You are on page 1of 12

RESUME 9 PENDIDIKAN INKLUSI

Tentang

Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus (Lanjutan)

Disusun Oleh :

Ika Nurjannah (18129060)

18 BKT 12

Dosen pembimbing : Iga Setia Utami, S. Pd, M. Pd. T

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2020
A. Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar

Kesulitan belajar (dalam Maulana, 2007) adalah suatu gangguan dalam satu atau
lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa
ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk
kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau
berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan perseptual, luka
pada otak, disleksia, dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-
anak yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya
hambatan dalam penglihatan, pendengaran, atau motorik, hambatan karena tunagrahita,
karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi.

Karakteristik anak berkesulitan belajar (dalam Hadis, 2006) adalah sebagai


berikut :

1. Karakteristik anak kesulitan belajar membaca (disleksia) yaitu sebagai berikut :


a. Perkembangan kemampuan membaca terlambat
b. Kemampuan memahami isi bacaan rendah
c. Kalau membaca sering banyak kesalahan
2. Karakteristik anak kesulitan belajar menulis (disgrafia) yaitu sebagai berikut :
a. Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai
b. Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6
dengan 9 dan sebagainya.
c. Tulisannya banyak salah
d. Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris
3. Karakteristik anak yang mengalami kesulitan berhitung (diskalkula) yaitu sebagai
berikut :
a. Sulit membedakan tanda-tanda, seperti : tambah (+), kurang (-), kali (x), bagi (:),
besar (>), kecil (<), sama dengan (=)
b. Sulit mengoperasikan hitungan
c. Sering salah membilang dengan urut
d. Sering salah membedakan angka 9 dengan 6, 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan
8 dan sebagainya.
Faktor-faktor penyebab kesulitan belajar dapat digolongkan ke dalam dua
golongan, yaitu :

1. Faktor intern (faktor dari dalam diri anak itu sendiri )


a. Faktor fisiologi
Faktor fisiologi adalah faktor fisik dari anak itu sendiri. seorang anak yang
sedang sakit, tentunya akan mengalami kelemahan secara fisik, sehingga proses
menerima pelajaran, memahami pelajaran menjadi tidak sempurna.
b. Faktor psikologis
Faktor psikologis adalah berbagai hal yang berkenaan dengan berbagai
perilaku yang ada dibutuhkan dalam belajar. Sebagaimana kita ketahui bahwa
belajar tentunya memerlukan sebuah kesiapan, ketenangan, rasa aman. Selain itu
yang juga termasuk dalam factor psikologis ini adalah intelegensi yang dimiliki
oleh anak. Anak yang memiliki IQ cerdas (110 – 140), atu genius (lebih dari 140)
memiliki potensi untuk memahami pelajaran dengan cepat. Sedangkan anak-anak
yang tergolong sedang (90 – 110) tentunya tidak terlalu mengalami masalah
walaupun juga pencapaiannya tidak terlalu tinggi. Sedangkan anak yang memiliki
IQ dibawah 90 atau bahkan dibawah 60 tentunya memiliki potensi mengalami
kesulitan dalam masalah belajar.
2. Faktor ekstern (faktor dari luar anak)
a. Faktor-faktor sosial

Yaitu faktor-faktor seperti cara mendidik anak oleh orang tua mereka di
rumah. Anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian yang cukup tentunya akan
berbeda dengan anak-anak yang cukup mendapatkan perhatian, atau anak yang
terlalu diberikan perhatian. Selain itu juga bagimana hubungan orang tua dengan
anak, apakah harmonis, atau jarang bertemu, atau bahkan terpisah. Hal ini
tentunya juga memberikan pengaruh pada kebiasaan belajar anak.

b. Faktor non-sosial
Faktor non-sosial yang dapat menjadi penyebab munculnya masalah
kesulitan belajar adalah faktor guru di sekolah, kemudian alat-alat pembelajaran,
kondisi tempat belajar, serta kurikulum.

B. Lamban Belajar (Slow Learner)

Lambat belajar (dalam Maulana, 2007) adalah istilah yang digunakan untuk
menyebut anak yang mempunyai intelegensi di bawah rata-rata, tetapi di atas golongan
tunagrahita mampu didik. Orang sering menyebut dengan istilah slow learner, di sekolah
sering dikatakan anak yang bodoh, meskipun tidak selalu anak yang dikatakan bodoh itu
adalah slow learner (lambat belajar). Anak golongan ini apabila dimasukkan pada
sekolah luar biasa bagian C tuna grahita) tidak cocok sebab anak ini menjadi paling
pandai, paling cepat belajar, sedangkan kalau dimasukkan ke sekolah umum menjadi
paling bodoh. Meskipun prestasi anak lambat belajar ini selalu rendah, namun bukan
termasuk anak terbelakang mental. Dikatakan anak lambat belajar masih mampu
mengikuti pelajaran sekolah umum seperti anak-anak normal (Sutratinah, 2001).

Lamban belajar atau slow learner (dalam Maulana, 2007) adalah anak yang
memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita.
Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon
rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan yang
tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan yang normal, mereka butuh waktu yang lebih
lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun
nonakademik.

Transley dan R. Gulliford (Sutratinah, 2001) menjelaskan bahwa karakteristik


siswa lambat belajar (Slow Learner) adalah sebagai berikut :

1. Keadaan fisik pada umumnya sama dengan murid-murid normal.


Dengan melihat keadaan fisiknya saja tidak dapat dibedakan mana yang
normal dan mana yang lambat belajar. Para ahli baru dapat membedakan antara murid
belajar dengan murid normal setelah menagdakan pengamatan dan tes psikologi.
2. Kemampuan berfikirnya agak rendah, sehingga lamban dalam memecahkan masalah-
masalah yang sederhana.
Hal ini menyebabkan mereka kalh bersaing dengan teman-temannya yang
normal.
3. Ingatannya agak lemah dan tidak tahan lama.
Mereka lekas lupa dan biasanya tidak mampu mengingat-ingat suatu peristiwa
yang terjadi tiga tahun yang lewat. Dalam proses belajar mengajar di sekolah, apa
yang diterangkan oleh guru hari ini biasanya satu minggu kemudian sudah terlupakan.
Lebih lagi dalam mengingat-ingat isi buku pelajaran yang telah dipelajari sendiri.
Kalau murid-murid normal dapat mengingat isi pelajaran lebih kurang 50% setelah
membaca dua kali, maka murid lambat belajar hanya mampu mengingat 25% saja.
4. Dalam menuntut pendidikan di sekolah dasar banyak yang mengalami putus sekolah.
Enam puluh persen di antara murid-murid yang putus sekolah tergolong murid
yang lambat belajar. Lebih dari separoh nilai rapornya merah. Kalau guru mengeahui
masalahnya dan selanjutnya memberikan bimbingan dan bantuan seperlunya maka
putus sekolah 60% itu dapat dikurangi. Biarpun agak terlambat, mereka akan dapat
menyelesaikan pendidikannya di sekolah dasar. Setelah tamat sekolah dasar, mereka
dapat diarahkan untuk memasuki balai latihan atau sekolah kejuruan yang lebih
singkat.
5. Dalam kehidupan di rumah tangga, murid lambat belajar masih mampu
berkomunikasi dan bergaul secara baik dengan saudara-saudaranya.
Mereka dapat belajar sendiri melakukan pekerjaan-pekerjaan dalam tata
kehidupan keluarga.
6. Emosinya kurang terkendali, suka mementingkan diri sendiri. Inilah sebabnya
mengapa sering timbul perselisihan dengan teman-temannya.
Perasaan mudah terpengaruh oleh orang lain dan lingkungannya. Tidak
mempunyai pendirian yang kuat.
7. Murid lambat belajar dapat dilatih beberapa macam ketrampilan yang bersifat
produktif. Mereka mampu melakukan pekerjaan sendiri dengan tanggung jawab
sepenuhnya.

Dari hasil penelitian yang dilakukan Purwandari (Sutratinah, 2001) ternyata anak
lambat belajar (Slow Learner) mempunyai ciri-ciri emosi sebagai berikut :
1. Daya konsentrasi rendah

Daya konsentrasi hanya sebentar, seperti terikat dalam kegiatan belajar di


kelas, anak hanya dapat mengikuti pelajaran dengan baik ± 20 menit, lebih dari itu,
anak kelihatan gelisah, dan kadang mengganggu teman-temannya yang sedang
belajar.

2. Mudah lupa dan beralih perhatian.


Hal ini sangat berkaitan dengan daya ingat dan rangsangan dari luar.
3. Eksplosif

Anak sering menampakkan sikap cepat bereaksi terhadap rangsang tanpa ada
pertimbangan pemikiran terlebih dahulu. Bila tidak diberi tugas akan nampak kecewa.

C. Autisme

Autisme (dalam Abdul, 2009) adalah gangguan perkembangan yang kompleks,


meliputi gangguan komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imaginatif, yang mulai
tampak sebelum anak berusia tiga tahun, bahkan anak yang termasuk autisme infantil
gejalanya sudah muncul sejak lahir.

Autisme (Veskarisyanti, 2008) merupakan gangguan perkembangan yang secara


umum tampak di tiga tahun pertama kehidupan anak. Gangguan ini berpengaruh pada
komunikasi, interaksi sosial, imajinasi, dan sikap. Autis merupakan gangguan
perkembangan neurobiologis yang sangat kompleks/berat dalam kehidupan yang
panjang, meliputi gangguan pada aspek interaksi sosial, komunikasi, bahasa, perilaku,
dan gangguan emosi serta persepsi sensori bahkan pada aspek motorik.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa autisme


merupakan suatu gangguan perkembangan pervasif yang secara menyeluruh mengganggu
fungsi kognitif dan mempengaruhi kemampuan bahasa, komunikasi, dan interaksi sosial.
Gangguan-gangguan dalam berkomunikasi, interaksi sosial, dan imajinasi sering saling
berkaitan.
Adapun karakteristik lain dari penyandang autisme (dalam Maulana, 2007),
sebagai berikut :

1. Kerusakan kualitatif dalam interaksi sosial yang dimanifestasikan dengan setidaknya


dua dari hal berikut:
a. Kerusakan yang dapat ditandai dari penggunaan beberapa perilaku non verbal
seperti tatapan langsung, ekspresi wajah, postur tubuh, dan gestur untuk mengatur
interaksi sosial.
b. Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya yang tepat menurut
tahap perkembangan.
c. Kekurangan dalam mencoba secara spontanitas untuk berbagi kesenangan,
ketertarikan, atau pencapaian dengan orang lain.
d. Kekurangan dalam timbal balik sosial atau emosional.
2. Kerusakan kualitatif dalam komunikasi yang dimanifestasikan pada setidaknya satu
dari hal berikut:
a. Penundaan dalam atau kekurangan penuh pada perkembangan bahasa.
b. Pada individu dengan bicara yang cukup, kerusakan ditandai dengan kemampuan
untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain.
c. Penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan berbentuk tetap atau bahasa yang
aneh.
d. Kekurangan divariasikan, dengan permainan berpura-pura yang spontan atau
permainan imitasi sosial yang sesuai dengan tahap perkembangan.
3. Dibatasinya pola perilaku yang berulang-ulang dan berbentuk tetap, ketertarikan dan
aktivitas, yang dimanifestasikan pada setidaknya satu dari hal berikut :
a. Meliputi preokupasi dengan satu atau lebih pola ketertarikan yang berbentuk tetap
dan terhalang atau fokusnya abnormal.
b. Ketidakfleksibilitas pada rutinitas non fungsional atau ritual yang spesifik.
c. Sikap motorik yang berbentuk tetap dan berulang.
d. Preokupasi yang tetap dengan bagian dari objek.
Menurut Verkarisyanti (2008) ada sejumlah gangguan pada anak penyandang
autisme, antara lain :

1. Komunikasi

Munculnya kualitas komunikasi yang tidak normal, ditunjukkan dengan (1)


kemampuan wicara tidak berkembang atau mengalami keterlambatan, (2) pada anak
tidak tampak usaha untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitar, (3) tidak mampu
untuk memulai suatu pembicaraan yang melibatkan komunikasi dua arah dengan
baik, dan (4) bahasa yang tidak lazim yang selalu diulang-ulang atau stereotipik.

2. Interaksi sosial

Timbulnya gangguan kualitas interaksi sosial yaitu (1) anak mengalami


kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan bahwa yang tidak berekspresi, (2)
ketidakmampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi kesenangan dan
melakukan sesuatu bersama-sama, (3) ketidakmampuan anak untuk berempati, dan
mencoba membaca emosi yang dimunculkan oleh orang lain.

3. Perilaku

Aktivitas, perilaku, dan ketertarikan anak terlihat sangat terbatas. Banyak


pengulangan terus-menerus dan stereotipik seperti adanya suatu kelekatan pada
rutinitas atau ritual yang tidak berguna, misalnya kalau mau tidur harus cuci kaki
dulu, sikat gigi, pakai piyama, menggosokkan kaki di keset, baru naik ke tempat tidur.
Bila ada satu dari aktivitas di atas yang terlewat atau terbalik urutannya, maka ia akan
sangat terganggu dan menangis bahkan berteriak-teriak minta diulang.

4. Gangguan sensoris

Sangat sensitif terhadap sentuhan, bila mendengar suara keras langsung


menutup telinga, senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda dan tidak
sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.
Adapun penyebab autisme menurut Maulana, di antaranya:

1. Faktor neurobiologis

Gangguan neurobiologis pada susunan saraf pusat. Biasanya, gangguan ini


terjadi dalam tiga bulan pertama masa kehamilan, bila pertumbuhan sel-sel otak di
beberapa tempat tidak sempurna.

2. Masalah genetik

Faktor genetik juga memegang peranan kuat. Pasalnya, banyak manusia


mengalami mutasi genetik yang bisa terjadi karena cara hidup yang semakin modern.
Beberapa faktor yang juga terkait adalah usia ibu saat hamil, usia ayah saat istri
hamil, serta masalah yang terjadi saat kehamilan dan proses melahirkan.

3. Masalah selama kehamilan dan kelahiran

Masalah pada masa kehamilan dan proses melahirkan memiliki resiko autisme
terutama yang terjadi pada masa delapan minggu pertama kelahiran. Ibu yang
mengonsumsi alkohol, terkena virus rubella, menderita infeksi kronis atau
mengonsumsi obat-obatan terlarang diduga mempertinggi resiko autisme. Proses
melahirkan yang sulit sehingga bayi kekurangan oksigen juga diduga berperan dalam
penyebab autisme.

4. Keracunan logam berat

Keracunan logam berat merupakan kondisi yang sering dijumpai ketika anak
dalam kandungan. Keracunan logam seperti timbal, merkuri, cadmium, spasma
infantile, rubella kongenital, sclerosis tuberosa, lipidosis serebral, dan anomaly
kromosom X. Racun dan logam berat dari lingkungan, berbagai racun yang berasal
dari pestisida, polutan udara, dan cat tembok dapat mempengaruhi kesehatan janin.

5. Terinfeksi virus

Lahirnya anak autisme diduga dapat disebabkan oleh virus seperti rubella,
toxoplasmolis, herpes, jamur, nutrisi yang buruk, pendarahan, dan keracunan
makanan pada masa kehamilan yang dapat menghambat pertumbuhan sel otak yang
menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi
pemahaman, komunikasi, dan interaksi.

D. Anak Tunaganda

Anak tunaganda (Veskarisyanti, 2008) anak yang memiliki kombinasi kelainan


(baik dua jenis kelainan atau lebih) yang menyebabkan adanya masalah pendidikan yang
serius, sehingga dia tidak hanya dapat diatasi dengan suatu program pendidikan khusus
untuk satu kelainan saja, melaiankan harus didekati dengan variasi program pendidikan
sesuai kelainan yang dimiliki.
Menurut Departemen Amerika Serikat (dalam Hadis, 2006), anak-anak yang
tergolong tunaganda adalah anak-anak yang mempunnyai masalah-masalah jasmani,
mental, atau emosional yang sangat berat atau kombinasi dari beberapa masalah tersebut
sehingga agar potensi mereka dapat berkembang secara maksimal memerlukan pelayanan
pendidiikan sosial, psikology, dan medis yang melebihi pelayanan program pendidikan
luar biasa secara umum.
Menurut Johnston dan Magrab Tunaganda (dalam Abdul, 2009) adalah mereka
yang mempunyai kelainan perkembangan mencangkup kelompok yang memiliki
hambatan-hambatan perkembangan neorologis yang disebabkan oleh satu atau dua
kombinasi kelainan dalam kemampuan seperti intelegensi, gerak, bahasa atau hubungan
pribadi masyarakat.
Ciri-ciri anak tunaganda dibagi menjadi 2 (dalam Abdul, 2009), yaitu ciri-ciri
secara umum dan khusus.
1. Ciri-ciri secara umum
a. Kurang komunikasi atau sama sekali tidak dapat berkomunikasi
b. Perkembangan motorik dan fisiknya terlambat
c. Seringkali menunjukan perilaku yang aneh dan tidak bertujuan
d. Kurang dalam keterampilan menolong diri sendiri
e. Jarang berperilaku dan berinteraksi yang sifatnya kostruktif
f. Kecenderungan lupa akan keterampilan yang sudah dikuasai 
g. Memiliki masalah dalam megeneralisasikan keterampilan dari suatu situasi ke
situasi lainnya.

2. Ciri-ciri secara khusus


a. Memiliki ketunaan lebih dari satu jenis. Misal : tunanetra dan tunagrahita,
tunanetra dan tunagrahita, tunanetra dan tunarungu-wicara, tunanetra dan
tunadaksa dan tunagrahita, dll
b. Ketidakmampuan anak akan semakin parah atau semakin banyak bila tidak cepat
mendapatkan bantuan. Hal ini disebabkan kegandaannya yang tidak cepat
mendapatkan bantuan
c. Sulit untuk mengadakan evaluasi karena keragaman kegandaannya
d. Membutuhkan instruksi atau pemberitahuan yang sangat terperinci
e. Tidak menyamaratakan pendidikan tunaganda yang satu dengan yang lain walau
mempunyai kegandaan yang sama.

Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya tunaganda (dalam


Abdul, 2009) yaitu :

1. Faktor Keturunan (Hereditas)

Faktor ini berasal dari keturunan atau gen yang dibwakan oleh orangtuanya.

2. Faktor Sebelum Lahir (Prenatal)


1) Ketika dalam kandungan janin mengalami keracunan, kekurangan gizi, atau
terkena infeksi.
2) Saat sedang hamil, ibu yang mengandung menderita penyakit kronis, dan lain-
lain.
3. Faktor Ketika Lahir (Natal)
1) Proses persalinan yang menghabiskan waktu yang lama sehingga kehabisan
cairan.
2) Persalinan yang dibantu dengan menggunakan alat sehingga terdapat syaraf yang
terganggu.
4. Faktor Sesudah Lahir (Post Natal)

Faktor ini disebabkan karena anak mengalami sakit parah atau kronis,
kecelakaan atau karena salah mengonsumsi obat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, dkk. 2009. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Secara Inklusif. Surakarta :

Universitas Sebelas Maret.

Hadis, Abdul. 2006. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistik. Bandung: Alfabeta.

Maulana. 2007. Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain Menuju Anak Cerdas dan
Sehat. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media Group.

Sutratinah, Tirtonegoro. 2001. Anak Supernormal dan Program Pendidikannya. Yogyakarta :

Bumi Aksara.

Veskarisyanti, G. A. 2008. 12 Terapi Autis Paling Efektif dan Hemat : Untuk Autisme,

Hiperaktif, dan Retardasi Mental. Yogyakarta : Pustaka Anggrek.

You might also like