Professional Documents
Culture Documents
Ushul Fiqh Pemikiran Syahrur
Ushul Fiqh Pemikiran Syahrur
Oleh:
Nuryanto
NIM: 22913097
Dimulai dari keruntuhan Bani Abbasiyah 1258, hingga sekarang ini, bisa
dikatakan dunia Islam mengalami kemunduran apabila dibandingkan barat. Setelah era
modern hingga post modern seperti saat ini, dunia Islam terus mengalami kesulitan dari
sisi merespon perkembangan dunia. Bagi sebagian orang, salah satu penyebab
kemunduran dunia Islam itu dikarenakan karena ketiadaan metodologi yang tepat untuk
mendiaknosa permasalahan yang ada.
Bagi sebagian orang, perubahan dan perkembangan zaman membawa
konsekwensi akan perubahan dan perkembangan metodologi dan pendekatan dalam
segala lini, termasuk di dalamnya adalah metodologi baru dalam menafsirkan Alquran.
Bagi sebagian orang pula berpendapat bahwa sehebat apapun produk tafsir, ia merupakan
produk anak zaman (ibn zamanih) yang dipengaruhi oleh konteks perubahan zaman dan
epistem (cara berpikir) para mufasirnya.
Muhammad Syahrur adalah salah satu tokoh pemikir kontemporer menganut
perubahan metodologi dan epistemologi baru yang menantang model tafsir lama. Syahrur
mencoba “menawarkan” metodologi baru dengan teori batas (nazhariyyah al-hudûd)
dalam menafsirkan Alquran. Sebuah teori yang memang, orisinal namun sekaligus
kontroversial. Dikatakan orisinal, karena teori tersebut adalah hasil eksperimentasi ilmiah
yang mencoba menginterkoneksikan keilmuan tafsir dengan teori linguistik modern dan
sains modern, terutama teori matematika. Disebut kontroversial, karena bagi sebagian
ulama, teori tersebut dinilai menyalahi, model penafsiran para ulama terdahulu.
Terlepas dari kontroversi di atas, pengembangan metodologi merupakan
keniscayaan sejarah bagi pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk dalam penafsiran
Alquran. Jika dunia Barat lebih maju daripada dunia Timur dalam dunia ilmu
pengetahuan, hal itu karena Barat mampu menguasai dan mengembangkan aspek-aspek
metodologinya. 1 Hal yang sama mestinya juga bisa dilakukan dalam kajian pemikiran
tafsir kontemporer. Dalam rangka mengapresiasi gagasan Muhammad Syahrur sekaligus
mengkritisinya, artikel sederhana ini mencoba menjelaskan tentang teori batas (the theory
of limits) dan kontribusinya dalam penafsiran Alquran, terutama tentang ayat-ayat hukum
seperti ayat tentang potong tangan, konsep poligami dan konsep jilbab. Penulis
mengawali pembahasan ini dengan menjelaskan siapa sosok Muhammad Syahrur?,
bagaimana konsep teori Hudud itu, dan apa kontribusinya dalam penafsiran al Qur’an.
B. Pembahasan
1. Sekilas Latar Belakang Pendidikan dan Sosial Muhammad Syahrur
Nama lengkapnya Muhammad Syahrur Ibn Daib Ibn Daib Syahrur, dilahirkan di
Damaskus, Syiria pada tanggal 11 April 1938. Meninggal 21 Desember 2019, Abu
Dhabi, Uni Emirat Arab, Syahrur usia hidup adalah 71 Tahun. Ayahnya bernama Daib
sedang ibunya bernama Siddiqah Bint Saleh Filyun. Syahrur dianugerahi lima orang anak
yaitu Thariq (hasil pernikahannya dengan Rihab), al-Lais (hasil pernikahannya dengan
Olga), Rima (hasil pernikahannya dengan Luis), sedangkan yang dua lagi adalah Basil
dan Mashun (hasil pernikahannya dengan ‘Azizah). Adapun dua cucunya bernama
Muhammad dan Kinan.1 Dalam tesisnya Fahrul Akmi menyatakan bahwa kasih sayang
Syahrur kepada keluarganya tercermin dalam karya-karnyanya. Selain itu juga, tampak
dalam penyelenggaraan pernikahan anak perempuannya, Rima, yang dirayakan dengan
mengundang para tokoh-tokoh agama dan bahkan tokoh politik dari partai Baath, partai
paling berpengaruh di Syiria.2
7
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta, LkiS, 2010, hlm. 93
8
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta, LkiS, 2010, hlm. 94
9
Ia mulai menulis karya monumental Al-Kitab wa al-Quran selama 20 tahun, mulai dari 1970 hingga 1990.
Sebagai sarjana teknik sipil, ia belajar Islam, hukum Islam, dan filsafat Islam secara otodidak. Ia banyak dipengaruhi
oleh rekannya yang bernama Ja'far Dek al-Bab. Buku tersebut mengalami cetak ulang dari kurang lebih 20.000
eksemplar buku yang telah terjual hanya untuk kawasan Syria saja. Bahkan, versi bajakan dan fotokopi banyak
beredar di banyak negara semisal Lebanon, Yordania, Mesir, Jazirah Arab. Ia juga menulis banyak buku tentang
Islam, hukum Islam, dan lain-lain.
Tahap pertama: 1970-1980. Masa ini diawali ketika ia berada di Universitas
Dublin. Masa ini merupakan masa pengkajian (muraja’at) serta peletakan dasar awal
metodologi pemahaman al-Dzikr, al-Kitab, al-Risalah dan al-Nubuwwah dan sejumlah
kata kunci lainnya. Tahap kedua: 1980-1986. Masa ini merupakan masa yang penting
dalam pembentukan “kesadaran linguistik”nya dalam pembacaan kitab suci. Pada masa
ini ia berjumpa dengan teman satu almamater, Ja’far Dik al-Bab. Syahrur juga banyak
diperkenalkan dengan pemikiran linguistik Arab semisal al-Farra, Abu Ali al-Farisi, Ibn
Jinni, serta al-Jurjani.
Selain karya fenomenal yang membuat dunia arab dan Islam terguncang. Karya-
karya Syahrur juga terkumpul dalam pelbagai buku, antara lain Al-Islam wa al-Iman
Manshimah al-Qiyam (1996) Natwa Ushul Jadidah li al-Figh al-Mar ah al-Islam (2000);
Maryes Misda al Amal al-Islami (1999), Al-Harakah al-Libaraliyyah Rafadhat al- Fiqh
wa al-Tayri átha walakinnaha La Tarfudh al-Islam ka-Tawhid wa Risalah Samawiyah
(2000), Al-Harakah al-Islamiyyah Lan Tafudz ba al Syar'iyyah illa idza Tharahat
Nadhariyah Islamiyyah Mu'dshirah al- Dalah wa al-Mutama (2000) Islam and The 1995
Being World Conference on Women (1998).11
10
Zainal Abidin, Rethinking Islam dan Iman : Studi Pemikiran Muhammad Syahrur, Banjarmasin, IAIN
Antasari Press, tt,, hlm. 19
11
Lukman Zain, MS. Metodologi Pemikiran Muhammad Sharur, Studi Al Kitab Wa al Qur’an: Qira’ah
Mu’ashirah, Jurnal. UIN Banten.tt,hlm. 64
Bagi penulis, ijtihad pemikiran Syahrur itu adalah Kritik Penafsiran Al Qur’an
dan Sunah oleh Muhammad Syahrur. Menurut Badarusyamsyi, dalam chanel youtube-
nya mengatakan bahwa Syahrur mengakatakan bahwa ”Terdapat Kesalahan dalam
Tradisi Pemikiran Islam.”12 Mengiditifikasi prinsip pemikiran Syahrur dikatakan satu
gerbong dengan pemikir kotemporer Islam lainnya, semisal Muhammad Arkoun,
Mohammad Abed Al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid, Abdolkarim Soroush, Ahmad Hanafi,
Fazlur Rahman Khan, Al Na’im.13 Rata-rata pemikiran tokoh-tokoh ini terkonsentrasi
pada masalah-masalah kemanusian, hak asasi manusia, hubungan agama dengan negara,
demokrasi, hubungan muslim dan non muslim, dan epistemologi atau fiqh baru.14
Syahrur melihat bahwa dalam pemikiran Arab-Islam terdapat penyakit yang harus
ditanggulangi dengan segera. (1) Menurutnya, dalam pemikiran Arab tidak ada metode
yang benar-benar ilmiah dan objektif yang digunakan dalam kajian-kajian ilmiah maupun
dalam menelaah kitab suci. Padahal metode ilmiah itu penting agar pemahaman atas Al-
Kitab tidak dangkal dan fanatik akibat dari masuknya sentimen primordial kemadzhaban
dan aliran teologi. (2) Karena tidak tersedia metode ilmiah maka tidak ada pula riset
ilmiah atas berbagai permasalahan. Buku-buku agama yang menyatakan diri ilmiah
kenyataannya adalah upaya jastifikasi atas proyek memfanakan atau membaqakan Islam.
(3) kebanggaan atas kebaqaan Islam dan keagungannya akan ketakutan akan profanisasi
Al-Kitab menjadikan umat Islam, tidak mampu memanfaatkan dan terisolasi dari filsafat
dan pemikiran luar, khususnya tradisi Barat.(4) Isolasi diri dari luar berakibat pada
12
Diakases dari, https://www.youtube.com/watch?v=UbkLUlZ_PNU, 22 Maret 2023
13
Lukman Zain, MS. Metodologi Pemikiran Muhammad Sharur…hlm.64
14
Ibid
15
Diksi Al Kitab digunakan untuk menyebut Al Qur’an, As Sunnah dan kitab-kitab klasik lainnya. Tentu
saja ada kritik metode yang diklaim oleh Syahrur, Rahman, Al Na’im sebagai metode baru. Lukman Zain
mengatakan bahwa metode mereka adalah metode lama, yang dikatakan baru (Baca : Ibid.,hlm.65)
kosongnya pemikiran Arab dari ilmu, filsafat dan epistem baru yang dapat koheren
dengan serta dapat digunakan untuk mengungkap kandungan AI-Qur'an (bagian dari Al-
Kitab yang menerangkan tentang hukum alam dan kemanusiaan), sehingga hasil-hasil
pemikiran tetap terjebak pada mazhab fiqh, aliran teologi.’(5) Syahrur mengatakan bahwa
umat Islam hidup dalam krisis pemahaman yang serius (azmah fiqhiyyah haddah),
sehingga membutuhkan fiqh baru dan pembacaan kontemporer atas Sunnah Nabi.16
16
Lukman Zain, MS. Metodologi Pemikiran Muhammad Sharur … hlm.65
17
Lukman Zain, MS. Metodologi Pemikiran Muhammad Sharur … hlm. 66 - 67
alam ghaib itu sama-sama bersifat material, hanya saja alam ghaib masih tertutup (ghaba)
dari persepsi indera kita sekarang karena perkembangan ilmu belum sampai kemungkinan
mengetahuinya.
Kelima, Syahrur mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara al-Qur’an
dengan filsafat. Kenyataan ini hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang mendalam
ilmunya dengan menggunakan ta’wil, yaitu usaha untuk terus menerus mencari
kesesuaian (tasyabuh) antara teks dengan akal dan realitas. Bagi Syahrur inilah yang
menja di jembatan yang menghubungkan antara kebaqaaan dan kefanaan al-Qur’an.
Dengan prinsip ini Syahrur dapat menerima kesesuaian antara teori Darwin tentang
evolusi; teori Einstein dan lain-lain.
Keenam, alam semesta tidak diciptakan dari kekosongan melainkan dari materi
lain yang memiliki sifat yang berbeda. Sesungguhnya fenomena alam material ini hasil
dari ledakan besar (Big Bang) yang mengantarkannya pada perubahan karakter material.
Ledakan besar yang lain akan terjadi lagi nanti yang akan menghancurkan seluruh alam
ini dan mengubah karakter materialnya serta memberi jalan akan kehadiran alam yang
sama sekali lain yang memiliki hukum dan karakter yang berbeda. Inilah yang disebut
“kehidupan akhirat”. Prinsip ini menjadi acuan Syahrur ketika ia mengkaji konsep
peniupan terompet, kiamat, kebangkitan, pembalasan, surga dan neraka pembalasan dan
lain-lain.
Prinsip-prinsip di atas yang berakar pada rasionalisme dan kekinian telah
diletakkan Syahrur sebagai alat untuk memprofankan Islam dan Kitab Suci. Namun
demikian, selain mengambil prinsip-prinsip metodologi modern, ia juga memperhatikan
prinsip-prinsip klasik dalam upayanya memprofankan Kitab Suci. Syahrur mengambil,
memilih dan memilah berbagai prinsip yang ditawarkan tradisi dan meramunya menjadi
enam prinsip berikut ini :18
(1) Mengacu kepada karakter khusus Bahasa Arab berdasar teori Bahasa yang
dikembangkan oleh Abd ‘Ali al-Farisi, Ibn Jinni dan ‘Abdal-Qahiral-Jurjani
dan bersandar pada puisi-puisi jahiliah. Adapun metode yang ditawarkan
ketiga tokoh itu, menurut Ja’far Dak Albab dalam pengantar buku al-Kitab wa
al-Qur’an, meliputi: (a) adanya keterkaitan antara Bahasa dan pikiran; (b)
18
Lukman Zain, MS. Metodologi Pemikiran Muhammad Sharur … hlm. 66 - 67
Bahasa tidak tumbuh secara sempurna dalam satu waktu melainkan
berkembang sebagaimana berkembangnya pikiran manusia; (c) menolak
adanya sinonimitas dalam bahasa; (d) Bahasa adalah sebuah sistem; (e)
memperhatikan hal- hal yang bersifat universal dan konstan, tanpa menafikan
adanya pengecualian-pengecualian.
(2) Kesimpulan awal dan mutakhir ilmu-ilmu modern menyatakan bahwa dalam
setiap Bahasa tidak ditemukan kata-kata yang sinonim, tetapi ditemukan
antonim. Setiap kata (secara otonom) mengandung perubahan-perubahan
historis baik yang merusak atau maupun yang melahirkan makna baru dengan
tetap berkaitan dengan makna awalnya. Begitu pula dengan kata dalam Bahasa
Arab, ia tidak mengenal sinonim namun mengalami perubahan makna. Untuk
kepentingan itu dibutuhkan kamus Bahasa yang memadai. Syahrir
menganggap kamus Magayisal-Lughah karya Ibn Faris menjawab kebutuhan
itu, karena kamus ini tidak mengenal sinonim. Dengan prinsip tidak ada
sinonim dalam Bahasa dan bekal kamus inilah Syahrir menganalisa ratusan
kata dalam Al-Kitab yang melahirkan berbagai pengertian yang tidak biasa.
(3) Islam adalah agama yang sesuai dengan segala tempat dan waktu maka kitab
sucinya (al-kitab) harus dianggap turun kepada kita pada zaman kita abad 20
masehi ini, seolah-olah Nabi Saw baru saja meninggal dan menyampaikan
kitab ini kepada kita. Menurut Syahrur, bacalah dengan konteks zaman dan
perangkat metodologi, yang paling tahu makna al-kitab untuk kehidupannya.
Tafsir yang kita lakukan untuk abad kita menjadi sejajar dengan tafsir yang
dilakukan Nabi untuk abadnya. Kesejajaran tafsir kita dengan tafsir nabi
bukan terletak pada hasilnya melainkan pada proses interaksinya. Tentu saja,
prinsip ini dapat membuat gerah para mufassir yang berpandangan bahwa
tafsir terbaik adalah tafsir oleh rasul, kemudian tafsir shahabat dan tabiin
(tafsir bi al-ma‘tsur) dan yang mengharuskan kita mengikuti tafsir salaf.
(4) Al-Kitab adalah petunjuk bagi manusia. Oleh karena itu akal manusia akan
dapat memahami Al-Kitab atau ia dapat dipahami sesuai dengan kemampuan
akal pembacanya. Al-Kitab datang dengan Bahasa yang dapat dipahami, yaitu
Bahasa arab yang jelas (al-mubin). Syahrur menolak pandangan yang
menyatakan adanya kata-kata dalam Al-Kitab yang tidak bisa dipahami.
Menurutnya, tidak ditemukan keterputusan antara Bahasa dan pikiran, dan
pemahaman bersifat historis, relative dan temporer, maka Bahasa Al-Kitab
menyediakan ratusan milyar kemungkinan makna sesuai dengan
perkembangan historis, dan sifat relative dan temporer dari pikiran dan
pemahaman manusia. Prinsip ini juga berarti Al-Kitab mengandung sifat
kemanusiaan bukan kaaraban. Kesesuaiannya tidak untuk masayarakat Arab
semata, melainkan untuk seluruh penjuru dunia; tidak hanya terbatas pada
masa Nabi dan shahabat melainkan untuk seluruh masa.
(5) Allah telah memuliakan akal manusia sebagai lawan bicaranya, oleh
karenanya (a) tidak mungkin ada pertentangan antara akal dengan wahyu dan
(b) tidak ada pertentangan antara wahyu dan realitas. Karena kalua ada
pertentangan berarti Allah telah bertindak sia-sia dengan mengirimkan wahyu.
(6) Karena Allah telah memuliakan akal manusia maka sepantas nyalah kita juga
memuliakan dan menghormatinya. Dengan ini Syahrur mengajak kita bersikap
toleran dan demokratis.
20
Ibid, hlm.5
21
Ibid, hlm.6
22
Ibid.
23
Ibid
Sementara itu, Syahrûr dalam rangka menafsirkan ulang ayat-ayat muhkamât
(ayat-ayat hukum) dalam al Quran adalah teori batas (nazhariyyah al-hudûd). Teori
tersebut dibangun atas asumsi bahwa risalah Islam yang dibawa Muhammad Saw adalah
risalah yang bersifat mendunia (‘âlamiyah) dan dinamis, sehingga ia akan tetap relevan
dalam setiap zaman dan tempat (shâlih li kulli zamân wa makân). Kelebihan risalah Islam
adalah bahwa di dalamnya terkandung dua aspek gerakan. Pertama, gerakan konstan
(istiqâmah) dan kedua gerakan dinamis (hanîfiyyah). Dua hal ini yang menyebabkan
ajaran Islam menjadi fleksibel. Namun demikian, sifat fleksibiltas (al-murûnah) ini
berada dalam bingkai hudûdullâh (batas-batas Allah).
Perbandingan Teori Hudud
Menurut Abdul Mustaqim24
Lebih lanjut, Syahrûr membagi hudûd itu ke dalam dua bagian. Pertama, al-
hudûd fî al-`ibâdah (batasan-batasan berkaitan dengan ibadah ritual murni) yang dalam
hal ini tidak ada medan ijtihad. Hal-hal yang bersifat al-sya`â’ir cukup diterima begitu
saja dan pemahamannya tetap dari dulu zaman Nabi Saw hingga sekarang. Sebagai
24
Ibid, hlm.13
contoh adalah bahwa cara shalat, puasa dan haji umat Islam saat ini adalah sama seperti
yang dipraktikkan Nabi dulu. Ijtihad dalam hal ini justru malah dianggap sebagai bid’ah.
Kedua, al-hudûd fi al-ahkâm (batas-batas dalam hukum). Dalam hal ini Syahrûr
membaginya menjadi enam macam. Dalam aplikasinya teori hudûd yang ditawarkan
Syahrûr menggunakan pendekatan analisis metematis (al-tahlil alriyâdli).
Secara genealogis, teori ini dulu dikembangkan oleh seorang ilmuan bernama
Issac Newton, terutama mengenai persamaan fungsi yang dirumuskan dengan Y = F (X),
jika ia hanya mempunyai satu variabel dan Y + F (X,Z), jika ia mempunyai dua variabel
atau lebih. Berikut adalah contoh implementasi teori hudud yang dikembangkan oleh
Syahrur:
1. Halât hadd al-a`lâ, yaitu di mana daerah hasil (range) dari persamaan fungsi
Y= F (x) berbentuk garis lengkung yang menghadap ke bawah (kurva
tertutup), yang hanya memiliki satu titik balik maksimum, berhimpit dengan
garis lurus dan sejajar dengan sumbu X. Berikut Gambar Persamaan Fungsi:
Halâh hadd al-a`lâ ini hanya memiliki batas maksimal saja, sehingga
penetapan hukumnya tidak boleh melebihi batas maksimal, tetapi boleh di
bawahnya atau tetap berada pada garis atau batas maksimal yang telah
ditentukan Allah Swt. Contoh adalah ajaran tentang Qishash (hukuman
setimpal). Dalam konteks di sini akan disuguhkan hukuman potong tangan
bagi pencuri laki-laki dan perempuan dalam Q.S. al-Mâ’idah [5]: 38.
Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al
Mâ‟idah [5]: 38)
2. Hâlah hadd al-adnâ adalah posisi batas minimal. Persamaan fungsi dalam
posisi ini mempunyai daerah hasil berbentuk kurva terbuka (parabola) yang
memiliki satu titik balik minimum, terletak berhimpit dengan garis sejajar
sumbu X . Gambar persamaan fungsi tersebut adalah:
Dalam hal ini, penetapan hukuman dilakukan di antara kedua batas tersebut.
Pada sebagian ayat-ayat hudûd ada yang mempunyai batas maksimal
sekaligus batas minimal, sehingga penetapan hukum dapat dilakukan di antara
kedua batas tersebut. Ayat-ayat yang termasuk dalam kategori ini adalah
tentang pembagian harta waris dalam Q.S. al-Nisâ [3]: 11-14 dan tentang
poligami dalam Q.S al-Nisâ‟ [3]: 3.
3. Ketiga: Hâlah hadd al’alâ wa al-adnâ ma’an, yaitu posisi batas maksimal
dan minimal ada secara bersamaan, di mana daerah hasilnya berupa kurva
gelombang yang memiliki sebuah titik balik maksimum dan minimum.
Kedua titik balik tersebut terletak berhimpit pada garis lurus sejajar dengan
sumbu X. Inilah yang disebut dengan fungsi trigonometri. Gambar dari
persamaan fungsi tersebut sebagai berikut:
Dalam hal ini, penetapan hukuman dilakukan di antara kedua batas tersebut.
Pada sebagian ayat-ayat hudûd ada yang mempunyai batas maksimal
sekaligus batas minimal, sehingga penetapan hukum dapat dilakukan di
antara kedua batas tersebut. Ayat-ayat yang termasuk dalam kategori ini
adalah tentang pembagian harta waris dalam Q.S. al-Nisâ [3]: 11-14 dan
tentang poligami dalam Q.S al-Nisâ‟ [3]: 3.
4. Hâlah al-Mustaqîm (posisi lurus). Daerah hasil pada posisi keempat ini
berupa garis lurus yang sejajar dengan sumbu X. Pada grafik ini nilai Y=
f(X) adalah konstan untuk semua nilai X. Dengan lain ungkapan, nilai
maksimal dan nilai minimal tidak ada, karena nilai minimal, nilai maksimal
dan nilai Y yang lain adalah sama. Dengan demikian, didapat sebuah
persamaan Y= N 1 dengan bentuk grafik garis lurus mendatar.
Pada kondisi ini, ayat hudûd tidak punya batas minimal maupun maksimal,
sehingga tidak ada alternatif hasil dari penerapan hukumannya selain yang
disebutkan dalam ayat tersebut. Dengan lain ungkapan, hukum tidak
berubah meskipun zaman berubah. Contohnya adalah hukuman bagi pelaku
zina yang ditetapkan dalam Q.S. an-Nûr [24]: 2, bahwa pelaku zina laki-laki
bujang (muhshan) dan perempuan perawan (muhshanah) dicambuk seratus
kali, sebagaimana firman Allah:
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-
orang yang beriman. (Q.S. al-Nûr [24]: 2)
Menurut Syahrûr, dalam kasus zina tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali
harus menerapkan hukuman cambuk seperti yang disebutkan dalam ayat
tersebut. Karena dalam ayat tersebut ditegaskan, walâ ta’khudzkum bihimâ
ra`fatun fî dînillâh. Artinya, dalam menerapkan hukuman zina, seseorang
tidak boleh menaruh rasa kasihan kepada pelaku zina tersebut.
Posisi batas maksimal ini cenderung mendekat tanpa ada persentuhan sama
sekali, kecuali pada daerah yang tak terhingga. Jika diaplikasikan dalam
ayat hudûd, maka contohnya adalah fenomena hubungan laki-laki dan
perempuan. Hubungan tersebut berawal dari hubungan biasa, tanpa
melibatkan hubungan fisik, kemudian meningkat perlahan-lahan pada
hubungan fisik, sampai mendekati garis mustaqîm, yaitu batas perzinaan.
Garis mustaqîm ini tidak memiliki batas minimal dan maksimal dan hanya
ditandai dengan satu titik garis lurus. Garis lurus itu ditetapkan oleh Allah
sebagai hubungan seksual antara laki dan perempuan di luar nikah yang
disebut dengan zina. Itulah sebabnya Alquran menggunakan redaksi walâ
taqrabû al-zinâ dan walâ taqrabû al-fawâhisys. Ini memberikan isyarat
bahwa pendekatannya tersebut jika diteruskan akan menjerumuskan ke
dalam larangan Allah Swt.
Aplikasi posisi ini dapat dilihat dalam masalah riba sebagai batas maksimal
positif yang tidak boleh dilanggar dan zakat sebagai batas minimal negatif
yang boleh dilampauinya. Artinya, riba yang yang belipat ganda (adl`âfan
mudlâ’afan) tidak boleh, sedangkan orang mau melakukan zakat di atas 2,5
% sebagai batas minimal diperbolehkan. Hal itu kemudian menjadi
shadaqah, yang memiliki dua batas, batas maksimal pada daerah positif dan
batas minimal pada daerah negatif. Posisi tersebut secara otomatis
mempunyai batas tengah, tepat berada di antara keduanya yang disimbolkan
dengan titik nol pada persilangan kedua sumbu. Itulah riba tanpa bunga
(qardl al-hasan). Dalam kondisi tertentu, sangat mungkin pihak bank
memberi kredit tanpa bunga terhadap mereka yang berhak menerima
sedekah. Hal itu merupakan bentuk aplikasi dari batas minimal (yakni:
bunga nol persen) dalam masalah bunga bank, sebagai salah satu bentuk
tawaran bank Islami. Demikianlah deskripsi teori hudûd yang ditawarkan
Syahrûr, terutama yang berkaitan dengan masalah al-hudûd fî al- ahkâm.
Jika dianalisis secara cermat, maka ada perbedaan yang sangat jelas antara teori hudûd
konvensional dengan teori hudûd Syahrûr dan dalam hal ini tampak bahwa ia memang
melakukan penafsiran yang keluar dari kebiasaan umumnya orang atau de-familiarization of
interpretations meminjam istilah Andreas Christmann. Meskipun tetap perlu dicatat bahwa
dalam hal ini Syahrûr sebenarnya telah memaksakan gagasan ekstra Qur'ani (baca: takalluf)
dengan mencocok-cocokkan teori matematika dalam penafsirannya, yang kadang justru
mengabaikan konteks internal maupun ekstrenal ayat. Sebagai contoh adalah ketika ia
menafsirkan kata hanîf dalam Q.S. al-An'âm [6]:161 dan Q.S. al-Rûm [30]: 30 dengan
pengertian elastis (taghayyur). Begitu juga ia ketika menafsirkan kata fitrah dalam Q.S. al-
Rûm [30]: 30 dengan pengertian instinct (gharîzah).
C. Kesimpulan
Kritik Syahrur terhadap model tafsir klasik adalah ketiadaan Petunjuk Metodologi
dalam pembahasan Imiah Tematik terhadap penafsiran Al Qur’an. Selain itu juga terdapat
hukum masa lalu, yang diterapkan pada masa kini (ijtihad) sehingga ini mempersulit
konektifitas tafsir Al Qur’an terhadap permasalahan kekinian. Syahrur juga
mempermaslahkan tentang ketiadaan keterkaitan interaksi tafsir Al Qur’an dengan Filsafat
Humaniora (falsafah insaniah), yang memicu ketiadaan epistimologi Islam yang valid.
Syahrur berpendapat bahwa produk fiqh sudah tidak relevan, perlu diganti dengan
produk fiqh yang baru. Tafsir konvensional bagi Syahrur tidak mengantarkan kemajuan Arab
Islam. Hal ini tidak bisa tercapai dalam memahami teks, kecuali dengan melalui pemikiran
rasional, perubahan Metode Tafsir. Oleh aneka persoalan inilah Syahrur menghadirkan teori
hudud yang kontroversial bagi ulama fiqh konvesinal.
Daftar Pustaka
Abdul Mustaqim, 2008, Teori Hudûd Muhammad Syahrur dan Kontribusinya dalam
Penafsiran Alquran, jurnal, Yogyakarta: Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, Indonesia
LINK INTERNET