You are on page 1of 3

BANJIR

Dampak banjir yang menenggelamkan sebagian besar wilayah Jakarta kali


ini, sungguh dahsyat. Tercatat lebih dari 40 orang tewas, sekitar 400 ribu
orang, kaya dan miskin mengungsi. Infrastruktur publik rusak parah, roda
transporsi terhenti dan kerugian ekonomi mencapai hampir Rp 4 triliun.
Daya dukung ekologi yang semakin turun, ketidaktahuan masyarakat
tentang antisipasi bencana banjr, kapasitas pemerintah yang lemah,
menyebabkan dampak banjir menjadi sedemikian parah.
Banjir telah menyebabkan hak-hak fundamental warga tercerabut, yaitu ha
katas kesehatan, pangan, papan, pendidikan, air bersih dan lingkungan
hidup yang berkelanjutan. Masyarakat yang miskin bertambah miskin,
bahkan banyak yang kembali ke titik nol, karena semua propertinya
hancur. Aset pembangunan yang dibangun dan di pelihara selama sekian
tahun, rusak. Roda bisnis dan pemerintahan, terhenti untuk beberapa hari.
Persoalan banjir di Jakarta adalah kejadian klasik yang terus berulang,
namun selalu dipandang tidak serius dan ditangani secara parsial oleh
pemerintah. Pemerintah masih gagap dan tidak mempunyai pola
pencegahan dan mitigasi bencana banjir yang mumpuni. Padahal bencana
semakin sering terjadi di Tanah Air dan semestinya pemerintah pemerintah
belajar dari pengalaman yang telah lalu. Terlebih banjir adalah kategori
bencana yang di dominasi oleh faktor kelalaian dan kesalahan manusia,
sehingga semestinya bisa diminimalkan dampaknya.
Lebih aneh lagi, banjir itu terjadi di ibukota negara, dimana presiden,wakil
presiden, para mentri, anggota parlemen, pejabat negara dan pebisnis
beraset ratusan miliar rupiah berkantor. Di sini pula sebagian besar sumber
daya ekonomi, politik, serta alat pertahanan dan keamanan tersedia.
Semestinya dengan sumber daya tersebut, pemerintah DKI Jakarta dan
pusat tidak mengalami kesulitan dalam memobilisasinya untuk menangani
banjir guna meminimalisasi dampak bagi manusia. Namun publik bisa
mengetahui bahwa korban banjir tidak tertangani dengan baik dan layak.
Bahkan korban jiwa dan material tahun ini lebih besar dari banjir besar
2002.
Pendekatan ekologis
Persoalan banjir di Jakarta tidak bisa ditangani secara sepihak dan parsial,
namun harus dengan pendekatan sistem ekologis (ekosistem) dan
humanis. Pendekatan itu bisa teraplikasi dengan membangun
kesepahaman dan kerja sama antara masyarakat dan pemerintah daerah
hulu (Bogor-Puncak-Cianjur/Bopuncur) dan hilir (Jakarta).
Pendekatan ekosistem berarti melihat sebab dan akibat banjir dalam satu
kesatuan ruang ekologi dengan menghilangkan sekat administrasi, politik,
sosial dan ekonomi. Ekosistem Jakarta adalah satu ruang dengan
ekosistem Bopuncur sehingga saling bergantung dan memengaruhi.
Penataan ruang di hilir tidak akan bisa cukup menyelesaikan masalah jika
tidak disertai dengan penataan ruang di kawasan hulu.
Persoalan kerusakan lingkungan di hulu adalah akibat dari tuntutan
ekonomi yang dilegitimasi oleh keputusan politik untuk menambah pundi-
pundi pendapatan asli daerah. Laju konversi lahan hijau di kawasan hulu
menjadi kawasan perumahan mencapai sekitar 10 ribu hectare setiap
tahun. Era otonomi mendorong semua pemerintahan di daerah untuk
berlomba-lomba menggenjot pendapatan setinggi mungkin dengan
mengabaikan keseimbangan ekologi. Padahal daerah hulu mempunyai
fungsi ekologis yang sangat penting. Wacana untuk menerapkan kebijakan
insentif-disinsentif dan kompensasi dari daerah hilir ke daerah hulu menjadi
sangat relevan untuk segera diterapkan.
Kebijakan insentif bertujuan untuk merangsang pihak tertentu untuk
melakukan sesuatu yang diinginkan dan disinsentif adalah kebalikannya,
yaitu menjauhkan perilaku yang tidak diinginkan. Insentif dapat berupa
reward untuk pihak yang menjalankan kegiatan pelestarian lingkungan.
Disinsentif dapat berupa denda, sanksi, maupun hukuman yang bisa
menimbulkan efek jera bagi perusak lingkungan, sedangkan kompensasi
adalah besaran moneter maupun nonmoneter yang di berikan pada pihak
yang telah melestarikan lingkungan sehingga memberikan dampak positif
bagi sebagian besar masyarakat.
Jika daerah hulu bersedia atau diharuskan untuk untuk mengalokasi sekian
persen daerahnya sebagai wilayah ekologis, yang berarti akan mengontrol
secara ketat pembangunan ekonominya sehingga berdampak pada
pendapatan, daerah hilir mesti memberikan insentif dan kompensasi yang
layak. Insentif dan kompensasi ini harus setara dengan pengorbanan
ekonomi dan sosial yang telah dilakukan oleh daerah hulu dan cukup untuk
memenuhi kebutuhan dasar minimum bagi masyarakatnya, sedangkan
disinsentif diterapkan bagi daerah hulu maupun hilir yang tidak
mengindahkan kebijakan untuk melestarikan lingkungan.
Pendekatan humanis
Pendekatan ekosistem harus parallel dengan pendekatan humanis.
Kebijakan insentif dan kompensasi adalah juga salah satu manifestasi dari
pendekatan yang humanis. Bahwa masyarakat yang hidup di kawasan hulu
mempunyai hak yang sama untuk hidup secara sejahtera dan
berkecukupan, seperti mereka yang hidup di hilir. Insentif dan kompensasi
adalah upaya untuk membuat kesejahteraan masyarakat di hulu meningkat
dengan tidak melihat upaya melestarikan lingkungan sebagai sebuah
paksaan.
Isu lain, masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dianggap sebagai
salah satu penyebab meluapnya air karena terjadi penyempitan alur
sungai. Mereka yang tinggal di bantaran bukanlah sebuah pilihan, namun
karena kemiskinan. Relokasi mereka dari bantaran sungai harus diikuti
dengan pemberian alternatif permukiman yang permanen, murah dan
sehat. Hal ini juga terkaitdengan isu ketidakadilan, dimana mereka yang
kaya dapat dengan mudah menguasai tanah dan mengubah tata ruang,
sedangkan yang miskin selalu disalahkan oleh pemerintah.
Pendekatan humanis juga akan mendorong partisipasi publik dalam
kebijakan penanganan banjir tidak mengenal strata sosial, ekonomi,dan
politik. Kejadian banjir kali ini menegaskan bahwa semua kalangan
menjadikan banjir sebagai ancaman bersama dan melestarikan lingkungan
adalah sebuah tuntutan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.

You might also like