Professional Documents
Culture Documents
Kunci Jawaban Kompre Institut
Kunci Jawaban Kompre Institut
A. Ilmu Kalam..
1. Pengertian dan ruang lingkup keimanan
Kata iman menurut bahasa berarti membenarkan التصديق, sedangkan menurut syara’ adalah
membenarkan dengan hati التصديق بالقلبdalam arti menerima dan tunduk pada apa yang diketahui
bahwa hal tersebut dari agama Nabi Muhammad. Dan ada yang menyatakan lebih tegas lagi bahwa, di
samping membenarkan dalam hati juga menuturkan dengan lisan dan mengerjakan dengan anggota
badan. Kemudian sebagian ulama menyebutkan pula bahwa iman ialah membenarkan rasul tentang
apa yang beliau datangkan dari TuhanNya. Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat diambil
pengertian bahwa iman bukan hanya sekedar tasdiq (membenarkan) dalam hati saja, tetapi diperlukan
juga menerima dan tunduk.
Ruang lingkup Iman berdasarkan :
a. Ilahiyah, pembahasan tentang yang berhubungan dengan Tuhan, seperti wujudAllah, nama-nama
Allah, sifat-sifat Allah, perbuatan-perbuatan Allah dan lain-lainnya.
b. Nubuwah, pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul.
Termasuk pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah, mu’jizat, dan sebagainya.
c. Ruhaniyah, pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik, seperti;
malaikat,jin iblis, setan dan ruh.
d. Sam’iyah, pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui melalui sam’I yakni
dalil-dalil naqli berupa Al-Qur’an dan al-Sunnah.
2. Sumber akidah Islam (Qur’an-hadis dan akal) Hubungan akidah, ibadah dan akhlak
Sumber akidah Islam
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh
Allah dalam Al-Qur’an dan oleh Rosulullah dalam sunahnya wajib diimani, yakni diyakini dan
diamalkan. Akal pikiran bukanlah menjadi sumber aqidah Isalam, tetapi hanya berfungsi memahami
nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut. Itupun harus disadari oleh suatu kesadaran
bahwa kemampuan akal sangat terbatas, sesuai dengan terbatasnya kemampuan semua makhluk Allah
SWT.
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an, merupakan firman Allah SWT, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW secara mutawatir, atau bertahap dalam rentang waktu kurang lebih 23 tahun meliputi periode
Mekkah dan Madinah. Al-Qur’an ini sebagai petunjuk bagi orang-orang yang diberi petunjuk. Al-
Qur’an berlaku umum bagi seluruh ummat manusia dan berlaku sepanjang masa, tanpa bisa digeser
oleh perkembangan zaman. Selain berisi tentang aqidah, Al-Qur’an juga mencakup seluruh aspek
kehidupan, seperti aspek ekonomi, politik, hukum dan budaya, seni, ilmu pengetahuan dan lain-
lain. Serta mencakup seluruh ruang lingkup kehidupan, seperti kehidupan pribadi, keluarga,
bermasyarakat, bernegara dan dunia internasional.
Al Iman Asy Syatibi mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan syariat ini
kepada Rosul-Nya yang di dalamnya terdapat penjelasan atas segala sesuatu yang dibutuhkan
manusia tentang kewajiban dan peribadatan yang dipikulkan diatas pundaknya, termasuk di
dalamnya perkara aqidah. Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum aqidah karena Dia
tahu kebutuhan manusia sebagai seorang hamba yang diciptakan untuk beribadah kepadanya.
Bahkan jika dicermati, akan banyak ditemui banyak ayat dalam Al-Quran yang menjelaskan
tentang aqidah, baik secara tersurat maupun tersirat.oleh karena itu, manjadi hal yang wajib kita
mengetahui dan memahami aqidah yang bersumber dari Al-qur’an karena kitab mulia ini
merupakan penjelasan langsung dari Rabb manusia, yang haq dan tidak pernah sirna ditelan masa.
b. Sunnah
Sunnah merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Entah
itu perbuatan maupun ucapannya. Sama halnya seperti Al-Qur’an, sunnah ini merupakan wahyu
yang datang dari Allah, namun bukan dalam bentuk lafadz dari Nya. Sunnah ini dilakukan oleh
Rosulullah yang didasarkan pada perintah Allah. Seperti dalam firman-Nya dalam QS. An-Najm:3-
4, yang artinya, “dan dia (Muhammad) tidak berkata berdasakan hawa nafsu, ia tidak lain
merupakan wahyu yang diwahyukan. “Allah menjadikan sunnah sebagai sumber hukum dalam
agama. Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya, “ Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rosul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu , maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rosul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa :59).
Firman Allah diatas menunjukkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim untuk
mengambil sumber-sumber hukum aqidah dari As-sunnah dengan pemahaman ulama. Ibnu
Qayyim juga pernah berkata “ Allah memerintahkan untuk mentaati-Nya dan mentaati Rosul-Nya
dengan mengulangi kata kerja (Taatilah) yang menandakan bahwa mentaati Rosul wajib secara
independen tanpa harus mencocokkan terlebih dahulu dengan Al-Qur’an, jika beliau
memerintahkan sesuatu. Hal ini dikarenakan tidak akan pernah ada pertentangan antara Qur’an dan
Sunnah.
c. Ijma’ para ulama
Sumber aqidah yang berasal dari kesepakatan para mujtahid Umat Muhammad SAW
setelah beliau wafat, tentang urusan pada suatu masa. Mereka bukanlah orang-orang yang sekedar
tahu tentang ilmu tetap juga memahami dan mengamalkan ilmu. Berkaitan dengan ijma’, Allah
SWT berfirman dalam QS. An-Nisa: 115
“dan barang siapa menetang Rosul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan dia dalam kesehatan yang
telah dilakukannya itu dan akan masukkan ia kedalam neraka jahannam dan itu seburuk-buruk
tempat kembali”.
Imam Syafi’i menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil pembolehan disunnatkannya
Ijma’, yaitu diambil dari kalimat “jalannya orang-orang beriman” yang berarti Ijma’. Belaiu juga
menambahkan bahwa dalil ini adalah Syar’i yang wajib untuk diikuti karena Allah
menyebutkannya secara bersamaan dengan larangan menyelisihi Rosul.
Di dalam pengambilan Ijma’ terdapat juga beberapa kaidah-kaidah penting yang
tidakboleh ditinggalkan. Ijma’ dalam masalah aqidah harus bersandarkan kepada dalil dari Al-
Qua’an dan As- Sunnah yang shahih karena perkara aqidah adalah perkara tauqifiyah yang tidak
diketahui kecuali dengan jalan wahyu. Sedangkan fungsi Ijma’ adalah menguatkan Al-Qur’an dan
As-sunnah serta menolak kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzani sehingga
menjadi qotha’i.
d. Akal sehat manusia
Selain ketiga sumber diatas, akal juga menjadi sumber hukumaqidah dalam islam. Hal ini
merupakan bukti bahwa islam sangat memuliakan akal sehat serta memberikan haknya sesuai
dengan kedudukannya, dengan cara memberikan batasan dan petunjuk kepada akal agar tidak
terjebak kedalam pemahaman-pemahaman yang tidak benar. Hal ini sesuai dengan sifat akal yang
memiliki keterbatasan dalam memahami suatu ilmu atau peristiwa.
Agama islam tidak membenrakan pengagungan terhadap akal dan tidak pula membenarkan
pelecehan terhadap kemampuan akal manusia, seperti yang biasa dilakukan oleh beberapa
golongan (firqoh) yang menyimpang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “akal
merupakan syarat untuk memahami ilmu dan kesempurnaan beramal dengan keduanyalah ilmu dan
amal menjadi sempurna, hanya saja ia tidak dapat berdiri sendiri, di dalam jiwa ia berfungsi
sebagai sumber kekuatan, sama seperti kekuatan penglihatan pada mata yang jika mendapatkannya
cahaya imam dan Al-Qur’an seperti mendapat cahaya matahari dan api. Tetapi jika berdiri sendiri,
ia tidak akan mampu melihat (hakikat) sesuatu dan jika sama sekali dihilangkan ia akan menjadi
sesuatu yang berunsur kebintangan”.
Eksistensi akal memiliki keterbatasan pada apa yang bisa dicerna tentang perkara-perkara
nyata yang memungkinkan panca indra untuk menangkapnya. Adapun masalah-masalah gaib yang
tidak dapat disentuh oleh panca indra maka tertutup jalan bagi akal untuk sampai pada hakikatnya.
Sesuatu yang abstrak/gaib, seperti Aqidah tidak dapat diketahui oleh akal kecuali mendapatkan
cahaya dan petunjuk wahyu baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Al-Qur’an dan As-
sunnah menjelaskan bagaimana cara memahami dan melakukan masalah tersebut. Salah satu
contohnya adalah akal mungkin tidak bisa menerima surga dan neraka karena tidak bisa diketahui
indera. Akan tetapi melaui penjelasan yang berasal dari Al-Qur’an dan As-sunnah makan akan
dapat diketahui bahwasanya setiap manusia harus mayakininya. Mengenai hal ini ibnu taimiyah
mengatakan bahwa apa yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an, As-sunnah dan Ijma’ yang
menyelisih akal sehat karena sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat adalah batil. Sedangkan
tidak ada kebatilan dalam Al-Qur’an, sunnah, dan Ijma’. Tetapi padanya terdapat kata-kata yang
mungkin sebagian orang tidak memahaminya atau mereka memahaminya dengan makna yang
batil.
e. Fitrah kehidupan
Dalam sebuah hadits Rosulullah SAW bersabda:
“Setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanya lah yang membuat ia
menjadi yahudi, nasrani atau majusi” (HR Muslim)
Dari hadist dapat diketahui bahwa sebenarnya manusia memiliki kecenderungan untuk
menghamba Allah. Akan tetapi bukan berarti bahwa bayi yang lahir telah mengetahui rincian
agama islam. Setiap bayi yang lahir tidak mengetahui apa-apa. Tetapi setiap memiliki fitrah yang
sejalan dengan islam sebelum dinodai oleh penyimpangan-penyimpangan. Bukti mengenai hal ini
adalah fitrah manusia untuk mengakui bahwa mustahil ada dua penciptaan yang memiliki sifat dan
kemampuan yang sama. Bahkan ketika ditimpa musibah pun banyak manusia yang menyeru
kepada Allah seperti dijelaskan dalam firmannya: Qs Al-Israa:67
“dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang biasa kamu seru,
kecuali Dia. Tapi ketika Dia menyelamatkan kamu kedaratan, kamu berpaling dari-Nya. Dan
manusia memang selau ingkar (tidak bersyukur).”
Hubungan akidah, ibadah dan akhlak
Aqidah merupakan suatu keyakinan hidup yang dimiliki oleh manusia.Keyakinan hidup ini
diperlukan manusia sebagai pedoman hidup untuk mengarahkan tujuan hidupnya sebagai mahluk
alam.Pedoman hidup ini dijadikan pula sebagai pondasi dari seluruh bangunan aktifitas manusia
Pondasi aktifitas manusia itu tidak selamanya bisa tetap tegak berdiri, maka dibutuhkan adanya
sarana untuk memelihara pondasi yaitu ibadah. Ibadah merupakan bentuk pengabdian dari seorang
hamba kepada allah. Ibadah dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada allah untuk
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap allah.
Apabila aqidah telah dimiliki dan ibadah telah dijalankan oleh manusia, maka kedua hal
tersebut harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, oleh karena itu diperlukan adanya suatu peraturan
yang mengatur itu semua.Aturan itu disebut Muamalah. Muamalah adalah segala aturan islam yang
mengatur hubungan antar sesama manusia. Muamalah dikatakan berjalan baik apabila telah memiliki
dampak sosial yang baik.
Untuk dapat mewujudkan aqidah yang kuat yaitu dengan cara ibadah yang benar dan juga
muamalah yang baik, maka diperlukan suatu ilmu yang menjelaskan baik dan buruk, menjelaskan
yang seharusnya dilakukan manusia kepada yang lainya, yang disebut dengan akhlak. Dengan akhlak
yang baik seseorang akan bisa memperkuat aqidah dan bisa menjalankan ibadah dengan baik dan
benar. Ibadah yang dijalankan dinilai baik apabila telah sesuai dengan muamalah.Muamalah bisa
dijalankan dengan baik apabila seseorang telah memiliki akhlak yang baik.
Contohnya : Jika berjanji harus ditepati yaitu apabila seorang berjanji maka harus ditepati. Jika
orang menepati janji maka seseorang telah menjalankan aqidahnya dengan baik.Dengan menepati janji
seseorang juga telah melakukan ibadah. Pada dasarnya setiap perbuatan yang dilakukan manusia harus
didasari denga aqidah yang baik, karena setiap hal yang dilakukan pasti ada aturanya .
Hubungan aqidah dengan akhlak
Salah satu fungsi akhlak adalah untuk menopang keimanan.Agar iman seseorang relative stabil,
perlu ditopang oleh pelaksanaan akhlak yang konsisten
Dasar pendidikan akhlak bagi seorang muslim adalah aqidah yang benar terhadap alam dan
kehidupan, Karena akhlak tersarikan dari aqidah dan pancaran dirinya. Oleh karena itu jika seorang
beraqidah dengan benar, niscahya akhlaknya pun akan benar, baik dan lurus. Begitu pula sebaliknya,
jika aqidah salah maka akhlaknya pun akan salah.
Aqidah seseorang akan benar dan lurus jika kepercayaan dan keyakinanya terhadap alam juga
lurus dan benar. Karena barang siapa mengetahui sang pencipta dengan benar, niscahya ia akan dengan
mudah berperilaku baik sebagaimana perintah allah. Sehingga ia tidak mungkin menjauh bahkan
meninggalkan perilaku-perilaku yang telah ditetapkanya.
Pendidikan akhlak yang bersumber dari kaidah yang benar merupakan contoh perilaku yang
harus diikuti oleh manusia. Mereka harus mempraktikanya dalam kehidupan mereka, karena hanya
inilah yang menghantarkan mereka mendapatkan ridha allah dan atau membawa mereka mendapatkan
balasan kebaikan dari allah.
Akhlak merupakan tingkahlaku yang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diyakini oleh seseorang
dan sikap yang menjadi sebahagian daripada keperibadiannya. Nilai-nilai dan sikap itu pula terpancar
daripada konsepsi dan gambarannya terhadap hidup. Dengan perkataan lain, nilai-nilai dan sikap itu
terpancar daripada aqidahnya yaitu gambaran tentang kehidupan yang dipegang dan diyakininya
Aqidah yang benar dan gambaran tentang kehidupan yang tepat dan tidak dipengaruhi oleh
kepalsuan, khurafat dan falsafah-falsafah serta ajaran yang palsu, akan memancarkan nilai-nilai benar
yang murni di dalam hati. Nilai-nilai ini akan mempengaruhi pembentukan sistem akhlak yang mulia.
Sebaliknya, jika aqidah yang dianuti dibina di atas kepalsuan, maka ia akan memancarkan nilai-nilai
buruk di dalam diri dan mempengaruhi pembentukan akhlak yang buruk.
Akhlak yang baik dan akhlak yang buruk, merupakan dua jenis tingkah laku yang berlawanan
dan terpancar daripada dua sistem nilai yang berbeda. Kedua-duanya memberi kesan secara langsung
kepada kualitas individu dan masyarakat. lndividu dan masyarakat yang dikuasai dan dianggotai oleh
nilai-nilai dan akhlak yang baik akan melahirkan individu dan masyarakat yang sejahtera. Begitulah
sebaliknya jika individu dan masyarakat yang dikuasai oleh nilai-nilai dan tingkahlaku yang buruk,
akan porak peranda dan kacau bilau.
Al-Quran juga menggambarkan bagaimana aqidah orang-orang beriman, kelakuan mereka yang
mulia dan gambaran kehidupan mereka yang penuh tertib, adil, luhur dan mulia. Berbanding dengan
perwatakan orang-orang kafir dan munafiq yang jelek. Gambaran mengenai akhlak mulia dan akhlak
tercela begitu jelas dalam perilaku manusia sepanjang sejarah. Al-Quran juga menggambarkan
bagaimana perjuangan para rasul untuk menegakkan nilai-niai mulia dan murni di dalam kehidupan
dan bagaimana mereka ditentang oleh kefasikan, kekufuran dan kemunafikan yang cuba
menggagalkan tertegaknya dengan kukuh akhlak yang mulia sebagai teras kehidupan yang luhur dan
murni itu.
3. Aliran-aliran dalam Teologi Islam
Aliran – aliran Teologi dalam Islam beserta tokohnya :
a. Aliran Khawarij
1) Asal - usul aliran Khawarij
Khawarij merupakan pecahan dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang mulai timbul dan
memisahkan diri setelah terjadi perang Shiffin. Mereka memilih Abdullah bin Wahab Al
Rasidi menjadi imam mereka. Dalam pertempuran dengan Ali, mereka mengalami
kekalahan, tapi akhirnya seorang dari mereka bernama Abd al Rahman bin Muljam dapat
membunuh Ali.
Banyak nama yang diberikan untuk aliran ini, antara lain :
a) Nama khawarij diambil dari kata asal kharaja artinya telah keluar. Maksudnya ialah
orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib karena tidak setuju terhadap
sikapnya yang mau menerima perdamaian dalam penyelesaian sengketa kekhalifahan
dengan Muawiyah bin Abi Sofyan.
b) Dinamakan khawarij, karena mereka keluar dari rumah-rumah mereka dengan maksud
berjihad di jalan Allah.
c) Dinamakan Syurah karena mereka menganggap bahwasannya diri mereka telah mereka
jual kepada Allah. Maksudnya menjual diri mereka untuk menegakkan agama Allah.
d) Dinamakan Haruriyah, karena mereka pergi berlindung ke suatu kota kecil dekat Kufah
yang bernama Harura.
e) Dinamakan Muhakkimah, karena mereka dalam perjuangannya selalu menggunakan
simbol “Lahukma illa lillah”.
Adapun paham dan pokok ajarannya adalah :
a) Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam
b) Yang berhak menjadi khalifah adalah siapa saja yang sanggup, asal beragama Islam.
c) Khalifah yang terpilih akan terus memegang jabatannya selama ia bersikap adil dan
menjalankan syariat Islam.
d) Khalifah Abu Bakar dan Umar diakui sah karena keduanya diangkat dan tidak
menyeleweng dari ajaran Islam.
e) Khalifah Utsman bin Affan dianggap menyeleweng mulai dari tahun ketujuh khilafahnya,
sedang Ali bin Abi Thalib dianggap menyeleweng setelah peristiwa perdamaian dengan
Muawiyah. Dan sejak itu Utsman dan Ali dihukumi kafir, demikian pula Muawiyah serta
semua orang yang telah mereka anggap melanggar ajaran-ajaran Islam.
2) Sekte, Tokoh dan Ajarannya
Khawarij terpecah menjadi beberapa aliran kecil (sekte) dan dipimpin oleh tokoh yang
mereka anut, antara lain:
a) Al Azariqah, tokohnya ialah Nafi’ bin Al Azraq (686 M). Sekte ini merupakan sekte
yang ekstrim, karena pandangannya hanya merekalah yang sebenarnya orang Islam dan
daerah kekuasaannya terletak di perbatasam Irak dengan Iran.
b) An Najaddat, tokohnya ialah Najdah bin Amir. Ajaran sekte ini antara lain:
(1) Orang yang salah setelah melakukan ijtihad dimaafkan
(2) Agama itu meliputi dua hal yaitu mengetahui kepada Allah dan Rasul-Nya.
(3) Orang yang berjihad sampai menghalalkan yang haram atau sebaliknya dimaafkan.
c) Al Ibadiyah, tokohnya bernama Abdullah bin Ibad At Tamimy. Mereka agak
moderat dan toleran terhadap golongan lain. Sebagai contohnya mereka menganggap
bahwa orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka boleh diadakan hubungan
perkawinan dan warisan, syahadatnya dapat diterima, serta haram membunuhnya.
d) Syufriah, tokohnya bernama Ziyad bin Al Asfar. Paham mereka tidak berbeda dengan
golongan Az Zariqah oleh sebab itu merupakan golongan yang ekstrim. Pendapat yang
menjadi ciri khas mereka :
(1) Taqiyah hanya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
(2) Demi untuk keamanan dirinya perempuan Islam boleh kawin dengan laki-laki kafir,
di daerah bukan Islam.
b. Aliran Murji’ah
1) Asal – usul Aliran Murji’ah
Murji’ah berasal dari kata Al Irjaa’ mempunyai dua arti:
a) At Ta’khiir, artinya mengemudiankan, menunda. Pengertian ini menunjukkan bahwa
aliran ini mengemudiankan amal dari niat.
b) I’thoo’ Al Rajaa’, artinya memberi pengharapan. Pengertian ini menunjukkan bahwa
iman itu tidak rusak karena perbuatan dosa, begitu pula perbuatan kafir tidak merusak
dari ketaatan.
c) Pendapat lain nama Murji’ah diambil dari kata Arja’a yang berarti menangguhkan atau
mengakhirkan. Maksudnya mereka menangguhkan persoalan golongan-golongan umat
Islam yang berselisih dan yang telah banyak mengalirkan darah sampai hari pembalasan
nanti dan mereka tidak menentukan hukumnya bagi setiap yang berselisih.
2) Paham dan pokok ajarannya.
Setelah terjadi perdamaian antara Ali dan Muawiyah, muncul golongan yang tidak
mau campur tangan terhadap persoalan tersebut, merekalah yang disebut aliran Murji’ah. Dan
setelah menjadi aliran politik mulai membicarakan persoalan-persoalan ketuhanan.
Pembahasan yang terpenting adalah mengenai pembatasan iman, kufur, dan mukmin.
Murji’ah menganggap bahwa iman itu adalah mengenal kepada Allah dan utusannya,
dan siapa yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu
rasul Allah maka dia termasuk orang mukmin. Barang siapa percaya kepada Tuhan dan
utsanNya, tetapi ia meninggalkan kewajiban agama dan menjalankan dosa besar menurut
mereka orang semacam ini tetap mukmin tetapi menurut Khawarij adalah kafir. Murji’ah
tidak mengartikan iman kecuali hanya kepercayaan dalam hati saja terhadap Allah dan
utusanNya, adapun amal lahiriyah tidak termasuk iman. Pandangan ini sesuai dengan
pandangan mereka dalam politik, mereka tidak mengkafirkan golongan Umawy, Syi’ah
ataupun Khawarij sebab iman menurut mereka dalam hati, dan tidak dapat mengetahuinya
kecuali Allah.
3) Sekte, tokoh dan ajarannya.
a) Yunusiah, tokohnya adalah Yunus bin Aun Annamiri yang berpendapat bahwa iman
ialah mengetahui Allah, tunduk, patuh, dan meninggalkan sifat-sifat kesombongan dan
cinta dalam hati. Barangsiapa yang melakukan maksiat tidak merusak iman seseorang.
b) As Sahiliyah, tokohnya ialah Abu Hasan As Sahili. Pendapatnya bahwa iman ialah
mengetahui Tuhan dan kufur ialah tidak mengetahui Tuhan. Yang disebut ibadah
hanyalah iman.
c) Al Ubaidiyah, tokohnya ialah Ubaid Al Maktaab. Pendapatnya diantaranya selain
syirik diampuni, jika seorang mati dalam iman dosa-dosa dan perbuatan jahat yang
dikerjakan tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan.
d) Al Ghasaniyah, tokohnya ialah Ghasan Al Kufi. Ia berpendapat bahwa amal tidak
sepenting iman yang mengakibatkan pada pengertian bahwa hanya imanlah yang penting
dan yang menentukan mukmin dan tidaknya seseorang.
e) Assaubaniyah, tokohnya ialah Abu Syauban Al Murjii. Pendapatnya bahwa iman
adalah mengetahui Allah dan RasulNya yang masuk akal boleh diperbuat dan yang tidak
masuk akal boleh ditinggalkan karena bukan dari iman. Artinya iman ialah sesuai dengan
akal dan amal tidak campur tangan dengan iman.
f) At Tumaniyah, tokohnya ialah Abu Muaz At Tumani. Ia berpendapat bahwa iman
ialah membenarkan dengan hati dan lidah dan kafir ialah tidak tahu kepada Tuhan.
c. Aliran Syi’ah
1) Asal-usul aliran Syi’ah
Kata Syi’ah menurut Ibnu Khaldun berarti As shahbu wal Ittibaa’u yang artinya
pengikut atau partai. Menurut istilah Syi’ah adalah suatu golongan umat Islam yang
memberikan kedudukan istimewa kepada keturunan Nabi Muhammad SAW dan
menempatkan Ali bin Abi Thalib pada derajat yang lebih utama daripada sahabat Nabi yang
lain, mereka mencintai Ali dan keturunannya dengan sepenuh hati dan disertai sikap dan
tindakan yang nyata.
2) Paham dan pokok ajarannya
Adapun pokok-pokok ajarannya sebagai berikut:
a) Yang menuntut agar hak untuk menjabat khalifah baik dalam urusan keagamaan ataupun
urusan kenegaraan harus menjadi hak waris bagi keluarga Nabi (Ali bin Abi Thalib dan
anak cucunya).
b) Syahnya imam atau khalifah hanya apabila mendapat nash atau diangkat oleh Nabi
sendiri dan kemudian oleh imam-imam sesudah beliau secara berurutan.
c) Bahwa tiap-tiap imam yang telah diangkat oleh imam sebelumnya itu adalah makshum
artinya terpelihara dari dosa sejak dilahirkannya.
3) Sekte, tokoh dan ajarannya
a) Al Imamiyah atau Al Isna Asyariyah atau Rafidhah. Pokok-pokok ajarannya :
(1) Bahwa Ali bin Abi Thalib satu-satunya khalifah yang sah sesudah Nabi.
(2) Mereka mengajarkan ajarannya “dua belas imam” yang berurutan satu sama lain dari
keturunan Ali dengan Fathimah.
(3) Mereka mengajarkan adanya kemakshuman, kemahdiyan, dan akan datangnya imam
yang terakhir dan taqiyah.
b) Zaidiyah, tokohnya ialah Zaid bin Ali. Dia mengajarkan bahwa:
(1) Imam-imam itu terbatas hanya dari anak cucu Ali dengan Fathimah.
(2) Kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman dianggap sah namun kurang utama.
c) Ismailliyah, tokohnya ialah Ismail bin Ja’far Ash Shadiq. Ia diriwayatkan suka
minum khamar, sehingga sebagian penganutnya menggugurkan keimamannya dan
beralih beriman kepada adik Ismail, yaitu Musa Al Kodhim. Golongan ini membatasi
imam-imam hingga yang ketujuh saja. Golongan ini termasuk aliran yang ekstrim yang
ajarannya banyak yang melampaui batas.
d) Gholliyah (Ghullat), dipimpin oleh Abdullah bin Sabak, seorang yang semula
beragama Yahudi. Golongan ini juga dikenal ekstrim.
d. Aliran Qadariah dan Jabariah
Disebabkan karena Tuhan bersifat Maha Kuasa dan mempunyai kehendak yang mutlak
maka timbullah pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan, bergantung kepada
kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Diberi Tuhankah
manusia kemerdekaan dalam mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada
kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?
Maka terdapat dua perbedaan pendapat. Yang pertama, kaum Qadariah berpendapat bahwa
manusia mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan perjalanan hidupnya dengan
demikian nama Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia
terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Yang kedua, kaum Jabariah berpendapat bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham
ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Jadi, nama Jabariah berasal dari kata jabara yang berarti
memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya
dalam keadaan terpaksa.
Paham Qadariah pertama kali dipelopori oleh Ma’bad al Juhani dan Ghailan al
Dimasyqi. Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatannya, manusia sendirilah yang
melakukan perbuatan baik maupun jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
Paham Jabariah dipelopori oleh Al Ja’d Ibn Dirham, tetapi yang menyiarkannya
adalah Jahm Ibn Safwan. Menurut Jahm, manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-
apa, tidak mempunyai daya, tidak mempunya kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan,
manusia dalam melakukan perbuatannya hanya dipaksa. Tuhanlah yang menciptakan perbuatan
dalam diri manusia.
Tokoh Jabariah yang lain yaitu Al Husain Ibn Muhammad Al Najjar yang bersifat
lebih moderat. Menurutnya, Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, tetapi manusia
mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan itu. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia
mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Paham yang sama diberikan oleh Dirar Ibn
‘Amr.
e. Aliran Mu’tazilah
1) Asal-usul Mu’tazilah
a) Dinamakan Mu’tazilah sebab Wasil dan Amru memisahkan diri dari halaqah Hasan Basri,
karena adanya perbedaan pendapat antara Wasil dan Amru dengan Hasan Basri tentang
hukum orang Islam yang berbuat dosa besar. Menurut Wasil dan Amru, orang Islam yang
berbuat dosa besar itu bukan mukmin bukan pula kafir, tetapi dia berada diantara
keduanya, yaitu fasiq.
b) Dinamakan Mu’tazilah sebab mereka melepaskan diri dari pendapat ulama’ atau aliran
terdahulu yaitu mengenai hukum orang Islam yang berbuat dosa besar.
c) Dinamakan Mu’tazilah sebab menurut anggapan mereka, orang Islam yang berbuat dosa
besar itu menjauhkan diri (I’tizal) dari golongan mukmin dan kafir.
2) Paham dan pokok ajarannya
Mu’tazilah menganut paham lima pokok ajaran dasar yang harus dipegang yaitu:
a) Tauhid (keesaan), yaitu ajaran monotheisme yang murni dan mutlak adalah dasar Islam
yang pertama dan utama.
b) Adil (keadilan Allah), yaitu dasar keadilan yang dipegang aliran Mu’tazilah ialah
meletakkan pertanggungan jawab manusia atas segala perbuatannya. Aliran ini telah
mengemukakan teorinya tentang assilah wa aslah (baik dan terbaik) dan teorinya tentang
hasan dan qobih (baik dan buruk).
c) Wa’ad dan Wa’id (janji dan ancaman), yaitu aliran Mu’tazilah meyakini bahwa janji Allah
akan memberi pahala dan ancaman siksa kepada mereka yang melakukan perbuatan pasti
dilaksanakanNya.
d) Manzilatu Bainal Manzilatain (diantara dua tempat), yaitu orang Islam yang berbuat dosa
besar selain syirik itu bukan mukmin bukan pula kafir, tetapi dia berada diantara keduanya,
yaitu fasiq.
e) Amar Ma’ruf Nahi Munkar (memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan).
3) Tokoh-tokoh Mu’tazilah
a) Abu Huzaifah Wasil bin Ata’ Al Ghazali (669-748 M)
b) Abu Huzail Al Allaf (753-840 M)
c) Ibrahim bin Sayyar An Nazzan (845 M)
d) Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al Jubba’i (849-917 M)
f. Aliran Ahlussunnah Wal Jama’ah
Banyak kalangan yang menentang aliran Mu’tazilah, terutama di kalangan rakyat biasa
yang tidak dapat menyelami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional itu. Rakyat biasa,
dengan pemikiran yang sederhana, ingin ajaran yang sederhana pula. Kaum Mu’tazilah dalam
sejarah memang merupakan golongan minoritas, dan dikenal sebagai golongan yang tidak kuat
berpegang pada hadits.
Mungkin inilah yang menimbulkan term ahli sunnah dan jama’ah, yaitu golongan yang
berpegang teguh pada sunnah dan merupakan golongan mayoritas. Yang dimaksud dengan ahli
sunnah wal jama’ah dalam ilmu kalam adalah aliran Asy’ariah dan Maturidiah yang menentang
ajaran-ajaran Mu’tazilah.
1) Aliran Asy’ariah
a) Al Asy’ari dan karyanya
Al Asy’ari (873-935 M) pernah menjadi pengikut setia aliran Mu’tazilah selama
40 tahun, tetapi akhirnya ia keluar disebabkan karena perbedaan pendapat dengan
gurunya, Al Jubbai. Kemudian Al Asy’ari mendirikan aliran baru yang disebut aliran
Asy’ariah yang dalam perluasannya diidentikkan dengan sebutan aliran ahlussunnah wal
jama’ah. Di antara karya-karyanya: Maqaalat al Islaamiyyin, Al Ibanah ‘an Ushul al
Diniyah dan Al Luma’ fi al rad ala ahla ziagh wa al bid’a
b) Ajaran-ajaran Al Asy’ariah
(1) Tentang wahyu Tuhan yang disebut Kalam Allah. Kalam Allah yaitu lafal-lafal yang
diturunkan Tuhan melalui malaikat Jibril kemudian disampaikan kepada Nabi
Muhammad, adalah dalalah dari kalam yang sifatnya azali. Dalalah yang disebutkan
itu adalah makhluk (diciptakan), yang madlul bersifat qadim dan azali.
(2) Pengakuan adanya sifat-sifat Tuhan. Menurut Al Asy’ari sifat-sifat Tuhan itu tidak
sama dengan Zat Tuhan, keduanya qadim. Jadi, Tuhan mempunyai Zat, sifat dan
perbuatan.
(3) Melihat Tuhan di akhirat. Manusia dapat melihat Tuhan di akhirat karena Tuhan itu
maujud, setiap yang maujud memungkinkan untuk padat dilihat.
(4) Dosa besar. Orang Islam yang melakukan dosa besar, ia tetap mukmin ‘ashi atau
fasiq, apabila ia meninggal dunia sebelum bertaubat maka ia terserah kepada Tuhan
atas pelanggarannya itu, apakah Tuhan akan menyiksa atau mengampuninya.
Walaupun ia masuk neraka, tetapi akhirnya dimasukkan ke dalam surga juga.
(5) Imamah atau kepala pemerintahan ditetapkan berdasarkan musyawarah untuk
mendapatkan mufakat dan dengan pemilihan.
c) Tokoh-tokoh aliran Asy’ariah
(1) Al Baqillani
(2) Al Juwaini
(3) Al Ghazali
(4) As Sanusi
2) Aliran Maturidiyah
a) Al Maturidi dan karyanya
Al Maturidi (944 M) adalah pengikut Abu Hanifah. Sistem pemikiran theologinya
masuk dalam golongan theologi ahlussunah waljama’ah dan dikenal dengan nama Al
Maturidiyah. Diantara karyanya adalah sebagai berikut: Kitab Ta’wilat Al Qur’an atau
Ta’wilat As Sunah, Kitab Al Jadal, Kitab Maqalat, Kitab At Tauhid, dan Kitab Ushul
b) Ajaran-ajaran Al Maturidiyah
Perlu diketahui bahwa aliran Maturidiah terbagi menjadi dua golongan yaitu
golongan Samarkand yang merupakan pengikut Al Maturidi sendiri dan golongan
Bukhara yang merupakan pengikut Al Bazdawi (murid Al Maturidi). Ajaran-ajaran Al
Maturidi:
(1) Peranan akal dan wahyu, menurutnya meskipun kewajiban mengetahui Tuhan dapat
diketahui dengan akal, tetapi kewajiban itu sendiri datangnya dari Tuhan.
(2) Sifat-sifat Allah, Aliran Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-
sifat.
(3) Al Qur’an, menurut Al Maturidi bahwa Al Qur’an itu sifat Tuhan, ia tidak
diciptakan, tetapi bersifat qadim.
(4) Anthropomorphisme, Al maturidi tidak menyetujui paham tashbih dan tajsim bagi
Tuhan. Adapun kata-kata tangan, wajah, mata, yang diidhofahkan pada Tuhan dalam
Al Qur’an harus dita’wilkan.
(5) Melihat Tuhan di akhirat, Al Maturidi sependapat dengan paham Al Asy’ari bahwa
Tuhan akan dapat dilihat oleh manusia di akhirat.
c) Tokoh aliran Maturidiyah
Salah satu tokoh yang penting yaitu Al Bazdawi (421-493 H). Ia berhasil
mengarang beberapa kitab penting yaitu Ushul Al Din, Al Waaqi’aat dan Al Mabsuth.
4. Perbandingan antar aliran dalam akidah Islam
1) Wahyu dan akal
Kaum Mu'tazilah berpendapat semua persoalan di atas dapat diketahui oleh akal manusia
dengan perantara akal yang sehat dan cerdas seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula
mengetahui yang baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur
kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik.
Berbeda dengan Mu'tazilah, kaum asy’ariyah berpendapat akal memang dapat mengetahui
adanya Tuhan. Tetapi akal tidak dapat mengetahui cara berterima kasih kepada Tuhan. Untuk
mengetahui hal-hal tersebut diperlukan wahyu. Melalui wahyu manusia bisa mengetahuinya. Tanpa
wahyu, manusia tidak akan tahu.
Golongan maturidiyah samarkan berpendapat, akal dapat mengetahui adanya Tuhan
kewajiban dan berterima kasih kepada Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Tetapi akal tidak
dapat mengetahui bagaimana kewajiban berbuat baik dan meninggalkan buruk, karena itu wahyu
sangatlah diperlukan untuk menjelaskannya.
Golongan maturidiyah bukhara sependapat dengan kaum asy’ariyah
2) Pelaku dosa besar
a) Menurut aliran Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ektrimitas dalam memutuskan
persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula
tentang status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam
peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu'awiyah, amr bin al-ash, Abu Musa al-asy’ari adalah kafir,
berdasarkan firman Allah pada surat al-Maidah ayat 44:
Artinya:“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabiiah), menurut semua sub sekte khwarij,
kecuali najdah adalah kafir dan akan disiksa dineraka selamanya. Sub sekte yang sangat
ekstrim, azariqah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir, yaitu musyrik.
Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dengan
barisan mereka. Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status
keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan berarti ia telah keluar dari Islam, mereka
kekal dineraka bersama orang-orang kafir lainnya.
b) Menurut aliran Murji’ah
Pandangan aliran murji’ah tentang setatus pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari
definisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Secara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan
sub sekte Khawarij dapat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat.
Harun nasution berpendapat bahwa sub sekte murji’ah yang ekstrim dan mereka yang
berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak
selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala
ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah
menggeser atau merusak keimanannya. Bahkan keimanannya masih sempurna dimata Tuhan.
Adapun murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah
menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada ukuran
dosar yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni
dosanya sehingga ia bebas dari siksa neraca.
c) Menurut aliran Mu'tazilah
Perbedaannya, bila khwarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan murji’ah memelihara
keimanan pelaku dosa besar, Mu'tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi
pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat
terkenal, yaitu al-manzilah baial manzilataini.
Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu'tazilah, berada diposisi tengah diantara posisi
mukmin dan kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan
dimasukkan ke dalam nerak selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya
lebih ringan dari pada siksaan orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh
Mu'tazilah, seperti wastul bin atha’ dan amr bin ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah
fasik yang bukan mukmin atau kafir.
d) Aliran Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, sebagai wakil ahl-as-Sunah, tidak
mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun melakukan dosa
besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang
beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika
dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak
meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan
tidak sempat bertaubat, maka menurut al-asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan
Yang Maha Esa berkehendak mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa asy’ariyah
sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan murji’ah, khususnya dalam pernyataan
yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.
e) Aliran Maturidiyah
Aliran maturidiyah, baik samarkand maupun bukhara, sepakat menyatakan bahwa
pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. adapun
balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia.
jika ia meninggal tanpa tobat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada
kehendak Allah SWT. jika menghendaki pelaku dosa besar diampuni, ia akan memasukkan ke
neraca, tetapi tidak kekal didalamnya.
f) Aliran Syi’ah Zadiyah
Penganut Syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal
di dalam neraca, jika ia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah
zaidiyah memang dekat dengan Mu'tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat washil
bin atha’, mempunyai hubungan dengan zaid moojan momen bahkan mengatakan bahwa zaid
pernah belajar kepada washil bin atho’
3) Sifat-sifat Tuhan
a) Menurut aliran Mu'tazilah
Pertentangan paham antara kaum Mu'tazilah dan kaum asy’ariyah dalam masalah ini
berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai
sifat-sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan zat Tuhan. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat
akan membawa kepada paham banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’ atau poltiplicity of
eternals). Dan ini selanjutnya membawa pula kepada paham syirik atau polyteisme. Suatu hal
yang tak dapat diterima dalam teologi.
Sebagian telah dilihat dalam bagian 1, kaum Mu'tazilah mencoba menyelesaikan
persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Ini berarti bahwa
Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuatan dan sebagainya. Tuhan
tetap mengetahui dan sebagainya bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya. Arti “Tuhan
mengetahui dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.
b) Menurut Aliran Asy’ariyah
Kaum asy’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan Mu'tazilah mereka
dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat.
Menurut aliran asy’ariyah sendiri tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat,
karena perbuatan-perbuatan nya, di samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan
sebagainya, juga menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
c) Aliran Maturidiyah
Dapat ditemukan persamaan antara al-maturidi dan al-asy’ari, seperti di dalam
pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama’, basher dan sebagainya. walaupun
begitu pengertian al-maturidi tentang sifat berbeda dengan al-asy’ari. Menurut al-maturidi
sifat tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu
mulazamah (ada bersama, baca: inheren) dzat tanpa pemisah.
Tampaknya paham al-maturidi, tentang makna sifat cenderung mendekati paham
Mu'tazilah. Perbedaannya al-maturidi mengaku adanya sifat-sifat sedangkan al-Mu'tazilah
menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
d) Aliran Syi’ah Rafidhah
Sebagian besar tokoh Syi’ah rafidhah menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu,
namun adapula sebagian dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak bersifat tahun terhadap
sesuatu sebelum ia menghendaki. Tatkala ia menghendaki sesuatu, ia pun bersifat tahu, jika
dia tidak menghendaki, dia tidak bersifat tahu, maka Allah berkehendak menurut merek
adalah bahwa Allah mengeluarkan gerakan (taharraka harkah), ketika gerakan itu muncul, ia
bersifat tahu terhadap sesuatu itu. Mereka berpendapat pula bahwa Allah tidak bersifat tahu
terhadap sesuatu yang tidak ada.4
4) Iman dan kufur
a) Aliran Khawarij
Khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya, yaitu dosa besar agar dengan
demikian orang Islam yang tidak sejalan dengan pendiriannya dapat diperangi dan dapat
dirampas harta bendanya dengan dalih mereka berdosa dan setiap yang berdosa adalah kafir.
Mengkafirkan Ali, Utsman, 2 orang hakam, orang-orang yang terlibat dalam perang jamal dan
orang-orang yang rela terhadap tahkim dan mengkafirkan orang-orang yang berdosa besar dan
wajib berontak terhadap penguasa yang menyeleweng.
Dan iman menurut kwaharij, iman bukanlah tasdiq. Dan iman dalam arti mengetahui
pun belumlah cukup. Menurut Abd. Al-jabbar, orang yang tahu Tuhan tetapi melawan
kepada-nya, bukanlah orang yang mukmin, dengan demikian iman bagi mereka bukanlah
tasdiq, bukan pula ma’rifah tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan
tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan
b) Aliran Murji’ah
Menurut sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa
keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang
yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya,
bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Sementara yang dimaksud murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa
pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal
didalamnya bergantung pada dosa yang dilakukannya. 7
c) Aliran Mu'tazilah
Iman adalah tashdiq di dalam hati, iktar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan
konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan
seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut pula olah Khawarij.8
d) Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh syahrastani, iman secara esensial adalah tasdiq bil
al janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qaul dengan lesan dan melakukan berbagai
kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’ (cabang-cabang) iman. Oleh sebab
itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya dan juga membenarkan
utusan-utusan nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya, iman secara ini merupakan sahih.
Dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu dari hal-hal
tersebut.
e) Maturidiyah
Iman adalah tasdid dalam hati dan diikrarkan dengan lidah, dengan kata lain,
seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan kebenaran Allah dan
mengikrarkan kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan iman
dengan amal perbuatan manusia. yang penting tasdid dan ikrar.
5) Perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
a) Aliran Jabariyah
Menurut aliran ini, manusia tidak berkuasa atas perbuatannya yang menentukan
perbuatan manusia itu adalah Tuhan, karena itu manusia tidak berdaya sama sekali untuk
mewujudkan perbuatannya baik atau buruk.
Diumpamakan manusia seperti wayang yang tidak berdaya, bagaimana dan kemana ia
bergerak terserah dalang yang memainkan wayang itu. Dalang manusia adalah Tuhan, ini
dianggap paham Jabariyah yang dianggap moderat, perbuatan manusia tidak sepenuhnya
ditentukan untuk Tuhan, tetapi manusia punya andil juga dalam dalam mewujudkan
perbuatannya.
b) Aliran Qadariyah
Manusia mempunyai iradat (kemampuan berkehendak atau memilih) dan qudrah
(kemampuan untuk berbuat). Menurut paham ini Allah SWT membekali manusia sejak
lahirnya dengan qudrat dan iradat, suatu kemampuan untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan
tersebut.
c) Aliran Mu'tazilah
Paham ini dalam masalah af’al ibadah seirama dengan paham Qadariyah untuk
perbuatan-perbuatan Tuhan, mereka berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-
kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban yaitu kewajiban berbuat baik dan
terbaik bagi manusia seperti kewajiban Tuhan menepati janji-janji-Nya. Kewajiban Tuhan
mengirim Rasul-rasul-Nya untuk petunjuk kepada manusia dan lain-lain.11
d) Aliran Asy’ariyah
Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan qodrat dan iradat Tuhan,
Abu Hasan Ali Bin Ismail al-Asy’ari menggunakan paham kasb yang dimaksud dengan al-
Kasb adalah berbarengan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Artinya apabila
seseorang ingin melakukan suatu perbuatan, perbuatan itu baru terlaksana jika sesuai dengan
kehendak Tuhan.
e) Aliran Maturidiyah
Menurut golongan maturidiyah, kemauan sebenarnya adalah kemauan Tuhan namun
tidak selamanya perbuatan manusia dilakukan atas kerelaan Tuhan karena Tuhan tidak
menyukai perbuatan-perbuatan buruk. Jadi di dalam aliran maturidiyah ada 2 unsur: kehendak
dan kerelaan.
6) Kehendak muthlak dan keadilan Tuhan
a) Aliran Mu'tazilah
Mu'tazilah yang berperinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan
tidak mungkin bebuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian
mengharuskan hamba-Nya untuk menanggung akibat perbuatannya, secara lebih jelas aliran
Mu'tazilah mengatakan bahwa kekuasaan sebenarnya tidak mutlak lagi. Itulah sebabnya
Mu'tazilah menggunakan ayat 62 surat Al-Ahzab (33)
Artinya: “Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu
sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah.”
b) Aliran Asy’ariyah
Mereka percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan
Tuhan tidak mempunyai tujuan, yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata
adalah kekuasan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau
tujuan yang lain.
Landasan surat al-Buruj ayat 16
Artinya: “Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.”
c) Aliran Maturidiyah
Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah samarkand, dibatasi oleh keadilan
Tuhan, Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak
mampu untuk berbuat serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban hanya terhadap manusia.
pendapat ini lebih dekat dengan Mu'tazilah.
Adapun maturidiyah bukharak berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan
mutlak, Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya tidak
ada yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Tampaknya
aliran maturidiyah bukhara lebih dekat dengan asy’ariyah.
B. Ilmu Fiqh
1. Pengertian istilah (syariah, fiqh dan hukum Islam) Sumber hukum Islam (al-Qur’an, hadits dan ijthad)
a. Pengertian Syariah
Secara etimologis syariah berarti “jalan yang harus diikuti.” Kata syariah muncul dalam
beberapa ayat Al-Qur’an, seperti dalm surah Al-Maidah:48, asy-Syura: 13, yang mengandung arti
“ jalan yang jelas yang membawa kepada kemenangan.”(Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqih. Hal. 1). Dalam hal ini agama yang ditetapkan oleh Allah disebut syariah, dalam artian
lughawi karena umart isla selalu melaluinya dalam kehidupannya.
Menurut para ahli, syariah secara terminologi adalah “segala titah Allah yang
berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang mengenai akhlak”. Dengan demikian
syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah. Karena memang syariah itu
adalah hukum amaliah yang berbeda menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap
yang dating kemudian mengoreksi yang dating lebih dahulu. Sedangkan dasar agama yaitu
tauhid/aqidah tidak berbeda antara Rasul yang satu dengan yang lain. Sebagian ulama ada yang
mengartikan syariah itu dengan: “ Apa-apa yang bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan
perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada hal yang halal dan haram.” Lebih dalam
lagi Syaltut mengartikan syariah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah
bagi hamba-hambaNya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan
manusia. Dr.Farouk Abu Zeid menjelaskan bahwa syariah itu adalah apa-apa yang ditetapkan
Allah melalui lisan Nabi-Nya. Allah adalah pembuat huku yang menyangkut kehidupan agama
dan kehidupan dunia.
b. Pengertian Fiqh
Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan
potensi akal. Sedangkan secara terminologi fiqh merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu
pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang
telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci. Sedangkan menurut
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin mengatakan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’I yang
bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dengan dalil-dalil yang tafsili.
Penggunaan kata “syariah” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqh itu
menyangkut ketentuan yang bersifat syar’I, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Kata
“amaliah” yang terdapat dalam definisi diatas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut
tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian hal-hal yang bersifat bukan
amaliah seperti masalah keimanan atau “aqidah” tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam
uraian ini. penggunaan kata “digali dan ditemukan” mengandung arti bahwa fiqh itu adalah hasil
penggalian, penemuan, penganalisisan, dan penentuan ketetapan tentang hukum. Fiqh itu adalah
hasil penemuan mujtahid dalam hal yang tdak dijelaskan oleh nash.
Dari penjelasan diata dapat kita tarik benang merah, bahwa fiqh dan syariah memiliki
hubungan yang erat. Semua tindakan manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik itu
harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak Allah dan Rasul itu sebagian
terdapat secara tertulis dalam kitab-Nya yang disebut syari’ah. Untuk mengetahui semua
kehendak-Nya tentang amaliah manusia itu, harus ada pemahaman yang mendalam tentang
syari’ah, sehingga amaliah syari’ah dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi apapun dan
bagaimanapun. Hasilnya itu dituangkan dalam ketentuan yang terinci. Ketentuan yang terinci
tentang amaliah manusia mukalaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman
terhadap syari’ah itu disebut fiqh.
c. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam merupakan rangkaian kata “hukum” dan “islam”. Secara terpisah hukum
dapat diartikan sebagai seperangkat perturan tentang tingkah laku manusia yang diakui
sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku
dan mengikat seluruh anggotanya. Bila kata “hukum” di gabungkan dengan kata “islam”, maka
hukum islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah rasul tentang
tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang
beragama islam.
Bila artian sederhana tentang hukum islam itu dihubungkan dengan pengertian fiqh, maka
dapat dikatakan bahwa yang dimaksud hukum islam itu adalah yang bernama fiqh dalam literatur
islam yang berbahasa arab.
Sumber hukum islam adalah sesuatu yang menimbulkan suatu aturan yang mengikat dan
menjadi sumber rujukan apabila mendapati suatu hambatan dalam memecahkan masalah bagi umat
islam. Sumber hukum islam terdapat tiga hal yaitu, Al-Qur'an, Hadits, dan Ijtihad. Al-Qur’an
merupakan sumber utama dalam hukum Islam. Dengan demikian, segala ketentuan hukum harus
merujuk pada kitab suci tersebut. Untuk mengetahui tuntunan salat misalnya, kita terlebih dahulu perlu
mengacu penjelasan dalam Al-Qur’an. Di sana banyak ayat yang menyatakan, ”tunaikanlah salat”.
Untuk memahami lebih lanjut, kita perlu mencari penjelasan dalam hadis. Selanjutnya, kita perlu
menentukan hukumnya dengan menggunakan bantuan ilmu fikih sehingga diketahui salat itu
hukumnya harus dikerjakan (wajib), diperbolehkan (mubah), dianjurkan (sunah) atau hukum-hukum
yang lain.
Untuk lebih jelasnya mari kita simak bersama penjelasan di bawah ini:
a. Al-Qur'an Sebagai Sumber Hukum Islam Pertama
Al-Qur’an merupakan kitab suci sekaligus menjadi sumber utama dalam penetapan hukum.
Dengan demikian, semua ketentuan hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan aturan-
aturan yang termuat dalam Al-Qur’an.
1) Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui
perantara Malaikat Jibril. Kitab ini diturunkan secara berangsur-angsur sebagai petunjuk dan
pedoman bagi seluruh umat manusia. Ketentuan ini sebagaimana dijelaskan pada ayat berikut.
Artinya: Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-
Nya (Muhammad) agar dia menjadi pemberi peringatan bagi seluruh alam (jin dan manusia).
(Q.S. al-Furqan [25]: 1)
Al-Qur’an juga merupakan kitab suci Allah yang terakhir. Setelah kitab suci Al-
Qur’an tidak ada kitab suci lain yang boleh dijadikan sebagai pedoman hidup. Dalam Al-
Qur’an memuat tiga pembahasan pokok, yaitu akidah (keimanan), ibadah mahdah, dan
muamalah.
2) Kedudukan Al-Qur’an
Al-Qur’an memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia,
misalnya sebagai berikut.
a) Wahyu Allah Swt.
Segala ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an murni merupakan firman dari
Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril. Oleh
karena merupakan firman Allah, Al-Qur’an memiliki kedudukan yang utama dan harus
dijadikan pijakan manusia dalam menjalani hidup.
b) Pedoman Hidup
Sebagai kitab suci, Al-Qur’an harus menjadi pedoman hidup manusia untuk
meraih keselamatan dan kebahagiaan. Orang yang berpedoman pada Al-Qur’an termasuk
golongan orang yang bertakwa dan akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
c) Mukjizat Nabi Muhammad saw.
Oleh karena kedudukannya sebagai mukjizat Nabi Muhammad, Al-Qur’an
memiliki keistimewaan yang tiada banding. Contohnya kitab suci ini merupakan wahyu
Allah yang paling sempurna dan menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya. Seluruh isi
Al-Qur’an menunjukkan kebenaran. Dengan keistimewaan ini, Al-Qur’an harus menjadi
pedoman manusia dari sejak diturunkan hingga akhir zaman.
3) Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam
Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber hukum agama berarti
menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pokok dan dalil pertama untuk menentukan suatu
hukum. Dengan demikian, jika terjadi suatu masalah atau persoalan, rujukan pertama adalah
pada aturan Al-Qur’an. Kedudukan Al-Qur’an sangat utama dalam hukum Islam karena
langsung diturunkan dari Allah Swt. Oleh karena itu, di dalamnya memuat jawaban segala
persoalan, baik yang menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah (hablun minallah)
maupun antarsesama manusia (hablun minannas). Di dalamnya juga memuat informasi
tentang alam gaib, seperti akhirat, surga, dan neraka.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang sangat lengkap. Dalam beberapa hal
seperti warisan, pembahasan diuraikan secara terperinci. Dalam hal lain Al-Qur’an hanya
memberi penjelasan secara global. Oleh karena itu, perlu penjelasan pendukung, yaitu dengan
hadis Rasulullah saw. (Satria Effendi dan M. Zein. 2005. Halaman 92)
b. Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
Hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan taqrir yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad. Sebagai seorang rasul, Nabi Muhammad saw. adalah teladan bagi setiap muslim
sehingga semua perintah dan ajarannya harus kita ikuti. Mengikuti Rasulullah juga merupakan
kewajiban bagi setiap muslim karena salah satu bukti ketakwaan kita kepada Allah adalah mau
mengikuti perintah Rasulullah saw. Dengan demikian, kedudukan hadis bagi umat Islam juga
sangat penting.
1) Derajat / Tingkatan-Tingkatan Hadis
Dalam ilmu hadis, hadis dibagi menjadi beberapa macam. Sebagai pengenalan, kita
akan membahas bentuk hadis berdasarkan nilainya. Jika hadis dilihat dari segi nilainya dapat
dibedakan menjadi hadis sahih, hasan, dan da’if.
a) Hadis Sahih
Disebut hadis sahih jika memenuhi syarat; sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh
rawi yang adil, dan matannya tidak mengandung kejanggalan-kejanggalan.
b) Hadis Hasan
Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung dan diriwayatkan oleh rawi yang
adil, tetapi tidak sempurna, meskipun matannya tidak mengandung kejanggalan.
c) Hadis Da‘if
Hadis da’if derajatnya paling rendah, di bawah sahih dan hasan. Suatu hadis dianggap
memiliki kedudukan da'if karena banyak sebab. Misalnya karena matan (isi) hadis
tersebut ada yang cacat, perawinya tidak bersambung, dan kelemahan-kelemahan
lainnya.
2) Kedudukan Hadis dalam Hukum Islam
Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Dengan demikian, hadis
memiliki fungsi yang sangat penting dalam hukum Islam. Di antara fungsi hadis, yaitu untuk
menegaskan ketentuan yang telah ada dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, ada ketentuan-
ketentuan hukum yang telah tercantum dalam Al-Qur’an yang dipertegas kembali dalam
hadis. Fungsi lainnya adalah untuk menjelaskan ketentuan yang telah ada dalam Al-Qur’an.
Ketentuan hukum dalam Al-Qur’an kadang masih bersifat umum sehingga butuh penjelasan
yang lebih khusus.
Contohnya fungsi hadis yang menjelaskan ketentuan tentang waktu salat, jumlah
rakaatnya, dan doa-doanya. Jika dalam Al-Qur’an ketentuan-ketentuan tersebut tidak
dijelaskan secara terperinci. Meskipun suatu hukum kadang tidak dijelaskan dalam Al-
Qur’an, jika dalam hadis disebutkan aturan tertentu, kita pun harus mematuhinya. Contohnya,
dalam ayat-ayat Al-Qur’an sedikit dijelaskan tentang salat-salat sunah. Akan tetapi,
Rasulullah memerintahkan dan memberi contoh kepada kita untuk mengerjakan beberapa
macam salat sunah, kita pun harus mematuhinya. (Satria Effendi dan M. Zein. 2005. 124)
c. Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam Ketiga
1) Pengertian Ijtihad
Setelah Al-Qur’an dan hadis sebagai rujukan penetapan hukum, sumber hukum yang
ketiga adalah ijtihad. Ijtihad berasal dari kata ijtahada yang artinya bersungguh-sungguh atau
mencurahkan segala kemampuan. Ijtihad dilakukan dengan mencurahkan kemampuan untuk
mendapatkan syara’ atau ketentuan hukum yang bersifat operasional dengan mengambil
kesimpulan dari prinsip dan aturan yang telah ada dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi
Muhammad saw.
Dalil yang menegaskan kedudukan ijtihad sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang
artinya, ”Dari Mu‘az, bahwasanya Nabi Muhammad saw., ketika mengutusnya ke Yaman
bersabda sebagai berikut. ”Bagaimana pendapat engkau jika suatu perkara diajukan kepadamu
bagaimana engkau memutuskannya?” Mu’az menjawab, ”Saya akan memutuskan menurut
kitabullah (Al-Qur’an).” Selanjutnya Nabi saw. bertanya, ”Dan jika di dalam kitabullah,
engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” ”Jika begitu saya akan memutuskan
menurut sunah Rasulullah,” jawab Mu’az. Nabi saw. bertanya kembali, ”Dan jika engkau
tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu di dalam sunah Rasulullah?” Jawab Mu‘az, ”Saya
akan berijtihad mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ajtahidu ra’yi) tanpa
bimbang sedikit pun.” Selanjutnya Nabi saw. (sambil menepuk dada Muaz) berkata,
”Mahasuci Allah yang memberikan bimbingan kepada utusan rasul-Nya dengan satu sikap
yang disetujui rasul-Nya.” (H.R. Abu-Daud dan Tirmizi)
Hadis dari Mu‘az bin Jabal di atas menjelaskan bahwa Al-Qur’an merupakan rujukan
sumber dari segala sumber hukum Islam. Demikian juga halnya dengan hadis Rasulullah. Jika
pada kedua sumber tersebut tidak ditemukan ketentuan hukum secara konkret, kita boleh
berijtihad dengan akal sehat kita. Para ulama juga berpendapat bahwa hasil ijtihad dapat
digunakan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
2) Mujtahid dan Syarat-syaratnya
Kedudukan ijtihad sangat penting dan diperlukan. Oleh karena pentingnya, dalam
hadis Rasulullah dijelaskan bahwa jika hasil ijtihad seseorang benar akan mendapat balasan
dua pahala, sebaliknya jika keliru tetap mendapatkan pahala satu. Dengan demikian,
berijtihad sangat penting kita lakukan untuk menetapkan ketentuan hukum. Tidak benar
pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Sebaliknya, umat Islam
dianjurkan untuk berijtihad. Ijtihad harus dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi syarat-
syarat tertentu. Yusuf Qardawi dalam bukunya Al-Ijtihad fiasy-Syari‘ah al-Islamiyyah
mengatakan bahwa ada delapan hal yang menjadi syarat pokok untuk menjadi mujtahid.
Kedelapan hal itu sebagai berikut.
a) memahami Al-Qur’an dengan beragam ilmu tentangnya;
b) memahami hadis dengan berbagai ilmu tentangnya;
c) mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab;
d) mengetahui tempat-tempat ijmak;
e) mengetahui usul fikih;
f) mengetahui maksud-maksud syariat;
g) memahami masyarakat dan adat istiadatnya; serta
h) bersifat adil dan takwa.
Selain delapan syarat tersebut, beberapa ulama menambah tiga syarat lainnya, yaitu:
a) mendalami ilmu us.uluddin (pokok-pokok agama);
b) memahami ilmu mantiq (logika); dan
c) menguasai cabang-cabang fikih.
3) Kedudukan Ijtihad dalam Hukum Islam
Kita telah sepakat bahwa Al-Qur’an dan hadis merupakan sumber pokok hukum
Islam. Ijtihad untuk menentukan hukum dibenarkan dengan tujuan kemaslahatan untuk
menjawab setiap persoalan yang terjadi. Dengan demikian, hukum Islam secara dinamis
mampu mengantisipasi tuntutan perubahan zaman. Ijtihad ini dapat dilakukan dengan
beragam cara, misalnya qiyas, istihsan, dan urf. Dalam melakukan ijtihad terhadap suatu
masalah yang sama, kadang ulama yang satu menggunakan cara pendekatan yang berbeda
dengan ulama yang lain. Oleh karena menggunakan cara pendekatan yang berbeda, hasil
ijtihad tidak tertutup kemungkinan untuk berbeda. Akan tetapi, perbedaan pendapat yang
terjadi merupakan rahmat yang tidak perlu diperselisihkan.
Dengan dilakukannya ijtihad mengandung beberapa manfaat yang sangat penting.
Dengan ijtihad hukum Islam semakin dinamis karena dapat menjawab persoalan yang terjadi
pada masa-masa tertentu. Selain itu, dengan dibolehkannya ijtihad akan melatih para ulama
untuk berpikir kritis dan mau menggali lebih dalam ajaran-ajaran Al-Qur’an. Pada saat ini
ijtihad tumbuh subur di dunia, khususnya di negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam. Ijtihad dilakukan oleh para ulama, baik secara kolektif yang tergabung dalam lembaga
atau organisasi tertentu serta secara pribadi.
Hukum Ijtihad Ulama fikih membagi hukum ijtihad menjadi tiga macam. Hukum-
hukum tersebut berkaitan dengan saat ijtihad tersebut disampaikan.
Pertama, ijtihad itu fardu ‘ain, yaitu harus dilakukan oleh setiap muslim. Hal ini terjadi
jika seseorang berada dalam suatu keadaan atau masalah dan ia harus menentukan sikap,
sementara tidak ada orang lain di sana.
Kedua, ijtihad itu fardu kifayah, yaitu jika ada suatu masalah dan pada saat yang sama
ada para ulama yang mampu melakukan ijtihad. Oleh karena itu, hanya mereka yang telah
mampu yang dibolehkan melakukan ijtihad.
Ketiga, ijtihad itu mandub atau sunah, jika terdapat masalah yang masih baru dan
masih bersifat wacana atau belum terjadi. Saat itu, ijtihad tidak harus dilakukan, walaupun
jika dilakukan tetap diperbolehkan sebagai langkah antisipasi kemungkinan pada masa depan.
2. Thaharah (hadas dan najis) Shalat (pengertian, dasar, syarat-rukun, macamnya)
a. Thaharah
1) Pengertian Thaharah
Thaharah menurut bahasa ialah bersih dan bersuci dari segala kotoran, baik yang
nyata seperti najis, maupun yang tidak nyata seperti aib. Menurut istilah para fuqaha’ berarti
membersihkan diri dari hadas dan najis, seperti mandi berwudlu dan bertayammum.
Suci dari hadas ialah dengan mengerjakan wudlu, mandi dan tayammum. Suci dari
najis ialah menghilangkan najis yang ada di badan, tempat dan pakaian.
Urusan bersuci meliputi beberapa perkara sebagai berikut:
a) Alat bersuci seperti air, tanah, dan sebagainya.
b) Kaifiat (cara) bersuci.
c) Macam dan jenis-jenis najis yang perlu disucikan.
d) Benda yang wajib disucikan.
e) Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci.
C. Akhlaq
1. Pengertian akhlak dan ruang lingkupnya (vertikal dan horisontal)
Secara etimologis, kata akhlak berasal dari bahasa arab akhlak dalam bentuk jama’, sedang
mufrodnya adalah khuluq, yang dalam kamus munjid berarti budi pekerti, perangai atau tingkah laku,
akhlak bersinonim dengan etika dan moral. Secara terminologis ada beberapa definisi tentang akhalak,
diantaranya sebagai berikut:
a. Menurut Al-Ghazali dalam, Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mwnimbulkan
pebuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikirn dan pertimbangan.
b. Ibrahim Anis, mendefinisikan akhlak sebagai sifat yag tertanam dalam jiwa, yang dengannya
lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
c. Abdul Karim Zaidan, mendefinisikan akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yag tertanam dalam
jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk
untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.
d. Ibnu Miskawaih dalam kitab Tahdzibul Akhlak mendefinisikan akhlak ialah keadaan gerak jiwa
yang mendorong kea rah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pemikiran.
e. Menurut Ahmad Amin dalam bukunya Al-akhlak menyatakan “ khuluk ialah membiasakan
kehendak”.
f. Menurut Abd. al-Hamid Yunus dalam kitab Dairat al-Ma’rif, mendefinisikan akhlak secara
singkat, yaitu akhlak adalah sifat-sifat yang terdidik.
Ruang lingkup akhlak dalam pandangan islam sangatlah luas sepanjang sikap jiwa atau hajat
manusia, mulai dari hajat yang terkecil sampai hajat yang terbesar.
Muhammad Abdullah Daras membagi ruang lingkup akhlak menjadi 5 bagian, diantaranya:
a. Akhlak pribadi (Al-Ahklaq Al-Fardiyah). Terdiri dari: a. Yang diperintahkan (Al Awanir) b. Yang
dilarang (An-Nawahi) c. Yang dibolehkan (Al Mubahal) dan d. Akhlak dalam keadaan darurat (Al-
Mukholafah bi-al Idhtbirar).
b. Akhlak berkeluarga (Al-Akhlaq Al-Usrawiyah). Terdiri dari:
1. kewajiban timbal balik orang tua dan anak (Wajibal nahwa al-Usbul wa-Alfuru’)
2. kewajiban suami istri (Wajibal Baina al- Azwaja) dan
3. kewajiban terhadap karib kerabat (Wajibal nahwa al- aqarib).
c. Akhlak bermasyarakat (Al-Akhlaq Al-Ijtima’iyah). Terdiri dari:
1) Yang dilarang (Al- Mahzurrat)
2) Yang diperintahkan (al- Awamir) dan
3) kaedah-kaedah adab (Qowaid al- Adab).
d. Akhlak bernegara (Akhlaq ad-Daulah). Terdiri dari:
a. Hubungan antara pemimpin dan rakyat (Al-Alaqah baina ar- Rais wa as- Sya’b)
b. Hubungan luar negeri (al- Alaqat al Kharijiyyah).
e. Akhlak beragama (al- Akhlaq ad- Diniyah). Yaitu kewajiban terhadap Allah Swt. (Wajibat nahwa
Allah).
Dari beberapa uraian diatas Yunahar Ilyas berpendapat bahwa ruang lingkup akhlak itu sangat
luas, mencakup seluruh asfek kehidupan, baik secara vertikal dengan Allah Swt. maupun secara
horizontal sesama makhluk Tuhan.
Dan Yunahar Ilyas pun membagi ruang lingkup akhlak menjadi 6 bagian, diantaranya:
1. Akhlak terhadap Allah Swt.
2. Akhlak terhadap Rasulullah Saw.
3. Akhlak terhadap diri sendiri.
4. Akhlak dalam keluarga.
5. Akhlak bermasyarakat.
2. Perbandingan akhlak dengan etika dan moral Sumber akhlak Islam
Yang dimaksud dengan sumber akhlak adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia
dan tercela. Sumber akhlak adalah Al-Quran dan sunah, bukan akal pikiran atau pandangan
masyarakat sebagaimana konsep etika dan moral. Dan bukan karena baik dan buruk dengan sendirinya
sebagaimana pandangan muktazilah.Hati nurani atau fitrah dalam bahasa Al-Quran memang dapat
menjadi ukuran baik dan buruk karena manusia diciptakan oleh Allah swt memiliki fitrah bertauhid,
mengakui keesaan-Nya (QS. Arrum: 30). Karena fitrah itulah manusia cinta kepada kesucian dan
selalu cenderung kepada kebenaran. Namun fitrah manusia tidak selalu terjamin dapat berfungsi
dengan baik karena pengaruh dari luar, misalnya pengaruh pendidikan dan linngkungan. Oleh sebab
itu ukuran baik dan buruk tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada hati nurani atau fitrah manusia
semata. Fitrah hanyalah potensi dasar yang perlu dipelihara dan dikembangkan.Semua keputusan
syara’ tidak akan bertentangan dengan hati nurani manusia, karena kedua-duanya berasal dari sumber
yang sama yaitu Allah swt. Demikian juga dengan akal pikiran, Ia hanyalah salah satu kekuatan yang
dimilki manusia untuk mencari kebaikan atau keburukan. Pandangan masyarakat juga bisa dijadikan
salah satu ukuran baik dan buruk. Masyarakat yang hati nuraninya sudah tertututp dan akal pikiran
mereka sudah dikotori oleh perilaku tercela tidak bisa dijadikan ukuran. Hanya kebiasaan masyarakat
yang baiklah yang dapat dijadikan ukuran.
Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama,
kalau dalam pembicaraan etika untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk tolak ukur
yang digunakan atau sumbernya adalah akal pikiran atau rasio (filsafat), sedangkan dalam
pembicaraan moral tolak ukur yanng digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang
dan berlangsung dimasyarakat.Mengenai istilah akhlak, etika dan moral dapat dilihat perbedaannya
dari objeknya, dimana akhlak menitikberatkan perbuatan terhadap Tuhan dan sesama manusia,
sedangkan etika dan moral hanya menitikberatkan perbuatan terhadap sesama manusia saja. Maka
istilah akhlak sifatnya teosentris, meskipun akhlak itu ada yang tertuju kepada manusia dan makhluk-
makhluk lain, namun tujuan utaetika dan moral semata-mata sasaran dan tujuannya untuk manusia
saja. Karena itu, istilah tersebut bersifat antroposentris (kemanusiaan saja).
3. Hubungan akhlak dengan akidah dan Syariah.
Aqidah merupakan kepercayaan, keimanan mengenai keesaan Allah. Syariah (hukum) adalah
jalan menuju sesuatu yang benar. Akhlak adalah budi pekerti, sopan santun, dan perilaku. Aqidah,
Syariah dan Akhlak, ketiganya merupakan 3 pokok ajaran Islam. Ketiganya harus selalu bersamaan
dengan aqidah berjalan di depan.
Aqidah, Syariah dan akhlak pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran Islam.
Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Aqidah sebagai sistem
kepercayaan yang bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan, menggambarkan sumber dan hakikat
keberadaan agama. Sementara syariah sebagai system nilai berisi peraturan yang menggambarkan
fungsi agama. Sedangkan akhlak sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan yang hendak
dicapai agama.
Islam tidak hanya memberi tuntunan ritual, dalam rangka hubungan manusia dengan Tuhan,
tetapi juga memberi bimbingan dalam hubungan antar manusia, bahkan hubungan manusia dengan
alam dan lingkungannya, baik lingkungan wujud nyata maupun yang tak nyata (Yaa ‘alimal ghaibi wa
syahadah).
Tuntunannya bukan hanya menyangkut hal-hal besar melainkan juga yang kecil-kecil, dan
boleh dianggap remeh oleh sementara orang, lalu yang remeh itu pun dikaitkan dengan Tuhan Yang
Maha Esa, Allah SWT. Aneka aktivitas, bahkan makan dan berpakaian, tidur, cara tidur, bangun tidur,
mandi atau ke wc, termasuk kaki mana yang hendaknya didahulukan melangkah ketika masuk dan
keluar, semua ada aturan dan tuntunannya, dan semua dikaitkan dengan Allah SWT.
Semua persoalan yang dihadapi oleh umat manusia dapat ditemukan tuntunannya secara
eksplisit atau implisit dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Islam menyatukan dalam
tuntunan akidah, syariah dan akhlak, ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan,
dan di situlah letak kekuatan Islam.
Muslim yang baik adalah orang yg memiliki aqidah yg lurus dan kuat yg mendorongnya untuk
melaksanakan syariah yg hanya ditujukan pada Allah sehingga tergambar akhlak yg terpuji pada
dirinya.
Atas dasar hubungan itu, maka seseorang yg melakukan suatu perbuatan baik, tetapi tidak
dilandasi oleh aqidah atau keimanan, maka orang itu termasuk ke dalam kategori kafir. Seseorang yg
mengaku beraqidah atau beriman, tetapi tidak mau melaksanakan syariah, maka orang itu disebut
fasik. Sedangkan orang yg mengaku beriman dan melaksanakan syariah tetapi dengan landasan aqidah
yg tidak lurus disebut munafik.
Aqidah, syariah dan akhlak dalam Al-Qur’an disebut iman dan amal saleh. Iman menunjukkan
makna aqidah, sedangkan amal saleh menunjukkan pengertian syariah dan akhlak.
Seseorang yg melakukan perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi Aqidah, maka perbuatannya
hanya dikategorikan sebagai perbuatan baik. Perbuatan baik adalah perbuatan yg sesuai dengan nilai-
nilai kemanusiaan, tetapi belum tentu dipandang benar menurut Allah. Sedangkan perbuatan baik yg
didorong oleh keimanan terhadap Allah sebagai wujud pelaksanaan syariah disebut amal saleh. Kerena
itu didalam Al-Qur’an kata amal saleh selalu diawali dengan kata iman.
4. Jenis-jenis akhlak (mahmudah dan madzmumah)
a. Akhlak terpuji ( Mahmudah )
Penerapan akhlak sesama manusia yang dan merupakan akhlak yang terpuji adalah sebagai
berikut:
1) Husnuzan
Berasal dari lafal husnun ( baik ) dan Adhamu (Prasangka). Husnuzan berarti
prasangka, perkiraan, dugaan baik. Lawan kata husnuzan adalah suuzan yakni berprasangka
buruk terhadap seseorang . Hukum kepada Allah dan rasul nya wajib, wujud husnuzan kepada
Allah dan Rasul-Nya antara lain:
Meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua perintah Allah dan Rasul-Nya Adalah
untuk kebaikan manusia
Meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua larangan agama pasti berakibat buruk.
Hukum husnuzan kepada manusia mubah atau jaiz (boleh dilakukan).Husnuzan
kepada sesama manusia berarti menaruh kepercayaan bahwa dia telah berbuat suatu kebaikan.
Husnuzan berdampak positif berdampak positif baik bagi pelakunya sendiri maupun orang
lain.
2) Tawaduk
Tawaduk berarti rendah hati.Orang yang tawaduk berarti orang yang merendahkan diri
dalam pergaulan.Lawan kata tawaduk adalah takabur. Rasulullah Saw bersabda :
“Barangsiapa rendah hati kepada saudaranya semuslim maka Allah akan mengangkat
derajatnya, dan barangsiapa mengangkat diri terhadapnya maka Allah akan merendahkannya”
(HR. Ath-Thabrani).
3) Tasamu
Artinya sikap tenggang rasa, saling menghormati dan saling menghargai sesama
manusia. Allah berfirman,
”Untukmu agamamu, dan untukku agamaku (Q.S. Alkafirun/109: 6) Ayat tersebut
menjelaskan bahwa masing-masing pihak bebas melaksanakan ajaran agama yang diyakini.
4) Ta’awun
Ta’awun berarti tolong menolong, gotong royong, bantu membantu dengan sesama
manusia. Allah berfirman, ”
…dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan…”(Q.S. Al Maidah/5:2)
Selain sifat-sifat di atas masih banyak lagi sifat-sifat terpuji lainya yang menjadi
patokan akhlak kita antar sesama.
b. Akhlak Tercela ( Mazmumah)
1) Hasad
Artinya iri hati, dengki. Iri berarti merasa kurang senang atau cemburu melihat orang
lain beruntung. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Janganlah kamu saling membenci dan
janganlah kamu saling mendengki, dan janganlah kamu saling menjatuhkan. Dan hendaklah
kamu menjadi hamba Allah yang bersaudara dan tidak boleh seorang muslim mendiamkan
saudaranya lebih dari tiga hari“. (HR. Anas).
2) Dendam
Dendam yaitu keinginan keras yang terkandung dalam hati untuk membalas kejahatan.
Allah berfirman:
”Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhlah itulah yang
terbaik bagi orang yang sabar” (Q.S.An Nahl/16:126)
3) Gibah dan Fitnah
Membicarakan kejelekan orang lain dengan tujuan untuk menjatuhkan nama baiknya.
Apabila kejelekan yang dibicarakan tersebut memang dilakukan orangnya dinamakan
gibah.Sedangkan apabila kejelekan yang dibicarakan itu tidak benar, berarti pembicaraan itu
disebut fitnah. Allah berfirman,
”…dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah
ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu
merasa jijik…” (Q.S. Al Hujurat/49:12).
4) Namimah
Adu domba atau namimah, yakni menceritakan sikap atau perbuatan seseorang yang
belum tentu benar kepada orang lain dengan maksud terjadi perselisihan antara keduanya.
Allah berfirman,
”Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik(keluar dari ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya datang kepadamu membawa suatu berita maka telitilah
kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan),
yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (Q.S. Al-Hujurat/49:6)