Professional Documents
Culture Documents
Bahan Ajar IBD 2021-2022
Bahan Ajar IBD 2021-2022
BUDAYA DASAR
O
1.1. PENDAHULUAN
Semua realitas ‘yang ada’(buah tangan manusia), yang kita nikmati adalah produk
budaya. Realitas ‘yang ada’, diwarisi turun temurun dari generasi ke generasi dari waktu
ke waktu yang mencirikan identas manusia baik suku, bangsa dan ras. Dari berbagai
identitas budaya mau menjelaskan bahwa budaya merupakan panggilan kodrati manusia
untuk menata dan mengatur, berkreasi, berekpresi dan bertransformasi ke arah yang lebih
baik. Manusia yang berbudaya adalah manusia yang berkreasi dalam arena yang
membentuk kepribadian dan jati diri manusia. Berbudaya adalah sebuah pertanyaan,
ketika ada banyak aspek dan nilai yang menghegemoni dan menjadi sumber rujukan yang
diikuti oleh banyak orang. Maraknya budaya tik-tok, Q-POP, korupsi, perjudian dan
sebagainya mau menunjukkan bahwa budaya adalah sebuah proses pendidikan yang
dinikmati dan diakui serta dinikmati oleh individu dan kelompok tertentu tanpa batas-batas
nilai yang menjadi rujukan. Budaya bukan merupakan realitas yang terberikan melainkan
realitas yang ada dan melalui proses pembelajaran.
Problematisasi kebudayaan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia berkaitan
adanya berbagai sistem nilai, sistem pengetahuan serta pandangan hidup yang saling
bertentantangan satu dengan yang lain. Realitas konflik yang berkepanjangan
(radikalisme, peperangan antar bangsa), kerusakan lingkungan yang akut, Menjamurnya
sikap individualistas, ketergantungan akan teknologi dan hancurnya sekat-sekat
kehidupan sosial kemasyarakatan merupakan realitas budaya yang berubah tanpa batas
nilai yang jelas. Di saat bersamaan wacana budaya sebagai the humanities menjadi
domain tandingan akan segala krisis yang terjadi dalam kehidupan manusia. Di tengah
realitas yang tidak humanis, apakah realitas yang tidak humanis digolongkan sebagai
budaya ataukah kekurangan dari the humanities?
Dalam ilmu budaya dasar, mahasiswa tidak hanya diajarkan secara normatif apa itu
budaya. mahasiswa harus diasah untuk berpikir kritis bagaimana berbudaya yang
humanus? Bagaimana cara kerja hegemoni budaya yang mahasiswa hidupi sehingga
mahasiswa tidak mudah tergusur oleh budaya-budaya populer. Cakupan pembelajaran
ilmu budaya dasar yang menjadi prioritas dalam kuliah ini adalah budaya secara teoritis
dan budaya kontekstual baik itu sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, sistem mata
pencaharian/ekonomi, sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial, bahasa dan teknologi.
1.2. PengertianIBD
Secara sederhana Ilmu Budaya Dasar adalah pengetahuan yang diharapkan dapat
memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang
dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan. Istilah Ilmu
Budaya Dasar dikembangkan pertama kali di Indonesia sebagai pengganti istilah basic
humanities yang berasal dari istilah bahasa inggris “The Humanities”. Adapun istilah
humanities itu sendiri berasal dari bahasa latin humanus yang artinya manusia, berbudaya
dan halus. Dengan mempelajari the humanities diandaikan seseorang akan bisa menjadi
lebih manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa
the humanities berkaitan dengan nilai-nilai manusia sebagai homo humanus atau manusia
berbudaya. Agar manusia menjadi humanus, mereka harus mempelajari ilmu yaitu the
humanities disamping itu tidak meninggalkan tanggung jawabnya yang lain sebagai
manusia itu sendiri.
Latar belakang diberikannya mata kuliah IBD dalam konteks budaya, Negara dan
masyarakat Indonesia
• Kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dengan
segala keanekaragaman budaya
• Membangunan telah membawa perubahan dalam masyarakat yang
menimbulkan pergeseran system nilai budaya dan sikap yang mengubah
anggota masyarakat terhadap nilai-nilai budaya
• Kemajuan dalam bidang teknologi komunikasi massa dan transportasi,
membawa pengaruh terhadap intensitas kontak budaya antarsuku maupun
dengan kebudayaan dari luar.
Latar belakang diberikan mata kuliah IBD dalam konteks budaya lokal
terlebih khusus di NTT sebagai berikut:
Ilmu Sosial:
1. Antrop. Sosial
2. Ekonomi
3. Sosiologi
4. Politik
5. Sos. Hukum
6. Psikologi
7. Demografi
Pengetahuan Budaya:
1. Agama
2. Antrop. Budaya
3. Kesusasteraan
4. Peng. Hukum
5. Sejarah
6. Filsafat
Ilmu Alamiah:
1. Biologi
2. Kedokteran
3. Astronomi
4. Kimia
5. Fisika
6. Matematika
POHON ILMU
PENGETAHUAN
Dari klasifikasi pengetahuan di atas (pada tabel dan gambar “Pohon Ilmu Pengetahuan”), kita
dapat pula membedakan: The Humanities &Basic Humanities sebagaimana yang tertera pada tabel
berikut:
1. Pengetahuan Mengkaji masalah nilai manusia sebagai Mencakup keahlian 1. “Humanities” (Bahasan
Budaya makhluk berbudaya (Homo Humanus) (disiplin) seni dan Latin) “humanus”=
filsafat. “manusia berbudaya dan
(The Seseorang akan bisa menjadi lebih
halus”.
Humanities) manusiawi, lebih berbudaya, dan lebih
halus.
2. Persamaan dalam metode
2. IBD (basic Seseorang memiliki pengetahuan dasar Mencakup keahlian pedekatannya yaitu
humanities) dan pengertian umum tentang konsep- (disiplin) sejarah, melalui pengungkapan
Dari perbandingan di atas dapat diketahui bahwa baik The Humanities maupun Basic
Humanities dalam pembicaraannya akan berkaitan dengan budaya. Hanya saja masalah
budaya yang dibicarakan pada Ilmu Budaya Dasar (Basic Humanities) adalah segala sistem
atau tata nilai, sikap mental, pola pikir, pola tingkah laku dalam berbagai aspek kehidupan
yang tidak memuaskan secara keseluruhan (dehumanisasi).
Tujuan Ilmu Budaya Dasar tersebut di atas sesuai dengan pilar-pilar pembelajaran
yang dikemukakan UNESCO. UNESCO (1988) dalam rangka meningkatkan mutu dan
hasil pendidikan, mendeklarasikan 4 pilar pembelajaran, yaitu: (1) Learning to KNOW
(pembelajaran untuk TAHU); (2) Learning to DO (pembelajaran untuk BERBUAT); (3)
Learning to BE (pembelajaran untuk MENJADI); dan (4) Learning live TOGETHER
(pembelajaran untuk HIDUP bersama secara HARMONIS). Jadi, Misi-misi ini
khususnya learning live together sangat mendukung dalam bidang ilmu-ilmu sosial
humaniora.
Jika diperinci maka tujuan pengajaran ilmu budaya dasar itu adalah :
1. Menimbulkan minat untuk mendalaminya.
2. Lebih peka dan terbuka terhadap masalah kemanusiaan dan budaya, serta lebih
bertanggung jawab terhadap masalah-masalah tersebut.
3. Mengusahakan kepekaan terhadap nilai-nilai lain untuk lebih mudah
menyesuaikan diri.
4. Menyadarkan mahasiswa terhadap nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,
hormat menghormati serta simpati pada nilai-nilai yang hidup pada masyarakat.
5. Dengan ringkas dapat disebutkan bahwa tujuan IBD adalah Perlunya melakukan
pembentukan pemikiran yang khususnya berkenaan dengan Kebudayaan dan
Kemanusiaan,agar daya tanggap, persepsi dan penalaran berkenaan dengan
lingkungan budaya dapat diperluas.
1.7. Ruang lingkup IBD
Dua Pokok Masalah yang digunakan sebagai bahan pertimbangan Ruang Lingkup
Ilmu Budaya Dasar, yaitu:
1. Berbagai aspek kehidupan yang seluruhnya merupakan ungkapan masalah
kemanusiaan dan budaya yang dapat didekati dengan menggunakan pengetahuan
budaya (the humanities), baik dari segi masing-masing keahlian (disiplin) di dalam
pengetahuan budaya, maupun gabungan (antar bidang) berbagai disiplin dalam
pengetahuan budaya.
2. Hakekat manusia yang satu dan universal, akan tetapi yang beranekaragam
perwijudannya dalam kebudayaan masing-masing jaman dan tempat.
Dalam melihat dan menghidupi lingkungan alam, sosial dan budaya, manusia tidak
hanya mewujudkan keseragaman, akan tetapi juga keanekaragaman yang diungkapkan
secara tidak seragam baik dalam berbagai bentuk dan corak ungkapan, pikiran, perasaan,
tingkah laku dan hasilnya. Dalam konteks IBD, manusia mempunyai peran sentral, sebab
manusia tidak hanya sebagai subyek tetapi juga sebagai obyek kajian. Bagaimana
hubungan manusia dengan alam, dengan sesamanya, dengan dirinya sendiri, nilai-nilai
manusia, dan bagaiman pula hubungan manusia dengan Tuhan menjadi tema sentral
dalam IBD. Karena itu perlu “bahasa bersama” yang bisa dipahami oleh semua pihak
yang terwujud dalam 7 issue penting dalam Mata Kuliah IBD.
Keindahan itu merupakan sutu konsep yang abstrak, karena keindahan itu baru
bisa dinikmati jika memiliki koneksi dengan suatu wujud tertentu.Karena itu agaknya
sedikit sulit untuk mendefeinisikan keindahan.Walaupun abstrak dan sulit namun bisa
ditelusuri definisi atau arti yang diberikan oleh The Liang Gie. Menurut The Liang
Gie bahwa dalam bahasa Inggris keindahan itu diterjemahkan dengan kata
“beutiful” dalam bahasa Prancis “beau” sedangkan Italia dan Spanyol “bello”
berasal dari kata latin “bellum”.Akar katanya adalah bonum yang berarti kebaikan,
kemudian mempunyai bentuk pengecilan menjadi “bonellum” dan terakhir
diperpendek sehingga ditulis “bellum”.
Salah satu jawaban mencari ciri-ciri umum yang ada pada semua benda yang
dianggap indah dan kemudian menyamakan ciri-ciri atau kualitas hakiki itu dengan
pengertian keindahan.Jadi keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualitas pokok
tertentu yang terdapat pada suatu hal.Kualitas yang paling sering disebut adalah suatu
kesatauan (unity) keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry) keseimbangan
(balance) dan perlawanan (contrast).Karena itu dapat disimpulkan bahwa keindahan
tersusun dari berbagai keselarasan dan kebaikan dari garis, warna, bentuk, nada dan
kata-kata.Keindahan juga adalah suatu kumpulan hubungan-hubungan yang selaras
dalam suatu benda dan diantara benda itu dengan si pengamat.
Cinta: rasa sangat suka (kepada) atau (rasa) sayang (kepada) ataupun (rasa)
sangat kasih atau sangat tertarik hatinya.
Kasih: perasaan sayang atau cinta kepada atau menaruh belas kasihan.
Dengan demikian arti cinta dan kasih hampir bersamaan, sehingga kata kasih
memperkuat rasa cinta.Karena itu cinta kasih dapat diartikan sebagai perasaan suka
(sayang) kepada seseorang yang disertai dengan menaruh belas kasihan.Walaupun
cinta kasih mengandung arti hampir bersamaan, namun terdapat perbedaan antara
keduanya. Cinta lebih mengandung pengertian “mendalamnya rasa”, sedangkan kasih
lebih “keluarnya”; dengan kata lain bersumber dari cinta yang mendalam itulah kasih
dapat diwujudkan secara nyata.
KEIN
TIMA
NAN
Cinta juga sangat diwarnai dengan kemesraan yang sangat menggejolak, tetapi
unsur keintiman dan ketertarikan sangat kurang atau lemah. Cinta seperti ini dikatakan
cinta yang pincang karena garis-garis unsur cintanya tidak tidak sama kuat sehingga
tidak membuat segi tiga sama sisi. Cinta yang pincang ini dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar: Cinta yang Pincang
Cinta adalah fitrah manusia! Karena tidak ada manusia tanpa cinta dan
sebaliknya tidak ada cinta tanpa manusia. Cinta yang dimiliki oleh manusia pada
dasarnya dapat diklasifikasikan menurut tingkatannya, yaitu:
1. Cinta Allah
2. Cinta orangtua, saudara, sahabat
3. Cinta harta benda (materi)
Tingkatan cinta itu dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
III
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa tingkatan cinta yang paling tinggi adalah
No. I yaitu cinta kepada Allah, kemudian diikuti No. II cinta kepada orangtua,
saudara, sahabat, dll dan yang paling rendah adalah No. III yaitu cinta pada harta
benda atau materi.
Kong Hu Cu perpendapat lain, keadilan terjadi apabila anak sebagai anak, bila ayah
sebagai ayah, bila raja sebagai raja, masing-masing telah melaksanakan kewajibannya.
Pendapat ini terbatas pada nilai-nilai tertentu yang sudah diyakini atau disepakati.
Menurut pendapat yang lebih umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan
dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada
keharmonisan menuntut hak dan menjelankan kewajiban. Atau dengan kata lain,
keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan
setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan bersama.
Berdasarkan kesadaran etis, kita diminta untuk tidak hanya menuntut hak dan lupa
menjalankan kewajiban. Jika kita hanya menuntut hak dan lupa menjalankan
kewajiban, maka sikap dan tindakan kita akan mengarah pada pemerasan dan
memperbudak orang lain. Sebaliknya pula jika kita hanya menjelankan kewajiban dan
lupa menuntut hak, maka kita akan mudah diperbudak atau diperas orang lain.
2. Keadilan distributif
Aristoteles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bila mana hal-hal yang sama
diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is
done when equals are treated equally).
3. Keadilan komutatif
Keadilan ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum.
Bagi Aristototeles pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertibaban
dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan
ketidakadilan akan merusak atau bahka menghancurkan pertalian dalam masyarakat.
1.7.3. Manusia dan Tanggungjawab
a. Pengertian Tanggung Jawab
Seseorang mau bertanggung jawab karena ada kesadaran atau keinsafan atau
pengertian atas segala perbuatan dan akibatnya dan atas kepentingan pihak lain.
Timbulnya tanggung jawab itu karena manusia itu hidup bermasyarakat dan hidup
dalam lingkunngan alam. Manusia tidak boleh berbuat semaunya terhadap manusia
lain dan terhadap alam lingkungannya. Manusia menciptakan keseimbangan,
keserasian, keselarasan antara sesama manusia dan antara manusia dan lingkungan.
Tanggung jawab iru bersifat kodrati artinya sudah bagian kehidupan manusia
bahwa seriap manusia pasti dibebani dengan tanggung jawab. Apabila ia tidak mau
bertanggung jawab, maka ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab itu.
Dengan demikian tanggung jawab itu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari pihak sis
yang berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain. Dari sisi si pembuat ia harus
menyadari akibat perbuatannya itu, dengan demikian sendiri yang harus memulihkan
kedalam keadaan baik. Dari sisi pihak lain, apabila si pembuat tidak mau bertanggung
jawab, pihak lain yang akan memulihkan baik dengan cara indivindual maupun
dengan cara kemasyarakatan.
Apabila dikaji tanggung jawab itu adalah kewajiban atau beban yang harus
dipikul atau dipenuhi sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat, atau sebagai
akibat dari perbuatan pihak lain, atau sebagai pengabdian, pengorbanan dari pihak
lain. Kewajiban atau beban itu ditunjukan untuk kebaikan pihak yang berbuat sendiri,
atau pihak lain dengan keseimbangan, keserasian, keselarasan antara sesama manusia,
antara manusia dan lingkungan, antara manusia dan Tuhan selalu dipelihara dengan
baik.
Setiap orang memiliki tanggung jawab dalam kehidupan bersama entah itu
ringan, sedang, mapun berat.Tanpa mempedulikan itu, tetapi yang namanya
tanggung jawab harus benar-benar dilaksanakan.Tanggung jawab dapat dibedakan
menurut kedaan manusia atau hubungan yang dibuatnya. Atas dasar ini, lalu dikenal
beberapa jenis tanggung jawab, yaitu:
1. Tanggung jawab terhadap diri sendiri
Setiap orang tanpa kecuali harus memiliki tanggung jawab atas dirinya
sendiri.Tanggung jawab terhadap diri sendiri menuntut kesadaran setiap orang
untuk memenuhi kawajibannya.Dengan demikian bisa memecahkan masalah-
masalah kemanusiaan mengenai dirinya sendiri menurut sifat dasarnya
manusia adalah makhluk bermoral, tetapi manusia juga seorang pribadi.Karena
merupakan seorang pribadi maka manusia mempunyai pendapat sendiri,
perasaan sendiri angan-angan sendiri.Sebagai perwujudan dari pendapat,
perasaan dan angan-angan itu manusia berbuat dan bertindak.Dalam hal ini
manusia tidak luput dari kesalahan, kekeliruan, baik disengaja maupun tidak.
c. Dampak Penderitaan
1. Pandangan hidup yang berasal dari agama yaitu pandangan hidup yang
mutlak kebenaranya.
2. Pandangan hidup yang berupa ideologi yang disesuaikan dengan
kebudayaan dan norma yang terdapat pada Negara tersebut.
3. Pandangan hidup hasil renungan yaitu pandangan hidup yang relatif
kebenaranya.
1. Dorongan Kodrat
Kodrat ialah sifat, keadaan, atau pembawaan alamiah yang sudah terjelma
dalam diri manusia sejak manusia itu diciptakan oleh Tuhan.Misalnya
menangis, bergembira, berpikir, berjalan, berkata, mempunyai keturunan dan
sebagainya.Setiap manusia mempunyai kemampuan untuk itu semua.
Dorongan kodrat menyebabkan manusia mempunyai keinginan atau
harapan, misalnya menangis, tertawa, bergembira, dan sebagainya.Seperti
halnya orang yang menonton petunjuk lawak, mereka ingin tertawa, pelawak
juga mengharapkan agar penonton tertawa, pelawak juga mengharapkan agar
penonton tertawa terbahak-bahak.Apabila penonton tidak tertawa, harapan
kedua belah pihak gagal, justru sedilah mereka.
Kodrat juga terdapat pada binatang dan tumbuh-tumbuhan, karena binatang
dan tumbuhan perlu makan, berkembang biak dan mati. Yang mirip dengan
kodrat manusia ialah kodrat binatang, walaupun bagaimanapun juga besar sekali
perbedaannya.Perbedaan antara kedua makhkuk itu, ialah manusia memiliki
budi dan kehendak.Budi ialah akal, kemamapuan untuk memilih. Kedua hal
tersebut tidak dapat dipisahkan, sebab bila orang akan memilih, ia harus
mengetahui lebih dahulu barang yang dipilihnya. Dengan budinya manusia
dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan
mana yang salah, dan dengan kehendaknya manusia dapat memilih.
Dalam diri manusia masing-masing sudah terjelma sifat, kodrat
membawakan dan kemampuan untuk hidup bergaul, hidup bermasyarakat atau
hidup bersama dengan manusia lain. Dengan kodrat ini, maka manusia
mempunyai harapan.
b. Keamanan (safety)
d. Status
Setiap manusia membutuhkan status. Siapa, untuk apa, mengapa manusia hidup.
Dalam lagu “untuk apa “ada lirik yang berbunyi “aku ini anak siapa, mengapa
aku dilahirkan“. Dari bagian lirik itu kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa
setiap manusia yang lahir di bumi ini tentu akan bertanya tentang statusnya.
Status keberadaanya.Status dalam keluarga, status dalam masyarakat, dan status
dalam negara. Status itu penting, karena dengan status orang tahu siapa dia.
Harga diri orang antara lain melekat pada pada status orang lain. Misalnya ada
anak haram, biarpun anak haram itu tingkah lakunya baik dan tidak berdosa
sebab yang berdosa orang tuanya, namun masyrakat tetap memberikan cap yang
negatif.Bahkan ada oarng yang berpendapat jangan memberi makan/pertolongan
kepada anak haram. Alangkah kejamnya manusia itu dengan adanya harapan
untuk memperoleh status ini bearti oarang menguasai hak milik nama baik,
ingin berprestasi, ingin mengingatkan harga diri, dan sebagainya.
2.1. Manusia
2.1.1. Konsep tentang manusia
Manusia dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan yang tidak bisa
dipisahkan dalam kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna
menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan melestarikannya secara turun temurun.
Budaya tercipta dari kegiatan sehari-hari dan juga dari kejadian-kejadian yang sudah
diatur oleh yang Maha Kuasa. Namun siapakah itu manusia sebenarnya? Manusia di dunia
itu memegang peranan yang unik dan dapat dipandang dari beberapa segi, misalnya
manusia di pandang dari sebagai kumpulan dari partikel-partikel atom yang membentuk
jaringan-jaringan sistem (ilmu kimia). Manusia merupakan makhluk biologis yang
tergolong mamalia, yang merupakan salah satu komponen kehidupan alam yang
menyeluruh yang tidak terpisahkan (ilmu biologi). Manusia sebagai makhluk sosial yang
tidak dapat berdiri sendiri (ilmu sosiologi).
Dalam beberapa disipilin ilmu maupun pandangan mencoba mendefinisikan
manusia dalam konsep yang diyakininya
a. Aliran materialisme
Aliran materialisme menolak adanya jiwa, menolak keabadian. Menurut Carvaka
semua itu berasal dari materi, termasuk jiwa dan kesadaran. Manusia hanyalah
material, akibat dari proses unsur-unsur kimia.
b. Aliran spritualitas
Manusia tidak dipandang melulu sebagai benda. Dalam diri manusia terdapat
suatu prinsip yang bukan resultante dari suatu proses kimiawi belaka. Menurut
plato dalam ajaran dualismenya manusia terdiri dari jiwa dan badan. Sedang
aristoteles terkenal dengan hylemorfisme. Mengatakan segala sesuatu terdiri atas
hyle-bahan dan morfe-bentuk. Menurut Aristoteles jiwa dan badan dianggap
sebagai dua aspek yang menyangkut satu substansi saja. Keduanya berperan
sebagai potensi dan aktus. Kita dapat mengatakan bahwa badan adalah potensi
dan jiwa berfungsi sebagai aktus.
c. Aliran eksistensialisme
Aliran eksistensialisme melihat segala sesuatu berpangkalan pada eksistensi, cara
khas manusia ada di dunia. Soren Kierkegaard seorang aliran eksistensialisme
mengatakan manusia sebagai realitas yang konkrit dihadapan Tuhan dengan
menyadari keadaann dosanya. Jean Paul Sartre menyatakan bahwa kebenaran
mutlah dan pokok eksistensialisme adalah “saya berpikir maka saya ada”
(Descartes).
d. Aliran fenemenologi
Aliran fenomenologi melihat manusia sebagai fenomena/penampakan/gejala yang
mencoba melihat manusia sedalam-dalamnya dalam realitas, dalam perjumpaan
dengan realitas-realitas. Sejauh realitas itu masih menutup atau menyembunyikan
diri, manusia bertanya terus.
Karena banyak definisi dari berbagai aspek yang berbeda, maka ada kesulitan
untuk mendefinisikan: “Siapah manusia itu sebenarnya?” Untuk menjelaskan siapakah
manusia, maka dibutuhkan penelusuran untuk mengetahui unsur-unsur pembentuk
manusia. Manusia itu terdiri dari empat unsur yang saling terkait, yaitu:
a. Jasad: badan kasar manusia yang nampak pada luarnya, dapat diraba dan difoto, dan
menempati ruang dan waktu.
b. Hayat: mengandung unsur hidup, yang ditandai dengan gerak.
c. Ruh: bimbingan dan pimpinan Tuhan, daya yang bekerja secara spiritual dan
memahami kebenaran, suatu kemampuan mencipta yang bersifat konseptual yang
menjadi pusat lahirnya kebudayaan.
d. Nafs dalam pengertian diri atau keakuan, yaitu kesadaran tantang diri sendiri
(Asy’arie 1992: 62-84).
Selanjutany jika dilihat bahwa sebagai satu kepribadian, maka dalam diri manusia
mengandung tiga unsur, yaitu:
1. Id, yang merupakan struktur kepribadian yang paling primitif dan paling nampak. Id
merupakan libido murni, atau energi psikis yang menunjukan ciri alami yang
irrasional dan terkait dengan sex, yang secara instingtual merupakan proses-proses
ketidaksadaran (unconcious). Id tidak berhubumgan dengan lingkungan luar diri,
tetapi terkait dengan struktur lain kepribadian yang ada pada gilirannya menjadi
mediator antara insting Id dengan dunia luar. Terkukung dari realitas dan pengaruh
sosial, Id diatur oleh prinsip kesenangan, mencari kepuasan instingtual libidal yang
harus dipenuhi baik secara langsung melalui pengalaman seksual, atau tidak langsung
melalui mimpi atau khayalan. Proses pemenuhan kepuasan yang disebutkan terakhir
yang dilakukan secara tidak langsung disebut sebagai proses primer. Objek yang
nyata dari pemuasan kebutuhan langsung dalam prinsip kesenangan ditentukan oleh
tahap psikoseksual dari perkembangan individual.
2. Ego, merupakan bagian atau struktur kepribadian yang pertama kali dibedakan dari
Id, sering kali disebut sebagai kepribadian “eksekutif” karena peranannya dalam
menghubungkan energi Id ke dalam saluran sosial yang dapat dimengerti oleh orang
lain. Perkambangan ego terjadi antara usia satu dan dua tahun, pada saat anak secara
nyata berhubungan dengan lingkungannya. Ego diatur oleh prinsip realitas, ego sadar
akan tuntunan lingkungan luar, dan mengatur tingkah laku sehingga dorongan
instingtual Id dapat dipuaskan dengan cara yang dapat diterima. Pencapaian obyek-
obyek khusus untuk mengurangi energi libidinal dengan cara yang dalam lingkungan
sosial dapat diterima disebut sebagai proses sekunder.
3. Superego, merupakan struktur kepribadian yang paling akhir, muncul kira-kira pada
usia lima tahun. Dibandingkan dengan Id dan ego, yang berkembang secara intrnal,
dalam diri individu, superego terbentuk dari lingkungan eksternal. Jadi superego
merupakan kesatuan standar-standar moral yang diterima oleh ego dari sejumlah agen
yang mempunyai otoritas di dalam lingkungan luar diri, biasanya merupakan asimilasi
dari pandangan-pandangan orang tua. Baik aspek negatif maupun positif dari standar
moral tingkah laku ini diwakilkan atau ditunjukan oleh superego. Kode moral positif
disebut ego ideal, suatu perwakilan dari tingkah laku yang tepat bagi individu untuk
dilakuakan. Kesadaran membentuk aspek negatif dari superego, dan menentukan hal-
hal mana yang termasuk dalam kategori tabu, yang mengatur bahwa penyimpangan
dari aturan tersebut akan menyebabkan dikenakannya sanksi. Superego dan Id berada
dalam kondisi konflik langsung, dan ego menjadi penengah atau mediator. Jadi
superego menunjukkan pola aturan yang dalam derajat tertentu menghasilkan kontrol
diri melalui sistem imbalan dan hukuman yang terinternalisai (Brennam, 1991:205-
206).
Dari uraian di atas dapat mengkaji aspek tindakan manusia dengan analisa
hubungan antara tindakan dan unsur-unsur manusia. Seringkali, misalnya orang senang
terhadap penyimpangnan terhadap nilai-nilai masyarakat dapat diidentifikasi bahwa orang
tersebut lebih dikendalikan oleh Id dibandingkan superego-nya, atau sering kali ada
kelainan yang terjadi pada manusia misalnya orang yang berparas buruk dan bertubuh
pendek berani tampil ke muka umum, dapat diterangkan dengan mengacu pada unsur nafs
(kesadaran diri) yang dimiliki oleh manusia. Kesemua unsur tersebut dapat digunakan
sebagai alat analisa bagi tingkah laku manusia.
Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk hidup yang paling sempurna,
melebihi ciptaan Tuhan yang lain. manusia terdiri dari jiwa dan raga yang dilengkapi
dengan akal dan pikiran serta hawa nafsu. Tuhan menanamkan akal dan pikiran kepada
manusia agar dapat digunakan untuk kebaikan mereka masing-masing dan untuk orang
disekitar mereka. Manusia diberikn hawa nafsu agar mampu tetap hidup di bumi ini.
Menurut para pemikir dan ahli filsafat manusia memliki hakekat sebagai berikut:
Kata budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu budhayah yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi dengan arti budi atau akal. Sedangkan dalam bahasa inggris budaya
dikenal dengan kata culture yang berasal dari bahasa latin yaitu colore yang berarti mengolah
atau mengerjakan. Istilah cultur sendiri juga digunakan dalam bahasa Indonesia dengan kata
serapan ‘kultur’. Budaya dikaitkan dengan bagian dari budi dan akal manusia. Budaya
merupakan pola atau cara hidup yang terus berkembang oleh sekelompok orang dan
diturunkan pada generasi berikutnya.
Seorang antropolog inggris bernama E.B Taylor mendefenisikan budaya sebagai suatu
kompleks yang mencakup pengetahuan dan kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat dan lainnya yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat; menurut
Clyde Kluckhon dan William Henderson Kelly dalam bukunya The concept of culture adalah
sebuah rancangan hidup yang diciptakan secara historis baik secara eksplisit, implisist,
rasional dan nonrasional, yang ada pada waktu tertentu sebagai panduan potensial dalam
perilaku manusia. Koentjaraningrat seorang antropolog Indonesia mendefenisikan budaya
lewat asal kata budaya dalam bahasa inggris yaitu ‘colore’ yang kemudian menjadi ‘culture’
dan difenisikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah
alam; sementara Ki Hajar Dewantara mendefinisikan budaya sebagai buah budi manusia
yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan
alam. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai berikut
1. Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaaan batin (akal budi manusia),
seperti: kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat.
2. Kebudayaan adalah seluruh pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
digunakan untuk memahami lingkungan dan pengelamannya serta yang menjadi
pedoman tingkah lakunya.
3. Kebudayaan adalah hasil akal budi dari alam sekelilingnya dan dipegunakan bagi
kesejahteraan hidupnya.
Dari definisi kebudayaan di atas dapat dinyatakan bahwa inti pengertian kebudayaan
mengandung beberapa ciri pokok, yaitu sebagai berikut:
Dengan demikian esensi dari suatu budaya terdiri dari sikap (perbuatan) yang sudah
terpola atau seleksi serta mengandung nilai dan makna. Nilai dan makna tersebut menjadi
norma dan pandangan hidup bersama suatu kelompok masyarakat.
Tidak ada suatu budayapun di dunia ini yang tidak berwujud. Ada beberapa wujud
budaya, antara lain:
1. Wujud ideal dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba ataupun difoto.
Wujud ini lebih bersifat ide-ide atau gagasan yang ada di dalam kepala para anggota
masyarakatnya. Gagagsan-gagasan tersebut merupakan bagian dari suatu sistem yang
tidak bisa lepas dari bagian lainnya yang disebut dengan sistem budaya.
2. Sistem sosial, hal ini dengan tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem ini
meliputi aktivitas-aktivitas manusia sehari-hari, seperti berinteraksi atau bergaul
sesuai dengan pola-pola berdasarkan adat masing-masing masyarakat. Dibandingkan
wujud yang pertama, sistem sosial ini bersifat lebih konkret.
3. Kebudayaan fisik, di antara ketiga wujud kebudayaan, wujud yang ketiga inilah yang
paling konkret karena wujud ini berupa hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya
manusia dalam sebuah masyarakat. Hal tersebut berupa benda-benda yang dapat
dilihat, diraba dan didokumentasikan Koentjaraningrat, 2000:88).
Ketiga wujud kebudayaan tersebut secara teoritis dapat dipisahkan atas penggolongan
tertentu, tetapi dalam tataran parktis satu dengan yang lain saling terkait dan saling
melengkapi. Mulai dari yang paling abstrak seperti idea sampai dengan yang paling konkrit
seperti benda dan peralatan kerja yang bermanfaat bagi manusia.
Sedangkan unsur kebudayaan, antara lain: (a) Bahasa; (b) Sistem pengetahuan; (c)
Organisasi sosial; (d) Sistem peralatan hidup; (e) Sistem mata pencaharian hidup; (f) Sistem
religi; dan (g) Kesenian (Kuswarno, 2008:9).
Secara sederhana hubungan antara manusia dan kebudayaan adalah: manusia sebagai
perilaku kebudayaan, dan kebudayaan merupakan obyek yang dilaksanakan manusia. Tetapi
apakah sesederhana itu hubungan keduanya?
Di sisi lain, hubungan antara manusia dan kebudayaan ini dapat dipandang setara
dengan hubungan antara manusia dengan masyarakat dinyatakan sebagai dialeksis,
maksudnya saling terkait satu sama lain. Proses dialeksis ini tercipta melalui 3 tahap yaitu:
Kebutuhan manusia yang beraneka ragam, baik kebutuhan primer, sekunder maupun
tersier telah melahirkan idea (gagasan) yang kemudian membentuk suatu sistem
pengetahuan.Pengetahuan itu kemudian menjadi pedoman hidup yang berguna untuk usaha
pemenuhan kebutuhan manusia.Dalam hal itu, kebudayaan berkaitan erat dengan usaha-usaha
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia, unsur-unsur kebudayaan (sebagai suatu sistem)
saling berkaitan satu dengan yang lainnya.Hanya dalam keterkaitan unsur-unsur tesebut
seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara untuh.
BAB III
ARENA PRODUKSI DAN REPRODUKSI KULTUR
3.1.1. Habitus
Bourdieu mendefenisikan habitus sebagai
a. Bertahan lama, dalam artian bertahan di sepanjang rentang waktu tertentu dari
kehidupan seorang agen;
b. Bisa dipindah alihkan dalam arti sanggup melahirkan praktik-praktik di berbagai
arena aktivitas yang beragam;
c. Merupakan struktur yang distrukturkan dalam arti mengikutsertkan kondis-kondisi
sosial objektif pembentukannya atau mampu melahirkan praktik-praktik yang sesuai
dengan situasi-situasi khusus dan tertentu.
Kendati demikian, habitus tidak menutup kemungkinan bagi para agen untuk
melakukan kalkulasi strategis, hanya saja caranya berfungsi agak berbeda meminjam kata
Bourdieu sendiri,
“sistem disposisi ini sebuah masa lalu yang ada sekarang yang cenderung
menghadirkan lagi dirinya di masa depan dengan mengaktifkan kembali dalam
praktik-praktik yang distrukturkan secara sama.”
Maka bisa dibaca bahwa disposisi dalam pandangan Bourdieu mengacu pada tiga hal
yaitu: pertama, hasil praktik pengaturan yang setara dengan definisi struktur, kedua, cara
berada agen-agen terkait kebiasaan-kebiasaannya, ketiga, kecenderungan atau tendensi.
Selajutnya habitus sebagai basis generatif bagi praktik mengandung makna bahwa agen sosial
melakukan praktik dan bersosialisasi dengan struktur sosialnya melalui habitus. Artinya
habitus berada pada struktur subjektif; ia diperoleh dari hasil pembelajaran Atau internalisasi
struktur objektif. Habitus mengambil skemanya dari struktur objektif atau arena sosial,
namun tidak berarti habitus memproduksi total skema yang membentuknya, melainkan
berdialketika dengan skema-skema yang lebih dulu terinternalisasi dalam struktur subjektif
individu. Habitus merupakan konstruksi perantara, bukan konstruksi pendeterminasi; habitus
tetap memberikan peran kreatif aktor untuk berimprovisasi, bebas dan otonom. Habitus
adalah sistem skema produksi praktik sekaligus sistem skema persepsi dan apresiasi atas
praktik.
Habitus sebagai sistem disposisi akan menghasilkan perbedaan gaya hidup dan
praktik-praktik kehidupan, sesuai dengan pengelaman dan proses internalisasi agen dalam
berinteraksi dengan agen lain dan maupun struktur objektif tempat dia berada. Sekumpulan
pola yang terinternalisasi tersebut mencakup berbagai prinsip klasifikasi, seperti baik-buruk,
benar salah, rasional-irasional. Skema-skema habitus menyatu pada nilai-nilai dan gerak
tubuh yang paling otomatis seperti cara berjalan, cara makan, maupun gaya bicara.
3.1.2. Arena
Menurut Bourdieu, pembentukan sosial apapun distrukturkan melalui serangkaian
arena yang terorganisasi secara hierarkis (arena ekonomi, arena pendidikan, arena politik,
arena kultur dan lain sebagainya). Arena-arena didefinisikan sebagai ruang yang terstruktur
dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasi-relasi kekuasannya sendiri,
yang terlepas dari kaidah politik dan kaidah ekonomi, kecuali dalam kasus arena ekonomi
dan arena politik itu sendiri. Arena dalam produksi kultur menampilkan sebuah realitas
keterhubungan posisi yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lain. Di dalam
arena apapun, agen-agen yang menempati berbagai macam posisi tersedia (atau yang
menciptakan posisi-posisi baru) terlibat dalam kompetensi yang memperebutkan kontrol
kepentingan atau sumber daya yang khas dalam arena yang bersangkutan. Di arena ekonomi
misalnya, agen-agen saling bersaing demi modal ekonomi melalui berbagai strategi investasi
dengan menggunakan akumulasi modal ekonomi.Bourdieu melihat modal sebagai pendasaran
tentang konsep masyarakat sebagai kelas, dimana jumlah modal yang dimiliki oleh
masyarakat menentukan keanggotaannya di kelas sosial. Modal juga dapat dijadikan sebagai
alat untuk memproduksi kekuasaan dan ketidaksetaraan.
Namun, kepentingan dan sumber daya yang dipertaruhkan di dalam arena tidak selalu
berbentuk materi, kompetensi di antara agen-agen. Bourdieu lalu mengembangkan kekuasaan
simbolik berdasarkan bentuk-bentuk modal yang tidak bisa direduksi menjadi sekadar modal
ekonomi. Ada dua jenis modal yang sangat penting di dalam arena produksi kultural, yaitu
a. Modal simbolis yang mengacu kepada derajat akumulasi prestise, ketersohoran,
konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun di atas dialektika pengetahuan dan
pengenalan.
b. Modal kultur menyoroti bentuk-bentuk pengetahuan kultural, kompetensi-
kompetensi dan disposisi-disposisi tertentu. Di dalam distinction, tempat konsep
ini diulas dengan rinci, Bourdieu mendefinisikan modal kultural sebagai suatu
bentuk pengetahuan, suatu kode internal atau suatu akusisi kognitif yang
melengkapi agen sosial dengan empati terhadap, apresiasi terhadap, atau
kompetensi di dalam. Ia menyatakan bahwa ‘sebuah karya seni mengandung
makna dan kepentingan hanya bagi orang yang memiliki kompetensi kultur, yakni
kode, tempat ke mana karya itu dikodekan. Kepemilikan terhadap kode atau
modal kultural ini, diakumulasi melalui suatu proses panjang akusisi atau
kalkulasi yang mencakup tindakan pedagogis ke keluarga atau anggota kelompok
(pendidikan keluarga), anggota-anggota terdidik formasi sosial (pendidikan yang
tersebar) dan lembaga-lembaga sosial (pendidikan yang terlembagakan)
Kepemilikan modal ekonomi tidak serta merta mengimplikasikan kepemilikan modal
kultural atau simbolis, dan sebaliknya.Bourdieu bahkan menganalisis arena produksi kultural
sebagai dunia ekonomi yang terbalik. Menginvestasikan modal seseorang (akademis,
kultural, simbolis) dengan cara sedemikan rupa untuk mendapat keuntungan atau laba
maksimum dari partisipannya di dalam arena tersebut. Arena sebagai area pertarungan dan
perjuangan, dimana setiap arena pasti memiliki aturan main dan logikanya sendiri-sendiri
serta semua arena dapat membangkitkan kayakinan bagi para aktor mengenai sesuatu yang
dipertaruhkan. Seorang dapat berhasil di sebuah arena haruslah memiliki habitus atau capital
yang kuat.
Bourdieu menyebut arena produksi kultur hanya bisa dimengerti sepenuhnya, apabila
kita memperlakukannya sebagai arena kompetisi memperebutkan monopoli pemakaian
legitim kekerasan simbolik. Dalam teorinya, Bourdieu sering menggunakan istilah kuasa
simbolik, kekerasan simbolik, dan relasi simbolik secara bergantian. Ketiga istilah tersebut
digunakan Bourdieu untuk menjelaskan proses produksi sosial yang melibatkan agen-agen
dalam suatu arena. Masing-masing agen memiliki modal dan habitus yang berlainan, namun
saling berkontestasi antara satu sama lain. Kuasa simbolik adalah kuasa untuk mengubah dan
menciptakan realitas, yakni mengubah dan menciptakannya sebagai sesuatu yang diakui,
dikenali, dan juga sah. Kuasa simbolik untuk membuat orang melihat dan percaya, untuk
memperkuat atau mengubah cara pandang terhadap dunia dan bagaiamana mengubah dunia
itu sendiri.Implisit dari definisi tersebut adalah kuasa simbolik sangat terkait dengan habitus,
yakni suatu upaya membuat cara pandang orang menyangkut persepsi dan apresiasi bergerak
pada arah tertentu. Bourdieu menjelaskan proses terjadinya atau mekanisme kuasa simbolik
ini melalui apa yang disebut ‘doksa’. Di saat yang sama, kelompok dominan yang memiliki
kuasa atau kontrol tertentu akan berusaha mempertahankan struktur arena yang
didominasinya dengan memproduksi apa yang disebut dengan ortodoksi, yakni pemikiran
yang secara eksplisit membela atau mencoba mempertahankan struktur serta aturan dalam
arena tersebut "kelas yang terdominasi. Tegas Bourdieu memiliki kepentingan untuk
melawan batas- batas doksa dan menunjukkan kearbiteran dari sesuatu yang dipahami secara
apa adanya; kelas yang mendominasi memiliki kepentingan untuk mempertahankan integritas
doksa menjaga keberlangsungan arena....melalui ortodoksa. Dengan demikian kuasa simbolik
mengambil bahasa sebagai bentuknya-pernyataan tentang aturan atau hal-hal yang berlaku
dalam suatu arena. Kuasa simbolik merupakan bagian dari praktik sosial secara keseluruhan:
ia beroperasi dan dioperasikan oleh agen-egen dalam arena-arena dalam ruang sosial
termasuk arena sastra. Dalam penjelasan proses kuasa simbolik, Bourdieu secara eksplisit
menyebutkan kelas-kelas yang berada dalam relasi bertentangan. Kelas tidak sekedar
mengacu pada kepemilikan alat produksi melainkan habitus dan kondisi-kondisi serupa.
Kelas menurut Bourdieu lebih didasarkan pada jangkuaan luas tentang praktik-praktik kelas
yang bisa diidentifikasikan dengan selera makan, cara berpakaian, disposisi tubuh, model
rumah dan lainya yang keseluruhan terangkum dalam apa yang ia sebut gaya hidup: produk
sistematis dari habitus yang menjadi sistem tanda yang terkualifikasi secara sosial.
Konsep kelas dalam pemahaman Bourdieu dapat dirumuskan dalam tiga kelompok yaitu:
1. Kelas dominan, yakni kelas yang memiliki akumulasi beragam jenis modal paling
banyak dan signifikan, sehingga memiliki kemampuan paling besar untuk melegitimasi
dan memaksakan suatu visi tentang dunia sosial tertentu kepada kelas lainnya;
2. Kelas borjuis kecil, yakni kelas yang memiliki kesamaan dengan kelas dominan dalam
hal keinginan selalu melakukan mobilitas sosial, namun mereka tidak memiliki
akumulasi modal sekuat kelas dominan. Mereka digolongkan dalam kelas menengah.
Kaum intelektual, termasuk sastrawan dan seniman, berada dalam kelas ini;
3. Kelas populer, yakni kelas yang memiliki akumulasi modal paling minimal dalam suatu
ruang sosial.
lebih jauh, Bourdieu menjelaskan bahwa kelas yang dominan dalam ruang sosial pada
praktiknya akan mempengaruhi mekanisme yang terjadi dalam arena produksi kultural
termasuk sastra. Arena produksi yang dengan jelas tidak dapat berfungsi jika ia tidak dapat
memperhitungkan selera yang ada, disposisi yang kurang lebih kuat untuk mengkonsumsi
barang-barang, yang kurang lebih terdefinisi secara jelas-memungkinkan
Dengan singkat Bourdieu menjelaskan bagaiamana hubungan antara Habitus, modal,
dan arena menghasilkan sebuah praktik untuk merebutkan kekuasaan. (HABITUS X
MODAL) = Praktik
Jadi reproduksi kebudayaan adalah proses penegasan identitas budaya yang dilakukan
oleh pendatang, yang dalam hal ini menegaskan kembali kebudayaan asalnya. Menurut Irwan
Abdullah di antara sebab perubahan budaya itu
terjadinya cultural lag ialah karena adanya hasil ciptaan baru yang
membutuhkan aturan-aturan serta pengertian yang baru berlawanan dengan
hukum-hukum serta cara bertindak yang lama, tetapi ada pula kelompok yang
memiliki sifat keterbukaan, malahan mengharapkan timbulnya perubahan dan
menerimanya dengan mudah tanpa mengalami cultural lag.
4.1. Pendahuluan
Masuknya berbagai bentuk dan ragam budaya global (global culture) yang berasal
dari berbagai negara di luar Indonesia seperti amerika, eropa, Korea dan cina, pada derajat
tertentu telah mempengaruhi format dan isi budaya populer (musik, televisi, dan film)
yang berkembang di tanah air. Kecintaan para penggemar budaya populer yang berasal
dari mancanegara seperti K- pop telah menjadi fenomena baru dalam konteks budaya pop
masyarakat. Sementara, institusi kapitalis media masa nampaknya mencoba untuk
merespons tren atau kecenderungan ini dengan memproduksi dan menyajikan tanyangan
budaya pop yang diadaptasikan dari model-model dan format budaya global. Perdebatan
antara globalisasi dan lokal menjadi argumen berkepanjangan yang seolah tak terhenti.
Dalam banyak akademisi di barat, proses-proses globalisasi dalam konteks masyarakat
lokal menjadi isu yang selalu menarik untuk diteliti dan mengahsilkan teori-teori baru bagi
proses-proses perubahan budaya lokal. Pertanyaan yang selalu muncul adalah yang mana
definisi globalisasi yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan kondisi di wilayah
lokal. Apa sebenarnya konsep global culture atau budaya global itu sendiri? Lalu apa yang
bembedakannya dengan budaya lokal? Apa yang dimaksudkan dengan lokal yang
sebenarnya?
Harindranath (2006) dalam perdebatan tentang budaya global, pertentangan antara
culture atau budaya dibenturkan dengan isu ekonomi. Aspek budaya dan ekonomi dalam
globalisasi menjadi penting dalam perdebatan budaya global. Karena kedua aspek inilah
yang kemudian menghasilkan argumen-argumen bahwa globalisasi dianggap sama dengan
westernisasi, bahwa globalisasi sama dengan homogenisasi, bahwa globalisasi
menghasilkan politik budaya yang resisten dan sebagainya. Dalam tulisannya tentang
globalisasi Anthony Giddens menjelaskan bahwa globalisasi telah membuat perubahan-
perubahan besar dari kondisi lampau. Menurutnya, Globalisasi merubah cara orang
melihat dunia yang seoalah terbelah secara radikal menjadi dua dunia yang sangat
berbeda: antara dulu dan sekarang. Sehingga globalisasi seakan memisahkan dua
kehidupan yang berbeda secara tegas antara masa lalu dan masa sekarang. Selain itu
Tomlinson menjelaskan konsep globalisasi dengan konsep proximity/kedekatan. Saat ini
kita mengalami jarak atau keterpisahan seperti halnya antara spanyol dan meksiko dalam
berbagai cara. Namun keterpisahan tempat yang berjarak ini masih dapat diakses secara
rutin melalui teknologi komunikasi atau kita hanya dapat melihat representasi-representasi
kedua tempat yang berjarak itu dari media masa atau secara fisik, bahkan dapat dijangkau-
tentu saja dengan waktu tertentu dan kepemilikan uang kita-dengan penerbangan yang
ada. Dengan kata lain, jarak bukan lagi menjadi kondisi yang menghalangi terpisahnya
dua tempat yang berbeda. Media masa, teknologi komunikasi, dan transportasi udara yang
cepat dapt diakses dengan mudah. Artinya tidak adalagi ruang yang berjarak. Sehingga
globalisasi bukan lagi berarti keterpisahan, melainkan kedekatan.
Bagi Joke Hermes, dalam budaya Global/budaya pupuler, sepertinya dalam
kesenian secara umum, orang cenderung memilih bentuk-bentuk dan tipe genre yang
disukai dari budaya populer tersebut. Selama budaya populer mampu memilihara
fantasinya yang diinginkan penikmatnya, maka selama itu pula budaya pupuler akan terus
dikonsumsi tanpa bosan. Keterlibatan budaya populer yang kita suakia akan menentukan
cara kita membentuk gaya hidup dan kehidupan kita. Dengan kata lain, , budaya pupoler
akan membukakan kepada kita tentang siapa yang tertarik, fantasi kolektif apa yang kita
miliki, skenario dan kritisisme apa yang sedang terdistribusi dalam masyarakat.
Apapu perdebatannyan, kehadiran budaya populer yang berasal dari dunia luar
konteks budaya lokal, selalu menghasilkan farian-farian sikap dan perilaku yang berbeda
pada manusia dan negara yang mengonsumsinya. Maraknya berbagai tayangan budaya
asing, yang kemudian diadopsi dan diadaptasi oleh para kapitalis produser media untuk
dapat bertemu dengan kebutuhan dan selera khalyak lokal, tetap saja menghasikan
paradoks-paradoks kebudayaan itu sendiri. Konten/isi representasi-representasi yang ada
dalam budaya global tersebut dianggap telah memengaruhi budaya masyarakat lokal,
seperti Indonesia, misalnya maraknya kemunculan fans club budaya korea, maraknya grup
musik remaja (boys-band ala korea), ramainya ajang-ajang pencarian bakat seperti
indoensia idol, X-Factor dan sebagainya.
4.2. Diskursus Global dan Lokal
Dalam banyak kasus, terminologi globalisasi sendiri menjadi perdebatan akademik
yang panjang bagi sebagian scholar di dunia. Apa pun defini yang tepat yang coba
dihasilkan dari studi-studi dan kajian yang dilakukan, teutama oleh para antropolog dunia
tersebut, banyak pihak yang kemudian sepakat bahwa terminologi globalisasi sendiri
merujuk pada saling keterhubungan global yang menunjukkan bahwa dunia ini penuh
pergerakan, intensitas keterhubungan, kontak, hubungan, dan percampuran bahkan
interaksi budaya yang sudah lama terjadi dan pertukaran-pertukaran yang intensif dan
terjadi dalam waktu yang singkat.
Saling keterhubungan yang terjadi secara intensif, terus menerus dan dalam waktu
yang begitu cepat, seolah menjadikan dunia ini tanpa batas. Tidak lagi terpisahkan dan
terkotak-kotak secara terpisah. Interkoneksi global menjadikan dunia tidak lagi berjarak
jauh, melainkan dalam jangkauan yang dapat dilakukan melalui perantara media masa,
teknologi komunikasi dan transportasi yang cepat. Mobiltas yang terjadi kemudia
mengahasilkan arus perputaran dan pertukaran yang luar biasa terhadap komunitas,
manusia, gambaran/image, budaya, ideologi, dan kapital yang berasal dari belahan dunia
ke belahan dunia lain. hasil dari pergerakan arus global ini membawa konsekuensi tidak
saja pada pergerakan atau mobilitas manusia yang begitu rapid atau cepat, melainkan
bertumpuknya kebudayan-kebuadayaan yang dikirim dan terkirim yang tanpa sadar
digerakan oleh mobilitas kapital global dan korporasi-korporasi yang tranrasional,
melewati batas teri torinya atau atau melwati batas batas dunia yang tak terbendung. Pada
akhirnya pertukaran ini seolah menyeragamkan budaya yang terjadi di dunia, atau bahkan
menimbulkan konflik yang otenstik antara budaya asli dengan budaya asing yang
tercampur dalam kehidupan masyarakat lokal.
Namun, sementara itu ketika dunia saling terhubungkan dan mobilitas
mobilitas yang terjadi dalam arus global berjalan tiap saat, masih saja adakelompok-
kelompok masyarakat dan tempat-tempat yang seolah terpisah atau termarjinalkan
posisinya dan keterhubungan global tersebut. Memangtidak setiap orang dan setiap tempat
herpartisipasi secara sama atau equaldalam perputaran keterhubungan yang terjadi di
dunia (Inda & Rosaldo, h.5). Inilah juga yang dinamakan globalisasi. Meskipun terjadi
kompresi ataumengecilnya ruang dan waktu (time-space compression).Hal yang kemudian
menjadi menarik untuk dikaji dan dicermati adalahbagaimana proses-proses globalisasi ini
dialami, dilakukan dan dirasakandalam konteks-konteks ruang atau tempat, waktu, dan
masyarakat yangberbeda. Interaksi antara budaya global dan budaya lokal dan setiap
kontekskehidupan masyarakat yang berbeda menjadi penting untuk melihatbagaimana
globalisasi itu sendiri dimaknai dan dikonsumsi sebagai bagiandan everyday social
practices masyarakat yang ada.
Variasi-variasi atau perbedaan cara-cara memaknai globalisasi dan menggunakan atau
mengonsumsi budaya global yang datang danmencampurnya dengan budaya exist atau
yang dimiliki sebelumnya. Dalamproses globalisasi, Anthony Giddens (1990)
menyebutkannya ada prosesdi mana social practices atau praktik-praktik sosial yang
dilakukan dalamwilayah lokal mempunyai relasi dengan praktik-praktik sosial dan
kejadiankejadian sosial yang terjadi dibelahan lain dunia. Proses yang disebutGiddens
sebagai “space-time distanciation” menggambarkan peregangan, ruang dan waktu
terjadinya peristiwa, kejadian, dan perilaku sosial padamasyarakat lokal yang
terhubungkan tanpa disadari pada saat yang samadengan kejadian, peristiwa, dan perilaku
sosial masyarakat di luar wilayahlokalnya atau masyarakat global. “larger and larger
numbers of people live in circumstances in which disembedded institutions, linking local
practices with globalized social relations, organize major aspects of dai-to-dai life”
(Giddens 1990:79).
Giddens lalu mendefinisikan globalisasi sebagai intensifikasi hubunganhubungan
sosial yang mendunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitasyang berjarak dalam suatu
cara yang mana peristiwa yang sedang terjadisecara lokal dibentuk oleh kejadian atau
peristiwa yang terjadi di belahanbumi yang berjarak bermil-mil jauhnya dan sebaliknya
(Giddens, 1990: 64).Dengan kata lain, Giddens menekankan bahwa bagaimana munculnya
global instantenous atau kesegeraan global dalam bidang komunikasi dantransportasi,
begitu pula dengan ekspansi dan sistem produksi danpertukaran global yang kompleks,
telah mengurangi kepemilikan lingkunganlokal terhadap kehidupan-kehidupan
manusianya. Hal inilah yang kemudian menjadikan kehidupan lokal menjadi kompleks
dengan pengaruh globalisasidan masuknya budaya global dalam konteks lokal.
Apa yang dijelaskan oleh Gupta dan Ferguson di atas rnenunjukkan bahwa
“budaya” dimiliki oleh setiap negara, setiap masyarakat regional yang mempunyai
perbedaan dan ciri khas yang berbeda dalam masyarakat nasional yang rnelingkupinya.
ltulah mengapa kemudian, setiap kebudayaan mempunyai nama atau identitas yang
dilekatkan dengan nasionalisme atau kebangsaan tertentu dan kelompok-kelompok
masyarakat yang berbeda di dunia ini. Hal ini menunjukkan pula, bahwa dalam
pemahaman budaya, ada unsur distinctive atau kekhasan yang menjadi ciri dan identitas
produser dan budaya itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Anthony Giddens (1991)
bahwa globalisasi itu sendiri telah menghasilkan lokalitas-lokalitas yang “less
dependence” atau tergantung terhadap keberadaan kehidupan budaya yang bahkan tidak
eksis dalarn konteks interaksi tatap muka atau face-to-face interaction.
Akibat meluasnya ruang dan waktu yang terjadi akibat dan proses globalisasi,
terutama terhadap budaya lokal dalam hal ini, menyebabkan terjadinya transformasi-
transformasi atau perubahan dalam budaya lokal itu sendiri.agi Giddens kemudian,
globalisasi menjadi inter locking atau saling mengunci atau menyatunya aspek global
dan lokal dalam satuan budaya yang terjadi meskipun relasi sosialnya terpisah dan
konteks lokal: “if concerns the intersection of presence and absence, the interlacing of
social events and social relations ‘at a distance’ zoitli local contextualities” Giddens,
1991: 21). Itulah kemudian mengapa, para Antropolog terutama, mendefinisikan
konsep “budaya” dalam konteks isomorfis, di mana “budaya” selalu dilekatkan dengan
keaslian atau akar di mana budaya itu muncul.
Dengan kata lain, keanekaragaman konstruksi makna yang dihasilkan dalam
representasi simbolik di tiap-tiap konteks masyarakat dunia, menjadi unsur penting
ketika menetapkan konsep “culture” itu sendiri: “culture has seen as something rooted
in “soil” (Inda & Rosaldo, 2002: 11). Budaya lalu dilekatkan dengan perbedaan
manusia mengkonseptualisasi sebagai ‘mozaik budaya,’ di mana setiap budaya itu
sendiri—yang merupakan hasil pemaknaan bersama—berada dalam posisi yang
terpisah dan mozaik budaya yang lain. Seperti yang dijelaskan oleh James Clifford
(1988) bahwa ide tentang budaya secara historis membawa makna yang didalamnya
terkandung harapan terhadap akar-akar (keasliannya), eksistensinya, dan keberadaan
teritorinya (lokalitasnya): “expectation of roots, of a stable, territorialized existence”
(Clifford, 1988: 338).
Dan sinilah muncul konsepsi de/teritorialisasi budaya yang memberikan maksud
bahwa budaya secaraterpisah tergantung kepada tempat dan kekhasan tertentu yang
terpisah dan budaya pada teritori yang lain. Pertanyaan yang pernah kemudian
dilontarkan oleh Massey (1994) apakah budaya mengalir secara seimbang atau equal
dan dan ke semua lokasi? Atau apakah diseminasi budaya terlibat dalam beberapa
bentuk yang asimetris? Dengan kata lain, apakah globalisasi telah menghasilkan
distribusi arus budaya yang sama, atau hanya budaya dominan saja yang mengalir pada
lokasi atau teritori yang lain, tidak sebaliknya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang
kemudian memunculkan penjelasan diskursus tentang ‘imperialisme budaya’ (Schiller,
1976), perspektif yang memberikan kritik tajam terhadap proses globalisasi yang terjadi
di negara-negara dunia ketiga.
Perspektif imperialism budaya mengasumsikan bahwa arus budaya global hanya
terjadi one-direction: dan negara Barat/centre menuju ke negara negara Ketiga
(periphery), lebih khususnya lagi dan Arnerika ke bagian lain dunia (flic rest of the
world). Diskursus imperialisme ini menekankan bahwa globalisasi ternyata telah
menghasilkan dominasi budaya (Barat) terhadap budaya-budaya lokal yang ada. Proses
globalisasi yang terjadi tidak asimetris ini yang akhirnya menghasilkan “cultural
homogenization” atau keseragaman budaya atau “cultural uniformity” (Tomlinson,
1999) di dunia. Seperti yang dikatakan oleh Hannerz (1991) “peripheral culture will
step hi, step assimilate more and more of the’ imported meanings and forms, becoming
gradually indistinguishable from the center” (Hannerz, 1991, dalam King, h.122).
Kondisi ini yang kemudian memaksa manusia, baik secara individual maupun kolektif,
untuk melakukan asimilasi budaya global (Western utamanya) ke dalam konteks
lokalitas budayanya. Proses asimilasi budaya global dalam konteks lokal pada akhirnya
menghasilkan konflik-konflik budaya yang ada.
Homi Bhabha (1994) menjelaskan kemudian, budaya asing yang masuk dalam
budaya lokal yang ditiru, diadopsi, dan diadaptasikemudian seolah menjadi budaya
yang seolah “sama” dengan budaya origin atau aslinya. Inilah yang kemudian
memunculkan paradoks-paradoks dalam konteks nasionalisme antara ‘mimicry’
menjadi bentuk budaya yang sama persis dan hasil mirroring atau asimilasi terhadap
budaya asing, atau proses yang kemudian terkenal dengan konsep “hybridity” atau
pencangkokan budaya, di mana masyarakat lokal melakukan penyesuaian, adaptasi
unsur budaya luar/Barat yang dapat diterima dalam proses interaksinya dengan budaya
lokal yang sudah ada dalam konteks lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah I. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015
Ansari, Isa. Konstruksi dan Reproduksi Simbolik Tradisi Jawa dalam Pertunjukan
Teater Remaja di Kota Solo.Jurnal Penelitian Seni Budaya. Vol 6 No.1 Juni
2014
Aryati, Aziza. Memahami Manusia dalam dimensi Filsafat
Bourdieu, Pierre. Arena Produksi Kultur: sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Terj:
Yudi Santoso. Bantul: Kreasi Wacana, 2016.
Ermansyah. 2005. Etnoscape nuansa baru untuk etnografi di dalam Antropologi.
Jurnal antropologi Sosial BudayaETNOVISI Edisi 01.
Ida, R. Budaya Global, Modernitas, dan Identitas Budaya: perpektif Teoritik.
DalamBudaya Populer Indonesia: diskursus global/lokal dalam budaya populer
Indonesia. editor Oleh Ida RahmatSurabaya: Airlangga University Press, 2017.
Kaparang, O. Analisa Gaya Hidup Remaja Dalam Mengimitasi Budaya Pop Korea
Melalui Televisi. Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013
Karnanta, K Yudha. Paradigma Teori Arena Produksi Kultural Sastra: Kajian
Terhadap Pemikiran Pierre Bourdieu. Jurnal Poetika Vol. 1, No. 1, Juli 2013.
Kopong, K. Bahan Ajar Ilmu Budaya Dasar. Stipar: Ende, 2016
Santoso, Yudi (terj). Pierre Bourdieu: Arena Produksi Kultur, Sebuah Kajian
Sosiologi Budaya. Kreasi Wacana, 2016.
Sarinah. Ilmu Budaya Dasar (diperguruan tinggi). Yogyakarta: deepublish, 2016.
Setiardjo, Gunawan. Citra Manusia Dalam Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.
Dalam Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, editr
Darmanto & Sudarto. Jakarta: Erlangga, 1986.
Sulaeman, M. Ilmu Budaya Dasar (Pengantar ke Arah Ilmu Sosial Budaya
Dasar/ISBD Social Culture. Jakarta: Refika Aditama, 2019.
Nukha, R. Reproduksi Budaya dalam Pentas Kesenian Tradisional di Balai
Soedjatmokon. Jurnal analisa Sosiologi, April 2007, 6(1): 42-54.
Tomlinson, John. Globalization and culture. Dalam The Global Transformations
reader diedit oleh david Held & Anthony McGrew. Cambridge: Polity
Press,1999.
Tumanin, Y. Ibadah kontemporer: sebuah analisis reflektif terhadap hadirnya budaya
populer pada Gereja masa kini. Jurnal jeffray,Vol.13, No. I, April 2015.
Umanailo, M C Basrun. Ilmu Budaya Dasar. Kediri: FAM PUBLISHING