You are on page 1of 22

PEMIKIRAN (IJTIHAD) MUHAMMAD SYAHRUR

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah:


  Studi Al-Qur’an dan Al-Hadis

Dosen Pengampu: Dr.Drs. Yusdani, M.Ag.

Oleh:
Nuryanto
NIM: 22913097

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA (UII)
TAHUN 2023/2024
A. Latar Belakang Masalah

Dimulai dari keruntuhan Bani Abbasiyah 1258, hingga sekarang ini, bisa
dikatakan dunia Islam mengalami kemunduran apabila dibandingkan barat. Setelah era
modern hingga post modern seperti saat ini, dunia Islam terus mengalami kesulitan dari
sisi merespon perkembangan dunia. Bagi sebagian orang, salah satu penyebab
kemunduran dunia Islam itu dikarenakan karena ketiadaan metodologi yang tepat untuk
mendiaknosa permasalahan yang ada.
Bagi sebagian orang, perubahan dan perkembangan zaman membawa
konsekwensi akan perubahan dan perkembangan metodologi dan pendekatan dalam
segala lini, termasuk di dalamnya adalah metodologi baru dalam menafsirkan Alquran.
Bagi sebagian orang pula berpendapat bahwa sehebat apapun produk tafsir, ia merupakan
produk anak zaman (ibn zamanih) yang dipengaruhi oleh konteks perubahan zaman dan
epistem (cara berpikir) para mufasirnya.
Muhammad Syahrur adalah salah satu tokoh pemikir kontemporer menganut
perubahan metodologi dan epistemologi baru yang menantang model tafsir lama. Syahrur
mencoba “menawarkan” metodologi baru dengan teori batas (nazhariyyah al-hudûd)
dalam menafsirkan Alquran. Sebuah teori yang memang, orisinal namun sekaligus
kontroversial. Dikatakan orisinal, karena teori tersebut adalah hasil eksperimentasi ilmiah
yang mencoba menginterkoneksikan keilmuan tafsir dengan teori linguistik modern dan
sains modern, terutama teori matematika. Disebut kontroversial, karena bagi sebagian
ulama, teori tersebut dinilai menyalahi, model penafsiran para ulama terdahulu.
Terlepas dari kontroversi di atas, pengembangan metodologi merupakan
keniscayaan sejarah bagi pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk dalam penafsiran
Alquran. Jika dunia Barat lebih maju daripada dunia Timur dalam dunia ilmu
pengetahuan, hal itu karena Barat mampu menguasai dan mengembangkan aspek-aspek
metodologinya. 1 Hal yang sama mestinya juga bisa dilakukan dalam kajian pemikiran
tafsir kontemporer. Dalam rangka mengapresiasi gagasan Muhammad Syahrur sekaligus
mengkritisinya, artikel sederhana ini mencoba menjelaskan tentang teori batas (the theory
of limits) dan kontribusinya dalam penafsiran Alquran, terutama tentang ayat-ayat hukum
seperti ayat tentang potong tangan, konsep poligami dan konsep jilbab. Penulis
mengawali pembahasan ini dengan menjelaskan siapa sosok Muhammad Syahrur?,
bagaimana konsep teori Hudud itu, dan apa kontribusinya dalam penafsiran al Qur’an.

B. Pembahasan
1. Sekilas Latar Belakang Pendidikan dan Sosial Muhammad Syahrur

Nama lengkapnya Muhammad Syahrur Ibn Daib Ibn Daib Syahrur, dilahirkan di
Damaskus, Syiria pada tanggal 11 April 1938. Meninggal 21 Desember 2019, Abu
Dhabi, Uni Emirat Arab, Syahrur usia hidup adalah 71 Tahun. Ayahnya bernama Daib
sedang ibunya bernama Siddiqah Bint Saleh Filyun. Syahrur dianugerahi lima orang anak
yaitu Thariq (hasil pernikahannya dengan Rihab), al-Lais (hasil pernikahannya dengan
Olga), Rima (hasil pernikahannya dengan Luis), sedangkan yang dua lagi adalah Basil
dan Mashun (hasil pernikahannya dengan ‘Azizah). Adapun dua cucunya bernama
Muhammad dan Kinan.1 Dalam tesisnya Fahrul Akmi menyatakan bahwa kasih sayang
Syahrur kepada keluarganya tercermin dalam karya-karnyanya. Selain itu juga, tampak
dalam penyelenggaraan pernikahan anak perempuannya, Rima, yang dirayakan dengan
mengundang para tokoh-tokoh agama dan bahkan tokoh politik dari partai Baath, partai
paling berpengaruh di Syiria.2

Muhammad Syahrur mengawali pendidikan dasar dan menengah di Damaskus,


Suriah. Pendidikan menengahnya diselesaikannya pada tahun 1957. Setelah itu, Syahrur
memantapkan hati dan pikiran kuliah di luar negeri, yakni di Moskow, Uni Soviet. 3 Di
negeri tirai besi ini, Syahrur mempelajari teknik sipil selama kurang lebih tiga tahun. Di
Soviet pula ia mulai bertemu dengan pemikiran Marxis dan tokoh lain, seperti Hegel dan
1
Tesis Fahrul Akmi, Pemikiran As-Sunnah Kontemporer Muhammad Syahrur, Studi Terhadap Kitab As-
Sunnah Ar-Rasuliyah wa Sunnah An-Nabawiyyah (Medan : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2018) hal.25
2
Ibid
3
Uni Soviet adalah sebuah gabungan atau federasi negara-negara yang memiliki paham sosialis-komunis
dan berdiri dari tahun 1922 sampai 1991. Federasi tersebut bernama Republics Sosialist Soviet (RSS). Awalnya,
federasi RRS ini hanya terdiri atas empat negara saja, yakni Russian Soviet Federated Socialist Republic (Rusia
SFSR), Transcaucasia SFSR, Ukrainian SSR, dan Belorussian SSR. Berawal dari empat negara, kemudian Uni
Soviet berkembang menjadi 15 negara (pada tahun 1956) yang terdiri dari Armenia, Azerbaijan, Byelorussia,
Estonia, Georgia, Kazakhstan, Kirgizstan, Latvia, Lithuania, Moldavia, Rusia, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina,
dan Uzbekistan. Hingga tahun 1991, Uni Soviet adalah negara dengan kekuasaan terbesar di dunia. Namun di tahun
yang sama, negera ini mengalami pelbagai masalah yang memecah menjadi beberapa negara terpisah, dengan
kekuasaan terbesar sekarang adalah Negara Rusia.
Alfred North Whitehead. Muhammad Syahrur kemudian meraih gelar diploma di bidang
teknik sipil pada tahun 1964. Setelah selesai, ia kembali ke Suriah untuk menjadi dosen
di Universitas Damaskus. Tidak lama kemudian, ia melanjutkan studi teknik sipil ke
University College, Inggris. Ia berhasil meraih gelar doktor di Inggris pada tahun 1972.

Muhammad Syahrur kecil hidup di tengah negara dalam penjajahan Perancis,


meskipun sudah mendapat status setengah merdeka. Perancis telah menduduki negara
Syria dan berkuasa dengan ketidakpastian. Sistem mandatnya sendiri menyatakan bahwa
orang Perancis dapat tetap berada di Syria tanpa batas waktu dan nasionalisme Arab yang
tidak konsisten dan tidak jelas telah menjadi gagasan politik yang berkuasa di zaman itu. 4
Selain dalam penjajahan negara lain, seperti negara-negara Timur Tengah lain, Syria juga
menghadapi problem modernitas, khususnya benturan keagamaan (antara agama) dengan
gerakan modernisme Barat. Problem ini muncul karena faktor dalam penjajahan oleh
perancis, juga dipengaruhi kekalahan dahsyat tentara Syria dan pengeboman Damaskus,
tidak bisa dipungkiri pula karena dampak dari modernisme Turki yang sekuler.5

Namun demikian di tahun-tahun usia belajar Muhammad Syahrur, Syiria 6


memiliki peran besar dalam pemikiran keislaman. Tidak heran apabila di Syiria muncul
tokoh-tokoh Islam yang terkenal baik dari sayap kanan (tradisionalisme) maupun dari
golongan sayap kiri (sekulerisme). Bukan tanpa sebab, hal ini tidak lepas dari perhatian
pemerintah Syria terhadap dunia pendidikan sangat baik. Hal itu terbukti dengan
banyaknya beasiswa yang diberikan kepada para siswa. Oleh karena itu, sangat wajar jika
persentase yang tidak buta huruf mencapai 75% dari total jumlah penduduk Syria. Pada
saat itu sudah terdapat empat Universitas, yakni Universitas Damaskus, Universitas
4
Problem ini pada gilirannya memunculkan tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Qasimy (1866-1914) dan
Thahir al-Jaza’iry (1852-1920) yang berusaha menggalakkan reformasi keagamaan di Syria. Reformasi al-Qasimy
murid Muhammad Abduh, mencanangkan untuk kembali menemukan makna Islam yang orisinil dalam Al-Qur’an
dan as-Sunnah sambil menekankan kepada ijtihad. Gagasan Al-Qasimy ini kemudian diteruskan oleh Thahir al-
Jaza’iry beserta teman-temannya dan kali ini gagasannya lebih mengarah kepada upaya memajukan sektor
pendidikan. (Moh. Hasan, Rekonstruksi Fiqh Perempuan : Telaah terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur,
Semarang. AKFI Media, 2009, hlm. 21)
5
Diakses dari : http://repository.radenfatah.ac.id/14990/2/BAB%20II.pdf, 22 Maret 2023
6
Dalam sejarah, Syiria atau Suriah tercatat sebagai negara yang memiliki pengaruh luar biasa besar dalam
belantika pemikiran dunia Islam, baik sosial, politik, budaya, maupun intelektual. Banyak pemikir muslim yang juga
lahir dari negeri Suriah ini, seperti Musthafa as-Siba’i, seorang ahli hadits yang juga pernah menjadi pengawas
umum gerakan Al-Ikhwanul Al-Muslimun dan Muhammad Sa’id Hawwa yang juga menjadi tokoh gerakan tersebut.
Di era kontemporer sekarang ini, muncul pula tokoh-tokoh pemikir Syria, seperti Aziz al-Azmeh, Adonis (Ali
Ahmad Said), Georgy Kan’an, Firas Sawwah, dan Hadi Alwi, yang oleh Ghasan F. Abdullah dikategorikan sebagai
tokoh gerakan sekularisme baru di dunia Arab (Baca: Ibid)
Aleppo, Universitas Teshreen, dan Universitas al-Ba’ath. Iklim akademiknya pun tampak
sangat kondusif. Ada sekitar 53.500 mahasiswa yang menempuh pendidikan di perguruan
tinggi. Kondisi ini turut memberikan motivasi bagi karier akademik Syahrur di Suriah
sehingga ia dapat melanjutkan studinya ke Moscow Uni Soviet.7

Perhatian Syahrur terhadap kajian ilmu-ilmu keislaman sebenarnya dimulai sejak


dia berada di Dublin Irlandia pada tahun 1970-1980 ketika beliau sedang mengambil
program master dan doktor. Pengaruh dan peran temannya, doktor Ja‟far Dakk al-Bab,
sangat besar dalam pemikiran Syahrur. Sebab berkat pertemuannya dengan Ja‟far pada
tahun 1958 dan 1964, Syahrur dapat belajar banyak tentang ilmu-ilmu bahasa. Bukunya
yang pertama kali terbit adalah al kitab wa al Quran: Qira’ah Mu’asirah pada tahun
1990. Buku tersebut merupakan hasil pengendapan pemikiran yang cukup panjang,
sekitar 20 tahun. Pada fase pertama, yaitu tahun 1970-1980, Syahrur merasa bahwa
kajian keislaman yang dilakukan kurang membuahkan hasil, dan tidak ada teori baru
yang diperolehnya. Dia merasa selama tafsir Islam masih terkungkung oleh literatur-
literatur keislaman klasik yang cenderung memandang “Islam” sebagai idiologi (al-
aqîdah), baik dalam bentuk pemikiran kalam (Islamic Theology) maupun fiqh. Sebagai
implikasinya, maka pemikiran tafsir akan mengalami stagnasi dan nyaris hanya jalan di
tempat, sebab selama ini seolah pemikiran tafsir dianggap sebagai sesuatu yang final.8

Dengan segenap kontrovesi yang dimilikinya, Syahrur memiliki karya-karya


monumental yang menjadi bahan kajian dari akademisi seluruh dunia. Diantara karya
tersebut adalah al-Kitab wa al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, kitab ini berusaha
membaca al Qur’an dan As Sunnah menggunakan pendekatan ilmu alam, khususnya
matematika dan fisika. Karya ini disusun Syahrur selama 20 tahun, yakni sekitar tahun
1970-1990.9 Menurut Zaenal Abidin, Syahrur memberikan tiga tahapan yang dilaluinya
dalam penyusunan karyanya tersebut, yakni :

7
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta, LkiS, 2010, hlm. 93
8
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta, LkiS, 2010, hlm. 94
9
Ia mulai menulis karya monumental Al-Kitab wa al-Quran selama 20 tahun, mulai dari 1970 hingga 1990.
Sebagai sarjana teknik sipil, ia belajar Islam, hukum Islam, dan filsafat Islam secara otodidak. Ia banyak dipengaruhi
oleh rekannya yang bernama Ja'far Dek al-Bab. Buku tersebut mengalami cetak ulang dari kurang lebih 20.000
eksemplar buku yang telah terjual hanya untuk kawasan Syria saja. Bahkan, versi bajakan dan fotokopi banyak
beredar di banyak negara semisal Lebanon, Yordania, Mesir, Jazirah Arab. Ia juga menulis banyak buku tentang
Islam, hukum Islam, dan lain-lain.
Tahap pertama: 1970-1980. Masa ini diawali ketika ia berada di Universitas
Dublin. Masa ini merupakan masa pengkajian (muraja’at) serta peletakan dasar awal
metodologi pemahaman al-Dzikr, al-Kitab, al-Risalah dan al-Nubuwwah dan sejumlah
kata kunci lainnya. Tahap kedua: 1980-1986. Masa ini merupakan masa yang penting
dalam pembentukan “kesadaran linguistik”nya dalam pembacaan kitab suci. Pada masa
ini ia berjumpa dengan teman satu almamater, Ja’far Dik al-Bab. Syahrur juga banyak
diperkenalkan dengan pemikiran linguistik Arab semisal al-Farra, Abu Ali al-Farisi, Ibn
Jinni, serta al-Jurjani.

Melalui tokoh-tokoh tersebut, Syahrur memperoleh tesis tentang tidak adanya


sinonimitas (‘adamu al-taraduf) dalam bahasa. Sejak tahun 1984, Syahrur mulai menulis
pikiran-pikiran penting yang diambil dari ayat-ayat yang tertuang dalam kitab suci.
Melalui diskusi bersama Dik al-Bab, Syahrur berhasil mengumpulkan hasil pikirannya
yang masih terpisahpisah. Tahap ketiga: 1986-1990. Syahrur mulai mengumpulkan hasil
pemikirannya yang masih berserakan. Hingga tahun 1987, Syahrur telah berhasil
merampungkan bagian pertama yang berisi gagasan-gagasan dasarnya. Segera setelah itu,
bersama Dik al-Bab, Syahrur menyusun “hukum dialektika umum” (qawanin al-jadal
al-‘am) yang dibahas di bagian kedua buku tersebut.10

Selain karya fenomenal yang membuat dunia arab dan Islam terguncang. Karya-
karya Syahrur juga terkumpul dalam pelbagai buku, antara lain Al-Islam wa al-Iman
Manshimah al-Qiyam (1996) Natwa Ushul Jadidah li al-Figh al-Mar ah al-Islam (2000);
Maryes Misda al Amal al-Islami (1999), Al-Harakah al-Libaraliyyah Rafadhat al- Fiqh
wa al-Tayri átha walakinnaha La Tarfudh al-Islam ka-Tawhid wa Risalah Samawiyah
(2000), Al-Harakah al-Islamiyyah Lan Tafudz ba al Syar'iyyah illa idza Tharahat
Nadhariyah Islamiyyah Mu'dshirah al- Dalah wa al-Mutama (2000) Islam and The 1995
Being World Conference on Women (1998).11

2. Prinsip Ijtitihad Muhammad Syahrur

10
Zainal Abidin, Rethinking Islam dan Iman : Studi Pemikiran Muhammad Syahrur, Banjarmasin, IAIN
Antasari Press, tt,, hlm. 19
11
Lukman Zain, MS. Metodologi Pemikiran Muhammad Sharur, Studi Al Kitab Wa al Qur’an: Qira’ah
Mu’ashirah, Jurnal. UIN Banten.tt,hlm. 64
Bagi penulis, ijtihad pemikiran Syahrur itu adalah Kritik Penafsiran Al Qur’an
dan Sunah oleh Muhammad Syahrur. Menurut Badarusyamsyi, dalam chanel youtube-
nya mengatakan bahwa Syahrur mengakatakan bahwa ”Terdapat Kesalahan dalam
Tradisi Pemikiran Islam.”12 Mengiditifikasi prinsip pemikiran Syahrur dikatakan satu
gerbong dengan pemikir kotemporer Islam lainnya, semisal Muhammad Arkoun,
Mohammad Abed Al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid, Abdolkarim Soroush, Ahmad Hanafi,
Fazlur Rahman Khan, Al Na’im.13 Rata-rata pemikiran tokoh-tokoh ini terkonsentrasi
pada masalah-masalah kemanusian, hak asasi manusia, hubungan agama dengan negara,
demokrasi, hubungan muslim dan non muslim, dan epistemologi atau fiqh baru.14

Para tokoh di atas, rata-rata menyoroti keterbelakangan yang menggejala pada


masyarakat Arab Islam. Rata-rata mereka menggarisbawahi karena adanya
keterkungkungan umat oleh pemikiran masa lalu. Kemudian para pioner itu membongkar
dimensi historis, ideologis, epistemologi. Tentu saja mereka juga menawarkan epistem
pilihannya. Terkhusus Syahrur, Fazlur Rahman dan Al Na’im tidak membongkar
kesakralann al kitab, melainkan dengan cara melakukan penafsiran baru terhadap al
kitab.15

Syahrur melihat bahwa dalam pemikiran Arab-Islam terdapat penyakit yang harus
ditanggulangi dengan segera. (1) Menurutnya, dalam pemikiran Arab tidak ada metode
yang benar-benar ilmiah dan objektif yang digunakan dalam kajian-kajian ilmiah maupun
dalam menelaah kitab suci. Padahal metode ilmiah itu penting agar pemahaman atas Al-
Kitab tidak dangkal dan fanatik akibat dari masuknya sentimen primordial kemadzhaban
dan aliran teologi. (2) Karena tidak tersedia metode ilmiah maka tidak ada pula riset
ilmiah atas berbagai permasalahan. Buku-buku agama yang menyatakan diri ilmiah
kenyataannya adalah upaya jastifikasi atas proyek memfanakan atau membaqakan Islam.
(3) kebanggaan atas kebaqaan Islam dan keagungannya akan ketakutan akan profanisasi
Al-Kitab menjadikan umat Islam, tidak mampu memanfaatkan dan terisolasi dari filsafat
dan pemikiran luar, khususnya tradisi Barat.(4) Isolasi diri dari luar berakibat pada
12
Diakases dari, https://www.youtube.com/watch?v=UbkLUlZ_PNU, 22 Maret 2023
13
Lukman Zain, MS. Metodologi Pemikiran Muhammad Sharur…hlm.64
14
Ibid
15
Diksi Al Kitab digunakan untuk menyebut Al Qur’an, As Sunnah dan kitab-kitab klasik lainnya. Tentu
saja ada kritik metode yang diklaim oleh Syahrur, Rahman, Al Na’im sebagai metode baru. Lukman Zain
mengatakan bahwa metode mereka adalah metode lama, yang dikatakan baru (Baca : Ibid.,hlm.65)
kosongnya pemikiran Arab dari ilmu, filsafat dan epistem baru yang dapat koheren
dengan serta dapat digunakan untuk mengungkap kandungan AI-Qur'an (bagian dari Al-
Kitab yang menerangkan tentang hukum alam dan kemanusiaan), sehingga hasil-hasil
pemikiran tetap terjebak pada mazhab fiqh, aliran teologi.’(5) Syahrur mengatakan bahwa
umat Islam hidup dalam krisis pemahaman yang serius (azmah fiqhiyyah haddah),
sehingga membutuhkan fiqh baru dan pembacaan kontemporer atas Sunnah Nabi.16

3. Rasionalisme dan Linguistik Muhammad Syahrur


Pendidikan menengah dan tinggi Syahrur berada pada ril yang sama yakni
rasionalisme. Pemikiran ini banyak ia perdalam di sekolah al Kawakibi. Nama al
Kawakibi sendiri diambil dari pendirinya seorang penganut pemikiran filsafat rasional
modern, Al Kawakibi dari Turki. Namun sebenarnya sejak Syahrur memang dibesarkan di
tengah-tengah keluarga pengagum kaum rasionalis. Syahrur memililiki hobi membaca
filsafat dan linguistik. Selain itu juga didukung dialog intens dengan kawan yang ahli
linguistik. Dari uraian inilah, bisa ditarik benang merah bahwa basis epistemologi
Syahrur bersumber dari rasionalisme dan linguistik. Berikut adalah prinsip metodologi
rasional linguistik Syahrur:17
Pertama, adanya hubungan antara kesadaran dengan eksistensi material.
Eksistensi materi adalah sumber pengetahuan manusia yang karenanya pengetahuannya
bersifat objektif.
Kedua, Keharusan berpegang kepada pengetahuan rasional, yakni pengetahuan
yang bertolak dari yang terindera menuju pengetahuan teoritis abstrak, dan menolak
pengetahuan yang didasarkan atas metode iluminasi (isyroqiyah-ilhamiyyah) yang
dikembangkan oleh kaum Irfan (tasawuf). Menurut Syahrur, mengakui keberadaan ilmu
laduni berarti berpartisipasi dalam menghancurkan tatanan masyarakat.
Ketiga, Kosmos atau alam semesta bersifat material dan akal manusia sanggup
mempersepsi dan mengetahuinya tanpa ada batasan.
Keempat, pengetahuan bermula dari persepsi indra (al-sami’ dan al-bashar) atas
alam nyata dan kemudian meningkat melalui persepsi itu kepada pemikiran teoritis
abstrak sehingga ia dapat mengetahui alam “ghaib”. Dengan demikian Alam nyata dan

16
Lukman Zain, MS. Metodologi Pemikiran Muhammad Sharur … hlm.65
17
Lukman Zain, MS. Metodologi Pemikiran Muhammad Sharur … hlm. 66 - 67
alam ghaib itu sama-sama bersifat material, hanya saja alam ghaib masih tertutup (ghaba)
dari persepsi indera kita sekarang karena perkembangan ilmu belum sampai kemungkinan
mengetahuinya.
Kelima, Syahrur mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara al-Qur’an
dengan filsafat. Kenyataan ini hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang mendalam
ilmunya dengan menggunakan ta’wil, yaitu usaha untuk terus menerus mencari
kesesuaian (tasyabuh) antara teks dengan akal dan realitas. Bagi Syahrur inilah yang
menja di jembatan yang menghubungkan antara kebaqaaan dan kefanaan al-Qur’an.
Dengan prinsip ini Syahrur dapat menerima kesesuaian antara teori Darwin tentang
evolusi; teori Einstein dan lain-lain.
Keenam, alam semesta tidak diciptakan dari kekosongan melainkan dari materi
lain yang memiliki sifat yang berbeda. Sesungguhnya fenomena alam material ini hasil
dari ledakan besar (Big Bang) yang mengantarkannya pada perubahan karakter material.
Ledakan besar yang lain akan terjadi lagi nanti yang akan menghancurkan seluruh alam
ini dan mengubah karakter materialnya serta memberi jalan akan kehadiran alam yang
sama sekali lain yang memiliki hukum dan karakter yang berbeda. Inilah yang disebut
“kehidupan akhirat”. Prinsip ini menjadi acuan Syahrur ketika ia mengkaji konsep
peniupan terompet, kiamat, kebangkitan, pembalasan, surga dan neraka pembalasan dan
lain-lain.
Prinsip-prinsip di atas yang berakar pada rasionalisme dan kekinian telah
diletakkan Syahrur sebagai alat untuk memprofankan Islam dan Kitab Suci. Namun
demikian, selain mengambil prinsip-prinsip metodologi modern, ia juga memperhatikan
prinsip-prinsip klasik dalam upayanya memprofankan Kitab Suci. Syahrur mengambil,
memilih dan memilah berbagai prinsip yang ditawarkan tradisi dan meramunya menjadi
enam prinsip berikut ini :18
(1) Mengacu kepada karakter khusus Bahasa Arab berdasar teori Bahasa yang
dikembangkan oleh Abd ‘Ali al-Farisi, Ibn Jinni dan ‘Abdal-Qahiral-Jurjani
dan bersandar pada puisi-puisi jahiliah. Adapun metode yang ditawarkan
ketiga tokoh itu, menurut Ja’far Dak Albab dalam pengantar buku al-Kitab wa
al-Qur’an, meliputi: (a) adanya keterkaitan antara Bahasa dan pikiran; (b)
18
Lukman Zain, MS. Metodologi Pemikiran Muhammad Sharur … hlm. 66 - 67
Bahasa tidak tumbuh secara sempurna dalam satu waktu melainkan
berkembang sebagaimana berkembangnya pikiran manusia; (c) menolak
adanya sinonimitas dalam bahasa; (d) Bahasa adalah sebuah sistem; (e)
memperhatikan hal- hal yang bersifat universal dan konstan, tanpa menafikan
adanya pengecualian-pengecualian.
(2) Kesimpulan awal dan mutakhir ilmu-ilmu modern menyatakan bahwa dalam
setiap Bahasa tidak ditemukan kata-kata yang sinonim, tetapi ditemukan
antonim. Setiap kata (secara otonom) mengandung perubahan-perubahan
historis baik yang merusak atau maupun yang melahirkan makna baru dengan
tetap berkaitan dengan makna awalnya. Begitu pula dengan kata dalam Bahasa
Arab, ia tidak mengenal sinonim namun mengalami perubahan makna. Untuk
kepentingan itu dibutuhkan kamus Bahasa yang memadai. Syahrir
menganggap kamus Magayisal-Lughah karya Ibn Faris menjawab kebutuhan
itu, karena kamus ini tidak mengenal sinonim. Dengan prinsip tidak ada
sinonim dalam Bahasa dan bekal kamus inilah Syahrir menganalisa ratusan
kata dalam Al-Kitab yang melahirkan berbagai pengertian yang tidak biasa.
(3) Islam adalah agama yang sesuai dengan segala tempat dan waktu maka kitab
sucinya (al-kitab) harus dianggap turun kepada kita pada zaman kita abad 20
masehi ini, seolah-olah Nabi Saw baru saja meninggal dan menyampaikan
kitab ini kepada kita. Menurut Syahrur, bacalah dengan konteks zaman dan
perangkat metodologi, yang paling tahu makna al-kitab untuk kehidupannya.
Tafsir yang kita lakukan untuk abad kita menjadi sejajar dengan tafsir yang
dilakukan Nabi untuk abadnya. Kesejajaran tafsir kita dengan tafsir nabi
bukan terletak pada hasilnya melainkan pada proses interaksinya. Tentu saja,
prinsip ini dapat membuat gerah para mufassir yang berpandangan bahwa
tafsir terbaik adalah tafsir oleh rasul, kemudian tafsir shahabat dan tabiin
(tafsir bi al-ma‘tsur) dan yang mengharuskan kita mengikuti tafsir salaf.
(4) Al-Kitab adalah petunjuk bagi manusia. Oleh karena itu akal manusia akan
dapat memahami Al-Kitab atau ia dapat dipahami sesuai dengan kemampuan
akal pembacanya. Al-Kitab datang dengan Bahasa yang dapat dipahami, yaitu
Bahasa arab yang jelas (al-mubin). Syahrur menolak pandangan yang
menyatakan adanya kata-kata dalam Al-Kitab yang tidak bisa dipahami.
Menurutnya, tidak ditemukan keterputusan antara Bahasa dan pikiran, dan
pemahaman bersifat historis, relative dan temporer, maka Bahasa Al-Kitab
menyediakan ratusan milyar kemungkinan makna sesuai dengan
perkembangan historis, dan sifat relative dan temporer dari pikiran dan
pemahaman manusia. Prinsip ini juga berarti Al-Kitab mengandung sifat
kemanusiaan bukan kaaraban. Kesesuaiannya tidak untuk masayarakat Arab
semata, melainkan untuk seluruh penjuru dunia; tidak hanya terbatas pada
masa Nabi dan shahabat melainkan untuk seluruh masa.
(5) Allah telah memuliakan akal manusia sebagai lawan bicaranya, oleh
karenanya (a) tidak mungkin ada pertentangan antara akal dengan wahyu dan
(b) tidak ada pertentangan antara wahyu dan realitas. Karena kalua ada
pertentangan berarti Allah telah bertindak sia-sia dengan mengirimkan wahyu.
(6) Karena Allah telah memuliakan akal manusia maka sepantas nyalah kita juga
memuliakan dan menghormatinya. Dengan ini Syahrur mengajak kita bersikap
toleran dan demokratis.

4. Konsep Pemikiran Muhammad Syahrur


Menurut Abdul Mustaqim dalam sebuah jurnal, Syahrur mengenalkan teori yang
selama ini tidak dikenal di dunia tasir Al Qur’an. Teori tersebut dikenal dengan nama
Teori Batas (the theori limit). Teori ini lebih dikenal sebagai teori sains dalam
matematika, yang oleh Syahrur dimasukkan ke dalam penafsiran al Qur’an. Tentu saja
hal ini tidak lazim karena dalam dunia tafsir, lebih mengenal ilmu riwayat, ilmu asbab
nuzul, munasabah, nasikh-manasukh dan kaidah kebahasaan. Sedangkan perangkat ilmu
modern, seperti sains dan linguistik modern, jelas tidak dimasukkan.19
Dikarenakan ketiadaan ilmu modern dalam menafsirkan Al Qur’an, Syahrur
menawarkan teori hudud. Teori hudûd merupakan salah satu kontribusi yang orisinal dari
survei 20 tahun (1970-1990) ketika menulis buku al-Kitâb wa al-Qur’ân; Qira’ah
Mu`âshirah. Teori ini merupakan salah satu konsekuensi logis dari pembedaan istilah al-
Kitâb dan al-Qur’ân, atau Kitâb al-Risâlah dan Kitâb al Nubuwwah. Metode ijtihad
19
Abdul Mustaqim, Teori Hudûd Muhammad Syahrur dan Kontribusinya dalam Penafsiran Alquran
(Jurnal. Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, Indonesia), hlm. 5
dipakai untuk memahami risâlah (muhkamât atau ayat hukum), sedang metode ta’wil
untuk memahami ayat-ayat mutasyâbihât.20
Abdul Mustaqim mengatakan bahwa Syahrûr tidak secara tegas memberikan
definisi apa yang dimaksud dengan ijtihad, boleh jadi karena istilah tersebut sudah
populer. Namun dari aplikasinya, penulis dapat menyimpulkan bahwa ijtihad dengan
pendekatan teori batas (limit theory) adalah sebuah metode memahami ayat-ayat hukum
(muhkamat) sesuai dengan konteks sosio-historis masyarakat kontemporer, sehingga
ajaran al-Qur`an tetap dapat kontekstual dan masih pada wilayah batas-batas hukum
Allah (hudûdullâh).21
Istilah hudûd memang sudah dikemukakan para ulama. Kata hudûd adalah bentuk
plural dari kata hadd yang artinya batas-batas. Dalam kamus Bahr al-Muhîth karya al-
Fairuzzabadi dan Lisân al `Arab karya Ibn Manzhûr, al-hadd diartikan sebagai al-hâjiz
bayna al-sya’i wa muntahâ al-syai’, artinya batas (penghalang) yang membatasi sesuatu
dan merupakan puncak dari sesuatu. Jika dikatakan hadd al-ardl, berarti batas tanah.
Hadd juga dapat berarti larangan atau pencegahan. Dari sini, dapat dimengerti bahwa
sebuah ancaman hukuman atas sesuatu yang dilarang juga disebut dengan hadd, karena
ancaman itu diharapkan dapat mencegah orang dari melakukan kejahatan.22
Demi mendapatkan informasi yang jelas teori Hudud Syahrur, Abdul Mustaqim
merasa perlu membedakan teori hudûd versi Syahrûr yang jadid (baru), dengan teori
hudûd konvensional yang lama (qadim). Dalam teori fikih konvensional hudûd dipahami
sebagai ancaman hukuman atau al-`uqûbât yang dimaksudkan untuk mencegah
pelanggaran hukum. istilah hudûd lalu diartikan sebagai ancaman hukuman yang telah
ditentukan kadar dan bentuknya oleh Alquran dan hadis terhadap pelaku tindakan
kejahatan yang berkenaan dengan hak masyarakat dan hukuman itu dipahami sebagai
sesuatu yang rigid, sehingga tidak dapat ditawar-tawar lagi. Jadi, dalam teori hudûd
konvensional nyaris tidak ada ruang ijtihad, karena ayat-ayat yang berbicara tentang
hudûd dipandang sebagai ayat yang qath`iy al-dalâlah.23

20
Ibid, hlm.5
21
Ibid, hlm.6
22
Ibid.
23
Ibid
Sementara itu, Syahrûr dalam rangka menafsirkan ulang ayat-ayat muhkamât
(ayat-ayat hukum) dalam al Quran adalah teori batas (nazhariyyah al-hudûd). Teori
tersebut dibangun atas asumsi bahwa risalah Islam yang dibawa Muhammad Saw adalah
risalah yang bersifat mendunia (‘âlamiyah) dan dinamis, sehingga ia akan tetap relevan
dalam setiap zaman dan tempat (shâlih li kulli zamân wa makân). Kelebihan risalah Islam
adalah bahwa di dalamnya terkandung dua aspek gerakan. Pertama, gerakan konstan
(istiqâmah) dan kedua gerakan dinamis (hanîfiyyah). Dua hal ini yang menyebabkan
ajaran Islam menjadi fleksibel. Namun demikian, sifat fleksibiltas (al-murûnah) ini
berada dalam bingkai hudûdullâh (batas-batas Allah).
Perbandingan Teori Hudud
Menurut Abdul Mustaqim24

Teori Hudûd Konvensional (Qadim) Teori Hudûd Syahrûr (Jadid)


1. Objek penafsirannya hanya pada 1. Objek penafsirannya tidak hanya
ayat-ayat yang diyakini qath’iyy ayat-ayat yang qath’iyy al-dalâlah,
aldalâlah tetapi juga zhanniy al- dalâlah.
2. Hanya berkaitan pada masalah 2. Tidak hanya berkaitan dengan
`uqûbât (ancaman hukuman). masalah `uqûbât (hukuman), tetapi
juga berkaitan dengan masalah
ketentuan hukum (tasyri’iyât).
3. Penafsirannya bersifat rigid dan 3. Penafsirannya bersifat elastis dan
fixed, tidak boleh ditambah atau dinamis, selagi masih berada dalam
dikurangi, sehingga bersifat tekstual wilayah hadd al-adnâ dan hadd al-
dan kurang dapat mengakomodir a'lâ, sehingga bisa bersifat
perkembangan zaman. kontekstual dan mampu
mengakomodir perkembangan
zaman.
4. Tanpa melibatkan analisis 4. Penafsirannya menggunakan analisis
matematis dalam penafsiran-nya matematik yang bingkai dengan
analisis linguistik.

Lebih lanjut, Syahrûr membagi hudûd itu ke dalam dua bagian. Pertama, al-
hudûd fî al-`ibâdah (batasan-batasan berkaitan dengan ibadah ritual murni) yang dalam
hal ini tidak ada medan ijtihad. Hal-hal yang bersifat al-sya`â’ir cukup diterima begitu
saja dan pemahamannya tetap dari dulu zaman Nabi Saw hingga sekarang. Sebagai

24
Ibid, hlm.13
contoh adalah bahwa cara shalat, puasa dan haji umat Islam saat ini adalah sama seperti
yang dipraktikkan Nabi dulu. Ijtihad dalam hal ini justru malah dianggap sebagai bid’ah.
Kedua, al-hudûd fi al-ahkâm (batas-batas dalam hukum). Dalam hal ini Syahrûr
membaginya menjadi enam macam. Dalam aplikasinya teori hudûd yang ditawarkan
Syahrûr menggunakan pendekatan analisis metematis (al-tahlil alriyâdli).

Secara genealogis, teori ini dulu dikembangkan oleh seorang ilmuan bernama
Issac Newton, terutama mengenai persamaan fungsi yang dirumuskan dengan Y = F (X),
jika ia hanya mempunyai satu variabel dan Y + F (X,Z), jika ia mempunyai dua variabel
atau lebih. Berikut adalah contoh implementasi teori hudud yang dikembangkan oleh
Syahrur:
1. Halât hadd al-a`lâ, yaitu di mana daerah hasil (range) dari persamaan fungsi
Y= F (x) berbentuk garis lengkung yang menghadap ke bawah (kurva
tertutup), yang hanya memiliki satu titik balik maksimum, berhimpit dengan
garis lurus dan sejajar dengan sumbu X. Berikut Gambar Persamaan Fungsi:

Halâh hadd al-a`lâ ini hanya memiliki batas maksimal saja, sehingga
penetapan hukumnya tidak boleh melebihi batas maksimal, tetapi boleh di
bawahnya atau tetap berada pada garis atau batas maksimal yang telah
ditentukan Allah Swt. Contoh adalah ajaran tentang Qishash (hukuman
setimpal). Dalam konteks di sini akan disuguhkan hukuman potong tangan
bagi pencuri laki-laki dan perempuan dalam Q.S. al-Mâ’idah [5]: 38.

Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al
Mâ‟idah [5]: 38)

Menurut Syahrûr hukuman potong tangan atau qishâsh merupakan batas


hukuman maksimal. Artinya seorang hakim tidak boleh menetapkan hukuman
kepada pencuri atau pembunuh melebihi batas maksimal tersebut. Namun ia
boleh menetapkan hukuman yang lebih rendah dari hukum potong tangan
atau qishâsh, sesuai dengan situasi kondisi objektif. Itu artinya jika suatu
negara belum atau tidak menerapkan hukum potong tangan, negara itu tidak
dapat dengan serta merta diklaim sebagai negara yang tidak Islami. Sebab
boleh jadi di sana ada syubuhât, sehingga negara tidak menerapkan hukum
maksimal, yaitu potong tangan. Misalnya negara tersebut belum benar-benar
menciptakan keadilan atau kesejahteraan buat rakyatnya atau kondisi
ekonomi pencurinya memang sangat memprihatinkan dan sebagainya.

2. Hâlah hadd al-adnâ adalah posisi batas minimal. Persamaan fungsi dalam
posisi ini mempunyai daerah hasil berbentuk kurva terbuka (parabola) yang
memiliki satu titik balik minimum, terletak berhimpit dengan garis sejajar
sumbu X . Gambar persamaan fungsi tersebut adalah:

Dalam hal ini, penetapan hukuman dilakukan di antara kedua batas tersebut.
Pada sebagian ayat-ayat hudûd ada yang mempunyai batas maksimal
sekaligus batas minimal, sehingga penetapan hukum dapat dilakukan di antara
kedua batas tersebut. Ayat-ayat yang termasuk dalam kategori ini adalah
tentang pembagian harta waris dalam Q.S. al-Nisâ [3]: 11-14 dan tentang
poligami dalam Q.S al-Nisâ‟ [3]: 3.
3. Ketiga: Hâlah hadd al’alâ wa al-adnâ ma’an, yaitu posisi batas maksimal
dan minimal ada secara bersamaan, di mana daerah hasilnya berupa kurva
gelombang yang memiliki sebuah titik balik maksimum dan minimum.
Kedua titik balik tersebut terletak berhimpit pada garis lurus sejajar dengan
sumbu X. Inilah yang disebut dengan fungsi trigonometri. Gambar dari
persamaan fungsi tersebut sebagai berikut:

Dalam hal ini, penetapan hukuman dilakukan di antara kedua batas tersebut.
Pada sebagian ayat-ayat hudûd ada yang mempunyai batas maksimal
sekaligus batas minimal, sehingga penetapan hukum dapat dilakukan di
antara kedua batas tersebut. Ayat-ayat yang termasuk dalam kategori ini
adalah tentang pembagian harta waris dalam Q.S. al-Nisâ [3]: 11-14 dan
tentang poligami dalam Q.S al-Nisâ‟ [3]: 3.
4. Hâlah al-Mustaqîm (posisi lurus). Daerah hasil pada posisi keempat ini
berupa garis lurus yang sejajar dengan sumbu X. Pada grafik ini nilai Y=
f(X) adalah konstan untuk semua nilai X. Dengan lain ungkapan, nilai
maksimal dan nilai minimal tidak ada, karena nilai minimal, nilai maksimal
dan nilai Y yang lain adalah sama. Dengan demikian, didapat sebuah
persamaan Y= N 1 dengan bentuk grafik garis lurus mendatar.
Pada kondisi ini, ayat hudûd tidak punya batas minimal maupun maksimal,
sehingga tidak ada alternatif hasil dari penerapan hukumannya selain yang
disebutkan dalam ayat tersebut. Dengan lain ungkapan, hukum tidak
berubah meskipun zaman berubah. Contohnya adalah hukuman bagi pelaku
zina yang ditetapkan dalam Q.S. an-Nûr [24]: 2, bahwa pelaku zina laki-laki
bujang (muhshan) dan perempuan perawan (muhshanah) dicambuk seratus
kali, sebagaimana firman Allah:

Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-
orang yang beriman. (Q.S. al-Nûr [24]: 2)

Menurut Syahrûr, dalam kasus zina tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali
harus menerapkan hukuman cambuk seperti yang disebutkan dalam ayat
tersebut. Karena dalam ayat tersebut ditegaskan, walâ ta’khudzkum bihimâ
ra`fatun fî dînillâh. Artinya, dalam menerapkan hukuman zina, seseorang
tidak boleh menaruh rasa kasihan kepada pelaku zina tersebut.

5. Halah al-hadd al-a`lâ dûna al-mamas bi al-hadd al-adnâ abadan, yakni


posisi batas maksimal tanpa menyentuh garis batas minimal sama sekali.
Pada posisi ini daerah hasilnya berupa kurva terbuka dengan titik akhir yang
cenderung mendekati sumbu Y dan bertemu pada daerah yang tak terhingga
(„alâ lâ nihâyah). Sedangkan titik pangkalnya yang terletak pada daerah tak
terhingga akan berhimpit dengan sumbu X. Jika digambarkan, maka posisi
itu adalah sebagai berikut:

Posisi batas maksimal ini cenderung mendekat tanpa ada persentuhan sama
sekali, kecuali pada daerah yang tak terhingga. Jika diaplikasikan dalam
ayat hudûd, maka contohnya adalah fenomena hubungan laki-laki dan
perempuan. Hubungan tersebut berawal dari hubungan biasa, tanpa
melibatkan hubungan fisik, kemudian meningkat perlahan-lahan pada
hubungan fisik, sampai mendekati garis mustaqîm, yaitu batas perzinaan.
Garis mustaqîm ini tidak memiliki batas minimal dan maksimal dan hanya
ditandai dengan satu titik garis lurus. Garis lurus itu ditetapkan oleh Allah
sebagai hubungan seksual antara laki dan perempuan di luar nikah yang
disebut dengan zina. Itulah sebabnya Alquran menggunakan redaksi walâ
taqrabû al-zinâ dan walâ taqrabû al-fawâhisys. Ini memberikan isyarat
bahwa pendekatannya tersebut jika diteruskan akan menjerumuskan ke
dalam larangan Allah Swt.

6. Hâlah hadd al-a’lâ mûjab mughlaq lâ yajûz tajâwuzuhu wa al-hadd


aladnâ sâlib yajûz tajâwzuhu. Yaitu posisi batas maksimal positif dan tidak
boleh dilampaui dan batas minimal negatif yang boleh dilampauinya. Daerah
hasil pada posisi ini adalah kurva gelombang dengan titik balik maksimum
yang berada di daerah positip dan titik balik minimum yang berada di daerah
negatip. Keduanya berhimpit dengan garis lurus sejajar dengan sumbu X.
Jika digambarkan, maka posisi itu sebagai berikut

Aplikasi posisi ini dapat dilihat dalam masalah riba sebagai batas maksimal
positif yang tidak boleh dilanggar dan zakat sebagai batas minimal negatif
yang boleh dilampauinya. Artinya, riba yang yang belipat ganda (adl`âfan
mudlâ’afan) tidak boleh, sedangkan orang mau melakukan zakat di atas 2,5
% sebagai batas minimal diperbolehkan. Hal itu kemudian menjadi
shadaqah, yang memiliki dua batas, batas maksimal pada daerah positif dan
batas minimal pada daerah negatif. Posisi tersebut secara otomatis
mempunyai batas tengah, tepat berada di antara keduanya yang disimbolkan
dengan titik nol pada persilangan kedua sumbu. Itulah riba tanpa bunga
(qardl al-hasan). Dalam kondisi tertentu, sangat mungkin pihak bank
memberi kredit tanpa bunga terhadap mereka yang berhak menerima
sedekah. Hal itu merupakan bentuk aplikasi dari batas minimal (yakni:
bunga nol persen) dalam masalah bunga bank, sebagai salah satu bentuk
tawaran bank Islami. Demikianlah deskripsi teori hudûd yang ditawarkan
Syahrûr, terutama yang berkaitan dengan masalah al-hudûd fî al- ahkâm.

Jika dianalisis secara cermat, maka ada perbedaan yang sangat jelas antara teori hudûd
konvensional dengan teori hudûd Syahrûr dan dalam hal ini tampak bahwa ia memang
melakukan penafsiran yang keluar dari kebiasaan umumnya orang atau de-familiarization of
interpretations meminjam istilah Andreas Christmann. Meskipun tetap perlu dicatat bahwa
dalam hal ini Syahrûr sebenarnya telah memaksakan gagasan ekstra Qur'ani (baca: takalluf)
dengan mencocok-cocokkan teori matematika dalam penafsirannya, yang kadang justru
mengabaikan konteks internal maupun ekstrenal ayat. Sebagai contoh adalah ketika ia
menafsirkan kata hanîf dalam Q.S. al-An'âm [6]:161 dan Q.S. al-Rûm [30]: 30 dengan
pengertian elastis (taghayyur). Begitu juga ia ketika menafsirkan kata fitrah dalam Q.S. al-
Rûm [30]: 30 dengan pengertian instinct (gharîzah).

Dalam chanel youtube-nya, Badarusyamsyi berpendapat bahwa Sahrur terkesan berani


mengemukakan pendapat yang ekstrim. Maka dari itu, banyak kritik yang dialamatkan kepada
Syahrur. Kritik pertama datang dari Ibrahim Abdurahman yang mengatakan bahwa Pemikiran
Syahrur Melanggar Model Penafsiran yang sudah baku.Salim Al Jabi, mengatakan bahwa
Pemikiran Syahrur bersifat meraba-raba, karena tidak mengikuti ketentuan yang sudah ada.
Salim menilai Syahrur telah menggunakan dialektika marxisme, yang dengan sembarangan
diterapkan dalam menafsirkan ayat suci. Terakhir, Hamdani Abdurahman mengatakan bahwa
Prinsip Asbab An Nuzul, dikatakan lebih paripurna apabila dibandingkan semantik yang
ditawarkan Syahrur.

C. Kesimpulan

Kritik Syahrur terhadap model tafsir klasik adalah ketiadaan Petunjuk Metodologi
dalam pembahasan Imiah Tematik terhadap penafsiran Al Qur’an. Selain itu juga terdapat
hukum masa lalu, yang diterapkan pada masa kini (ijtihad) sehingga ini mempersulit
konektifitas tafsir Al Qur’an terhadap permasalahan kekinian. Syahrur juga
mempermaslahkan tentang ketiadaan keterkaitan interaksi tafsir Al Qur’an dengan Filsafat
Humaniora (falsafah insaniah), yang memicu ketiadaan epistimologi Islam yang valid.

Syahrur berpendapat bahwa produk fiqh sudah tidak relevan, perlu diganti dengan
produk fiqh yang baru. Tafsir konvensional bagi Syahrur tidak mengantarkan kemajuan Arab
Islam. Hal ini tidak bisa tercapai dalam memahami teks, kecuali dengan melalui pemikiran
rasional, perubahan Metode Tafsir. Oleh aneka persoalan inilah Syahrur menghadirkan teori
hudud yang kontroversial bagi ulama fiqh konvesinal.

Daftar Pustaka

Akmi, Fahrul, 2018, Pemikiran As-Sunnah Kontemporer Muhammad Syahrur, Studi


Terhadap Kitab As-Sunnah Ar-Rasuliyah wa Sunnah An-Nabawiyyah, Tesis. Medan :
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Moh. Hasan, 2009, Rekonstruksi Fiqh Perempuan : Telaah terhadap Pemikiran
Muhammad Syahrur, Semarang : AKFI Media.
Abidin, Zainal, tt., Rethinking Islam dan Iman : Studi Pemikiran Muhammad Syahrur,
Banjarmasin: IAIN Antasari Press
Lukman Zain, MS,tt., Metodologi Pemikiran Muhammad Sharur, Studi Al Kitab Wa al
Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, Banten : Universitas Islam Negeri Banten

Abdul Mustaqim, 2008, Teori Hudûd Muhammad Syahrur dan Kontribusinya dalam
Penafsiran Alquran, jurnal, Yogyakarta: Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, Indonesia

LINK INTERNET

Diakses dari : http://repository.radenfatah.ac.id/14990/2/BAB%20II.pdf, 22 Maret 2023

Diakases dari, https://www.youtube.com/watch?v=UbkLUlZ_PNU, 22 Maret 2023

You might also like