Professional Documents
Culture Documents
Li LBM 5 Weny
Li LBM 5 Weny
30101900202
1. Apa perbedaan uji klinik dan saintifikasi jamu? Definisi? Metode ujinya? Bentuk
produk? Tahapannya?
Kepmenkes RI No.
121/MENKES/SK/II/2008 tentang
Standar Pelayanan Medik Herbal
yang ditetapkan oleh Dr.dr. Siti
Fadilah Supari, Sp.JP(K)
SYARAT DOKTER Peneliti atau salah satu anggota - Dokter atau dokter gigi
UNTUK IKUT SERTA tim harus memiliki keahlian medis memiliki Surat Tanda Registrasi
untuk menjaga keselamatan pasien (STR) dari Konsil Kedokteran
Indonesia untuk, untuk
yang terlibat dalam uji klinik.
apoteker memiliki STRA dan
untuk tenaga kesehatan
lainnya memiliki surat
izin/registrasi dari Kepala
Dinkes Provinsi
- Memiliki surat izin praktik bagi
dokter atau dokter gigi dan
surat izin kerja/surat izin
praktik bagi tenaga kesehatan
lainnya dari Dinkes
Kabupaten/Kota setempat
- Memiliki surat bukti registrasi
sebagai tenaga pengobat
komplementer alternatif (SBR-
TPKA) dari Kepala Dinkes
Provinsi
- Memiliki surat tugas sebagai
pengobat komplementer
alternatif (ST-TPKA/SIK-TPKA)
dari Kepala Dinkes
Kabupaten/kota
SUMBER : PERMENKES NO:
003/MENKES/PER/2010
Tentang SAINTIFIKASI JAMU
DALAM PENELITIAN BERBASIS
PELAYANAN KESEHATAN
Untuk mendapatkan data dasar tentang jenis tanaman, ramuan tradisional dan
kegunaan ramuan → maka dilakukan tahap penelitian saintifikasi jamu dengan
melakukan studi etnomedisin dan etnofarmakologi (pada kelompok masyarakat
tertentu) → dari studi etnomedisin dan etnofarmakologi diharapkan dapat di
identifikasi jenis tanaman, bagian tanaman yang digunakan, ramuan tradisional yang
dipakai dan indikasi dari tiap tanaman maupun ramuan (baik untuk tujuan
pemeliharaan Kesehatan/pengobatan penyakit) → data dasar digunakan sebagai
bahan dasar pembuktian ilmiah lebih lanjut → data dasar hasil studi etnomedisin
dan etnofarmakologi akan di kaji oleh ahli farmakologi herbal untuk dilakukan
skrining (untuk ditetapkan jenis tanaman dan jenis ramuan yang potensial untuk
dilakukan uji manfaat dan keamanan) → untuk formula yang sudah empiris dan
terbukti aman → akan langsung masuk tahap uji klinik fase 2 (untuk melihat efikasi
awal dan keamanan) dengan menggunakan pre-post test design/tanpa pembanding
→ jika uji klinik fase 2 membuktikan efikasi awal yang baik → dapat dilanjutkan uji
klinik fase 3 (untuk melihat efektivitas dan keamanan pada sampel yang lebih besar).
Design uji klinik fase 3 menggunakan randomized trial. Sebagai pembanding (kontrol)
dapat menggunakan obat standar jika jamu dipakai sebagai terapi alternatif atau
jamu on top (sebagai terapi tambahan) pada obat standar, jika jamu dipakai sebagai
terapi komplementer.
Hasil akhir uji klinik saintifikasi jamu → jamu saintifik, yang menunjukkan bahwa
jamu uji mempunyai nilai manfaat dan terbukti aman.
Jika perusahaan farmasi akan mengembangkan jamu saintifik menjadi produk FF →
perusahaan farmasi wajib mengikuti tahapan pengembangan FF atau sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Sumber : Siswanto (2012), Saintifikasi Jamu Sebagai Upaya Terobosan Untuk
Mendapatkan Bukti Ilmiah Tentang Manfaat dan Keamanan Jamu. Jakarta
• Pengembangan riset bahan obat juga terkendala minimnya sarana dan prasarana
penelitian. Contohnya, Indonesia hanya memiliki beberapa mesin penentu struktur
molekuler
• Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
Tjandra Yoga Aditama menyatakan, jamu saintifikasi hasil riset Balitbangkes
Kemenkes belum diminati perusahaan farmasi. Jika industri berminat, harus
memenuhi syarat yang ditentukan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Tjandra
Yoga memaparkan, semua jamu saintifik hasil riset di Balitbangkes Kemenkes sudah
ditawarkan kepada industri. Namun, belum ada perusahaan yang berminat
memproduksi massal jamu itu
Sumber : Andria Agusta. 2015. Saintifikasi Jamu Masih Terkendala
http://lipi.go.id/lipimedia/saintifikasi-jamu-masih-terkendala/11255