You are on page 1of 5

GANGGUAN TIROID (HIPERTIROIDISME) PADA MASA KEHAMILAN

Nurul Athira1

1
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Email : atiranurul59@gmail.com

PENDAHULUAN

lodin dari sumber makanan penting dalam proses sintesis pembentukan hormon tiroid. Dalam
beberapa dekade terakhir disebutkan bahwa kelompok risiko tertinggi kurangnya asupan iodin adalah
wanita hamil dan menyusui, serta anak usia kurang dari 2 tahun yang tidak terimplementasi oleh strategi
iodisasi garam universal. Selama masa kehamilan, terjadi beberapa perubahan fisiologis yang
berpengaruh terhadap kelenjar tiroid dari ibu. Perubahan fisiologi dari kelenjar tiroid ini untuk
memastikan kondisi tiroid optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan janin. Hormon tiroid dari
seorang ibu memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan serta fungsi dari janin dan plasenta
(Ari , 2015).

Gangguan fungsi tiroid selama periode reproduksi lebih banyak terjadi pada wanita, sehingga
tidak mengejutkan jika banyak gangguan tiroid ditemukan pada wanita hamil. Pada kehamilan, penyakit
tiroid memiliki karakteristik tersendiri dan penanganannya lebih kompleks pada kondisi tertentu.
Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan gangguan tiroid dan sebaliknya penyakit tiroid dapat pula
mempengaruhi kehamilan. Seorang klinisi hendaknya memahami perubahan-perubahan siologi masa
kehamilan dan patoi siologi penyakit tiroid, dapat mengobati secara aman sekaligus menghindari
pengobatan yang tidak perlu selama kehamilan (Girling, 2008).

Hipertiroidisme merupakan suatu sindrom klinik akibat meningkatnya sekresi hormon tiroid
didalam sirkulasi baik tiroksin (T4), triyodotironin (T3) atau kedua-duanya. Sekitar 90% dari
hipertiroidisme disebabkan oleh penyakit Grave, struma nodosa toksik baik soliter maupun multipel dan
adenoma toksik. Penyakit Grave pada umumnya ditemukan pada usia muda yaitu antara 20 sampai 40
tahun, sedang hipertiroidisme akibat struma nodosa toksik ditemukan pada usia yang lebih tua yaitu
antara 40 sampai 60 tahun. Oleh karena penyakit Grave umumnya ditemukan pada masa subur, maka
hampir selalu hipertiroidisme dalam kehamilan adalah hipertiroidisme Grave, walaupun dapat pula
disebabkan karena tumor trofoblas, molahidatidosa, dan struma ovarii. Prevalensi hipertiroidisme di
Indonesia belum diketahui. Di Eropa berkisar antara 1 sampai 2 % dari semua penduduk dewasa.
Hipertiroidisme lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki-laki dengan ratio 5:1 (Garry, 2013).

Hipertiroidisme jarang ditemukan pada wanita hamil. Kekerapannya diperkirakan 2 : 1000 dari
semua kehamilan,namun bila tidak terkontrol dapat menimbulkan krisis tiroid, persalinan prematur,
abortus dan kematian janin. Diagnosis hipertiroidisme dalam kehamilan sulit ditegakkan karena
kehamilan itu sendiri menyebabkan perubahan-perubahan fisiologik yang menyerupai keadaan
hipertiroidisme. Namun deteksi dini untuk mengetahui adanya hipertiroidisme pada wanita hamil
sangatlah penting, karena kehamilan itu sendiri merupakan suatu stres bagi ibu apalagi bila disertai
dengan keadaan hipertiroidisme.Pengelolaan penderita hipertiroidisme dalam kehamilan memerlukan
perhatian khusus, oleh karena baik keadaan hipertiroidismenya maupun pengobatan yang diberikan dapat
memberi pengaruh buruk terhadap ibu dan janin (shahab, 2012).

HORMON TIROID PADA KEHAMILAN

Pada janin iodin disuplai melalui plasenta. Saat awal gestasi, janin bergantung sepenuhnya pada
hormon tiroid (tiroksin) ibu yang melewati plasenta karena fungsi tiroid janin belum berfungsi sebelum
12-14 minggu kehamilan. Tiroksin dari ibu terikat pada reseptor sel-sel otak janin, kemudian diubah
secara intraseluler menjadi fT3 yang merupakan proses penting bagi perkembangan otak janin bahkan
setelah produksi hormon tiroid janin, janin masih bergantung pada hormon-hormon tiroid ibu, asalkan
asupan iodin ibu adekuat (Deswita, 2019).

perubahan penting selama kehamilan

 Waktu paruh tiroksin yang terikat globulin bertambah dari 15 menit menjadi 3 hari dan
konsentrasinya menjadi 3 kali lipat saat usi gestasi 20 minggu akibat glikosilasi estrogen.

 Hormon hCG dan TSH memiliki reseptor dan subunit alpha yang sama. Pada trimester pertama,
sindrom kelebihan hormon bisa muncul, hCG menstimulasi reseptor TSH dan memberi gambaran
biomekanik hipertiroid. Hal ini sering terjadi pada kehamilan multipel, penyakit trofoblastik dan
hiperemesisgravidarum, dimana konsentrasi hCG total dan subtipe tirotropik meningkat.

 Peningkatan laju i ltrasi glomerulus dan peningkatan uptake iodin ke dalam tiroid yang
dikendalikan oleh peningkatan konsentrasi tiroksin total dapat menyebabkan atau memperburuk
keadaan dei siensi iodin.

 Tiga hormon deiodinase mengontrol metabolisme T4 menjadi fT3 yang lebih aktif dan
pemecahannya menjadi komponeninaktif. Konsentrasi deiodinase III meningkat di plasenta
dengan adanya kehamilan, melepaskan iodin jika perlu untuk transpor ke janin, dan jika mungkin
berperan dalam penurunan transfer tiroksin.

HIPERTIROIDME PADA KEHAMILAN

Hipertiroidisme dalam kehamilan hampir selalu disebabkan karena penyakit Grave yang
merupakan suatu penyakit otoimun. Sampai sekarang etiologi penyakit Grave tidak diketahui secara pasti.
Sangat menarik perhatian bahwa penyakit Grave sering menjadi lebih berat pada kehamilan trimester
pertama, sehingga insiden tertinggi hipertiroidisme pada kehamilan akan ditemukan terutama pada
kehamilan trimester pertama. Sampai sekarang faktor penyebabnya belum diketahui dengan pasti.

Pada usia kehamilan yang lebih tua, penyakit Grave mempunyai kecenderungan untukremisi dan
akan mengalami eksaserbasi pada periode postpartum. Tidak jarang seorang penderita penyakit Grave
yang secara klinis tenang sebelum hamil akan mengalami hipertiroidisme pada awal kehamilan.
Sebaliknya pada usia kehamilan yang lebih tua yaitu pada trimester ketiga, respons imun ibu akan
tertekan sehingga penderita sering terlihat dalam keadaan remisi. Hal ini disebabkan karena terjadi
perubahan sistem imun ibu selama kehamilan (shahab, 2012).

Pada kehamilan akan terjadi penurunan respons imun ibu yang diduga disebabkan karena
peningkatan aktifitas sel T supresor janin yang mengeluarkan faktor-faktor supresor. Faktor-faktor
supresor ini melewati sawar plasenta sehingga menekan sistem imun ibu. Setelah plasenta terlepas,
faktor-faktor supresor ini akan menghilang. Hal ini dapat menerangkan mengapa terjadi eksaserbasi
hipertiroidisme pada periode postpartum. Setelah melahirkan terjadi peningkatan kadar TSAb yang
mencapai puncaknya 3 sampai 4 bulan postpartum. Peningkatan ini juga dapat terjadi setelah abortus.
Suatu survai yang dilakukan oleh Pangkahila dan kawan-kawan (1979-1980) menunjukkan bahwa 5,5%
wanita Jepang menderita tiroiditis postpartum. Gambaran klinis tiroiditis postpartum sering tidak jelas
dan sulit dideteksi. Tiroiditis postpartum biasanya terjadi 3-6 bulan setelah melahirkan dengan
manifestasi klinis berupa hipertiroidisme transien diikuti hipotiroidisme dan kemudian kesembuhan
spontan. Pada fase hipertiroidisme akan terjadi peningkatan kadar T4 dan T3 serum dengan ambilan
yodium radioaktif yang sangat rendah (0 – 2%). Titer antibodi mikrosomal kadang-kadang sangat tinggi.
Fase ini biasanya berlangsung selama 1 – 3 bulan, kemudian diikuti oleh fase hipotiroidisme dan
kesembuhan, namun cenderung berulang pada kehamilan berikutnya. Terjadinya tiroiditis postpartum
diduga merupakan “rebound phenomenon” dari proses otoimun yang terjadi setelah melahirkan
(Pangkahila, 2009).

PENATALAKSANAAN HIPERTIROIDISME PADA IBU HAMIL

Pengobatan hipertiroidisme pada kehamilan penting untuk menghindari komplikasi ibu, janin,
dan neonatus. Tujuan terapi hipertiroidisme pada kehamilan adalah menormalkan fungsi tiroid dengan
dosisobat antitiroid paling minimal. Pengobatan ditargetkan agar kadar fT4 terdapat pada nilai batas atas
normal. Dosis obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan hipotiroidisme dan struma pada janin.
Pemantauan berkala setiap 2 minggu pada awal terapi dan setiap 4 minggu bila target eutiroid sudah
tercapai. Terapi obat anti-tiroid sebaiknya tidak dihentikan sebelum kehamilan 32 minggu sebab dapat
berisiko terjadi relaps (Semiardji, 2008).

Obat anti-tiroid yang efektif dan aman untuk mengendalikan hipertiroidisme pada kehamilan,
yaitu propiltiourasil (PTU) dan metimazol.4,6 Keduanya menekan sintesisDiagram. Bagan alur uji fungsi
tiroid pada kehamilan hormon tiroid dengan cara menghambat organifikasi iodium di dalam kelenjar
tiroid. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah aplasia kutis pada janin ibu hamil yang menggunakan
metimazol. Namun secara umum, keduanya aman digunakan pada kehamilan. Pada trimester I lebih
dianjurkan untuk menggunakan PTU karena terdapat risiko kelainan kongenital yang pernah dilaporkan
pada penggunaan metimazol; setelah kehamilan 12 minggu metimazol dapat digunakan terutama bila
khawatir terhadap efek samping hepatotoksik dalam penggunaan PTU pada ibu. Risiko hipotiroid pada
janin akibat kedua obat tidak berbeda (Semiardji, 2008).

Dosis awal obat PTU adalah 150-450 mg per hari (dibagi dalam 3 dosis), sedangkan dosis
metimazol 20-40 mg per hari (dibagi dalam 2 dosis). Perbaikan klinis akan tampak sesudah beberapa
minggu terapi, fungsi tiroid akan normal dalam 3-7 minggu. Perbaikan klinis yang dimaksud adalah
kenaikan berat badan dan berkurangnyatakikardi, sehingga dosis obat anti-tiroid dapat d iturunkan
menjadi separuh. Kehamilan sendiri sebenarnya mempengaruhi perjalanan penyakit Graves karena
peningkatan hormon progesteron menekan fungsi limfosi sehingga mengurangi keaktifan autoimun
penderita Graves. Hal itu ditandai denganpenurunan kebutuhan obat anti-tiroid seiringpeningkatan usia
kehamilan, namun dapat meningkat kembali setelah 3 bulan pasca-melahirkan (Purnamasari, 2012).

Bila terjadi eksaserbasi atau perburukan klinis, maka dosis obat anti-tiroid dapat dinaikkan
kembali. Kebanyakan pasien tidak membutuhkan pengobatan anti-tiroid lagi setelah kehamilan di atas 26-
28 minggu. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah ikterus kolestatik dan agranulositosis. Pasien
dengan gejala hipermetabolik mendapat obat penyekat beta, seperti atenolol dan propranolol, selama
beberapa hari.Baik PTU maupun metimazol dapat melewati sawar plasenta, jika dalam dosis besar dapat
menyebabkan struma dan hipotiroidisme pada janin. Pada ibu menyusui, obat anti-tiroid dapat terus
diberikan bila dosis PTU <150-200 mg per hari atau metimazol <10 mg per hari. Bayi juga perlu dipantau
kadar TSH-nya agarmengetahui pengaruh obat yang diberikan. Operasi tiroidektomi perlu dilakukan
hanya pada pasien dengan dosis pemberian anti-tiroid yang sangat besar (PTU >600 mg), alergi obat anti-
tiroid, pasien tidak taat berobat, dan struma sangat besar. Terapi iodium radioaktif merupakan
kontraindikasi pada kehamilan sebab dapat melewati plasenta dengan risiko terapi iodium radioaktif
berupa hipotiroidisme pada bayi dan retardasi mental (Soebardi, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Ari, D., & Hermina. (2015). Gangguan Tiroid dan Kehamilan. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed. 2:
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya,
160.

Garry, D. (2013). Penyakit Tiroid Pada Kehamilan. CDK-206, 40, 500-503.

Girling J. Thyroid Disease in Pregnancy. Royal College of Obstetrician and Gynecologist.


2008;10:237-243.

Deswita, F., & Sari, R. D. P. (2019). Penyakit Tiroid pada Kehamilan: Diagnosis dan Manajemen.
Jurnal Medula, 9(1), 186-191.

Shahab, A. (2012). Hipertiroidisme Dalam Kehamilan. Fak Kedokt Univ Sriwijaya.

Pangkahila, E., & Pandelaki, K. (2009). HIPERTIROID PADA KEHAMILAN MOLA HIDATIDOSA.
JURNAL BIOMEDIK: JBM, 1(2).

Semiardji G. Penatalaksanaan hipertiroidisme dan hipotiroidisme pada kehamilan. Naskah lengkap


penatalaksanaan penyakit-penyakit tiroid bagi dokter. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit;
2008.

Purnamasari D. Kontroversi tata laksana hipertiroid dalam kehamilan. Jakarta Endocrine Meeting;
2012.

Soebardi S. Hipertiroidisme pada kehamilan. Jakarta Endocrine Meeting; 2010.

You might also like