You are on page 1of 8

Malam ke-9

Desir sahara bertalu-talu menghembus pucuk-pucuk tenda yang melantunkan duka


nestapa. Adegan demi adegan ketegangan, pengorbanan dan kebiadaban telah
ditampilkan. Sepi disini, hiruk pikuk pesta pora di wilayah musuh. Dada imam Husein
begitu sesak, jiwanya seakan tersayat saat menyaksikan betapa beliau telah kehilangan
para pembelanya. Ketika beliau menyaksikan jasad-jasad orang yang dicintainya
bergelimpangan penuh darah. Ketika beliau menyaksikan para wanita dan anak-anak
menangis menahan haus yang sangat. sungguh, tiada air setetespun bahkan air matapun
telah mengering. Kini, waktunya untuk mengakhiri adegan antara kebenaran dan
kebiadaban. Al Husein tahu, kini adalah saat baginya untuk mengorbankan nyawa dan
raganya.

Al Husein memandang satu persatu keluarganya yang tersisa. Hingga pandangannya


tertuju pada putra terkecilnya yang suaranya telah parau karena tak hentinya menangis
kehausan. Ali Asghar yang berusia 6 bulan menangis parau di pangkuan Ummu Kultsum.
Sang imam mengecup kening putra bungsunya itu,

“Jagalah dengan baik putraku ini,”

“Duhai abangku, telah tiga hari tidak ada setetes airpun yang membasahi bibirnya.
Suaranya bahkan telah hampir habis karena haus. Ibunya tak mampu mengeluarkan air
susu, bahkan tubuhnya telah lunglai tak berdaya.”

Mendengar pernyataan Ummu Kultsum, sang imam menggendong putranya itu, ia


membawanya keluar tenda. Sesaat sang imam menatap lembut putranya, lalu menciumi
leher bayi kecil itu.

Imam menghadap ke arah musuh, lalu mengangkat putranya tinggi-tinggi..

“duhai manusia, kalian telah membunuh para pembela dan keluargaku. Kalian ingin
meneruskan perang denganku, maka teruskanlah. Kalian ingin mencekikku dengan
dahaga maka aku akan bersabar karenanya. Tapi lihatlah bayi ini, tiada salah yang
dilakukannya, tiada ia mengganggu dan berurusan dengan kalian. Kiranya berilah sedikit
air padanya.. hingga…”

1
Belum tuntas sang imam berbicara, seorang binatang bertubuh manusia melesatkan anak
panah ke arah sang bayi hingga menembus lehernya .

“itu air untuk anakmu…” teriak musuh yang diikuti dengan gelak tawa.

Imam Husein terhentak melihat anak panah yang telah tertancap. Sungguh, tiada yang
mampu menggambarkan betapa hancur dan remuknya hati Al Husein menyaksikan putra
bungsunya menggelepar di tanggannya. Sungguh, tiada yang mengalami bencana
sebagaimana yang dialami Al Husein saat menyaksikan mulut dan leher putranya yang
masih bayi terus mengeluarkan darah.

“segala puji bagimu yang telah mengkaruniakanku kesabaran dalam menghadapi ini
semua. duhai Tuhanku, saksikanlah betapa putraku ini telah kupersembahkan demi
kebenaran hukummu..”

“inilah darah putraku, sebagai puncak pengorbananku”

Imam Husein menghempaskan darah putranya ke langit. Dan tiada setetes darahpun yang
kembali ke bumi.

Zainab datang mendekat pada sang kakak,

“Duhai abangku, tutupilah tubuhnya, aku tak kuasa memandangnya. Segera kuburkan ia,
aku yakin ibunya tak akan sanggup melihat jasadnya. “

Imam Husein pun menguburkan putranya. Lengkap sudah kebiadaban dan kezaliman
para musuh-musuh Allah. Betapa seorang bayi suci telah menjadi puncak dari segala
malapetaka. Betapa seorang bayi keturunan Rasulullah, putra sang imam Husein as telah
turut berkorban demi kebenaran agama kakeknya.

Setelah menguburkan putranya, sang imam mengumpulkan para keluarga yang tersisa di
dalam tenda.

2
“ Kemarilah duhai para keluarga keluargaku yang setia. Salam dariku atas kalian semua.
Saat bagiku telah dekat. Inilah pertemuan terakhir kita di dunia. Inilah saat terakhir
kebersamaan kita di dunia. Pesta tangis dan duka akan sampai pada puncaknya. Bersiap-
siaplah untuk memasukinya. Dan demi Allah, berjanjilah demi darahku. Kalian tidak
akan mendekatkan diri kalian pada kehancuran dan kehinaan setelah kematianku.”

Mendengar kata-kata Al Husein, para wanita tak mampu menahan tangisnya. Namun
imam Husein mencoba menenangkan mereka.

“Kehidupan dunia ini hanya sementara dan penuh tipu daya. Kakekku telah
menungguku. Ayah ibu serta abangku telah menantiku. Mereka telah menyiapkan air dan
kebahagiaan sebagai penyambutku. Kupastikan kita akan bertemu kelak di sana dengan
kebahagiaan yang nyata. Kunantikan kalian semua untuk bergabung di sana nanti.
Bersabarlah duhai anak-anakku. Karena setelah kematianku kalian akan lebih banyak lagi
menangis. Bersabarlah duhai para wanita-wanita keturunan kakeku.”

Imam Husein as salam lantas memeluk mereka. Tenda itupun penuh ratapan dan airmata.
Para putri-putri Al Husein tak mampu melepas ayahnya.

“Jangan pergi duhai abata.. bagaimana kami mampu kehilanganmu. Kumohon ya aba,
jangan kau tinggalkan kami”

Ummu Salamah berusaha melepaskan pelukan putri-putri Al Husein yang terus


mengikuti tubuh ayah tercintanya itu.

Al Husein berkali-kali memeluk dan menciumi wajah putri-putrinya yang tak henti-
hentinya menangis, “ bersabarlah duhai putri-putriku. Bersabarlah kalian”

Al Husein mendekati adiknya, Zainab, dan meminta supaya diambilkan sebuah gamis
yang sudah lama dan usang yang telah ia persiapkan. Zainab memenuhi permintaan
kakaknya. Al Husein lantas mengenakan gamisnya. Beliaupun merobek sebagian gamis
untuk diikatkan pada sebagain robekan yang lain agar gamis itu tidak mudah tersingkap
atau mudah dilepas oleh orang lain. Sungguh, Imam Husein tahu, para musuhnya akan
memperlakukan jasadnya dengan cara terburuk dan hina. Karenanya ia pun telah
mempersiapkan pakaian bagi jasadnya.

3
Ketika imam Husein hendak memacu kudanya, zainab memanggil kakaknya, duhai imam
duhai kakakku sudilah kau turun sejenak dari kudamu?

Sambil turun dari kudanya, imam Huesin bertanya kepada zainab, Ada apakah gerangan
duhai putri Zahra? Duhai adikku?

Zainab melanjutkan kata katanya, sambil terisak2 menahan ledakan tangis, duhai
kakakku, aku mendapat pesan dari ibunda untuk melakukan ini, diwaktu seperti ini.
singkapkan lehermu dan bukalah dadamu.

Imam Husein menuruti permintaan Zainab adiknya, seketika itu juga Zainab yang tidak
kuat menahan ledakan tangis, memeluk kakaknya lantas mencium leher dan dada Imam
Husein, selesai melakukan itu, Zainab mengarahkan badannya menghadap madinah
dengan ledakan tangisan zainab berkata, Ya…aaa Umma…aaa sudah aku sampaikan
amanatmu

Kedua manusia langit itupun berpelukan dalam tangis, tidak ada yang dapat
membayangkan betapa hancur hati zainab saat itu, melepas Imamnya untuk meneguk
Syahadah

Imam Husein meninggalkan tenda dengan ratapan dan tangisan para keluarganya. Beliau
lantas menaiki kudanya dan memacu cepat kearah musuh.

Kini, imam Husein as telah bersiap menghadap para manusia-manusia munafik.


Sungguh, imam Husein hanya seoirang diri, kehausan terus mencekik dan menghabisi
kekuatannya, sementara di hadapannya, pasukan umar bin saad tetap tak terhitung
jumlahnya. Dan demi menuntaskan hujjahnya, al Husein berseru pada mereka,

“ Adakah di antara kalian seorang yang akan melindungi kehormatan Rasulullah dari
bencana?”

“Adakah di antara kalian seorang yang akan menolong kami demi keridhaan Ilahi?”

“Adakah di antara kalian seorang yang memiliki belas kasih?”

“Adakah diantara kalian seorang yang masih mau menolongku dan agama kakekku?”

4
Teriakan imam Husein as itu sampai pada tenda-tenda Ahlul bayt. Ali Zainal Abidin,
putra beliau as yang sedang sakit dan tak berdaya, bangun dari baringnya. Mencoba
mengambil pedang yang terasa begitu berat bagi tenaganya.

“ aku datang duhai abata… aku datang untuk menolongmu.”

Imam Ali Zainal Abidin menyeret pedang yang diambilnya tapi terjatuh karena dirinya
sedang demam tinggi, namun ia segera berdiri dan berusaha meraihnya lagi. menyaksikan
itu, Ummu kultsum mencegahnya.

Imam Ali Zainal Abidin menjawab “Kumohon biarkan aku menolong ayahku…tidakkah
kau lihat ia seorang diri sementara ribuan musuh di hadapannya. Biarkan aku
menolongnya duhai Bibi”

Dengan tenaganya yang tersisa imam Ali Zainal terseok-seok sambil menyeret pedang
menuju arah musuh. Al Husein yang menyaksikan putranya lantas kembali dan
menuntun putranya kembali ke tenda.

“Tenanglah duhai puteraku. Tetaplah kamu di sini. Biarkan aku sendiri yang menghadapi
tikaman pedang dan tombak serta panah yang akan menghujam tubuhku. Kau harus
kembali ke madinah. Dan sampaikanlah salamku pada semua pengikut kita,
sampaikanlah pada mereka agar mereka terus mengenang kehausanku ketika mereka
hendak meneguk air. Katakan pada mereka untuk terus menangisi keterasingan dan
syahadahku .”

Imam Husein lantas mengungkap rahasia mengenai kepemimpinan Imam Ali Zainal
sebagai penerusnya. Kini imam Ali zainal telah mengetahui mengapa ia harus berdiam
diri sementara ayahnya dilanda bencana. Sungguh, betapa sebuah pengorbanan yang
besar bagi imam Ali Zainal Abidin, menyaksikan satu persatu pembela ayahnya
terbunuh, menyaksikan satu persatu keluarganya dibantai, dan kini saat baginya
menyaksikan ayahnya berjuang seorang diri. Sementara ia harus berdiam diri, demi
diteruskannya risalah kebenaran, sungguh tiada yang mampu menggambarkan hancur
leburnya hati sang penerus risalah itu.

5
“ maha suci Allah yang menganugerahiku kesabaran dan kerelaan atas maha musibah
ini”.

“kini, kenakanlah gaun duka cita kalian. Bersiaplah menanggung bencana dan ujian.
Namun, ketahuilah bahwa Allah adalah penjaga dan pelindung kalian. Dan demiku,
janganlah kalian menyerahkan kesabaran kepada syaitan dengan rintihan dan kata-kata
yang mengurangi keagungan kalian.”

Imam Huseian as pun kembali menghadang musuh.

“hei musuh-musuhku, apa yang telah membuat kalian begitu semangat ingin
membunuhku. Adakah sebuah kewajiban yang aku tinggalkan? Atau sunnah nabi yang
aku ubah?”

“tidak, kami melakukannya karena dendam padamu dan keluargamu sejak perang badr
dan hunain. Dan demi hadiah yang akan kami dapatkan dari yazid”

Mendengar jawaban musuhnya itu, hati imam husein seakan tersayat oleh tikaman yang
tajam. Betapa murah mereka menukar kebenaran dan kemanusiaan mereka hanya karena
dendam dan hadiah.

“ hei umar bin saad.. jika engkau memang mempunyai nyali dan hati maka berikanlah
aku air sebelum melawan pasukanmu seorang diri. Atau cukup berikan saja pada
keluargaku yang telah tercekik dahaga”

“aku tidak mau memenuhi permintaanmu.”

“sungguh engkau adalah seorang pengecut dan hina. Kini, telah kau lihat aku seoorang
diri. Maka lawanlah aku secara ksatria. Aku menantang pasukanmu untuk berduel
denganku”

“kau pikir aku takut padamu hei husein? Aku akan penuhi permintaanmu. Hingga kau
mati bersimbah darah.”

6
Lalu terjadilah duel satu lawan satu. Umar bin saad telah memerintahkan para pendekar-
pendekar dari pasukannya, tapi tiada yang mampu mengalahkan Al Husein. Satu persatu
jagoan umar bin saad tersungkur tak berdaya. Menyaksikan ini umar baru menyadari
bahwa Al husein bukanlah seorang pendekar biasa. Ia telah mewarisi kehebatan
berperang ayahnya, seorang pendekar islam legendaris Ali bin Abi Thalib. Beliau adalah
putra pemilik pedang dzulfikar yang telah menghantam banyak pendekar-pendekar kaum
kafir dan musyrik. Karenanya, umar tak mau mengambil resiko kehilangan banyak
pasukannya. Ia pun kembali pada pilihan yang telah sejak tadi dilakukannya. Berperang
secara licik dan penuh kecurangan.

“apa yang kalian lihat? Apa kalian ingin terbunuh satu persatu. Serang ia dari segala arah.
Lesatkan banyak panah ke tubuhnya. Hujamkan pedang dan tombak hingga ia tak
berdaya!”

Salam atasmu duhai para ksatria karbala

Salam atasmu duhai para penanggung segala bala bencana

Salam atasmu duhai para pengorban jiwa dan raga

Salam atasmu duhai para wanita yang tersayat hatinya

Salam atasmu duhai Huseinku, duhai putra-putri Husein, duhai para pembela Husein.

7
Salam dari kami malam ini…

Maafkan kami ya Imam, mulut kami berbicara mencintaimu, tapi perbuatan kami
mengatakan yang sebaliknya

Kami sering melakukan sesuatu membuat namamu tercoreng, membuat dirimu yang suci
diremehkan orang, itu semua salah kami…

Maafkan kami ya Imam…

Sungguh tiada yang mampu kami berikan sebagai balasan atas pengorbanan kalian..

Apalah jadinya kami bila tidak mengenal kalian?

tapi kiranya terimalah upaya kami dalam mengenang kalian.. sebagai sedikit bukti atas
kecintaan kami pada kalian

Hari ini penghuni langit dan bumi meneteskan air mata.

Terimalah air mata kami, masukan kedalam salah satu yang berduka atas musibahmu

Terimalah empati kami, yang menjadi saksi atas kedukaan kami.

Kami tahu, kami bahkan tidak layak mengaku sebagai pecintamu, namun sungguh duhai
Huseinku betapa kami ingin menjadi pembelamu

Berkenanlah memberkahi upaya kami yang ingin mengenangmu malam ini…

You might also like