You are on page 1of 4

Format Proposal Kegiatan

FORMAT PROPOSAL KEGIATAN


HALAMAN JUDUL
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Lahirnya era Reformasi memberikan angin segar bagi etnis Tionghoa dalam hal kebebasan beragama
maupun ekspresi budaya yang selama tiga dasawarsa dikekang oleh rezim penguasa. Selama berkuasanya rezim
Orde Baru, pola-pola diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tampak nyata dalam aturan pemerintah yang bersifat
larangan maupun restriksi. Hal tersebut terepresentasikan dalam Instruksi Presiden nomor 14 tahun 1967 yang
berisi tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina (Arif, 2016:34). Implikasi dari peraturan tersebut bisa
dilihat semisal pada masa Orde Baru perayaan Imlek dan festival Cap Go Meh tidak dapat dipertontonkan secara
umum karena dianggap melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Tanggok, 2015: 23). Perayaan-
perayaan tersebut terkait erat dengan tradisi ajaran Konfusianisme (Karel Junaedi, 2018: 19). Oleh karena itu,
pencabutan Inpres nomor 14 tahun 1967 melalui Keputusan Presiden normor 6 tahun 2000 (masa kepemimpinan
Presiden Abdurahman Wahid) menjadi titik balik terpenuhinya hak-hak etnis Tionghoa sebagai warga negara yang
setara didepan hukum dengan etnis-etnis lainnya. Perubahan haluan politik dari otoritarianisme menuju
demokratisasi pada akhirnya juga berperan besar dalam tumbuh kembangnya ranah sosial-budaya etnis Tionghoa
yang dapat dengan leluasa mempraktekkan, merayakan maupun mengekspresikan kebudayaan mereka. Ihwal positif
dari hasil era reformasi sebagaimana dipaparkan di atas juga turut dinikmati etnis Tionghoa di kota Singkawang,
provinsi Kalimantan Barat.
Kota Singkawang resmi dibentuk pada 17 Oktober 2001 berdasarkan Undang-Undang nomor 12 tahun 2001
tentang Pembetukan Kota Singkawang (Karel Juniardi, 2018: 19). Adapun kota Singkawang sendiri tidak dapat
dilepaskan dari eksistensi orang-orang Tionghoa. Berdasarkan data statistik pemerintahan kota Singkawang tahun
2011, jumlah penduduk Singkawang sebesar 246.306 jiwa, dengan mayoritas etnis Tionghoa sebesar 42 persen dari
keseluruhan populasi (Tanggok, 2015: 16). Orang-orang Tionghoa yang berada di Singkawang adalah suku bangsa
Hakka yang diduga sebagian besar berasal dari provinsi Guangdong. Mereka bermigrasi ke Singkawang
diperkirakan pada abad 17 (Tanggok, 2015, 18). Ketakterpisahan kota Singkawang dengan etnis Tionghoa juga bisa
dilihat dari etimologi kata Singkawang sendiri yang berasal dari bahasa Hakka Shan Kheu Yong. Shan yang berarti
gunung, kheu artinya mulut sungai dan yong yang artinya lautan. Dengan kata lain Shan Kheu Yong memiliki arti
daratan yang diapit oleh gunung, sungai dan lautan (Tanggok, 2015: 15). Pengaruh kental orang-orang Tionghoa
terhadap kota Singkawang juga tercermin dari julukan “kota seribu kelenteng” dikarenakan banyak berdiri
kelenteng yang merupakan tempat peribadatan etnis Tionghoa. Selain dalam ranah kepercayaan maupun adat
istiadat, etnis Tionghoa juga memberikan nuansa pada kota Singkawang melalui seni budayanya, salah satunya
adalah kesenian Barongsai yang selalu tergelar pada saat perayaan-perayaan seperti Imlek maupun Cap Go Meh.
Kesenian Barongsai sendiri merupakan salah satu produk budaya Tionghoa yang unsur utamanya diambil
dari gerakan-gerakan kungfu. Asal-usul Barongsai dapat dirujuk kurang lebih 1500 tahun yang lalu tepatnya pada
era berdirinya dinasti Qing. Terdapat pada kisah mitologi masyarakat Tionghoa kuno, keberadaan Barongsai
dilatarbelakangi oleh sosok monster bernama Nian yang selalu mendatangi desa. Nian sendiri adalah monster yang
hidup di dasar laut dengan ciri memiliki tanduk, bertaring panjang, berkepala singa dan bertubuh banteng. Monster
tersebut selalu muncul ketika awal musim semi dan memangsa apa saja yang ada di pedesaan. Hingga pada suatu
malam ketika Nian datang, muncul sosok singa yang menghalangi monster tersebut supaya tidak mengacaukan desa
dan melukai warga. terjadi pertarungan dan Nian kalah. Akan tetapi Nian bertekad muncul kembali untuk membalas
dendam. Oleh sebab itu, para tetua agama dan tokoh adat berdiskusi panjang dan memutuskan untuk membuat
mahluk yang menyerupai singa penolong. Para warga membuat kostum singa yang akan dipakaikan untuk warga
yang lihai beladiri kungfu. Selain itu juga disertakan iringan atau alunan musik yang ramai serta suasana desa dibuat
terang berhiaskan cahaya lampion dan ornamen-ornamen berwarna merah disegala penjuru desa. Taktik tersebut
rupanya berhasil karena membuat Nian ketakutan dan tidak lagi berupaya muncul menggangu warga desa (Ana
Islam, 2022: 19-20). Berdasarkan sejarah Barongsai yang lekat dengan unsur mitologi tersebut, pergelaran
Barongsai diadakan sebagai bentuk pengusiran roh-roh jahat dan aura-aura buruk selama perayaan Imlek sekaligus
dipercaya sebagai pembawa keberuntungan. Maka dari itu dalam berbagai perhelatan penting semisal pembukaan
klenteng baru, pergelaran Barongsai senantiasa dihadirkan.
Seiring berjalanya waktu Barongsai mengalami perkembangan yang pada akhirnya tidak melulu
berhubungan dengan aspek spiritual-religius tetapi juga telah merambah ke aspek-apek yang bersifat profan. Dalam
ranah fungsi misalnya saja, Barongsai bukan hanya befungsi untuk kegiatan ritual atau upacara keagamaan tetapi
juga berfungsi sebagai hiburan atau tontonan dan juga pendidikan. Terkait dengan fungsi ritual pergelaran
Barongsai dimaksudkan untuk menyambut dewa Kong Co (dewa rejeki) dan ditampilkan pada saat hari raya
keagamaan Konghucu seperti Imlek, Cap Go Meh dan Tiong Chiu yakni hari kelahiran nabi Konghucu (Perdana,
2017: 6). Kemudian terkait dengan aspek pendidikan, baik praktek pelatihan maupun intepretasi makna-makna
filosofis yang terkandung dalam kesenian Barongsai dapat mendorong terbentuknya sikap-sikap atau kualitas
manusia yang baik seperti kedisiplinan, kerja keras, ketekunan, kesabaran serta tingkat konsentrasi tinggi (Perdana,
2017: 9). Adapun fungsi Barongsai yang ketiga yakni hiburan atau tontonan dimana pada saat ini terkait erat dengan
praktek komodifikasi. Titik tekannya pada atraksi menarik dari pergelaran Barongsai itu sendiri. Walaupun
terdengar negatif, praktek komodifikasi Barongsai sebenarnya menjadi pintu masuk dalam upaya penjagaan tradisi
(Arif, 2016: 46). Praktek komodifikasi seni budaya sendiri secara tidak langsung distimulasi oleh pemerintah
melalui pengembangan program kepariwisataan yang muaranya adalah peningkatan sektor ekonomi masyarakat
(Sudono, 2013: 232).
Berdasarkan paparan mengenai seluk beluk etnis Tionghoa khususnya di kota Singkawang maupun kesenian
Barongsai yang menjadi salah satu penanda identitas kebudayaan etnis tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
pendokumentasian terkait kesenian Barongsai beserta masyarakat maupun unsur kelembagaan pendukungnya.
Dalam konteks masyarakat pendukung tentu saja etnis Tionghoa sendiri maupun non-Tionghoa sedangkan unsur
kelembagaan dapat meliputi klenteng dan vihara, sasana atau sanggar maupun sekolah-sekolah. Upaya dokumentasi
dirasa mendesak dilakukan karena sejauh ini dokumentasi audio-visual belum ada yang memenuhi standar kualitas
baik dari sisi narasi atau cakupan pembahasan maupun dari sisi teknis-sinematografis. Cakupan bahasan sifatnya
hanya parsial atau sekedar untuk kebutuhan jurnalistik. Belum ada dokumentasi audio-visual yang secara
komprehensif menyajikan cakupan bahasan mulai dari sisi historis, teknis, fungsi, eksistensi maupun aspek timbal
balik masyarakat terhadap adanya kesenian Barongsai di kota Singkawang. Tak jauh berbeda dengan sisi teknis
dokumentasi yang sejauh ini mayoritas masih dilakukan secara amatir yang berdampak langsung pada kualitas
audio-visualnya itu sendiri. Dari segi bentuk, dokumentasi yang akan dilakukan berupa naratif-deskriptif, dialogis
ataupun penyataan-pernyataan dari narasumber melalui proses selektif yang dilakukan oleh penulis. Adapun dalam
hal ini penulis memiliki rancangan uraian sistematis perihal konsep dokumentasi yang akan dilakukan sebagai
upaya agar karya dokumentasi tersebut dapat dinikmati secara baik. Beberapa poin dokumentasi diuraikan di bawah
ini sebagai berikut:
1. Prolog:
a. Gambaran umum tentang konteks sejarah dan perkembangan etnis Tionghoa di Indonesia.
b. Pengenalan kota Singkawang sebagai pusat kehidupan etnis Tionghoa dan keberagaman budayanya.
c. Penjelasan mengenai perubahan signifikan yang terjadi pada era Reformasi dan pengaruhnya
terhadap kebebasan beragama dan ekspresi budaya etnis Tionghoa, khususnya dalam perayaan Imlek
dan Cap Go Meh.
2. Latar Belakang Kesenian Barongsai:
a. Penjelasan mengenai asal-usul dan mitologi di balik kesenian Barongsai.
b. Pengantar tentang fungsi dan makna simbolis yang terkandung dalam Barongsai sebagai bentuk
pengusiran roh jahat dan pembawa keberuntungan.
c. Hubungan kesenian Barongsai dengan ajaran Konfusianisme dan perayaan keagamaan Konghucu.
3. Etnis Tionghoa dan Kota Singkawang:
a. Gambaran tentang keberadaan etnis Tionghoa di kota Singkawang dan pengaruhnya terhadap
perkembangan kota tersebut.
b. Penjelasan mengenai jumlah penduduk etnis Tionghoa yang signifikan di Singkawang dan peran
mereka dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi kota.
c. Pengenalan tentang julukan "kota seribu kelenteng" sebagai indikasi adanya banyak kelenteng
sebagai tempat peribadatan etnis Tionghoa.
4. Pergelaran Barongsai di Kota Singkawang:
a. Eksplorasi tentang praktik dan pergelaran Barongsai yang menjadi bagian tak terpisahkan dari
perayaan-perayaan penting seperti Imlek dan Cap Go Meh di Singkawang.
b. Penyajian keindahan gerakan-gerakan kungfu yang diadaptasi dalam Barongsai melalui rekaman
visual yang menggambarkan atraksi dan pertunjukan yang menarik.
c. Tampilkan perbedaan gaya dan elemen khas Barongsai di Singkawang dengan menggambarkan
perbedaan warna kostum, aksesoris, dan jenis gerakan yang ditampilkan oleh para penari.
5. Dampak Era Reformasi dan Komodifikasi Barongsai:
a. Pembahasan tentang perubahan peran dan fungsi Barongsai dalam era Reformasi, tidak hanya
sebagai kegiatan ritual atau upacara keagamaan, tetapi juga sebagai hiburan dan sumber pendidikan.
b. Penyampaian mengenai pengaruh praktek komodifikasi dalam menjaga tradisi Barongsai dan peran
pemerintah dalam pengembangan pariwisata untuk meningkatkan sektor ekonomi masyarakat.
6. Epilog:
Kesimpulan tentang pentingnya kesenian Barongsai sebagai warisan budaya Tionghoa di kota
Singkawang dan peran era Reformasi dalam menghidupkan kembali ekspresi pelaku barongsai.

Selain poin-poin sistematika dokumentasi di atas, terdapat beberapa elemen yang dapat digunakan dalam penyajian
dokumentasi audio-visual ini antara lain:
 Narasi: Suara narator yang menjelaskan konteks sejarah, perubahan sosial dan politik, serta perkembangan
kebebasan beragama dan budaya etnis Tionghoa selama era Reformasi. Narasi harus jelas dan terstruktur
dengan baik untuk memandu penonton melalui cerita yang disampaikan.
 Gambar dan foto: Penggunaan gambar dan foto historis yang menggambarkan situasi dan peristiwa penting
yang berkaitan dengan kehidupan etnis Tionghoa dan kesenian Barongsai di Singkawang. Ini akan
membantu memperkuat narasi dan memberikan gambaran visual tentang perubahan sosial dan kebudayaan
yang terjadi.
 Rekaman Video: Termasuk dalam rekaman video adalah adegan pergelaran Barongsai yang
menggambarkan keindahan gerakan-gerakan kungfu dan atraksi menarik. Rekaman tersebut dapat diambil
dari perayaan Imlek dan Cap Go Meh di Singkawang serta perhelatan lain yang melibatkan kesenian
Barongsai.
 Wawancara: Melibatkan wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat Tionghoa Singkawang, seperti
budayawan, seniman Barongsai, tokoh adat, atau pemimpin kelenteng. Wawancara ini akan memberikan
perspektif langsung dan pengalaman pribadi tentang pentingnya kesenian Barongsai dalam konteks budaya
Tionghoa di Singkawang.
 Musik dan Suara: Penggunaan musik tradisional Tionghoa, seperti alat musik tradisional dan komposisi
khas, akan memberikan suasana yang relevan dan mendalam pada dokumentasi audio-visual ini. Suara-suara
yang jelas dan kualitas yang baik untuk menambahkan pengalaman audio yang optimal.
 Visualisasi Data: Jika memungkinkan, penggunaan grafik atau animasi data dapat memberikan gambaran
statistik tentang jumlah penduduk etnis Tionghoa di Singkawang, perkembangan populasi, dan dampaknya
pada kehidupan kota.

Penulis memastikan kesinambungan cerita dan pengalaman yang menarik bagi penonton. Gaya penyajian
yang baik melibatkan transisi yang halus antara narasi, gambar, rekaman video, dan elemen lainnya untuk
menciptakan pengalaman yang koheren dan menyeluruh. Selain itu, pilihan musik, suara, dan tampilan visual
disesuaikan untuk mendukung narasi dan menciptakan suasana yang sesuai dengan konteks dokumentasi karya
budaya.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, judul yang akan dipilih dalam konsep dokumentasi Karya
Budaya ini adalah Barongsai: Pusaka Budaya Tionghoa di Kota Singkawang.

B. Tujuan
C. Tema
D. Manfaat
E. Dampak

BAB II KEGIATAN
A. Susunan Panitia Kegiatan
B. Konsep Kegiatan
Konsep dalam kegiatan dokumentasi Audio Visual Karya Budaya Barongsai di Kota Singkawang berkolerasi pada
tujuan pendokumentasian dan penyajian kekayaan budaya Barongsai di Kota Singkawang melalui media audio
visual untuk memperkenalkannya kepada masyarakat secara luas dan melestarikannya sebagai warisan budaya yang
penting. Sasaran lokasinya adalah Kota Singkawang, terutama kelenteng-kelenteng, sasana, sanggar serta tempat-
tempat perayaan budaya Tionghoa yang relevan. Rencana durasi yang dipilih adalah sepanjang 24 Menit.
C. Waktu dan Tempat Kegiatan
D. Rincian Anggaran dan Biaya (RAB)
E. Data Dukung berupa referensi harga sebagai dasar pembuatan Rincian
Anggaran dan Biaya (RAB)

BAB III PENUTUP

You might also like