You are on page 1of 36

JUDICIAL REVIEW OF INTERNATIONAL DRUG CONVENTION 1988

Lecturer : Kanti Rahayu, S.H., M.H.

Compiled by:

1. Eka Rizkiyanto/5120600066
2. Giovanni Zidan/5120600249
3. Luh Intan Chandika D/5120600030
4. Pamella Tri Hitayana/5120600258

DEPARTMENT OF LEGAL STUDIES

FACULTY OF LAW

PANCASAKTI UNIVERSITY TEGAL


2021

PREFACE

First of all, praise to Allah SWT. who has given health, opportunity and mercy to
complete a paper entitled “Judicial Review of International Drug Convention 1988”. Blessing
and salutation be upon the most honorable prophet and messenger Prophet Muhammad SAW.
also his family and disciples who had delivered us the truth to human beings in general and
Muslim in particular.

The purpose of us writing this paper is to fulfill the assignment that given by Mrs.
Kanti Rahayu, S.H., M.H. as our lecturer in International Law major. In arranging this paper,
we trully got lots of challenges. But we actually made it. We would like to thank Mrs. Kanti
Rahayu, S.H., M.H. since she is our lecturer and she really helped us to understand about her
major. Then, we would thank all individuals that helped us finish this paper. Last one, we
thank ourself (team) because we finally get this assignment done.

We realize that this paper is far from perfect, therefore criticism and suggestions from
all stakeholders that are built for the perfection we always hoped the paper.

Tegal, 10th November, 2021

2
Group 6

TABLE OF CONTENTS

PREFACE.......................................................................................................2
TABLE OF CONTENTS...............................................................................3
BAB I INTRODUCTION..............................................................................4
1.1 Latar Belakang......................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................7
1.3 Tujuan...................................................................................................7
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................8
2.1. Analisis Bab I Tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara..........8
2.2. Analisis Bab II Tentang Kejahatan – Kejahatan Terhadap Martabat
Presiden dan Wakil Presiden................................................................15
2.3. Analisis Bab III Tentang Kejahatan – Kejahatan Terhadap Negara
Sahabat dan Terhadap Kepala Negara Sahabat Serta Wakilnya...........16
2.4. Analisis Bab IV Tentang Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban
dan Hak Kenegaraan.............................................................................17
2.5. Analisis Bab V Tentang Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum.........17
2.6. Analisis Bab VI Tentang Perkelahian Tanding....................................32
BAB III PENUTUP.........................................................................................34
3.1. Kesimpulan...........................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................36

3
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia serta menjamin warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintah dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu tidak
ada kecualinya. Indonesia sebagai suatu negara hukum, memiliki tujuan hukum
untuk menciptakan keadilan, kepastian hukum, dan kesejahteraan bagi rakyat.
Bentuk kejahatan terhadap keamanan dan keselamatan negara semakin
bervariasi, oleh karena itu diperlukan pemahaman hukum yang jernih untuk
jenis kejahatan. Seiring berkembangnya zaman yang semakin modern dan maju,
maka permasalahan yang timbul akan semakin kompleks pula. Tidak hanya
dalam bentuk tindakan nyata, namun juga melalui tindakan tak nyata yang
berpotensi menjadi permasalahan yang menyangkut masyarakat umum maupun
bagi pemerintah. Hukum tidak otonom atau tidak mandiri, yang artinya hukum
tidak terlepas dari pengaruh timbal balik dari keseluruhan aspek yang ada dalam
masyarakat. Sebagai patokannya, hukum dapat menciptakan ketertiban dan
kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, pada kenyataannya masih
banyak masyarakat yang melanggar hukum. Hal inilah dimaknai dan diartikan
secara kurang tepat bagi segelintir orang atau kelompok tertentu yang ingin
mengganggu keutuhan bangsa Indonesia. Mereka berlindung sebagai pijakan
dalam melakukan perbuatan yang telah menjurus kearah perbuatan yang
mengganggu keutuhan, ketertiban, dan keamanan bangsa Indonesia.
Adapun kasus – kasus ini yang penulis cantumkan menjadi dasar untuk
analisis pasal – pasal dalam Bab I – VI Buku II Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana (Selanjutnya ditulis KUHP):
1. Tindak Pidana Makar
Pada tanggal 2 Desember 2016, kata “makar” mendadak booming di media
sosial semenjak era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Polisi telah
menangkap 11 orang dengan tuduhan makar, tujuh orang diantaranya

4
disangka murni melakukan upaya makar, mereka dijerat dengan Pasal
107 jo Pasal 110 tentang Makar dan Pemufakatan Jahat.1 Aktivis Sri
Bintang Pamungkas ditangkap Pasukan Brimob dari Polda Metro Jaya
pada Jum’at, 2 Desember 2016. Penangkapan ini dilakukan karena
pendiri Uni Demokrasi Indonesia itu diduga melakukan tindak pidana
makar. Penyidik menjerat Sri Bintang Pamungkas dengan Undang –
Undang ITE Pasal 28 Ayat 2 jo 45 Ayat 2 Undang – Undang Nomor 11
Tahun 2008 dan Pasal 107 KUHP jo 110 KUHP jo 87 KUHP tentang
Makar dan Pemufakatan Jahat. Namun, setelah 103 hari penahanannya,
polisi akhirnya membebaskan Sri Bintang Pamungkas. Penyidik Polda
Metro Jaya memutuskan memberikan penangguhan penanganan kepada
tersangka.2
Berdasarkan kasus diatas, dalam KUHP Indonesia, pada Buku Kedua Bab I,
membahas mengenai kejahatan terhadap keamanan negara dalam
beberapa pasal yakni Pasal 104 sampai Pasal 129 KUHP, dan beberapa
aturan hukum lainnya seperti Undang – Undang No. 27 Tahun 1999
Tentang Perubahan KUHP yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap
Keamanan Negara, salah satunya adalah tindak pidana makar. Tindak
pidana makar juga diatur dalam Bab III yaitu pada pasal 139a dan 139b.
2. Tindak Penghinaan Terhadap Presiden
Pada tahun 2003, seorang Redaktur Harian bernama Supratman terjerat kasus
penghinaan terhadap Megawati Soekarnoputri. Dalam pemberitaannya,
secara berturut – turut pada 6, 8, dan 31 Januari 2003, Supratman menulis
judul yang cukup menghebohkan, yaitu “Mulut Mega Bau Solar”, “Mega
Lintah Darat”, dan “Mega Lebih Ganas dari Sumanto”. Pada 4 Februari
2003 pula, muncul judul tulisan “Mega Cuma Sekelas Bupati”.3
Kasus ini berakhir di meja hijau. Supratman dijerat Pasal 134 jo Pasal 65
Ayat (1) KUHP dengan ancaman hukuman penjara selama enam tahun.
Namun, pada sidang yang digelar pada 27 Oktober 2013 di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, Ketua Majelis Hakim menganggap dakwaan

1
Bab I Kitab Undang – Undang Hukum Pidana tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
2
https://tirto.id/sri-bintang-pamungkas-ditangguhkan-penahanan-oleh-kepolisian-ckQ5, diakses pada tanggal 11
Oktober 2021
3
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt571a2c098997e/4-kasus-penghinaan-terhadap-presiden-yang-
diproses-hukum, diakses pada tanggal 11 Oktober 2021

5
primer tidak terbukti, namun Supratman dikenakan Pasal 137 Ayat (1)
KUHP tentang perbuatan menyiarkan tulisan atau lukisan yang menghina
Presiden atau Wakil Presiden. Dia divonis hukuman penjara selama enam
bulan dengan masa percobaan 12 bulan.
Berdasarkan kasus diatas, Buku I KUHP pada Bab II membahas mengenai
kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden. Titik berat
dalam Bab II ini adalah penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden dengan sengaja dimuka umum.
3. Kasus Korupsi (Terkait Pasal 149 KUHP)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Komisioner Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan sebagai tersangka kasus suap
terkait proses penetapan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR
dari Fraksi PDIP. Ia diduga menerima uang Rp600 juta dalam upaya
memuluskan permintaan caleg PDIP Dapil Sumatra Selatan Harun
Masiku untuk menjadi anggota DPR melalui mekanisme PAW.
Uang suap Rp600 juta itu diduga diterima Wahyu dua kali. Pertama, pada
pertengahan Desember 2019, Wahyu menerima uang dari Agustiani
sebesar Rp200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.
Uang itu diketahui didapat dari Saeful.Kemudian, Wahyu diduga
menerima suap kedua senilai Rp400 juta pada akhir Desember 2019.
Namun uang itu masih dipegang Agustiani yang sebelumnya menerima
dari Saeful. Uang suap kedua itulah yang menjadi sasaran OTT KPK.
Secara umum, Pasal 148 sampai 153 KUHP membahas tentang perilaku
menghadang orang untuk menggunakan haknya serta penyuapan dalam
pemilihan. Perilaku ini jelas telah menyalahi aturan dan dikatakan
sebagai tindak pidana.
4. Kasus Pengeroyokan Novel Baswedan
Tersangka penyerangan penyidik KPK Novel Baswedan dijerat dengan pasal
pengeroyokan dan penganiayaan. Tersangka diancam hukuman 5 tahun
penjara. Pasal yang menjerat tersangka penyerangan adalah Pasal 170
KUHP subsider Pasal 351 Ayat 2 KUHP.
5. Kasus Tarung Bebas Jalanan
Di Makassar, ada kasus tarung bebas jalanan atau street fight ilegal. Polisi
telah menangkap 8 orang dan dua orang ditetapkan sebagai tersangka

6
karena merupakan petarung itu. Adapun 6 orang sisanya masih berstatus
sebagai saksi. Penetapan ini dilakukan mengingat mereka berperan
sebagai penonton. Sementara polisi masih melakukan pengejaran
terhadap panitia penyelenggara. Mengenai kasus ini, para tersangka akan
diterapkan Pasal 184 KUHP terkait perkelahian tanding, karena telah
memenuhi unsur dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHP.
Beberapa yang sudah dipaparkan diatas menjadi alasan mengapa tim penulis
tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai pasal – pasal dalam Buku II Bab I
– VI KUHP.

I.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana analisis dan penjelasan dari pasal – pasal dalam Buku II Bab I
KUHP?
2. Bagaimana analisis dan penjelasan dari pasal – pasal dalam Buku II Bab II
KUHP?
3. Bagaimana analisis dan penjelasan dari pasal – pasal dalam Buku II Bab III
KUHP?
4. Bagaimana analisis dan penjelasan dari pasal – pasal dalam Buku II Bab IV
KUHP?
5. Bagaimana analisis dan penjelasan dari pasal – pasal dalam Buku II Bab V
KUHP?
6. Bagaimana analisis dan penjelasan dari pasal – pasal dalam Buku II Bab VI
KUHP?
I.3 Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami isi penjelasan dan
analisis dari Bab I – VI KUHP. Serta untuk menambah pengetahuan mengenai
pasal dalam KUHP.

7
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Analisis Bab I Tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara


Dalam Bab I ini memuat 25 butir pasal yaitu Pasal 104 sampai Pasal 129.
Pasal 104 sampai 129 KUHP ini berbicara tentang perbuatan makar/kejahatn
terhadap keamanan negara. Makar secara umum menurut KBBI, arti makar
adalah akal busuk; tipu muslihat; perbuatan dengan maksud hendak menyerang
orang; perbuatan menjatuhkan pemerintah yang sah.
Dalam Pasal 104 KUHP, makar dijelaskan sebagai perbuatan yang memiliki
maksud untuk membunuh, merampas kemerdekaan, atau meniadakan
kemampuan Presiden dan Wakil yang memerintah. Perbuatan makar yang diatur
dalam Pasal 104, Pasal 106, dan Pasal 107 KUHP baru ada atau baru dapat
dikatakan sebagai makar apabila ada “permulaan pelaksanaan”. Sehingga, dari
pasal tersebut menentukan bahwa tindak pidana makar baru dianggap terjadi
apabila telah dimulainya perbuatan dari orang yang berbuat makar. Tindak
pidana makar merupakan tindak pidana khusus, karena tindak pidana tersebut
tergolong menjadi tindak pidana yang berbahaya karena mengancam keamanan
suatu Negara.
Tindak pidana makar dikelompokkan menjadi makar terhadap presiden,
makar terhadap NKRI, makar terhadap pemerintah yang sah. Selain pengaturan
tindak pidana makar tersebut, juga disatukan dalam kelompok ini adalah tindak
pidana pemberontakan4, yaitu setiap orang yang melawan pemerintah yang sah
dengan mengangkat senjata atau dengan maksud untuk melawan pemerintah
yang sah, bergerak bersama – sama atau menyatukan diri dengan gerombolan
yang melawan pemerintah sah dengan mengangkat senjata. Dalam pasal
tersebut yang hendak dilindungi adalah presiden atau wakil presiden. Maka dari
itu, pembuat tindak pidana harus mengetahui atau setidaknya mengetahui bahwa
yang menjadi sasaran dalam melakukan tindak pidana ini adalah presiden dan
wakilnya. Tujuannya adalah untuk membunuh, merampas kemerdekaan, atau
agar mereka tidak dapat memerintah lagi.5 Sedang yang dimaksud “merampas
kemerdekaan” adalah perampasan kemerdekaan terhadap presiden dan
wakilnya, dan yang terakhir yang dimaksud dengan “menjadikan tidak mampu
menjalankan pemerintahan” adalah setiap perbuatan selain membunuh atau
merampas kemerdekaan yang mengakibatkan presiden dan wakilnya tidak dapat
menjalankan tugas konstitusionalnya.
4
Pasal 108 KUHP
5
Dijelaskan dalam Pasal 104 KUHP

8
Kejahatan terhadap Keamanan Negara secara sempit telah diatur dalam Bab I
Buku Kedua KUHP yang berjudul Kejahatan terhadap Keamanan Negara,
sedang dalam arti luasnya, dapat dimaknai sebagai keseluruhan tindak pidana
terkait negara dan pemerintah sebagai objeknya, yang juga disebut sebagai delik
politik. Kejahatan terhadap Keamanan Negara dalam arti sempit dalam KUHP
diatur dalam Pasal 104 – Pasal 127. Dari 23 Pasal yang membahas mengenai
Kejahatan terhadap Keamanan Negara hanya ada 3 Pasal yang membahas
mengenai makar, yaitu Pasal 104, Pasal 106, dan Pasal 107.
Makar tidak harus memenuhi syarat dalam delik percobaan sebagaimana
diatur dalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP.6 Hal itu dikarenakan delik makar hanya
memiliki dua unsur yang utama, yaitu niat dan permulaan pelaksanaan (begin
van uitvoering) sehingga seringkali disebut percobaan tidak lengkap.
Pemahaman mengenai delik makar sebagai percobaan tidak lengkap adalah :
- Pertama, delik makar cukup diisyaratkan adanya niat dan perbuatan
permulaan pelaksanaan. Jika sudah terpenuhi syarat itu terhadap pelaku, dapat
dilakukan tindak penegakan hukum.
- Kedua, delik makar tidak perlu selesai, contohnya pemerintah terguling.
Apabila ada niat dan permulaan perbuatan, orang itu sudah dapat dipidana.
Pelaku dapat tetap dipidana menurut ketentuan Pasal 104 KUHP walau
perbuatannya tidak mengakibatkan hilangnya nyawa Presiden atau Wakilnya.
Merujuk pada ketentuan Pasal 104, 106 dan 107 KUHP, delik makar dapat
dibagi dalam 3 kategori, yaitu:
- Makar terhadap presiden dan wakilnya, yang dimaksudkan untuk merampas
kemerdekaan, ataupun meniadakan kemampuan sebagai Kepala Negara dan
Pemerintahan. Mengingat delik makar sebagai delik percobaan yang tidak
lengkap, ancaman terhadap nyawa atau kemampuan presiden dan wakil presiden
yang sebagaimana sudah dirumuskan dalam Pasal 104 KUHP tidak harus
berupa ancaman fisik dengan mengacung – acungkan senjata, akan tetapi dapat
berupa perbuatan yang dimaksudkan itu. Ancaman hukuman terhadap pelaku
makar adalah pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara
sementara paling lama dua puluh tahun.
- Makar terhadap keutuhan wilayah NKRI yang dimaksudkan melindungi
keutuhan Negara dan perbuatan yang dapat menjadikan seluruh atau sebagian
wilayah jatuh ke tangan musuh ataupun memisahkan sebagian wilayah NKRI.
Maka dari itu, ketika ada perbuatan dari pihak yang mencoba mengancam
keutuhan NKRI dapat dituduh telah melakukan delik makar yang memenuhi

6
Pasal 53 (1) KUHP tentang Percobaan berbunyi, “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu
telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata – mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri.”

9
unsur utama dari Pasal 106 KUHP. Ancaman yang dijatuhkan terhadap pelaku
makar menurut ketentuan Pasal 106 KUHP ini adalah pidana penjara seumur
hidup atau sementara paling lama dua puluh tahun.
- Makar terhadap pemerintahan. Ini berbeda dengan ketentuan Pasal 104
KUHP. Rumusan delik ini mengacu pada perbuatan yang ingin menggulingkan
pemerintahan. Sebagaimana dirumuskan pada Pasal 107 KUHP tertuju pada
pemerintahan sebagai suatu institusi kenegaraan. Buku II Bab I KUHP juga
memuat rumusan pasal – pasal yang terkait dengan ancaman fisik dan
pengarahan senjata. Dengan tujuan utama untuk melawan atau menggulingkan
pemerintahan yang sah. Adapun rumusan delik yang dimaksud adalah delik
sabotase dan delik pemberontakan (opstan).
Pasal 108 KUHP berbicara mengenai tindak pidana pemberontakan.
Perbuatan pidana pemberontakan yang berarti melakukan perlawanan terhadap
pemerintah Indonesia dengan senjata tetapi tidak bermaksud untuk mengganti
pemerintahan yang sesuai dengan UUD. Ancaman hukuman bagi pelaku
pemberontakan (massa pemberontakan) diancam pidana penjara paling lama
lima belas tahun, sedang untuk pemimpin pemberontakan tersebut ada hal
pemberat sehingga diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Perluasan tindak pidana makar dalam Pasal 104, 106, 107 dan 108 KUHP
diperluas pemberlakuan norma hukum pidananya terhadap perbuatan yang
mendahuluinya, yaitu pemufakatan jahat dan pemberontakan. Ini diatur dalam
Pasal 110 KUHP. Norma hukum dalam Pasal 110 ini memperluas norma hukum
pidana makar dan pemberontakan, mengingat tindak pidana makar dan
pemberontakan selalu dilakukan oleh dua orang atau lebih, maka perbuatan
yang dapat dipidana yaitu:
1. Pemufakatan jahat makar dan pemberontakan;
2. Persiapan makar dan pemberontakan;
3. Percobaan/permulaan pelaksanaan makar dan pemberontakan;
4. Pembantuan makar dan pemberontakan.
Tindak pidana menggerakkan suatu negara asing untuk melakukan tindakan
– tindakan permusuhan atau suatu peperangan dengan negara ini diatur dalam
Pasal 111 KUHP, rumusannya berbunyi “Barang siapa mengadakan saling
pengertian dengan suatu negara asing dengan maksud untuk menggerakkannya

10
melakukan tindakan – tindakan atau suatu peperangan terhadap negara, lebih
memperkuat niatnya yang telah ada untuk melakukan tindakan speerti itu,
menjanjikan bantuannya kepada mereka atau membantu persiapan untuk
melakukan tindakan – tindakan tersebut, dipidana penjara selama – lamanya
lima belas tahun dan ayat (2) menyebutkan, jika tindakan permusuhan itu benar
dilakukan atau peperangan benar terjadi, dijatuhkanlah pidana mati atau pidana
seumur hidup atau pidana selama – lamanya dua puluh tahun.
Berdasarkan rumusan pasal tersebut diatas, dapat dipahami bahwa tindak
pidana memiliki unsur delik sebagai berikut:
- Unsur subyektif, yaitu “dengan maksud” yang menunjukkan bahwa unsur –
unsur yang terletak dibelakang kata tersebut, semuanya diliputi dengan maksud
dari pelaku, sehingga unsur itu harus didakwakan pada terdakwa dan
dibuktikkan di depan sidang pengadilan.
- Unsur obyektif yang ada dalam pasal ini yaitu mengadakan saling
pengertian dengan suatu negara asing atau menggerakkan mereka untuk
melakukan tindakan dan permusuhan atau untuk melakukan peperangan
terhadap negara atau lebih memperkuat niat mereka yang sudah ada, atau
menjanjikan bantuannya kepada mereka atau memberikan bantuannya dalam
persiapannya.
Berdasarkan uraian delik diatas, jenis tindak pidana ini merupakan kegiatan
operasi intelijen yang bersifat tertutup dan disebut Subversi Asing. Contoh dari
subversi asing ialah staf kedutaan negara asing secara rahasia yang melakukan
kegiatan intelijen dengan sasaran mempertentangkan antara agama dan ideologi
untuk memperluas pengaruh, merebut kekuasaan atau menggulingkan
pemerintahan yang sah dengan cara yang umum untuk menciptakan keresahan
ditengah masyarakat.
Tindak pidana mengumumkan atau menyerahkan surat – surat, berita – berita
atau keterangan – keterangan kepada negara asing, yang kerahasiaannya harus
dijaga demi kepentingan negara. Rumusan ini diatur dalam Pasal 112 KUHP.
Ketentuan ini memiliki unsur delik sebagai berikut:
- Unsur subyektif, yang terdiri dari kata “dengan sengaja” atau “atau yang ia
ketahui”.
- Unsur obyektif, yang terdiri dari “mengumumkan, atau surat – surat, berita
– berita atau keterangan – keterangan, mengenai suatu hal, atau kerahasiaannya

11
harus dijaga demi kepentingan negara, atau memberitahukan atau menyerahkan
kepada suatu negara asing”. Ditinjau dari penempatan dalam rumusan tindak
pidana, maka unsur yang terletak dibelakang kata opzettelijk (dengan sengaja)
tersebut, semuanya diliputi oleh opzet (sengaja) yang artinya semua unsur
tersebut harus didakwakan terhadap terdakwa dan dibuktikkan di sidang
pengadilan. Perbuatan tersebut disyaratkan sebagai harus dilakukan dengan
sengaja. Kesengajaan mengumumkan surat – surat, berita atau keterangan
mengenai suatu hal yang kerahasiannya harus dijaga demi kepentingan negara.
Jenis kegiatan intelijen yang dikategorikan sebagai tindak pidana dalam Pasal
112 ini adalah propaganda, sabotase, dan spionase. Tindak pidana kesengajaan
mengumumkan, memberitahukan atau menyampaikan surat – surat rahasia, peta
– peta, rencana – rencana dan lain lain yang berhubungan dengan pertahanan
atau dengan keamanan luar negara Indonesia kepada orang – orang yang tidak
berwenang mengetahuinya. Rumusan ini terdapat dalam Pasal 113 KUHP,
rumusan dalam Bahasa Belanda setelah dirubah dengan ordonansi tanggal 22
September 1945, Staatblad 1945 Nomor 135 yang berbunyi, “Barangsiapa
menguasai surat-surat rahasia, petapeta, rencana-rencana, gambar-gambar atau
alat-alat, yang berhubungan dengan pertahanan atau dengan keamanan keluar
negara Indonesia, atau mengetahui isi dari surat-surat rahasia atau bentuk-
bentuk dan susunan dari alat-alat rahasia itu, dengan sengaja mengumumkan
seluruh atau sebagian surat-surat atau alat-alat tersebut, atau isinya, bentuk dan
susunannya, ataupun memberitahukan atau menyerahkannya kepada orang lain
yang tidak berwenang mengetahuinya, dipidana dengan pidana mati atau dengan
pidana penjara seumur hidup dengan pidana penjara sementara selama-lamanya
dua puluh tahun”.
Kata “dengan sengaja” dalam rumusan tindak pidana dalam Pasal 113 KUHP
diartikan secara luas. Unsur kesengajaan secara keseluruhan harus didakwakan
oleh penuntut umum dalam surat dakwaan dan dibuktikkan di sidang pengadilan
bahwa unsur tersebut telah dipenuhi oleh terdakwa. Adanya hubungan dengan
tindak pidana dalam rumusan Pasal 113, agar terdakwa dapat dinyatakan
terbukti melakukan tindakan – tindakan tersebut harus dapat dibuktikkan bahwa
terdakwa menghendaki untuk memberitahukan hal – hal yang bersifat rahasia
yang berhubungan dengan pertahanan negara yang orang lain tidak berwenang
untuk mengetahuinya.

12
Apabila ada seseorang karena kealpaannya membocorkan surat – surat
rahasia yang dimaksudkan dalam Pasal 113 dan sudah diketahui di muka umum,
namun itu sudah menjadi tugasnya untuk merahasiakan surat – surat tersebut,
akan diancam pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana
kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling tinggi empat ribu
lima ratus rupiah.
Dalam ketentuan Pasal 115 jika ada orang mengetahui dan membaca surat
rahasia yang dimaksud dalam Pasal 113, yang seharusnya tidak ia ketahui, dan
membuat salinan atau ikhtisar dengan huruf dalam bahasa apapun dan tidak
segera untuk menyerahkan surat tersebut kepada pejabat kehakiman, kepolisian
atau pamong praja, akan diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun.
Jika ada pemufakatan kejahatan untuk melakukan hal – hal yang tertera
dalam Pasal 113 dan Pasal 115, akan diancam dengan pidana penjara paling
lama satu tahun.
Dalam Pasal 117 yang berbunyi, “1. dengan sengaja memasuki bangunan
Angkatan Darat atau Angkatan Laut, atau memasuki kapal perang melalui jalan
yang bukan jalan biasa; 2. dengan sengaja memasuki daerah, yang oleh Presiden
atau atas namanya, atau oleh penguasa tentara ditentukan sebagai daerah tentara
yang dilarang; 3. dengan sengaja membuat, mengumpulkan, mempunyai,
menyimpan, menyembunyikan atau mangangkut gambat potret atau gambar
tangan maupun keterangan-keterangan atau petunjuk-petunjuk lain mengenai
daerah seperti tersebut dalam ayat ke-2, beserta segala sesuatu yang ada disitu.”
Bila ada orang dengan sengaja masuk ke area terlarang militer yang sudah
ditetapkan oleh Presiden dan atas namanya dengan maksud untuk memotret
untuk mempunyai ciri – ciri atau petunjuk mengenai tempat tersebut akan
diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Tindak pidana tentang sengaja membuat sesuatu tentang ketentaraan yang
tercantum dalam Pasal 118, tiap – tiap orang yang tidak berwenang sengaja
membuat gambar, lukisan atau uraian tentang suatu hal yang penting bagi
ketentaraan. Ini maksudnya adalah hal – hal yang bersifat rahasia dan dijaga dari
pengetahuan publik, lalu ada oknum tidak berwenang mengabadikan hal
tersebut, hal ini diancam pidana penjara selama – lamanya dua tahun atau denda
sebanyak sembilan ribu rupiah.

13
Seseorang yang memberi tempat menumpang orang, sedangkan ia juga
mengetahui bahwa orang itu telah mengetahui surat – surat rahasia yang
dimaksud dalam Pasal 113, dan menyembunyikan benda yang diketahuinya
untuk melakukan niat yang dimaksudkan pada penjelasan sebelumnya akan
dijerat hukuman penjara lama – lamanya satu tahun. Ini tercantum dalam Pasal
119.
Pasal 120 merupakan pasal pemberat untuk kejahatan yang dimaksud dalam
Pasal 113, 115, 117, 118, dan 119. Hukumannya diperberat dua kali lipatnya.
Pasal 121 berbunyi “barangsiapa yang ditugaskan atas nama Pemerintah
berunding dengan negara asing, dengan sengaja melakukannya untuk kerugian
negara, diancam dengan pidana penjara maksimum dua belas tahun” untuk
menerapkan pasal ini, harus dinilai secara keseluruhan bagaimana misi dari
pemerintah ini baik tersirat maupun tersurat. Dalam pasal ini disebutkan
keberadaannya unsur kesengajaan, jadi kesengajaan inilah yang harus
dibuktikkan. Kesengajaan ini pula yang merupakan inti dalam pasal tersebut.
Namun, kerugian yang disebabkan oleh pelaku ini tidak harus dibuktikkan
terlebih dahulu, dengan kata lain, kejahatan diplomatik ini merupakan delik
formil yang berarti tidak mensyaratkan terjadinya kerugian negara terlebih
dahulu untuk meminta pertanggungjawaban pidana pada pelakunya.
Pasal 122 memuat mengenai dalam masa perang yang tidak menyangkut
Indonesia, dengan sengaja melakukan perbuatan yang membahayakan
kenetralan Negara. Pasal 123 memuat mengenai Warga Negara Indonesia yang
masuk menjadi tentara asing yang sedang menghadapi perang atau perang
dengan Indonesia. Pasal 124 memuat tentang seseorang dalam masa perang
sengaja memberi bantuan pada musuh, dan sebagainya.
Pemufakatan jahat pada Pasal 125 yaitu untuk melakukan kejahatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124, Pasal 126 memuat tentang seseorang
dalam masa perang tidak dengan maksud untuk membantu musuh, memberi
pondokan (tempat tinggal) kepada mata – mata musuh, menyembunyikan, dan
lain sebagainya. Pasal 127 berisi tindak pidana dalam masa perang seperti
melakukan perbuatan tipu muslihat atau kecurangan dalam penyerahan barang
keperluan Angkatan Laut dan Angkatan Darat, dan Pasal 129 mengenai
diterapkannya pidana yang ditentukkan terhadap perbuatan dalam Pasal 124-

14
127, kepada di pelaku yang melakukan salah satu perbuatan terhadap atau
bersangkutan dengan Negara sekutu dalam perang bersama.
Dari Pasal 104 – Pasal 129 KUHP diatas, perlindungan terhadap Negara
dimanifestasikan dalam bentuk perlindungan terhadap kepentingan atau benda
hukum yang berupa:
- Presiden/Wakil Presiden;
- Keutuhan integritas wilayah Negara;
- Pemerintahan;
- Rahasia Negara/militer;
- Kenetralan Negara; dan
- Keamanan nasional.
Titik berat dalam pasal – pasal diatas adalah perbuatan makar dan perbuatan
yang mengancam keutuhan Negara.

1.2 Analisis Bab II Tentang Kejahatan – Kejahatan Terhadap Martabat


Presiden dan Wakil Presiden
Sifat delik dalam Pasal 130 – 139 KUHP ini dirubah dari delik biasa menjadi
delik aduan, jika korban/obyeknya (Presiden dan Wakil Presiden) mengadukan
dan terdapat unsur – unsur tindak pidana yang ada di pasal – pasal ini, baru bisa
diproses secara hukum. Ada beberapa Pasal yang ditiadakan yaitu Pasal 130,
132, 133, 136, 138 dan 139 (1). Pasal yang dimuat dalam Bab II ini adalah Pasal
134, 136bis, dan 137 KUHP.
Pasal – pasal ini memuat tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden. Dalam Pasal 131, berisi tentang jika terjadi penyerangan terhadap
Presiden dan Wakil Presiden namun tidak termasuk dalam tindak pidana lain
yang lebih berat, diancam delapan tahun penjara.
Sedang dalam Pasal 134 jika seseorang dengan sengaja menghina Presiden
dan Wakil Presiden, akan diancam pidana penjara paling lama enam tahun, atau
denda sebanyak empat ribu lima ratus rupiah. Dalam Pasal 136bis dijelaskan
penghinaan yang dilakukan diluar kehadiran yang dihina, baik didepan umum,
secara lisan atau tulisan, namun dihadapan lebih dari empat orang, dihadapan
orang ketiga dan bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa
tersinggung.

15
Titik berat dalam pasal – pasal ini adalah penghinaan terhadap Presiden dan
Wakilnya. Siapapun yang menyiarkan dan menyebarkan untuk khalayak umum
dan bermaksud untuk menghina Presiden dan Wakil Presiden, diancam pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah. Ini dirumuskan dalam Pasal 137 KUHP.

1.3 Analisis Bab III Tentang Kejahatan – Kejahatan Terhadap Negara Sahabat
dan Terhadap Kepala Negara Sahabat Serta Wakilnya
Berdasarkan hasil analisis, pasal ini termasuk dalam kategori kejahatan
pemalsuan informasi. Kejahatan ini juga termasuk ke dalam delik formil.
Masuk pasukan/gerombolan merupakan perbuatan menggabungkan diri
dalam pasukan atau gerombolan. Pasukan atau gerombolan yang melawan
kekuasaan yang syah di Indonesia dengn senjata harus bertujuan untuk melawan
kekusaan yang syah di Indonesia, atau harus melawan atau menentang
pemerintah Indonesia, baik di pusat maupun di daerah.
Dengan maksud melawan kekuasaan yang syah di Indonesia, yakni
pelakunya mempunyai niat atau kehendak melawan kekuasaan yang syah di
Indonesia, dan niat atau kehendak itu tidak perlu terlaksana. Pasal 139a KUHP.
Pasal 139a KUHP ini unsur-unsurnya terdiri atas unsur obyektif, yakni makar
yang dilakukan. Sedangkanedangkan unsur subyektifnya adalah dengan maksud
untuk melepaskan dari pada pemerintahan yang syah.
Daerah – daerah negara sahabat, jajahan negara sahabat, bahagian daerah
negara sahabat seluruh atau sebagian. Sedangkan Pasal 139b KUHP unsur-
unsurnya adalah makar yang dilakukan dengan maksud untuk menghapuskan
atau mengubah denggan jalan tidak syah pemerintahan yang telah tetap, dari
suatu negara sahabat atau dari suatu jajahan atau sebagian dari suatu negara
sahabat. Pasal 140 KUHP. Adapun unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 140
KUHP, yaitu : Makar untuk: menghilangkan nyawa, kemerdekaan; raja yang
memerintah negara sahabat; kepala lain dari negara shabat. Makar untuk
menghilangkan jiwa itu; menyebabkan mati atau dilakukan yang dirancang
lebih dahulu.
Makar untuk menghilangkan jiwa itu; yang dirancangkan lebih dahulu;
menyebabkan mati. Jika diamati pasal yang telah disebutkan di atas, maka dapat
dijelaskan bahwa Pasal 140 KUHP senada dengan Pasal 104 KUHP, karena

16
sama-sama makar terhadap nyawa atau kemerdekaan Kepala Negara atau
wakilnya.
Pasal 139a KUHP senada dengan Pasal 106 KUHP,yakni sama-sama makar
untuk memisahkan wilayah negara, demikian halnya juga terhadap Pasal 139b
KUHP dengan Pasal 107 KUHP. Perbedaannya adalah bahwa Pasal 104 KUHP,
Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP itu mengenai negara Indonesia. Sedangkan
Pasal 139a KUHP, Pasal 139b KUHP dan Pasal 140 KUHP, membicarakan
tentang negara sahabat sehingga ancaman pidananya berbeda.

1.4 Analisis Bab IV Tentang Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban dan


Hak Kenegaraan
Pasal 146 -147 menjelaskan tentang pemaksaan terhadap seseorang agar
tidak mengambil suatu keputusan yang ditetapkannya sendiri serta mengusir
dengan kekerasan dan menghadang anggota agar tidak menghadiri rapat.
Tindakan ini termasuk pelanggara KUHP dan menghalangi seseorang untuk
tegas dalam mengambil suatu keputusan.
Pasal 148 – 150 tentang penyuapan serta melakukan tipu muslihat agar
seseorang tidak melakukan hak pilihnya. Tidakan ini termasuk pelanggaran
KUHP, sama seperti pasal 146 -147. Namun, di pasal 148 – 150, seseorang
menggunakan cara dengan memberikan informasi yang tidak sesuai fakta. Yang
membuat seseorang yang lain tidak berpegang teguh pada hak pilihnya.
1.5 Analisis Bab V Tentang Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
Pada KUHP Buku 2, menjelaskan tentang kejahatan-kejahatan yang
dilakukan beserta hukuman yang telah ditetapkan. Disini akan dianalisis tentang
Buku 2 Bab 5 yang menjelaskan tentang kejahatan terhadap ketertiban umum.
Pada bab ini, terdapat 29 Pasal yang akan dianalisis, yaitu dari pasal 153 sampai
pasal 181 KUHP.
1. PASAL 154 KUHP
Pasal ini berbunyi “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan
permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia,
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal ini telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi, namun masih ada pada
UU ITE. Pasal ini menjelaskan penghinaan terhadap pemerintah. Pasal ini masih

17
ada pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik yang sebagaimana telah dikatakan oleh Wakil Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Edward Omar Sharif Hiariej.
2. PASAL 155 KUHP
Pasal ini berbunyi “(1)Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau
menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan
perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah
Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh
umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2)Jika yang
bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya
dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap
karena melakukan kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat
dilarang menjalankan pencarian tersebut.”
Pasal ini juga telah dicabut oleh pemerintah, namun masih diatur pada
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
3. PASAL 156 KUHP
Pasal ini berbunyi “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan
permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan
rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan
dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat
Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras,
negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan
menurut hukum tata negara.
Pasal ini menjelaskan tentang memidanakan seseorang yang melakukan
pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap golongan-
golongan rakyat yang ada di Indonesia seperti ras, suku, ataupun agama dengan
hukuman penjara paling lama 5 tahun atau denda pidana sebesar empat ribu
lima ratus rupiah. Dengan adanya pasal ini, masyarakat tidak semena-mena
untuk melakukan perbuatan pidana tersebut.
Pasal ini cenderung memiliki kekurangan terhadap denda atau
konsekuensinya. Untuk denda yang ditetapkan terlalu kecil sehingga membuat

18
masyarakat yang melanggar pasal ini berpotensi untuk mengulang kejahatannya.
Namun untuk pidana penjara yang ditetapkan cukup membuat sang terpidana
jera.
4. PASAL 156 A KUHP
Pasal ini berbunyi “Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima
tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau
melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bcrsifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun
juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Pasal ini menjelaskan tentang pemidanaan terhadap orang yang melakukan
penghinaan, pencemaran, atau menyatakan permusuhan di muka umum
terhadap agama (yang ada di Indonesia). Dari kasus yang telah dianalisis, tidak
sedikit yang telah melanggar pasal ini. Sebagai contoh saja dari kasus
Muhammad Kece yang melakukan penistaan terhadap Islam dan Nabi
Muhammad SAW.
Pasal ini juga menjabarkan bahwa sebagai masyarakat Indonesia, dilarang
untuk melakukan doktrin yang membuat orang lain untuk tidak menganut
agama apapun atau yang biasa disebut Atheis. Sedangkan di Indonesia sendiri,
masyarakat harus menganut agama yang diinginkan.
Kelebihan dari pasal ini sendiri adalah memiliki hukuman pidana yang cukup
membuat terpidana jera karena hukuman penjara yang cukup lama, yaitu 5
tahun. Dan kekurangannya adalah tidak ditetapkannya seberapa besar dendanya
terhadap pidana yang dilakukan.
Dari segi penulisan, tidak ada kekurangan sama sekali. Karena menurut hasil
yang telah dianalisis, penulisan pasal ini sudah cukup jelas dan mudah dipahami
oleh masyarakat Indonesia sendiri.
5. PASAL 157 KUHP
Pasal ini berbunyi “(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau
menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung
pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau
terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya
diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dcngan pidana penjara

19
paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling hanyak empat
rupiah lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut
pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun
sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, yang
bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.”
Pasal ini menjelaskan tentang memidanakan seseorang yang mempublikasi
rasa kebencian atau menyatakan permusuhan terhadap golongan-golongan
rakyat Indonesia dengan hukuman pidana paling lama 2 tahun 6 bulan penjara
atau denda paling besar sebanyak empat ribu lima ratus rupiah. Pada ayat 2,
dijelaskan juga jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu pencarian
pemerintah terhadapnya dan belum lewat dari 5 tahun dari penetapan
pemidanaannya karena kejahatan yang serupa, yang bersangkutan dilarang
untuk menjalankan pencarian tersebut.
Untuk dari segi penulisan pasal ini pada ayat 1 cukup jelas menurut hasil
analisis. Karena bahasa dan kata-kata yang mudah dipahami bagi para
pembacanya. Pada ayat 2 pasal ini, menurut hasil analisis bahasa yang
digunakan kurang jelas dan sulit untuk dipahami bagi para pembaca.
6. PASAL 158 KUHP
Pasal ini berbunyi “Barang siapa menyelenggarakan pemilihan anggota untuk
suatu lembaga kenegaraan asing di Indonesia, atau menyiapkan ataupun
memudahkan pemilihan itu, baik yang diadakan di Indonesia maupun di luar
negeri, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda
paling banyak tujuh ribu lima ratus rupiah.”
Pasal ini menjelaskan tentang memidanakan WNI yang mengadakan,
menyiapkan, atau memudahkan pemilihan umum untuk lembaga negara asing di
Indonesia maupun di luar negeri dengan status masih menjadi WNI tetap dan
bukan warga negara asing, akan diancam dengan hukuman penjara paling lama
2 tahun atau denda paling banyak tujuh ribu lima ratus rupiah.
Dari hasil yang telah dianalsis, penulisan untuk pasal ini mudah dipahami
dan cukup jelas bagi para pembacanya. Untuk hukuman yang ditetapkan pun
dirasa sudah cukup membuat si terpidana jera.
7. PASAL 159 KUHP
Pasal ini berbunyi “Barang siapa turut serta dalam pemilihan umum, baik
yang diadakan di Indonesia maupun di luar negeri, seperti yang dimaksudkan

20
dalam pasal 158, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau
pidana denda paling banyak seribu lima ratus rupiah.”
Pasal ini menjelaskan tentang pemidanaan terhadap orang yang ikut serta
terhadap pemilu yang bertujuan untuk memudahkan pemilihan seperti yang
dituliskan pada pasal 158. Pemerintah menetapkan hukuman terhadap pelanggar
pasal ini dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak
seribu lima ratus rupiah.
Dari hasil yang telah dianalisis, pasal ini memiliki penulisan yang cukup jelas
dan mudah dipahami bagi para pembacanya. Dan juga bahasa yang digunakan
pun cukup praktis. Untuk hukuman pidana yang ditetapkan oleh pemerintah,
dirasa sudah cukup untuk si terpidana walau ada potensi untuk mengulangi
perbuatan tersebut.
8. PASAL 160 KUHP
Pasal ini berbunyi “Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan
menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap
penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun
perintah jabatan yang diherikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam
dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal ini bertujuan memidanakan orang yang melakukan penghasutan supaya
melakukan kejahatan terhadap penguasa umum baik dengan lisan atau tulisan di
muka umum akan diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
KUHP menyebut Pasal 160 yang mengatur penghasutan sebagai delik formil.
Artinya, perbuatan penghasutan itu bisa langsung dipidana tanpa melihat ada
tidaknya dampak dari penghasutan tersebut. Maka pengungkapan kalimat oleh
C seperti “betikaman sajalah, dari pada ribut-ribut” yang hanya diucapkan
kepada satu orang yaitu A, bukan di tempat umum dan tidak ada banyak orang,
tidak dapat ditafsirkan sebagai perbuatan menghasut atau yang dalam istilah
“mengompori”.
Untuk penulisan pasal ini sendiri berdasarkan yang telah dianalisis pun bisa
dibilang kurang jelas karena terhadap bahasa atau penulisan yang kurang mudah
untuk dipahami. Dan untuk hukuman pidana yang ditetapkan oleh pemerintah

21
pun juga dirasa cukup membuat si pelanggar jera terhadap perbuatan yang telah
dilakukan.
9. PASAL 161 KUHP
Pasal ini berbunyi “(1)Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau
menempelkan di muka umum tulisan yang menghasut supaya melakukan
perbuatan pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan, atau
menentang sesuatu hal lain seperti tersebut dalam pasal di atas, dengan maksud
supaya isi yang menghasut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2)Jika yang bersalah melakukan kejahatan
tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat
lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu
juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.”
Pasal ini menjelaskan tentang pemidanaan seseorang yang melakukan
penghasutan supaya melakukan perbuatan pidana, menentang penguasa umum
dengan kekerasan seperti pada pasal 160 diatas dengan maksud untuk diketahui
umum akan diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau denda pidana empat
ribu lima ratus rupiah.
Dalam pasal ini, diterangkan bahwa hal diatas termasuk ke dalam delik
formil. Delik formil ini mensyaratkan suatu perbuatan yang dilarang atau
diharuskan selesai dilakukan tanpa menyebut akibatnya. Atau dengan kata lain
yang dilarang undang-undang adalah perbuatannya.
10. PASAL 163 KUHP
Pasal ini berbunyi “(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau
menempelkan tulisan yang berisi penawaran di muka umum untuk memberi
keterangan, kesempatan atau sarana untuk melakukan tindak pidana dengan
maksud agar penawaran itu diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Bila yang bersalah melakukan
kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pekerjaannya dan pada saat itu
belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan
semacam itu juga, maka yang bersangkutan dapat dipecat dari haknya
menjalankan pekerjaan tersebut.”

22
Pasal ini menjelaskan tentang pemidanaan seseorang yang mempublikasikan
tulisan yang berisi penawaran untuk memberi kesempatan untuk melakukan
tindak pidana dengan maksud untuk diketahui oleh umum. Orang yang
melakukan hal tersebut akan dijerat dengan hukuman pidana penjara paling
lama 4 bulan 2 minggu atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Dalam pasal ini, diterangkan bahwa hal diatas termasuk ke dalam delik
formil. Delik formil ini mensyaratkan suatu perbuatan yang dilarang atau
diharuskan selesai dilakukan tanpa menyebut akibatnya. Atau dengan kata lain
yang dilarang undang-undang adalah perbuatannya.
11. PASAL 164 KUHP
Pasal ini berbunyi “Barangsiapa mengetahui ada suatu permufakatan untuk
melakukan kejahatan tersebut dalam pasal 104, 106, l07, dan 108, 113, 115,
124, 187 atau 187 bis, sedang masih ada waktu untuk mencegah kejahatan itu,
dan dengan sengaja tidak segera memberitahukan hal itu kepada pejabat
kehakiman atau kepolisian atau kepada orang yang terancam oleh kejahatan itu,
dipidana, bila kejahatan itu jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama
satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.”
Pasal ini menjelaskan tentang pemidanaan seseorang yang mengetahui
tentang permufakatan untuk melakukan kejahatan terhadap seseorang dan secara
sengaja tidak memberi informasi itu kepada pemerintah ataupun orang yang
terancam oleh kejahatan yang akan menimpanya. Orang yang melakukan
pelanggaran terhadap pasal ini akan dikenai hukuman pidana penjara paling
lama 1 tahun 4 bulan atau denda pidana paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 140) mengatakan
bahwa menurut Pasal 45 Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R), maka orang
yang kena atau mengetahui peristiwa pidana berhak untuk memberitahukan hal
itu pada yang berwajib. Ini berarti bahwa hal memberitahukan itu adalah suatu
hak, bukan suatu kewajiban yang apabila diabaikan ada ancaman hukumannya.
Akan tetapi, dalam hal-hal yang tersebut pada Pasal 164 dan Pasal 165 KUHP,
orang yang mengetahui suatu peristiwa pidana yang tidak memberitahukan pada
polisi dan justisi diancam hukuman.

23
Lebih lanjut, Soesilo menjelaskan bahwa untuk dapat dituntut pasal ini harus
dipenuhi syarat-syarat:
1. Orang itu harus mengetahui ada permufakatan jahat untuk melakukan
salah satu kejahatan yang disebutkan dalam pasal itu (kejahatan lain tidak
berlaku);
2. Masih ada tempo untuk mencegah kejahatan itu;
3. Sengaja tidak memberitahukan hal itu dengan cukup pada waktunya pada
polisi atau yustisi atau orang terancam; dan
4. Kejahatan itu harus jadi dilakukan (kalau tidak, orang tidak dapat
dihukum)
12. PASAL 165 KUHP
Pasal ini berbunyi “(1) Barangsiapa mengetahui ada niat untuk melakukan
salah satu kejahatan tersebut dalan pasal 104, 106-108, 110-113, 115-129, dan
131 atau niat untuk lari dari tentara dalam masa perang, untuk desersi, untuk
membunuh dengan rencana, untuk menculik atau memperkoosa, atau
mengetahui adanya niat untuk melakukan kejahatan tersebut dalam Bab VII
kitab undang-undang ini, sepanjang kejahatan itu membahayakan nyawa orang,
atau untuk melakukan salah satu kejahatan tersebut dalam pasal 224-228, 250,
atau salah satu kejahatan tersebut dalam pasal 264 dan 275, sepanjang mengenai
surat kredit yang diperuntukkan untuk diedarkan, sedang masih ada waktu untuk
mencegah kejahatan itu, dan dengan sengaja tidak segera memberitahukan hal
itu kepada pejabat kehakiman, atau kepolisian atau kepada orang yang terancam
oleh kejahatan itu, dipidana, bila kejahatan itu jadi dilakukan, dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah. (2) Pidana tersebut juga dikenakan terhadap rang yang
mengetahui bahwa suatu kejahatan tersebut dalam ayat (1) telah dilakukan, dan
telah membahayakan nyawa rang pada saat akibat masih dapat dicegah, dengan
sengaja tidak memberitahukannya kepada pihak-pihak tersebut dalam ayat (1).”
Pasal ini menjelaskan tentang pemidanaan orang yang mengetahui orang lain
hendak melakukan kejahatan. Tindakan pidana ini termasuk ke dalam delik
dolus yaitu perbuatan yang disengaja.
13. PASAL 166 KUHP
Pasal ini berbunyi “Ketentuan dalam pasal 164 dan 165 tidak terlaku bagi
orang yang dengan memberitahukan hal itu mungkin mendatangkan bahaya

24
penuntutan pidana bagi diri sendiri, bagi salah seorang keluarganya sedarah atau
semenda dalam garis lurus atau garis menyimpang derajat kedua atau ketiga,
bagi suami/istri atau bekas suami/istrinya, atau bagi orang lain yang bila
dituntut, berhubung dengan jabatan atau pekerjaannya, dimungkinkan
pembebasan menjadi saksi terhadap orang tersebut.”
Pasal ini menjelaskan tentang adanya pengecualian atas ketentuan dalam
Pasal 164 dan Pasal 165 KUHP, dimana dalam hal tertentu, orang yang
mengetahui akan dilakukannya tindak pidana, tidak dihukum.
14. PASAL 167 KUHP
Pasal ini berbunyi “(1) Barangsiapa masuk dengan paksa ke dalam rumah,
ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai rang lain secara melawan hukum
atau berada di situ secara melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak
atau suruhannya tidak segera pergi dari situ, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah. (2) Barangsiapa masuk dengan merusak atau memanat, dengan
anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu, atau barangsiapa
tanpa setahu yang berhak terlebih dahulu serta bukan karena kekeliruan masuk
dan kedapatan di situ pada waktu malam, dianggap masuk dengan paksa. (3)
Bila ia mengeluarkan ancaman atau menggunakan sarana yang dapat
menakutkan rang, maka ia diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun, empat bulan. (4) Pidana tersebut dalam ayat 1 dan 3 dapat ditambah
sepertiga bila yang melakukan kejahatan dua rang atau lebih dengan bersekutu.”
Menurut R. Soesilo, pasal ini terkait dengan delik yang disebutnya
“huisvredebreuk” yaitu kejahatan terhadap kebebasan rumah tangga. Unsur-
unsur dari pasal di atas dapat dibagi dua yaitu :
a. Unsur subjektif.
Unsur subjektif adalah unsur yang menyangkut orang yang melakukan tindak
pidana. Dalam pasal ini meskipun tidak disebutkan kata-kata “sengaja (dolus),
atau lalai (culva), maka dapat ditafsirkan pada bahwa unsur kesalahan dari
orangnya adalah “sengaja”. Artinya harus bisa dibuktikan perbuatan yang
dilakukan oleh subjek delik dilakukan dengan sengaja. Jika unsur sengaja tidak
ada maka, pasal ini tidak bisa digunakan.
b. Unsur objektif.

25
Unsur objektif adalah unsur dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh subjek hukum. Dalam pasal ini ada beberapa unsur yaitu : memasuki
rumah/ruangan/pekarangan orang lain, cara masuknya harus dengan unsur
paksaan. Paksaan merupakan unsur mutlak dari pasal ini, jika seorang
memasuki rumah/ruangan/pekarangan orang lain tanpa paksaan, maka pasal ini
tidak bisa digunakan. Paksaan dapat diartikan perbuatan itu dilakukan dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan. Kekerasan misalnya dengan merusak,
mematahkan, atau memalsukan kunci. Ancaman misalnya dilakukan dengan
kata-kata yang kasar, kata-kata dibarengi mengacung-acungkan senjata, atau
sesuatu benda yang bisa mengancam tubuh dan nyawa seseorang.
15. PASAL 168 KUHP
Pasal ini berbunyi “(1) Barangsiapa masuk dengan paksa ke dalam ruangan
untuk dinas umum secara melawan hukum, atau berada di situ secara melawan
hukum, dan atas permintaan pejabat yang berwenang tidak segera pergi dari
situ, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Barangsiapa
masuk dengan merusak atau memanjat, dengan menggunakan anak kunci palsu,
perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu, atau barangsiapa tanpa setahu pejabat
yang berwenang terlebih dahulu serta bukan karena kekeliruan masuk dan
kedapatan di situ pada waktu malam, dianggap masuk dengan paksa. (3) Bila ia
mengeluarkan ancaman atau menggunakan sarana yang dapat menakutkan rang,
maka la diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan. (4)
Pidana tersebut dalam ayat 1 dan 3 dapat ditambah sepertiga, bila yang
melakukan kejahatan dua rang atau lebih dengan bersekutu.”
Tujuan ditetapkannya dari Pasal 168 KUHP yang terletak dalam Buku
Kedua: Kejahatan, Bab V: Kejahatan terhadap Ketertiban Umum, ini bertujuan
untuk melindungi ketertiban umum, yaitu khususnya suatu pekerjaan dinas agar
tetap lancar dalam melayani masyarakat sehingga masyarakat tidak dirugikan
untuk mendapatkan pelayanan yang diperlukan. Jika perbuatan seseoang yang
memaksa masuk ke dalam suatu ruangan untuk dinas umum itu mengakiabtkan
terhambatnya pelayanan atau ketertiban dalam ruangan, maka hal tersebut sudah
tentu merugikan masyarakat.
Dalam kenyataan, sekalipun telah ada ketentuan Pasal 168 KUHP tentang
memaksa masuk ke dalam suatu ruangan untuk dinas, tetapi masih saja terjadi

26
perbuatan- perbuatan sedemikian. Malahan sekarang ini hal memaksa masuk ke
dalam ruangan untuk dinas dapat dikatakan masih cukup sering terjadi dengan
berbagai latar belakangnya.
16. PASAL 169 KUHP
Pasal ini berbunyi “(1) Turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan untuk
melakukan kejahatan, atau dalam perkumpulan lain yang dilarang leh aturan-
aturan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. (2)
Turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan untuk melakukan pelanggaran,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (3) Terhadap pendiri atau pengurus
perkumpulan itu, pidana dapat ditambah sepertiga.”
Pasal ini menerangkan tentang pemidanaan seseorang yang mengikuti sebuah
perkumpulan atau organisasi yang bertujuan untuk melakukan kejahatan atau
yang dilarang oleh aturan-aturan umum akan diancam dengan pidana penjara
paling lama 6 tahun. Dan pemidanaan terhadap orang yang berkuasa terhadap
sebuah perkumpulan atau organisasi terlarang tersebut dengan pidana penjara
dengan tambahan sepertiga hukuman penjara seperti yang ditetapkan pada ayat
1 di atas.

17. PASAL 170 KUHP


Pasal ini berbunyi “(1)Barangsiapa secara terang-terangan dan secara
bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2) Yang bersalah
diancam: a. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, bila la dengan
sengaja menghancurkan barang atau bila kekerasan yang digunakan itu
mengakibatkan luka-luka; b. dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun,
bila kekerasan itu mengakibatkan luka berat; c. dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun, bila kekerasan itu mengakibatkan kematian.
Pasal ini menerangkan tentang pemidanaan seseorang yang secara terang-
terangan dan bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang.
Pada ayat 1 diterangkan bahwa hukuman pidana yang didapat oleh pelaku yaitu
penjara dengan waktu paling lama 5 tahun 6 bulan. Penjelasan pada ayat 2 yaitu
jika yang bersalah akan diancam pidana penjara paling lama 7 tahun apabila

27
tindakannya (ayat 1) mengakibatkan luka-luka, 9 tahun apabila mengakibatkan
luka berat, dan 12 tahun apabila mengakibatkan kematian.
Kualifikasi dari delik ini adalah untuk mengganggu ketertiban umum, artinya
harus bisa dibuktikan bahwa para pelaku yang melakukan tindak pidana pidana
punya niat ingin membuat kakacauan sehingga menimbulkan rasa takut pada
masyarakat. Untuk membuat gangguan keamanan pada masyarakat ini, ada
sekolompok orang atau beberapa orang yang melakukan perbuatan yang
menimbulkan luka atau kematian atau kerusakan pada barang-barang di tempat
umum. Jadi timbulnya kerusakan, luka atau kematian bukanlah tujuan utama
dari delik ini. Dengan demikian, proses pembuktiannya adalah harus bisa
ditemukan rangkaian perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang.
Rangkaian perbuatan tersebut bersifat logis, dan rasional.
18. PASAL 172 KUHP
Pasal ini berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja mengganggu ketenangan
dengan teriakan-teriakan atau tanda-tanda bahaya palsu, diancam dengan pidana
penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak sembilan
ratus rupiah”
Pasal ini menerangkan tentang pemidanaan seseorang yang mengganggu
ketertiban umum dengan cara mengeluarkan suara atau tanda bahaya palsu.
Pelaku akan diancam dengan pidana penjara paling lama 3 minggu atau denda
paling banyak sembilan ratus rupiah.
Tindakan pidana pada pasal ini termasuk ke dalam tindakan pidana yang
ringan, karena cenderung tidak menimbulkan dampak yang besar bagi
masyarakat.
19. PASAL 173 KUHP
Pasal ini berbunyi “Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman
kekerasan merintangi rapat umum yang diizinkan, diancam dengan pidana
penjara paling lama satu tahun.”
Pasal ini menerangkan tentang pemidanaan seseorang yang melakukan
kekerasan merintangi atau mengalang-alangi rapat umum yang diizinkan. Yang
bersalah akan diancam pidana paling lama 1 tahun penjara. Dan kejahatan ini
termasuk ke dalam delik formil.

20. PASAL 174 KUHP

28
Pasal ini berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja mengganggu rapat umum
yang diizinkan dengan jalan menimbulkan huru-hara atau suara gaduh, diancam
dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah.”
Pasal ini menerangkan tentang pemidanaan seseorang ataupun sekumpulan
orang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan kegaduhan pada rapat
umum yang legal. Yang bersalah akan diancam dengan pidana penjara paling
lama 3 minggu atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Pelanggaran ini
termasuk ke dalam tindak pidana yang ringan.

21. PASAL 175 KUHP


Pasal ini berbunyi “Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman
kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan diizinkan,
atau upacara keagamaan yang diizinkan, atau upacara penguburan jenazah,
diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.”
Pasal ini menerangkan tentang pemidanaan seseorang atau sekumpulan orang
yang melakukan tindak pidana dengan cara menghambat atau mengalang-alangi
acara keagamaan yang sedang berlangsung. Yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan. Berdasarkan hasil yang telah
dianalisis, tindak pidana ini termasuk ke dalam delik commisionis.

22. PASAL 176 KUHP


Pasal ini berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja mengganggu pertemuan
keagamaan yang bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang
diizinkan atau upacara penguburan jenazah, dengan menimbulkan huru-hara
atau suara gaduh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu bulan dua
minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.”
Pasal ini menerangkan tentang pemidanaan seseorang atau sekumpulan orang
yang melakukan tindak pidana yaitu dengan maksud untuk mengganggu acara
keagamaan yang legal dengan menimbulkan kegaduhan. Yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama satu bulan dua minggu atau denda paling
banyak seribu delapan ratus rupiah. Jenis pidana ini termasuk ke dalam kategori
penodaan agama, karena merusak acara keagamaan yang diselenggarakan secara
legal.

29
23. PASAL 177 KUHP
Pasal ini berbunyi “Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan
dua minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah: a.
barangsiapa menertawakan serang Petugas agama dalam merjalankan tugasnya
yang diizinkan; b. barangsiapa menghina benda-benda untuk keperluan ibadat di
tempat atau pada waktu ibadat dilangsungkan.”
Pasal ini menerangkan tentang pemidanaan seseorang yang melakukan tindak
pidana penghinaan terhadap petugas agama atau benda-benda keperluan ibadah
di tempat. Yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 4 bulan
atau denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah. Tindak pidana ini
termasuk ke dalam kategori penistaan agama.

24. PASAL 178 KUHP


Pasal ini berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja merintangi atau
menghalang-halangi jalan masuk yang diizinkan ke suatu kuburan atau
pengangkutan mayat yang diizinkan ke suatu kuburan, diancam dengan pidana
penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidana derida paling banyak
seribu delapan ratus rupiah.”
Pasal ini menerangkan tentang pemidanaan terhadap seseorang atau
sekumpulan orang yang melakukan tindak pidana terhadap agama dengan cara
merintangi atau menghalang-halangi jalan pengangkutan mayat ke suatu
kuburan yang dilegalkan. Yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling
lama 1 bulan 2 minggu atau denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.
Tindak pidana ini termasuk ke dalam kategori penistaan agama dan masuk
dalam kategori delik umum.

25. PASAL 179 KUHP


Pasal ini berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja mendai kuburan atau dengan
sengaja dan dengan melawan hukum menghancurkan atau merusak tanda
peringatan yang didirikan di atas kuburan, diancam dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan.”
Pasal ini menerangkan tentang pemidanaan seseorang atau sekumpulan orang
yang melakukan tindak pidana merusak atau menodai kuburan seseorang. Yang

30
bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan.
Pelanggaran dalam pasal ini termasuk ke dalam kategori perusakan properti
umum. Dan juga tindak pidana ini termasuk ke dalam kategori delik umum yang
artinya bisa dilakukan oleh semua orang.

26. PASAL 180 KUHP


Pasal ini berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum
mengeluarkan atau mengambil jenazah atau memindahkan atau mengangkut
jenazah yang sudah dikeluarkan atau diambil, diancam dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.”
Pasal ini menerangkan tentang pemidanaan seseorang atau sekumpulan orang
yang melakukan tindak pidana pencurian atau pengambilan jenazah yang sudah
dikeluarkan atau diambil untuk dikuburkan. Yang bersalah akan dijatuhi
hukuman pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.
Pelanggaran dalam pasal ini juga termasuk ke dalam kategori delik umum,
yang artinya bahwa tindakan ini dapat dilakukan oleh semua kalangan orang.
Dan ada kaitannya dengan pencurian karena mengambil sesuatu tanpa adanya
izin.
Untuk bahasa yang digunakan dalam pasal ini sudah cukup jelas dan mudah
dipahami bagi para pembaca, sehingga para pembaca bisa mengetahui adanya
larangan untuk mencuri atau mengambil mayat tanpa adanya izin atau
persetujuan.

27. PASAL 181 KUHP


Pasal ini berbunyi “Barangsiapa mengubur, menyembunyikan, membawa
atau menghilangkan jenazah dengan maksud untuk menyembunyikan kematian
atau kelahiran rang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal ini menerangkan tentang pemidanaan oleh seseorang atau sekumpulan
orang yang melakukan tindak pidana menyembunyikan jenazah dengan
bermaksud untuk menutupi informasi tentang kelahiran atau kematian orang itu.

31
Yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

1.6 Analisis Bab VI Tentang Perkelahian Tanding


Pasal khusus yang mengatur tentang duel atau perkelahian tanding yang
diatur dalam Pasal 182 – Pasal 186 KUHP. Pasal – Pasal ini dimasukan dalam
Bab VI, setelah bab yang mengatur bab kejahatan terhadap ketertiban umum,
bukan bab setelah bab penganiayaan ataupun pembunuhan. Penempatan ini
diartikan kejahatan perkelahian tanding ini lebih mengacu kepada kejahatan
terhadap ketertiban umum (menganggu ketertiban) daripada sifat kejahatan
pembunuhan atau penganiayaan.
Berkelahi satu lawan satu sendiri adalah perkelahian dua orang dengan
teratur didahului dengan tantangan. Selain itu, adapula diatur mengenai tempat,
waktu, senjata yang dipakai, dan saksi – saksinya. Jika syarat dalam peraturan
ini tidak dipenuhi, perkelahian tidak masuk kualifikasi ‘duel’.
Pasal 184 dan 185 KUHP mengancam hukuman kepada orang yang
melakukan perkelahian satu lawan satu, Pasal 183 mengancam hukuman kepada
orang yang mengejek pihak lain yang menolak melakukan perkelahian tanding,
Pasal 186 mengancam hukuman kepada para saksi duel yang berbuat
kecurangan.
Perkelahian tanding bisa berubah kualifikasi menjadi pembunuhan atau
penganiayaan jika syaratnya tidak dipenuhi. Syarat pertamanya ada pengaturan
pertandingan berupa syarat – syarat yang disepakati. Syarat ini berupa lokasi,
waktu, senjata yang dipakai, atau cara bertanding.
Kedua, pihak yang bertanding menghadirkan saksi – saksi. Saksi yang
dimaksud dalam Pasal 186 KUHP bukan sekadar saksi mata yang
melihat/menonton duel berlangsung, namun juga teman yang merangkap
sebagai saksi. Penting diketahui bahwa jika para saksi (termasuk dokter)
mengetahui bahwa duel itu tanpa syarat lebih dahulu atau mereka menghasut
untuk meneruskan duel dengan sengaja menyesatkan peserta duel untuk
kerugian salah satu pihak, maka mereka (para saksi) perlu diancam pidana.
Rasio Pasal 186 ini adalah agar para saksi turut berperan dalam rangka
penyelesaian secara terhormat suatu pertikaian, juga agar dilakukan cara
terhormat menyelesaikan suatu masalah yang jauh dari tindakan pengecut.

32
Syarat ketiga, kedua belah pihak harus menghindar dari tipu daya/hasutan.
Para pihak harus mematuhi syarat yang ditentukan sebelum tanding, karena itu
tidak boleh menghasut untuk menambah kerugian salah satu peserta tanding.
Jika terjadi pelanggaran terhadap syarat tadi, duel dalam Pasal 182 – 186 KUHP
berubah menjadi pasal pembunuhan atau penganiayaan.
2.1.
2.2.
2.3.

33
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pada pasal – pasal yang tercantum dalam Buku II KUHP Bab I, garis besar
pembahasan dari rumusan pasal ini adalah kejahatan terhadap keamanan
negara. makar dijelaskan sebagai perbuatan yang memiliki maksud untuk
membunuh, merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden
dan Wakil yang memerintah. Makar dikelompokkan menjadi makar terhadap
presiden, terhadap NKRI, dan pemerintah yang sah.

Pada Bab II, pasal yang tercantum termasuk dalam delik aduan. Karena
korban/obyeknya harus mengadukan dahulu dan jika dalam pemeriksaan
ternyata terdapat unsur – unsur tindak pidana yang ada dalam rumusan pasal –
pasal ini, kasus baru bisa diproses secara hukum. Secara garis besar Bab II ini
membahas tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.

Pada Bab III, Pasal 139a KUHP senada dengan Pasal 106 KUHP,yakni
sama-sama makar untuk memisahkan wilayah negara, demikian halnya juga
terhadap Pasal 139b KUHP dengan Pasal 107 KUHP. Perbedaannya adalah
bahwa Pasal 104 KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP itu mengenai
negara Indonesia. Sedangkan Pasal 139a KUHP, Pasal 139b KUHP dan Pasal
140 KUHP, membicarakan tentang negara sahabat sehingga ancaman
pidananya berbeda.

Rumusan pasal yang tercantum dalam Bab IV membahas dan mengatur


mengenai bentuk kejahatan yang menyebabkan seorang tidak dapat melakukan
kewajiban dan menerima haknya, serta ada kekerasan/ancaman – ancamannya,
suap – menyuap orang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, menerima
janji atau menerima suap, dan melakukan tipu muslihat.

34
Dalam Bab V mengenai Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum menjelaskan
bagaimana pemerintah mengatur dan menindak lanjut para pelaku yang
melanggar isi dari pasal pasal ini. Yang dimaksud Kejahatan Terhadap
Ketertiban Umum yaitu sebuah tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang
atau sekumpulan orang yang memang sekiranya mengganggu ketertiban
masyarakat yang ada di sekitar.

Bab VI terkait Perkelahian Tanding membahas mengenai duel dan aturan –


aturan dalam duel, contohnya penghadiran saksi dengan tujuan menjadi
penengah jika terjadinya konflik. Perkelahian tanding sendiri harus diikat
dengan aturan, karena jika tidak mematuhi peraturan yang ada, perkelahian
tanding bisa berubah kualifikasi menjadi pembunuhan atau penganiayaan.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Peraturan Perundang – Undangan

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana

2. Jurnal

Prayogo, S. W. A. (2020). Tinjauan Kebijakan Pidana Terhadap Martabat Presiden

Dan/Atau Wakil Presiden Dalam RKUHP. Jurnal Pandecta, 15(2), 207-217.

Rahadian, D. (2014). Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak Pidana

Politik. Law Reform, 9(2), 139.

Syahra. (2019). Penafsiran Pasal-Pasal Makar Terhadap Kasus-Kasus Politik Di Era

Presiden Joko Widodo. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Riau, 6(2).

Tombuku, R. (2020). Tindak Pidana Memaksa Masuk Ke Dalam Ruangan Untuk

Dinas Umum Menurut Pasal 168 KUHP. Lex Crimen, 9(3).

3. Website

AGUSTIN, H. (2016, April 22). 4 Kasus Penghinaan Terhadap Presiden Yang

Diproses Hukum. Diakses melalui

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt571a2c098997e/4-kasus-penghinaan-

terhadap-presiden-yang-diproses-hukum

Antaranews.com. (2021, Maret 4). Wamenkumham: Pasal 154 Dan 155 sudah dicabut

TAPI Masih ada Di UU ITE. Diakses melalui

https://www.antaranews.com/berita/2026491/wamenkumham-pasal-154-dan-155-

sudah-dicabut-tapi-masih-ada-di-uu-ite

36

You might also like