Professional Documents
Culture Documents
Akhlak Tasawuf
Akhlak Tasawuf
Dosen pengampu:
Mokhamad Ali Musyaffa, Lc., M. Pd.
Disusun oleh:
1. Muhammad Tubagus I.Y.B 21051044
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
a. Kesimpulan .................................................................................... 17
b. Saran ............................................................................................... 17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan mempelajari tasawuf sesorang dapat mengetahuitentang cara-
cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkannya secara benar.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan
berbagai aliran yangdianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan
(thariqat) menuju Allah.
Para sufi telah merumuskan tingkatan- tingkatan yang harus dilalui
seorang salik untuk menjadi sufi yang sesungguhnya. Tawakal dan Cinta
adalah tingkatan keenam dan ketujuhyang harus dilalui para salik untuk
menjadi sufi. Tawakkal adalah salah satu sifat manusia berimandan ikhlas.
Hakikat tawakkal adalah menyerakan segala urusan kepada Allah ‘Azza wa
Jalla, membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki
kawasankawasan hukum dan ketentuan. Dan Cinta atau mahabbah
merupakan salah satu pilar utama islam daninti dari ajarannya.Mahabbah
adalah kecenderungan hati untuk memerhatikan keindahan atau kecantikan
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Muhabbah Dalam Ajaran Tasawuf ?
2. Bagaimana Konsep Tawakkal Dalam Ajaran Tasawuf ?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Konsep Muhabbah Dalam Ajaran Tasawuf.
2. Untuk Mengetahui Konsep Tawakkal Dalam Ajaran Tasawuf.
i
BAB II
PEMBAHASAN
1
Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1990), hlm.96.
2
Jamil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafy, Jilid II, (Mesir: Dar al-Kitab, 1978), hlm.439
3
Ibid. , hlm.349
4
Ibid. , hlm.440.
2
dirasakan dan disadari berada di hadirat Tuhan. Keberadaan di hadirat
Tuhan itu diyakini sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki.5
Menurut istilah (terminologi), para ahli berbeda pendapat,
namun intinya sama. Pendapat tersebut dihimpun sebagai berikut:
1) Al-Ghazali; mahabbah ialah cinta kepada Allah itu adalah maqom
yang terakhir dan derajat yang paling tinggi dari segala maqom
yang sesudahnya yaitu buahnya dari segala maqom yang
sebelumnya. Ini merupakan pendahuluan untuk mencapai cinta
kepada Allah.6
2) Syekh Jalaluddin; mahabbah ialah termasuk maqom yang sangat
penting dalam tasawuf. Cinta tersebut merupakan suatu dorongan
kesadaran melalui saluran syariat, bukan sejenis cinta yang
melahirkan ucapan-ucapan syahwat yang sering berlawanan
dengan pokok-pokok ajaran syariat. Rasa cinta inilah yang
mengalahkan hawa nafsu sehingga merasa lezat mentaati
semuaajaran syariat. Kasih kepada semua yang dikasihi Allah dan
benci kepada semua yang dibenci Allah. 7Menurut Syekh
Jalaluddin dalam kitabnya “Sinar keemasan” yang menyatakan
bahwa aku telah menyaksikan sendiri kasih sayang Tuhanku. Aku
telah merasakan kesucian cinta-Nya. Karena Ridha dan sayangnya
dilimpahkan nikmat-Nya kepadakau. 8Ucapan ini menunjukkan
bahwa Syekh Jalaluddin mengaku telah sampai pada maqam
terakhir dan derajat yang paling tinggi di dalam suluknya, yakni
maqam cinta dan ridha bahkan telah syuhud (menyaksikan) kasih
sayang Tuhannya dan merasakan ridha-Nya atau dengan kata lain
sebagai seorang salik telah sampai pada tujuan terakhir yang
disebut ma’rifat yang sesungguhnya.
3) Al-Palimbani; mahabbah ialah ma’rifah hakiki yang lahir dari
cinta, tetapi cinta yang hakiki kepada Allah itu hanya lahir dari
ma’rifah. Mahabbah dan ma’rifah itu adalah dua hal yang masing-
masing merupakan sebab tetap juga akibat dari yang lain. Kasih
pada Allah tatkala itu, membawa kepada ma’rifah. Ma’rifah Allah
tatkal itu melazimkan sebanar-benar kasih Allah Ta’ala.
4) Imam Qusyairi; mahabbah ialah kondisi yang mulia telah
disaksikan Allah swt. Melalui cintanya itu, bagi hamba telah
memperma’lumkan cintanya kepada Allah. Karenanya Allah swt.
disifati sebagai yang mencintai hamba dan sihamba disifati sebagai
yang mencintai Allah swt.
5) Harun Nasution; mahabbah ialah cinta, yang dimaksudkan adalah
cinta kepada Allah swt. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan,
5
M. Mujeeb, The Indian Muslim, Chapter Vi, London; 114
6
Chatib Quzwen, Mengenal Allah, Cet. 25, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 99.
7
Asmal May, Corak Tasawuf Syekh Jalaluddin, Cet. 1, (Pekanbaru: Susqa Press, 2001, hlm. 160.
8
syekh jalaluddin, Sinar I, Hal. 89
3
pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara
lain yang berikut:
a. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap
melawan kepada-Nya.
b. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
c. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang
dikasihi, yaitu Tuhan.9
6) Al-Sarraj; mahabbah mempunyai tiga tingkatan, yaitu mahabbah
orang biasa, mahabbah orang shidiq dan mahabbah
orang yang arif.
a. Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat
Allah dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan
memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.
Senantiasa memuji Tuhan.
b. Mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada
Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-
Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang
memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat
melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan
dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog
itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup
menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang
hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan
Selalu rindu pada-Nya.
c. Mahabbah orang arif adalah cinta orang yang tahu betul pada
Tuhan. Cinta serupa ini timbul karena telah tahu betul pada
Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang
dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri
yang mencintai.10
Ketiga tingkat mahabbah tersebut tampak menunjukkan
suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat
Tuhan dengan menyebut-Nya melalui zikir, dilanjutkan dengan
leburmya diri (fana) pada sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya
menyatukebal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan
ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin
dituju oleh mahabbah.
7) Abu Ali Dadaq; mahabbah ialah suatu sikap mulia yang
dikaruniakan Allah kepada hamba yang dikehendakiNya. Allah
memberitahukan bahwa Dia mencintai hambaNya dan hambaNya
pun harus mencintaiNya.11
9
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1983),
cet.III, hlm.70.
10
Ibid., hlm. 70-71
11
Asywane Sjukur, Ilmu Tasawwuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), hlm. 160.
4
8) Abu Ya’kub; hakekat mahabbah ialah lupa terhadap kepentingan
sendiri, karena mendahulukan kepentingan Allah swt.
9) Ibnu Qasim; mahabbah sesungguhnya sifat Allah dan segala
kesempurnaan-Nya, hakekat asma alhusna yang menarik hati untuk
mencintai-Nya untuk mendorong manusia mencapai Allah. Hati
hanya mencintai yang sudah dikenal-Nya, ditakuti, diharapkan dan
dirindukanNya. Ia merasa lapang karena dekat diri kepadaNya.
Jadi karena kenal kepada sifat itulah manusia mencintai Allah.
Manusia dapat mencapainya dengan kasyf dan limpahan
karunia Allah swt.
10) Abdullah Tusturi; mahabbah ialah tanda cinta manusia kepada
Allah dengan banyak menyebut nama yang dicintai dan yang
demikian itu tidak akan tertanam dalam hati, melainkan sudah
mencapai tingkat tasdiq dan tahkik, sehingga ia selalu
bertaubat kepada-Nya.
Dengan uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman
bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan
sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai (Tuhan)
masuk ke dalam diri yang dicintai. Tujuannnya adalah untuk
memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan
kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Selain itu uraian
di atas juga menggambarkan bahwa mahabbah adalah merupakan
hal yaitu keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih,
perasaan takut dan sebagainya. Hal bertalian dengan maqam,
karena hal bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi terdapat
sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula
dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang
dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya
mendekati Tuhan12
12
Harun Nasution, op. cit. , hlm. 63.
5
Didalam hadist juga diucapkan sebagai berikut:
ص ًرا َويَدًا َ ُي بِا لنَّ َوا فِ ِل َحتَّى اُحِ بَّهُ َو َم ْن اَ ْحبَ ْبتُهُ ُك ْنتُ لَه
َ َس ْمعًا َو ب َّ َع ْب ِد ى يَتَقَ َّربُ إِ ل
َ َو ََل يَزَ ا ُل
3. Macam-Macam Mahabbah
13
Jayadin. Macam-Macam Mahabbah (kecintaan), https://www.binamuslim.com/macam-macam-
mahabbah-kecintaan/. Dikutip pada tanggal 01 mei 2023, pada pukul 10:31.
6
symbol kesederhanaan.. 14Kata shuf tesebut tersebut juga diartikan
dengan selembar bulu yang maksudnya para Sufi dihadapan Allah
merasa dirinya hanya bagaikan selembar bulu yang terpisah dari
kesatuannya yang tidak memiliki arti apa-apa. 15
Kata tasauwf juga berasal dari kata Shaff yang berarti barisan, makna
kata shaff ini diartikan kepada para jamaah yang selalu berada pada
barisan terdepan ketika shalat, sebagaimana shalat yang berada pada
barisan terdepan maka akan mendapa kemuliaan dan pahala. Maka dari
itu, orang yang ketika shalat berada di barisan terdepan akan
mendapatkan kemuliaan serta pahala dari Allah SWT. 16
Tasawuf juga berasal dari kata shafa yangberarti jernih, bersih, atau
suci, makna tersebut sebagai nama dari mereka yang memiliki hati yang
bersih atau suci, maksudnya adalah bahwa mereka menyucikan dirinya
dihadapan Allah SWT melalui latihan kerohanian yang amat dalam yaitu
dengan melatih dirinya untuk menjauhi segala sifat yang kotor sehingga
mencapai kebersihan dan kesucian pada hatinya17.
Adapun yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Shuffah
yaitu serambi masjid nabawi yang ditempati sebagian sahabat
Rasulullah. Maknanya tersebut dilatarbelakangi oleh sekelompok
sahabat yang hidup zuhud dan konsentrasi beribadah hanya kepada Allah
SWT serta menimba ilmu bersama Rasulullah yang menghuni masjid
Nabawi. Sekelompok sahabat tersebut adalah mereka yang ikut
berpindah bersama Rasulullah dari Mekah ke Madinah dengan keadaan
mereka kehilangan harta dan dalam keadaan miskin. 18
Sedangkan pengertian tasawuf secara terminologi terdapat banyak
beberapa pendapat berbeda yang telah dinyatakan oleh beberapa ahli,
namun penulis akan mengambil beberapa pendapat dari pendapat
pendapat para ahli tasawuf yang ada, yaitu sebagai berikut Sedangkan
pengertian tasawuf secara terminologi terdapat banyak beberapa
pendapat berbeda yang telah dinyatakan oleh beberapa ahli, namun
penulis akan mengambil beberapa pendapat dari pendapat pendapat para
ahli tasawuf yang ada, yaitu sebagai berikut:
1) Syekh Abdul Qadir al-Jailani berpendapat tasawuf adalah
mensucikan hati dan melepaskan nafsu dari pangkalnya denngan
khalawt, riya-dloh, taubah dan ikhlas.
2) Al-Junaidi berpendapat bahwa tasawuf adalah kegiatan
membersihkan hati dari yang mengganggu perasaan manusia ,
memadamkan kelemahan, menjauhi keinginan hawa nafsu,
mendekati hal hal yang di ridhai Allah, bergantung pada ilmu-ilmu
14
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), 4.
15
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, Dimensi Esoteris Ajaran Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012), 9.
16
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf,…, 3.
17
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf,…, 3
18
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf,…, 3.
7
hakikat, memberikan nasihat kepada semua orang, memegang
dengan erat janji dengan Allah dalam hal hakikat serta mengikuti
contoh Rasulullah dalam hal syari'at.
3) Syaikh Ibnu Ajibah menjelaskan tasawuf sebagai ilmu yang
membawa seseorang agar bisa dekat bersama dengan Tuhan Yang
Maha Esa melalui penyucian rohani dan mempermanisnya dengan
amal-amal shaleh dan jalan tasawuf yang pertama dengan ilmu, yang
kedua amal dan yang terakhirnya adalah karunia Ilahi.
4) H. M. Amin Syukur berpendapat bahwa tasawuf adalah latihan
dengan kesungguhan (riya-dloh, mujahadah) untuk membersihkan
hati , mempertinggi iman dan memeperdalam aspek kerohanian
dalam rangka mendekatkan diri manusia kepada Allah sehingga
segala perhatiannya hanya tertuju kepada Allah. 19
5) Imam Qusyairi dalam bukunya yang berjudul Risalah Qusyairiyyah
menjelaskan bahwa: menurut Abu Nashr As-Siraj Ath-Thusi, syarat
tawakal sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Turab
AnNakhsyabi adalah melepaskan anggota tubuh dalam
penghambaan, menggantungkan hati dengan ketuhanan, dan
bersikap merasa cukup. Apabila dia diberikan sesuatu, maka dia
bersyukur, Apabila tidak, maka dia bersabar.
6) Menurut Imam Al-Ghazali, tawakal adalah pengendalan hati kepada
Tuhan Yang Maha Pelindung karena segala sesuatu tidak keluar dari
ilmu dan kekuasaan-Nya, sedangkan selain Allah tidak dapat
membahayakan dan tidak dapat memberinya manfaat20.
Banyaknya pendapat tentang definisi tasawuf yang telah
dirumuskan oleh para ahli menyebabkan sulitnya mendefinisikan
tasawuf secara lengkap. Maka untuk mengetahui apakah seseorang
tersebut sufi atau sedang bertasawuf dapat di lihat dari beberapa ciri-ciri
umum yang dikatakan oleh salah seorang peneliti tasawuf yaitu Abu Al-
Wafa' Alganimi At-Taftazani dalam bukunya yang berjudul Madkhal Ila
atTasawwuf al-Islam yang menyebutkan lima ciri-ciri umum tasawuf,
yaitu sebagaimana yang dikutip oleh Permadi dalam buku pengantar ilmu
tasawuf:
a. Memiliki nilai-nilai moral.
b. Pemenuhan fana (sirna) dalam realisasi mutlak.
c. Pengetahuan intuitif langsung.
d. Timbulnya rasa bahagia sebagai karunia Allah SWT dalam
diri sufi karena sudah tercapainya maqamat atau yang iasa
disebut maqam-aqam atau tingkatan,.
19
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, Dimensi Esoteris Ajaran Islam, …, 11.
20
Imam Al-Ghazali, Muhtasar Ihya Ulumuddin, Terj. Zaid Husein al-Hamid, Pustaka Amani,
Jakarta, 1995, hlm. 290.
8
e. Penggunaan simbolpengungkapan yang biasanya
mengandung pengertian harfiah dan tersirat.21
Terlepas dari banyaknya pengertian tasawuf yang telah dinyatakan
oleh para ahli tersebut, dalam beberapa pandangan secara umum tasawuf
dapat diartikan sebagai salah satu upaya yang dilakukan oleh seseorang
untuk mensucikan diri dengan cara menjauhi pengaruh kehidupan yang
bersifat kesenangan duniawi dan akan memusatkan seluruh perhatiannya
kepada Allah. 22Tasawuf juga dapat diartikan sebuah upaya yang
dilakukan manusia untuk memperindah diri dengan akhlak yang
bersumber pada agama dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.
Selain itu tasawuf merupakan rasa kepercayaan terhadap Allah yang
dapat mengarahkan jiwa manusia agar selalu tertuju pada semua kegiatan
yang dapat menghubungkan dan mendekatkan manusia dengan Allah.
Tasawuf adalah sebuah ilmu Islam yang memfokuskan pada aspek
spiritual dari Islam. Dilihat dari keterkaitannya dengan kemanusiaan,
tasawuf lebih menekankan pada aspek kerohanian dari pada aspek
jasmani, dalam kaitannya dengan kehidupan manusia tasawuf lebih
mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia namun tidak
menghilangkan salah satunya, dan apabila di lihat kaitannya dengan
pemahaman keagamaan tasawuf lebih menekankan pada aspek esoterik
dibandingklan aspek eksoterik.. 23
Tasawuf dijelaskan lebih menekankan kebutuhan rohani dalam
berbagai aspek, karena para tokoh tasawuf lebih memepercayai
keutamaan rohani dibandingkan dengan keutamaan jasad, para toko
tasawuf lebih mempercayai dunia spiritual dibandingkan dunia material.
Para tokoh mempercayai bahwa dunia spiritual lebih lebih nyata
dibandingkan dengan dunia jasmani, hingga segala yang menjadi tujuan
akhir atau yang kita sebut Allah juga bersifat spiritual. Sehingga para
kaum sufi mengatakan bahwa Allah adalah satu-satunya yang sejati, dan
hanya pada Allah mereka mengorientasikan seluruh jiwa mereka, karena
hanya Allah buah kerinduan mereka dan hanya kepada Allah mereka
akan kembali untuk selamanya. 24
Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa
tawakal adalah penyerahan segala perkara, ikhtiar, dan usaha yang
dilakukan kepada Allah Swt serta berserah diri sepenuhnya kepada-Nya
untuk mendapatkan kemaslahatan atau menolak kemadaratan.
2. Tawakal Menurut Alquran dan Sunnah
Tawakal adalah merupakan salah satu ajaran pokok dalam Islam,
seperti yang disebutkan dalam QS, al-Anfal; 8 : 2
21
Pemadi, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Rineka Cipta, cet 2, 2004), 34.
22
Pemadi, Pengantar Ilmu Tasawuf,…, 34.
23
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf,( Jakarta: Erlangga, 2006), 2.
24
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, …, 2-3.
9
ٗعلَ ْي ِه ْم ٰا ٰيتُه ْ َت قُلُ ْوبُ ُه ْم َواِذَا ت ُ ِلي
َ ت اِنَّ َما ْال ُمؤْ ِمنُ ْونَ الَّ ِذيْنَ اِذَا ذُ ِك َر ه
ْ َّٰللاُ َو ِجل
َع ٰلى َر ِب ِه ْم َيت ََو َّكلُ ْون
َ زَ ا َدتْ ُه ْم اِ ْي َمانًا َّو
25
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya (Madinah: Majma’ KhÉdim al-Haramain,
1412 H), h. 260
26
Muhammad MahmËd al-HijÉzÊ, al-TafsÊr al-WÉÌih (Beirut: DÉr al-Jail, 1969), h.
27
Ibid.
28
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, h. 132
10
ِ ظ ْالقَ ْل
ب ََل ْنفَض ُّْوا ِم ْن َ غ ِل ْي ًّ َّٰللا ِل ْنتَ َل ُه ْم ۚ َو َل ْو ُك ْنتَ ف
َ ظا ِ فَ ِب َما َرحْ َم ٍة ِمنَ ه
علَى
َ عزَ ْمتَ فَت ََو َّك ْل َ ع ْن ُه ْم َوا ْستَ ْغ ِف ْر لَ ُه ْم َوشَا ِو ْر ُه ْم ِفى ْاَلَ ْم ۚ ِر فَ ِاذَا ُ َح ْولِكَ ۖ فَاع
َ ْف
َّٰللاَ ي ُِحبُّ ْال ُمت ََو ِك ِليْن
ّٰللا ۗ ا َِّن ه
ِه
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepadaNya.29
Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa musyawarah yang
dilakukan Nabi saw dengan para sahabatnya mencakup berbagai aspek
kehidupan, seperti masalah strategi perang, masalah politik, ekonomi,
pemerintahan dan kemasyarakatan. 30Dengan demikian perintah
tawakal tidak terbatas pada masalah dakwah saja.
Kata tawakal dalam arti menyerahkan urusan kepada Allah,
disebutkan dalam Alquran dalam berbagai bentuk sebanyak 59 kali,
dalam 47 ayat dari 25 surat. 31Penyebutan kata ini dalam Alquran
memiliki konteks beragam yang mencakup berbagai aspek kehidupan.
Misalnya dalam masalah dakwah (QS, al-Taubah; 9 : 12, Ibrahim; 14 :
120), menjalankan hukum Allah (QS, Yusuf; 12 : 67), menghadapi
bahaya (QS, al-Mujadalah; 58 : 10), sebagai sifat orang yang beriman
(QS, alAnfal; 8 : 2), dalam urusan yang bersifat umum (QS, al-Furqan;
25 : 58), masalah rezeki dan usaha mencapai suatu tujuan (QS, al-Falaq;
65 : 2).
Keluasan tawakal hingga dalam masalah duniawi, bahkan dalam
urusan rezeki juga ditegaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh al-Turmuzi yang artinya:” Telah mengkhabarkan kepada kami
Harmalah ibn Yahya, telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah ibn
Wahb, telah mengkhabarkan kepadaku Ibn Luhai’ah dari Ibn Hubairah
dari Abi Tamim al-Jaisyani, ia berkata : Aku mendengar Umar ra
berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda : “Sekiranya kalian
bertawakal, niscaya Dia akan memberii kalian rezeki sebagaimana Dia
memberii rezeki kepada burung yang pergi dalam keadaan kosong
perutnya dan kembali lagi dalam keadaan kenyang”.
Bertawakal seperti dijelaskan hadis di atas, adalah pasrah kepada
Allah dalam arti percaya sepenuhnya bahwa Allah pasti mencukupi
kebutuhan hambanya dan melindunginya, sehingga seseorang berusaha
dan bekerja mencari penghidupan dengan tenang dan ikhlas dan
29
Ibid. h. 103
30
Wahbah al-Zuhaili, al-TafsÊr al-MunÊr (Beirut: DÉr al-Fikr, 1994), Juz III., h. 140
31
Muhammad Fu’Éd Abd al-BÉqÊ, al-Mu’jam al-Mufahras li AlfÉÐ al-Qur’Én (Beirut: DÉr al-
Fikr, 1994), h. 929-930
11
bersungguh-sungguh. Demikian itu yang dilakukan burung yang
berusaha mencari pangan dengan terbang di mana pangan itu dapat
diperoleh. Iman sebagai syarat tawakal juga disebutkan oleh Yusuf
Qardhawi. 32Artinya hanya dengan iman yang benar seseorang akan
merasakan manfaat tawakal.
Disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim yang artinya: “Telah mengkhabarkan kepadaku Zuhair ibn
Harb, telah mengkhabarkan kepada kami Abd al-Samad ibn Abd al-
Waris, telah mengkhabarkan kepada kami Hajib ibn Umar Abu
Khusyainah al-Saqafi, telah mengkhabarkan kepada kami al-Hakam ibn
al-A’raj, dari ‘Imran ibn Hushain berkata; bahwa Rasulullah saw
bersabda : “Tujuh puluh ribu di antara umatku akan masuk surga tanpa
hisÉb”. Para sabahat bertanya : Siapa mereka wahai Rasulullah saw ?
Beliau menjawab : “Mereka adalah orang yang tidak meminta jampi-
jampi dan tidak menggunakan ramalan dan tidak berobat dengan besi
dibakar, dan bertawakal hanya kepada Tuhannya”.
Hadis ini menjelaskan bahwa dalam bertawakal seseorang harus
memiliki iman yang kuat dan bersih dari segala yang dapat mengotori
imannya, seperti jampi-jampi, ramalan dan pengobatan dengan besi
panas atau yang sejenisnya. Tiga hal tersebut dapat mengganggu
tawakal dalam arti mengurangi keyakinan seseorang terhadap ketidak
terbatasan kekuasaan Allah, keluasan rahmatNya dan kebijaksanaanNya
dalam segala keputusan. Ini menambahkan apa yang dijelaskan dari ayat
dan hadis sebelumnya, bahwa tawakal harus dilakukan bersamaan
dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh. Artinya dalam berikhtiar
seseorang tetap bergantung dan berserah diri pada Allah penguasa alam
semesta dan segenap isinya, sebagaimana ditegaskan dalam QS, al-
Muzammil; 73 : 9
32
Yusuf al-Qardhawi, al-ÙarÊq ilÉ Allah; al-Tawakkul (Kairo: Maktabah Wahbah, 1955), h. 14
33
Departemen Agama RI., al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 989
12
َ ض َواِلَ ْي ِه ي ُْر َج ُع ْاَلَ ْم ُر ُكلُّهٗ فَا ْعبُ ْدهُ َوت ََو َّك ْل
علَ ْي ِۗه ِ ت َو ْاَلَ ْر ِ ْب السَّمٰ ٰو
ُ غي ِ َو ِ ه
َ ّلل
َع َّما تَ ْع َملُ ْون
َ ࣖ َو َما َربُّكَ ِبغَا ِف ٍل
13
kaum muslim, memerintahkan kebaikan serta mencegah
kemungkaran dan memberi pengaruh pada orang lain untuk
melakukan penyembahan hanya kepada Allah, ini adalah sikap
tawakalnya para nabi dan sikap tawakal ini diwariskan oleh para
ulama sesudah mereka, dan ini adalah sikap tawakal yang paling
agung dan yang paling bermanfaat di antara sikap tawakal lainnya.
3) Tawakal kepada Allah dalam hal mendapatkan kebutuhan seorang
hamba dalam urusan duniawi-nya atau untuk mencegah dari sesuatu
yang tidak diingini berupa musibah atau bencana, seperti orang yang
bertawakal untuk mendapatkan rezeki atau kesehatan atau istri atau
anak-anak atau mendapatkan kemenangan terhadap musuhnya dan
lain-lain seperti ini, sikap tawakal ini dapat mendatangkan
kecukupan bagi dirinya dalam urusan dunia serta tidak disertai
kecukupan urusan akhirat, kecuali jika ia meniatkan untuk meminta
kecukupan akhirat dengan kecukupan dunia itu untuk taat kepada
Allah Swt.
4) Tawakal kepada Allah dalam berbuat haram dan menghindari diri
dari perintah Allah.36
b. Kedua: Tawakal kepada selain Allah
Jenis tawakal ini terbagi menjadi dua bagian:
1) Tawakal Syirik: yang terbagi menjadi dua macam pula:
a. Tawakal kepada selain Allah dalam urusan-urusan yang
tidak bisa dilakukan kecuali Allah SWT. Seperti orang-orang
yang bertawakal kepada orang-orang yang sudah mati serta
para thagut (sesuatu yang disembah selain Allah) untuk
meminta pertolongan mereka, yang berupa kemenangan,
perlindungan, rezeki dan syafa'at, inilah yang dinamakan
syirik yang paling besar, karena sesungguhnya urusan-
urusan ini dan yang sejenisnya tidak ada yang sanggup
melakukannya kecuali Allah SWT.37
Tawakal semacam ini dinamakan dengan tawakal
tersembunyi, karena perbuatan seperti ini tak akan dilakukan
kecuali oleh orang-orang yang mempercayai bahwa
sesungguhnya mayat ini memiliki kekuatan tersembunyi di
alam ini, bagi mereka tak ada perbedaan apakah mayat ini
berupa mayat seorang Nabi, atau seorang Wali atau thagut
yang menjadi musuh Allah SWT.38
b. Tawakal kepada selain Allah dalam urusan-urusan yang bisa
dilakukan menurut dugaannya oleh yang ditawakalkannya.
Ini adalah bagian dari syirik yang paling kecil. Yaitu seperti
36
Abdullah Bin Umar Ad-Dumaji, Rahasia Tawakal Sebab dan Musabab, Terj. Kamaludin
Sa'diatulharamaini, Pustaka Azzam, Jakarta, 2000, hlm. 125.
37
Ibid., hlm. 125.
38
Ibid
14
bertawakal kepada sebab-sebab yang nyata dan biasa, seperti
seseorang yang bertawakal kepada seseorang pemimpin atau
raja yang mana Allah telah menjadikan di tangan pemimpin
itu rezeki atau mencegah kejahatan dan hal-hal yang serupa
itu lainnya, ini adalah syirik yang tersembunyi. Oleh karena
itu dikatakan: Memperhatikan kepada sebab-sebab adalah
perbuatan syirik dalam tauhid, karena amat kuatnya pautan
hati serta sandaran hati kepada sebab-sebab itu.39
2) Mewakilkan yang dibolehkan. Yaitu ia menyerahkan suatu urusan
kepada seseorang yang mampu dikerjakannya, dengan demikian
orang yang menyerahkan urusan itu (bertawakal) dapat tercapai
beberapa keinginannya. Mewakilkan di sini berarti menyerahkan
untuk dijaga seperti ungkapan: "Aku mewakilkan kepada Fulan,
berarti: Aku menyerahkan urusan itu kepada Fulan untuk dijaga
dengan baik. Mewakilkan menurut syari'at: seseorang menyerahkan
urusannya kepada orang lain untuk menggantikan kedudukannya
secara mutlak atau pun terikat. Mewakilkan dengan maksud seperti
ini dibolehkan menurut al-Qur'an, hadis dan ijma'.40
Tawakal merupakan tempat persinggahan yang paling luas
dan menyeluruh, yang senantiasa ramai ditempati orang-orang yang
singgah di sana, karena luasnya kaitan tawakal, banyaknya
kebutuhan penghuni alam, keumuman tawakal, yang bisa disinggahi
orang-orang Mukmin dan juga orang-orang kafir, orang baik dan
orang jahat, termasuk pula burung, hewan liar dan binatang buas.
Semua penduduk bumi dan langit berada dalam tawakal, sekalipun
kaitan tawakal mereka berbeda-beda. Para wali Allah dan hamba-
hamba-Nya yang khusus bertawakal kepada Allah karena iman,
menolong agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, berjihad
memerangi musuh-musuh-Nya, karena mencintai-Nya dan
melaksanakan perintah-Nya. Sedangkan selain mereka bertawakal
kepada Allah karena kepentingan dirinya dan menjaga keadaannya
dengan memohon kepada Allah. Ada pula di antara mereka yang
bertawakal kepada Allah karena sesuatu yang hendak
didapatkannya, entah rezki, kesehatan, pertolongan saat melawan
musuh, mendapatkan istri, anak dan lain sebagainya. Ada pula yang
bertawakal kepada Allah justru untuk melakukan kekejian dan
berbuat dosa. Apa pun yang mereka inginkan atau yang mereka
dapatkan, biasanya tidak lepas dari tawakal kepada Allah dan
memohon pertolongan kepada-Nya. Bahkan boleh jadi tawakal
mereka ini lebih kuat daripada tawakalnya orang-orang yang taat.
Mereka menjerumuskan diri dalam kebinasaan dan kerusakan
39
Ibid
40
Ibid., hlm. 126.
15
sambil memohon kepada Allah agar menyelamatkan mereka dan
mengabulkan keinginan mereka.41
Tawakal yang paling baik ialah tawakal dalam kewajiban
memenuhi hak kebenaran, hak makhluk dan hak diri sendiri. Yang
paling luas dan yang paling bermanfaat ialah tawakal dalam
mementingkan faktor eksternal dalam kemaslahatan agama, atau
menyingkirkan kerusakan agama. Ini merupakan tawakalnya para
nabi dalam menegakkan agama Allah dan menghentikan kerusakan
orang-orang yang rusak di dunia. Ini juga tawakalnya para pewaris
nabi. Kemudian tawakal manusia setelah itu tergantung dari hasrat
dan tujuannya. Di antara mereka ada yang bertawakal kepada Allah
untuk mendapatkan kekuasaan dan ada yang bertawakal kepada
Allah untuk mendapatkan serpihan roti. Siapa yang benar dalam
tawakalnya kepada Allah untuk mendapatkan sesuatu, tentu dia akan
mendapatkannya. Jika sesuatu yang diinginkannya dicintai dan
diridhai Allah, maka dia akan mendapatkan kesudahan yang terpuji.
Jika sesuatu yang diinginkannya itu dibenci Allah, maka apa yang
diperolehnya itu justru akan membahayakan dirinya. Jika sesuatu
yang diinginkannya itu sesuatu yang mubah, maka dia mendapatkan
kemaslahatan dirinya dan bukan kemaslahatan tawakalnya, selagi
hal itu tidak dimaksudkan untuk ketaatan kepada-Nya.42
41
Ibnu Qayyin Al-Jauziyah, Pendakian Menuju Allah Penjabaran Kongkrit Iyyaka Na'budu wa
iyyaka Nastain, Terj. Kathur Suhardi, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 1998, hlm. 189.
42
Ibid., hlm. 190.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Penulis mendapatkan pengalaman yang sangat berharga dalam
pembuatan makalah ini mengenani Konsep Mahabbah dan Tawakal. Penulis
menyarankan kepada semua pembaca untuk memepelajari Konsep
Mahabbah dan Tawakal. Dengan baik dan benar agar tidak terjadi
kesalahpahaman dalam pengertian dan penyampaian. Diharapkan kepada
Mahasiswa dan Mahasiswi agar mempunyai pedoman dalam Akhlak
Tasawuf.
17
DAFTAR PUSTAKA
Alba, Cecep. 2012. Tasawuf dan Tarekat, Dimensi Esoteris Ajaran Islam. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Al-Ghazali, Imam. 1995. Muhtasar Ihya Ulumuddin, Terj. Zaid Husein al-Hamid,
Pustaka Amani, Jakarta.
May, Asmal. 2001. Corak Tasawuf Syekh Jalaluddin, Cet. 1. Pekanbaru: Susqa
Press.
Nasution, Harun. 1983. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Quzwen, Chatib. 1985. Mengenal Allah, Cet. 25. Jakarta: Bulan Bintang.
Shaliba, Jamil. 1978. al-Mu’jam al-Falsafy, Jilid II,. Mesir: Dar al-Kitab.
Sjukur, Asywane. 1979. Ilmu Tasawwuf. Surabaya: Bina Ilmu.
Umar Ad-Dumaji, Abdullah Bin. 2000. Rahasia Tawakal Sebab dan Musabab, Terj.
Kamaludin Sa'diatulharamaini. Pustaka Azzam, Jakarta.
18