You are on page 1of 5

MELIHAT GAMBAR BESAR PERANG DINGIN

Selama duapuluh lima tahun terakhir, Amerika Serikat ... telah menyelimuti Asia
dengan suatu bayangan raksasa melalui tiga perang. Keyes Beech
KEMATIAN Presiden Kennedy yang begitu mendadak dan penuh kekerasan
benar-benar merupakan tragedi. Selanjutnya tragedi itu terasa menyedihkan bukan
hanya karena ia menyudahi hidup seseorang secara mendadak, melainkan juga
karena ia mengakhiri suatu harapan akan membaiknya hubungan antara Amerika
Serikat dan Indonesia yang coba dirintis oleh mendiang. Hubungan baik yang
coba dirintis oleh Presiden Kennedy dan pemerintahannya dengan Indonesia tidak
hanya penting, tetapi juga merupakan sesuatu yang baru, mengingat bahwa selama
ini hubungan antara kedua negara selalu berlangsung secara tidak seimbang, di
mana Indonesia selalu dijadikan objek untuk tujuan-tujuan lain tanpa kehendak
untuk mengakomodasi kepentingan Indonesia. Kennedy dan pemerintahannya
ingin tampil beda.
Paradoks Sebagaimana kita tahu, kontak pertama yang secara berkesinambung an
dilakukan oleh penduduk Nusantara dengan Barat pada awal Abad 17 sebenarnya
bukanlah dengan Amerika Serikat. Kontak itu adalah kontak dengan penguasa
kolonial Belanda. Namun demikian, menjelang berakhirnya Perang Dunia Kedua,
A.S. berada dalam posisi yang menentukan boleh atau tidaknya Belanda
menegakkan kembali kekuasaan kolonial atas bekas negeri jajahannya. Tanpa
menghiraukan aspirasi rakyat Indonesia akan kemerdekaan yang penuh, Amerika
memilih untuk mendukung rencana Belanda menancapkan kembali kuku-kuku
kekuasaan kolonialnya atas Indonesia. Pada titik ini sebuah paradoks telah mulai
kelihatan. Pada satu sisi, sebagai negara bekas koloni ( Inggris) yang pernah
mengalami pahit-getirnya hidup sebagai bangsa terjajah, Amerika menjadi salah
satu kampiun anti-kolonialisme dunia. Deklarasi Kemerdekaan Amerika (1776),
pembentukan Liga Bangsa-bangsa (1920), penandatanganan Piagam Atlantik atau
Atlantic Charter (1941), pembentukan Perserikatan Bangsa-bangsa (1945) adalah
beberapa contoh bagaimana Amerika berada di garis depan dalam hal perjuangan
anti-kolonialisme demi kemerdekaan kaum terjajah. Namun pada sisi lain,
Amerika juga menjadi salah satu pendukung, bahkan pelaku dari sistem kolonial
itu sendiri. Kolonisasi Amerika atas Filipina (sejak 1899)2 dan dukungannya
terhadap upaya penjajahan kembali Belanda atas Indonesia adalah contohnya.
Telah kita telusuri bersama, paradoks itu terus berlanjut selama Perang Dingin. Di
bawah pemerintahan Presiden Harry S Truman politik luar negeri Amerika
diwarnai hasrat kuat untuk membebaskan negara-negara yang kebebasannya
dipandang terancam kekuatan asing (seperti Turki dan Yunani), namun pada saat
yang sama Amerika berusaha menanamkan kuasa dan pengaruhnya sendiri
semaksimal mungkin atas negara-negara itu. Meningkatnya ketegangan
internasional antara “Blok Timur” yang Komunis dan dipimpin oleh Uni Soviet
dan “Blok Barat” yang berhaluan kapitalis yang dipimpinnya menjadi alasan bagi
Amerika Serikat untuk “membendung” pengaruh Komunisme di manapun juga.
Paradoksnya, bersamaan dengan upaya pembendungan itu Amerika Serikat terus
berusaha “membanjiri” negara-negara lain dengan pengaruh politik dan
kepentingan-kepentingannya sendiri.
Hal serupa terjadi pula dengan politik luar negeri Amerika terhadap Indonesia.
Pada satu sisi Amerika memandang para pemimpin nasional Indonesia sebagai
orang-orang pro-komunis yang harus dibendung pengaruhnya melalui dukungan
terhadap usaha Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Pada sisi lain Amerika
juga berusaha menanamkan pengaruhnya di Indonesia melalui berbagai cara.
Upaya Washington untuk menyalurkan bantuan militer rahasia melalui Kabinet
Sukiman adalah salah satu contohnya
Melibatkan Diri
Selama masa pemerintahan Truman, Amerika makin menyadari bahwa Indonesia
merupakan salah satu sumber pendapatan yang penting yang diperlukan untuk
membangun kembali perekonomian Belanda yang hancur-lebur akibat Perang
Dunia Kedua. Aliran bahan mentah yang tak terputus dari Indonesia ke negeri
Kincir Angin itu—yang adalah salah satu anggota penting NATO— diharapkan
akan mengurangi beban A.S. dalam membantu Eropa Barat di tengah upaya
memulihkan ekonomi pasca-perang melalui Rencana Marshall ( Marshall Plan).
Aliran bahan mentah seperti itu hanya mungkin apabila Belanda dapat
melanjutkan kekuasaannya atas Indonesia. Lebih dari itu, kekuasaan Belanda atas
Indonesia akan membuka pintu bagi bangsa-bangsa Barat lain untuk memiliki
akses ke posisi strategis dan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia. Oleh karena
itu tidak mengejutkan bahwa, meskipun resminya mengambil sikap netral dalam
perselisihan Indonesia-Belanda selama Perang Kemerdekaan, pemerintah
Amerika diam-diam memihak Belanda. Sebagaimana telah kita cermati, posisi
pro-Belanda itu tampak jelas dalam sikap Amerika ketika harus berurusan dengan
soal Perjanjian Linggajati, Perjanjian Renville, Peristiwa Madiun, serta Agresi
Militer Belanda pertama dan kedua terhadap Republik Indonesia. Dalam
peristiwa-peristiwa itu Amerika cenderung mendukung posisi Belanda, tanpa
terlalu peduli pada kepentingan rakyat Indonesia.
Sikap tak peduli Amerika terhadap kepentingan rakyat Indonesia tetap berlanjut di
bawah kepemimpinan Presiden Dwight D. Eisenhower. Dengan politik luar negeri
yang kuat didasari oleh keinginan untuk menghindari kekeliruan politik luar
negeri yang mengakibatkan “hilang”-nya Cina ke tangan Komunis pada tahun
1949, Amerika bertekad untuk menyusun ulang strateginya dalam upaya
membendung penyebaran Komunisme Asia, termasuk di Indonesia. Dalam kaitan
dengan upaya ini, Amerika ingin mencegah terjalinnya hubungan yang erat antara
Indonesia dengan musuh-musuh Perang Dingin-nya, yakni Uni Soviet dan Cina.
Sebagai bagian dari implementasi strategi Perang Dingin di Indonesia, Amerika
berusaha membendung pengaruh Partai Komunis Indonesia ( PKI) yang terus
meningkat, ditandai dengan tampilnya partai tersebut sebagai salah satu partai
terbesar dalam Pemilu tahun 1955. Pada saat yang sama, Amerika juga merasa
khawatir akan posisi netral dan sepak terjang Indonesia dalam politik luar
negerinya. Ketika pemerintah Indonesia mempersiapkan diri sebagai
penyelenggara Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955, misalnya, Amerika
berusaha menggagalkan konferensi tersebut. Ketika usaha itu tidak berhasil
Amerika lantas menyusun langkah rahasia supaya hasil konferensi tersebut akan
bersifat kontraproduktif terhadap Blok Komunis, atau sedapat mungkin tidak akan
menghasilkan pernyataan yang dapat merugikan kepentingan Blok Barat.
Dengan semakin kuatnya kelompok Komunis di Indonesia, Amerika memutuskan
untuk melibatkan diri secara langsung guna mencegah pengambilalihan Indonesia
oleh kubu Komunis. Telah kita lihat, melalui CIA dan para agennya Washington
membantu para komandan militer daerah yang menentang pemerintah dan
komando militer pusat Indonesia yang mereka anggap prokomunis. Waktu itu
Amerika percaya bahwa Bung Karno bukan hanya pro-komunis tetapi juga
bersedia mempersilakan Indonesia diperintah di bawah sistem Komunis Soviet
atau Cina. Bagi Amerika, supaya Indonesia tidak jatuh ke dalam sistem Komunis,
Washington perlu mendukung para pemberontak daerah dalam upaya
menciptakan suatu pemerintahan alternatif yang antikomunis. Jika perlu, Amerika
akan membantu memisahkan Luar Jawa yang non-komunis dari Pemerintah RI
yang berpusat di Jawa dan pro-komunis.
Pertimbangan Perang Dingin
Lalu datanglah pemerintahan Presiden John F. Kennedy. Dengan kebijakan yang
sedikit berbeda dengan masa pemerintahan Eisenhower, Amerika di bawah
pemerintahan Kennedy mencoba membuka diri lebih lebar bagi aspirasi rakyat
Indonesia. Pada periode ini Amerika tidak ingin lagi melihat permasalahan di
Indonesia secara hitam-putih. Sikap Washington terhadap masalah Irian Barat dan
Konfrontasi Malaysia adalah contohnya. Dalam masalah Irian Barat, Washington
bersedia menjadi penengah antara Indonesia dan Belanda. Dalam soal Malaysia,
Amerika tak keberatan untuk turut terlibat dan mencegah politik Konfrontasi yang
dilancarkan oleh Indonesia berkembang menjadi suatu
konfl ik militer besar-besaran. Paradoksnya, di balik upaya-upaya itu Amerika
tetap saja mengikuti garis tradisi yang cenderung memahami Indonesia dari
kacamata Perang Dingin. Apapun yang dilakukan, politik Amerika terhadap
Indonesia pada periode ini tetap saja digerakkan oleh kekhawatiran akan jatuhnya
negeri ini ke tangan Komunis.
Kembali ke soal Irian Barat, kita bisa melihat bahwa inisiatifinisiatif Amerika
untuk membantu Indonesia dalam masalah itu kuat didorong oleh ketakutan
bahwa berlarut-larutnya penyelesaian atas persoalan tersebut hanya akan
memperbesar kemungkinan Indonesia dikuasai oleh kelompok Komunis. Para
pejabat di Washington khawatir bahwa semakin lama Indonesia menunggu
munculnya solusi bagi perselisihan tersebut, akan semakin besar kesempatan bagi
PKI untuk menyebarkan pengaruh politiknya. Pada saat yang sama, tak
terselesaikannya masalah Irian Barat akan semakin memaksa Presiden Sukarno
dan pemerintahannya mencari bantuan dari Uni Soviet, yang memang sangat
ingin membantu dan mempengaruhi Indonesia dalam permasalahan itu.
Meningkatnya bantuan keuangan, ekonomi, dan militer Soviet kepada Indonesia
waktu itu mengharuskan Amerika untuk meninggalkan tradisi pro-Belandanya dan
mencari solusi yang dapat diterima oleh Indonesia. Dan memang, terlepas dari
motivasi apapun yang menggerakkannya, berkat intervensi Amerika jugalah
akhirnya Belanda melunak dan Irian Barat menjadi bagian wilayah kedaulatan RI.
Dalam menghadapi masalah perlawanan Indonesia terhadap gagasan
pembentukan Federasi Malaysia, Amerika juga secara paradoksal digerakkan oleh
pertimbangan-pertimbangan Perang Dingin. Pada satu sisi, Amerika mendukung
rencana pemerintah Inggris dan Malaya untuk membentuk Federasi Malaysia
yang pro-Barat. Disadari, federasi semacam itu penting bagi A.S. dan sekutu-
sekutunya dalam upaya membendung penyebaran Komunisme di Asia Tenggara.
Pada sisi lain, Amerika takut bahwa pengabaian terhadap keinginan Indonesia
menyangkut masalah Malaysia ini hanya akan memperkuat posisi PKI dan
mendorong Indonesia makin dekat pada kubu Soviet. Karena pertimbangan
tersebut Amerika ingin mendukung upaya Inggris, tetapi sekaligus semaksimal
mungkin mengakomodasi kepentingan Indonesia. Sayang sekali, sebelum
keinginan itu terwujud, Presiden Kennedy terbunuh.
Dengan demikian jelas sekali bahwa politik luar negeri A.S. terhadap Indonesia
selama kurun waktu yang kita bahas ini amat dipengaruhi oleh berbagai
pertimbangan Perang Dingin. Posisi geografi s Indonesia yang strategis, sumber
daya alamnya yang melimpah, kecenderungan “kiri” para pemimpin politiknya,
dan terus meningkatnya pengaruh PKI mendorong para pembuat kebijakan di
Washington untuk beranggapan bahwa bila dibiarkan saja Indonesia akan jatuh ke
Blok Komunis dan akan membuat Blok Barat kehilangan akses ke dalam potensi
ekonomi Indonesia. Paradoksal atau tidak, Indonesia tetap harus terus dipengaruhi
supaya makin jauh dari Blok Soviet dan makin dekat dengan Blok Barat pimpinan
Amerika.
Sampai Hari ini
Berbagai pertimbangan dan kebijakan Perang Dingin itu—entah yang dilakukan
Amerika dan para sekutunya, entah Uni Soviet dengan para pendukung
komunisnya—pada gilirannya memiliki pengaruh yang begitu besar terhadap
dinamika sosial, politik dan ekonomi Indonesia pada waktu itu. Amerika sendiri
begitu besar pengaruhnya pada Asia selama Perang Dingin. Begitu besar pengaruh
itu, sehingga Keyes Beech, seorang wartawan Amerika, mengingatkan: “Selama
duapuluh lima tahun terakhir, Amerika Serikat ... telah menyelimuti Asia dengan
suatu bayangan raksasa melalui tiga perang
Sekarang ini nyaris tidak mungkin mempelajari sejarah Indonesia pasca-Perang
Dunia Kedua tanpa melihatnya dalam konteks Peran Dingin. Hanya dengan
meletakkannya dalam bingkai “gambar besar” Perang Dingin dinamika sejarah
Indonesia selama periode itu bisa terlihat lebih jelas dan lebih jernih.
Dalam kaitannya dengan konteks Perang Dingin ini perlu diingat bahwa bagi
Indonesia—dan kiranya bagi banyak negara bekas jajahan yang lain—istilah
“perang dingin” adalah sebuah istilah yang paradoksal. Bagi dua negara adidaya
yang mempelopori konfl ik Perang Dingin, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet,
ketegangan internasional yang panjang itu bisa saja dikatakan “dingin” karena
tidak pernah membuat keduanya terlibat dalam sebuah konfl ik langsung dan
terbuka di salah satu negara itu. Akan tetapi bagi banyak negara di luar Amerika
dan Uni Soviet, sebagaimana yang terjadi di Indonesia, ketegangan itu benar-
benar berwujud pertempuran fi sik langsung, dan pertempuran itu benarbenar
“panas”. Artinya, di Indonesia Perang Dingin tidak “dingin”, melainkan benar-
benar mendorong konfl ik militer penuh kekerasan yang mengakibatkan kematian,
penderitaan dan kehancuran yang luar biasa tak terperikan. Kematian, penderitaan
dan kehancuran akibat pemberontakan PRRI dan Permesta yang didukung oleh
Amerika itu, misalnya, adalah salah satu contohnya. Contoh lain adalah
pembantaian dan pemenjaraan massal terhadap orangorang Indonesia yang
dituduh Komunis pada paro kedua tahun 1960-an. Bagi para korban itu, Perang
Dingin benar-benar terasa panas dan membakar hidup maupun harta milik
mereka. Begitu dahsyat kebakaran itu, sehingga dampaknya tetap terasa sampai
hari ini.

You might also like