca Sarjana
Konsenterasi Tafsir-Hadis Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai
Gelar Magister Agama

Oleh :
M. Najmil Husna
03.2.00.1.05.01.0002

Pembimbing :
Prof. DR. H. Ahmad Thib Raya, MA.
DR. Abdul Wahib Mu’thi, MA.

SEKOLAH PASCA SARJANA


UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1 4 2 7 H/2 0 0 7 M
i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah adalah kata yang paling tepat untuk penulis

ucapkan sebagai wujud syukur kepada Allah Swt., atas hidayahNya

kepada penulis, hingga dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan salam

kepada Rasulullah saw., juga para sahabat dan keluarganya sebagai

cermin diri sejati dari setiap diri yang menginginkan Allah.

Pada pengantar ini, penulis ingin berterima kasih kepada

beberapa orang yang telah berjasa membantu penyelesaian tesis ini.

Pertama sekali kepada Ayahanda tercinta, Mursyid Tarekat al-Syattâriyyah

wa al-shamadiyyah, Murabbi Pondok Pesantren Al-Husna Medan, guru dan

pembimbing ruhani penulis, Buya KH. Drs. Usman Husni, MA dan

Ibunda tersayang, sumber inspirasi penulis, Ummi, Hj. Aidatul Fauziah,

Hsb, dan semua adik-adik penulis, M. Aidil Husna dan M. Ahyal Husna,

serta terima kasih kepada teman-teman “Para Pencinta Tuhan” Handoko,

Amrullah, dan Sholihin, diskusi-diskusi kita sangat membantu penulis.

Terima kasih juga kepada keluarga besar Pondok Pesantren Al-Husna.

‫ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﺟﻌﻠﻨﺎ ﳑﻦ ﳛﺒﻚ ﻭﲢﺒﻨﺎ ﻭﺃﻣﺪﻧﺎ ﺑﺸﻔﺎﻋﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺃﲨﻌﲔ‬

Kemudian kepada guru akademik penulis, Ustad DR. H. Ramli

Abdul Wahid, MA dan Ustad Prof. DR. H. Syahrin Harahap, MA, dan

teman-teman Tafsir-Hadis ALFU IAIN-SU tahun 98, yang mendukung

penulis untuk menetapkan hati bertahan ditafsir-hadis. Selanjutnya,


ii

secara khusus terima kasih penulis kepada Ustad Prof. DR. H. Ahmad

Thib Raya, MA sebagai pembimbing I tesis ini dan Ustad DR. Abdul

Wahib Mu’thi, MA sebagai pembimbing II, yang banyak memberikan

bimbingan, masukan dan kritikan terhadap tesis ini. Kemudian kepada

fihak-fihak lain yang ada di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana UIN

SYAHID Jakarta, terima kasih penulis ucapkan atas bantuan yang telah

diberikan selama ini.

Terima kasih penulis kepada teman-teman kelas Tafsir-Hadis

Sekolah Pasca Sarjana UIN SYAHID 2003, Badru Tamam, Fathurrozi,

Hafizurrahman, Fakhrurrazi, Bang Irwansyah, Kholilurrahman dan lain-

lain. Jangan pernah tanya apa yang diberikan Allah kepada kita, tapi

tanyakanlah apa yang bisa kita berikan kepada Allah.

Terakhir, terima kasih kepada keluarga besar penulis di Ciputat

Tangerang, yang telah mendukung, memotivasi dan membakar semangat

penulis untuk menyelesaikan tesis ini, semoga Allah Swt., membalas jasa-

jasa mereka.

Kupersembahkan tesis ini kepada semua orang yang sedang

merenungi hakekat alam, dan yang sedang mencari kebenaran yang tak

lagi terbantahkan. Kritik saran dan masukan-masukan penulis harapkan

sebagai pengembangan tesis ini nanti ke depan. Amin.

M. Najmil Husna
PENGESAHAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul “Wawasan Sihir Dalam Tafsîr al-Kabîr”, yang ditulis

oleh M. Najmil Husna, NIM : 03.2.00.1.05.01.0002, program studi : Tafsir-

Hadis. Telah disetujui pembimbing untuk dinilai oleh tim penguji atau

tim penilai.

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.DR.H.Ahmad Thib Raya, MA DR. Abdul Wahib Mu’thi


Tanggal : Tanggal :
iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Tesis yang berjudul Wawasan Sihir Dalam Tafsîr al-Kabîr telah


diujikan dalam sidang munaqasyah Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal ________________________ 2007 M.
Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Agama pada program strata 2 konsenterasi Tafsir-Hadis.

Jakarta, ______________ 2007 M

Panitia Sidang Munaqasyah


Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

_____________________________ ______________________________
Nip. Nip.
Anggota-Anggota

_____________________________ ______________________________
Nip. Nip.

_____________________________ ______________________________
Nip. Nip.
v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi yang digunakan di dalam tesis ini adalah pedoman


transliterasi Arab-Latin yang ada di buku Pedoman Penulisan Skripsi,
Tesis dan Disertasi oleh UIN Jakarta Press dengan sedikit modifikasi.

Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin


‫ﺍ‬ tidak dilambangkan ‫ﺽ‬ dh
‫ﺏ‬ b ‫ﻁ‬ th

‫ﺕ‬ t ‫ﻅ‬ zh

‫ﺙ‬ ts ‫ﻉ‬ ‘
‫ﺝ‬ j ‫ﻍ‬ gh

‫ﺡ‬ h ‫ﻑ‬ f
‫ﺥ‬ kh ‫ﻕ‬ q

‫ﺩ‬ d ‫ﻙ‬ k

‫ﺫ‬ dz ‫ﻝ‬ L
‫ﺭ‬ r ‫ﻡ‬ m

‫ﺯ‬ z ‫ﻥ‬ n

‫ﺱ‬ s ‫ﻭ‬ w
‫ﺵ‬ sy ‫ﻩ‬ h

‫ﺹ‬ sh ‫ﺀ‬ `

‫ﻱ‬ y
Keterangan tambahan :
a. Vokal Tunggal sihr ‫ﺳـﺤﺮ‬ h. Penulisan Kata
b. Vokal Rangkap kaifa ‫ﻛﻴـﻒ‬ amr khâriq li al-‘âdah
c. Maddah al-‘ibârah ‫ﺍﻟﻌﺒـﺎﺭﺓ‬ ‫ﺃﻣـﺮ ﺧـﺎﺭﻕ ﻟﻠـﻌﺎﺩﺓ‬
d. Ta` Marbuthah al-syahâdah ‫ﺍﻟﺸﻬﺎﺩﺓ‬ i. Huruf Kapital
e. Syaddah al-umm ‫ﺍﻷﻡ‬ al-A’râf ‫ﺍﻷﻋﺮﺍﻑ‬
f. Kata Sandang al-Baqarah ‫ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬ Fakhr al-Dîn ‫ﻓﺨﺮ ﺍﻟﺪﻳﻦ‬
al-Râzi ‫ﺍﻟﺮﺍﺯﻱ‬ Karâmiyah ‫ﻛﺮﺍﻣﻴﺔ‬
g. Hamzah al-mas`alah ‫ﺍﳌﺴﺄﻟﺔ‬
vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………… i


PENGESAHAN PEMBIMBING ………………………………………………….. iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ……………………………………………….. iv
PEDOMAN TRANSLITERASI …………………………………………………… v
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………… vi

BAB I : PENDAHULUAN ………………………………………………………… 1


A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………… 10
C. Kajian Pustaka …………………………………………………………... 11
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ……………………………………... 14
E. Metode Penelitian ………………………………………………………. 15
F. Sistematika Pembahasan ……………………………………………….. 19

BAB II : FAKHR AL-DÎN AL-RÂZI DAN TAFSÎR AL-KABÎR …………………. 21


A. Profil Fakhr al-Dîn al-Râzi ……………………………………………… 21
1. Nama, Kelahiran, Keluarga dan Kepribadiannya ……………….. 22
2. Intelektualitasnya …………………………………………………… 27
3. Sikapnya Terhadap Mazhab-Mazhab Islam ……………………… 31
B. Profil Kitab Tafsîr al-Kabîr ……………………………………………... 39
1. Sumber-Sumber Tafsirnya …………………………………………. 41
2. Metode Penafsirannya ……………………………………………… 45
3. Sikapnya Terhadap Ilmu-Ilmu Al-Quran ………………………… 49

BAB III : WAWASAN AL-QURAN TENTANG SIHIR …………………………. 53


A. Hakekat Sihir …………………………………………………………….. 53
1. Pengertian Sihir ……………………………………………………. 56
2. Perbedaan Sihir, Mukjizat Dan Karamah ……………………….. 65
B. Ungkapan Sihir Dalam Al-Quran ……………………………………… 75
1. Ungkapan Dalam Bentuk Kata Kerja ……………………………. 75
2. Ungkapan Dalam Bentuk Nama Perbuatan …………………….. 77
3. Ungkapan Dalam Bentuk Subyek ………………………………... 79
4. Ungkapan Dalam Bentuk Obyek ………………………………… 80
vii

5. Hadis Nabi Muhammad saw


Yang Berkaitan Dengan Sihir ………………………………………. 81

BAB IV : PANDANGAN IMÂM AL-RÂZI TERHADAP SIHIR ………………. 84


A. Asal Mula Sihir ………………………………………………………….. 84
B. Jenis-Jenis Sihir ………………………………………………………….. 98
1. Sihir Kaldaniyyin Dan Kasdaniyyin ……………………………… 98
2. Sihir Kekuatan Khayalan dan Pengaruh Jiwa …………………… 100
3. Sihir Dengan Bantuan Jin ………………………………………….. 103
4. Sihir Halusinasi atau Pengalihan Pandangan …………………… 109
5. Sihir Dengan Karya Yang Menakjubkan …………………………. 112
6. Sihir Dengan Alat Bantu Yang Berkhasiat ……………………….. 114
7. Sihir Penakluk Hati ………………………………………………… 115
8. Sihir Adu Domba …………………………………………………… 117
C. Hukum Sihir Dan Penyihir ……………………………………………. 119
D. Upaya Pengobatan Sihir ……………………………………………….. 127
1. Pengobatan Nusyrah ………………………………………………. 130
2. Pengobatan Ruqyah ………………………………………………... 132

BAB V : PENUTUP ………………………………………………………………… 137


A. Kesimpulan ……………………………………………………………... 137
B. Saran-Saran ……………………………………………………………... 139

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………. 140


DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………... viii
LAMPIRAN ………………………………………………………………………… ix
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keistimewaan dan kelebihan yang dimiliki Al-Quran sangat

berdampak baik, bagi orang-orang yang beriman dan meyakini kebenarannya.

Ini dimaknai dari kandungan surat al-Anfâl : 2, bahwa orang yang beriman

akan bertambah keimanannya jika mendengar ayat-ayat Al-Quran dibacakan

kepada mereka. Akan tetapi, bagi mereka yang tidak beriman atau munafik

terhadap kebenaran Al-Quran, menimbulkan dampak buruk yang sangat

memalukan. Bahkan mereka menyatakan bahwa Al-Quran adalah buku sihir,

yang mampu menyihir orang-orang hingga berubah dari keyakinan yang

selama ini dipegang (mengikuti keyakinan nenek moyang) kepada keyakinan

yang menetapkan tauhid keesaan Allah Swt. Ini dijelaskan Al-Quran di dalam

surat al-Ahqâf (46) : 7 yaitu,

‫ﻦ‬‫ﺒِﻴ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺬﺍﹶ ﺳِﺤ‬‫ ﻫ‬‫ﻢ‬‫ ﳌﹶﺎﱠ ﺟﺎﹶﺀَﻫ‬‫ﻖ‬‫ﺍ ﻟِﻠﹾﺤ‬‫ﻭ‬‫ ﻛﹶﻔﹶﺮ‬‫ﻦ‬‫ﻨﺎﹶﺕٍ ﻗﺎﹶﻝﹶ ﺍﻟﱠﺬِﻳ‬‫ﻴ‬‫ﻨﺎﹶ ﺑ‬‫ ﺃﹶﻳﺎﹶﺗ‬‫ﻬِﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﻰ‬‫ﺘ‬‫ﺇِﺫﺍﹶ ﺗ‬‫ﻭ‬
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang menjelaskan, berkatalah
orang-orang yang mengingkari kebenaran ketika kebenaran itu datang kepada mereka,
Ini adalah sihir yang nyata.

Bahkan, para rasul yang mengemban amanah untuk menyampaikan

kebenaran ajaran Allah Swt. juga disebut sebagai penyihir-penyihir gila oleh
2

umat mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Zâriyât (51) : 52

yaitu,

‫ﻥﹲ‬‫ﻮ‬‫ﻨ‬‫ﺠ‬‫ ﻣ‬‫ ﺃﹶﻭ‬‫ﺍﹾ ﺳﺎﹶﺣِﺮ‬‫ﻝٍ ﺇِﻻﱠ ﻗﺎﹶﻟﻮ‬‫ﻮ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ ﻣِّﻦ‬‫ﻠِﻬِﻢ‬‫ ﻗﹶﺒ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﻦ‬‫ ﺍﻟﱠﺬِﻳ‬‫ﺎﺃﹶﺗﻰ‬‫ ﻣ‬‫ﻛﹶﺬﺍﹶﻟِﻚ‬
Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum
mereka, melainkan mereka mengatakan, ia adalah tukang sihir atau orang gila.

Demikianlah, beberapa bukti yang ditampilkan Al-Quran tentang

kebekuan hati orang-orang kafir dan ketertutupan rasa orang-orang munafik

untuk menerima kebenaran ajaran Allah Swt. Oleh karenanya, muncul

ketertarikan dalam diri penulis untuk mengangkat tema sihir dalam sebuah

penelitian yang berbentuk tesis ini.

Sihir, sebenarnya bukanlah sebuah istilah yang baru di tengah-tengah

masyarakat, sebab dalam kenyataannya sihir telah ada sejak zaman para nabi

sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw. Kisah perjuangan Nabi Sulaiman

as., yang berhadapan dengan penyihir-penyihir kaumnya telah diabadikan Al-

Quran dalam surat al-Baqarah (2) : 102-103. Begitu juga dengan perjuangan Nabi

Musa as., yang mesti berhadapan dengan pakar-pakar sihir Fir’aun. Kisah ini

juga telah diabadikan Al-Quran dalam surat al-A’râf (7) : 103-122. Bahkan ada

riwayat hadis dalam Sunan al-Nasâi dari Zaid ibn al-Arqam, yang menceritakan
3

bahwa Rasulullah Muhammad saw., kena sihir, yang dibuat oleh seorang

Yahudi yang bernama Labîd ibn al-A’sham.1

Fenomena mistis,2 tentang sihir juga sampai ke masa kita sekarang.

Masyarakat sangat menggandrungi tayangan-tayangan televisi yang

menyiarkan acara-acara mistis. Mulai dari tayangan yang dikemas dalam film-

film sejarah klasikal hingga telenovela-telenovela kehidupan modern. Selain

itu, kemunculan tokoh-tokoh mistis seperti Dedi Corbuzer, Romi Rafael dan

David Cover Field, menyebabkan antusias masyarakat kepada dunia mistik

semakin tajam dan menjurus kepada kesesatan. Bahkan pengaruh tayangan-

tayangan tersebut meresap sampai ke anak-anak kecil, yang notabenenya

adalah penerus-penerus perjuangan agama dan bangsa.

Penelitian tentang kaum fakir di India, menunjukkan bahwa dengan

latihan dan keyakinan dari fikiran dan olah tubuh manusia, seseorang mampu

melakukan sesuatu yang luar biasa. Pada tahun 1853 M, seorang Maharaja di

Lahore Pakistan pernah meminta seorang fakir bernama Haridas untuk

menunjukkan kemampuannya. Haridas dikubur dengan peti mati yang

1
Muhammad ‘Ali al-Shâbûni, Tafsîr Âyât al-Ahkâm, (Beirut : Dâr al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1999
M/1420 H), jilid 1, h. 54. Untuk selanjutnya akan disebut dengan al-Shâbûni.
2
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mistik memiliki 2 arti, yaitu :
a. Sub sistem yang ada dalam hampir semua agama dari sitem religi untuk memenuhi hasrat manusia
mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan seperti tasawuf atau suluk.
b. Hal-hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia yang biasa.
Dalam tesis ini, penulis menggunakan arti mistik yang kedua. Lihat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988), h. 588.
4

digembok dan tanaman gandum ditanam di atas tanah kuburannya. Empat

puluh hari kemudian, kuburan haridas digali. Ketika peti mati dibuka, ternyata

Haridas masih hidup dan sehat. Selain itu, dia juga mampu berbaring di atas

ranjang berpaku tanpa cedera.3

Di Cina, juga dikenal adanya pengobatan akunpunktur, dengan

menggunakan energi chi dan yin-yang. Di Massachussets, pada tahun 1692 M

lebih dari 150 orang dihakimi karena dituduh sebagai penyihir. Bahkan pada

abad ke 17 M di Eropa, jika ada orang yang memiliki tanda lahir, maka akan

dituduh sebagai penyihir, seperti peristiwa berdarah yang terjadi di Inggris.

40.000 orang disiksa karena memiliki tanda lahir.4

Berita-berita penganiayaan terhadap orang-orang yang dituduh

sebagai penyihir juga sampai ke Indonesia. Di Jawa Tengah, hampir ratusan

orang diculik, dibunuh atau dikeroyok massa karena tuduhan sebagai dukun

santet yang suka menyihir. Bahkan seseorang lebih mudah menyalahkan nenek

tua yang tinggal di tepi hutan sendirian, sebagai orang yang menyihir sapinya

hingga sakit atau ladangnya hingga rusak. Padahal dia tidak mau menerima

kenyataan, bahwa dia tidak merawat sapi dan ladangnya dengan baik.

3
Rhiannon Lassitier, The Unexplained Series : Supranatural, terj. Veronica Angel, Misteri
Supranatural, (Jakarta : PT. Elex Media Komputindo, 2001), h. 7.
4
Ibid., h. 4.
5

Salah satu pengertian sihir adalah, waktu antara akhir malam

sebelum terbit fajar. Dari makna ini, bisa difahami bahwa terjadi kesamaran

terhadap sesuatu yang dilihat mata ketika waktu malam menjelang fajar. Boleh

jadi sesuatu yang dilihat itu adalah kenyataan dari keadaan yang sebenarnya,

dan boleh juga sebaliknya. Oleh karenanya, sihir merupakan tipu daya atau

kekuatan pesona yang digunakan untuk memalingkan penglihatan dari

keadaan yang sebenarnya.5

Dalam lingkup akidah, sihir termasuk dalam kategori sesuatu yang

terjadi di luar hukum kebiasaan, atau disebut dengan amr khâriq li al-‘âdah. Di

samping sihir, muncul juga istilah-istilah lain yang dinyatakan sebagai suatu

kemampuan yang luar biasa (amr khâriq li al-‘âdah), yaitu mukjizat dan

karamah. Bila kemunculan kemampuan yang luar biasa tersebut dari diri

seorang Nabi atau Rasul, maka disebut dengan mukjizat. Tetapi jika

kemunculannya bukan dari diri Nabi atau Rasul, maka boleh jadi hal itu adalah

karamah atau sihir.6

Para ulama dari kalangan ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah membenarkan

keberadaan kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan di luar

hukum kebiasaan. Imâm Haramain misalnya, menyatakan bahwa jika

5
Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut : Dâr al-Ma’ârif, t.th), jilid 3, h. 1951-1952.
6
‘Abdussyakûr al-Hâj Hasan, al-Nubuwwah Bain al-Mutakallimîn wa al-Falâsifah, (Malaysia :
Jami’ al-‘Ulum al-Islamiyah, 2003 M/1424 H), h. 278-279.
6

kemampuan yang luar biasa tersebut datang dari seseorang yang membawa

risalah kenabian, maka disebut sebagai mukjizat.7 Ciri utama mukjizat selalu

diiringi dengan adanya tantangan dan tidak diusahakan kemunculannya.8

Artinya, mukjizat seperti sebuah pertolongan Allah Swt., kepada para Nabi dan

RasulNya sebagai bukti kebenaran ajaran yang disampaikan mereka.

Sedangkan kemunculan karamah berasal dari diri seorang wali,

dengan syarat tidak menyalahi hukum syari’at dan sesuai dengan kaidah-

kaidah agama. Artinya, karamah terjadi bukan karena ada misi kenabian, dan

bukan pula sebagai sebuah pengantar yang mengindikasikan ke arah

kenabian.9 Oleh karenanya, karamah hanyalah suatu bentuk kemuliaan yang

diberikan Allah Swt., kepada hamba-hambaNya yang benar-benar shalih dan

patuh kepada hukum-hukumNya. Baik sihamba itu menyadari bahwa ia

memiliki kemampuan yang luar biasa ataupun tidak.10 Karamah boleh juga

bersifat suatu kemampuan yang bukan di luar hukum kebiasaan. Seperti

seseorang yang dianugerahi Allah Swt., sifat istiqamah, hingga dia stabil dalam

beribadah.11 Namun demikian, karamah bukan untuk dipertontonkan, dan

7
Imâm al-Haramain, Kitâb al-Irsyâd Ila Qawâti’ al-Adillah, (Beirut : Dâr al-Kutb al-‘Ilmiyyah,
1995 M/1416 H), h. 129-130.
8
Said Sâbiq, al-‘Aqîdah al-Islâmiyah, terj. Muktamar Islami, Akidah Islam, (Bandung : CV.
Diponegoro, 1995 M), h. 349-350.
9
Imâm al-Haramain, Kitâb al-Irsyâd Ila Qawâti’ al-Adillah, h. 131-132.
10
Ibid.
11
Said Sâbiq, al-‘Aqîdah al-Islâmiyah, h. 351-352.
7

tidak perlu digunakan sebagai penantang karena sifatnya memang bukan

untuk menaklukkan.

Adapun sihir, sebagaimana tinjauan makna bahasa yang lalu,

hanyalah sebuah tipuan pandangan mata. Kemampuan sihir muncul dari

seorang yang kafir, fasik dan munafik. Allah Swt., memang memberikan

kelebihan tersebut kepada mereka sebagai istidrâj. Yaitu agar mereka tetap

tenggelam dalam kekufuran, kefasikan dan kemunafikannya.12 Kemampuan

sihir seseorang sering digunakan untuk menghancurkan atau menipu. Oleh

karenanya, kemampuan sihir ada yang didapatkan dari proses pembelajaran

atau latihan dan ada juga lewat bantuan syeithan.13

Ada sekelompok orang yang meyakini eksistensi black magic dan

white magic. Bila sesuatu yang luar biasa tersebut keluar dari seorang nabi, wali,

ulama atau orang yang shalih, maka mereka mengatakan hal itu adalah white

magic. Begitu juga sebaliknya, bila muncul dari seorang dukun, peramal atau

non muslim dinamakan black magic.14 Dari pengertian ini tampak ada

kesimpang siuran, sehingga sangat perlu dicari pengertian yang lebih logis.

12
Abû Bakr ibn Muhammad ibn Sayyid al-Hanbali, al-Tashdîq bi Karâmah al-Auliyâ min
‘Aqîdah Atbâ ’i Khatm al-anbiyâ, terj. Saefullah MS, Karamah Para Wali Menurut Pandangan
Ahlussunnah, (Jakarta : Darussunnah Press, 2004), h. 22.
13
Ibid., h, 23.
14
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2000), Vol 1, h. 270.
8

Dalam memahami kenyataan dan pengaruh yang dikeluarkan dari

sihir, pendapat para ulama terbagi dalam dua kelompok, yaitu :15

1. Kelompok yang meyakini bahwa sihir mempunyai pengaruh dan benar-

benar nyata. Pendapat ini diusung oleh mufassir-mufassir dari

kelompok ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah. Mereka berpedoman kepada surat

al-Baqarah (2) : 102 dan riwayat asbâb al-nuzûl surat al-Falaq (113) : 4 yaitu,

hadis yang diriwayatkan oleh Zaid ibn al-Arqam tentang seorang

Yahudi yang bernama Labîd ibn al-A’sham menyihir Nabi Muhammad

saw., sehingga beliau sakit dan merasa berbuat sesuatu, padahal tidak.

2. Kelompok yang tidak meyakini keberadaan dari fakta sihir dan juga

tidak percaya bahwa sihir itu berpengaruh. Pendapat ini diusung oleh

mufassir-mufassir dari kelompok Muktazilah. Mereka berpedoman

kepada surat al-A’râf (7) : 116 dan Thâhâ (20) : 66-69. Mereka juga

berpendapat bahwa jika sihir dapat membuat sesuatu yang luar biasa,

seperti berjalan di atas air, terbang di udara atau merubah tanah menjadi

emas, maka kehebatan mukjizat akan sirna, sebab keduanya sama-sama

sebuah perbuatan yang dilakukan dengan luar biasa. Di samping itu,

manusia tidak perlu susah-susah bekerja, cukup dengan sihir saja maka

kebutuhan hidup terpenuhi.

15
Al-Shâbûni, Tafsîr Âyât al-Ahkâm, h. 54-55.
9

Imam al-Zamakhsyâri dalam tafsir al-Kasysyâf mewakili kelompok

Muktazilah, menyatakan bahwa sihir sebenarnya sesuatu tipuan yang tidak

pernah terjadi dengan sebenar-benarnya. Ini ditemukan ketika dia menafsirkan

surat al-falq pada ayat yang mengandung kata al-naffâtsât. Secara zahir, apa

yang dilakukan orang-orang yang meniup tali temali dengan membaca

mantera-mantera menurutnya tidak mempengaruhi apa-apa. Jika seseorang

ingin mempelajarinya, tentu ia akan mampu dan bisa melakukan seperti yang

dilakukan oleh para tukang sihir tersebut. Imam al-Zamakhsyâri juga menukil

sebuah sya'ir yang menyebutkan bahwa mempelajari sihir bukan untuk

diamalkan, tetapi untuk mencari kelemahannya.16 Menurut penulis, ungkapan

Imam al-Zamakhsyâri ini, menjadi salah satu sebab yang membuat Imam al-

Râzi termotivasi untuk melakukan penafsiran maksimal terhadap ayat-ayat

tentang sihir.

Adapun Syeikh Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manâr

mengingkari keberadaan sihir. Ini ditemukan ketika dia menafsirkan surat al-

Falaq pada ayat yang berbunyi, wa min syarr al-naffâtsât fi al-'uqad. Menurutnya,

yang dimaksud dengan al-naffâtsât adalah orang-orang yang mengadu domba

antar sesame. Merekalah orang-orang yang memutuskan persaudaraan dan tali

silaturrahim. Mereka juga membakar semangat dendam di antara kelompopk-

16
Imâm al-Zamakhsyâri, Tafsîr al-Kasysyâf, (Beirut : Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1415 H/1995
M), Jilid 4, h. 816-817.
10

kelompok orang yang telah menjalin ikatan persaudaraan. Mereka ini

dinamakan al-namîmah. Sedangkan al-namîmah menurutnya merupakan salah

satu cabang dari ilmu sihir.17 Di samping itu, perbuatan al-namîmah membawa

kepada kesesatan, karena orang yang berbuat demikian akan cenderung ingin

menyesatkan orang lain. Pengkaburan kebenaran menjadi kesesatan menurut

Syeikh Muhammad Abduh adalah perbuatan sihir.

Begitu juga Syeikh Rasyîd Ridha. Sebagai murid Muhammad Abduh,

dan banyak memberi komentar dalam tafsir al-Manâr berpendapat bahwa ilmu

sihir hanya sebuah kebohongan dan tipu daya belaka. Dia sependapat dengan

gurunya Muhammad Abduh dan mengusung pendapat kelompok Muktazilah.

Ini ditemukan dalam penafsirannya terhadap surat al-An'âm : 7. Menurutnya,

ayat tersebut sangat jelas menerangkan bahwa sihir merupakan perbuatan

tipuan dan kebohongan dan tidak dapat memberi manfa'at atau mudharat.

Sedangkan terhadap hadis Imam Bukhari yang menceritakan bahwa Rasulullah

saw pernah tersihir, Rasyid Ridhâ mentakwilkannya. Bahwa Rasul tidak

tersihir tetapi pandangan istri-istrinya yang tersihir sehingga melihat Nabi saw

seolah-olah melakukan sesuatu padahal beliau tidfak melakukannya.18 Selain

itu, menurutnya perawi hadis tersebut dinilai cacat oleh mayoritas ulama.

17
18
11

Ibn Kastîr dalam Tafsîr al-Qurân al-'Azhîm menyatakan bahwa ilmu

sihir dapat dipelajari dan nyata keberadaannya. Bahkan seseorang yang mahir

sihir dapat merubah sesuatu kepada sesuatu yang lain. Tetapi mempelajari

ilmu sihir menurutnya makruh karena hanya akan mendatangkan bahaya.19 Al-

Marâghi dalam penafsirannya terhadap surat al-baqarah : 102 menyatakan

bahwa para penyihir sanggup melakukan sesuatu yang luar biasa karena

menggunakan perantara. Ada yang menggunakan jin dan ada juga yang

menggunakan alat-alat yang dibacakan mantera. Semuanya ini membuktikan

bahwa sihir ada dan bisa dipelajari. Hanya terdapat perbedaan ulama dalam

hukum mempelajarinya.20

Imam Fakhr al-Dîn al-Râzi tampil dengan kitab tafsirnya Mafâtih al-

Ghaib mewakili kalangan mufassir-mufassir ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah banyak

memberikan kontribusi pemikiran dan perhatian terhadap masalah sihir. Oleh

karenanya, Penulis memilih untuk meneliti kitab tafsirnya tersebut. Di samping

itu, penobatan para ulama terhadap kitab tafsirnya bahwa kullu syai’in fîhi illâ

al-tafsîr (semua ilmu ada di dalam kitabnya, kecuali tafsir itu sendiri), juga

memacu penulis untuk membuktikannya.

Penulis berasumsi, bahwa ada alasan dan bukti yang valid dari

penafsiran Imâm al-Râzi terhadap ayat-ayat tentang sihir, sehingga sihir

19
20
Ahmad Mushthofa al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, (Beirut : Dâr al-Fikr, t.t) Jilid 1, h. 181.
12

dinyatakan bukan sesuatu kemampuan yang luar biasa dan tidak berada di

luar hukum kebiasaan (khâriq li al-‘adah). Artinya, pendapat Imâm al-Râzi

tentang kenyataan sihir berbeda dengan mazhab yang dianutnya, yaitu mazhab

ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah. Bahkan, di sisi lain Imâm al-Râzi mewajibkan belajar

ilmu sihir, sebagaimana wajib belajar terhadap ilmu-ilmu Agama yang lain.

Upayanya ini sangat terlihat ketika dia menafsirkan firman Allah Swt., dalam

surat al-Baqarah (2) : 102.

Dalam menjelaskan ayat tersebut, Imâm al-Râzi mengaitkannya

dengan ayat sebelumnya, yaitu al-Baqarah (2) : 99-101. Kelompok ayat-ayat

tersebut menceritakan tentang keburukan pekerjaan Yahudi. Salah satunya

adalah mempelajari sihir dan mengajarkannya guna menghancurkan orang

lain.21 Menurutnya, Sihir adalah sesuatu yang sebab kemunculannya masih

tertutup atau tersembunyi, sehingga yang tergambar bukan hakikat

sebenarnya, melainkan sebuah tipu daya dari kebohongan belaka.22

Selanjutnya, ia menyatakan bahwa sihir hanyalah perbuatan yang

memalingkan pandangan orang dari pandangan yang sebenarnya. Dia juga

melandasi penafsirannya ini kepada surat al-A’râf (7) : 116.23 Dalam hal ini,

21
Imâm al-Râzi, Tafsîr al-Fakhr al-Râzi al-Musytahar bi al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-
Ghaib, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1993 M/1414 H), jilid 2, h. 220.
22
Ibid., h. 223.
23
Ibid.
13

terlihat Imâm al-Râzi seolah-olah hendak menyatakan bahwa selama seseorang

belum mengetahui hakikat sesuatu, maka dia masih tersihir oleh sesuatu itu.

Kemudian Imâm al-Râzi menyatakan bahwa sihir bisa dan wajib

dipelajari dan diperbolehkan untuk mengajarkannya, apalagi digunakan untuk

menghancurkan sihir juga. Pernyataannya ini menimbulkan konflik dikalangan

ulama. Untuk itu, di dalam tesis ini penulis mencoba untuk menganalisis

penafsiran Imâm al-Râzi terhadap ayat-ayat yang berkenaan dengan sihir,

sehingga dapat ditemukan sintesa dari hakikat sihir tersebut. Oleh karenanya,

penulis membuat judul tesis ini adalah wawasan sihir dalam kitab Tafsîr al-

Kabîr karya Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian-uraian yang lalu, terdapat berbagai permasalahan

seputar sihir. Untuk itu, penulis telah merumuskan satu masalah yang akan

penulis coba untuk membahasnya, yaitu bagaimana penafsiran Imâm al-Râzi

tentang sihir dalam kitab tafsirnya.

C. Kajian Pustaka

Literatur-literatur sihir antara lain, kitab Syams al-Ma’ârif al-Kubrâ dan

Manba’ Ushûl al-Hikmah karya Imâm ‘Ali Al-Bûni. Didalam kitabnya itu, Imâm
14

‘Ali al-Bûni banyak sekali membahas cabang-cabang ilmu sihir. Mulai dari

persoalan kaitan angka-angka Arab-Romawi terhadap jiwa manusia, wifik-

wifik, jampi-jampi, mantera-mantera hingga tentang ilmu ramalan atau

perbintangan. Selain itu, ada juga kitab al-Awfâq karya Imâm al-Ghazali yang

mengkhususkan kajian tentang wifik-wifik. Kemudian kitab Tâj al-Mulk karya

Teungku Kota Karang yang berbahasa Melayu, mengkhususkan kajian pada

alamat dan gejala-gejala alam serta perbintangan.

Selain itu, ada juga kitab Mafâtih al-Ghaib karya Ahmad Mûsâ al-

Zarqâwi yang terdiri dari 232 halaman, berisi tujuh risalah, banyak

menceritakan masalah mantera-mantera yang digunakan untuk menyihir.

Kemudian kitab Fath al-Mâlik al-Majîd atau sering disebut Mujarrabah al-Dairâbi

karya Ahmad al-Dairâbi, terdiri dari 143 halaman. Banyak membahas masalah-

masalah ayat-ayat hikmah, do’a-do’a hikmah yang dapat digunakan sebagai

penghancur dan tangkal sihir. Ada juga buku Bahjah al-Sâmi’în Fî Taskhîr Muluk

al-Jîn Ajma’în karya ahli-ahli sihir yang terkenal dengan panggilan Hud-Had.

Kemudian buku al-Sab’ al-Kawâkib al-Sayyârah karya filosof Yunani Hilmus yang

banyak menceritakan tentang ilmu perbintangan dan ramalan bintang.

Ada juga kitab al-Rahmah Fî al-Thib Wa al-Hikmah karya Jalâl al-Dîn al-

Sayûthi yang banyak menguraikan tentang bacaan-bacaan yang dapat

digunakan sebagai do’a pengobatan. Kemudian kitab al-Thibb al-Rakkah karya


15

Dr. Abdurrahmah Ismâ’il yang banyak mengulas tentang kedokteran dan

kesehatan, dengan menggabungkan metode modern dengan metode masa lalu.

Kemudian ada juga kitab yang banyak berisi ramalan-ramalan karya Abû

Ma’syar al-Falaki yang bernama Thâli’ al-Maulûd Li al-Rijâl Wa al-Nisâ ‘Alâ al-

Burûj. Kitab ini banyak mengulas masalah-masalah perjodohan. Selanjutnya

kitab al-Fihrasât karya Muhammad ibn Ishaq yang banyak menguraikan

masalah-masalah gejala-gejala alam dan kaitannya dengan ramalan. Dan masih

banyak lagi kitab-kitab dan buku-buku yang membahas sihir.

Selanjutnya ada buku yang berjudul Daf’ al-Syar Min al-Hasd Wa al-

Sihr karya Ibn Qayyim Al-Jauziyah, mengkhususkan pembahasan pada tafsir

surat al-Falq (113). Dalam bukunya al-Thibb al-Nabawi, Ibn Qayyim juga banyak

mengarahkan kajian kepada terapi atau pengobatan orang yang terkena sihir.

Selanjutnya, buku yang berjudul al-Munqiz al-Qurân Li Ibthâl al-Sihr wa ‘Ilâj al-

Mas al-Syayâthîn karya Syeikh Muhammnad al-Shâyim, membahas tentang

ayat-ayat al-Quran dan surat-surat yang dapat dijadikan sebagai penangkal

sihir (ruqyah). Selain itu, dia juga menyebutkan sebab–sebab orang terkena sihir,

dan jenis–jenis penyakit yang disebabkan oleh sihir.

Untuk literatur yang telah membahas tentang Imâm al-Râzi, penulis

menemukan buku yang berjudul Manhaj al-Fakhr al-Râzi fi al-Tafsîr Baina

Manâhij Mu’âshírihi karya Muhammad Ibrâhîm ‘Abd ar-Rahmân. Dalam


16

bukunya, Muhammad Ibrâhîm membandingkan antara metode penafsiran

Imâm al-Râzi dengan mufasir–mufasir yang hidup sezaman dengannya. Di

buku tersebut, dijelaskan juga posisi al-Râzi dalam berbagai ilmu dan mazhab–

mazhab Islam. Selanjutnya, buku yang berjudul al-Imâm al-Fakhr al-Dîn al-Râzi

Hayâtuhu Wa Atsâruhu karya ‘Ali Muhammad Hasan al–‘Imâri, membahas

tentang sejarah kehidupan Imâm al-Râzi. Bahkan buku tersebut, juga

membahas sekilas tentang kitab tafsirnya. Kemudian, penulis menemukan tesis

S2 karya Surahman Amin yang berjudul Wawasan Jin Dalam Al-Quran : Studi

Tentang Tafsir Mafâtih al-Ghaib Karya al-Râzi, terbitan Program Pasca Sarjana

UIN Syarif Hidayatullah tahun 1425 H/2004 M, mengungkapkan pandangan

al-Razi tentang asal–usul jin, tujuan penciptaan jin, perbedaan jin dengan

manusia, seputar kehidupan jin dan solusi terapi al-Quran untuk menghindari

Jin. Demikianlah beberapa literatur yang telah penulis temukan. Adapun

pembahasan sihir atau tentang Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi dan kitab tafsirnya

yang lain, banyak tersebar di berbagai kitab atau buku, tetapi dalam bentuk

sub-sub judul pembahasan.

D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini adalah :
17

1. Untuk menjawab rumusan masalah sebagaimana yang telah ditetapkan

pada sub bahasan sebelumnya.

2. Untuk memberikan solusi bagi masyarakat terhadap sikap muslim

dalam menghadapi sihir.

3. Untuk mengkritisir faham yang selama ini berlaku di masyarakat, yaitu

sihir terlarang untuk dipelajari dan digunakan.

Sedangkan kegunaan yang dinginkan dari penelitian tesis ini adalah :

1. Sebagai sumbangan pemikiran terhadap aktifitas pengembangan

pemikiran tokoh-tokoh tafsir, sekaligus sebagai perbandingan bagi para

peneliti-peneliti sihir dan peneliti-peneliti kitab tafsir Mafâtih al-Ghaib.

2. Sebagai aktualisasi petunjuk-petunjuk Al-Quran dalam memberikan

solusi qurani ketika menghadapi persoalan-persoalan sihir.

3. Sebagai upaya untuk menetralisir faham tentang ilmu sihir yang

berkembang di masyarakat.

E. Sumber Dan Metode Penelitian

Telah menjadi suatu ketetapan, bahwa setiap penelitian yang akan

dilakukan mesti menggunakan beberapa metode dan teknik penelitian. Untuk

itu, penulis juga menggunakan beberapa teknik dan metode serta langkah–

langkah yang diterapkan selama melaksanakan penelitian.


18

1. Obyek, Jenis dan Pendekatan Penelitian

Obyek penelitian tesis ini adalah kitab Tafsîr al-Kabîr Wa Mafâtih al-

Ghaib karya Imâm Fakhr Dîn al-Râzi. Oleh karenanya, jenis penelitian ini

adalah penelitian kepustakaan atau library research, sebab cara pengumpulan

data-datanya didapatkan dengan membaca penafsiran Imâm al-Râzi terhadap

ayat–ayat tentang sihir. Selain itu, disertakan juga pembacaan buku– buku atau

kitab–kitab yang terkait dengan pembahasan materi ayat dan literatur– literatur

yang terkait dengan judul penelitian.

Sedangkan pendekatan yang akan dipakai adalah, pendekatan

linguistik dan filosofis. Dengan maksud, memberikan batasan–batasan dari

makna yang terkandung dalam penafsiran Imâm al-Râzi. Kemudian

mengungkapkannya secara logis berdasarkan aspek–aspek yang menjadi

perhatian Imâm al-Râzi selama menafsirkan ayat–ayat tentang sihir.

Selanjutnya, berdasarkan pokok dan rumusan masalah yang telah

ditetapkan, maka untuk menemukan konsep yang utuh tentang sihir dalam

penafsiran Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, digunakan teknik eksploratif. Sedangkan

untuk mengungkapkan data–data dari berbagai sumber tentang sihir,

digunakan teknik deskriptif.

2. Sumber data penelitian


19

Sesuai dengan judul tesis ini, maka sumber primer yang penulis

gunakan adalah kitab Tafsîr al-Kabîr Wa Mafâtih al-Ghaib yang diterbitkan oleh

Dâr al-Fikr Beirut pada tahun penerbitan 1993 M/1414 H. Kitab tafsir ini terdiri

dari 17 jilid yang terbagi dalam 32 juz. Kemudian yang menjadi data primernya

adalah teks-teks penafsiran Fakhr al-Dîn al-Râzi terhadap ayat–ayat tentang

sihir, yang berjumlah 63 ayat.

Selanjutnya, untuk memudahkan penelusuran ayat-ayat Al-Quran

tersebut, penulis menggunakan al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfâz al-Qurân karya

Muhammad Fu`âd ‘Abd al-Bâqi. Sedangkan untuk memudahkan pelacakan

hadis-hadis Nabi saw., tentang sihir, penulis menggunakan al-Mu’jam al-

Mufahras Li Alfâz al-Hadîts al-Nabawi karya A.J Wensink. Sebagai alat bantunya,

penulis menggunakan CD Mausû’ah al-Qurân al-Karîm dan CD Mausû’ah al-Kutb

al-Tis’ah.

Adapun sumber sekundernya adalah beberapa kitab tafsir yang

dianggap pembanding penafsiran Imâm al-Râzi, seperti Tafsîr al-Qurân al-

‘Azhîm karya Ibn Katsîr dan buku-buku lain yang membahas sihir, seperti buku

al-Sharâim al-Battâr karya Abdus Salam Bali, Khazînah al-Asrâr karya

Muhammad Haqq an-Nâzili dan al-Azkâr karya Jalâl al-Dîn al-Sayûthi.

3. Teknik pengolahan dan analisis data


20

Dalam pengolahan dan analisis data, penulis menggunakan metode

content analysis untuk menganalisis ide-ide Imâm al-Râzi dalam

penafsirannya.24 Sedangkan untuk mencari wawasan ayat-ayat Al-Quran

tentang sihir, penulis menggunakan metode tematik. Dalam proses analisis

data, penulis telah menyusun beberapa langkah yang akan diterapkan, yaitu :

a. Mengelompokkan dan menganalisis beberapa ayat tentang sihir dengan

menampilkan penafsiran Imâm al-Râzi.

b. Mencari makna atau pengertian yang terkandung dalam penafsiran-

penafsiran Imâm al-Râzi.

c. Menganalisis penafsiran Imâm al-Râzi dengan membandingkannya

kepada penafsiran mufassir-mufassir lain.

d. Menyeleksi seluruh infromasi–informasi yang relevan dengan

permasalahan dan menyusunnya sesuai dengan outline yang telah

ditentukan.

4. Teknik pengambilan kesimpulan

Dalam pengambilan kesimpulan, penulis menggunakan metode

induktif dan deduktif secara bersamaan. Ini berguna untuk menemukan sebuah

kesimpulan tentang penafsiran sihir sesuai dengan yang dimaksudkan oleh

Imâm al-Râzi. Selanjutnya, teori tersebut akan dikemas menjadi sebuah konsep

24
Jalaluddin Rahmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1989),
h.122.
21

Qurani sehingga dapat ditawarkan bagi pengembangan ilmu, terutama ilmu

tafsir Al-Quran, khususnya penafsiran mufassir.

F. Sistematika Pembahasan

Tesis ini terdiri dari lima bab. Untuk bab yang pertama dijelaskan latar

belakang permasalahan, pokok dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan

penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Ini

dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum tentang teknik dan cara

penulis dalam mengkaji, mencari dan menemukan solusi dari permasalahan

yang akan diteliti.

Adapun pada bab yang kedua, penulis membahas tentang profil

Imâm al-Râzi dan kitab tafsirnya. Pada bab ini, penulis menguraikan riwayat

hidup Imâm al-Râzi dan segala yang berhubungan dengan kehidupannya,

keintelektualitasannya dan ditutup dengan uraian sikap Imâm al-Râzi terhadap

mazhab-mazhab Islam. Selanjutnya penulis menguraikan profil kitab tafsir

Imâm al-Râzi, sumber-sumber literatur penafsirannya, metode penafsirannya

dan sikapnya terhadap ilmu-ilmu Al-Quran. Dengan uraian-uraian tersebut

penulis menemukan gambaran umum sosok seorang Fakhr al-Dîn al-Râzi.

Sedangkan pada bab yang ketiga, penulis mencantumkan deskripsi

umum wawasan Al-Quran tentang sihir, dengan diawali penjelasan terhadap

hakekat sihir dari segi pengertiannya dan perbedaannya dengan mukjizat dan
22

karamah. Kemudian diuraikan juga beberapa contoh ayat Al-Quran yang

mengandung bentuk-bentuk ungkapan kata sihir dalam Al-Quran dan juga

contoh dari hadis Nabi saw., tentang sihir. Dari uraian-uraian tersebut penulis

menemukan gambaran umum tentang sihir, walaupun belum terarah dengan

maksimal.

Pada bab yang keempat, penulis menjabarkan pandangan-

pandangan dan penafsiran-penafsiran Imâm al-Râzi terhadap ayat-ayat sihir.

Pada bab ini dimulai dengan deskripsi tentang asal mula sihir, jenis-jenis sihir,

hukum sihir dan penyihir (dukun) dan diakhiri dengan penjelasan tentang

upaya pengobatan sihir. Uraian-uraian tersebut dimaksudkan untuk

menemukan konsep sihir yang diinginkan oleh Imâm al-Râzi dalam kitab

tafsirnya. Dengan demikian, akan ditemukan jawaban dari permasalahan yang

telah dirumuskan.

Sedangkan pada bab yang terakhir, yaitu bab yang kelima, penulis

akan menyimpulkan pembahasan dan mengupayakan rumusan masalah baru,

sebagai saran untuk pengembangan tesis ini.


21

BAB II

FAKHR AL-DÎN AL-RÂZI DAN TAFSIR AL-KABÎR

A. Profil Fakhr al-Dîn al-Râzi

Ada 3 orang ulama dari berbagai bidang keilmuan yang punya

julukan sama, al-Râzi. Mereka semua berasal dari satu daerah, yaitu Ray.1

Penulis akan menyebutkan sebagiannya, agar tidak terjadi kesalahan dalam

pemahaman ketika disebutkan nama al-Râzi.

1. Abu Bakr Muhammad ibn Zakariâ al-Râzi. Popular sebagai dokter (al-

thabîb). Menurut Ibn Khalkan, dia adalah seorang dokter yang

memiliki dedikasi tinggi dan punya banyak karya tulis yang sangat

bermanfaat. Imâm al-Râzi (penulis tafsir) banyak menukil pendapat-

pendapatnya.2

2. Abû al-Husein Ahmad ibn Fâris ibn Zakariâ al-Râzi. Populer sebagai

pakar bahasa dan sastra. Menurut Ibn Khalkan, dia juga seorang

1
Alî Muhammad Hasan al-‘Imâry, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi Hayâtuhu wa Âtsâruhu,
(Uni Emirat Arab : al-Majlis al-a’lâ al-Syu`ûn al-Islâmiyah, 1969 M), h. 35 a/d 39. Selanjutnya
akan disebut al-‘Imâry.
2
Syams al-Dîn Ahmad ibn Muhammad ibn Abû Bakr ibn Khalkan, Wafayât al-A’yân wa
Anbâ` al-Abnâ al-Zamân, (Beirut : Dâr al-Shâdir, 1978 M/1398 H), jilid 5, h. 157-158.
Selanjutnya akan disebut Ibn Khalkan.
22

penulis yang handal, terbukti dari 2 bukunya yang menjadi referensi

ulama al-Mujmal dan Hulliyah al-Fuqahâ.3

3. Fakhr al-Dîn al-Râzi, pengarang kitab tafsir al-Kabîr. Dia dikenal juga

sebagai pakar ilmu tauhid dan penganut mazhab Imâm Syâfi’i.4

Demikianlah beberapa ulama yang dinisbahkan kepada kata al-Râzi

dalam penabalan nama-nama mereka. Untuk penelitian tesis ini, penulis

mengarahkan kajian kepada Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, si pengarang tafsir.

Berikut ini akan diuraikan pribadi Imâm al-Râzi al-Mufassir.

1. Nama, Kelahiran, keluarga dan Kepribadian Imâm al-Râzi.

Nama asli Imâm al-Râzi adalah Muhammad ibn ‘Umar ibn al-

Husein ibn al-Hasan ibn ‘Ali al-Râzi al-Qurasyi al-Bakri al-Thabrastâni.5

Nasabnya diduga sampai ke sahabat Nabi saw., Abû Bakr al-Shiddîq,

sehingga dia dinisbahkah ke Quraisy dari kelompok Tâim. Adapun julukan

yang disematkan para ulama kepadanya adalah Abû ‘Abdullâh, Abû al-

Ma’âli, Abû al-Fadhl, Ibn al-Khathîb al-Ray. Sedangkan gelar yang diberikan

kepadanya adalah al-Imâm, Fakhr al-Dîn, Syeikh al-Islâm dan al-Râzi.6 Gelar

3
Ibid, jilid 1, h. 118.
4
Ibid, h. 248-249.
5
Ismâ’îl Abû al-Fidâ` Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, (Beirut : Dâr al-Kutb al-
‘Ilmiyyah, t.th), jilid 7, juz 13, h. 57. Selanjutnya akan disebut Ibn Katsîr.
6
Al-‘Imâry, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi Hayâtuhu Wa Âtsâruhu, h. 11-12.
23

yang sangat banyak ini menjadi saksi akan kehebatan ilmu yang dimilikinya.

Bahkan banyak para ulama yang memuji keluasan ilmu dan kedalaman

pemahamannya terhadap persoalan-persoalan agama.

Imâm al-Râzi dilahirkan di kota Ray pada tanggal 25 Ramadhân

tahun 544 H/1150 M. Wafat di kota Harrât pada hari senin di hari raya Idul

Fithri pada tahun 606 H, diusia 62 tahun 6 hari.7 Imâm al-Râzi terlahir di

tengah-tengah keluarga Arab yang telah bermukim di Thabrastan, tepatnya

di kota Ray. Ayahnya adalah seorang ulama terkemuka di sana, bernama

Imâm Dhiyâ’ al-Dîn Abû al-Qâsim al-Râzi. Dia adalah seorang pakar ilmu

fiqh dan ushûl. Dia juga murid Abû al-Qâsim al-Anshâri, yang juga adalah

murid Imâm al-Haramain. Oleh karenanya, pengaruh mazhab kalam al-

asy’ariyah pada diri Imâm al-Râzi sangat besar, karena ayahnya juga

bermazhab al-asy’ariyah, dan dia juga pernah mendidik Imâm al-Râzi.8

Setelah menimba ilmu dari ayahnya, Imâm al-Râzi juga menimba

ilmu dari beberapa ulama terkenal di daerahnya, seperti Majd al-Dîn al-Jîlî,

Muhammad al-Baghawi dan Imâm al-Kamâl al-Samnâni. Selanjutnya, dia

melakukan perjalanan ilmiyah (rihlah ‘ilmiyyah) ke beberapa kota di sekitar

daerah Ray, seperti Bukhâra, Khawârizm dan daerah-daerah lainnya. Akan

7
Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm ibn ‘Abd al-Wâhid al-Syaibâni Ibn al-Atsîr,
al-Kâmil Fî al-Târîkh, (Beirut : Dâr al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1988 M/1418 H), jilid 10, h. 350. Lihat juga
Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, juz 4, h. 57.
8
Ibn Khalkan, Wafayât al-A’yân, jilid 4, h. 252
24

tetapi ajaran-ajaran yang disampaikan, kurang mendapat respon baik, karena

berbeda faham dengan faham yang telah dianut oleh tokoh-tokoh keilmuan

di kota-kota tersebut. Kondisi ini menyebabkan munculnya perlakuan yang

tidak baik dari masyarakat setempat, sehingga dia pernah terusir dari

beberapa daerah yang dikunjunginya. Kondisi ini juga memaksa Imâm al-

Râzi untuk kembali ke kota Ray.9

Di kota Ray, Imâm al-Râzi menemui Sultan Syihâb al-Dîn al-

Ghouri untuk membawanya menghadap Sultan ‘Alâ` al-Dîn Muhammad ibn

Tuksyi al-Khawârizmi. Ternyata sultan menyambut baik keinginan Imâm al-

Râzi untuk mengembangkan ide-ide ajarannya. Bahkan Sultan Syihâb al-Dîn

al-Ghouri memberikan dana untuk mensubsidi usaha pengembangan ajaran-

ajarannya. Dari sini tampak bahwa ada jalinan kuat antara penguasa daerah

Ray dengan Imâm al-Râzi, bahkan anaknya ada yang dinikahkan dengan

salah seorang dari penguasa tersebut.10

Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi juga memiliki saudara kandung yang

dijuluki Rukn al-Dîn. Berbeda dengan Imâm al-Râzi, Rukn al-Dîn memiliki

sifat yang sangat tidak baik, dia merasa dirinya lebih pintar dan lebih alim

dari Imâm al-Râzi. Bahkan dia sangat iri melihat perhatian dan pengaruh

besar Imâm al-Râzi terhadap masyarakat di masanya. Untuk menghindari

9
Ibid., h. 251-252.
10
Ibid., h. 250.
25

perpecahan di antara saudara, sekaligus menunjukkan kecintaannya dalam

bersaudara, Imâm al-Râzi meminta kepada sultan Khawârizmi untuk

mempekerjakan saudaranya itu. Lantas sultan menerima permohonannya,

dan memberi pekerjaan sebagai pengawal benteng di istana.11

Imâm al-Râzi juga memiliki 5 orang anak. Yang paling besar

bernama Dhiyâ’ al-Dîn, yang dijuluki Abdullâh, anak yang kedua bernama

Muhammad dan yang ketiga bernama Syams al-Dîn. Sedangkan anak yang

keempat dan yang kelima adalah perempuan. Salah satu dari anak

perempuannya, ia nikahkan dengan salah satu petinggi kerajaan yang

bernama, Jalâl al-Dîn Tuksyi ibn Muhammad ibn Tuksyi.12

Pada tahun 617 H tentara Tar Tar di bawah pimpinan Jenghis Khan

menyerbu kota Ray dan membunuh penduduknya. Bahkan mereka masuk ke

kota Harrât tempat keluarga Imâm al-Râzi menetap. Mesjid tempat Imâm al-

Râzi mengajarkan ilmu-ilmunya dibakar oleh mereka. Demi keselamatan

keluarganya, Jalâl al-Dîn Tuksy suami salah seorang anak perempuan Imâm

al-Râzi, mengerahkan semua kemampuan untuk melindungi rumah dan

keluarga mertuanya. Akan tetapi, ketika tentara Tar Tar sampai ke lokasi

rumah Imam al-Razi, mereka menangkap seluruh keluarganya dan orang-

11
Al-‘Imâry, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi Hayâtuhu Wa Âtsâruhu, h. 23-24.
12
Ibid., h. 25-26.
26

orang yang ikut berlindung di rumah tersebut. Keluarga Imâm al-Râzi

diasingkan ke Samarkand, sedangkan yang lain dibunuh.13

Ayah Imâm al-Râzi mendidiknya dengan sangat baik dalam

lingkungan yang sangat religius, sehingga kepribadian al-Râzi terbentuk

menjadi seorang manusia yang wara’ dan shaleh. Bahkan Imâm al-Râzi

melakoni hidup secara sufistik. Ini dilihat dari beberapa wirid, shalat, puasa

dan jenis-jenis ibadah lain yang telah menjadi rutinitasnya. Imâm al-Râzi juga

sangat mencintai para ulama. Dia sangat mengharap keberkahan dari ulama-

ulama yang pernah ditimba ilmunya. Selama hidupnya, Imâm al-Râzi sangat

sering menangis, karena ingat akan mati dan juga karena nikmat Allah Swt.,

kepadanya. Dia merasa ilmu yang dia miliki merupakan cobaan besar bagi

dirinya, yang akan dimintai pertanggung jawabannya.14

Selain itu, Imâm al-Râzi memiliki akhlak yang sangat mulia. Dia

mencontohkan praktek budi pekerti tersebut ke anak-anaknya, hingga ketika

anaknya Muhammad wafat, dia memujinya dengan mengatakan anak

tersebut adalah anak yang shaleh. Bahkan dia memohon kepada siapa saja

yang teringat kepada anaknya tersebut, untuk mendoakannya dengan

13
Ibn al-Atsîr, al-Kâmil Fî al-Târîkh, h. 409. Lihat juga al-‘Imâry, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-
Râzi Hayâtuhu wa Âtsâruhu, h. 27.
14
Ibn Katsîr, al-Bidâyah Wa al-Nihâyah, h. 57-58.
27

membaca surat al-Fâtihah.15 Demikian beberapa kepribadian Imâm al-Râzi

dalam keluarga dan masyarakatnya.

2. Intelektualitas Imâm al-Râzi.

Awal karir intelektul Imâm al-Râzi dimulai dari pendidikan yang

diberikan oleh ayahnya sendiri, yaitu Imâm Dhiyâ’ ad-Dîn. Dari ayahnya,

Imâm al-Râzi belajar ilmu fiqh dan ilmu ushûl. Dia memperdalam fiqh atas

mazhab Imâm al-Syâfi’i, bahkan dia sangat membela mazhab tersebut

walaupun sangat ironis kalau disebut ta’ashshub. Bahkan Imâm al-Râzi

memiliki karya dalam bidang fiqh, yaitu kitab al-Tharîqah al-‘Alâiyah dan

Syarh al-Wajîz. Dalam bidang ushul yaitu kitab Ibthâl al-Qiyâs. Kemudian

Imâm al-Râzi juga hapal kitab al-Mu’tamad karya Imâm Hasan al-Bashri dan

kitab al-Mustashfâ karya Imâm al-Ghazâli.16

Dalam bidang ilmu kalam, Imâm al-Râzi belajar ke Imâm Majd al-

Dîn al-Jîlî. Bahkan Imâm al-Râzi juga hapal kitab al-Syâmil karya Imâm al-

Haramain dalam bidang ilmu kalam. Selanjutnya, dia juga menyusun karya

dalam bidang ilmu kalam, antara lain yaitu kitab Ta`sîs al-Taqdîs, Asrâr al-

Tanzîl Wa Anwâr al-Ta`wîl, I`tiqâdât Firaq al-Muslimîn Wa al-Musyrikîn, Risâlah

15
Al-‘Imâry, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi Hayâtuhu Wa Âtsâruhu, h. 25.
16
Ibid., h. 19.
28

al-Jauhar al-Fard dan al-Mathâlib al-‘Âliyyah. Di dalam karya-karyanya ini,

Imâm al-Râzi sangat membela faham asy’ariyah.17

Dalam bidang filsafat dan ilmu mantiq, Imâm al-Râzi sangat

membela filsafat, walaupun dia bermazhab asy’ariyah. Ini terlihat dari

beberapa karyanya yang membias dengan faham-faham filsafat. Karya-

karyanya di bidang filsafat antara lain adalah Syarh al-Isyârat, Lubâb al-Isyârat

dan al-Mulakhkhas Fî al-Falsafah. Dalam karya-karyanya tersebut, Imâm al-

Râzi sangat mendukung pemikiran filosof semisal Ibn Sînâ dan al-Thûsî.18

Dalam bidang kedokteran, nama Imâm al-Râzi tercatat sebagai

salah satu tokoh yang paling berpengaruh. Karya-karyanya dibidang

kedokteran, seperti Masâil al-Thib, Kitâb Fi al-Handasah dan Mashâdirât Iqlîdis,

dibaca dan menjadi referensi para tokoh-tokoh kedokteran setelahnya.

Bahkan menurut al-Qifthi, Imâm al-Râzi sempat mendalami ilmu kimia,

walaupun tidak sehebat pengetahuannya dalam kedokteran. Pengaruh

keilmuannya ini juga mempengaruhi penafsirannya, seperti analisisnya

terhadap surat al-Muzammil (73) tentang masalah pertumbuhan uban di

rambut.19

17
Al-‘Imâry, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi Hayâtuhu Wa Âtsâruhu, h. 45-46.
18
Ibid., h. 48-49.
19
Ibid., h. 54-55.
29

Dalam bidang ilmu hadis, keilmuan Imâm al-Râzi tidak

menunjukkan sesuatu yang istimewa. Dalam Mîzân al-I’tidâl, al-Zahabi

memasukkan Imâm al-Râzi dalam kelompok al-dhu’afâ. Akan tetapi, yang

melegakan adalah hadis-hadis fadhâil al-suwar yang ia cantumkan dalam kitab

tafsirnya, menunjukkan bahwa dia juga punya perhatian terhadap hadis-

hadis Nabi saw. Begitu juga dalam bidang sastra Arab, Imâm al-Râzi tidak

terlalu populer, walaupun dalam penafsirannya kelihatan perhatian yang

sangat besar terhadap bidang kebahasaan. Hampir seluruh persoalan

kebahasaan dalam penafsirannya dinukil dari tafsir al-Kasysyâf karya Imâm

al-Zamakhsyari.20 Tetapi, ini juga tidak menguatkan bukti bahwa Imâm al-

Râzi sangat minim pengetahuan dalam bidang kebahasaan.

Dari berbagai uraian yang lalu, terlihat bahwa intelektualitas Imâm

al-Râzi hampir mencapai tingkat kompleksitas. Wajar saja jika para ulama

setelahnya banyak menukil pendapat-pendapatnya untuk berbagai bidang.

Untuk itu, karya-karya Imâm al-Râzi hampir mencapai ratusan. Ada yang

telah diterbitkan dan ada juga yang masih dalam bentuk manuskrip,

tersimpan di berbagai perpustakaan. Karya-karya tersebut antara lain :21

kitab Tafsîr Mafâtih al-Ghaib, Tafsîr Sûrah al-Fâtihah, Tafsîr Sûrah al-Baqarah ‘Alâ

al-Wajh al-‘Aql, Kitâb Syarh al-Wajîz, Kitâb al-Tharîqah al-‘Alâiyah, Kitâb Lawâmi’

20
Ibid., h. 56 s/d 58.
21
Ibid., h. 209 s/d 213.
30

al-Bayânât, Kitâb al-mahshûl, Kitâb Fî Ibthâl al-Qiyâs, Syarh Kitâb al-Mufashshal,

Syarh Saqth al-Zindiq, Syarh al-nahj al-Balâghah, Kitâb Fadhâil al-Shahâbah, Kitâb

Manâqib al-Imâm al-Syâfi’i, Kitâb Nihâyah al-‘Uqûl Fî Dirâyah al-Ushûl, Kitâb al-

Muhshal, Kitâb al-Mathâlib al-‘Âliyah, Kitâb al-Arba’în Fî Ushûl al-Dîn, Kitâb al-

Ma’âlim, Kitâb Asâs al-Taqdîs, Kitâb al-Qadhâ Wa al-Qadr, Risâlah al-Hudûts,

Kitâb Ta’jîz al-Falâsifah, Kitâb al-Barâhin al-Bahâ`iyah, Kitâb al-Lathâif al-

Ghiyatsiyah, Kitâb Syifâ al-‘Ali Min al-khilâf, Kitâb al-Khalq Wa al-ba’ts, Kitâb al-

Khamsîn Fî Ushûl al-Dîn, Kitâb ‘Umdah al-Nazhâr, Kitâb al-Akhlâq, Kitâb al-

Risâlah al-Shahâbiyah, Kitâb al-Risâlah al-Majdiyah, Kitâb ‘Ishmah al-Anbiyâ, Kitâb

al-Mulakhkhash Fî al-Hikmah, Kitâb al-abâhits al-asyriqiyah, Kitâb al-Inârât Fî

Syarh al-Isyârât, Kitâb Lubâb al-Isyârât, Syarh Kitâb ‘Uyûn al-Hikmah, al-Risâlah

al-Kamâliyah Fî Haqâi al-Kamâliyah, Risâlah al-Jauhar al-Fard, Kitâb al-Ri’âyah,

Kitâb Fî al-Raml, Kitâb Mashâdirât Iqlîdis, Kitâb Fî Ikhtibârât al-Samâwiyah, al-

Ikhtibârât al-‘Alâiyah, Kitâb Fî al-Handasah, Kitâb Nafsah al-Mashdûr, Kitâb Fî zam

al-Dunyâ, Kitâb ihkâm al-Ahkâm, Kitâb al-Mausûm Fî al-sirr al-Maktûm, Kitâb al-

Riyâdh al-Mûniqah, Risâlah Fî al-Nafs, Risâlah Fî al-Nubuwwât, Kitâb al-Milal Wa

al-Nihal, Kitâb Dankalusya, Kitâb Mabâhis al-Wujûd, Kitâb Nihâyah ijâz Fî Dirâyah

al-I’jâz, Kitâb al-Asyribah, Kitâb al-Thibb al-Kabîr dan lain-lain.

3. Sikap Imâm al-Râzi Terhadap Mazhab-Mazhab Islam


31

Masa kehidupan Imâm al-Râzi bertepatan dengan kepemimpinan

Dinasti ‘Abbasiyyah di pertengahan abad ke enam hijriah. Pada masa itu,

kemunculan berbagai mazhab dan aliran dalam memahami ajaran agama

menyebabkan terjadi banyak pertentangan, bahkan menjurus kepada saling

mengkafirkan. Umat muslimin saat itu terperosok ke fanatisme mazhab dan

aliran. Masing-masing mengunggulkan mazhab dan alirannya, sesuai dengan

kepentingan yang diemban.

Aliran Karâmiyyah adalah salah satu aliran yang sangat

bertentangan dengan Imâm al-Râzi.22 Bahkan, sewaktu Sultan Syihâb al-Dîn

al-Ghoury tewas dibunuh oleh seseorang yang bernama Ghakkar, pengikut-

pengikut aliran Karâmiyah langsung menuduh Imâm al-Râzi, sebagai dalang

aksi pembunuhan tersebut. Ternyata, akibat yang ditimbulkan dari selisih

faham antara dirinya dengan aliran Karâmiyah, memaksanya untuk

mengasingkan diri dengan bantuan Menteri Mu`ayyid al-Mulk.23

Kondisi ini memaksa Imâm al-Râzi untuk kembali mengkaji dan

mendiskusikan persoalan-persoalan yang menjadi bahan pemecah belah

22
Aliran Karâmiyah adalah aliran kalam yang dinisbahkan kepada Abû ‘Abd Allâh
Muhammad Ibn Karâm. Dia adalah seorang zahid yang berasal dari Sijistan. Aliran ini terbagi kepada
7 kelompok, yaitu : al-Tharâyiqah, al-Ishâqiyah, al-Abadiyah, al-Yûnâniyah, al-Surmiyah dan al-
Haishâmiyah. Salah satu I’tikad mereka adalah keyakinan bahwa Allah Swt. Zat yang bermateri
(zauhar) dan tinggal di’arsy. Allah Swt. Berbentuk dengan jism dan merasuk ke sagala maujûdât. Lihat
Fakhr al-Dîn al-Râzi, I’tiqâdât Firâq al-Muslimîn wa al-Musyrikîn, (Kairo : Maktabah al-Kulliyah al-
Azhâriyah, 1398 H/1978 M), h. 101-102.
23
Ibid., h. 109-110.
32

umat saat itu. Tujuannya agar ummat sadar dan kembali bersatu di bawah

panji-panji kebenaran dengan tetap taat mengikuti sunnah Rasulullah saw.

Di masanya, dalam bidang hukum Islam (fiqh), ummat secara mayoritas

terbagi dalam kelompok mazhab Syâfi’i, mazhab Hanafi dan mazhab Mâliki

(mazhab yang paling mayoritas). Sedangkan dalam bidang akidah, ummat

terbagi dalam kelompok Asy’ariyah, Muktazilah, Karâmiyah dan Syi’ah.24

Sebagai penganut mazhab Syâfi’i dalam hukum Islam dan aliran

asy’ariyah dalam bidang akidah, tentunya sikap Imâm al-Râzi terpengaruh.

Akan tetapi, sebagai seorang sunni sejati, ternyata Imâm al-Râzi tampil

dengan mengemukakan alasan-alasan yang sangat rasional dalam menyikapi

pertentangan mazhab-mazhab. Sehingga, ide-ide yang dikemukakan tampak

sangat lugas dan memperlihatkan bahwa dia sebenarnya seorang sunni yang

moderat. Dalam tesis ini, penulis akan mencoba untuk menguraikannya.

a. Sikap Imâm al-Râzi Terhadap Karâmiyah

Bantahan Imâm al-Râzi terhadap aliran Karâmiyah, terlihat ketika

dia menafsirkan surat al-Baqarah (2) : 221 yaitu,

‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺘ‬‫ﺒ‬‫ﺠ‬‫ ﺃﹶﻋ‬‫ﻟﹶﻮ‬‫ﺮِﻛﹶﺔٍ ﻭ‬‫ﺸ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺔﹲ ﺧ‬‫ﻣِﻨ‬‫ﺆ‬‫ﺔﹲ ﻣ‬‫ﻟﹶﺄﹶﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﻣِﻦ‬‫ﺆ‬‫ ﻳ‬‫ﱴ‬‫ﺮِﻛﺎﹶﺕِ ﺣ‬‫ﻮﺍ ﺍﹾﳌﹸﺸ‬‫ﻜِﺤ‬‫ﻨ‬‫ﻻﹶ ﺗ‬‫ﻭ‬
‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺒ‬‫ﺠ‬‫ ﺃﹶﻋ‬‫ﻟﹶﻮ‬‫ﺮِﻙٍ ﻭ‬‫ﺸ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻣِﻦ‬‫ﺆ‬‫ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻟﹶﻌ‬‫ﻮﺍﹾ ﻭ‬‫ﻣِﻨ‬‫ﺆ‬‫ ﻳ‬‫ﱴ‬‫ ﺣ‬‫ﻦ‬‫ﺮِﻛِﻴ‬‫ﻮﺍ ﺍﹾﳌﹸﺸ‬‫ﻜِﺤ‬‫ﻨ‬‫ﻻﹶ ﺗ‬‫ﻭ‬

24
Lihat dalam Mukaddimah Tafsîr al-Kabîr oleh Syeikh Khalîl al-Mâyis, h. 4.
33

ِ‫ ﺁَﻳﺎﹶﺗِﻪِ ﻟِﻠﻨﺎﱠﺱ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﻳ‬‫ﺓِ ﺑِﺈِﺫﹾﻧِﻪِ ﻭ‬‫ﻔِﺮ‬‫ﻐ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺔِ ﻭ‬‫ﻨ‬‫ﻮﺍﹾ ﺇِﱃﹶ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﺍﷲُ ﻳ‬‫ﻥﹶ ﺇِﱃﹶ ﺍﻟﻨﺎﱠﺭِ ﻭ‬‫ﻮ‬‫ﻋ‬‫ﺪ‬‫ ﻳ‬‫ﺃﹸﻭﻟﹶﺌِﻚ‬
‫ﻥﹶ‬‫ﻭ‬‫ﺬﹶﻛﱠﺮ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﻢ‬‫ﻠﱠﻬ‬‫ﻟﹶﻌ‬
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik daripada orang yang musyrik walaupun dia menarik
hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.

Berdasarkan ayat tersebut, aliran Karâmiyah berpendapat bahwa

iman adalah gambaran dari ketetapan mulut (al-‘ibârah ‘an mujarrad al-iqrâr)

yang muncul dari sebuah kesaksian (al-syahâdah). Mereka juga menyatakan

bahwa keharaman dalam ayat tersebut adalah keharaman dalam bentuk iqrâr

(ketetapan di mulut). Imâm al-Râzi membantah pendapat ini dengan tiga

argumentasi, dalam penjelesannya di al-mas`alah al-khâmisah, yaitu :25

1. Iman adalah pembenaran (al-tashdïq) dengan hati sesuai dengan

firman Allah Swt., dalam surat al-Baqarah (2) : 3 yaitu,

‫ﻥﹶ‬‫ﻔِﻘﹸﻮ‬‫ﻨ‬‫ ﻳ‬‫ﻢ‬‫ﻗﹾﻨﺎﹶﻫ‬‫ﺯ‬‫ﻣِﻤﺎﱠ ﺭ‬‫ﻼﹶﺓﹶ ﻭ‬‫ﻥﹶ ﺍﻟﺼ‬‫ﻮ‬‫ﻤ‬‫ﻘِﻴ‬‫ﻳ‬‫ﺐِ ﻭ‬‫ﻴ‬‫ﻥﹶ ﺑِﺎﻟﹾﻐ‬‫ﻮ‬‫ﻣِﻨ‬‫ﺆ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﺍﹶﻟﱠﺬِﻳ‬


Mereka yang beriman kepada yang gaib dan mendirikan shalat dan yang
menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.

2. Firman Allah Swt., dalam surat al-Baqarah (2) : 8 yaitu,

25
Muhammad al-Râzi Fakhr al-Dîn Ibn Dhiya’ al-Dîn ‘Umar, Tafsîr al-Fakhr al-Râzi al-
Musytahar Bi al-Tafsîr al-Kabîr Wa Mafâtih al-Ghaib, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1994 M/1414 H), jilid 3,
juz 5, h. 64-65. Selanjutnya akan disebut dengan Imam al-Râzi. Untuk tafsirnya akan disebut dengan
Tafsîr al-Kabîr.
34

‫ﻦ‬‫ﻣِﻨِﻴ‬‫ﺆ‬‫ ﺑِﻤ‬‫ﻢ‬‫ﻣﺎﹶﻫ‬‫ﻡِ ﺍﹾﻵَﺧِﺮِ ﻭ‬‫ﻮ‬‫ﺑِﺎﻟﹾﻴ‬‫ﻨﺎﱠ ﺑِﺎﷲِ ﻭ‬‫ﻝﹸ ﺁَﻣ‬‫ﻘﹸﻮ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﺍﻟﻨﺎﱠﺱِ ﻣ‬‫ﻣِﻦ‬‫ﻭ‬
Di antara manusia ada yang mengatakan kami beriman kepada Allah dan hari
kemudian, padahal mereka itu bukan orang-orang yang beriman.

Jika memang benar iman adalah ketetapan di mulut (al-iqrâr), maka

ujung firman Allah tersebut akan tertulis wa mâ hum bi mu`minîn, tanpa

dihubungkan dengan harf waw yang berarti bohong.

3. Pembenaran yang ada di dalam hati tidak mungkin dapat

dimunculkan atau diperlihatkan. Oleh karenanya, diperlukan ucapan

lewat omongan mulut sebagai bukti pembenaran hati.

Imâm al-Râzi mengakui bahwa perselisihannya dengan aliran

Karâmiyah hanya perselisihan yang muncul dari perbedaan dalam

memahami makna lafaz. Ini semua dimaksudkan untuk menjaga tauhid

kepada Allah Swt., agar tetap benar dan tidak terjerumus dalam kesalahan.

b. Sikap Imâm al-Râzi Terhadap Muktazilah

Dalam menghadapi pendapat-pendapat Muktazilah, Imâm al-Râzi

kadang-kadang membantah keras dengan mengemukakan argumen-

argumen yang tajam. Seperti penafsirannya terhadap surat Yûsuf (12) : 76

yaitu,
35

‫ﻧﺎﹶ‬‫ ﻛِﺪ‬‫ﻪِ ﻛﹶﺬﺍﹶﻟِﻚ‬‫ ﻭِﻋﺎﹶﺀِ ﺃﹶﺧِﻴ‬‫ﻬﺎﹶ ﻣِﻦ‬‫ﺟ‬‫ﺮ‬‫ﺨ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﺳ‬‫ﻪِ ﺛﹸﻢ‬‫ﻞﹶ ﻭِﻋﺎﹶﺀِ ﺃﹶﺧِﻴ‬‫ ﻗﹶﺒ‬‫ﺘِﻬِﻢ‬‫ﻋِﻴ‬‫ﺃﹶ ﺑِﺄﹶﻭ‬‫ﺪ‬‫ﻓﹶﺒ‬
‫ﻦ‬‫ﺟﺎﹶﺕٍ ﻣ‬‫ﺭ‬‫ ﺩ‬‫ﻓﹶﻊ‬‫ﺮ‬‫ﺸﺎﹶﺀَ ﺍﷲُ ﻧ‬‫ﻦِ ﺍﹾﳌﹶﻠِﻚِ ﺇِﻻﱠ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ ﺩِﻳ‬‫ ﻓِﻲ‬‫ﺬﹶ ﺃﹶﺧﺎﹶﻩ‬‫ﺄﹾﺧ‬‫ ﻣﺎﹶﻛﺎﹶﻥﹶ ﻟِﻴ‬‫ﻒ‬‫ﺳ‬‫ﻮ‬‫ﻟِﻴ‬
‫ﻢ‬‫ﻠِﻴ‬‫ ﻋِﻠﹾﻢٍ ﻋ‬‫ ﻛﹸﻞﱢ ﺫِﻱ‬‫ﻕ‬‫ﻓﹶﻮ‬‫ﺸﺎﹶﺀُ ﻭ‬‫ﻧ‬
Maka mulailah Yûsuf (memeriksa) karung-karung mereka, sebelum memeriksa
karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung
saudaranya. Demikianlah kami atur untuk (mencapai maksud) Yûsuf. Tiadalah patut
Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah
menghendakinya. Kami tinggikan derajat orang yang kami kehendaki, dan di atas
tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.

Imâm al-Râzi menyatakan bahwa Muktazilah menjadikan ayat

tersebut sebagai dalil bahwa Allah Swt., mengetahui dengan zatNya, bukan

mengetahui dengan ilmuNya. Alasannya, jika Allah Swt., mengetahui

dengan ilmu, maka Allah Swt., memiliki ilmu. Dengan demikian di atas ilmu

Allah Swt., akan ada ilmu yang lain. Ini difahami Muktazilah lewat

keumuman ayat. Menurut Imâm al-Râzi, pendapat tersebut batal, karena

telah ada dalil-dalil lain yang menetapkan sifat ilmu pada zat Allah Swt.,

seperti surat Luqmân (31) : 34, al-Nisâ (4) : 166, al-Baqarah (2) : 255 dan Fâthir

(35) : 11. Oleh karenanya, pemahaman yang lebih tepat adalah keumuman

ayat tersebut mesti ditakhshîsh, dengan cara ilmu yang dimaksud adalah ilmu

yang dimiliki Yûsuf dan saudara-saudaranya, bukan ilmu Allah Swt.26

26
Ibid., jilid 9, juz 18, h.186-187.
36

Di tempat lain, Imâm al-Râzi terlihat menerima penafsiran

Muktazilah dan tidak merinci pendapat tersebut, seperti penafsirannya

terhadap surat al-Taubah (9) : 104 yaitu,

‫ﻮ‬‫ﺃﹶﻥﱠ ﺍﷲَ ﻫ‬‫ﻗﺎﹶﺕِ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﺬﹸ ﺍﻟﺼ‬‫ﺄﹾﺧ‬‫ﻳ‬‫ ﻋِﺒﺎﹶﺩِﻩِ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﺔﹶ ﻋ‬‫ﺑ‬‫ﻮ‬‫ﻞﹸ ﺍﻟﺘ‬‫ﻘﹾﺒ‬‫ ﻳ‬‫ﻮ‬‫ﻮﺍﹾ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﷲَ ﻫ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ ﻳ‬‫ﺃﹶﻟﹶﻢ‬
‫ﻢ‬‫ﺣِﻴ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺍﺏ‬‫ﻮ‬‫ﺍﻟﺘ‬
Tidakkah mereka mengetahui bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-
hambanya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi
Maha Penyayang.

Muktazilah berpendapat bahwa wajib pada akal hukumnya,

bahwa Allah menerima taubat hamba-hambanya. Dalam menanggapi

pendapat ini, Imâm al-Râzi menyatakan bahwa wajib Allah menerima taubat

hambanya bukan menurut akal, tetapi menurut janji, keutamaan dan

kebaikanNya. Terlihat dari penafsiran ini, bahwa Imâm al-Râzi sepakat

dengan Muktazilah untuk menyatakan bahwa Allah wajib menerima taubat

hambanya. Yang membedakan hanya argumen dari kedua belah fihak.27

c. Sikap Imâm al-Râzi Terhadap Syi’ah

Aliran Syi’ah adalah salah satu aliran mayoritas yang berdomisili

di kota Ray. Banyak penafsiran-penafsiran Al-Quran yang terlahir dari aliran

ini bertentangan dengan ajaran Asy’ariyah yang difahami oleh Imâm al-Râzi.

Contohnya, pemahaman Syi’ah terhadap surat al-Baqarah (2) : 3 yaitu,


27
Ibid., jilid 8, juz 16, h. 190.
37

‫ﻥﹶ‬‫ﻔِﻘﹸﻮ‬‫ﻨ‬‫ ﻳ‬‫ﻢ‬‫ﻗﹾﻨﺎﹶﻫ‬‫ﺯ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻣِﻤ‬‫ﻼﹶﺓﹶ ﻭ‬‫ﻥﹶ ﺍﻟﺼ‬‫ﻮ‬‫ﻤ‬‫ﻘِﻴ‬‫ﻳ‬‫ﺐِ ﻭ‬‫ﻴ‬‫ﻥﹶ ﺑِﺎﻟﹾﻐ‬‫ﻮ‬‫ﻣِﻨ‬‫ﺆ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﺍﻟﱠﺬِﻳ‬


Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan yang
amenafkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.

Menurut aliran Syi’ah, yang dimaksud dengan al-ghaib dalam ayat tersebut

adalah Imâm Mahdi al-Muntazhar. Dengan tegas Imâm al-Râzi menanggapi

bahwa pendapat tersebut batal, karena takhshîs al-muthlaq min ghair al-dalîl

(mengkhususkan teks yang muthlak tanpa ada dalil).28

d. Sikap Imâm al-Râzi Terhadap Mazhab Fiqh Imâm Hanafi dan Mâliki

Di antara pendapat-pendapat hukum dalam mazhab fiqh, maka

pendapat hukum dari Mazhab Hanafi adalah yang paling banyak mendapat

perhatian dari Imâm al-Râzi. Bahkan dia selalu mendiskusikan pendapat-

pendapat tersebut. Adapun pendapat hukum dari Mazhab Mâliki sangat

sedikit ditemukan dalam penafsirannya. Menurut Muhammad Hasan al-

‘Imâri, hal ini dikarenakan pengikut Mazhab Maliki sangat sedikit jumlahnya

di kota Ray. Sedangkan untuk Mazhab Hanbali, Imâm al-Râzi tidak

berkomentar. Kuat dugaan bahwa Mazhab Hanbali selalu melandasi

pendapatnya dengan hadis Nabi saw., padahal Imâm al-Râzi kurang

mendalami ilmu hadis.29

28
Ibid., jilid 1, juz 2, h. 32-33.
29
Muhammad Ibrâhîm ‘Abd al-Rahmân, Manhaj al-Fakhr al-Râzi Fî al-Tafsîr Baina Manâhij
Mu’âshirîh, (Kairo : al-Shadr li Khidmah al-Thibâ’ah, 1989 H), h. 181.
38

Untuk menjelaskan masalah-masalah fiqh yang terkandung di

dalam surat al-Fâtihah (1) saja, Imâm al-Râzi menghabiskan 16 lembar. Salah

satu contoh komentar Imâm al-Râzi terhadap pendapat hukum Mazhab

Hanafi adalah penafsirannya terhadap surat al-Baqarah (2) : 114 yaitu,

‫ﻟﹶﺌِﻚ‬‫ﺮﺍﹶﺑِﻬﺎﹶ ﺃﹸﻭ‬‫ ﺧ‬‫ﻰ ﻓِﻲ‬‫ﻌ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻤ‬‫ﻬﺎﹶ ﺍﺳ‬‫ ﻓِﻴ‬‫ﺬﹾﻛﹶﺮ‬‫ ﺍﷲِ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﺴﺎﹶﺟِﺪ‬‫ ﻣ‬‫ﻊ‬‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻣِﻤ‬‫ ﺃﹶ ﹾﻇﻠﹶﻢ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
ِ‫ﺓ‬‫ ﻓِﻲ ﺍﹾﻵَﺧِﺮ‬‫ﻢ‬‫ﻟﹶﻬ‬‫ ﻭ‬‫ﻱ‬‫ﻴﺎﹶ ﺧِﺰ‬‫ﻧ‬‫ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪ‬‫ﻢ‬‫ ﻟﹶﻬ‬‫ﻦ‬‫ﺍﻫﺎﹶ ﺇِﻻﱠ ﺧﺎﹶﺋِﻔِﻴ‬‫ﻠﹸﻮ‬‫ﺧ‬‫ﺪ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﻢ‬‫ﻣﺎﹶﻛﺎﹶﻥﹶ ﻟﹶﻬ‬
‫ﻢ‬‫ﻈِﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺬﹶﺍﺏ‬‫ﻋ‬
Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut
nama Allah di dalam mesjid-mesjidNya, dan berusaha untuk merobohkannya.
Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya kecuali dengan rasa takut. Mereka
di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat azab yang pedih.

Mazhab Hanafi membolehkan non muslim untuk masuk ke mesjid.

Pendapat ini didiskusikan oleh Imâm al-Râzi dengan mengemukakan enam

alasan, sekaligus menukil alasan-alasan Mazhab Syafi’I. salah satu alasannya

adalah najis, sebab non muslim termasuk dalam kelompok orang-orang yang

dianggap bernajis.30

Dari contoh-contoh yang telah dikemukakan, dapat diambil

kesimpulan bahwa Imâm al-Râzi sangat membela aliran kalam asy’ariyah dan

mazhab fiqh Imam Syafi’i. Dia ungkapkan penafsiran-penafsiran aliran di

luar asy’ariyah sebagai perbandingan untuk mencari sebuah kebenaran.

30
Imâm al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 2, juz 4, h, 19.
39

B. Profil Kitab Tafsîr al-Kabîr

Dalam penyebutan nama kitab, tafsir yang dikarang oleh Imâm al-

Râzi memiliki tiga nama yang popular, yaitu Tafsîr Mafâtih al-Ghaib, Tafsîr al-

Kabîr dan Tafsîr al-Râzi. Dari ketiga nama tersebut, sebutan Tafsîr al-Kabîr

adalah sebutan yang paling populer. Ini disebabkan luasnya lingkup

penafsiran yang terdapat di dalam kitab tafsir tersebut. Di samping itu, kitab

tafsir ini juga ditulis oleh Imâm al-Râzi setelah dia menguasai berbagai

disiplin ilmu.

Awalnya kitab Tafsîr al-Kabîr berjumlah delapan jilid. Tetapi setelah

mengalami beberapi kali revisi, maka berkembang menjadi dua belas jilid.

Yang ada di tangan penulis adalah kitab Tafsîr al-kabîr yang berjumlah 17 jilid

berikut dengan jilid fihrisnya dan terdiri dari 32 juz, yang disusun oleh Syeikh

Khalîl Muhyy al-Dîn al-Mâys, cetakan penerbit Dâr al-Fikr, Beirut tahun 1993

M/1414 H.

Ada beberapa pendapat mengenai penulisan kitab tafsir ini.

Menurut Ibn Qâdhi Syuhbah, Ibn Khalkan dan Ibn Hajar al-‘Asqalâni bahwa

Imâm al-Râzi tidak merampungkan penulisan kitab tafsir tersebut. Yang

merampungkannya adalah Qâdhi al-Qudhât Syihâb al-Dîn ibn Khalîl al-

Khûwi (w. 639) dan diteruskan oleh Syeikh Najm al-Dîn Ahmad ibn

Muhammad al-Qâmûli (w. 727 H). Ada juga perbedaan pendapat tentang
40

batas akhir penafsiran Imâm al-Râzi. Menurut al-Zahabi, setelah

menyimpulkan berbagai pendapat, maka dia sepakat bahwa Imâm al-Râzi

hanya menulis tafsirnya sampai surat al-Anbiyâ (21). Sedangkan penulisan

tafsir yang selanjutnya, diteruskan oleh dua mufassir yang telah disebutkan

belakangan.31

Akan tetapi pendapat yang lebih populer adalah pendapat yang

dinyatakan oleh Muhammad Hasan al-‘Imâri, yang merupakan hasil

penelitiannya terhadap kitab tafsir tersebut. Penelitian tersebut menunjukkan

bahwa Imâm al-Râzi telah menuntaskan penafsirannya dalam kitab Tafsîr al-

Kabîr. Alasannya adalah Imâm al-Râzi tidak menafsirkan sesuai dengan

urutan mushhaf yang dimulai dari al-Fâtihah (1) hingga al-Nâs (114). Ini

banyak ditemukan ketika dia mengungkapkan penafsirannya, seperti ketika

dia menjelaskan surat al-Baqarah (2) : 97. Ayat yang berbunyi nazalahu ‘alâ

qalbika, telah dia terangkan di surat al-Syu’arâ (26).32 Ini membuktikan bahwa

Imâm al-Râzi menafsirkan ayat Al-Quran sesuai dengan permasalahan yang

dihadapinya.

Kitab Tafsîr al-Kabîr yang ditulis oleh Imâm al-Râzi memiliki

banyak keistimewaan. Selain pembahasan-pembahasannya yang sangat

31
Muhammad Husein al-Zahabi, al-Tafsîr Wa al-Mufassirûn, (Kairo : Maktabah Wahbah,
2000 M/1421 H), juz 1, h. 207-208.
32
Imâm al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 2, juz 3, h. 213.
41

mendalam, kitab tafsir tersebut juga memancing para ulama secara dialogis

untuk mendiskusikan tentang pendapat-pendapatnya. Di samping itu,

analisis dan kritik-kritiknya terhadap berbagai aliran juga mengajak setiap

pembaca untuk hanyut dalam persoalan-persoalan akidah.

1. Sumber-Sumber Tafsîr al-Kabîr.

Oleh karena Tafsîr al-Kabîr ini hampir mencakup seluruh ilmu

pengetahuan, maka sangat wajar jika yang menjadi sumber rujukan adalah

kitab-kitab dari berbagai bidang ilmu juga. Untuk itu, penulis telah

mengklasifikasikannya dalam beberapa kelompok, yaitu :33

a. Sumber Rujukan Dari Kitab-Kitab Tafsir Muktazilah

1. Tafsîr Quthrub, karya Muhammad ibn al-Mustanir ibn Ahmad (w. 206 H).

2. Tafsîr al-Akhfasyi, karya Sa’îd ibn Mas’adah Abu al-Hasan (w. 215 H).

3. Tafsîr Abû Bakr al-Asham, karya Abû Bakr al-Asham (w. Abad 3 H).

4. Tafsîr al-Jubbai, (w. 303 H).

5. Tafsîr al-Ka’bi, (w. 319 H).

6. Tafsîr Abû Hâsyim, (w. 321 H).

7. Tafsîr al-Qaffâl al-Tsâni, (w. 365 H).

33
Al-‘Imâry, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 137.
42

8. Tafsîr al-Qâdhi ‘Abd al-Jabbâr, (w. 415 H).

9. Tafsîr Abû Muslim Muhammad ibn ‘Ali al-Ashbahâni, (w. 459 H).

10. Tafsîr al-Kasysyâf, karya Jarullah az-Zamakhsyari (w. 538 H).

b. Sumber Rujukan Dari Kitab-Kitab Tafsir Bi al-Ma`tsûr

1. Kitab-kitab yang dikarang oleh Ibn Qutaibah, seperti Ta`wîl Musykil al-

Qurân, Ma’âni al-Qurân, I’râb al-Qurân, al-Qirâ`at dan al-Radd ‘Ala al-Qâ`il

Bikhalq al-Qurân.

2. Tafsir Jâmi’ul Bayân karya Ibn Jarîr al-Thabari (w. 310 H).

3. Ma’âni al-Qurân karya al-Jajjâz (w. 311 H).

4. Tafsîr Abû Manshûr al-Mâthûridi (w. 333 H)

5. Tafsîr al-Kasyf Wa al-Bayân karya Abû Ishak al-Tsa’labi (w. 427 H).

6. Tafsîr al-Wâhidi al-Basîth Wa al-Wajîz Wa al-Wasîth.

7. Tafsîr Ma’âlim al-Tanzîl karya Abû Muhammad al-Farrâ (w. 510 H).

8. al-Jâmi’ Fî al-Tafsîr karya Abû al-Qâsim al-Asfahâni (w. 535 H).

c. Sumber Rujukan Dari Kitab-Kitab Hadis Nabi saw

1. Muwaththa` Imâm al-Mâliki (w. 179 H).

2. Shahîh al-Imâm al-Bukhâri (w. 256 H).

3. Shahîh al-Imâm Muslim (w. 261 H).


43

4. Sunan Abî Dâwud (w. 275 H).

5. Jâmi’ al-Turmûzi (w. 279 H).

6. Ma’âlim al-Sunan karya Abû Sulaimân al-Khiththâbi (w. 388 H).

7. Al-Sunan al-Kubrâ karya al-Baihâqi (w. 458 H).

8. Syarh al-Sunnah karya Husein ibn Mas’ûd al-Baghâwi (w. 516 H).

d. Sumber Rujukan Dari Kitab-Kitab Bahasa

1. Kitâb al-‘Ain karya Khalîl ibn Ahmad (w. 180 H).

2. al-Kitâb karya Sibawaih (w. 183 H).

3. Ishlâh al-Mantiq karya ibn al-Sikkit (w. 244 H).

4. Tahzîb al-Lughah karya Abû Manshûr al-Azhâri (w. 370 H).

5. Kitâb al-Khashâish dan al-Muhtasib karya ibn Jini (w. 392 H)

6. al-Shihhâh karya al-Jauhari (w. 393 H)

7. Dalâil al-I’jâz karya ‘Abd al-Qâhir al-Jurjâni (w. 471 H).

8. al-Mufashshal karya al-Zamakhsyari (w. 538 H).

e. Sumber-Sumber Rujukan Dari Kitab-Kitab Fiqh dan Ushûl

1. al-Jâmi’ al-kabîr karya Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibâni (w. 187 H)

2. al-Umm dan al-Risâlah karya Imâm al-Syâfi’i (w. 204 H).

3. Ârâ` Dâwud al-Ashfahâni (w. 203 H).


44

4. Ahkâm al-Qurân al-Karîm karya Abû Bakr al-Râzi (w. 370 H).

5. al-Syâmil Fî Furû’ al-Syâfi’iyyah karya Ibn al-Shabbagh (w. 477 H).

f. Sumber Rujukan Dari Kitab-Kitab Ilmu Kalam Dan Tashawwuf

1. Minhâj al-Dîn Fî Syu’ab al-Îmân karya al-Hulaimi al-Jurjâni (w. 403 H).

2. al-Jâmi’ Fî Syu’ab al-Îmân karya Imâm Ahmad Baihâqi (w. 458 H).

3. al-Syifâ Wa al-Isyârât karya Ibn Sînâ (w. 428 H).

4. Ihyâ ‘ulûm al-Dîn, al-Munqiz min al-Dhalal dan Misykãt al-Anwãr karya

Imâm al-Ghazâli (w. 505 H).

5. al-Milal wa al-Nihal karya al-Syahrastâni (w. 548 H).

6. Kitãb al-Tauhîd karya Muhammad ibn Ishak ibn Khuzaimah.

g. Sumber-Sumber Rujukan Dari Kitab-Kitab Sejarah Dan Sya’ir

1. Kitâb Târîkh al-Rusul Wa al-Mulk karya ath-Thabari

2. Kitâb Thabaqât al-Mu`tazilah karya al-Qâdhi ‘Abd al-Jabbâr.

3. Syi’ru Umru`i al-Qais

4. al-Nâbighah al-Zibyâni

2. Metode Imâm al-Râzi Dalam Penafsirannya


45

Kitab Tafsîr al-Kabîr termasuk dalam kelompok tafsîr bi al-ra’y, yaitu

tafsir yang dibuat berdasarkan ijtihad mufassirnya. Sedangkan metode

penulisan kitab tafsir tersebut secara tahlîliy, yaitu penafsiran ayat perayat.

Langkah-langkah penafsiran Imâm al-Râzi secara umum, yaitu :

a. Menyebutkan ayat satu demi satu atau juga sekelompok ayat dengan

melihat kepentingan munasabahnya. Selanjutnya dikeluarkan beberapa

pokok masalah dari ayat-ayat tersebut, hingga menjadi beberapa

kelompok. Dalam hal ini Imâm al-Râzi menggunakan ungkapan al-

mas`alah al-ûla, al-sâniyah, al-sâlisah dan seterusnya.

b. Pembahasan kadang-kadang dimulai dengan menjelaskan perbedaan

qirâ`at dan kadang-kadang dimulai dengan menjelaskan makna-makna

kebahasaan. Bahkan diuraikan secara panjang lebar pro kontra para ahli

bahasa atau qirâ’at.

c. Perhatian terhadap persoalan munasabah sangat luas. Ini bisa difahami

karena Imâm al-Râzi melihat ayat-ayat tersebut berada pada satu tema

yang sama.

d. Penafsiran dilakukan dengan sangat luas hingga pembaca kitab tafsir ini

dapat terbuai dan hanyut dalam persoalan-persoalan yang sebenarnya

telah terlalu jauh dari tafsir itu sendiri.


46

e. Dalam persoalan isrâiliyyât, tampak bahwa Imâm al-Râzi sangat

berusaha untuk menghindarinya. Kalaupun riwayat-riwayat tersebut

ada di dalam kitab tafsirnya, maka hal itu hanya sebagai contoh kepada

pembaca, agar mereka lebih waspada terhadap kebenaran riwayat-

riwayat tersebut.

f. Ketika memulai sebuah penafsiran terhadap sebuah surat, Imâm al-Râzi

menjelaskan terlebih dahulu makna dari nama surat tersebut dan

mengungkapkan nama-nama lain darinya. Lalu menjelaskan klasifikasi

surat tersebut dalam kelompok makiyyah atau madaniyyah. Setelah itu

diungkapkan rahasia-rahasia keutamaan darinya, selanjutnya

mengeluarkan persoalan-persoalan kalam atau fiqh yang terkandung di

dalamnya.

g. Penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat yang dianggap mengandung

persoalan kalam, maka Imâm al-Râzi berafiliasi ke aliran Asy’ariyah. Dia

juga mengungkapkan penafsiran dari aliran-aliran lain guna

didiskusikan. Bahkan dia mengungkapkan kelemahan-kelemahan

penafsiran aliran-aliran lain yang ada di luar Asy’ariyah.

h. Penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat yang dianggap mengandung

persoalan fiqh, maka Imâm al-Râzi berafiliasi ke mazhab Imâm al-


47

Syâfi’i. kalaupun dia mengungkapkan pendapat-pendapat fiqh di luar

Mazhab Syâfi’i, maka hal itu hanya sebagai perbandingan.

i. Persoalan bahasa sangat menjadi perhatian dalam penafsiran Imâm al-

Râzi. Hampir di semua ayat, ditemukan masalah-masalah kebahasaan.

Bukan masalah makna bahasa saja, bahkan penjelasan tentang huruf

dan letak barispun menjadi bahan uraian.

j. Selain persoalan bahasa, Imâm al-Râzi juga sangat memperhatikan

persoalan qirâ’at. Perbedaan-perbedaan qirâ’at di kalangan ulama

diungkapkan secara rinci berikut dengan akibat yang ditimbulkan dari

perbedaan tersebut.

k. Penafsiran yang mengungkapkan ilmu-ilmu alam merupakan andalan

yang sangat fantastis dalam kitab tafsir Imâm al-Râzi. Kiranya hal inilah

yang menjadikan kitab tafsirnya terasa lebih luas ketimbang kitab-kitab

tafsir para ulama yang se zaman dengannya.

Berdasarkan langkah-langkah penafsiran Imâm al-Râzi dalam kitab

tafsirnya, maka diketahui bahwa kitab tafsir tersebut memiliki karakteristik

yang tidak dimiliki kitab-kitab tafsir yang lain. Karakteristik tersebut antara

lain adalah :

a. Kitab Tafsîr al-Kabîr dapat dikatakan kitab tafsir yang mampu membela

penafsiran-penafsiran Asy’ariyah secara logis berdasarkan dalil-dalil ‘aqli


48

yang mumpuni. Sekaligus juga menjadi filter terhadap penafsiran-

penafsiran di luar akidah asy’ariyah.

b. Kitab Tafsîr al-kabîr ini juga merupakan pembela mazhab fiqh Imâm

Syâfi’i. Bahkan sangat mengutamakan mazhab tersebut. Walaupun ada

juga di beberapa penafsiran yang terlihat membela pendapat mazhab-

mazhab yang lain.

c. Di samping akidah, filsafat dan ilmu alam adalah dua ilmu yang sangat

mendominasi penafsiran Imâm al-Râzi. Dengan membaca kitab

tafsirnya, seseorang akan memahami bahwa aliran Asy’ariyah juga

sangat memperhatikan kedua cabang ilmu tersebut.

Demikianlah beberapa karakteristik yang dapat penulis tangkap dari

penafsiran-penafsiran Imâm al-Râzi. Oleh karenanya, sangat wajar jika ada

sebagian ulama yang menyematkan label kullu syai in fîhi illa al-tafsîr (semua

ilmu ada di dalam kitabnya kecuali tafsir itu sendiri). Akan tetapi label ini

juga terbantahkan dengan ungkapan Tâj al-Dîn al-Subki, bahwa tafsir al-Râzi

kullu syai`in fîhi ma’a al-tafsîr (semua ilmu ada di dalamnya bersama dengan

tafsirannya).34

3. Sikap Imâm al-Râzi Terhadap Ilmu-Ilmu Quran

34
Al-Zahabi, al-Tafsîr Wa al-Mufassirûn, juz 1, h. 207.
49

‘Ulûm al-qurân atau ilmu-ilmu Al-Quran dalam penafsiran Imâm

al-Râzi sangat diperhatikan. Untuk itu, ada beberapa cabang ilmu tersebut

yang paling sering muncul dalam pembahasannya. Antara lain :

a. Asbâb al-Nuzûl

Dalam penafsirannya, Imâm al-Râzi menganut teori al-‘ibrah bi

‘umûm al-lafzh lâ bi khushûs al-sabab. Jika terdapat ayat yang memiliki banyak

riwayat sabab al-nuzûl, maka Imâm al-Râzi akan melakukan tarjîh dengan

mengungkapkan seluruh sanad yang meriwayatkan. Akan tetapi jika

riwayat-riwayat tersebut dipandang sama kuat, maka tidak dilakukan tarjîh,

cukup mengungkapkannya saja. Kebanyakan dalam penjelasan tafsirnya,

Imâm al-Râzi menggunakan sabab al-nuzûl jika mengarah kepada penjelasan

makna ayat.35

b. Al-Nâsikh Wa al-Mansûkh

Imâm al-Râzi bukan termasuk mufassir yang meyakini adanya al-

nâsikh wa al-mansûkh, karena asal mula setiap ayat tidak memiliki al-nâsikh wa

al-mansûkh. Jika al-nâsikh wa al-mansûkh ada, maka ayat-ayat yang menjadi

landasan hukum akan mengalami perubahan-perubahan. Hal ini tidak layak

35
Muhammad Ibrâhîm ‘Abd al-Rahmân, Manhaj al-Fakhr al-Râzi, h. 156.
50

demi menjaga keutuhan ayat itu sendiri. Imâm al-Râzi juga menggunakan

surat al-An’âm (6) : 106 untuk memperkuat alasannya yaitu, tidak ada

kepentingan untuk menyatakan keberadaan al-nâsikh wa al-mansûkh di dalam

Al-Quran. Oleh karenanya, al-nâsikh wa al-mansûkh terhadap ayat Al-Quran

tidak ada.36

c. Munâsabah al-Âyâh

Cabang ilmu Al-Quran yang satu ini, merupakan cabang yang

paling mendominasi penafsiran Imâm al-Râzi. Bahkan hampir semua ayat

yang ditafsirkan dijelaskan terlebih dahulu sisi-sisi munâsabahnya. Imâm al-

Râzi menyebut ilmu ini dengan ilmu nazham. Untuk mengetahui hakikat

hubungan antar ayat perlu ketajaman fikiran dan kehalusan rasa. Oleh

karenanya, menurut Imâm al-Râzi sangat terbuka ijtihad dalam mengambil

makna-makna munâsabah dari ayat-ayat Al-Quran.37

d. al-Makkiy Dan al-Madaniy

Pengetahuan terhadap ilmu al-makkiy dan al-madaniy juga

memerlukan penela`ahan terhadap riwayat-riwayat. Dalam hal ini, Imâm al-

Râzi sangat memperhatikan prinsip-prinsip al-makkiy dan al-madaniy. Ini

36
Ibid., h. 157.
37
Ibid., h. 158.
51

dimaksudkan untuk menghindari kesalahan dalam menentukan tema yang

dibicarakan ayat-ayat tersebut. Bahkan sama seperti munâsabah, hampir

seluruh ayat-ayat yang ditafsirkan diuraikan terlebih dahulu nuansa al-

makkiy atau al-madaniynya. Kadang-kadang juga disebutkan beberapa

pendapat tentang penentuan al-makkiy dan al-madaniy sebuah ayat.38

e. al-Muhkam dan al-Mutasyâbih

Imâm al-Râzi memilih pendapat bahwa ayat-ayat yang diduga

mutasyâbih, dapat disingkapkan melalui ayat-ayat yang muhkam dengan

penjelasan yang logis. Dia juga sepakat dengan jumhur ulama, bahwa

sebagian ayat Al-Quran ada yang muhkam dan yang sebagian lagi adalah

ayat-ayat yang mutasyâbih. Oleh karena itu, diperlukan petunjuk ‘aqli untuk

menjelaskan yang mutasyâbih.39

f. Fawâtih al-Suwar

Yang dimaksud fawâtih al-suwar adalah huruf-huruf hijaiyah di

awal-awal surat yang dibaca secara terputus-putus. Mengenai ilmu ini, Imâm

al-Râzi berpendapat bahwa ilmu tersebut adalah ilmu yang dirahasiakan

Allah dalam pengetahuanNya. Jika ada yang berpendapat bahwa fawâtih al-

38
Ibid., h. 159.
39
Ibid.
52

suwar telah diketahui dengan sendirinya, maka pendapat ini batal. Allah

Swt., tidak akan meletakkan huruf-huruf yang belum dimengerti maknanya

oleh pembaca ayat-ayatnya, karena satu hurufpun yang ada di dalam Al-

Quran, pasti mengandung makna yang mendalam. Oleh karena itu,

diperlukan penalaran logika yang baik dan perasaan yang halus untuk

memaknai huruf-huruf tersebut. Demikian pendapat Imâm al-Râzi.40

40
Ibid., h. 159.
53

BAB III

WAWASAN SIHIR DALAM AL-QURAN

A. Hakekat Sihir

Alam semesta dan segala isinya berikut sistem kerjanya adalah

keajaiban-keajaiban yang disebut Al-Quran sebagai âyât atau tanda-tanda

bagi keesaan Allah Swt. dan kekuasaanNya.1 Ini dijelaskan di dalam surat

al-Baqarah (2) : 164 yaitu,

‫ﺍﹾﻟﻔﹸﻠﹾﻚِ ﺍﻟﱠﺘِﻲ‬‫ﻬﺎﹶﺭِ ﻭ‬‫ﺍﻟﻨ‬‫ﻞِ ﻭ‬‫ﺘِﻼﹶﻑِ ﺍﻟﱠﻴ‬‫ﺍﺧ‬‫ﺽِ ﻭ‬‫ﺍﹾﻷَﺭ‬‫ﺍﺕِ ﻭ‬‫ﻤﺎﹶﻭ‬‫ﻠﹾﻖِ ﺍﻟﺴ‬‫ ﺧ‬‫ﺇِﻥﱠ ﻓِﻲ‬
ِ‫ﻴﺎﹶ ﺑِﻪ‬‫ ﻣﺎﹶﺀٍ ﻓﹶﺄﹶﺣ‬‫ﻤﺎﹶﺀِ ﻣِﻦ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻝﹶ ﺍﷲُ ﻣِﻦ‬‫ﺰ‬‫ﻣﺎﹶﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺱ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻔﹶﻊ‬‫ﻨ‬‫ﺮِ ﺑِﻤﺎﹶ ﻳ‬‫ﺤ‬‫ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﺒ‬‫ﺮِﻱ‬‫ﺠ‬‫ﺗ‬
ِ‫ﺤﺎﹶﺏ‬‫ﺍﻟﺴ‬‫ﻳﺎﹶﺡِ ﻭ‬‫ﻒِ ﺍﻟﺮ‬‫ﺮِﻳ‬‫ﺼ‬‫ﺗ‬‫ﺔٍ ﻭ‬‫ﺍﺑ‬‫ ﻛﹸﻞﱢ ﺩ‬‫ﻬﺎﹶ ﻣِﻦ‬‫ﺚﱠ ﻓِﻴ‬‫ﺑ‬‫ﺗِﻬﺎﹶ ﻭ‬‫ﻮ‬‫ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﻌ‬‫ ﺑ‬‫ﺽ‬‫ﺍﹾﻷَﺭ‬
‫ﻥﹶ‬‫ﻘِﻠﹸﻮ‬‫ﻌ‬‫ﻡٍ ﻳ‬‫ﺽِ َﻷَﻳﺎﹶﺕٍ ﻟﱢﻘﹶﻮ‬‫ﺍﹾﻷَﺭ‬‫ﻤﺎﹶﺀِ ﻭ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺮِ ﺑ‬‫ﺨ‬‫ﺍﹾﳌﹸﺴ‬
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan
siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa saja yang berguna bagi
manusia, dan apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan air
itu Dia menghidupkan sesudah mati dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis
hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan di antara langit dan
bumi, sungguh terdapat tanda-tanda bagi orang yang memikirkan.

Setiap muslim mesti meyakini dan mempercayai bahwa tata

kerja alam berjalan konsisten sesuai dengan hukum-hukum yang telah

ditetapkan Allah Swt. Tetapi, pada saat yang sama, tidak tertutup

kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang berbeda dengan

kebiasaan-kebiasaan yang terlihat sehari-hari. Kedua-duanya sama-sama

1
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, (Bandung : Mizan, 1999), h. 21.
54

ajaib dan luar biasa. Apalagi banyak hal yang oleh generasi masa kini

dinilai biasa, pernah dinilai luar biasa oleh generasi terdahulu.2

Kalau ada orang yang sakit akut serta enggan meminum obat,

kemudian dia sembuh tanpa menggunakan tata cara penyembuhan yang

dikenal, maka ketika itu dikatakan bahwa ada tangan pemeliharaan Allah

Swt. atau sering disebut dengan ‘iyânah. Sebaliknya, jika ada orang yang

sakit lantas telah berobat kesana kemari, tetapi tidak juga mengalami

kesembuhan, bahkan penyakitnya bertambah, maka peristiwa ini sering

disebut sihir. Artinya orang tersebut terkena sihir.3 Contoh-contoh yang

telah disebutkan menggambarkan ada peristiwa atau kejadian yang di

luar hukum kebiasaan yang dikenal dan telah ditetapkan.

Selain itu, salah satu asas keimanan yang dipercayai setiap

muslim adalah iman kepada hal-hal yang gaib. Kaedah ini ditunjukkan di

dalam surat al-Baqarah (2) : 3 yaitu,

‫ﻥﹶ‬‫ﻔِﻘﹸﻮ‬‫ﻨ‬‫ ﻳ‬‫ﻢ‬‫ﻗﹾﻨﺎﹶﻫ‬‫ﺯ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻣِﻤ‬‫ﻼﺓﹶ ﻭ‬


‫ ﹶ‬‫ﻥﹶ ﺍﻟﺼ‬‫ﻮ‬‫ﻤ‬‫ﻘِﻴ‬‫ﻳ‬‫ﺐِ ﻭ‬‫ﻴ‬‫ﻥﹶ ﺑِﺎﻟﹾﻐ‬‫ﻮ‬‫ﻣِﻨ‬‫ﺆ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﺍﻟﱠﺬِﻳ‬
Mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan
menafkahkan sebagian harta yang kami anugerahkan kepada mereka.

Kata gaib pada ayat tersebut meliputi segala hal yang tidak

dapat ditangkap panca indera.4 Mengimani yang gaib berarti meyakini

2
Ibid.
3
Ibid., h. 22.
4
Banyak sekali penafsiran-penafsiran tentang kata gaib. Tetapi pada penelitian ini,
penulis memilih penafsiran yang lebih umum. Lihat Imam al-Razi, Tafsîr al-Kabîr, (Beirut : Dâr
al-Fikr, 1414 H/1993 M), jilid 1, juz 2, h. 32.
55

bahwa terdapat sesuatu yang maujûd yang tidak dapat ditangkap oleh

pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan keberadaannya. Oleh

karena itu, dalam keyakinan ada sebuah kepercayaan kepada peristiwa-

peristiwa yang terjadi di luar hukum kebiasaan, seperti air yang biasanya

mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah bisa berubah

mengalir dari tempat yang rendah ke tempat yang tinggi. Begitu juga api

yang panasnya dihukum menurut kebiasaan dapat membakar, bisa

berubah menjadi tidak bisa membakar. Secara kasat mata peristiwa-

peristiwa tersebut dianggap gaib, karena terjadi di luar batas tangkapan

panca indera. Menurut ulama-ulama mutakallimin peristiwa-peristiwa

tersebut dinamakan khawâriq li al-‘âdah.5

Istilah khawâriq li al-‘âdah cukup dikenal dikalangan ulama-

ulama mutakallimin. Mereka memasukkan beberapa istilah lain yang

dikelompokkan ke dalam jenis khawâriq li al-‘âdah, yaitu : mukjizat,

karamah dan sihir.6 Keempat jenis khawâriq li al-‘âdah ini memiliki

kesamaan tetapi cukup luas perbedaannya. Oleh karena obyek kajian tesis

ini adalah sihir, maka penulis akan menguraikan defenisinya terlebih

dahulu, kemudian akan diungkapkan perbedaan dari keempat jenis

khawâriq li al-‘âdah tersebut.

5
Imam Al-Razi, Muhashshal Afkâr al-Mutaqaddimîn wa al-Muta`akhkhirîn, (Beirut : Dâr
al-Fikr, 1996), h. 157. Lihat juga Sayyid Husein Afandi al-Jisr al-Tharabalisy, Al-Hushûn al-
Hamîdiyyah, (Surabaya : Maktabah al-Saqâfiyah, t.t), h. 65-64.
6
Ibid.
56

1. Pengertian Sihir

Imam Fakhruddin al-Razi mendefenisikan sihir berdasarkan

syari’at, yaitu setiap perkara yang tersembunyi sebabnya dan

dibayangkan tidak sebagaimana sebenarnya sehingga tidak ubahnya

seperti pengelabuan dan penipuan.7

Kemudian kata sihir berasal dari bahasa Arab yang berakar

kepada tiga huruf yaitu, sîn, hâ dan râ.8 Kata sihir juga termasuk kata yang

musytarak.9 Arti asal dari kata sihir adalah memalingkan sesuatu dari

hakekatnya kepada selainnya, seolah-olah seseorang melihat kebatilan

dalam bentuk kebenaran dan membayangkan sesuatu tidak menurut

sebenarnya.10 Oleh karenanya, jika dikatakan sahara syai’an ‘an wajhihi,

berarti seseorang memalingkannya dari pandangan yang benar. Syamr

meriwayatkan dari Abu Syaibah, ia berkata, orang Arab menamakan sihir

dengan sihir karena ia mengubah kesehatan menjadi penyakit.11

Selain itu, kata sihir juga bermakna paru-paru atau dada hingga

ketenggorokan.12 Makna ini difahami dari hadis ‘Aisyah ra. yaitu,

‫ﺗﻮﰲ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﲔ ﺳﺤﺮﻱ ﻭﳓﺮﻱ‬


Rasulullah saw. wafat dalam keadaan di antara dada dan pangkal leherku.

7
Imam Al-Razi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 2, juz 3, h. 223.
8
Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, (Beirut : Dâr al-Ma`ârif, t.th), jilid 3, h. 1951.
9
Ibid.
10
Ibid.
11
Ibid., h. 1952.
12
Ibid.
57

Kemudian kata sihir juga berarti makhluk yang dapat makan dan

minum.13 Berdasarkan makna tersebut, sebagian mufassir mengartikan

kata al-musahharîn dalam surat al-Syu’arâ (26) : 185, sebagai makhluk yang

dapat makan dan minum.

‫ﻦ‬‫ﺮِﻳ‬‫ﺤ‬‫ ﺍﹾﳌﹸﺴ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﺖ‬‫ﻤﺎﹶ ﺃﹶﻧ‬‫ﺇِﻧ‬


Engkau hanyalah makhluk yang dapat makan dan minum.

Bila kata sihir digunakan tanpa tambahan sesuatu makna atau

kata yang lain, maka menunjukkan pelakunya orang yang tidak baik.14

Oleh karenanya, para rasul dan nabi seperi Nabi Musa as. dan Nabi

Muhammad saw. sering dituduh orang-orang kafir dan musyrik dengan

sebutan al-sâhir al-kazzâb, yaitu penyihir yang pembohong. Sebaliknya, bila

kata sihir digunakan sebagai tambahan kata-kata yang lain, maka

menunjukkan pujian.15 Misalnya hadis Rasul saw. dari Ibn Umar,

‫ﺇﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﻴﺎﻥ ﻟﺴﺤﺮﺍ‬


Sungguh sebagian dari keterangan yang jelas dan berseni adalah sihir.

Maksud hadis Rasul saw. tersebut adalah di antara gaya bahasa dari

ucapan atau keterangan para penyair, banyak yang menarik, sehingga

orang yang membaca atau mendengar syair-syair tersebut, menjadi

terpukau seperti orang yang terkena sihir. Selain itu, khalifah Umar ibn

13
Ibid.
14
Ibid., h. 1953
15
Ibid., h. 1952. Hadis tersebut terdapat dalam Musnad Imam Ahmad, Shahîh al-Bukhari,
Sunan al-Turmuzi dan Sunan Abû Dâud. Lihat Jalâl al-Dîn al-Sayûthi, al-Jâmi’ al-Shaghîr, (Beirut
: Dâr al-Fikr, t.th), 148.
58

Abdul Aziz juga pernah memuji syair seseorang yang dibacakan

kepadanya.16 Khalifah menyebut syair tersebut sebagai sihir yang

dihalalkan, seperti ucapannya,

‫ﻫﺬﺍ ﻭﺍﷲ ﺍﻟﺴﺤﺮ ﺍﳊﻼﻝ‬


Demi Allah inilah sihir yang halal.

Menurut Ibn Faris, sihir mengandung 3 arti, yaitu ;17 a. Saluran

kerongkongan, tempat keluar masuk makanan ke perut. b. Mengeluarkan

kebatilan dalam bentuk kebenaran. c. Jarak waktu antara fajar hingga

subuh. Di dalam Mu’jam al-Wasîth disebutkan bahwa sihir adalah sesuatu

yang lembut pengambilannya.18 Dijelaskan juga dalam al-Qâmûs al-Muhîth

bahwa sihir adalah mengeluarkan sesuatu dalam bentuk penampilannya

yang terbaik sehingga sesuatu itu kelihatan mempesona.19 Dalam bahasa

Inggris, sihir disebut dengan kata magic. Dari kata tersebut muncullah

istilah white magic dan black magic.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sihir memiliki 2 arti,

yaitu ;20 a. Perbuatan yang ajaib yang dilakukan dengan pesona dan

kekuatan gaib (guna-guna, mantera dsb). b. Ilmu tentang cara pemakaian

kekuatan gaib, ilmu gaib (teluh, tuju, dsb).

16
Ibid.
17
Ibn Faris, Mu’jam al-Maqâyis al-Lughah, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1415 H/1994 M), h.
507.
18
Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasîth, (Kairo : Dâr al-Handasah, 1405
H/1985 M), juz 1, h. 435.
19
al-Fairuzzabadi, Al-Qâmûs al-Muhîth, (Beirut : Muassas al-Risâlah, 1407 H/1989 M),
h. 519.
20
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta :
Balai Pustaka, 1988), h. 838.
59

Dalam kamus bahasa Inggris terbitan Oxford, disebutkan

bahwa magic memiliki tiga arti,21 yaitu : magic adalah the power of

apparently using mysterious forces to change the form of things or influence

events (kekuatan nyata yang menggunakan kekuatan misterius untuk

mengganti bentuk sesuatu atau mempengaruhi sebuah peristiwa). Yang

kedua magic adalah tricks with mysterious results done to entertain (tipuan

dengan hasil yang misterius, dilakukan untuk menghibur). Yang ketiga

magic adalah a charming or wonderful quality (pesona atau keindahan atau

mutu yang baik).

Menurut al-Râghib al-Ashfahâni, sihir mengandung beberapa

pengertian, yaitu :22

1. Sihir adalah kebohongan atau khayalan yang tidak memiliki

kebenaran atau tidak nyata. Seperti seorang penyulap yang

memalingkan pandangan mata dengan mempermainkan kecepatan

tangan. Ini difahami dari firman Allah Swt. dalam surat al-A’râf (7) :

116, yaitu :

‫ﻢ‬‫ﻫ‬‫ﻮ‬‫ﺒ‬‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺘ‬‫ﺍﺳ‬‫ﺎﺱِ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺍ ﺃﹶﻋ‬‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﺳ‬


Mereka (para penyihir) menyulap mata orang dan membuat orang
menjadi takut.

21
Jonathan Crowther (ed.), Oxford Advanced Learner ’s Dictionary, (Inggris : Oxford
University Press, 1999), h. 706. Lihat juga Jhon. L. Esposito, The Oxford Encyclopedia Of The
Modern Islamic World, (New York : Oxford University Press, 1995), vol III, h. 17.
22
Al-Râghib al-Ashfahâni, Mufradât Alfâz al-Qurân, (Damaskus : Dâr al-Qalm, 1423
H/2002 M), h. 400-401.
60

Begitu juga ejekan yang diberikan Fir’aun kepada Nabi Musa as.

ketika dia membuktikan kebenaran ajarannya dengan

mengeluarkan mukjizat. Karena Fir’aun merasa bahwa Nabi Musa

as. telah membuat sebuah tipu daya dengan menyulap sesuatu

berubah menjadi sesuatu yang lain. Ini diceritakan dalam surat al-

Zukhruf (43) : 49.

2. Sihir adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan bantuan setan

atau jin-jin dengan tujuan dapat bersahabat dekat dengan mereka.

Ini difahami dari firman Allah Swt. yang termaktub dalam surat al-

Baqarah (2) : 102 yaitu,

‫ﻟﹶﻜِﻦ‬‫ﻤﺎﹶﻥﹸ ﻭ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﺳ‬‫ﻣﺎﹶﻛﹶﻔﹶﺮ‬‫ ﻭ‬,‫ﻤﺎﹶﻥﹶ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﹾﻚِ ﺳ‬‫ ﻣ‬‫ﻠﻰ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻴﺎﹶﻃِﻴ‬‫ﺍ ﺍﻟﺸ‬‫ﻠﻮ‬‫ﺘ‬‫ﻮﺍﹾ ﻣﺎﹶﺗ‬‫ﻌ‬‫ﺒ‬‫ﺍﺗ‬‫ﻭ‬


‫ﻦِ ﺑِﺒﺎﹶﺑِﻞﹶ‬‫ ﺍﹾﳌﹶﻠﹶﻜﹶﻴ‬‫ﻠﻰ‬‫ﺰِﻝﹶ ﻋ‬‫ﻣﺎﹶ ﺃﹸﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻥﹶ ﺍﻟﻨﺎﱠﺱ‬‫ﻮ‬‫ﻠﱢﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺍ ﻳ‬‫ﻭ‬‫ ﻛﹶﻔﹶﺮ‬‫ﻦ‬‫ﻴﺎﹶﻃِﻴ‬‫ﺍﻟﺸ‬
‫ﺔﹲ‬‫ﻨ‬‫ ﻓِﺘ‬‫ﻦ‬‫ﺤ‬‫ﻻﹶ ﺇِﳕﱠﺎﹶ ﻧ‬‫ﻘﹸﻮ‬‫ﻰ ﻳ‬‫ﺘ‬‫ﺪٍ ﺣ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ﻠﱢﻤﺎﹶﻥِ ﻣِﻦ‬‫ﻌ‬‫ﻣﺎﹶ ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﺕ‬‫ﻭ‬‫ﻣﺎﹶﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﺕ‬‫ﻭ‬‫ﻫﺎﹶﺭ‬
‫ﻢ‬‫ﻣﺎﹶﻫ‬‫ﺟِﻪِ ﻭ‬‫ﻭ‬‫ﺯ‬‫ﺀِ ﻭ‬‫ ﺍﹾﳌﹶﺮ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﻥﹶ ﺑِﻪِ ﺑ‬‫ﻗﹸﻮ‬‫ﻔﹶﺮ‬‫ﻤﺎﹶ ﻣﺎﹶﻳ‬‫ﻬ‬‫ﻥﹶ ﻣِﻨ‬‫ﻮ‬‫ﻠﱠﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﻓﹶﻴ‬‫ﻜﹾﻔﹸﺮ‬‫ﻓﹶﻼﹶﺗ‬
‫ﻟﹶﻘﹶﺪ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻔﹶﻌ‬‫ﻨ‬‫ﻻﹶﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﻀ‬‫ﻥﹶ ﻣﺎﹶﻳ‬‫ﻮ‬‫ﻠﱠﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻳ‬‫ﺪٍ ﺇِﻻﱠﺑِﺈِﺫﹾﻥِ ﺍﷲِ ﻭ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ ﺑِﻪِ ﻣِﻦ‬‫ﻦ‬‫ﻳ‬‫ﺑِﻀﺎﹶﺭ‬
ِ‫ﺍ ﺑِﻪ‬‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ ﻣﺎﹶﺷ‬‫ﻟﹶﺒِﺌﹾﺲ‬‫ﻼﹶﻕٍ ﻭ‬‫ ﺧ‬‫ﺓِ ﻣِﻦ‬‫ ﻓِﻲ ﺍﹾ َﻵﺧِﺮ‬‫ ﻣﺎﹶﻟﹶﻪ‬‫ﺍﻩ‬‫ﺮ‬‫ﺷﺘ‬ ‫ﻦِ ﺍ‬‫ﺍ ﻟﹶﻤ‬‫ﻮ‬‫ﻠِﻤ‬‫ﻋ‬
‫ﻥﹶ‬‫ﻮ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺍﹾ ﻳ‬‫ﻛﺎﹶﻧﻮ‬‫ ﻟﹶﻮ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻔﹸﺴ‬‫ﺃﹶﻧ‬
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa
kerajaan Sulaiman, (dan mereka mangatakan bahwa Sulaiman itu
mengerjakan sihir) padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan
sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka
mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua
malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak
mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan,
sesungguhnya kami hanya cobaan bagi kamu, sebab itu janganlah kamu
kafir. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan
61

sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan


istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat kepadanya
dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini
bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu,
tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan
mereka menjual dirinya dengan sihir kalau mereka mengetahui.

3. Sihir adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan cara

mengadakan dialog dengan alam perbintangan dan menurunkan

ruhnya. Inilah yang dimaksud dengan sihir yang menggunakan

azimat-azimat atau mantera-mantera yang diyakini dapat merubah

kondisi dan keadaan sesuatu. Tulisan-tulisan azimat tersebut

disesuaikan dengan ilmu nujum (perbintangan) dan diberikan

kepada seseorang yang lahir sesuai dengan bintang yang beredar

saat itu. Sehingga orang yang membawa atau yang terkena azimat

tersebut akan tersihir. Ini difahami dari firman Allah Swt. dalam

surat al-Isrâ (17) : 47 yaitu,

‫ﺭﺍﹰ‬‫ﻮ‬‫ﺤ‬‫ﺴ‬‫ﻼﹰ ﻣ‬‫ﺟ‬‫ﻥﹶ ﺇِﻻﱠ ﺭ‬‫ﻮ‬‫ﺒِﻌ‬‫ﺘ‬‫ﺇِﻥﹾ ﺗ‬


Kamu tiada lain hanyalah mengikuti seseorang yang terkena sihir.

Bahkan Nabi Syu’aib as. disebut oleh orang kafir di kalangan

ummatnya sebagai orang yang terkena sihir, karena Nabi Syu’aib

as. mengajarkan risalah tauhid dan mengajak mereka untuk

bertaqwa kepada Allah Swt. Mereka menganggap bahwa ajaran

Nabi Syu’aib as. adalah sekumpulan mantera-mantera sihir yang

mampu menyihir seseorang, sehingga ummatnya menganggap


62

Nabi Syu’aib as. adalah orang yang terkena sihir dengan sihirnya

sendiri. Ini diceritakan dalam Al-Quran di surat al-Syu’arâ (26) : 185

yaitu,

‫ﻦ‬‫ﺮِﻳ‬‫ﺤ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﺖ‬‫ﻤﺎﹶ ﺃﹶﻧ‬‫ﺇِﻧ‬


Mereka berkata, sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-
orang yang terkena sihir.

4. Sihir adalah sesuatu yang lembut dan samar-samar yang

membelokkan pemahaman. Oleh karena itu, ketika seseorang

mengatakan, “saya telah menyihir anak itu”, maka maksudnya

adalah dia telah mengecoh dan memalingkan pandangan anak

tersebut ke hal yang lain. Bahkan semua orang yang telah

memalingkan sesuatu berarti ia telah menyihirnya. Dalam surat al-

Hijr (15) : 15 Allah Swt. berfirman,

‫ﻥﹶ‬‫ﻭ‬‫ﺭ‬‫ﻮ‬‫ﺤ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﻡ‬‫ ﻗﹶﻮ‬‫ﻦ‬‫ﺤ‬‫ﻞﹾ ﻧ‬‫ﺑ‬


Bahkan kami adalah orang-orang yang terkena sihir.

Yang dimaksud terkena sihir adalah orang-orang yang dipalingkan

pandangannya dari pandangan yang sebenarnya.

Dari kalangan mufassir syi’ah, Imam Thabrasyi dalam kitab

tafsirnya Majma’ al-Bayân, menyatakan bahwa sihir ialah suatu

kebohongan belaka yang diliputi tipu daya dan tidak nyata.23 Dia

mengingkari keberadaan sihir. Ketika dia menanggapi ayat yang tertera

23
Muhammad Husein al-Zahabi, al-Tafsîr Wa al-Mufassirûn, (Kairo : Maktabah
Wahbah, 1421 H/2000 M), juz 2, h. 100.
63

dalam surat al-Baqarah (2) : 102, dia menyatakan bahwa jika sihir itu

memang ada dan mampu membuat sesuatu yang menakjubkan, maka

mukjizat akan tertandingi dan akan benar ucapan orang-orang kafir yang

menuduh para nabi sebagai tukang-tukang sihir. Sedangkan pengarang

tafsir al-Shâfî fî al-Tafsîr al-Qurân yaitu Mulla Muhsin al-Kasyi mengakui

keberadaan sihir dan menyatakan bahwa sihir itu memang ada dan orang

yang mampu sihir juga akan mampu membuat sesuatu yang luar biasa.24

Ini difahaminya dari kandungan surat al-falq yang menyebutkan bahwa

ada sekelompok wanita yang mengikat buhul-buhul tali dan meniupnya

agar mengeluarkan sebuah kekuatan yang dapat melahirkan sesuatu yang

menakjubkan. Inilah yang dinamakan sihir. Adapun Sulthan Muhammad

al-Khurrasan dalam tafsirnya Bayân al-Sa’âdah mendefenisikan sihir ialah

nama bagi setiap ucapan, perbuatan, lukisan pada lembaran yang

mempengaruhi tabi’at alam sehingga keluar dari hukum kausalitas

(sebab-akibat) atau hukum kebiasaan.25 Bentuk sihir itu dapat berupa

menundukkan kekuatan alam rohani dengan mantera-mantera atau

mempengaruhi tabi’at alam dengan cara mempengaruhi rohani alam

tersebut. Menurutnya, hal ini dapat dilakukan karena alam diatur oleh

para malaikat yang dapat ditundukkan oleh jiwa manusia, karena

kelebihan dan keistimewaan yang ada pada manusia telah diberikan oleh

24
Ibid., h. 137.
25
Ibid., h. 172.
64

Allah, sehingga alam ini dapat ditundukkan. Dari pemaparan sihir

menurut mufassir syi’ah diketahui bahwa sihir memang ada dan nyata,

hanya keberadaan dari pengaruhnya yang diperselisihkan.

Ibn Qudamah al-Maqdisi mendefenisikan sihir adalah buhul,

mantera dan perkataan yang diucapkan atau ditulis atau dibuat sesuatu

yang berpengaruh pada jasad orang yang terkena sihir, atau pada hati dan

akalnya.26 Ibn Qayyim al-Jauziyah mendefinisikan sihir adalah

persenyawaan dari berbagai pengaruh ruh-ruh jahat dan interaksi

kekuatan-kekuatan tabi’at dengannya.27 Dari berbagai defenisi yang

diungkapkan terlihat bahwa sihir merupakan sebuah perbuatan atau

usaha untuk mengelabui seseorang dan mempengaruhinya dengan cara

yang bermacam-macam dan dengan tujuan yang berbeda-beda.

2. Perbedaan Sihir, Mukjizat dan Karamah

Setelah jelas pengertian sihir, maka penulis menemukan

beberapa pengertian dari mukjizat dan karamah. Mukjizat dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kejadian (peristiwa) ajaib yang

sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia.28 Sedangkan menurut

para ulama, mukjizat adalah kemampuan luar biasa yang dimunculkan

26
Wahid ibn Abdus Salam Bali, Al-Sharâim al-Battâr fî al-Tashaddî li al-Saharah al-
Asyrâr, (Jeddah : Maktabah al-Shahâbah, t.t), terj. Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Sihir dan Cara
Pengobatannya Secara Islami, (Jakarta : Rabbani Press, 1995), h. 10.
27
Ibn Qayyim al-Jauziyah, Zâd al-Ma ’âd fî Hady Khair al-‘Ibâd, (Beirut : Muassas al-
Risâlah, 1991 M/1412 H), juz 4, h. 127.
28
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 596.
65

Allah Swt. lewat para nabi sebagai bukti atas kenabian mereka, ketika

mereka ditantang untuk membuktikan, dan melemahkan tantangan

orang-orang yang mengingkari kebenaran ajaran mereka.29

Adapun karamah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

memiliki 2 arti, yaitu ;30 a. Suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar

kemampuan manusia biasa karena ketaqwaannya kepada Tuhan. b. Suci

dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada

fihak lain. Menurut para ulama, karamah adalah suatu hal yang luar biasa

yang tidak diiringi dengan misi risalah kenabian, ia juga bukan

merupakan pengantar yang mengindikasikan ke arah misi kenabian

tersebut, di mana hal-hal luar biasa tersebut tampak pada seorang hamba

yang jelas-jelas shalih dan patuh mengikuti syari’at-syari’at yang

dibebankan kepadanya, yang diiringi dengan keyakinan yang besar dan

amal shalih, baik sihamba tersebut menyadari bahwa ia memiliki

kemampuan luar biasa ataupun tidak.31

Untuk membedakan antara sihir, mukjizat dan karamah, dapat

dilihat dari beberapa ciri yang berkaitan dengannya. Berdasarkan uraian

defenisi-defenisi sihir yang telah dikemukakan dan uraian beberapa ayat

29
Abdus Syukur al-Haj Husein, al-Nubuwwah Bain al-Mutakallimîn Wa al-Falâsifah,
(Malaysia : Jami` al-`Ulûm al-Islâmiyah, 1424 H/2003 M), h. 303.
30
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 423.
31
Abu Bakr Muhammad ibn Sayyid al-Hanbali, al-Tashdîq Bi Karâmah al-Auliyâ Min
‘Aqîdah Atbâ ’ Khatam al-Anbiyâ, terj. Saefullah MS, Karamah Para Wali Menurut Pandangan
Ahlussunnah, (Jakarta : Darus Sunnah, 2004), h. 23. Lihat juga Su’âd al-Hâkim, al-Mu’jam al-
Shûfy, (t.tp : Dâr al-Nadwah, t.th), h. 963.
66

Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad saw. tentang sihir, dapat diketahui

bahwa sihir mempunyai beberapa ciri yaitu :

1. Sihir juga merupakan perbuatan yang luar biasa dan menakjubkan,

tetapi bersifat tipuan belaka tanpa ada kebenaran di dalamnya, dengan

cara mengelabui pandangan mata sehingga orang yang melihat merasa

ketakutan. Ini diceritakan di surat al-A’râf (7) : 116 yaitu,

‫ﺎ‬‫ﺍ ﻓﹶﻠﹶﻤ‬‫ ﻗﺎﹶﻝﹶ ﺃﹶﻟﹾﻘﹶﻮ‬.‫ﻦ‬‫ ﺍﹾﳌﹸﻠﹾﻘِﻴ‬‫ﻦ‬‫ﺤ‬‫ﻥﹶ ﻧ‬‫ﻜﹸﻮ‬‫ﺇِﻣﺎﱠ ﺃﹶﻥﹾ ﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻠﹾﻘِﻲ‬‫ﺎﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ﻰ ﺇِﻣ‬‫ﺳ‬‫ﻮ‬‫ﺍ ﻳﺎﹶﻣ‬‫ﻗﹶﺎﻟﹸﻮ‬
ٍ‫ﻢ‬‫ ِﻈﻴ‬‫ﺮٍ ﻋ‬‫ﺍ ﺑِﺴِﺤ‬‫ﺟﺎﹶﺀُﻭ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻫ‬‫ﻮ‬‫ﺒ‬‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺘ‬‫ﺍﺳ‬‫ﺎﺱِ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺍ ﺃﹶﻋ‬‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﺍ ﺳ‬‫ﺃﹶﻟﹾﻘﹶﻮ‬
Ahli-ahli sihir berkata, hai Musa kamukah yang akan melemparkan terlebih
dahulu ataukah kami yang akan melemparkan ?, Musa menjawab
lemparkanlah, maka tatkala mereka (para ahli sihir) melemparkan, mereka
menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta meraka
mendatangkan sihir yang menakjubkan

Pada ayat ini diceritakan pertarungan antara sihir para tukang

sihir di masa Fir’aun dengan mukjizat Nabi Musa as. Sihir pada ayat

ini disebut sebagai kekuatan yang dapat menyulap pandangan

manusia, dari sesuatu yang benar menjadi sesuatu yang salah. Ini

difahami dari penggunaan kata saharû a’yun al-nâs. Selain itu, sifat sihir

juga untuk menakut-nakuti orang, ini difahami dari kalimat

wastarhabûhum.

2. Sihir dapat dipelajari dan dikerjakan dengan berulang-ulang. Ini

difahami dari kandungan surat al-Baqarah (2) : 102. dalam ayat ini

disebutkan bahwa, setanlah yang mengajari manusia untuk berbuat


67

sihir ‫ﺍﻟﺴﺤﺮ‬ ‫ﻭﻟﻜﻦ ﺍﻟﺸﻴﺎﻃﲔ ﻛﻔﺮﻭﺍ ﻳﻌﻠﻤﻮﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ‬. Lantas manusia mempelajari

sihir-sihir tersebut agar mereka dapat memisahkan suami dari istri

‫ﻓﻴﺘﻌﻠﻤﻮﻥ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﻣﺎﻳﻔﺮﻗﻮﻥ ﺑﻪ ﺑﲔ ﺍﳌﺮﺀ ﻭﺯﻭﺟﻪ‬. Di samping itu, mempelajari sihir

hanya akan membawa kepada kerusakan bukan membawa kepada

kemashlahatan ‫ﻭﻻﻳﻨﻔﻌﻬﻢ‬ ‫ﻭﻳﺘﻌﻠﻤﻮﻥ ﻣﺎﻳﻀﺮﻫﻢ‬.

3. Sihir diusahakan dengan menggunakan sarana-sarana tertentu dengan

maksud memberi pengaruh lewat mantera-mantera atau lewat jampi-

jampi sehingga pengaruh tersebut berbekas kepada yang dituju. Ciri

yang kedua dari sihir ini difahami dari hadis Aisyah rah. yang

menceritakan bahwa Nabi Muhammad saw. tersihir oleh seorang

Yahudi yang bernama Labid ibn al-A’Sham.

Dari isi hadis ini difahami bahwa sihir menggunakan alat-alat

yang mampu mempengaruhi orang yang bersangkutan. Walaupun

kandungan hadis ini banyak menimbulkan pertentangan di kalangan

ulama, tetapi menurut penulis hadis ini dapat digunakan sebagai bukti

bahwa sihir menggunakan alat-alat yang dijampi atau dimantera.

4. Semua sihir bertujuan negatif atau buruk, karena sihir muncul dari

orang-orang yang fasik yang lemah imannya. Ini difahami dari

kandungan hadis Abu Hurairah dalam riwayat Imam Bukhari dan

Imam Muslim. Di dalam hadis tersebut, sihir termasuk dari tujuh


68

perbuatan yang merusakkan, bahkan disebutkan setelah penyebutan

sirik kepada Allah. Oleh karena itu, sihir termasuk dosa besar. Selain

itu dalam hadis Abu Hurairah yang lain, riwayat Imam Abu Daud,

disebutkan bahwa siapa yang mendatangi ahli sihir dan

mempercayainya, maka dia telah kafir. Sabda Nabi saw.32

‫ﻣﻦ ﺃﺗﻰ ﻛﺎﻫﻨﺎ ﻓﺼﺪﻗﻪ ﲟﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﺃﻭ ﺃﺗﻰ ﺇﻣﺮﺃﺗﻪ ﰲ ﺩﺑﺮﻫﺎ ﻓﻘﺪ ﺑﺮﺉ ﳑﺎ ﺃﻧﺰﻝ‬
‫ﻋﻠﻰ ﳏﻤﺪ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬
Barang siapa yang mendatangi tukang ramal lantas membenarkan apa yang
dikatakannya atau mendatangi istrinya lewat belakang, maka sesungguhnya
ia telah kafir kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad saw.

5. Semua sihir dapat ditangkal dan ditolak atau bahkan dimusnahkan,

walaupun sihir itu perbuatan yang menunjukkan keajaiban. Tetapi

keajaibannya adalah keajaiban sementara yang bersifat tipuan dan

kebohongan. Ini difahami dari kandungan surat Thâha (20) : 65-69,

yang menyebutkan bahwa ketika Nabi Musa as. mempersilahkan para

tukang sihir Fir’aun untuk melemparkan tali-tali mereka, maka

terbayanglah pada pandangan Nabi Musa as. bahwa tali-tali tersebut

bergerak dan hidup, sehinggga dia merasa takut. Akan tetapi Allah

Swt. memerintahkan Nabi Musa as. untuk jangan takut dan

melemparkan tongkat yang ada di tangannya. Tongkat tersebut

berubah menjadi ular besar dan menelan semua ular-ular ciptaan para

32
Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abî Dâwud, (Beirut : Dâr al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1416
H/1996 M), juz 3, h. 14-15.
69

tukang sihir Fir’aun. Uraian ayat ini sangat jelas membuktikan bahwa

keajaiban yang muncul dari sihir walaupun sangat luar biasa, tetap

dapat dikalahkan dan ada penangkalnya.

Adapun ciri-ciri mukjizat antara lain adalah :33

1. Adanya unsur-unsur yang luar biasa.

Peristiwa-peristiwa alam yang biasa terjadi dan terlihat sehari-

hari, walaupun menakjubkan tidak dinamai mukjizat, karena ia telah

merupakan sesuatu yang biasa. Yang dimaksud luar biasa adalah sesuatu

yang berada di luar jangkauan hukum sebab-akibat yang telah diketahui

secara umum hukum-hukumnya. Dengan demikian sihir misalnya,

walaupun sekilas mata menakjubkan atau luar biasa, tetapi ia dapat

dipelajari maka ia bukan sesuatu yang termasuk dalam istilah luar biasa.

2. Mukjizat muncul dari diri seorang Nabi dan Rasul

Bukan mustahil bila terjadi sesuatu yang luar biasa pada diri

siapapun. Namun bila muncul bukan dari diri seorang nabi, maka ia tidak

dinamai mukjizat. Boleh jadi juga bahwa sesuatu yang luar biasa itu

muncul dari seseorang yang bakal menjadi seorang nabi. Ini juga tidak

dinamai mukjizat, tetapi irhâsh.34 Boleh jadi juga sesuatu yang luar biasa

itu muncul dari seseorang yang taat dan dicintai Allah, tetapi ini juga

tidak dinamai mukjizat, tapi dinamai karâmah. Bahkan boleh juga sesuatu
33
Abdus Syukur al-Haj Husein, al-Nubuwwah Bain al-Mutakallimîn Wa al-Falâsifah, h.
304-305. Lihat juga M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, h. 24-26.
34
Abu Abdillah al-Sanusi, Syarh al-Sanûsiyah al-Kubrâ, (Kuweit : Dâr al-Qalam, 1402
H/1982 M), h. 359.
70

yang luar biasa itu muncul dari orang yang durhaka kepada Allah. Ini

dinamakan ihânah (penghinaan) atau istidrâj (rangsangan untuk lebih

durhaka).35 Yang jelas setiap mukjizat pasti muncul dari seorang Nabi dan

Rasul, karena mukjizat tersebut merupakan bukti atas kenabian dan

kerasulannya.

3. Mukjizat mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian.

Tentunya kemunculan tantangan harus berbarengan dengan

pembuktian kebenaran risalah seorang Nabi. Di sisi lain tantangan

tersebut harus sejalan dengan ucapan sang Nabi. Bila seorang Nabi

mengatakan bahwa batu itu dapat bicara, maka mestinya batu tadi akan

berbicara, tetapi bila tidak maka keluar biasaan itu bukan mukjizat tetapi

ihânah atau istidrâj.

4. Tantangan dari mukjizat tidak mampu atau gagal untuk dihadapi.

Mukjizat Nabi Musa as. misalnya, yakni beralihnya tongkat

menjadi ular yang dihadapkan kepada masyarakat yang mengandalkan

sihir. Mukjizat tersebut benar-benar membungkam para ahli sihir yang

ditantang Nabi Musa, sehingga mereka mengakui kekalahan, walaupun

Fir’aun mengancam mereka. Ini diceritakan dalam surat Thâha (20) : 63-76.

Demikian juga dengan Nabi Isa as. yang ummatnya mengklaim sangat

pandai dalam ilmu perobatan, tetapi kemahiran mereka tidak berarti sama

sekali bila dihadapkan kepada mukjizat Nabi Isa, yang dapat

35
Ibid.
71

menyembuhkan sakit buta sejak lahir dan bahkan menghidupkan orang

yang sudah mati. Semua mukjizat itu atas izin Allah dan tertulis dalam

surat Alu ‘Imrân (3) : 49.

Sedangkan ciri-ciri karâmah antara lain adalah :36

1. Karamah muncul dari diri seorang Alim yang wara’ dan taat kepada

Allah. Ketaatannya membuat ia dicintai Allah, sehingga Allah Swt.

memberikan kelebihan kepadanya. Kelebihan tersebut bukan untuk

dipamerkan atau dijadikan bukti bahwa ia adalah orang yang dekat

dengan Allah, tetapi kelebihan itu hanya sebatas kemuliaan yang

diberikan Allah kepadanya atas ketaatannya. Banyak sekali di dalam

Al-Quran orang-orang yang diberi karamah atau kelebihan karena

ketaatannya. Seperti yang diceritakan dalam surat al-Naml (27) : 38-40,

ketika Nabi Sulaiman as. meminta kepada pembesar-pembesar

kerajaannya untuk memindahkan singgasana Balqis ke tempatnya.

Dalam ayat itu diceritakan bahwa ‘Ifrit dapat memindahkan

singgasana tersebut, sebelum Nabi Sulaiman as. berdiri dari

duduknya. Akan tetapi ada seorang hamba Allah yang sholeh dan

yang telah mendapat ilmu dari kitab suci mengatakan, bahwa ia dapat

memindahkan singgasana tersebut sebelum mata berkedip. Ternyata

setelah Nabi Sulaiman as. membuka matanya, singgasana Balqis telah


36
Abû al-Qâsim Abd al-Karîm ibn Hiwazan al-Qusyairi, al-Risâlah al-Qusyairiyyah Fî
‘Ilm al-Tashawwuf, (Damaskus : Maktabah al-‘Ilm al-Hadîs, t.th), h. 520 s/d 523. Lihat juga Ali
Zai’ur, al-Karâmah al-Shûfiyyah Wa al-Usthuwwah Wa al-Hulm, (Beirut : Dâr al-Andalus, 1983),
h. 10 s/d 12.
72

ada di hadapannya. Ini merupakan karamah yang diberikan Allah

kepada orang tersebut, karena ia mempelajari kitab Allah dan

mengamalkan isinya.

2. Karamah terjadi secara kebetulan tanpa adanya tantangan atau

disiapkan terlebih dahulu. Inilah salah satu yang membedakan antara

mukjizat dan karamah. Ini diceritakan dalam surat Alu ‘Imrân (3) : 37,

sewaktu Nabi Zakaria as. mendatangi keponakannya Siti Maryam di

tempat mihrabnya. Ia melihat di dalam mihrab itu ada makanan,

lantas Nabi Zakaria keheranan karena dia tidak tahu dari mana

datangnya makanan tersebut. Ketika Nabi Zakaria as.

menanyakannya, Siti Maryam menjawab bahwa makanan itu adalah

rizki yang diberikan Allah kepadanya. Dari kisah ini juga difahami

bahwa kelebihan yang diberikan Allah kepada seseorang tidak mesti

dia itu seorang Nabi atau Rasul, tetapi orang biasa yang senantiasa

mendekatkan diri kepadaNyalah yang akan diberikan karamah.

3. Karamah terkadang bukan mesti sesuatu yang luar biasa, tetapi juga

dapat berwujud sifat kemuliaan atau akhlak mulia. Selain itu, karamah

biasanya disembunyikan oleh orangnya, karena memang tidak ada

kepentingan untuk menunjukkannya. Sifat kejujuran yang melebihi

kejujuran orang lain misalnya, yang dimiliki seseorang merupakan

kelebihan yang diberikan Allah kepadanya. Akan tetapi, dia tidak


73

patut mengklaim dirinya sebagai orang yang paling jujur, sehingga

seolah-olah tidak ada yang lebih jujur lagi dari dirinya.

B. Ungkapan Sihir Dalam Al-Quran

Sihir di dalam Al-Quran diungkapkan dalam beberapa bentuk.

Penyebutan kata sihir dalam bentuk kata kerja (fi’l) sebanyak 3 kali, dalam

bentuk nama perbuatan (mashdar) sebanyak 28 kali, dalam bentuk subyek

(fâ’il) sebanyak 23 kali dan dalam bentuk obyek (maf’ûl bih) sebanyak 6

kali.37 Teks ayat-ayat tersebut penulis cantumkan dalam lembar lampiran

di akhir tesis ini. Sedangkan yang bermakna bukan sihir sebanyak 3 kali,38

yaitu surat al-Qamar (54) : 34, surat Âlu Imrân (3) : 17 dan surat al-Zâriyât

(51) : 18.

1. Ungkapan sihir dalam bentuk kata kerja (fi’l)

Salah satu ayat yang mengungkapkan kata sihir dengan

menggunakan kata kerja (fi’l) adalah surat al-A’râf (7) : 116 yaitu,

‫ﻢ‬‫ ِﻈﻴ‬‫ﺮٍ ﻋ‬‫ﺍ ﺑِﺴِﺤ‬‫ﺟﺎﹶﺀُﻭ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻫ‬‫ﻮ‬‫ﺒ‬‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺘ‬‫ﺍﺳ‬‫ﺎﺱِ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺍ ﺃﹶﻋ‬‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﺍ ﺳ‬‫ﺍ ﻓﹶﻠﹶﻤﺎﱠ ﺃﹶﻟﹾﻘﹶﻮ‬‫ﻗﺎﹶﻝﹶ ﺃﹶﻟﹾﻘﹶﻮ‬
Musa menjawab, lemparkanlah lebih dahulu !, maka tatkala mereka melemparkan,
mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta
mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan).

37
Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Qurân, (Indonesia :
Maktabah Dahlan, t.th), h. 439-440.
38
Ibid., h. 440.
74

Ayat ini salah satu dari beberapa ayat yang menceritakan

tentang mukjizat Nabi Musa as. di samping itu, ayat ini menceritakan

pertarungan antara Nabi Musa as. dengan para penyihir Fir’aun. Pada

ayat sebelumnya, al-A’râf (7) : 113-114 diceritakan bahwa telah ada

perjanjian yang saling menguntungkan antara Fir’aun dengan para

penyihir. Isi perjanjian tersebut adalah, jika para penyihir mampu

mengalahkan mukjizat Nabi Musa as. maka mereka akan diberikan

jabatan dan kedudukan yang tinggi di kerajaannya. Sebaliknya bila Nabi

Musa as. kalah maka hal ini menguntungkan bagi Fir’aun, sebab dia bias

lebih meyakinkan massa bahwa dirinya adalah Tuhan.

Setelah itu, terjadilah pertarungan antara penyihir Fir’aun

dengan Nabi Musa as. Dengan etika yang baik, Nabi Musa as.

mempersilahkan para penyihir untuk memperlihatkan sihirnya terlebih

dahulu. Akan tetapi, benda sihir yang mereka lemparkan menurut

mayoritas mufassir hanya mengelabuhi pandangan mata. Ini difahami

dari kandungan kalimat saharû a’yun al-nâs.39

Menurut al-Qadhi ‘Iyadh, kalimat sahr yang dihubungkan

dengan kata a’yun dalam ayat tersebut membuktikan bahwa yang tertipu

oleh kelihaian sihir adalah pandangan mata, bukan pandangan hati

(bashîrah). Selanjutnya, ayat tersebut menggunakan kata istarhaba yang

bermakna menakut-nakuti, ini difahami dari kalimat setelahnya yaitu

39
Imam al-Razi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 7, juz 14, h. 212.
75

wajâ`û bi sihrin ‘azhîm (mereka para penyihir Fir’aun mendatangkan sihir

yang luar biasa). Oleh karenanya, sihir yang terjadi saat itu hanyalah

permainan tipuan yang bermaksud untuk menakuti bukan sebenar-

benarnya.40

2. Ungkapan sihir dalam bentuk nama perbuatan (mashdar)

Dalam surat al-Mâidah (5) : 110 Allah Swt. berfirman,

ِ‫ﺡ‬‫ﻭ‬‫ ﺑِﺮ‬‫ﻚ‬‫ﺗ‬‫ﺪ‬‫ ﺇِﺫﹾ ﺃﹶﻳ‬‫ﺗِﻚ‬‫ﺍﻟِﺪ‬‫ﻠﹶﻰ ﻭ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬‫ﻚ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺘِﻲ‬‫ﻤ‬‫ ﻧِﻌ‬‫ ﺍﺫﹾﻛﹸﺮ‬‫ﻢ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﺍﺑ‬‫ﺴ‬‫ﺇِﺫﹾ ﻗﺎﹶﻝﹶ ﺍﷲُ ﻳﺎﹶﻋِﻴ‬
‫ﺍﺓﹶ‬‫ﺭ‬‫ﻮ‬‫ﺍﻟﺘ‬‫ﺔﹶ ﻭ‬‫ﺍﻟﹾﺤِﻜﹾﻤ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﹾﻟﻜِﺘﺎﹶﺏ‬‫ﻚ‬‫ﺘ‬‫ﻠﱠﻤ‬‫ﺇِﺫﹾ ﻋ‬‫ﻼﹰ ﻭ‬‫ﻛﹶﻬ‬‫ﺪِ ﻭ‬‫ ﻓِﻲ ﺍﹾﳌﹶﻬ‬‫ﺎﺱ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻜﹶﻠﱢﻢ‬‫ﺱِ ﺗ‬‫ﺍﹾﻟﻘﹸﺪ‬
‫ﺮﺍﹰ ﺑِﺈِﺫﹾﻧِﻲ‬‫ﻥﹸ ﻃﹶﻴ‬‫ﻜﹸﻮ‬‫ﻬﺎﹶ ﻓﹶﺘ‬‫ ﻓِﻴ‬‫ﻔﹸﺦ‬‫ﻨ‬‫ ﻓﹶﺘ‬‫ﺮِ ﺑِﺈِﺫﹾﻧِﻲ‬‫ﺌﹶﺔِ ﺍﻟ ﱠﻄﻴ‬‫ﻴ‬‫ﻦِ ﻛﹶﻬ‬‫ ﺍﻟﻄﱢﻴ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﻠﹸﻖ‬‫ﺨ‬‫ﺇِﺫﹾ ﺗ‬‫ﻞﹶ ﻭ‬‫ﺠِﻴ‬‫ﺍﹾ ِﻹﻧ‬‫ﻭ‬
‫ﻞﹶ‬‫ﺍِﺋﻴ‬‫ﺮ‬‫ ﺇِﺳ‬‫ﻨِﻲ‬‫ ﺑ‬‫ﺇِﺫﹾ ﻛﹶﻔﹶﻔﹾﺖ‬‫ ﻭ‬‫ﻰ ﺑِﺈِﺫﹾﻧِﻲ‬‫ﺗ‬‫ ﺍﹾﳌﹶﻮ‬‫ﺮِﺝ‬‫ﺨ‬‫ﺇِﺫﹾ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ ﺑِﺈِﺫﹾﻧِﻲ‬‫ﺹ‬‫ﺮ‬‫ﺍﹾﻷَﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ ﺍﹾﻷَﻛﹾﻤ‬‫ﺮِﺉ‬‫ﺒ‬‫ﺗ‬‫ﻭ‬
‫ﻦ‬‫ﺒِﻴ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺬﹶﺍ ﺇِﻻﱠﺳِﺤ‬‫ ﺇِﻥﹾ ﻫ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﺍ ﻣِﻨ‬‫ﻭ‬‫ ﻛﹶﻔﹶﺮ‬‫ﻦ‬‫ﻨﺎﹶﺕِ ﻓﹶﻘﺎﹶﻝﹶ ﺍﻟﱠﺬِﻳ‬‫ﻴ‬‫ ﺑِﺎﻟﹾﺒ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ ﺇِﺫﹾ ﺟِﺌﹾﺘ‬‫ﻚ‬‫ﻨ‬‫ﻋ‬
Ingatlah ketika Allah mengatakan, hai Isa putera Maryam ingatlah nikmatKu
kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan rûhul
kudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan
sesudah dewasa. Dan ingatlah di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah,
taurat dan injil, dan ingatlah pula di waktu kamu membentuk dari tanah suatu
bentuk yang berupa burung dengan keizinanKu, kemudian kamu meniup
padanya, lalu bentuk itu menjadi burung yang sebenarnya dengan seizinKu. Dan
ingatlah waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan
ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizinKu, dan ingatlah di waktu
kamu mengeluarkan orang mati dari kubur menjadi hidup dengan seizinKu, dan
ingatlah di waktu Aku menghalangi Bani Israil dari keinginan untuk
membunuhmu di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-
keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir di antara mereka berkata, ini tidak
lain melainkan sihir yang nyata.

40
Ibid.
76

Pada ayat ini digunakan kata sihir dalam bentuk nama

perbuatan (mashdar). Kata tersebut terdapat dalam kalimat faqâla allazîna

kafarû minhum in hazâ illâ sihrun mubîn. Ayat tersebut menceritakan kisah

Nabi Isa as. Sejak kelahirannya, Nabi Isa as. telah menunjukkan keanehan-

keanehan yang menurut kaumnya adalah perbuatan sihir. Dari ayat

tersebut, terdapat beberapa mukjizat Nabi Isa as. yaitu :

1. Penciptaan Nabi Isa as. dari rûh al-quds tanpa lewat pernikahan atau

tidak memiliki ayah. Ini difahami dari kalimat uzkur ni’matî ‘alaika wa

‘ala wâlidatika iz ayyadtuka bi rûh al-quds.

2. Nabi Isa as. telah berbicara tentang kebenaran ibunya, padahal

usianya belum bisa dikategorikan usia anak yang telah mampu

berbicara. Ini difaham dari kalimat tukallim al-nâsa fi al-mahd.

3. Nabi Isa as. mampu membuat ukiran burung menjadi benar-benar

hidup. Ini difahami dari kalimat fatakûnu thairan bi iznî.

4. Nabi Isa as. bisa menyembuhkan sakit yang telah ada dari kecil dan

bahkan mampu menghidupkan orang yang sudah mati.

Akan tetapi menurut Bani Israil yang saat itu Nabi Isa as. diutus

kepada mereka, semua keanehan itu adalah sihir yang nyata. Dari ayat ini

ada sebuah kesimpulan, bahwa perbuatan sihir selalu dihadapkan kepada


77

mukjizat, dan sumber mukjizat tersebut ternyata dituduh telah

melakukan perbuatan sihir.41

Bukti-bukti kemukjizatan Nabi Isa. yang diungkapkan Allah

pada ayat tersebut diyakini kebenarannya oleh sebagian dari Bani Israil.

Ini dilihat dari penggunaan kalimat allazîna kafarû minhum. Tetapi diujung

ayat tersebut terungkap sebuah kalimat yang menggunakan harf in dan

harf illâ. Bila kedua kata bantu ini terdapat dalam sebuah kalimat, ini

mengindikasikan sebuah keyakinan yang kuat.42 Artinya ada sekelompok

orang dikalangan Bani Isra’il yang sangat meyakini bahwa mukjizat Nabi

Isa as. itu benar-benar sihir yang nyata.

3. Ungkapan sihir dalam bentuk subyek (ism fâ’il).

Hampir semua Nabi yang diutus Allah Swt. dituduh ummatnya

berbuat sihir. Ini dikarenakan mukjizat yang diwujudkan Allah kepada

mereka sangat nyata dan tidak tertandingi. Salah satu ayat yang

mengandung kata sihir dalam bentuk subyek (ism fâ’il) adalah surat Thâha

(20) : 69 yaitu,

‫ﺎﺣِﺮ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻔﹾﻠِﺢ‬‫ﻻﹶﻳ‬‫ ﺳﺎﹶﺣِﺮِ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﺍ ﻛﹶﻴ‬‫ﻮ‬‫ﻌ‬‫ﺻﻨ‬


 ‫ﻤﺎﹶ‬‫ﺍ ﺇِﻧ‬‫ﻮ‬‫ﻌ‬‫ﺻﻨ‬
 ‫ ﻣﺎﹶ‬‫ﻠﹾﻘﹶﻒ‬‫ ﺗ‬‫ﻨِﻚ‬‫ ِﻤﻴ‬‫ ﻳ‬‫ﺃﹶﻟﹾﻖِ ﻣﺎﹶﻓِﻲ‬‫ﻭ‬
‫ﺚﹸ ﺃﹶﺗﻰ‬‫ﻴ‬‫ﺣ‬
َ
Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa
yang mereka perbuat, sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu

41
Ibid., jilid 6, juz 16, h. 40.
42
Ibid.
78

daya tukang sihir. Dan tidaklah akan menang tukang sihir itu dari mana saja ia
datang.
Pada ayat ini Allah Swt. menjelaskan bahwa apapun yang

dilakukan oleh para tukang sihir tidak akan ada manfaat dan

keuntungannya. Ayat tersebut juga masih menceritakan kisah

pertarungan Nabi Musa as. dengan para penyihir Fir’aun. Kalimat lâ yuflih

al-sâhir menggunakan kata kerja umum, karena diiringi dengan shîgat nafi.

Dari kaedah ini ada sebuah kesimpulan, bahwa setiap sihir tidak akan ada

untungnya.43 Ini diperkuat lagi dengan bentuk kata kerja yang diiringi

shîgat nafi yang ada dalam surat al-Baqarah (2) : 102 yang menceritakan

bahwa Nabi Sulaiman as. tidak melakukan sihir.

Selanjutnya, penggunaan kata haistu merupakan kata yang

menunjukkan tempat. Artinya, kemana saja dan di mana saja penyihir

melancarkan serangan sihirnya, tetap tidak akan mendapatkan

keberhasilan. Sebaliknya, sebagai mafhûm mukhâlafah, selain penyihir akan

mendapatkan keberhasilan, keuntungan dan keselamatan, sebab ketiga

makna tersebut tercakup dalam kata al-falâh.44

4. Ungkapan sihir dalam bentuk obyek (maf’ûl bih)

Salah satu ayat yang mengandung kata sihir dalam bentuk

obyek (maf’ûl bih) adalah surat al-Isrâ (17) : 101 yaitu,

43
Ibid., jilid 11, juz 22, h. 86.
44
Ibid.
79

‫ﻥﹶ‬‫ﻮ‬‫ﻋ‬‫ ﻓِﺮ‬‫ﻢ‬‫ ﻓﹶﻘﺎﹶﻝﹶ ﻟﹶﻬ‬‫ﻢ‬‫ﻞﹶ ﺇِﺫﹾ ﺟﺎﹶﺀَﻫ‬‫ﺮﺍﹶﺋِﻴ‬‫ ﺇِﺳ‬‫ﻨِﻲ‬‫ﺌﹶﻞﹾ ﺑ‬‫ﻨﺎﹶﺕٍ ﻓﹶﺴ‬‫ﻴ‬‫ ﺁَﻳﺎﹶﺕٍ ﺑ‬‫ﻊ‬‫ﻰ ﺗِﺴ‬‫ﺳ‬‫ﻮ‬‫ﻨﺎﹶ ﻣ‬‫ﻴ‬‫ ﺁَﺗ‬‫ﻟﹶﻘﹶﺪ‬‫ﻭ‬
‫ﺭﺍﹰ‬‫ﻮ‬‫ﺤ‬‫ﺴ‬‫ﻰ ﻣ‬‫ﺳ‬‫ﻮ‬‫ ﻳﺎﹶﻣ‬‫ﻚ‬‫ ﻟﹶﺄﹶ ﹸﻇﻨ‬‫ﻲ‬‫ﺇِﻧ‬
Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepada Musa sembilan buah mukjizat
nyata, maka tanyakanlah Bani Israil tatkala Musa datang kepada mereka, lalu
Fir’aun berkata kepadanya, sesungguhnya aku sangka kamu hai Musa seorang
yang kena sihir.

Pada ayat ini disebutkan bahwa Nabi Musa as. diberi Allah

sembilan bentuk mukjizat, yaitu; a. Tongkat yang dapat berubah menjadi

ular. b. Telapak tangan yang bias mengeluarkan cahaya. c. Angin topan. d.

Belalang yang menjadi hama. e. Kutu. f. Katak. g. Air minum berubah

menjadi darah. h. Membelah laut. i. Menundukkan gunung. Semua

mukjizat ini diruhkan kepada Nabi Musa as. oleh Fir’aun sebagai

perbuatan sihir. Oleh karenanya, dalam ayat tersebut digunakan kata

mashûr, yang mengandung 3 makna yaitu; a. Penyihir yang terperangkap

dengan sihirnya. b. Bani Israil yang menyihir Nabi Musa as. sehingga dia

mampu menyihir. c. Orang yang terkena sihir.

Kalimat tersebut adalah ucapan Fir’aun. Oleh karenanya, Nabi

Musa as. membalasnya dengan mengatakan wa innî la azunnuka yâ Fir’aun

matsbûra (dan aku sesungguhnya mengira engkau ya Fir’aun seorang

yang akan binasa). Demikian munasabah ayat-ayat tersebut.

C. Hadis Tentang Tersihirnya Rasulullah saw


80

Salah satu hadis Nabi saw., yang sangat populer dan banyak

mengundang kontroversi adalah hadis riwayat Imam Bukhari yang

menceritakan bahwa Rasulullah saw., terkena sihir oleh seorang Yahudi

yang bernama Labid ibn al-A’sham. Teks hadis tersebut adalah,

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺑﻦ ﻣﻮﺳﻰ ﺃﺧﱪﻧﺎ ﻋﻴﺴﻰ ﺑﻦ ﻳﻮﻧﺲ ﻋﻦ ﻫﺸﺎﻡ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ )ﻋﺮﻭﺓ ﺑﻦ‬
‫ﺍﻟﺰﺑﲑ( ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ ﺳﺤﺮ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻌﻢ ﺭﺟﻞ ﻣﻦ ﺑﲏ ﺯﺭﻳﻖ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﻟﺒﻴﺪ ﺑﻦ‬
‫ ﺣﱴ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ‬,‫ﺍﻷﻋﺼﻢ ﺣﱴ ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﳜﻴﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﺇﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﻔﻌﻞ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﻭﻣﺎﻓﻌﻠﻪ‬
‫ ﻳﺎﻋﺎﺋﺸﺔ ﺃﺷﻌﺮﺕ ﺃﻥ ﺍﷲ‬,‫ﺫﺍﺕ ﻳﻮﻡ ﺃﻭﺫﺍﺕ ﻟﻴﻠﺔ ﻭﻫﻮ ﻋﻨﺪﻱ ﻟﻜﻨﻪ ﺩﻋﺎ ﻭﺩﻋﺎ ﰒ ﻗﺎﻝ‬
,‫ﺍﻓﺘﺎﱐ ﻓﻴﻤﺎ ﺍﺳﺘﻔﺘﻴﻨﻪ ﻓﻴﻪ ؟ ﺁﺗﺎﱐ ﺭﺟﻼﱐ ﻓﻘﻌﺪ ﺃﺣﺪﳘﺎ ﻋﻨﺪ ﺭﺃﺳﻲ ﻭﺍﻵﺧﺮ ﻋﻨﺪ ﺭﺟﻠﻲ‬
,‫ ﻗﺎﻝ‬,‫ ﻟﺒﻴﺪ ﺑﻦ ﺍﻷﻋﺼﻢ‬,‫ ﻗﺎﻝ‬.‫ ﻣﺎﻭﺟﻊ ﺍﻟﺮﺟﻞ ؟ ﻓﻘﺎﻝ ﻣﻄﺒﻮﺏ‬,‫ﻓﻘﺎﻝ ﺃﺣﺪﳘﺎ ﻟﺼﺎﺣﺒﻪ‬
‫ ﰲ‬,‫ ﻗﺎﻝ‬,‫ ﻭﺃﻳﻦ ﻫﻮ؟‬,‫ ﻗﺎﻝ‬.‫ ﰲ ﻣﺸﻂ ﻭﻣﺸﺎﻃﺔ ﻭﺟﻒ ﻃﻠﻊ ﺫﻛﺮ‬,‫ ﻗﺎﻝ‬,‫ﰲ ﺃﻱ ﺷﻲﺀ؟‬
‫ ﻳﺎﻋﺎﺋﺸﺔ ﻛﺄﻥ ﻣﺎﺀﻫﺎ‬,‫ ﻓﺄﺗﺎﻫﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﰲ ﻧﺎﺱ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﻓﺠﺎﺀ ﻓﻘﺎﻝ‬.‫ﺑﺌﺮ ﺫﺭﻭﺍﻥ‬
‫ ﻳﺎﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ‬,‫ ﻗﻠﺖ‬.‫ﻧﻘﺎﻋﺔ ﺍﳊﻨﺎﺀ ﻭﻛﺄﻥ ﺭﺅﻭﺱ ﳔﻠﻴﻬﺎ ﺭﺅﻭﺱ ﺍﻟﺸﻴﺎﻃﲔ‬
‫ﺎ‬ ‫ ﻓﺄﻣﺮ‬,‫ ﻗﺪ ﻋﺎﻓﺎﱐ ﺍﷲ ﻓﻜﺮﻫﺖ ﺃﻥ ﺃﺛﲑ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺷﺮﺍ‬,‫ ﻗﺎﻝ‬,‫ﺃﻓﻼﺍﺳﺘﺨﺮﺟﺘﻪ؟‬
.‫ﻓﺪﻓﻨﺖ‬
Ibrahim ibn Musa meriwayatkan dari Isa ibn Yunus dari Hisyam dari ayahnya
dari Aisyah, berkata, Rasulullah disihir oleh seseorang dari Bani Zuraiq bernama
Labid ibn al-A’sham, sehingga beliau berilusi melakukan sesuatu yang tidak
dilakukannya. Pada suatu hari atau suatu malam, ketika beliau di sisiku, beliau
berdoa dan berdoa terus, lalu bertanya, wahai Aisyah tahukah kamu bahwa Allah
telah memperkenankan doaku, telah datang dua orang, yang satu duduk di
samping kepalaku dan yang satu lagi di sebelah kakiku. Apa sakitnya orang ini?,
tanya salah seorang. Terkena sihir, jawab yang lain. Siapa yang menyihirnya?,
tanyanya lagi. Labid ibn al-A’sham, sahut temannya. Dengan apa?, tanyanya
lagi. Dengan sisir, rontokan rambut dan mayang pohon kurma jantan. Dimana
itu?, tanyanya lagi. Di sumur Zarwan, sahut lainnya. Lalu Rasulullah saw
mendatangi tempat tersebut bersama beberapa sahabat beliau. Setelah kembali
beliau berkata kepada Aisyah, wahai Aisyah seakan-akan air sumur itu bercampur
pacar (kemerah-merahan) dan ujung dahan pohon kurma itu seperti kepala-kepala
setan. Aku (Aisyah) bertanya, mengapa tidak anda keluarkan?. Rasul saw
81

menjawab, Allah Swt telah menyembuhkanku dan aku tidak ingin menimbulkan
kejahatan. Lalu beliau memerintahkan untuk menutup sumur itu.45

Berdasarkan penelitian Ali Umar al-Habsyi terhadap keabsahan

sanad hadis tersebut diketahui bahwa Urwah ibn Zubeir adalah seorang

nashibi (orang yang benci terhadap keluarga Nabi saw). Ini didapatkannya

dari beberapa penilaian ulama Hadis terhadap Urwah.46 Adapun Imam al-

Razi setelah menukil pendapat al-Qadi, menyatakan bahwa riwayat

tersebut batil, dan tidak dapat diterima kebenarannya karena

bertentangan dengan firman Allah Swt dalam surat al-Mâidah (5) : 67 dan

surat Thâha (20) : 69.47

Selain itu, membenarkan cerita tersebut akan membuat cacat

kenabian. Kalau cerita tersebut benar, tentunya para penyihir di zaman

Nabi saw. dapat membahayakan Nabi dan keluarganya. Dan bila cerita

riwayat tersebut benar, maka tuduhan orang-orang kafir bahwa Nabi saw.

Orang yang mashûr (tersihir) akan benar, dan ini tidak dapat dibenarkan.48

Kesimpulannya, rasulullah saw., adalah kekasih Allah Swt.

maka tidak mungkin dengan Al-Quran yang diturunkan kepadanya akan

kalah hanya dengan sihir. Bukankah Allah Swt telah menyatakan dalam

surat al-Hijr (15) : 42 bahwa hamba-hamba Allah yang shalih dan ikhlas

45
Hadis ini terdapat dalam shahih Bukhari pada kitab al-thib, shahih Muslim pada kitab
al-salâm dan Musnad Ahmad. Lihat A.J. Wensinck, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîs al-
Nabawi, (Leiden : E.J Brill, 1943), juz 2, h. 434.
46
Ali Umar al-Habsi, Benarkah Nabi Muhammad saw. Pernah Tersihir ?, h. 32 s/d 24.
47
Imâm al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 16, juz 32, h. 188-189.
48
Ibid.
82

melaksanakan aturanNya tidak akan dapat dikuasai dan dikalahkan oleh

setan.
84

BAB IV

PANDANGAN IMÂM AL-RÂZI TERHADAP SIHIR

A. Asal Mula Sihir

Pembahasan sihir yang dilakukan Imâm al-Râzi ditemukan

dalam penafsirannya terhadap delapan surat, yaitu di surat al-Baqarah (2),

surat al-A’râf (7), surat Yûnus (10), surat Thâha (20), surat al-Anbiyâ (21),

surat al-Syu’arâ (26), surat al-Jin (72) dan surat al-Falq (113).1 Dari sini

difahami bahwa surat-surat tersebutlah yang banyak membicarakan

kisah-kisah seputar sihir.

Sejak zaman masyarakat primitif, telah ada dan bersemi

kepercayaan-kepercayaan kepada hal-hal yang aneh, ganjil dan luar biasa.

Setelah agama berkembang, dengan diutusnya para rasul-rasul Allah

Swt., lambat laun ummat disetiap zaman berangsur-angsur memisahkan

antara kepercayaan kepada yang aneh-aneh dengan agama.2

Seiring dengan kemajuan cara berfikir ummat dari zaman ke

zaman dan tambahan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat para Rasul,

maka kedudukan agama semakin mulia dalam pandangan manusia,

selain itu, memang telah menjadi fitrah manusia, bahwa manusia

membutuhkan agama. Tentunya lebih memilih keputusan-keputusan

1
Imâm al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr pada Fihrisnya, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1994 M/1414 H),
jilid 17, h. 190-191.
2
M. Quraish Shihab, Yang Tersembunyi, (Jakarta : Lentera Hati, 1999), h. 165.
85

agama ketimbang keputusan yang berlandaskan kepercayaan semata-

mata. Namun minimnya pemahaman terhadap batas pemisah antara

agama dan kepercayaan, maka sangat sering terjadi percampuran antara

keduanya, yakni kepercayaan dengan agama.3

Sebagai mufassir Al-Quran yang penafsirannya diklaim dengan

penafsiran yang sangat luas, bahkan ada yang mengatakan kitab tafsirnya

hampir tidak berisi tafsir, karena pembahasan yang terlalu luas, Imam al-

Razi juga tidak melewatkan pembahasan tentang asal mula sihir. Ini

ditemukan ketika dia menafsirkan surat al-Baqarah (2) : 102.4 Ayat tersebut

berbunyi,

‫ﻟﹶﻜِﻦ‬‫ﻤﺎﹶﻥﹸ ﻭ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﺳ‬‫ﻣﺎﹶﻛﹶﻔﹶﺮ‬‫ ﻭ‬,‫ﻤﺎﹶﻥﹶ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﹾﻚِ ﺳ‬‫ ﻣ‬‫ﻠﻰ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻴﺎﹶ ِﻃﻴ‬‫ﺍ ﺍﻟﺸ‬‫ﻠﻮ‬‫ﺘ‬‫ﻮﺍﹾ ﻣﺎﹶﺗ‬‫ﻌ‬‫ﺒ‬‫ﺍﺗ‬‫ﻭ‬
‫ﻦِ ﺑِﺒﺎﹶﺑِﻞﹶ‬‫ ﺍﹾﳌﹶﻠﹶﻜﹶﻴ‬‫ﻠﻰ‬‫ﺰِﻝﹶ ﻋ‬‫ﻣﺎﹶ ﺃﹸﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻥﹶ ﺍﻟﻨﺎﱠﺱ‬‫ﻮ‬‫ﻠﱢﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺍ ﻳ‬‫ﻭ‬‫ ﻛﹶﻔﹶﺮ‬‫ﻦ‬‫ﻴﺎﹶﻃِﻴ‬‫ﺍﻟﺸ‬
‫ﻜﹾﻔﹸﺮ‬‫ﺔﹲ ﻓﹶﻼﹶﺗ‬‫ﻨ‬‫ ﻓِﺘ‬‫ﻦ‬‫ﺤ‬‫ﻻﹶ ﺇِﳕﱠﺎﹶ ﻧ‬‫ﻘﹸﻮ‬‫ﻰ ﻳ‬‫ﺘ‬‫ﺪٍ ﺣ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ﻠﱢﻤﺎﹶﻥِ ﻣِﻦ‬‫ﻌ‬‫ﻣﺎﹶ ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﺕ‬‫ﻭ‬‫ﻣﺎﹶﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﺕ‬‫ﻭ‬‫ﻫﺎﹶﺭ‬
ٍ‫ﺪ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ ﺑِﻪِ ﻣِﻦ‬‫ﻦ‬‫ﻳ‬‫ ﺑِﻀﺎﹶﺭ‬‫ﻢ‬‫ﻣﺎﹶﻫ‬‫ﺟِﻪِ ﻭ‬‫ﻭ‬‫ﺯ‬‫ﺀِ ﻭ‬‫ ﺍﹾﳌﹶﺮ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﻥﹶ ﺑِﻪِ ﺑ‬‫ﻗﹸﻮ‬‫ﻔﹶﺮ‬‫ﻤﺎﹶ ﻣﺎﹶﻳ‬‫ﻬ‬‫ﻥﹶ ﻣِﻨ‬‫ﻮ‬‫ﻠﱠﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻓﹶﻴ‬
‫ ﻓِﻲ‬‫ ﻣﺎﹶﻟﹶﻪ‬‫ﺍﻩ‬‫ﺮ‬‫ﺷﺘ‬ ‫ﻦِ ﺍ‬‫ﺍ ﻟﹶﻤ‬‫ﻮ‬‫ﻠِﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻟﹶﻘﹶﺪ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻔﹶﻌ‬‫ﻨ‬‫ﻻﹶﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﻀ‬‫ﻥﹶ ﻣﺎﹶﻳ‬‫ﻮ‬‫ﻠﱠﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻳ‬‫ﺇِﻻﱠﺑِﺈِﺫﹾﻥِ ﺍﷲِ ﻭ‬
‫ﻥﹶ‬‫ﻮ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺍﹾ ﻳ‬‫ﻛﺎﹶﻧﻮ‬‫ ﻟﹶﻮ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻔﹸﺴ‬‫ﺍ ﺑِﻪِ ﺃﹶﻧ‬‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ ﻣﺎﹶﺷ‬‫ﻟﹶﺒِﺌﹾﺲ‬‫ﻼﹶﻕٍ ﻭ‬‫ ﺧ‬‫ﺓِ ﻣِﻦ‬‫ﺍﹾ َﻵﺧِﺮ‬
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan
Sulaiman, (dan mereka mangatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir)
padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah
yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan
apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan
Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun
sebelum mengatakan, sesungguhnya kami hanya cobaan bagi kamu, sebab itu
janganlah kamu kafir. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang

3
Ibid.
4
Imâm al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 2, juz 3, h. 220.
86

dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan
istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak
memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang
siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya
keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya
dengan sihir kalau mereka mengetahui.

Sepanjang penelusuran penulis terhadap tafsirannya, Imâm al-

Râzi menyatakan bahwa kisah Hârût dan Mârût yang diceritakan di

dalam surat al-Baqarah (2) : 102, telah lebih dahulu terjadi di Negeri

Babilonia daripada kisah Nabi Sulaimân as. yang berseteru dengan setan.

Bahkan cerita tentang Hârût dan Mârût terjadi sebelum kenabian Nabi

Nûh as. yakni di masa Nabi Idrîs as. Ini berdasarkan riwayat Ibn Ishâq.

Selain itu, Allah Swt., mengisahkan bahwa ummat Nabi Nûh as.

menuduhnya sebagai ahli sihir. Begitu juga dengan para nabi yang lain,

hingga sampai kepada kisah pertarungan Nabi Mûsâ as. dengan para

penyihir Fir’aun, yang paling banyak disinyalir Al-Quran.5

Menurut Imâm al-Râzi, Hârût dan Mârût adalah dua malaikat

yang diturunkan Allah Swt., memang untuk mengajarkan sihir. Pada

masa itu, bangsa Babilonia menganut agama Shâbi`ah, merekalah yang

disebut dengan suku Kaldâniyyîn dan Kasdâniyyîn. Mereka menyembah

planet-planet dan bintang-bintang.6 Bukan hanya itu, mereka juga

mempelajari hal-hal ajaib yang berkaitan dengan kondisi alam, yang

5
Ibid., h. 239.
6
Ibid., h. 237-238.
87

disimpulkan dari pengaruh kemunculan bintang-bintang atau planet-

planet tertentu, sehingga efeknya memunculkan ilmu sihir. Oleh

karenanya, Allah Swt.. menurunkan dua malaikat yang bernama Hârût

dan Mârût, dengan tujuan mengajari manusia ilmu sihir, dengan alasan

yaitu :7

1. Ilmu sihir telah berkembang pesat saat itu, sehingga terdapat

beberapa dukun atau penyihir yang mengaku-ngaku sebagai Nabi,

karena mereka mampu menciptakan dan membuat sesuatu yang

luar biasa.

2. Bahwa mengetahui perbedaan mukjizat dengan sihir, berkaitan

dengan mengetahui hakekat keduanya. Artinya, Hârût dan Mârût

diturunkan untuk mengajari manusia, agar mampu membedakan

mana mukjizat dan mana sihir.

3. Sihir yang berkembang saat itu, adalah ilmu sihir yang bertujuan

untuk memecah belah persatuan, dan mencerai beraikan

kekompakan ummat. Oleh karenanya, diturunkanlah Hârût dan

Mârût untuk merubah sihir tersebut, agar ummat kembali bersatu.

4. Bila sihir itu berbahaya dan dilarang, maka diperlukan orang yang

bisa menunjukkan, bahwa sihir itu memang demikian, sehingga

diturunkanlah Hârût dan Mârût.

7
Ibid., h. 239.
88

5. Golongan jin pada masa itu mampu mengecoh manusia, dan

menakut-nakuti manusia dengan sesuatu yang luar biasa. Oleh

karenanya, diturunkan Hârût dan Mârût untuk mengajari manusia,

agar manusia dapat menandingi kehebatan jin.

6. Tugas Hârût dan Mârût mengajari sihir kepada manusia, hanya

sekedar ujian dan cobaan, sebab setelah itu Allah Swt., melarang

untuk mempelajari dan mengajarkannya, karena mudharatnya

lebih besar dari manfa’atnya.

Kisah Hârût dan Mârût yang diturunkan Allah Swt., juga dinukil

oleh Imâm al-Râzi melalui riwayat Ibn ‘Abbâs pada al-mas’alah al-tsâlitsah.8

Di dalam keterangannya, Imâm al-Râzi menghukum riwayat tersebut

sebagai riwayat yang mardûd dan rusak. Dia mengawali penafsiran

dengan menyebutkan kisah, ketika Allah Swt., mengabarkan kepada para

malaikat bahwa Ia akan menciptakan Âdam sebagai khalifah di bumi.

Kisah ini termaktub dalam surat al-Baqarah (2) : 30. Para malaikat

menanyakan hal tersebut kepada Allah, seolah-olah mereka tahu bahwa

manusia akan sering membuat keonaran dan kerusakan. Oleh karena itu,

Allah Swt., mewakilkan bagi setiap manusia anak cucu Adam dua orang

malaikat sebagai pemberi peringatan, yaitu kirâm dan kâtib.9

8
Ibid., h. 238.
9
Ibid.
89

Akan tetapi, manusia tetap saja membuat keonaran dan

kerusakan, sehingga membuat para malaikat keheranan akan hasil ciptaan

Allah tersebut. Untuk itu, Allah Swt., mengutus Hârût dan Mârût, serta

melengkapi keduanya dengan hawa nafsu, dan menjelma menjadi

manusia. Ketika kedua malaikat ini melihat seorang wanita, maka

timbullah hasrat dari keduanya untuk memiliki siwanita, sehingga terjadi

perzinaan. Setelah itu, Allah menghukum keduanya dengan syarat boleh

memilih, hukuman dunia atau hukuman akhirat. Ternyata keduanya

memilih hukuman dunia, maka Allah Swt., menggantung keduanya di

negeri Babilonia antara langit dan bumi hingga hari akhirat.10

Riwayat tentang Hârût dan Mârût yang seperti ini, banyak

beredar di masyarakat. Padahal riwayat tersebut mengandung beberapa

kerancuan, yaitu; telah disepakati bahwa malaikat ma’shûm dari maksiat.

Oleh karenanya, mustahil kisah tersebut dapat dibenarkan. Kedua,

pendapat hukuman dunia lebih baik dari hukuman akhirat, merupakan

pendapat yang rusak. Yang lebih baik adalah, keduanya dibolehkan untuk

memilih, antara bertaubat atau diazab.11

Selanjutnya ilmu sihir mengalami perkembangan dan kemajuan

hingga masa Nabi Sulaimân as. Ada yang mengatakan bahwa Nabi

Sulaimân as. pernah mengumpulkan buku-buku tentang sihir dan

10
Ibid.
11
Ibid.
90

perdukunan. Kemudian dia menguburnya di bawah kursi singgasananya,

sehingga tidak satupun dari setan-setan dan jin, yang mampu mendekati

kursi itu.12

Ketika memaknai harf mâ pada kalimat wattaba’û mâ tatlû al-

syayâthînu ‘alâ mulki Sulaimân, Imâm al-Râzi memilih pendapat bahwa

yang dibaca itu adalah mantera-mantera sihir, yang telah pernah ada di

masa Hârût dan Mârût. Makna ini berkembang menjadi sebuah persoalan,

yaitu; para setan dan jin menganggap kerajaan Sulaimân (mulku Sulaimân)

yang begitu hebat dan besar, hingga dia mampu menguasai segala

makhluk, didapatkan dari sihir, bukan mukjizat yang diberikan Allah. Ini

ditemukan dalam riwayat al-Thabari dari Sa’îd ibn Zubeir dan Ibn ‘Abbâs.

Al-Rabî’ ibn Anas menambahkan bahwa setan-setan dan jin tersebutlah,

yang menulis kitab-kitab sihir dan menguburnya di bawah kursi

singgasana Sulaimân. Setelah Nabi Sulaimân as., meninggal, para setan

dan jin, memerintahkan manusia untuk mengeluarkan kitab-kitab tersebut

dari bawah singgasananya. Lalu mereka mengatakan, inilah ilmu yang

disembunyikan Sulaimân, sehingga dia bisa menguasai semua makhluk.13

Sungguh sebuah tipu daya setan yang nyata, sebab hal tersebut telah

dibantah Allah Swt., lewat firmanNya di surat al-Baqarah (2) : 102.

12
Ibid., h. 236. Lihat juga dalam Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, (Beirut : Dâr Fikr,
t.th), juz 1, h. 134-135.
13
Ibid.
91

Berdasarkan ayat tersebut, setan-setan dan jinpun mengajari

manusia ilmu sihir, sehingga terjadi kerusakan dan keonaran. Sihir yang

paling menonjol saat itu adalah, sihir yang dapat memisahkan seseorang

dengan istri atau suaminya. Demikianlah seterusnya, ilmu sihir

berkembang terus hingga ke masa Nabi Mûsâ as., lewat pengajaran setan,

jin dan dibantu para dukun dan tukang sihir.14

Dimasa Nabi Mûsâ as., perkembangan sihir sangat pesat. Bangsa

Mesir dengan Fir’aun sebagai rajanya, sangat terkenal dengan ummat

yang memiliki keahlian sihir. Dimasanya, Nabi Mûsâ as., benar-benar

berhadapan dengan sihir yang luar biasa, sehingga kisahnya diceritakan

di banyak ayat dalam berbagai surat.

Selain itu, Nabi Mûsâ as., adalah Nabi yang sangat berat

tugasnya, disamping umat Bani Israil yang dia diutus kepada mereka,

terkenal dengan sifat pembangkangan dan perlawanannya. Kemudian

musuh yang dihadapi juga adalah seorang Fir’aun, pemimpin Mesir yang

kejam dan tidak segan-segan membunuh tanpa alasan.

Kisah pertarungan antara Nabi Mûsâ as., dengan penyihir-

penyihir Fir’aun dapat ditemukan di dalam surat al-A’râf (7) : 103-122,

surat Yûnus (10) : 76-81, surat Thâha (20) : 57-72, surat al-Syu’arâ (26) : 32-

49, surat al-Qashash (28) : 36-48, surat al-Isrâ (17) : 101, surat al-Naml (27) :

13, surat Ghâfir (40) : 24, surat al-Zukhruf (43) : 49 dan surat al-Zâriyât (51) :

14
Ibid.
92

30. Kisah pertarungan inilah yang paling banyak disinyalir Al-Quran. Ini

bisa difahami, sebab metode nuzûl dari masing-masing ayat tersebut

berbeda-beda.

Di dalam surat al-A’râf (7) : 103-110 terjadi perdebatan antara

Fir’aun dengan Nabi Mûsâ as. Diceritakan, ketika Nabi Mûsâ as dan

saudaranya Nabi Hârûn as., diutus ke Mesir, untuk menemui Fir’aun dan

mengajaknya untuk menyembah Allah. Fir’aun meminta bukti atas

kebenaran risalah Nabi Mûsâ as. Lantas Nabi Mûsâ as., menjatuhkan

tongkatnya, dan berubah menjadi ular besar yang sebenarnya, kemudian

dia mengeluarkan cahaya dari tangannya, sehingga para pembesar

Fir’aun saat itu keheranana, dan menganggap hal itu semua adalah sihir,

bukan mukjizat.15

Kemudian pada ayat 111-114 di surat al-A’râf (7) tersebut, para

pembesar Fir’aun menantang Nabi Mûsâ as., untuk adu tanding dengan

para ahli sihir mereka, seperti yang dinyatakan ayat berikut ini,

.ٍ‫ﻢ‬‫ﻠِﻴ‬‫ ﺑِﻜﹸﻞﱢ ﺳﺎﹶﺣِﺮٍ ﻋ‬‫ﻙ‬‫ﻮ‬‫ﺄﹾﺗ‬‫ ﻳ‬.‫ﻦ‬‫ﺍﺋِﻦِ ﺣﺎﹶﺷِﺮِﻳ‬‫ﺳِﻞﹾ ﻓِﻲ ﺍﹾﳌﹶﺪ‬‫ﺃﹶﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﺃﺧﺎﹶﻩ‬‫ ﻭ‬‫ﺟِﻪ‬‫ﺍ ﺃﹶﺭ‬‫ﻗﺎﹶﻟﹸﻮ‬
‫ﻢ‬‫ﻌ‬‫ ﻗﺎﹶﻝﹶ ﻧ‬.‫ﻦ‬‫ ﺍﹾﻟﻐﺎﹶﻟِﺒِﻴ‬‫ﻦ‬‫ﺤ‬‫ﺮﺍﹰ ﺇِﻥﹾ ﻛﹸﻨﺎﱠ ﻧ‬‫ﺍ ﺇِﻥﱠ ﻟﹶﻨﺎﹶ ﻟﹶﺄﹶﺟ‬‫ﻥﹶ ﻗﺎﹶﻟﹸﻮ‬‫ﻮ‬‫ﻋ‬‫ﺓﹸ ﻓِﺮ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﺟﺎﹶﺀَ ﺍﻟﺴ‬‫ﻭ‬
‫ﻦ‬‫ﺑِﻴ‬‫ ﺍﹾﳌﹸﻘﹶﺮ‬‫ ﻟﹶﻤِﻦ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺇِﻧ‬‫ﻭ‬
Pemuka-pemuka Fir’aun berkata, beri tangguhlah dia dan saudaranya serta
kirimlah ke kota-kota beberapa orang untuk mengumpulkan para ahli sihir.
Supaya mereka membawakan kepadamu semua ahli sihir. Dan beberapa ahli sihir
Fir’aun berkata sesungguhnya kami akan mendapat upah jika kami yang

15
Ibid., jilid 7, juz 14, h. 201.
93

menang?, Fir’aun menjawab ya, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan


termasuk orang terdekatku.

Imâm al-Râzi dalam penafsirannya terhadap ayat ini menyebutkan,

pada masa itu terbukti bahwa ahli-ahli sihir banyak berkembang. Adapun

kota yang dimaksud dalam ayat tersebut kota Madâin yang terletak di

ujung Mesir sendiri. Menurut salah satu riwayat yang dipegang olehnya,

jumlah penyihir yang terkumpul saat itu sekitar tujuh puluh orang.

Waktu pertarungan adalah diwaktu dhuha.16 Ini ditemukan dalam

penafsirannya terhadap surat al-Syu’arâ (26) : 38-42 yaitu,

‫ﺒِﻊ‬‫ﺘ‬‫ﻠﱠﻨﺎﹶ ﻧ‬‫ ﻟﹶﻌ‬.‫ﻥﹶ‬‫ﻮ‬‫ﻤِﻌ‬‫ﺘ‬‫ﺠ‬‫ ﻣ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﻞﹾ ﺃﹶﻧ‬‫ﺎﺱِ ﻫ‬‫ﻞﹶ ﻟِﻠﻨ‬‫ﻗِﻴ‬‫ ﻭ‬.ٍ‫ﻡ‬‫ﻠﹸﻮ‬‫ﻌ‬‫ﻡٍ ﻣ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬‫ﺓﹸ ﻓِﻲ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻤِﻊ‬‫ﻓﹶﺠ‬
‫ ﻟﹶﻨﺎﹶ‬‫ﻥﹶ ﺃﹶﺋِﻦ‬‫ﻮ‬‫ﻋ‬‫ﺍﹾ ﻟِﻔِﺮ‬‫ﺓﹸ ﻗﺎﹶﻟﻮ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﻤﺎﱠ ﺟﺎﹶﺀَ ﺍﻟﺴ‬.‫ﻥﹶ‬‫ﻮ‬‫ ﺍﹾﻟﻐﺎﹶﻟِﺒ‬‫ﻢ‬‫ﺍﹾ ﻫ‬‫ﺓﹶ ﺇِﻥﹾ ﻛﺎﹶﻧﻮ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﺍﻟﺴ‬
.‫ﻦ‬‫ﺑِﻴ‬‫ ﺍﹾﳌﹸﻘﹶﺮ‬‫ ﺇِﺫﺍﹰﳌﱠِﻦ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ ﺇِﻧ‬‫ﻢ‬‫ﻌ‬‫ ﻗﺎﹶﻝﹶ ﻧ‬.‫ﻦ‬‫ ﺍﹾﻟﻐﺎﹶﻟِﺒِﻴ‬‫ﻦ‬‫ﺤ‬‫ﺮﺍﹰ ﺇِﻥﹾ ﻛﹸﻨﺎﱠ ﻧ‬‫ﻟﹶﺄﹶﺟ‬
Lalu dikumpulkanlah para ahli sihir pada waktu yang telah ditetapkan. Dan
dikatakan pada orang banyak berkumpullah kamu semua. Semoga kita mengikuti
para ahli sihir jika mereka adalah orang-orang yang menang. Fir’aun menjawab
ya kalau demikian sesungguhnya kamu semua benar-benar akan menjadi orang
terdekatku.

Setelah semua orang saat itu berkumpul, dan para penyihir

Fir’aun pun tampak telah menyiapkan peralatan sihirnya, maka Nabi

Mûsâ as., menyuruh para ahli sihir untuk memperlihatkan sihir mereka

terlebih dahulu. Tatkala tali-tali para penyihir dilemparkan, tampak

kepada Nabi Mûsâ as., bahwa tali-tali tersebut bergerak hidup, seperti

16
Ibid., h. 207.
94

layaknya ular-ular yang siap menyerangnya. Timbul rasa takut pada diri

Nabi Mûsâ as., sewaktu melihat hal tersebut.17

Akan tetapi Allah Swt., tidak membiarkan ketakutan Nabi Mûsâ

as., berlangsung lama. Lewat firmannya Allah memerintahkan Nabi Mûsâ

as., untuk melemparkan tongkatnya, sehingga tongkat tersebut berubah

menjadi ular besar, dan memakan semua tali-tali penyihir Fir’aun yang

seolah-olah seperti ular. Kemudian ular besar yang berasal dari tongkat

Nabi Mûsâ as., kembali lagi seperti semula ke tangannya. Ini semua

diceritakan dengan jelas dalam surat al-A’râf (7), surat Yûnus (10), surat

Thâha (20) dan surat al-Syu’arâ (26). Menurut Imâm al-Râzi, dari kisah-

kisah ayat tersebut, praktek sihir masa Fir’aun tampaknya bersifat

pengelabuhan mata dengan menggunakan berbagai peralatan. Sihir

seperti ini bisa dipelajari. Demikian kesimpulannya terhadap penafsiran

ayat-ayat tersebut.18

Selanjutnya, sihir berkembang hingga masa Nabi Muhammad saw. Kisah


tersihirnya Nabi saw., yang sangat mashur, yang diriwayatkan oleh ‘Âisyah ra.,
dan termaktub di kitab hadis Shahîh al-Bukhâri mengundang berbagai reaksi,
baik positif maupun negatif.19

Dalam penafsiran terhadap surat al-Falaq (113), Imâm al-Râzi

menjelaskan bahwa hadis tersebut merupakan hadis yang menjadi sabab

17
Ibid., h. 212.
18
Ibid., h. 213.
19
Ibn al-Daibi’ al-Syaibâni, Taisîr al-Wushûl ilâ Jâmi’ al-Ushûl, (Beirut : Dâr al-Fikr,
1997 M/1417 H), juz 2, h. 122-123. Lihat juga Ali Umar al-Habsyi, Benarkah Nabi Muhammad
saw Pernah Tersihir, (Jakarta : Zahra, 2003 M/1424 H), h. 12.
95

al-nuzûl surat al-Falaq (113) menurut jumhur mufassirin. Lubaid ibn al-

A’sham seorang Yahudi menyihir Nabi saw., dengan menggunakan

benda-benda milik Nabi saw., sendiri. Lantas dia simpul sebanyak sebelas

simpul dan ditanam di dalam sumur Zarwan. Selama tiga hari Nabi saw.,

merasakan bahwa dia berbuat sesuatu, padahal dia tidak memperbuatnya.

Oleh karenanya, Malaikat Jibril datang dan mengajari Nabi saw., untuk

membaca surat al-Falaq (113). Setiap kali dibaca, maka ikatan simpul sihir

tersebut terlepas. Begitu seterusnya hingga sampai sebelas kali.20

Dari beberapa riwayat tentang sihir yang telah dikemukakan,

ternyata ilmu sihir telah pernah berkembang dan telah pernah pula

dipelajari secara bersama-sama. Bahkan hingga saat ini, ilmu sihir

semakin maju, ditandai dengan banyaknya perhatian masyarakat

terhadapnya. Dari daerah timur tengah inilah ilmu sihir meluas hingga ke

benua-benua yang lain.

Di Asia, perkembangan ilmu sihir merata disetiap negeri. Tetapi

yang sangat populer adalah di daerah India dan Cina. Dari kedua daerah

ini, diyakini menyebar hingga ke Indonesia. Di Afrika, sihir juga

berkembang dan menyebar. Bahkan di daerah tersebut para dukun-dukun

sihir dianggap pemuka agama yang mesti dimuliakan, dan keputusannya

20
Imâm al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 16, juz 32, h. 188.
96

tidak dapat diganggu gugat. Kebanyakan ilmu sihir di Afrika

menggunakan benda-benda purbakala dan pemanfaatan jin.21

Begitu juga di Eropa. Perkembangan sihir bahkan menjurus

kearah yang lebih modern. Hipnotisme dan metalistik menjadi trend

untuk saat ini. Mereka mempercayai bahwa bila seseorang yang memiliki

jiwa yang kuat, dapat mempengaruhi orang lain, yang memiliki jiwa

lemah. Begitu juga dengan pemanfaatan benda-benda yang memiliki

keistimewaan, seperti batu zamrud, baiduri, mutiara atau delima. Mereka

percaya bahwa kekuatan benda-benda tersebut memberi bekas. Selain itu,

kepercayaan kepada perbintangan dan kartu-kartu tarot, juga tidak kalah

penting.22 Dengan seenaknya mereka menganggap bahwa nasib

keberuntungan dan kesialan ditentukan oleh benda-benda tersebut.

Sungguh semua itu adalah perbuatan kafir dan syirik kepada Allah.

B. Jenis-Jenis Sihir

Dalam surat al-Baqarah (2) : 102, telah diterangkan bahwa sihir

diajarkan oleh syetan kepada manusia untuk kemaksiatan. Dalam

penafsiran terhadap ayat tersebut, Imâm al-Râzi dengan panjang lebar

menjelaskan jenis-jenis sihir. Menurutnya, sihir terbagi delapan bagian.

Penjelasannya terhadap jenis-jenis sihir tersebut juga tidak lepas dari

21
M. Ali Usman, Manusia Jin Mengganggu Ketenteraman, (Jakarta : Bulan Bintang,
1979), h. 50-51.
22
Ibid., h. 52-54.
97

analisis teologis. Dia menggali ke delapan jenis sihir tersebut lewat

metode muktazilah dan ahl al-sunnah. Berikut ini akan penulis

ungkapkan, yaitu :23

1. Sihir Ramalan Perbintangan Bangsa Kaldâniyyîn dan Kasdâniyyîn.

Kaldâniyyîn dan kasdâniyyîn adalah kaum yang menyembah

bintang-bintang dan planet-planet. Mereka hidup di daerah Babilonia.

Mereka beranggapan bahwa bintang-bintang yang ada di angkasalah

yang mengatur alam semesta ini. Dari bintang-bintang tersebutlah muncul

kebaikan, keburukan, kebahagiaan dan kesengsaraan. Kepada kaum

tersebut, Allah Swt., mengutus Nabi Ibrahim as., untuk membatalkan dan

membantah keyakinan mereka. Kiranya, dalam kehidupan modern saat

ini kepercayaan terhadap bintang-bintang tersebut juga belum pudar.

Bahkan inilah yang banyak diyakini kalangan remaja dan pemuda

khususnya di Indonesia. Adanya ramalan perbintangan di media-media

cetak atau media-media elektronik juga berperan dalam mengembangkan

apa yang telah pernah diyakini oleh kaum Kasdâniyyîn dan Kaldâniyyîn.

Cara sihir bangsa Kaldâniyyîn dan Kasdâniyyîn ini sama dengan

cara al-tanjîm (ramalan bintang). Mereka menunggu terlebih dahulu

kemunculan bintang-bintang tertentu seperti zuhal, ‘athârid atau qamar.

Pada saat itu, mereka memulai ritual dengan memanggil-manggil roh,

23
Imâm al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 2, juz 3, h. 224. Lihat juga Ibn Katsîr, Tafsîr al-
Qurân al-‘Azhîm, jilid 1, h. 145-147.
98

yang diyakini terdapat pada bintang tersebut. Kemudian membacakan

mantera-mantera untuk memerintahnya agar menuruti kehendak mereka.

Dalam penafsirannya, Imâm al-Râzi membahas sihir Kaldâniyyîn

dan Kasdâniyyîn dengan tinjauan telogis. Awalnya sihir tersebut dibantah

keberadaannya oleh Muktazilah dengan tiga alasan, yaitu :24

a. Benda-benda di alam semesta ini adalah ciptaan Allah yang tidak

dapat memberi pengaruh atau bekas, hanya Allah yang memberi

pengaruh dan bekas.

b. Jika dibenarkan adanya benda yang dapat memberi pengaruh,

maka mukjizat yang muncul dari para nabi bisa dibatalkan, karena

tidak bisa dijamin bahwa mukjizat itu memang benar dari Allah,

bukan kepandaian si nabi dalam mewujudkannya.

c. Jika dibenarkan ada orang yang mampu mewujudkan sesuatu,

maka manusia tidak perlu berusaha dalam memenuhi

kebutuhannya, cukup dengan sihir maka kebutuhan terpenuhi.

Ketiga alasan penolakan muktazilah terhadap sihir perbintangan dibantah

oleh Imâm al-Râzi. Menurutnya, tidak ada dalil yang menunjukkan

bahwa benda-benda di alam semesta ini tidak bisa memberi bekas. Allah

Swt., telah memberikan kepada masing-masing benda keistimewaan dan

kekuatan. Dengan keistimewaan dan kekuatan itu setiap benda dapat

memberi manfaat dan mudharat. Imâm al-Râzi sepakat dengan para

24
Ibid., h. 225.
99

filosof yang mengakui bahwa setiap benda punya jiwa. Kekuatan jiwa-

jiwa tersebutlah yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi. Oleh

karenanya, bukan sebuah kesalahan jika ada orang yang percaya kepada

sihir, sebab sihir ada yang bersumber dari kekuatan jiwa.

2. Sihir orang yang memiliki khayalan dan pengaruh jiwa yang kuat.

Kemampuan untuk mewujudkan sihir ini bisa diperoleh lewat

latihan-latihan dan uji coba. Seseorang yang menjalani latihan atau semedi

misalnya, kemudian latihan pemusatan fikiran, maka orang tersebut akan

mampu memerintahkan sesuatu agar berbuat seperti apa yang ada dalam

fikirannya.25

Akan tetapi bila jiwanya kurang kuat dan pemusatan fikirannya

sering terganggu, maka dia akan membutuhkan alat bantu yang dapat

membantunya dalam pemusatan fikiran atau latihannya. Oleh karenanya,

tidak jarang ditemukan bahwa orang-orang yang menggunakan sihir ini

kadang-kadang membawa alat yang dapat mempengaruhi jiwa sipenyihir

dan sitersihir.

Penjelasan Imâm al-Râzi terhadap sihir ini sangat sederhana. Jika

jiwa itu lebih tinggi daripada raga, maka dia akan tertarik kepada dunia

langit, sehingga seolah-olah jiwa itu merupakan roh yang ada di langit,

maka ia akan sangat kuat dalam memberi pengaruh terhadap benda-

25
Ibid., h. 226.
100

benda yang ada di alam semesta ini. Adapun jika jiwa itu lemah dan

sangat bergantung kepada raga, maka ia tidak akan memiliki pengaruh

apapun terhadap alam ini, kecuali terhadap raga tersebut.26

Sihir jenis kedua ini dapat dikategorikan dengan hipnotisme.

Dalam prakteknya hipnotisme digunakan untuk membuat seseorang

mengkhayalkan atau membayangkan sesuatu yang bukan sebenarnya.

Inilah yang pernah dialami Nabi Muhammad saw., sewaktu dia tersihir

oleh Labîd ibn al-A’sham dalam hadis ‘Âisyah ra., Oleh karena jiwa yang

dimiliki Nabi Muhammad saw., sangat kuat, maka Labîd ibn al-A’sham

menggunakan alat bantu berupa sisir, rontokan rambut dan mayang

batang kurma, lantas direndam di sumur Zarwan. Semua ini digunakan

untuk menghipnotis Nabi saw., sehingga terbayang oleh Nabi saw.,

bahwa dia melakukan sesuatu padahal tidak.

Pengaruh khayalan sangat membantu dalam mewujudkan sihir

ini. Misalnya manusia dapat memungkinkan dirinya untuk berjalan di

atas sebuah jembatan sempit yang diletakkan di atas tanah. Tetapi tidak

memungkinkan dirinya untuk berjalan di atas jembatan tersebut, bila

jembatan itu dibentangkan di atas sungai atau yang semacamnya.

Menurut Imâm al-Râzi, hal ini tidak lain karena orang itu berkhayal, atau

terbayang dalam benaknya bahwa dia akan terjatuh.27

26
Ibid.
27
Ibid., h. 227.
101

Selain itu, para dokter di zaman Imâm al-Râzi sepakat melarang

orang yang baik melihat sesuatu yang jelek, atau orang yang punya

penyakit ayan/epilepsi dilarang melihat sesuatu yang berkilau atau yang

berputar. Semua itu dilakukan karena jiwa diciptakan untuk tunduk

kepada khayalan. Begitu juga jika ada ayam betina menyerupai atau

memiliki banyak kesamaan dengan ayam jantan, seperti suara dan cara

bertarung, maka di kakinya akan tumbuh taji yang sama dengan taji yang

tumbuh di kaki ayam jantan. Menurut mereka, ini juga membuktikan

bahwa raga selalu mengikuti keadaan jiwa.28

Menurut Imâm al-Râzi seluruh ummat telah sepakat bahwa jika

doa atau mantera yang diucapkan secara lisan tidak disertai dengan

permintaan jiwa, maka tidak akan ada pengaruhnya, sebab keinginan dan

jiwa mempunyai efek dan pengaruh.29 Dalam hadis Abû Hurairah riwayat

Imâm Bukhâri dan Muslim, Rasulullah saw., bersabda, mata memiliki

hak, seandainya sesuatu telah ditentukan oleh qadar, maka mata akan

mendahuluinya. Hadis ini menunjukkan bahwa jika seseorang yang

memiliki mata juga memiliki kekuatan jiwa, maka Allah Swt., akan

menjadikan mata sebagai sebab untuk memberikan pengaruh kepada

orang yang terkena pandangan matanya.30

28
Ibid.
29
Ibid., h. 226.
30
Mutawalli Sya’rawi, al-Sihr, (Kairo : Maktabah al-Turâts al-Islâmi, t.th), terj. Masturi
Irham dan Malik Supar, Bahaya Sihir, (Depok : Qultum Media, 2006), h. 97.
102

3. Sihir dengan menggunakan dan bekerjasama dengan jin.

Menurut Imâm al-Râzi, pembicaraan tentang jin merupakan salah

satu yang dipungkiri oleh para filosof, dan orang-orang Muktazilah di

masanya. Adapun para filosof tempo dulu tidak memungkiri keberadaan

jin. Tetapi mereka menamainya dengan istilah al-arwâh al-ardhiyah (roh-

roh bumi). Jin yang mereka maksudkan terbagi dua, yaitu jin yang

mukmin dan jin yang kafir.31

Pertemuan antara jiwa manusia dengan roh-roh bumi dan

kemampuan berbicara kepadanya, lebih mudah ketimbang pertemuan

jiwa manusia dengan roh-roh langit. Hal ini karena keduanya memiliki

kecocokan dan kedekatan. Orang yang mencoba dan melakukan

pertemuan itu dilakukan dengan beberapa tindakan yang mudah, seperti

membaca mantera-mantera, pengasapan dan semedhi. Jenis sihir inilah

yang disebut dengan istilah ‘azâim atau perbuatan mempekerjakan jin.32

Praktek jenis sihir yang ketiga ini sangat banyak ditemukan di

buku-buku perdukunan, semisal mujarrobat-mujarrobat atau daya

kesaktian. Literatur-literatur tersebut banyak mengungkapkan cara-cara

memanggil khaddam atau jin penjaga, baik jin yang menjaga ayat-ayat Al-

Quran atau jin yang bertempat digua-gua, pohon-pohon, sungai bahkan

31
Imâm al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 2, juz 3, h. 228.
32
Ibid., h. 228-229.
103

laut. Oleh karenanya, terdapat beberapa cara yang digunakan tukang sihir

atau dukun untuk memanggil jin, yaitu :33

a. Metode al-Najasah

Dalam metode ini, penyihir menggunakan sesuatu yang bersifat

najis seperti darah haid atau yang lainnya. Lalu benda tersebut dibuat

sebagai tinta untuk menulis salah satu ayat-ayat Al-Quran. Setelah itu,

situkang sihir membacakan mantera-mantera untuk memanggil jin, dan

memerintahkannya supaya melaksanakan apa yang menjadi

kehendaknya.34 Jelas sekali bahwa cara seperti ini sangat melecehkan ayat

Al-Quran dan mengarah kepada kekufuran. Padahal menyentuh Al-

Quran tidak dalam keadaan bersuci saja telah dilarang dalam surat al-

Wâqi’ah (56) : 77-79 yaitu,

‫ﻥﹶ‬‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻄﹶﻬ‬‫ ﺇِﻻﱠﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻪ‬‫ﺴ‬‫ﻤ‬‫ ﻻﹶﻳ‬.ٍ‫ﻥ‬‫ﻮ‬‫ﻜﹾﻨ‬‫ ﻛِﺘﺎﹶﺏٍ ﻣ‬‫ ﻓِﻲ‬.‫ﻢ‬‫ﺁَﻥﹲ ﻛﹶﺮِﻳ‬‫ ﻟﹶﻘﹸﺮ‬‫ﻪ‬‫ﺇِﻧ‬


Sesungguhnya Al-Quran itu adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang
terpelihara. Tidak boleh menyentuhnya kecuali orang yang bersuci.

b. Metode al-Tankîs

Metode yang kedua ini hampir sama dengan metode yang

pertama, karena sama-sama melecehkan kesucian ayat-ayat Al-Quran.

Pada metode kedua ini, para tukang sihir menuliskan salah satu surat atau

ayat-ayat Al-Quran dengan huruf yang terpenggal-penggal dan terbalik.


33
Wahid Abdus Salam Bali, al-Sharâim al-Battâr, (Jeddah : Maktabah al-Shahâbah, 1992
M/1412 H), terj. Aunur Rafiq Shaleh tamhid, Sihir Dan Cara Pengobatannya Secara Islami,
(Jakarta : Robbani Press, 2006 M/1426 H), h. 39.
34
Ibid., h. 42.
104

Ada yang menuliskan satu surat sekaligus, dan ada juga yang memilih

ayat-ayat tertentu. Setelah itu, dibacakanlah mantera-mantera untuk

memanggil jin, lalu diperintahlah jin tersebut untuk melaksanakan dan

memenuhi hasratnya.35 Sungguh cara yang seperti ini merupakan

kesyirikan dan pelecehan terhadap kemuliaan Al-Quran.

c. Metode al-Sufliyyah

Metode yang ketiga ini juga hampir sama dengan kedua metode

yang telah disebutkan, yaitu sama-sama melecehkan kesucian Al-Quran.

Pada metode ini, situkang sihir meletakkan mushaf Al-Quran di bawah

telapak kakinya, lalu dibawa masuk ke WC atau kamar mandi. Kemudian

di dalam WC atau kamar mandi tersebut, situkang sihir membacakan

mantera-mantera untuk memanggil jin dan memerintahkannya agar

melakukan apa yang dikehendakinya. Selain itu, metode ini juga

mengajukan sejumlah syarat agar sipenyihir banyak-banyak berbuat dosa,

sehingga keridhaan setan dia dapatkan.36 Sungguh keji perbuatan sihir

dalam metode ini. Selain pelecehan juga pelaksanaan dosa besar semisal

zina, membunuh dan sebagainya dianjurkan.

d. Metode al-Zabh

Metode ini dilakukan dengan cara menyediakan hewan-hewan

yang sesuai dengan permintaan jin, dengan ciri-ciri tertentu, seperti

35
Ibid., h. 43.
36
Ibid., h. 42.
105

burung, ayam atau bahkan hewan yang diharamkan seperti anjing atau

lainnya. Setelah itu, hewan tersebut disembelih dengan tanpa menyebut

nama Allah. Lalu hewan yang telah disembelih tadi ditaruh atau

diletakkan di tempat-tempat yang dianggap angker atau tempat-tempat

yang dianggap ada jin penunggunya. Sedangkan darahnya dibuat untuk

pengobatan. Setelah itu, sipenyihir membacakan mantera-mantera untuk

memanggil jin dan memerintahkannya sesuai dengan apa yang

dikehendakinya.37 Cara ini benar-benar telah menyalahi syari’at agama,

karena menyembelih hewan bukan dengan nama Allah, apalagi jika yang

disembelih bukan hewan yang halal dimakan. Ini sangat bertentangan

dengan firman Allah dalam surat al-Mâidah (5) : 3 yaitu,

ِ‫ﺮِ ﺍﷲِ ﺑِﻪ‬‫ﻴ‬‫ﺎﺃﹸﻫِﻞﱠ ﻟِﻐ‬‫ﻣ‬‫ﺮِ ﻭ‬‫ﺰِﻳ‬‫ﳋﻨ‬


ِ ‫ ﺍﹾ‬‫ﻢ‬‫ﻟﹶﺤ‬‫ ﻭ‬‫ﻡ‬‫ﺍﻟﺪ‬‫ﺔﹸ ﻭ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﹾﳌﹶﻴ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺖ‬‫ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺣ‬
Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi dan hewan yang
disembelih bukan atas nama Allah.

e. Metode al-Iqsâm

Dalam metode yang kelima ini, ritual pemanggilan jin

menggunakan kemenyan atau dupa yang dibakar sambil mengucapkan

mantera-mantera yang mengandung sumpah kepada jin tersebut atas

nama pemimpin mereka. Kemudian meminta kepada mereka untuk

melakukan sesuatu atas nama pemimpin mereka. Bisa juga dengan

mengagung-agungkan tokoh jin dikalangan mereka, sambil mengharap

37
Ibid., h. 40-41.
106

bantuan mereka. Bila tujuan pemanggilan jin untuk keburukan, maka

digunakanlah kemenyan atau dupa yang berbau tidak sedap. Sebaliknya

jika tujuannya untuk mengikat cinta atau melepas ikatan digunakan

kemenyan atau dupa yang berbau harum. Selain itu disyaratkan juga agar

sipenyihir tidak dalam keadaan suci atau memakai pakaian yang ada

najisnya atau ditempat-tempat yang bernajis. Setelah selesai ritual

biasanya akan muncul bayangan menyerupai bentuk ular, anjing atau

bentukbentuk lainnya. Kadang-kadang tidak tampak, tapi terdengar

suaranya. Bahkan tidak terdengar, tetapi muncul tanda-tanda kehadiran

jin tersebut, seperti muncul bau atau asap.38 Metode ini juga termasuk

syirik karena bersumpah bukan atas nama Allah tetapi atas nama

makhluk, dan meminta bukan kepada Allah tetapi kepada makhluk.

f. Metode al-Atsar

Dalam metode yang keenam ini situkang sihir meminta kepada

orang yang membutuhkan bantuannya (pasien) sesuatu yang

mengandung bau keringatnya, seperti kerudung, saputangan, baju atau

yang lainnya. Setelah itu, situkang sihir membuat bundelan atau simpul

dari ujung benda tersebut dan memegangnya dengan erat. Kemudian

membacakan ayat-ayat Al-Quran dan mantera-mantera dengan suara

pelan. Tujuannya untuk memanggil jin dan memintanya supaya

38
Ibid., h. 39-40.
107

melaksanakan maksud dan tujuan sipasien. Di samping itu, situkang sihir

bertanya kepada sipasien perihal penyakit yang dideritanya, sehingga

akan tampak isyarat-isyarat tertentu dari sijin yang dibuatnya pada benda

yang disimpul tadi.39 Metode ini sungguh merupakan sebuah tipu daya

dibalik pemanfaatan ayat-ayat Al-Quran. Sewaktu situkang sihir

membaca ayat-ayat Al-Quran, dia menyaringkan suara agar sipasien

mendengar dan meyakini bahwa dia menggunakan ayat Al-Quran. Tetapi

ketika sipenyihir membaca mantera-mantera maka suaranya dipelankan.

Dari sini terlihat sebuah penipuan yang berkedok kebenaran.

g. Metode al-Tanjîm

Metode yang ketujuh ini juga dikenal dengan cara al-Rashd

(mengintai bintang), karena dalam cara ini sipenyihir mengintai

munculnya bintang-bintang tertentu, yang diyakini sangat langka

kemunculannya, seperti muncul hanya sekali setahun atau sekali dalam

sepuluh tahun. Kelangkaan dari kemunculan bintang tersebut diyakini

dapat menyebabkan sihir yang ditiupkannya bertahan lama. Ketika

bintang tersebut muncul, maka sipenyihir mulai membacakan mantera-

mantera yang isinya mengandung bacaan-bacaan syirik. Bisa juga

sipenyihir melakukan gerakan-gerakan tertentu sebagai isyarat

pemanggilan terhadap jin yang menyertai kemunculan bintang tersebut.40

39
Ibid., h. 44-45.
40
Ibid., h. 43.
108

Cara ini ternyata menyesatkan, sebab tanpa disadari seseorang akan

beranggapan bahwa bintang tersebutlah yang membuat sesuatu

perubahan, sehingga muncul bentuk-bentuk penyembahan kepada

bintang-bintang.

4. Sihir halusinasi atau pengalihan pandangan.

Kekuatan penglihatan dan pandangan terkadang mampu melihat

sesuatu yang berlainan dari kenyataan. Ini disebabkan adanya beberapa

hal yang terlintas sewaktu memandang atau melihat. Oleh karenanya,

banyak terjadi kesalahan dalam pandangan atau penglihatan. Ketika

orang yang naik kapal melihat ke arah pantai, maka dia akan berasumsi

bahwa kapal yang ia naiki berhenti, sedangkan pantai yang dilihatnya

yang bergerak. Ini menunjukkan bahwa orang yang diam, tampak

bergerak, dan orang yang bergerak tampak diam.

Imâm al-Râzi dalam tafsirannya menyatakan, bahwa penglihatan

terkadang salah dalam melihat karena disibukkan oleh sesuatu yang lain.

Seorang pesulap yang menampakkan sesuatu yang dapat mengecoh

fikiran orang, lantas mengalihkan pandangan mereka kepada dirinya.

Ketika orang-orang terhanyut oleh fikiran dan pandangannya, sipesulap

dengan kecerdikannya mengecoh dengan melakukan suatu tindakn yang

cepat. Pada saat itu juga akan tampak di hadapan penonton sesuatu yang
109

belum pernah mereka bayangkan sebelumnya, sehingga menjadikan

mereka terkejut keheranan.41

Imâm al-Râzi melanjutkan, seandainya sang pesulap tersebut

diam dan tidak melontarkan suatu ucapan yang bisa mengalihkan

perhatian para penonton kepada yang lainnya, niscaya mereka yang

konsenterasinya tetap terfokus akan dapat mengetahui setiap gerak-gerik

yang dilakukan sipesulap.42

Imâm al-Râzi juga mengatakan semakin sipesulap mampu

memberikan keterkecohan terhadap indera penglihatan, maka

pekerjaannya akan semakin bagus. Ini seperti seorang pesulap yang

duduk di tempat yang terlalu terang atau terlalu gelap, sehingga kekuatan

penglihatan tidak mampu memperhatikan secara maksimal.43

Begitu juga sihir yang dihadapkan kepada Nabi Mûsâ as., ketia

dia bertarung dengan penyihir-penyihir Fir’aun sebagaimana yang

diceritakan dalam surat Thâha (20) : 66-70. Nabi Musa as., melihat bahwa

tali-tali yang dilemparkan para penyihir Fir’aun hidup dan bergerak-

gerak layaknya ular-ular yang siap membiusnya. Ternyata, mata orang

yang melihat saat itu terkecoh, sebab penglihatan terhadap tali-tali yang

bergerak beralih seperti ular-ular kecil yang bergerak. Oleh karenanya,

41
Imâm al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 2, juz 3, h. 229.
42
Ibid.
43
Ibid.
110

menurut Imâm al-Râzi apa yang dilakukan oleh penyihir Fir’aun

sebenarnya adalah hasil dari percobaan kimiawi.

Imâm al-Râzi menjelaskan, bila sebuah benda direndam dengan

air raksa, maka dia akan mengeras. Ketika benda tersebut diletakkan di

bawah sinar matahari yang panas, akan terlihat bagi orang-orang yang

saat itu berada di tempat tersebut, bahwa tali-tali itu hidup dan bergerak-

gerak. Padahal yang terjadi adalah proses pemuaian yang diakibatkan

oleh pancaran panas sinar matahari.44 Oleh karenanya, sangat benar

firman Allah dalam surat al-A’râf (7) : 116, yang menyatakan bahwa sihir

dapat mengelabuhi pandangan mata, sehingga akan menimbulkan rasa

takut bagi orang yang melihatnya, sebab apa yang dilihatnya, tidak

pernah terbayangkan olehnya.

5. Sihir yang berasal dari sebuah karya yang menakjubkan yang

tampak sebagai hasil dari penyusunan beberapa alat dengan

menggunakan teknik-teknik tertentu.

Banyak sekali contoh-contoh yang dikemukakan Imâm al-Râzi

dalam menjelaskan jenis sihir ini. Seorang ksatria yang duduk di atas

kuda sambil tangannya memegang perisai, sehingga orang-orang hanya

bisa memukul perisainya dan tidak dapat menyentuh tubuhnya. Begitu

juga dengan gambar atau patung yang dilukis dan dipahat oleh orang-

orang Romawi dan India. Orang yang melihatnya tidak bisa membedakan

44
Ibid., jilid 11, juz 22, h. 84.
111

antara gambar buatan dan wujud asli. Mereka menggambarkan manusia

yang sedang tertawa atau yang sedang menangis, sehingga orang-orang

yang melihatnya dapat membedakan antara gambar yang tertawa

bahagia, tertawa malu dan tertawa sedih. Gambaran ini merupakan

ekspresi yang muncul dari kelembutan khayalan.45

Menurut Imâm al-Râzi, sihir yang dibuat oleh para penyihir-

penyihir Fir’aun juga termasuk kategori jenis sihir yang kelima ini, sebab

mereka menggunakan beberapa peralatan yang dijadikan sebagai alat

bantu untuk mengecoh pandangan penontot saat itu. Termasuk dalam

kategori sihir ini adalah teka-teki penyusunan kotak jam, pemindahan

barang-barang berat.46

Sebenarnya jenis sihir ini dapat ditolak, karena memiliki sebab-

sebab yang telah diketahui. Siapapun yang mempelajari teknik-tekniknya

pasti akan mengetahuinya. Inilah yang dilakukan oleh para pesulap. Akan

tetapi karena mempelajarinya merupakan suatu usaha yang sulit, orang-

orang yang hanya melihatnya dari luar menganggapnya sebagi sihir. Ini

disebabkan adanya kesamaran ketika melakukannya.

Imâm al-Râzi menukilkan sebuah riwayat tentang seorang rahib

yang mendengar seekor burung yang berkicau dengan nada sedih dan

tidak banyak bergerak. Ketika burung-burung lain mendengarnya,

45
Ibid, jilid 2, juz 3, h. 230.
46
Ibid.
112

mereka mengasihaninya, kemudian pergi ke sarangnya dengan

membawakan buah zaitun untuknya karena merasa simpati kepadanya.

Kemudian sang rahib membuat tiruan burung yang mirip dengan burung

tersebut. Ia membuatnya dari tanah liat hingga kering. Setiap kali angin

masuk terdengarlah suara yang mirip dengan suara burung itu. Sang

rahibpun bersemedi di tempat semedinya. Orang-orang menyangka

bahwa tempat tersebut berada di atas kuburan orang shalih di antara

mereka. Sang rahibpun menggantungkan replika burung tersebut di salah

satu bagian diruangannya. Kemudian angin masuk ke dalam replika

burung tersebut. Setelah itu berdatangan burung-burung yang lain karena

mendengar suara seperti suara burung, padahal suara itu adalah suara

angin yang masuk. Lalu sebagaimana yang sering dilakukan burung-

burung tersebut, mereka membawa buah zaitu yang banyak, sehingga

orang-orang Nasrani beranggapan bahwa banyaknya buah zaitun di

tempat tersebut merupakan kekeramatan dari tempat si rahib.47

Dari kisah riwayat yang dinukil oleh Imâm al-Râzi ini diketahui

bahwa replika sebuah benda dapat membuat orang terkecoh, seolah-olah

benda tersebut hidup, padahal benda mati yang tidak dapat memberi

manfaat apapun. Keterkecohan orang banyak terhadap replika tersebut

menurut Imâm al-Râzi menyebabkan mereka tersihir olehnya. Akan tetapi

jenis sihir seperti ini berikut dengan contoh yang dinukil oleh Imâm al-

47
Ibid.
113

Râzi menurut penulis belum dapat dikatakan sebuah sihir, sebab dia

hanyalah sebuah karya indah yang memang dapat membuat orang

tertegun melihat dan memandangnya. Seperti sebuah lukisan yang

mengagumkan oarang-orang yang melihatnya, sehingga orang tidak

sadar bahwa itu hanyalah sebuah lukisan.

6. Sihir dengan alat bantu berupa benda-benda yang memiliki fungsi-

fungsi tertentu.

Sihir seperti menjadikan obat-obatan sebagi alat bantu untuk

menghilangkan kesadaran atau menghilangkan fungsi otak di dalam

makanan. Bisa juga dengan menggunakan asap yang memungkinkan

orang untuk menghirupnya, sehingga orang tersebut mabuk dan tidak

bisa berfikir apa-apa. Semua perbuatan-perbuatan yang mengarah seperti

ini menurut Imâm al-Râzi termasuk dalam jenis sihir ini.48

Imâm al-Râzi mengatakan, bahwasanya tidak ada alasan untuk

mengingkari adanya benda-benda yang diberikan Allah kepadanya

keistimewaan-keistimewaan. Seperti magnet dan pengaruh yang dapat

ditimbulkannya dapat dirasakan dan dilihat dengan nyata. Hanya ada

beberapa orang yang dengan sengaja mencampukan antara kebenaran

dengan kebohongan.49 Artinya terkadang sebagian orang menggunakan

48
Ibid., h. 231.
49
Ibid.
114

kekuatan yang ada di beberapa benda untuk mengklaim bahwa ia telah

menyihirnya atau benda tersebut dianggap memiliki kekuatan sihir.

Contoh-contoh seperti itu sangat banyak. Seperti seseorang yang

ingin dikasihani oleh orang lain, agar orang lain memberikan kepadanya

upah, maka ia menggunakan kebohongan-kebohongan dengan memakai

benda-benda khusus, sehingga ia dapat memegang api, memegang ular

berbisa atau yang lainnya.

7. Sihir dengan cara menaklukkan hati.

Sang penyihir mengaku bahwa dirinya mengetahui al-ism al-

a’zham dan bahwa jin dalam berbagai keadaan tunduk dan takluk

kepadanya. Apabila orang yang mendengarkan hal tersebut kurang

memiliki kepandaian, maka ia akan percaya bahwa sipenyihir itu benar,

sehingga hatinya kemudian akan takluk kepada sang penyihir. Akan

muncul di dalam dirinya perasaan takut. Jika telah muncul kondisi takut

pada diri sipendengar, maka akan kekuatan indera perasanya akan

melemah. Pada saat itu sang penyihir dapat berbuat apa saja terhadap

orang tersebut.50

Menurut Imâm al-Râzi, sesungguhnya orang yang telah mencoba

beberapa hal dan mengetahui keadaan orang yang berilmu, maka ia akan

mengetahui bahwa sihir penaklukan hati memiliki pengaruh yang sangat

50
Ibid.
115

besar dalam melaksanakan beberapa hal serta dapat menyembunyikan

beberapa kerahasiaan.51

Sihir jenis ini biasanya dilakukan kepada orang-orang yang

memiliki kelemahan pada akalnya, sehingga orang tersebut dapat

dipengaruhi. Selain itu, kecerdikan dari sipenyihir dalam memanipulasi

alasan-alasan untuk mendukung kekuatan fikirannya juga dapat

membawa orang lain terhanyut dan tertipu olehnya. Demikian menurut

Imâm al-Râzi.

8. Sihir adu domba dengan cara memprovokasi terhadap masalah-

masalah yang sepele.

Mengadu domba merupakan perbuatan terlarang dan memang

dilarang oleh Nabi saw. Akan tetapi menurut Ibn Katsîr, perbuatan adu

domba dapat dibagi dua yaitu, adu domba antara manusia dan memecah

belah orang beriman. Jenis ini semua orang sepakat bahwa hukumnya

haram, sesuai dengan hadis Nabi saw., riwayat Imâm al-Turmuzi,

‫ﻻﻳﺪﺧﻞ ﺍﳉﻨﺔ ﳕﺎﻡ‬


Tidak masuk surga orang yang mengadu domba.

Sedangkan jenis kedua dari adu domba adalah memprovokasi

dan mengadu domba musuh dalam peperangan untuk mewujudkan

persatuan di kalangan umat. Menurut Ibn Katsîr adu domba jenis kedua

51
Ibid.
116

ini malah dianjurkan dengan syarat di dalam peperangan, karena ini

sesuai dengan hadis Nabi saw riwayat Imâm Bukhâri,

‫ﺍﳊﺮﺏ ﺧﺪﻋﺔ‬
Perang adalah tipu daya.

Begitu juga yang pernah dilakukan oleh Nu’aim ibn Mas’ûd dalam upaya

memecah belah musuh dari kelompok Bani Quraizhah. Nu’aim datang

kekelompok mereka dan melakukan provokasi dengan membuat tipuan-

tipuan sehingga mereka terpedaya dan akhirnya terprovokasi, sehingga

pecah persatuan di antara mereka.52

Demikianlah delapan jenis sihir yang dikemukakan Imâm al-Râzi

dalam tafsirannya. Para mufassir setelahnya banyak yang merujuk kepada

pembagiannya ketika membahas tentang sihir. Dari berbagai jenis sihir

yang dikemukakannya, terlihat bahwa Imâm al-Râzi memasukkan semua

jenis perbuatan yang sebab musababnya tersembunyi, sehingga tidak

dapat dibedakan mana sihir yang sebenar sihir dan mana yang sebuah

tipu daya belaka yang dapat dicari dan diketahui sebab-sebabnya.

Aliran Muktazilah menurut Imâm al-Râzi mengingkari

keberadaan sihir jenis keempat, kelima dan kedelapan, dengan alasan

bahwa sihir jenis tersebut bisa diketahui dan bukan sesuatu yang samar

sebabnya. Sedangkan golongan Ahl al-Sunnah Wa al-Jamâ’ah mengakui dan

meyakini keberadaan kedelapan jenis sihir tersebut. Bahkan menurutnya,

52
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azhîm, h. 147.
117

memungkinkan saja seorang penyihir dapat terbang di udara,

membalikkan manusia menjadi keledai dan sebagainya. Tapi pada

hakikatnya itu semua merupakan istidrâj dari Allah kepada mereka.

Bukan karena pengaruh yang ditimbulkan dari mantera-mantera yang

dibaca mereka atau upacara-upacara tertentu yang dibuat, sehingga

memberi pengaruh dan bekas.53 Ini dimaknai dari firman Allah surat al-

Baqarah (2) : 102,

ِ‫ﺪٍ ﺇِﻻﱠﺑِﺈِﺫﹾﻥِ ﺍﷲ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﻦ‬‫ﻳ‬‫ ﺑِﻀﺎﹶﺭ‬‫ﻢ‬‫ﻣﺎﹶﻫ‬‫ﻭ‬


Dan tidaklah mereka (para penyihir) dapat membahayakan kecuali dengan adanya
izin Allah.

C. Sihir dalam Perdebatan

Sebelum membahas sihir dalam perdebatan, penulis terlebih

dahulu ingin mengungkapkan alasan-alasan kenapa orang-orang

melakukan sihir atau mendatangi dukun untuk membuatkan baginya

sihir. Penulis menemukan di antara sebab-sebab orang melakukan sihir

adalah :

1. Adanya keputusasaan

2. Keserakahan

3. Kebencian, kedengkian dan dendam

4. Tipisnya akidah dan keimanan

53
Imâm al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 2, juz 3, h. 231-232.
118

Setelah mengetahui sebab-sebab yang mendorong seseorang

untuk melakukan sihir atau mendatangi dukun untuk meminta

pertolongan sihirnya, maka penulis juga menemukan dari literatur yang

ada ciri-ciri dukun atau penyihir, antara lain yaitu :54

1. Biasanya seorang penyihir atau dukun akan bertanya tentang nama

dan nama ibunya.

2. Si dukun akan meminta salah satu benda bekas pakaian yang

pernah dipakai seperti kain, peci, saputangan atau yang lainnya

untuk dibacakan mantera-mantera.

3. Kadang-kadang seorang dukun meminta binatang dengan ciri-ciri

tertentu untuk disembelih dengan tanpa menyebut nama Allah,

lalu memanfaatkan darahnya untuk polesan atau ramuan.

4. Membaca mantera-mantera aneh atau menulis azimat-azimat

tertentu yang tidak bisa difahami, lalu diberikan kepada si peminta.

5. Memberi hijab (penangkal) tertentu yang mengandung segi empat,

di dalamnya ada beberapa huruf atau angka yang terpisah-pisah.

6. Menyuruh si peminta agar menghindar dari orang atau menyepi

(hijbah) dalam masa-masa tertentu dan di tempat-tempat tertentu,

yang biasanya tempat tersebut gelap dan dianggap angker.

54
Wahid Abdus Salam Bali, al-Sharâim al-Battâr, h. 45.
119

7. Kadang-kadang menyuruh si peminta agar tidak menyentuh air

selama beberapa waktu, biasanya selama empat puluh hari. Tanda

ini menunjukka bahwa jin yang digunakan beragama nasrani.

8. Memberi si peminta benda-benda yang harus ditanam di dalam

tanah.

9. Memberi si peminta beberapa kertas untuk dibakar dan dijadikan

alat pengasapan.

10. Berkomat-kamit sewaktu membacakan sesuatu yang tidak bisa

difahami.

11. Kadang-kadang si dukun memberitahukan si peminta tentang

namanya, nama negeri asalnya dan persoalan apa yang hendak

ditanyakannya.

12. Menuliskan kepada si peminta huruf-huruf potongan di kertas atu

di piring yang terbuat dari tembikar yang berwarna khusus dan

menyuruh si peminta untuk melarutkannya dengan air, lantas

diminum.

Ciri-ciri sangat perlu diketahui agar tidak terjebak kepada

pembenaran praktek perdukunan, seperti yang disinyalir oleh Nabi

Muhammad saw dalam sabdanya riwayat al-Bazzâr yaitu,

‫ﻣﻦ ﺃﺗﻰ ﻛﺎﻫﻨﺎ ﻓﺼﺪﻗﻪ ﲟﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﻓﻘﺪ ﻛﻔﺮ ﲟﺎ ﺃﻧﺰﻝ ﻋﻠﻰ ﳏﻤﺪ ﺻﻠﻌﻢ‬
Barang siapa yang mendatangi dukun lantas membenarkan apa yang
dikatakannya, maka sesungguhnya dia telah kafir kepada apa yang diturunkan
kepada Muhammad saw.
120

Selanjutnya, ketika menafsirkan surat al-Baqarah (2) : 102, Imâm

al-Râzi pada al-mas’alah al-khâmisah menyatakan bahwa mengetahui atau

mempelajari ilmu sihir bukan suatu keburukan dan kejelekan.55 Para

ulama muhaqqiqun telah sepakat bahwa setiap ilmu pada dasarnya

adalah mulia, karena keumuman kandungan surat al-Zumar (39) : 9 yaitu,

‫ﻥﹼ‬‫ﻮ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ ﻻﹶﻳ‬‫ﻦ‬‫ﺍﻟﱠﺬِﻳ‬‫ﻥﹶ ﻭ‬‫ﻮ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻮِﻱ ﺍﻟﱠﺬِﻳ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ﻞﹾ ﻳ‬‫ﻫ‬


Apakah sama antara orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu

Selain itu, Imâm al-Râzi juga mengemukakan bahwa jika ilmu

sihir tidak diketahui, maka bagaimana mungkin bisa dibedakan antara

ilmu sihir dengan mukjizat?. Padahal mengetahui mukjizat merupakan

kewajiban, dan syarat kewajiban adalah mengetahui yang wajib. Oleh

karenanya, mengetahui ilmu sihir wajib hukumnya. Jika mengetahui ilmu

sihir wajib, maka bagaimana mungkin ilmu sihir dikatakan ilmu yang

tercela atau buruk?.56

Pendapat Imâm al-Râzi tersebut mendapat banyak tantangan dari

mufassir-mufassir lainnya. Seperti Ibn Katsîr, memberikan komentar

terhadap pendapat tersebut. Menurutnya, pendapat tersebut perlu

dicermati dari beberapa segi, yaitu; kelompok muktazilah justeru dengan

tegas melarang mempelajari ilmu sihir. Jika mempelajari ilmu sihir bukan

sesuatu yang buruk dalam syari’at, maka bagaimana dengan kandungan

55
Imâm al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 2, juz 3, h. 237.
56
Ibid.
121

surat al-Baqarah (2) : 102, yang menyebutkan bahwa mempelajari sihir

berarti memberi mudharat dan tidak bermanfaat.57

Kemudian dari segi yang lain, Imâm al-Râzi memasukkan ilmu

sihir dalam keumuman kandungan surat al-Zumar (39) : 9. Menurut Ibn

Katsîr, ayat tersebut membicarakan tentang orang-orang yang

mempelajari dan mengetahui ilmu syari’at. Berarti Imâm al-Râzi hendak

menyatakan bahwa mempelajari ilmu sihir merupakan syari’at agama,

sehingga dia berani mengemukakan hukum wajib untuk mengetahui ilmu

sihir dan mempelajarinya.58

Selain itu, Ibn Katsîr juga menyebutkan bahwa pendapat Imâm

al-Râzi tentang hukum wajib untuk mengetahui ilmu sihir dan

mempelajarinya, hanya dengan alasan agar dapat membedakan antara

sihir dan mukjizat, adalah pendapat yang lemah dan salah. Menurutnya,

Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., tidak ada

kebatilan di dalamnya. Kemudian mengetahui sisi-sisi kemukjizatan Al-

Quran tidak ada kaitannya dengan mengetahui ilmu sihir. Para sahabat,

tabi’in, ulama dan muslimun seluruhnya secara umum telah mampu

membedakan mana mukjizat dan mana ilmu sihir. Tidak diperlukan lagi

untuk mempelajari dan mengetahuinya.59

57
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, juz 1, h. 144-145.
58
Ibid., h. 145.
59
Ibid.
122

Dalam Fath al-Bâri, sebagaimana dikutip Mutawalli Sya’rawi, Ibn

Hajar menuliskan bahwa ada dua alasan yang menyebabkan sebagian

ulama memperbolehkan mempelajari ilmu sihir yaitu :60

a. Untuk mengetahui sihir mana yang bisa menyampaikan kepada

kekafiran dan mana yang tidak.

b. Untuk mengobati atau menghilangkan pengaruh sihir dari orang

yang terkena sihir. Artinya sihir dilawan dengan sihir.

Alasan yang pertama diterima selama tidak membahayakan

I’tikad dan keyakinan kepada Allah Swt., Jika seseorang hendak

mengetahui ilmu sihir dan ia memiliki keyakinan kuat, maka tidak ada

alasan untuk melarangnya. Sama dengan seseorang yang hendak

mengetahui cara beribadah umat lain. Oleh karenanya, seorang penyihir

hanya boleh mengajarkan ilmu sihir sebatas cerita dalam ucapan, bukan

dengan cara mempraktekkannya.

Adapun alasan yang kedua, jika tujuannya untuk mengobati

orang yang terkena sihir, maka diperbolehkan. Dengan syarat sihir yang

dilakukan bukan sihir yang mengandung unsur-unsur syirik kepada

Allah, seperti menyembelih bukan dengan nama Allah atau

mengorbankan sesuatu yang tidak bermanfaat. Ini berdasarkan riwayat

Imam Bukhari tentang pertanyaan Qatadah kepada Sa’îd ibn Musayyib,

apakah seseorang yang terkena sihir boleh diobati oleh istrinya dengan

60
Mutawalli Sya’rawi, al-Sihr, h. 128.
123

sihir juga?. Sa’îd menjawab, tidak mengapa karena semua ingin kebaikan.

Selain itu, semua yang bermanfaat tidak dilarang.61

Pada al-mas’alah al-sâdisah Imâm al-Râzi menjelaskan hukum kafir

bagi para dukun atau penyihir. Untuk menentukan apakah seorang

dukun itu kafir atau tidak, maka perlu dilihat dari tiga sisi, yaitu :62

1. Berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw., riwayat al-Bazzâr yaitu,

‫ﻣﻦ ﺃﺗﻰ ﻛﺎﻫﻨﺎ ﻓﺼﺪﻗﻪ ﲟﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﻓﻘﺪ ﻛﻔﺮ ﲟﺎ ﺃﻧﺰﻝ ﻋﻠﻰ ﳏﻤﺪ ﺻﻠﻌﻢ‬
Barang siapa yang mendatangi dukun lantas membenarkan apa yang
dikatakannya, maka sesungguhnya dia telah kafir kepada apa yang diturunkan
kepada Muhammad saw.

Semua ulama sepakat bahwa siapa saja yang mempercayai dan

meyakini bahwa bintang-bintanglah yang mengatur alam semesta, dan

bahwa bintang-bintanglah yang menciptakan kebaikan dan

keburukan, maka bagi orang yang seperti ini digolongkan kepada

golongan kafir.

2. Bila seseorang meyakini bahwa ada di antara sebagian manusia yang

memiliki kesucian jiwa dan kekuatannya. Dengan kesucian dan

kekuatan itu, dia bisa membuat atau menciptakan berbagai bentuk,

atau dia bisa merubah-ubah sesuatu, maka bagi orang yang punya

keyakinan seperti ini juga dihukum dalam golongan orang yang telah

kafir.

61
Ibid.
62
Imâm al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 2, juz 3, h. 233.
124

3. Bila sihir dilakukan dengan cara ruqyah, minyak atau obat, lantas

meyakini bahwa Allah Swt., yang menciptakan sebab-sebabnya,

sedangkan alat-alat yang digunakan tadi merupakan salah satu sebab-

sebabnya, maka sihir yang seperti ini tidak dihukum sebagai kafir.

Dalam menyikapi masalah apakah penyihir harus dihukum

dengan hukuman bunuh atau tidak, Imâm al-Râzi juga tampak

membaginya sesuai dengan jenis sihir yang bagaimana yang

diperbuatnya. Yang jelas, bagi Imâm al-Râzi, dukun atau penyihir yang

meyakini, kekuatan alamlah yang memberi pengaruh dan bekas, maka

golongan tersebut kafir dan dihukum bunuh. Adapun yang meyakini

bahwa kekuatan alam adalah sebab-sebab yang diciptakan Allah Swt.,

bukan pemberi bekas dan pengaruh, maka golongan tersebut bukan

golongan kafir dan tidak dihukum dengan hukuman bunuh.63

Adapun menurut Imâm Mâlik ra., dan Imâm Ahmad ra.,

sebagaimana yang ditulis al-Qurthûbi dalam kitab tafsirnya al-Jâmi’ Li

Ahkâm al-Qurân, tukang sihir yang mengerjakan sihir padahal orang lain

tidak mengerjakannya, sama dengan orang yang disebut Allah dalam

surat al-Baqarah (2) : 102 yaitu,

‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻔﹸﺴ‬‫ﺍﺑِﻪِ ﺃﹶﻧ‬‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ ﻣﺎﹶﺷ‬‫ﻟﹶﺒِﺌﹾﺲ‬‫ﻼﹶﻕٍ ﻭ‬‫ ﺧ‬‫ﺓِ ﻣِﻦ‬‫ ﻓِﻲ ﺍﹾ َﻵﺧِﺮ‬‫ ﻣﺎﹶﻟﹶﻪ‬‫ﺍﻩ‬‫ﺮ‬‫ﺷﺘ‬ ‫ِ ﺍ‬‫ﺍ ﳌِﻦ‬‫ﻮ‬‫ﻠِﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻟﹶﻘﹶﺪ‬‫ﻭ‬
‫ﻥﹶ‬‫ﻮ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺍﹾ ﻳ‬‫ﻛﺎﹶﻧﻮ‬‫ﻟﹶﻮ‬

63
Ibid.
125

Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukar kitab
Allah dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat.

Berdasarkan ayat ini Imâm Mâlik berpendapat dukun atau penyihir harus

dibunuh apabila dia sendiri yang mengerjakannya.64

Imâm al-Qurthûbi dalam tafsirnya al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qurân

bahkan menukil pendapat Imam-Imam mazhab seperti Imâm Hanafi,

Imâm al-Syâfi’i, Imâm Ahmad ibn Hanbal, Abû Tsaur dan Ishak.

Menurutnya, para Imam Fiqh berbeda pendapat dalam menentukan

hukum bunuh bagi dukun atau penyihir. Ini dilihat dari sisi muslim atau

zimminya.65

Ibn Katsir dalam tafsirnya Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm menerangkan

bahwa dukun yang muslim atau penyihir yang muslim tidak dikatakan

sebagai kafir, sebagaimana pendapat Imâm al-Syâfi’i dan Imâm Ahmad

dan ulama salaf. Tetapi hukuman atas sihirnya adalah dibunuh. Hanya

Imâm al-Syâfi’i yang membuat pengecualian, bahwa dukun atau tukang

sihir tidak dibunuh kecuali dia memang membunuh dengan sihirnya.

Hukuman ini dikategorikan qishash.66

D. Upaya Pengobatan Dan Pencegahan Sihir

64
Al-Qurthûbi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, (Beirut : Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabi, t.th),
jilid 1, juz 2, h. 47-48.
65
Ibid.
66
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, juz 1, h. 147.
126

Sebelum pembahasan diarahkan ke upaya-upaya pengobatan dan

pencegahan sihir, ada baiknya terlebih dahulu diungkapkan faktor-faktor

yang menyebabkan seseorang terkena sihir. Di antara faktor-faktor

tersebut yang penulis temukan adalah :67

1. Kekosongan hati dari mengingat Allah.

2. Memiliki jiwa yang lemah dan akal yang tidak sehat.

3. Perasaan takut yang berlebihan.

4. Amarah yang berlebihan.

5. Menjadi budak hawa nafsu.

6. Dalam kondisi lupa atau lalai.

7. Mempercayai ilmu sihir dapat memberi bekas dalam

menyampaikan hajat kepada Allah.

8. Tidak percaya kepada diri sendiri.

Sedangkan gejala-gejala orang yang tersihir atau terkena sihir,

sepanjang penelusuran penulis adalah sebagai berikut :68

1. Kemungkinan ada kesamaan gejala-gejala antara orang yang

kesurupan dengan orang yang terkena sihir, sebab salah satu jenis

sihir juga ada yang memanfaatkan bantuan jin.

67
M. Quraish Shihab, Yang Tersembunyi, h. 218.
68
Wahid Abdus Salam Bali, al-Sharâim al-Battâr, h. 61 s/d 112. Lihat juga Amran
Kasimin dan Haroen Din, Rawatan Gangguan Makhluk Halus, (Kuala Lumpur : Percetakan Watan
SDN. BHD, 1989), h. 92 s/d 140.
127

2. Adanya rasa sakit yang terus menerus di lambung orang yang

terkena sihir. Ini pertanda sihirnya masuk lewat makanan atau

minuman.

3. Hampir semua penderita jenis sihir merasakan sesak di dada,

terutama jika telah masuk malam hari, atau di salah satu anggota

badannya, bahkan lumpuh.

4. Hampir semua penderita sihir kelihatan lemah, lesu atau seperti

orang yang tidak memiliki semangat hidup.

5. Hampir semua penderita jenis sihir tidak merasa tenang ketika

tidur atau banyak gelisah.

6. Hampir semua sihir perceraian membuat seseorang melihat benci

orang lain.

7. Hampir semua sihir mahabbah (pelet) membuat penderita mabuk

cinta yang sangat luar biasa, hingga tidak bisa menahan keinginan

untuk melakukan hubungan seks.

8. Hampir semua sihir hipnotis membuat sipenderita melihat sesuatu

tidak sebagaimana sebenarnya.

9. Hampir semua sihir gila membuat sipenderita berbicara melantur

dan tidak bisa tenang di suatu tempat.

10. Benda-benda yang dijadikan alat sihir atau tempat sihir dibuat

akan diketahui dengan cara :

a. Pemberitahuan jin yang ditugasi melakukan sihir.


128

b. Shalat dua raka’at dengan ikhlas meminta petunjuk Allah Swt.

Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam membentengi

diri dari sihir dan pengaruhnya adalah :69

1. Menguatkan iman dan akidah.

2. Isti’azah memohon perlindungan Allah Swt..

3. Zikrullah, mendawamkan hati mengingat Allah Swt..

4. Menegakkan qiyamullail.

5. Menjaga kesucian diri dengan wudhu’

6. Menjaga kebersihan rumah atau tempat tinggal dari najis, kotoran

atau yang sejenisnya.

7. Membaca Al-Quran atau mendengar bacaan-bacaan Al-Quran

Dari beberapa literatur yang penulis telusuri, ada dua macam

pengobatan sihir, yaitu; cara nusyrah dan cara ruqyah.70 Berikut ini akan

penulis ungkapkan penjelasannya.

1. Pengobatan Dengan Cara Nusyrah

Ketika seseorang terkena sihir, maka untuk melepaskannya

sering kali orang rela menggunakan cara apapun, termasuk melepaskan

sihir tersebut dengan sihir juga. Tindakan itu dinamakan nusyrah. Secara

bahasa, nusyrah artinya menyebar. Dinamakan demikian karena efek

69
Mutawalli Sya’rawi, al-Sharâim al-Battâr, h. 74 s/d 83.
70
Imâm al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr, Jilid 16, juz 32, h. 189-190. Lihat juga Ibn Qayyim al-
Jauziyah, Zâd al-Ma ’âd, (Beirut : Muassas al-Risâlah, 1991 M/1412 H), juz 4, h. 126-127.
129

bacaan-bacaan nusyrah itu menyebar ke seluruh tubuh, mengusir penyakit

dan menghilangkannya.71

Oleh karenanya, nusyrah adalah penyembuhan sihir melalui sihir

jampi-jampi. Dengan kata lain nusyrah adalah jampi-jampi. Selain itu,

nusyrah sering dilakukan kepada orang-orang yang kesurupan jin.

Sedangkan salah satu jenis sihir ada yang memanfaatkan kekuatan jin.

Oleh karenanya, nusyrah diperlukan untuk mengobati yang terkena sihir.

Imâm al-Râzi membolehkan nusyrah (jampi-jampi) dengan syarat

seseorang yang melakukan nusyrah tidak boleh mengi’tikadkan dalam

hatinya, bahwa berkat bacaan nusyrah tersebutlah sihir dapat dilepaskan.

Menurutnya, yang paling tepat ialah orang yang melakukan nusyrah

terlebih dahulu meyakini dalam hati bahwa nusyrah yang dilakukannya

merupakan sebab yang diciptakan Allah. Sedangkan kesembuhan tetap

diyakini datang dari qudrat iradat Allah.72

Nusyrah dilakukan tidak mesti berasal dari ayat-ayat Al-Quran.

Boleh jadi dari do’a-do’a, bacaan-bacaan zikr atau awrâd. Imâm al-Râzi

menukil pendapat Sa’îd ibn al-Musayyib, ketika ditanya Qatâdah tentang

nusyrah. Apakah seseorang yang terkena sihir, sedangkan istrinya bisa

menjampinya diperbolehkan?. Sa’îd menjawab, tidak apa-apa untuk

71
Al-Fairuzzabadi, al-Qâmûs al-Muhîth, (Beirut : Muassas al-Risâlah, 1407 H/1989 M),
h. 621. Lihat juga ‘Abdurrahmân ibn Hasan Alu al-Syeikh, Fath al-Majîd, (Makkah : Maktabah al-
Tijâriyah, t.th), h. 307.
72
Imâm al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 16, juz 32, h. 190.
130

menjampi, karena yang diinginkan adalah kebaikan. Setiap kebaikan yang

bermanfaat tidaklah terlarang.73

Demikian juga pendapat Imâm Ahmad ibn Hanbal. Ketika

seseorang bertanya kepadanya tentang kebolehan melepaskan sihir

melalui kepada orang yang juga pandai menyihir. Menurutnya,

diperbolehkan, dan pendapat tersebutlah yang mu’tamad.74

Memang ada hadis Nabi Muhammad saw., dari Jâbir ibn

Abdullâh ra., yang diriwayatkan oleh Imâm Abû Dâud, yaitu :

‫ ﻫﻮ ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ‬,‫ ﻓﻘﺎﻝ‬,‫ﺳﺌﻞ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻌﻢ ﻫﻦ ﺍﻟﻨﺸﺮﺓ‬


Rasulullah saw pernah ditanya tentang nusyrah, dia bersabda nusyrah
merupakan pekerjaan syetan.

Berdasarkan hadis tersebut, Imâm Hasan al-Bashri melarang nusyrah

karena tidak ada yang tahu cara melepaskan sihir kecuali orang yang tahu

sihir. Sedangkan nusyrah adalah bagian dari sihir, maka nusyrah

merupakan pekerjaan syetan. Selain itu, mungkin bacaan-bacaan nusyrah

bisa memuat nama-nama setan atau bahasa-bahasa yang tidak dikenal,

karenanya disebut sihir.75

2. Pengobatan dengan cara ruqyah

Bila pengobatan dilakukan dengan bacaan-bacaan ayat Al-Quran

dan do’a-do’a maka pengobatan tersebut dinamakan ruqyah. Inilah yang

73
Ibid. Lihat juga ‘Abdurrahmân ibn Hasan Alu al-Syeikh, Fath al-Majîd, h. 308.
74
M. Ali Usman, Manusia Jin Mengganggu Ketenteraman, h. 116.
75
al-Qurthûbi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, jilid 1, juz 2, h. 49.
131

disepakati oleh mayoritas ulama. Landasan diperbolehkannya ruqyah

adalah hadis tentang Jibril meruqyah Nabi saw., hadis tentang ‘Âisyah

diruqyah seorang wanita, hadis tentang Nabi saw., meruqyah cucunya

Hasan dan Husein kemudian hadis Abû Sa’îd al-Khudri yang

menceritakan bahwa dia pernah meruqyah pemimpin sebuah kampung

yang tersengat hewan berbisa dengan membacakan al-Fatihah (1).76 Hadis-

hadis tersebut dijadikan pegangan untuk meruqyah. Selain itu, Al-Quran

dalam surat al-Isrâ (17) : 82, menyatakan bahwa sebagian ayat-ayatnya ada

yang dapat digunakan sebagai obat penawar.

Secara bahasa ruqyah artinya mengangkat. Dinamakan demikian,

karena ruqyah bertujuan mengangkat penyakit atau sihir dari tubuh

manusia.77 Dengan kata lain, ruqyah adalah mantera-mantera. Ibn Qayyim

al-Jauziyah bahkan menambahkan bukan dengan mantera-mantera saja,

tetapi boleh juga menggunakan madu, air, minyak, daun-daunan atau

rumput-rumputan yang dapat diramu menjadi obat.78

Untuk itu, penulis menemukan beberapa bacaan-bacaan dari

ayat-ayat Al-Quran dan doa-doa yang dapat mencegah dan meruqyah

sihir, yaitu :

1. Membaca al-mu’awwizât

76
Imâm al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 16, juz 32, h. 190. Lihat juga Muhammad Haqq an-
Naziliy, Khazînatul Asrâr, (Semarang : Usaha Keluarga, t.t), h. 66-67.
77
Al-Fairuzzabâdi, al-Qâmûs al-Muhîth, h. 1664.
78
Ibn Qayyim al-Jauziyah, Zâd al-Ma ’âd, juz 4, h. 126.
132

Dalam surat Fushshilat (41) : 36, Allah Swt. menyatakan bila ada

gangguan dari setan maka mohonlah perlindungan (isti’âzah) kepada

Allah. Selanjutnya dalam surat al-Mu`minûn (23) : 97-98 mengajarkan

sebuah bentuk isti’âzah untuk menghindar dari gangguan yang

ditimbulkan setan. Selain itu ada juga bentuk isti’âzah lain yang diajarkan

Nabi saw. ini ada dalam riwayat Imâm al-Turmûzi dari Khaulah binti

Hakîm.79 Dalam hadis tersebut Nabi saw menyatakan bila memasuki

sebuah tempat atau rumah ucapkanlah isti’âzah tersebut, maka tidak akan

ada yang dapat mengganggunya hingga ia pindah. Isti’âzah tersebut

adalah,

‫ﻠﹶﻖ‬‫ ﻣﺎﹶﺧ‬‫ﺮ‬‫ ﺷ‬‫ﺔِ ﻣِﻦ‬‫ﺫﹸ ﺑِﻜﹶﻠِﻤﺎﹶﺕِ ﺍﷲِ ﺍﻟﺘﺎﱠﻣ‬‫ﻮ‬‫ﺃﹶﻋ‬


Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari segala kejahatan yang
telah diciptakan.

Kemudian al-mu’awwizât yang paling baik adalah

memperbanyak bacaan surat al-Ikhlâsh, surat al-Falaq dan surat al-Nâs. Ini

berdasarkan hadis hasan riwayat Imâm al-Turmûzi dan Imâm al-Nasâi

dari Abû Sa’îd bahwa Rasulullah saw. pernah meminta perlindungan

kepada Allah Swt. dari gangguan jin manusia, hingga kemudian turunlah

surat al-Falaq dan surat al-Nâs. Ketika kedua surat ini turun beliau

menggunakan keduanya dan meninggalkan yang lainnya.80

79
Muhammad Haqq al-Nâzili, Khazînah al-Asrâr, h. 177.
80
Ibid.
133

2. Membaca surat al-fâtihah, surat al-Baqarah (2) : 1-4, 255, 284-286,

surat Alu ‘Imrân (3) : 18, surat al-A’râf (7) : 54, surat al-Mu`minûn

(23) : 115-116, surat al-Jin (72) : 1-3, surat al-Shâffât (37) : 1-10 dan

surat al-Hasyr (59) : 22-24.

Petunjuk Rasulullah saw. tentang bacaan-bacaan tersebut dapat

ditemukan dalam hadis Ubay ibn Ka’ab, ketika seorang Arab datang

kepada Nabi saw meminta pertolongan bahwa ada saudaranya menderita

sakit. Lantas Nabi saw menyuruh orang tersebut untuk menghadapkan

saudaranya kepadanya. Kemudian Nabi saw membacakan ayat-ayat

tersebut kepadanya. Lantas orang tersebut bangkit dan berlalu seolah-olah

tidak terkena sakit sebelumnya.81

3. Membaca do’a-do’a dan zikir-zikir perlindungan dari sihir.

Banyak sekali petunjuk Rasulullah saw. mengenai do’a-do’a

ataupun zikir-zikir yang bisa digunakan sebagai perlindungan. Salah

satunya adalah zikir yang diajarkan Nabi saw dalam hadis riwayat Imâm

Bukhâri dan Imâm Muslim yaitu,82

‫ﻠﻰ‬‫ ﻋ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬‫ﺖ‬‫ ِﻤﻴ‬‫ﻳ‬‫ﻲِ ﻭ‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ﺪ‬‫ ﺍﹾﳊﹶﻤ‬‫ﻟﹶﻪ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﹾﳌﹸﻠﹾﻚ‬‫ ﻟﹶﻪ‬‫ ﻟﹶﻪ‬‫ﻚ‬‫ﺮِﻳ‬‫ ﻻﹶﺷ‬‫ﻩ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬‫ ﺇِﻻﱠﺍﷲُ ﻭ‬‫ﻻﹶﺇِﻟﹶﻪ‬
‫ﺮ‬‫ﻲﺀٍ ﻗﹶﺪِﻳ‬ ‫ﻛﹸﻞﱢ ﺷ‬
Tiada Tuhan selain Allah, Zat yang satu dan tiada sekutu bagiNya, Zat yang
memiliki kerajaan dan berhak mendapat pujian, Dialah yang berkuasa atas segala
sesuatu.

81
Ibid., h. 130.
82
Muhammad Mutawalli Sya’râwi, al-Sharâmul Battâr, h. 41.
134

Kemudian ada juga petunjuk Nabi saw dalam hadis riwayat

Imâm Muslim agar memperbanyak bacaan do’a ini setiap pagi dan

petang. Do’a tersebut adalah,83

‫ ﺍﹾﳊﹸﺐ‬‫ﺀٍ ﻓﺎﹶﻟِﻖ‬‫ﻲ‬‫ ﻛﹸﻞﱢ ﺷ‬‫ﺏ‬‫ﺭ‬‫ﻨﺎﹶ ﻭ‬‫ﺑ‬‫ﻢِ ﺭ‬‫ﻈِﻴ‬‫ﺵِ ﺍﹾﻟﻌ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﹾﻟﻌ‬‫ﺏ‬‫ﺭ‬‫ﺍﺕِ ﻭ‬‫ﻤﺎﹶﻭ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﺏ‬‫ ﺭ‬‫ﻢ‬‫ﺍﻟﱠﻠﻬ‬
‫ﺖ‬‫ﺀٍ ﺃﹶﻧ‬‫ﻲ‬‫ ﻛﹸﻞﱢ ﺷ‬‫ﺮ‬‫ ﺷ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﺫﹸﺑِﻚ‬‫ﻮ‬‫ ﺃﹶﻋ‬,ِ‫ﻗﺎﹶﻥ‬‫ﺍﻟﹾﻔﹸﺮ‬‫ﻞِ ﻭ‬‫ﺠِﻴ‬‫ﺍﹾﻹِﻧ‬‫ﺓِ ﻭ‬‫ﺭ‬‫ﻮ‬‫ﺰِﻝﹸ ﺍﻟﺘ‬‫ﻨ‬‫ﻣ‬‫ﻯ ﻭ‬‫ﻮ‬‫ﺍﻟﻨ‬‫ﻭ‬
‫ﻙ‬‫ﺪ‬‫ﻌ‬‫ ﺑ‬‫ﺲ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﻴ‬‫ ﺍﹾﻵﺧِﺮ‬‫ﺖ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬,ٌ‫ﺀ‬‫ﻲ‬‫ ﺷ‬‫ﻠﹶﻚ‬‫ ﻗﹶﺒ‬‫ﺲ‬‫ﻝﹸ ﻓﹶﻠﹶﻴ‬‫ ﺍﹾﻷَﻭ‬‫ﺖ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﻢ‬‫ ﺍﻟﱠﻠﻬ‬,ِ‫ﺘِﻪ‬‫ﺁﺧِﺬﹲ ﺑِﻨﺎﹶﺻِﻴ‬
ٌ‫ﺀ‬‫ﻲ‬‫ ﺷ‬‫ﻚ‬‫ﻧ‬‫ﻭ‬‫ ﺩ‬‫ﺲ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﻴ‬‫ ﺍﹾﻟﺒﺎﹶﻃِﻦ‬‫ﺖ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬,ٌ‫ﺀ‬‫ﻲ‬‫ ﺷ‬‫ﻗﹶﻚ‬‫ ﻓﹶﻮ‬‫ﺲ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﻴ‬‫ ﺍﻟﻈﺎﱠﻫِﺮ‬‫ﺖ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬,ٌ‫ﺀ‬‫ﻲ‬‫ﺷ‬
Ya Allah Tuhan langit dan Penguasa ‘arsy yang Maha Agung, Engkaulah Tuhan
kami dan Tuhan bagi segala sesuatu, Engkaulah yang menumbuhkan biji-bijian,
menurunkan Taurat, Injil dan Al-Quran, aku berlindung kepadaMu dari
kejahatan segala sesuatu yang Engkau penguasanya, ya Allah Engkaulah Zat
yang Awal dan tiada yang mendahuluiMu, Engkaulah Zat yang Akhir dan tiada
yang setelahMu, Engkaulah Zat yang Zahir dan tiada yang di atasMu,
Engkaulah Zat yang Bathin dan tiada sesuatupun yang ada selainMu.

Demikianlah beberapa analisis penulis terhadap penafsiran-

penafsiran Imam al-Razi tentang sihir. Banyak sekali persoalan-persoalan

yang ditemukan ketika membahas sihir. Ada yang bersifat persoalan

lapangan (fakta), tetapi ada juga persoalan literatur.

83
Ibid., h. 51.
137

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Salah satu persoalan yang menjadi perhatian besar Imâm al-Râzi

adalah sihir. Menurutnya sihir adalah semua perbuatan yang memalingkan

kondisi dari keadaan yang sebenarnya menjadi keadaan yang samar-samar.

Artinya sihir bersifat tipuan terhadap pandangan mata saja. Untuk itu, sihir

bisa dipelajari, dan bahkan Imâm al-Râzi mewajibkan belajar semua jenis

ilmu sihir, dengan maksud untuk mengetahui hakekatnya dan cara kerjanya.

Selain itu, mempelajari sihir dapat mendatangkan manfa’at dan mashlahat.

Selain sihir masih ada mukjizat dan karamah, karena ketiganya

masuk dalam lingkup khawâriq li al-‘âdah. Dari penelusuran penafsiran Imâm

al-Râzi ditemukan perbedaan mendasar di antara ketiga term tersebut, yaitu :

1. Sihir bersumber dari orang yang fasik dan kafir, mukjizat bersumber

dari seorang Nabi dan Rasul, sedangkan karamah bersumber dari

seorang waliullah yang ta’at mengerjakan perintahNya dan menjauhi

laranganNya.
138

2. Sihir muncul dengan adanya usaha atau memang diusahakan,

mukjizat muncul dari qudrat iradat Allah, sedangkan karamah muncul

tanpa sebab yang tidak diketahui oleh orangnya.

3. Sihir diwujudkan untuk menghancurkan orang lain, mukjizat

diwujudkan untuk menaklukkan tantangan risalah Nabi atau Rasul,

sedangkan karamah terwujud sebagai bukti kemuliaan yang diberikan

Allah kepada seseorang.

Oleh karena ilmu sihir tidak tercela dan tidaklah buruk untuk

mempelajarinya, tentunya hukum kafir bagi para ahli sihir perlu ditinjau

ulang. Sungguh cepat keputusan untuk mengkafirkan dukun, penyihir,

tukang ramal atau apapun namanya, tanpa diselidiki terlebih dahulu,

kemanfa’atan sihirnya dan kemashlahatannya.

Mengenai pengobatan sihir, Imâm al-Râzi membolehkan pengobatan

dengan cara nusyrah (jampi-jampi) dan pengobatan dengan cara ruqyah

(mantera). Kedua cara pengobatan tersebut diterima, selama berada dalam

jalur-jalur yang dibenarkan syari’at. Selain itu, seseorang yang memiliki

kemahiran dalam nusyrah atau ruqyah harus meyakini terlebih dahulu bahwa

apa yang dilakukannya hanyalah mencari sebab-sebab yang telah dibuat

Allah, bukan dia yang menentukan sembuh atau tidaknya. Demikian

kesimpulan yang dapat penulis simpulkan.


139

B. Saran-Saran

Ada beberapa saran yang penulis ingin ajukan dalam tesis ini, yaitu :

1. Untuk pengembangan tesis ini perlu dibuat penelitian lanjutan yang

langsung menggali sihir dari kandungan Al-Quran atau dari

kandungan hadis-hadis Nabi saw. Selain itu, perlu juga penelitian

lapangan terhadap kasus-kasus sihir yang sering bergelora di

masyarakat.

2. Penelitian terhadap kitab-kitab tafsir masih sangat minim dan

sederhana, maka dibutuhkan kajian lanjutan khususnya tentang tafsir

Imam ar-Razi. Boleh juga diteliti dari permasalahan-permasalahan

mistis, seperti tentang roh, malaikat, gaib, setan, atau yang lainnya. Ini

dimaksudkan sebagai pengembangan penelitian kitab-kitab tafsir.


140

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran al-Karîm dan Terjemahnya

Abû Bakr ibn Muhammad ibn Sayyid al-Hanbali, al-Tashdîq bi Karâmah al-
Auliyâ min ‘Aqîdah Atbâ’i Khatm al-anbiyâ, terj. Saefullah MS,
Karamah Para Wali Menurut Pandangan Ahlussunnah, (Jakarta :
Darussunnah Press, 2004).

Abû Daud al-Sijistani, Sunan Abî Dâwud, (Beirut : Dâr al-Kutb al-
‘Ilmiyyah, 1416 H/1996 M).

Abû ‘Abdullah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâri,


(Beirut : Dâr Ihyâ al-Kutb al-‘Arabiyah, t.th).

Abû ‘Abdullah al-Sanûsi, Syarh al-Sanûsiyah al-Kubrâ, (Kuweit : Dâr al-


Qalam, 1402 H/1982 M).

Abû al-Qâsim Abd al-Karîm ibn Hiwazan al-Qusyairi, al-Risâlah al-


Qusyairiyyah Fî ‘Ilm al-Tashawwuf, (Damaskus : Maktabah al-‘Ilm
al-Hadîs, t.th).

Amran Kasimin dan Haroen Din, Rawatan Gangguan Makhluk Halus,


(Kuala Lumpur : Percetakan Watan SDN. BHD, 1989).

Ali Muhammad Hasan al-‘Imâry, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi Hayâtuhu wa


Âtsâruhu, (Uni Emirat Arab : al-Majlis al-a’lâ al-Syu`ûn al-
Islâmiyah, 1969 M).

Ali Umar al-Habsyi, Benarkah Nabi Muhammad saw Pernah Tersihir, (Jakarta
: Pustaka Zahra, 2003 M/1424 H).

Ali Zai’ur, al-Karâmah al-Shûfiyyah Wa al-Usthuwwah Wa al-Hulm, (Beirut :


Dâr al-Andalus, 1983).

A.J. Wensinck, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîs al-Nabawi, (Leiden :


E.J Brill, 1943).

Al-Fairuzzabadi, Al-Qâmûs al-Muhîth, (Beirut : Muassas al-Risâlah, 1407


H/1989 M).
141

Al-Qurthûbi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, (Beirut : Dâr Ihyâ` al-Turâts al-


‘Arabi, t.th).

Al-Râghib al-Ashfahâni, Mufradât Alfâz al-Qurân, (Damaskus : Dâr al-


Qalm, 1423 H/2002 M).

‘Abdurrahmân ibn Hasan Alu al-Syeikh, Fath al-Majîd, (Makkah :


Maktabah al-Tijâriyah, t.th).

‘Abdussyakûr al-Hâj Hasan, al-Nubuwwah Bain al-Mutakallimîn wa al-


Falâsifah, (Malaysia : Jami’ al-‘Ulum al-Islamiyah, 2003 M/1424
H).

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


(Jakarta : Balai Pustaka, 1988).

Fakhr al-Dîn al-Râzi, Tafsîr al-Fakhr al-Râzi al-Musytahar bi al-Tafsîr al-Kabîr


wa Mafâtih al-Ghaib, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1993 M/1414 H).

---------------------------, I’tiqâdât Firâq al-Muslimîn wa al-Musyrikîn, (Kairo :


Maktabah al-Kulliyah al-Azhâriyah, 1398 H/1978 M).

---------------------------, Muhashshal Afkâr al-Mutaqaddimîn wa al-


Muta`akhkhirîn, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1996).

Ibn Faris, Mu’jam al-Maqâyis al-Lughah, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1415 H/1994
M).

Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, (Beirut : Dâr Fikr, t.th).

Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut : Dâr al-Ma’ârif, t.th).

Ibn Qayyim al-Jauziyah, Zâd al-Ma’âd fî Hady Khair al-‘Ibâd, (Beirut :


Muassas al-Risâlah, 1991 M/1412 H).

Ibn al-Daibi’ al-Syaibâni, Taisîr al-Wushûl ilâ Jâmi’ al-Ushûl, (Beirut : Dâr al-
Fikr, 1997 M/1417 H).

Imâm al-Haramain, Kitâb al-Irsyâd Ila Qawâti’ al-Adillah, (Beirut : Dâr al-
Kutb al-‘Ilmiyyah, 1995 M/1416 H).

Ismâ’îl Abû al-Fidâ` Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, (Beirut : Dâr al-
Kutb al-‘Ilmiyyah, t.th).
142

Jalaluddin Rahmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung : Remaja


Rosda Karya, 1989).

Jalâl al-Dîn al-Sayûthi, al-Jâmi’ al-Shaghîr, (Beirut : Dâr al-Fikr, t.th).

Jhon. L. Esposito, The Oxford Encyclopedia Of The Modern Islamic World,


(New York : Oxford University Press, 1995).

Jonathan Crowther (ed.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (Inggris :


Oxford University Press, 1999).

Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasîth, (Kairo : Dâr al-


Handasah, 1405 H/1985 M).

Muhammad ‘Ali al-Shâbûni, Tafsîr Âyât al-Ahkâm, (Beirut : Dâr al-Kutb al-
‘Ilmiyyah, 1999 M/1420 H).

Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Qurân,


(Indonesia : Maktabah Dahlan, t.th).

Muhammad Haqq al-Naziliy, Khazînah al-Asrâr, (Semarang : Usaha


Keluarga, t.t).

Muhammad Husein al-Zahabi, al-Tafsîr Wa al-Mufassirûn, (Kairo :


Maktabah Wahbah, 2000 M/1421 H).

Muhammad Ibrâhîm ‘Abd al-Rahmân, Manhaj al-Fakhr al-Râzi Fî al-Tafsîr


Baina Manâhij Mu’âshirîh, (Kairo : al-Shadr li Khidmah al-
Thibâ’ah, 1989 H).

Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm ibn ‘Abd al-Wâhid al-
Syaibâni Ibn al-Atsîr, al-Kâmil Fî al-Târîkh, (Beirut : Dâr al-Kutb
al-‘Ilmiyyah, 1988 M/1418 H).

Mutawalli Sya’rawi, al-Sihr, (Kairo : Maktabah al-Turâts al-Islâmi, t.th),


terj. Masturi Irham dan Malik Supar, Bahaya Sihir, (Depok :
Qultum Media, 2006).

M. Ali Usman, Manusia Jin Mengganggu Ketenteraman, (Jakarta : Bulan


Bintang, 1979).

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2000).


143

-------------------------, Mukjizat Al-Quran, (Bandung : Mizan, 1999).

-------------------------, Yang Tersembunyi, (Jakarta : Lentera Hati, 1999).

Rhiannon Lassitier, The Unexplained Series : Supranatural, terj. Veronica


Angel, Misteri Supranatural, (Jakarta : PT. Elex Media
Komputindo, 2001).

Said Sâbiq, al-‘Aqîdah al-Islâmiyah, terj. Muktamar Islami, Akidah Islam,


(Bandung : CV. Diponegoro, 1995 M).

Sayyid Husein Afandi al-Jisr al-Tharabalisy, Al-Hushûn al-Hamîdiyyah,


(Surabaya : Maktabah al-Saqâfiyah, t.th).

Syams al-Dîn Ahmad ibn Muhammad ibn Abû Bakr ibn Khalkan, Wafayât
al-A’yân wa Anbâ` al-Abnâ al-Zamân, (Beirut : Dâr al-Shâdir, 1978
M/1398 H).

Su’âd al-Hâkim, al-Mu’jam al-Shûfy, (t.tp : Dâr al-Nadwah, t.th).

Wahid ibn Abdus Salam Bali, Al-Sharâim al-Battâr fî al-Tashaddî li al-Saharah


al-Asyrâr, (Jeddah : Maktabah al-Shahâbah, t.t), terj. Aunur Rafiq
Shaleh Tamhid, Sihir dan Cara Pengobatannya Secara Islami,
(Jakarta : Rabbani Press, 1995).
viii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Muhammad Najmil Husna

T. T. Lahir : Medan, 18 Juli 1980 M

Alamat : Komplek Pondok Pesantren Al-Husna,


Jl. Pelajar Pasar III Marindal I
Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang (061) 7030650
Sumatera Utara

Keluarga :
a. Ayah : KH. Drs. Usman Husni, MA.
b. Ibu : Hj. Aidatul Fauziah Hsb, S.Pd.
c. Saudara : Muhammad Aidil Husna, S.S
Muhammad Ahyal Husna.

Riwayat Pendidikan :
a. Taman Kanak-Kanak Arafah Simp. Limun Medan
b. Sekolah Dasar Al-Ulum Medan
c. Sekolah Dasar Al-Azhar Medan
d. Tarbiyyah al-Mu’allimîn al-Islâmiyyah Pondok Pesantren Plus
Al-Husna Medan
e. Fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara
f. Konsenterasi Tafsir-Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengalaman Kerja :
a. Direktur TMI Pondok Pesantren Al-Husna Medan
b. Staf Pengajar dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Husna
c. Sekretaris Umum Badan Silaturrahim Pondok Pesantren Sumatera
Utara (BPSPSU)
d. Asisten Dosen Fakultas Agama Islam UISU Medan
e. Asisten Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara
f. Anggota Dewan Dakwah Islam wilayah Kab. Deli Serdang

Karya-Karya :
a. Skripsi, “Rasi Bintang Dalam Al-Quran”.
b. Tesis, “Wawasan Sihir Dalam Tafsîr al-Kabîr”.
c. Paper, “Analisis Hadis-Hadis Tentang Roh Gentayangan”.
d. Buku, “Tanggung Jawab Muslim”.
e. Sejumlah risalah tentang zikir, do’a, shalawat dan wirid-wirid.
f. Sejumlah tulisan lepas dibeberapa bulletin, majalah dan Koran.
LAMPIRAN
DAFTAR HADIS-HADIS NABI MUHAMMAD SAW TENTANG SIHIR

No TEKS HADIS ARTI HADIS SUMBER HADIS


Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Muhammad saw, ia
1 ‫ ﺍﺟﺘﻨﺒﻮﺍ ﺍﻟﺴﺒﻊ‬: ‫ﻋﻦ ﺃﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺽ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻌﻢ ﻗﺎﻝ‬ bersabda : jauhilah tujuh hal yang menghancurkan. Para
ٍ hahih Bukhari pada kitab
S
washayâ, kitab ath-thib dan kitab
sahabat bertanya : Apa itu wahai Rasulullah ?, Nabi saw
‫ ﺍﻟﺸﺮﻙ ﺑﺎﷲ‬: ‫ ﻗﺎﻝ‬,‫ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻳﺎﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻭﻣﺎﻫﻦ ؟‬,‫ﺍﳌﻮﺑﻘﺎﺕ‬
al-hudûd, Shahih Muslim di
bersabda : Musyrik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa kitab imân.
yang diharamkan kecuali dengan alasan yang benar,
‫ﻭﺍﻟﺴﺤﺮ ﻭﻗﺘﻞ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﺍﻟﱵ ﺣﺮﻡ ﺍﷲ ﺇﻻﺑﺎﳊﻖ ﻭﺃﻛﻞ ﺍﻟﺮﺑﺎ‬ memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan
diri dari peperangan, menuduh berbuat zina wanita yang
‫ﻭﺃﻛﻞ ﻣﺎﻝ ﺍﻟﻴﺘﻴﻢ ﻭﺍﻟﺘﻮﱃ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺰﺣﻒ ﻭﻗﺬﻑ ﺍﶈﺼﻨﺎﺕ‬ baik.

‫ﺍﳌﺆﻣﻨﺎﺕ ﺍﻟﻐﺎﻓﻼﺕ‬
Dari Ibn Abbas ra dia berkata, telah bersabda Rasulullah
2 ‫ ﻣﻦ ﺍﻗﺘﺒﺲ‬: ‫ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻌﻢ‬,‫ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺽ ﻗﺎﻝ‬ saw, barangsiapa yang belajar dari sebagian ilmu nujum
Hadis ini terdapat dalam sunan
Abu Daud pada kitab ath-thib,
(perbintangan) maka ia telah belajar sebagian dari sihir,
‫ﻋﻠﻤﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺠﻮﻡ ﻓﻘﺪ ﺍﻗﺘﺒﺲ ﺷﻌﺒﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺤﺮ ﺯﺍﺩﻣﺎﺯﺍﺩ‬
sunan Ibn Majah pada kitab adab
bertambah dari sihir apa yang bertambah dari bintang- dan musnad Ahmad
bintang.
Dari Umran ibn Hushain ra, ia berkata, telah bersabda
3 : ‫ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻌﻢ‬,‫ﻋﻦ ﻋﻤﺮﺍﻥ ﺑﻦ ﺣﺼﲔ ﺭﺽ ﻗﺎﻝ‬ Rasulullah saw tidak termasuk dari golongan kami,
orang yang melakukan tathayyur (ramalan kesialan) atau
‫ﻟﻴﺲ ﻣﻨﺎ ﻣﻦ ﺗﻄﲑﺃﻭﺗﻄﲑﻟﻪ ﺃﻭﺗﻜﻬﻦ ﺃﻭﺗﻜﻬﻦ ﻟﻪ‬ yang meminta untuk tathayyur atau orang bertenung
atau meminta untuk ditenungkan atau orang yang
‫ﺃﻭﺳﺤﺮﺃﻭﺳﺤﺮﻟﻪ ﻭﻣﻦ ﺃﺗﻰ ﻛﺎﻫﻨﺎ ﻓﺼﺪﻗﻪ ﲟﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﻓﻘﺪ ﻛﻔﺮ‬ menyihir atau minta disihirkan, barang siapa yang
mendatangi dukun lalu membenarkan apa yang
‫ﲟﺎ ﺃﻧﺰﻝ ﻋﻠﻰ ﳏﻤﺪ ﺻﻠﻌﻢ‬ diucapkannya, maka sesungguhnya dia telah kafir kepada
apa yang diturunkan kepada Muhammad saw.
Dari Abu Musa al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah saw
4 :‫ﻋﻦ ﺃﰊ ﻣﻮﺳﻰ ﺍﻷﺷﻌﺮﻱ ﺭﺽ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻌﻢ ﻗﺎﻝ‬ bersabda, tidak akan masuk surga pecandu khamar, orang
yang percaya sihir dan orang yang memutuskan tali
‫ﻻﻳﺪﺧﻞ ﺍﳉﻨﺔ ﻣﺪﻣﻦ ﲬﺮ ﻭﻻﻣﺆﻣﻦ ﺑﺴﺤﺮ ﻭﻻﻗﺎﻃﻊ ﺭﺣﻢ‬ silaturrahim.
Ibrahim ibn Musa meriwayatkan dari Isa ibn Yunus dari
5 ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺑﻦ ﻣﻮﺳﻰ ﺃﺧﱪﻧﺎ ﻋﻴﺴﻰ ﺑﻦ ﻳﻮﻧﺲ ﻋﻦ ﻫﺸﺎﻡ‬ Hisyam dari ayahnya dari Aisyah, berkata, Rasulullah
Hadis ini terdapat dalam shahih
Bukhari pada kitab ath-thib,
disihir oleh seseorang dari Bani Zuraiq bernama Labid
‫ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ )ﻋﺮﻭﺓ ﺑﻦ ﺍﻟﺰﺑﲑ( ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ ﺳﺤﺮ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ‬
shahih Muslim pada kitab as-
ibn al-A’sham, sehingga beliau berilusi melakukan salâm dan Musnad Ahmad
sesuatu yang tidak dilakukannya. Pada suatu hari atau
‫ﺻﻠﻌﻢ ﺭﺟﻞ ﻣﻦ ﺑﲏ ﺯﺭﻳﻖ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﻟﺒﻴﺪ ﺑﻦ ﺍﻷﻋﺼﻢ ﺣﱴ ﻛﺎﻥ‬ suatu malam, ketika beliau di sisiku, beliau berdoa dan
berdoa terus, lalu bertanya, wahai Aisyah tahukah kamu
‫ ﺣﱴ ﺇﺫﺍ‬,‫ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﳜﻴﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﺇﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﻔﻌﻞ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﻭﻣﺎﻓﻌﻠﻪ‬ bahwa Allah telah memperkenankan doaku, telah datang
dua orang, yang satu duduk di samping kepalaku dan
‫ﻛﺎﻥ ﺫﺍﺕ ﻳﻮﻡ ﺃﻭﺫﺍﺕ ﻟﻴﻠﺔ ﻭﻫﻮ ﻋﻨﺪﻱ ﻟﻜﻨﻪ ﺩﻋﺎ ﻭﺩﻋﺎ ﰒ‬ yang satu lagi di sebelah kakiku. Apa sakitnya orang ini?,
tanya salah seorang. Terkena sihir, jawab yang lain.
‫ ﻳﺎﻋﺎﺋﺸﺔ ﺃﺷﻌﺮﺕ ﺃﻥ ﺍﷲ ﺍﻓﺘﺎﱐ ﻓﻴﻤﺎ ﺍﺳﺘﻔﺘﻴﻨﻪ ﻓﻴﻪ ؟ ﺁﺗﺎﱐ‬,‫ﻗﺎﻝ‬ Siapa yang menyihirnya?, tanyanya lagi. Labid ibn al-
A’sham, sahut temannya. Dengan apa?, tanyanya lagi.
‫ ﻓﻘﺎﻝ‬,‫ﺭﺟﻼﱐ ﻓﻘﻌﺪ ﺃﺣﺪﳘﺎ ﻋﻨﺪ ﺭﺃﺳﻲ ﻭﺍﻵﺧﺮ ﻋﻨﺪ ﺭﺟﻠﻲ‬ Dengan sisir, rontokan rambut dan mayang pohon
kurma jantan. Dimana itu?, tanyanya lagi. Di sumur
‫ ﻟﺒﻴﺪ‬,‫ ﻗﺎﻝ‬.‫ ﻣﺎﻭﺟﻊ ﺍﻟﺮﺟﻞ ؟ ﻓﻘﺎﻝ ﻣﻄﺒﻮﺏ‬,‫ﺃﺣﺪﳘﺎ ﻟﺼﺎﺣﺒﻪ‬ Zarwan, sahut lainnya. Lalu Rasulullah saw mendatangi
tempat tersebut bersama beberapa sahabat beliau. Setelah
‫ ﰲ ﻣﺸﻂ ﻭﻣﺸﺎﻃﺔ‬,‫ ﻗﺎﻝ‬,‫ ﰲ ﺃﻱ ﺷﻲﺀ؟‬,‫ ﻗﺎﻝ‬,‫ﺑﻦ ﺍﻷﻋﺼﻢ‬ kembali beliau berkata kepada Aisyah, wahai Aisyah
seakan-akan air sumur itu bercampur pacar (kemerah-
.‫ ﰲ ﺑﺌﺮ ﺫﺭﻭﺍﻥ‬,‫ ﻗﺎﻝ‬,‫ ﻭﺃﻳﻦ ﻫﻮ؟‬,‫ ﻗﺎﻝ‬.‫ﻭﺟﻒ ﻃﻠﻊ ﺫﻛﺮ‬ merahan) dan ujung dahan pohon kurma itu seperti
kepala-kepala setan. Aku (Aisyah) bertanya, mengapa
‫ ﻳﺎﻋﺎﺋﺸﺔ‬,‫ﻓﺄﺗﺎﻫﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﰲ ﻧﺎﺱ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﻓﺠﺎﺀ ﻓﻘﺎﻝ‬ tidak anda keluarkan?. Rasul saw menjawab, Allah Swt
telah menyembuhkanku dan aku tidak ingin
‫ﻛﺄﻥ ﻣﺎﺀﻫﺎ ﻧﻘﺎﻋﺔ ﺍﳊﻨﺎﺀ ﻭﻛﺄﻥ ﺭﺅﻭﺱ ﳔﻠﻴﻬﺎ ﺭﺅﻭﺱ‬ menimbulkan kejahatan. Lalu beliau memerintahkan
untuk menutup sumur itu.
‫ ﻗﺪ‬,‫ ﻗﺎﻝ‬,‫ ﻳﺎﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺃﻓﻼﺍﺳﺘﺨﺮﺟﺘﻪ؟‬,‫ ﻗﻠﺖ‬.‫ﺍﻟﺸﻴﺎﻃﲔ‬
.‫ﺎ ﻓﺪﻓﻨﺖ‬ ‫ ﻓﺄﻣﺮ‬,‫ﻋﺎﻓﺎﱐ ﺍﷲ ﻓﻜﺮﻫﺖ ﺃﻥ ﺃﺛﲑ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺷﺮﺍ‬
Dari Shuhaib bahwa Rasulullah saw bersabda, dahulu
6 ‫ ﻛﺎﻥ ﻣﻠﻚ ﻓﻴﻤﻦ ﻛﺎﻥ‬: ‫ﻋﻦ ﺻﻬﻴﺐ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻌﻢ ﻗﺎﻝ‬ jauh sebelum masa kalian, ada seorang raja yang
Hadis ini terdapat dalam shahih
Muslim pada kitab az-zuhd.
mempunyai ahli sihir. Ketika dia telah merasa tua, dia
‫ﻗﺒﻠﻜﻢ ﻭﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﺳﺎﺣﺮ ﻓﻠﻤﺎ ﻛﱪ ﻗﺎﻝ ﻟﻠﻤﻠﻚ ﺇﱐ ﻗﺪ‬ berkata kepada Raja, sesungguhnya saya telah merasa
tua, karenanya kirimlah kepadaku seorang anak untuk
‫ ﻓﺒﻌﺚ ﺇﻟﻴﻪ ﻏﻼﻣﺎ ﻳﻌﻠﻤﻪ‬,‫ﻛﱪﺗﻔﺎﺑﻌﺚ ﺇﱄ ﻏﻼﻣﺎ ﺃﻋﻠﻤﻪ ﺍﻟﺴﺤﺮ‬ kudidik dan kuajari sihir. Kemudian sang raja
menrimkannya seorang anak yang setiap hari diajarinya
‫ ﻓﻘﻌﺪ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﲰﻊ ﻛﻼﻣﻪ‬,‫ﻓﻜﺎﻥ ﰲ ﻃﺮﻳﻘﻪ ﺇﺫﺍ ﺳﻠﻚ ﺭﺍﻫﺐ‬ sihir. Ketika dalam perjalanannya ke tempat sipenyihir,
sang anak bertemu dengan seorang rahib. Dia lalu duduk
‫ ﻓﺸﻜﺎ ﺫﺍﻟﻚ ﺇﱃ‬,‫ ﻓﻜﺎﻥ ﺇﺫﺍ ﺃﺗﻰ ﺍﻟﺴﺎﺣﺮ ﺿﺮﺑﻪ‬.‫ﻓﺄﻋﺠﺒﻪ‬ mendengarkan perkataan dan nasehat-nasehat si rahib
hingga dia terlambat datang ke rumah sipenyihir. Lantas
‫ ﻓﻘﺎﻝ ﺇﺫﺍ ﺧﺸﻴﺖ ﺍﻟﺴﺎﺣﺮ ﺃﻫﻠﻚ ﻓﻘﻞ ﺣﺴﺒﲏ‬,‫ﺍﻟﺮﺍﻫﺐ‬ rahib memukulnya. Hal itu dia laporkan kepada sang
rahib. Lantas rahib memberi petunjuk, bila engkau
‫ ﻓﺒﻴﻨﻤﺎ ﻫﻮ ﻛﺬﺍﻟﻚ ﺇﺫﺃﺗﻰ ﻋﻠﻰ ﺩﺍﺑﺔ ﻋﻈﻴﻤﺔ ﻗﺪ‬.‫ﺍﻟﺴﺎﺣﺮ‬ merasa takut dipukul sipenyihir, terangkan bahwa saya
ditahan oleh keluargaku, dan bila engkau merasa takut
‫ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺃﻋﻠﻢ ﺍﻟﺴﺎﺣﺮ ﺃﻓﻀﻞ ﺃﻡ ﺍﻟﺮﺍﻫﺐ‬,‫ ﻓﻘﺎﻝ‬,‫ﺣﺒﺴﺖ ﺍﻟﻨﺎﺱ‬ dipukul keluargamu, sebutkan saja, aku ditahan oleh
sipenyihir. Demikian seterusnya ia belajar setiap hari.
‫ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﺮﺍﻫﺐ ﺃﺣﺐ‬,‫ ﻓﺄﺧﺬ ﺣﺠﺮﺍ ﻓﻘﺎﻝ‬,‫ﺃﻓﻀﻞ؟‬ Ketika ada seekor binatang besar menakutkan sehingga
orang-orang tidak berani melintasi jalan, anak itu
.‫ﺇﻟﻴﻚ ﻣﻦ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﺴﺎﺣﺮ ﻓﺎﻗﺘﻞ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺪﺍﺑﺔ ﺣﱴ ﳝﻀﻲ ﺍﻟﻨﺎﺱ‬ berfikir, hari ini aku akan mencoba untuk mengetahui
apakah ajaran sipenyihir yang benar ataukah sirahib. Dia
‫ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻪ‬,‫ ﻓﺄﺗﻰ ﺍﻟﺮﺍﻫﺐ ﻓﺄﺧﱪﻩ‬.‫ﻓﺮﻣﺎﻫﺎ ﻓﻘﺘﻠﻬﺎ ﻭﻣﻀﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ‬ segera mengambil sebuah batu untuk membunuh
binatang tersebut sambil mengucapkan kata-kata
‫ ﻗﺪ ﺑﻠﻎ ﻣﻦ ﺃﻣﺮﻙ‬,‫ ﺃﻱ ﺑﲏ ! ﺃﻧﺖ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺃﻓﻀﻞ ﻣﲏ‬,‫ﺍﻟﺮﺍﻫﺐ‬ Allahumma ya Allah jika ajaran rahib lebih Engkau sukai
daripada ajaran sipenyihir, maka bunuhlah binatang ini
‫ ﻭﻛﺎﻥ‬,‫ ﻓﺈﻥ ﺍﺑﺘﻠﻴﺖ ﻓﻼﺗﺪﻝ ﻋﻠﻲ‬.‫ ﻭﺇﻧﻚ ﺳﺘﺒﺘﻠﻰ‬,‫ﻣﺎﺃﻣﺮﻯ‬ supaya tidak mengganggu lalu lintas orang banyak. Lalu
batu itu dilemparkannya. Dengan taqdir Allah binatang
‫ﺍﻟﻐﻼﻡ ﻳﱪﺉ ﺍﻷﻛﻤﻪ ﻭﺍﻷﺑﺮﺹ ﻭﻳﺪﺍﻭﻱ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﺳﺎﺋﺮ‬ tersebut mati, sehingga lalu lintas orang banyak tidak
terhalang lagi. Anak itu lalu datang dan melaporkan
‫ﺪﺍﻳﺎ‬ ‫ ﻓﺄﺗﺎﻩ‬,‫ ﻓﺴﻤﻊ ﺟﻠﻴﺲ ﻟﻠﻤﻠﻚ ﻛﺎﻥ ﻗﺪ ﻋﻤﻲ‬,‫ﺍﻷﺩﻭﺍﺀ‬ kejadian aneh tersebut kepada sirahib. Rahibpun berkata,
wahai anakku sejak hari ini imanmu lebih baik dariku,
‫ ﺇﱐ‬,‫ ﻓﻘﺎﻝ‬.‫ ﻓﻘﺎﻝ ﻣﺎﻫﺎﻫﻨﺎﻟﻚ ﺃﲨﻊ ﺇﻥ ﺃﻧﺖ ﺷﻔﻴﺘﲏ‬.‫ﻛﺜﲑﺓ‬ karena engkau telah mencapai tingkat seperti yang telah
kusaksikan. Namun nanti engkau akan mendapat ujian
‫ ﻓﺈﻥ ﺃﻧﺖ ﺁﻣﻨﺖ ﺑﺎﷲ ﺩﻋﻮﺕ ﺍﷲ‬,‫ﻻﺃﺷﻔﻰ ﺃﺣﺪﺍ ﺇﳕﺎﻳﺸﻔﻰ ﺍﷲ‬ dan cobaan. Karenanya, bila kelak engkau mendapat
cobaan itu janganlah menunjukku. Sementara itu,
‫ ﻓﺄﺗﻰ ﺍﳌﻠﻚ ﻓﺠﻠﺲ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﻤﺎ‬,‫ﻓﺸﻔﺎﻙ ﻓﺂﻣﻦ ﺑﺎﷲ ﻓﺸﻔﺎﻩ ﺍﷲ‬ keadaan belajar anak tersebut semakin maju, dia dapat
menyembuhkan orang sakit buta sejak lahir, orang yang
,‫ ﺭﰊ‬:‫ ﻣﻦ ﺭﺩ ﻋﻠﻴﻚ ﺑﺼﺮﻙ؟ ﻗﺎﻝ‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﺍﳌﻠﻚ‬,‫ﻛﺎﻥ ﳚﻠﺲ‬ berpenyakit supak dan mengobati orang banyak dalam
berbagai penyakit. Suatu ketika, keadaan anak tersebut
‫ ﻓﺄﺧﺬﻩ ﻓﻠﻢ‬.‫ ﺭﰊ ﻭﺭﺑﻚ ﺍﷲ‬:‫ ﻗﺎﻝ‬,‫ ﻭﻟﻚ ﺭﺏ ﻏﲑﻱ؟‬:‫ﻭﻗﺎﻝ‬ terdengar oleh seorang yang dekat dengan raja, tetapi
karena sesuatu sebab matanya menjadi buta, sehingga
lama tidak dekat lagi dengan raja. Ia datang kepada anak
‫ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻪ‬.‫ ﻓﺠﺊ ﺑﺎﻟﻐﻼﻡ‬,‫ﻳﺰﻝ ﻳﻌﺬﺑﻪ ﺣﱴ ﺩﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻐﻼﻡ‬ itu dengan membawa banyak hadiah dengan maksud
untuk berobat. Dia berkata, tidakkah ini begitu banyak
‫ ﺃﻱ ﺑﲏ! ﻗﺪ ﺑﻠﻎ ﻣﻦ ﺳﺤﺮﻙ ﻣﺎﺗﱪﺉ ﺍﻷﻛﻤﻪ ﻭﺍﻷﺑﺮﺹ‬:‫ﺍﳌﻠﻚ‬ jika engkau dapat menyembuhkanku. Saya tidak dapat
menyembuhkan seseorang, jawab anak itu. Yang
,‫ ﺇﳕﺎ ﻳﺸﻔﻲ ﺍﷲ‬,‫ ﺇﱐ ﻻﺃﺷﻔﻲ ﺃﺣﺪﺍ‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ‬.‫ﻭﺗﻔﻌﻞ ﻭﺗﻔﻌﻞ‬ menyembuhkan adalah Allah, sambungnya. Jika anda
beriman kepada Allah lalu saya berdoa kepadaNya pasti
‫ ﻓﺠﺊ ﺑﺎﻟﺮﺍﻫﺐ‬.‫ﻓﺄﺧﺬﻩ ﻓﻠﻢ ﻳﺰﻝ ﻳﻌﺬﺑﻪ ﺣﱴ ﺩﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﺍﻫﺐ‬ Allah menyembuhkanmu. Lalu orang itu segera beriman
kepada Allah, dan setelah anak itu berdoa sebentar, maka
‫ ﻓﺪﻋﺎ ﺑﺎﳌﻨﺸﺎﺭ ﻓﻮﺿﻊ ﺍﳌﻨﺸﺎﺭ‬,‫ ﻓﺄﰉ‬,‫ ﺍﺭﺟﻊ ﻋﻦ ﺩﻳﻨﻚ‬:‫ﻓﻘﻴﻞ ﻟﻪ‬ diapun sembuh. Demikianlah seterusnya, orang tersebut
nampak setiap hari duduk bersama raja seperti sediakala.
‫ ﻓﻘﻴﻞ‬,‫ﰲ ﻣﻔﺮﻕ ﺭﺃﺳﻪ ﻓﺸﻘﻪ ﺣﱴ ﻭﻗﻊ ﺷﻘﺎﻩ ﰒ ﺟﻴﺊ ﺑﺎﻟﻐﻼﻡ‬ Siapa yang menyembuhkanmu?, tanya raja suatu hari.
Tuhanku, jawab orang itu. Apakah anda mempunyai
:‫ ﻓﻘﺎﻝ‬,‫ ﻓﺪﻓﻌﻪ ﺇﱃ ﻧﻔﺮ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ‬,‫ ﻓﺄﰉ‬,‫ ﺍﺭﺟﻊ ﻋﻦ ﺩﻳﻨﻚ‬:‫ﻟﻪ‬ Tuhan selain aku, kata raja kembali. Tuhanku dan Tuhan
tuan adalah Allah, jawab orang itu. Dengan segera orang
‫ ﺍﻟﻠﻬﻢ‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ‬.‫ﺍﺫﻫﺒﻮﺍﺑﻪ ﺇﱃ ﺟﺒﻞ ﻛﺬﺍﻛﺬﺍ ﻓﺎﺻﻌﺪﻭﺍﺑﻪ ﺍﳉﺒﻞ‬ tersebut ditangkap dan disiksa terus menerus hingga dia
mengaku dan menunjukkan tempat anak tersebut. Lalu
‫ ﻭﺟﺎﺀ ﳝﺸﻲ ﺇﱃ‬,‫ﻢ ﺍﳉﺒﻞ ﻓﺴﻘﻄﻮﺍ‬ ‫ ﻓﺮﺟﻒ‬.‫ﺍﻛﻔﻨﻴﻬﻢ ﲟﺎﺷﺌﺖ‬ anak tersebutpun ditangkap dan dihadapkan kepada raja.
Raja berkata kepadanya, wahai anakku sungguh
.‫ ﻛﻔﺎﻧﻴﻬﻢ ﺍﷲ‬:‫ ﻗﺎﻝ‬,‫ ﻣﺎﻓﻌﻞ ﺃﺻﺤﺎﺑﻚ؟‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﺍﳌﻠﻚ‬.‫ﺍﳌﻠﻚ‬ menyenangkan bahwa ilmu sihirmu telah dapat membuat
orang buta sejak lahir menjadi sembuh, menyembuhkan
‫ ﺍﺫﻫﺒﻮﺍﺑﻪ ﻓﺎﲪﻠﻮﻩ ﰲ ﻓﺮﻓﻮﺭ‬:‫ﻓﺪﻓﻌﻪ ﺇﱃ ﻧﻔﺮ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﻓﻘﺎﻝ‬ orang sakit supak, dan banyak lagi yang telah engkau
lakukan. Sesungguhnya saya tidak dapat menyembuhkan
.‫ ﻓﺈﻥ ﺭﺟﻊ ﻋﻦ ﺩﻳﻨﻪ ﻭﺇﻻﻓﺎﻗﺬﻓﻮﻩ ﻓﺬﻫﺒﻮﺍﺑﻪ‬,‫ﻓﺘﻮﺳﻄﻮﺍﺑﻪ ﺍﻟﺒﺤﺮ‬ seseorang, yang menyembuhkan hanyalah Allah, jawab
anak itu dengan terus terang. Dengan segera anak
.‫ﻢ ﺍﻟﺴﻔﻴﻨﺔ ﻓﻐﺮﻗﻮﺍ‬ ‫ ﻓﺎﻧﻜﻔﺄﺕ‬.‫ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﻛﻔﻨﻴﻬﻢ ﲟﺎﺷﺌﺖ‬:‫ﻓﻘﺎﻝ‬ itupun ditangkap dan disiksa terus menerus hingga dia
merasa terpaksa menunjuk sirahib. Karenanya,
,‫ ﻣﺎﻓﻌﻞ ﺃﺻﺤﺎﺑﻚ؟‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﺍﳌﻠﻚ‬,‫ﻭﺟﺎﺀ ﳝﺸﻲ ﺇﱃ ﺍﳌﻠﻚ‬ sirahibpun ditangkap dan didatangkan ke hadapan sang
raja. Harus keluar dari agamu, sahut semua orang
‫ ﺇﻧﻚ ﻟﺴﺖ ﺑﻘﺎﺗﻠﻲ ﺣﱴ‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻠﻤﻠﻚ‬.‫ ﻛﻔﺎﻧﻴﻬﻢ ﺍﷲ‬:‫ﻗﺎﻝ‬ memaksa dan mengancamnya. Tapi sirahib enggan dan
tetap mempertahankan agamanya dengan gigih. Raja lalu
‫ ﲡﻤﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﰲ ﺻﻌﻴﺪ‬:‫ ﻗﺎﻝ‬,‫ ﻭﻣﺎﻫﻮ؟‬:‫ ﻗﺎﻝ‬.‫ﺗﻔﻌﻞ ﻣﺎﺁﻣﺮﻙ ﺑﻪ‬ memerintahkan untuk mengambil sebuah gergaji untuk
menggergaji kepala sirahib, dimulai dari tengah-tengah
‫ ﻭﺗﺼﻠﺒﲏ ﻋﻠﻰ ﺟﺬﻉ ﰒ ﺧﺬ ﺳﻬﻤﺎ ﻣﻦ ﻛﻨﺎﻧﱵ ﰒ ﺿﻊ‬.‫ﻭﺍﺣﺪ‬ kepalanya hingga terbelah dua. Kemudian didatangkan
anak tersebut dan diperintahkan untuk meninggalkan
agamanya, tetapi anak itu dengan gigih
‫ ﰒ‬,‫ ﺑﺎﺳﻢ ﺍﷲ ﺭﺏ ﺍﻟﻐﻼﻡ‬:‫ﺍﻟﺴﻬﻢ ﰲ ﻛﺒﺪ ﺍﻟﻘﻮﺱ ﰒ ﻗﻞ‬ mempertahankannya. Raja lalu memerintahkan beberapa
orang untuk membawa anak tersebut ke puncak gunung
‫ ﻓﺈﻧﻚ ﺇﺫﺍ ﻓﻌﻠﺖ ﺫﺍﻟﻚ ﻗﺘﻠﺘﲏ ﻓﺠﻤﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﰲ ﺻﻌﻴﺪ‬,‫ﺍﺭﻣﲏ‬ yang letaknya di daerah yang telah ditentukan. Bila anak
itu tidak mau kembali dari agamanya, jatuhkanlah ia dari
‫ﻭﺍﺣﺪ ﻭﺻﻠﺒﻪ ﻋﻠﻰ ﺟﺬﻉ ﰒ ﺃﺧﺬ ﺳﻬﻤﺎ ﻣﻦ ﻛﻨﺎﻧﺘﻪ ﰒ ﻭﺿﻊ‬ atas puncak gunung itu. Setelah mereka sampai di atas
puncak gunung yang dimaksud, anak itu berdoa, Ya
‫ ﰒ ﻗﺎﻝ ﺑﺎﺳﻢ ﺍﷲ ﺭﺏ ﺍﻟﻐﻼﻡ ﰒ ﺭﻣﺎﻩ‬,‫ﺍﻟﺴﻬﻢ ﰲ ﻛﺒﺪ ﺍﻟﻘﻮﺱ‬ Allah cukup Engkaulah yang membela diriku terhadap
mereka dengan apa saja yang Engkau kehendaki. Tiba-
‫ ﻓﻮﺿﻊ ﻳﺪﻩ ﰲ ﺻﺪﻏﻪ ﰲ ﻣﻮﺿﻊ‬,‫ﻓﻮﻗﻊ ﺍﻟﺴﻬﻢ ﰲ ﺻﺪﻏﻪ‬ tiba puncak gunung tersebut bergoncang dan mereka
semua berjatuhan. Sedangkan anak itu, datang kembali
‫ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺁﻣﻨﺎ ﺑﺮﺏ ﺍﻟﻐﻼﻡ ﺁﻣﻨﺎ ﺑﺮﺏ‬,‫ﺍﻟﺴﻬﻢ ﻓﻤﺎﺕ‬ keraja dengan berjalan kaki dan melaporkan keadaan
orang-orang yang membawanya. Allah telah menolak
‫ ﻗﺪ ﻭﺍﷲ‬,‫ ﺃﺭﺃﻳﺖ ﻣﺎﻛﻨﺖ ﲢﺬﺭ؟‬:‫ ﻓﺄﰐ ﺍﳌﻠﻚ ﻓﻘﻴﻞ ﻟﻪ‬,‫ﺍﻟﻐﻼﻡ‬ kejahatan mereka dariku, katanya. Lalu siraja kembali
menyerahkan anak tersebut kepada orang-orangnya lagi
‫ ﻗﺪ ﺁﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﺄﻣﺮ ﺑﺎﻷﺧﺪﻭﺩ ﰲ ﺃﻓﻮﺍﻩ‬,‫ﻧﺰﻝ ﺑﻚ ﺣﺬﺭﻙ‬ untuk dibawa dengan sebuah perahu ke tengah-tengah
laut. Kemudian bila saja anak itu tidak juga mau kembali
‫ﺍﻟﺴﻜﻚ ﻓﺨﺪﺕ ﻭﺃﺿﺮﻡ ﺍﻟﻨﲑﺍﻥ ﻭﻗﺎﻝ ﻣﻦ ﱂ ﻳﺮﺟﻊ ﻋﻦ ﺩﻳﻨﻪ‬ dari agamanya, lemparkanlah dia ke dalam laut itu.
Kembali anak itu berdoa, ya Allah cukuplah Engkau
‫ ﺍﻗﺘﺤﻢ ﻓﻔﻌﻠﻮﺍ ﺣﱴ ﺟﺎﺀﺕ ﺍﻣﺮﺃﺓ‬:‫ ﺃﻭﻗﻴﻞ ﻟﻪ‬,‫ﻓﺄﲪﻮﻩ ﻓﻴﻬﺎ‬ Pembelaku terhadap mereka dengan apa saja yang
Engkau kehendaki. Tiba-tiba perahu menjadi karam dan
:‫ ﻓﻘﺎﻝ ﳍﺎ ﺍﻟﻐﻼﻡ‬,‫ﻭﻣﻌﻬﺎ ﺻﱯ ﳍﺎ ﻓﺘﻘﺎﻋﺴﺖ ﺃﻥ ﺗﻘﻊ ﻓﻴﻬﺎ‬ tenggelamlah mereka. Sedangkan anak itu datang
berjalan kaki dan kembali mengunjungi raja, melaporkan
‫ﻳﺎﺃﻣﻪ! ﺍﺻﱪﻱ ﻓﺈﻧﻚ ﻋﻠﻰ ﺍﳊﻖ‬ peristiwa yang telah dialaminya. Allah telah menolak
kejahatan mereka dariku, menutup ucapannya.
Kemudian dia mengusulkan kepada raja, tuan tidak dapat
membunuh saya, kecuali tuan mau melakukan apa yang
saya anjurkan ini. Apa itu? Coba sebutkan?, kata raja.
Anak itu menerangkan, tuan kumpulkan orang banyak
pada suatu tempat yang luas, lalu tuan ikat saya pada
sebatang pohon, kemudian tuan ambil sebuah anak panah
kepunyaan saya dari sarungnya, letakkanlah pada
busurnya untuk dibidikkan, sementara itu ucapkanlah
bismillah (atas nama Allah, Tuhan anak ini) bidikkanlah
panah itu. Demikianlah siraja melaksanakan anjuran
sianak tersebut, dan panah dibidikkan tepat mengenai
pelipis matanya, kemudian anak tersebut meletakkan
tangannya di tempat panah tertusuk dan matilah dia.
Orang banyak menjadi ribut dan berkata, kami beriman
kepada Tuhan anak itu, kami beriman kepada Tuhan anak
itu. Disampaikanlah berita tersebut kepada raja,
sesungguhnya apa yang tuan raja kuatirkan telah terjadi,
orang banyak beriman kepada Tuhan anak itu. Lalu raja
memerintahkan untuk menggali parit-parit, disetiap
ujungnya dan di dalamnya dinyalakan api. Bermaksud
untuk mengepung orang-orang itu dan memaksa mereka
untuk kembali. Bila tidak maka ceburkanlah dirimu ke api
itu. Setiap orang yang beriman tanpa ragu-ragu
menceburkan diri ke dalam api, hingga tiba giliran
seorang perempuan yang sedang menggendong anak
kecil. Dia ragu-ragu antara iman dan kasihan pada anak
yang dicintainya untuk menceburkan diri ke dalam api
yang sedang menyala. Dengan taqdir Allah, anak yang
digendongnya berkata, wahai ibuku, bersabarlah,
ceburkan dirimu karena ibu berada dalam kebenaran.
LAMPIRAN
DAFTAR AYAT-AYAT TENTANG SIHIR

N SURAT AYAT TEKS AYAT ARTI AYAT


Surat al-A’râf Musa menjawab, lemparkanlah lebih dahulu !, maka tatkala
1 116
‫ﻢ‬‫ﻫ‬‫ﻮ‬‫ﺒ‬‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺘ‬‫ﺍﺳ‬‫ﺎﺱِ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺍ ﺃﹶﻋ‬‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﺍ ﺳ‬‫ﺍ ﻓﹶﻠﹶﻤﺎﱠ ﺃﹶﻟﹾﻘﹶﻮ‬‫ﻗﺎﹶﻝﹶ ﺃﹶﻟﹾﻘﹶﻮ‬ mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan
menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka
‫ﻢ‬‫ﻈِﻴ‬‫ﺮٍ ﻋ‬‫ﺍ ﺑِﺴِﺤ‬‫ﺟﺎﹶﺀُﻭ‬‫ﻭ‬ mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan).
Mereka berkata, bagaimanapun kamu mendatangkan
132
‫ ﻟﹶﻚ‬‫ﻦ‬‫ﺤ‬‫ﻧﺎﹶ ﺑِﻬﺎﹶ ﻓﹶﻤﺎﹶ ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﺴ‬‫ﺔٍ ﻟﱢﺘ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﺄﹾﺗِﻨﺎﹶ ﺑِﻪِ ﻣِﻦ‬‫ﻤﺎﹶ ﺗ‬‫ﻬ‬‫ﺍ ﻣ‬‫ﻗﺎﹶﻟﹸﻮ‬‫ﻭ‬ keterangan kepada kami untuk menyihir kami dengan
keterangan itu, maka kami sekali-kali tidak akan beriman
‫ﻦ‬‫ﻣِﻨِﻴ‬‫ﻤﺆ‬ ِ‫ﺑ‬ kepadamu.
Supaya mereka membawa kepadamu semua ahli sihir yang
112
ٍ ‫ﻢ‬‫ﻠِﻴ‬‫ ﻋ‬‫ ﺑِﻜﹸﻞﱢ ﺳﺎﹶﺣِﺮ‬‫ﻙ‬‫ﻮ‬‫ﺄﹾﺗ‬‫ﻳ‬ pandai.
109 Pemuka-pemuka Fir’aun berkata, sesungguhnya Musa ini
ٌ‫ﻢ‬‫ﻠِﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺬﺍﹶ ﻟﹶﺴﺎﹶﺣِﺮ‬‫ﻥﹶ ﺇِﻥﱠ ﻫ‬‫ﻮ‬‫ﻋ‬‫ﻡِ ﻓِﺮ‬‫ ﻗﹶﻮ‬‫ﻗﺎﹶﻝﹶ ﺍﹾﳌﹶﻠﹶﺄﹸ ﻣِﻦ‬ adalah ahli sihir yang pandai.
Dan beberapa ahli sihir itu datang kepada Fir’aun
113
‫ﻦ‬‫ﺤ‬‫ﺮﺍﹰ ﺇِﻥﹾ ﻛﹸﻨﺎﱠ ﻧ‬‫ﺍﹾ ﺇِﻥﱠ ﻟﹶﻨﺎﹶ ﻟﹶﺄﹶﺟ‬‫ﻥﹶ ﻗﺎﹶﻟﻮ‬‫ﻮ‬‫ﻋ‬‫ﺓﹸ ﻓِﺮ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﺟﺎﹶﺀَ ﺍﻟﺴ‬‫ﻭ‬ mengatakan, apakah kami akan mendapatkan upah jika kami
yang menang.
َ‫ﻦ‬‫ﺍﹾﻟﻐﺎﹶﻟِﺒِﻴ‬
Dan ahli-ahli sihir itu serta merta meniarapkan diri dengan
120
‫ﻦ‬‫ﺓﹸ ﺳﺎﹶﺟِﺪِﻳ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﺃﹸﻟﹾﻘِﻲ‬‫ﻭ‬ bersujud.
Surat al-mukminûn Mereka akan menjawab, kepunyaan Allah, katakanlah kalau
2 89
‫ﻥﹶ‬‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﺴ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﻓﹶﺄﹶﱏﱠ ﺗ‬‫ﻥﹶ ﻟِﻠﱠﻪ‬‫ﻟﹸﻮ‬‫ﻘﹸﻮ‬‫ﻴ‬‫ﺳ‬ demikian, maka dari jalan manakah kamu ditipu.
3 Surat al-baqarah 102
‫ﻣﺎﹶﻛﹶﻔﹶﺮ‬‫ ﻭ‬,‫ﻤﺎﹶﻥﹶ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﹾﻚِ ﺳ‬‫ ﻣ‬‫ﻠﻰ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻴﺎﹶﻃِﻴ‬‫ﺍ ﺍﻟﺸ‬‫ﻠﻮ‬‫ﺘ‬‫ﻮﺍﹾ ﻣﺎﹶﺗ‬‫ﻌ‬‫ﺒ‬‫ﺍﺗ‬‫ﻭ‬ Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada
masa kerajaan Sulaiman, (dan mereka mangatakan bahwa
‫ﻣﺎﹶ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻥﹶ ﺍﻟﻨﺎﱠﺱ‬‫ﻮ‬‫ﻠﱢﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺍ ﻳ‬‫ﻭ‬‫ ﻛﹶﻔﹶﺮ‬‫ﻦ‬‫ﻴﺎﹶﻃِﻴ‬‫ ﺍﻟﺸ‬‫ﻟﹶﻜِﻦ‬‫ﻤﺎﹶﻥﹸ ﻭ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺳ‬ Sulaiman itu mengerjakan sihir) padahal Sulaiman tidak kafir
(tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir
‫ﻠﱢﻤﺎﹶﻥِ ﻣِﻦ‬‫ﻌ‬‫ﻣﺎﹶ ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﺕ‬‫ﻭ‬‫ﻣﺎﹶﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﺕ‬‫ﻭ‬‫ﻦِ ﺑِﺒﺎﹶﺑِﻞﹶ ﻫﺎﹶﺭ‬‫ ﺍﹾﳌﹶﻠﹶﻜﹶﻴ‬‫ﻠﻰ‬‫ﺰِﻝﹶ ﻋ‬‫ﺃﹸﻧ‬ (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada
manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di
‫ﻤﺎﹶ‬‫ﻬ‬‫ﻥﹶ ﻣِﻨ‬‫ﻮ‬‫ﻠﱠﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﻓﹶﻴ‬‫ﻜﹾﻔﹸﺮ‬‫ﺔﹲ ﻓﹶﻼﹶﺗ‬‫ﻨ‬‫ ﻓِﺘ‬‫ﻦ‬‫ﺤ‬‫ﻻﹶ ﺇِﳕﱠﺎﹶ ﻧ‬‫ﻘﹸﻮ‬‫ﻰ ﻳ‬‫ﺘ‬‫ﺪٍ ﺣ‬‫ﺃﹶﺣ‬ negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak
mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum
ٍ‫ﺪ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ ﺑِﻪِ ﻣِﻦ‬‫ﻦ‬‫ﻳ‬‫ ﺑِﻀﺎﹶﺭ‬‫ﻢ‬‫ﻣﺎﹶﻫ‬‫ﺟِﻪِ ﻭ‬‫ﻭ‬‫ﺯ‬‫ﺀِ ﻭ‬‫ ﺍﹾﳌﹶﺮ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﻥﹶ ﺑِﻪِ ﺑ‬‫ﻗﹸﻮ‬‫ﻔﹶﺮ‬‫ﻣﺎﹶﻳ‬ mengatakan, sesungguhnya kami hanya cobaan bagi kamu,
sebab itu janganlah kamu kafir. Maka mereka mempelajari
ِ‫ﻦ‬‫ﺍ ﻟﹶﻤ‬‫ﻮ‬‫ﻠِﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻟﹶﻘﹶﺪ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻔﹶﻌ‬‫ﻨ‬‫ﻻﹶﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﻀ‬‫ﻥﹶ ﻣﺎﹶﻳ‬‫ﻮ‬‫ﻠﱠﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻳ‬‫ﺇِﻻﱠﺑِﺈِﺫﹾﻥِ ﺍﷲِ ﻭ‬ dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka
dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya.
‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻔﹸﺴ‬‫ﺍ ﺑِﻪِ ﺃﹶﻧ‬‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ ﻣﺎﹶﺷ‬‫ﻟﹶﺒِﺌﹾﺲ‬‫ﻼﹶﻕٍ ﻭ‬‫ ﺧ‬‫ﺓِ ﻣِﻦ‬‫ ﻓِﻲ ﺍﹾﻵَﺧِﺮ‬‫ ﻣﺎﹶﻟﹶﻪ‬‫ﺍﻩ‬‫ﺮ‬‫ﺘ‬‫ﺍﺷ‬ Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat
kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya
‫ﻥﹶ‬‫ﻮ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺍﹾ ﻳ‬‫ﻛﺎﹶﻧﻮ‬‫ﻟﹶﻮ‬ mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya
(kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan
di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual
dirinya dengan sihir kalau mereka mengetahui.
Surat al-mâidah Ingatlah ketika Allah mengatakan, hai Isa putera Maryam
4 110
‫ﻠﹶﻰ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬‫ﻚ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺘِﻲ‬‫ﻤ‬‫ ﻧِﻌ‬‫ ﺍﺫﹾﻛﹸﺮ‬‫ﻢ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﺍﺑ‬‫ﺴ‬‫ﺇِﺫﹾ ﻗﺎﹶﻝﹶ ﺍﷲُ ﻳﺎﹶﻋِﻴ‬ ingatlah nikmatKu kepadamu dan kepada ibumu di waktu
Aku menguatkan kamu dengan rûhul kudus. Kamu dapat
ِ‫ﺪ‬‫ ﻓِﻲ ﺍﹾﳌﹶﻬ‬‫ﺎﺱ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻜﹶﻠﱢﻢ‬‫ﺱِ ﺗ‬‫ﺡِ ﺍﹾﻟﻘﹸﺪ‬‫ﻭ‬‫ ﺑِﺮ‬‫ﻚ‬‫ﺗ‬‫ﺪ‬‫ ﺇِﺫﹾ ﺃﹶﻳ‬‫ﺗِﻚ‬‫ﺍﻟِﺪ‬‫ﻭ‬ berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan
sesudah dewasa. Dan ingatlah di waktu Aku mengajar kamu
‫ﻞﹶ‬‫ﺠِﻴ‬‫ﺍﹾﻹِﻧ‬‫ﺍﺓﹶ ﻭ‬‫ﺭ‬‫ﻮ‬‫ﺍﻟﺘ‬‫ﺔﹶ ﻭ‬‫ﺍﻟﹾﺤِﻜﹾﻤ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﹾﻟﻜِﺘﺎﹶﺏ‬‫ﻚ‬‫ﺘ‬‫ﻠﱠﻤ‬‫ﺇِﺫﹾ ﻋ‬‫ﻼﹰ ﻭ‬‫ﻛﹶﻬ‬‫ﻭ‬ menulis, hikmah, taurat dan injil, dan ingatlah pula di waktu
kamu membentuk dari tanah suatu bentuk yang berupa
‫ﻬﺎﹶ‬‫ ﻓِﻴ‬‫ﻔﹸﺦ‬‫ﻨ‬‫ ﻓﹶﺘ‬‫ﺮِ ﺑِﺈِﺫﹾﻧِﻲ‬‫ﺌﹶﺔِ ﺍﻟﻄﱠﻴ‬‫ﻴ‬‫ﻦِ ﻛﹶﻬ‬‫ ﺍﻟﻄﱢﻴ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﻠﹸﻖ‬‫ﺨ‬‫ﺇِﺫﹾ ﺗ‬‫ﻭ‬ burung dengan keizinanKu, kemudian kamu meniup
padanya, lalu bentuk itu menjadi burung yang sebenarnya
‫ﺇِﺫﹾ‬‫ ﻭ‬‫ ﺑِﺈِﺫﹾﻧِﻲ‬‫ﺹ‬‫ﺮ‬‫ﺍﹾﻷَﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ ﺍﹾﻷَﻛﹾﻤ‬‫ﺮِﺉ‬‫ﺒ‬‫ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﺮﺍﹰ ﺑِﺈِﺫﹾﻧِﻲ‬‫ﻥﹸ ﻃﹶﻴ‬‫ﻜﹸﻮ‬‫ﻓﹶﺘ‬ dengan seizinKu. Dan ingatlah waktu kamu menyembuhkan
orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang
‫ ﺇِﺫﹾ‬‫ﻚ‬‫ﻨ‬‫ﻞﹶ ﻋ‬‫ﺍِﺋﻴ‬‫ﺮ‬‫ ﺇِﺳ‬‫ﻨِﻲ‬‫ ﺑ‬‫ﺇِﺫﹾ ﻛﹶﻔﹶﻔﹾﺖ‬‫ ﻭ‬‫ﻰ ﺑِﺈِﺫﹾﻧِﻲ‬‫ﺗ‬‫ ﺍﹾﳌﹶﻮ‬‫ﺮِﺝ‬‫ﺨ‬‫ﺗ‬ berpenyakit sopak dengan seizinKu, dan ingatlah di waktu
kamu mengeluarkan orang mati dari kubur menjadi hidup
‫ﺮ‬‫ﺬﹶﺍ ﺇِﻻﱠﺳِﺤ‬‫ ﺇِﻥﹾ ﻫ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﺍ ﻣِﻨ‬‫ﻭ‬‫ ﻛﹶﻔﹶﺮ‬‫ﻦ‬‫ﻨﺎﹶﺕِ ﻓﹶﻘﺎﹶﻝﹶ ﺍﻟﱠﺬِﻳ‬‫ﻴ‬‫ ﺑِﺎﻟﹾﺒ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﺟِﺌﹾﺘ‬ dengan seizinKu, dan ingatlah di waktu Aku menghalangi
Bani Israil dari keinginan untuk membunuhmu di kala kamu
‫ﻦ‬‫ﺒِﻴ‬‫ﻣ‬ mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang
nyata, lalu orang-orang kafir di antara mereka berkata, ini
tidak lain melainkan sihir yang nyata.
Surat al-an’âm Dan kalau Kami turunkan tulisan di atas kertas, lalu mereka
5 7
‫ ﻟﹶﻘﺎﹶﻝﹶ‬‫ﻬِﻢ‬‫ﺪِﻳ‬‫ ﺑِﺄﹶﻳ‬‫ﻩ‬‫ﻮ‬‫ﺴ‬‫ﻃﺎﹶﺱٍ ﻓﹶﻠﹶﻤ‬‫ ﻗِﺮ‬‫ ﻛِﺘﺎﹶﺑﺎﹰ ﻓِﻲ‬‫ﻚ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻟﹾﻨﺎﹶ ﻋ‬‫ﺰ‬‫ ﻧ‬‫ﻟﹶﻮ‬‫ﻭ‬ dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah
orang-orang yang kafir itu berkata, ini tidak lain hanyalah
‫ﻦ‬‫ﺒِﻴ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺬﺍﹶ ﺇِﻻﱠﺳِﺤ‬‫ﺍ ﺇِﻥﹾ ﻫ‬‫ﻭ‬‫ ﻛﹶﻔﹶﺮ‬‫ﻦ‬‫ﺍﻟﱠﺬِﻳ‬ sihir yang nyata.
Surat Yûnus Dan tatkala telah datang kepada mereka kebenaran dari sisi
6 76
‫ﻦ‬‫ﺒِﻴ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺬﹶﺍ ﻟﹶﺴِﺤ‬‫ﺍﹾ ﺇِﻥﱠ ﻫ‬‫ﺪِﻧﺎﹶ ﻗﺎﹶﻟﻮ‬‫ ﻋِﻨ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﻖ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻢ‬‫ﻓﹶﻠﹶﻤﺎﱠ ﺟﺎﹶﺀَﻫ‬ Kami, mereka berkata, sesungguhnya ini adalah sihir nyata.
Musa berkata, apakah kamu mengatakan terhadap kebenaran
77
‫ﻔﹾﻠِﺢ‬‫ﻻﹶﻳ‬‫ﺬﺍﹶ ﻭ‬‫ ﻫ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺳِﺤ‬‫ ﳌﹶﺎﱠ ﺟﺎﹶﺀَﻛﹸﻢ‬‫ﻖ‬‫ﻥﹶ ﻟِﻠﹾﺤ‬‫ﻟﹸﻮ‬‫ﻘﹸﻮ‬‫ﻰ ﺃﹶﺗ‬‫ﺳ‬‫ﻮ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻣ‬ waktu ia datang kepadamu, sihrkah ini ?, padahal ahli-ahli
sihir itu tidaklah mendapatkan kemenangan.
‫ﻥﹶ‬‫ﻭ‬‫ﺎﺣِﺮ‬‫ﺍﻟﺴ‬
Maka setelah mereka lemparkan, Musa berkata, apa yang
81
‫ﻄِﻠﹸﻪ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺇِﻥﱠ ﺍﷲَ ﺳ‬,‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ ﺑِﻪِ ﺍﻟﺴ‬‫ﻢ‬‫ﻰ ﻣﺎﹶﺟِﺌﹾﺘ‬‫ﺳ‬‫ﻮ‬‫ﺍ ﻗﺎﹶﻝﹶ ﻣ‬‫ﻓﹶﻠﹶﻤﺎﱠ ﺃﹶﻟﹾﻘﹶﻮ‬ kamu lakukan itu, itulah yang sihir, Allah akan
menampakkan ketidak benarannya. Sesungguhnya Allah
َ‫ﻦ‬‫ﻞﹶ ﺍﹾﳌﹸﻔﹾﺴِﺪِﻳ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻠِﺢ‬‫ﺼ‬‫ﺇِﻥﱠ ﺍﷲَ ﻻﹶﻳ‬ tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan
orang-orang yang membuat kerusakan.
Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami
2
ِ‫ﺬِﺭ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﺃﹶﻧ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻞٍ ﻣ‬‫ﺟ‬‫ﻨﺎﹶ ﺇِﱃﹶ ﺭ‬‫ﻴ‬‫ﺣ‬‫ﺒﺎﹰ ﺃﹶﻥﹾ ﺃﹶﻭ‬‫ﺠ‬‫ﺃﹶﻛﹶﺎﻥﹶ ﻟِﻠﻨﺎﱠﺱِ ﻋ‬ mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka,
berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-
‫ﻬِﻢ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﺪ‬‫ﻕٍ ﻋِﻨ‬‫ ﺻِﺪ‬‫ﻡ‬‫ ﻗﹶﺪ‬‫ﻢ‬‫ﺍ ﺃﹶﻥﱠ ﻟﹶﻬ‬‫ﻮ‬‫ﻨ‬‫ ﺁَﻣ‬‫ﻦ‬‫ﺮِ ﺍﻟﱠﺬِﻳ‬‫ﺸ‬‫ﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺱ‬‫ﺍﻟﻨ‬ orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang
tinggi di sisi Tuhan mereka. Orang-orang kafir berkata,
‫ﻦ‬‫ﺒِﻴ‬‫ ﻣ‬‫ﺬﺍﹶ ﻟﹶﺴﺎﹶﺣِﺮ‬‫ﻥﹶ ﺇِﻥﱠ ﻫ‬‫ﻭ‬‫ﻗﺎﹶﻝﹶ ﺍﹾﻟﻜﺎﹶﻓِﺮ‬ sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar adalah
tukang sihir yang nyata.
Fir’aun berkata, datangkanlah kepadaku semua ahli-ahli sihir
79
‫ﻢ‬‫ﻠِﻴ‬‫ ﻋ‬‫ ﺑِﻜﹸﻞﱢ ﺳﺎﹶﺣِﺮ‬‫ﻧِﻲ‬‫ﻮ‬‫ﻥﹶ ﺍﺋﹾﺘ‬‫ﻮ‬‫ﻗﺎﹶﻝﹶ ﻓِﺮﻋ‬‫ﻭ‬ yang pandai.
Musa berkata, apakah kamu mengatakan terhadap kebenaran
77
‫ﻔﹾﻠِﺢ‬‫ﻻﹶﻳ‬‫ﺬﹶﺍ ﻭ‬‫ ﻫ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺳِﺤ‬‫ ﳌﹶﺎﱠ ﺟﺎﹶﺀَﻛﹸﻢ‬‫ﻖ‬‫ﻥﹶ ﻟِﻠﹾﺤ‬‫ﻟﹸﻮ‬‫ﻘﹸﻮ‬‫ﻰ ﺃﹶﺗ‬‫ﺳ‬‫ﻮ‬‫ﻗﺎﹶﻝﹶ ﻣ‬ waktu ia datang kepadamu, sihrkah ini ?, padahal ahli-ahli
sihir itu tidaklah mendapatkan kemenangan.
‫ﻥﹶ‬‫ﻭ‬‫ﺎﺣِﺮ‬‫ﺍﻟﺴ‬
Maka tatkala ahli-ahli sihir itu datang, Musa berkata kepada
80
‫ﻥﹶ‬‫ﻠﹾﻘﹸﻮ‬‫ ﻣ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﺎﺃﹶﻧ‬‫ﺍ ﻣ‬‫ﻰ ﺃﹶﻟﹾﻘﹶﻮ‬‫ﺳ‬‫ﻮ‬‫ ﻣ‬‫ﻢ‬‫ﺓﹸ ﻗﺎﹶﻝﹶ ﻟﹶﻬ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﻓﹶﻠﹶﻤﺎﱠ ﺟﺎﹶﺀَ ﺍﻟﺴ‬ mereka, lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan.
Surat Hûd Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
7 7
‫ﻛﺎﹶﻥﹶ‬‫ﺔِ ﺃﹶﻳﺎﱠﻡٍ ﻭ‬‫ ﺳِﺘ‬‫ ﻓِﻲ‬‫ﺽ‬‫ﺍﹾﻷَﺭ‬‫ﺍﺕِ ﻭ‬‫ﻤﺎﹶﻭ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻠﹶﻖ‬‫ ﺧ‬‫ ﺍﻟﱠﺬِﻱ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ﻭ‬ masa, dan adalah ‘arsyNya di atas air, agar Dia menguji
siapakan di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika
‫ ﻗﹸﻠﹾﺖ‬‫ﻟﹶﺌِﻦ‬‫ﻼﹰ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺴ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﻠﹸﻮ‬‫ﺒ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﹾﳌﺎﹶﺀِ ﻟِﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻪ‬‫ﺷ‬‫ﺮ‬‫ﻋ‬ kamu berkata (kepada penduduk Mekah) sesungguhnya kamu
akan dibangkitkan sesudah mati, niscaya orang-orang yang
‫ﺍ ﺇِﻥﹾ‬‫ﻭ‬‫ ﻛﹶﻔﹶﺮ‬‫ﻦ‬‫ ﺍﻟﱠﺬِﻳ‬‫ﻟﹶﻦ‬‫ﻘﹸﻮ‬‫ﺕِ ﻟﹶﻴ‬‫ﺪِ ﺍﹾﳌﹶﻮ‬‫ﻌ‬‫ ﺑ‬‫ﻥﹶ ﻣِﻦ‬‫ﺛﹸﻮ‬‫ﻮ‬‫ﻌ‬‫ﺒ‬‫ ﻣ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺇِﻧ‬ kafir itu berkata, ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.
‫ﻦ‬‫ﺒِﻴ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺬﺍﹶ ﺇِﻻﱠﺳِﺤ‬‫ﻫ‬
Surat Thâha Dan kamipun pasti akan mendatangkan pula kepadamu sihir
8 58
‫ﻠِﻔﹸﻪ‬‫ﺨ‬‫ﻋِﺪﺍﹰ ﻻﹶﻧ‬‫ﻮ‬‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬‫ﻨﺎﹶ ﻭ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻞﹾ ﺑ‬‫ﻌ‬‫ﺜﹾﻠِﻪِ ﻓﹶﺎﺟ‬‫ﺮٍ ﻣ‬‫ ﺑِﺴِﺤ‬‫ﻚ‬‫ﻨ‬‫ﺄﹾﺗِﻴ‬‫ﻓﹶﻠﹶﻨ‬ semacam itu, maka buatlah suatu waktu untuk pertemuan
antara kami dan kamu, yang kami tidak akan menyalahinya
‫ﻯ‬‫ﻮ‬‫ﻜﺎﹶﻧﺎﹰ ﺳ‬‫ ﻣ‬‫ﺖ‬‫ﻻﹶ ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﺤ‬‫ﻧ‬ dan tidak pula kamu, disuatu tempat yang pertengahan
letaknya.
Fir’aun berkata, apakah kamu telah beriman kepadanya
71
‫ﻤﻜﹸﻢ‬ ‫ﻠﱠ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﱠﺬِﻱ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ ﻟﹶﻜﹶﺒِﻴ‬‫ﻪ‬‫ ﺇِﻧ‬‫ﻞﹶ ﺃﹶﻥﹾ ﺃﹶﺫِﻥﹶ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ ﻗﹶﺒ‬‫ ﻟﹶﻪ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﻨ‬‫ﻗﺎﹶﻝﹶ ﺁَﻣ‬ (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu sekalian.
Sesungguhnya ia (Musa) adalah pemimpinmu yang
ٍ‫ ﺧِﻼﹶﻑ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﻠﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺟ‬‫ﺃﹶﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺪِﻳ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﺄﹸﻗﹶﻄﱢﻌ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﺍﻟﺴ‬ mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya
aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan
‫ﺎ‬‫ﺬﹶﺍﺑ‬‫ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﻨﺎﹶ ﺃﹶﺷ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ﻟِﺘ‬‫ﻞِ ﻭ‬‫ﺨ‬‫ﻉِ ﺍﻟﻨ‬‫ﺬﹸﻭ‬‫ ﺟ‬‫ ﻓِﻲ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ﻠﱢﺒ‬‫ﻟﹶﺄﹸﺻ‬‫ﻭ‬ bersilang secara timbale balik, dan sesungguhnya aku akan
menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan
‫ﻘﹶﻰ‬‫ﺃﹶﺑ‬‫ﻭ‬ sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita
yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya.

Sesungguhnya kami telah beriman kepada Tuhan kami, agar


73
‫ﻪِ ﻣِﻦ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻨﺎﹶ ﻋ‬‫ﺘ‬‫ﻫ‬‫ﻣﺎﹶ ﺃﹶﻛﹾﺮ‬‫ﻄﺎﹶﻳﺎﹶﻧﺎﹶ ﻭ‬‫ ﻟﹶﻨﺎﹶ ﺧ‬‫ﻔِﺮ‬‫ﻐ‬‫ﻨﺎﹶ ﻟِﻴ‬‫ﺑ‬‫ﺎ ﺑِﺮ‬‫ﻨ‬‫ﺇِﻧﺎﱠ ﺁَﻣ‬ Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang
telah kamu paksakan kepada kami untuk melakukannya. Dan
‫ﻘﹶﻰ‬‫ﺃﹶﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺍﷲُ ﺧ‬‫ﺮِ ﻭ‬‫ﺤ‬‫ﺍﻟﺴ‬ Allah lebih baik pahalaNya dan lebih kekal azabNya
Fir’aun berkata, adakah kamu datan kepada kami untuk
57
‫ﻰ‬‫ﺳ‬‫ﻮ‬‫ ﻳﺎﹶﻣ‬‫ﺮِﻙ‬‫ﺿِﻨﺎﹶ ﺑِﺴِﺤ‬‫ ﺃﹶﺭ‬‫ﺎ ﻣِﻦ‬‫ﻨ‬‫ﺮِﺟ‬‫ﺨ‬‫ﻨﺎﹶ ﻟِﺘ‬‫ﻗﺎﹶﻝﹶ ﺃﹶﺟِﺌﹾﺘ‬ mengusir kami dari negeri kami ini dengan sihirmu, hai musa
?.
Mereka berkata, sesungguhnya kedua orang ini benar-benar
63
‫ ﻣِﻦ‬‫ﺎﻛﹸﻢ‬‫ﺮِﺟ‬‫ﺨ‬‫ﺪﺍﹶﻥِ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﺮِﻳ‬‫ﺬﺍﹶﻥِ ﻟﹶﺴﺎﹶﺣِﺮﺍﹶﻥِ ﻳ‬‫ﺍﹾ ﺇِﻥﱠ ﻫ‬‫ﻗﺎﹶﻟﻮ‬ ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu
dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu
‫ ﺍﹾﳌﹸﺜﹾﻠﹶﻰ‬‫ﻘﹶﺘِﻜﹸﻢ‬‫ﺒﺎﹶ ﺑِ ﹶﻄﺮِﻳ‬‫ﺬﹾﻫ‬‫ﻳ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﺮِﻫِﻤ‬‫ ﺑِﺴِﺤ‬‫ﺿِﻜﹸﻢ‬‫ﺃﹶﺭ‬ yang utama.
Musa berkata, silahkan kamu sekalian melemparkan. Maka
66
‫ﻪِ ﻣِﻦ‬‫ﻞﹸ ﺇِﻟﹶﻴ‬‫ﻴ‬‫ﺨ‬‫ ﻳ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﺼِﻴ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﺍ ﻓﹶﺈِﺫﺍﹶ ﺣِﺒﺎﹶﻟﹸﻬ‬‫ﻞﹾ ﺃﹶﻟﹾﻘﹶﻮ‬‫ﻗﺎﹶﻝﹶ ﺑ‬ tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka terbayang
kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat lantaran sihir
‫ﻰ‬‫ﻌ‬‫ﺴ‬‫ﻬﺎﹶ ﺗ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﺮِﻫِﻢ‬‫ﺳِﺤ‬ mereka.
Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, niscaya
69
ِ‫ ﺳﺎﹶﺣِﺮ‬‫ﺪ‬‫ﺍ ﻛﹶﻴ‬‫ﻮ‬‫ﻌ‬‫ﻨ‬‫ﻤﺎﹶ ﺻ‬‫ﺍ ﺇِﻧ‬‫ﻮ‬‫ﻌ‬‫ﻨ‬‫ ﻣﺎﹶﺻ‬‫ﻠﹾﻘﹶﻒ‬‫ ﺗ‬‫ﻨِﻚ‬‫ﻤِﻴ‬‫ ﻳ‬‫ﺃﹶﻟﹾﻖِ ﻣﺎﹶﻓِﻲ‬‫ﻭ‬ ia akan menelan apa yang mereka perbuat, sesungguhnya apa
yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir. Dan
‫ﺚﹸ ﺃﹶﺗﻰ‬‫ﻴ‬‫ ﺣ‬‫ﺎﺣِﺮ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻔﹾﻠِﺢ‬‫ﻻﹶﻳ‬‫ﻭ‬ tidaklah akan menang tukang sihir itu dari mana saja ia
datang.
Mereka berkata, sesungguhnya dua orang ini adalah benar-
63
‫ ﻣِﻦ‬‫ﺮِﺟﺎﹶﻛﹸﻢ‬‫ﺨ‬‫ﺪﺍﹶﻥِ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﺮِﻳ‬‫ﺬﺍﹶﻥِ ﻟﹶﺴﺎﹶﺣِﺮﺍﹶﻥِ ﻳ‬‫ﺍﹾ ﺇِﻥﱠ ﻫ‬‫ﻗﺎﹶﻟﻮ‬ benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri
kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan
‫ ﺍﹾﳌﹸﺜﹾﻠﻰ‬‫ﻘﹶﺘِﻜﹸﻢ‬‫ﺒﺎﹶ ﺑِ ﹶﻄﺮِﻳ‬‫ﺬﹾﻫ‬‫ﻳ‬‫ﺮِﻫِﻤﺎﹶ ﻭ‬‫ ﺑِﺴِﺤ‬‫ﺿِﻜﹸﻢ‬‫ﺃﹶﺭ‬ kamu yang utama.
Lalu tukang-tukang sihir itu tersungkur dengan bersujud,
70
‫ﻰ‬‫ﺳ‬‫ﻮ‬‫ﻣ‬‫ﻥﹶ ﻭ‬‫ﻭ‬‫ ﻫﺎﹶﺭ‬‫ﺏ‬‫ﻨﺎﱠ ﺑِﺮ‬‫ﺍﹾ ﺃﹶﻣ‬‫ﺪﺍﹰ ﻗﺎﹶَﻟﻮ‬‫ﺠ‬‫ﺓﹸ ﺳ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻓﹶﺄﹸﻟﹾﻘِﻲ‬ seraya berkata, kami telah beriman kepada Tuhan Harun dan
Musa.
Surat al-anbiyâ (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai dan mereka yang zalim
9 3
‫ﺬﹶﺍ‬‫ﻞﹾ ﻫ‬‫ﺍ ﻫ‬‫ﻮ‬‫ ﻇﹶﻠﹶﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻯ ﺍﻟﱠﺬِﻳ‬‫ﻮ‬‫ﺠ‬‫ﻭﺍ ﺍﻟﻨ‬‫ﺮ‬‫ﺃﹶﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﺑ‬‫ﺔﹰ ﻗﹸﻠﹸﻮ‬‫ﻻﹶﻫِﻴ‬ itu merahasiakan pembicaraan mereka, orang ini tidak lain
hanyalah seorang manusia jua seperti kamu, maka apakah
‫ﻥﹶ‬‫ﻭ‬‫ﺼِﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺗ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﻥﹶ ﺍﻟﺴ‬‫ﻮ‬‫ﺄﹾﺗ‬‫ ﺃﹶﻓﹶﺘ‬‫ﺜﹾﻠﹸﻜﹸﻢ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺸ‬‫ﺇِﻻﱠﺑ‬ kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya.

Surat asy-syu’arâ Fir’aun berkata, apakah kamu sekalian beriman kepada Musa,
10 49
‫ ﺍﻟﱠﺬِﻱ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ ﻟﹶﻜﹶﺒِﻴ‬‫ﻪ‬‫ ﺇِﻧ‬‫ﻞﹶ ﺃﹶﻥﹾ ﺁَﺫِﻥﹶ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ ﻗﹶﺒ‬‫ ﻟﹶﻪ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﻨ‬‫ﻗﺎﹶﻝﹶ ﺁَﻣ‬ sebelum aku memberi izin kepada kamu ?, sesungguhnya dia
benar-benar pemimpin kamu yang mengajarkan sihir
‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺪِﻳ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻥﹶ ﻟﹶﺄﹸﻗﹶﻄﱢﻌ‬‫ﻮ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ ﺗ‬‫ﻑ‬‫ﻮ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﺴ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﱠﻤ‬‫ﻋ‬ kepadamu, maka kamu nanti pasti benar-benar akan
mengetahui akibat perbuatanmu. Sesungguhnya aku akan
َ‫ﻦ‬‫ﻌِﻴ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﺟ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ﻠﱢﺒ‬‫ﻟﹶﺄﹸﺻ‬‫ ﺧِﻼﹶﻑٍ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻠﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺟ‬‫ﺃﹶﺭ‬‫ﻭ‬ memotong tanganmu dan kakimu dengan bersilangan, dan
aku akan menyalibmu semuanya.
Ia hendak mengusir kamu dari negeri kamu sendiri dengan
35
‫ﻥﹶ‬‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺄﹾﻣ‬‫ﺮِﻩِ ﻓﹶﻤﺎﹶﺫﺍﹶ ﺗ‬‫ ﺑِﺴِﺤ‬‫ﺿِﻜﹸﻢ‬‫ ﺃﹶﺭ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺮِﺟ‬‫ﺨ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﺪ‬‫ﺮِﻳ‬‫ﻳ‬ sihirnya, maka Karena itu apakah yang kamu anjurkan ?.
Fir’aun berkata kepada pembesar-pembesar yang ada di
34
‫ﻢ‬‫ﻠِﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺬﺍﹶ ﻟﹶﺴﺎﹶﺣِﺮ‬‫ ﺇِﻥﹾ ﻫ‬‫ﻟﹶﻪ‬‫ﻮ‬‫ﻠﹶﺄِ ﺣ‬‫ﻗﺎﹶﻝﹶ ﻟِﻠﹾﻤ‬ sekelilingnya, sesungguhnya Musa ini benar-benar seorang
ahli sihir yang pandai.
Lalu dikumpulkanlah ahli-ahli sihir pada waktu yang
38
ٍ‫ﻡ‬‫ﻠﹸﻮ‬‫ﻌ‬‫ﻡٍ ﻣ‬‫ﻮ‬‫ﺓﹸ ﳌِﻴِْﻘﺎﹶﺕِ ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻤِﻊ‬‫ﻓﹶﺠ‬ ditetapkan pada hari yang maklum.
Semoga kita mengikuti ahli-ahli sihir jika mereka adalah
40
‫ﻦ‬‫ ﺍﹾﻟﻐﺎﹶﻟِﺒِﻴ‬‫ﻢ‬‫ﺍﹾ ﻫ‬‫ﺓﹶ ﺇِﻥﹾ ﻛﺎﹶﻧﻮ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﺒِﻊ‬‫ﺘ‬‫ﻠﱠﻨﺎﹶ ﻧ‬‫ﻟﹶﻌ‬ orang-orang yang menang.
Maka tatkala ahli-ahli sihir datang, mereka bertanya kepada
41
‫ﺮﺍﹰ ﺇِﻥﹾ ﻛﹸﻨﺎﱠ‬‫ ﻟﹶﻨﺎﹶ ﻟﹶﺄﹶﺟ‬‫ﻥﹶ ﺃﹶﺋِﻦ‬‫ﻮ‬‫ﻋ‬‫ﺍﹾ ﻟِﻔِﺮ‬‫ﺓﹸ ﻗﺎﹶﻟﻮ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﻓﹶﻠﹶﻤﺎﱠ ﺟﺎﹶﺀَ ﺍﻟﺴ‬ Fir’aun apakah kami sungguh-sungguh mendapat upah yang
besar jika kami adalah orang yang menang.
‫ﻦ‬‫ ﺍﹾﻟﻐﺎﹶﻟِﺒِﻴ‬‫ﻦ‬‫ﺤ‬‫ﻧ‬
46
‫ﻦ‬‫ﺓﹸ ﺳﺎﹶﺟِﺪِﻳ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻓﹶﺄﹸﻟﹾﻘِﻲ‬ Maka tersungkurlah ahli-ahli sihir sambil bersujud.

Niscaya mereka akan mendatangkan semua ahli sihir yang


37
ٍ‫ﻢ‬‫ﻠِﻴ‬‫ﺤﺎﱠﺭٍ ﻋ‬‫ ﺑِﻜﹸﻞﱢ ﺳ‬‫ﻙ‬‫ﻮ‬‫ﺄﹾﺗ‬‫ﻳ‬ pandai kepadamu.
Mereka berkata sesungguhnya kamu adalah salah seorang
153
‫ﻦ‬‫ﺮِﻳ‬‫ﺤ‬‫ ﺍﹾﳌﹸﺴ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﺖ‬‫ﻤﺎﹶ ﺃﹶﻧ‬‫ﺍﹾ ﺇِﻧ‬‫ﻗﺎﹶﻟﻮ‬ dari orang-orang yang kena sihir.
Mereka berkata sesungguhnya kamu adalah salah seorang
185
‫ﻦ‬‫ﺮِﻳ‬‫ﺤ‬‫ ﺍﹾﳌﹸﺴ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﺖ‬‫ﻤﺎﹶ ﺃﹶﻧ‬‫ﺍﹾ ﺇِﻧ‬‫ﻗﺎﹶﻟﻮ‬ dari orang-orang yang kena sihir.
Surat an-naml Maka tatkala mukjizat-mukjizat Kami yang jelas itu telah
ٌ‫ﻦ‬‫ﺒِﻴ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺬﹶﺍ ﺳِﺤ‬‫ﺍ ﻫ‬‫ﺓﹰ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮ‬‫ﺼِﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻨﺎﹶ ﻣ‬‫ ﺁَﻳﺎﹶﺗ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻓﹶﻠﹶﻤﺎﱠ ﺟﺎﹶﺀَﺗ‬
11 13
sampai kepada mereka, berkatalah mereka, ini adalah sihir
yang nyata.
Surat al-qishash Maka tatkala Musa datang kepada mereka dengan membawa
12 36
‫ﺮ‬‫ﺬﹶﺍ ﺇِﻻﱠﺳِﺤ‬‫ﺍ ﻣﺎﹶﻫ‬‫ﻨﺎﹶﺕٍ ﻗﺎﹶﻟﹸﻮ‬‫ﻴ‬‫ﻰ ﺑِﺂَﻳﺎﹶﺗِﻨﺎﹶ ﺑ‬‫ﺳ‬‫ﻮ‬‫ ﻣ‬‫ﻢ‬‫ﻓﹶﻠﹶﻤﺎﱠ ﺟﺎﹶﺀَﻫ‬ mukjizat-mukjizat Kami yang nyata, mereka berkata, ini tidak
lain hanyalah sihir yang dibuat-buat dan kami belum pernah
‫ﻦ‬‫ﻟِﻴ‬‫ ﺁَﺑﺎﹶﺋِﻨﺎﹶ ﺍﹾﻷَﻭ‬‫ﺬﺍﹶ ﻓِﻲ‬‫ﻨﺎﹶ ﺑِﻬ‬‫ﻤِﻌ‬‫ﺎﺳ‬‫ﻣ‬‫ﻯ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻔﹾﺘ‬‫ﻣ‬ mendengar seruan yang seperti ini pada nenek moyang kami
yang dahulu.
Maka tatkala datang kepada mereka kebenaran dari sisi Kami,
48
‫ﺗِﻲ‬‫ﺎﺃﹸﻭ‬‫ ﻣِﺜﹾﻞﹶ ﻣ‬‫ﺗِﻲ‬‫ﻻﹶ ﺃﹸﻭ‬‫ﺍﹾ ﻟﹶﻮ‬‫ﺪِﻧﺎﹶ ﻗﺎﹶﻟﻮ‬‫ ﻋِﻨ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﻖ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻢ‬‫ﻓﹶﻠﹶﻤﺎﱠ ﺟﺎﹶﺀَﻫ‬ mereka berkata, mengapakah tidak diberikan kepadanya
seperti yang telah diberikan kepada Musa dahulu ?, dan
‫ﺍﹾ‬‫ﻞﹸ ﻗﺎﹶﻟﻮ‬‫ ﻗﹶﺒ‬‫ﻰ ﻣِﻦ‬‫ﺳ‬‫ﻮ‬‫ ﻣ‬‫ﺗِﻲ‬‫ﺍ ﺑِﻤﺎﹶ ﺃﹸﻭ‬‫ﻭ‬‫ﻜﹾﻔﹸﺮ‬‫ ﻳ‬‫ﻟﹶﻢ‬‫ﻰ ﺃﹶﻭ‬‫ﺳ‬‫ﻮ‬‫ﻣ‬ bukankah mereka itu telah mengingkari kepada apa yang telah
diberikan kepada Musa dahulu, mereka dahulu telah berkata,
‫ﻥﹶ‬‫ﻭ‬‫ﺍﹾ ﺇِﻧﺎﱠ ﺑِﻜﹸﻞﱟ ﻛﺎﹶﻓِﺮ‬‫ﻗﺎﹶﻟﻮ‬‫ﺮﺍﹶ ﻭ‬‫ﻈﺎﹶﻫ‬‫ﺮﺍﹶﻥِ ﺗ‬‫ﺳِﺤ‬ Musa dan Harun adalah dua ahli sihir yang bantu
membantu, dan mereka juga berkata, sesungguhnya kami
tidak mempercayai mereka masing-masing itu.
Surat Saba` Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami yang
13 43
‫ﺪ‬‫ﺮِﻳ‬‫ﻞﹲ ﻳ‬‫ﺟ‬‫ﺬﺍﹶ ﺇِﻻﱠﺭ‬‫ﺍﹾ ﻣﺎﹶﻫ‬‫ﻨﺎﹶﺕٍ ﻗﺎﹶﻟﻮ‬‫ﻴ‬‫ﻨﺎﹶ ﺑ‬‫ﺎﺗ‬‫ ﺁَﻳ‬‫ﻬِﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﻰ‬‫ﺘ‬‫ﺇِﺫﺍﹶ ﺗ‬‫ﻭ‬ terang, mereka berkata, orang ini tiada lain hanyalah seorang
laki-laki yang ingin menghalangi kamu dari apa yang
‫ﺬﺍﹶ ﺇِﻻﱠﺇِﻓﹾﻚ‬‫ﺍﹾ ﻣﺎﹶﻫ‬‫ﻗﺎﹶﻟﻮ‬‫ ﻭ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ ﺃﹶﺑﺎﹶﺅ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﻛﺎﹶﻥﹶ ﻳ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﺪ‬‫ﺼ‬‫ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬ disembah oleh bapak-bapak kamu, dan mereka berkata, Al-
Quran ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan
‫ﺬﺍﹶ‬‫ ﺇِﻥﹾ ﻫ‬‫ﻢ‬‫ ﳌﹶﺎﱠ ﺟﺎﹶﺀَﻫ‬‫ﻖ‬‫ﺍ ﻟِﻠﹾﺤ‬‫ﻭ‬‫ ﻛﹶﻔﹶﺮ‬‫ﻦ‬‫ﻗﺎﹶﻝﹶ ﺍﻟﱠﺬِﻳ‬‫ﻯ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻔﹾﺘ‬‫ﻣ‬ saja. Dan orang-orang kafir berkata terhadap kebenaran,
tatkala kebenaran itu datang kepada mereka, ini tidak lain
‫ﻦ‬‫ﺒِﻴ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺇِﻻﱠﺳِﺤ‬ hanyalah sihir yang nyata.
Surat ash-shâffât
14 15
‫ﻦ‬‫ﺒِﻴ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺬﺍﹶ ﺇِﻻﱠﺳِﺤ‬‫ﺍ ﺇِﻥﹾ ﻫ‬‫ﻗﺎﹶﻟﹸﻮ‬‫ﻭ‬ Dan mereka berkata, ini tiada lain hanyalah sihir yang nyata.

Surat az-zukhruf Dan tatkala kebenaran Al-Quran itu dating kepada mereka,
15 30
‫ﻥﹶ‬‫ﻭ‬‫ﺇِﻧﺎﱠ ﺑِﻪِ ﻛﺎﹶﻓِﺮ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺬﺍﹶ ﺳِﺤ‬‫ﺍﹾ ﻫ‬‫ ﻗﺎﹶﻟﻮ‬‫ﻖ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻢ‬‫ﳌﹶﺎﱠ ﺟﺎﹶﺀَﻫ‬‫ﻭ‬ mereka berkata, ini adalah sihir dan sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang mengingkarinya.
Dan mereka berkata, hai ahli sihir berdoalah kepada Tuhanmu
49
‫ﻨﺎﹶ‬‫ ﺇِﻧ‬‫ﻙ‬‫ﺪ‬‫ ﻋِﻨ‬‫ﻬِﺪ‬‫ ﺑِﻤﺎﹶ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ ﻟﹶﻨﺎﹶ ﺭ‬‫ﻉ‬‫ ﺍﺩ‬‫ﺎﺣِﺮ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻪ‬‫ﺄﹶﻳ‬‫ﺍﹾ ﻳ‬‫ﻗﺎﹶﻟﻮ‬‫ﻭ‬ untuk melepaskan kami sesuai dengan apa yang telah
dijanjikanNya kepadamu, sesungguhnya kami kami benar-
‫ﻥﹶ‬‫ﻭ‬‫ﺪ‬‫ْﺘ‬‫ﳌﹶﻬ‬ benar akan menjadi orang-orang yang mendapat petunjuk.
Surat al-ahqâf Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang
16 7
‫ ﳌﹶﺎﱠ‬‫ﻖ‬‫ﺍ ﻟِﻠﹾﺤ‬‫ﻭ‬‫ ﻛﹶﻔﹶﺮ‬‫ﻦ‬‫ﻨﺎﹶﺕٍ ﻗﺎﹶﻝﹶ ﺍﻟﱠﺬِﻳ‬‫ﻴ‬‫ﻨﺎﹶ ﺑ‬‫ ﺁَﻳﺎﹶﺗ‬‫ﻬِﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﹶﻰ ﻋ‬‫ﺘ‬‫ﺇِﺫﹾ ﺗ‬‫ﻭ‬ menjelaskan, berkatalah orang-orang yang mengingkari
kebenaran, ketika kebenaran itu datang kepada mereka, ini
‫ﻦ‬‫ﺒِﻴ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺬﺍﹶ ﺳِﺤ‬‫ ﻫ‬‫ﻢ‬‫ﺟﺎﹶﺀَﻫ‬ adalah sihir yang nyata.
Surat ath-thûr Maka apakah ini sihir, ataukah kamu tidak melihat
17 15
‫ﻥﹶ‬‫ﻭ‬‫ﺼِﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﻻﹶ ﺗ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﺬﺍﹶ ﺃﹶﻡ‬‫ ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺃﹶﻓﹶﺴِﺤ‬
Surat al-qamar Dan jika mereka (orang-orang musyrik) melihat sesuatu
18 2
‫ﻤِﺮ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺍ ﺳِﺤ‬‫ﻟﹸﻮ‬‫ﻘﹸﻮ‬‫ﻳ‬‫ﺍ ﻭ‬‫ﻮ‬‫ﺮِﺿ‬‫ﻌ‬‫ﺔﹰ ﻳ‬‫ﺍ ﺃﹶﻳ‬‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺇِﻥﹾ ﻳ‬‫ﻭ‬ tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, (ini adalah)
sihir yang terus menerus.
Surat ash-shaf Dan ingatlah ketika Isa putera Maryam berkata, hai Bani
19 6
ِ‫ﻝﹸ ﺍﷲ‬‫ﻮ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ﻲ‬‫ﻞﹶ ﺇِﻧ‬‫ﺍﺋِﻴ‬‫ﺮ‬‫ ﺇِﺳ‬‫ﻨِﻲ‬‫ ﻳﺎﹶﺑ‬‫ﻢ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﺍﺑ‬‫ﺴ‬‫ﺇِﺫﹾ ﻗﺎﹶﻝﹶ ﻋِﻴ‬‫ﻭ‬ Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu,
membenarkan kitab (yang duturunkan) sebelumku, yaitu
ٍ‫ﻝ‬‫ﻮ‬‫ﺳ‬‫ﺮ‬‫ﺮﺍﹰ ﺑ‬‫ﺸ‬‫ﺒ‬‫ﻣ‬‫ﺍﺓِ ﻭ‬‫ﺭ‬‫ﻮ‬‫ ﺍﻟﺘ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﻱ‬‫ﺪ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﻗﺎﹰ ﳌﱢﺎﹶ ﺑ‬‫ﺼﺪ‬
 ‫ ﻣ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺇِﻟﹶﻴ‬ taurat dan memberi kabar gembira dengan datangnya seorang
rasul yang akan datang sesudahku yang namanya Ahmad,
‫ﺍﹾ‬‫ﻨﺎﹶﺕِ ﻗﺎﹶﻟﻮ‬‫ﻴ‬‫ ﺑِﺎﻟﹾﺒ‬‫ﻢ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﻤﺎﱠ ﺟﺎﹶﺀَﻫ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ﻪ‬‫ﻤ‬‫ ﺍﺳ‬‫ﺪِﻱ‬‫ﻌ‬‫ ﺑ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﺄﹾﺗِﻲ‬‫ﻳ‬ maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan
membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata ini adalah
‫ﻦ‬‫ﺒِﻴ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺬﺍﹶ ﺳِﺤ‬‫ﻫ‬ sihir yang nyata.
Surat al-muddasir Lalu dia berkata, (Al-Quran) ini tidak lain hanyalah sihir
20 24
‫ﺛﹶﺮ‬‫ﺆ‬‫ ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﺬﺍﹶ ﺇِﻻﱠ ﺳِﺤ‬‫ﻓﹶﻘﺎﹶﻝﹶ ﺇِﻥﱠ ﻫ‬ yang dipelajari (orang-orang terdahulu).
Surat shad Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang
21 4
‫ﺬﺍﹶ‬‫ﻥﹶ ﻫ‬‫ﻭ‬‫ﻗﺎﹶﻝﹶ ﺍﹾﻟﻜﺎﹶﻓِﺮ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ ﻣِﻨ‬‫ﺬِﺭ‬‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﻢ‬‫ﺍ ﺃﹶﻥﹾ ﺟﺎﹶﺀَﻫ‬‫ﻮ‬‫ﺠِﺒ‬‫ﻋ‬‫ﻭ‬ pemberi peringatan dari kalangan mereka dan orang-orang
kafir berkata, ini adalah seorang ahli sihir yang banyak
‫ ﻛﹶﺬﱠﺍﺏ‬‫ﺳﺎﹶﺣِﺮ‬ berdusta.
Surat ghâfhir Kepada Fir’aun, Haman dan Qarun, mereka berkata, ia
22 4
‫ ﻛﹶﺬﺍﱠﺏ‬‫ﺍﹾ ﺳﺎﹶﺣِﺮ‬‫ﻥﹶ ﻓﹶﻘﺎﹶﻟﻮ‬‫ﻭ‬‫ﻗﺎﹶﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﻫﺎﹶﻣ‬‫ﻥﹶ ﻭ‬‫ﻮ‬‫ﻋ‬‫ﺇِﱃﹶ ﻓِﺮ‬ adalah tukang sihir yang pendusta.
Surat az-zâriyât Maka di (Fir’aun) berpaling dengan tentaranya, dan berkata,
23 39
‫ﻥﹲ‬‫ﻮ‬‫ﻨ‬‫ﺠ‬‫ﻣ‬‫ ﺃﹶﻭ‬‫ﺎﺣِﺮ‬‫ﻗﺎﹶﻝﹶ ﺳ‬‫ﻛﹾﻨِﻪِ ﻭ‬‫ﻟﱠﻰ ﺑِﺮ‬‫ﻮ‬‫ﻓﹶﺘ‬ dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila.
Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang kepada
52
‫ﺍﹾ ﺳﺎﹶﺣِﺮ‬‫ﻝٍ ﺇِﻻﱠﻗﺎﹶﻟﻮ‬‫ﻮ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﻠِﻬِﻢ‬‫ ﻗﹶﺒ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﺍﻟﱠﺬِﻳ‬‫ﺎﺃﹶﺗ‬‫ ﻣ‬‫ﻛﹶﺬﺍﹶﻟِﻚ‬ orang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, ia
adalah seorang tukang sihir atau seorang gila.
‫ﻥﹲ‬‫ﻮ‬‫ﻨ‬‫ﺠ‬‫ﻣ‬‫ﺃﹶﻭ‬
Surat al-isrâ Kami lebih mengetahui dalam keadaan bagaimana mereka
24 47
‫ﻢ‬‫ﺇِﺫﹾﻫ‬‫ ﻭ‬‫ﻚ‬‫ﻥﹶ ﺇِﻟﹶﻴ‬‫ﻮ‬‫ﻤِﻌ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ﻥﹶ ﺑِﻪِ ﺇِﺫﹾ ﻳ‬‫ﻮ‬‫ﻤِﻌ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﺑِﻤﺎﹶ ﻳ‬‫ﻠﹶﻢ‬‫ ﺃﹶﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺤ‬‫ﻧ‬ mendengarkan sewaktu mereka mendengarkan kamu, dan
sewaktu mereka berbisik-bisik, ketika orang-orang zalim itu
‫ﺭﺍﹰ‬‫ﻮ‬‫ﺤ‬‫ﺴ‬‫ﻻﹰ ﻣ‬‫ﻮ‬‫ﺟ‬‫ﻥﹶ ﺇِﻻﱠﺭ‬‫ﻮ‬‫ﺒِﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻥﹶ ﺇِﻥﹾ ﺗ‬‫ﻮ‬‫ﻝﹸ ﺍﻟﻈﺎﱠﻟِﻤ‬‫ﻘﹸﻮ‬‫ﻯ ﺇِﺫﹾ ﻳ‬‫ﻮ‬‫ﺠ‬‫ﻧ‬ berkata, kamu tidak lain adalah mengikuti seorang laki-laki
yang terkena sihir.
Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepada Musa
101
‫ﻞﹶ‬‫ﺮﺍﹶﺋِﻴ‬‫ ﺇِﺳ‬‫ﻨِﻲ‬‫ﺌﹶﻞﹾ ﺑ‬‫ﻨﺎﹶﺕٍ ﻓﹶﺴ‬‫ﻴ‬‫ ﺁَﻳﺎﹶﺕٍ ﺑ‬‫ﻊ‬‫ﻰ ﺗِﺴ‬‫ﺳ‬‫ﻮ‬‫ﻨﺎﹶ ﻣ‬‫ﻴ‬‫ ﺁَﺗ‬‫ﻟﹶﻘﹶﺪ‬‫ﻭ‬ sembilan buah mukjizat nyata, maka tanyakanlah Bani Israil
tatkala Musa datang kepada mereka, lalu Fir’aun berkata
‫ﻰ‬‫ﺳ‬‫ﻮ‬‫ ﻳﺎﹶﻣ‬‫ﻚ‬‫ ﻟﹶﺄﹶﻇﹸﻨ‬‫ﻲ‬‫ﻥﹶ ﺇِﻧ‬‫ﻮ‬‫ﻋ‬‫ ﻓِﺮ‬‫ﻢ‬‫ ﻓﹶﻘﺎﹶﻝﹶ ﻟﹶﻬ‬‫ﻢ‬‫ﺇِﺫﹾ ﺟﺎﹶﺀَﻫ‬ kepadanya, sesungguhnya aku sangka kamu hai Musa
seorang yang kena sihir.
‫ﺭﺍﹰ‬‫ﻮ‬‫ﺤ‬‫ﺴ‬‫ﻣ‬
Surat al-furqân Atau diturunkan kepadanya perbendaharaan, atau ada kebun
25 8
‫ﻗﺎﹶﻝﹶ‬‫ﻬﺎﹶ ﻭ‬‫ﺄﹾﻛﹸﻞﹸ ﻣِﻨ‬‫ﺔﹲ ﻳ‬‫ﻨ‬‫ ﺟ‬‫ﻥﹸ ﻟﹶﻪ‬‫ﻜﹸﻮ‬‫ﺗ‬‫ ﺃﹶﻭ‬‫ﺰ‬‫ﻪِ ﻛﹶﻨ‬‫ﻠﹾﻘﹶﻰ ﺇِﻟﹶﻴ‬‫ﻳ‬‫ﺃﹶﻭ‬ baginya yang dia dapat dari hasilnya, dan orang-orang zalim
itu berkata, kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti
‫ﺭﺍﹰ‬‫ﻮ‬‫ﺤ‬‫ﺴ‬‫ﻻﹰ ﻣ‬‫ﻮ‬‫ﺟ‬‫ﻥﹶ ﺇِﻻﱠﺭ‬‫ﻮ‬‫ﺒِﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻥﹶ ﺇِﻥﹾ ﺗ‬‫ﻮ‬‫ﺍﻟﻈﱠﺎﻟِﻤ‬ seorang lelaki yang terkena sihir.
Surat al-hijr Tentulah mereka berkata, sesungguhnya pandangan kamilah
26 15
‫ﻥﹶ‬‫ﻭ‬‫ﺭ‬‫ﻮ‬‫ﺤ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﻡ‬‫ ﻗﹶﻮ‬‫ﻦ‬‫ﺤ‬‫ﻞﹾ ﻧ‬‫ﻧﺎﹶ ﺑ‬‫ﺼﺎﹶﺭ‬‫ ﺃﹶﺑ‬‫ﺕ‬‫ﻜﱢﺮ‬‫ﻤﺎﹶ ﺳ‬‫ﺍﹾ ﺇِﻧ‬‫ﻟﹶﻘﺎﹶﻟﻮ‬ yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang-orang yang kena
sihir.

You might also like