KAMIS 20 APRIL 2023 | 29 RAMADHAN 1444
ID
» OPINI
Mudik, Desa, dan Pengentasan
Daerah Tertinggal
Mudik harus menjadi media pemerataan pembangunan daerah, tangga pengentasan daerah-daerah
tertinggal.
A HALIM ISKANDAR; Menteri Desa
Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi
Sebentar lagi, Ramadhan akan pergi
disertai ketidakpastian, kita dapat atau
tidaknya bersua kembali pada tahun-
tahun yang akan datang. Meski
meninggalkan ketidakpastian, kepergian
Ramadhan selalu dirayakan sebagai
kemenangan umat Muslim seluruh dunia.
Kemenangan merengkuh segala
keistimewaan Ramadhan, kenikmatan
puasa, kelezatan qiyamul lail, keberkahan
zakat dan sedekah, kenikmatan sabar dan
menahan nafsu, serta kehangatan
berserah diri kepada Allah SWT.
Bagi Muslim urban Indonesia,
kemenangan menuntaskan berbagai
pelatihan selama Ramadhan, selalu
dirayakan dengan mudik, pulang ke
kampung halaman. Sebagai media
silaturahim, tentu mudik sekaligus
menjadi terapi psikologis.
Bagi pemudik, mudik adalah
momentum “isi ulang semangat”,
“menambah daya spirit”, agar lebih keras
lagi bekerja di perantauan. Bagi keluarga
di kampung, kehadiran pemudik,
membekaskan motivasi untuk menggapai
kehidupan yang lebih baik seperti dicapai
pemudik.
Tentu, layaknya silaturahim, transfer
spirit, terapi psikologis, momentum
mudik menjadi media berbagi
kebahagiaan pemudik dengan
keluarganya di kampung. Karena itu,
mudik akan meningkatkan peredaran
uang di kampung.
Mudik untuk desa
Sebagai peristiwa budaya dan
keagamaan, mudik haruslah memberikan
dampak ekonomi bagi 75.265 desa
seluruh Indonesia.
Mudik jangan menjadi ajang nostalgia
semata, yang tidak memberikan arti bagi
peningkatan ekonomi desa dan tidak
membekaskan spirit baru, baik bagi
pemudik setelah kembali ke perantauan,
maupun bagi keluarganya di kampung
halamannya.
Mudik harus berimplikasi pada
percepatan penurunan kemiskinan di
desa, yang pada 2022 masih pada angka
12,29 persen, hampir dua kali lipat
kemiskinan di kota yang hanya 7,5
persen.
Spirit dan kebahagiaan yang
dibagikan pemudik, harus mampu
menurukan tingkat pengangguran
terbuka di desa yang pada 2022
mencapai 4,17 persen, serta menekan
ketimpangan di desa, yang pada
September 2022, rasio gini di desa
mencapai 0,313.
Mengentaskan daerah tertinggal
Pada 2023, diperkirakan jumlah
pemudik mencapai 123,8 juta orang, ini
mencapai 45,8 persen dari total populasi
penduduk. Jumlah ini meningkat tajam
dari 2022 yang mencatatkan 85,5 juta
orang atau 31,6 persen populasi
penduduk Indonesia yang mudik.
Tentu, tujuan pemudik ini tersebar di
seluruh Indonesia, ke 416 kabupaten dan
98 kota dari Miangas sampai Pulau Rote,
termasuk menuju daerah-daerah
tertinggal.
Selain berdampak pada kebangkitan
ekonomi desa, tentu sekecil apa pun,
mudik Lebaran harus juga berkontribusi
pada pemerataan ekonomi, yang
sementara ini masih terkonsentrasi di
wilayah Jawa dan Sumatra.
Kita dapat melihat, pembentukan
Produk Domestik Bruto (PDB) nasional
kita pada 1978, karena 78,3 persen
kontribusi wilayah Jawa dan Sumatra,
sedang wilayah Kalimantan, Sulawesi,
Bali dan Nusa Tengara, serta Maluku dan
Papua, hanya berkontribusi 21,7 persen.
Pada 2003, kondisinya semakin
timpang. Ketika wilayah Jawa dan
Sumatra menentukan 82,5 persen PDB
Nasional, sedangkan wilayah Kalimantan,
Sulawesi, Bali dan Nusa Tengara, serta
Maluku dan Papua, hanya menentukan
17,5 persen PDB Nasional.
Karena itulah, Perpres Nomor 7 Tahun
2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJMN) Tahun
2004-2009, mengenalkan daerah
tertinggal, sekaligus mengidentifikasi 199
daerah yang dikategorikan daerah
tertinggal.
KORAN DIGITAL - REPUBLIKA.
Dengan menggunakan kriteria
perekonomian masyarakat, sumber daya
manusia, sarana dan prasarana,
kemampuan keuangan daerah,
aksesibilitas, dan karakteristik daerah.
Mula-mula, daerah tertinggal
ditetapkan 123 kabupaten dengan
persebaran 62 persen di Kawasan Timur
Indonesia, 58 Kabupaten atau 29 persen
berada di Pulau Sumatra, dan 18
kabupaten atau 9 persen berada di Pulau
Jawa dan Bali.
Melalui kementerian/lembaga,
pemerintah daerah, hingga pemerintah
desa, kita bersama-sama melaksanakan
aktivitas pemerataan pembangunan
hingga membuahkan hasil. Pada 2009,
sebanyak 50 daerah tertinggal berhasil
dientaskan.
Sehingga, dari 199 daerah pada 2005,
tersisa 149 daerah tertinggal pada 2009.
Untuk periode 2010-2014, ditetapkan
daerah tertinggal sebanyak 183
kabupaten.
Jumlah ini didasarkan pada 149
daerah tertinggal yang belum
terentaskan pada periode 2005-2009, dan
34 daerah tertinggal baru, yang
merupakan daerah otonom baru, dan
daerah induk yang berstatus daerah
tertinggal.
Kerja-kerja periodik lima tahunan,
kembali membuahkan hasil. Pada 2014,
dari 183 daerah tertinggal, berhasil kita
entaskan 70 kabupaten daerah tertinggal.
Sungguh, ini pencapaian besar yang
diraih bersama-sama seluruh elemen
bangsa Indonesia.
Pada 2014, energi percepatan
pembangunan daerah tertinggal, kembali
bertambah, dengan dimulainya,
implementasi Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 78 Tahun
2014 Tentang Percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal.
Kebijakan ini hendak memobilisasi
semua elemen bangsa untuk
mempercepat pengurangan kesenjangan
antardaerah; mempercepat terpenuhinya
kebutuhan dasar, sarana prasarana dasar
daerah tertinggal; meningkatkan
koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi
antara pemerintahan, dalam konteks
perencanaan, pendanaan dan
pembiayaan, pelaksanaan, pengendalian,
dan evaluasi; serta terselenggaranya
operasionalisasi kebijakan percepatan
pembangunan daerah tertinggal.
Hasilnya, setelah ditetapkan jumlah
daerah tertinggal periode 2015-2019
sebanyak 122 kabupaten daerah
tertinggal yang terdiri atas 113 daerah
tertinggal yang belum entas pada periode
sebelumnya, dan 9 kabupaten daerah
tertinggal dari daerah otonom baru, yang
dimekarkan dari daerah tertinggal.
Alhamdulillah, pada 2019 dari 122
daerah tertinggal, berhasil dientaskan 62
kabupaten dan menyisakan 60 kabupaten
daerah tertinggal.
Periode 2020-2024 ini, Peraturan
Presiden Nomor 63 Tahun 2020 tentang
Penetapan Daerah Tertinggal Tahun
2020-2024, menetapkan 62 daerah
tertinggal yang tersebar di 11 provinsi,
yang terdiri atas 60 daerah tertinggal
yang belum entas pada periode
sebelumnya, dan 2 kabupaten daerah
tertinggal baru, Kabupaten Manokwari
Selatan dan Kabupaten Pegunungan
Arfak, yang merupakan Daerah Otonomi
Baru (DOB) pada 2012.
Sebanyak 62 kabupaten daerah
tertinggal inilah yang harus kita entaskan
hingga 2024.
Tentu kerja ini membutuhkan
komitmen semua stakeholders, butuh
kolaborasi lintas kementerian/lembaga,
perlu kerja sama dan pembagian tugas
yang detail antarlintas sektor pelaku,
yang pasti, harus fokus pada
penyelesaian masalah penyebab
ketertinggalan.
Isu-isu utama dalam pembangunan
daerah tertinggal, teridentifikasi mulai
dari rendahnya Indeks Pembangunan
Manusia (IPM), sebagai indeks komposit
dari indeks daya beli, indeks pendidikan,
dan indeks kesehatan; tingginya
persentase penduduk miskin; hingga
persentase rendahnya ketersediaan
infrastruktur, atau jangkauan akses ke
fasilitas publik, khususnya di desa-desa di
daerah tertinggal. Isu lainnya, tentu
pembentukan Produk Domestik Bruto
Nasional.
Diperlukan energi percepatan dalam
pembangunan daerah demi pengentasan
daerah tertinggal. Untuk itu, desa
memegang peranan penting dan
signifikan dalam pengentasan daerah
tertinggal. Maka itu, desa harus menjadi
beranda depan pembangunan, khususnya
di daerah tertinggal.
Pada momentum mudik tahun ini,
pemahaman ini harus membekali
perayaan hari kemenangan, silaturahim
hingga liburan para pemudik, agar tradisi
keberagamaan ini dapat berdampak pada
percepatan pengentasan daerah
tertinggal.
Mudik harus menjadi media
pemerataan pembangunan daerah,
tangga pengentasan daerah-daerah
tertinggal, agar setara dengan daerah
lainnya.
Mudik harus membangun lorong bagi
kesejajaran langkah bagi daerah-daerah
menuju kemajuan Indonesia yang merata,
dan berkeadilan. Sehingga, mudik tuntas,
desa mentas, daerah tertinggal entas.