Professional Documents
Culture Documents
SKRIPSI FULL REV 4 Ayu Rusdhita
SKRIPSI FULL REV 4 Ayu Rusdhita
SKRIPSI
Oleh
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PAYAKUMBUH, 2021
PENGARUH POLA PENGATURAN TEMPERATUR MESIN
TETAS TERHADAP DAYA TETAS BOBOT TETAS DAN
MORTALITAS ITIK KAMANG
SKRIPSI
Oleh
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PAYAKUMBUH, 2021
PENGARUH POLA PENGATURAN TEMPERATUR MESIN TETAS
TERHADAP DAYA TETAS BOBOT TETAS DAN MORTALITAS ITIK
KAMANG
ABSTRAK
Ucapan puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat ALLAH SWT
Mesin Tetas terhadap Daya Tetas, Bobot Tetas dan Mortalitas Itik
Kamang”. Skripsi ini adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam
Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada ibu Dr. Ir. Hj Tertia Delia
penguji yaitu ibu Prof. Dr. Ir. H. Husmaini, MP, bapak Dr. Rusfidra, S.Pt, MP dan
ibu Linda Suhartati, S.Pt., M,Si yang telah memberikan arahan dan masukan
selama sidang berlangsung serta bapak koordinatar Syafri Nanda, S.Pt, M.Si.
Terimakasih bapak Dekan Fakultas Peternakan, bapak dan Ibu dosen, Senior dan
skripsi ini.
Ucapan cinta penulis ucapkan kepada Orang tua saya Ibu Srihartati, Zul
Asni, Wahyu Ginanjar dan Gea Febrina Defta beserta anggota keluarga lainnya
yang telah memfasilitasi mulai dari perkuliahan dimulai sampai dengan skripsi ini
selesai, Tim penelitian serta TR squard yang telah banyak sekali membantu dalam
penelitian.
i
Semoga skripsi ini dapat dipergunakan dan bermanfaat dalam menambah
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR TABEL................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar 1
Belakang...........................................................................
1.2. Rumusan 7
Masalah......................................................................
1.3. Tujuan 7
Penelitian........................................................................
1.4. Hipotesa 7
Penelitian......................................................................
2.5. Temperatur................................................................................ 13
2.7. Fertilitas..................................................................................... 16
iii
2.8. Daya Tetas................................................................................. 17
iv
4.2. Pengaruh Temperatur terhadap Bobot Tetas Telur Itik
Kamang...................................................................................... 37
5.1. Kesimpulan................................................................................ 54
5.2. Saran.......................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 55
LAMPIRAN............................................................................................... 63
RIWAYAT HIDUP.................................................................................... 77
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
ix
I. PENDAHULUAN
Itik merupakan salah satu jenis ternak yang sering dipelihara oleh
dijadikan sebagai sumber mata pencarian keluarga baik dalam skala kecil maupun
besar. Biasanya, masyarakat memelihara itik secara tradisional yaitu dengan cara
itik liar dapat dilakukan dengan berbagai macam cara diantaranya yaitu
pemberian pakan yang baik dalam memenuhi gizinya untuk mendapatkan hasil
yang optimal (Suharno dan Amri, 2010). Dilihat dari segi produksi, dengan
pemeliharaan yang masih tradisional dan sederhana peternak sudah mampu untuk
mencukupi kebutuhan keluarga dengan telur dan daging yang potensial hasil
Sumatera Barat menjadi salah satu daerah yang memiliki plasma nutfah
genetik itik yang baik, diantaranya itik Pitalah, itik Kamang, itik Bayang dan itik
Sikumbang jonti. Banyak sekali itik yang berpotensi di Indonesia yang baik untuk
Salah satu itik lokal yang sangat berpotensi karena memiliki tingkat produktifitas
1
yang tinggi dan harus ditingkatkan kelestariannya adalah itik Kamang. Itik
Kamang merupakan itik lokal yang berasal dari Kecamatan Tilatang Kamang
Tetapi, hal ini belum dapat diwujudkan karena itik jenis ini dibudidayakan secara
turun temurun oleh masyarakat setempat dengan cara digembalakan atau masih
bersifat tradisional sehingga populasi masih rendah dan belum berkembang. Hal
ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang ternak itik. Itik
Kamang merupakan itik lokal Sumatera Barat yang memiliki ciri yang spesifik,
produktifitas yang tinggi, daya adaptasi lingkungan yang baik serta dapat
menyebutkan bahwa populasi itik kamang jauh berkurang dan kemurniannya juga
perkawinan dengan itik jenis lainnya yang tidak dapat dihindari sehingga
dikhawatirkan kondisi ini dapat mengganggu adanya gen-gen unik dan variabilitas
genetik unggulan yang dimiliki itik kamang dan mulai beranjak punah.
1.201.892 ekor pada tahun 2012. Sumbangan produksi daging itik pada tahun
tersebut mencapai 703 ton pertahun atau 3% dari produksi daging unggas
(2020) jumlah ternak unggas itik di Sumatera Barat khususnya daerah Kabupaten
Agam pada tahun 2018 sebanyak 106.666 dan pada tahun 2019 sebanyak 116.485
ekor. Kelebihan ternak itik dengan ternak yang lainnya adalah harga produknya
2
yang lebih mahal, lebih stabil dan tahan terhadap penyakit sehingga resiko
saja namun juga dinilai dari hasil tetasnya guna dapat menghasilkan bibit baru
yang berkualitas. Dengan tingkat produktifitas telur yang cukup tinggi itik
bantuan yaitu menggunakan mesin tetas. Penetasan telur itik Kamang dengan
menggunakan mesin tetas yang akan dijadikan bibit baru diupayakan dapat
mesin tetas pada proses penetasan telur itik memiliki keunggulan diantaranya
anakan secara cepat serta minimnya tingkat kegagalan dalam proses penetasan.
Suhu dan kelembaban merupakan dua faktor iklim penting yang dapat
berkisar antara 18-25⁰C sedangkan untuk itik lokal yaitu berkisar antara 23-25⁰C
(El-Badry, Hassanane, Ahmed dan El kholy, 2009). Suhu dan temperatur untuk
dapat beternak itik lokal yang berkisar antara 23-25⁰C sehingga hal ini mampu
3
menurut Supriyadi (2011) juga penyatakan bahwa temperatur yang baik untuk
memiliki produktifitas yang baik. Suhu lingkungan yang berada dibawah thermo-
neutral zone yaitu dibawah 23⁰C maka ternak itik akan mengalami stress dingin
(cold stress). Sedangkan jika pemeliharaan ternak itik diatas thermo-neutral zone
atau melebihi batas atas maka itik juga akan mengalami stress panas (heat stress).
Ciri-ciri ternak unggas yang menderita stress seperti banyak minum, nafsu makan
2014)
tetas yang diatur sedemikian rupa menyerupai proses pengeraman siinduk. Faktor
salah satu komponen yang sangat penting dalam proses penetasan, pembentukan
dan perkembangan embrio. Selain itu, faktor dalam penetasan yang perlu
diperhatikan juga adalah tatalaksana temperatur yang tepat, ventilasi udara serta
kelembaban dalam mesin tetas. Embrio yang akan berkembang sangat sensitif
sekali terhadap perubahan suhu yang terlalu rendah dan tinggi. Jika suhu semakin
rendah maka akan menghambat pertumbuhan dari embrio sedangkan jika suhu
(Elsayed, 2009).
Produksi telur dan DOD menjadi kunci dari tingkat produktivitas itik
Kamang, sehingga persentase fertilitas dan daya tetas yang tinggi sangat
4
dibutuhkan untuk mendapatkan bibit baru dengan jumlah yang banyak dan bobot
tetas yang tinggi demi kelangsungan usaha beternak oleh masyarakat. Hal-hal
lainnya yang perlu diperhatikan juga adalah daya hidup dari DOD yang
ditetaskan. Mortalitas atau jumlah kematian yang tinggi pada DOD juga dapat
umur telur, suhu dan kelembaban ruang penetasan (Ningtyas dkk., 2013).
Fertilitas dan daya tetas yang tinggi dapat diperoleh tergantung dari teknis saat
penyeleksian telur tetas. Seleksi telur tetas meliputi kebersihan kerabang, lama
penyimpanan, bobot telur dan bentuk telur (indeks telur). Indeks telur yang baik
digunakan sebagai telur tetas adalah telur yang memiliki bentuk oval (Sudrajad,
2014).
didalam inkubasi. Suhu yang meningkat secara telur menerus (sampai dengan
glukosa darah, pertumbuhan embrio, tekanan parsial Co2 dalam darah (pCo2),
tingkat glikogen hati dan tingkat laktat darah pada titik-titik waktu yang berbeda
(Willemsem, 2010).
perhari pada masa inkubasi 15-17 pada dua strain ayam lokal mesir yaitu
Gimmizah dan Mandarah yang menunjukkan perbedaan yang signifikan (P≤ 0,05)
pada bobot tetas, persentase bobot susut telur dan lama menetas. Lama menetas
untuk suhu 39,5⁰C yaitu selama 10 jam sedangkan untuk suhu 40,7⁰C lebih
singkat yaitu 8 jam lebih cepat serta secara bertahap signifikan dapat menaikkan
5
persentase daya tetas (Elsayed, 2009). Sedangkan menurut hasil penelitian Yahav
bahwa pola pengaturan temperatur pada mesin tetas yang berbeda tiap mesin tetas
memberikan hasil berbeda nyata terhadap mortalitas embrio dan daya tetas dalam
temperatur mesin tetas yang berbeda tiap mesin tetas memberikan hasil yang
berbeda nyata terhadap susut telur dan lama menetas tetapi tidak berbeda nyata
terhadap bobot tetas pada telur itik lokal (Anas sp) dengan menggunakan
perlakuan kedua (T2) memberikan hasil lebih efektif dan lebih efisien dalam
pencapaian penetasan yang optimal yaitu dengan menggunakan suhu 37,5⁰C pada
hari ke 1- 21); 39,5⁰C pada hari ke 22-24 selama 3 jam perhari; 37,5⁰C pada hari
ke 25; dan 37⁰C pada hari ke 26-28 dengan menggunakan telur yang fertil.
itik Kamang dikarenakan itik Kamang merupakan salah satu plasmah nutfah
Sumatera Barat yang mulai punah atau tingkat populasinya yang mulai rendah.
Pengembangan plasma nutfah sebagai ciri khas daerah adalah langkah baik agar
penetasan yang akan menerapkan pola pengaturan temperatur yang berbeda pada
setiap mesin tetas dengan menggunakan telur itik Kamang hasil dari perkawinan
alami dengan pengamatan terhadap tingkat mortalitas embrio, susut telur, lama
menetas, daya tetas dan bobot tetas. Maka, saya tertarik dengan penelitian yang
6
berjudul “Pengaruh Pola Pengaturan Temperatur Mesin Tetas terhadap,
Daya Tetas dan Bobot Tetas Tingkat Mortalitas Embrio pada Itik Kamang.”
mesin tetas yang berbeda terhadap persentase daya tetas, bobot tetas, lama
menetas, susut telur dan tingkat mortalitas embrio pada itik kamang yang
pengaturan temperatur mesin tetas yang berbeda tiap mesin tetas terhadap
persentase daya tetas, bobot tetas, lama menetas, susut telur dan tingkat mortalitas
embrio pada itik kamang yang dipelihara pada suhu rendah yaitu 19-22⁰C.
pola pengaturan temperatur pada setiap mesin tetas yang berbeda terhadap
persentase daya tetas, bobot tetas, lama menetas, susut telur dan tingkat mortalitas
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
Itik merupakan hewan unggas air yang termasuk kedalam Kelas Aves, Ordo
Anseriformes, Family Anatidae, Sub Family Anatidae, Tribus Anatidae dan Genus
Barat menyatakan bahwa populasi itik pada tahun 2018 adalah sebanyak
1.101.263 ekor sedangkan pada tahun 2019 populasi itik mencapai 1.143.703 ekor
dengan produksi daging pada tahun 2018 dan 2019 berturut-turut adalah 647.576
Menurut Murtidjo (1988) menyatakan bahwa itik yang banyak kita kenal
sekarang adalah itik hasil perjinakan itik liar (Anas Boscha). Itik tergolong
lainnya. Bentuk paruh yang lebar tertutup selaput yang peka dengan pinggiran
paruh yang merupakan plat bertanduk yang membuat itik mudah untuk mencari
makanan dilingkungan sekitarnya seperti sawah, sungai dan rawa sedangkan bulu
pada itik berbentuk konkaf dan tebal yang mengandung minyak sehingga bila
kedinginan.
Itik Kamang merupakan itik lokal Sumatera Barat yang berasal dari
Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam yang dikenal dengan itik Indian
Runner yang produktif sebagai itik petelur dan termasuk kedalam jenis unggas
yang harus dilestariakan karena populasi dan kemurnianya yang mulai punah.
8
Berdasarkan hasil penelitian Aulia (2014), karakteristik sifat kuantitatif itik
memiliki warna bulu kepala lebih didominasi berwarna coklat tua sekitar 73,33%,
warna bulu leher didominasi warna coklat muda sekitar 66,67%, warna bulu dada
didominasi warna coklat muda sekitar 48,89%, warna bulu sayap dodominasi
warna coklat muda, coklat tua sekitar 70%, warna bulu pada punggung
didominasi warna coklat tipis cokelat muda sekitar 71,11%, warna bulu pada paha
didominasi warna coklat tipis 40% dan warna bulu ekor didominasi warna coklat
muda sekitar 41,11% serta paruh dan shanknya berwarna abu-abu kehitaman.
Sedangkan itik Kamang jantan memiliki warna bulu kepala lebih didominasi
warna hitam kehijauan mencapai 100%, warna bulu pada leher didominasi warna
putih coklat tua mencapai 100%, warna bulu pada dada didominasi warna coklat
tua putih sekitar 70%, warna bulu sayap didominasi warna hitam coklat tua putih
sekitar 70%, warna bulu punggung didominasi warna putih coklat muda keabu-
9
abuan hingga 100%, warna bulu paha umumnya didominasi warna putih coklat
muda dan warna bulu ekor umumnya didominasi warna hitam serta paruh dan
Itik Kamang memiliki ciri khusus yaitu terdapat garis melengkung berwarna
putih didaerah atas mata, warna bulu cendrung coklat muda serta warna paruh
kehitaman (Mita dan Johan,2011). Menurut hasil penelitian Rusfidra (2012) yang
populasi itik Kamang yaitu 4.131 ekor dengan itik jantan dewasa sebanyak 484
ekor (11,72%), itik betina dewasa sebanyak 1.026 ekor (24,84%), anakan jantan
sebanyak 542 ekor (13,12%) dan anakan betina sebanyak 560 ekor (13,56%).
Telur merupakan produk hasil unggas dimana produk ini lebih diminati oleh
kambing dan domba karena harganya yang lebih ekonomis. Itik merupakan salah
satu jenis itik yang banyak diminati oleh masyarakat. Sebanyak 16% dari
kebutuhan masyarakat akan telur diindonesia dipenuhi dari telur itik dan 3 % oleh
10
dagingnya (Ditjennak, 2005). Telur tetas yang normal berbentuk bulat telur atau
oval. Telur dengan bentuk bulat atau terlalu lonjong merupakan telur abnormal
sehingga mempengaruhi posisi abnormal dari embrio yang akan ditetaskan dan
unggul dari hasil proses penetasan maka penyeleksian terhadap telur tetas perlu
dilakukan pemilihan telur yang kurang baik karena dapat menjadi salah satu
penyebab kegagalan dalam proses penetasan. Berat telur merupakan salah satu
indikator dalam penyeleksian telur tetas. Berat telur akan mempengaruhi tingkat
fertilitas dan daya tetas dari telur karena berat telur sangat mempengaruhi
dengan telur pecah menghasilkan anakan. Penetasan dapat dilakukan secara alami
oleh induk ternak atau secara buatan yaitu dengan menggunakan mesin tetas
(thermoregulator) yang berfungsi untuk mengatur suhu didalam mesin tetas secara
otomatis. Artinya jika suhu didalam mesin tetas terlalu tinggi atau melebihi batas
yang telah ditentukan maka thermostat akan memutus arus listrik pada lampu
secara otomatis sehingga suhu dapat turun dan mencapai suhu optimal serta suhu
yang stabil dan tidak menghambat pembentukan dari embrio. Sebaliknya jika
suhu didalam mesin tetas terlalu rendah atau kurang dari batas yang ditentukan
11
maka thermostat akan bekerja menyambung kembali arus listrik yang terputus
pada lampu pijar agar suhu dapat stabil kembali (Marhiayanto, 2000).
Sandi (2015) menyatakan bahwa rendahnya jumlah produksi bibit itik dapat
mesin tetas telur dapat meningkatkan daya tetas sehingga sangat membantu dalam
dan penggunaan rak putar dapat memberikan kemudahan dalam proses penetasan
telur (Ahaya, 2008). Perkembangan embrio didalam mesin tetas menurut Mito dan
1) Akan dijumpai titik hitam didalam telur pada hari pertama. Titik hitam
ini merupakan tanda telur fertil atau telur yang telah dibuahi.
2) Pada hari kelima, titik hitam ini akan berkembang dengan ditandai
nadi. Jika saat proses peneropongan tidak dijumpai serabut akar atau
hanya berupa titik hitam, maka ebrio sudah mati atau tidak
telur lainnya.
bakal anak itik. Serabut akar juga semakin banyak. Jika saat
12
4) Bakal embrio sudah terlihat bagian-bagian seperti kepala, kaki dan
sayap. Semakin jelas terbentuk pada hari ke- 20, jika tidak terlihat
5) Pada hari ke-26 hingga menjelang hari menetas (hari ke-28) akan
terdengar samar suara ciap pada anak itik. Suara ini bertanda bahwa
6) Pada hari ke-31, telur tidak juga menetas maka itu pertanda bahwa
harus dibuang sampai dengan mesin tetas kembali steril dan bersih
dari kerabang.
2.5. Temperatur
optimal. Temperatur dan kelembaban dalam proses penetasan harus stabil dan
optimal agar kondisi telur tetap terjaga dan tidak mengganggu pertumbuhan
embrio dan tidak menyebabkan embrio mati selama proses penetasan. Tingkat
keberhasilan dalam sebuah proses penetasan ditentukan oleh kualitas dari Day old
Duck (DOD). Temperatur yang terlalu tinggi dan terlalu rendah dapat
menghambat kualitas dari anakan itik lokal secara kuantitatif, sehingga suhu yang
optimal sangat diperlukan dalam proses penetasan agar menghasilkan DOD yang
berkualitas. Suhu optimal dalam proses penetasan telur itik yaitu 38⁰C - 39⁰C
tetas adalah suhu dan O2 (Meijerhof, 2009). Suhu didalam mesin tetas untuk
13
menetaskan telur itik tidak jauh berbeda denga suhu yang digunakan untuk
menetaskan telur ayam yaitu sekitar 100-101⁰F. Jika didalam suatu penetasan
menggunakan still air incubator maka suhu yang digunakan antara 101-103⁰F
menetas dipengruhi oleh beberapa faktor seperti usia induk, waktu penyimpanan
terjadi penguapan yang berlebihan perlu diatur kelembaban pada 65-70%. Mulai
hari ke-20, kelembaban dinaikkan menjadi lebih dari 70%. Cara lain untuk
melihat agar penguapan tidak terjadi secara berlebihan dengan melihat pada kaca
ventilasi masin tetas. Bila pada kaca terdapat butir-butir air berarti kelembaban
terlalu tinggi. Dalam kondisi tersebut, kaca segera dilap sampai kering, ventilasi
dibuka dan bak air dikeluarkan. Srigandono (1986) juga berpendapat bahwa
kelembaban pada mesin tetas harus diatas 60% sedangkan pada minggu terakhir
0.05⁰C.
didapatkan hasil bahwa kenaikan temperatur 39,5⁰C dan 40,7⁰C yang dilakukan
selama 3 jam pehari pada masa inkubasi 15-17 hari pada dua strain ayam lokal
pada bobot tetas, persentase susut telur dan lama menetas. Hasil penelitian
14
temperatur pada setiap perlakuan dimana kenaikkan juga dilakukan 3 jam perhari
pada masa inkubasi 22-24 hari pada penetasan telur itik dengan hasil bahwa pola
pengaturan mesin tetas yang berbeda tiap mesin tetas akan berbeda nyata terhadap
susut telur dan lama menetas. Pada perlakuan yang sama Sa’diah (2015) juga
mendapatkan hasil yang berbeda nyata terhadap mortalitas embrio dan daya tetas
pada itik lokal (Anas sp) akibat dari pola pengaturan temperatur yang berbeda tiap
mesin tetas.
ukuran yang sering digunakan sebelum memilih telur untuk ditetaskan karena
bobot telur adalah salah satu faktor yang berpengaruh terhadap fertilitas, daya
tetas dan bobot tetas sehingga nantinya akan menentukan kualitas dari bibit yang
akan diproduksi. Menurut Kartini dan Riyanti (2003) bahwa telur dengan bobot
rata-rata atau sedang akan menetas lebih baik daripada telur yang berukuran lebih
kecil dan terlalu besar karena bobot telur yang kecil memiliki rongga udara yang
terlalu besar sehingga akan cepat menetas. Sebaliknya, bobot telur yang terlalu
besar memiliki rongga udara relatif lebih kecil, akibatnya telur lambat untuk
menetas.
Faktor utama yang mempengaruhi bobot telur adalah genetik dan faktor
lingkungan. Faktor genetik merupakan faktor yang bersifat internal dan sulit
diatasi karena berasal dari keturunan atau tetuanya dan faktor lingkungan
bobot telur adalah makanan, kandang, suhu atau pencahayaan, bobot badan, umur
produksi, penyakit dan rontoknya bulu (Yasin, 1988). Menurut Ivy dan Glaves
15
(1996) berpendapat bahwa bobot telur dipengaruhi oleh keseimbangan zat-zat
makanan terutama asam amino dari bahan penyusunan ransum dan konsumsi dari
b) Ukuran ektra besar yaitu bobot telur yang berkisar antara 60-65 gram
f) Ukuran sangat kecil yaitu bobot telur dengan ukuran kecil dari 45 gram.
Hasil penelitian Novi (2017) menyatakan bahwa bobot awal telur berkisar
antara 69-72 gram dapat mempengaruhi bobot tetas DOD yang dihasilkannya
yaitu 47,05; 47,62; 47,74 gram. Stromberg (1975) yang menyatakan bahwa
anakan yang dihasilkan dari berat telur yang kecil bobot yang dihasilkanpun lebih
kecil dibandingkan dengan anakan yang berasal dari bobot awal telur yang besar.
2.7. Fertilitas
kesuburan dari suatu kelompok telur tetas merupakan jumlah telur yang bertunas
(fertil) dari sekian banyaknya telur yang dierami atau yang ditetaskan dengan
ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi gegalnya telur fertil untuk menetas
diantaranya nutrien yang ada didalam telur dan kondisi yang tidak memungkinkan
16
mortalitas sperma jantan dan persentase sel sperma yang abnormal atau mati.
Faktor nutrien yang dimaksud adalah kekurang vitamin E pada pakan sehingga
Fertilitas merupakan persentase telur yang bertunas dari seluruh telur yang
dimasukkan kedalam mesin tetas. Pengujian fertilitas cukup maju karena dalam
selang waktu 24 jam fertilitas didalam suatu proses penetasan sudah dapat
diketahui. Pengujian fertilitas juga dilakukan pada hari kelima, hari keempat belas
dan hari kedua puluh empat setelah telur dimasukkan kedalam mesin tetas untuk
pembuahan artinya sperma yang lincah akan menyebabkan tingkat fertilitas yang
tinggi. Sebaliknya, jika mortalitas sperma tidak normal maka akan mempengaruhi
Daya tetas merupakan suatu persentase telur yang menetas dari sekian
banyaknya telur yang fertil hasil dari telur yang dierami sehingga dapat
bahwa suhu penyimpanan telur yang ideal untuk ditetaskan yaitu berkisar antara
10-20⁰C. Namun, jika tidak mempunyai lemari pendingin dapat disimpan pada
suhu kamar dengan ventilasi yang cukup. Telur dapat disimpan 3 sampai dengan 4
hari untuk mendapatkan hasil penetasan yang maksimal serta tidak adanya
kontaminasi dengan yang lainnya. Semakin lama telur disimpan maka kesempatan
pertukaran gas dan udara semakin besar dan penguapan semakin cepat terjadi
sehingga penyusutan berat telur dan kantong udara semakin besar. Jika hal ini
17
terjadi maka daya tetas telur dalam suatu proses penetasan akan berkurang
(Bambang, 1988).
efisien sebaiknya penyimpanan dilakukan kurang dari 4 hari. Namun untuk alasan
yang komersial, telur itik dapat disimpan selama 7 hari pada suhu 10-20⁰C. Telur
yang disimpan pada suhu tinggi yaitu sekitar 30⁰C hanya cocok untuk
penyimpanan jangka pendek yaitu 1-3 hari. Namun jika telur disimpan pada suhu
yang rendah yaitu sekitar 15⁰C maka telur dapat bertahan sekitar 5-7 hari.
Faktor yang mempengaruhi daya tetas adalah teknis pada waktu pemilihan
telur tetas atau seleksi telur tetas mulai dari bentuk telur, bobot telur, keadaan
kerabang, warna kerabang dan lama penyimpanan serta teknis dari operasional
dari petugas yang menjalankan mesin tetas seperti pengaturan suhu, kelembaban,
sirkulasi udara dan pemutaran telur serta faktor yang terletak pada induk yang
juga menyatakan bahwa bobot telur sangat mempengaruhi daya tetas sehingga
bobot telur yang terlalu besar atau kecil dapat menyebabkan menurunnya daya
tetas.
dapat menurunkan daya tetas telur yaitu kesalahan yang terjadi pada saat
pemilihan telur tetas seperti ukuran dan berat telur, terjadinya kerusakan pada
mesin tetas saat proses penetasan berlangsung, ada gangguan genetik pada induk
seperti adanya penyakit yang turun dari induk atau masih rendahnya tingkat
18
Pada masa perkembangan embrio terdapat proses glukoneogenesis yang
sangat penting yang berfungsi sebagai penyedia energi bagi morfogenesis sampai
akan berdampak pada fisiologis embrio. Suhu inkubasi tinggi secara terus-
darah, perkembangan embrio, tekanan parsial CO2 dalam darah (pCO2), tingkat
glikogen hati dan tingkat laktat darah pada titik-titik waktu yang berbeda
2010).
bertahap 3 jam/ hari selama masa inkubasi 22-24 hari dengan suhu tinggi 39,5⁰C
dan 40⁰C dapat menaikkan daya tetas secara signifikan (P<0,05). Rarasati (2002)
yang mengatakan bahwa suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan telur
mengalami dehidrasi atau kekeringan, sehingga DOD yang dihasilkan akan lemah
menyampaikan bahwa suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat
menghasilkan anakan yang bertubuh cacat seperti kaki bengkok atau leher
menekuk. Suhu yang digunakan pada hari 22-28 masa inkubasi yaitu 40,56⁰C
(Cahyono,2011).
Bobot tetas merupakan suatu bobot atau berat yang diperoleh dari hasil
penimbangan anak ayam atau anak itik yang baru saja menetas. Penimbangan ini
dilakukan setelah bulu dari DOC atau DOD tersebut sudah kering. Hal ini
19
bertujuan mengurangi terjadinya kesalahan saat penimbangan dikarenakan bulu
yang masih basah sehingga bobot yang dihasilkan tidak akurat. Berat telur
memiliki korelasi yang positif dengan berat yang akan ditetaskan. Menurut Rasyaf
(1984) menyatakan bahwa seleksi telur tetas terlebih dahulu dan diutamakan pada
bobot telur karena akan mempengaruhi berat awal dari anakan yang akan
dihasilkan, semakin berat telur tersebut maka anakan yang dihasilkan juga
semakin berat.
faktor utama yang dapat mempengaruhi bobot tetas dari DOD yang akan
dihasilkan. Bobot tetas pada DOD yang dihasilkan dapat dikatakan normal apabila
memiliki 2/3 dari bobot telur yang akan ditetaskan. Sedangkan bobot tetas yang
kurang dari 2/3 maka selama proses penetasan dapat dikatakan belum maksimal
atau adanya kesalahan yang terjadi. Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh
Rusandih (2001) yang menyebutkan bahwa itik mojosari dengan kisaran bobot
telur 39,10 - 79,55 gram mengahsilkan bobot tetas yang berkisar antara 26,52 –
44,42 gram.
Dalam melakukan seleksi pada telur yang akan ditetaskan maka bobot telur
merupakan faktor yang penting diperhatikan dalam penetasan karena bobot tetas
yang baik dihasilkan dari bobot telur awal yang baik pula. Bobot tetas yang kecil
didapatkan karena tata cara pemeliharan induk itik yang dilakukan oleh peternak
kurang baik. Kualitas dan kuantitas ransum induk yang rendah juga dapat
menyebabkan telur yang dihasilkan oleh induk relatif kecil. Menurut North dan
Bell (1990) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bobot telur yaitu strain, umur
bertelur pertama, suhu, lingkungan, ukuran pullet pada suatu kelompok. Bobot
20
tetas telur juga dapat dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan telur sebelum
dengan perlakuan pola pengaturan temperatur yang berbeda (suhu 39,5⁰C) pada
hari 22-24 hari inkubasi selama 3 jam/hari. Nichelman dkk (1998) menyatakan
bahwa bobot tetas berhubungan dengan penggunaan nutrisi yang optimal dari yolk
sebagai sumber energi dalam telur. Sumber energi utama pada paruh kedua
metabolisme yang berebih selama masa perkembangan embrio. Selain itu, bobot
tetas day old duck (DOD) juga dipengaruhi oleh bobot awal telur (Brahmantyo
Lama menetas merupakan waktu yang dihitung mulai dari telur dimasukkan
kedalam mesin tetas sampai dengan telur menetas menghasilkan anakan. Menurut
faktor seperti usia induk, waktu penyimpanan telur, kondisi penyimpanan dan
kondisi selama masa inkubasi. Embrio ayam yang merespon peningkatan suhu
suhu didalam mesin tetas dibawah normal maka telur akan menetas lebih lama
dari waktu yang telah ditentukan sedangkan jika suhu diatas normal pada saat
proses penetasan maka waktu penetasan lebih awal dari waktu yang telah
21
ditentukan dan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan telur mengalami
hari masa inkubasi yaitu sekitar 672 jam. Hampir sama dengan bangsa itik (Anas
Moschata) yang membutuhkan masa inkubasi 33-35 hari (Kortlang, 1985). Suhu
Suhu normal didalam penetasan tidak boleh kurang atau lebih dari 2⁰C dari
kisaran suhu standar (thermo-neutral zone). Jika terjadi penurunan suhu dibawah
melebihi waktu yang telah ditentukan, sebaliknya peningkatan suhu yang cukup
didalam mesin tetas tidak optimal maka embrio tidak akan mampu memecahkan
kerabang karena terlalu keras, namun kelembaban yang terlalu tinggi dapat
dan kematian. Ahmad Salahi (2011) dimana kelembaban yang terlalu tinggi
terjadi tidak sempurna sehingga dibutuhkan waktu yang lama lagi untuk proses
injeksi lipid.
22
2.11. Susut Berat Telur
Susut berat pada telur merupakan bobot telur yang hilang selama masa
embrio dan metabolisme embrio didalam telur yang ditandai dengan adanya
pertukaran gas oksigen dengan karbon dioksida serta adanya penguapan air
melalu pori-pori yang ada pada kerabang telur (Prasetio et al., 2000). Penyusutan
telur yang terjadi disebabkan oleh adanya karbon dioksida yang terkandung
menguap yang terjadi sehingga telur akan menyusut dan putih telur akan menjadi
encer dan penyusutan ini terjadi apabila faktor temperatur yang digunakan terlalu
oleh pengaruh suhu dan kelembaban yang dapat mempengaruhi daya tetas, bobot
tetas dan kualitas anak ayam atau DOD yang dihasilkan (Tullet et al., 1982).
Penyusutan berat telur yang terjadi selama masa perkembangan embrio atau
didalam telur dan metabolisme embrio yaitu pertukaran gas vital oksigen dan
karbondioksida serta menguapan air yang terjadi melalui pori-pori pada kerabang
telur (Peebles dan Brake, 1985). Davis et al (1988) mengatakan bahwa kehilangan
air yang terjadi selama masa inkubasi atau pengeraman disebabkan oleh adanya
gerakan peningkatan ion Ca⁺ dan Na⁺ dari cairan allantoic yang disebabkan oleh
23
Shahein (2002) yang menyatakan bahwa suhu inkubasi memiliki efek utama
dalam penurunan berat telur dan waktu menetas. Penyusutan bobot telur selama
kerabang telur yang dapat membantu proses pertukaran oksigen dan karbon
dioksida serta pernguapan air didalam telur (Prasetyo dan Susanti, 2000). Rahn et
proses normal selama masa inkubasi, biasanya kehilangan air sekitar 12 sampai
dan masa inkubasi akan terjadi penyusutan baik itu air atau yang lainnya sekitar
10 sampai 14%. Nakage et al (2003) yang menyatakan bahwa suhu inkubasi yang
tinggi dapat menyebabkan penyusutan yang tinggi juga, dimana suhu inkubasi
yang melebihi batas optimal akan menyababkan kehilangan air secara berlebihan
(>14%) sehingga dapat menyebabkan kematian yang tinggi pada embrio akibat
Mortalitas merupakan persentase jumlah telur yang tidak menetas dari total
keseluruhan telur yang fertil (Fadillah, 2007). Mortalitas dapat diketahui pada saat
peneropongan (candling) dan pada saat telur tidak menetas pada akhir proses
24
a) Preoviposital mortality, merupakan taham kematian yang terjadi pada
minggu pertama periode inkubasi yaitu hari ke-1 sampai hari ke-7.
sampai dengan fase late yaitu masa inkubasi hari ke-8 sampai hari ke-
25.
embrio yang tidak normal karena sumber pemanas pada mesin tetas tidak
tercukupi dengan baik. Sedangkan jika suhu yang terlalu tinggi dalam proses
DOD yang akan dihasilkan menjadi lemah akibatnya DOD mengalami kekerdilan
organ penting atau organ tersebut tidak berjalan sesuai fungsi dengan baik.
embrio yang mati pada fase ketiga seperti halnya suhu tinggi dalam waktu yang
embrio Muscovy duck memiliki zona thermo-neutral suhu yaitu berkisar 39-
25
40,5⁰C tergantung pada suhu embrio. Selama masa inkubasi, kematian embrio
tidak hanya disebebkan oleh pengaruh suhu namun sanitasi, kelembaban dan
bentuk telur namun juga berfungsi sebagai tempat jalannya oksigen dan
karbondioksida. Akan tetapi, pori-pori yang terdapat pada kerabang telur dapat
menjadi tempat masuknya sumber bibit penyakit bagi embrio yang akan
Arifin (2012) berpendapat bahwa ketebalan kerabang telur yang akan ditetaskan
terjadi pada masa kritis yaitu 3 hari diawal masa pengeraman dan 3 hari
mengatakan bahwa kebanyakan embrio yang mati ditemukan pada masa inkubasi
antara 22-27 hari. Hal ini biasa disebut dead-in-shell dan terbagi menjadi 3
sempurna secara normal tetapi tidak memiliki upaya untuk memecahkan kerabang
telur dan terjadi kesalahan pada posisi telur tetas (malposisi) biasanya hal ini
terjadi pada hari ke 28 masa inkubasi. Kategori kedua, menunjukkan embrio mati
dihari yang sama namun menunjukkan karakteristik paruh yang pipih dan lentur
dengan oedema serta pendarahan pada otot penetasan bagian belakang kepala.
26
Kategori ketiga, kematian embrio terjadi pada hari ke 22-28 masa inkubasi.
mesin tetas.
penetasan. Herizal (2018) menyatakan dimana telur yang terlalu banyak disimpan
yang terlalu lama dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan dari embrio
embrio atau kegagalan dalam menetaskan. Onbasilar (2007) juga mengatakan hal
yang sama yaitu penyimpanan telur sangat berpengaruh terhadap fungsi albumen
didalam telur, dimana albumen memiliki 2 fungsi yang sangat penting dalam
perkembangan embrio yaitu melindungi embrio dari bakteri patogen dan sumber
27
III. MATERI DAN METODE PENELITIAN
Objek yang digunakan dalam penelitian ini yaitu telur itik Kamang yang
berumur sekitar 8 bulan yang berasal dari peternakan Aur Mekar yang
terletak sekitar 850 mdpl dengan suhu berkisar antara 19-22⁰C dan dipelihara
Bahan yang akan digunakan yaitu 180 butir telur fertil itik Kamang dan
bahan fumigasi yang digunakan untuk dsterilisasi mesin tetas seperti Formalin
40% dan KMnO4. Sedangkan peralatan yang akan digunakan yaitu seperangkat
mesin tetas sederhana dengan kapasitas 150 butir sebanyak 3 unit yang dilengkapi
dengan lampu dan lainnya, senter untuk memeriksa fertilitas dan mortalitas pada
telur dengan cara candling, timbangan digital, alat tulis dan kamera serta
termokoperl digital.
P1 = 37,5°C (hari ke-1 sampai ke-25) dan 37°C (hari ke-26 sampai ke-
28
28).
P2 = 37,5°C (hari ke-1 sampai ke-21), 40°C (hari ke-22 sampai ke-24)
selama 3 jam per hari, 37,5°C (hari ke-25) , dan 37°C (hari ke-26
sampai ke-28)
P3 = 37,5°C (hari ke-1 sampai ke-21), 42°C (hari ke-22 sampai ke-24)
selama 3 jam per hari, 37,5°C (hari ke-25), dan 37°C (hari ke-26
sampai ke-28)
Model matematis Rancangan Acak Lengkap (RAL) menurut Steel and Torrie
Yij = µ + Ʈi + ϵij
Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j yang mendapat
perlakuan ke-i
µ = Nilai tengah umum
Ʈi = Pengaruh perlakuan ke-i
ϵij = Pengaruh sisa pada satuan percobaan yang mendapat perlakuan ke-i
pada ulangan ke-j.
Bagan pengamatan untuk perlakuan dapat dilihat pada tabel 2 berikut.
29
Jika antar perlakuan berbeda nyata (p< 0,05) dan berbeda sangat nyata (p> 0,01)
maka akan dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT).
Daya tetas merupakan persentase jumlah telur yang menetas dari jumlah
telur yang fertil yang dijadikan dalam bentuk persen (Suprijatna et al., 2005).
DOD saat pulling ( DOD yang sudah menetas dengan keadaan kering bulu 90%)
Merupakan waktu yang dihitung mulai dari telur masuk kedalam mesin tetas
sampai dengan telur menetas menghasilkan DOD (keluar dari kerabang ) yang
Susut telur merupakan bobot atau berat yang hilang didalam telur selama
Susut telur (%) = bobot telur hari ke 0 (gr) - bobot telur hari ke 25 (gr) x 100%
bobot telur hari ke 0(gr)
30
3.2.2.5 Mortalitas Embrio
dari sekelompok jumlah telur fertil yang ditetaskan. Mortalitas fase midle
merupakan proses candling yang dilakukan pada hari ke-8 sampai dengan hari ke-
mortalitas fase late merupakan fase untuk melihat kematian embrio pada hari ke-
pada telur seperti menseleksi bobot telur, warna telur, bentuk telur, kualitas
kerabang telur, kebersihan telur, serta umur dari telur yang akan ditetaskan
dikoleksi selama 1-4 hari; pembersihan telur dengan menggunakan proses amplas
mesin tetas dilakukan sehari sebelum mesin digunakan dengan suhu pemenasan
37-38⁰C.
31
Tahapan penelitian pertama dimulai pada pembagian telur menjadi 3
kelompok sesuai dengan kode perlakuan yang sudah diberikan yaitu kode 1, 2 dan
seterusnya.
inkubasi.
3. Telur diputar secara manual pada hari ke-4 sampai dengan hari ke-25
5. Kelembaban yang diberikan yaitu 55% (pada hari ke-1 sampai hari ke-
14), 65% (hari ke-15 sampai hari ke-25), 75% (hari ke-26 sampai hari
ke-28).
32
6. Proses candling dilakukan pada hari ke-7 dan hari ke-14 untuk
mengetahui telur yang fertil dari telur yang dierami, hari ke-25 untuk
7. Pada hari ke-28 terjadi penetasan pada telur sehingga dapat dihitung
daya tetasnya, lama menetas dan bobot tetas pada DOD yang bulu
sudah kering 90% dapat dikeluarkan dari mesin tetas dan dilakukan
penimbangan.
33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
sekian banyaknya telur yang fertil dan semua telur yang dierami sehingga
pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan data daya tetas dengan pola pengaturan temperatur mesin
tetas.
Perlakuan Daya Tetas (%)
P1 58,33b ± 4,08
P2 66,67ab ± 12,11
P3 75,00a ± 12,25
Keterangan: Superskrip pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh berbeda
nyata (P<0,05)
data telas telur itik kamang (Lampiran 1). Rataan persentase daya tetas
58,33%.
34
perlakuan P3. Sedangkan antara perlakuan P2 tidak berbeda nyata
semakin tinggi pola pengaturan temperatur mesin tetas pada masa inkubasi
yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh suhu temperatur yang sangat
yaitu mencapai 75%. Hal ini juga disebabkan oleh suhu inkubasi yang
(pCO2), tingkat glikogen hati dan tingkat laktat darah pada titik-titik
35
Pada penelitian ini persentase daya tetas perlakuan P1 dengan hasil
mesin tetas dengan suhu 37,5⁰C selama 3 jam/hari antara 22-24 hari masa
inkubasi memberikan hasil persentase daya tetas yang rendah. Hal ini
embrio yang terjadi. Sa’diah (2015) juga menyatakan bahwa suhu inkubasi
yang dinaikkan secara bertahap 3 jam/ hari selama masa inkubasi 22-24
hari dengan suhu tinggi 39,5⁰C dan 40⁰C dapat menaikkan daya tetas
Sehingga perubahan suhu 1⁰C dari suhu optimum dapat berdampak besar
Rataan berat telur yang ideal yaitu 68,28 gr (65-70gr) (B. Paimin,
2014) juga dapat menaikkan daya tetas sehingga pemanfaatan yolk yang
optimal namun, kenaikkan suhu pada masa inkubasi 22-24 hari selama 3
pada perlakuan ini DOD yang dihasilkan memiliki kualitas yang buruk
36
Sesuai dengan pendapat Rarasati (2002) yang mengatakan bahwa suhu
dimana menyampaikan bahwa suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah
dapat menghasilkan anakan yang bertubuh cacat seperti kaki bengkok atau
leher menekuk. Suhu yang digunakan pada hari 22-28 masa inkubasi yaitu
40,56⁰C (Cahyono,2011).
penyimpanan 4 hari.
hari dan masih dalam keadaan segar. Susanti (2015) juga mengatakan hal
yang sama bahwa telur yang masih segar memiliki pori-pori yang kecil
37
pertumbuhan embrio menjadi rusak dan telur gagal untuk menetas
kerusakan telur.
Rata rata bobot tetas (itik Kamang) yang diperoleh dengan pola
pengaturan temperatur yang berbeda tiap mesin tetas terdapat pada Tabel
4.
Tabel 4. Rataan bobot tetas dengan pola pengaturan temperatur mesin tetas
terhadap bobot tetas telur itik kamang (Lampiran 2). Rataan persentase
38
Berdasarkan hasil analisis statistik uji lanjut jarak berganda
semakin tinggi pola pengaturan temperatur mesin tetas pada masa inkubasi
yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh suhu temperatur yang sangat
yaitu rata-rata 48,25 gram. Hal ini menunjukkan bahwa pola pengaturan
temperatur mesin tetas pada 22-24 hari inkubasi selama 3 jam/hari dengan
39,5⁰C) pada hari 22-24 hari inkubasi selama 3 jam/hari. Hal ini
telur yang ideal. Nichelman dkk (1998) menyatakan bahwa bobot tetas
39
berhubungan dengan penggunaan nutrisi yang optimal dari yolk sebagai
sumber energi dalam telur. Sumber energi utama pada paruh kedua
yang berebih selama masa perkembangan embrio. Selain itu, bobot tetas
day old duck (DOD) juga dipengaruhi oleh bobot awal telur (Brahmantyo
dan Prasetyo, 2001). Sudaryani dan Santoso (1994) juga mengatakan hal
yang dihasilkannya adalah 47,05; 47,62; 47,74 gram dengan bobot awal
telur berkisar antara 69-72 gram (rentang bobot telur sangat sedikit yaitu 4
gram). Sedangkan pada penelitian ini bobot tetas yang dihasilkan adalah
44,63; 48,25; 46,12 gram dengan bobot awal telur yang digunakan yaitu
berkisar antara 60,38-72,31 gram (dengan rentang bobot telur yang sangat
Artinya pada penelitian ini bobot awal telur sangat mempengaruhi bobot
Surgiasih (1985) mengatakan bahwa bobot awal telur yang berkisar antara
40
Sesuai juga dengan pendapat Stromberg (1975) yang menyatakan bahwa
anakan yang dihasilkan dari berat telur yang kecil bobot yang
bobot awal telur yang besar. Hal yang sama juga dikatakan oleh North dan
Bell (1990) bahwa bobot telur yang kecil akan menghasilkan anakan yang
kecil juga, hal ini disebabkan karena bobot tetas dipengaruhi oleh
dari bobot telur yang besar pula begitupun sebaliknya. Handy et al (1991)
bobot tetas juga sebanyak 0,5-0,7 gram. Sudaryani dan Santoso (1994)
mengatakan bahwa bobot tetas berasal dari 2/3 dari bobot telur yang akan
yang diperoleh dari hasil penetasan dipengaruhi oleh berat awal telur
karena telur mengandung nutrisi seperti vitamin, mineral dan air yang
embrio yang ada didalam telur dan juga berfungsi sebagai cadangan
41
Tabel 5. Rataan lama menetas dengan pola pengaturan temperatur mesin tetas
terhadap lama menetas telur itik kamang (Lampiran 3). Rataan lama
temperatur mesin tetas pada masa inkubasi 22-24 hari selama 3 jam/hari
bahwa embrio pada unggas (ayam atau itik) sangat merespon peningkatan
perkembangan embrio.
42
Pada perlakuan P3 rataan yang diperoleh lebih singkat dibandingkan
dengan rataan pada perlakuan P1 dan P2, sehingga dapat diartikan bahwa
suhu inkubasi yang tinggi dapat mempercepat masa penetasan. Suhu yang
normal selama masa inkubasi akan memberikan waktu tetas yang tepat dan
optimal misalnya pada penetasan telur itik jika suhu inkubasi normal maka
waktu menetas adalah sekitar 28 hari (672 jam). Suhu normal didalam
penetasan tidak boleh kurang atau lebih dari 2⁰C dari kisaran suhu standar
waktu penetasan masih berkisar normal (683,5 jam dan 671,5 jam )
nutrisi yang terdapat didalam telur dapat diserap dengan baik untuk
perkembangannya.
43
penguapan yang terjadi menyebabkan embrio mengalami pengurangan air
kelembaban didalam mesin tetas tidak optimal maka embrio tidak akan
yang terlalu tinggi dapat menyebabkan air masuk kedalam pori-pori pada
terjadi tidak sempurna sehingga dibutuhkan waktu yang lama lagi untuk
memberikan waktu tetas yang masih normal yaitu berkisar 669-683,5 jam
(27-28,5 hari ).
44
4.4 Pengaruh Temperatur terhadap Susut Berat Telur Itik Kamang
Data susut berat telur telur itik kamang akibat pengaruh pola
berikut.
Tabel 6. Rataan susut berat telur dengan pola pengaturan temperatur mesin tetas.
susut berat telur itik kamang (Lampiran 4). Rataan susut berat telur yang
12,28%.
tinggi pola pengaturan temperatur mesin tetas pada masa inkubasi 22-24
terjadi. Hal ini disebabkan oleh suhu temperatur yang sangat berpengaruh
45
dan metabolisme embrio didalam telur serta adanya penyerapan energi
yaitu pertukaran gas vital oksigen dan karbondioksida serta menguapan air
yang terjadi melalui pori-pori pada kerabang telur (Peebles dan Brake,
1985).
peningkatan ion Ca⁺ dan Na⁺ dari cairan allantoic yang disebabkan oleh
(2002) yang menyatakan bahwa suhu inkubasi memiliki efek utama dalam
penurunan berat telur dan waktu menetas. Penyusutan bobot telur selama
pada kerabang telur yang dapat membantu proses pertukaran oksigen dan
karbon dioksida serta pernguapan air didalam telur (Prasetyo dan Susanti,
2000).
46
kehilangan air selama masa inkubasi. Rahn et al (1981) menyatakan
pada penetasan telur unggas (broiler) dan kalkun. Sesuai dengan pendapat
embrio dan masa inkubasi akan terjadi penyusutan baik itu air atau yang
masih termasuk kedalam suhu inkubasi yang normal. Hal ini didukung
47
dikarenakan telur itik memiliki pori-pori pada kerabang yang banyak
ayam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ramonaff (1963) bahwa pori-pori
yang terdapat pada kerabang telur itik lebih banyak dibandikan telur ayam
dari segi jumlah dan ukurannya. Semakin kecil dan sedikit pori-pori yang
sedangkan semakin banyak dan besar pori-pori telur maka penguapan juga
semakin besar sehingga laju susut telur tetas juga meningkat (Grant,
1979).
Tabel 7. Rataan mortalitas fase Ketiga berdasarkan pola pengaturan mesin tetas
mortalitas embrio fase ketiga (middle) telur itik kamang (Lampiran 5).
48
terdapat pada perlakuan P1 (37,5⁰C) yaitu 18,33%. Sedangkan rataan
pengaturan temperatur mesin tetas pada masa inkubasi 22-24 hari selama 3
ketiga (middle) yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh suhu temperatur
kuning telur dan tidak mampu membentuk organ-organ penting atau organ
terlihat pada perlakuan P1 yaitu dengan suhu normal 37,5⁰C yaitu 18,33%.
49
mengabsorbsi kuning telur dan tidak terjadinya perkembangan sesuai
banyaknya embrio yang mati pada fase ketiga seperti halnya suhu tinggi
Selain itu, mortalitas juga dipengaruhi oleh struktur dari telur yang
akan ditetaskan salah satunya yaitu kerabang telur yang memiliki pori-pori
telur dari pengaruh luar dan mempertahankan bentuk telur namun juga
menjadi tempat masuknya sumber bibit penyakit bagi embrio yang akan
50
2004). Arifin (2012) berpendapat bahwa ketebalan kerabang telur yang
telur tetas. Pada penelitian ini menggunakan alat amplas untuk mengurangi
3jam/hari pada masa inkubasi 22-24 hari terlihat pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Rataan mortalitas fase late dengan pengaturan temperatur mesin tetas.
terhadap mortalitas embrio fase terakhir (late) pada telur itik kamang
51
Sedangkan rataan terendah terdapat pada perlakuan P2 dan P3 (42⁰C)
yaitu 16,67%.
banyak terjadi pada masa kritis yaitu 3 hari diawal masa pengeraman dan 3
sehingga ada beberapa yang tidak mampu piping dan beberapa mengalami
mati ditemukan pada masa inkubasi antara 22-27 hari. Hal ini biasa
tetapi tidak memiliki upaya untuk memecahkan kerabang telur dan terjadi
kesalahan pada posisi telur tetas (malposisi) biasanya hal ini terjadi pada
hari ke 28 masa inkubasi. Hal ini diduga yang menjadi penyebab tingginya
rataan mortalitas fase terakhir yang terjadi pada perlakuan P1 yaitu sekitar
52
Kategori kedua, menunjukkan embrio mati dihari yang sama namun
serta pendarahan pada otot penetasan bagian belakang kepala. Hal ini
terlalu rendah). Hal ini diduga yang menjadi penyebab kematian embrio
pada perlakuan P2 dan P3 yaitu suhu 40⁰C dan 42⁰C. Sesuai dengan
terjadi pada hari ke 22-28 masa inkubasi. Kematian ini disebabkan karena
53
bahwa waktu penyimpanan atau pengkoleksian telur selama 4 hari, tingkat
penyimpanan. Hal ini diduga waktu penyimpanan yang terlalu lama dapat
membuat kualitas telur menurun (sudah kurang baik) serta telah banyak
terjadi kegagalan dalam penetasan telur. Hal yang serupa juga dinyatakan
54
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
sangat nyata terhadap bobot tetas, lama menetas dan berpengaruh nyata terhadap
daya tetas, susut telur dan mortalitas embrio fase middle, tetapi tidak berpengaruh
memberikan hasil yang tinggi (maksimal) terhadap daya tetas namun, DOD yang
perlakuan yang terbaik dan efesien dalam keberhasilan penetasan dengan suhu
40⁰C.
5.2 Saran
55
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian penulis
56
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, C.S. 2012. Pengaruh Konsentrasi Infusa Daun Sirih (Piper betle Linn.)
pada Pencelupan Telur Itik terhadap Daya Tetas dan Kematian Embrio.
Jurnal Indon. Trop. Anim. Agric. 26 (4).
Arsih, C. C. 2014. Keragaman sifat kualitatif itik lokal di usaha pembibitan “er”
di Koto Baru Payobasung Kecematan Payakumbuh Timur Kota
Payakumbuh. Sripsi. Universitas Andalas. Padang.
Aulia, F. 2014. Keragaman Sifat Kuantitatif Itik Lokal di Usaha Pembibitan “ER”
di Koto Baru Payosabung Kecamatan Payakumbuh Timur kota
Payakumbuh. Skripsi, Fakultas Peternakan, Universitas Andalas, Padang
B. Paimin, Farry. 2014. Membuat dan Mengelola Mesin Tetas. Cetakan III.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Bagliacca, M., M.Marzoni dan G. Paci. 2003. Effect of Egg Weight Categories
Storage Time and Storage Temperature on Incubation Length in Pekin
Duck Egg. Departement of Animal Production. Pisa University
Bell, D.D. dan Weaver, W.D. 2002. Commercial Chicken Meat and Egg
Production. Academic Publisher. United.
Cahyono, B. 2011. Pembibitan Itik Untuk Itik Petelur dan Itik Pedaging. Penebar
Swadaya. Bogor
57
Christensen, V.L. 2001. “Factors associated with early embryonic mortality”.
World’s Poultry Sci Jurnal, Vol. 57:359-372.
Daulay AH. 2008. Pengaruh Umur dan Frekuensi pemutaran terhadap daya tetas
dan mortalitas telur atam arab ( Gallur Turcicus). [Skripsi}.Departemen
peternakan fakultas pertanian .USU.Medan.
Dewanti, R., Yuhan, dan Sudiyono. 2014. Pengaruh Bobot dan Frekuensi
Pemutaran Telur terhadap Fertilitas, Daya Tetas, dan Bobot Tetas Itik
Lokal. Buletin Peternaka. Vol 38(1):16-20.
Djanah, D. 1984. Beternak Ayam dan Itik. Cetakan Kesebelas. C.V Yasaguna.
Jakarta.
Fadhilah, R., A. Polana, S. Alam dan E. Parwanto. 2007. Sukses Beternak Ayam
Broiler. AgroMedia Pustaka. Jakarta
Fitri, A., Ratna S., dan Ari S. 2007. Pengaruh Penambahan Daun Salam (Eugenia
polyantha Weight) terhadap Kualitas Migrobiologis, Kualitas Organoleptis
dan Daya Simpan Telur Asin pada Suhu Kamar. Jurnal Biofarmasi. Vol
5(2):47-54.
58
Freeman, B. M. 1963. Gaseous metabolism of the domestic chicken. Brit. Poultry
Science 4 : 275-278
Hafez, E.S.E. 1969. Poultry. In : E.S.E. Hafez. Reproduction in Farm Animal. 6th
Ed. Lea and Febiger, Philadelphia
Insko, W. M., Jr. 1949. Physical Conditions In Incubation. Pages 210–243 in The
Fertility and Hatchability of Chicken and Turkey Eggs. L. W. Taylor, ed. J.
Wiley and Sons Inc., London, UK.
Ivy, R. E. dan G. W. Glaves. 1996. Effect of egg production level dietry protein
and energy on feed consumpton and nutrion requirement of laying hens.
Poultry Sci. 55 : 2166-2171.
King’ori, A. M. 2011. Review of the factors that influence egg fertility and
hatchability in Poultry. Int. J. Poult. Sci. 10: 483-492.
59
Kurtini, T dan Riyanti, Rr. 2003. Teknologi Penetasan. Buku Ajar. Universitas
Lampung. Lampung.
Kurtini, T dan Riyanti, Rr. 2014. Teknologi Penetasan Edisi II. AURA.
Universitas Lampung. Lampung.
Lourens, A., H. Van den Brand, R. Meijerhof, and B. Kemp. 2005. Effect of
Eggshell Temperature During Incubation On Embryo Development,
Hatchability, And Posthatch Development. Poultry Science. 84:914-920
Manggiasih, N.N., D. Garnida, dan A. Musyawir. 2015. Susut Telur, Lama dan
Bobot Tetas Itik Lokal (anas sp) Berdasarkan Pola Pengaturan Temperatur
Mesin Tetas. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Bandung.
Meijerhof, R. 2009. Incubation principles: What does the embryo expect from us?
Pages 106–111 in Proc. 20th Australian Poultry Science Symp.
Mito. dan S. T. Johan. 2011. Usaha Penetasan Telur Itik. PT Agromedia Pustaka.
Jakarta.
Murtidjo, B.A 1988. Seri Budi Daya Mengelola Itik. Cetakan ke Sebelas. Kansius,
Yogyakarta.
Nakage Es, Cardozo JP, Pereira GT, Queiroz SA dan Boleli IC. 2003. Effect of
Temperature on Incubation Period, Embryonic Mortality, Hatch Rate, Egg
Water Loss And Partridge Chick Weight (Rhynchotus Rufescens). Rev.
Bras. Cienc. Avic. [Online].. volume 5, Nomor 2, Halaman 131-135. ISSN
1516-635X.
Netty, S., Garnida, D., dan I. Setiawan. 2016. Pengaruh Umur Induk Itik dan
Spesific Gravity terhadap Karakteristik Tetasan. Fakultas Peternakan
Universitas Padjajaran. Bandung.
60
Verhaltensbiologie und Zoologie der Humboldt-Universitate zu Berlin.
Berlin. Hal : 167–173
Novi, D, P. 2017. Pengaruh rasio jantan dan betina terhadap fertilitas dan daya
tetas telur itik Kamang. Skripsi. Universitas Andalas. Padang
Nugroho. 2003. Pengaruh Bobot Telur Tetas Kalkun Lokal Terhadap Fertilitas,
Daya Tetas, Dan Bobot Tetas. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Onbasilar, E. E., O. Poyraz and E. Erdem. 2007. Effect Of Egg Storage Period on
Hatching Egg Quality, Hatchability, Chick Quality and Relative Growth in
Pekin Ducks. Journal of Arch. Geflugelk. Vol 71(4): 187-191.
Paimin, B.F. 2004. Membuat dan mengelola mesin tetas. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Peebles, E.D and J. Brake. 1985. Relationship of egg shell porosity of stage
oembrionic development in broiler breeders. Poult. Sci. 64 (12): 2388
Prasetyo, L.H. dan T. Susanti. 2000. Persilangan Timbal Balik Antara Itik Alabio
dan Mojosari Periode Awal Bertelur. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner,
Vol. 5, No. 4 : 210-213.
Pratama, A. R., Dani G., dan Tuti W. 2016. Lama Menetas dan Bobot Tetas Itik
Lokal (Anas sp) Berdasarkan Perbedaan Kelembaban Mesin Tetas
terhadap Periode Hatcher. Jurnal Fakultas Peternakan Universitas
Padjajaran. 2016.
Rahayu, H.S. 2005. Kualitas telur tetas ayam kampung dengan waktu
pengulangan inseminasi buatan yang berbeda. [skripsi]. Fakultas
Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
61
Rarasati. 2002. Pengaruh Frekuensi Pemutaran Pada Penetasan Telur Itik
Terhadap Daya Tetas, Kematian Embrio dan Hasil Tetas. Laporan Hasil
Penelitian. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
Rahn, H., R. A. Ackerman, dan C. V. Paganelli. 1981. Humidity in The Avian Nest
and Egg Water Loss During Incubation. Journal of Experimental Zoology.
50:269-283
Romanoff, H. L. and A. J. Ramanoff. 1963. The Avian Egg. John Wiley and Sons.
Inc. New York
Rusandih. 2001. Susut Tetas dan Jenis Kelamin Itik Berdasarkan Klasifikasi
Bobot dan Nisbah Kelamin. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor
Sandi, S., Indra, A., Sari, M.L., dan Y. osi, F. 2015. Penerapan Sistem Kawin
Sodok dan Mesin Tetas Meningkatkan Produktivitas Itik Pegagan. Jurnal
Pengabdian Sriwijaya. 3 (2), 274-281.
Sa’diah, I. N, Dani G., dan Andi M. 2015. Mortalitas Embrio dan Daya Tetas Itik
Lokal (Anas sp) Berdasarkan Pola Pengaturan Mesin Tetas. Fakultas
Peternakan UNPAD. Bandung.
62
Shanawany, M.M. 1987. Hatching weight in relation to egg weight in domestic
birds. World’s Poultry Sci. Journal. 43 (2): 107- -114
Shanawany. 1994. Quail Production Systems. FAO of The United Nations. Rome.
Susanti, I., Tintin K. dan Dian S. 2015. Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap
Fertilitas, Susut Tetas, Daya Tetas dan Bobot Tetas Telur Ayam Arab.
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. Vol 3(4): 185-190.
Suprijatna, E., Atmomarsono, U., Kartasudjana, R., 2005. Ilmu Dasar Ternak
Unggas. Penebar swadaya. Jakarta
Suharno, B. dan K. Amri. 2010. Beternak Itik Secara Intensif. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Suyanto., 2005. tomatisasi Mesin Tetas Untuk Meningkatkan Produksi DOC (Day
Old Chick) Ayam Lurik dan Efisiensi Usaha. Jurnal Dedikasi, 2, 17-25
63
Tona, K., F. Barnelis., B. De Ketelaere., V. Bruggeman., and E. Decuypere. 2002.
“Education and Production: Effect of induce molting on albumen quality,
hatchability, and chick body wieght from broiler breeders”. J. Poultry Sci.
81:327-332.
Tullet, S. G. and F.G. Burton. 1982. Factor affecting the weight and water status
of chick and hatch. British Poultry. Science 23 : 361--369.
Woodard, A.E., H. Abplanalp, W.O. Wilson and P.Vohra. 1973. Japanese Quail
Husbandry in Laboratory. Departement Of Avian Science University Of
California.
Yalcin S dan Siegel PB. 2003. Exposure to Cold or Heat During Incubation on
Developmental Stability of Broiler Embryos. Poultry Science 82, 1388-
1392
Yasin, S. 1988. Fungsi dan Peranan Zat - Zat Gizi dalam Ransum Ayam Petelur.
Mediatama Sarana Perkasa, Mataram.
64
LAMPIRAN
Perlakuan
Ulangan Total Rataan
P1 P2 P3
1 60 80 80 230 76,67
2 60 50 80 200 66,67
3 60 80 80 230 76,67
4 50 60 80 200 66,67
5 60 70 50 190 63,33
6 60 60 80 210 70,00
Perhitungan :
2
Yij 12002
FK = j . i = 3 . 6 = 80000
2 2 2
JKT = (70 +80 +. .. .+80 ) - 80000 = 2400
2 2 2
( 380 + 430 + 450 )
= 6 -80000 = 833,34
JKP
JKP 833,33
Dbp = 2 = 416,667
KTP =
JKS 1566,67
KTS = Dbs = 15 = 104,444
KTP 416,67
KTS = 104,44 = 3,99
F. Hit =
65
Analisis Keragaman (ANOVA)
F.hitun F. Tabel
SK db JK KT Notasi
g 5% 1%
SE =
√ KTS = √104,44 = 4,17
r 6
LSR 5% = SSR5% X SE = 3,01 X 4,17 = 7,10
LSR 1% = SSR1% X SE = 4,17 X 4,17 = 9,82
SSR LSR
Perlakuan SE
5% 1% 5% 1%
P3 P2 P1
LSR
Perlakuan Selisih Ket
5% 1%
66
P2-P1 8,33 12,58 17,39 NS
Superskrip
P1 P2 P3
b ab a
Perlakuan
Ulangan Total Rataan
P1 P2 P3
Perhitungan :
2 2 2
JKT = (45,7 +50 , 63 +. .. .+45,5 ) - 38641,07 = 80,38
2 2 2
( 267,8 +289 , 49 + 276,7 )
= 6 -38641,07 = 39,625
JKP
JKP 39,625
Dbp = 2 = 19,8125
KTP =
67
JKS 40,7539
KTS = Dbs = 15 = 2,717
KTP 19,813
KTS = 2,717 = 7,292
F. Hit =
F. Tabel
SK Db JK KT F.hitung Notasi
5% 1%
Uji DMRT
SE =
√ KTS = √2,717 = 0,673
r 6
LSR 5% = SSR5% X SE = 3,01 X 0,67 = 2,03
LSR 1% = SSR1% X SE = 4,17 X 0,67 = 2,80
SSR LSR
Perlakuan SE
5% 1% 5% 1%
LSR
Perlakuan Selisih Ket
5% 1%
Superskrip :
68
P1 P2 P3
Bb Aa b
Perlakuan
Ulangan Total Rataan
P1 P2 P3
Perhitungan :
2
Yij 119202
FK = j . i = 6 . 3 = 7893688,89
2 2 2
JKT = (679 +676 +. .. .+634 ) - 7893688,89 = 9169,11
69
KTP 4417,39
KTS = 22 ,29 = 198,19
F. Hit =
F. Tabel
SK Db JK KT F. Hit
0,05 0,01
Total 17 9169,11
SE =
√ KTS = √22,29 = 1,93
r 6
LSR 5% = SSR5% X SE = 3,01 X 1,93 = 5,80
LSR 1% = SSR1% X SE = 4,17 X 1,93 = 8,03
SSR LSR
Perlakuan SE
5% 1% 5% 1%
LSR
Perlakuan Selisih Ket
5% 1%
70
P2-P3 39,83 5,80 8,03 **
Superkrip
P1 P2 P3
A B C
Perlakuan
Ulangan Total Rataan
P1 P2 P3
Perhitungan :
2 2 2
JKT = (11,9 +12 , 1 +.. . .+15,63 ) - 3022,01 = 25,52
2 2 2
( 73,70 +75 , 07 +84,46 )
= 6 -3022,01 = 11,43
JKP
71
JKP 11,43
Dbp = 2 = 5,57
KTP =
JKS 14,09
KTS = Dbs = 15 = 0,94
KTP 5,57
KTS = 0,94 = 6,09
F. Hit =
D F tab
SK JK KT F hit
b 0.05 0.01
Perlakua
2 11,43 5,57 6,09 3,68 6,36
n
Sisa 15 14,09 0,94
Total 17 25,52
SSR LSR
perlakuan SE
5% 1% 5% 1%
LSR
Perlakuan Selisih Ket
5% 1%
72
Superskrip :
perlakuan Superskrip
P3 Bb
P2 b
P1 Aa
Perlakuan
Ulangan Total rataan
P1 P2 P3
1 10 20 10 40 13,3
2 0 20 10 30 10,0
3 20 10 0 20 6,7
4 10 30 10 50 16,7
5 20 10 10 30 10,0
6 20 10 10 30 10,0
Perhitungan :
Yij 2 2602
FK = j . i = 3. 6 = 3755,56
2 2 2
JKT = (10 +20 +.. . .+10 ) - 3755,56 = 844,44
2 2 2
( 80 +70 +50 )
= 6 -3755,56 =344,44
JKP
73
= JKT - JKP = 844,44 - 344,44 = 500,00
JKS
JKP 344,44
Dbp = 2 = 172,22
KTP =
JKS 500,00
KTS = Dbs = 15 = 33,33
KTP 172,22
KTS = 33,33 = 5,17
F. Hit =
D F tab
SK JK KT F hit
b 0.05 0.01
Perlakua
2 344,44 172,22 5,17 3,68 6,36
n
Sisa 15 500,00 33,33
Total 17 844,44
SE =
√ KTS = √33,33 = 2,36
r 6
LSR 5% = SSR5% X SE = 3,01 X 2,36 = 7,10
LSR 1% = SSR1% X SE = 4,17 X 2,36 = 9,82
SSR LSR
Perlakuan SE
5% 1% 5% 1%
P1 P2 P3
74
Perbandingan nilai yang berbeda nyata
LSR
Perlakuan Selisih Ket
5% 1%
Superskrip
P1 P2 P3
a a b
Perlakuan
Ulangan Total Rataan
P1 P2 P3
1 20 0 10 30 10,0
2 30 30 10 70 23,3
3 20 10 20 50 16,7
4 30 10 10 50 16,7
5 20 20 40 80 26,7
6 20 30 10 60 20,0
Perhitungan :
2 2
Yij 340
FK = j . i = 3 . 6 = 6422,22
75
2 2 2
JKT = (20 +30 +.. . .+10 ) - 6422,22 = 1777,78
2 2 2
( 140 +100 +100 )
= 6 -6422,22 = 177,78
JKP
JKP 177,78
Dbp = 2 = 88,89
KTP =
JKS 1600
KTS = Dbs = 15 = 106,67
KTP 88,89
KTS = 106,67 = 0,83
F. Hit =
F tab
SK db JK KT F hit
0.05 0.01
Perlakua
2 177,78 88,89 0,83 3,68 6,36
n
Sisa 15 1600 106,67
Total 17 1777,78
76
Sistem perkandangan itik Kondisi ruangan penetasan
77
Penimbangan bobot tetas Penyusunan telur didalam mesin
tetas
78
Proses peneropongan telur Peneropongan telur (candling)
RIWAYAT HIDUP
Ayu Rusdhita Putri, dilahirkan di Sijunjung pada tanggal 28
Agustus 1999, anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan
Bapak Eko Rusdiona dan Ibu Sri Hartati yang berdomisili di
Mauaro Bodi, Kecamatan IV Nagari, Kabupaten Sijunjung,
Kota Padang. Penulis memulai pendidikan Sekolah Dasar
pada tahun 2005 di SDN 03 Muaro Bodi Sijunjung. Pendidikan Menengah
Pertama di SMPN 06 Sijunjung dan lulus pada tahun 2014. Pendidikan
79
Menengah Atas dilanjutkan di SMAN 04 Sijunjung dan lulus pada tahun 2017.
Pada tahun 2017 penulis tercatat sebagai mahasiswa di Program Studi Ilmu
Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Andalas melalui jalur SBMPTN.
Selama diperkuliahan penulis aktif dibeberapa kegiatan kampus dan organisasi
kampus diantaranya anggota dari devisi Kominfo Forum Studi Islam dan Staff
Devisi DIKLAT Himpunan Mahasiswa Peternakan 2018-2021.
Pada tanggal 01 Juli 2020 sampai tanggal 30 Juli 2020 melaksanakan
Kuliah Kerja Nyata di Nagari Pematang Panjang, Kecamatan Sijunjung,
Kabupaten Sijunjung. Selanjutnya penulis melakukan Farm Experience pada
tanggal 04 Januari 2021 sampai dengan tanggal 12 Februari 2021 di Unit
Peternakan yang ada di Kota Payakumbuh sepeti ABE Farm, Toni Fram, BPTU-
HPT Padang Mengatas, Rajawali Farm dan KSM II. Pada tanggal 03 Desember
2020 penulis melaksanakan Seminar Proposal, kemudian tanggal 10 Maret 2021
penulis mulai melaksanakan penelitian yang merupakan syarat untuk
menyelesaikan studi ditingkat sarjana pada Fakultas Peternakan Universitas
Andalas.
80