You are on page 1of 29

Respon Seluler Terhadap Jejas, Adaptasi dan Kematian Sel

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas dari Mata Kuliah Potologi yang di
ampu oleh :
Upik Rahmi, S. Kp., M.Kep

Disusun Oleh :
Athalia Luthfiyyah (1800771)
Dea Mahendra (1800769)
Rinanda Septiani (1800835)
Suliaswati (1807597)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS PENDIIDKAN OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas segala karunia nikmatnya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Respon Seluler
Terhadap Jejas, Adaptasi dan Kematian Sel” ini dapat diselesaikan dengan
maksimal. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok dari mata
kuliah Patologi.

Makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya tidak lepas dari
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu
persatu. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.

Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam penyusunan


makalah ini, baik dari segi EBI, kosa kata, tata bahasa, etika maupun isi. Oleh
karenanya kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sekalian untuk kami jadikan sebagai bahan evaluasi.

Demikian, semoga makalah ini dapat diterima sebagai ide atau gagasan
yang menambah kekayaan intelektual bangsa.

Bandung, 17 Februari 2019

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................3

1.1 Latar Belakang...............................................................................................3

1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................3

1.3 Tujuan.............................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................15

2.1 Jejas..............................................................................................................15

2.2 Respon Adaptasi Sel terhadap Rangsang Patologis.....................................17

2.3 Iskemia.........................................................................................................20

2.3 Iskemia.........................................................................................................20

2.4 Hipoksia........................................................................................................21

2.5 Apoptosis......................................................................................................23

2.6 Proses Penuaan (Aging Process) Sel............................................................32

BAB III PENUTUP..............................................................................................36

3.1 Kesimpulan...................................................................................................36

3.2 Saran............................................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................37
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sel merupakan unit kehidupan terkecil yang ada, dalam kehidupannya sel mampu
melakukan berbagai aktivitas metabolisme yang dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Di dalam sel terdapat membran plasma, nukleus, sitoplasma, dan organel-organel
yang melakukan peranannya masing-masing. Setiap sel menjalin suatu hubungan
satu sama lain melalui berbagai cara membentuk suatu jaringan, kemudian, organ,
sistem organ, dan pada akhirnya orgenisme. Patologi sebagai ilmu mengenai
penyakit mempelajari sel sebagai unit kehidupan terkecil yang menjadi proses
awal mula terjandinya patogenesis.

Apabila sel mendapat suatu stimulus maka akan terjadi suatu response sebagai
usaha sel untuk tetap mempertahankan fungsi kehidupannya, karena itulah sel
memiliki kemampuan untuk melakukan adaptasi. Sel yang beradaptasi ini bisa
jadi mengalami perubahan struktural maupun fungsional baik secara kuantitatif
maupun kualitatif. Apabila sel gagal melakukan adaptasi maka sel akan
mengalami kematian sel. Melalui makalah ini penulis menyusun apa, bagaimana,
serta perubahan apa sajakah yang terjadi selama proses adaptasi berlangsung.
Kemudian lebih jauh lagi penulis memaparkan proses terjadinya nekrosis dan
apoptosis beserta contoh kemudian aging process.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian jejas, penyebab, dan mekanisme?

2. Bagaimana respon adaptasi terhadap rangsang patologis?

3. Apa penyakit iskhemia?

4. Apa penyakit hipoksia?


5. Bagaimana kematian sel terprogram apoptosis?

6. Bagaimana penuaan sel?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian jejas, penyebab, dan mekanisme dari jejas


2. Mengetahui respon adaptasi terhadap rangsang patologis
3. Mengetahui penyakit iskhemia
4. Mengetahui penyakit hipoksia
5. Mengetahui kematian sel terprogram apoptosis
6. Mengetahui bagaimana penuaan sel
BAB II

PEMBAHASAN

Sel melakukan perubahan fungsi dan struktur dalam usahanya mempertahankan


kondisi keseimbangan tubuh normal. Apabila tubuh mengalami stres fisiologis
ataupun adanya proses yang abnormal, maka sel akan melakukan adaptasi.
Kegagalan adaptasi sel berakibat pada cedera sel yang bisa bersifat reversible
(dapat kembali normal) ataupun irreversible (tidak kembali normal). Apabila
cedera sel sangat berat sehingga tidak dapat kembali normal maka sel akan mati
melalui 2 cara yaitu apoptosis (bunuh diri, sebagai kematian sel yang alami) atau
nekrosis (rusak, sehingga mati). Adaptasi sel merupakan respons sel terhadap
cedera yang tidak mematikan dan bersifat menetap (persistent). Ada 4 cara yang
dilakukan yaitu atrofi, hipertrofi, hiperplasia, dan metaplasia.1

2.1 Jejas

2.1.1 Pengertian
Jejas sel (cedera sel) terjadi apabila suatu sel tidak lagi dapat beradaptasi terhadap
rangsangan. Hal ini dapat terjadi bila rangsangan tersebut terlalu lama atau terlalu berat.
Sel dapat pulih dari cedera atau mati bergantung pada sel tersebut dan besar serta jenis
cedera. Apabila suatu sel mengalami cedera, maka sel tersebut dapat mengalami
perubahan dalam ukuran, bentuk, sintesis protein, susunan genetik, dan sifat
transportasinya.
Berdasarkan tingkat kerusakannya, cedera atau jejas sel dikelompokkan menjadi 2
kategori utama yaitu jejas reversible (degenerasi sel) dan jejas irreversible (kematian
sel). Jejas reversible adalah suatu keadaan ketika sel dapat kembali ke fungsi dan
morfologi semula jika rangsangan perusak ditiadakan. Sedangkan jejas irreversible
adalah suatu keadaan saat kerusakan berlangsung secara terus-menerus, sehingga sel
tidak dapat kembali ke keadaan semula dan sel itu akan mati. Cedera menyebabkan
hilangnya pengaturan volume pada bagian-bagian sel.
2.1.2 Penyebab Jejas Sel
1. Hipoksia
a. Daya angkut oksigen berkurang: anemia, keracunan CO
b. Gangguan pada sistem respirasi
c. Gangguan pada arteri: aterosklerosis
2. Jejas fisik
a. Trauma mekanis: ruptura sel, dislokasi intraseluler
b. Perubahan temperatur: vasodilatasi, reaksi inflamasi
c. Perubahan tekanan atmosfer
d. Radiasi
3. Jejas kimiawi
a. Glukosa dan garam-garam dalam larutan hipertonis yang dapat
menyebabkan gangguan homeostasis cairan dan elektrolit
b. Oksigen dalam konsentrasi tinggi
c. Zat kimia, alkohol, dan narkotika
4. Agen biologik: virus, bakteri, fungi, dan parasit
5. Reaksi imunologik
a. Anafilaktik
b. Autoimun
6. Faktor genetik: sindroma Down, anemia sel sabit
7. Gangguan nutrisi: defisiensi protein, avitaminosis

2.1.3 Jenis-jenis jejas


1. Jejas Reversible (oedem, cloudy swelling)
Contoh: degenerasi hidropik.
Degenerasi ini menunjukkan adanya edema intraselular, yaitu adanya peningkatan
kandungan air pada rongga-rongga sel selain peningkatan kandungan air pada
mitokondria dan retikulum endoplasma. Pada mola hidatidosa telihat banyak
sekali gross (gerombolan) mole yang berisi cairan. Mekanisme yang mendasari
terjadinya generasi ini yaitu kekurangan oksigen, karena adanya toksik, dan
karena pengaruh osmotik.
2. Jejas Irreversible
Terdapat dua jenis jejas irreversible (kematian sel) yaitu apotosis dan nekrosis.
Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram. Sedangkan nekrosis
merupakan kematian sel/jaringan pada tubuh yang hidup di luar dari kendali. Sel
yang mati pada nekrosis akan membesar dan kemudian hancur dan lisis pada
suatu daerah yang merupakan respons terhadap inflamasi (Lumongga, 2008). Jadi,
perbedaan apoptosis dan nekrosis terletak pada terkendali atau tidaknya kematian
sel tersebut.

2.1.4 Mekanisme Jejas Sel


Respon seluler terhadap stimulus yang berbahaya bergantung pada tipe cedera,
durasi, dan keparahannya. jadi toksin berdosis rendah atau iskemia berdurasi
singkat dapat menimbulkan jejas sel yang reversible. begitu pula sebaliknya..
jadi jejas tersebut bisa terlihat atau tidak itu tergantung pada durasi iskemia dan
kadar toksin yang terkandung didalam jejas tersebut.
Respon imun yang abnormal. Mekanisme kerusakan sel yaitu: reversible cell
injury dan irreversible injury and cell death. Reversible cell injury adalah suatu
keadaan ketika sel dapat kembali ke fungsi dan morfologi semula jika rangsangan
perusak ditiadakan. Irreversible injury and cell death adalah suatu keadaan saat
kerusakan berlangsung secara terus-menerus, sehingga sel tidak dapat kembali ke
keadaan semula dan sel itu akan mati. Ada dua tipe kematian sel, yaitu nekrosis
dan apoptosis. Nekrosis dan apoptosis dapat dibedakan dari segi morfologi,
mekanisme, dan fisiologi.

respon imun yang abnormal merupakan respon dari kekebalan tubuh terhadap
suatu keadaan yang dapat menimbulkan jejas sel. sebagai contoh dalam
Skleroderma terjadi pada fase vaskuler. pada fase tersebut dari respon imun yang
abnormal mengakibatkan akumulasi lokal faktor-faktor pertumbuhan yang
menggerakkan proliferasi fibroblas dan menstimulasi sisntesis kolagen.
Kekurangan imun dapat menyebabkan jejas kekurangan nutrisi yang dimaksud
adalah kekuarangan suatu zat yang sanagt diperlukan untuk sel tersebut.
misalnya terjadi defisiensi protein. defisiensi protein ini akan menyebabkan
terganggunya pertumbuhan dan pemeliharaan pada jaringan, sehingga akan timbul
jejas yang akan merugikan bagi tubuh.

2.2 Respon Adaptasi Sel terhadap Rangsang Patologis

Dalam menjalankan aktivitasnya, sel mendapat rangsang dari lingkungan. Sel


cenderung untuk mempertahankan kondisi yang sesuai dengan lingkungannya
tersebut. Untuk itu sel melakukan adaptasi. Adaptasi sel sendiri adalah reaksi sel
terhadap rangsang dari luar untuk mempertahankan fungsi sel tersebut. Adaptasi
sel ini dapat berupa atrofi, hipertrofi, hyperplasia, metaplasia, dan induksi.

1. Atrofi

Penyusutan ukuran sel akibat berkurangnya substansi sel sehingga jaringan dan
organ yang tersusun atas sel tersebut menjadi lebih kecil. Sel yang mengalami
atrofi akan mengalami penurunan fungsi sel tetapi sel tersebut tidak mati. Atrofi
dapat disebabkan oleh penurunan load kerja (misalimobilisasi),
kehilanganinervasi, penurunansuplaidarah, nutrisi tidak adequat, kehilangan
stimulasi endokrin, penuaan (senile atrophy).

2. Hipertrofi

Pertambahan ukuran sel sehingga jaringan atau organ yang tersusun atas sel
tersebut menjadi lebih besar pula. Pada organ yang mengalami hipertrofi, tidak
dijumpai sel baru melainkan hanya selnya saja yang bertambah besar. Sel tersebut
menjadi lebih besar karena sintesis komponen dan struktur sel yang bertambah.
Contoh hipertrofi patologis adalah pembesaran jantung pada penderita hipertensi.
Hal ini terjadi karena hormone adrenal diproduksi berlebih sehingga memacu
jantung untuk memompa darah lebih cepat. Kerja jantung menjadi lebih berat
sehingga terjadilah hipertrofi pada jantung.

Gambar. 2.2.1 Hipertrofi pada jantung


3. Hyperplasia

Pertambahan jumlah sel dalam suatu jaringan atau organ sehingga jaringan atau
organ menjadi lebih besar ukurannya dari normal. Pada hyperplasia terjadi
pembelahan sel atau mitosis. Hal inilah yang mengakibatkan jumlah sel
bertambah. Hyperplasia patologis biasanya disebabkan oleh sekresi hormone yang
berlebihan. Misalnya hiperplasia endometrium yang terjadi akibat adanya
gangguan keseimbanganantara estrogen dan progesteron, yang menyebabkan
mentruasi abnormal. Kutil pada kulit disebabkan oleh peningkatan ekspresi
berbagai factor transkripsi oleh papillomavirus, setiap stimulasi tropik minor pada
sel oleh factor pertumbuhan menghasilkan aktivitas mitotic.

Gambar. 2.2.2 Hiperplasia endometrium

4. Metaplasia

Perubahan reversible dalam tipe sel dewasa (epithelial atau mesenchimal) yang
digantikan oleh tipe sel dewasa lain. Pada tipe adaptasi sel ini, sel-sel sensitive
kepada stress khusus digantikan oleh tipe sel lain yang lebih baik untuk dapat
bertahan terhadap lingkungan yang merugikan. Misal pada perokok : sel epitel
silindris bersilia pada trakea dan bronchi diganti dengan epitel pipih berlapis.2

5. Induksi

Merupakan hipertrofi pada reticulum endoplasmic, tempat kemampuan adaptasi


sel pada bagian sub seluler. Misalnya pada waktu individu yang menggunakan
obat tidur dalam waktu lama, reticulum endoplasmic sel hepatosit akan melakukan
hipertrofi terhadap obat tidur ini. Hal ini disebabkan oleh barbiturate akan
didetoksifikasi di hepar sehingga untuk dapat tidur memerlukan dosis obat yang
semakin besar.

Gambar Bentuk Sel Cedera

2.3 Iskemia

2.3 Iskemia

Keadaan kekurangan kandungan oksigen. Hal itu bisa disebabkan oleh


penyumbatan pada aliran darah. Iskemia merupakan factor penyebab terjadinya
degenerasi yang paling sering muncul. Iskemia pada organ dapat menyebabkan
hypoxia pada sel. Berikut adalah skema dari terjadinya degenerasi selakibat
iskemia:

Kekurangan kadar oksigen Air masuk ke dalam sel Penimbunan air di sitoplasma

-Kelebihan ion
natrium atau ion
Metabolisme sel alsium dikldalam se Organel-organel
menjadi anaerob -Terganggunya aktivitas enzim membengkak

-Produksi ATP menurun


-Energi aktivasi pompa ion menurun
-Peningkatan asam laktat
-Penurunan pH sel sel membengkak

Gbr. 2.2 Skema terjadinya vakuol change pada sel


Diabetes starvation Peningkatan produksi asam lemak bebas/FFA (Free Fatty Acids)

Peningkatan esterifikasi Trigliserida terakumulasi


Alkohol asam lemak menjadi trigliserida

Penurunan oksidasi asam lemak bebas


Hypoxia

Toksik
Pengurangan Terganggunya pengeluaran trigliserida oleh lipop
Malnutrisi ketersediaan apoprotein

Gambar. 2.4.1 Skema terjadinya fatty change pada sel

2.4 Hipoksia

Hipoksia merupakan kondisi di mana berkurangnya suplai oksigen ke jaringan di


bawah level normal yang tentunya tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh.
Terdapat 4 macam klasifikasi hipoksia berdasarkan Best dan Taylor:
1. Hipoksia hipoksik, merupakan bentuk tersering dari hipoksia, terjadi ketika
terdapat gangguan pertukaran oksigen di paru-paru. Beberapa penyebabnya antara
lain:

 Kondisi di mana tekanan parsial oksigen menurun seperti pada ketinggian


tertentu dari permukaan laut;
 Kondisi yang memblokade pertukaran oksigen pada tingkat alveolus dengan
pembuluh darah kapiler, seperti: pneumonia (radang paru), asma,
tenggelam;
 Lain-lain, seperti penjeratan leher, terhirupnya asap (pada kebakaran),
penyakit jantung bawaan seperti Tetralogy of Fallot.

2. Hipoksia anemik, terjadi ketika tubuh tidak mampu mengangkut oksigen yang
tersedia ke jaringan target. Penyebab hal ini antara lain:
 Anemia berat karena kehilangan darah baik akut maupun kronis. Anemia
yang bersifat ringan-sedang tidak akan menyebabkan hipoksia anemik
karena tubuh masih dapat mengkompensasi walaupun pasien akan tetap
mengalami hipoksia jika melakukan aktivitas;
 Keracunan karbon monoksida (CO);
 Obat-obatan seperti aspirin, sulfonamid, nitrit;
 Methemoglobinemia (kondisi di mana terdapatnya methemoglobin, suatu
pigmen darah hemoglobin yang tidak normal, pada darah);
 Penyakit seperti anemia sel sabit, anemia defisiensi besi, anemia aplastik,
anemia hemolitik.

3. Hipoksia stagnant, terjadi ketika tidak adanya aliran darah yang cukup ke jaringan
target. Organ yang paling terpengaruh adalah ginjal dan jantung karena mereka
memiliki kebutuhan oksigen yang tinggi. Penyebab hal ini antara lain:

 Gagal jantung;
 Menurunnya volume darah yang bersirkulasi;
 Melebarnya pembuluh darah vena;
 Darah vena yang tidak bisa mengalir baik akibat G-forces (seperti yang
dialami oleh para pengemudi pesawat-pesawat tempur atau aerobatik).

4. Hipoksia histotoksik, terjadi ketika jaringan tubuh tidak dapat menggunakan


oksigen yang sudah dialirkan ke mereka. Kasus ini bukan merupakan hipoksia
sebenarnya karena tingkat oksigenisasi jaringan dapat normal atau lebih dari
normal. Penyebab hal ini sebagian besar berupa racun, antara lain:

 Keracunan sianida;
 Konsumsi alkohol;
 Narkotika.

Penyebab
Penyebab hipoksia dapat dilihat dari penyebab terjadinya sianosis
sentral dan perifer. Sianosis sentral dapat disebabkan oleh:
 Kondisi di mana kadar oksigen berkurang seperti: daerah ketinggian, fungsi paru-
paru yang sudah berkurang, hubungan yang tidak selaras antara oksigen yang
masuk ke paru dan oksigen yang dapat dialirkan oleh darah ke seluruh tubuh,
beberapa tipe penyakit jantung bawaan;
 Hemoglobin dengan afinitas (ketertarikan) yang rendah terhadap oksigen;
 Kelainan dari hemoglobin
 seperti: methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia, karboksihemoglobinemia.Seda
ngkan sianosis perifer dapat disebabkan oleh:

 Kondisi yang dapat menyebakan menurunnya curah jantung (volume darah yang
dipompakan jantung ke seluruh tubuh tiap menit);
 Paparan terhadap dingin;
 Sumbatan pada pembuluh darah arteri atau vena.

2.5 Apoptosis

Apoptosis merupakan kematian terprogam sel, di mana sel mengaktifkan enzim


untuk menghancurkan inti sel dan protein sitopklasmik. Apoptosis berasal dari
bahasa Yunani yang berarti falling off atau gugur, terjadi pelepasan organ-
organ/protein dalam inti sel ke sitoplasma serta kondensasi dan fragmentasi DNA,
namun membrane sel tetap utuh. Karakteristik apoptosis adalah hilangnya
integritas membrane sel, kebocoran konten seluler, serta pencernaan enzimatis
dalam sel (makrofag mencerna badan apoptotic).

Kematian terprogram sel ini penting untuk menjaga kestabilan proliferasi dan
eliminasi sel, misalnya:

1. Menjaga ketetapan ukuran organ dewasa (agar mencapai ukuran normal,


tidak berkembang menjadi lebih besar)

2. Pembentukkan dan perkembangan organ tubuh pada embrio, misalnya


penghancuran selaput pada jari tangan dan kaki.
3. Atrofi fisiologis dan involusi, seperti yang terjadi pada sel tumor, kanker,
serta leukemia.

a. Tahapan Apoptosis

Secara umum, proses apoptosis terjadi melalui dua tahap penting yaitu tahap
kematian sel serta tahap eliminasi sel yang dilakukan oleh sel lain seperti
makrofag.

1. Tahap kematian

Akibat perubahan metabolic dalam sel yang tidak dapat diadaptasi oleh sel,
terjadi kondensasi inti sel dan sitoplasma, namun membrane plasma tetap
utuh.

Kemudian terjadi fragmentasi DNA dan pemecahan sel menjadi badan


apoptotic yang masing-masingnya dikelilingi oleh membrane plasma, di
mana beberapa badan mengandung hasil fragmentasi DNA.

2. Tahap eliminasi sel


Badan apoptotic mensekresikan signal-signal pengenal yang dapat
diidentifikasi oleh makrofag, sehingga sel lain/makrofag mengelilingi dan
memakannya.

Fagositosis badan
apoptosis

oleh makrofag

b. Mekanisme Apoptosis

Mekanisme apoptosis pada sel melalui sebuah tahapan penting yaitu aktivasi
enzim kaspase/caspase (cystein proteases that cleave proteins after aspartic
residues).

Cystein yang aktif akan menuju sel dan mendegenerasi DNA dan enzim intrasel
serta menghancurkan nucleoprotein dan protein sitoskeletal yang menyebabkan
kerusakan integritas membrane sel.

Terdapat dua jalur pengaktivasi kaspase, yaitu intrinsic atau jalur mitokondrial
serta ekstrinsik atau jalur death reseptor.
Gambar. 3.5 Proses terjadinya apoptosis

1. Jalur mitokondrial / intrinsic

Mitokondria mengandung beberapa sitokrom c yaitu protein yang dapat


memicu terjadinya apoptosis. Pilihan sel untuk hidup atau mati ditentukan
oleh permeabilitas mitokondira yang dikontrol oleh lebnih dari 20 macam
protein, di mana prototype-nya adalah enzim Bcl-2.

Sel yang tidak mampu untuk beradaptasi terhadap stimulus, mengalami


kerusakan DNA. Hal ini akan mengaktivasi inhibitan protein Bcl-2 yang
kemudian mengaktivasi dimer pro-apoptotis yaitu Bax dan Bak. Dimer ini
akan masuk ke membrane mitokondria, membentuk saluran pelepas sitokrom
c, sehingga protein mitokondria keluar ke sitoplasma.

Sitokrom c dan beberapa kofaktor lain mengaktigkan caspase-9, sedangkan


protein lain menghambat enzim antagonis caspase. Hasil akhir dari aktivasi
caspase ini adalah fragmentasi DNA. Jika sel diekspos ke dalam faktor
pemicu pertumbuhan/faktor survival lain akan terjadi aktivasi protein Bcl-2
dan Bcl-x1 yaitu protein pro-apoptosis yang menyebabkan keseimbangan
dalam sel kacau, akhirnya berujung pada kematian sel.

2. Jalur death reseptor / ekstrinsik

Beberapa sel memiliki molekul ekstrinsik yang memicu apoptosis, disebut


juga death receptor. Kebanyakan molekul tersebut adalah anggota dari
Tumor Necrosis Factor (TNF) yang mengandung daerah kematian,
merupakan mediator interaksi antar sel. Prototype death receptor adalah TNF
tipe 1 dan Fas (CD95). Ligan fas adalah protein membrane yang
diekspresikan saat aktivasi limfosit T. Ketika limfosit T emnemukan target
(ekspresor Fas), molekul Fas bertautan dengan ligan Fas membentuk protein
adapter yang bisa mengikat caspase-8. Pengikatan beberapa caspase memicu
terjadinya apoptosis. Capspase-8 membelah dan mengaktivasi anggota Bcl-2
yaitu Bid, protein pro-apoptosis, yang dapat berlanjut pada jalur
mitokondrial. Kombinasi kedua jalur menyebabkan sel pecah dan letal.

Protein sel sebenarnya mengandung protein FLIP yang menghalangi aktivasi


caspase (antagonis dengan caspase). Pada beberapa virus, FLIP digunakan
untuk mempertahankan sel yang terinfeksi.

Tahapan akhir dari apoptosis sel adalah perubahan membrane, di mana


phosphadatildilserine yang pada normalnya hanya tedapat di bagian dalam
membrane sel berputar menghadap sisi luar membrane yang dapat
diindentifikasi oleh makrofag sebagai badan apoptotic, sehingga akan dicerna
olehnya.

Nekrosis

Nekrosis merupakan suatu peristiwa matinya sel pada organisme yang masih
hidup. Perbedaan apoptosis dan nekrosis terlihat pada hilangnya integritas
membran sel, pelepasan enzim hidrolisis, serta debris yang dilepaskan ke CES
pada akhirnya memicu serangkaian reaksi inflamasi. Meskipun terdapat beberapa
proses yang dapat menjadi penanda terjadinya nekrosis, proses-proses ini pada
umumnya tidak nampak jika dilihat melalui mikroskop hingga beberapa jam
setelah awal terjadinya nekrosis. Perubahan morfologis ini sebenarnya diakibatkan
oleh adanya denaturasi protein intraselular dan pencernaan enzimatis sel yang
telah menaglami jejas seluler letal. Sel yang mengalami nekrosis menunjukkan
peningkatan eosinofil pada hematoksilin dan eosin. Sel ini juga akan tampak lebih
mengkilap dibanding sel disekelilingnya. Setelah enzim lisosom melakukan
autodigestion pada organel sitoplasmik, sitoplasma akan mengalami vakuolisasi.
Sel yang telah mati akan digantikan massa fosfolipid berukuran besar yang
disebut myelin figure—berasal dari membran sel yang telah rusak. Struktur ini
kemudian akan mengalami presipitasi dan kemudian difagosit selsel
disekelilingnya atau mengalami degradasi menjadi asam lemak.
Proses terjadinya nekrosis diawali dengan perubahan morfologis pada sel yaitu
piknosis, kariorheksis, dan kariolisis. Pada tahapan piknosis, nukleus mengalami
kondensasi, batasnya menjadi tak teratur, serta berwarna gelap. Kemudian inti
akan hancur mnejadi fragmen-fragmen, proses ini disebut kariorheksis. Tahapan
terakhir adalah hancurnya nukleus secara keseluruhan, proses ini disebut
kariolisis. Berdasarkan lokalisasi dan luas area yang mengalami nekrosis dibagi
menjadi beberapa jenis:

1. Nekrosis fokal: apabila nekrosis hanya terjadi pada lobulus sel, misalnya
lobulus hepatosit.
2. Nekrosis zonal: terjadi pada seluruh area lobulus akibat adanya kesamaan
fungsi. Nekrosis jenis ini dibagi lagi menjadi tiga yaitu (1) nekrosis sentral,
(2) nekrosis midzonal, dan (3) nekrosis tepi.
3. Nekrosis masif dan submasif: ditemukan pada nekrosis sentral yaitu
pembentukan jembatan nekrosis antar lobulus berdampingan.

Akibat terjadinya nekrosis tentu saja tubuh kehilangan fungsi dari area yang mati.
Area yang mengalami nekrosis akan menjadi sumber infeksi bagi sel
disekelilingnya, bahkan jika tidak terinfeksi sekalipun adanya sel yang mengalami
nekrosis akan mengakibatkan perubahan sestemik tertentu seperti demam,
peningkatan jumlah leukosit, dan beberapa gejala lain.

Nekrosis terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu :

1. Coagulative nekrosis, biasanya nekrosis ini trjadi di ginjal, hati dan miokard.
Nekrosis koagulative ialah akibat hipoksia, dimana menyebabkan
terjadinya denaturasi protein dalam albumin.
Gbr. 4.1 Coagulative necrosis

2. Liquefactive necrosis/nekrosis mencair.Nekrosis ini terjadi apabila autolysis


dan heterolysis melebih denaturasi protein. Daerah nekrotik melunak,
kemudain terisi oleh cairan. Nkerosis mencair biasa terlihat dalam otak dan
onfeksi bakteri local (abses).

Gbr. 4.2 Liquevactive necrosis

3. Caseous necrosis. Nekrosis ini khas terjadi dalam penyakit tuberculosis.


Secara makroskopik, terlihat sebagai bahan lunak,rapuh dan menyerupai
keju. Sedangkan secara mikroskopik, terlihat seperti kepingan-kepingan.
Nekrosis Caseous terjadi pada penyakit tuberculosis. Adanya reaksi
hipersensitivitas menyebabkan adanya peradangan dan nekrosis. Nekrosis
bagian sentral lesi menggambarkan bentuk yang padat, menyerupai keju..
Ini yang disebut dengan nekrosis kaseous. Daerah yang mengalami
nekrosis kaseous dapat mengalami respon pencairan dan bahan cair lepas
ke brankeous yang kemudian menimbulkan kavitas
Gbr. 4.3 Caseous necrosis

4. Fat necrosis. Biasa terjadi di payudara dan pancreas. Hal ini disebabkan
karena adanya disolusi sel oleh enzim lipase. Hasilnya yang berupa asam
lemak, kemudian bergabung dengan natrium, calcium dan magnesium.
Penggabungan ini membentuk endapan putih. Secara histologik, lemak
nekrotik menunjukkan baying-bayang sel dan bintik-bintik basofilik karena
deposisi kalsium.

Gbr. 4.4 Fat necrosis

Nekrosis pada penyakit diabetes terjadi seperti berikut:

Pada orang diabetes, kadar glukosannya tinggi sehingga daerahnya pun pekat.
Akibatnya, aliran darah pun melambat. Aliran yang lambat menyebabkan
lemaklemak yang terkandung dalam darah, mengendap atau menempel di
pembuluh darah. Inilah yang disebut dengan artherosklerosis, yang menyebabkan
darah pun tersumbat. Aliran di kapiler darah pun ikut tersumbat. Alhasil, sel pun
kekurangan nutrisi. Inilah yang menyebabkan nekrosis dan kemudian membentuk
gangrene.
Gbr. 4.5 Proses terjadinya apoptosis dan nekrosis

Perbedaan Proses Apoptosis dan Nekrosis

APOPTOSIS NEKROSIS

Kematian sel per sel Melibatkan sekelompok sel

Membran sel akan mengalami Mengalami kehilangan integritas


penonjolan-penonjolan ke luar tanpa

disertai hilangnya integritas membran membran

Sel terlihat menciut, dan akan Sel akan terlihat membengkak untuk
membentuk badan apoptosis kemudian mengalami lisis

Lisosomnya utuh Terjadi kebocoran lisosom

Kromatin sel terlihat bertambah Kromatinnya bergerombol dan terjadi


kompak dan membentuk massa padat agregasi
yang uniform

Tidak terlihat adanya sel-sel radang di Respon peradangan yang nyata di sekitar
sekitar sel yang mengalami apoptosis sel-sel yang mengalami nekrosis
Dimakan oleh sel yang berdekatan atau Tidak dimakan oleh makrofag
berbatasan langsung denganya dan
beberapa makrofag

Terjadi aktivasi enzym spesifik untuk Enzym-enzym mengalami perubahan


transduksi signal dan eksekusi atau inaktivasi

Terjadi DNA fragmentasi non random Fragmentasi terjadi secara random


sehingga jika DNA yang diekstrak dari
sel yang mengalami apoptosis di
elektroporesis dengan agarose akan
terlihat gambaran seperti tangga (DNA
ladder)

2.6 Proses Penuaan (Aging Process) Sel

Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan


kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan
fungsi normalnya sehingga tidak dapatfungsi normalnya sehingga tidak dapat
bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho,
2000)

Secara umum terdapat beberapa teori penuaan;

- Sel memiliki keterbatasan proses pembelahan

- Perbaikan DNA yang tidak efisien, kerusakan radikal bebas, kegagalan


katobolisme protein
- Kumulatif injury
Penuaan pada manusia dipengaruhi oleh faktor genetik; diet; kondisi sosial; dan
adanya penyakit yang berhubungan dengan usia seperti arterosklerosis, diabetes,
serta osteoartritis.

Dalam proses penuaan, terdapat beberapa perubahan baik perubahan fungsional


maupun morfologik. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

Penurunan fungsi metabolik

- Produksi ATP mitokondria menurun

- Sintesis protein struktural enzimatik dan regulatorik menurun

- Kemampuan ambilan nutrien menurun

- Kerusakan DNA meningkat dan perbaikannya menurun

- Akumulasi cedera oksidatif pada protein dan lipid, misalnya pigmen


lipofusin

- Akumulasi produk akhir glikasi lanjut, mengakibatkan ikatan silang


protein

Perubahan morfolofik

- Nukelus dengan lobus yang abnormal dan iregular

- Mitokondria yang tampak pleomorfik dengan vakuola

- Retikulum endoplasma berkurang

- Kelainan pada aparatus Golgi

Mekanisme penuaan sel

Terdapat tiga proses yang saling terkait dan kemungkinan turut menyebabkan
penuaan sel: (1) senesensi replikatif yaitu kemampuan replikasi yang terbatas, (2)
gen yang mempengaruhi proses penuaan dan (3) akumulasi progresif kerusakan
metabolik dan genetik
1. Senesensi replikatif

Senesensi seluler, atau penuaan sel, disimpulkan dari penelitian yang


menyatakan bahwa sel tersebut memiliki jam (bedasarkan teori Hayflick).
Ada banyak perubahan dalam ekspresi gen yang menyertai senesensi
selular, meliputi perubahan yang menghambat progresi siklus sel.
Telomer adalah rangkaian DNA berulang yang pendek dan menysusun
ujungujung kromosom, rangkaian DNA ini sangat penting untuk
memastikan replikasi ujung kromosom yang lengkap dan untuk
melindungi ujung terminal kromosom terhadap penggabungan serta
degradasi. Properti dari telomer itu sendiri meliputi: Setiap kali sel
membelah, beberapa telomer hilang. Saat telomer menjadi terlalu pendek,
maka kromosom tidak dapat bereplikasi dan sel menjadi tua dan mati oleh
apoptosis. Penyusutan telomer dapat bersifat sebagai jam yang
menentukan umur dari sel.
Ketika sel sel mengadakan replikasi, sebagian kecil telomer tidak
bereplikasi. Setelah terjadi pembelahan sel yang berkali-kali, telomer
memendek secara progresif serta akhirnya mengeluarkan sinyal checkpoint
pertumbuhan, dan sel-sel tersebut menua.
2. Gen yang mempengaruhi proses penuaan

Sejumlah penelitian menunjukan bahwa setiap gen dapat mempengaruhi


panjangnya umur, jadi, berkurangnya pengeluaran sinyal lewat reseptor
IGF-1 (insulin-like growth factor-1) dapat menyebabkan pemanjangan
rentang usia; sinyal downstream reseptor IGF-1 dapat meredam gen
pemicu penuaan
3. Akumulasi kerusakan metabolik dan genetik

Penuaan sel dapat terjadi karena gangguan keseimbangan antara kerusakan


akibat kejadian metabolik dalam sel dan respons molekuler penyeimbang
yang dapat memperbaiki jejas tersebut. Sebagai contoh, metabolit oksigen
reaktif, produk sampingan fosforilasi oksidatif normal, menyebabkan
modifikasi kovalen protein, lipid dan asam nukleat. Jumlah kerusakan
oksidatif meningkat bersamaan dengan pertambahan usia. Respons selular
protektif akan mengimbangi kerusakan yang progresif tersebut. Sistem ini
meliputi:
- Mekanisme pertahanan antioksidan. Penurunan mekanisme pertahanan
seperti vitamin E, yang berkorelasi dengan rentang usia yang memendek
- Pengenalan dan perbaikan DNA yang rusak. Contohnya pada sindrom
Werner. Defek enzim helikase DNA menyebabkan sindrom ini dan
mengakibatkan akumulasi kerusakan kromosom yang cepat dengan
menyerupai jejas yang secara normal meningkat sejalan dengan penuaan.
Ketidakstabilan genetik juga menjadi ciri khas kelainan lainnya yang
berkaitan dengan penuaan prematur.
Radikal bebas (ROO°,RO °, OH °) yaitu atom atau molekul yg dibawa oleh
elektron tak berpasangan sangat reaktif sebagai akibat kecendrungan atom tidak
berpasangan mencari pasangannya sehingga mudah bereaksi dengan biomolekul
dalam sel yang penting untuk kehidupan sel.

Secara fisiologis molekul tersebut merupakan "hasil sampingan" pada proses


pernafasan sel organisme aerobik, karena mempunyai elektron yang tidak
berpasangan, seperti protein, fosfolipid, asam nukleat dan gula. Reaksi-reaksi
tersebut akan menimbulkan kerusakan.

Agar radikal bebas tidak menjadikan molekul lainnya terimbas maka tubuh
membutuhkan antioksidan yang dipakai sebagai bahan aditif makanan, diperoleh
di alam mencakup vitamin E (tokoferol) yang larut-lemak dan urat serta vitamin C
yang larut-air, selenium β karoten dpt diperoleh dari buah - buahan dan sayuran

Para ahli menyimpulkan bahwa salah satu karakteristik penuaan adalah adanya
penurunan bertahap kemampuan cadangan pada berbagai sistem organ. Walaupun
penuaan mempunyai pola yang kurang lebih sama pada semua individu, namun
terdapat variasi individual dalam hal kecepatan terjadinya perubahan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Jejas sel adalah cedera pad sel karena suatu sel tidak lagi dapat beradaptasi
terhadap rangsangan. Hal ini dapat terjadi bila rangsangan tersebut terlalu lama
atau terlalu berat. Sel dapat pulih dari cedera atau mati bergantung pada sel
tersebut dan besar serta jenis cedera. Apabila suatu sel mengalami cedera, maka
sel tersebut dapat mengalami perubahan dalam ukuran, bentuk, sintesis protein,
susunan genetik, dan sifat transportasinya. Penyebabnya hipoksia, genetic,
penuaan, ketidakseimbangan nutrisi. Proses adaptasi sel dapat dikategorikan
sebagai berikut :
a. Displasia
b. Metaplasia
c. Hiperplasia
d. Hipertrofi
e. Atrofi
Proses kematian sel dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu Nekrosis dan Apoptosis.
Akibat dari kematian sel dalam jumlah besar disebut Gangren.

3.2 Saran

Hindari hal-hal penyebab yang dapat mengakibatkan jejas sel atau cedera sel agar
dapa terhindar dari kematian sel.
DAFTAR PUSTAKA

Robiins dan Kumar. 1992. Buku Ajar Patologi I. Jakarta : EGC.

Premono, Agung. 2011. Majalah 1000 Guru Edisi 8

Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. 9. Irawati. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997.

Pringgoutomo, S., Himawan, S., & Tjarta, A. (2002). Buku Ajar Patologi I

(Umum). Jakarta: Sagung Seto

You might also like