You are on page 1of 14

MAKALAH

KERAJAAN BERCORAK ISLAM DI NUSANTARA


Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Sejarah Islam dan Kolonialisasi di Nusantara

Dosen Pengampu
Muhammad Naharuddin Arsyad, S.Pd, M.Pd

Disusun oleh :
Heny Diana Rosani (2221000430052)
Shelma Zahira Ardhania (2221000430055)
Masula Ma’rifatun Nafida (2221000430073)

INSTITUSI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN BUDI UTOMO MALANG


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH DAN SOSIOLOGI
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, yang telah
memberikan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
KERAJAAN BERCORAK ISLAM DI NUSANTARA. Semoga dengan penyusunan makalah
ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman diri penyusun tentang mata kuliah ini.
Demi kesempurnaannya, penyusun selalu mengharapkan adanya saran dan masukan dari
berbagai pihak.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing mata
kuliah Sejarah Islam dan Kolonialisasi di Nusantara dan kepada semua pihak yang telah
mendukung hingga terselesaikannya makalah ini.
Harapan penyusun semoga makalah ini dapat memberi manfaat khususnya bagi
penyusun sendiri dan semua pihak yang telah membaca makalah ini.

Malang, 23 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................................ii
Daftar Isi...............................................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................1
1.3 Tujuan......................................................................................................................1
Bab II Pembahasan
A. Sejarah Perkembangan Kerajaan Gowa dan Kerajaan Ternate di Nusantara
1. Kerajaan Gowa.........................................................................................................2
2. Kerajaan Ternate......................................................................................................5
B. Sejarah Perkembangan Kerajaan Banjar dan Kerajaan Kutai di Nusantara
1. Kerajaan Banjar.......................................................................................................7
2. Kerajaan Kutai..........................................................................................................8
Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan..............................................................................................................10
3.2 Saran........................................................................................................................10
Daftar Pustaka .....................................................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia dikenal memiliki segudang sejarah yang panjang dari kebudayaan -
kebudayaan masa lampau. Sejarah tersebut hingga kini masih dapat dinikmati baik dari segi
cerita maupun dalam bentuk peninggalan bersejarah lain. Pengaruh asing yang datang ke
negara kita berasal dari India, Cina, Arab, Persia, dan Eropa. Kelima kebudayaan tersebut
telah membawa perubahan dalam segi agama, bahasa, maupun kesenian. Agama yang
pertama kali masuk ke wilayah Nusantara adalah agama Hindu, setelah itu agama Buddha,
Islam, dan yang terakhir adalah agama Kristen. Dari ke empat agama yang ada di Indonesia,
keberadaan agama Islam adalah suatu hal yang menarik karena mudah diterima oleh
masyarakat. Kedatangan Islam ke Indonesia mempunyai sejarah yang panjang. Satu
diantaranya adalah tentang interaksi terbuka Islam dengan masyarakat di Nusantara yang
kemudian memeluk Islam. Terdapat berbagai teori masuknya Islam ke Indonesia, yakni Teori
Gujarat, Teori Persia, Teori Cina, dan Teori Mekah. Adapun proses penyebaran melalui
perdagangan, pernikahan, pendidikan, dakwah, tasawuf, maupun kesenian. Lewat jaringan
perdagangan, Islam dibawa masuk sampai ke lingkungan istana hingga membentuk kerajaan
Islam yang tersebar di beberapa wilayah Nusantara seperti, Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Kerajaan Gowa dan Kerajaan Ternate di
Nusantara?
2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Kerajaan Banjar dan Kerajaan Kutai (Islam) di
Nusantara ?

1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Sejarah Perkembangan Kerajaan Gowa dan Kerajaan Ternate di
Nusantara
2. Untuk Mengetahui Sejarah Perkembangan Kerajaan Banjar dan Kerajaan Kutai
(Islam) di Nusantara

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Kerajaan Gowa dan Kerajaan Ternate di Nusantara


1. Kerajaan Gowa
Berdasarkan sumber-sumber asing maupun sumber-sumber naskah-naskah kuno
bahwa kehadiran agama Islam sudah ada sejak abad sebelum kedatangan Tomé Pires (1512-
1515), karena ia menceritakan bahwa Makassar sudah melakukan hubungan perdagangan
dengan Malaka, Kalimantan, dan Siam. Akan tetapi, Tomé Pires mengatakan bahwa
penguasa-penguasa lebih dari 50 negeri di pulau itu masih menganut berhala, maksudnya
belum Islam, Pemberitaan Tomé Pires itu mungkin lebih menitikberatkan kepada sebuah
kerajaan di Sulawesi belum resmi memeluk agama Islam, karena secara resmi kedua raja dari
Gowa dan Tallo memeluk agama Islam pada tanggal 22 September 1605 M. Negeri tersebut
kaya akan beras putih dan juga bahan-bahan makanan lainnya, banyak daging dan juga
banyak kapur barus hitam. Mereka memasok barang dagangan dari luar, antara lain jenis
pakaian dari Cambay, Bengal, dan Keling. Mengingat jaringan perdagangan dari Cina sudah
lama, barang-barang berupa keramik juga diimpor dan hal itu dapat dibuktikan dengan
banyaknya temuan keramikdari masa Dinasti Sung dan Ming dari daerah Sulawesi Selatan.
Kerajaan Gowa sebelum menjadi kerajaan Islam sering berperang dengan kerajaan
lainnya di Sulawesi Selatan, seperti dengan Luwu, Bone, Soppeng, dan Wajo. Kerajaan Luwu
yang bersekutu dengan Wajo ditaklukan oleh kerajaan Gowa-Tallo. Kemudian kerajaan Wajo
menjadi daerah takluk Gowa menurut Hikayat Wajo hanya kerajaan Bone yang masih tetap
bertahan karena bantuan Wajo secara rahasia. Dalam penyerangan terhadap kerajaan Gowa-
Tallo, Karaeng Gowa meninggal dan seorang lagi terbunuh pada sekitar tahun 1565.
Kemudian kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng mengadakan persatuan untuk mempertahankan
kemerdekaannya yang disebut perjanjian Tellumpocco, barangkali terjadi tahun 1582.
Akhirnya diadakan lagi perjanjian di Meru antara Bone dan Gowa, Sejak kerajaan Gowa
resmi merupakan kerajaan bercorak Islam tahun 1605, Gowa meluaskan politiknya agar
kerajaan-kerajaan lainnya juga masuk Islam dan tunduk kepada kerajaan Gowa-Tallo antara
lain Wajo tanggal 10 Mei 1610 dan Bone tanggal 23 November 1611. J. Norduyn
berpendapat bahwa penaklukan terhadap kerajaan itu oleh Gowa-Tallo itu dirasakan sebagai
harkat dan derajat agama baru yaitu Islam mendorong keruntuhan kerajaan yang memusuhi

2
Gowa-Tallo membawa kerajaan Gowa-Tallo kepada kekuasaan dengan cepat dan pasti
daripada sebelumnya. Menarik perhatian meskipun kerajaan Gowa-Tallo sudah Islam, pada
masa pemerintahan raja-raja Gowa selanjutnya melukiskan hubungan baik dengan orang-
orang Portugis yang membawa agama Kristen-Katolik. Contohnya masa Sultan Gowa
Muhammad Said (14 Juni 1639-16 November 1653), bahkan masa putranya Sultan
Hasanuddin (16 November 1639-29 Agustus 1669). Kedua-duanya memberikan bantuan
kepada orang-orang Portugis umumnya dan kepada Francisco Viera pada khususnya yang
telah menjadi utusan raja Gowa ke Banten dan Batavia bahkan Sultan Muhammad Said dan
Karaeng Patingalong memberikan saham dalam perdagangan yang dilakukan Fransisco
Viera. Hubungan 109 erat antara orang Portugis dengan Gowa disebabkan ancaman VOC
Belanda yang hendaknya memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Di daerah Sulawesi Selatan islamisasi makin mantap dengan adanya para mubalig
yang disebut Dalto Tallu (Tiger Dato); Dato'ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib
Tunggal), Dato'ri Pattimang (Dato' Sulaemana atau Khatib Sulung), Dato'ri Tiro (Abdul
Jawad alias Khatib Bungsu), ketiganya bersaudara dan berasal dari Koto Tengah,
Minangkabau. Para mubalig itulah yang mengislamkan raja Luwu, yaitu Datu' La
Patiware'Daeng Parabung dengan gelar Sultan Muhammad tanggal 15- 16 Ramadan 1013 H
(4-5 Februari 1605). Kemudian disusul oleh raja Gowa dan Tallo yaitu Karaeng Matowaya
dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan
syahadat hari Jumat sore tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H (22 September 1605 M) dengan
gelar Sultan Abdullah. Selanjutnya Karaeng Gowa I Manga' rangi Daeng Manrabbia
mengucapkan syahadat pada hari Jumat 19 Rajab 1016 H (9 November 1607 M).
Perkembangan agama Islam di daerah Sulawesi Selatan mendapat tempat sebaik-baiknya
bahkan ajaran Sufisme Khalwatiyah dari Syeikh Yusuf al-Makasari juga tersebar di kerajaan
Gowa dan kerajaan lainnya pada medio abad ke-17 M. Akan tetapi, karena banyak tantangan
dari kaum bangsawan Gowa, ia meninggalkan Sulawesi Selatan pergi ke Banten yang
diterima oleh Sultan Ageng Tirtayasa bahkan dijadikan mantu dan diangkat sebagai mufti di
Kesultanan Banten.
Dalam sejarah kerajaan Gowa perlu dicatat sejarah perjuangan Sultan Hasanuddin
dalam mempertahankan kedaulatannya terhadap upaya penjajahan politik dan ekonomi
kompeni (VOC) Belanda. Semula VOC tidak menaruh perhatian terhadap kerajaan Gowa-
Tallo yang telah mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, tetapi setelah kapal
Portugis yang dirampas oleh VOC pada masa Gubernur Jenderal Y. P. Coen di dekat perairan
Malaka, ternyata ada orang Makassar dan dari orang inilah ia mendapat berita tentang

3
pentingnya pelabuhan Sombaopu sebagai pelabuhan transito terutama mendatangkan rempah-
rempah dari Maluku. Pada waktu kapal VOC berada di Perairan Banda dicobanya
mengirimkan surat kepada raja Gowa untuk bersahabat hanya dalam perdagangan. Raja
Gowa mengundang orang VOC ke Sombaopu, ternyata VOC mulai menunjukkan tanda-
tanda perilaku memaksakan kehendaknya terutama mengenai perdagangan rempah-rempah
dari daerah Maluku. Pada tahun 1616 ketika sebuah kapal Belanda turun di Sumbawa orang-
orangnya dibunuh, dan inilah yang membuat Y.P. Coen di Batavia marah. Pihak kerajaan
Gowa menganggap VOC sebagai "perdagangan penyelundupan". Sejak itulah permusuhan
antara kerajaan Gowa dan VOC tidak ada hentinya. Pada tahun 1634 VOC memblokade
kerajaan Gowa tetapi tidak berhasil. Peristiwa peperangan dari waktu ke waktu berjalan terus
dan baru berdamai antara tahun 1637-1638.
Namun, perjanjian damai itu tidak kekal karena pada tahun 1638 dengan perampokan
kapal orang Bugis yang bermuatan kayu cendana dan telaht dijual kepada orang Portugis.
Orang Portugis minta ganti rugi kepada raja Gowa tetapi Raja Gowa Karaeng Patengaloan
menolaknya dan akhirnya Raja Gowa mengusir orang-orang Belanda dan Sombaopu. Kecuali
itu, raja Gowa memberikan hak-hak istimewa dalam perdagangan terhadap orang- orang
Portugis, Inggris, dan Denmark yang berada di Sombaopu. Demikian pula Gowa telah
membantu Hitu dan Seram karena merasa seagama dan bantuan itu dengan mengirimkan
armadanya yang berkekuatan 5.000 orang. Perang antara kerajaan Gowa dan VOC tidak
dapat dielakkan lagi menjelang akhir tahun 1653 dan memang terjadi perang besar-besaran
tahun 1654-1655, di mana-mana di pelabuhan Sombaopu, di daerah Maluku dengan rakyat di
sana yang membantu Gowa sebab tidak menyenangi politik monopoli perdagangan rempah-
rempah. Karena beratnya VOC menghadapi peperangan itu, dari Batavia dikirimkan utusan
untuk menyodorkan perdamaian yang terjadi pada tanggal 27 Februari 1656. Perjanjian
tersebut diterima Gowa karena menguntungkan, yaitu dibolehkan menagih utangnya di
Ambon. Boleh menagih utang atas perompakan kapal Bugis yang memuat kayu cendana
seperti yang pernah terjadi, VOC tidak pernah akan campur tangan dengan urusan dalam
kerajaan Gowa, dan akan membayar kerugian atas penangkapan orang- orang Makassar di
Maluku dan sebagainya. Perjanjian tersebut oleh pihak VOC sendiri dianggap merugikan dan
karenanya mempersiapkan armada dan persenjataan untuk menyerang Gowa yang sudah siap.
Speelman dengan armadanya yang waktu itu sudah siap pula dan mendapat bantuan tentara
dari Arung Palaka yang sudah memihak kepada Belanda. Sultan Gowa di bawah pimpinan
Sultan Hasanuddin tidak gentar dengan pengerahan tentara dan armadanya menghadapi
kekuatan VOC. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat dan tidak kurang mereka membayar

4
desa-desa yang setelah lama perang berkecamuk di antara dua belah pihak, Barombong
diserang besar-besaran oleh tentara VOC di bawah pimpinan Speelman dan tentara Bugis di
bawah Arung Palaka akhirnya melalui Perjanjian Bongaya yang ditandatangani di Batavia
tanggal 18 November 1667.

2. Kerajaan Ternate
Pada abad ke-14 dalam kitab Negarakertagama, karya Mpu Prapanca 1365 M yang
disebut Maluku dibedakan dengan Ambon, yaitu Ternate. Hal itu juga dapat dihubungkan
dengan Hikayat Ternate yang antara lain menyebutkan Moeloka (Maluku) artinya Ternate,
Tidore, Jailolo, dan Bacan. Hikayat Bacan mendukung pengertian "Maluku" hanya terdiri
dari 4 kepulauan itu." Pada abad ke-14 M masa kerajaan Majapahit, hubungan pelayaran dan
perdagangan antara pelabuhan-pelabuhan terutama Tuban dan Gresik dengan daerah Hitu,
Ternate, Tidore, bahkan Ambon sendiri sudah sering terjadi. Pada abad tersebut pelabuhan-
pelabuhan yang masih di bawah Majapahit juga sudah didatangi para pedagang muslim.
Untuk memperoleh komoditas berupa rempah-rempah terutama cengkih dan pala, para
pedagang muslim dari Arab dan Timur Tengah lainnya itu juga sangat mungkin mendatangi
daerah Maluku. Hikayat Ternate menyebutkan bahwa turunan raja-raja Maluku: Ternate,
Tidore, Jailolo, dan Bacan, adalah Jafar Sadik dari Arab. Dalam tradisi setempat dikatakan
bahwa Raja Ternate XII bernama Molomatea (1350-1357) bersahabat dengan orang-orang
muslim Arab yang datang di Maluku memberikan petunjuk pembuatan kapal. Demikian pula
diceritakan bahwa pada masa pemerintahan Raja Marhum di Ternate, datang seorang alim
dari Jawa bernama Maulana Husein yang mengajarkan membaca Alquran dan menulis huruf
Arab yang indah sehingga menarik raja dan keluarganya serta masyarakatnya. Meskipun
demikian, mungkin waktu itu agama Islam belum begitu berkembang.
Perkembangan baru terjadi pada masa Raja Cico atau putranya Gopi Baguna dan
bersama Zainulabidin pergi ke Jawa belajar masuk agama betul, Iman Islam, Tauhid Marifat
Islam. Zainulabid in (1486-1500) yang mendapat ajaran Islam dari Giri mungkin dari Prabu
Atmaka di Jawa terkenal sebagai Raja Bulawa artinya raja cengkih. Sekembalinya dari Jawa
ia membawa mubalig yang bernama Tuhubahalul. Hikayat Hitu menceritakan bahwa yang
mengiring Raja Zainulabidin ke Jawa adalah Perdana Menteri Jamilu dari Hitu. Hubungan
perdagangan antara Maluku dengan Jawa oleh Tomé Pires (1512-1515) juga sudah
diberitakan bahkan ia memberikan gambaran Ternate yang didatangi kapal-kapal dari Gresik
milik Pate Yusuf, dan Raja Ternate yang sudah memeluk Islam adalah Sultan Bern Acorala
dan hanya Raja Ternate yang menggunakan gelar sultan sedang yang lainnya masih memakai

5
gelar raja-raja di Tidore, gelar raja disebut Kolano. Pada waktu itu diceritakan Sultan Ternate
sedang berperang dengan mertuanya yang menjadi raja di Tidore, yaitu Raja Almansor.
Ternate, Tidore, Bacan, Makyan, Hitu, dan Banda pada masa kehadiran Tomé Pires sudah
banyak yang beragama Islam. Jika Islam memasuki daeran Maluku Tomé Pires mengatakan
50 tahun lalu, itu berarti antara tahun 1460-1465. Tahun- tahun tersebut menunjukkan
persamaan dengan berita Antonio yang mengatakan bahwa Islam di daerah Maluku mulai 80
atau 90 tahun lalu dari kehadirannya di daerah Maluku (1540-1545) yang juga jatuhnya lebih
kurang tahun 1460-1463 M.103 Kerajaan Ternate sejak itu making mengalami kemajuan baik
di bidang ekonomi-perdagangan maupun di bidang politik, lebih-lebih setelah Sultan Hairun
putra Sultan Zainalabidin menaiki takhta sekitar tahun 1535 kerajaan Ternate berhasil
mempersatu- kan daerah-daerah di Maluku Utara. Akan tetapi, persatuan daerah- daerah
dalam kerajaan Ternate itu mulai pecah karena kedatangan orang- orang Portugis dan juga
orang-orang Spanyol ke Tidore dalam upaya monopoli perdagangan terutama rempah-
rempah. Di kalangan kedua. bangsa itu juga terjadi persaingan monopoli perdagangan,
Portugis: memusatkan perhatiannya kepada Ternate sedangkan pedagang Spanyol kepada
Tidore.
Bagaimanapun kehadiran para pedagang Portugis di Ternate dirasakan kerajaan
Ternate merugikan karena monopoli perdagangan sehingga kerap menimbulkan
pemberontakan terhadap kedudukan Portugis di Ternate, terlebih pada masa Antonio Galvao
menjadi Gubernur Portugis di Maluku (1536-1540). Pada tahun 1565 Sultan Khairun dengan
rakyatnya mengadakan penyerangan-penyerangan terhadap Portugis karena hampir terdesak
pihak Portugis melakukan penipuan dengan dalih untuk mengadakan perundingan tetapi
ternyata Sultan Khairun dibunuh pada tahun 1570 yang menyebabkan makin marahnya
rakyat Ternate. Perlawanan rakyat itu diteruskan di bawah pimpinan putranya, Sultan
Baabullah, yang pada tanggal 28 Desember 1577 berhasil mengusir orang- orang Portugis
dari Ternate, menyingkir ke pulau dekat Tahula tidak jauh dari Tidore, tetapi tetap diganggu
oleh orang-orang Ternate agar menyingkir dari tempat itu, Sultan Baabullah menyatakan
dirinya sebagai penguasa seluruh Maluku bahkan mendapat pengakuan kekuasaannya sampai
ke berbagai daerah Mindanao, Manado, Sangihe, dan daerah- daerah Nusa Tenggara. Sultan
Baabullah mendapat julukan sebagai Penguasa 72 Kepulauan dan menganggap sebagai
emperor seluruh wilayah dan sangat berkuasa. Sultan Baabullah wafat pada tahun 1583,
Orang- orang Spanyol berkesempatan menyerang Ternate dan memang berhasil merebut
benteng Gamulamu di Ternate tahun 1606. Sultan Ternate pada waktu itu Sahid Barkat
ditangkap dan diminta agar menyerahkan semua benteng-benteng yang ada kepada

6
sekutunya, agar tawanan orang-orang Kristen dibebaskan, kemudian Raja Ternate itu
diasingkan dengan putra- putranya serta Kaicil-Kaicil dibawa ke Manila. Dengan munculnya
VOC Belanda di daerah Maluku berarti kerajaan-kerajaan di daerah itu menghadapi
monopoli ekonomi-perdagangan dan pengaruh politik kolonialismenya.

B. Sejarah Perkembangan Kerajaan Banjar dan Kerajaan Kutai (Islam) di Nusantara


1. Kerajaan Banjar
Kerajaan Banjar (Banjarmasin) terdapat di daerah Kalimantan Selatan yang muncul
sejak kerajaan-kerajaan bercorak Hindu yaitu Nagara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang
berpusat di daerah hulu sungai Nagara di Amuntai kini. Kerajaan Nagara Dipa masa
pemerintahan Putri Jungjung Built dan patihnya Lembu Amangkurat, pernah mengadakan
hubungan dengan kerajaan Majapahit. Mengingat pengaruh Majapahit sudah sampai di
daerah sungai Nagara, Batang Tabalung, Barito, dan sebagainya tercatat dalam Kitab
Nagarakertagama. Hubungan tersebut juga dibuktikan dalam cerita Hikayat Banjar dan
Kronik Banjarmasin, konon diceritakan bahwa di Kerajaan Daha setelah pergantian Pangeran
Sukarama oleh Pangeran Tumenggung timbul perpecahan dengan Raden Samudra cucu
Pangeran Sukarama. Raden Samudra dinobatkan sebagai Raja Banjar oleh Patih Masin,
Muhur, Balit, dan Kuwin. Pada waktu menghadapi peperangan dengan Daha, Raden Samudra
minta bantuan kerajaan Demak sehingga mendapat kemenangan dan sejak itulah kerajaan
Samudra menjadi pemeluk agama Islam dengan gelar Sultan Suryanullah. Yang mengajarkan
agama Islam kepada Raden Samudra dengan patih-patih serta rakyatnya adalah seorang
penghulu Demak. Islamisasi di daerah itu menurut A.A. Cense terjadi sekitar 1550 M.
Sejak pemerintahan Sultan Suryanullah kerajaan Banjar/Banjarmasin meluaskan
kekuasaannya sampai Sambas, Batanglawai Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan
Sambangan. Sebagai tanda daerah takluk biasanya pada waktu-waktu tertentu mengirimkan
upeti kepada Sultan Suryanullah sebagai penguasa kerajaan Banjar/Banjarmasin. Setelah
Sultan Suryanullah wafat, dan digantikan oleh putranya yang tertua dengan gelar Sultan
Rahmatullah yang masih mengirimkan upeti ke Demak yang pada waktu itu sudah menjadi
kerajaan Pajang, Setelah Sultan Rahmatullah, yang memerintah kerajaan Banjarmasin adalah
seorang putranya yang bergelar Sultan Hidayatullah. Pada masa itu patih-patih yang namanya
disebut di atas sudah tiada karena itu untuk mangkubumi Sultan Hidayatullah adalah Kyai
Anggadipa. Pengganti Sultan Hidayatullah adalah Sultan Marhum Panembahan atau dikenal
dengan gelar Sultan Mustain Billah yang pada masa pemerintahannya berupaya
memindahkan ibu kota kerajaan ke Amuntai.

7
Masa pemerintahan Sultan Mustain Billah pada awal abad ke- 17 ditakuti oleh
kerajaan-kerajaan sekitarnya dan dapat menghimpun lebih kurang 50.000 prajurit. Demikian
kuatnya kerajaan Banjar / Banjarmasin sehingga dapat membendung pengaruh politik dari
Tuban, Arosbaya, dan Mataram, di samping menguasai daerah-daerah kerajaan di
Kalimantan Timur Tenggara, Tengah, dan Barat. Pada awal abad ke-17 itu tepatnya tanggal 7
Juni 1607 Banjarmasin kedatangan pedagang Belanda Gillis Michielse-zoon diundang ke
darat, tetapi akhirnya dibunuh dan kapalnya dirampas. Balasan dari pihak VOC tahun 1612
kota Banjarmasin hancur ditembaki Belanda. Akhirnya Sultan Marhum Panembahan
memindahkan pusat kerajaan ke Kayu Tangi. Perdamaian baru terjadi lagi tahun 1635, tetapi
hubungan tersebut tidak lama.
Kerajaan Banjar atau Banjarmasin sejak pengaruh Belanda politik monopoli
perdagangan masuk di Kalimantan Selatan terus-menerus terjadi perselisihan-perselisihan
baik dengan pihak Belanda maupun di lingkungan kerajaan Banjar sendiri, ditambah masalah
pedagang Inggris, Terutama sejak abad ke-18, yaitu sejak Belanda membuat benteng di Pulau
Tatas tahun 1747 bahkan kelak pada abad ke-19, yaitu tepatnya tanggal 4 Mei 1826 melalui
kontrak antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, dalam hal ini Pulau Tatas
diserahkan kepada Belanda, juga daerah Kuwin Selatan, Pulau Burung, Pulau Bakumpal, dan
sebagainya. Meskipun keadaan politik kerajaan Banjar yang kurang stabil itu boleh dicatat
bahwa pada abad ke-18 di kerajaan Banjar ada seorang ulama besar yang bernama
Muhammad Arsyad b'Abdullah Al-Banjari (1710-1812) lahir di Martapura. Atas biaya
kesultanan, masa Sultan Tahlil Allah (1700-1745) pergi belajar ke Haramayn selama
beberapa tahun. Sekembalinya ia mengajarkan fikih atau syariah, dengan kitabnya Sabil Al-
Muhtadin. Ia juga ahli di bidang tasawuf dengan karyanya Khaz Al-Ma'rifah. Baik
riwayatnya maupun ajaran dan guru- guru serta kitab-kitab hasil karyanya secara panjang
lebar telah dibicarakan oleh Dr. Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Sejak wafatnya Sultan Adam, tanggal 1
November 1857, pergantian sultan-sultan dengan campur tangan politik Belanda mulai
menimbulkan pertentangan-pertentangan antara keluarga raja-raja. Lebih-lebih setelah
dihapuskannya kerajaan Banjar oleh Belanda. Perlawanan-perlawanan terhadap Belanda itu
terus- menerus terutama antara tahun 1859-1863 merupakan perjuangan baik rakyat maupun
para pahlawan, antara lain Pangeran Antasari, Pangeran Demang Leman, dan Haji Nasrun.
Perlawanan terhadap penjajah Belanda itu sebenarnya terus dilakukan sampai tahun-tahun
selanjutnya.

8
2. Kerajaan Kutai
Penyebaran Islam di Kalimantan Timur terjadi pada masa Kerajaan Kutai, yaitu pada
masa pemerintahan Raja Mahkota (1575 – 1610 M). Raja Mahkota adalah raja keenam yang
memerintah di Kerajaan Kutai dan ia belum memeluk agama Islam. Dalam Salasilah Kutai
disebutkan bahwa agama Islam masuk ke Kerajaan Kutai dari Makassar. Agama Islam
dibawa dua tokoh agama dari Minangkabau yang bernama Tuan Haji Bandang dan Tuan Haji
Tunggang. Mula-mula mereka mengislamkan Kerajaan Makassar. Setelah Islam berkembang
di Makassar, lalu keduanya melanjutkan dakwahnya ke Kerajaan Kutai. Namun saat itu,
mereka bersepakat bahwa salah seorang dari mereka harus tetap di Makassar guna
mengawasi perkembangan Islam di sana. Alhasil, Tuan Haji Bandang tetap tinggal di
Makassar sementara yang bertugas melakukan dakwah di Kutai adalah Tuan Haji Tunggang
yang oleh penduduk setempat dikenal dengan nama Tuan Tunggang Parangan. Suatu ketika,
Tuan Tunggang Parangan menemui Raja Mahkota dan mengutarakan maksud
kedatangannya. Ia meminta Raja Mahkota untuk masuk Islam. Saat itu, Raja Mahkota
bersedia masuk Islam dengan sebuah syarat yakni bahwa Tuan Tunggang Parangan mampu
mengalahkannya dalam adu kesaktian. Maka terjadilah adu kesaktian di antara mereka. Kala
itu, terciptalah api yang amat besar. Seketika Tuan Tanggang menciptakan hujan lebat yang
mampu memadamkan api tersebut. Atas kesaktian Tuan Tanggang tersebut, Raja Mahkota
mengaku kalah dan akhirnya memeluk Islam. Segala babi yang ada di rumahnya beserta
segala pekasam yang di ada dalam tempayan dihabisinya. Selanjutnya, Raja Mahkota
dibimbing untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan rukun Islam yang kemudian diikuti
oleh rakyatnya. Sejak itu, Raja Mahkota menjadi raja Islam yang kuat imannya. Semua raja
yang belum masuk Islam ditaklukkannya untuk kemudian diarahkan untuk memeluk Islam.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa awal mulanya Kerajaan
Islam di Indonesia terjadi karena jaringan perdagangan yang masuk di istana yang
ditaklukkan oleh kerajaan Islam sehingga agama Islam menyebar hingga ke seluruh
Nusantara, khususnya di Gowa, Ternate, Banjar serta Kutai. Dari sanalah kemudian muncul
kerajaan kerajaan Islam yang tersebar akibat perdagangan. Islam berkembang pesat di
Indonesia dibuktikan dengan Agama Islam merupakan agama yang mendominasi wilayah
Indonesia. Selain itu sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia termasuk
dalam sistem pemerintahan monarki, karena para penguasa masih ada ikatan keturunan.

3.2 Saran

Setelah beberapa paparan dan kesimpulan yang dijabarkan, saran yang dapat penulis
sampaikan yaitu semoga dengan mengetahui sejarah perkembangan Islam di Nusantara kita
dapat menghormati dan menghargai hasil jerih payah mereka dalam menegakkan Islam di
daerah-daerah Indonesia.

10
DAFTAR PUSTAKA

Poesponegoro, Mawardi Djoened. 2010. Sejarah Nasional Indonesia III (Zaman


Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia). Jakarta : Balai Pustaka. hlm.
74-88

Hadi WM, Abdul, dkk. 2015. Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia. Jakarta : Direktorat
Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. hlm. 108-109

11

You might also like