You are on page 1of 62

BAHAN AJAR MATA KULIAH ILMU

BUDAYA DASAR
O

YOHANES FISHER MEO, S.FIL. M.PD

SEKOLAH TINGGI STIPAR ATMAREKSA ENDE 2020/2021


BAB I

TINJAUAN TENTANG ILMU BUDAYA DASAR

1.1. PENDAHULUAN
Semua realitas ‘yang ada’(buah tangan manusia), yang kita nikmati adalah produk
budaya. Realitas ‘yang ada’, diwarisi turun temurun dari generasi ke generasi dari waktu
ke waktu yang mencirikan identas manusia baik suku, bangsa dan ras. Dari berbagai
identitas budaya mau menjelaskan bahwa budaya merupakan panggilan kodrati manusia
untuk menata dan mengatur, berkreasi, berekpresi dan bertransformasi ke arah yang lebih
baik. Manusia yang berbudaya adalah manusia yang berkreasi dalam arena yang
membentuk kepribadian dan jati diri manusia. Berbudaya adalah sebuah pertanyaan,
ketika ada banyak aspek dan nilai yang menghegemoni dan menjadi sumber rujukan yang
diikuti oleh banyak orang. Maraknya budaya tik-tok, Q-POP, korupsi, perjudian dan
sebagainya mau menunjukkan bahwa budaya adalah sebuah proses pendidikan yang
dinikmati dan diakui serta dinikmati oleh individu dan kelompok tertentu tanpa batas-batas
nilai yang menjadi rujukan. Budaya bukan merupakan realitas yang terberikan melainkan
realitas yang ada dan melalui proses pembelajaran.
Problematisasi kebudayaan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia berkaitan
adanya berbagai sistem nilai, sistem pengetahuan serta pandangan hidup yang saling
bertentantangan satu dengan yang lain. Realitas konflik yang berkepanjangan
(radikalisme, peperangan antar bangsa), kerusakan lingkungan yang akut, Menjamurnya
sikap individualistas, ketergantungan akan teknologi dan hancurnya sekat-sekat
kehidupan sosial kemasyarakatan merupakan realitas budaya yang berubah tanpa batas
nilai yang jelas. Di saat bersamaan wacana budaya sebagai the humanities menjadi
domain tandingan akan segala krisis yang terjadi dalam kehidupan manusia. Di tengah
realitas yang tidak humanis, apakah realitas yang tidak humanis digolongkan sebagai
budaya ataukah kekurangan dari the humanities?
Dalam ilmu budaya dasar, mahasiswa tidak hanya diajarkan secara normatif apa itu
budaya. mahasiswa harus diasah untuk berpikir kritis bagaimana berbudaya yang
humanus? Bagaimana cara kerja hegemoni budaya yang mahasiswa hidupi sehingga
mahasiswa tidak mudah tergusur oleh budaya-budaya populer. Cakupan pembelajaran
ilmu budaya dasar yang menjadi prioritas dalam kuliah ini adalah budaya secara teoritis
dan budaya kontekstual baik itu sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, sistem mata
pencaharian/ekonomi, sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial, bahasa dan teknologi.
1.2. PengertianIBD

Secara sederhana Ilmu Budaya Dasar adalah pengetahuan yang diharapkan dapat
memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang
dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan. Istilah Ilmu
Budaya Dasar dikembangkan pertama kali di Indonesia sebagai pengganti istilah basic
humanities yang berasal dari istilah bahasa inggris “The Humanities”. Adapun istilah
humanities itu sendiri berasal dari bahasa latin humanus yang artinya manusia, berbudaya
dan halus. Dengan mempelajari the humanities diandaikan seseorang akan bisa menjadi
lebih manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa
the humanities berkaitan dengan nilai-nilai manusia sebagai homo humanus atau manusia
berbudaya. Agar manusia menjadi humanus, mereka harus mempelajari ilmu yaitu the
humanities disamping itu tidak meninggalkan tanggung jawabnya yang lain sebagai
manusia itu sendiri.

1.3. Latar belakang IBD


Latar belakang ilmu budaya dasar bermula dari kritik yang diberikan oleh sejumlah
cendekiawan mengenai sistem pendidikan kita yang dinilai sebagai warisan sistem
pendidikan pemerintahan Belanda pada masa penjajahan. Sampai sekarang, sistem
pendidikan yang terkotak-kotak telah menghasilkan banyak tenaga ahli yang
berpengalaman dalam disiplin ilmu tertentu. Padahal pendidikan itu seharusnya lebih
ditujukan untuk menciptakan kaum cendikiawan daripada mencetak tenaga yang terampil.
Para lulusan perguruan tinggi diharapkan dapat berperan sebagai sumber utama bagi
pembangunan Negara secara menyeluruh.
Latar belakang diberikannya IBD selain melihat konteks budaya Indonesia, dalam
rangka menyempurnakan pembentukan sarjana. Perguruan tinggi diharapkan dapat
menghasilkan sarjana-sarjana yang mempunyai pengetahuan yang terdiri atas :
• Kemampuan akademis yang merupakan kemampuan untuk berkomunikasi secara
ilmiah, baik lisan maupun tulisan, menguasai peralatan analisis, maupun berfikir
logis.
• Kemampuan profesional yang merupakan kemampuan dalam bidang profesi tenaga
ahli yang bersangkutan.
• Kemampuan personal yang merupakan kemampuan kepribadian. Dengan
kemampuan ini para tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan sehingga mampu
menunjukkan sikap, tingkah laku dan tindakan yang mencerminkan kepribadian
Indonesia, memahami dan mengenal nilai-nilai keagamaan, kemasyarakatan dan
kenegaraan, serta memiliki pandangan yang luas dan peka terhadap berbagai
masalah yang dihadapi oleh masyarkat Indonesia.

Latar belakang diberikannya mata kuliah IBD dalam konteks budaya, Negara dan
masyarakat Indonesia
• Kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dengan
segala keanekaragaman budaya
• Membangunan telah membawa perubahan dalam masyarakat yang
menimbulkan pergeseran system nilai budaya dan sikap yang mengubah
anggota masyarakat terhadap nilai-nilai budaya
• Kemajuan dalam bidang teknologi komunikasi massa dan transportasi,
membawa pengaruh terhadap intensitas kontak budaya antarsuku maupun
dengan kebudayaan dari luar.
Latar belakang diberikan mata kuliah IBD dalam konteks budaya lokal
terlebih khusus di NTT sebagai berikut:

• NTT merupakan propinsi kepulauan yang sering disebut FLOBAMORATA


yang notabene memiliki banyak suku dengan ciri khas budaya yang beragam,
mulai dari bahasa, adat istiadat, seni, sistem nilai dan sebagainya

• semakin tergusurnya budaya lokal dari kehidupan generasi sekarang dengan


lebih memilih dan menerima budaya populer.
• menguatkan karakter berbudaya bagi mahasiswa terlebih khusus mendalami
budaya yang dihidupi oleh mahasiswa
1.4. IBD sebagai Ilmu Pengetahuan
Secara sederhana Ilmu Budaya Dasar adalah pengetahuan yang diharapkan
dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang
dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah MANUSIA dan KEBUDAYAAN.
Istilah “Ilmu Budaya Dasar” dikembangkan di Indonesia sebagai pengganti istilah “Basic
Humanitiesm” (Inggris: “The Humanities”) yang berasal dari istilah Latin “humanus”
yang berarti manusia yang berbudaya dan halus. Oleh karena itu, “the humanities”
berkaitan dengan nilai-nilai, yaitu nilai-nilai manusia sebagai homo humanus (manusia
berbudaya).Untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif dan integral tentang Ilmu
Budaya Dasar, maka berikut ini akan disajikan klasifikasi Ilmu Pengetahuan yang
dilakukan Prof. Dr. Harsya W Bachtiar (pemrakarsa masuknya Ilmu Budaya Dasar dalam
Kurikulum Nasional Indonesia tahun 1970-an). Ilmu Budaya Dasar sebagai Ilmu
Pengetahuan.

Lihat tabel pada halaman 4:


Tabel: Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
No. Ilmu Pengetahuan Tujuan Metode Mata Kuliah
1. Ilmu-ilmu Mengetahui Metode kajian ilmiah. 1. Astronom
alamiah (natural keteraturan yang Cara: menemukan hukum tentang 2. Fisika
sciences) terdapat dalam alam keteraturan analisis 3. Biologi
semesta digenelalisasikan prediksi = 100% B 4. Kedokteran
& 100% S 5. Mekanika
6. Kimia dll.
2. Ilmu-ilmu Sosial Mengetahui Metode ilmiah (pinjaman ilmu alamiah) 1. Sosiologi
(sosial sciences) keteraturan dalam Cara: menemukan hukum tentang 2. Antropologi
hubungan antar keteraturan 3. Sosial Politik
manusia analisisdigenelalisasikanprediksi = 4. Sosiologi Hukum
tidak mungkin 100% B (mendekati) 5. Demografi,
6. Ekonomi dll
3. Pengetahuan Memahami dan Metode pengungkapan peristiwa-peristiwa 1. Filsafat
Budaya mencari arti dan pernyataan-pernyataan unik (tulisan) 2. Seni
(the humanities) kenyataan yang kemudian diberi arti. (tidak ada sangkut 3. Antropologi
bersifat manusiawi pautnya dengan metode ilmiah, hanya Budaya
mungkin ada pengaruh dari metode ilmiah. 4. Hukum, dll
Gambar

Pohon Ilmu Pengetahuan

Ilmu Sosial:
1. Antrop. Sosial
2. Ekonomi
3. Sosiologi
4. Politik
5. Sos. Hukum
6. Psikologi
7. Demografi

Pengetahuan Budaya:
1. Agama
2. Antrop. Budaya
3. Kesusasteraan
4. Peng. Hukum
5. Sejarah
6. Filsafat
Ilmu Alamiah:
1. Biologi
2. Kedokteran
3. Astronomi
4. Kimia
5. Fisika
6. Matematika
POHON ILMU
PENGETAHUAN

Dari klasifikasi pengetahuan di atas (pada tabel dan gambar “Pohon Ilmu Pengetahuan”), kita
dapat pula membedakan: The Humanities &Basic Humanities sebagaimana yang tertera pada tabel
berikut:

Tabel: Perbandingan The Humanities &Basic Humanities

No. ILMU TUJUAN CAKUPAN KET.

1. Pengetahuan Mengkaji masalah nilai manusia sebagai Mencakup keahlian 1. “Humanities” (Bahasan
Budaya makhluk berbudaya (Homo Humanus) (disiplin) seni dan Latin) “humanus”=
filsafat. “manusia berbudaya dan
(The Seseorang akan bisa menjadi lebih
halus”.
Humanities) manusiawi, lebih berbudaya, dan lebih
halus.
2. Persamaan dalam metode

2. IBD (basic Seseorang memiliki pengetahuan dasar Mencakup keahlian pedekatannya yaitu

humanities) dan pengertian umum tentang konsep- (disiplin) sejarah, melalui pengungkapan

konsep yg dikembangkan untuk filsafat, alam, etika peristiwa-peristiwa dan

mengkaji masalah manusia dan pernyataan yg dianggap


kebudayaan. dan agama. unik melalui karya-karya
budaya

Dari perbandingan di atas dapat diketahui bahwa baik The Humanities maupun Basic
Humanities dalam pembicaraannya akan berkaitan dengan budaya. Hanya saja masalah
budaya yang dibicarakan pada Ilmu Budaya Dasar (Basic Humanities) adalah segala sistem
atau tata nilai, sikap mental, pola pikir, pola tingkah laku dalam berbagai aspek kehidupan
yang tidak memuaskan secara keseluruhan (dehumanisasi).

Mengapa IBD dapat disebut sebagai Ilmu Pengetahuan? Prinsip-prinsip Ilmu


Pengetahuan yang dimiliki IBD sehingga disebut sebagai Ilmu Pengetahuan, yaitu:

1.5. Metode pendekatan IBD

Ada beberapa metode pendekatan Ilmu Budaya Dasar, yakni:


1. Deskriptif: “Bagaimana”
Misalnya: Ilmu sejarah memberikan keterangan tentang hal-hal yang pernah terjadi,
bagaimana peristiwa berlangsung, bagaimana gambaran kenyataannya. Melalui
pendekatan ini, IBD dapat menemukan suatu gejala budaya dan kemanusiaan secara
benar dan jujur.
2. Esensial: “Apa”
Misalnya: Filsafat di mana manusia berusaha mencari jawaban dari pertanyaan yang
esensial tentang kemanusiaan. Melalui pendekatan ini IBD mengarahkan wawasan
terhadap ciri-ciri khas dari manusia yang berbeda dari makhluk lain.
3. Kausal: “Mengapa”
Misalnya: dalam Ilmu alam, ingin diketahui mengapa benda yang dilempar ke atas akan
kembali jatuh ke bawah. Melalui pendekatan ini, IBD dapat memperoleh pengetahuan
tentang sebab-sebab terjadinya persoalan budaya dan kemanusiaan.
4. Normatif: “Kemana”
Misalnya: etika dan agama mengajarkan bahwa supaya hidup menjadi baik berbuatlah
yang baik. Melalui pendekatan ini IBD membekali manusia apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan sebagai pelaku kebudayaan.

1.6. Tujuan IBD


Penyajian mata kuliah ilmu budaya dasar tidak lain merupakan usaha yang
diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-
konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan.
Dengan demikian mata kuliah ini tidak dimaksudkan untuk mendidik ahli-ahli dalam
salah satu bidang keahlian yang termasuk didalam pengetahuan budaya (the humanities)
akan tetapi IBD semata-mata sebagai salah satu usaha untuk mengembangkan
kepribadian mahasiswa dengan cara memperluas wawasan pemikiran serta kemampuan
kritikalnya terhadap nilai-nilai budaya, baik yang menyangkut orang lain dan alam
sekitarnya, maupun yang menyangkut dirinya sendiri.
Berpijak dari hal diatas, tujuan mata kuliah ilmu budaya dasar adalah untuk
mengembangkan kepribadian dan wawasan pemikiran, khususnya berkenaan dengan
kebudayaan, agar daya tangkap, persepsi dan penalaran mengenai lingkungan budaya
mahasiswa dapat menjadi lebih halus. Untuk bisa menjangkau tujuan tersebut IBD
diharapkan dapat :

1. Mengusahakan kepekaan mahasiswa terhadap lingkungan budaya, sehingga


mereka lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, terutama
untuk kepentingan profesi mereka.
2. Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk memperluas pandangan mereka
tentang masalah kemansiaan dan budaya serta mengembangkan daya kritis
mereka terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut kedua hal tersebut.

Tujuan Ilmu Budaya Dasar tersebut di atas sesuai dengan pilar-pilar pembelajaran
yang dikemukakan UNESCO. UNESCO (1988) dalam rangka meningkatkan mutu dan
hasil pendidikan, mendeklarasikan 4 pilar pembelajaran, yaitu: (1) Learning to KNOW
(pembelajaran untuk TAHU); (2) Learning to DO (pembelajaran untuk BERBUAT); (3)
Learning to BE (pembelajaran untuk MENJADI); dan (4) Learning live TOGETHER
(pembelajaran untuk HIDUP bersama secara HARMONIS). Jadi, Misi-misi ini
khususnya learning live together sangat mendukung dalam bidang ilmu-ilmu sosial
humaniora.

Jika diperinci maka tujuan pengajaran ilmu budaya dasar itu adalah :
1. Menimbulkan minat untuk mendalaminya.
2. Lebih peka dan terbuka terhadap masalah kemanusiaan dan budaya, serta lebih
bertanggung jawab terhadap masalah-masalah tersebut.
3. Mengusahakan kepekaan terhadap nilai-nilai lain untuk lebih mudah
menyesuaikan diri.
4. Menyadarkan mahasiswa terhadap nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,
hormat menghormati serta simpati pada nilai-nilai yang hidup pada masyarakat.
5. Dengan ringkas dapat disebutkan bahwa tujuan IBD adalah Perlunya melakukan
pembentukan pemikiran yang khususnya berkenaan dengan Kebudayaan dan
Kemanusiaan,agar daya tanggap, persepsi dan penalaran berkenaan dengan
lingkungan budaya dapat diperluas.
1.7. Ruang lingkup IBD
Dua Pokok Masalah yang digunakan sebagai bahan pertimbangan Ruang Lingkup
Ilmu Budaya Dasar, yaitu:
1. Berbagai aspek kehidupan yang seluruhnya merupakan ungkapan masalah
kemanusiaan dan budaya yang dapat didekati dengan menggunakan pengetahuan
budaya (the humanities), baik dari segi masing-masing keahlian (disiplin) di dalam
pengetahuan budaya, maupun gabungan (antar bidang) berbagai disiplin dalam
pengetahuan budaya.
2. Hakekat manusia yang satu dan universal, akan tetapi yang beranekaragam
perwijudannya dalam kebudayaan masing-masing jaman dan tempat.
Dalam melihat dan menghidupi lingkungan alam, sosial dan budaya, manusia tidak
hanya mewujudkan keseragaman, akan tetapi juga keanekaragaman yang diungkapkan
secara tidak seragam baik dalam berbagai bentuk dan corak ungkapan, pikiran, perasaan,
tingkah laku dan hasilnya. Dalam konteks IBD, manusia mempunyai peran sentral, sebab
manusia tidak hanya sebagai subyek tetapi juga sebagai obyek kajian. Bagaimana
hubungan manusia dengan alam, dengan sesamanya, dengan dirinya sendiri, nilai-nilai
manusia, dan bagaiman pula hubungan manusia dengan Tuhan menjadi tema sentral
dalam IBD. Karena itu perlu “bahasa bersama” yang bisa dipahami oleh semua pihak
yang terwujud dalam 7 issue penting dalam Mata Kuliah IBD.

1.7.1. Manusia dan keindahan

Keindahan itu merupakan sutu konsep yang abstrak, karena keindahan itu baru
bisa dinikmati jika memiliki koneksi dengan suatu wujud tertentu.Karena itu agaknya
sedikit sulit untuk mendefeinisikan keindahan.Walaupun abstrak dan sulit namun bisa
ditelusuri definisi atau arti yang diberikan oleh The Liang Gie. Menurut The Liang
Gie bahwa dalam bahasa Inggris keindahan itu diterjemahkan dengan kata
“beutiful” dalam bahasa Prancis “beau” sedangkan Italia dan Spanyol “bello”
berasal dari kata latin “bellum”.Akar katanya adalah bonum yang berarti kebaikan,
kemudian mempunyai bentuk pengecilan menjadi “bonellum” dan terakhir
diperpendek sehingga ditulis “bellum”.

Menurut cakupannya keindahan dapat dibedakan menjadi dua, yakni


keindahan sebagai suatu “kualitas abstrak” (beauty) dan keindahan sebagai “suatu
benda tertentu yang indah” (the beatifull). Selain itu terdapat pula perbedaan menurut
luasnya pengertian yaitu:

a. Keindahan dalam arti luas


Kemindahan dalam arti luas merupakan pengertian semula dari bahasa
Yunani dulu yang didalamnya tercakup pula kebaikan.Plato misalnya
menyebut tetang watak yang indah dan hukum yang indah, sedangkan
Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu selain baik juga
menyenangkan.Plotinus menulis tentang ilmu yang indah dan kebajikan
yang indah.Orang Yunani dulu juga berbicara tentang buah pikiran yang
indah dan adat kebiasaan yang indahan. Tapi bangsa Yunani juga mengenal
pengertian keindahan dalam arti estetis, yang disebut “symmetria” untuk
keindahan berdasarkan pengelihatan (misalnya pada karya pahat dan
arsitektur ) dan harmonia untuk keindahan berdasarkan pendengaran (musik).
Jadi pengertian keindahan yang seluas-luasnya meliputi: keindahan seni,
keindahan alam, keindahan moral dan keindahan intelektual.

b. Keindahan dalam arti estetis murni


Keindahan dalam pengertian estetis murni menyangkut pengelaman estetis
dari seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang
diserapkannya.

c. Keindahan dalam arti terbatas dalam hubungan dengan pengelihatan.


Keindahan dalam arti terbatas lebih disempitkan sehingga menyangkut
benda-benda yang diserapkannya dengan pengelihatan yakni berupa
keindahan dari bentuk dan warna.
Lalu apa itu sebenarnya keindahan?

Salah satu jawaban mencari ciri-ciri umum yang ada pada semua benda yang
dianggap indah dan kemudian menyamakan ciri-ciri atau kualitas hakiki itu dengan
pengertian keindahan.Jadi keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualitas pokok
tertentu yang terdapat pada suatu hal.Kualitas yang paling sering disebut adalah suatu
kesatauan (unity) keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry) keseimbangan
(balance) dan perlawanan (contrast).Karena itu dapat disimpulkan bahwa keindahan
tersusun dari berbagai keselarasan dan kebaikan dari garis, warna, bentuk, nada dan
kata-kata.Keindahan juga adalah suatu kumpulan hubungan-hubungan yang selaras
dalam suatu benda dan diantara benda itu dengan si pengamat.

Filsuf dewasa ini merumuskan keindahan sebagai kesatuan hubungan antara


pencerapan-pencerapan inderawi kita (beaty is unity of formal relations of our sense
perceptions). Filsuf lain menghubungkan pengertian keindahan dengan ide
kesenangan (pleasure), yang merupakan sesuatu yang menyenangkan terhadap
pengelihatan atau pendengaran. Filsuf abad pertengahan Thomas Aquinas (1225-
1274) mengatakan bahwa keindahan adalah sesuatu yang menyenangkan bilamana
dilihat.

Pengungkapan keindahan dalam karya seni tertentu terntu didorong oleh


motivasii tertentu.Motivasi itu dapat berupa pengalaman atau kenyataan mengenai
penderitaan hidup manusia, mengenai kemerosotan moral, mengenai perubahan nilai-
nilai dalam masyarakat, megenai keagungan Tuhan dan banyak lagi lainnya.Tujuan
tentu saja dilihat dari segi nilai kehidupan manusia, martabat manusia, kegunaan bagi
manusia secara kodrati. Beberapa motivasi manusia menciptakan keindahan:

(1) Tata nilai yang telah usang


Tata nilai yang terjelma dalam adat istiadat ada yang sudah tidak sesuai lagi
dengan keadaan sehingga dirasakan sebagai hambatan yang merugikan dan
mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan, misalnya kawin paksa.Tata nilai
semacam ini dipandang sebagai mengurangi nilai moral kehidupan
masyarakat sehingga dikatakan tidak indah.Yang indah adalah tata nilai
yang menghargai dan mengangkat mertabat manusia termamsuk wanita.Hal
ini menjadi tema para sastrawan jaman Balai Pustaka dengan tujuan untuk
merubah keadaan dan memperbaiki nasib kaum wanita.Misalnya novel,
“Siti Nurbaya” oleh Marah Rusly.
(2) Kemerosotan zaman
Keadaan yang merendahkan derajat dan nilai kemanusiaan ditandai dengan
kemerosotan moral.Kemerosotan moral dapat diketahui dari tingkah laku
dan perbuatan manusia yang bejat terutama dari segi kebutuhan
seksual.Kebutuhan seksual ini dipenuhinya tanpa menghiraukan ketentuan-
ketentuan hukum agama dan moral masyarakat yang demikian itu dikatakan
tidak baik, yang tidak baik itu tidak indah. Yang tidak indah itu harus
disingkirkan melalui protes yang antara lain diungkapkan melalui karya
seni. Contoh adalah karya seni berupa sanjak yang dikemukakan oleh W.S.
Rendra berjudul “Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta”.
(3) Penderitaan manusia
Banyak faktor yang membuat manusia itu menderita.Tetapi yang paling
menentukan ialah faktor manusia itu sendiri.Manusialah yang membuat
orang menderita sebagai akibat nafsu ingin berkuasa, serakah, dan tidak
berhati-hati dan sebagainya.Keadaan demikian ini tidak mempunyai daya
tarik dan tidak menyenangkan, karena nilai kemanusiaan telah diabaikan,
dan dikatakan tidak indah.Yang tidak indah itu harus dilenyapkan karena
tidak bermanfaat bagi kemanusiaan.
(4) Keagungan Tuhan
Keagungan Tuhan dapat dibuktikan melalui keindahan alam dan
keteraturan alam semesta serta kejadian-kejadian alam.Keindahan alam
merupakan keindahan mutlak ciptaan Tuhan.Manusia hanya dapat meniru
saja keindahan ciptaan Tuhan itu. Seindah-indah tiruan terhadap ciptaan
Tuhan, tidak akan menyamai keindahan ciptaan Tuhan itu sendiri.
Kecantikan seorang wanita ciptaan Tuhan membuat kagum seniman
Leonardo da Vinci. Karena itu ia berusaha meniru ciptaan Tuhan dengan
melukis Mona Lisa sebagai wanita cantik. Lukisan Mona Lisa sangat
terkenal karena menarik dan tidak membosankan.

1.7.2. Manusia dan Cinta Kasih


Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI)Cinta Kasih terdiri dari dua,
kata, yaitu:

 Cinta: rasa sangat suka (kepada) atau (rasa) sayang (kepada) ataupun (rasa)
sangat kasih atau sangat tertarik hatinya.
 Kasih: perasaan sayang atau cinta kepada atau menaruh belas kasihan.
Dengan demikian arti cinta dan kasih hampir bersamaan, sehingga kata kasih
memperkuat rasa cinta.Karena itu cinta kasih dapat diartikan sebagai perasaan suka
(sayang) kepada seseorang yang disertai dengan menaruh belas kasihan.Walaupun
cinta kasih mengandung arti hampir bersamaan, namun terdapat perbedaan antara
keduanya. Cinta lebih mengandung pengertian “mendalamnya rasa”, sedangkan kasih
lebih “keluarnya”; dengan kata lain bersumber dari cinta yang mendalam itulah kasih
dapat diwujudkan secara nyata.

Cinta memegang peranan penting  dalam kehidupan manusia, sebab cinta


merupakan landasan dalam hubungan perkawinan, pembentukan keluarga dan
pemeliharaan anak hubungan yang erat dimasyarakat dan hubungan manusiawi yang
akrab. Demikian pula cinta adalah pengikat yang kokoh antara manusia dengan
Tuhannya, sehingga manusia menyembah Tuhan dengan ikhlas, mengikuti
perintahnya dan berpegang teguh pada ajarannya.Cinta terutama “memberi” bukan
“menerima”.Dan memberi merupakan ungkapan yang paling tinggi dari kemampuan
manusia. Yang paling penting dalam adalah hal-hal yang sifatnya manusiawi bukan
materi.

Cinta selalu menyatakan unsur-unsur dasar tertentu, yaitu pengasuhan, tanggung


jawab, perhatian dan pengenalan.

1. Pengasuhan: cinta seorang ibu kepada anaknya.


2. Tanggung jawab: hubungan ibu dan anak bayinya.
3. Perhatian: pribadi lain itu hendaknya berkembang dan membuka diri
sebagaimana adanya.
4. Pengenalan yg merupakan keinginan untuk mengetahui rahasia menusia.
5. Deangan ke empat unsur tersebut, yaitu pengasuhan,tanggung
jawab,perhatian dan pengenalan suatu cinta dapat dibina secara lebih baik.
MenurutDr. Sarlito W. Sarwonobahwa Cinta memiliki tiga unsur yaitu:
1. Keterkaitan: adanya perasaan untuk hanya bersama dia, segala prioritas
untuk dia, janji kepada dia harus ditepati.
2. Keintiman: adanya kebiasaan-kebiasaan dan tingkah laku yang menunjukkan
bahwa antara anda dan dia sudah tidak ada jarak lagi.
3. Kemesraan: adanya rasa ingin dibelai atau membelai, rasa kangen kalau lama
atau jauh tidak bertemu, dan ada ungkapan-ungkapan kunci yang menyatakan
kemesraan.
Ketiga unsur cinta yang dikemukakanDr. Sarlito W. Sarwonodi atas, memiliki
hubungan antara satu dengan yang lainnya.Hal itu dapat dilihat dalam gambar Segi
Tiga Cinta (bukan Cinta Segitiga)di bawah ini:

Gambar: Segi Tiga Keterangan Gambar:


CINTA  Tidak semua unsur cinta itu sama kuat.
Ada yang ketertarikannya sangat kuat
tetapi keintiman dan kemesraan sangat
lemah.
 Cinta seperti itu mengandung kesetiaan
yang amat kuat, kecemburuannya besar,
tetapi dirasakan oleh pasangannya
KETE sebagai dingin atau hambar, karena
KENI tidak ada kehangatan yang ditimbulkan
RTA KMA oleh kemesraan dan keintiman.
RIKA TAN
 Misalnya: cinta sahabat karib atau
N C sekandung yang penuh dengan
I keakraban, tetapi tidak ada gejolak-
CINTA gejolak mesrah dan orang bersangkutan
T masih lebih setia kepada hal-hal lain
A daripada patnernya.

KEIN
TIMA
NAN

Cinta juga sangat diwarnai dengan kemesraan yang sangat menggejolak, tetapi
unsur keintiman dan ketertarikan sangat kurang atau lemah. Cinta seperti ini dikatakan
cinta yang pincang karena garis-garis unsur cintanya tidak tidak sama kuat sehingga
tidak membuat segi tiga sama sisi. Cinta yang pincang ini dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar: Cinta yang Pincang

KETERTARIKAN KEINTIMAN KEMESRAAN

Cinta Setia Cinta Saudara Cinta Rayuan

Manusia sebagai makhluk ber-cinta (mencintai) memiliki harapan untuk


mempunyai garis-garis (unsur-unsur cita) yang sama panjang sehingga tidak
mengalami kepincangan. Karena cinta yang pincang kurang menguntungkan manusia
itu sendiri baik untuk perkembangan dirinya maupun untuk kehidupan bersama dalam
masyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Cinta adalah fitrah manusia! Karena tidak ada manusia tanpa cinta dan
sebaliknya tidak ada cinta tanpa manusia. Cinta yang dimiliki oleh manusia pada
dasarnya dapat diklasifikasikan menurut tingkatannya, yaitu:

1. Cinta Allah
2. Cinta orangtua, saudara, sahabat
3. Cinta harta benda (materi)
Tingkatan cinta itu dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar: Tingkatan Cinta

Bdk. 10 PERINTAH ALLAH:

1. Akulah Allah Tuhanmu, jangan


I menyembah berhala berbaktilah
kepada-Ku saja dan cintailah Aku
lebih dari segala sesuatu.

2. Hormatilah orang tua /ibu


bapamumu
II
3. Jangan ingin akan miliki sesamamu
manusia secara tidak adil/Jangan
mencuri

III

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa tingkatan cinta yang paling tinggi adalah
No. I yaitu cinta kepada Allah, kemudian diikuti No. II cinta kepada orangtua,
saudara, sahabat, dll dan yang paling rendah adalah No. III yaitu cinta pada harta
benda atau materi.

1.7. 3. Manusia dan keadilan

Menurut Aristoteles, keadilan adalah kelayakan dalam tindakan manusia.


Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara kedua ujung ekstrem yang terlalu
banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem menyangkut dua orang atau benda.
Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan,
maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama. Kalau
tidak sama, maka masing-masing orang akan menerima bagian yang tidak sama,
sedangkan pelanggaran terhadap proporsi tersebut berarti ketidakadilan.
Keadilan oleh Plato diproyeksikan pada diri manusia sehingga yang dikatakan adil
adalah orang yang mengendalikan diri, dan perasaannya dikendalikan oleh akal. Lain
lagi pendapat Socrates yang memproyeksikan keadilan pada pemerintahan. Menurut
Socrates, keadilan tercipta bila mana warga Negara sudah merasakan bahwa pihak
pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Mengapa diproyeksikan pada
pemerintah, sebab pemerintah adalah pimpinan pokok yang menentukan dinamika
masyarakat.

Kong Hu Cu perpendapat lain, keadilan terjadi apabila anak sebagai anak, bila ayah
sebagai ayah, bila raja sebagai raja, masing-masing telah melaksanakan kewajibannya.
Pendapat ini terbatas pada nilai-nilai tertentu yang sudah diyakini atau disepakati.

Menurut pendapat yang lebih umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan
dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada
keharmonisan menuntut hak dan menjelankan kewajiban. Atau dengan kata lain,
keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan
setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan bersama.

Berdasarkan kesadaran etis, kita diminta untuk tidak hanya menuntut hak dan lupa
menjalankan kewajiban. Jika kita hanya menuntut hak dan lupa menjalankan
kewajiban, maka sikap dan tindakan kita akan mengarah pada pemerasan dan
memperbudak orang lain. Sebaliknya pula jika kita hanya menjelankan kewajiban dan
lupa menuntut hak, maka kita akan mudah diperbudak atau diperas orang lain.

Dikenal ada beberapa macam keadilan


1. Keadilan legal/keadilan moral

Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi rohani


umum dari masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu
masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaannya yang menurut sifat
dasarnya paling cocok baginya (Tha man bchind the gun). Pendapat Plato itu disebut
keadilan moral, sedangkan, Sunoto menyebutkan keadilan legal.

Keadilan timbul karena pernyataan dan penyesuaian untuk member tempat


yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat keadilan
terwujud dalam masyarakat bila mana setiap anggota masyarakat melakukan
fungsinya secara baik menurut kemampuannya. Fungsi penguasa ialah membagi
bagikan fungsi dalam Negara kepada masing-masing orang sesuai dengan keserasian
itu. Setiap orang tidak mencampuri tugas dan urusan yang tidak cocok baginya.
Ketidakadilan terjadi apabila ada campur tangan terhadap pihak lain yang
melaksanakan tugas-tugas yang selaras sebab hal itu akan menciptakan pertentangan
dan ketidakserasian.

2. Keadilan distributif
Aristoteles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bila mana hal-hal yang sama
diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is
done when equals are treated equally).
3. Keadilan komutatif
Keadilan ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum.
Bagi Aristototeles pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertibaban
dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan
ketidakadilan akan merusak atau bahka menghancurkan pertalian dalam masyarakat.
1.7.3. Manusia dan Tanggungjawab
a. Pengertian Tanggung Jawab

Dalam Kamus Umum Bahasa Indoneia kata “tanggung jawab” diartikan


keadaan keadaan wajib menanggung segala sesuatunya.Sehingga bertanggung
menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah berkewajiban menanggung, memikul
jawab, menganggun segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung
akibatnya. Jadi tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau
perbuatannya yang di sengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawan juga
berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibanya.

Seorang mahasiswa mempunyai kewajiban belajar.Orangtua mempunyai


kewajiban mendidik dan membiayai pendidikan anak.Seorang dosen melakukan tri
dharma perguruan tinggi, yaitu mengajar, melakukan penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat.Itulah tanggung jawab.Mahasiswa yang rajin belajar berarti dia
sudah bertanggung jawab dengan dirinya sendiri dan orangtua yang telah membiayai
pendidiannya.Orangtua mengasi, mengasuh, dan mengasah anak berarti orangtua
sudah bertanggung jawab.Demikian juga dengan dosen yang sudah melaksanakan tri
dharma perguruan tinggi berarti dosen tersebut sudah menjalankan kewajibannya.

Seseorang mau bertanggung jawab karena ada kesadaran atau keinsafan atau
pengertian atas segala perbuatan dan akibatnya dan atas kepentingan pihak lain.
Timbulnya tanggung jawab itu karena manusia itu hidup bermasyarakat dan hidup
dalam lingkunngan alam. Manusia tidak boleh berbuat semaunya terhadap manusia
lain dan terhadap alam lingkungannya. Manusia menciptakan keseimbangan,
keserasian, keselarasan antara sesama manusia dan antara manusia dan lingkungan.

Tanggung jawab iru bersifat kodrati artinya sudah bagian kehidupan manusia
bahwa seriap manusia pasti dibebani dengan tanggung jawab. Apabila ia tidak mau
bertanggung jawab, maka ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab itu.
Dengan demikian tanggung jawab itu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari pihak sis
yang berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain. Dari sisi si pembuat ia harus
menyadari akibat perbuatannya itu, dengan demikian sendiri yang harus memulihkan
kedalam keadaan baik. Dari sisi pihak lain, apabila si pembuat tidak mau bertanggung
jawab, pihak lain yang akan memulihkan baik dengan cara indivindual maupun
dengan cara kemasyarakatan.

Apabila dikaji tanggung jawab itu adalah kewajiban atau beban yang harus
dipikul atau dipenuhi sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat, atau sebagai
akibat dari perbuatan pihak lain, atau sebagai pengabdian, pengorbanan dari pihak
lain. Kewajiban atau beban itu ditunjukan untuk kebaikan pihak yang berbuat sendiri,
atau pihak lain dengan keseimbangan, keserasian, keselarasan antara sesama manusia,
antara manusia dan lingkungan, antara manusia dan Tuhan selalu dipelihara dengan
baik.

Tangggung jawab adalah ciri manusia beradab (berbudaya). Manusia merasa


bertanggung jawab karena ia menyadari akibat atau buruk perbuatan itu, dan
menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengabdian atau pengorbanannnya.
Untuk memperoleh atau meningkatkan kesadaran bertanggung jawab perlu ditempuh
usaha melalui pendidikan, penyuluhan, keteladanan, dan takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa.

b. Macam-Macam Tanggung Jawab

Setiap orang memiliki tanggung jawab dalam kehidupan bersama entah itu
ringan, sedang, mapun berat.Tanpa mempedulikan itu, tetapi yang namanya
tanggung jawab harus benar-benar dilaksanakan.Tanggung jawab dapat dibedakan
menurut kedaan manusia atau hubungan yang dibuatnya. Atas dasar ini, lalu dikenal
beberapa jenis tanggung jawab, yaitu:
1. Tanggung jawab terhadap diri sendiri
Setiap orang tanpa kecuali harus memiliki tanggung jawab atas dirinya
sendiri.Tanggung jawab terhadap diri sendiri menuntut kesadaran setiap orang
untuk memenuhi kawajibannya.Dengan demikian bisa memecahkan masalah-
masalah kemanusiaan mengenai dirinya sendiri menurut sifat dasarnya
manusia adalah makhluk bermoral, tetapi manusia juga seorang pribadi.Karena
merupakan seorang pribadi maka manusia mempunyai pendapat sendiri,
perasaan sendiri angan-angan sendiri.Sebagai perwujudan dari pendapat,
perasaan dan angan-angan itu manusia berbuat dan bertindak.Dalam hal ini
manusia tidak luput dari kesalahan, kekeliruan, baik disengaja maupun tidak.

2. Tanggung jawab terhadap keluarga


Keluarga merupakan masyarakat kecil atau mini. Keluarga terdiri dari suami-
istri, ayah-ibu dan anak-anak, dan juga orang lain yang menjadi anggota
keluarga, misalnya nenek dan kakek. Tiap anggota keluarga wajib bertanggung
jawab kepada keluarganya. Tanggung jawab ini menyangkut nama baik
keluarga. Tetapi tanggung jawab juga marupakan kesejahteraan, keselamatan,
pendidikan dan kehidupan.

3. Tanggung jawab terhadap masyrakat


Sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa hidup tanpa sesamanya yang lain.
Karena membutuhkan manusia lain maka ia harus berkomunikasi dengan
manusia lain tersebut. Sehingga dengan demikian manusia disini merupakan
anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggung jawab seperti
anggota masyarakat yang lain agar dapat melansungkan hidupnya dalam
masyarakat tersebut. Wajarlah apabila segala tingkahlaku dan perbuatannya
harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.Tanggung jawab terhadap
masyarakat, misalnya menjaga ketertiban umum dan menjaga kebersihan
lingkungan dan lain sebagainya.

4. Tanggung jawab kepada bangsa/negara


Suatu kenyataan lagi, bahwa tiap manusia, tiap individu adalah warga negara
suatu negara.Dalam berpikir, berbuat, bertindak, bertingkahlaku manusia
terikat oleh norma-norma atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh
negara.Manusia tidak dapat berbuat semaunya sendiri. Bila perbuatan itu
salah, maka ia harus bertanggung jawab kepada negara. Tanggung jawab
terhadap negara misalnya, membayar pajak.
5. Tanggung jawab terhadap Tuhan
Tuhan menciptakan manusia di muka bumi ini bukan tampa bertangggung
jawab, melainkan untuk mengisi kehidupannya manusia mempunyai tanggung
jawab lansung terhadap Tuhan. Sehingga tindakan manusia tidak bisa lepas
dari hukuman-hukuman Tuhan yang dituangkan dalam berbagai kitab suci
melalui berbagai macam agama. Pelanggaran dari hukuman-hukuman tersebut
akan segera diperingatkan oleh Tuhan dan jika dengan peringatan yang
keraspun manusia masih juga tidak menghiraukan maka Tuhan akan
melakukan kutukan. Sebab dengan seharusnya dilakukan manusia tehadap
Tuhan sebagai penciptanya bahkan untuk memenuhi tanggung jawabnya,
manusia perlu pengorbanan.

1.7.4. Manusia dan Penderitaan


a. Pengertian penderitaan
Penderitaan berasar dari kata “derita” dan “derita” itu sendiri berasal dari
kata bahasa Sansekerta “dhra” artinya menahan atau menanggung. Derita
artinya menahan atau menanggung atau pun merasakan sesuatu yang tidak
menyenangkan. Penderitaan itu dapat berupa penderitaan lahir, batin dan lahir
batin.
Penderitaan termasuk realitas dunia dan manusia. Intensitas
penderitaan bermacam-macam ada yang ringan, sedang dan ada yang berat.
Namun peranan individu sangat menentukan berat ringannya intesitas
penderitaan. Suatu peristiwa yang dialami sebagai penderitaan oleh seseorang
belum tentu bagi orang lain dikatakan sebagai penderitaan. Bagi seseorang
penderitaan dapat juga dilihat sebagai energi untuk bangkit atau sebagai langkah
untuk mencapai kenikmatan atau kebahagaiaan.
Penderitaan akan dialami oleh semua orang dan itu merupakan
“resiko” dari hidup atau lebih tepatnya bagian dari hidup yang tidak bisa
dihindari. Tuhan memberikan kesenangan dan kenikmatan kepada manusia,
tetapi juga penderitaan atau kesedihan yang kadang-kadang bermakna bagi
manusia agar manusia tidak berpaling dari wajah-Nya. Untuk itu kepada
manusia biasanya telah diberikan tanda sebelum penderitaan itu datang
kepadanya, namun apakan manusia itu mampuh menangkap atau menanggapi
tanda itu atau tidak. Tanda itu dapat saja muncul berupa mimpi sebagai
pemunculan rasa tidak sadar dari manusia pada saat tidur atau mengetahui dari
gejala alam lainnya. Kepada manusia sebagai homo religius, Tuhan telah
memberikan banyak kelebihan dibandingkan dengan makhluk ciptaan yang
lainnya.
Manusia yang memiliki iman yang mendalam akan lebih cepat
menyadarkan diri untuk bertobat, pasrah pada kehendak Tuhan. Kepasrahan
karena keyakinan bahwa Tuhan dan kuas-Nya jauh lebih besar dari padanya.
Dalam kepasrahan demikian manusia akan memperoleh kedamaian, sehingga
secara berangsur-angsur akan berkurang penderitaan yang dialaminya, untuk
akhirnya manusia mesti bersyukur bahwa Tuhan tidak memberikan penderitaan
yang lebih berat dari itu atau yang melebihi batas kemampuan manusia.
Manusia sebagai makhluk hidup yang penuh perjuangan, hahrus
bekerja keras untuk dapat melangsungkan hidupnya. Untuk kelangsungan hidup
ini manusia harus berjuang untuk menghadapi alam dan lingkungannya serta
tidak boleh lupa untuk selalu menjalankan perintah Tuhan dan menjauhkan
larangan-Nya. Apabila manusia menjalankanya dengan kurang sungguh-
sungguh maka akibatnya manusia akan menderita. Apabila manusia sudah
berkeluarga maka penderitaannya akan dialami juga oleh keluarganya.
Penderitaan semacam itu karena kesalahannya sendiri.
Berbagai kasus penderitaan terdapat dalam kehidupan manusia.
Banyaknya macam kasus penderitaan sesuai dengan lika-liku hidup manusia.
Bagaimana manusia menghadapi penderitaan dalam hidupnya? Penderitaan fisik
yang dialami oleh manusia tentu saja ditangani secara medis untuk
menguranginya bahkan menyembuhkan penderitaan itu. sedangkan penderitaan
psikis, penyembuhannya terletak pada kemampuan si penderita dalam
menyelesaikan soal-soal psikis yang dialaminya. Kehadiran alhi dalam bidang
psikis hanya merupakan bantuan saja. Sekali lagi penderitaan itu merupakan
“resiko”, sehingga enak atau tidak enak manusia harus menghadapinya dan
mencari solusi dengan “kemampuan lebih” yang diberikan Tuhan kepada
manusia.
b. Penyebab Penderitaan
Ada begitu banyak penderitaan yang menimpa hidup manusia, namun jika
dikelompokan menurut penyebabnya, maka penyebab penderitaan itu, antara
lain:

1. Perbuatan buruk manusia: penderitaan yang disebabkan perbuatan buruk itu


timbul dari interaksi manusia dengan sesamanya maupun manusia dengan
lingkungan alamnya. Penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatan buruk
tersebut terkadang disebut nasib buruk. Nasib buruk dapat diperbaiki oleh
manusia supaya menjadi baik. Dengan kata lain manusialah yang dapat dan
seharusnya memperbaiki nasinya sendiri. Karena nasib merupakan bagian
yang dapat diintervensi oleh manusia sedangkan takdir berada diwilayah
yang ilahi dan Tuhan yang menentukan itu.
2. Penyakit dan siksaan Tuhan: penderitaan manusia dapat disebabkan oleh
penyakit atau siksaan Tuhan. Namun ketabahan, kesabaran dan tawakal,
dan optimism merupakan usaha-usaha manusia untuk mengatasi
penderitaan itu.

c. Dampak Penderitaan

Orang yang mengalami mungkin akan memperoleh pengaruh bermacam-


macam dan sikap di dalam dirinya. Sikap yang ditimbulkan dapat berupa positif
maupun negatif. Sikap negatiF misanya, penyesalan, kecewa, putus asa, dan
ingin bunuh diri. Sikap ini diungkapkan dalam peribahasa “sesal dahulu
pendapatan, sesal kemudian tak berguna” dan “nasi sudah menjadi bubur”.
Kelanjutan sikap negatif ini dapat menimbulkan sikap anti dalam hal-hal
tertentu.

Sikap positif adalah sikap optimis dalam mengatasi penderitaan hidup,


bahwa hidup bukanlah rangkaian penderitaan, melainkan perjuangan
membebaskan diri dari penderitaan. Karena penderitaan itu hanya merupakan
bagian dari hidup. Sikap positif biasanya kreatif dan tidak mudah menyerah
bahkan mungkin timbul sikap keras dan bahkan anti kekerasan yang dilakukan
oleh seseorang.
Apabila sikap positif dan negatif dikomunikasikan oleh seniman
kepada para pembaca atau penonton, maka para pembaca atau penonton akan
memberikan penilaian. Penilaian itu dapat berupa kemauan untuk mengadakan
perubahan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat dengan tujuan untuk
memperbaiki keadaan. Keadaan yang sudah tidak sesuai ditinggalkan dan
diganti dengan keadaan yang lebih sesuai dengan perubahan jaman. Keadaan
yang berupa hambatan harus dihindarkan.

1.7.5. Manusia dan pandangan hidup


a. Pengertian Pandangan Hidup

Setiap manusia mempunyai pandangan hidup. Pandangan hidup itu


bersifat kodrati. Karena itu ia menentukan masa depan seseorang. Untuk itu
perlu dijelaskan pula apa arti “pandangan hidup?”. Pandangan hidup artinya
pendapat atau pertimbangan yang dijadikan pegangan, pedoman, arahan, dan
penunjuk hidup di dunia. Pendapat atau pertimbangan itu merupakan hasil
pemikiran manusia berdasarkan pengalaman sejarah menurut waktu dan tempat
hidupnya.

Dengan demikian pandangan hidup itu bukanlah timbul seketika atau


dalam waktu yang singkat saja. Melainkan melalui proses waktu yang lama dan
terus menerus, sehingga hasil pemikiran itu dapat diuji kenyataanya. Hasil
pemikiran itu dapat diterima olah akal, sehingga diakui kebenaranya. Atas dasar
manusia menerima hasil pemikiran itu sebagai pegangan, pedoman, arahan atau
penunjuk yang disebut pandangan hidup.

Pandangan hidup banyak sekali macamnya dan ragamnya. Akan tetapi


pandangan hidup dapat diklasifikasikan bardasarkan asalnya yaitu terdiri dari 3
macam:

1. Pandangan hidup yang berasal dari agama yaitu pandangan hidup yang
mutlak kebenaranya.
2. Pandangan hidup yang berupa ideologi yang disesuaikan dengan
kebudayaan dan norma yang terdapat pada Negara tersebut.
3. Pandangan hidup hasil renungan yaitu pandangan hidup yang relatif
kebenaranya.

Apabila pandangan hidup diterima oleh sekelompok orang sebagai


pendukung suatu organisasi, maka pandangan itu disebut ideologi. Jika
organisasi itu organisasi politik, ideologinya disebut ideolog politik. Jika
organisasi itu negara, ideologinya disebut ideologi negara

Pandangan hidup pada dasarnya mempunyai unsur-unsur yaitu citi-cita,


kebajikan, usaha, keyakinan atau kepercayaan. Keempat unsur ini merupakan
satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan. Cita-cita ialah apa yang
diinginkan yang miungkin dapat dicapai dengan usaha atau perjuangan. Tujuan
yang hendak dicapai ialah kebajikan, yaitu segala hal yang baik yang membuat
manusia makmur, bahagia, damai, tentram. Usaha atau perjuangan adalah kerja
keras yang dilandasi keyakinan/kepercyaan. Keyakinan/kepercayaan diukur
dengan kemampuan akal, kemampuan jasmani, dan kepercayaan kepada Tuhan.

1.7.6. Manusia dan harapan


a. Pengertian Harapan

Setiap manusia mempunyai harapan.Manusia yang tanpa harapan, berarti


manusia itu mati dalam hidup. Orang yang akan meninggal sekalipun mempunyai
harapan, biasanya berupa pesan-pesan kepada ahli warisnya. Harapan tersebut
tergantung pada pengetahuan, pengelaman, lingkungan hidup, dan kemampuan
masing-masing.
Berhasil atau tidaknya suatu harapan tergantung pada usaha orang yang
mempunyai harapan.Harapan harus berdasarkan kepercayaan, baik kepercayaan
pada diri sendiri, maupun kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.Agar
harapan terwujud, maka perlu usaha dengan sungguh-sungguh.Manusia wajib
selalu berdoa. Karena usaha dan doa merupakan sarana terkabulnya harapan.
Harapan berasal dari kata harap yang berarti keinginan supaya sesutu
terjadi; sehingga harapan berarti sesuatu yang diinginkan dapat terjadi. Dengan
demikian harapan menyangkut masa depan. Jadi untuk mewujudkan harapan itu
harus disertai dengan usaha yang sesuai dengan apa yang diharapkan bila
dibandingkan dengan cita-cita, maka harapan mengandung pengertian tidak terlalu
muluk; sedangkan cita-cita pada umumnya perlu setinggi bintang. Antar harapan
dan cita-cita terdapat persamaan yaitu :
Keduanya menyangkut masa depan karena belum terwujud
Pada umumnya dengan cita-cita maupun harapan orang menginginkan hal yang
lebih baik atau meningkat.

b. DASAR MANUSIA BERHARAP

Menurut kodratnya manusia itu adalah makhluk sosial.Setiap lahir ke dunia


langsung disambut dalam suatu pergaulan hidup, yakni di tengah suatu keluarga atau
anggota masyarakat lainnya.Tidak ada manusiapun yang luput dari pergaulan
hidup. Ditengah-tengah manusia lain itulah, seorang dapat hidup dan berkembang
baik fisik/jasmani maupun mental/spiritualnya. Ada dua hal yang mendorong orang
hidup bergaul dengan manusia lain, yakni dorongan kodrat dan dorongan
kebutuhan hidup.

1. Dorongan Kodrat
Kodrat ialah sifat, keadaan, atau pembawaan alamiah yang sudah terjelma
dalam diri manusia sejak manusia itu diciptakan oleh Tuhan.Misalnya
menangis, bergembira, berpikir, berjalan, berkata, mempunyai keturunan dan
sebagainya.Setiap manusia mempunyai kemampuan untuk itu semua.
Dorongan kodrat menyebabkan manusia mempunyai keinginan atau
harapan, misalnya menangis, tertawa, bergembira, dan sebagainya.Seperti
halnya orang yang menonton petunjuk lawak, mereka ingin tertawa, pelawak
juga mengharapkan agar penonton tertawa, pelawak juga mengharapkan agar
penonton tertawa terbahak-bahak.Apabila penonton tidak tertawa, harapan
kedua belah pihak gagal, justru sedilah mereka.
Kodrat juga terdapat pada binatang dan tumbuh-tumbuhan, karena binatang
dan tumbuhan perlu makan, berkembang biak dan mati. Yang mirip dengan
kodrat manusia ialah kodrat binatang, walaupun bagaimanapun juga besar sekali
perbedaannya.Perbedaan antara kedua makhkuk itu, ialah manusia memiliki
budi dan kehendak.Budi ialah akal, kemamapuan untuk memilih. Kedua hal
tersebut tidak dapat dipisahkan, sebab bila orang akan memilih, ia harus
mengetahui lebih dahulu barang yang dipilihnya. Dengan budinya manusia
dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan
mana yang salah, dan dengan kehendaknya manusia dapat memilih.
Dalam diri manusia masing-masing sudah terjelma sifat, kodrat
membawakan dan kemampuan untuk hidup bergaul, hidup bermasyarakat atau
hidup bersama dengan manusia lain. Dengan kodrat ini, maka manusia
mempunyai harapan.

2. Dorongan kebutuhan hidup

Sudah kodrat pula bahwa manusia mempunyai bermacam-macam kebutuhan


hidup. Kebutuhan hidup itu pada garis besarnya dapat di bedakan atas:
kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Kebtuhan jasmaniah, misalnya
makan, minum, pakaian, rumah, (sandang, pangan, dan papan), ketenagan,
hiburan, dan keberhasilan. Untuk memenuhi semua kebutuhan itu manusia
bekerja sama dengan manusia lain. Hal itu disebabkan, kemampuan manusia
sangat terbatas, baik kemampuan fisik/jasmaniah maupun kemampuan
berpikirnya.
Dengan adanya dorongan kodrat dan dorongan kebutuhan hidup itu maka
manusia mempunyai harapan.Pada hakekatnya harapan itu adalah keinginan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menurut Abraham Maslow dorongan sesuai dengan kodratnya harapan
manusia atau kebutuhan manusia itu ialah :

a. Kelangsungan hidup (survival)

Untuk melangsungkan hidupnya manusia membutuhkan sandang, pangan


dan papan (tempat tinggal).Kebutuhan kelangsungan hidup ini terlihat sejak
bayi lahir. Setiap bayi begitu lahir di bumi langsung menangis: ia telah
mengharapkan diberi makan/minum. Kebutuhan akan makan/minum itu
terus berkembang sesuai dengan perkembangan hidup manusia. Sandang,
semula hanya berupa perlindungan/keamanan, untuk merlindungi dirinya
dari cuaca. Tetapi dalam perkembangan hidupnya, sandang tidak hanya
sebagai perlindungan keamanan, tetapi lebih cenderung kepada kebutuhan
lain. Papan yang dimaksud adalah tempat tinggal atau rumah.Rumah
kebutuhan primer manusia, karena rumah itu sebagai tempat berlindung,
dari panas, gelap dan sebagainya.
Untuk mencukupi kebutuhan pangan, sandang, dan papan itu, maka
manusia sejak kecil telah mulai belajar. Dengan pengetahuan yang tinggi
harapan memperoleh pangan, sandang, dan papan yang layak akan
terpenuhi. Atau tiap manusia perlub kerja keras dengan harapan apa yang
diinginkan : pangan, sandang, dan papan yang layak terpenuhi.

b. Keamanan (safety)

Setiap orang membutuhkan keamanan.Sejak seorang anak lahir ia


telah membutuhkan keamanan. Begitu lahir, dengan suara tangis, itu pertanda
minta perlindungan. Setelah agak besar, setiap anak menangis dia akan diam
setelah dipeluk oleh ibunya. Setelah bertambah besar ia dilindungi. Rasa aman
tidak harus diwujudkan dengan perlindungan yang nampak, secara moral pun
orang lain dapat memberi rasa aman. Dalam ini agama sering merupakan cara
memperoleh keamanan moril bagi pemiliknya. Walaupun secara fisik dalam
keadaannya dalam bahaya, keyakinan bahwa Tuhan memberikan perlindungan
berarti sudah memberikan keamanan yang di harapkan.

c. Hak dan kewajiban mencintai dan dicintai (be loving an love)


Tiap orang mempunyai hak dan kewajiban. Dengan pertumbuhan manusia maka
tumbuh pula kesadaran akan hak dan kewajiban. Bila seorang telah menginjak
dewasa, maka ia meras sudah dewasa, sehingga sudah saatnya mempunyai
harapan untuk dicintai dan mencintai. Pada saat seperti ini remaja banyak
mengkhayal.Ia telah sadar akan keberadaannya. Pada usia itu, biasanya terjadi
konflik batin pada dirinya dan pihak orang tua. Sebab umumnya remaja mulai
menentang sifat-sifat orangtua yang dianggap tidak sesuai dengan alamnya.

d. Status
Setiap manusia membutuhkan status. Siapa, untuk apa, mengapa manusia hidup.
Dalam lagu “untuk apa “ada lirik yang berbunyi “aku ini anak siapa, mengapa
aku dilahirkan“. Dari bagian lirik itu kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa
setiap manusia yang lahir di bumi ini tentu akan bertanya tentang statusnya.
Status keberadaanya.Status dalam keluarga, status dalam masyarakat, dan status
dalam negara. Status itu penting, karena dengan status orang tahu siapa dia.
Harga diri orang antara lain melekat pada pada status orang lain. Misalnya ada
anak haram, biarpun anak haram itu tingkah lakunya baik dan tidak berdosa
sebab yang berdosa orang tuanya, namun masyrakat tetap memberikan cap yang
negatif.Bahkan ada oarng yang berpendapat jangan memberi makan/pertolongan
kepada anak haram. Alangkah kejamnya manusia itu dengan adanya harapan
untuk memperoleh status ini bearti oarang menguasai hak milik nama baik,
ingin berprestasi, ingin mengingatkan harga diri, dan sebagainya.

e. Perwujudan cita-cita (self actualization)


Selanjutnya manusia berharap diakui keberadaanya sesuai dengan keahlianya
atau kepangkatan atau profesi. Pada saat itu manusia mengembangkan bakat
atau kepandaianya agar ia diterima atau diakui kehebatanya. Ada tiga
pernyataan tentang harapan pada diri seorang manusia yaitu:

o Masa depan memberikan harapan


o Masa sekarang memberikan pemikiran
o Masa lalu memberikan pengalaman.
BAB II

MANUSIA DAN KEBUDAYAAN

2.1. Manusia
2.1.1. Konsep tentang manusia
Manusia dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan yang tidak bisa
dipisahkan dalam kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna
menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan melestarikannya secara turun temurun.
Budaya tercipta dari kegiatan sehari-hari dan juga dari kejadian-kejadian yang sudah
diatur oleh yang Maha Kuasa. Namun siapakah itu manusia sebenarnya? Manusia di dunia
itu memegang peranan yang unik dan dapat dipandang dari beberapa segi, misalnya
manusia di pandang dari sebagai kumpulan dari partikel-partikel atom yang membentuk
jaringan-jaringan sistem (ilmu kimia). Manusia merupakan makhluk biologis yang
tergolong mamalia, yang merupakan salah satu komponen kehidupan alam yang
menyeluruh yang tidak terpisahkan (ilmu biologi). Manusia sebagai makhluk sosial yang
tidak dapat berdiri sendiri (ilmu sosiologi).
Dalam beberapa disipilin ilmu maupun pandangan mencoba mendefinisikan
manusia dalam konsep yang diyakininya
a. Aliran materialisme
Aliran materialisme menolak adanya jiwa, menolak keabadian. Menurut Carvaka
semua itu berasal dari materi, termasuk jiwa dan kesadaran. Manusia hanyalah
material, akibat dari proses unsur-unsur kimia.
b. Aliran spritualitas
Manusia tidak dipandang melulu sebagai benda. Dalam diri manusia terdapat
suatu prinsip yang bukan resultante dari suatu proses kimiawi belaka. Menurut
plato dalam ajaran dualismenya manusia terdiri dari jiwa dan badan. Sedang
aristoteles terkenal dengan hylemorfisme. Mengatakan segala sesuatu terdiri atas
hyle-bahan dan morfe-bentuk. Menurut Aristoteles jiwa dan badan dianggap
sebagai dua aspek yang menyangkut satu substansi saja. Keduanya berperan
sebagai potensi dan aktus. Kita dapat mengatakan bahwa badan adalah potensi
dan jiwa berfungsi sebagai aktus.

c. Aliran eksistensialisme
Aliran eksistensialisme melihat segala sesuatu berpangkalan pada eksistensi, cara
khas manusia ada di dunia. Soren Kierkegaard seorang aliran eksistensialisme
mengatakan manusia sebagai realitas yang konkrit dihadapan Tuhan dengan
menyadari keadaann dosanya. Jean Paul Sartre menyatakan bahwa kebenaran
mutlah dan pokok eksistensialisme adalah “saya berpikir maka saya ada”
(Descartes).
d. Aliran fenemenologi
Aliran fenomenologi melihat manusia sebagai fenomena/penampakan/gejala yang
mencoba melihat manusia sedalam-dalamnya dalam realitas, dalam perjumpaan
dengan realitas-realitas. Sejauh realitas itu masih menutup atau menyembunyikan
diri, manusia bertanya terus.

Karena banyak definisi dari berbagai aspek yang berbeda, maka ada kesulitan
untuk mendefinisikan: “Siapah manusia itu sebenarnya?” Untuk menjelaskan siapakah
manusia, maka dibutuhkan penelusuran untuk mengetahui unsur-unsur pembentuk
manusia. Manusia itu terdiri dari empat unsur yang saling terkait, yaitu:

a. Jasad: badan kasar manusia yang nampak pada luarnya, dapat diraba dan difoto, dan
menempati ruang dan waktu.
b. Hayat: mengandung unsur hidup, yang ditandai dengan gerak.
c. Ruh: bimbingan dan pimpinan Tuhan, daya yang bekerja secara spiritual dan
memahami kebenaran, suatu kemampuan mencipta yang bersifat konseptual yang
menjadi pusat lahirnya kebudayaan.
d. Nafs dalam pengertian diri atau keakuan, yaitu kesadaran tantang diri sendiri
(Asy’arie 1992: 62-84).
Selanjutany jika dilihat bahwa sebagai satu kepribadian, maka dalam diri manusia
mengandung tiga unsur, yaitu:

1. Id, yang merupakan struktur kepribadian yang paling primitif dan paling nampak. Id
merupakan libido murni, atau energi psikis yang menunjukan ciri alami yang
irrasional dan terkait dengan sex, yang secara instingtual merupakan proses-proses
ketidaksadaran (unconcious). Id tidak berhubumgan dengan lingkungan luar diri,
tetapi terkait dengan struktur lain kepribadian yang ada pada gilirannya menjadi
mediator antara insting Id dengan dunia luar. Terkukung dari realitas dan pengaruh
sosial, Id diatur oleh prinsip kesenangan, mencari kepuasan instingtual libidal yang
harus dipenuhi baik secara langsung melalui pengalaman seksual, atau tidak langsung
melalui mimpi atau khayalan. Proses pemenuhan kepuasan yang disebutkan terakhir
yang dilakukan secara tidak langsung disebut sebagai proses primer. Objek yang
nyata dari pemuasan kebutuhan langsung dalam prinsip kesenangan ditentukan oleh
tahap psikoseksual dari perkembangan individual.
2. Ego, merupakan bagian atau struktur kepribadian yang pertama kali dibedakan dari
Id, sering kali disebut sebagai kepribadian “eksekutif” karena peranannya dalam
menghubungkan energi Id ke dalam saluran sosial yang dapat dimengerti oleh orang
lain. Perkambangan ego terjadi antara usia satu dan dua tahun, pada saat anak secara
nyata berhubungan dengan lingkungannya. Ego diatur oleh prinsip realitas, ego sadar
akan tuntunan lingkungan luar, dan mengatur tingkah laku sehingga dorongan
instingtual Id dapat dipuaskan dengan cara yang dapat diterima. Pencapaian obyek-
obyek khusus untuk mengurangi energi libidinal dengan cara yang dalam lingkungan
sosial dapat diterima disebut sebagai proses sekunder.
3. Superego, merupakan struktur kepribadian yang paling akhir, muncul kira-kira pada
usia lima tahun. Dibandingkan dengan Id dan ego, yang berkembang secara intrnal,
dalam diri individu, superego terbentuk dari lingkungan eksternal. Jadi superego
merupakan kesatuan standar-standar moral yang diterima oleh ego dari sejumlah agen
yang mempunyai otoritas di dalam lingkungan luar diri, biasanya merupakan asimilasi
dari pandangan-pandangan orang tua. Baik aspek negatif maupun positif dari standar
moral tingkah laku ini diwakilkan atau ditunjukan oleh superego. Kode moral positif
disebut ego ideal, suatu perwakilan dari tingkah laku yang tepat bagi individu untuk
dilakuakan. Kesadaran membentuk aspek negatif dari superego, dan menentukan hal-
hal mana yang termasuk dalam kategori tabu, yang mengatur bahwa penyimpangan
dari aturan tersebut akan menyebabkan dikenakannya sanksi. Superego dan Id berada
dalam kondisi konflik langsung, dan ego menjadi penengah atau mediator. Jadi
superego menunjukkan pola aturan yang dalam derajat tertentu menghasilkan kontrol
diri melalui sistem imbalan dan hukuman yang terinternalisai (Brennam, 1991:205-
206).
Dari uraian di atas dapat mengkaji aspek tindakan manusia dengan analisa
hubungan antara tindakan dan unsur-unsur manusia. Seringkali, misalnya orang senang
terhadap penyimpangnan terhadap nilai-nilai masyarakat dapat diidentifikasi bahwa orang
tersebut lebih dikendalikan oleh Id dibandingkan superego-nya, atau sering kali ada
kelainan yang terjadi pada manusia misalnya orang yang berparas buruk dan bertubuh
pendek berani tampil ke muka umum, dapat diterangkan dengan mengacu pada unsur nafs
(kesadaran diri) yang dimiliki oleh manusia. Kesemua unsur tersebut dapat digunakan
sebagai alat analisa bagi tingkah laku manusia.

2.1.2. Hakekat Manusia

Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk hidup yang paling sempurna,
melebihi ciptaan Tuhan yang lain. manusia terdiri dari jiwa dan raga yang dilengkapi
dengan akal dan pikiran serta hawa nafsu. Tuhan menanamkan akal dan pikiran kepada
manusia agar dapat digunakan untuk kebaikan mereka masing-masing dan untuk orang
disekitar mereka. Manusia diberikn hawa nafsu agar mampu tetap hidup di bumi ini.
Menurut para pemikir dan ahli filsafat manusia memliki hakekat sebagai berikut:

a. Manusia adalah homo sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi,


b. Manusia adalah animal rationale, artinya binatang yang berpikir,
c. Manusia adalah homo laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan
menjelmakan pikiran manusia dan perasaan kata-kata yang tersusun,
d. Manusia adalah homo faber, artinya makhluk yang terampil,
e. Manusia adalah zoon politicon, yaitu makhluk yang pandai bekerjasama, bergaul
dengan orang lain dan mengorganisasikan diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
f. Manusia adalah homo economicus, artinya makhluk yang tunduk pada prinsip-
prinsip ekonomi dan bersifat ekonomi,
g. Manusia adalah Homo Religious, yaitu makhluk yang beragama.
2.2. Kebudayaan
2.2.1. Konsep tentang kebudayaan

Kata budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu budhayah yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi dengan arti budi atau akal. Sedangkan dalam bahasa inggris budaya
dikenal dengan kata culture yang berasal dari bahasa latin yaitu colore yang berarti mengolah
atau mengerjakan. Istilah cultur sendiri juga digunakan dalam bahasa Indonesia dengan kata
serapan ‘kultur’. Budaya dikaitkan dengan bagian dari budi dan akal manusia. Budaya
merupakan pola atau cara hidup yang terus berkembang oleh sekelompok orang dan
diturunkan pada generasi berikutnya.

Seorang antropolog inggris bernama E.B Taylor mendefenisikan budaya sebagai suatu
kompleks yang mencakup pengetahuan dan kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat dan lainnya yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat; menurut
Clyde Kluckhon dan William Henderson Kelly dalam bukunya The concept of culture adalah
sebuah rancangan hidup yang diciptakan secara historis baik secara eksplisit, implisist,
rasional dan nonrasional, yang ada pada waktu tertentu sebagai panduan potensial dalam
perilaku manusia. Koentjaraningrat seorang antropolog Indonesia mendefenisikan budaya
lewat asal kata budaya dalam bahasa inggris yaitu ‘colore’ yang kemudian menjadi ‘culture’
dan difenisikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah
alam; sementara Ki Hajar Dewantara mendefinisikan budaya sebagai buah budi manusia
yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan
alam. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai berikut

1. Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaaan batin (akal budi manusia),
seperti: kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat.
2. Kebudayaan adalah seluruh pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
digunakan untuk memahami lingkungan dan pengelamannya serta yang menjadi
pedoman tingkah lakunya.
3. Kebudayaan adalah hasil akal budi dari alam sekelilingnya dan dipegunakan bagi
kesejahteraan hidupnya.

Dari definisi kebudayaan di atas dapat dinyatakan bahwa inti pengertian kebudayaan
mengandung beberapa ciri pokok, yaitu sebagai berikut:

a. Kebudayaan itu beraneka ragam


b. Kebudayaan diteruskan dalam proses belajar
c. Kebudayaan terjabar dalam komponen biologi, psikologi, sosiologi dan eksistensi
manusia
d. Kebudayaan itu berstruktur
e. Kebudayaan itu terbagi dalam aspek-aspek
f. Kebudayaan itu dinamis
g. Nilai-nilai dalam kebudayaan itu relatif

2.2.2. Essensi budaya


Setiap budaya dimanapun selalu memiliki esensi yang kurang lebih sama antara suatu
budaya dengan budaya yang lainnya. Beberapa esensi dari sebuah budaya, antara lain:
a. Budaya berkaitan erat dengan persepsi terhadap lingkungannya yang melahirkan
makna dan pandangan hidup yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku.
b. Adanya pola, nilai, sikap dan tingkah laku (temasuk bahasa), hasil karsa dan karya
termasuk segala instrumennya, sistem kerja, teknologi.
c. Budaya merupakan hasil dari pengalaman hidup, kebiasaan-kebiasaan serta proses
seleksi (menerima atau menolak) norma-norma yang ada di dalam dirinya,
berinteraksi sosial menempatkan dirinya di tengah-tengah lingkungan tertentu.
d. Di dalam proses budaya terdapat saling mempengaruhi dan saling ketergantungan
(interdepedensi) baik sosial maupun lingkungan non sosial (Tasmara, 2002: 161).

Dengan demikian esensi dari suatu budaya terdiri dari sikap (perbuatan) yang sudah
terpola atau seleksi serta mengandung nilai dan makna. Nilai dan makna tersebut menjadi
norma dan pandangan hidup bersama suatu kelompok masyarakat.

2.2.3. Wujud dan Unsur Budaya

Tidak ada suatu budayapun di dunia ini yang tidak berwujud. Ada beberapa wujud
budaya, antara lain:

1. Wujud ideal dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba ataupun difoto.
Wujud ini lebih bersifat ide-ide atau gagasan yang ada di dalam kepala para anggota
masyarakatnya. Gagagsan-gagasan tersebut merupakan bagian dari suatu sistem yang
tidak bisa lepas dari bagian lainnya yang disebut dengan sistem budaya.
2. Sistem sosial, hal ini dengan tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem ini
meliputi aktivitas-aktivitas manusia sehari-hari, seperti berinteraksi atau bergaul
sesuai dengan pola-pola berdasarkan adat masing-masing masyarakat. Dibandingkan
wujud yang pertama, sistem sosial ini bersifat lebih konkret.
3. Kebudayaan fisik, di antara ketiga wujud kebudayaan, wujud yang ketiga inilah yang
paling konkret karena wujud ini berupa hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya
manusia dalam sebuah masyarakat. Hal tersebut berupa benda-benda yang dapat
dilihat, diraba dan didokumentasikan Koentjaraningrat, 2000:88).
Ketiga wujud kebudayaan tersebut secara teoritis dapat dipisahkan atas penggolongan
tertentu, tetapi dalam tataran parktis satu dengan yang lain saling terkait dan saling
melengkapi. Mulai dari yang paling abstrak seperti idea sampai dengan yang paling konkrit
seperti benda dan peralatan kerja yang bermanfaat bagi manusia.
Sedangkan unsur kebudayaan, antara lain: (a) Bahasa; (b) Sistem pengetahuan; (c)
Organisasi sosial; (d) Sistem peralatan hidup; (e) Sistem mata pencaharian hidup; (f) Sistem
religi; dan (g) Kesenian (Kuswarno, 2008:9).

Karena ketujuh unsur kebudayaan di atas dapat ditemukuan perwujudannya dalam


idea, sistem sosial dan hal fisik yang merupakan hasil dari aktivitas kelompok manusia
tertentu.Beberapa unsur budaya tersebut juga dapat ditemukan sekaligus dalam suatu
perwujudan budaya.

2.3. HUBUNGAN MANUSIA DAN KEBUDAYAAN

Secara sederhana hubungan antara manusia dan kebudayaan adalah: manusia sebagai
perilaku kebudayaan, dan kebudayaan merupakan obyek yang dilaksanakan manusia. Tetapi
apakah sesederhana itu hubungan keduanya?

Dalam sosiologi manusia dan kebudayaan dinilai sebagai dwitunggal, maksudnya


bahwa walaupun keduanya berbeda tetapi keduanya merupakan satu kesatuan.Manusia
menciptakan kebudayaan dan setalah kebudayaan itu tercipta maka kebudayaan mengatur
hidup manusia agar sesuai dengannya. Tampak bahwa keduanya akhirnya merupakan satu
kesatuan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari
kebudayaan, karena kebudayaan itu merupakan perwujudan dari manusia itu sendiri.Apa
yang tercakup dalam satu kebudayaan tidak jauh menyimpang dari kemauan manusia yang
membuatnya.

Di sisi lain, hubungan antara manusia dan kebudayaan ini dapat dipandang setara
dengan hubungan antara manusia dengan masyarakat dinyatakan sebagai dialeksis,
maksudnya saling terkait satu sama lain. Proses dialeksis ini tercipta melalui 3 tahap yaitu:

1. Eksternalisasi, yaitu proses di mana manusia mengekspresikan dirinya dengan


membangun dunianya. Menurut eksternalisasi ini masyarakat menjadi kenyataan
buatan manusia.
2. Obyektivasi, yaitu proses di mana masyrakat menjadi realitas obyektif yaitu suatu
kenyataan yang terpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia. Dengan
demikian masyarakat dengan segala pranata sosialnya akan mempengaruhi bahkan
membentuk perilaku manusia.
3. Internalisasi, yaitu proses di mana masyarakat disergab kembali oleh manusia.
Maksudnya bahwa manusia mempelajari kembali masyarakatnya sendiri agar dia
dapat hidup dengan baik, sehingga manusia menjadi kenyataan yang dibentuk oleh
masyarakat.
Apabila manusia melupakan bahwa masyarakat adalah ciptaan manusia. Dan akan
menjadi tersaing atau tereliminasi (Sastrapratedja, 1991:XV). Manusia dan kebudayaan, atau
manusia dan masyarakat, oleh kerena itu mempunyai hubungan keterkaitan yang erat satu
sama lain. Pada kondisi sekarang ini kita tidak dapat lagi membedakan mana yang lebih awal
muncul manusia atau kebudayaan.Karena keberadaan budaya turut membentuk manusia. Hal
ini tampak dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup manusia.

Berbicara tentang manfaat kebudayaan berarti berbicara tentang seberapa pentingnya


kebudayaan itu bagi pemenuhan kebutuhan manusia.Kebudayaan bermanfaat bagi manusia
untuk melangsungkan kehidupannya yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan untuk dapat
hidup secara lebih baik lagi.Karena itu, tidak ada kebutuhan manusia yang dapat dipenuhi di
luar lingkaran budaya.

Kebutuhan manusia yang beraneka ragam, baik kebutuhan primer, sekunder maupun
tersier telah melahirkan idea (gagasan) yang kemudian membentuk suatu sistem
pengetahuan.Pengetahuan itu kemudian menjadi pedoman hidup yang berguna untuk usaha
pemenuhan kebutuhan manusia.Dalam hal itu, kebudayaan berkaitan erat dengan usaha-usaha
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia, unsur-unsur kebudayaan (sebagai suatu sistem)
saling berkaitan satu dengan yang lainnya.Hanya dalam keterkaitan unsur-unsur tesebut
seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara untuh.

Kebutuhan manusia yang beraneka ragam, unsur-unsur kebudayaan yang penting


adalah teknologi dan ekonomi.Namun demikian, dalam tindakan-tindakan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhannya manusia selalu melibatkan keseluruhan unsur-unsur kebudayaan
(secara langsung ataupun tidak langsung), aspek-aspek biologi dan emosi manusia yang
bersangkutan, dan juga kualitas, kuantitas serta macam sumber daya yang tersedia dan ada
dalam lingkungan sosial.Dalam keseluruhan unsur-unsur budaya tersebut, manusia dapat
memenuhi kebutuhan dan mengatasi persoalan hidupnya.

Tindakan-tindakan pemenuhan kebutuhan tersebut, salah satu aspek penting dan


sering dilupakan oleh kebanyakan orang termasuk penganutnya adalah aspek yang terwujud
sebagai tradisi-tradisi atau kebiasaan yang berlaku pada masyarakat setempat. Pentingnya
peranan aspek sosial itu disebabkan oleh hakekat kemanusiaan dari manusia itu sendiri, yaitu
karena selain sebagai makhluk individual, manusia juga sebagai makhluk sosial, yang dalam
hal mana hampir sebagian besar dari kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya
itu dicapai melalui dan dalam kehidupan sosial. ◉◉◉☼☼◊☼☼◉◉◉

BAB III
ARENA PRODUKSI DAN REPRODUKSI KULTUR

3.1. Arena Produksi Budaya

Arena produksi kultur merupakan subtema yang menekan bagaimana proses


reproduksi budaya terjadi. Seorang sosiolog Prancis Pierre Bourdieu dalam bukunya the field
of cultural production: essays on art and literature menjelaskan bagaimana produksi budaya
itu terjadi? Secara garis besar pemikiran Perre Bourdieu berawal dari pemikiran Marx tentang
tatanan dominasi sosial kelas ekonomi dan kawan lawan pada kelas dalam penguasa-
penguasa sumber-sumber ekonomi modal atau hubungan tuan dan budak. Budak tidak
mempunyai property atau menjadi property kaum pemilik modal. Bourdieu merehabilitasi
pemikiran Max Weber tentang keabsahan kekuasaan dominasi pada tatanan aristokrasi,
tradisional, legal rasional menjadi problem mengapa kaum budak atau rakyat jelata budak
membeiarkan dirinya ditindas, dan membiarkan kekerasan simbolik terus berlangsung? Dari
dialektika pemikiran, Bourdieu melihat habitus, ranah, modal dan kekerasan simbolik
menjadi alasan utama terjadi reproduksi dan terjadinya hegemoni budaya. Bagi Bourdieu,
konsep habitus dipakai untuk membongkar mekanisme dan strategi dominasi yang
dibatinkan. Sementara kapital (modal atau sumber daya), kepemilikan atau komposisinya,
kerap dipakai untuk menguasai atau mendominasi suatu masyarakat.

Adanya arena memungkinkan hegemoni dan dominasi pandangan tertentu.Asal usul


Struktur yang terbentuk dalam kehidupan masyarakat menurut Bourdieu melibatkan agen dan
struktur. Agensi bukan konsep khas Bourdieu melainkan konsep yang sebelumnya telah
menjadi satu pokok permasalahan dalam teori-teori sosial. Agensi, pertama-tama mengacu
pada agen, yakni individu yang menjadi subjek sosial. Sedangkan agensi dalam perspektif
Bourdieu adalah ide bahwa setiap individu telah dilengkapi dengan kemampuan memahami
dan mengontrol tindakan masing-masing berdasarkan kondisi di mana individu itu tinggal.
Dengan kata lain, jika agen mengacu pada individu, maka agensi lebih mengacu pada
kemampuan individu tersebut terkait dengan relasinya terhadap struktur sosial. Adapun
struktur sosial dipahami dalam dalam dua dimensi yakni struktur objektif, struktur yang
terpampang dalam struktur sosial dan struktur subjektif yakni struktur yang bekerja di dalam
diri individu. Bourdieu menekankan relasi antara agensi vis a vis struktur yang bersifat
dialektik.

3.1.1. Habitus
Bourdieu mendefenisikan habitus sebagai

‘sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihkanpindahkan (transposable),


struktur yang distrukturkan yang diasumsikan berfungsi sebagai penstruktur
struktur-struktur (structured structures predisposed to function as structuring
structures), yaitu sebagai prinsip-prinsip yang melahirkan dan mengorganisasikan
praktik-praktik dan repretansi-repretansi yang bisa diadaptasikan secara objektif
kepada hasil-hasilnya tanpa mengandaikan sesuatu upaya sadar mencapai tujuan-
tujuan tertentu atau penguasaan cepat atas cara dan operasi yang diperlukan untuk
mencapainya. Karena sifatnya yang teratur dan berkala secara objektif, tapi bukan
produk kepatuhan terhadap aturan-aturan, prinsip-prinsip ini bisa disatupadukan
secara kolektif tanpa harus menjadi produk tindakan pengorganisasian seorang
pelaku’.
Habitus kadang kala digambarkan sebagai logika permainan, sebuah ‘rasa praktik
yang mendorong agen-egen bertindak dan bereaksi dalam situasi-situasi spesifik dengan
suatu cara yang tidak selalu bisa dikalkulasikan sebelumnya, dan bukan sekedar kepatuhan
sadar pada aturan-aturan. Ia lebih mirip seperangkat disposisi yang melahirkan praktik dan
persepsi. Habitus sendiri merupakan hasil dari proses panjang pencekokan individu, dimulai
sejak masa kanak-kanak, yang kemudian semacam pengindraan kedua atau hakikat alami
kedua. Menurut definisi Bourdieu di atas, disposisi-disposisi yang direpresentasiakan oleh
habitus bersifat:

a. Bertahan lama, dalam artian bertahan di sepanjang rentang waktu tertentu dari
kehidupan seorang agen;
b. Bisa dipindah alihkan dalam arti sanggup melahirkan praktik-praktik di berbagai
arena aktivitas yang beragam;
c. Merupakan struktur yang distrukturkan dalam arti mengikutsertkan kondis-kondisi
sosial objektif pembentukannya atau mampu melahirkan praktik-praktik yang sesuai
dengan situasi-situasi khusus dan tertentu.
Kendati demikian, habitus tidak menutup kemungkinan bagi para agen untuk
melakukan kalkulasi strategis, hanya saja caranya berfungsi agak berbeda meminjam kata
Bourdieu sendiri,
“sistem disposisi ini sebuah masa lalu yang ada sekarang yang cenderung
menghadirkan lagi dirinya di masa depan dengan mengaktifkan kembali dalam
praktik-praktik yang distrukturkan secara sama.”
Maka bisa dibaca bahwa disposisi dalam pandangan Bourdieu mengacu pada tiga hal
yaitu: pertama, hasil praktik pengaturan yang setara dengan definisi struktur, kedua, cara
berada agen-agen terkait kebiasaan-kebiasaannya, ketiga, kecenderungan atau tendensi.
Selajutnya habitus sebagai basis generatif bagi praktik mengandung makna bahwa agen sosial
melakukan praktik dan bersosialisasi dengan struktur sosialnya melalui habitus. Artinya
habitus berada pada struktur subjektif; ia diperoleh dari hasil pembelajaran Atau internalisasi
struktur objektif. Habitus mengambil skemanya dari struktur objektif atau arena sosial,
namun tidak berarti habitus memproduksi total skema yang membentuknya, melainkan
berdialketika dengan skema-skema yang lebih dulu terinternalisasi dalam struktur subjektif
individu. Habitus merupakan konstruksi perantara, bukan konstruksi pendeterminasi; habitus
tetap memberikan peran kreatif aktor untuk berimprovisasi, bebas dan otonom. Habitus
adalah sistem skema produksi praktik sekaligus sistem skema persepsi dan apresiasi atas
praktik.
Habitus sebagai sistem disposisi akan menghasilkan perbedaan gaya hidup dan
praktik-praktik kehidupan, sesuai dengan pengelaman dan proses internalisasi agen dalam
berinteraksi dengan agen lain dan maupun struktur objektif tempat dia berada. Sekumpulan
pola yang terinternalisasi tersebut mencakup berbagai prinsip klasifikasi, seperti baik-buruk,
benar salah, rasional-irasional. Skema-skema habitus menyatu pada nilai-nilai dan gerak
tubuh yang paling otomatis seperti cara berjalan, cara makan, maupun gaya bicara.

Habitus merupakan pembatinan nilai-nilai sosial budaya atau hasil internalisasi


struktur dunia sosial atau struktur sosial yang dibatinkan. Habitus merupakan produk sejarah
yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan
waktu tertentu. Habitus bukan merupakan bawaan ilmiah atau kodrat tetapi merupakan hasil
pembelajaran lewat bersosialisasi. Proses pembelajaran sangat halus, tak disadari dan tampil
sebagai hal yang wajar. Individu bukanlah agen yang sepenuhnya bebas dan juga bukan
produk pasif dari struktur sosial. Habitus berkaitan erat dengan field, karena praktik-praktik
atau tindakan agen merupakan habitus yang dibentuk field, sehingga habitus disebut aksi
budaya. Fielddalam konsep Bourdieu, yaitu medan, arena atau ranah yang merupakan ruang
bagi sebagai tempat para aktor/agen sosial bersaing untuk mendapat berbagai sumber daya
material atau kekuatan (power) simbolis. Struktur-struktur yang ada dalam masyarakat
diinternalisasi oleh aktor-aktor sosial sehinga berfungsi secara efektif. Internalisasi
berlangsung melalui pengasuhan, aktifitas bermain, dan juga pendidikan dalam masyarakat
baik secara sadar maupun tidak sadar. Agen adalah individu yang bebas bergerak seturut
keinginannya. Di satu sisi agen merupakan individu yang terikat dalam struktur atau
kolektif/sosial namun di sisi yang lain agen adalah individu yang bebas bertindak.
Sintesis dan dialektika antara struktur objektif dengan fenomena subjektif disebut
sebagai habitus. Habitus dapat bertahan lama, namun dapat juga berubah dari waktu ke
waktu. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial, artinya habitus sebagai
struktur yang mengstruktur sosial dan juga habitus sebagai struktrur yang terstruktur. Dengan
demikian Bourdieu memberikan definisi habitus sebagai situasi disposisi yang berlangsung
lama dan berubah-ubah (durable, transposable disposition) yang berfungsi sebagai basis
generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif.

3.1.2. Arena
Menurut Bourdieu, pembentukan sosial apapun distrukturkan melalui serangkaian
arena yang terorganisasi secara hierarkis (arena ekonomi, arena pendidikan, arena politik,
arena kultur dan lain sebagainya). Arena-arena didefinisikan sebagai ruang yang terstruktur
dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasi-relasi kekuasannya sendiri,
yang terlepas dari kaidah politik dan kaidah ekonomi, kecuali dalam kasus arena ekonomi
dan arena politik itu sendiri. Arena dalam produksi kultur menampilkan sebuah realitas
keterhubungan posisi yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lain. Di dalam
arena apapun, agen-agen yang menempati berbagai macam posisi tersedia (atau yang
menciptakan posisi-posisi baru) terlibat dalam kompetensi yang memperebutkan kontrol
kepentingan atau sumber daya yang khas dalam arena yang bersangkutan. Di arena ekonomi
misalnya, agen-agen saling bersaing demi modal ekonomi melalui berbagai strategi investasi
dengan menggunakan akumulasi modal ekonomi.Bourdieu melihat modal sebagai pendasaran
tentang konsep masyarakat sebagai kelas, dimana jumlah modal yang dimiliki oleh
masyarakat menentukan keanggotaannya di kelas sosial. Modal juga dapat dijadikan sebagai
alat untuk memproduksi kekuasaan dan ketidaksetaraan.
Namun, kepentingan dan sumber daya yang dipertaruhkan di dalam arena tidak selalu
berbentuk materi, kompetensi di antara agen-agen. Bourdieu lalu mengembangkan kekuasaan
simbolik berdasarkan bentuk-bentuk modal yang tidak bisa direduksi menjadi sekadar modal
ekonomi. Ada dua jenis modal yang sangat penting di dalam arena produksi kultural, yaitu
a. Modal simbolis yang mengacu kepada derajat akumulasi prestise, ketersohoran,
konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun di atas dialektika pengetahuan dan
pengenalan.
b. Modal kultur menyoroti bentuk-bentuk pengetahuan kultural, kompetensi-
kompetensi dan disposisi-disposisi tertentu. Di dalam distinction, tempat konsep
ini diulas dengan rinci, Bourdieu mendefinisikan modal kultural sebagai suatu
bentuk pengetahuan, suatu kode internal atau suatu akusisi kognitif yang
melengkapi agen sosial dengan empati terhadap, apresiasi terhadap, atau
kompetensi di dalam. Ia menyatakan bahwa ‘sebuah karya seni mengandung
makna dan kepentingan hanya bagi orang yang memiliki kompetensi kultur, yakni
kode, tempat ke mana karya itu dikodekan. Kepemilikan terhadap kode atau
modal kultural ini, diakumulasi melalui suatu proses panjang akusisi atau
kalkulasi yang mencakup tindakan pedagogis ke keluarga atau anggota kelompok
(pendidikan keluarga), anggota-anggota terdidik formasi sosial (pendidikan yang
tersebar) dan lembaga-lembaga sosial (pendidikan yang terlembagakan)
Kepemilikan modal ekonomi tidak serta merta mengimplikasikan kepemilikan modal
kultural atau simbolis, dan sebaliknya.Bourdieu bahkan menganalisis arena produksi kultural
sebagai dunia ekonomi yang terbalik. Menginvestasikan modal seseorang (akademis,
kultural, simbolis) dengan cara sedemikan rupa untuk mendapat keuntungan atau laba
maksimum dari partisipannya di dalam arena tersebut. Arena sebagai area pertarungan dan
perjuangan, dimana setiap arena pasti memiliki aturan main dan logikanya sendiri-sendiri
serta semua arena dapat membangkitkan kayakinan bagi para aktor mengenai sesuatu yang
dipertaruhkan. Seorang dapat berhasil di sebuah arena haruslah memiliki habitus atau capital
yang kuat.
Bourdieu menyebut arena produksi kultur hanya bisa dimengerti sepenuhnya, apabila
kita memperlakukannya sebagai arena kompetisi memperebutkan monopoli pemakaian
legitim kekerasan simbolik. Dalam teorinya, Bourdieu sering menggunakan istilah kuasa
simbolik, kekerasan simbolik, dan relasi simbolik secara bergantian. Ketiga istilah tersebut
digunakan Bourdieu untuk menjelaskan proses produksi sosial yang melibatkan agen-agen
dalam suatu arena. Masing-masing agen memiliki modal dan habitus yang berlainan, namun
saling berkontestasi antara satu sama lain. Kuasa simbolik adalah kuasa untuk mengubah dan
menciptakan realitas, yakni mengubah dan menciptakannya sebagai sesuatu yang diakui,
dikenali, dan juga sah. Kuasa simbolik untuk membuat orang melihat dan percaya, untuk
memperkuat atau mengubah cara pandang terhadap dunia dan bagaiamana mengubah dunia
itu sendiri.Implisit dari definisi tersebut adalah kuasa simbolik sangat terkait dengan habitus,
yakni suatu upaya membuat cara pandang orang menyangkut persepsi dan apresiasi bergerak
pada arah tertentu. Bourdieu menjelaskan proses terjadinya atau mekanisme kuasa simbolik
ini melalui apa yang disebut ‘doksa’. Di saat yang sama, kelompok dominan yang memiliki
kuasa atau kontrol tertentu akan berusaha mempertahankan struktur arena yang
didominasinya dengan memproduksi apa yang disebut dengan ortodoksi, yakni pemikiran
yang secara eksplisit membela atau mencoba mempertahankan struktur serta aturan dalam
arena tersebut "kelas yang terdominasi. Tegas Bourdieu memiliki kepentingan untuk
melawan batas- batas doksa dan menunjukkan kearbiteran dari sesuatu yang dipahami secara
apa adanya; kelas yang mendominasi memiliki kepentingan untuk mempertahankan integritas
doksa menjaga keberlangsungan arena....melalui ortodoksa. Dengan demikian kuasa simbolik
mengambil bahasa sebagai bentuknya-pernyataan tentang aturan atau hal-hal yang berlaku
dalam suatu arena. Kuasa simbolik merupakan bagian dari praktik sosial secara keseluruhan:
ia beroperasi dan dioperasikan oleh agen-egen dalam arena-arena dalam ruang sosial
termasuk arena sastra. Dalam penjelasan proses kuasa simbolik, Bourdieu secara eksplisit
menyebutkan kelas-kelas yang berada dalam relasi bertentangan. Kelas tidak sekedar
mengacu pada kepemilikan alat produksi melainkan habitus dan kondisi-kondisi serupa.
Kelas menurut Bourdieu lebih didasarkan pada jangkuaan luas tentang praktik-praktik kelas
yang bisa diidentifikasikan dengan selera makan, cara berpakaian, disposisi tubuh, model
rumah dan lainya yang keseluruhan terangkum dalam apa yang ia sebut gaya hidup: produk
sistematis dari habitus yang menjadi sistem tanda yang terkualifikasi secara sosial.

Konsep kelas dalam pemahaman Bourdieu dapat dirumuskan dalam tiga kelompok yaitu:

1. Kelas dominan, yakni kelas yang memiliki akumulasi beragam jenis modal paling
banyak dan signifikan, sehingga memiliki kemampuan paling besar untuk melegitimasi
dan memaksakan suatu visi tentang dunia sosial tertentu kepada kelas lainnya;
2. Kelas borjuis kecil, yakni kelas yang memiliki kesamaan dengan kelas dominan dalam
hal keinginan selalu melakukan mobilitas sosial, namun mereka tidak memiliki
akumulasi modal sekuat kelas dominan. Mereka digolongkan dalam kelas menengah.
Kaum intelektual, termasuk sastrawan dan seniman, berada dalam kelas ini;
3. Kelas populer, yakni kelas yang memiliki akumulasi modal paling minimal dalam suatu
ruang sosial.

lebih jauh, Bourdieu menjelaskan bahwa kelas yang dominan dalam ruang sosial pada
praktiknya akan mempengaruhi mekanisme yang terjadi dalam arena produksi kultural
termasuk sastra. Arena produksi yang dengan jelas tidak dapat berfungsi jika ia tidak dapat
memperhitungkan selera yang ada, disposisi yang kurang lebih kuat untuk mengkonsumsi
barang-barang, yang kurang lebih terdefinisi secara jelas-memungkinkan
Dengan singkat Bourdieu menjelaskan bagaiamana hubungan antara Habitus, modal,
dan arena menghasilkan sebuah praktik untuk merebutkan kekuasaan. (HABITUS X
MODAL) = Praktik

3.2. ARENA RE-PRODUKSI KULTUR


Secara terminologi reproduksi kultur diartikan sebagai proses aktif yang menegaskan
keberadaan suatu budaya dalam ruang sosial yang berbeda, sehingga mengharuskannya untuk
melakukan adaptasi bagi kelompok yang memiliki latarbelakang berbeda (Ansari: 34).
Reproduksi budaya terjadi dalam proses transmisi budaya dalam kehidupan sehari-hari.
Sehingga kebudayaan secara turun temurun akan terus berproses seperti yang dibayangkan
Clifford Gertz bahwa kebudayaan merupakan pola dari makna-makna yang terjalin secara
menyeluruh dalam simbol yang ditransmisi secara histroris. Praktik-praktik kebudayaan akan
senantiasa mengalami proses produksi, rekonstruksi bahkan komodifikasi atas resiko
bergulirnya modernitas. Hasil akhir dari proses transmisi tersebut tergantung dari aktor dalam
arena kebudayaan itu (Nukha, 46).
Ermansyah (2005) Secara lebih terperinci menjelaskan bahwa keberadaan seseorang
atau kelompok di tempat yang baru dengan latarbelakang sosial budaya yang berbeda
mewujudkan 3 proses sosial, yang juga saling berkaitan:
1. Pengelompokan kembali di dalam latar sosial budaya yang baru. Proses ini
merupakan proses yang penting dalam hubungan dengan proses adaptasi. Dengan
kata lain, ada kecenderungan dari seseorang atau kelompok orang untuk tetap
berhubungan dan menetap bersama warga kelompok asalnya di tempat yang baru.
2. Proses rekonstruksi sejarah kehidupan seseorang atau sekelompok orang karena
ada fase kehidupan baru terbentuk
3. Proses rekonfigurasi (suatu pembentukan susunan) proyek-proyek etnik mereka.
Dengan kata lain, seorang atau sekelompok orang di tempat yang baru akan
menyusun kembali dan menegaskan identitas kelompok atau kebudayaannya.

Jadi reproduksi kebudayaan adalah proses penegasan identitas budaya yang dilakukan
oleh pendatang, yang dalam hal ini menegaskan kembali kebudayaan asalnya. Menurut Irwan
Abdullah di antara sebab perubahan budaya itu

Pertama, mencairnya batas-batas kebudayaan. Dahulu kebudayaan selalu diikat oleh


batas-batas fisik yang jelas. Sebagai contoh pakaian kebaya, sungkeman, wayang kulit,
blangkon selalu identik dengan pakaian atau adat budaya jawa. Batas-batas fisik itu kemudian
dijadikan dasar untuk menentukan keberadaan suatu kebudayaan.
Namun ketika kesadaran atau pola pikir manusia mengalami perubahan, mencairnya
batas-batas teritorial identitas, mobilisasi manusia, kecanggihan intelektual yang dimiliki,
media komunikasi yang semakin modern, masyarakat menjadi terintegrasi bukan hanya pada
level lokal akan tetapi dunia, maka batas-batas identitas suatu kebudayaan itu pun mau tidak
mau harus mencair atau memudar. Tradisi sungkeman pada masyarakat jawa sebagai simbol
kepatuhan dan ketundukan seorang anak kepada orang tua pun menjadi tergantikan hanya
lewat telepon atau alat canggih lainnya.
Bahkan dengan kecanggihan teknologi, batas-batas territorial sebuah komunitas,
kelompok, terasa tak berarti. Orang Indonesia dalam waktu yang sama dapat berkomunikasi,
berinteraksi dengan manusia luar yang tanpa disadarinya terjadi transfer budaya. Manusia
pun dalam waktu singkat dapat berganti-ganti karakter atau pola pikir. Karena itu, dengan
adanya integrasi tatanan global, kebudayaan kemudian tidak lagi terikat pada batas-batas fisik
yang kaku yang disebabkan oleh ikatan ruang bersifat deterministik.
Kedua, sebab adanya perubahan budaya juga karena adanya politik ruang dan makna
budaya. Makna suatu simbol juga disebabkan oleh struktur kekuasaan yang berubah. Hal ini
terjadi karena menurut Irwan Abdullah suatu kebudayaan bagaimanapun tidak dapat
dilepaskan begitu saja dari ruang di mana kebudayaan itu dibangun, dipelihara, dan
dilestarikan, atau bahkan diubah.
Dengan adanya kepentingan kekuasaan yang berbeda, maka ruang yang menjadi
wadah tempat kebudayaan telah mengalami re-definisi baru sejalan dengan tumbuhnya gaya
hidup modern yang secara langsung diawali dengan perubahan rancangan ruang. Dahulu
pusat-pusat kebudayaan memegang kendali dan suara dalam menentukan karakter suatu
ruang sosial, kemudian selanjutnya dengan berbeda kepetingan, Negara harus mengambil alih
peran dengan mendefinisikan ulang ruang agar sesuai dengan kepetingan orientasinya.
Ketika kondisi ini terjadi, maka ruang pun menjadi arena yang diperebutkan, demi
melanggengkan sebuah kepentingan kekuasaan atau politik tertentu. Karena itu, makna
kebudayaan pun harus tunduk terhadap siapa yang mendefinisikan ulang. Sebuah simbol dan
makna kebudayaan pun menjadi suatu objek yang kehadirannya dihasilkan oleh suatu proses
negosiasi yang melibatkan sejumlah kontestan yang terlibat dengan kepentingan yang
berbeda.
Ketiga, ketika hegemoni kepentingan politik kekuasaan terjadi, maka secara
bersamaan pemaksaan akan makna ruang dan makna sebuah identitas budaya pun terjadi.
Posisi publik yang enggan mengikuti keinginan penguasa pun tercerai berai menjadi
kelompok-kelompok kecil yang juga beragam di dalam memaknai ruang dan makna identitas
budaya.Kontestasi berbagai institusi terjadi secara intensif yang menyebabkan individu
menjadi objek dan komoditi dari kepentingan-kepentingan yang berbeda. Mereka yang
tersubordinasi pun ikut melakukan kontestasi dalam bentuk pemaknaan dekonstruktif atau
pembangkangan terhadap pendefinisian ruang dan makna identitas budaya yang dilakukan
oleh hegemoni pemegang kendali kuasa.
Tarik menariknya antara pemegang kendali kuasa dengan mereka yang tersubordinasi
pun menjadikan identitas kebudayaan pun mengalami konstruksi dan reproduksi yang
berbeda yang tentunya syarat akan kepentingan yang berbeda. Simbol-simbol budaya pun
pada akhirnya dijadikan sebagai alasan penegasan autentisitas kelompok yang keberadaannya
menjadi bagian dari sistem sosial global dengan pertentangan nilai yang juga tajam.
Meskipun begitu, Irwan Abdullah menyatakan bahwa tanpa adanya konflik
kepentingan, maka sulit dibayangkan akan lahir sebuah kesadaran tentang perubahan yang
sistematis menuju kepada suatu sistem sosial yang lebih berkembang. Karena itu ia
mengatakan bahwa memahami kebudayaan harus dimulai dengan mendefinisikan ulang
kebudayaan itu sendiri, bukan sebagai kebudayaan generic (yang merupakan pedoman yang
harus dibawa)

3.3. PERUBAHAN KEBUDAYAAN DAN PENYESUAIAN DIRI ANTAR BUDAYA


Masyarakat dan kebudayaan di mana pun selalu dalam keadaan berubah, sekalipun
masyarakat dan kebudayaan primitf yang terisolasi jauh dari berbagai perhubungan dengan
masyarakat lainnya. Terjadinya perubahan ini disebabkan oleh beberapa hal:
1. Sebab-sebab yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan sendiri, misalnya
perubahan jumlah dan komposisi penduduk.
2. Sebab-sebab perubahan di lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup. Masyarakat
yang hidunya terbuka, yang berada dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat dan
kebudayaan lain, cenderung untuk berubah secara lebih cepat.
Perubahan ini selain karena perubahan jumlah penduduk dan komposisinya, juga karena
ada difusi kebudayaan, penemuan-penemuan baru, khususnya teknologi dan inovasi.
Perubahan sosial dan perubahan budaya berbeda. Dalam perubahan sosial terjadi perubahan
struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial, antar lain sistem status, hubungan-hubungan di
didalam keluarga, sistem politik dan kekuasaan, serta persebaran penduduk. Sedangkan yang
dimkasud perubuahan budaya adalah perubahan yang terjadi dalam dalam sistem ide yang
dimiliki oleh bersama para warga atau sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan, antara
lain aturan-aturan, norma-norma yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan, juga
teknologi, selera, rasa keindahan (kesenian) dan bahasa. Walaupun perubahan sosial dan
perubahan kebudayaan itu berbeda, pembahasan kedua perubahan itu tak akan mencapai
sautu pengertian yang benar tanpa mengaitkan keduanya.
Salah satu bentuk proses perubahan sosial yang terwujud di dalam masyarakat dengan
kebudayaan primitif maupun dengan kebudayaan yang kompleks (maju) adalah proses
imitasi, yang dilakukan oleh generasi muda terhadap generasi yang lebih tua. Proses ini
dilakukan dengan belajar meniru yang belum tentu sempurna, bahkan tak sempurna dari
berbagai pola tindakan generasi orang tua sehingga hasilnya berjalan lambat dan
perubahannya baru terasa apabila sudah mencapai jangka waktu yang panjang. Sedangkan
perubahan di dalam masyarakat yang maju (kompleks) biasa terwujud melalui proses
penemuan (discovery) dalam bentuk penciptaan baru (invention) dan melalui proses difusi.
Jadi, discovery meruapakan jenis penemuan baru yang mengubah persepsi mengenai
hakikat suatu gejala atau lebih. Invention adalah suatu pembuatan bentuk baru yang berupa
benda (pengetahuan) yang dilakukan melalui proses penciptaan dan didasarkan atas
pengombinasian pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada mengenai benda dan gejala.
Proses penerimaan perubahan berbagai faktor yang mempengaruhi diterima atau setidaknya
satu unsur kebudayaan baru diantaranya:
1. Terbiasanya masyarakat memiliki hubungan atau kontak dengan kebudayaan dan
dengan orang-orang yang berasal dari luar masyarakat tersebut.
2. Jika pandangan hidup dan nilai-nilai yang dominan dalam suatu kebudayaan
ditentukan oleh nilai agama, dan ajaran ini terjalin erat dalam keseluruhan pranata
yang ada, maka penerimaan unsur baru itu mengalami kelambatan dan harus disensor
dulu oleh berbagai ukuran yang berlandaskan ajaran agama yang berlaku.
3. Corak struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan proses penerimaan
kebudayaan baru. Misalnya, sistem otoriter akan sukar menerima unsur kebudayaan
baru.
4. Suatu unsur kebudayaan diterima jika sebelumnya sudah ada unsur-unsur kebudayaan
yang menjadi landasan bagi diterimanya unsur kebudayaan yang baru tersebut.
5. Apabila unsur yang baru itu memiliki skala kegiatan yang terbatas, dan dapat dengan
mudah dibuktikan kegunaannya oleh warga masyarakat yang bersangkutan.

3.4. PERISTIWA-PERISTIWA PERUBAHAN KEBUDAYAAN


a. Cultural lag
Cultural lag adalah perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam
kebudayaan suatu masyarakat. Artinya ketinggalan kebudayaan, yaitu selang
waktu antara saat benda itu diperkenalkan pertama kali dan saat benda itu
diterima secara umum sampai masyarakat dapat menyesuaikan diri terhadap
benda tersebut. Juga suatu lag terjadi apabila irama perubahan dari dua unsur
perubahan (mungkin lebih) memiliki korelasi yang tak sebanding sehingga
unsur yang satu tertinggal oleh unsur yang lainnya.
b. Cultural survival
Istilah ini ada sangkut pautnya dengan cultural lag karena mengandung
pengertian adanya suatu cara tradisional yang tak mengalami perubahan sejak
dahulu sampai sekarang. Cultural survival adalah suatu konsep yang lain,
dalam arti bahwa konsep ini dipakai untuk menggambarkan suatu praktek
yang telah kehilangan fungsi pentingnya seratus persen, yang tetap hidup dan
berlaku semata-mata hanya di ataslandasan adat-istiadat semata-mata. Jadi,
pengertian lag dapat dipergunakan paling sedikit dalam dua arti, yaitu:
1. Suatu jangka waktu antara terjadinya penemuan baru dan diterimanya
penemuan baru tadi.
2. Adanya perubahan dalam pikiran manusia dari alam pikiran tradisional ke
alam pikiran modern.

terjadinya cultural lag ialah karena adanya hasil ciptaan baru yang
membutuhkan aturan-aturan serta pengertian yang baru berlawanan dengan
hukum-hukum serta cara bertindak yang lama, tetapi ada pula kelompok yang
memiliki sifat keterbukaan, malahan mengharapkan timbulnya perubahan dan
menerimanya dengan mudah tanpa mengalami cultural lag.

c. Pertentangan kebudayaan (cultural conflict)


Pertentangan kebudayaan ini muncul sebagai akibat relatifnya kebudayaan. Hal
ini terjadi akibat konflik langsung antarkebudayaan. Faktor-faktor yang
menimbulkan konflik kebudayaan adalah keyakinan-keyakinan yang berbeda
sehubungan dengan berbagai masalah aktivitas berbudaya. Konflik ini dapat
terjadi di antara anggota-anggota kebudayaan yang satu dengan anggota
kebudayaan yang lain.
d. Guncangan kebudayaan (culture shock)
Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Kalervo Oberg (1958) untuk
menyatakan apa yang disebutnya sebagai suatu penyakit jabatan dari orang-orang
yang tiba-tiba dipindahkan ke dalam suatu kebudayaan yang berbeda dari
kebudayaan sendiri, semacam penyakit mental yang tidak disadari oleh
korbannya. Hal ini akibat kecemasan karena orang itu kehilangan atau tak melihat
lagi semua tanda dan lambang pergaulan sosial yang sudah dikenalnya dengan
baik. Ada empat tanpa yang membentuk siklus culture shock:
1. Tahap inkubasi; kadang disebut tahap bulan madu, sebagai suatu pengelaman
baru yang menarik.
2. Tahap krisis; ditandai dengan suatu perasaan dendam, pada saat inilah terjadi
korban culture shock
3. Tahap kesembuhan; korban mampu melampui tahap kedua, hidup dengan
damai.
4. Tahap penyesuaian diri; sekarang orang tersebut sudah membanggakan
sesuatu yang dilihat dan dirasakannya dalam kondisi yang baru itu; rasa cemas
dalam dirinya sudah berlalu.
Penyesuaian diri antarbudaya dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya
faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern, menurut Brislin (1981), ialah
faktor watak (traits) dan kecakapan (skills). Watak adalah segala tabiat yang
membentuk keseluruhan kepribadian seseorang, yang dalam bahasa sehari-hari
biasanya merupakan jawaban atas pertanyaan, orang macam apa dia? Jawabannya
emosional, pemberani, bertanggungjawab, senang bergaul dan seterusnya. Orang
yang senang bergaul biasanya akan lebih mudah menyesuaikan diri.
Kecakapan atau skills menyangkut segala sesuatu yang dapat dipelajari
mengenai lingkungan budaya yang akan dimasuki, seperti bahasa, adat-istiadat,
tata krama, keadaan geografi, keadaan ekonomi, situasi politik dan sebagainya.
Selain kedua faktor ini, juga sikap (attitude) seorang berpengaruh terhadap
penyesuaian diri antarbudaya. Menurut Alport, yang dimakasud sikap di sini
adalah kesiagaan moral atau saraf yang terbina melalui pengelaman yang
memberikan pengarahan atau pengaruh terhadap bagaimana seseorang
menanggapi segala macam objek atau situasi yang dihadapinya. Contoh-contoh
sikap: terus terang, berprasangka baik atau buruk, curiga, optimis, pesimis,
skeptis, ekstrem, moderat, toleran dll. Orang yang bersikap terus terang dan
terbuka atau berprasangka baik akan lebih berhasil dalam menyesuaikan diri.
Faktor eksteren yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antar budaya
adalah:
1. Besar kecilnya perbedaan antar kebudayaan tempat asalnya dengan
kebudayaan lingkungan yang dimasukinya.
2. Pekerjaan yang dilakukannya, yaitu pekerjaan yang dilakukannya itu dapat
ditolerir dengan latar belakang pendidikannya atau pekerjaan sebelumnya;
3. Suasana lingkungan tempat ia bekerja. Suasana lingkungan yang terbuka
akan mempermudah seseorang untuk menyesuaikan diri bila dibandingkan
dengan suasana lingkungan yang tertutup.

3.5. Mobilitas Konteks Budaya dan Pembentukan Identitas

Mobilitas telah menjadi faktor penting dalam pembentukan dan perubahan


peradaban umat manusia karena perbedaan tempat dalam kehidupan manusia telah
menciptakan definisi-defini baru, tidak hanya tentang lingkungan kebudayaan di mana
seseorang tinggal tetapi juga tentang dirinya sendiri. Dalam banyak studi telah
diperlihatkan bahwa perubahan wilayah tempat tinggal, latar belakang sosial dan latar
belakang kebudayaan merupakan konteks yang memberikan warna bagi identitas
kelompok dan identitas kesukubangsaan. Sejalan dengan mobilitas manusia yang
demikian padat, yang dinilai Appadurai sebagai fenomena mencolok sejak abad ke-20,
batas-batas wilayah (kebudayaan) tidak lagi menjadi penting karena suatu kelompok tidak
selalu terikat pada batas wilayah kebudayaan sendiri, ia telah menjadi bagian dari batas
wilayah kebudayaan yang berbeda yang bahkan cenderung berubah-ubah pada saat
berpindah dari satu tempat ke tempat lain. (Abdullah, 42)

Secara umum mobiltas berbagai kelompok masyarakat telah menjadi


fenomena yang sangat umum. Hal ini mengandung pengertian bahwa lingkungan sosial
budaya setiap orang dapat berubah-ubah yang sangat tergantung pada perilaku mobiltas
seseoarng atau sekelompok orang. Hal ini juga berarti bahwa setiap kelompok orang
berhadapan dengan nilai-nilai baru yang mengharuskannya menyesuaikan diri secara terus
menerus. Dalam situasi semacam ini studi antropologi relevan untuk mempertanyakan
bagaimana seseorang atau sekelompok orang dapat mempertahankan nilai-nilai
kebudayaan asalanya. Hal ini mengingatkan bahwa wilayah kebudayaan tidak lagi penting
dalam proses pemberiaan makna kehidupan individual karena wilayah kebudayaan
seseorang berubah-ubah saat ia pindah dari satu tempat ke tempat lain. (Abdullah, 43)

Menurut (Abdulah, 44-45) Mobilitas dengan demikian telah mendorong


proses rekonstruksi identitas sekelompok orang. Sejalan dengan hal ini, ada dua proses
yang dapat terjadi:

a. Terjadi adaptasi kultural para pendatang dengan kebudayaantempat ia bermukim,


yang menyangkut adaptasi nilai dan praktik kehidupan secara umum.
b. Terjadi proses pembentukan identitas individual yag dapat saja mengacu kepada
nilai-nilai kebudayaan asalnya. Bahkan dalam konteks ini seseorang dapat saja
ikut memproduksi kebudayaan asalnya di tempat yang baru. Kebudayaan dalam
hal ini kemudian berfungsi sebagai apa yang dkatakan Ben Anderson sebagai
imagined values (Anderson, 1991), yang berfungsi dalam pikiran setiap orang
yang menjadi pendukung dan yang mempertahankan kebudayaan itu meskipun
seseorang berada di luar lingkungan kebudayaannya.
Teori konfigurasi budaya merupakan landasan yang cukup penting dalam menjelaskan
perubahan-perubahan adaptasi suatu etnis. Dalam hubungannya dengan proses migrasi;
teori ini melihat bahwa ada tiga proses sosial yang dapat terjadi. Pertama, terjadi
pengelompokan baru dengan orang-orang yang berbeda. Pengelompokan ini merupakan
proses penting dalam hubungannya dengan proses adaptasi pendatang; kedua, terjadi
redefinisi sejarah kehidupan seseorang karena ada fase kehidupan baru yang terbentuk.
Fase ini dapat memiliki arti yang sangat berbeda bagi seseorang karena seting sosial yang
berbeda dengan seting di mana mereka menjadi bagian sebelumnya; ketiga, terjadi proses
pemberian makna baru bagi diri seseorang, yang menyebabkan ia mendefinisikan kembali
identitas kultural dirinya dan asal-usulnya.
Di dalam konteks sosial yang berubah, makna sosial dan individual suatu kebudayaan
juga mengalami perubahan, karena konteks sosial memberikan makna pada tindakan-
tindakan individual. Perubahan konteks juga kemudian memberikan kesadaran baru bagi
individu dalam mendefinisikan kembali kebudayaan dan identitas yang dianutnya.
Konteks sosial budaya menjadi faktor penting di dalam pemberian makna kehidupan
secara umum. Reproduksi kebudayaan merupakan proses penegasan identitas budaya yang
dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal ini menegaskan keberadaan kebudayaan
asalnya.
BAB IV

DISKURSUS GLOBAL DAN LOKAL DALAM KAJIAN


PERKEMBANGAN BUDAYA DI INDONESIA

4.1. Pendahuluan
Masuknya berbagai bentuk dan ragam budaya global (global culture) yang berasal
dari berbagai negara di luar Indonesia seperti amerika, eropa, Korea dan cina, pada derajat
tertentu telah mempengaruhi format dan isi budaya populer (musik, televisi, dan film)
yang berkembang di tanah air. Kecintaan para penggemar budaya populer yang berasal
dari mancanegara seperti K- pop telah menjadi fenomena baru dalam konteks budaya pop
masyarakat. Sementara, institusi kapitalis media masa nampaknya mencoba untuk
merespons tren atau kecenderungan ini dengan memproduksi dan menyajikan tanyangan
budaya pop yang diadaptasikan dari model-model dan format budaya global. Perdebatan
antara globalisasi dan lokal menjadi argumen berkepanjangan yang seolah tak terhenti.
Dalam banyak akademisi di barat, proses-proses globalisasi dalam konteks masyarakat
lokal menjadi isu yang selalu menarik untuk diteliti dan mengahsilkan teori-teori baru bagi
proses-proses perubahan budaya lokal. Pertanyaan yang selalu muncul adalah yang mana
definisi globalisasi yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan kondisi di wilayah
lokal. Apa sebenarnya konsep global culture atau budaya global itu sendiri? Lalu apa yang
bembedakannya dengan budaya lokal? Apa yang dimaksudkan dengan lokal yang
sebenarnya?
Harindranath (2006) dalam perdebatan tentang budaya global, pertentangan antara
culture atau budaya dibenturkan dengan isu ekonomi. Aspek budaya dan ekonomi dalam
globalisasi menjadi penting dalam perdebatan budaya global. Karena kedua aspek inilah
yang kemudian menghasilkan argumen-argumen bahwa globalisasi dianggap sama dengan
westernisasi, bahwa globalisasi sama dengan homogenisasi, bahwa globalisasi
menghasilkan politik budaya yang resisten dan sebagainya. Dalam tulisannya tentang
globalisasi Anthony Giddens menjelaskan bahwa globalisasi telah membuat perubahan-
perubahan besar dari kondisi lampau. Menurutnya, Globalisasi merubah cara orang
melihat dunia yang seoalah terbelah secara radikal menjadi dua dunia yang sangat
berbeda: antara dulu dan sekarang. Sehingga globalisasi seakan memisahkan dua
kehidupan yang berbeda secara tegas antara masa lalu dan masa sekarang. Selain itu
Tomlinson menjelaskan konsep globalisasi dengan konsep proximity/kedekatan. Saat ini
kita mengalami jarak atau keterpisahan seperti halnya antara spanyol dan meksiko dalam
berbagai cara. Namun keterpisahan tempat yang berjarak ini masih dapat diakses secara
rutin melalui teknologi komunikasi atau kita hanya dapat melihat representasi-representasi
kedua tempat yang berjarak itu dari media masa atau secara fisik, bahkan dapat dijangkau-
tentu saja dengan waktu tertentu dan kepemilikan uang kita-dengan penerbangan yang
ada. Dengan kata lain, jarak bukan lagi menjadi kondisi yang menghalangi terpisahnya
dua tempat yang berbeda. Media masa, teknologi komunikasi, dan transportasi udara yang
cepat dapt diakses dengan mudah. Artinya tidak adalagi ruang yang berjarak. Sehingga
globalisasi bukan lagi berarti keterpisahan, melainkan kedekatan.
Bagi Joke Hermes, dalam budaya Global/budaya pupuler, sepertinya dalam
kesenian secara umum, orang cenderung memilih bentuk-bentuk dan tipe genre yang
disukai dari budaya populer tersebut. Selama budaya populer mampu memilihara
fantasinya yang diinginkan penikmatnya, maka selama itu pula budaya pupuler akan terus
dikonsumsi tanpa bosan. Keterlibatan budaya populer yang kita suakia akan menentukan
cara kita membentuk gaya hidup dan kehidupan kita. Dengan kata lain, , budaya pupoler
akan membukakan kepada kita tentang siapa yang tertarik, fantasi kolektif apa yang kita
miliki, skenario dan kritisisme apa yang sedang terdistribusi dalam masyarakat.
Apapu perdebatannyan, kehadiran budaya populer yang berasal dari dunia luar
konteks budaya lokal, selalu menghasilkan farian-farian sikap dan perilaku yang berbeda
pada manusia dan negara yang mengonsumsinya. Maraknya berbagai tayangan budaya
asing, yang kemudian diadopsi dan diadaptasi oleh para kapitalis produser media untuk
dapat bertemu dengan kebutuhan dan selera khalyak lokal, tetap saja menghasikan
paradoks-paradoks kebudayaan itu sendiri. Konten/isi representasi-representasi yang ada
dalam budaya global tersebut dianggap telah memengaruhi budaya masyarakat lokal,
seperti Indonesia, misalnya maraknya kemunculan fans club budaya korea, maraknya grup
musik remaja (boys-band ala korea), ramainya ajang-ajang pencarian bakat seperti
indoensia idol, X-Factor dan sebagainya.
4.2. Diskursus Global dan Lokal
Dalam banyak kasus, terminologi globalisasi sendiri menjadi perdebatan akademik
yang panjang bagi sebagian scholar di dunia. Apa pun defini yang tepat yang coba
dihasilkan dari studi-studi dan kajian yang dilakukan, teutama oleh para antropolog dunia
tersebut, banyak pihak yang kemudian sepakat bahwa terminologi globalisasi sendiri
merujuk pada saling keterhubungan global yang menunjukkan bahwa dunia ini penuh
pergerakan, intensitas keterhubungan, kontak, hubungan, dan percampuran bahkan
interaksi budaya yang sudah lama terjadi dan pertukaran-pertukaran yang intensif dan
terjadi dalam waktu yang singkat.
Saling keterhubungan yang terjadi secara intensif, terus menerus dan dalam waktu
yang begitu cepat, seolah menjadikan dunia ini tanpa batas. Tidak lagi terpisahkan dan
terkotak-kotak secara terpisah. Interkoneksi global menjadikan dunia tidak lagi berjarak
jauh, melainkan dalam jangkauan yang dapat dilakukan melalui perantara media masa,
teknologi komunikasi dan transportasi yang cepat. Mobiltas yang terjadi kemudia
mengahasilkan arus perputaran dan pertukaran yang luar biasa terhadap komunitas,
manusia, gambaran/image, budaya, ideologi, dan kapital yang berasal dari belahan dunia
ke belahan dunia lain. hasil dari pergerakan arus global ini membawa konsekuensi tidak
saja pada pergerakan atau mobilitas manusia yang begitu rapid atau cepat, melainkan
bertumpuknya kebudayan-kebuadayaan yang dikirim dan terkirim yang tanpa sadar
digerakan oleh mobilitas kapital global dan korporasi-korporasi yang tranrasional,
melewati batas teri torinya atau atau melwati batas batas dunia yang tak terbendung. Pada
akhirnya pertukaran ini seolah menyeragamkan budaya yang terjadi di dunia, atau bahkan
menimbulkan konflik yang otenstik antara budaya asli dengan budaya asing yang
tercampur dalam kehidupan masyarakat lokal.
Namun, sementara itu ketika dunia saling terhubungkan dan mobilitas
mobilitas yang terjadi dalam arus global berjalan tiap saat, masih saja adakelompok-
kelompok masyarakat dan tempat-tempat yang seolah terpisah atau termarjinalkan
posisinya dan keterhubungan global tersebut. Memangtidak setiap orang dan setiap tempat
herpartisipasi secara sama atau equaldalam perputaran keterhubungan yang terjadi di
dunia (Inda & Rosaldo, h.5). Inilah juga yang dinamakan globalisasi. Meskipun terjadi
kompresi ataumengecilnya ruang dan waktu (time-space compression).Hal yang kemudian
menjadi menarik untuk dikaji dan dicermati adalahbagaimana proses-proses globalisasi ini
dialami, dilakukan dan dirasakandalam konteks-konteks ruang atau tempat, waktu, dan
masyarakat yangberbeda. Interaksi antara budaya global dan budaya lokal dan setiap
kontekskehidupan masyarakat yang berbeda menjadi penting untuk melihatbagaimana
globalisasi itu sendiri dimaknai dan dikonsumsi sebagai bagiandan everyday social
practices masyarakat yang ada.
Variasi-variasi atau perbedaan cara-cara memaknai globalisasi dan menggunakan atau
mengonsumsi budaya global yang datang danmencampurnya dengan budaya exist atau
yang dimiliki sebelumnya. Dalamproses globalisasi, Anthony Giddens (1990)
menyebutkannya ada prosesdi mana social practices atau praktik-praktik sosial yang
dilakukan dalamwilayah lokal mempunyai relasi dengan praktik-praktik sosial dan
kejadiankejadian sosial yang terjadi dibelahan lain dunia. Proses yang disebutGiddens
sebagai “space-time distanciation” menggambarkan peregangan, ruang dan waktu
terjadinya peristiwa, kejadian, dan perilaku sosial padamasyarakat lokal yang
terhubungkan tanpa disadari pada saat yang samadengan kejadian, peristiwa, dan perilaku
sosial masyarakat di luar wilayahlokalnya atau masyarakat global. “larger and larger
numbers of people live in circumstances in which disembedded institutions, linking local
practices with globalized social relations, organize major aspects of dai-to-dai life”
(Giddens 1990:79).
Giddens lalu mendefinisikan globalisasi sebagai intensifikasi hubunganhubungan
sosial yang mendunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitasyang berjarak dalam suatu
cara yang mana peristiwa yang sedang terjadisecara lokal dibentuk oleh kejadian atau
peristiwa yang terjadi di belahanbumi yang berjarak bermil-mil jauhnya dan sebaliknya
(Giddens, 1990: 64).Dengan kata lain, Giddens menekankan bahwa bagaimana munculnya
global instantenous atau kesegeraan global dalam bidang komunikasi dantransportasi,
begitu pula dengan ekspansi dan sistem produksi danpertukaran global yang kompleks,
telah mengurangi kepemilikan lingkunganlokal terhadap kehidupan-kehidupan
manusianya. Hal inilah yang kemudian menjadikan kehidupan lokal menjadi kompleks
dengan pengaruh globalisasidan masuknya budaya global dalam konteks lokal.

4.3. Budaya global, Modernitas dan Identitas Budaya


4.3.1. Budaya populer Produk Budaya Global
Budaya Populer berasal dari kata pop yang menurut Wiliams memiliki empat
makna yaitu, banyak disukai orang, jenis kerja rendahan, karya yang dilakukan untuk
menyenangkan orang lain dan budaya yang dibuat memang untuk diri sendiri.
Berdasarkan istilah Wiliam Budaya Pop memiliki titik awal yaitu:
Pertama, budaya pop memang menyenangkan banyak orang. Kita melihat
lakunya lagu-lagu band ternama, vestifal, tik-tok dan Kpop; Kedua, mendefenisikan
budaya pop adalah dengan mempertimbangkan budaya tertinggal (rendah). Budaya pop
menurut definisinya merupakan kategori residual untuk mengakomodasi praktik budaya
yang tidak yang tidak memenuhi praktik budaya tinggi/substandar. Ketiga,
mendefinisikan budaya pop sebagai budaya masa. Budaya masa secara komersial tidak
bisa diharapkan, ia diproduksi masa untuk dikonsumsi masa. Keempat, budaya pop
adalah budaya yang berasal dari rakyat. Budaya pop adalah autentik rakyat. Budaya
pop seperti budaya daerah merupakan dari rakyat dan untuk rakyat. Defini pop sering
dikaitkan dengan kelas buruh yang sering dikaitkan dengan sumber utama protes
simbolik dalam kapitalisme kontemporer (Tumanan, 45).
Persoalan lainya adalah hakikat wacana dari mana asal-usul budaya itu
terbentuk. Budaya populer yang disebut budaya masa adalah budaya yang dihasilkan
melalui teknik-teknik industrial produksi masa yang diharapkan mengasilkan
keuntungan sebanyak-banyaknya. Budaya pop budaya yang relatif terstandarisasi,
diseragamkan untuk dikonsumsi oleh banyak orang, maka ada sebuah mekanisme yang
bekerja dalam skala global dalam praktik standarisasi. Ada mekanisme budaya
sehingga bisa diterima banyak orang. Dengan demikian budaya populer adalah budaya
masa, yang mampu menciptakan daya tarik, disukai banyak orang tanpa mengenal kelas
sosial (Kaparang, 2013,7; Tumanan, 2015, 46)

4.3.2. Budaya Global dalam Relasi dengan budaya Lokal.


Bicara tentang konsep “budaya” merupakan hal yang tidak mudah. Raymond
Williams (1976) sendiri mengakui bahwa konsep “culture” sendiri merupakan salah
satu istilah yang rumit dalam bahasa Inggris. Namun, apa pun perdebatan yang terjadi
dengan pendefinisian “culture” itu sendiri bukan menjadi fokus yang ditulis pada
bagian ini; selain keinginan untuk memberikan landasan awal tentang konsep “culture”
yang akan dibahas dalam studi ini secara keseluruhan.
Tomlinson (1999) mendefinisikan “budaya” sebagai “tatanan dalam kehidupan di
mana manusia mengkonstruksi makna melalui praktik-praktik representasi simbolik”
(Tomlinson, 1999: 18). Definisi ini menggambarkan suasana atau sphere keberadaan
bagaimana manusia memaknai kehidupannya baik secara individual maupun kolektif.
Kehidupan yang dimaksud ini meliputi dan dalam bentuk-bentuk material seperti
budaya populer, film, seni, literatur dan sebagainya yang dilakukan oleh manusia.
Dalam tradisi Antropologi sendiri, pemahaman tentang budaya pada banyak hal
biasanya direlasikan dengan realisme atau kehidupan konstruksi makna yang dihasilkan
dalam sistem masyarakat atau kehidupan budaya yang didekatkan pada kumpulan
masyarakat tertentu (particularitiesof place) yang selalu mempunyai cultural roots atau
akar-akar budaya origin dan perpaduan budaya pendatang, terutama pada masyarakat-
masyarakat imigran yang mengalami percampuran kebudayaan (e.g. Clifford, 1988,
1997, Malkki, 1992). Ide tentang “culture” atau “budaya” itu sendiri merujuk pada
kelompok orang—dari bangsa, etnisitas, suku, dan sebagainya—yang sedikit banyak
menggunakan sistem makna bersama yang dibagi untuk menginterpretasi dan
memaknai dunia. Tidak terkecuali pada kaum imigran dan pengungsi yang masuk ke
dalam suatu negara. Dalam kaitannya dengan pemaknaan dunia yang dihasilkan atau
dikonstruksi oleh setiap kelompok masyarakat tertentu, konsep “budaya” kemudian
berbeda-beda sesuai dengan konteks kelokalan dan cara-cara tertentu yang dilakukan
oleh masyarakat yang berbeda. Akhil Gupta dan James Ferguson (1992) menjelaskan
dan perspektif antropologi bagaimana setiap bangsa dan masyarakatnya membedakan
identitas dirinya dan budaya lainnya. Gupta dan Ferguson menjelaskan bahwa
persoalan perbedaan di tiap negara membedakan identitas siapa mereka dan siapa yang
tidak masuk dalam terminologi “kami” dan “mereka,” sebagai berikut:
The an trophological relation is not simply with people who are different, but
with “a different society,” “a different culture,” anti tints, inevitably, a relation
between “here” and “there.” In ail of this, the terms of opposition (“here” and
“there,” “us,” and “theni,” “our own,” and “other” societies) are taken as
received: !...] Pethaps the most obvious is the question of identity of the ‘we” that
keep coming up in phrase such as “ourselves” and “our own society.”Who is this
“we?” If the answers is, as we fear, “the West,” fliezi we must ask precisely zoizo
is to he included and excluded from this club. (...] (‘Gupta & Ferguson, 1992: 14).

Apa yang dijelaskan oleh Gupta dan Ferguson di atas rnenunjukkan bahwa
“budaya” dimiliki oleh setiap negara, setiap masyarakat regional yang mempunyai
perbedaan dan ciri khas yang berbeda dalam masyarakat nasional yang rnelingkupinya.
ltulah mengapa kemudian, setiap kebudayaan mempunyai nama atau identitas yang
dilekatkan dengan nasionalisme atau kebangsaan tertentu dan kelompok-kelompok
masyarakat yang berbeda di dunia ini. Hal ini menunjukkan pula, bahwa dalam
pemahaman budaya, ada unsur distinctive atau kekhasan yang menjadi ciri dan identitas
produser dan budaya itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Anthony Giddens (1991)
bahwa globalisasi itu sendiri telah menghasilkan lokalitas-lokalitas yang “less
dependence” atau tergantung terhadap keberadaan kehidupan budaya yang bahkan tidak
eksis dalarn konteks interaksi tatap muka atau face-to-face interaction.
Akibat meluasnya ruang dan waktu yang terjadi akibat dan proses globalisasi,
terutama terhadap budaya lokal dalam hal ini, menyebabkan terjadinya transformasi-
transformasi atau perubahan dalam budaya lokal itu sendiri.agi Giddens kemudian,
globalisasi menjadi inter locking atau saling mengunci atau menyatunya aspek global
dan lokal dalam satuan budaya yang terjadi meskipun relasi sosialnya terpisah dan
konteks lokal: “if concerns the intersection of presence and absence, the interlacing of
social events and social relations ‘at a distance’ zoitli local contextualities” Giddens,
1991: 21). Itulah kemudian mengapa, para Antropolog terutama, mendefinisikan
konsep “budaya” dalam konteks isomorfis, di mana “budaya” selalu dilekatkan dengan
keaslian atau akar di mana budaya itu muncul.
Dengan kata lain, keanekaragaman konstruksi makna yang dihasilkan dalam
representasi simbolik di tiap-tiap konteks masyarakat dunia, menjadi unsur penting
ketika menetapkan konsep “culture” itu sendiri: “culture has seen as something rooted
in “soil” (Inda & Rosaldo, 2002: 11). Budaya lalu dilekatkan dengan perbedaan
manusia mengkonseptualisasi sebagai ‘mozaik budaya,’ di mana setiap budaya itu
sendiri—yang merupakan hasil pemaknaan bersama—berada dalam posisi yang
terpisah dan mozaik budaya yang lain. Seperti yang dijelaskan oleh James Clifford
(1988) bahwa ide tentang budaya secara historis membawa makna yang didalamnya
terkandung harapan terhadap akar-akar (keasliannya), eksistensinya, dan keberadaan
teritorinya (lokalitasnya): “expectation of roots, of a stable, territorialized existence”
(Clifford, 1988: 338).
Dan sinilah muncul konsepsi de/teritorialisasi budaya yang memberikan maksud
bahwa budaya secaraterpisah tergantung kepada tempat dan kekhasan tertentu yang
terpisah dan budaya pada teritori yang lain. Pertanyaan yang pernah kemudian
dilontarkan oleh Massey (1994) apakah budaya mengalir secara seimbang atau equal
dan dan ke semua lokasi? Atau apakah diseminasi budaya terlibat dalam beberapa
bentuk yang asimetris? Dengan kata lain, apakah globalisasi telah menghasilkan
distribusi arus budaya yang sama, atau hanya budaya dominan saja yang mengalir pada
lokasi atau teritori yang lain, tidak sebaliknya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang
kemudian memunculkan penjelasan diskursus tentang ‘imperialisme budaya’ (Schiller,
1976), perspektif yang memberikan kritik tajam terhadap proses globalisasi yang terjadi
di negara-negara dunia ketiga.
Perspektif imperialism budaya mengasumsikan bahwa arus budaya global hanya
terjadi one-direction: dan negara Barat/centre menuju ke negara negara Ketiga
(periphery), lebih khususnya lagi dan Arnerika ke bagian lain dunia (flic rest of the
world). Diskursus imperialisme ini menekankan bahwa globalisasi ternyata telah
menghasilkan dominasi budaya (Barat) terhadap budaya-budaya lokal yang ada. Proses
globalisasi yang terjadi tidak asimetris ini yang akhirnya menghasilkan “cultural
homogenization” atau keseragaman budaya atau “cultural uniformity” (Tomlinson,
1999) di dunia. Seperti yang dikatakan oleh Hannerz (1991) “peripheral culture will
step hi, step assimilate more and more of the’ imported meanings and forms, becoming
gradually indistinguishable from the center” (Hannerz, 1991, dalam King, h.122).
Kondisi ini yang kemudian memaksa manusia, baik secara individual maupun kolektif,
untuk melakukan asimilasi budaya global (Western utamanya) ke dalam konteks
lokalitas budayanya. Proses asimilasi budaya global dalam konteks lokal pada akhirnya
menghasilkan konflik-konflik budaya yang ada.
Homi Bhabha (1994) menjelaskan kemudian, budaya asing yang masuk dalam
budaya lokal yang ditiru, diadopsi, dan diadaptasikemudian seolah menjadi budaya
yang seolah “sama” dengan budaya origin atau aslinya. Inilah yang kemudian
memunculkan paradoks-paradoks dalam konteks nasionalisme antara ‘mimicry’
menjadi bentuk budaya yang sama persis dan hasil mirroring atau asimilasi terhadap
budaya asing, atau proses yang kemudian terkenal dengan konsep “hybridity” atau
pencangkokan budaya, di mana masyarakat lokal melakukan penyesuaian, adaptasi
unsur budaya luar/Barat yang dapat diterima dalam proses interaksinya dengan budaya
lokal yang sudah ada dalam konteks lokal.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah I. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015
Ansari, Isa. Konstruksi dan Reproduksi Simbolik Tradisi Jawa dalam Pertunjukan
Teater Remaja di Kota Solo.Jurnal Penelitian Seni Budaya. Vol 6 No.1 Juni
2014
Aryati, Aziza. Memahami Manusia dalam dimensi Filsafat
Bourdieu, Pierre. Arena Produksi Kultur: sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Terj:
Yudi Santoso. Bantul: Kreasi Wacana, 2016.
Ermansyah. 2005. Etnoscape nuansa baru untuk etnografi di dalam Antropologi.
Jurnal antropologi Sosial BudayaETNOVISI Edisi 01.
Ida, R. Budaya Global, Modernitas, dan Identitas Budaya: perpektif Teoritik.
DalamBudaya Populer Indonesia: diskursus global/lokal dalam budaya populer
Indonesia. editor Oleh Ida RahmatSurabaya: Airlangga University Press, 2017.
Kaparang, O. Analisa Gaya Hidup Remaja Dalam Mengimitasi Budaya Pop Korea
Melalui Televisi. Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013
Karnanta, K Yudha. Paradigma Teori Arena Produksi Kultural Sastra: Kajian
Terhadap Pemikiran Pierre Bourdieu. Jurnal Poetika Vol. 1, No. 1, Juli 2013.
Kopong, K. Bahan Ajar Ilmu Budaya Dasar. Stipar: Ende, 2016
Santoso, Yudi (terj). Pierre Bourdieu: Arena Produksi Kultur, Sebuah Kajian
Sosiologi Budaya. Kreasi Wacana, 2016.
Sarinah. Ilmu Budaya Dasar (diperguruan tinggi). Yogyakarta: deepublish, 2016.
Setiardjo, Gunawan. Citra Manusia Dalam Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.
Dalam Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, editr
Darmanto & Sudarto. Jakarta: Erlangga, 1986.
Sulaeman, M. Ilmu Budaya Dasar (Pengantar ke Arah Ilmu Sosial Budaya
Dasar/ISBD Social Culture. Jakarta: Refika Aditama, 2019.
Nukha, R. Reproduksi Budaya dalam Pentas Kesenian Tradisional di Balai
Soedjatmokon. Jurnal analisa Sosiologi, April 2007, 6(1): 42-54.
Tomlinson, John. Globalization and culture. Dalam The Global Transformations
reader diedit oleh david Held & Anthony McGrew. Cambridge: Polity
Press,1999.
Tumanin, Y. Ibadah kontemporer: sebuah analisis reflektif terhadap hadirnya budaya
populer pada Gereja masa kini. Jurnal jeffray,Vol.13, No. I, April 2015.
Umanailo, M C Basrun. Ilmu Budaya Dasar. Kediri: FAM PUBLISHING

You might also like