Professional Documents
Culture Documents
KONTRIBUTOR:
Nama-nama berikut berkontribusi dalam proyek
dan/atau produksi laporan ini:
Pengarah:
Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Peneliti:
Roland A. Barkey
Samsu Arif
Andang Suryana Soma
Munajat Nursaputra
Muhammad Dahri Syahbani R
Chaeria Anila
Riska Sariyani
Putri Saridayana Thamrin.
EXECUTIVE
SUMMARY
Tantangan pelaksanaan pembangunan saat ini adalah bagaimana sistemnya, dan memahami potensi-potensi dampak serta alternatif-
menginternalisasikan keberlanjutan daya dukung lingkungan alternatif solusinya yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam
hidup ke dalam kebijakan target pembangunan ekonomi dan analisis RPRKD Provinsi Sulawesi Selatan terdapat beberapa
sosial. Pertumbuhan ekonomi dan sosial selama ini cenderung kebijakan sektor yang diperhitungkan sebagai target penurunan
disertai dengan penurunan kualitas lingkungan hidup. Penerapan emisi di Provinsi Sulawesi Selatan diantaranya sektor kehutanan
pembangunan rendah karbon (PPRK) menjadi penting untuk meliputi moratorium hutan dan rehabilitasi hutan, sektor pertanian
mengubah pola pembangunan yang tidak berkelanjutan tersebut meliputi kebijakan cetak sawah perlindungan LP2B dan kebijakan
menjadi pembangunan yang berkelanjutan. Inisiatif PPRK ini peningkatan produktivitas padi, sektor kelautan dan pesisir melalui
mendapat tanggapan yang sangat positif dari seluruh pemerintah rehabilitasi mangrove, sektor energi dan transportasi melalui
provinsi di Indonesia. Terlebih, pembangunan rendah karbon kebijakan kendaraan listrik, kebijakan BRT, kebijakan efisiensi
menjadi salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka energi, dan kebijakan penambahan EBT sedangkan sektor
Menengah nasional (RPJMN) 2020-2024. PPRK memiliki kebijakan sampah dan limbah melalui kebijakan composing, kebijakan 3R
utama diantaranya transisi menuju Energi Baru Terbarukan dan & bank sampah, kebijakan metan capture, kebijakan penurunan
efisiensi energi, perlindungan hutan, dan meningkatkan reforestasi, konsumsi, kebijakan kapasitas TPA dan kebijakan WTE.
pengelolaan sampah industri dan sampah rumah tangga,
peningkatan produktivitas pertanian dan perbaikan kelembagaan Target penurunan emisi pada setiap sektor di Provinsi Sulawesi
maupun tata kelola. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan telah Selatan dilaksanakan melalui beberapa kegiatan-kegiatan yang
dan sedang mendukung arahan kebijakan tersebut dengan didasarkan pada kebijakan yang dibangun. Kegiatan-kegiatan
membentuk Tim Kelompok Kerja Koordinasi Pembangunan pembangunan rendah karbon dilakukan melalui platform website
Rendah Karbon Provinsi Sulawesi Selatan, dimana komposisi AKSARA (Aplikasi Perencanaan-Pemantauan Pembangunan
Pokja PPRK meliputi beberapa Organisasi Perangkat Daerah Rendah Karbon Indonesia). Kegiatan tersebut dilakukan baik
(OPD) dan didukung akademisi dan LSM. Dalam kelompok kerja sadar maupun tidak sadar menambah kemampuan serap
tersebut ditegaskan pembagian peran anggota pokja pada setiap, karbon dan juga menurunkan emisi dari yang seharusnya terjadi.
yaitu Sektor Kehutanan, Sektor Limbah, Sektor Pertanian, Sektor Pelaksanaan RPRKD Provinsi Sulawesi Selatan ini diharapkan
Energi, dan Sektor Pesisir dan Laut (Blue Carbon). dapat mendukung iklim investasi hijau, memperkuat integrasi
lintas sektor dalam pengambilan keputusan dalam pembangunan
Penyusunan model Rencana Pembangunan Rendah Karbon rendah karbon, serta mendorong terwujudnya koordinasi para
Daerah (RPRKD) dilakukan melalui pendekatan systems thinking pihak, integrasi program dan sinkronisasi rencana pembangunan
dan system dynamics atau biasa disebut Dinamika Sistem. Tujuan dalam berbagai perencanaan kedepan, seperti Rencana
utama dari sistem ini adalah untuk mendapatkan gambaran Pembangunan Daerah Jangka Panjang (RPJPD), Rencana Tata
yang lengkap dan luas mengenai emisi karbon, mengenali akar Ruang Provinsi (RTRWP), Rencana Pembangunan Daerah Jangka
masalahnya, mengidentifikasi semua variabel penting yang Menengah (RPJMD) dan Rencana Strategis (Renstra) Organisasi
terlibat, memahami dan mengidentifikasi leverage points di dalam Perangkat Daerah (OPD).
KATA
PENGANTAR
Laporan Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC) terbaru yang diterbitkan pada
tahun 2022 menyoroti dampak perubahan iklim yang semakin intensif dan lebih parah dari
yang diperkirakan sebelumnya. Dampak perubahan iklim tidak hanya mengancam kehidupan
manusia melalui cuaca ekstrem dan bencana terkait iklim lainnya, tetapi juga membahayakan
spesies dan seluruh ekosistem.
Dalam dua tahun terakhir, lonjakan dampak terkait krisis iklim berbenturan dengan pandemi
COVID-19 dan menciptakan krisis multidimensi yang berdampak pada setiap aspek kehidupan,
terutama ekonomi. Dengan pendekatan business as usual pasca pemulihan COVID-19, tren
pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan lebih rendah dari situasi sebelum pandemi,
sehingga sulit bagi Indonesia untuk keluar dari middle income trap dan mencapai visi jangka
panjangnya pada tahun 2045.
Sebagai bentuk komitmen dan upaya Pemerintah Indonesia untuk keluar dari middle income trap
Medrilzam sekaligus mengatasi dampak perubahan iklim, Kementerian PPN/Bappenas mengembangkan
Direktur Lingkungan Hidup kebijakan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) yang memperhitungkan aspek daya dukung
Kementerian PPN/Bappenas dan daya tampung SDA dan lingkungan termasuk tingkat emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang
ditimbulkan. Komitmen tersebut ditunjukkan dengan mengarusutamakan tujuan, sasaran dan
indikator SDGs dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun
2020-2024 dan menjadikan Pembangunan Rendah Karbon menjadi salah satu program prioritas
pada Prioritas Nasional (PN) 6: Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan
Bencana, dan Perubahan Iklim. Upaya tersebut juga sejalan dengan mandat artikel 3.4 UNFCCC
yang menyatakan secara tegas bahwa kebijakan perubahan iklim harus terintegrasi dalam
program pembangunan nasional.
Pada tingkat daerah, kebijakan PRK diturunkan kedalam Rencana Pembangunan Rendah Karbon
Daerah (RPRKD). RPRKD merupakan dokumen yang menyediakan arahan bagi pemerintah
daerah untuk melaksanakan berbagai kegiatan rendah karbon melalui 5 sektor prioritas yaitu
Pembangunan Energi Berkelanjutan, Pemulihan Lahan Berkelanjutan, Penanganan Limbah dan
Ekonomi Sirkular, Pengembangan Industri Hijau, Rendah Karbon Laut dan Pesisir.
Kami mengajak semua pihak baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), tokoh budaya, masyarakat luas serta akademisi untuk bersama
mengimplementasikan berbagai kebijakan Pembangunan Rendah Karbon yang telah disusun,
sebagai upaya, mewujudkan Sulawesi Selatan yang Inovatif, Produktif, Kompetitif, dan Berkarakter.
KATA
PENGANTAR
Fenomena perubahan iklim yang diakibatkan oleh meningkatnya gas rumah kaca (GRK)
menyebabkan pemanasan global semakin berdampak bagi kehidupan masyarakat dan
meningkatkan kejadian bencana hidrologi di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Kejadian
ini bukan hanya berpengaruh pada lingkungan, tetapi juga mempengaruhi jumlah stok
cadangan pangan, menurunnya pendapatan masyarakat serta mempengaruhi aspek lainnya
yang berdampak bagi kehidupan. Diperlukan komitmen dan gerakan yang terintegrasi antar
berbagai pihak sebagai upaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim tersebut.
Penyusunan dokumen RPRKD ini bertujuan untuk mendukung iklim investasi hijau, memperkuat
integrasi lintas sektor dalam pengambilan keputusan pembangunan rendah karbon, serta
mendorong terwujudnya koordinasi para pihak, integrasi program dan sinkronisasi rencana
pembangunan dalam berbagai perencanaan kedepan baik perencanaan jangka pendek, jangka
menengah dan jangka panjang. Didalam dokumen ini akan diskenariokan alternatif-alternatif
kebijakan pembangunan rendah karbon yang akan dilaksanakan pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan dalam mencapai target pembangunan rendah karbon yang ditetapkan.
DAFTAR ISI
Executive Summary iv
Kata Pengantar v
Daftar Isi vii
Daftar Tabel ix
Daftar Gambar xi
BAB I PENDAHULUAN 15
DAFTAR ISI
BAB III ALUR PENYUSUNAN DAN ANALISIS DAMPAK RPRKD 57
4.1 Analisis Pemetaan Lembaga yang Memiliki Peran dalam Penerapan Kebijakan dan Kegiatan Sektoral 96
4.2 Perumusan Indikator Kinerja yang Dapat Menggambarkan Ketercapaian Target Pembangunan Rendah Karbon 97
4.3 Pemetaan dan Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait Pembangunan Rendah Karbon 108
terhadap Perencanaan Daerah Hingga Tingkat OPD
4.3.1 Kegiatan Mitigasi pada Sektor Lahan 108
1. Dinas Kehutanan 108
2. Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura 117
3. Dinas Lingkungan Hidup 119
4. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan 120
4.3.2 Kegiatan Mitigasi pada Sektor Energi dan Transportasi 120
1. Dinas ESDM 120
2. Dinas Perhubungan 123
4.3.3 Kegiatan Mitigasi pada Sektor Sampah dan Limbah 124
1. Dinas Lingkungan Hidup 124
2. Dinas Pekerjaan Umum 126
3. UPT TPA 127
4.3.4 Kegiatan Mitigasi pada Sektor Pesisir dan Laut 127
1. Dinas Kelautan dan Perikanan 127
DAFTAR TABEL
Tabel 4 Distribusi Luas Fungsi Kinerja Ekosistem Penyediaan Pangan Provinsi Sulawesi Selatan 35
Tabel 5 Distribusi Luas Fungsi Kinerja Ekosistem Penyediaan Air Provinsi Sulawesi Selatan 37
DAFTAR TABEL
Tabel 23 Kegiatan Penurunan Emisi Pada Sektor Energi dan Transportasi 104
Tabel 26 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Kehutanan 108
Tabel 27 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura 117
Tabel 28 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan 119
Tabel 29 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota 119
Tabel 30 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan 120
Tabel 31 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas ESDM 120
Tabel 32 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas ESDM Kabupaten/Kota 122
Tabel 33 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Perhubungan 123
Tabel 34 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Perhubungan Kabupaten/Kota 123
Tabel 35 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Perum DAMRI 124
Tabel 36 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Lingkungan Hidup 124
Tabel 37 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota 125
Tabel 38 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Pekerjaan Umum 126
Tabel 39 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada UPT TPA 127
Tabel 40 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada UPT TPA 127
DAFTAR GAMBAR
Gambar 8 Peta Kinerja Jasa lingkungan Penyediaan Pangan Provinsi Sulawesi Selatan 36
Gambar 23 Perbandingan Luas Hutan pada Kondisi Baseline, Fair dan Ambisius 64
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR GAMBAR
Gambaran Penurunan Emisi pada Skenario Baseline (a), Fair (b) dan Ambisius (c)
Gambar 73 90
pada Sistem Dinamik RPRKD Provinsi Sulawesi Selatan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Pemanasan global merupakan sebuah fenomena yang Kaca (RAN-GRK). Tujuannya adalah dapat memberikan kerangka
disebabkan karena meningkatnya jumlah Gas Rumah Kaca (GRK) kebijakan, pedoman dan panduan bagi pemerintah pusat,
di atmosfer yang diakibatkan berbagai aktivitas manusia seperti daerah serta stakeholder dalam melaksanakan penurunan emisi
penggunaan bahan bakar fosil, perubahan tata guna lahan dan GRK dalam kurun waktu sampai dengan tahun 2030. Kebijakan
hutan, serta kegiatan pertanian dan peternakan. Gas-gas rumah yang tercantum dalam RAN-GRK antara lain aksi mitigasi pada
kaca ini menyerap sebagian dari radiasi inframerah (panas) Bidang Berbasis Lahan (Kehutanan, Perubahan dan Penggunaan
yang memantulkan kembali panas yang terperangkap oleh gas- Lahan di Lahan Mineral, Perubahan dan Penggunaan Lahan di
gas rumah kaca dalam atmosfer. Hal inilah yang mengakibatkan Lahan Pertanian), Energi (Energi dan Transportasi), Industri-IPPU
suhu bumi menjadi lebih hangat. Berdasarkan kondisi tersebut, Pengelolaan Limbah (Limbah Padat dan Limbah Cair Domestik).
pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan Emisi GRK Peraturan Presiden tersebut ini akan diperkuat dengan konsep
pada tahun 2030 sebesar 29% sebagai kelanjutan komitmen awal Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK).
dari kepemimpinan sebelumnya untuk menurunkan emisi sebesar
26 % pada tahun 2020 secara sukarela dan sebesar 41% apabila Tantangan pelaksanaan pembangunan saat ini adalah bagaimana
mendapat bantuan internasional dari kondisi BAU/ Business as menginternalisasikan keberlanjutan daya dukung lingkungan
Usual (kondisi seperti biasa). hidup ke dalam kebijakan target pembangunan ekonomi dan
sosial. Pertumbuhan ekonomi dan sosial selama ini cenderung
Tindak lanjut dari komitmen tersebut adalah Pemerintah disertai dengan penurunan kualitas lingkungan hidup. Penerapan
Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 pembangunan rendah karbon menjadi penting untuk mengubah
tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah pola pembangunan yang tidak berkelanjutan tersebut menjadi
pembangunan yang berkelanjutan. Inisiatif PPRK ini mendapat Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk mendukung arahan
tanggapan yang sangat positif dari seluruh pemerintah provinsi kebijakan tersebut telah membentuk Tim Kelompok Kerja Koordinasi
di Indonesia. Terlebih, pembangunan rendah karbon menjadi Pembangunan Rendah Karbon Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka 2021 (Pokja PPRK) melalui Keputusan Gubernur No. 1350 Tahun
Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Hal ini patut diapresiasi, 2021. Komposisi Pokja PPRK meliputi beberapa Organisasi
mengingat ini merupakan kali pertama pembangunan lingkungan Perangkat Daerah (OPD) dan didukung akademisi dan LSM
hidup bersama dengan ketahanan bencana dan perubahan iklim Lokal. Dalam SK tersebut ditegaskan pembagian peran anggota
menjadi prioritas nasional. Sidang kabinet juga telah menyepakati pokja pada setiap, yaitu Sektor Kehutanan, Sektor Limbah, Sektor
penurunan emisi gas rumah kaca sebagai salah satu kerangka Pertanian, Sektor Energi, dan Sektor Pesisir dan Laut (Blue Carbon).
ekonomi makro, setara dengan pertumbuhan ekonomi, tingkat Adanya rencana pembangunan rendah karbon ini tak hanya
kemiskinan, pengangguran terbuka, dan indikator lainnya. menjawab permasalahan lingkungan tapi juga dapat mendorong
percepatan ekonomi, hal tersebut terbukti dari pertumbuhan
Saat ini sebanyak 7 (tujuh) Provinsi telah menandatangani Nota ekonomi yang direncanakan Kementerian Keuangan sebesar
Kesepahaman (MoU) dengan Kementerian PPN/Bappenas untuk 5-6% akan turun jadi 4% jika tanpa intervensi dari green policy.
mengimplementasikan pembangunan rendah karbon diantaranya Adanya green policy serta green investasi, pertumbuhan ekonomi
Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, Papua Barat, Papua, harus mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung
Bali, dan Riau. Sejauh ini telah dilakukan pembahasan rencana alam, termasuk memperhitungkan emisi karbon dan intensitas
kerja pelaksanaan PPRK bersama dengan Bappenas, Organisasi karbon. Penyusunan model Rencana Pembangunan Rendah
Pemerintah Daerah (OPD) dan Mitra Pembangunan dari organisasi Karbon Daerah (RPRKD) dilakukan melalui pendekatan systems
sosial kemasyarakatan lainnya. PPRK memiliki lima kebijakan thinking dan system dynamics atau biasa disebut Dinamika Sistem.
utama diantaranya: Pendekatan Dinamika sistem merupakan cara/proses berpikir
yang memandang segala sesuatunya saling mempengaruhi satu
1 Transisi menuju Energi Baru Terbarukan dan efisiensi energi sama lain dalam suatu sistem. Dinamika Sistem akan mengarahkan
2 Perlindungan hutan, dan meningkatkan reforestasi cara berpikir para stakeholder dalam mencari pola-pola interaksi
3 Pengelolaan sampah industri dan sampah rumah tangga dan struktur yang mendasari terbentuknya perilaku peningkatan
4 Peningkatan produktivitas pertanian emisi gas rumah kaca. Tujuan utama dari sistem ini adalah untuk
5 Perbaikan kelembagaan maupun tata kelola mendapatkan gambaran yang lengkap dan luas mengenai emisi
karbon, mengenali akar masalahnya, mengidentifikasi semua
Dalam implementasi pembangunan rendah karbon tersebut, variabel penting yang terlibat, memahami dan mengidentifikasi
terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan oleh Pemerintah leverage points di dalam sistemnya, dan memahami potensi-
Provinsi diantaranya penyelarasan agenda revisi RPJMD pada potensi dampak serta alternatif-alternatif solusinya yang ada di
masing-masing dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Provinsi Sulawesi Selatan.
perumusan kebijakan pengelolaan setiap sektor, dan pelibatan
LSM/Mitra Pembangunan dalam pelaksanaan program.
1.2
MAKSUD DAN TUJUAN
Penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Rendah Karbon mendukung pencapaian tujuan ke-13 Pembangunan
Karbon Provinsi Sulawesi Selatan yang dianalisis dengan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yakni
menggunakan Dinamika Sistem ini dimaksudkan untuk menjadi tentang Climate Action.
acuan bagi Perangkat Daerah (PD), swasta dan masyarakat
untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung Adapun tujuan penyusunan dokumen ini adalah untuk mendukung
dan tidak langsung dalam pembangunan rendah karbon di iklim investasi hijau, memperkuat integrasi lintas sektor dalam
Sulawesi Selatan dan melihat bagaimana setiap sektor itu pengambilan keputusan dalam pembangunan rendah karbon,
saling berinteraksi dalam mengurangi dan menambah emisi. serta mendorong terwujudnya koordinasi para pihak, integrasi
Hasil dokumen ini diharapkan dapat mewujudkan pertumbuhan program dan sinkronisasi rencana pembangunan dalam berbagai
ekonomi yang inklusif yang memetakan semua potensi Provinsi perencanaan kedepan, seperti Rencana Pembangunan Daerah
Sulawesi Selatan melalui upaya pemerataan pembangunan dan Jangka Panjang (RPJPD), Rencana Tata Ruang Provinsi (RTRWP),
pengentasan kemiskinan, sekaligus menjaga kualitas lingkungan Rencana Pembangunan Daerah Jangka Menengah (RPJMD) dan
dan ketersediaan sumber daya alam. Pembangunan Rendah Rencana Strategis (Renstra) Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
1.3
RUANG LINGKUP DOKUMEN
Penyusunan kebijakan pembangunan rendah karbon, digunakan pendekatan spasial dinamik digunakan untuk membantu
metodologi dan pendekatan ilmiah, antara lain melalui pemodelan memprediksi atau merekayasa dampak spasial di masa mendatang
dinamika sistem dan spasial dinamik. Pendekatan dinamika sistem akibat intervensi tertentu, seperti perkiraan perubahan lahan
dilakukan dengan memahami perilaku dinamis sebuah fenomena akibat penggunaan lahan di masa mendatang. Oleh karenanya
dan mengidentifikasi variabel-variabel dari perubahan tersebut. diperlukan sebuah dokumen yang dapat menggambarkan
Selain itu, pendekatan dinamika sistem juga menguji sensitivitas integrasi antar berbagai komponen. Adapun dalam penyusunan
model melalui intervensi terhadap variabel-variabel tersebut, dokumen rencana pembangunan rendah karbon Provinsi Sulawesi
untuk digunakan dalam proses penyusunan kebijakan. Sementara Selatan, disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Pendahuluan, yang memuat: latar belakang penyusunan, maksud dan tujuan RPRKD, dasar hukum yang terkait
dengan amanah penyusunan RPRKD sebagai mandat bagi Pemerintah Provinsi sebagai bagian proses perencanaan
1
pembangunan daerah. Pada bagian akhir dideskripsikan proses penyusunan RPRKD sebagai transformasi dari RAD GRK
yang telah disusun sebelumnya.
Profil Daerah dan Kebijakan Daerah dalam Konteks Pembangunan Rendah Karbon, yang memuat: gambaran kondisi
dan permasalahan daerah di berbagai sektor terkait ekonomi, sosial, dan lingkungan seperti: kondisi emisi, DDDT, PDRB,
2
pendapatan, kependudukan, tingkat kemiskinan dan indikator ekonomi sosial yang lain, serta menjelaskan peran RPRKD
sebagai paradigma pembangunan dan keterkaitannya dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Alur Penyusunan dan Analisis Dampak RPRKD, yang memuat: langkah-langkah yang dilakukan dalam penyusunan
3
RPRKD beserta hasil analisis pemodelan Dinamika sistem di setiap sektor.
Strategi Implementasi RPRKD, yang memuat: strategi penerapan PRK di daerah yang dilaksanakan melalui kelembagaan
4
dengan pembagian peran antara unsur pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi, dan mitra pembangunan.
1.4
RUANG LINGKUP DOKUMEN
Perpres 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Memorandum of Understanding antara Kementerian PPN/
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Bappenas dan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2019.
Perpres 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 1350 Tahun
Jangka Menengah Nasional. 2021 tentang Tim Kelompok Kerja Koordinasi Pembangunan
Rendah Karbon Provinsi Sulawesi Selatan.
Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 11 Tahun
2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur
Sulawesi Selatan Nomor 59 Tahun 2012 Tentang Rencana
Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi
Sulawesi Selatan.
BAB II
PROFIL DAERAH DAN
KEBIJAKAN DAERAH
DALAM KONTEKS
PEMBANGUNAN
RENDAH KARBON
2.1
PROFIL DAN KARAKTERISTIK PROVINSI
Provinsi Sulawesi Selatan terletak di bagian selatan semenanjung Tabel 1 Luas Wilaya, Nama Ibukota di Provinsi Sulawesi Selatan
Pulau Sulawesi. Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu
wilayah yang memiliki lokasi strategis di tengah Kepulauan Indonesia No Kabupaten Ibu Kota Luas (Ha)
dan sekaligus menjadi jembatan penghubung antara kawasan barat 1 Bantaeng Bantaeng 39.661,54
dan timur Indonesia, sehingga wilayah ini ditetapkan sebagai pintu
2 Barru Barru 120.386,49
gerbang Kawasan Timur Indonesia (KTI). Provinsi Sulawesi Selatan
3 Bone Watampone 458.226,21
dengan ibukota Makassar, terletak pada 1°52’52,14” sampai 7°45’32,19”
Lintang Selatan dan 117° 2’17,85” sampai 122°13’21,19” Bujur Timur. Luas 4 Bulukumba Bulukumba 117.526,99
daratan Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan adalah 4.569.143,94 Km2. 5 Enrekang Enrekang 184.751,89
6 Gowa Sungguminasa 180.435,43
Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan memiliki daratan dikelilingi oleh laut 7 Jeneponto Bontosunggu 80.116,98
yang cukup luas: di sebelah selatan terdapat Laut Flores, di sebelah
8 Kepulauan Selayar Benteng 117.916,16
barat terdapat Selat Makassar dan di sebelah Timur terdapat Teluk
9 Luwu Belopa 305.343,91
Bone. Batas-batas geografis wilayah Provinsi Sulawesi Selatan adalah
sebagai berikut: 10 Luwu Timur Malili 699.793,56
• Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat dan 11 Luwu Utara Masamba 740.814,72
Provinsi Sulawesi Tengah 12 Maros Maros 144.286,50
• Sebelah Selatan berbatasan dengan laut Flores 13 Pangkajene Kepulauan Pangkajene 89.007,51
• Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone dan Provinsi 14 Pinrang Pinrang 188.237,12
Sulawesi Tenggara
15 Sidenreng Rappang Sidenreng 176.351,16
• Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar dan Provinsi
16 Sinjai Sinjai 86.601,07
Sulawesi Barat
17 Soppeng Watansoppeng 137.282,64
Seperti yang telah dijabarkan bahwa Provinsi Sulawesi Selatan 18 Takalar Patalassang 55.879,88
memiliki lokasi yang strategis karena dilalui oleh Alur Laut Kepulauan 19 Tana Toraja Makale 209.187,49
Indonesia (ALKI) II yang merupakan jalur lalu lintas kapal-kapal 20 Toraja Utara Rantepao 116.885,78
nasional maupun internasional. Pada tataran Nasional, Provinsi 21 Wajo Sengkang 263.659,24
Sulawesi Selatan terletak kira-kira di tengah bentangan kepulauan
22 Kota Makassar Makassar 21.942,50
Nusantara sehingga aksesibilitas dan jangkauan transportasi Nasional
23 Kota Palopo Palopo 25.072,25
Barat-Timur, Utara-Selatan adalah yang terbaik di wilayah ini.
24 Kota Pare Pare Parepare 9.776,92
Tabel 1 berikut memperlihatkan luas wilayah masing-masing
kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan 4.569.143,94
Secara Administrasi, wilayah Provinsi Sulawesi Selatan terbagi menjadi 21 kabupaten dan 3
kota, yang terdiri dari 304 kecamatan, 2.243 desa dan 771 kelurahan. Kabupaten Luwu Utara
merupakan kabupaten terluas yaitu 740.814,72 Ha atau 16,21%, sedangkan Kota Pare-Pare
adalah yang terkecil yakni 9.776,92 Ha sebagaimana yang diperlihatkan pada Tabel 1.
Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
SK.8/MENLHK/SETJEN/PLA.3/1/2018 tentang Penetapan Wilayah Ekoregion Indonesia,
Provinsi Sulawesi Selatan secara keseluruhan memiliki 27 bentuk lahan:
10 Dataran struktural lipatan berombak bergelombang bermaterial batuan sedimen non karbonat
21 Perbukitan struktural lipatan bermaterial batuan sedimen campuran karbonat dan non karbonat
Perbukitan vulkanik lereng bawah bermaterial piroklastik. Berdasarkan bentuk lahan yang dimiliki Sulawesi Selatan,
27 Pegunungan vulkanik bermaterial batuan beku luar, memiliki luasan yang sangat mendominasi dibandingkan dengan
bentuk lahan yang lain, dengan luasan 894,129.00 Ha.
Hidrologi merupakan salah satu komponen dalam sistem memenuhi berbagai keperluan, seperti untuk irigasi, industri, air
lingkungan yang berkaitan dengan pergerakan, distribusi, dan minum, dan untuk keperluan domestik lainnya. Sebagai langkah
kualitas air yang ada di bumi. Produk utama dari hidrologi adalah untuk menanggulangi dampak negatif yang timbul maupun
air yang memiliki peranan penting dalam mendukung kehidupan meminimalisasi dampak maka diperlukan upaya konservasi
makhluk hidup. Kebutuhan akan air sangatlah penting dan tidak air tanah yang bertumpu pada aspek teknis dengan melakukan
dapat tergantikan dengan apapun. Hampir semua aktivitas pengaturan dan pembatasan daerah pengambilan air tanah pada
manusia seperti rumah tangga, pertanian, perikanan, peternakan, zona-zona konservasi air tanah dan kawasan-kawasan yang
industri dan mikrohidro memerlukan air. ditetapkan sebagai kawasan perlindungan tata air perlu untuk
segera direhabilitasi dan diamankan.
Karakteristik dari hidrologi yaitu berlangsung secara terus
menerus dalam sebuah siklus yang dipengaruhi oleh kondisi Provinsi Sulawesi Selatan masih terdapat Kawasan Daerah Aliran
lingkungan di sekitarnya. Siklus hidrologi adalah sirkulasi air Sungai yang keadaannya sangat kritis yaitu Daerah Aliran Sungai
yang tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi dan kembali ke (DAS) Sadang, DAS Bila – Walanae dan DAS Jeneberang. Keadaan
atmosfer melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. lahan di ketiga DAS tersebut memerlukan rehabilitasi melalui
Secara sederhana dapat diartikan sebagai peredaran air secara kegiatan penghijauan dan reboisasi. DAS Saddang dan Bila -
umum dari laut ke atmosfer melalui penguapan, kemudian jatuh ke Walanae adalah dua DAS besar di Sulawesi Selatan yang termasuk
permukaan bumi sebagai hujan, mengalir diatas permukaan dan dalam DAS – DAS prioritas satu. Kedua DAS tersebut mencakup
sebagian masuk di dalam tanah sebagai air tanah serta mengalir beberapa kabupaten yang cukup kompleks permasalahannya.
di sungai yang menuju ke laut. Akibatnya koordinasi menjadi penting dalam mengoptimalkan
keberhasilan pengelolaan DAS dan mengkolaborasi pelaksanaan
Sumberdaya air di Provinsi Sulawesi Selatan meliputi curah kegiatan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. DAS Bila
hujan, danau, sungai, air tanah dalam (mata air). Curah hujan -Walanae meliputi Kabupaten Wajo, Maros, Soppeng dan Bone.
di Provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya cukup untuk
Kawasan hutan merupakan wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah
ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya RI Nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah maka
sebagai hutan tetap. Berdasarkan Undang-Undang 41 Tahun 1999 Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan telah melakukan reorganisasi
tentang kehutanan, pemerintah menetapkan hutan berdasarkan pemerintahan termasuk Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan.
fungsi pokok atas: Hutan Konservasi, Hutan Lindung, dan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan dibentuk berdasarkan
Produksi. Berdasarkan segi status penunjukan kawasan hutan untuk Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 74 tahun 2018
Provinsi Sulawesi Selatan ditetapkan oleh SK Nomor 362/MENKLK/ tanggal 19 Januari 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
SETJEN/PLA.0/5/2019, tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Gubernur Nomor 92 Tahun 2016 Tentang Kedudukan, Susunan
Perairan Provinsi Sulawesi Selatan. Kawasan hutan dengan kategori Organisasi, Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Dinas Kehutanan
KSA, KPA, HL, HPT, HP, dan HPK secara keseluruhan adalah seluas Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk mendukung pelaksanaan tugas
320.726,64 Ha. Kawasan Hutan Provinsi Sulawesi Selatan dirinci Dinas Kehutanan khususnya di bidang perbenihan, hutan rakyat,
menurut fungsi dengan luas sebagai berikut: peredaran hasil hutan dan kesatuan pengelolaan hutan, telah
• Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam dibentuk 19 Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) yaitu :
(KPA), seluas 19.616.86 Ha a. UPTD Balai Sertifikasi Perbenihan Tanaman Hutan (BSPTH)
• Kawasan Hutan Lindung (HL) seluas 227.653,60 Ha yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan
• Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), seluas 66.673.05 Ha Nomor 17 Tahun 2017.
• Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP), seluas 6.679.09 Ha b. UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang dibentuk
• Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK), seluas dengan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 134
103.911 Ha Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur
Dalam menjaga dan melestarikan fungsi hutan sebagaimana Sulawesi Selatan Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi
dipaparkan di atas dan untuk pelaksanaan otonomi daerah yang dan Tata Kerja UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan pada Dinas
efektif maka sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan yang terdiri atas 16 unit
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UPT KPH yaitu:
10 KPH Kalaena, wilayah kerja di sebagian Kab. Luwu Utara dan sebagian Kab. Luwu Timur;
14 KPH Jeneberang I, wilayah kerja di Kab. Gowa, Kab. Takalar, dan Kab. Jeneponto;
15 KPH Jeneberang II, wilayah kerja di Kab. Bantaeng, Kab. Bulukumba, dan Kab. Sinjai;
Daya dukung lingkungan hidup dalam UU No. 32 Tahun 2009 Esensi dasar dari identifikasi daya dukung dan daya tampung
tentang PPLH memiliki definisi kemampuan lingkungan hidup adalah bahwa kemampuan ekosistem menyediakan jasa
untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, lingkungan hidup (supply side) adalah terbatas, sementara
dan keseimbangan antar keduanya. Sedangkan definisi daya kebutuhan jasa lingkungan hidup (demand side) bisa tidak
tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup terbatas. Agar tidak mengganggu struktur, proses maupun fungsi
untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk ekosistem, maka pemanfaatan jasa lingkungan hidup seharusnya
atau dimasukkan ke dalamnya. Pemahaman terhadap konsep tidak melebihi kemampuan tersebut. Jika aspek ketersediaan
Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup sebelumnya (supply) diperbandingkan dengan aspek kebutuhan (demand)
dipahami sebagai kemampuan lahan dan neraca air. Kemudian akan dihasilkan apa yang disebut status daya dukung daya
berkembang dan saat ini didekati dengan jasa lingkungan hidup. tampung lingkungan hidup. Status daya dukung daya tampung
Evolusi pemahaman ini berdasarkan pertimbangan bahwa jasa dikatakan terlampaui apabila supply lebih kecil dari demand,
lingkungan mewakili kemampuan lingkungan hidup secara holistik, demikian pula sebaliknya.
termasuk menggambarkan keseimbangan antara manusia dan
makhluk hidup lainnya. Status daya dukung daya tampung hanya dapat diketahui jika supply
side dan demand side dari jasa lingkungan dapat dihitung, maka
Pentingnya mempertimbangkan Daya Dukung dan Daya tidak semua jasa lingkungan sejauh ini dapat ditentukan statusnya.
Tampung Lingkungan Hidup dalam pembangunan adalah agar Saat ini metode penghitungan masih dalam pengembangan dan
pembangunan dapat berjalan secara berkelanjutan. Pembangunan belum diperoleh suatu kesepakatan. Di Indonesia, penentuan
adalah optimasi, interdependensi dan interaksi antara komponen status daya dukung daya tampung baru dilakukan untuk status
pembangunan, yaitu sumberdaya alam, sumber daya manusia, daya dukung daya tampung penyedia air dan penyedia pangan.
tata nilai masyarakat, dan teknologi untuk meningkatkan kualitas Sementara untuk jasa lingkungan yang lainnya baru dapat dihitung
hidup (Muta’ali, 2012). Di Indonesia saat ini, melalui Kementerian kinerja (supply side) jasanya. Penentuan status daya dukung dan
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, merumuskan beberapa daya tampung lingkungan hidup difokuskan pada penyedian air
pendekatan dalam perhitungan daya dukung dan daya tampung dan penyediaan pangan. Penyusunan peta Status Daya Dukung
lingkungan hidup. Dimana saat ini digunakan pendekatan Lingkungan Hidup dilakukan melalui beberapa tahapan seperti
jasa lingkungan dan dilanjutkan analisis status daya dukung yang dapat dilihat pada gambar berikut.
penyediaan untuk pangan dan air yang menggunakan pendekatan
ketersediaan (supply) dan kebutuhan (demand).
2.1.2.1
Status Daya Dukung Penyediaan Pangan
Ekosistem memberikan manfaat penyediaan bahan pangan sagu, segala macam buah, ikan, daging, telur dan sebagainya.
yaitu segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati (tanaman Penyediaan pangan oleh ekosistem dapat berasal dari hasil
dan hewan) dan air (ikan), baik yang diolah maupun yang tidak pertanian dan perkebunan, hasil pangan peternakan, hasil laut
diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman dan termasuk pangan dari hutan. Tabel 4 berikut memperlihatkan
bagi konsumsi manusia. Jenis-jenis pangan di Indonesia sangat luasan fungsi kinerja Jasa lingkungan Penyediaan Pangan di
bervariasi diantaranya seperti beras, jagung, ketela, gandum, Provinsi Sulawesi Selatan.
Tabel 4 Distribusi Luas Fungsi Kinerja Ekosistem Penyediaan Pangan Provinsi Sulawesi Selatan
Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan Jasa lingkungan Penyediaan berpotensi tinggi sebesar 49,34% tersebut, Kabupaten Bone
Pangan di Provinsi Sulawesi Selatan untuk kategori kelas yang dan Kabupaten Luwu Utara memiliki luas jasa lingkungan
berpotensi tinggi (tinggi – sangat tinggi) sebesar 2.254.371,00 penyediaan pangan tertinggi dengan presentase 6,18% dan
Ha atau 49,34%. Kategori sedang sebesar 1.992.946,96 6,08% terhadap luasan kategori tinggi di Provinsi Sulawesi
Ha atau 43,62% dan untuk kategori kelas rendah (sangat Selatan. Sementara untuk kategori kelas rendah, sebaran
rendah – rendah) sebesar 321.825,98 Ha atau 7,04% dari total luas jasa lingkungan di masing-masing kabupaten/kota tidak
luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Kategori kelas yang mencapai angka 1%.
Gambar 8 Peta Kinerja Jasa Lingkungan Penyediaan Pangan Provinsi Sulawesi Selatan
2.1.2.2
Status Daya Dukung Penyediaan Air
Ekosistem memberikan manfaat penyediaan air yaitu ketersediaan air baik yang berasal
dari air permukaan maupun air tanah (termasuk kapasitas penyimpanannya), bahkan air
hujan yang dapat dipergunakan untuk kepentingan domestik, pertanian, industri maupun
jasa. Penyediaan jasa air sangat dipengaruhi oleh kondisi curah hujan dan lapisan tanah
atau batuan yang dapat menyimpan air (akuifer) serta faktor yang dapat mempengaruhi
sistem penyimpanan air tanah seperti bentang lahan.
Tabel 5 Distribusi Luas Fungsi Kinerja Ekosistem Penyediaan Air Provinsi Sulawesi Selatan
Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan Jasa lingkungan Penyediaan sebesar 2,52% tersebut, Kabupaten Luwu Timur memiliki luas
Air di Provinsi Sulawesi Selatan untuk kategori kelas yang jasa lingkungan penyediaan air tertinggi dengan 79.349,28 Ha
berpotensi tinggi (tinggi – sangat tinggi) sebesar 115.102,61 atau 1,74% terhadap luasan kategori tinggi di Provinsi Sulawesi
Ha atau 2,52%. Kategori sedang sebesar 2.589.190,82 Ha atau Selatan. Sementara untuk kategori kelas rendah, sebaran luas
56,67% dan untuk kategori kelas rendah (sangat rendah – rendah) jasa lingkungan didominasi juga Kabupaten Luwu Timur dengan
sebesar 1.864.850,50 Ha atau 40,81% dari total luas wilayah 308.919,51 Ha atau 6,76%.
Provinsi Sulawesi Selatan. Kategori kelas yang berpotensi tinggi
Gambar 9 Peta Kinerja Jasa Lingkungan Penyediaan Air Provinsi Sulawesi Selatan
Berdasarkan karakteristik wilayah Sulawesi Selatan, sejumlah Berdasarkan data BNPB pada tahun 2019, jumlah kejadian bencana
risiko bencana yang dapat terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan di Sulawesi Selatan sebanyak 357 jumlah kejadian, yang didominasi
antara lain; banjir, banjir bandang, longsor, tsunami, cuaca oleh bencana banjir sebanyak 108 jumlah kejadian, bencana
ekstrim, gempa, kebakaran dan kekeringan. Daerah rawan gempa kekeringan sebanyak 51 kali jumlah bencana, bencana kebakaran
berpusat di Kabupaten Bone, Kabupaten Pinrang, Kabupaten sebanyak 32 jumlah kejadian, dan bencana longsor sebanyak 32
Tana Toraja, Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara. Daerah kali jumlah kejadian. Bencana banjir merupakan bencana yang
rawan tsunami meliputi daerah pantai di Kabupaten Pinrang, paling banyak menimbulkan kerugian yaitu jumlah korban jiwa
Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Kepulauan Selayar serta yang terdampak dan mengungsi sebanyak 225.801 orang dan
Kota Makassar. sebanyak 64.266 rumah yang terendam, serta kerusakan 780 unit
fasilitas kesehatan, sosial dan pendidikan. Luas wilayah terdampak
bencana di Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Luas Wilayah Terdampak Bencana di Provinsi Sulawesi Selatan
Bencana yang paling berdampak pada wilayah Sulawesi Selatan adalah cuaca ekstrim
dan tanah longsor selain bencana banjir dan gempa. Data kejadian bencana di Provinsi
Sulawesi Selatan menunjukkan perubahan setiap tahunnya. Perubahan kecenderungan
dapat dilihat dari frekuensi kejadian berdasarkan rentang tahun data. Kecenderungan
peningkatan kejadian bencana di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu:
Bencana banjir yang diklasifikasikan ke dalam bencana Hidrometeorologi ini cukup berdampak besar bagi wilayah Provinsi
Sulawesi Selatan hingga tahun 2019. Pada tahun 2015 dengan angka kejadian 15 kejadian, pada tahun 2016 dengan angka
kejadian 34 kejadian, pada tahun 2017 dengan angka kejadian 59 kejadian, pada tahun 2018 dengan angka kejadian 38
1 kejadian, frekuensi tertinggi dicapai pada tahun 2019 dengan angka 107 kejadian yang tersebar pada 24 Kabupaten/
Kota Provinsi Sulawesi Selatan. Bencana banjir ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi di beberapa bagian wilayah
Sulawesi Selatan sehingga mengakibatkan luapan volume air di suatu badan air seperti sungai atau danau yang meluap
atau melimpah dari bendungan sehingga air keluar dari sungai itu.
Bencana gelombang pasang dan abrasi terjadi akibat pengikisan daerah pantai akibat gelombang laut yang sifatnya
merusak. Bencana gelombang pasang ini terjadi di beberapa wilayah provinsi Sulawesi Selatan. Jumlah kejadiannya
beragam,pada tahun 2015, gelombang pasang ini terjadi di Kabupaten Selayar. Pada tahun 2017 juga terjadi di Kabupaten
2 Barru. Pada Tahun 2018 terdapat 2 kejadian yaitu di Kabupaten Takalar dan Barru. Pada Tahun 2019 juga terdapat 2
kejadian yaitu Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Takalar. Jika terjadi pembiaran maka abrasi akan terus menggerogoti
bagian pantai sehingga air laut akan menggenangi daerah-daerah yang dulunya dijadikan tempat bermain pasir ataupun
pemukiman penduduk dan wilayah pertokoan di pinggir pantai.
Bencana longsor bisa diakibatkan oleh banyak hal. Umumnya disebabkan oleh faktor pendorong dan faktor pemicu.
Apalagi di musim hujan, ada saja kekhawatiran masyarakat akan bencana banjir dan tanah longsor. Pada Tahun 2015
Bencana Longsor terjadi 7 Kejadian, Pada Tahun 2016 Bencana Longsor terjadi 17 Kejadian, Pada Tahun 2017 Bencana
3
Longsor terjadi 18 Kejadian, Pada Tahun 2018 Bencana Longsor terjadi 37 Kejadian, selanjutnya pada Tahun 2019. Bencana
Longsor terjadi 42 Kejadian. Selama 5 tahun bencana longsor ini mengalami peningkatan melihat jumlah kejadian yang
terus meningkat dari tahun ke tahun.
Bencana kekeringan disebabkan karena suatu wilayah tidak mengalami hujan atau kemarau dalam kurun waktu yang
cukup lama atau curah hujan di bawah normal, sehingga kandungan air di dalam tanah berkurang atau bahkan tidak
4
ada. Kekurangan sumber air pun dapat menjadi penyebab bencana ini. Pada tahun 2018 kejadian kekeringan ini terjadi di
Kabupaten Barru dan puncaknya pada tahun 2019 naik drastis menjadi 51 Kejadian.
Bencana cuaca ekstrim (puting beliung) memiliki kecenderungan meningkat. Pada tahun 2015 sebanyak 36 kejadian. Pada
tahun 2016 sebanyak 30 kejadian, Pada tahun 2017 sebanyak 102 kejadian, Pada tahun 2018 sebanyak 66 kejadian. Pada
5 tahun 2019 sebanyak 130 kejadian. Insiden di atas menunjukkan ancaman yang dipicu oleh fenomena hidrometeorologi
bergerak ke wilayah Indonesia bagian tengah dan timur. BMKG pun telah memberikan peringatan dini ke sejumlah wilayah
dengan status ‘Waspada’ hingga ‘Siaga.’
Bencana gempa di Provinsi Sulawesi Selatan terjadi pada tahun 2018 dan 2019. Pad tahun 2018, bencana gempa bumi
6
terjadi di Kabupaten Wajo. Sementara Pada tahun 2019 terjadi di kabupaten Enrekang dan Luwu Timur.
Bencana kebakaran hutan cenderung meningkat, dengan frekuensi tertinggi dicapai pada tahun 2019 dengan jumlah 32
7 Kejadian.
Pemanasan global merupakan sebuah fenomena yang disebabkan Untuk mengantisipasi perubahan iklim dan meminimalisir
karena meningkatnya jumlah Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer dampaknya maka pemerintah provinsi melakukan tiga
yang diakibatkan berbagai aktivitas manusia seperti penggunaan pendekatan yaitu antisipasi, adaptasi dan mitigasi dampak
bahan bakar fosil, perubahan tata guna lahan dan hutan, serta perubahan iklim. Antisipasi dampak perubahan iklim dilakukan
kegiatan pertanian dan peternakan. Gas rumah kaca ini menyerap pada tataran penyusunan rencana, kebijakan dan program
sebagian dari radiasi inframerah dan memantulkan kembali panas dengan mempertimbangkan isu dampak perubahan iklim dalam
yang terperangkap oleh gas rumah kaca dalam atmosfer. Hal pengambilan keputusan. Pada sisi mitigasi, komitmen Pemerintah
inilah yang mengakibatkan suhu bumi menjadi lebih hangat dan Provinsi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca tertuang
berdampak secara langsung pada bergesernya musim, pendeknya dalam Peraturan Gubernur No. 11 tahun 2020 tentang Perubahan
musim hujan dengan intensitas hujan yang cukup tinggi, naiknya atas Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 59 Tahun 2012
permukaan air laut, serta dampak lainnya. tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca provinsi Sulawesi Selatan. Emisi gas rumah kaca di Provinsi
Peran aktif Indonesia terhadap isu perubahan iklim telah Sulawesi Selatan disumbang oleh beberapa sektor/bidang antara
ditunjukkan dengan menjadi salah satu negara yang telah lain pertanian, kehutanan, energi dan transportasi serta bidang
meratifikasi Kesepakatan Paris (Paris Agreement) dengan limbah. Secara total hasil pengkajian ulang terhadap target
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang penurunan emisi gas rumah kaca di Provinsi Sulawesi Selatan
Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework adalah 5,6% atau setara dengan 300.000 ton CO2eq setiap tahun
Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi yang akan dicapai hingga tahun 2030 dengan menggunakan
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa- Bangsa Mengenai anggaran pemerintah provinsi. Sejalan dengan itu, dari sisi adaptasi
Perubahan Iklim). Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan perlu pula dilakukan penguatan kapasitas kepada masyarakat
komitmen Indonesia secara nasional (Nationally Determined baik individu maupun kelembagaan dalam menghadapi dampak
Contribution-NDC) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca perubahan iklim khususnya pada daerah- daerah yang rentan.
pada tahun 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri, dan 41% Pelaksanaan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim tidak dapat
dengan bantuan dan kerjasama internasional. Pada pertemuan dilakukan semata oleh pemerintah provinsi oleh karena itu
Conference of the Parties (COP) -24 di Polandia pada tanggal 11 diperlukan pelibatan secara aktif pihak swasta, organisasi sosial
Desember 2018, Indonesia telah menyampaikan strategi dalam kemasyarakatan (CSO), mitra pembangunan dan pemerintah
upaya menurunkan emisi GRK pada Talanoa Dialogue. kabupaten/kota sesuai perannya masing-masing.
Pencapaian Indeks Kualitas Lingkungan sangat dipengaruhi Target nilai Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) tahun 2024
dari Pencapaian Indeks Kualitas Air, Indeks Kualitas Udara dan sebesar 74,39 (berdasarkan Surat Edaran Menteri Lingkungan
Indeks Kualitas Tutupan Lahan dan sangat erat kaitannya dengan Hidup dan Kehutanan No. 4 tentang Penetapan Rancangan
ketersediaan dan anggaran yang memadai, sumberdaya manusia Pembangunan Jangka Menengah Daerah Berwawasan
yang cukup dan terampil serta didukung dengan sarana dan Lingkungan) belum dapat dicapai secara optimal. Kurangnya
prasarana yang baik. pendanaan untuk merealisasikan jumlah target dan kurangnya
sarana dan prasarana menjadi salah satu faktor utama kurang
optimalnya pencapaian target nilai indeks kualitas lingkungan
hidup. Nilai capaian IKLH dalam kurun waktu 5 tahun terakhir
selengkapnya pada Tabel 7.
Tahun
Indikator
2016 2017 2018 2019 2020
Peningkatan Indeks Kualitas Air 75,44 54,29 56,15 54,93 61
Pengembangan wilayah Provinsi Sulawesi Selatan diarahkan perikanan, perkebunan dan pertambangan sebagai pusat
dengan mengacu pada Rencana Tata Ruang, baik Rencana Tata produksi; kawasan strategis prioritas seperti Kawasan Industri (KI)
Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) maupun Rencana Tata Ruang sebagai pusat pengolahan sumber daya alam; Kawasan Strategis
Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan guna mewujudkan Pariwisata Nasional (KSPN) dan Destinasi Pariwisata Prioritas
ruang Sulawesi Selatan yang produktif, kompetitif, inklusif dan (DPP) sebagai pusat pengembangan jasa pariwisata; serta
berkelanjutan, yang diarahkan untuk meningkatkan akses kawasan perkotaan berupa Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat
pelayanan perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) sebagai
wilayah, peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan pusat pelayanan jasa dan perdagangan.
infrastruktur wilayah, peningkatan keterpaduan dan keterkaitan
antar kegiatan budidaya, dan peningkatan fungsi kawasan dalam Potensi pengembangan kawasan budidaya di Sulawesi Selatan
pengembangan perekonomian Provinsi Sulawesi Selatan. diarahkan dengan mengacu pada RTRWP Sulawesi Selatan
yang diharapkan dapat mendukung pengembangan pusat-
Dalam mencapai tujuan dan sasaran pembangunan, maka upaya pusat pertumbuhan di Sulawesi Selatan melalui pengembangan
yang akan dilakukan melalui pendekatan koridor pertumbuhan kawasan budidaya diantaranya meliputi kawasan perikanan,
dan koridor pemerataan dengan mengutamakan pengembangan kawasan pertanian, kawasan pariwisata, kawasan industri, dan
wilayah berbasis rencana tata ruang melalui pengembangan pusat- kawasan pertambangan.
pusat pertumbuhan wilayah antara lain adalah kawasan pertanian,
2.1.5.1
Kawasan Pertanian
Kawasan pertanian meliputi pengembangan kawasan pertanian sedangkan lokasi pengembangan komoditas tanaman jagung yaitu
tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan. di Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Luwu Utara,
Pemerintah telah menetapkan lokasi pengembangan kawasan Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Pinrang,
pertanian nasional untuk pengembangan komoditas tanaman Kabupaten Bone, Kabupaten Jeneponto dan Kota Palopo; sementara
pangan di Sulawesi Selatan yaitu lokasi pengembangan komoditas lokasi pengembangan komoditas kedelai yaitu di Kabupaten
tanaman padi di Kabupaten Barru, Kabupaten Bone, Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Takalar, Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros,
Gowa, Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Kabupaten Bone, Kabupaten Soppeng, dan Kabupaten Wajo; dan
Luwu Utara, Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, lokasi pengembangan komoditas ubi kayu di Kabupaten Bulukumba,
Kabupaten Pinrang, Kabupaten Sidenreng Rappang, Kabupaten Kabupaten Gowa, dan Kabupaten Maros. Pengembangan komoditas
Sinjai, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Takalar dan Kabupaten Wajo, pertanian hortikultura diarahkan, sebagai berikut:
1 Bawang Merah Di Kabupaten Pinrang, Bone, Enrekang, Gowa, Jeneponto, Dan Takalar
6 Perkebunan Kakao Di Kabupaten Bone, Luwu Timur, Soppeng, Wajo, Luwu Utara, Luwu, Dan Bulukumba
8 Komoditas Perkebunan Cengkeh Di Kabupaten Luwu, Sinjai, Wajo, Dan Bone Dan Kabupaten Bulukumba
Sedangkan pengembangan komoditas prioritas peternakan Provinsi Sulawesi Selatan dan peran Sulawesi Selatan sebagai
di Sulawesi Selatan, untuk komoditas sapi potong diarahkan lumbung pangan nasional, maka penting untuk menjaga
lokasinya di Kabupaten Bulukumba, Gowa, Sinjai, Bone, keberadaan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Sulawesi
Pangkajene Kepulauan, Barru, Sidenreng Rappang, Wajo, Selatan. Untuk itu dalam revisi RTRWP Sulawesi Selatan
Pinrang dan Maros. Sementara lokasi pengembangan komoditas ditetapkan keberadaan kawasan pertanian pangan berkelanjutan
peternakan sapi perah diarahkan di Kabupaten Enrekang dan (KP2B) di 24 Kabupaten/kota dengan luas 582.924 hektar yang
lokasi pengembangan komoditas ayam buras diarahkan di proporsi luasan terbesarnya adalah Kabupaten Wajo sebesar
Kabupaten Bantaeng. 17,80 persen dengan luasan 103.748 hektar, Kabupaten Bone
sebesar 14,71persen dengan luasan 85.737 hektar, dan Kabupaten
Memperhatikan kontribusi pertanian terhadap pembangunan Sidenreng Rappang sebesar 9,18 persen dengan luasan sebesar
di Sulawesi Selatan sebagai kontributor utama terhadap PDRB 53.488 hektar.
2.1.5.2
Kawasan Perikanan
Sumber daya kemaritiman dan kelautan termasuk di dalamnya Pengembangan kawasan perikanan budidaya meliputi kawasan
perikanan merupakan salah satu Sumberdaya Alam yang menjadi peruntukan budidaya laut yang lokasi pengembangannya
modal utama dalam pembangunan Sulawesi Selatan. Pengelolaan dialokasikan di Kabupaten Bantaeng, Jeneponto, Barru,
kawasan perikanan di Sulawesi Selatan diarahkan dengan Pangkajene Kepulauan, Luwu, Luwu Timur, Luwu Utara,
kebijakan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan Sinjai, Pinrang, Kepulauan Selayar, Takalar, Bone, Bulukumba,
budidaya, khususnya pada komoditas yang bernilai tinggi untuk Kabupaten Wajo, dan Kota Palopo. Sedangkan pengembangan
dikembangkan sebagai komoditas unggulan guna mendukung kawasan peruntukan perikanan budidaya air payau dialokasikan
target ekspor dan ketahanan pangan. di Kabupaten Luwu Timur, Luwu Utara, Luwu, Wajo, Bone,
Bulukumba, Takalar, Pangkajene Kepulauan, Barru, dan Kabupaten
Pengembangan kawasan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan Pinrang.
diarahkan dengan mengacu pada Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Sulawesi Selatan yang Selain kawasan perikanan, pengembangan sumber daya
meliputi Perairan Selat Makassar, Laut Flores, Laut Jawa, Teluk kemaritiman dan kelautan di Sulawesi Selatan juga diarahkan
Bone, Kepulauan Spermonde, Kepulauan Selayar dan sekitar untuk memprioritaskan pengembangan komoditas garam di
Kepulauan Tana Keke yang meliputi wilayah Kabupaten Kepulauan Kabupaten Jeneponto, Pangkajene Kepulauan, Kepulauan Selayar
Selayar, Bulukumba, Sinjai, Pangkajene Kepulauan, Bone, dan dan Kabupaten Takalar.
Kota Makassar.
2.1.5.3
Kawasan Industri
Kebijakan pembangunan nasional mengamanatkan pencapaian samping itu, kebijakan pembangunan nasional juga mengarahkan
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas melalui transformasi transformasi ekonomi Sulawesi Selatan diantaranya melalui
struktural yang membutuhkan dukungan berupa revitalisasi peningkatan nilai tambah pertambangan yang mendukung
industri pengolahan. Kebijakan tersebut sejalan dengan kebijakan pengembangan industri hilir untuk meningkatkan nilai tambah
Pemerintah Sulawesi Selatan yang dituangkan dalam RTRWP melalui pengolahan bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau
Sulawesi Selatan yang menetapkan kawasan industri di kawasan bahan akhir. Demikian pula Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan yaitu kawasan (RTRWP) Sulawesi Selatan maupun RZWP3K Sulawesi Selatan
perkotaan Mamminasata dan kawasan perkotaan di Kabupaten juga mengarahkan pengembangan komoditas pertambangan di
Bone, Pangkajene dan Kepulauan, Barru, Bantaeng, Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Kepulauan Selayar, Jeneponto, dan kota Makassar.
RZWP3K mengarahkan pengembangan komoditas pertambangan
Selain itu RTRWP Sulawesi Selatan menetapkan pula kawasan pasir laut di Kabupaten Takalar, Jeneponto, dan Kabupaten
industri khusus yang mengolah bahan baku komoditas Luwu Utara. Sementara untuk pengembangan Blok Minyak
pertambangan di sentra komoditas pertambangan di Kabupaten dan Gas Bumi di Kabupaten Kepulauan Selayar, Bulukumba,
Pangkajene Kepulauan, Maros, Luwu Timur dan Bantaeng, Bantaeng, Jeneponto, Sinjai, Bone, Wajo, dan Kabupaten Luwu.
Serta menetapkan beberapa sentra industri kecil dan menengah Pada perspektif RTRWP Sulawesi Selatan menetapkan wilayah
yang diarahkan pada sentra-sentra produksi yang berorientasi usaha pertambangan, meliputi batubara,mineral logam dan
ke pengembangan industri rakyat sebagai komoditas lokal. Di mineral radioaktif. Wilayah usaha pertambangan batubara di
2.1.5.4
Kawasan Pariwisata
Potensi pariwisata Sulawesi Selatan meliputi pengembangan Pengembangan wisata budaya berbasis heritage tourism dan
potensi wisata alam, wisata budaya dan wisata buatan. Potensi wisata sejarah di kawasan Toraja di Kabupaten Tana Toraja dan
wisata alam meliputi pariwisata bahari dan ekowisata. Pariwisata Toraja Utara, kawasan pusat Kerajaan Gowa Benteng Somba Opu
bahari di Taman Nasional Laut Takabonerate dan Taman Wisata di Kota Makassar, kawasan permukiman Adat Ammatoa Kajang
Perairan Kepulauan Kapoposang; pariwisata alam berbasis di Kabupaten Bulukumba, kawasan wisata pelabuhan perahu
ekowisata di Taman Wisata Alam (TWA) Danau Matano – tradisional Paotere di kota Makassar, dan kawasan industri perahu
Mahalona dan TWA Danau Towuti di Kabupaten Luwu Timur, TWA tradisional Phinisi di Kabupaten Bulukumba, Taman Wisata Sejarah
Malino di Kabupaten Gowa, TWA Cani Sirenreng di Kabupaten Fort Rotterdam dan Situs Benteng Tallo di kota Makassar, Makam
Bone, TWA Lejja di Kabupaten Soppeng, Taman Nasional Syech Yusuf di kota Makassar, Masjid Tua Katangka di Kabupaten
Bantimurung – Bulusaraung di Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa, dan Masjid Jami Tua Palopo di Kota Palopo.
Pangkajene Kepulauan, Taman Buru Ko’mara di Kabupaten Takalar
dan Taman Buru Bangkala di Kabupaten Jeneponto, TWA Danau Sedangkan pengembangan wisata buatan diarahkan di kawasan
Tempe - Sidenreng di Kabupaten Wajo dan Sidenreng Rappang, perkotaan antara lain berupa meeting-incentive-convention
TWA Laut Kepulauan Spermonde di Kota Makassar, TWA Kebun exhibition (MICE), wisata kebugaran, wisata kesehatan dan wisata
Raya Enrekang; TWA Kebun Raya Pucak di Kabupaten Maros, olahraga. Kawasan perkotaaan yang dimaksud adalah kawasan
TWA Sungai Saddang di Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang, Makassar dan sekitarnya, Bulukumba dan sekitarnya, Parepare dan
Taman Hutan Rakyat (Tahura) Abdul Latief di Kabupaten Sinjai, sekitarnya, Watampone dan sekitarnya dan Palopo dan sekitarnya,
dan Tahura Nanggala di kota Palopo.
2.1.5.5
Sistem Perkotaan
Sistem perkotaan di Sulawesi Selatan berdasarkan arahan Sistem Perkotaan Nasional di Provinsi Sulawesi Selatan meliputi,
Rencana Tata Ruang, meliputi: Sistem perkotaan nasional berupa Pusat Kegiatan Nasional yang terdiri dari Kabupaten/Kota
Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan Pusat Kegiatan Wilayah, dan Takalar, Gowa, Maros dan Makassar dan Pusat Kegiatan Wilayah
sistem perkotaan provinsi berupa Pusat Kegiatan Lokal (PKL) yang mencakup Kabupaten/Kota Bulukumba, Jeneponto, Pangkep,
merupakan kawasan perkotaan mengemban fungsi sebagai pusat Barru, Bone, Parepare dan Palopo. Sedangkan sistem perkotaan
pengolahan dan distribusi barang dan jasa, simpul transportasi, provinsi berupa Pusat Kegiatan Lokal yang meliputi Kabupaten
pusat jasa pemerintahan kabupaten/kota serta pusat pelayanan Kepulauan Selayar, Bantaeng, Sinjai, Soppeng, Wajo, Sidrap,
publik berskala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan. Pinrang, Enrekang, Luwu, Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur
dan Toraja Utara.
Permasalahan Pembangunan Daerah menjelaskan perbedaan masalah. Masalah pokok adalah masalah yang bersifat makro bagi
hasil pembangunan daerah yang ingin dicapai dalam periode daerah, dipecahkan melalui rumusan misi, tujuan dan sasaran.
tertentu (misalnya; Lima tahun) dengan kondisi riil saat Sementara Masalah adalah uraian dari beberapa penyebab dari
perencanaan pembangunan dibuat. Permasalahan Pembangunan masalah pokok, dipecahkan melalui rumusan strategi, sedangkan
Daerah ini diklasifikasi dalam dua level permasalahan yaitu akar masalah adalah uraian yang lebih rinci dari penyebab
permasalahan pada level makro (untuk penentuan prioritas dan masalah, dan dipecahkan melalui arah kebijakan.
sasaran pembangunan daerah) dan permasalahan pada level
mikro (untuk penentuan program prioritas daerah menurut urusan Penuntasan permasalahan pembangunan daerah merupakan
pemerintahan, baik urusan wajib dan urusan pilihan maupun salah satu esensi dari tujuan pembangunan daerah, sehingga
urusan penunjang). kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan tahap demi
tahap. Permasalahan pembangunan daerah menjadi salah satu
Suatu permasalahan daerah dianggap memiliki nilai prioritas jika rujukan utama dalam merumuskan strategi dan arah kebijakan
berhubungan dengan tujuan dan sasaran pembangunan, termasuk pembangunan daerah. Permasalahan pembangunan daerah
di dalamnya prioritas lain dari kebijakan nasional/provinsi yang bersifat kompleks, baik bersumber dari permasalahan sektoral
bersifat mandatori. Permasalahan untuk penentuan prioritas dan maupun wilayah. Adapun beberapa permasalahan pembangunan
sasaran pembangunan daerah dirumuskan dengan menggunakan daerah, sectoral atau permasalahan menurut urusan pemerintahan
tiga tingkatan masalah, yaitu masalah pokok, masalah, dan akar urusan wajib, diuraikan sebagai berikut:
2.1.6.1
Rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Perkembangan IPM Sulawesi Selatan selama periode 5 tahun angka kematian ibu dan anak. Kondisi tersebut diakibatkan oleh
terakhir memperlihatkan trend peningkatan. Data tahun 2019 belum optimalnya Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4, Cakupan
IPM Sulawesi Selatan sebesar 71,66, lebih rendah dibandingkan Kunjungan Bayi, Cakupan Pelayanan Anak Balita, masih rendahnya
dengan IPM Nasional sebesar 71,92. Capaian IPM Sulawesi Rasio Dokter Per Satuan Penduduk, dan Cakupan Pertolongan
Selatan ini secara relatif berada di urutan 14 dari 34 Provinsi di Persalinan oleh Tenaga Kesehatan yang Memiliki Kompetensi
Indonesia, lebih rendah dibandingkan sejumlah provinsi dengan Kebidanan belum optimal.
tingkat kemajuan pembangunan yang setara dengan Sulawesi
Selatan. Hal ini disebabkan oleh sejumlah faktor komposit IPM Adapun tingkat daya beli masyarakat Sulawesi Selatan yang
yakni indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks ekonomi masih tergolong rendah menjadi salah satu faktor rendahnya
yang disetarakan dengan indeks daya beli (PPP). Penyebab dari pembangunan manusia. Daya beli masyarakat yang disetarakan
rendahnya IPM Sulawesi Selatan adalah rata-rata lama sekolah dengan pengeluaran perkapita sangat tergantung pada tingkat
hanya 8,26 tahun, dengan kata lain bahwa lamanya bersekolah pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Data terakhir
hanya sampai kelas VIII (kelas 2 SMP). Beberapa hal yang menunjukkan bahwa daya beli masyarakat Sulawesi Selatan
menjadi akar masalah dari rendahnya rata-rata lama sekolah tahun 2019 yang diukur dari besaran pengeluaran perkapita per
di Sulawesi Selatan yaitu masih rendahnya pemerataan akses tahun masih lebih rendah dari capaian nasional pada tahun yang
layanan Pendidikan dan masih rendahnya angka partisipasi murni sama, yang disebabkan karena pendapatan masyarakat masih
masyarakat provinsi Sulawesi Selatan. rendah. Dari pembangunan perspektif gender diukur berdasarkan
beberapa indikator, diantaranya adalah Indek Pembangunan
Pembangunan sektor kesehatan memperlihatkan bahwa angka Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IGD). Dimana
harapan hidup (AHH) Sulawesi Selatan tahun 2019 sebesar 70,43 IPG merupakan rasio antara IPM perempuan dan laki-laki. IPG
tahun, juga lebih rendah jika dibandingkan dengan AHH Nasional di Provinsi Sulawesi Selatan dua tahun terakhir mengalami
71,34 tahun. Angka Harapan Hidup Sulawesi Selatan yang masih penurunan sebesar 0,06, Hal ini disebabkan karena IPG di Provinsi
rendah menunjukkan kinerja pembangunan sektor kesehatan Sulawesi Selatan terjadi kesenjangan atau gap pembangunan
yang belum maksimal yang menyebabkan masih tingginya manusia antara laki-laki dan perempuan pada kegiatan bidang
pendidikan, kesehatan dan perekonomian.
2.1.6.2
Tingginya Tingkat Kemiskinan
Tingkat kemiskinan Sulawesi Selatan menunjukkan pencapaian kualitas sumber daya manusia yang masih tergolong rendah.
yang belum optimal bila dilihat secara relatif dengan beberapa Disamping itu ketersediaan Pendidikan vokasional belum
provinsi yang setara lainnya di Indonesia. Secara relatif tingkat mampu menciptakan link and match antara kurikulum vokasional
kemiskinan Sulawesi Selatan pada tahun 2019 mencapai 8,56 % dengan kebutuhan dunia industri. Tingkat Pengangguran terbuka
atau masih lebih tinggi dibandingkan dengan 16 provinsi lainnya. berdasarkan pendidikan mempunyai pola distribusi yang hampir
Dua diantaranya Sulawesi Utara; 7,51 % untuk Regional Sulawesi sama dari tahun ke tahun. Penganggur dari tamatan Sekolah
dan Jawa Barat; 6,82 % untuk provinsi dengan skala ekonomi Menengah Kejuruan (SMK) masih merupakan yang paling
yang besar di Indonesia. Faktor utama yang menyebabkan tinggi dibandingkan tamatan jenjang pendidikan lainnya yaitu
masih tingginya tingkat kemiskinan di Sulawesi Selatan didorong sebesar 10,96 persen. Sedangkan TPT yang paling rendah adalah
oleh faktor kualitas manusia yang masih rendah, efek multiplier mereka dengan pendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah yaitu
yang rendah dan daya serap tenaga kerja sektor ekonomi yang sebesar 3,19 persen. Hal ini menggambarkan kondisi pasar kerja
masih terbatas. Adapun nilai PDRB perkapita Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan saat ini sebagian besar diisi oleh mereka dengan
yang menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat pada pendidikan rendah. Selain itu, ketersediaan kesempatan kerja dari
tahun 2019 Rp. 57,03 juta, masih lebih rendah dari target RPJMD pengelolaan kegiatan dan sektor ekonomi yang masih berorientasi
dan masih lebih rendah dibandingkan dengan PDB perkapita padat modal daripada padat karya dan adanya kondisi ekonomi
Indonesia tahun 2019 sebesar Rp. 59,10 juta. nasional dan daerah yang tidak stabil.
Jika melihat jumlah penduduk miskin menurut daerah, jumlah Faktor lain yang menyebabkan meningkatnya angka pengangguran
penduduk miskin masih didominasi penduduk di pedesaan, di Sulawesi Selatan adalah adanya pandemi covid-19. Dengan
dimana tingkat keparahan kemiskinan di daerah pedesaan jauh adanya pandemi Covid-19, tidak hanya masalah kesehatan yang
lebih tinggi daripada daerah perkotaan yang juga mengindikasikan timbul, namun semua aspek dalam kehidupan ikut terdampak
bahwa rata-rata pendapatan dan ketimpangan di daerah perkotaan termasuk perekonomian. Perekonomian mulai menurun sejak
lebih rendah dibanding di pedesaan. diberlakukannya pembatasan aktivitas. Penurunan tersebut
juga berdampak pada dinamika ketenagakerjaan di Sulawesi
Tingkat pengangguran daerah yang diukur dengan Tingkat Selatan. Selain pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja,
Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Sulawesi Selatan pada penduduk usia kerja lainnya juga turut terdampak dengan adanya
tahun 2019 mencapai 4,62 %, masih tergolong tinggi dibandingkan pandemi Covid-19. Penduduk usia kerja yang mencapai 6.744,9
dengan empat Provinsi lainnya di Pulau Sulawesi, yaitu Sulawesi ribu orang, terdapat 801,3 ribu orang yang terdampak Covid-19
Tengah; 3,15%, Sulawesi Tenggara; 3,59%, Sulawesi Barat; 3,18 atau 11,9 persen. Secara kewilayahan, penduduk usia kerja yang
% dan Gorontalo; 4,06%. Masih tingginya tingkat pengangguran terdampak di perkotaan sebesar 16,15 persen, jauh lebih tinggi
Sulawesi Selatan tersebut terutama disebabkan oleh faktor dibandingkan dengan di pedesaan, yakni 8,45 persen.
2.1.6.3
Melambatnya Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan menunjukkan Perlambatan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pada
tren melambat dalam tiga tahun terakhir. Setelah mencatat tahun 2019 terjadi karena subsektor tanaman pangan dan
pertumbuhan ekonomi sebesar 7,42 persen pada tahun 2016, subsektor tanaman perkebunan masing-masing mengalami
angka pertumbuhan ekonomi terus mengalami perlambatan di kontraksi -2,78 persen dan -0,01 persen. Kedua subsektor ini
tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2019, pertumbuhan ekonomi merupakan penyumbang terbesar terhadap pembentukan PDRB
hanya sebesar 6,92 persen yang merupakan angka terendah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Menurunnya nilai
sedikitnya dalam 10 tahun terakhir. tambah di subsektor tanaman pangan karena adanya bencana
banjir yang terjadi pada 13 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan
Melambatnya pertumbuhan ekonomi dalam tiga tahun terakhir sehingga luas panen maupun produksi padi menurun dari tahun
terutama dikontribusi oleh sektor pertanian, kehutanan, dan sebelumnya. Sedangkan menurunnya nilai tambah subsektor
perikanan. Sektor ini terus menunjukkan pertumbuhan yang tanaman perkebunan, karena menurunnya volume produksi dan
melambat sejak tahun 2017, dan pada tahun 2019, sektor ini hanya tingkat produktivitas beberapa komoditas unggulan seperti kakao
bertumbuh 2,58 persen yang merupakan pertumbuhan terendah dan kopi robusta. Sub Sektor lainnya yang mengalami perlambatan
dalam satu dekade terakhir. Walaupun demikian, sektor ini masih pada tahun 2019 yaitu subsektor kehutanan dan penebangan kayu
menjadi penyumbang terbesar terhadap pembentukan PDRB yang tumbuh negatif -1,29 persen.
Sulawesi Selatan, yaitu rata-rata 22,70 persen per tahun.
Pada triwulan III tahun 2020, perekonomian Sulawesi Selatan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) dan komponen Ekspor
masih didominasi oleh Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan dan Barang dan Jasa. Komponen PMTB tumbuh positif sebesar 2,35
Perikanan sebesar 22,94 persen; diikuti oleh Perdagangan Besar persen dan Ekspor Barang dan Jasa tumbuh sebesar 1,50 persen.
dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor sebesar 14,83 Sementara itu komponen pengeluaran yang lain mengalami
persen; Konstruksi sebesar 14,45 persen dan Industri Pengolahan kontraksi yaitu komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
sebesar 12,74 persen. Peranan keempat lapangan usaha tersebut (PK-RT) yang mengalami kontraksi sebesar -1,55 persen; diikuti
dalam perekonomian Sulawesi Selatan mencapai 64,96, namun oleh komponen Konsumsi Pemerintah (PK-P) sebesar - 4,39
mengalami kontraksi sebagai akibat dari pandemi covid-19. Dari persen; dan selanjutnya komponen Pengeluaran Konsumsi
sisi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi triwulan III-2020 terhadap Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (PK-LNPRT)
triwulan III-2019 tercatat -1,08 persen disebabkan oleh kontraksi yang terkontraksi sebesar -7,61 persen.
yang terjadi pada hampir semua komponen pengeluaran kecuali
2.1.6.4
Tingginya Ketimpangan Pendapatan Masyarakat
Tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat diukur dengan 0,391, yang mana capaian ini meningkat dari target yang telah
Rasio Gini Sulawesi Selatan masih menunjukkan tingkat ditetapkan dalam RPJMD yaitu 0,385. Hal ini disebabkan oleh
ketimpangan yang tinggi. Rasio Gini Sulawesi Selatan hingga beberapa faktor antara lain pertumbuhan yang terpusat pada
tahun 2019 menunjukkan kecenderungan yang terus membaik, kegiatan ekonomi yang padat modal dan tidak melibatkan sebagian
tetapi secara relatif masih menunjukkan ketimpangan yang lebih besar pelaku ekonomi di daerah. Hal lain yang menyebabkan
tinggi dari ketimpangan nasional pada tahun yang sama. Selain tingginya ketimpangan pendapat masyarakat adalah adanya
itu bila dibandingkan dengan Rasio Gini di Pulau Sulawesi maka pengelolaan potensi unggulan daerah belum optimal diantaranya
tingkat ketimpangan Sulawesi Selatan tidak lebih baik dengan potensi pertanian, perikanan, dan peternakan. Selainnya itu juga
tiga provinsi lainnya, yakni Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan masih tingginya angka ketimpangan distribusi pendapatan antara
Sulawesi Barat. Rasio Gini Sulawesi Selatan tahun 2019 mencapai masyarakat desa dan kota.
2.1.6.5
Tata Kelola Pemerintahan yang Belum Optimal
Dalam rangka upaya peningkatan kualitas penyelenggaraan perbaikan kinerja organisasi. Selain itu organisasi perangkat daerah
kinerja Instansi Pemerintah Daerah dan tingkat kepuasan belum sepenuhnya berbasis kinerja. Pencapaian Indeks Reformasi
masyarakat, maka Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Birokrasi Provinsi masih lebih rendah dibanding dengan provinsi
melakukan standarisasi dalam mewujudkan reformasi birokrasi. besar terutama di Pulau Jawa yang memiliki kinerja instansi
Berdasarkan data indeks reformasi birokrasi pada tahun 2019 pemerintah yang lebih baik. Adapun permasalahan pembangunan
pencapaiannya “B”. Reformasi Birokrasi di Pemerintah Provinsi pada tata Kelola pemerintahan yaitu:
Sulawesi Selatan secara substansi belum mampu mendorong
Belum optimalnya akuntabilitas kinerja pemerintah, dimana pada tahun 2019 nilai SAKIP Provinsi Sulawesi Selatan hanya
bernilai B, hal ini sebabkan karena hal-hal berikut: penyusunan indikator tujuan dan sasaran pada Renstra Perangkat
Daerah belum sepenuhnya berorientasi outcome dan belum sepenuhnya mengacu pada sasaran RPJMD, cascading
1
kinerja antara sasaran dengan program/kegiatan belum menggambarkan hubungan kausalitas secara optimal, kualitas
laporan kinerja di tingkat pemerintah daerah dan OPD belum optimal, dan masih lemahnya evaluasi AKIP perangkat
daerah.
Masih Rendahnya Kepuasan Masyarakat Terhadap Pelayanan Publik. Pengukuran kepuasan terhadap pelayanan
merupakan elemen penting dalam proses evaluasi kinerja dimana tujuan akhir yang hendak dicapai adalah menyediakan
pelayanan yang lebih baik, lebih efisien, lebih efektif dan berbasis kebutuhan masyarakat.. Sebagai gambaran hasil capaian
Indeks Pelayanan Publik (IPP) Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2018 sebesar 3,49 dengan kategori nilai
2
“B-. Sedangkan hasil nilai pengukuran IPP Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2019 sebesar 4,0, mengalami
kenaikan yang tidak terlalu signifikan, sehingga indeks IPP masih pada kategori nilai “B”. Hal ini disebabkan oleh belum
optimalnya pelaksanaan 6 (enam) aspek penilaian pelayanan publik yang meliputi: Kebijakan Pelayanan, Profesionalisme
SDM, Sarana Prasarana, Sistem Informasi Pelayanan Publik, Konsultasi dan Pengaduan serta Inovasi.
2.1.6.6
Tingginya Ketimpangan Wilayah
Ketimpangan pembangunan antar wilayah kabupaten/kota Williamson sama dengan 0 (nol) menunjukkan nilai ketimpangan
di Sulawesi Selatan yang diukur dengan Indeks Williamson. yang rendah (pemerataan sempurna). Sedang indeks Williamson
Indeks Williamson adalah indeks yang digunakan untuk sama dengan 1 (satu) menunjukkan nilai ketimpangan yang
mengukur ketimpangan pendapatan antar wilayah. Angka indeks tinggi (kesenjangan sempurna). Nilai indeks Williamson dapat
Williamson sebagai ukuran ketimpangan pendapatan antar dikategorikan sebagai berikut:
wilayah mempunyai selang nilai antara 0 (nol) dan 1 (satu). indeks
Indeks Ketimpangan Williamson Sulawesi Selatan pada tahun sumber daya alam antar wilayah, perbedaan kondisi geografis
2019 mengalami peningkatan sebesar 0,63 dari tahun 2018 dengan antar wilayah dan kurang lancarnya perdagangan antar provinsi.
nilai indeks 0,622 (kesenjangan tinggi). Hal ini menunjukkan Disamping itu, jangkauan dan kualitas infrastruktur wilayah
pembangunan kabupaten/kota di Sulawesi Selatan belum merata dalam membuka wilayah terisolir belum optimal, interkonektivitas
pencapaiannya, ditandai dengan belum meratanya pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi belum optimal, infrastruktur
infrastruktur untuk mendukung konektivitas wilayah dalam transportasi, pertanian, dan energi pada daerah-daerah kepulauan
menjamin kelancaran distribusi barang dan mobilitas manusia dan terpencil juga belum optimal. Sedang untuk capaian Indeks
antar daerah, masih kurangnya peran pusat-pusat pertumbuhan Layanan Infrastruktur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2019 hanya
dengan memanfaatkan potensi dan keunggulan daerah diharapkan mencapai 76,06 yang diukur dari lima komponen komposit yang
akan mengoptimalkan pemerataan pembangunan antar wilayah capaiannya yang masih minim antara lain: Kemantapan Jalan
di Sulawesi Selatan, Terkonsentrasinya kegiatan ekonomi (15,38), Ketersediaan Terminal (2,14), Ketersediaan Pelabuhan
wilayah tertentu, alokasi investasi yang tidak merata, tingkat Pengumpan Regional (20.00), Rasio Elektrifikasi Desa (19,80) dan
mobilitas faktor produksi yang rendah antar daerah berdampak Rasio Jaringan Irigasi (3,30).
pada semakin tingginya tingkat ketimpangan dan perbedaan
2.1.6.7
Belum Optimalnya Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan
Pengelolaan sumber daya alam belum mampu secara maksimal kualitas lingkungan dan meningkatkan kemampuan adaptasi dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini disebabkan mitigasi terhadap perubahan iklim serta mengimplementasikan
karena lemahnya hilirisasi pengelolaan komoditas berbasis pembangunan rendah karbon. Indeks Kualitas Lingkungan (IKLH)
sumberdaya alam dengan dukungan sarana-prasarana pada diukur berdasarkan 3 indikator komposit yang harus diperhatikan
proses produksi, pengolahan dan pemasaran yang berorientasi yaitu Indeks Kualitas Air, Indeks Kualitas Udara dan Indeks Kualitas
pada ketahanan pangan dan energi serta perbaikan pendapatan Tutupan Lahan. Pada tahun 2018 capaian IKLH hanya sebesar
masyarakat. 74,83, yang disebabkan oleh rendahnya kualitas tutupan lahan.
Intensitas dan efektivitas reboisasi, pencegahan dan penanganan
Nilai tambah ekonomi dan tingkat produktivitas faktor produksi kebakaran hutan dan lahan belum optimal, koordinasi dan sinergi
daerah yang masih rendah. Hal ini terutama pengelolaan antar lembaga-lembaga pemerintah pusat dan daerah belum
sumberdaya ekonomi yang belum optimal pada daerah-daerah optimal.
dengan potensi sumberdaya alam yang besar. Selain itu belum
optimalnya pengelolaan ekonomi sektor yang bernilai tambah Adapun potensi penurunan emisi GRK di Provinsi Sulawesi
tinggi seperti industri pengolahan dan kegiatan sektor jasa juga Selatan mengalami peningkatan setiap tahunnya namun masih di
menjadi salah satu penyebab masih rendahnya PDRB perkapita bawah target tahun 2019 sebesar 1,1. Rendahnya capaian potensi
di Sulawesi Selatan penurunan emisi GRK tahun 2019 sebesar 0,86 juta ton CO2-eq, hal
ini disebabkan karena isu perubahan iklim di daerah kabupaten/
Disamping itu belum optimalnya pengintegrasian tujuan- kota belum jadi prioritas, sehingga untuk melakukan koordinasi
tujuan pembangunan berkelanjutan pada pilar ekologi dalam guna pengumpulan data dan lainnya masih sulit diperoleh. Dan
menyelaraskan upaya –upaya pemanfaatan jasa lingkungan dengan Aksi-aksi mitigasi yang telah dilakukan belum dapat dievaluasi
daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk keterpeliharaan berapa penurunan emisi sebenarnya (aktual) yang telah diturunkan.
2.2
FUNGSI RPRKD SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN DAERAH
Dengan adanya konsep pembangunan rendah karbon, telah dalam rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Sulawesi
menjadikan paradigma pembangunan daerah di Provinsi Sulawesi Selatan dalam upaya mengoptimalkan pencapaian tujuan dan
Selatan dikembangkan dengan memperhatikan keberlanjutan daya sasaran pembangunan yang diprioritaskan pada peningkatan
dukung lingkungan hidup dan pelaksanaan kaidah pembangunan produktivitas daya saing produk unggulan berbasis sumber daya
rendah karbon. Pembangunan wilayah dalam Provinsi Sulawesi alam, pemerataan pertumbuhan ekonomi berbasis keunggulan
Selatan dirumuskan dengan pendekatan holistik, tematik, wilayah, dan pembangunan infrastruktur yang holistik, terintegrasi
dan integratif yang didasarkan pada potensi pengembangan dan terjangkau, serta peningkatan kualitas sumberdaya manusia
yang diamanatkan dalam kebijakan nasional dan daya dukung secara inklusif dengan memperhatikan keberlanjutan daya dukung
lingkungan yang mengacu pada tujuan penataan ruang yang diatur dan daya tampung lingkungan hidup.
Kebijakan pengembangan kawasan pembangunan Makassar pengembangan kawasan strategis prioritas berbasis pariwisata
diprioritaskan pada peningkatan aksesibilitas infrastruktur wilayah pada Destinasi Pariwisata Pengembangan (DPP) Baru Toraja-
melalui pengembangan konektivitas antar moda transportasi Makassar-Selayar berupa pembangunan prasarana pariwisata
darat, laut dan udara, pengembangan transportasi massal, berupa dermaga dengan memperhatikan keberlanjutan
pembangunan infrastruktur kelistrikan di pulau pulau kecil, daya dukung lingkungan hidup dan pelaksanaan kaidah
pemenuhan kebutuhan air minum masyarakat, khususnya pada pembangunan rendah karbon. Pencapaian sasaran penurunan
daerah pesisir dan pulau-pulau kecil dan peningkatan kemantapan kesenjangan pendapatan antar lapisan masyarakat diprioritaskan
jalan provinsi. Selain itu pengembangan kawasan Makassar juga pada pengembangan ekonomi lokal berbasis komoditas unggulan
dilakukan melalui penguatan pusat-pusat pertumbuhan wilayah melalui penguatan peran lembaga masyarakat serta usaha kecil
melalui pengembangan komoditas unggulan pertanian tanaman dan menengah, sedangkan peningkatan kualitas sumberdaya
pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan yang didukung manusia diprioritaskan pada peningkatan akses dan kualitas
oleh hilirisasi produk unggulan berbasis sumberdaya alam, layanan kesehatan dan pendidikan.
Kebijakan pengembangan kawasan pembangunan Bulukumba pengembangan destinasi pariwisata, khususnya yang mendukung
diprioritaskan pada peningkatan aksesibilitas infrastruktur wilayah Destinasi Pariwisata Pengembangan (DPP) Baru Toraja-
melalui pengembangan konektivitas antar moda transportasi Makassar-Selayar berupa pembangunan prasarana pariwisata
darat, dan laut, pembangunan simpul transportasi berupa berupa dermaga dengan memperhatikan keberlanjutan
terminal dan pelabuhan pengumpan regional, pembangunan daya dukung lingkungan hidup dan pelaksanaan kaidah
infrastruktur kelistrikan di pulau pulau kecil, pemenuhan pembangunan rendah karbon. Pencapaian sasaran penurunan
kebutuhan air minum masyarakat, khususnya pada daerah kesenjangan pendapatan antar lapisan masyarakat diprioritaskan
pesisir dan pulau-pulau kecil dan peningkatan kemantapan jalan pada pengembangan ekonomi lokal berbasis komoditas
provinsi. Selain itu pengembangan kawasan Bulukumba juga unggulan melalui pengembangan rest area yang didukung oleh
dilakukan melalui penguatan pusat-pusat pertumbuhan wilayah penguatan peran lembaga masyarakat serta usaha kecil dan
melalui pengembangan komoditas unggulan pertanian tanaman menengah, sedangkan peningkatan kualitas sumberdaya manusia
pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan yang didukung diprioritaskan pada peningkatan akses dan kualitas layanan
oleh hilirisasi produk unggulan berbasis sumberdaya alam, kesehatan dan pendidikan.
Kebijakan pengembangan kawasan pembangunan Watampone sumber daya air guna mendukung peran Sulawesi Selatan sebagai
diprioritaskan pada peningkatan aksesibilitas infrastruktur wilayah lumbung pangan nasional dengan memperhatikan keberlanjutan
melalui pengembangan konektivitas antar moda transportasi darat, daya dukung lingkungan hidup dan pelaksanaan kaidah
udara dan laut, peningkatan kapasitas pelabuhan penyeberangan pembangunan rendah karbon. Pencapaian sasaran penurunan
dan pelabuhan pengumpan regional, pemenuhan kebutuhan kesenjangan pendapatan antar lapisan masyarakat diprioritaskan
air minum masyarakat, dan peningkatan kemantapan jalan pada pengembangan ekonomi lokal berbasis komoditas unggulan
provinsi serta peningkatan kapasita. Selain itu pengembangan melalui penguatan peran lembaga masyarakat serta usaha kecil
kawasan Watampone juga dilakukan melalui penguatan pusat- dan menengah, sedangkan peningkatan kualitas sumberdaya
pusat pertumbuhan wilayah melalui pengembangan komoditas manusia diprioritaskan pada peningkatan akses dan kualitas
unggulan pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, layanan kesehatan melalui pembangunan rumah sakit regional
dan perikanan yang didukung oleh hilirisasi produk unggulan dan pendidikan serta pembangunan pusat kegiatan keagamaan
berbasis sumberdaya alam, dan peningkatan kapasitas jaringan (Islamic Center).
Pengembangan kawasan pembangunan Parepare diprioritaskan perkebunan, peternakan, dan perikanan yang didukung oleh
pada peningkatan aksesibilitas infrastruktur wilayah melalui hilirisasi produk unggulan berbasis sumberdaya alam, dengan
pengembangan konektivitas antar moda transportasi darat, dan memperhatikan keberlanjutan daya dukung lingkungan hidup dan
laut, pengembangan simpul transportasi berupa pengembangan pelaksanaan kaidah pembangunan rendah karbon. Pencapaian
terminal penumpang tipe B dan pelabuhan pengumpan sasaran penurunan kesenjangan pendapatan antar lapisan
regional, pemenuhan kebutuhan air minum masyarakat, dan masyarakat diprioritaskan pada pengembangan ekonomi lokal
peningkatan kemantapan jalan provinsi serta peningkatan berbasis komoditas unggulan melalui pembangunan rest area
kapasitas jaringan infrastruktur sumber daya air untuk mendukung dan penguatan peran lembaga masyarakat serta usaha kecil dan
peran Sulawesi Selatan sebagai lumbung pangan nasional. menengah, sedangkan peningkatan kualitas sumberdaya manusia
Selain itu pengembangan kawasan Parepare juga dilakukan diprioritaskan pada peningkatan akses dan kualitas layanan
melalui penguatan pusat-pusat pertumbuhan wilayah melalui pendidikan dan kualitas layanan kesehatan melalui pembangunan
pengembangan komoditas unggulan pertanian tanaman pangan, rumah sakit regional.
Pengembangan kawasan pembangunan Palopo diprioritaskan peternakan, dan perikanan yang didukung oleh hilirisasi produk
pada peningkatan aksesibilitas infrastruktur wilayah melalui unggulan berbasis sumberdaya alam, dengan memperhatikan
pengembangan konektivitas antar moda transportasi darat, udara keberlanjutan daya dukung lingkungan hidup dan pelaksanaan
dan laut, peningkatan kapasitas pelabuhan penyeberangan dan kaidah pembangunan rendah karbon. Pencapaian sasaran
pelabuhan pengumpan regional, pemenuhan kebutuhan air minum penurunan kesenjangan pendapatan antar lapisan masyarakat
masyarakat, dan peningkatan kemantapan jalan provinsi serta diprioritaskan pada pengembangan ekonomi lokal berbasis
peningkatan kapasitas jaringan sumber daya air guna mendukung komoditas unggulan melalui pembangunan rest area yang didukung
peran Sulawesi Selatan sebagai lumbung pangan nasional. Selain itu oleh penguatan peran lembaga masyarakat serta usaha kecil dan
pengembangan kawasan Palopo juga dilakukan melalui penguatan menengah. Sedangkan peningkatan kualitas sumberdaya manusia
pusat-pusat pertumbuhan wilayah melalui pengembangan diprioritaskan pada peningkatan akses dan kualitas layanan
komoditas unggulan pertanian tanaman pangan, perkebunan, kesehatan melalui pembangunan rumah sakit regional.
2.3
KETERKAITAN ANTARA RPRKD DAN TUJUAN LAIN
DALAM TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (TPB)
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development
Development Goals (TPB/SDGs) adalah Pembangunan yang Goals TPB/SDGs telah diatur dalam Peraturan Presiden Republik
menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Pencapaian
berkesinambungan, pembangunan yang menjaga keberlanjutan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. TPB/SDGs yang merupakan
kehidupan sosial masyarakat, pembangunan yang menjaga kualitas penyempurnaan dari Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium
lingkungan hidup serta pembangunan yang menjamin keadilan dan Development Goals/MDGs) yang merupakan komitmen global
terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas dan nasional dalam upaya untuk mensejahterakan masyarakat
hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya. Regulasi terhadap mencakup 17 tujuan yaitu:
1 Tanpa Kemiskinan
2 Tanpa Kelaparan
4 Pendidikan Berkualitas
5 Kesetaraan Gender
10 Berkurangnya Kesenjangan
14 Ekosistem Laut
15 Ekosistem Daratan
Upaya pencapaian target TPB/SDGs menjadi prioritas dasar yaitu; People, Planet, Prosperity, Peace dan Partnership
pembangunan daerah memerlukan sinergi kebijakan perencanaan dalam 3 dimensi yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan yang
di tingkat provinsi. Target-target SDGs di tingkat provinsi telah selaras. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/SDGs terdiri
sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dari 17 Tujuan dan 169 Target yang difokuskan pada pelaksanaan
(RPJMD) Tahun 2018-2023 dalam bentuk program, kegiatan, dan 4 (empat) pilar pembangunan yaitu pilar pembangunan sosial,
indikator yang terukur serta dukungan pembiayaannya. Jumlah pilar pembangunan ekonomi, pilar pembangunan hukum dan tata
tujuan yang sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi kelola dan pilar pembangunan lingkungan secara terintegrasi.
Sulawesi Selatan dan mencapai target nasional sejumlah 17 Tujuan
(Goals) sejumlah 75 indikator dari total keseluruhan indikator Pilar pembangunan lingkungan dalam Tujuan Pembangunan
yang merupakan kewenangan pemerintah Provinsi sejumlah 235 Berkelanjutan meliputi 6 (enam) tujuan pembangunan yaitu: Tujuan
indikator, namun untuk Provinsi Sulawesi Selatan sendiri telah 6 Menjamin Ketersediaan serta Pengelolaan Air Bersih dan Sanitasi
melaksanakan sekitar 120 indikator dari berbagai OPD yang terkait. yang Berkelanjutan untuk Semua, Tujuan 11 Menjadikan Kota dan
Permukiman Inklusif, Aman, Tangguh dan Berkelanjutan, Tujuan 12
Mengintegrasikan tujuan pembangunan berkelanjutan pada pilar Pola Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan, Tujuan 13 Mengatasi
lingkungan dalam menyelaraskan upaya-upaya pemanfaatan jasa Perubahan Iklim, Tujuan 14 Sumber Daya Maritim Berkelanjutan,
lingkungan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, dan Tujuan 15 Pengelolaan Ekosistem Terestrial Berkelanjutan.
serta meningkatkan kemampuan adaptasi dan mitigasi terhadap KLHS RPJMD menghasilkan skenario terkait integrasi pilar
perubahan iklim serta mengimplementasikan pembangunan pembangunan lingkungan hidup dalam pembangunan Sulawesi
rendah karbon. Pembangunan berkelanjutan sebagai rencana Selatan yang merujuk pada Daya Dukung dan Daya Tampung
aksi global dilaksanakan hingga tahun 2030 memiliki 5 prinsip Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan meliputi:
Permukiman dengan akses layanan air minum dan sanitasi yang kurang memadai akan berdampak pada kualitas
lingkungan dan derajat kesehatan masyarakat yang membutuhkan upaya tambahan guna mencapai sasaran
1
pemenuhan pelayanan dasar masyarakat melalui pemenuhan kebutuhan air minum dan sanitasi layak pada wilayah
pesisir, kepulauan dan daerah rawan air lainnya.
Mengembangkan kawasan perkotaan sebagai kawasan yang aman dan nyaman dihuni sesuai standar pelayanan
perkotaan dengan meningkatkan pengelolaan sampah yang terpadu dan memperluas jangkauan transportasi umum
2
serta mengoptimalkan kemampuan kawasan perkotaan untuk melakukan pencegahan, mitigasi dan penanggulangan
bencana.
Mengoptimalkan pengelolaan danau di Sulawesi Selatan, khususnya pada Danau Tempe dan Danau Matano yang
ditetapkan menjadi danau prioritas Nasional sebagaimana yang telah dituangkan dalam Nota Kesepahaman
Penyelamatan Danau Prioritas Nasional dan Pencanangan Revitalisasi Gerakan Penyelamatan danau dengan
3 melaksanakan penyelamatan danau dengan mengacu pada Rencana Pengelolaan Danau Terpadu, mengintegrasikan
penyelamatan danau prioritas ke dalam rencana pembangunan daerah dan rencana perangkat daerah, melaksanakan
kerja sama dengan para pihak untuk mewujudkan danau yang sehat dan lestari, serta mendukung penyusunan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan penyelamatan danau prioritas di Sulawesi Selatan.
Mengoptimalkan pengelolaan kawasan hutan melalui pembagian wilayah kelola Kawasan Pengelolaan Hutan (KPH)
4 yang merata yang belum didukung oleh hubungan koordinasi yang didukung oleh pembagian tugas yang jelas dan
pendanaan yang cukup.
Mengoptimalkan penurunan emisi gas rumah kaca melalui identifikasi sektor penyumbang emisi gas rumah kaca
5 tinggi, dan membangun basis data terpadu sektor penyumbang emisi gas rumah kaca serta mengintegrasikan upaya
penurunan emisi gas rumah kaca kedalam rencana pembangunan kabupaten/kota dan rencana perangkat daerah.
Mengoptimalkan peran dan fungsi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai instrumen
6 pengendalian pemanfaatan sumber daya pesisir dan kelautan guna menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan dan
sumber daya hayati laut.
BAB III
ALUR PENYUSUNAN
DAN ANALISIS
DAMPAK RPRKD
3.1
METODOLOGI PENYUSUNAN RPRKD
Penyusunan model Rencana Pembangunan Rendah Karbon Permasalahan emisi karbon di Provinsi Sulawesi Selatan seperti
Daerah (RPRKD) dilakukan melalui pendekatan systems thinking yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya terkait dengan
dan system dynamics. Pendekatan ini merupakan cara/proses beberapa sektor/bidang antara lain bidang pertanian, bidang
berpikir yang sejak pertama kali sudah memandang bagaimana penggunaan lahan, bidang energi yang didalamnya termasuk
segala sesuatunya saling mempengaruhi satu sama lain dalam transportasi, bidang pengelolaan limbah dan bidang kelautan
suatu sistem. Systems thinking akan mengarahkan cara berpikir dan pesisir. Sektor-sektor inilah kemudian dicari dan dipahami
para stakeholder dalam mencari pola-pola interaksi dan struktur gambaran besarnya, mengamati pola yang ada, mengenali
yang mendasari terbentuknya perilaku peningkatan emisi strukturnya dalam sistem dan pola perilakunya, mengidentifikasi
gas rumah kaca. Tujuan utama dari sistem ini adalah untuk relasi-relasi sebab dan akibat, membuat dan menguji asumsi,
mendapatkan gambaran yang lengkap dan luas mengenai emisi mencari kemungkinan konsekuensi yang tidak diinginkan tapi
karbon, mengenali akar masalahnya, mengidentifikasi semua bisa muncul, mencari titik-titik pengaruh (leverages) untuk bisa
variabel penting yang terlibat, memahami dan mengidentifikasi merubah (memodifikasi) sistemnya melalui serangkaian intervensi
leverage points di dalam sistemnya, dan memahami potensi- kebijakan dari setiap sektor. Rangkaian proses menggunakan
potensi dampak serta alternatif-alternatif solusinya. pendekatan systems thinking dapat ditunjukkan seperti Gambar
15.
Gambar 15 Skema Pendekatan Systems Thinking
Untuk bisa menguji model mental/konseptual produk systems memperbaiki perilaku permasalahan yang terjadi. Dalam
thinking akan dilanjutkan pada pemodelan dan simulasi membangun pemodelan tersebut diperlukan beberapa data
komputer melalui pendekatan system dynamics. Secara praktis yang terkait dengan perencanaan pembangunan rendah
berurusan dengan proses pengimplementasian model mental karbon (PPRK) dalam rangka menghitung emisi karbon dari
(konseptual/kualitatif ) produk systems thinking sedemikian kegiatan pembangunan. Adapun data tersebut dikumpulkan
rupa (dengan menggunakan persamaan matematis dan dari berbagai pihak diantaranya data yang bersumber dari
masukan nilai-nilai variabel-variabelnya) hingga akhirnya lembaga pemerintah pusat dan organisasi perangkat daerah di
menjadi sebuah model simulasi yang siap dijalankan. Provinsi Sulawesi Selatan. Kegiatan ini akan menggambarkan
kebutuhan data dan pengumpulan data untuk penyusunan
Pemodelan dinamika sistem adalah meningkatkan pemahaman studi latar belakang perencanaan pembangunan rendah karbon
tentang hubungan yang terjadi di antara struktur umpan (PPRK) di Provinsi Sulawesi Selatan serta bentuk input data ke
balik dan perilaku dinamis dari suatu sistem, sehingga dalam model causal loop diagram system dynamics. Terdapat
dapat dikembangkan berbagai kebijakan dalam rangka beberapa fokus kegiatan sebagai berikut:
Analisis kondisi awal dilakukan dengan memahami faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan emisi karbon,
khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Dari berbagai parameter penyebab emisi karbon kemudian dikelompokkan ke
a dalam 5 (lima) sektor, diantaranya: Pertanian, Penggunaan Lahan, Energi, Transportasi, dan Pengelolaan Limbah. Dari
masing-masing sektor dilakukan analisis potensi sumber emisi, baik dari pemerintah, masyarakat, maupun swasta,
termasuk yang menambah kemampuan serap karbon sehingga menurunkan emisi karbon
Mengumpulkan data dan informasi yang relevan dengan rumusan RPRKD. Pengumpulan data ini sangat penting dalam
perumusan RPDKD, karena akan digunakan dan dimasukkan dalam model dinamika sistem LCDI untuk membuat
b
baseline dan skenario kebijakan LCDI. Daftar data dan informasi yang diperlukan untuk pemodelan dinamika sistem akan
disediakan oleh Sekretariat LCDI, WRI Indonesia dan pemodelan System Dynamic
Mengidentifikasi dan memetakan semua pemangku kepentingan dan aktor terkait yang mendukung kerangka kerja LCDI
c
di tingkat provinsi. Kegiatan ini penting untuk memberikan gambaran utuh tentang dukungan LCDI di tingkat provinsi
Merumuskan dokumen studi latar belakang RPRKD berdasarkan kerja analisis melalui proses konsultatif, serangkaian
d
pertemuan dan diskusi dengan pemangku kepentingan utama yang terkait
3.2
RUANG LINGKUP ANALISIS PEMBANGUNAN RENDAH KARBON
DI TINGKAT PROVINSI
Pada sektor lahan dihitung dengan melihat seberapa besar Mangrove, dan sebagainya. Selain jenis tutupan lahan yang
terjadi perubahan stok karbon pada setiap unit lahan. Dengan berkurang, terdapat juga tutupan lahan yang bertambah seperti
demikian data perubahan penggunaan lahan menjadi faktor pertanian lahan kering campur semak/kebun campur dan
utama dalam penghitungan emisi. Terdapat beberapa jenis hutan lahan kering sekunder atau bekas tebangan, pemukiman,
penggunaan lahan yang mengalami penurunan luas dan lahan terbuka, sawah, tambak dan bandara. Analisis perubahan
beberapa penggunaan lahan yang mengalami penambahan penggunaan lahan dilakukan dengan menggunakan analisis
luas dari tahun ke tahun seperti berkurangnya tipe Hutan keruangan terhadap peta tutupan lahan multi waktu. Untuk
Lahan Kering Primer, Hutan Lahan Kering Sekunder, Hutan lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8.
3.2.1.1
Sub-Sektor Kehutanan
Fair Ambisius
Analisis Kebijakan Satuan Baseline
2030 2045 2060 2030 2045 2060
Luas rehabilitasi hutan dan lahan ha 0 60.000 150.000 150.000 120.000 200.000 200.000
Luas penambahan tutupan hutan ha 0 2.500 2.500 2.500 3.500 3.500 3.500
Berdasarkan struktur kebijakan sub sector kehutanan, dapat dilihat pada tahun 2030 dan 2060 meningkat menjadi 150.000 ha, begitupun
bahwa pada kondisi baseline untuk kebijakan luas tutupan hutan dengan luas penambahan hutan seluas 2.500 ha hingga tahun
minimal dalam Kawasan hutan, luas rehabilitasi hutan dan luas 2060. Untuk kebijakan ambisius, luas tutupan hutan minimal dalam
penambahan tutupan hutan masing-masing 1.114.900 ha, 0 ha dan Kawasan hutan mengalami peningkatan seluas 1.250.000 ha hingga
3.110 ha hingga tahun 2060. Sedangkan pada kondisi kebijakan fair, tahun 2060, luas rehabilitasi hutan meningkat 120.000 ha pada tahun
luas tutupan hutan minimal dalam Kawasan hutan dianggap sama 2030 dan 2060 meningkat menjadi 200.000 ha, begitupun dengan
1.114.900 ha hingga 2060, luas rehabilitasi hutan meningkat 60.000 ha luas penambahan hutan seluas 3.500 ha hingga tahun 2060.
Hasil proyeksi profil indikator-indikator utama yang didapat penyerapan emisi. Berdasarkan kondisi scenario baseline dapat
dari pemodelan systems dynamic sub sector kehutanan terdiri digambarkan perubahan kondisi tutupan lahan dan hutan di
dari: proyeksi perubahan tutupan lahan, proyeksi perubahan Provinsi Sulawesi Selatan, sebagaimana yang disajikan pada
hutan, proyeksi emisi hutan, proyeksi pelepasan dan Gambar 17 berikut.
Dari Gambar 17, dapat dilihat bahwa pada kondisi baseline luas Kondisi ini tentunya akan mempengaruhi tingkat emisi karbon
hutan di Provinsi Sulawesi Selatan akan terus mengalami penurunan, hutan di Provinsi Sulawesi Selatan. Adanya perubahan lahan
dimana diperkirakan tanpa adanya kebijakan luas hutan akan dan hutan di Provinsi Sulawesi Selatan, menggambarkan adanya
mengalami penurunan yakni pada Tahun 2060 menjadi 1.161.782 perubahan emisi baik pelepasan dan penyerapan. Gambar 18, 19
ha dari kondisi Tahun 2010 seluas 1.401.113 ha atau mengalami dan 20 dibawah ini memperlihatkan kondisi emisi hutan dan lahan
penurunan sebesar 17,1% dari kondisi sebelumnya. Perubahan di Provinsi Sulawesi Selatan pada kondisi baseline.
tutupan hutan di Provinsi Sulawesi Selatan ini disebabkan oleh
perubahan lahan yang ada, dimana dari gambar di atas terlihat
bahwa tutupan berupa permukiman (grafik biru) dan sawah (grafik
abu-abu) mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
Dari Gambar 3.4, terlihat bahwa emisi hutan di Provinsi Sulawesi Adanya perlakuan kebijakan Fair dan Ambisius pada Sub Sektor
Selatan akan mengalami penurunan dari 606.567,32 ton pada Kehutanan yang meliputi kebijakan mempertahankan tutupan
Tahun 2010, menjadi 502.956,55 ton pada Tahun 2060. Kondisi ini hutan minimal dalam kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan lahan
disebabkan oleh perubahan lahan hutan menjadi non hutan yang dan penambahan tutupan hutan dapat menekan laju perubahan
menyebabkan menurunnya tingkat serapan hutan. Berdasarkan luas hutan di Provinsi Sulawesi Selatan yakni pada skenario
hasil analisis pada kondisi baseline, tingkat serapan hutan Fair dan Ambisius, luas hutan akan mengalami penurunan
mengalami penurunan sebesar 26.058,64 ton dari Tahun 2010 sebagaimana yang disajikan pada Gambar 21 dan 22 berikut.
sebesar 185.997,06 ton menjadi 159.938,42 ton pada Tahun 2060.
Selain itu menurunnya tingkat emisi sektor hutan dan lahan juga
disebabkan karena tingginya pelepasan emisi dari lahan non hutan
yang memiliki luasan cukup luas seperti pertanian dan lahan lainnya.
Dari gambar diatas, jika diperbandingkan dengan kondisi baseline, luas tutupan hutan
pada skenario fair hanya akan mengalami peningkatan sebesar 0,5% dan pada skenario
ambisius mengalami peningkatan sebesar 8,8% sebagaimana yang diperlihatkan pada
Gambar 23 berikut.
Gambar 23 Perbandingan Luas Hutan pada Kondisi Baseline, Fair dan Ambisius
1.450.000
1.400.000
1.350.000
1.300.000
Luas Hutan (Ha)
1.250.000
1.200.000
1.150.000
1.100.000
1.050.000
1.000.000
Hasil simulasi model menunjukkan bahwa proporsi emisi 2060. Bahkan dengan adanya kebijakan yang ambisius untuk
berbanding terbalik dengan perubahan luas hutan. Adanya mempertahankan luas hutan sebesar 1.250.000 ha, rehabilitasi
kebijakan mempertahankan dan merehabilitasi hutan dapat hutan 200.000 ha dan dan penambahan luas hutan menjadi
menekan laju emisi di Provinsi Sulawesi Selatan. Dimana jika 3.500 ha hingga Tahun 2060, menyebabkan emisi karbon
pada kondisi baseline hanya dapat menurunkan emisi sebesar semakin menurun di Tahun 2039 menjadi 211.295,81 ton hingga
103.610,77 ton pada Tahun 2060 dari kondisi awal Tahun 2060 menjadi angka dibawah 0 (-243.270,69 ton). Adapun
2010 yakni 502.956,55 ton. Pada kondisi scenario Fair tingkat kondisi emisi pada skenario fair dan ambisius disajikan pada
emisi dapat diturunkan lagi menjadi 469.887,07 pada Tahun Gambar 24 dan 25 berikut.
Gambar 24 Skenario Fair Emisi Hutan
Terjadinya penurunan emisi dari sub sektor kehutanan ini ambisius sebagaimana yang disajikan pada Gambar 26, 27,
sangat dipengaruhi oleh kebijakan penambahan luasan hutan 28 dan 29 berikut, terlihat bahwa proporsi pelepasan emisi
sehingga dapat menekan laju pelepasan emisi dari sektor dari pertanian dan lahan lainnya mengalami penurunan pada
lainnya. Berdasarkan hasil model pada skenario fair dan skenario ambisius.
Penambahan luas hutan serta perubahan penggunaan lahan Gambar 10 Tingkat Emisi Sub Sektor Kehutanan di Provinsi Sulawesi Selatan
menjadi faktor utama dalam penghitungan emisi sub sektor
hutan dan lahan. Semakin tinggi kebutuhan lahan non hutan Tingkat Emisi (ton)
Tahun
mengakibatkan semakin tinggi pengurangan tutupan hutan yang Baseline Fair Ambisius
tentunya menimbulkan hubungan negatif dan mengakibatkan
emisi akan semakin meningkat. Namun dengan adanya 2010 605.501,48 605.501,48 605.501,48
kebijakan perbaikan tata kelola hutan dan lahan sebagaimana 2020 583.171,65 583.128,42 583.111,11
yang disajikan pada kondisi skenario fair dan ambisius dapat
menurunkan tingkat emisi tersebut yang sebelumnya dari kondisi 2030 561.650,12 546.989,02 500.511,90
baseline hanya sebesar 17%, menjadi 23% pada skenario fair 2040 540.955,74 506.938,35 -33.883,46
bahkan jika pada kondisi skenario ambisus dapat menurunkan
emisi hingga dibawah angka 0 (100%). Adapun kondisi tingkat 2050 521.099,66 487.537,08 -227.693,00
emisi sub sektor kehutanan di Provinsi Sulawesi Selatan disajikan 2060 502.084,28 469.038,28 -243.613,14
pada Tabel 10 berikut.
Trade-off multisektor dari penerapan suatu kebijakan menggunakan moratorium hutan mengakibatkan alih fungsi lahan hutan menjadi
analisis interlinkages antar sektor. Kebijakan sub-sektor hutan non hutan terbatas, sehingga ketersediaan lahan non hutan yang
akan berpengaruh terhadap sub-sektor pertanian. Kebijakan bisa dikonversi menjadi lahan persawahan juga akan terbatas.
3.2.1.2
Sub-Sektor Pertanian dan Perternakan
Gambar 30 memperlihatkan parameter struktur fisik dituliskan dituliskan dengan warna merah dan terdapat juga kebijakan
dengan warna hitam, sedangkan parameter struktur kebijakan tambahan dengan warna hijau.
Fair Ambisius
Analisis Kebijakan Satuan Baseline
2030 2045 2060 2030 2045 2060
Kebijakan Pertanian
Luas LP2B ha 654.818 654.818 654.818 654.818 654.818 654.818 654.818
Target produktivitas padi ton/ha 4,62 5,1 5,15 5,2 5,2 5,4 5,5
Indeks pertanaman year^-1 1,52 1,55 1,57 1,58 1,55 1,6 1,7
Cetak sawah ha 40.476 55.000 65.000 75.000 80.000 90.000 100.000
Kebijakan Mitigasi Pertanian
Target luas SRI ha 0 15.000 25.000 50.000 25.000 50.000 200.000
Target luas ciherang ha 24.655 150.000 250.000 300.000 300.000 450.000 500.000
Target luas INPARI 33 ha 2 75.000 100.000 150.000 100.000 150.000 200.000
Luas PTT ha 40 0 0 0 0 0 0
Luas lahan sawah organik ha 42.347 55.000 65.000 75.000 75.000 100.000 200.000
Luas lahan pertanian organik ha 42.347 100.000 130.000 150.000 150.000 200.000 400.000
Kebijakan Peternakan
Biogas Asal Ternak Bersama Masyarakat
head 1.610 65.000 100.000 150.000 130.000 250.000 300.000
(BATAMAS)
Kebijakan pakan ternak sapi potong head 5.000 100.000 200.000 300.000 300.000 600.000 1.800.000
Pengembangan Unit Pengolah Pupuk
head 1.014 100.000 200.000 300.000 200.000 400.000 500.000
Organik (UPPO)
Berdasarkan Gambar 31 diatas, terlihat bahwa luas lahan sawah sebesar 2.641.857,91 ton menjadi 4.134.600,64 ton. Peningkatan
mengalami peningkatan, dimana terjadi peningkatan sebesar luas sawah dari tahun ke tahun berdampak pada peningkatan
339.347,84 ha dari luas pada Tahun 2010 sehingga pada Tahun emisi akibat penggunaan pupuk anorganik. Integrasi budidaya
2060 menjadi 918.327,54 ha. Peningkatan luas sawah ini sangat pertanian dengan peternakan turut menambah besarnya emisi
ditentukan oleh peningkatan kebutuhan pangan masyarakat dari sektor pertanian. Tren peningkatan emisi dari sektor pertanian
yakni beras. Peningkatan luas sawah di Provinsi Sulawesi Selatan ditunjukkan pada Gambar 34 berikut.
juga meningkatkan produksi beras dari kondisi Tahun 2010
Dari Gambar 34, dapat dilihat adanya peningkatan emisi karbon kebijakan mitigasi pertanian seperti SRI (System of Rice
dari sektor pertanian, dimana terjadi peningkatan dari kondisi Intensification), penggunaan varietas seperti Ciherang dan Inpari
Tahun 2010 sebesar 5,086.357,15 ton menjadi 9.554.766,44 ton 33, pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dan pengembangan
pada Tahun 2060. Untuk menekan tingkat emisi dari sektor sawah organic dapat menekan tingkat emisi sektor pertanian di
pertanian, tentunya tidak dapat ditekan dengan mengurangi Provinsi Sulawesi Selatan yakni pada scenario Fair dan Ambisius
laju peningkatan luas sawah. Adanya perlakuan kebijakan akan mengalami penurunan sebagaimana yang disajikan pada
Fair dan Ambisius pada Sub Sektor Pertanian yang meliputi Gambar 35 dan 36 berikut.
Dari Gambar 35 dan 36 terlihat bahwa terjadi penurunan ambisius dapat ditekan pada angka 7.220.850,67 ton. Adapun
tingkat emisi karbon dari sektor pertanian dibandingkan kondisi kondisi tingkat emisi sub sektor pertanian di Provinsi Sulawesi
baseline, dimana pada kondisi fair emisi pertanian dapat ditekan Selatan disajikan pada Tabel 12 berikut.
di angka 9.192.787,52 ton pada Tahun 2060 dan pada kondisi
Sektor pertanian memang memiliki tingkat pelepasan karbon peningkatan hanya sebesar 81% dan pada kebijakan ambisius,
yang cukup tinggi setelah sektor lahan lainnya. Adanya kebijakan tingkat emisi tersebut dapat ditekan dengan peningkatan hanya
penurunan tingkat emisi karbon yang telah diterapkan baik pada sebesar 42%. Emisi sektor pertanian dipengaruhi oleh emisi
scenario fair maupun ambisius dapat menekan laju emisi pada sawah, emisi urea pertanian dan sawah dan emisi peternakan. Jika
sektor pertanian. Pada Tabel 12 terlihat bahwa pada kondisi dilihat struktur emisi sektor pertanian sebagaimana yang disajikan
baseline tingkat emisi sektor pertanian meningkat sebesar 88% pada Gambar 37, emisi peternakan memiliki sumbangsih yang
dari kondisi Tahun 2010 ke Tahun 2060. Dengan adanya kebijakan cukup besar dibandingkan emisi sawah dan emisi penggunaan
scenario fair, tingkat emisi tersebut dapat ditekan dengan pupuk urea.
12.000.000
10.000.000
8.000.000
Emisi (ton*CO2)
6.000.000
4.000.000
2.000.000
0
2010 2060 (Baseline) 2060 (Fair) 2060 (Ambisius)
Untuk menekan laju emisi sektor peternakan terdapat beberapa Pupuk Organik (UPPO). Adanya kebijakan tersebut dapat tingkat
kebijakan yang diterapkan di Provinsi Sulawesi Selatan yakni emisi karbon sektor peternakan sebagaimana yang diperlihatkan
Biogas Asal Ternak Bersama Masyarakat (BATAMAS), kebijakan pada Gambar 38, 39 dan 40 berikut.
pakan ternak sapi potong dan Pengembangan Unit Pengolah
Dari gambar diatas terlihat bahwa adanya penerapan kebijakan 3.437.115,90 ton dan pada kondisi Ambius sebesar 1.925.718,84 ton,
pada scenario fair dan ambisius, dapat menekan laju emisi sektor jika dibandingkan pada kondisi baseline yang meningkat sebesar
peternakan. Adapun tingkat emisi karbon dari sektor peternakan 3.758.994,08 ton pada Tahun 2060. Adapun tingkat emisi karbon
dapat ditekan pada kondisi Fair hanya meningkat sebesar dari sektor peternakan disajikan pada Tabel 13 berikut.
Indikator-indikator utama yang yang mempengaruhi pemodelan menurunkan laju emisi dari sektor ini. Indikator-indikator tersebut
sistem dinamika sub sektor pertanian dan peternakan adalah dapat dipantau dan dikendalikan melalui RPRKD. Trade-off
adanya peningkatan luas lahan sawah yang meningkatkan multisektor dari penerapan suatu kebijakan menggunakan analisis
produksi pertanian dan peningkatan produksi hewan ternak. interlinkages antar sektor. Kebijakan peningkatan produktivitas
Peningkatan ini tentunya meningkatkan tingkat emisi karbon padi akan berpengaruh terhadap peningkatan ekonomi, demikian
sektor pertanian dan peternakan. Sehingga perlu perlakuan pula dengan emisi pertanian, semakin rendah emisi pertanian
mitigasi kebijakan pada sektor pertanian dan peternakan untuk semakin tinggi nilai ekonomi wilayah.
3.2.1.3
Sub-Sektor Kelautan dan Pesisir
Fair Ambisius
Analisis Kebijakan Satuan Baseline
2030 2045 2060 2030 2045 2060
Berdasarkan gambar diatas, terlihat bahwa dalam kurun 50 rumah kaca dan semakin berkurangnya kemampuan melakukan
tahun (2010-2060) kondisi hutan mangrove di Provinsi Sulawesi penyerapan karbon. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa
Selatan mengalami penurunan yang sangat signifikan yaitu net emisi tahunan dari hutan mangrove mengalami penurunan
seluas 19.472 ha atau menurun 80% dari kondisi Tahun 2010 sebesar 4.003,46 ton pada Tahun 2060 dari kondisi sebelumnya
seluas 24.264 ha menjadi 4.792 ha di Tahun 2060. Penurunan Tahun 2010 sebesar 123.011,43 ton. Adapun gambaran net emisi
luas hutan mangrove ini mengakibatkan terlepasnya cadangan mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan pada kondisi baseline
karbon yang tersimpan di dalamnya selama ini sebagai emisi gas disajikan pada Gambar 43 berikut.
Rendahnya serapan emisi mangrove yang berasal dari perubahan dari mangrove berupa perubahan mangrove ke lahan tambak
tutupan lahan lainnya menjadi mangrove dan tingginya kemudian disusul oleh perubahan mangrove ke tutupan lahan
pelepasan emisi dari perubahan mangrove ke tutupan lahan lainnya. Sedangkan adanya penambahan serapan emisi karbon
lainnya merupakan penyebab masih tingginya net emisi tahunan disebabkan adanya perubahan tutupan lahan lainnya menjadi
mangrove pada kondisi baseline, meskipun net emisi tahunan mangrove. Adapun gambaran pelepasan dan penyerapan emisi
tersebut berkurang akibat semakin sedikitnya hutan mangrove mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan di perlihatkan pada
yang beralih fungsi setiap tahunnya. Pelepasan emisi terbesar Gambar 44 dan 45 berikut.
Penurunan emisi mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan pada skenario fair dan ambisius untuk sub sektor kelautan dan
kondisi baseline dapat diatasi untuk meningkatkan penyerapan pesisir (mangrove), memperlihatkan bahwa laju penurunan luas
emisi di Provinsi Sulawesi Selatan. Adanya kebijakan pengaturan hutan mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan dapat ditekan
luas minimal mangrove pada provinsi sulawesi selatan, rehabilitasi penurunannya yakni pada kondisi baseline sebesar 80% menjadi
mangrove, penambahan luas mangrove dan adanya moratorium 57% pada kondisi skenario fair dan 46% pada kondisi skenario
alih fungsi mangrove ke tambak merupakan indikator pengendalian ambisius. Adapun gambaran luas hutan mangrove pada scenario
tingkat emisi di Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil fair dan ambisius disajikan pada Gambar 46 dan 47.
Gambar 46 Proyeksi Luas Mangrove Skenario Fair
Penyerapan dan pelepasan emisi sektor kelautan dan pesisir sektor kelautan dan pesisir. Pada kebijakan sub sektor kelautan
dipengaruhi oleh alih fungsi lahan mangrove ke non mangrove. dan pesisir terjadi penekanan terhadap laju perubahan hutan
Penambahan luas hutan mangrove pada kebijakan yang mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan, sebagaimana yang
diterapkan menjadi faktor utama dalam penghitungan emisi sub disajikan pada Tabel 15 berikut.
Semakin tinggi konversi hutan mangrove mengakibatkan semakin yang disajikan pada kondisi scenario fair dan ambisius dapat
tinggi pengurangan kawasan hutan yang tentunya menimbulkan menurunkan tingkat emisi. Adapun gambaran emisi mangrove
hubungan negative dan mengakibatkan emisi akan semakin pada kondisi fair dan ambisius di Provinsi Sulawesi Selatan
meningkat. Namun dengan adanya kebijakan sebagaimana disajikan pada Gambar 48 dan 49 berikut.
Skenario fair menyebabkan net emisi dari mangrove di Provinsi net emisi dari mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan bernilai
Sulawesi Selatan bernilai negatif (penyerapan lebih besar dari negatif lebih cepat yaitu sejak tahun 2025 (-2.329 Ton CO2-eq)
pada emisi) sejak tahun 2030 (-953 Ton CO2-eq) hingga 2060 hingga tahun 2060 (-8.954 Ton CO2-eq).
(-1.416 Ton CO2-eq). Sementara skenario ambisus menyebabkan
Fair Ambisius
Analisis Kebijakan Satuan Baseline
2030 2045 2060 2030 2045 2060
Kebijakan EBT
Ton CO2
Kebijakan emisi faktor di Grid Sulselbar 0,337 0,200 0,135 0,135 0,100 0,054 0,054
per MWh
PLTS % 0 5 5 5 5 15 26
PLTBm % 0 7 4 6 5 4 6
PLTB % 0 7 9 9 7 16 26
PLTA % 40 40 37 33 40 37 33
PLTM % 0 2 2 2 2 2 2
PLTMh % 0 1 2 2 1 2 2
PLTBg % 0 0 0 0 0 0 0
PLTG % 33 20 18 19 20 10 0
PLTP % 0 1 4 5 1 4 5
PLTU % 0 19 18 19 19 10 0
PLTD % 27 0 0 0 0 0 0
Fair Ambisius
Analisis Kebijakan Satuan Baseline
2030 2045 2060 2030 2045 2060
Kebijakan Kendaraan Listrik
Kebijakan Mobil Listrik % 1 0 0 0 0 0 0
Kebijakan Motor Listrik % 1 0 0 0 0 0 0
Kebijakan BRT
Tingkat emisi energi dipengaruhi oleh beberapa komposisi energi diantaranya emisi minyak, listrik, gas dan coal seperti ditunjukkan pada
Gambar 53. Penyumbang emisi tertinggi di Provinsi Sulawesi Selatan berasal dari energi minyak, kemudian energi listrik, emisi gas dan
terakhir adalah emisi coal.
Adanya perlakuan kebijakan Fair dan Ambisius pada Sub Sektor Energi yang meliputi kebijakan energi baru dan terbarukan (EBT) dapat
menekan laju emisi energi di Provinsi Sulawesi Selatan, sebagaimana yang disajikan pada Gambar 54 dan 55 berikut.
Dari gambar diatas terlihat bahwa dari proyeksi kondisi baseline, fair ambisius berkisar 58.041.734 ton CO2. Artinya terjadi penurunan laju
dan ambisius untuk emisi sektor energi di Provinsi Sulawesi Selatan emisi dari kondisi baseline pada scenario fair sebesar 26% dan pada
mengalami penurunan, dimana pada Tahun 2060 proyeksi emisi scenario ambisius sebesar 34%. Adapun proyeksi emisi energi di
energi pada skenario fair berkisar 64.946.860 dan pada skenario Provinsi Sulawesi Selatan disajikan pada Tabel 17.
Adanya kebijakan EBT yang meliputi Kebijakan emisi faktor di Grid Sulselbar, PLTS, PLTBm, PLTB, PLTA, PLTM, PLTMh, PLTBg, PLTG, PLTP,
PLTU dan PLTD, dapat menurunkan laju emisi listrik (grafik hijau) di Provinsi Sulawesi Selatan, sebagaimana yang digambarkan pada
Gambar 56 dan Gambar 57.
Kedepannya dalam rangka penurunan tingkat emisi dari sektor digunakan di rumah tangga dengan menerapkan Kebijakan
energi di Provinsi Sulawesi Selatan, perlu mempertimbangkan efisiensi intensitas energi RT. Pada kondisi baseline, emisi
komponen emisi energi yang tinggi lainnya seperti emisi minyak transportasi di Provinsi Sulawesi Selatan mengalami peningkatan
yang sering digunakan sebagai bahan bakar. Pertimbangan ini dari kondisi Tahun 2010 sebesar 1.135.691 ton menjadi 11.753.802 ton
dapat dilakukan dengan menerapkan kebijakan sektor transportasi pada Tahun 2060. Dimana komposisi emisi tertinggi untuk emisi
seperti Kebijakan Kendaraan Listrik, Kebijakan BRT dan Kebijakan transportasi berasal dari emisi bus, kemudian disusul emisi motor
Penurunan Intensitas Energi Transportasi serta emisi gas yang dan mobil sebagaimana yang diperlihatkan pada Gambar 58.
Dengan adanya kebijakan sektor transportasi di Provinsi Sulawesi Selatan, tingkat emisi transportasi dapat dikurangi dimana pada proyeksi
tingkat emisi transportasi pada Tahun 2060 pada kondisi baseline sebesar 11.753.802 ton menjadi 11.165.510 ton pada Tahun 2060 kondisi
scenario Fair dan 10.567.461 pada Tahun 2060 kondisi scenario Ambisius. Adapun gambaran tingkat emisi transportasi per jenis kendaraan
pada scenario fair dan scenario ambisius dapat dilihat pada Gambar 59 dan 60 berikut.
Fair Ambisius
Analisis Kebijakan Satuan Baseline
2025 2030 2045 2060 2025 2030 2045 2060
Kebijakan Sampah
Kebijakan 3R di TPS/TPS3R/TPST % 0 12 15 20 22 15 18 22 24
Komposting di TPS/TPS3R/TPST % 0 34 36 38 40 36 38 40 42
Kapasitas RDF di TPS/TPS3R/TPST ton/days 0 0 0 0 0 0 0 0
Penambahan luas TPA ha 0 0 8 10 10 0 20 20 30
Target methan capture % 0 10 15 30 40 15 30 50 80
Kapasitas RDF di TPA ton/days 30 50 70 90 50 70 85 100
Target pelayanan sampah terkelola % 43 45 52 60 70 50 85 90 100
Fair Ambisius
Analisis Kebijakan Satuan Baseline
2025 2030 2045 2060 2025 2030 2045 2060
Kebijakan Limbah
Target methan capture anaerob treatment % 20 30 40 30 40 50
Pelayanan IPAL/SPALD % 13 15 20 25 20 25 30
Tingginya produksi timbulan sampah di Provinsi Sulawesi saat ini sudah hampir terlampaui oleh sampah yang terkelola,
Selatan, tentunya harus diimbangi oleh kapasitas tampungan sebagaimana yang disajikan pada Gambar 63 berikut.
TPA yang ada. Namun berdasarkan kondisi tampungan TPA
Dari Gambar 62 diperlihatkan bahwa komposisi Sampah penanganan TPA antara kondisi kapasitas TPA dan tampungan
Berserakan masih lebih tinggi proporsi komposisinya dibanding sampah tidak dioptimalkan dengan baik, sebagaimana yang
dengan jenis sampah lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa perlu terlihat pada Gambar 63. Meningkatnya produksi sampah tentunya
ada perhatian serius dari sektor terkait. Selanjutnya komposisi juga meningkatkan emisi sampah di Provinsi Sulawesi Selatan.
penyumbang sampah terbesar kedua adalah sampah ke badan air, Berdasarkan hasil analisis pada kondisi baseline terlihat bahwa emisi
ini juga merupakan persoalan serius mengingat unsur sampah ke sampah meningkat menjadi 1.463.885,11 ton CO2-eq pada tahun
badan air menimbulkan polusi air yang berujung pada nilai ekonomi 2060 dibandingkan pada kondisi tahun 2010 sebesar 130.746,44
wilayah. Namun persoalan tersebut tidak dapat terselesaikan jika ton CO2-eq sebagaimana yang diperlihatkan pada Gambar 64.
Diperlukan kebijakan penanganan sampah di Provinsi Sulawesi luas TPA, target methan capture, penambahan kapasitas RDF di
Selatan untuk menekan laju emisi sampah. Berdasarkan pemodelan TPA dan target pelayanan sampah terkelola. Penerapan kebijakan
sistem dinamik Provinsi Sulawesi Selatan, terdapat beberapa ini mampu menurunkan komposisi sampah berserakan/tercecer
kebijakan sektor sampah yang diterapkan seperti kebijakan 3R di (grafik merah) dan sampah yang masuk ke badan air (grafik hijau)
TPS/TPS3R/TPST, komposting di TPS/TPS3R/TPST, penambahan sebagaimana yang disajikan pada Gambar 65 dan 66 berikut.
Meningkatnya pengelolaan sampah berdasarkan penerapan mengalami penurunan sebesar 57,42% dari kondisi proyeksi
kebijakan mampu menurunkan total emisi sampah di Provinsi baseline pada tahun 2060 dan 73,51% pada kondisi skenario
Sulawesi Selatan. Pada kondisi skenario fair emisi sampah ambisius, sebagaimana yang disajikan pada Gambar 67 dan 68.
Dari gambar diatas terlihat penurunan tingkat emisi sampah di Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan penerapan kebijakan skenario fair
dan ambisius. Dapat dilihat bahwa kebijakan peningkatan pengelolaan sampah dapat mendukung perencanaan pembangunan rendah
karbon dari sektor sampah kedepannya. Adapun rincian tingkat emisi dari sektor sampah pada kondisi baseline, fair dan ambisius dapat
dibandingkan pada Tabel 19 berikut.
Selain sampah, sektor yang memiliki kontribusi peningkatan emisi 2010 sebesar 117.307.729,60 kg*BOD menjadi 203.209.682,11
di Provinsi Sulawesi Selatan adalah sektor air limbah. Berdasarkan kg*BOD pada tahun 2060 sebagaimana yang disajikan pada
hasil pemodelan total timbulan air limbah meningkat dari tahun Gambar 69.
Adanya peningkatan air limbah domestik di Provinsi Sulawesi Pengolahan Air Limbah (IPAL)/Sistem Pengolahan Air Limbah
Selatan ini, meningkatkan emisi limbah yang ada dari kondisi tahun Domestik (SPALD), tingkat emisi limbah mengalami penurunan
2010 sebesar 631.869,92 ton CO2-eq menjadi 1.094.574,81 ton pada skenario fair sebesar 1.028.233,88 ton CO2-eq pada tahun
CO2-eq pada tahun 2060. Namun adanya kebijakan pengelolaan 2060 dan pada skenario ambisius sebesar 994.811,95 ton CO2-eq
limbah domestik di Provinsi Sulawesi Selatan yang meliputi pada tahun 2060 sebagaimana yang disajikan pada Gambar 70,
target methan capture anaerob treatment dan pelayanan Instalasi 71 dan 72 berikut.
Dari gambar diatas terlihat bahwa terjadi penurunan emisi limbah dengan penerapan kebijakan pengelolaan limbah di Provinsi Sulawesi
Selatan. Dimana pada skenario fair terjadi penurunan sebesar 6,01% dan skenario ambisius sebesar 9,11% dibandingkan kondisi baseline
pada Tahun 2060. Adapun gambaran tingkat emisi sektor limbah di Provinsi Sulawesi Selatan disajikan pada Tabel 20 berikut.
3.3
ANALISIS DAN PROYEKSI ASPEK LINGKUNGAN, EKONOMI
DAN SOSIAL DENGAN KEBIJAKAN SAAT INI
Emisi karbon di Provinsi Sulawesi Selatan disumbang oleh Dari skenario perencanaan rendah karbon, dengan menggunakan
beberapa sektor antara lain sektor pertanian, sektor penggunaan kondisi baseline, skenario fair dan ambisius terlihat gambaran
lahan, sektor energi yang didalamnya termasuk transportasi, adanya penurunan emisi karbon di Provinsi Sulawesi Selatan
sektor sampah dan limbah dan sektor mangrove. Terdapat 3 dengan adanya intervensi penerapan kebijakan. Pada kondisi
(tiga) pendekatan dalam melihat permasalahan emisi dan potensi baseline, komposisi emisi Provinsi Sulawesi Selatan dengan proporsi
penurunan emisi di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketiga aspek tersebut emisi energi sebesar 87,8%, emisi pertanian 9,1%, emisi pertanian
mempengaruhi tingkat penurunan dan kenaikan emisi diantaranya 1,6%, emisi sampah dan limbah 1,5%. Pada intervensi penerapan
aspek fisik, ekonomi dan sosial. Dari aspek fisik, perbaikan tata guna kebijakan skenario fair mampu menurunkan emisi sebesar 38%,
lahan akan mempengaruhi tingkat ketersediaan air suatu wilayah. sedangkan pada penerapan kebijakan skenario ambisius dapat
Adapun dari aspek eknomi, perencanaan rendah karbon akan diturunkan sebesar 64% seperti yang diperlihatkan pada Gambar
berhubungan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sedangkan 73. Dimana pada proyeksi total emisi pada tahun 2060 terjadi
dari aspek sosial, adanya perencanaan rendah karbon diharapkan penurunan tingkat emisi pada skenario fair sebesar 73.454.328,36
dapat memperbaiki taraf kehidupan masyarakat bukan dengan ton CO2-eq, dan pada skenario ambisius sebesar 61.704.989,20 ton
memperburuk kondisinya. CO2-eq. Adapun secara rinci diuraikan pada Tabel 21 dan secara
visual diperlihatkan perubahannya pada Gambar 74, 75 dan 76.
Gambar 73 Gambaran Penurunan Emisi pada Skenario Baseline (a), Fair (b) dan Ambisius (c) pada Sistem Dinamik RPRKD Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun
Aspek lingkungan merupakan aspek dasar dalam penilaian sangat mempengaruhi perubahan emisi suatu unit bentang
emisi dan penurunan emisi. Penggunaan lahan serta perubahan lahan. Adanya perubahan penggunaan lahan, tentunya akan
yang terjadi pada penggunaan lahan menentukan serap dan mempengaruhi tingkat daya dukung sumberdaya air disuatu
lepas karbon masing-masing unit penggunaan lahan. Selain itu, wilayah. Dengan adanya penerapan kebijakan perencanaan
perubahan bentang lahan satu unit lahan juga dapat mendorong rendah karbon, dapat meningkatkan daya dukung air di Provinsi
perubahan penggunaan lahan di sekitarnya seperti pembangunan Sulawesi Selatan. Dimana berdasarkan hasil pemodelan sistem
infrastruktur yang dapat memacu perubahan penggunaan lahan dinamik, hasil proyeksi pada tahun 2060 tingkat ketersediaan
di sekitarnya. Sebaliknya lahan-lahan kosong/terabaikan yang air pada kondisi baseline sebesar 5.225,81 m3/(tahun*person),
digunakan untuk perkebunan mempengaruhi penggunaan lahan sedangkan pada skenario fair terjadi peningkatan menjadi 5.240,61
yang secara positif akan menurunkan tingkat emisi suatu wilayah. m3/(tahun*person) dan pada skenario ambisius menjadi 5.311,29
Oleh karena itu kebijakan-kebijakan dalam aspek lingkungan m3/(tahun*person).
Penentuan satu kebijakan sangat ditentukan dengan sedangkan untuk bidang energi permasalahan emisi terjadi karena
pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Aspek ekonomi ini menjadi penggunaan energi fosil masih menjadi pilihan utama dalam
indikator utama dalam keberhasilan suatu daerah sehingga penggunaan energi sehari-hari serta permasalahan di bidang
menjadi indikator utama yang harus dicapai oleh pemerintah. pengelolaan limbah pada pengelolaan sampah yang belum
Namun demikian perlu pula diingat bahwa capaian ekonomi juga dilakukan secara baik.
dapat menyebabkan dampak lain terhadap lingkungan. Dengan
demikian tarik ulur kepentingan antara pertumbuhan ekonomi Selain kegiatan-kegiatan pemerintah daerah, swasta dan
dengan pelestarian lingkungan menjadi suatu pertimbangan masyarakat yang menghasilkan emisi ada pula beberapa dampak
dalam pengambilan kebijakan. Oleh karena itu, pendekatan positif pada penurunan emisi. Kegiatan ini dilakukan baik sadar
perencanaan tetap mempertimbangkan keseimbangan capaian maupun tidak sadar menambah kemampuan serap karbon dan
ekonomi dan pelestarian lingkungan hidup. juga menurunkan emisi dari yang seharusnya terjadi. Adanya
kebijakan rendah karbon di Provinsi Sulawesi Selatan dapat
Secara khusus, setiap bidang dalam kaitannya dengan emisi menurunkan intensitas emisi yang cukup besar, dengan kondisi
tersebut di atas masing-masing memiliki permasalahan sendiri baseline dapat turun sebesar 61,68% dari 81,34 ton CO2/Milyar
dengan melihat aspek spasial, sosial, politik dan ekonomi. Rp pada tahun 2010 menjadi 31,37 ton CO2/Milyar Rp pada tahun
Bidang pertanian memiliki permasalahan emisi utamanya 2060 dan dengan skenario fair dapat turun menjadi 19,04 ton CO2/
pada penggunaan pupuk organik yang sulit ditekan serta pola Milyar Rp atau sebesar 76,59% serta dengan skenario ambisus
penggunaan air dalam sawah. Dalam aksi mitigasi bidang dapat menjadi turun 16,00 ton CO2/Milyar Rp atau sebesar 80,33%.
pertanian, penggunaan benih rendah karbon secara sosial belum Selain itu perencanaan rendah karbon juga dapat meningkatkan
banyak diterima karena preferensi petani dalam menanam sangat pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan, dimana dari
ditentukan oleh pilihan jenis yang disukai konsumen. Bidang hasil model diperoleh bahwa jika pada kondisi baseline proyeksi
penggunaan lahan memiliki permasalahan umum mencakupi pertumbuhan ekonomi sebesar 4,35%, namun dengan kebijakan
semua bidang adalah pada masih adanya degradasi lahan skenario fair pertumbuhan ekonomi dapat dipertahankan di
yang terbentuk setiap tahun serta adanya perubahan fungsi angka 4,55% dan dengan kebijakan skenario ambisus dapat
kawasan dari yang berkarbon tinggi ke yang berkarbon rendah, dipertahankan di angka 4,55 %.
Aspek sosial menentukan preferensi masyarakat terhadap suatu pada dokumen RPRKD yang telah disusun oleh POKJA. Dalam
hal. Global warming yang didengungkan di level dunia telah tingkat provinsi, penetapan Peraturan Gubernur Nomor 59 Tahun
mendapat perhatian dari sisi sosial dan telah mendapatkan 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah
legitimasi dari sisi politik. Preferensi terhadap isu pemanasan global Kaca menunjukkan komitmen politik pimpinan daerah terhadap
ini pun telah mendapatkan legitimasi di tingkat nasional dengan isu perubahan iklim. Perbaikan tata kelola wilayah dan lahan
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang dan ekonomi pemerintahan dalam perencanaan pembangunan
Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework rendah karbon diharapkan juga dapat memperbaiki taraf sosial
Convention On Climate Change. Undang-undang ini menentukan masyarakat di Provinsi Sulawesi Selatan dengan menurunkan
arah perencanaan pembangunan rendah karbon yang bermuara tingkat pengangguran.
BAB IV
STRATEGI
IMPLEMENTASI
RPRKD
4.1
ANALISIS PEMETAAN LEMBAGA YANG MEMILIKI PERAN
DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN DAN KEGIATAN SEKTORAL
RPRKD Provinsi Sulawesi Selatan dilaksanakan melalui pembinaan dan pelaksanaan penyusunan naskah kajian RPRKD
kelembagaan dengan pembagian peran antara unsur pemerintah, Peran ini menjadi sentral dalam usaha menjadikan rencana
masyarakat, perguruan tinggi, dan Mitra Pembangunan. aksi penurunan emisi Provinsi Sulawesi Selatan sejalan dengan
Pemerintah Pusat (BAPPENAS) terlibat secara langsung dalam kebijakan Pemerintah Pusat.
A. Unsur Pemerintah
Dari unsur pemerintah daerah, dilibatkan semua bidang yang terkait langsung, baik dari
penyusunan rencana hingga implementasi Rencana Pembangunan Rendah Emisi Daerah:
3 Sektor Pertanian: Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan serta Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan.
6 Sektor Pesisir dan Laut (Blue Carbon): Dinas Perikanan dan Kelautan.
4.2
PERUMUSAN INDIKATOR KINERJA YANG DAPAT MENGGAMBARKAN
KETERCAPAIAN TARGET PEMBANGUNAN RENDAH KARBON
Kegiatan-kegiatan pembangunan rendah karbon dilakukan tidak sadar menambah kemampuan serap karbon dan juga
melalui platform website AKSARA. Kegiatan-kegiatan pemerintah menurunkan emisi dari yang seharusnya terjadi. Berikut dapat
Provinsi Sulawesi Selatan yang menghasilkan penurunan emisi dilihat kinerja masing-masing sektor dalam upaya penurunan
yang dampak positif. Kegiatan ini dilakukan baik sadar maupun emisi pada Tabel 22, 23, 24 dan 25.
Penurunan
No Nama Kegiatan Kategori
Emisi
Penurunan
No Nama Kegiatan Kategori
Emisi
1,012,710
144,673
578,690
868,036
144,673
BATAMAS DAN BIOGAS NON-
15 Pemanfaatan Biogas - MONITORING 2
BATAMAS
578,690
171,307
Pembuatan dan Pemeliharaan Tanaman berupa Pembuatan Tanaman Bambu
20 Peningkatan Cadangan Karbon
pada Wilayah CDK I/KPH Bulusaraung
214,133
Pembuatan Tanaman Bambu di Kabupaten Bantaeng - MONITORING 1 Peningkatan Cadangan Karbon 2,398,290
26
Pembuatan Tanaman Bambu di Kabupaten Bulukumba Peningkatan Cadangan Karbon 3,426,130
27 Pembuatan Tanaman Bambu di Kabupaten Bulukumba - MONITORING 1 Peningkatan Cadangan Karbon 2,398,290
Pembuatan Tanaman Bambu di Kabupaten Jeneponto - MONITORING 1 Peningkatan Cadangan Karbon 2,398,290
30
Pembuatan Tanaman Bambu di Kabupaten Luwu Peningkatan Cadangan Karbon 214,133
31 Pembuatan Tanaman Bambu di Kabupaten Luwu - MONITORING 1 Peningkatan Cadangan Karbon 149,893
Pembuatan Tanaman Bambu di Kabupaten Luwu Timur Peningkatan Cadangan Karbon 214,133
32
Pembuatan Tanaman Bambu di Kabupaten Luwu Timur - MONITORING 1 Peningkatan Cadangan Karbon 149,893
Penurunan
No Nama Kegiatan Kategori
Emisi
33 Pembuatan Tanaman Bambu di Kabupaten Luwu Utara Peningkatan Cadangan Karbon 3,426,130
Pembuatan Tanaman Bambu di Kabupaten Luwu Utara - MONITORING 1 Peningkatan Cadangan Karbon 2,398,290
34
Pembuatan Tanaman Bambu di Kabupaten Maros Peningkatan Cadangan Karbon 5,353,330
35 Pembuatan Tanaman Bambu di Kabupaten Maros - MONITORING 1 Peningkatan Cadangan Karbon 3,747,330
Pembuatan Tanaman Bambu di Kabupaten Takalar - MONITORING 1 Peningkatan Cadangan Karbon 2,398,290
38
Pembuatan Tanaman Bambu di Kabupaten Tana Toraja Peningkatan Cadangan Karbon 3,426,130
39 Pembuatan Tanaman Bambu di Kabupaten Tana Toraja - MONITORING 1 Peningkatan Cadangan Karbon 2,398,290
45 Pembuatan tanaman Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan - MONITORING 5 Peningkatan Cadangan Karbon 587,070
Pembuatan tanaman Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan - MONITORING 6 Peningkatan Cadangan Karbon 358,765
46
Pembuatan tanaman Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan - MONITORING 7 Peningkatan Cadangan Karbon 228,305
47 Pembuatan tanaman Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan - MONITORING 8 Peningkatan Cadangan Karbon 130,460
Pencegahan Penurunan
Pemeliharaan batas kawasan hutan -
Cadangan Karbon
48
Pemulihan Lahan Kritis Wilayah KPH Skala Provinsi Peningkatan Cadangan Karbon 254,599
Penanaman bambu di desa Babang Kab Luwu pada kegiatan pembuatan dan
49 Peningkatan Cadangan Karbon 188,437
pemeliharaan tanaman pada Wilayah CDK/KPH Latimojong
Penanaman bambu di desa Babang Kab Luwu pada kegiatan pembuatan dan
Peningkatan Cadangan Karbon 188,437
pemeliharaan tanaman pada Wilayah CDK/KPH Latimojong - MONITORING 1
50
Penanaman bambu di desa Latuppa, kota Palopo pada kegiatan pembuatan
Peningkatan Cadangan Karbon 188,437
dan pemeliharaan tanaman pada Wilayah CDK/KPH Latimojong
Penanaman bambu di desa Ujung Lamuru Kab Bone pada kegiatan
51 Peningkatan Cadangan Karbon 94,219
pembuatan dan pemeliharaan tanaman pada Wilayah CDK/KPH Cenrana
Penanaman Bambu pada Kawasan Hutan Lindung Peningkatan Cadangan Karbon 125,468
52
Penanaman di desa Balutan, Kab. Luwu kegiatan pembuatan dan
Peningkatan Cadangan Karbon 280,156
pemeliharaan tanaman pada wilayah CDK/KPH Latimojong
Penanaman di desa Barania Kab. Enrekang pada Kegiatan Pembuatan dan
53 Peningkatan Cadangan Karbon 803,000
Pemeliharaan pada Wilayah CDK/KPH Jeneberang II
Penurunan
No Nama Kegiatan Kategori
Emisi
Penanaman di Desa BArugaya Kab Takalar pada Kegiatan Pembuatan dan
Peningkatan Cadangan Karbon 1,338,330
Pemeliharaan pada Wilayah CDK/KPH Jeneberang I
54
Penanaman di desa Battang, Wara barat Kota Palopo kegiatan pembuatan dan
Peningkatan Cadangan Karbon 669,167
pemeliharaan tanaman pada wilayah CDK/KPH Latimojong
Penanaman di desa Bilante, Kab. Luwu kegiatan pembuatan dan pemeliharaan
55 Peningkatan Cadangan Karbon 669,167
tanaman pada wilayah CDK/KPH Latimojong
Penanaman di desa Bonelemo Kab. Luwu kegiatan pembuatan dan
Peningkatan Cadangan Karbon 669,167
pemeliharaan tanaman pada wilayah CDK/KPH Latimojong
56
Penanaman di desa Botolempangan kegiatan pembuatan dan pemeliharaan
Peningkatan Cadangan Karbon 1,204,500
tanaman pada wilayah CDK/KPH Jeneberang II
Penanaman di desa Gunung Perak Kab Sinjai pada kegiatan pembuatan dan
57 Peningkatan Cadangan Karbon 669,167
pemeliharaan tanaman pada Wilayah CDK/KPH Jeneberang II
Penanaman di desa Jambiya Kab Selayar pada kegiatan pembuatan dan
Peningkatan Cadangan Karbon 407,688
pemeliharaan tanaman pada Wilayah CDK/KPH Selayar
58
Penanaman di desa Latuppa, Kota Palopo kegiatan pembuatan dan
Peningkatan Cadangan Karbon 669,167
pemeliharaan tanaman pada wilayah CDK/KPH Latimojong
Penanaman di Desa Lonjoboko, Gowa pada Kegiatan Pembuatan dan
59 Peningkatan Cadangan Karbon 1,338,330
Pemeliharaan pada Wilayah CDK/KPH jeneberang I
Penanaman di desa Padang Lambe, Kab. Luwu kegiatan pembuatan dan
Peningkatan Cadangan Karbon 401,500
pemeliharaan tanaman pada wilayah CDK/KPH Latimojong
60
Penanaman di desa sumarambu, Kota Palopo kegiatan pembuatan dan
Peningkatan Cadangan Karbon 669,167
pemeliharaan tanaman pada wilayah CDK/KPH Latimojong
Penanaman di Kab. Barru pada Kegiatan Pembuatan dan Pemeliharaan pada
61 Peningkatan Cadangan Karbon 669,167
Wilayah CDK/KPH berupa pembuatan Tanaman Hutan Rakyat
Penanaman di Kab. Enrekang pada Kegiatan Pembuatan dan Pemeliharaan
Peningkatan Cadangan Karbon 1,140,260
pada Wilayah CDK/KPH berupa pembuatan Tanaman Hutan Rakyat
62
Penanaman di Kab. Gowa pada Kegiatan Pembuatan dan Pemeliharaan pada
Peningkatan Cadangan Karbon 1,338,330
Wilayah CDK/KPH Jeneberang I
Penanaman di Kab. Luwu Timur pada Kegiatan Pembuatan dan Pemeliharaan
63 Peningkatan Cadangan Karbon 267,667
pada Wilayah CDK/KPH berupa pembuatan Tanaman Hutan Rakyat
Penanaman di Kab. Luwu Utara pada Kegiatan Pembuatan dan Pemeliharaan
64 Peningkatan Cadangan Karbon 2,264,460
pada Wilayah CDK/KPH berupa pembuatan Tanaman Hutan Rakyat
Penanaman di Kab. Tana Toraja pada Kegiatan Pembuatan dan Pemeliharaan
65 Peningkatan Cadangan Karbon 1,852,250
pada Wilayah CDK/KPH berupa pembuatan Tanaman Hutan Rakyat
1,338,330
672,375
13,361,900
68 Penanaman Hutan Rakyat - MONITORING 1 Peningkatan Cadangan Karbon 403,425
936,833
Penanaman Mangrove di desa Balang Datu, Kab. Takalar pada Kegiatan
69 Peningkatan Cadangan Karbon 1,075,800
Pembuatan dan Pemeliharaan Tanaman pada Wilayah CDK/KPH Jeneberang I
Penanaman Mangrove di desa Laikang, Kab. Takalar pada Kegiatan
70 Peningkatan Cadangan Karbon 591,690
Pembuatan dan Pemeliharaan pada Wilayah CDK/KPHJeneberang I
Penanaman Mangrove di Desa Maccini baji Kab. Takalar pada Kegiatan
71 Peningkatan Cadangan Karbon 591,690
Pembuatan dan Pemeliharaan Tanaman pada Wilayah CDK/KPH Jeneberang I
Penanaman Mangrove di Desa Rewataya, Kab. Takalar pada Kegiatan
72 Peningkatan Cadangan Karbon 591,690
Pembuatan dan Pemeliharaan pada Wilayah CDK/KPH di KPH Jeneberang I
Penanaman Mangrove di Desa Samataring Kab. Sinjai pada Kegiatan
73 Peningkatan Cadangan Karbon 597,069
Pembuatan dan Pemeliharaan pada Wilayah CDK/KPH Jeneberang II
Penurunan
No Nama Kegiatan Kategori
Emisi
Penanaman Mangrove di Kab. Maros pada Kegiatan Pembuatan dan
74 Pemeliharaan pada Wilayah CDK/KPH berupa pembuatan Tanaman Hutan Peningkatan Cadangan Karbon 3,533,200
Rakyat
Penanaman Mangrove di Kab. Pangkep pada Kegiatan Pembuatan dan
75 Pemeliharaan pada Wilayah CDK/KPH berupa pembuatan Tanaman Hutan Peningkatan Cadangan Karbon 3,957,180
Rakyat
76 Penanaman mangrove untuk perbaikan kualitas lingkungan pesisir Peningkatan Cadangan Karbon 369,508
5,573
78 Pengadaan Pupuk Organik Penggunaan Pupuk Organik
76,267
84 Pengelolaan Kebutuhan Pupuk Kab. Luwu Utara Penggunaan Pupuk Organik 16,867
14,080
86 Pengelolaan Kebutuhan Pupuk Kab. Pinrang Penggunaan Pupuk Organik
28,527
96 Pengembangan Pupuk Organik pada lahan sawah Penggunaan Pupuk Organik 5,407,970
13,916
34,261
98 Penghijauan hutan rakyat - MONITORING 5 Peningkatan Cadangan Karbon
43,487
52,184
Penurunan
No Nama Kegiatan Kategori
Emisi
21,413
26,092
99 Penghijauan hutan rakyat - MONITORING 6 Peningkatan Cadangan Karbon
30,434
8,697
12,848
15,217
100 Penghijauan hutan rakyat - MONITORING 7 Peningkatan Cadangan Karbon
19,569
5,218
10,872
13,046
101 Penghijauan hutan rakyat - MONITORING 8 Peningkatan Cadangan Karbon
3,479
8,565
0,312
102 Penghijauan Lingkungan Peningkatan Cadangan Karbon 14,989
26,767
0,187
103 Penghijauan Lingkungan - MONITORING 1 Peningkatan Cadangan Karbon 16,060
8,994
16,308
104 Penghijauan Lingkungan - MONITORING 5 Peningkatan Cadangan Karbon
3,426
2,141
105 Penghijauan Lingkungan - MONITORING 6 Peningkatan Cadangan Karbon
9,511
1,285
106 Penghijauan Lingkungan - MONITORING 7 Peningkatan Cadangan Karbon
6,115
0,857
107 Penghijauan Lingkungan - MONITORING 8 Peningkatan Cadangan Karbon
4,077
109 Penghijauan Lingkungan di Kabupaten Bulukumba - MONITORING 1 Peningkatan Cadangan Karbon 8,994
111 Penghijauan Lingkungan di Kabupaten Jeneponto - MONITORING 1 Peningkatan Cadangan Karbon 8,994
113 Penghijauan Lingkungan di Kabupaten Soppeng - MONITORING 1 Peningkatan Cadangan Karbon 8,994
115 Penghijauan Lingkungan di Kabupaten Takalar - MONITORING 1 Peningkatan Cadangan Karbon 8,994
117 Penghijauan Lingkungan di Kota Palopo - MONITORING 1 Peningkatan Cadangan Karbon 8,994
Penurunan
No Nama Kegiatan Kategori
Emisi
122 peningkatan produksi dan mutu serta pengembangan buah-buahan Peremajaan Areal Perkebunan 0,048
123 Penyediaan bantuan Pupuk dan Pestisida Penggunaan Pupuk Organik 197,765
124 Perbanyakan benih dan pengembangan kelembagaan perbenihan hortikultura Peremajaan Areal Perkebunan 85,653
125 Pupuk Organik Cair dan Kompos Kab. Bone Penggunaan Pupuk Organik 6,013
126 Pupuk Organik Cair dan Kompos Kab. Bulukumba Penggunaan Pupuk Organik 3,461
127 Pupuk Organik Cair dan Kompos Kab. Jeneponto Penggunaan Pupuk Organik 44,220
128 Pupuk Organik Cair dan Kompos Kab. Soppeng Penggunaan Pupuk Organik 4,473
129 Pupuk Organik Cair Kab. Wajo Penggunaan Pupuk Organik 4,107
136 Rehabilitasi Lahan berupa Penghijauan Lingkungan (Wilayah CDK II/KPH Bila) Peningkatan Cadangan Karbon 13,237,700
Penurunan
NO Nama Kegiatan Kategori
Emisi
Intelligent Transportation System (ITS)/
1 ATC 2015 18,635,900
Area Traffic Control System (ATCS)
Intelligent Transportation System (ITS)/
2 ATCS 147,760,000
Area Traffic Control System (ATCS)
1,128,600
2,638,800
Reformasi Sistem Transit - BRT System
5 BRT System 4,694,860
17,076,700
17,930,800
6 CFD 2015 Hari Bebas Kendaraan Bermotor (Car Free Day) 544,710
Inventarisasi, Penyediaan dan Pemanfaatan Energi Pembangunan Energi Terbarukan - OFF GRID 0,190
7
Baru Terbarukan dan Bioenergi Substitusi Bahan Bakar Fosil 7,647
Intelligent Transportation System (ITS)/
8 ITS/ATCS 30,341,900
Area Traffic Control System (ATCS)
9 Latihan CFD MAros1 Hari Bebas Kendaraan Bermotor (Car Free Day) 6,120
10 Operasional Angkutan Pemadu Moda Reformasi Sistem Transit - BRT System 1,708,980
13 Pembangunan Biogas Rumah di Kabupaten Pinrang Substitusi Bahan Bakar Fosil 76,472
163,141
14 Pembangunan Instalasi Biogas Substitusi Bahan Bakar Fosil
203,926
15 Pembangunan Instalasi Biogas Kab. Luwu Timur Substitusi Bahan Bakar Fosil 76,472
16 Pembangunan Instalasi Biogas Kab. Maros Substitusi Bahan Bakar Fosil 76,472
17 Pembangunan Instalasi Biogas Kab. Pangkep Substitusi Bahan Bakar Fosil 45,883
18 Pembangunan Instalasi Biogas Kab. Selayar Substitusi Bahan Bakar Fosil 76,472
19 Pembangunan Instalasi Biogas Kab. Sinjai Substitusi Bahan Bakar Fosil 76,472
20 Pembangunan Instalasi Biogas Kab. Takalar Substitusi Bahan Bakar Fosil 76,472
21 Pembangunan Instalasi Biogas Kota Palopo Substitusi Bahan Bakar Fosil 76,472
22 Pembangunan Instalasi Biogas Kota Parepare Substitusi Bahan Bakar Fosil 76,472
23 Pembangunan Instalasi Biogas Luwu Utara Substitusi Bahan Bakar Fosil 76,472
Penurunan
NO Nama Kegiatan Kategori
Emisi
28 Pembangunan PLTMH - Ilan Batu Uru Pembangunan Energi Terbarukan - OFF GRID 167,833
29 Pembangunan PLTMH - Kaladi Darussalam Pembangunan Energi Terbarukan - OFF GRID 251,749
36 Pembangunan PLTMH di Desa Dampan Pembangunan Energi Terbarukan - OFF GRID 317,331
38 Pembangunan PLTMH Kab. Luwu Utara Pembangunan Energi Terbarukan - OFF GRID 4,936
42 Pembangunan PLTS Terpusat Off Grid - Bontolebang Pembangunan Energi Terbarukan - OFF GRID 42,311
43 Pembangunan PLTS Terpusat Off Grid - Kanalo II Pembangunan Energi Terbarukan - OFF GRID 42,311
44 Pembangunan PLTS Terpusat Off Grid - Pulau Sabangko Pembangunan Energi Terbarukan - OFF GRID 28,207
2,257
45 Pembangunan PLTS Tersebar Pembangunan Energi Terbarukan - OFF GRID 3,526
6,206
PEmilihan Abdi Yasa 2018 /Pelatihan Smart Driving (Eco
46 Smart Driving (eco driving) 31,610
Driving)
48 Pemilihan Awak Kendaraan Teladan 2017 Smart Driving (eco driving) 31,610
Penurunan
NO Nama Kegiatan Kategori
Emisi
Pengadaan dan Pemasangan Penerangan Jalan Umum
55 Pembangunan Energi Terbarukan - OFF GRID 0,014
Tenaga Surya di Kawasan Pucak Kab. Maros
11,664
57 Peremajaan Armada Angkutan Umum Peremajaan Armada Angkutan Umum
9,331
Penurunan
No Nama Kegiatan Kategori
Emisi
4 Operasional TPST Kab Bulukumba Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 3,250
5 Operasional TPST Kab Bantaeng Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 0,310
6 Operasional TPST Kab Barru Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 12,073
7 Operasional TPST Kab Jeneponto Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 2,167
8 Operasional TPST Kab. Bone Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 4,179
9 Operasional TPST Kota Palopo Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 21,205
10 Operasional TPST Kota Parepare Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 1,084
Penurunan
No Nama Kegiatan Kategori
Emisi
Pembangunan Sarana dan Prasarana Persampahan
21 Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 6,191
SMA NEGERI 3 Takalar
Pembangunan Sarana dan Prasarana Persampahan
22 Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 6,191
SMA NEGERI 7 LUWU TIMUR
Pembangunan Sarana dan Prasarana Persampahan
23 Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 6,191
SMAN 1 LUWU
Pembangunan Sarana dan Prasarana Persampahan
24 Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 6,191
SMAN 1 PINRANG
Pembangunan Sarana dan Prasarana Persampahan
25 Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 6,191
SMAN 1 Wajo
Pembangunan Sarana dan Prasarana Persampahan
26 Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 6,191
SMAN 11 Unggulan Pinrang
Pembangunan Sarana dan Prasarana Persampahan
27 Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 6,191
SMK NEGERI 1 GOWA
Pembangunan Sarana dan Prasarana Persampahan
28 Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 6,191
SMK Negeri 1 Sinjai
Pembangunan Sarana dan Prasarana Persampahan
29 Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 6,191
SMKN 2 LUWU
Pembangunan Sarana Persampahan di SMA Negeri 17
30 Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 6,191
Makassar
Pembangunan Sarana Prasarana Persampahan SMAN
31 Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 6,191
3 WAJO
-144,148
32 Pengelolaan Sampah di TPA Tempat Pembuangan Akhir TPA
-40,318
34 Pengolahan Sampah di TPA Kab. Bone Tempat Pembuangan Akhir TPA -143,143
35 Pengolahan Sampah di TPA Kab. Maros Tempat Pembuangan Akhir TPA -116,949
36 Pengolahan Sampah di TPA Kab. Sidrap Tempat Pembuangan Akhir TPA -187,305
37 Pengolahan Sampah di TPA Kab. Toraja Tempat Pembuangan Akhir TPA -78,976
38 Pengolahan Sampah di TPA Kab. Wajo Tempat Pembuangan Akhir TPA -118,347
39 Pengolahan Sampah di TPA Kota Makassar Tempat Pembuangan Akhir TPA -2,329,670
41 Pengomposan Kabupaten Sinjai Tahun 2019 Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 0,003
42 Pengomposan Kabupaten Sinjai Tahun 2020 Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST/TPS3R 0,004
Penurunan
No Nama Kegiatan Kategori
Emisi
Penanaman
1 Pengelolaan Kawasan Konservasi, Perairan P3K dan Pemanfaatan Ekosistem Perikanan 537,139
Mangrove
4.3\
PEMETAAN DAN TAUTAN KEBIJAKAN DAN KEGIATAN TERKAIT PEMBANGUNAN
RENDAH KARBON TERHADAP PERENCANAAN DAERAH HINGGA TINGKAT OPD
1. Dinas Kehutanan
Kebijakan dan kegiatan pada Dinas Kehutanan yang terkait RPRKD dapat lihat pada Tabel 26.
Tabel 26 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Kehutanan
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/39217/
Penanaman Hutan Rakyat -
85 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/39218/
MONITORING 1
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/39216/
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/31043/
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/30932/?multikegiatan=1
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/30956/
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/30933/?multikegiatan=1
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/30957/
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/30990/
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/30934/?multikegiatan=1
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/35876/
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/35805/
Penghijauan Lingkungan di
104 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/35880/
Kabupaten Bulukumba
Penghijauan Lingkungan
105 di Kabupaten Bulukumba - http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/39248/
MONITORING 1
Penghijauan Lingkungan di
106 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/35879/
Kabupaten Jeneponto
Penghijauan Lingkungan
107 di Kabupaten Jeneponto - http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/39247/
MONITORING 1
Penghijauan Lingkungan di
108 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/35878/
Kabupaten Soppeng
Penghijauan Lingkungan di
109 Kabupaten Soppeng - MONITORING http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/39246/
1
Penghijauan Lingkungan di
110 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/35881/
Kabupaten Takalar
Penghijauan Lingkungan di
111 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/39249/
Kabupaten Takalar - MONITORING 1
Penghijauan Lingkungan di Kota
112 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/35877/
Palopo
Penghijauan Lingkungan di Kota
113 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/39245/
Palopo - MONITORING 1
Pengkayaan Tanaman Reboisasi -
114 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/31031/
MONITORING 5
Pengkayaan Tanaman Reboisasi -
115 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/31032/
MONITORING 6
Pengkayaan Tanaman Reboisasi -
116 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/31033/
MONITORING 7
Pengkayaan Tanaman Reboisasi -
117 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/31034/
MONITORING 8
Pengujian Mutu Benih dan mutu
118 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/33652/
Bibit Tanaman Hutan
Penilaian Sumber Benih Tanaman
119 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/33653/
Hutan
Peningkatan Kapasitas Kader Saka
120 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/35360/
Wanabakti
Tabel 27 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura
Orientasi ke Daerah
9 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/36735/
Pengembangan Sayuran Organik
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/36734/
11 Pengadaan Pupuk Organik
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/36732/?multikegiatan=1
Tabel 28 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan
Tabel 29 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota
Penghijauan Lingkungan -
4 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/39482/
MONITORING 1
Tabel 30 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
1. Dinas ESDM
a. Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Selatan
Kebijakan dan kegiatan pada Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Selatan yang terkait RPRKD dapat lihat pada Tabel 31.
Tabel 31 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas ESDM
Pembangunan PLTMH -
13 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/31869/
Batusura
Pembangunan PLTMH -
14 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/31862/
Beroppa
Pembangunan PLTMH - Ilan
15 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/31871/
Batu Uru
Pembangunan PLTMH -
19 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/31856/?multikegiatan=1
Makkodo
Pembangunan PLTMH -
20 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/31867/
Pengembang
Pembangunan PLTMH - Sali-
21 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/31896/
Sali
Pembangunan PLTMH
22 Tanamakaleang di Kec. Seko http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/40051/
Kab. Luwu Utara 1 Unit
Pembangunan PLTS Terpusat
23 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/31877/
Off Grid - Bontolebang
Pembangunan PLTS Terpusat
24 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/31875/
Off Grid - Kanalo II
Pembangunan PLTS Terpusat
25 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/31885/
Off Grid - Pulau Sabangko
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/7518/
27 Pembangunan PLTS Tersebar
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/7514/
Survey Kelayakan
36 Pembangunan Biogas Rumah http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/7550/
Toraja Utara
Pembangunan PLTMH di Desa
37 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/34491/
Dampan
Pembangunan PLTMH di
38 Desa Mappetajang, Kec. http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/34494/
Bassesangtempe, Kab. Luwu
Pembangunan PLTMH Kalaha
39 di desa Embonatana, Kec. Seko, http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/34493/
Kab. Luwu Utara
Pengadaan Barang/Material
41 dan Pembangunan Biogas http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/11180/?multikegiatan=1
Rumah di Kab. Bone
Pengadaan Barang/Material
42 dan Pembangunan Biogas http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/11214/
Rumah di Kab. Jeneponto
Pengadaan Barang/Material
43 dan Pembangunan Biogas http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/11191/?multikegiatan=1
Rumah di Kab. Pinrang
Pengadaan Barang/Material
44 dan Pembangunan Biogas http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/11224/?multikegiatan=1
Rumah di Kab. Sinjai
Pengadaan Barang/Material
45 dan Pembangunan Biogas http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/11223/
Rumah di Kab. Wajo
47 PLTS http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/11146/?multikegiatan=1
Tabel 32 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas ESDM Kabupaten/Kota
2. Dinas Perhubungan
a. Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Selatan
Kebijakan dan kegiatan pada Dinas Perhubungan Kabupaten/Kota yang terkait RPRKD dapat lihat pada Tabel 33.
Tabel 33 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Perhubungan
Pekan Keselamatan
Transportasi Jalan, Lomba/
6 Pemilihan Tingkat Nasional http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/11361/
(Pemilihan Awak Kendaraan
Teladan 2015)
Pemilihan Abdi Yasa 2018/
7 Pelatihan Smart Driving http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/34559/
(eco driving)
Tabel 34 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Perhubungan Kabupaten/Kota
2 ATCS http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/33799/?multikegiatan=1
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/33810/?multikegiatan=1
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/34552/?multikegiatan=1
4 ITS/ATCS http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/31997/?multikegiatan=1
c. Perum DAMRI
Kebijakan dan kegiatan pada Perum DAMRI yang terkait RPRKD dapat lihat pada Tabel 35.
Tabel 35 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Perum DAMRI
1 BRT http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/33801/?multikegiatan=1
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/36666/
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/31996/
Tabel 36 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Lingkungan Hidup
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/11133/
1 Bank Sampah
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/11134/
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/11123/
http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/11125/
24 TPSP 3R http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/11132/?multikegiatan=1
Tabel 37 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota
Tabel 38 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada Dinas Pekerjaan Umum
3. UPT TPA
Kegiatan UPT TPA meliputi UPT TPA Tamangapa yang terkait RPRKD dapat lihat pada Tabel 39.
Tabel 39 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada UPT TPA
Tabel 40 Tautan Kebijakan dan Kegiatan terkait RPRKD pada UPT TPA
Pengelolaan kawasan
konservasi,perairan P3K
1 http://pprk.bappenas.go.id/aksara/dashboard/kegiatan_mitigasi/40170/?multikegiatan=1
dan pemanfaatan ekosistem
perikanan
BAB V
PENUTUP
Konsep pembangunan rendah karbon, telah menjadikan Target penurunan emisi pada setiap sektor di Provinsi Sulawesi
paradigma pembangunan daerah di Provinsi Sulawesi Selatan Selatan dilaksanakan melalui beberapa kegiatan-kegiatan yang
dikembangkan dengan memperhatikan keberlanjutan daya didasarkan pada kebijakan yang dibangun. Kegiatan-kegiatan
dukung lingkungan hidup dan pelaksanaan kaidah pembangunan pembangunan rendah karbon dilakukan melalui platform website
rendah karbon. Permasalahan emisi karbon di Provinsi Sulawesi AKSARA (Aplikasi Perencanaan-Pemantauan Pembangunan
Selatan terkait dengan beberapa sektor dan untuk memahami Rendah Karbon Indonesia). Kegiatan tersebut dilakukan baik
masalah tersebut disusunlah model Rencana Pembangunan sadar maupun tidak sadar menambah kemampuan serap karbon
Rendah Karbon Daerah (RPRKD) Provinsi Sulawesi Selatan dan juga menurunkan emisi dari yang seharusnya terjadi. Kegiatan
melalui pendekatan systems thinking dan system dynamics. Dalam tersebut tergambarkan pada kebiakan setiap sektor, seperti
analisis RPRKD Provinsi Sulawesi Selatan terdapat beberapa sektor lahan meliputi kegiatan rehabilitasi dan penghijauan,
kebijakan sektor yang diperhitungkan sebagai target penurunan pembangunan hutan kota, pembuatan dan pemeliharaan
emisi di Provinsi Sulawesi Selatan diantaranya sektor kehutanan sumber benih unggul, bimbingan teknologi budidaya dan pasca
meliputi moratorium hutan dan rehabilitasi hutan, sektor pertanian panen tanaman buah ramah lingkungan, pengembangan pupuk
meliputi kebijakan cetak sawah perlindungan LP2B dan kebijakan organik cair dan kompos dan pengembangan UPJA peternakan,
peningkatan produktivitas padi, sektor kelautan dan pesisir melalui sektor energi dan transportasi melalui kegiatan penyediaan dan
rehabilitasi mangrove, sektor energi dan transportasi melalui pemanfaatan energi baru terbarukan dan bioenergy, pembangunan
kebijakan kendaraan listrik, kebijakan BRT, kebijakan efisiensi biogas serta pembangunan PLTMH dan PLTS, penerbitan
energi, dan kebijakan penambahan EBT sedangkan sektor izin penyelenggaraan angkutan, peremajaan armada, sektor
sampah dan limbah melalui kebijakan composing, kebijakan 3R sampah dan limbah melalui kegiatan pengelolaan bank sampah,
& bank sampah, kebijakan metan capture, kebijakan penurunan bimbingan teknis pengelolaan sampah, operasionalisasi TPA,
konsumsi, kebijakan kapasitas TPA dan kebijakan WTE. TPS dan TPSP 3R serta pengolahan sampah di setiap kabupaten,
sektor kelautan dan pesisir melalui kegiatan pengelolaan kawasan
konservasi,perairan P3K dan pemanfaatan ekosistem perikanan.
RENCANA PEMBANGUNAN
RENDAH KARBON DAERAH
(RPRKD)
PROVINSI SULAWESI SELATAN