You are on page 1of 3

Gaizcha Hermano Da Ajauro

HI 4-C
11181130000127
Feminisme by Jacqui True dalam buku Theories of International Relations karya IR
Burchil, dkk.

***

Teori feminisme sendiri adalah suatu pandangan tentang bagaimana peran wanita dalam
memahami kehidupan. Feminisme ini menuntut adanya persamaan antara perempuan dan
laki-laki dimana dengan adanya kesetaraan itu tidak terjadi diskriminasi atau pembedaan
antara laki-laki dan perempuan. Dalam studi hubungan internasional, teori feminisme yaitu
membahas tentang bagaimana wanita mempunyai peran tentang bagaimana memahami
politik global yang pada umumnya dalam studi hubungan internasional ini didominasi sejak
lama oleh pria, oleh karenanya dalam bahasan teori feminisme kali ini kita ingin mengetahui
sejauh mana persfektif feminisme ini memahami dan menjelaskan panggung dunia politik
global dalam hubungan internasional. dalam bab feminisme yang akan penulis resume terbagi
menjadi tiga bagian bab atau sub-bab yaitu pertama empiris feminisme, kedua feminisme
analitis, dan yang ketiga feminisme normatif.

Feminisme empiris yaitu berfokus pada perempuan dan mengeksplorasi gender sebagai
dimensi empiris dalam hubungan internasional. Feminisme empiris telah mengalihkan
peerhatian kita pada perempuan dan hubungan gender sebagai aspek empiris dalam hubungan
internasional. Ada beberapa tantangan feminis dalam hubungan internasional, salah satunya
bahwa kehidupan dan pengalaman yang wanita miliki masih dikeluarkan atau dikucilkan dari
studi hubungan internasional. Pengucilan inilah yang menyebabkan dominannya pandangan
masukulin yang mengklaim untuk menjelaskan realitas politik dunia (Halliday 1988b).
Feminisme empiris mengoreksi penyangkalan bahwa wanita tidak relevan dengan hubungan
internasional sebaliknya Cynthia Enloe’s menunjukan bahwa wanita adalah dan selalu
menjadi bagian dari hubungan internasional. Karena kehidupan dan pengalaman wanita
sepenuhnya belum diteliti dalam konteks politik dunia. Di dalam bagian dari kebijakan luar
negeri, analisis feminis empiris menyebutkan bahwa gender maskulin lebih dominan dalam
membuat kebijakan, seperti yang dikatakan oleh Nancy McGlen dan Meredith Sarkees
(1993), bahwa perempuan sangat jarang dari lembaga aktual yang membuat dan menerapkan
kebijakan luar negeri maupun melakukan perang. Penelitian feminis menunjukan bahwa
negara-negara yang memiliki ketimpangan gender yang begitu besar cenderung lebih
memungkinkan untuk berperang atau terlibat dalam berbagai konflik yang disetujui oleh
sebuah negara (Goldstain 2001). Kesetaraan gender di dalam suatu negara dapat
memungkinkan negara tersebut mengeluarkan kekuatannya dalam suatu konflik antar negara
dan membatasi eskalasi kekerasan dan mengurangi kekerasan selama konflik berlangsung
(Caprioli 2000; Caprioli dan Boyer 2001). Umumnya perempuan lebih cenderung berada di
antara kelompok non-negara. Feminisme empirisme ini menyoroti aktivisme perempuan yang
sering mendapat diskriminasi. Dalam beberapa tahun terakhir, wanita telah mampu
memainkan peran penting dalam dunia global, seperti protes terhadap kekerasan terhadap
perempuan.

Kemudian yang kedua yaitu feminisme analitik, mendekonstruksi kerangka teoritis


hubungan internasional, mengungkap bias gender dan mengambat pemahaman yang akurat
dan luas hubungan internasional. Feminis berpendapat bahwa pengertian kekuasaan, otonomi,
kedaulatan, keamanan dan tingkat tipologi analisis dalam hubungan internasional tidak bisa
dipisahkan dari pembagian gender. Para sarjana feminis menggunakan analisis gender ini
untuk mengungkap atau menjelaskan bias inti konsep hubungan internasional, seperti
kekuasaan dan keamanan. Teori hubungan internasional sering dipahami sebagai kekuasaan
atau kekuatan, yaitu untuk memaksa atau mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu
yang diinginkannya (Jaquette 1984). Feminis analitis menyatakan bahwa konsep di atas,
seperti kekuasaan dan keamanan sangat didominasi oleh maskulinitas. Bagi para feminis,
pertentangan antara konsep-konsep di atas mengurangi dilema keamanan yang terpenuhi
dengan sendirinya dan memperkuat kekuatan maskulin, sehingga menybabkan adanya
pembatasan kemungkinan untuk alternatif feminis.

Kemudian yang terakhir, yaitu feminisme normatif. Feminisme normatif


merefleksikan proses hubungan internasional sebagai bagian dari agenda normatif untuk
perubahan global. Semua bentuk teori feminis adalah normatif, yaitu mereka membantu
untuk mempertanyakan suatu makna dan interpretasi tertentu dalam teori hubungan
internasional (Sylvester 2002:248). Di dalam presfektif feminis normatif ini tidak melulu
mempermasalahkan tentang perbedaan hubungan gender antara masukulin dan feminin, tetapi
juga tentang politik pengetahuan, yaitu bagaimana dan dari posisi apa kita dalam hierarki kita
bisa tahu. Femnisme normatif mengakui bahwa semua akses untuk berbicara dan bertindak
sebagai perempuan bermasalah. Christine Sylvester (1994a: 12) mengemukakan bahwa
semua tempat untuk berbicara dan bertindak sebagai perempuan bermasalah, karena secara
historis dan sosial mereka membuat dan mengecualikan identitas lain. Sylvester menegaskan
bahwa posisi sudut pandang feminis yang dialami oleh pengalaman wanita merupakan dasar
untuk teori yang lebih kritis dan universal.

Teori dan praktik hubungan internasional telah menderita karena adanya pengabaian dari
presfektif feminis. Feminis sendiri mengkritik positivisme yang mengemukakan bahwa
pengetahuan itu sifatnya subjektif, menurut feminisme pengetahuan itu seharusnya bersifat
objektif. Kemudian feminisme berpendapat bahwa pengetahuan di dunia maupun di
hubungan internasional itu adalah gambaran dari maskulinitas sehingga tidak bisa
menggambarkan kehidupan perempuan ataupun presfektif dari perempuan. Feminisme bisa
disebut metode, karena bisa memasukkan gender ke dalam analisis studi hubungan
internasional, bahkan presfektif feminisme ini bisa masuk ke dalam teori apa saja seperti
feminisme kontaktivis, feminisme critical theori, feminis postmodernis, dan lain sebagainya.

You might also like