You are on page 1of 49

Laporan Kasus

MIOPIA, ASTIGMATISMA KOMPOSITUS ODS, DAN


AMBLIOPIA ODS

Oleh:
Fransiska Delvia , S. Ked (712022003)
Melenia Rhoma Dona YS, S.Ked (712021060)

Pembimbing:
dr. Ibrahim, Sp.M (K)

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus yang berjudul


Miopia, Astigmatisma Kompositus ODS dan Ambliopia

Dipersiapkan dan disusun oleh


Fransiska Delvia , S. Ked (712022003)
Melenia Rhoma Dona YS, S.Ked (712021060)

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang

Palembang, Februari 2023


Dosen Pembimbing

dr. Ibrahim, Sp.M (K)


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan kasih sayang-Nya,
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya, penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Miopia, Astigmatisma
Kompositus ODS dan Ambliopia” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. beserta
para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada:
1. dr. Ibrahim, Sp.M (K), selaku pembimbing yang telah memberikan
masukan, arahan, serta bimbingan dalam penyelesaian Laporan Kasus ini.
2. Rekan-rekan co-assistensi dan perawat atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, karena
kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT. Oleh karena itu, kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa mendatang.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan
dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan ilmu
pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT.Aamiin.

Palembang, Februari 2023

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Mata 3
2.2. Fisiologi Penglihatan 10
2.3 Miopia 13
2.3.1 Definisi 13
2.3.2 Epidemiologi 13
2.3.3 Etiologi 15
2.3.4 Klasifikasi 16
2.3.5 Manifestasi 16
2.3.6 Diagnosis 17
2.3.7 Penatalaksanaan 17
2.3.8 Komplikasi 17
2.3.9 Prognosis 18
2.4 Astigmatisma 18
2.4.1 Definisi 18
2.4.2 Epidemiologi 18
2.4.3 Etiologi 19
2.4.4 Klasifikasi 19
2.4.5 Manifestasi 20
2.4.6 Diagnosis 21
2.4.7 Penatalaksanaan 21
2.4.8 Komplikasi 21
2.4.9 Prognosis 22
2.5 Ambliopia 22
BAB III. LAPORAN KASUS 3
BAB IV. ANALISA KASUS 42
BAB V. KESIMPULAN 45
DAFTAR PUSTAKA 46

BAB I
PENDAHULUAN

Mata merupakan organ vital yang ada pada manusia. mata memiliki fungsi
yang beragam, mata merupakan organ yang berfungsi sebagai pengelihatan kita
untuk berjalan, bekerja, belajar dan sebagainya. Gangguan pada organ mata tentu
akan membuat rasa tidak nyaman pada pasien, karena akan mengganggu aktivitas
sehari – hari dari pasien mulai bekerja dan sebagainya. Gangguan pada organ
mata ini bisa mengenai organ refraksi pada mata sehingga tajam pengelihatan
pasien terganggu, infeksi, trauma dan lain sebagainya. Kelainan yang paling
sering dialami oleh masyarakat adalah tajam pegelihatan menurun atau gangguan
pada organ refraksi. Kelainan organ refraksi ini sering mengganggu aktivitas
sehari – hari penderitanya.
Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada retina.
Secara umum, terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata sehingga
menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina,
tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan tidak terletak pada satu titik
fokus. Kelainan refraksi dapat diakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan
kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang sumbu bola mata.
Jenis kelainan refraksi diantaranya miopia, hipermetropia, presbiopi dan
astigmatisma (Ilyas, 2010).
Miopia atau rabun jauh merupakan suatu kondisi dimana cahaya yang
memasuki mata terfokus di depan retina sehingga membuat objek yang jauh
terlihat kabur. Menurut derajat beratnya, miopia dibagi dalm tiga kriteria yaitu
ringan, sedang, dan berat. Gejala miopia yaitu kelainan pada jarak pandang, dan
untuk penderita dengan miopia ringan dapat diketahui dengan pemeriksaan visus
mata.1
Miopia bersifat progresif pada masa anak-anak dan cenderung stabil ketika
mereka mencapai usia 20 tahun atau akhir remaja. Kejadian miopia semakin
meningkat dan diestimasikan bahwa separuh dari penduduk dunia menderita
miopia pada tahun 2020. Penelitian WHO mengenai miopia pada remaja paling
sering terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki, dengan perbandingan
perempuan terhadap laki-laki 1,4 : 1. Proporsi menurut jenis kelamin, jenis
kelamin laki- laki yang memakai kacamata atau lensa kontak di Indonesia sebesar
4,3% dan perempuan sebesar 5,0%. Rentang usia 15- 24 tahun, 2,9% telah
memakai alat bantu seperti kacamata/ lensa kontak.1
Berbagai faktor dapat mempengaruhi progresivitas miopia pada usia
sekolah. Faktor genetik dan kebiasaan atau perilaku membaca dekat disertai
penerangan yang kurang menjadi faktor utama terjadinya miopia. Faktor gaya
hidup mendukung tingginya akses anak terhadap media visual yang ada.
Kurangnya outdoor activity juga mempengaruhi pertumbuhan miopia. Vitamin D
yang didapat ketika melakukan aktivitas luar ruangan memiliki peran dalam
pembentukan kolagen dimana merupakan komponen utama sklera. Intensitas
cahaya yang tinggi juga dapat mempengaruhi tingkat keparahan miopia karena
mempengaruhi bekerjanya pupil dan lensa mata.1
Astigmatisma adalah pembiasaan pada lebih dari satu titik fokus berkas
sinar yang sejajar yang masuk ke dalam mata pada keadaan tanpa akomodasi.
Astigmatisma diklasifikasikan berdasarkan bentuk dan tipe, berdasarkan bentuk
terbagi atas astigmatisma regular dan irregular. Pembagian berdasarkan tipe
terbagi menjadi 5 yaitu astigmatisma hipermetropia simplek, astigmatisma miopia
simplek, astigmatisma hipermetropia kompositus, astigmatisma miopia
kompisitus, dan astigmatisma mikstus.2
Astigmatisma merupakan 13 % dari seluruh kejadian kelainan refraksi.
Astigmatisma pada anak mempunyai prevalensi dan besar kelainan yang cukup
tinggi serta paling banyak berasal dari kelainan pada kornea. Penyebab umum
astigmatisma adalah kelainan bentuk kornea. Astigmatisma paling sering
disebabkan oleh terlalu besarnya lengkung kornea pada salah satu bidangnya.
Astigmatisma pasca operasi katarak dapat terjadi bila jahitan terlalu erat.3
Tingginya angka kejadian miopia dan astigmatisma serta dampak yang
dapat ditimbulkan, membuat penulis mengangkat tema miopia dan astigmatisma
dalam laporan ini untuk dipelajari lebih lanjut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Mata
Gambar 1. Anatomi Bulbus Oculi

Anatomi Kornea
Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian
selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola
mata sebelah depan dan terdiri dari lima lapis yaitu epitel, membran Bowman,
stroma, membran Descement dan endotel.2
a. Epitel
Tebalnya 550 µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel
basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel
basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di
depannya melalui desmosome dan makula okluden; ikatan ini menghambat
pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal
menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya.2
b. Membran Bowman
Terletak di bawah membrane basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.2
c. Stroma
Menyusun 90% ketebalan kornea. Terdiri atas lamel yang merupakan
susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat
anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang;
terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-
kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblast terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan
embrio atau sesudah trauma.2
d. Membran Descement
Membran Descement merupakan membran aselular dan merupakan batas
belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane
basalnya. Membran descement bersifat sangat elastic dan berkembang terus
seumur hidup, mempunyai tebal 40 µm.2
e. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40 µm.
Endotel melekat pada membran descement melalui hemidesmosom dan
zonula okluden.2

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid,
masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane Bowman melepaskan
selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis
terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di
daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di limbus terjadi dalam
waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan
sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi
edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi. Kornea merupakan
bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan.
Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri
pembiasan sinar, masuk kornea.2
Anatomi Uvea
Uvea terdiri atas iris, badan silier dan koroid yang secara anatomis tak
terpisah-pisah, namun untuk kepentingan klinis dipisahkan satu sama lain. Uvea
merupakan lembaran yang tersusun oleh pembuluh-pembuluh darah, serabut saraf,
jaringan ikat, otot dan bagian depannya (iris) berlubang yang disebut pupil.4
a. Iris
Iris berbentuk membran datar dan merupakan kelanjutan ke depan dari
badan silier. Iris berarti pelangi dan disebut demikian karena warna iris
berbeda-beda sesuai etnik (ras) manusia. Warna iris menentukan warna
mata. Iris terlihat sklerotik dan epitel kapilernya tidak berjendela
(unfenestrated). Apabila iris dipotong, tidak akan ada darah yang keluar dan
juga tidak bisa menyembuh. Di tengah iris terdapat pupil yang penting untuk
mengatur jumlah sinar yang masuk ke dalam mata. Secara normal, tepi pupil
bersentuhan dengan lensa, namun tak melekat dengan lensa. Pada iris
terdapat dua macam otot yang mengatur besarnya pupil, yaitu musculus
dilatator pupillae (yang melebarkan pupil) dan musculus sphincter pupillae
(yang mengecilkan pupil). Garis tengah pupil normal berkisar antara 3-4
mm. Secara normal pupil menyempit pada cahaya terang dan melebar pada
suasana redup atau gelap. Penyempitan pupil juga dipengaruhi oleh impuls
saraf, misalnya pada keadaan tidur pupil akan mengecil karena turunnya
tonus simpatis. Dalam pengaturan fokus, pupil akan menyempit saat kita
melihat dekat dan melebar saat melihat jauh.4

b. Badan Silier
Badan silier merupakan bagian uvea yang terletak di antara iris dan koroid.
Batas belakangnya adalah ora serrata. Badan silier banyak mengandung
pembuluh kapiler dan vena dan badan silier-lah yang menghasilkan cairan
aquous.4
c. Koroid
Koroid merupakan bagian uvea yang paling luas dan terletak antara retina
dan sklera, terdiri atas anyaman pembuluh darah. Lapisan koroid dari luar
ke dalam berturut-turut adalah suprakoroid, pembuluh darah koriokapiler,
dan membran Bruch. Karena koroid banyak mengandung pembuluh darah
dan retina itu jernih, maka koroid dapat dilihat dengan oftalmoskop dan
tampak berwarna merah. Refleks fundus merah cemerlang berasal dari
warna koroid.4
Anatomi Sklera
Sklera adalah merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk
pada mata, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian terdepan
sklrea disebut kornea yang bersifat transparan yang membudahkan sinar masuk ke
dalam bola mata. Kelengkungan kornea lebih besar dibanding sklera.2
Bagian putih bola mata yang bersama-sama dengan kornea merupakan
pembungkus dan pelindung isi bola mata. Sklera berhubungan erat dengan kornea
dalam bentuk lingkaran yang disebut limbus sklera berjalan dari papil saraf optif
sampai kornea. Sklera anterior ditutupi oleh 3 lapis jaringan ikat vaskular. Sklera
mempunyai kekakuan tertentu sehingga mempengaruhi pengukuran tekanan bola
mata. Walaupun sklera kaku dan tipisnya 1 mm ia masih dapat bertahan pada
kontusio trauma tumpul.2
Anatomi Pupil
Pupil merupakan lubang ditengah iris yang mengatur banyak sedikitnya
cahaya yang masuk. Pupil anak-anak berukuran kecil akibat belum
berkembangnya saraf simpatis. Orang dewasa ukuran pupil adalah sedang, dan
orang tua pupil mengecil akibat rasa silau yang dibangkitkan oleh lensa yang
sclerosis.5
Pupil waktu tidur kecil hal ini dipakai sebagai ukuran tidur, simulasi, koma
dan tidur sesungguhnya. Pupil kecil waktu tidur akibat dari :
1. Berkurangnya rangsangan simpatis
2. Kurang rangsangan hambatan miosis
Bila subkorteks bekerja sempurna maka terjadi miosis. Di waktu bangun
korteks menghambat pusat subkorteks sehingga terjadi midriasis. Waktu tidur
hambatan subkorteks hilang sehingga terjadi kerja subkorteks yang sempurna
yang akan menjadikan miosis.5
Musculus sphincter pupillae disarafi oleh serabut parasimpatik nervus
oculomotodus. Setelah bersinaps di ganglion ciliare, serabut-serabut
posganglionik berjalan ke depan ke bola mata di dalam nervi ciliares breves.
Musculus dilatator pupiliae disarafi oleh serabut simpatik, yang berjalan ke depan
ke bola mata di dalam nervi ciliares longi.5
Fungsi mengecilnya pupil untuk mencegah aberasi kromatis pada
akomodasi dan untuk memperdalam fokus seperti pada kamera foto yang
difragmanya dikecilkan. Musculus sphincter pupillae mengecilkan pupil dalam
keadaan cahaya terang dan selama berakomodasi. Musculus dilatator pupillae
melebarkan pupil dalam keadaan cahaya kurang terang atau keadaan di mana
terdapat aktivitas simpatik yang berlebihan seperti dalam keadaan takut.5
Anatomi Lensa
Lensa adalah struktur bikonveks yang transparary yang dibungkus oleh
kapsul yang transparan. Terletak di belakang iris dan di depan corpus vitreum,
serta dikelilingi processus ciliaris. Lensa terdiri dari capsula elastis, yang
membungkus epitheliun cuboideum, yang terbatas pada permukaan anterior lensa;
dan fibrae lentis yang dibentuk dari epithelium cuboideum pada equator lentis.
Fibrae lentis menyusun bagian terbesar lensa.5
Lensa berbentuk lempeng cakram bikonveks dan terletak di dalam bilik
mata belakang. Lensa akan dibentuk oleh sel epitel lensa yang membentuk serat
lensa di dalam kapsul lensa. Epitel lensa akan membentuk serat lensa terus-
menerus sehingga mengakibatkan memadatnya serat lensa di bagian sentral lensa
sehingga membentuk nukleus lensa. Bagian sentral lensa merupakan serat lensa
yang paling dahulu dibentuk atau serat lensa yang tertua di dalam kapsul lensa. Di
dalam lensa dapat dibedakan nukleus embrional, fetal dan dewasa. Di bagian luar
nukleus ini terdapat serat lensa yang lebih muda dan disebut sebagai korteks lensa.
Koteks yang terletak di sebelah depan nukleus lensa disebut sebagai korteks
anterior, sedang di belakangnya korteks posterior. Nukleus lensa mempunyai
konsistensi lebih keras di banding korteks lensa yang lebih muda. Di bagian
perifer kapsul lensa terapat zonula Zinn yang menggantungkan lensa di seluruh
ekuatornya pada badan siliar.2
Lensa merupakan struktur yang transparan, bikonveks, dan kristalin terletak
di antara iris dan badan kaca. Lensa memiliki ukuran diameter 9-10 mm dengan
ketebalan 3,5 mm – 5 mm. Di belakang iris, lensa terfiksasi pada serat zonula
yang berasal dari badan siliar. Serat zonula tersebut menempel dan menyatu
dengan lensa pada bagian anterior dan posterior dari kapsul lensa. Kapsul
merupakan membran dasar yang melindungi nukleus, korteks, dan epitel lensa.
Permukaan anterior dan posterior lensa memiliki beda kelengkungan, dimana
permukaan anterior lensa lebih melengkung dibandingkan bagian posterior. Kedua
permukaan ini bertemu di bagian ekuator. Sebagai media refraksi, lensa memiliki
indeks refraksi sebesar 1,39, dan memilki kekuatan hingga 15-16 dioptri. Dengan
bertambahnya usia, kemampuan akomodasi lensa akan berkurang, sehingga
kekuatan lensa pun akan menurun.6
Anatomi Retina
Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung reseptor
yang menerima rangsangan cahaya. Retina melapisi dua pertiga dinding bagian
dalam bola mata. Retina merupakan lapisan terdalam dari bola mata. Lapisannya
transparan, dan tebalnya kira-kira 1mm, dan metabolisme oksigennya sangat
tinggi. Lapisan epitel pigmen retina merupakan lapisan paling luar, terdiri dari
satu lapis dan lebih melekat erat pada koroid dibandingkan pada retina di sebelah
dalamnya. Epitelnya berbentuk kuboid dan mengandung pigmen melanin. Epitel
pigmen retina berfungsi sebagai sawar luar darah retina. Apabila terjadi infeksi,
epitel pigmen retina berfugnsi sebagai sawar agar kuman tidak menginfeksi
bagian dalam bola mata. Epitel pigmen retina melekat di membran basal yang
dikenal juga sebagai membran Bruch.2
Retina berbatas dengan koroid dengan sel pigmen epitel retina dan terdiri
atas lapisan:
a. Lapis fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang yang
mempunyai bentuk ramping dan sel kerucut.
b. Membran limitan eksterna yang merupakan membran maya.
c. Lapis nukleus luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan batang.
Ketiga lapis di atas avaskular dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid.
d. Lapis pleksiform luar, merupakan lapis aseluler dan merupakan tempat
sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
e. Lapis nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal, dan sel
Muller. Lapis ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral.
f. Lapis pleksiform dalam, merupakan lapis aselular. Merupakan tempat sinapsis
sel bipolar, sel amakrin dan sel ganglion.
g. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua.
h. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju ke arah saraf
optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah
retina.
i. Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan
kaca.2

Retina terdiri dari pars pigmentosa di sebelah luar dan pars nervosa di
sebelah dalam. Permukaan luar berhubungan dengan choroidea dan permukaan
dalam berhubungan dengan corpus vitreum. Tiga perempat posterior retina
merupakan organ receptor. Pinggir anteriornya membentuk cincin berombak, ora
serrata, yang merupakan ujung akhir pars nervosa. Bagian anterior retina bersifat
bukan merupakan reseptor dan hanya terdiri dari sel-sel berpigmen dengan lapisan
epitel silindris di lapisan dalam. Bagian anterior retina ini menutupi processus
ciliaris dan beiakang iris.6
Pada pusat bagian posterior retina terdapat daerah lonjong kekuningan,
macula lutea, yang merupakan area retina dengan daya lihat yang palingjelas.
Ditengahnya terdapat lekukal, disebut fovea centralis.6
Nervus opticus meninggalkan retina kira-kira 3 mm dari sisi medial macula
lutea melalui discus nervi optici. Discus nervi optici agak cekung pada bagian
tengahnya, yaitu merupakan tempat di mana nervus opticus ditembus oleh arteria
centralis retinae. Pada discus nervi optici tidak terdapat sel-sel batang dan kerucut,
sehingga tidak peka terhadap cahaya dan disebut sebagai "bintik buta". Pada
pemeriksaan oftalmoskop, discus nervi optici tampak berwarna merah muda
pucat, jauh lebih pucat dari area retina di sekitarnya.6
2.2 Fisiologi Penglihatan
Media Refraksi
Komponen optik mata yang berperan sebagai media refraksi adalah kornea,
humor akuos, lensa, dan badan vitreus. Cahaya yang masuk ke dalam mata
mengalami pembiasan melewati media refraksi pada aksis visual, lalu ditangkap
oleh sel fotoreseptor retina. Aksis visual merupakan garis yang menghubungkan
antara fovea sentralis retina dengan bagian anterior dari kornea, sedangkan aksis
optik adalah garis yang menghubungkan antara poros anterior dengan poros
posterior.7
Apeks pada permukaan anterior kornea memberikan kekuatan refraksi
terbesar. Permukaan kornea memiliki kelengkungan 7,7 mm pada bagian anterior
dan 6,9 mm pada bagian posterior. Pertemuan antara udara dan air mata pada
permukaan kornea membentuk kekuatan lensa positif 43 dioptri dan merupakan
elemen media refraksi utama pada mata. Kekuatan refraksi lensa memiliki
kekuatan mencapai 20 dioptri dengan indeks refraksi 1,36 pada bagian perifer dan
1,4 pada bagian sentral. Lensa mata berakomodasi melalui kontraksi otot siliaris
yang melepaskan regangan zonula sehingga lensa membulat ketika melihat objek
dekat. Otot siliaris akan relaksasi dan lensa mendatar untuk penglihatan jauh.
Badan vitreus adalah gel transparan dengan kandungan air 98% dan indeks
refraksi 1,33 yang sama dengan indeks refraksi pada humor akuos. Vitreus
meneruskan cahaya yang ditangkap menuju retina, serta sebagai tempat
penyimpanan substansi kimia yang berperan dalam metabolisme retina.8

Fototransduksi
Fototransduksi merupakan proses penangkapan cahaya oleh fotoreseptor
retina untuk diubah menjadi impuls saraf. Foto yang diterima menyebabkan
perubahan konformasional pada fotopigmen, memicu terjadinya kaskade reaksi
kimia yang mengubah energi elektromagnetik menjadi stimulus elektrik.
Fotoreseptor sel kerucut sensitif terhadap cahaya terang, terutama pada siang hari
(fotopik). Fotoreseptor sel batang sensitif terhadap cahaya redup (skotopik).
Proses fototransduksi terjadi di membran diskus segmen luar sel fotoreseptor.9
Jaras Penglihatan
Jaras penglihatan merupakan rangkaian proses pengiriman informasi visual
yang terdapat pada impuls saraf menuju korteks visual. Retina meneruskan impuls
saraf ke saraf optik, kiasma optik, traktus optik, badan genikulatum lateralis,
radiasi optik hingga korteks visual. Korteks visual terdiri dari area korteks visual
primer dan sekunder. Area lain yang berhubungan dengan penglihatan adalah area
korteks frontal.10
Sel ganglion retina menerima impuls saraf dari sel bipolar, kemudian
sebanyak 1-1,2 juta serabut saraf sel ganglion bersatu menuju diskus optik dan
melewati lamina kribosa memasuki rongga orbita. Serabut saraf bagian nasal
retina tersusun dalam pola radial sederhana. Serabut saraf bagian temporal
membentuk berkas papilomakular yang menuju langsung ke diskus. Serabut
paling medial merupakan serabut retina bagian nasal, sedangkan area lateral
mewakili serabut temporal. Serabut makula yang menyusun sepertiga dari serabut
saraf optik, terletak pada bagian lateral. Serabut retina nasal berdekusasi pada
kiasma optik dan memasuki traktus optik kontralateral. Serabut saraf akan sedikit
melengkung pada area knee of Wilbrand sebelum berdekusasi ke kontralateral.
Serabut saraf retina temporal memasuki traktus optik secara ipsilateral.10
Korpus genikulatum lateralis terletak di posterior talamus dan terdiri dari
enam lapisan. Empat lapis bagian superior merupakan terminal dari akson neuron
parvoselular, sedangkan dua lapis bagian inferior merupakan terminal dari akson
neuron magnoselular. Jalur magnoselular berkaitan dengan persepsi gerak dan
kedalaman. Jalur parvoselular berhubungan dengan fungsi spasial dan persepsi
warna. Serabut saraf retina bagian perifer akan berakhir di bagian anterior.
Serabut saraf kuadran atas retina berakhir di sisi medial. Serabut saraf kuadran
makula berakhir di tengah dan posterior nukleus. Akson yang berasal dari serabut
saraf kontralateral akan berakhir di lapisan ke-1, 4, dan 6, sedangkan akson yang
berasal dari serabut saraf ipsilateral akan berterminasi pada lapisan ke-2, 3, dan 5.
Impuls saraf kemudian akan diteruskan melalui radiasi optik menuju korteks area
visual primer.10
Korteks Visual
Korteks visual terbagi menjadi area visual primer (Broadmann’s area 17)
dan area visual sekunder (Broadmann’s area 18 dan 19). Area visual primer
terletak di bagian superior dan inferior sulkus kalkarin korteks oksipital,
memanjang ke anterior hingga sulkus parieto-oksipital. Setiap sisi area visual
primer menerima serabut aferen dari bagian temporal sisi ipsilateral dan bagian
nasal sisi kontralateral. Lapang pandang kanan direpresentasikan pada hemisfer
serebral kiri, dan lapang pandang kiri pada hemisfer serebral kanan. Serabut saraf
dari retina kuadran superior yang merepresentasikan lapang pandang inferior
menuju ke superior sulkus kalkarin. Serabut saraf dari retina kuadran inferior yang
merepresentasikan lapang pandang superior, menuju ke inferior sulkus kalkarin.
Bagian posterior area visual primer merepresentasikan bagian makula lutea.9
Area visual sekunder (Broadmann areea 18) terletak berdekatan dengan area
visual primer. Area ini tidak memiliki striata dan secara histologis menunjukkan
enam lapisan. Area asosiasi sekunder menerima impuls saraf dari area visual
primer (V1) dan badan genikulatum lateralis. Fungsi area visual sekunder adalah
menghubungkan dan menganalisis informasi visual yang diterima oleh area visual
primer. Informasi yang dianalisis memungkinkan individu untuk mengenali dan
mengapresiasikan apa yang dilihat, seperti warna, bentuk, pergerakan, dan
disparitas binokular. Area visual sekunder meliputi area visual 2 (V2), area visual
3 (V3), area visual 4 (V4), dan area temporal tengah atau disebut juga area visual
5 (V5).9
Area V2 menerima informasi dari area visual primer V1 dan mengatur
informasi ke area visual sekunder lainnya. Informasi visual akan diproyeksikan ke
dua jalur yaitu jalur ventral (what pathway) dan jalur dorsal (where pathway).
Jalur ventral membawa informasi bentuk, warna, dan pengenalan objek melalui
V4 menuju korteks temporal. Jalur dorsal membawa informasi arah dan
pergerakan melalui V3 dan V5 menuju korteks parietal. Area pada V5 terdiri dari
neuron selektif yang berorientasi pada arah dan kecepatan pergerakan objek,
disparitas binokuler, serta kontras gerak. Area V3 terlibat dalam pengenalan
informasi warna, orientasi, pergerakan, dan sterosepsis. Area V4 terlibat dalam
pengenalan objek dan sensitivitas warna.9
Persepsi Visual
Persepsi visual adalah hasil akhir proses interpretasi dari respons sensorik
yang dibuat oleh retina ke rangsangan visual oleh korteks. Persepsi visual terdiri
dari persepsi warna, persepsi ruang, persepsi gerak, dan persepsi kedalaman. Jalur
ventral membawa informasi bentuk dan identitas objek. Jalur dorsal membawa
informasi lokasi objek dan hubungan spasial.8

2.3 Miopia
2.3.1 Definisi
Miopia adalah suatu keadaan kelainan pada mata yang ditandai dengan
pemanjangan sumbu mata yang bersifat tidak normal dan dalam perjalanan
penyakitnya dapat menyebabkan kebutaan pada seseorang. 11 Selain itu,
miopia atau rabun jauh merupakan pembiasan berkas sinar yang masuk ke
dalam mata di suatu titik fokus di depan retina pada keadaan tanpa
akomodasi.2 Miopia atau rabun jauh terjadi saat bola mata lebih panjang
dari normal (>24 mm), atau adanya kelebihan kekuatan refraksi pada
kornea dan atau lensa mata.12
2.3.2 Epidemiologi
Pada tahun 2000 diperkirakan 22,9% penduduk dunia (1406 juta orang)
memiliki status refraksi miopia, 163 juta di antaranya (2,7%) mengidap
miopia tinggi. Pada tahun 2010, diperkirakan 27% populasi dunia (1893
juta) mengidap miopia dan 1,8% (170 juta) mengidap miopia tinggi. Di
tahun 2020, laporan World Health Organization (WHO) memperkirakan 2,6
milyar orang seluruh usia di dunia mengidap miopia, 312 juta di antaranya
berusia di bawah 19 tahun. Di tahun 2050 diprediksi setidaknya 49,8%
penduduk dunia akan menderita miopia dengan miopia tinggi sebanyak
9,8%. Di seluruh dunia pada tahun 2015, terdapat 10 juta orang dengan
gangguan penglihatan terkait miopia (prevalensi 0,13%), dan 3,3 juta orang
di antaranya mengalami kebutaan. Apabila tren ini tidak berubah dan tidak
ada intervensi yang efektif, diperkirakan penderita gangguan penglihatan
dan kebutaan akan menjadi masing-masing 55,7 juta orang dan 18,5 juta
orang. Prevalensi miopia tertinggi di dunia terdapat di Asia Timur seperti
Cina, Jepang, dan Korea yang mengenai lebih dari 50% populasinya.
Terdapat peningkatan signifikan terutama pada anak-anak usia sekolah
keturunan Asia, terutama Asia Timur, termasuk imigran asal Asia di negara
lain. Diperkirakan prevalensi miopia pada anak usia sekolah di Asia
mencapai 60%, Eropa 40%, Afrika dan Amerika Selatan <10%.13
2.3.3 Etiologi
Beberapa etiologi dari miopia yaitu kekuatan optik mata yang tinggi
biasanya karena bola mata (diameter antero posterior) yang panjang, disebut
miopia aksial, radius kurvatura kornea dan lensa lebih besar, disebut miopia
kurvatura, perubahan posisi lensa ke depan yang sering terjadi pada
pascaoperasi glaukoma, dan perubahan indeks bias refraksi biasanya pada
penderita diabetes atau katarak.2 Selain itu terdapat beberapa faktor lainnya
yang bisa menyebabkan miopia. yaitu.2
1. Jarak yang terlalu dekat pada waktu membaca buku, menonton televisi,
bermain video games, bermain komputer, bermain telepon selular atau
ponsel, dan sebagainya. Mata yang dipaksakan dapat merusak mata itu
sendiri. 
2. Genetik atau keturunan. 
3. Terlalu lama beraktivitas pada jarak pandang yang sama seperti bekerja
di depan komputer, di depan layar monitor, di depan berkas, dan lain-
lain. Mata membutuhkan istirahat yang teratur dan cukup agar tidak terus
berkontraksi secara monoton. 
4. Kebisaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan mata kita seperti
membaca sambil tidur-tiduran, membaca di tempat yang gelap, membaca
di bawah matahari langsung yang silau, menatap sumber terang
langsung, dan lain sebagainya. 
5. Terlalu lama mata berada di balik media transparan yang tidak cocok
dengan mata dapat mengganggu kesehatan mata seperti terlalu lama
memakai helm, terlalu lama memakai kacamata/lensa kontak yang tidak
sesuai dengan mata normal kita, dan sebagainya. 
6. Kekurangan gizi yang dibutuhkan mata juga bisa memperlemah mata
sehingga kurang mampu bekerja keras dan mudah untuk terkena rabun
jika mata bekerja terlalu dipaksakan. Vitamin A, betakaroten, alpukat
merupakan beberapa makanan yang baik untuk kesehatan mata.
2.3.4 Klasifikasi
Miopia dibedakan berdasarkan derajat, berdasarkan onset, dan berdasarkan
klinis-nya, yaitu.2
1. Berdasarkan derajat miopia dibagi menjadi ringan (1-3 dioptri), sedang
(3-6 dioptri), atau berat (lebih dari -6 dioptri).2
2. Berdasarkan onset terjadinya miopia dibedakan menjadi kongenital
(terjadi pada bayi), miopia onset muda pada pasien <20tahun , dewasa
muda pada pasien 40 tahun dan dewasa lanjut >40 tahun.2
3. Berdasarkan klinis miopia dibedakan menjadi miopia simpleks,
nokturnal, pseudomiopia, degeneratif, atau terinduksi. Miopia simpleks
terjadi karena gangguan pada kekuatan optik kornea atau lensa ataupun
yang lebih jarang karena panjang aksial bola mata yang berlebihan.
Miopia simpleks merupakan bentuk yang paling sering dan biasanya
kurang dari 6 dioptri. Miopia nokturnal terjadi karena kurangnya cahaya
sehingga mata berakomodasi lebih kuat dan terjadi gangguan kontras
untuk stimulus akomodasi pada keadaan gelap tersebut. Pseudomiopia
terjadi karena peningkatan kemampuan refraktif akibat overstimulasi
akomodasi mata atau spasme otot siliar. Miopia degeneratif terjadi
karena perubahan degeneratif segmen posterior biasanya sering akibat
sekuela retinal detachment atau glaukoma. Miopia induksi terjadi akibat
paparan obat, gula darah, atau sklerosis nuklear lensa yang biasanya
reversible.2
2.3.5 Manifestasi Klinik
Gejala yang banyak dikeluhkan pada miopia adalah pandangan kabur.
Penglihatan untuk jauh kabur, sedangkan untuk penglihatan dekat jelas. Jika
derajat miopianya terlalu tinggi, sehingga letak pungtum remotum kedua
mata terlalu dekat, maka kedua mata selalu harus melihat dalam posisi
kovergensi, dan hal ini mungkin menimbulkan keluhan (astenovergen).
Mungkin juga posisi konvergensi itu menetap, sehingga terjadi strabismus
konvergen (estropia). Apabila terdapat miopia pada satu mata jauh lebih
tinggi dari mata yang lain dapat terjadi ambliopia pada mata yang
miopianya lebih tinggi. Mata ambliopia akan bergulir ke temporal yang
disebut strabismus divergen (eksotropia).2
2.3.6 Diagnosis
Diagnosis miopia didapatkan dengan melakukan anamnesis pada pasien,
umumnya pasien akan mengeluh mengalami pengelihat kabur khususnya
saat melihat jauh. Dalam menegakkan diagnosis dapat dilakukan
pemeriksaan berupa pemeriksaan secara subyektif dan obyektif. Secara
subyektif dapat digunakan metode trial and error dengan menggunakan
kartu Snellen. Pada ptosedur ini, pasien duduk pada jarak 5 meter, 6 meter
atau 20 feet dari kartu Snellen dengan pencahayaan yang cukup.
Pemeriksaan dilakukan bergantian dengan menutup salah satu mata.
Umumnya mata kanan diperiksa terlebih dahulu dan mata kiri ditutup,
Pasien diminta untuk membaca hurut pada kartu Snellen. Jika pasien tidak
dapat membaca hingga 6/6 maka coba dilakukan koreksi secara tiral and
error dengan lensa sferis negative atau minus hingga mencapai tajam
pengelihatan yang terbaik. Sebagai pedoman untuk mengetahui bahwa
koreksi telah melampaui koreksi seharusnya. Pasien umumnya akan
mengatakan bahwa lensa sebelumnya lebih jelas. Pemeriksaan kemudian
dilanjutkan untuk mata kiri. Pemeriksaan secara obyektif dapat dilakukan
dengan alat retinoskopi atau autorefraktometer.14
2.3.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan miopia dilakukan dengan koreksi visus yang dilakukan
dengan pemberian kacamata, lensa kontak atau dengan bedah refraktif pada
pasien dengan miopia derajat berat. Prinsip pemberian kacamata pada
miopia adalah diberikan lensa sferis negatif atau minus atau konkaf terkecil
yang memberikan tajam pengelihatan terbaik. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan pada pemberian koreksi pada miopia, yaitu.14
1. Miopia kurang dari 2-3 dioptri pada bayi dan balita umumnya tidak perlu
dikoreksi, karena umumnya akan hilang sendirinya pada usia 2 tahun.
Selain itu bayi biasanya hanya berinteraksi dengan obyek yang dekat.14
2. Miopia 1-1,5 dioptri pada anak usia pra sekolah sebaiknya dikoreksi
karena anak pada usia ini mulai berinteraksi dengan benda-benda atau
orang dengan jarak yang lebih jauh disbanding bayi. Namun, jika
diputuskan untuk tidak memberikan koreksi, pasien harus diobservasi
dalam 6 bulan.14
3. Untuk anak usia sekolah, miopia kurang dari 1 dioptri tidak perlu
dikoreksi.14
4. Untuk dewasa, koreksi diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien.14
2.3.8 Komplikasi
Miopia yang berkembang secara progresif dapat mengakibatkan terjadinya
komplikasi berupa.15
1. Ablasio retina
2. Katarak
3. Perdarahan vitreous
4. Perdarahan koroid
5. Strabismus
6. Kebutaan

2.3.9 Prognosis
Prognosis miopia sesuai dengan derajat keparahannya. Penyulit yang
dapat timbul pada pasien miopia adalah terjadinya ablasi retina dan juling.
Esotropia atau juling ke dalam akibat mata berkonvergensi terus menerus.
Bila terdapat juling kemungkinan fungsi salah satu mata telah berkurang
atau amblyopia.2

2.4 Astigmatisma
2.4.1 Definisi
Astigmatisma adalah kelainan refraksi dimana sinar sejajar dengan garis
pandang oleh mata tanpa akomodasi di biaskan tidak pada satu titik tetapi
lebih dari satu titik. Astigmatisma adalah pembiasaan pada lebih dari satu
titik fokus berkas sinar yang sejajar yang masuk ke dalam mata pada
keadaan tanpa akomodasi. Astigmatisma diklasifikasikan berdasarkan
bentuk dan tipe. Astigmatisma merupakan kelainan refraksi yang
menyebabkan penglihatan menjadi kabur karena bentuk kornea atau lensa
yang tidak teratur.12
2.4.2 Epidemiologi
World Health Organization (WHO) melaporkan kelainan refraksi mata di
dunia sekitar 43%. Menurut hasil penelitian pada sejumlah populasi non
hispanic kulit putih di Amerika yang menderita astigmatisma mencapai
6,33% sedangkan pada populasi Asia sebesar 8,29%. Pada beberapa negara
seperti Taiwan, Jepang dan Indonesia, astigmatisma merupakan kelainan
refraksi mata yang sering dijumpai. Diperkirakan terdapat 33% penderita
astigmatisma di Myanmar dan 77% di Indonesia. Faktor usia, jenis kelamin,
genetik, dan lingkungan menunjukan keterlibatannya dalam memicu
timbulnya astigmatisma dalam berbagai penelitian yang berbeda. Dari
banyaknya factor di atas, genetik merupakan risiko utama pencetus
astigmatisma, kedua orang tua mewariskan karakteristik kekuatan kornea
mata mereka pada anak-anaknya secara resesif autosomal. Terdapat sekitar
6,8% anak-anak astigmatisma dengan kedua orangtua menderita
astigmatisma dibandingkan 2,8% anak-anak tanpa kedua orangtua
menderita astigmatisma.16

2.4.3 Etiologi
Gangguan refrakssi astigmatisma dapat disebabkan karena beberapa faktor
adalah sebagai berikut.2
1. Adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak teratur.
Media refrakta yang memiliki kesalahan pembiasan yang paling besar
adalah kornea, yaitu mencapai 80% s/d 90% dari astigmatismus,
sedangkan media lainnya adalah lensa kristalin. Kesalahan pembiasan
pada kornea ini terjadi karena perubahan lengkung kornea dengan tanpa
pemendekan atau pemanjangan diameter anterior posterior bolamata.
Perubahan lengkung permukaan kornea ini terjadi karena, kelainan
kogenital, kecelakaan, luka atau parut di kornea, peradangan kornea serta
akibat pembedahan kornea.2
2. Adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa.
Semakin bertambahumur seseorang, maka kekuatan akomodasi lensa
kristalin juga semakin berkurang dan lama kelamaan lensa kristalin akan
mengalami kekeruhan yang dapat menyebabkan astigmatisma.2
3. Intoleransi lensa atau lensa kontak pada post keratoplasty.2
4. Trauma pada kornea.2
5. Tumor.2

2.4.4 Klasifikasi
Astigmatisma diklasifikasikan berdasarkan bentuk dan tipenya, yaitu.2
A. Berdasarkan bentuk
1. Astigmatisma Reguler
Astigmatisma jenis ini memiliki dua meridian yang saling tegak lurus,
dibagi menjadi tiga, yaitu.2
a. Astigmatisma With-The-Rule
Meridian vertikal adalah bagian yang paling datar, sehingga kornea
berbentuk seperti bola rugby. Disebut with the rule karena
mempunyai kesamaan dengan kondisi normal mata mempunyai
kurvatura vertical lebih besar oleh karena penekanan oleh kelopak
mata. Astigmatisma ini dapat dikoreksi –axis 1800 atau +axis 900.
b. Astigmatisma Against-The-Rule
Astigmatisma jenis ini memiliki kelengkungan meridian horizontal
yang paling datar. Astigmatisma ini dapat dikoreksi +axis 1800 atau
-axis 900.
c. Astigmatisma Oblik
Astigmatisma ini kedua principle meridian tidak pada meridian
horizontal atau vertikal. Lengkungan paling datar berada di antara
sudut 120 dan 150 derajat serta 30 dan 60 derajat.
2. Astigmatisma Ireguler
Astigmatisma yang tidak mempunyai dua meridian yang saling tegak
lurus, mempunyai perbedaan refraksi yang tidak teratur bahkan
kadang-kadang mempunyai perbedaan pada meridian yang sama.2
B. Berdasarkan tipe
1. Astigmatisma Hipermetrop Simpleks
Titik fokus pertama berada tepat di retina, sedangkan titik fokus
lainnya berada di belakang retina.2
2. Astigmatisma Miopia Simpleks
Titik fokus pertama berada tepat di retina, sedangkan titik fokus
lainnya berada di depan retina.2
3. Astigmatisma Hipermetrop Kompositus
Semua titik fokus berada di belakang retina.2
4. Astigmatisma Miopi Kompositus
Semua titik fokus berada di depan retina.2
5. Astigmatisma Mikstus
Kedua titik fokus berada masing-masing di depan dan di belakang
retina.2
2.4.5 Manifestasi Klinik
Pada nilai koreksi astigmatisma, hanya terasa pandangan kabur. Tapi
terkadang pada astigmatisma yang tidak dikoreksi, dapat menyebabkan sakit
kepala atau kelelahan mata, dan mengaburkan pandangan ke segala arah.
Pada anak-anak, keadaan ini sebagian besar tidak diketahui, oleh karena
mereka tidak menyadari dan tidak mau mengeluh tentang kaburnya
pandangan mereka.2
2.4.6 Diagnosis
Diagnosis astigmatisma didapatkan dengan melakukan anamnesis pada
pasien, umumnya pasien akan mengeluh mengalami pengelihat kabur
khususnya saat melihat jauh. Dalam menegakkan diagnosis dapat dilakukan
pemeriksaan berupa pemeriksaan secara subyektif dan obyektif. Secara
subyektif dapat digunakan metode trial and error dengan menggunakan
kartu Snellen, ketika visus pasien didapatkan maka dilakukan koreksi visus
hingga visus menjadi 6/6. Jika pasien tidak dapat membaca hingga 6/6 maka
coba dilakukan koreksi secara tiral and error dengan lensa silindris hingga
mencapai tajam pengelihatan yang terbaik. Cara obyektif dapat dilakukan
dengan melakukan pemeriksaan refraktometri.14
2.4.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan astigmatisma dilakukan dengan koreksi visus yang
dilakukan dengan pemberian kacamata lensa silindris. Dengan dilakukannya
koreksi visus menggunakan lensa silindris penderita astigmatisma akan
dapat membiaskan sinar sejajar tepat hanya pada satu titik diretina, sehingga
penglihatan akan bertambah jelas.14
2.4.8 Komplikasi
Pada pasien astigmatisma yang penglihatannya tidak dikoreksi penglihatan
mereka akan menjadi kabur dan mengalami sakit kepala dan mata lelah,
pada pasien astigmatisma yang telah dikoreksi menggunakan lensa kontak
baiknya sebelum pemasangan lensa kontak,harus diketahui riwayat mata
pasien termasuk pengalaman penggunaan lensa kontak sebelumnya harus
diperoleh dan evaluasi mata secara medis yang komprehensif harus
dilakukan Pasien harus diberi tahu bahwa menggunakan lensa kontak dapat
dikaitkan dengan perkembangan masalah mata, termasuk ulkus kornea
akibat mikroba yang mungkin mengancam penglihatan, dan bahwa
penggunaan lensa kontak semalam dikaitkan dengan peningkatan risiko
keratitis ulseratif. Pada astigmastima yang dikoreksi dengan pembedahan
juga memiliki komplikasi seperti peningkatan TIO jika setelah pembedahan
diberikan steroid, katarak kapsul posterior, infeksi dan perforasi kornea.14
2.4.9 Prognosis
Kondisi astigmatisma dapat berubah seiring waktu, kondisi buruk dapat
dicegah dengan melakukan koreksi pada visus menggunakan kacamata atau
lensa silindris. Koreksi penglihatan menggunakan laser paling sering dapat
menghilangkan, atau sangat mengurangi astigmatisme.2

2.5 Ambliopia
2.5.1 Definisi
Ambliopia berasal dari Bahasa Yunani yaitu amblyos (tumpul) dan opia
(penglihatan). Dikenal juga dengan “lazy eye” atau mata malas. Ambliopia
merupakan penurunan visus meskipun dengan koreksi terbaik ketajaman
visual (juga disebut sebagai koreksi ketajaman visual jarak jauh) yang
tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan efek dari kelainan struktural
dari mata atau aksis visual. Keadaan ini biasanya unilateral, jarang
bilateral.
2.5.1 Epidemiologi
Angka kejadian ambliopia cukup beragam di berbagai negara, diprediksi
sekitar 0,2-5,4% pada anak dan 0,35-3,6% pada dewasa. Pada anak di
Eropa, didapatkan angka kejadian ambliopia sebesar 1 – 2,5% dan pada
negara berkembang cenderung didapatkan angka kejadian yang lebih
besar. Insiden ambliopia dilaporkan sebesar 3,5% di seluruh dunia, 1,6% -
3,5% di Inggris, 2,0% - 2,5% di Amerika Serikat, dan di Indonesia sebesar
1,5% - 2,7%. Apabila penderita ambliopia tidak segera diterapi dapat
menyebabkan kelainan penglihatan yang serius dan permanen, persepsi 3
dimensi (depth perception) dapat hilang, serta apabila mata dalam kondisi
baik mengalami sakit atau kecelakaan akan menyebabkan kerusakan tajam
penglihatan seumur hidup. Sementara itu berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Rajavi et al. (2015) pengurangan prevalensi ambliopia dari
3% menjadi 2,3% ini dapat dikaitkan dengan skrining tahunan ambliopia
pada anak-anak usia 3 sampai 6 tahun.
2.5.2 Etiologi
Etiologi ambliopia adalah:
1. Kelainan refraksi (hyperopia, myopia, dan astigmatisma)
2. Perbedaan yang besar kekuatan refraksi antara mata kanan dan kiri
3. Mata juling
4. Hambatan masuknya cahaya ke dalam mata (kelopak mata jatuh/ptosis,
katarak, kekeruhan kornea, atau sebab lain).
2.5.3 Klasifikasi
Ambliopia diklasifikasikan berdasarkan penyebab yang mendasari
kelainan, yaitu:
1. Ambliopia refraktif merupakan bentuk umum lain ambliopia dengan
konsistensi defokus pada retina sebagai penyebab pada satu atau kedua
mata dan dibagi menjadi 2 tipe, yaitu anisometropik dan isoametropik.
a. Ambliopia anisometropik merupakan ambliopia refraktif yang
terjadi ketika adanya perbedaan refraksi antara kedua mata yang
menyebabkan lama kelamaan bayangan pada satu retina tidak
fokus. Jika bayangan di fovea pada kedua mata berlainan bentuk
dan ukuran yang disebabkan karena kelainan refraksi yang tidak
sama antara kiri dan kanan, maka terjadi rintangan untuk fusi.
Terlebih lagi, fovea mata yang lebih ametropik akan menghalangi
pembentukan bayangan (formed vision). Derajat ringan
anisometropia hiperopia atau astigmatisma (1-2D) dapat
menyebabkan ambliopia ringan. Anisometropia miopia ringan (<-
3D) biasanya tidak menyebabkan ambliopia, tapi miopia tinggi
unilateral (-6D) sering menyebabkan ambliopia berat. Begitu juga
dengan hiperopia tinggi unilateral (+6D).
b. Ambliopia isoametropik adalah ambliopia bilateral yang terjadi
pada anak-anak dengan kelainan refraksi tinggi yang tidak
dikoreksi.

2. Ambliopia strabismik diduga disebabkan karena kompetisi atau


terhambatnya interaksi antara neuron yang membawa input yang tidak
menyatu (fusi) dari kedua mata, yang akhirnya akan terjadi dominasi
pusat penglihatan kortikal oleh mata yang berfiksasi dan lama
kelamaan terjadi penurunan respon terhadap input dari mata yang tidak
berfiksasi. Penolakan kronis dari mata yang berdeviasi oleh pusat
penglihatan binokular ini tampaknya merupakan faktor utama
terjadinya ambliopia strabismik, namun pengaburan bayangan foveal
oleh karena akomodasi yang tidak sesuai, dapat juga menjadi faktor
tambahan. Hal tersebut di atas terjadi sebagai usaha inhibisi atau
supresi untuk menghilangkan diplopia dan konfusi (konfusi adalah
melihat 2 objek visual yang berlainan tapi berhimpitan, satu di atas
yang lain).
3. Ambliopia deprivasi, dimana sering disebabkan oleh kekeruhan media
kongenital atau dini, akan menyebabkan terjadinya penurunan
pembentukan bayangan yang akhirnya menimbulkan ambliopia.
Bentuk ambliopia ini sedikit kita jumpai namun merupakan yang
paling parah dan sulit diperbaiki. Ambliopia bentuk ini lebih parah
pada kasus unilateral dibandingkan bilateral dengan kekeruhan identik.
Anak kurang dari 6 tahun, dengan katarak kongenital padat/total yang
menempati daerah sentral dengan ukuran 3mm atau lebih, harus
dianggap dapat menyebabkan ambliopia berat. Kekeruhan lensa yang
sama yang terjadi pada usia >6 tahun lebih tidak berbahaya.
Ambliopia oklusi adalah bentuk ambliopia deprivasi disebabkan
karena penggunaan patch (penutup mata) yang berlebihan. Ambliopia
berat dilaporkan dapat terjadi satu minggu setelah penggunaan
patching unilateral pada anak usia <2 tahun sesudah menjalani operasi
ringan pada kelopak mata.

2.5.1. Manifestasi
Anak-anak mungkin jarang menyadari bila mereka menderita gangguan
penglihatan sehingga mata malas sulit dideteksi. Oleh sebab itu, orang tua
sebaiknya mewaspadai gejala dan tanda berikut ini:
1. Mata terlihat tidak bekerja secara bersamaan.
2. Salah satu mata sering bergerak ke arah dalam atau luar.
3. Anak sulit memperkirakan jarak.
4. Anak sering memicingkan mata atau menutup salah satu mata ketika
melihat.
5. Anak sering memiringkan kepala agar dapat melihat dengan lebih jelas.
6. Hasil tes penglihatan yang buruk
2.5.2. Diagnosis
Ambliopia didiagnosis bila terdapat penurunan tajam penglihatan yang tidak
dapat dijelaskan, dimana hal tersebut ada kaitan dengan riwayat atau kondisi
yang dapat menyebabkan ambliopia. Penegakkan diagnosis dilakukan
dengan anamnesis dan pemeriksaan.
1. Tajam Penglihatan
Penderita ambliopia kurang mampu untuk membaca
bentuk/ huruf yang rapat dan mengenali pola apa yang
dibentuk oleh gambar atau huruf tersebut. Tajam penglihatan
yang dinilai dengan cara konvensional, yang berdasar kepada
kedua fungsi tadi, selalu subnormal. Telah diketahui bahwa
penderita ambliopia sulit untuk mengidentifikasi huruf yang
tersusun linear (sebaris) dibandingkan dengan huruf yang
terisolasi, maka dapat kita lakukan dengan meletakkan balok
disekitar huruf tunggal. Hal ini disebut ”Crowding
Phenomenon”.

2. Neutral Density Filter Test

Tes ini digunakan untuk membedakan ambliopia fungsional dan organik.


Filter densitas netral dengan densitas yang cukup unruk menurunkan
tajam penglihatan mata normal dari 20/20 (6/6) menjadi 20/40 (6/12)
ditempatkan di depan mata yang amblyopik. Bila pasien menderita
amblyopia, tajam penglihatan dengan NDF tetap sama dengan visus
semula atau sedikit membaik. Jika ada amblyopia organik, tajam
penglihatan menurun dengan nyata bila digunakan filter, misalnya
20/100 (6/30) menjadi hitung jari atau lambaian tangan. Keuntungan tes
ini bisa, digunakan untuk screening secara cepat sebelum, dikerjakan
terapi oklusi, apabila penyebab amblyopia tidak jelas.

3. Menentukan Sifat Fiksasi

Pada pasien ambliopia, sifat fiksasi haruslah ditentukan. Penglihatan


sentral terletak pada foveal; pada fiksasi eksentrik, yang digunakan untuk
melihat adalah daerah retina parafoveal, hal ini sering dijumpai pada
pasien dengan strabismik amblyopia daripada anisometropik amblyopia.
Fiksasi eksentrik ditandai dengan tajam penglihatan 20/200 (6/60) atau
lebih buruk lagi.1 Tidak cukup kiranya menentukan sifat fiksasi hanya
pada posisi refleks cahaya korneal. Fiksasi didiagnosis dengan
menggunakan visuskop dan dapat didokumentasi dengan kamera fundus
Zeiss. Tes lain dapat dengan tes tutup alternat untuk fiksasi eksentrik
bilateral.

4. Visuskop

Visuskop adalah oftalmoskop yang telah dimodifikasi yang


memproyeksikan target fiksasi ke fundus. Mata yang tidak diuji ditutup.
Pemeriksa memproyeksikan target fiksasi ke dekat makula, dan pasien
mengarahkan pandagannya ke tanda bintik hitam (asterisk ). Posisi tanda
asterisk di fundus pasien dicatat. Pengujian ini diulang beberapa kali
untuk menentukan ukuran daerah fiksasi eksentrik.12 Pada fiksasi sentral,
tanda asterisk terletak di fovea. Pada fiksasi eksentrik, mata akan
bergeser sehingga asterisk bergerak ke daerah ekstrafoveal dari fiksasi
retina.

5. Tes Tutup Alternat (Alternat Cover Test) untuk Fiksasi Eksentrik


Bilateral
Fiksasi eksentrik bilateral adalah suatu kelainan yang jarang
dijumpai dan terjadi pada pasien–pasien dengan amblyopia
kongenital keduabelah mata dan dalam hal ini pada penyakit
makula bilateral dalam jangka lama. Misalnya bila kedua mata
ekstropia atau esotropia, maka bila mata kontralateral ditutup,
mata yang satunya tetap pada posisi semula, tidak ada usaha
untuk refiksasi bayangan. Tes visuskop akan menunjukkan
adanya fiksasi eksentrik pada kedua belah mata.
2.5.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan pada kasus ambliopia antara lain:
1. Pemeriksaan Tajam Penglihatan
Penderita ambliopia kurang mampu untuk membaca bentuk/ huruf yang
rapat dan mengenali pola apa yang dibentuk oleh gambar atau huruf
tersebut. Tajam penglihatan yang dinilai dengan cara konvensional, yang
berdasar kepada kedua fungsi membaca huruf dan mengenali pola Telah
diketahui bahwa penderita ambliopia sulit untuk mengidentifikasi huruf
yang tersusun linear (sebaris) dibandingkan dengan huruf yang terisolasi,
maka dapat kita lakukan dengan meletakkan balok disekitar huruf
tunggal. Hal ini disebut ”Crowding Phenomenon”. Terkadang mata
ambliopia dengan tajam penglihatan 20/20 (6/6) pada huruf isolasi dapat
turun hingga 20/100 (6/30) bila ada interaksi bentuk (countour
interaction). Perbedaan yang besar ini terkadang muncul juga sewaktu
pasien yang sedang diobati kontrol, dimana tajam penglihatannya jauh
lebih baik pada huruf isolasi daripada huruf linear. Oleh karena itu,
ambliopia belum dikatakan sembuh hingga tajam penglihatan linear
kembali normal.
2 Neutral Density Filter Tes
Tes ini digunakan untuk membedakan ambliopia fungsional dan organik.
Filter densitas netral dengan densitas yang cukup untuk menurunkan
tajam penglihatan mata normal dari 20/20 (6/6) menjadi 20/40 (6/12)
ditempatkan di depan mata yang amblyopik. Bila pasien menderita
ambliopia, tajam penglihatan dengan NDF tetap sama dengan visus
semula atau sedikit membaik. Jika ada ambliopia organik, tajam
penglihatan menurun dengan nyata bila digunakan filter, misalnya
20/100 (6/30) menjadi hitung jari atau lambaian tangan. Keuntungan tes
ini bisa, digunakan untuk screening secara cepat sebelum, dikerjakan
terapi oklusi, apabila penyebab ambliopia tidak jelas.
3 Tes Tutup Alternat (Alternat Cover Test)
untuk Fiksasi Eksentrik Bilateral. Fiksasi eksentrik bilateral adalah suatu
kelainan yang jarang dijumpai dan terjadi pada pasien – pasien dengan
ambliopia kongenital kedua belah mata dan dalam hal ini pada penyakit
makula bilateral dalam jangka lama. Misalnya bila kedua mata ekstropia
atau esotropia, maka bila mata kontralateral ditutup, mata yang satunya
tetap pada posisi semula, tidak ada usaha untuk refiksasi bayangan. Tes
visuskop akan menunjukkan adanya fiksasi eksentrik pada kedua belah
mata.
2.5.4. Penatalaksanaan
Ambliopia, pada kebanyakan kasus, dapat ditatalaksana dengan efektif
selama satu dekade pertama. Lebih cepat tindakan terapeutik dilakukan,
maka akan semakin besar pula peluang keberhasilannya. Bila pada awal
terapi sudah berhasil, hal ini tidak menjamin penglihatan optimal akan
tetap bertahan, maka para klinisi harus tetap waspada dan bersiap untuk
melanjutkan penatalaksanaan hingga penglihatan ”matang” (sekitar umur
10 tahun). Penatalaksanaan ambliopia meliputi langkah – langkah
berikut:
1. Menghilangkan (bila mungkin) semua penghalang penglihatan
seperti katarak
2. Koreksi kelainan refraksi
3. Paksakan penggunaan mata yang lebih lemah dengan
membatasi penggunaan mata yang lebih baik

a. Pengangkatan Katarak
Katarak yang dapat menyebabkan amblyopia harus segera
dioperasi tanpa ada penundaan. Pengangkatan katarak kongenital
pada usia 2-3 bulan pertama kehidupan, sangat penting dilakukan
agar penglihatan kembali pulih dengan optimal.
b. Koreksi Refraksi
Bila ambiyopia disebabkan kelainan refraksi atau anisometropia,
maka dapat diterapi dengan kacamata atau lensa kontak. Ukuran
kaca mata untuk mata amblyopia diberi dengan koreksi penuh
dengan penggunaan sikloplegia. Bila dijumpai myopia tinggi
unilateral, lensa kontak merupakan pilihan, karena bila memakai
kacamata akan terasa berat dan penampilannya (estetika)buruk.
Karena kemampuan mata amblyopia untuk mengatur akomodasi
cenderung menurun, maka ia tidak dapat mengkompensasi
hyperopia yang tidak dikoreksi seperti pada mata anak normal.
c. Oklusi dan Degradasi Optikal
1. Oklusi
Terapi oklusi sudah dilakukan sejak abad ke-18 dan
merupakan terapi pilihan, yang keberhasilannya baik dan
cepat, dapat dilakukan oklusi penuh waktu (full time) atau
paruh waktu (part-time).
- Oklusi Full Time
Pengertian oklusi full- time pada mata yang lebih baik
adalah oklusi untuk semua atau setiap saat kecuali 1 jam
waktu berjaga.(Occlusion for all or all but one waking
hour), arti ini sangat penting dalam pentalaksanaan
amblyopia dengan cara penggunaan mata yang ”rusak”.
Biasanya penutup mata yang digunakan adalah penutup
adesif (adhesive patches) yang tersedia secara komersial.

Penutup (patch) dapat dibiarkan terpasang pada malam hari


atau dibuka sewaktu tidur. Kacamata okluder (spectacle
mounted ocluder) atau lensa kontak opak, atau Annisa’s
Fun Patches. dapat juga menjadi alternatif full-time
patching bila terjadi iritasi kulit atau perekat patch-nya
kurang lengket. Full-time patching baru dilaksanakan
hanya bila strabismus konstan menghambat penglihatan
binokular, karena full-time patching mempunyai sedikit
resiko, yaitu bingung dalam hal penglihatan binokular. Ada
suatu aturan / standar mengatakan full-time patching diberi
selama 1 minggu untuk setiap tahun usia, misalnya
penderita amblyopia pada mata kanan berusia 3 tahun
harus memakai full-time patch selama 3 minggu, lalu
dievaluasi kembali. Hal ini untuk menghindarkan
terjadinya amblyopia pada mata yang baik.

- Oklusi Part-time
Oklusi part-time adalah oklusi selama 1-6 jam per hari, akan
memberi hasil sama dengan oklusi full-time. Durasi interval buka
dan tutup patch- nya tergantung dari derajat amblyopia. Idealnya,
terapi amblyopia diteruskan hingga terjadi fiksasi alternat atau
tajam penglihatan dengan Snellen linear 20/20 (6/6) pada masing
– masing mata. Hasil ini tidak selalu dapat dicapai. Sepanjang
terapi terus menunjukkan kemajuan, maka penatalaksanaan harus
tetap diteruskan.

- Degradasi Optikal

Metode lain untuk penatalaksanaan amblyopia adalah


dengan menurunkan kualitas bayangan (degradasi optikal)
pada mata yang lebih baik hingga menjadi lebih buruk dari
mata yang amblyopia, sering juga disebut penalisasi
(penalization). Sikloplegik (biasanya atropine tetes 1%
atau homatropine tetes 5%) diberi satu kali dalam sehari
pada mata yang lebih baik sehingga tidak dapat
berakomodasi dan kabur bila melihat dekat dekat.
Atropinisasi menunjukkan metode ini memberi hasil yang
sama efektifnya dengan patching untuk amblyopia sedang
(tajam penglihatan lebih baik daripada 20/100).
Atropinisasi tersebut dilakukan pada anak usia 3 – 7
tahun. Atropinisasi juga memperlihatkan bahwa pemberian
atropine pada akhir minggu (weekend) memberi perbaikan
tajam penglihatan sama dengan pemberian atropine harian
yang dilakukan pada kelompok anak usia 3 – 7 tahun
dengan amblyopia sedang. Ada juga studi terbaru yang
membandingkan atropine dengan patching pada 419 orang
anak usia 3-7 tahun,menunjukkan atropine merupakan
pilihan efektif. Sehingga, ahli mata yang tadinya masih
ragu – ragu, memilih atropine sebagai pilihan pertama
daripada patching. Pendekatan ini mempunyai beberapa
keuntungan dibanding dengan oklusi, yaitu tidak
mengiritasi kulit dan lebih apik dilihat dari segi kosmetis.
Dengan atropinisasi, anak sulit untuk ”menggagalkan”
metode ini. Evaluasinya juga tidak perlu sesering oklusi.
2.5.5. Komplikasi
Ambliopia atau ata malas yang tidak segera ditangani berisiko
menyebabkan komplikasi, seperti:
1. Tidak Berkembangnya Penglihatan Sentral
Jika ambliopia tidak diobati selama masa kanak-kanak, penglihatan
sentral mungkin tidak berkembang dengan benar. Hal ini akan
memengaruhi aktivitas sehari-hari mereka, seperti membaca dan
menulis.
2. Strabismus Permanen
Strabismus atau mata juling adalah kondisi ketika mata tidak selaras
dengan benar. Ini merupakan salah satu pemicu dari mata malas, dan
bisa menjadi permanen jika mata malas tidak segera ditangani.
3. Kebutaan
Jika tidak diobati, anak-anak pengidap mata malas akhirnya dapat
kehilangan penglihatan pada mata yang terpengaruh. Hilangnya
penglihatan ini biasanya permanen.
2.5.1 Prognosis
Menurut Setelah 1 tahun, sekitar 73% pasien menunjukkan keberhasilan
setelah terapi oklusi pertama. Bila penatalaksanaan dimulai sebelum usia 5
tahun, visus normal dapat tercapai. Hal ini semakin berkurang seiring
dengan pertambahan usia. Hanya kesembuhan parsial yang dapat dicapai
bila usia lebih dari 10 tahun. Faktor resiko gagalnya penatalaksanaan
ambliopia adalah sebagai berikut:
1. Jenis Amblyopia : Pasien dengan anisometropia tinggi dan
pasien dengan kelainan organik, prognosisnya paling buruk.
Pasien dengan amblyopia strabismik prognosisnya paling baik.
2. Usia dimana penatalaksanaan dimulai : Semakin muda pasien
maka prognosis semakin baik.
3. Dalamnya ambliopia pada saat terapi dimulai : Semakin bagus
tajam penglihatan awal pada mata amblyopia, maka
prognosisnya juga semakin baik.

BAB III
LAPORAN KASUS
ANAMNESIS Nama : Tn. Muhammad Ridho Ruang : -
Umur : 14 Tahun Kelas : -

Nama Lengkap : Tn. Muhammad Ridho


Tempat dan Tanggal Lahir : 17 Februari 2009
Umur : 14 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Plaju
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SMP

Dokter yang Merawat : dr. H. Ibrahim, Sp.M


Dokter Muda : Melenia Rhoma Dona YS, S.Ked
Fransiska Delvia, S.Ked

Tanggal Pemeriksaan : Jumat, 10 Februari 2023

Keluhan Utama :
Pasien datang ke poli mata RS Muhammadiyah Palembang dengan keluhan
pandangan mata kabur ke segala arah yang semakin memberat pada mata kanan dan
kiri sejak 1 bulan yang lalu.

Keluhan Tambahan :
Pasien mengeluh pandangan mata seperti berbayang pada mata kanan dan kiri. Pasien
sering memicingkan mata atau menutup salah satu mata ketika melihat benda jauh.
Saat pasien memaksakan diri untuk melihat benda jauh pasien mengeluh sakit kepala
atau kelelahan mata.

1. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poli Mata RSMP mengeluh penglihatan kabur dan berbayang
pada mata kanan dan kiri. Serta, sakit kepala atau kelelahan mata. Tidak disertai
dengan keluhan mata merah (-/-), seperti melihat asap (-/-), seperti ada yang
mengganjal (-/-), mata terasa gatal (-/-), halo sign (-/-), nyeri pada mata (-/-), secret
(-/-), lakrimasi (-/-), dan tidak mengalami mual muntah.

2. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat trauma pada mata (-)
Riwayat operasi mata (-)
Riwayat penggunaan kacamata (+), 2 tahun yang lalu pasien menggunakan
kacamata namun, 1 tahun terakhir pasien tidak lagi menggunakan kacamata.
Riwayat penyakit diabetes melitus (-)
Riwayat penyakit hipertensi (-)
Riwayat alergi (-)
Riwayat penyakit mata lainnya (-)
Riwayat pemakaian obat-obatan (-)
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit mata dengan keluhan yang sama (-)
Riwayat penggunaan kaca mata (-)
Riwayat penyakit diabetes melitus (-)
Riwayat penyakit hipertensi (-)
Riwayat alergi (-)

PEMERIKSAAN Nama : Tn. Muhammad Ridho Ruang : -


FISIK Umur : 14 Tahun Kelas : -

Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Kompos mentis
Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 61 x/menit
- Laju Napas : 18 x/menit
- Suhu : 37,10C

Status Oftalmologis

Pergerakan bola mata ke segala arah Pergerakan bola mata ke segala arah

No. Pemeriksaan OD OS
1. Visus 20/400 PH (+) 20/60 20/400 PH (+) 20/60
2. Tekanan Intra Okuler Tidak diperiksa Tidak diperiksa
3. Kedudukan Bola Mata
Posisi Ortoforia Ortoforia
Eksoftalmus (-) (-)
Enoftalmus (-) (-)
4. Pergerakan Bola Mata
Atas Baik Baik
Bawah Baik Baik
Temporal Baik Baik
Temporal atas Baik Baik
Temporal bawah Baik Baik
Nasal Baik Baik
Nasal atas Baik Baik
Nasal bawah Baik Baik
Nistagmus (-) (-)
5. Palpebrae
Hematom (-) (-)
Edema (-) (-)
Hiperemis (-) (-)
Benjolan (-) (-)
Ulkus (-) (-)
Fistel (-) (-)
Hordeolum (-) (-)
Kalazion (-) (-)
Ptosis (-) (-)
Ektropion (-) (-)
Entropion (-) (-)
Sekret (-) (-)
Trikiasis (-) (-)
Madarosis (-) (-)
6. Punctum Lakrimalis
Edema (-) (-)
Hiperemis (-) (-)
Benjolan (-) (-)
Fistel (-) (-)
7. Konjungtiva Tarsal Superior
Edema (-) (-)
Hiperemis (-) (-)
Sekret (-) (-)
Epikantus (-) (-)
8. Konjungtiva Tarsalis Inferior
Kemosis (-) (-)
Hiperemis (-) (-)
Anemis (-) (-)
Folikel (-) (-)
Papil (-) (-)
Lithiasis (-) (-)
Simblefaron (-) (-)
9. Konjungtiva Bulbi
Kemosis (-) (-)
Pterigium (-) (-)
Pinguekula (-) (-)
Flikten (-) (-)
Simblefaron (-) (-)
Injeksi konjungtiva (-) (-)
Injeksi siliar (-) (-)
Injeksi episklera (-) (-)
Perdarahan subkonjungtiva (-) (-)
10. Kornea
Kejernihan Jernih Jernih
Edema (-) (-)
Ulkus (-) (-)
Erosi (-) (-)
Infiltrat (-) (-)
Flikten (-) (-)
Keratik presipitat (-) (-)
Macula (-) (-)
Nebula (-) (-)
Leukoma (-) (-)
Leukoma adherens (-) (-)
Stafiloma (-) (-)
Neovaskularisasi (-) (-)
Imbibisi (-) (-)
Pigmen iris (-) (-)
Bekas jahitan (-) (-)
Tes sensibilitas Tidak diperiksa Tidak diperiksa
11. Limbus kornea
Arkus senilis (-) (-)
Bekas jahitan (-) (-)
12. Sklera
Sklera biru (-) (-)
Episkleritis (-) (-)
Skleritis (-) (-)
13. Kamera Okuli Anterior
Kedalaman Normal Normal
Kejernihan Jernih Jernih
Flare (-) (-)
Sel (-) (-)
Hipopion (-) (-)
Hifema (-) (-)
14. Iris
Warna Cokelat Cokelat
Gambaran radier Jelas Jelas
Eksudat (-) (-)
Atrofi (-) (-)
Sinekia posterior (-) (-)
Sinekia anterior (-) (-)
Iris bombe (-) (-)
Iris tremulans (-) (-)
15. Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Besar 3 mm 3 mm
Regularitas Reguler Reguler
Isokoria Isokor Isokor
Letak Central Central
Refleks cahaya langsung (-) (-)
Seklusio pupil (-) (-)
Oklusi pupil (-) (-)
Leukokoria (-) (-)
16. Lensa
Kejernihan Jernih Jernih
Shadow test (-) (-)
Refleks kaca (+) (+)
Luksasi (-) (-)
Subluksasi (-) (-)
Pseudofakia (+) (+)
Afakia (-) (-)
17. Funduskopi
Refleks fundus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Papil Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- warna papil Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- bentuk Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- batas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Retina Tidak dlakukan Tidak dilakukan
- warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- perdarahan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- eksudat Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Makula lutea Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Pemeriksaan Penunjang:
- Pemeriksaan visus dan koreksi visus
- Pemeriksaan slit lamp
Nama : Tn. Muhammad
RINGKASAN ANAMNESIS DAN Ruang : -
Ridho
PEMERIKSAAN JASMANI Kelas : -
Umur : 14 Tahun
Anamnesis
Pasien datang ke Poli Mata RS Muhammadiyah Palembang dengan keluhan
pandangan mata kabur ke segala arah yang semakin memberat pada mata kanan dan
kiri sejak 1 bulan yang lalu. Pasien mengeluh pandangan mata seperti berbayang pada
mata kanan dan kiri. Pasien sering memicingkan mata atau menutup salah satu mata
ketika melihat benda jauh. Saat pasien memaksakan diri untuk melihat benda jauh
pasien mengeluh sakit kepala atau kelelahan mata. Serta, sakit kepala atau kelelahan
mata. Tidak disertai dengan keluhan mata merah (-/-), seperti melihat asap (-/-),
seperti ada yang mengganjal (-/-), mata terasa gatal (-/-), halo sign (-/-), nyeri pada
mata (-/-), secret (-/-), lakrimasi (-/-), dan tidak mengalami mual muntah.

Pemeriksaan Oftalmologikus
OD OS
20/400 Visus 20/400
Pseudofakia (-) Pseudofakia (-)
Lensa
Reflek kaca (-) Reflek kaca (-)

Daftar Masalah:
1. Penglihatan kabur dan berbayang pada mata kanan dan kiri.
2. VOD : 20/400
VOS : 20/400

Diagnosis
Miopia ODS, Astigmatisma Kompositus ODS, Ambliopia ODS

Tatalaksana
Promotif :
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang dialami (miopia,
astigmatisma, ambliopia)
- Beritahu kepada pasien, bahwa gangguan refraksi yang dialami pasien
mengharuskan pasien menggunakan kacamata agar dapat kembali melihat dengan
baik dan jelas
Kuratif :
Gangguan refraksi miopia dikoreksi dengan lensa konkaf (-4.00 D/-4.00S) dan
gangguan refraksi astigmatisma dikoreksi dengan lensa silindris (1.75D/175S).
Diberi obat

Prognosis
Fungsionam : Dubia Ad Bonam
Vitam : Dubia Ad Bonam
Sanationam : Dubia Ad Bonam

BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang ke Poli Mata RS Muhammadiyah Palembang dengan keluhan


pandangan mata kabur ke segala arah yang semakin memberat pada mata kanan
dan kiri sejak 1 bulan yang lalu. Pasien mengeluh pandangan mata seperti
berbayang pada mata kanan dan kiri. Pasien sering memicingkan mata atau
menutup salah satu mata ketika melihat benda jauh. Saat pasien memaksakan diri
untuk melihat benda jauh pasien mengeluh sakit kepala atau kelelahan mata.
Serta, sakit kepala atau kelelahan mata. Tidak disertai dengan keluhan mata merah
(-/-), seperti melihat asap (-/-), seperti ada yang mengganjal (-/-), mata terasa gatal
(-/-), halo sign (-/-), nyeri pada mata (-/-), secret (-/-), lakrimasi (-/-), dan tidak
mengalami mual muntah.
Pada riwayat sakit sebelumnya, riwayat trauma pada mata (-), riwayat
penggunaan kacamata (+) 1 tahun yang lalu, riwayat penyakit diabetes melitus (-),
riwayat penyakit hipertensi (-), riwayat alergi (-), riwayat penyakit mata lainnya
(-), riwayat pemakaian obat-obatan (-). Pada riwayat penyakit keluarga, riwayat
penyakit mata dengan keluhan yang sama (-), riwayat penggunaan kaca mata (-),
riwayat penyakit diabetes melitus (-), terdapat riwayat penyakit hipertensi dari
Ibu, riwayat alergi (-).
Berdasarkan anamnesis yang didapatkan bahwa pasien mengeluh
penglihatan kabur dan berbayang pada mata kanan dan kiri. Serta, nyeri pada
mata kanan dan kiri sertai dirasakan sakit kepala apabila memaksakan diri melihat
benda jauh. Keluhan tersebut sesuai dengan keluhan pada gangguan refraksi yaitu
myopia, astigmatisma dan amblyopia. Gejala miopia adalah penglihatan kabur
khususnya saat melihat jauh. Gejala astigmatisma adalah penglihatan kabur dan
berbayang disertai dengan sakit kepala dan kelelahan pada mata. Gejala
amblyopia adala Mata terlihat tidak bekerja secara bersamaan, Salah satu mata
sering bergerak ke arah dalam atau luar, Anak sulit memperkirakan jarak, Anak
sering memicingkan mata atau menutup salah satu mata ketika melihat, Anak
sering memiringkan kepala agar dapat melihat dengan lebih jelas, Hasil tes
penglihatan yang buruk
Pada pemeriksaan oftalmologis tanggal 10 Februari 2023 didapatkan visus
oculus dextra 20/400 dan visus oculus sinistra 20/400. Visus oculus dextra 20/400
maknanya adalah pasien hanya mampu melihat huruf pada snelen chart proyektor
pada jarak 20 kaki sedangkan orang normal dapat melihat huruf di snelen chart
proyektor jarak 400 kaki yang menandakan terdapat penurunan visus pada mata
kanan pasien. Sedangkan, visus oculus sinistra 20/400 maknanya adalah pasien
hanya mampu melihat huruf pada snelen chart proyektor pada jarak 20 kaki
sedangkan orang normal dapat melihat huruf di snelen chart proyektor jarak 400
kaki yang menandakan terdapat penurunan visus pada mata kiri pasien. Setelah
dilakukan pemeriksaan visus, dilakukan koreksi visus dengan menggunakan pin
hole pada mata kanan dan kiri. Hasil-nya visus oculus dextra dan visus oculus
sinistra negative, yang apabila mengalami perbaikan menunjukkan bahwa
gangguan penglihatan kabur dan berbayang pada pasien terjadi akibat gangguan
refraksi mata. Pada pemeriksaan slit lamp didapatkan amblyopia pada mata kanan
dan kiri, yang menunjukkan bahwa pasien terjadi penurunan penglihatan karena
perkembangan visual yang abnormal.
Hal ini sesuai dengan kepustakaan, bahwa miopia astigmatisma dan
amblyopia adalah gangguan pada media refraksi yang menyebabkan pasien
mengalami penglihatan kabur dan berbayang. Gangguan miopia pada pasien
terjadi di mata kanan dan kiri, setelah dilakukan koreksi visus diketahui bahwa
derajat dioptri lensa konkaf mata kanan pasien adalah -4.00 D dan mata kiri
pasien adalah -4.00 D. Sehingga, diketahui bahwa derajat miopia pada pasien ini
termasuk sedang (-3.00 – 6.00 D). Gangguan astigmatisma pada pasien terjadi di
mata kanan dan kiri, setelah dilakukan koreksi visus diketahui bahwa derajat
dioptri lensa silindris mata kanan pasien adalah 1.75 D axis 300. Sedangkan,
derajat dioptri lensa silindris mata kiri pasien adalah 1.75 D axis 180 0. Sehingga,
berdasarkan tipe nya astigmatisma pada pasien adalah astigmatisma miopia
kompositus dan berdasarkan bentuknya adalah astigmatisma regular. Gangguan
amblyopia pada pasien terjadi di mata kanan dan kiri sehingga terjadi penurunan
visus meskipun dengan koreksi terbaik ketajaman visual (juga disebut sebagai
koreksi ketajaman visual jarak jauh) yang tidak dapat dikaitkan secara langsung
dengan efek dari kelainan struktural dari mata atau aksis visual. Gangguan
refraksi pada pasien ini dapat terjadi akibat faktor degeneratif.
Tatalaksana pada pasien dengan gangguan miopia adalah dikoreksi
menggunakan lensa konkaf, gangguan astigmatisma dikoreksi menggunakan
lensa silindris. Pada kasus, visus pasien dikoreksi dengan menggunakan lensa
konkaf (-4.00 D/-4.00 D) dan lensa silindris (1.75D/1.75D). gangguan amblyopia
diberikan obat tetes cendo asthenof 4x1 dan megabal 1x1 sehari karena visus
koreksi yang diberikan belum tepat. Pasien juga diedukasi mengenai penyakit
yang dialami (myopia astigmatisma dan ambliopia) dan mengharuskan pasien
menggunakan kacamata agar dapat kembali melihat dengan baik dan jelas.
BAB V

KESIMPULAN

Gangguan refraksi berupa miopia ditandai dengan penglihatan kabur


khususnya saat melihat jauh, dan astigmatisma ditandai dengan penglihatan kabur
dan berbayang disertai dengan sakit kepala dan kelelahan pada mata. Pada kasus,
terjadi miopia pada mata kanan dan kiri dengan derajat ringan, dan terjadi
astigmatisma pada mata kanan dan kiri dengan tipe astigmatisma miopia
kompositus. Tatalaksana yang diberikan pada kasus adalah diberikan obat tetes
cendo asthenof 4x1 dan megabal 1x1 terlebih dahulu selama 2 minggu karena
koreksi visus dengan menggunakan kacamata lensa konkaf (-4.00/-4.00D) dan
lensa silindris (1.75D/1.75D) masih belum tepat sehingga pasien harus control
ulang 2 minggu kedepan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sofiania, A dan Santik, YDP. 2016. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


Derajat Miopia pada Remaja (Studi di SMA Negeri 2 Temanggung
Kabupaten Temanggung). Unnes Journal of Public Health Volume 5 Nomor
2, p. 176-185.
2. Ilyas S, Yulianti S. 2017. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-5. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; p. 5-6, 10-1, 77-79, 152-85.
3. Olujić, SM. 2012. Etiology and Clinical Presentation of Astigmatism,
Chapter 10. Dalam : Goggin M, editor. Astigmatism - Optics, Physiology
and Management. Croatia : InTech Europa; p. 167-98
4. Suharjo, H. 2012. Ilmu kesehatan mata. Edisi ke-2. Yogyakarta: Bagian
Ilmu Kesehatan Mata FK UGM, .p.5-6, 45-50, 58-60, 111-21.
5. Snell, RS. 2018. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, p.100-101.
6. Pascolini, D dan Mariotti, SP. 2011. Global estimates of visual impairment:
2010. BR Journal Ophthalmol.
7. Forrester J V, Dick AD, McMenamin PG, Roberts F, Pearlman E. 2016. The
Eye: Basic Science in Practice. Edisi ke-4. Edinburgh: Elsevier; p. 269-336.
8. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. 2018. The Eye. Dalam: American
Academy of Ophthalmology. Basic Clinical Science Course Section 2:
Fundamentals and Principles of Ophthalmology. San Fransisco: American
Academy of Ophthalmology; p. 44-8.
9. Skalicky, SE. 2015. Ocular and Visual Physiology: Clinical Application.
Sydney: Springer; p. 207-359.
10. Remington LA. 2012. Clinical Anatomy and Physiology of the Visual
System. Edisi ke-3. Missouri: Elsevier Butterworth Heinemann; p . 233-50.
11. Humaera, NN., Purwanti, ME., dan Suparta, G. 2021. Tatalaksana dan
Edukasi pada Pasien dengan Miopia Progresif. Volume 10, p. 704–706.
12. American Academy of Ophthalmology. 2019. Section 3 clinical PPITC.
2019- 2020 Basic Clinical and Science Course (BCSC).
13. Supit, F., Timur, A., Selatan, A., dan Tenggara, A. 2021. Miopia :
Epidemiologi dan Faktor Risiko. Volume 48 Issue 12, p. 741–744.
14. Prillia, TS., Trisnowati, T., dan Saleh, RSD. 2013. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Mata. Airlangga University Press.
15. Desy, AA., dan Lukitob, A. 2021. Hubungan Indeks Mass Tubuh dengan
Derajat Miopia. Jurnal Kesehatan Mata, Nomor IV (Ii), p. 115–120.
16. Widjaya, SC dan Rasyid, M. 2019. Hubungan Faktor Genetika Terhadap
Kejadian Astigmatisma pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara Angkatan 2013. Tarumanagara Medical Journal Volume 2
Nomor 1, p. 180-184.

You might also like