You are on page 1of 41

KOMPETENSI DASAR (INSTITUSI)

A. Ilmu Kalam..
1. Pengertian dan ruang lingkup keimanan
Kata iman menurut bahasa berarti membenarkan ‫ التصديق‬, sedangkan menurut syara’ adalah
membenarkan dengan hati ‫ التصديق بالقلب‬dalam arti menerima dan tunduk pada apa yang diketahui
bahwa hal tersebut dari agama Nabi Muhammad. Dan ada yang menyatakan lebih tegas lagi bahwa, di
samping membenarkan dalam hati juga menuturkan dengan lisan dan mengerjakan dengan anggota
badan. Kemudian sebagian ulama menyebutkan pula bahwa iman ialah membenarkan rasul tentang
apa yang beliau datangkan dari TuhanNya. Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat diambil
pengertian bahwa iman bukan hanya sekedar tasdiq (membenarkan) dalam hati saja, tetapi diperlukan
juga menerima dan tunduk.
Ruang lingkup Iman berdasarkan :
a. Ilahiyah, pembahasan tentang yang berhubungan dengan Tuhan, seperti wujudAllah, nama-nama
Allah, sifat-sifat Allah, perbuatan-perbuatan Allah dan lain-lainnya.
b. Nubuwah, pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul.
Termasuk pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah, mu’jizat, dan sebagainya.
c. Ruhaniyah, pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik, seperti;
malaikat,jin iblis, setan dan ruh.
d. Sam’iyah, pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui melalui sam’I yakni
dalil-dalil naqli berupa Al-Qur’an dan al-Sunnah.
2. Sumber akidah Islam (Qur’an-hadis dan akal) Hubungan akidah, ibadah dan akhlak
Sumber akidah Islam
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh
Allah dalam Al-Qur’an dan oleh Rosulullah dalam sunahnya wajib diimani, yakni diyakini dan
diamalkan. Akal pikiran bukanlah menjadi sumber aqidah Isalam, tetapi hanya berfungsi memahami
nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut. Itupun harus disadari oleh suatu kesadaran
bahwa kemampuan akal sangat terbatas, sesuai dengan terbatasnya kemampuan semua makhluk Allah
SWT.
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an, merupakan firman Allah SWT, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW secara mutawatir, atau bertahap dalam rentang waktu kurang lebih 23 tahun meliputi periode
Mekkah dan Madinah. Al-Qur’an ini sebagai petunjuk bagi orang-orang yang diberi petunjuk. Al-
Qur’an berlaku umum bagi seluruh ummat manusia dan berlaku sepanjang masa, tanpa bisa digeser
oleh perkembangan zaman. Selain berisi tentang aqidah, Al-Qur’an juga mencakup seluruh aspek
kehidupan, seperti aspek ekonomi, politik, hukum dan budaya, seni, ilmu pengetahuan dan lain-
lain. Serta mencakup seluruh ruang lingkup kehidupan, seperti kehidupan pribadi, keluarga,
bermasyarakat, bernegara dan dunia internasional.
Al Iman Asy Syatibi mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan syariat ini
kepada Rosul-Nya yang di dalamnya terdapat penjelasan atas segala sesuatu yang dibutuhkan
manusia tentang kewajiban dan peribadatan yang dipikulkan diatas pundaknya, termasuk di
dalamnya perkara aqidah. Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum aqidah karena Dia
tahu kebutuhan manusia sebagai seorang hamba yang diciptakan untuk beribadah kepadanya.
Bahkan jika dicermati, akan banyak ditemui banyak ayat dalam Al-Quran yang menjelaskan
tentang aqidah, baik secara tersurat maupun tersirat.oleh karena itu, manjadi hal yang wajib kita
mengetahui dan memahami aqidah yang bersumber dari Al-qur’an karena kitab mulia ini
merupakan penjelasan langsung dari Rabb manusia, yang haq dan tidak pernah sirna ditelan masa.
b. Sunnah
Sunnah merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Entah
itu perbuatan maupun ucapannya. Sama halnya seperti Al-Qur’an, sunnah ini merupakan wahyu
yang datang dari Allah, namun bukan dalam bentuk lafadz dari Nya. Sunnah ini dilakukan oleh
Rosulullah yang didasarkan pada perintah Allah. Seperti dalam firman-Nya dalam QS. An-Najm:3-
4, yang artinya, “dan dia (Muhammad) tidak berkata berdasakan hawa nafsu, ia tidak lain
merupakan wahyu yang diwahyukan. “Allah menjadikan sunnah sebagai sumber hukum dalam
agama. Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya, “ Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rosul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu , maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rosul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa :59).
Firman Allah diatas menunjukkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim untuk
mengambil sumber-sumber hukum aqidah dari As-sunnah dengan pemahaman ulama. Ibnu
Qayyim juga pernah berkata “ Allah memerintahkan untuk mentaati-Nya dan mentaati Rosul-Nya
dengan mengulangi kata kerja (Taatilah) yang menandakan bahwa mentaati Rosul wajib secara
independen tanpa harus mencocokkan terlebih dahulu dengan Al-Qur’an, jika beliau
memerintahkan sesuatu. Hal ini dikarenakan tidak akan pernah ada pertentangan antara Qur’an dan
Sunnah.
c. Ijma’ para ulama
Sumber aqidah yang berasal dari kesepakatan para mujtahid Umat Muhammad SAW
setelah beliau wafat, tentang urusan pada suatu masa. Mereka bukanlah orang-orang yang sekedar
tahu tentang ilmu tetap juga memahami dan mengamalkan ilmu. Berkaitan dengan ijma’, Allah
SWT berfirman dalam QS. An-Nisa: 115
“dan barang siapa menetang Rosul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan dia dalam kesehatan yang
telah dilakukannya itu dan akan masukkan ia kedalam neraka jahannam dan itu seburuk-buruk
tempat kembali”.
Imam Syafi’i menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil pembolehan disunnatkannya
Ijma’, yaitu diambil dari kalimat “jalannya orang-orang beriman” yang berarti Ijma’. Belaiu juga
menambahkan bahwa dalil ini adalah Syar’i yang wajib untuk diikuti karena Allah
menyebutkannya secara bersamaan dengan larangan menyelisihi Rosul.
Di dalam pengambilan Ijma’ terdapat juga beberapa kaidah-kaidah penting yang
tidakboleh ditinggalkan. Ijma’ dalam masalah aqidah harus bersandarkan kepada dalil dari Al-
Qua’an dan As- Sunnah yang shahih karena perkara aqidah adalah perkara tauqifiyah yang tidak
diketahui kecuali dengan jalan wahyu. Sedangkan fungsi Ijma’ adalah menguatkan Al-Qur’an dan
As-sunnah serta menolak kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzani sehingga
menjadi qotha’i.
d. Akal sehat manusia
Selain ketiga sumber diatas, akal juga menjadi sumber hukumaqidah dalam islam. Hal ini
merupakan bukti bahwa islam sangat memuliakan akal sehat serta memberikan haknya sesuai
dengan kedudukannya, dengan cara memberikan batasan dan petunjuk kepada akal agar tidak
terjebak kedalam pemahaman-pemahaman yang tidak benar. Hal ini sesuai dengan sifat akal yang
memiliki keterbatasan dalam memahami suatu ilmu atau peristiwa.
Agama islam tidak membenrakan pengagungan terhadap akal dan tidak pula membenarkan
pelecehan terhadap kemampuan akal manusia, seperti yang biasa dilakukan oleh beberapa
golongan (firqoh) yang menyimpang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “akal
merupakan syarat untuk memahami ilmu dan kesempurnaan beramal dengan keduanyalah ilmu dan
amal menjadi sempurna, hanya saja ia tidak dapat berdiri sendiri, di dalam jiwa ia berfungsi
sebagai sumber kekuatan, sama seperti kekuatan penglihatan pada mata yang jika mendapatkannya
cahaya imam dan Al-Qur’an seperti mendapat cahaya matahari dan api. Tetapi jika berdiri sendiri,
ia tidak akan mampu melihat (hakikat) sesuatu dan jika sama sekali dihilangkan ia akan menjadi
sesuatu yang berunsur kebintangan”.
Eksistensi akal memiliki keterbatasan pada apa yang bisa dicerna tentang perkara-perkara
nyata yang memungkinkan panca indra untuk menangkapnya. Adapun masalah-masalah gaib yang
tidak dapat disentuh oleh panca indra maka tertutup jalan bagi akal untuk sampai pada hakikatnya.
Sesuatu yang abstrak/gaib, seperti Aqidah tidak dapat diketahui oleh akal kecuali mendapatkan
cahaya dan petunjuk wahyu baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Al-Qur’an dan As-
sunnah menjelaskan bagaimana cara memahami dan melakukan masalah tersebut. Salah satu
contohnya adalah akal mungkin tidak bisa menerima surga dan neraka karena tidak bisa diketahui
indera. Akan tetapi melaui penjelasan yang berasal dari Al-Qur’an dan As-sunnah makan akan
dapat diketahui bahwasanya setiap manusia harus mayakininya. Mengenai hal ini ibnu taimiyah
mengatakan bahwa apa yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an, As-sunnah dan Ijma’ yang
menyelisih akal sehat karena sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat adalah batil. Sedangkan
tidak ada kebatilan dalam Al-Qur’an, sunnah, dan Ijma’. Tetapi padanya terdapat kata-kata yang
mungkin sebagian orang tidak memahaminya atau mereka memahaminya dengan makna yang
batil.
e. Fitrah kehidupan
Dalam sebuah hadits Rosulullah SAW bersabda:
“Setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanya lah yang membuat ia
menjadi yahudi, nasrani atau majusi” (HR Muslim)
Dari hadist dapat diketahui bahwa sebenarnya manusia memiliki kecenderungan untuk
menghamba Allah. Akan tetapi bukan berarti bahwa bayi yang lahir telah mengetahui rincian
agama islam. Setiap bayi yang lahir tidak mengetahui apa-apa. Tetapi setiap memiliki fitrah yang
sejalan dengan islam sebelum dinodai oleh penyimpangan-penyimpangan. Bukti mengenai hal ini
adalah fitrah manusia untuk mengakui bahwa mustahil ada dua penciptaan yang memiliki sifat dan
kemampuan yang sama. Bahkan ketika ditimpa musibah pun banyak manusia yang menyeru
kepada Allah seperti dijelaskan dalam firmannya: Qs Al-Israa:67
“dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang biasa kamu seru,
kecuali Dia. Tapi ketika Dia menyelamatkan kamu kedaratan, kamu berpaling dari-Nya. Dan
manusia memang selau ingkar (tidak bersyukur).”
Hubungan akidah, ibadah dan akhlak
Aqidah merupakan suatu keyakinan hidup yang dimiliki oleh manusia.Keyakinan hidup ini
diperlukan manusia sebagai pedoman hidup untuk mengarahkan tujuan hidupnya sebagai mahluk
alam.Pedoman hidup ini dijadikan pula sebagai pondasi dari seluruh bangunan aktifitas manusia
Pondasi aktifitas manusia itu tidak selamanya bisa tetap tegak berdiri, maka dibutuhkan adanya
sarana untuk memelihara pondasi yaitu ibadah. Ibadah merupakan bentuk pengabdian dari seorang
hamba kepada allah. Ibadah dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada allah untuk
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap allah.
Apabila aqidah telah dimiliki dan ibadah telah dijalankan oleh manusia, maka kedua hal
tersebut harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, oleh karena itu diperlukan adanya suatu peraturan
yang mengatur itu semua.Aturan itu disebut Muamalah. Muamalah adalah segala aturan islam yang
mengatur hubungan antar sesama manusia. Muamalah dikatakan berjalan baik apabila telah memiliki
dampak sosial yang baik.
Untuk dapat mewujudkan aqidah yang kuat yaitu dengan cara ibadah yang benar dan juga
muamalah yang baik, maka diperlukan suatu ilmu yang menjelaskan baik dan buruk, menjelaskan
yang seharusnya dilakukan manusia kepada yang lainya, yang disebut dengan akhlak. Dengan akhlak
yang baik seseorang akan bisa memperkuat aqidah dan bisa menjalankan ibadah dengan baik dan
benar. Ibadah yang dijalankan dinilai baik apabila telah sesuai dengan muamalah.Muamalah bisa
dijalankan dengan baik apabila seseorang telah memiliki akhlak yang baik.
Contohnya : Jika berjanji harus ditepati yaitu apabila seorang berjanji maka harus ditepati. Jika
orang menepati janji maka seseorang telah menjalankan aqidahnya dengan baik.Dengan menepati janji
seseorang juga telah melakukan ibadah. Pada dasarnya setiap perbuatan yang dilakukan manusia harus
didasari denga aqidah yang baik, karena setiap hal yang dilakukan pasti ada aturanya .
Hubungan aqidah dengan akhlak
Salah satu fungsi akhlak adalah untuk menopang keimanan.Agar iman seseorang relative stabil,
perlu ditopang oleh pelaksanaan akhlak yang konsisten
Dasar pendidikan akhlak bagi seorang muslim adalah aqidah yang benar terhadap alam dan
kehidupan, Karena akhlak tersarikan dari aqidah dan pancaran dirinya. Oleh karena itu jika seorang
beraqidah dengan benar, niscahya akhlaknya pun akan benar, baik dan lurus. Begitu pula sebaliknya,
jika aqidah salah maka akhlaknya pun akan salah.
Aqidah seseorang akan benar dan lurus jika kepercayaan dan keyakinanya terhadap alam juga
lurus dan benar. Karena barang siapa mengetahui sang pencipta dengan benar, niscahya ia akan dengan
mudah berperilaku baik sebagaimana perintah allah. Sehingga ia tidak mungkin menjauh bahkan
meninggalkan perilaku-perilaku yang telah ditetapkanya.
Pendidikan akhlak yang bersumber dari kaidah yang benar merupakan contoh perilaku yang
harus diikuti oleh manusia. Mereka harus mempraktikanya dalam kehidupan mereka, karena hanya
inilah yang menghantarkan mereka mendapatkan ridha allah dan atau membawa mereka mendapatkan
balasan kebaikan dari allah.
Akhlak merupakan tingkahlaku yang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diyakini oleh seseorang
dan sikap yang menjadi sebahagian daripada keperibadiannya. Nilai-nilai dan sikap itu pula terpancar
daripada konsepsi dan gambarannya terhadap hidup. Dengan perkataan lain, nilai-nilai dan sikap itu
terpancar daripada aqidahnya yaitu gambaran tentang kehidupan yang dipegang dan diyakininya
Aqidah yang benar dan gambaran tentang kehidupan yang tepat dan tidak dipengaruhi oleh
kepalsuan, khurafat dan falsafah-falsafah serta ajaran yang palsu, akan memancarkan nilai-nilai benar
yang murni di dalam hati. Nilai-nilai ini akan mempengaruhi pembentukan sistem akhlak yang mulia.
Sebaliknya, jika aqidah yang dianuti dibina di atas kepalsuan, maka ia akan memancarkan nilai-nilai
buruk di dalam diri dan mempengaruhi pembentukan akhlak yang buruk.
Akhlak yang baik dan akhlak yang buruk, merupakan dua jenis tingkah laku yang berlawanan
dan terpancar daripada dua sistem nilai yang berbeda. Kedua-duanya memberi kesan secara langsung
kepada kualitas individu dan masyarakat. lndividu dan masyarakat yang dikuasai dan dianggotai oleh
nilai-nilai dan akhlak yang baik akan melahirkan individu dan masyarakat yang sejahtera. Begitulah
sebaliknya jika individu dan masyarakat yang dikuasai oleh nilai-nilai dan tingkahlaku yang buruk,
akan porak peranda dan kacau bilau.
Al-Quran juga menggambarkan bagaimana aqidah orang-orang beriman, kelakuan mereka yang
mulia dan gambaran kehidupan mereka yang penuh tertib, adil, luhur dan mulia. Berbanding dengan
perwatakan orang-orang kafir dan munafiq yang jelek. Gambaran mengenai akhlak mulia dan akhlak
tercela begitu jelas dalam perilaku manusia sepanjang sejarah. Al-Quran juga menggambarkan
bagaimana perjuangan para rasul untuk menegakkan nilai-niai mulia dan murni di dalam kehidupan
dan bagaimana mereka ditentang oleh kefasikan, kekufuran dan kemunafikan yang cuba
menggagalkan tertegaknya dengan kukuh akhlak yang mulia sebagai teras kehidupan yang luhur dan
murni itu.
3. Aliran-aliran dalam Teologi Islam
Aliran – aliran Teologi dalam Islam beserta tokohnya :
a. Aliran Khawarij
1) Asal - usul aliran Khawarij
Khawarij merupakan pecahan dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang mulai timbul dan
memisahkan diri setelah terjadi perang Shiffin. Mereka memilih Abdullah bin Wahab Al
Rasidi menjadi imam mereka. Dalam pertempuran dengan Ali, mereka mengalami
kekalahan, tapi akhirnya seorang dari mereka bernama Abd al Rahman bin Muljam dapat
membunuh Ali.
Banyak nama yang diberikan untuk aliran ini, antara lain :
a) Nama khawarij diambil dari kata asal kharaja artinya telah keluar. Maksudnya ialah
orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib karena tidak setuju terhadap
sikapnya yang mau menerima perdamaian dalam penyelesaian sengketa kekhalifahan
dengan Muawiyah bin Abi Sofyan.
b) Dinamakan khawarij, karena mereka keluar dari rumah-rumah mereka dengan maksud
berjihad di jalan Allah.
c) Dinamakan Syurah karena mereka menganggap bahwasannya diri mereka telah mereka
jual kepada Allah. Maksudnya menjual diri mereka untuk menegakkan agama Allah.
d) Dinamakan Haruriyah, karena mereka pergi berlindung ke suatu kota kecil dekat Kufah
yang bernama Harura.
e) Dinamakan Muhakkimah, karena mereka dalam perjuangannya selalu menggunakan
simbol “Lahukma illa lillah”.
Adapun paham dan pokok ajarannya adalah :
a) Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam
b) Yang berhak menjadi khalifah adalah siapa saja yang sanggup, asal beragama Islam.
c) Khalifah yang terpilih akan terus memegang jabatannya selama ia bersikap adil dan
menjalankan syariat Islam.
d) Khalifah Abu Bakar dan Umar diakui sah karena keduanya diangkat dan tidak
menyeleweng dari ajaran Islam.
e) Khalifah Utsman bin Affan dianggap menyeleweng mulai dari tahun ketujuh khilafahnya,
sedang Ali bin Abi Thalib dianggap menyeleweng setelah peristiwa perdamaian dengan
Muawiyah. Dan sejak itu Utsman dan Ali dihukumi kafir, demikian pula Muawiyah serta
semua orang yang telah mereka anggap melanggar ajaran-ajaran Islam.
2) Sekte, Tokoh dan Ajarannya
Khawarij terpecah menjadi beberapa aliran kecil (sekte) dan dipimpin oleh tokoh yang
mereka anut, antara lain:
a) Al Azariqah, tokohnya ialah Nafi’ bin Al Azraq (686 M). Sekte ini merupakan sekte
yang ekstrim, karena pandangannya hanya merekalah yang sebenarnya orang Islam dan
daerah kekuasaannya terletak di perbatasam Irak dengan Iran.
b) An Najaddat, tokohnya ialah Najdah bin Amir. Ajaran sekte ini antara lain:
(1) Orang yang salah setelah melakukan ijtihad dimaafkan
(2) Agama itu meliputi dua hal yaitu mengetahui kepada Allah dan Rasul-Nya.
(3) Orang yang berjihad sampai menghalalkan yang haram atau sebaliknya dimaafkan.
c) Al Ibadiyah, tokohnya bernama Abdullah bin Ibad At Tamimy. Mereka agak
moderat dan toleran terhadap golongan lain. Sebagai contohnya mereka menganggap
bahwa orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka boleh diadakan hubungan
perkawinan dan warisan, syahadatnya dapat diterima, serta haram membunuhnya.
d) Syufriah, tokohnya bernama Ziyad bin Al Asfar. Paham mereka tidak berbeda dengan
golongan Az Zariqah oleh sebab itu merupakan golongan yang ekstrim. Pendapat yang
menjadi ciri khas mereka :
(1) Taqiyah hanya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
(2) Demi untuk keamanan dirinya perempuan Islam boleh kawin dengan laki-laki kafir,
di daerah bukan Islam.
b. Aliran Murji’ah
1) Asal – usul Aliran Murji’ah
Murji’ah berasal dari kata Al Irjaa’ mempunyai dua arti:
a) At Ta’khiir, artinya mengemudiankan, menunda. Pengertian ini menunjukkan bahwa
aliran ini mengemudiankan amal dari niat.
b) I’thoo’ Al Rajaa’, artinya memberi pengharapan. Pengertian ini menunjukkan bahwa
iman itu tidak rusak karena perbuatan dosa, begitu pula perbuatan kafir tidak merusak
dari ketaatan.
c) Pendapat lain nama Murji’ah diambil dari kata Arja’a yang berarti menangguhkan atau
mengakhirkan. Maksudnya mereka menangguhkan persoalan golongan-golongan umat
Islam yang berselisih dan yang telah banyak mengalirkan darah sampai hari pembalasan
nanti dan mereka tidak menentukan hukumnya bagi setiap yang berselisih.
2) Paham dan pokok ajarannya.
Setelah terjadi perdamaian antara Ali dan Muawiyah, muncul golongan yang tidak
mau campur tangan terhadap persoalan tersebut, merekalah yang disebut aliran Murji’ah. Dan
setelah menjadi aliran politik mulai membicarakan persoalan-persoalan ketuhanan.
Pembahasan yang terpenting adalah mengenai pembatasan iman, kufur, dan mukmin.
Murji’ah menganggap bahwa iman itu adalah mengenal kepada Allah dan utusannya,
dan siapa yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu
rasul Allah maka dia termasuk orang mukmin. Barang siapa percaya kepada Tuhan dan
utsanNya, tetapi ia meninggalkan kewajiban agama dan menjalankan dosa besar menurut
mereka orang semacam ini tetap mukmin tetapi menurut Khawarij adalah kafir. Murji’ah
tidak mengartikan iman kecuali hanya kepercayaan dalam hati saja terhadap Allah dan
utusanNya, adapun amal lahiriyah tidak termasuk iman. Pandangan ini sesuai dengan
pandangan mereka dalam politik, mereka tidak mengkafirkan golongan Umawy, Syi’ah
ataupun Khawarij sebab iman menurut mereka dalam hati, dan tidak dapat mengetahuinya
kecuali Allah.
3) Sekte, tokoh dan ajarannya.
a) Yunusiah, tokohnya adalah Yunus bin Aun Annamiri yang berpendapat bahwa iman
ialah mengetahui Allah, tunduk, patuh, dan meninggalkan sifat-sifat kesombongan dan
cinta dalam hati. Barangsiapa yang melakukan maksiat tidak merusak iman seseorang.
b) As Sahiliyah, tokohnya ialah Abu Hasan As Sahili. Pendapatnya bahwa iman ialah
mengetahui Tuhan dan kufur ialah tidak mengetahui Tuhan. Yang disebut ibadah
hanyalah iman.
c) Al Ubaidiyah, tokohnya ialah Ubaid Al Maktaab. Pendapatnya diantaranya selain
syirik diampuni, jika seorang mati dalam iman dosa-dosa dan perbuatan jahat yang
dikerjakan tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan.
d) Al Ghasaniyah, tokohnya ialah Ghasan Al Kufi. Ia berpendapat bahwa amal tidak
sepenting iman yang mengakibatkan pada pengertian bahwa hanya imanlah yang penting
dan yang menentukan mukmin dan tidaknya seseorang.
e) Assaubaniyah, tokohnya ialah Abu Syauban Al Murjii. Pendapatnya bahwa iman
adalah mengetahui Allah dan RasulNya yang masuk akal boleh diperbuat dan yang tidak
masuk akal boleh ditinggalkan karena bukan dari iman. Artinya iman ialah sesuai dengan
akal dan amal tidak campur tangan dengan iman.
f) At Tumaniyah, tokohnya ialah Abu Muaz At Tumani. Ia berpendapat bahwa iman
ialah membenarkan dengan hati dan lidah dan kafir ialah tidak tahu kepada Tuhan.
c. Aliran Syi’ah
1) Asal-usul aliran Syi’ah
Kata Syi’ah menurut Ibnu Khaldun berarti As shahbu wal Ittibaa’u yang artinya
pengikut atau partai. Menurut istilah Syi’ah adalah suatu golongan umat Islam yang
memberikan kedudukan istimewa kepada keturunan Nabi Muhammad SAW dan
menempatkan Ali bin Abi Thalib pada derajat yang lebih utama daripada sahabat Nabi yang
lain, mereka mencintai Ali dan keturunannya dengan sepenuh hati dan disertai sikap dan
tindakan yang nyata.
2) Paham dan pokok ajarannya
Adapun pokok-pokok ajarannya sebagai berikut:
a) Yang menuntut agar hak untuk menjabat khalifah baik dalam urusan keagamaan ataupun
urusan kenegaraan harus menjadi hak waris bagi keluarga Nabi (Ali bin Abi Thalib dan
anak cucunya).
b) Syahnya imam atau khalifah hanya apabila mendapat nash atau diangkat oleh Nabi
sendiri dan kemudian oleh imam-imam sesudah beliau secara berurutan.
c) Bahwa tiap-tiap imam yang telah diangkat oleh imam sebelumnya itu adalah makshum
artinya terpelihara dari dosa sejak dilahirkannya.
3) Sekte, tokoh dan ajarannya
a) Al Imamiyah atau Al Isna Asyariyah atau Rafidhah. Pokok-pokok ajarannya :
(1) Bahwa Ali bin Abi Thalib satu-satunya khalifah yang sah sesudah Nabi.
(2) Mereka mengajarkan ajarannya “dua belas imam” yang berurutan satu sama lain dari
keturunan Ali dengan Fathimah.
(3) Mereka mengajarkan adanya kemakshuman, kemahdiyan, dan akan datangnya imam
yang terakhir dan taqiyah.
b) Zaidiyah, tokohnya ialah Zaid bin Ali. Dia mengajarkan bahwa:
(1) Imam-imam itu terbatas hanya dari anak cucu Ali dengan Fathimah.
(2) Kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman dianggap sah namun kurang utama.
c) Ismailliyah, tokohnya ialah Ismail bin Ja’far Ash Shadiq. Ia diriwayatkan suka
minum khamar, sehingga sebagian penganutnya menggugurkan keimamannya dan
beralih beriman kepada adik Ismail, yaitu Musa Al Kodhim. Golongan ini membatasi
imam-imam hingga yang ketujuh saja. Golongan ini termasuk aliran yang ekstrim yang
ajarannya banyak yang melampaui batas.
d) Gholliyah (Ghullat), dipimpin oleh Abdullah bin Sabak, seorang yang semula
beragama Yahudi. Golongan ini juga dikenal ekstrim.
d. Aliran Qadariah dan Jabariah
Disebabkan karena Tuhan bersifat Maha Kuasa dan mempunyai kehendak yang mutlak
maka timbullah pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan, bergantung kepada
kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Diberi Tuhankah
manusia kemerdekaan dalam mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada
kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?
Maka terdapat dua perbedaan pendapat. Yang pertama, kaum Qadariah berpendapat bahwa
manusia mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan perjalanan hidupnya dengan
demikian nama Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia
terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Yang kedua, kaum Jabariah berpendapat bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham
ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Jadi, nama Jabariah berasal dari kata jabara yang berarti
memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya
dalam keadaan terpaksa.
Paham Qadariah pertama kali dipelopori oleh Ma’bad al Juhani dan Ghailan al
Dimasyqi. Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatannya, manusia sendirilah yang
melakukan perbuatan baik maupun jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
Paham Jabariah dipelopori oleh Al Ja’d Ibn Dirham, tetapi yang menyiarkannya
adalah Jahm Ibn Safwan. Menurut Jahm, manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-
apa, tidak mempunyai daya, tidak mempunya kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan,
manusia dalam melakukan perbuatannya hanya dipaksa. Tuhanlah yang menciptakan perbuatan
dalam diri manusia.
Tokoh Jabariah yang lain yaitu Al Husain Ibn Muhammad Al Najjar yang bersifat
lebih moderat. Menurutnya, Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, tetapi manusia
mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan itu. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia
mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Paham yang sama diberikan oleh Dirar Ibn
‘Amr.
e. Aliran Mu’tazilah
1) Asal-usul Mu’tazilah
a) Dinamakan Mu’tazilah sebab Wasil dan Amru memisahkan diri dari halaqah Hasan Basri,
karena adanya perbedaan pendapat antara Wasil dan Amru dengan Hasan Basri tentang
hukum orang Islam yang berbuat dosa besar. Menurut Wasil dan Amru, orang Islam yang
berbuat dosa besar itu bukan mukmin bukan pula kafir, tetapi dia berada diantara
keduanya, yaitu fasiq.
b) Dinamakan Mu’tazilah sebab mereka melepaskan diri dari pendapat ulama’ atau aliran
terdahulu yaitu mengenai hukum orang Islam yang berbuat dosa besar.
c) Dinamakan Mu’tazilah sebab menurut anggapan mereka, orang Islam yang berbuat dosa
besar itu menjauhkan diri (I’tizal) dari golongan mukmin dan kafir.
2) Paham dan pokok ajarannya
Mu’tazilah menganut paham lima pokok ajaran dasar yang harus dipegang yaitu:
a) Tauhid (keesaan), yaitu ajaran monotheisme yang murni dan mutlak adalah dasar Islam
yang pertama dan utama.
b) Adil (keadilan Allah), yaitu dasar keadilan yang dipegang aliran Mu’tazilah ialah
meletakkan pertanggungan jawab manusia atas segala perbuatannya. Aliran ini telah
mengemukakan teorinya tentang assilah wa aslah (baik dan terbaik) dan teorinya tentang
hasan dan qobih (baik dan buruk).
c) Wa’ad dan Wa’id (janji dan ancaman), yaitu aliran Mu’tazilah meyakini bahwa janji Allah
akan memberi pahala dan ancaman siksa kepada mereka yang melakukan perbuatan pasti
dilaksanakanNya.
d) Manzilatu Bainal Manzilatain (diantara dua tempat), yaitu orang Islam yang berbuat dosa
besar selain syirik itu bukan mukmin bukan pula kafir, tetapi dia berada diantara keduanya,
yaitu fasiq.
e) Amar Ma’ruf Nahi Munkar (memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan).
3) Tokoh-tokoh Mu’tazilah
a) Abu Huzaifah Wasil bin Ata’ Al Ghazali (669-748 M)
b) Abu Huzail Al Allaf (753-840 M)
c) Ibrahim bin Sayyar An Nazzan (845 M)
d) Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al Jubba’i (849-917 M)
f. Aliran Ahlussunnah Wal Jama’ah
Banyak kalangan yang menentang aliran Mu’tazilah, terutama di kalangan rakyat biasa
yang tidak dapat menyelami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional itu. Rakyat biasa,
dengan pemikiran yang sederhana, ingin ajaran yang sederhana pula. Kaum Mu’tazilah dalam
sejarah memang merupakan golongan minoritas, dan dikenal sebagai golongan yang tidak kuat
berpegang pada hadits.
Mungkin inilah yang menimbulkan term ahli sunnah dan jama’ah, yaitu golongan yang
berpegang teguh pada sunnah dan merupakan golongan mayoritas. Yang dimaksud dengan ahli
sunnah wal jama’ah dalam ilmu kalam adalah aliran Asy’ariah dan Maturidiah yang menentang
ajaran-ajaran Mu’tazilah.
1) Aliran Asy’ariah
a) Al Asy’ari dan karyanya
Al Asy’ari (873-935 M) pernah menjadi pengikut setia aliran Mu’tazilah selama
40 tahun, tetapi akhirnya ia keluar disebabkan karena perbedaan pendapat dengan
gurunya, Al Jubbai. Kemudian Al Asy’ari mendirikan aliran baru yang disebut aliran
Asy’ariah yang dalam perluasannya diidentikkan dengan sebutan aliran ahlussunnah wal
jama’ah. Di antara karya-karyanya: Maqaalat al Islaamiyyin, Al Ibanah ‘an Ushul al
Diniyah dan Al Luma’ fi al rad ala ahla ziagh wa al bid’a
b) Ajaran-ajaran Al Asy’ariah
(1) Tentang wahyu Tuhan yang disebut Kalam Allah. Kalam Allah yaitu lafal-lafal yang
diturunkan Tuhan melalui malaikat Jibril kemudian disampaikan kepada Nabi
Muhammad, adalah dalalah dari kalam yang sifatnya azali. Dalalah yang disebutkan
itu adalah makhluk (diciptakan), yang madlul bersifat qadim dan azali.
(2) Pengakuan adanya sifat-sifat Tuhan. Menurut Al Asy’ari sifat-sifat Tuhan itu tidak
sama dengan Zat Tuhan, keduanya qadim. Jadi, Tuhan mempunyai Zat, sifat dan
perbuatan.
(3) Melihat Tuhan di akhirat. Manusia dapat melihat Tuhan di akhirat karena Tuhan itu
maujud, setiap yang maujud memungkinkan untuk padat dilihat.
(4) Dosa besar. Orang Islam yang melakukan dosa besar, ia tetap mukmin ‘ashi atau
fasiq, apabila ia meninggal dunia sebelum bertaubat maka ia terserah kepada Tuhan
atas pelanggarannya itu, apakah Tuhan akan menyiksa atau mengampuninya.
Walaupun ia masuk neraka, tetapi akhirnya dimasukkan ke dalam surga juga.
(5) Imamah atau kepala pemerintahan ditetapkan berdasarkan musyawarah untuk
mendapatkan mufakat dan dengan pemilihan.
c) Tokoh-tokoh aliran Asy’ariah
(1) Al Baqillani
(2) Al Juwaini
(3) Al Ghazali
(4) As Sanusi
2) Aliran Maturidiyah
a) Al Maturidi dan karyanya
Al Maturidi (944 M) adalah pengikut Abu Hanifah. Sistem pemikiran theologinya
masuk dalam golongan theologi ahlussunah waljama’ah dan dikenal dengan nama Al
Maturidiyah. Diantara karyanya adalah sebagai berikut: Kitab Ta’wilat Al Qur’an atau
Ta’wilat As Sunah, Kitab Al Jadal, Kitab Maqalat, Kitab At Tauhid, dan Kitab Ushul
b) Ajaran-ajaran Al Maturidiyah
Perlu diketahui bahwa aliran Maturidiah terbagi menjadi dua golongan yaitu
golongan Samarkand yang merupakan pengikut Al Maturidi sendiri dan golongan
Bukhara yang merupakan pengikut Al Bazdawi (murid Al Maturidi). Ajaran-ajaran Al
Maturidi:
(1) Peranan akal dan wahyu, menurutnya meskipun kewajiban mengetahui Tuhan dapat
diketahui dengan akal, tetapi kewajiban itu sendiri datangnya dari Tuhan.
(2) Sifat-sifat Allah, Aliran Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-
sifat.
(3) Al Qur’an, menurut Al Maturidi bahwa Al Qur’an itu sifat Tuhan, ia tidak
diciptakan, tetapi bersifat qadim.
(4) Anthropomorphisme, Al maturidi tidak menyetujui paham tashbih dan tajsim bagi
Tuhan. Adapun kata-kata tangan, wajah, mata, yang diidhofahkan pada Tuhan dalam
Al Qur’an harus dita’wilkan.
(5) Melihat Tuhan di akhirat, Al Maturidi sependapat dengan paham Al Asy’ari bahwa
Tuhan akan dapat dilihat oleh manusia di akhirat.
c) Tokoh aliran Maturidiyah
Salah satu tokoh yang penting yaitu Al Bazdawi (421-493 H). Ia berhasil
mengarang beberapa kitab penting yaitu Ushul Al Din, Al Waaqi’aat dan Al Mabsuth.
4. Perbandingan antar aliran dalam akidah Islam
1) Wahyu dan akal
Kaum Mu'tazilah berpendapat semua persoalan di atas dapat diketahui oleh akal manusia
dengan perantara akal yang sehat dan cerdas seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula
mengetahui yang baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur
kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik.
Berbeda dengan Mu'tazilah, kaum asy’ariyah berpendapat akal memang dapat mengetahui
adanya Tuhan. Tetapi akal tidak dapat mengetahui cara berterima kasih kepada Tuhan. Untuk
mengetahui hal-hal tersebut diperlukan wahyu. Melalui wahyu manusia bisa mengetahuinya. Tanpa
wahyu, manusia tidak akan tahu.
Golongan maturidiyah samarkan berpendapat, akal dapat mengetahui adanya Tuhan
kewajiban dan berterima kasih kepada Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Tetapi akal tidak
dapat mengetahui bagaimana kewajiban berbuat baik dan meninggalkan buruk, karena itu wahyu
sangatlah diperlukan untuk menjelaskannya.
Golongan maturidiyah bukhara sependapat dengan kaum asy’ariyah
2) Pelaku dosa besar
a) Menurut aliran Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ektrimitas dalam memutuskan
persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula
tentang status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam
peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu'awiyah, amr bin al-ash, Abu Musa al-asy’ari adalah kafir,
berdasarkan firman Allah pada surat al-Maidah ayat 44:
Artinya:“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabiiah), menurut semua sub sekte khwarij,
kecuali najdah adalah kafir dan akan disiksa dineraka selamanya. Sub sekte yang sangat
ekstrim, azariqah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir, yaitu musyrik.
Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dengan
barisan mereka. Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status
keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan berarti ia telah keluar dari Islam, mereka
kekal dineraka bersama orang-orang kafir lainnya.
b) Menurut aliran Murji’ah
Pandangan aliran murji’ah tentang setatus pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari
definisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Secara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan
sub sekte Khawarij dapat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat.
Harun nasution berpendapat bahwa sub sekte murji’ah yang ekstrim dan mereka yang
berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak
selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala
ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah
menggeser atau merusak keimanannya. Bahkan keimanannya masih sempurna dimata Tuhan.
Adapun murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah
menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada ukuran
dosar yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni
dosanya sehingga ia bebas dari siksa neraca.
c) Menurut aliran Mu'tazilah
Perbedaannya, bila khwarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan murji’ah memelihara
keimanan pelaku dosa besar, Mu'tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi
pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat
terkenal, yaitu al-manzilah baial manzilataini.
Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu'tazilah, berada diposisi tengah diantara posisi
mukmin dan kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan
dimasukkan ke dalam nerak selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya
lebih ringan dari pada siksaan orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh
Mu'tazilah, seperti wastul bin atha’ dan amr bin ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah
fasik yang bukan mukmin atau kafir.
d) Aliran Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, sebagai wakil ahl-as-Sunah, tidak
mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun melakukan dosa
besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang
beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika
dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak
meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan
tidak sempat bertaubat, maka menurut al-asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan
Yang Maha Esa berkehendak mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa asy’ariyah
sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan murji’ah, khususnya dalam pernyataan
yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.
e) Aliran Maturidiyah
Aliran maturidiyah, baik samarkand maupun bukhara, sepakat menyatakan bahwa
pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. adapun
balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia.
jika ia meninggal tanpa tobat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada
kehendak Allah SWT. jika menghendaki pelaku dosa besar diampuni, ia akan memasukkan ke
neraca, tetapi tidak kekal didalamnya.
f) Aliran Syi’ah Zadiyah
Penganut Syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal
di dalam neraca, jika ia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah
zaidiyah memang dekat dengan Mu'tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat washil
bin atha’, mempunyai hubungan dengan zaid moojan momen bahkan mengatakan bahwa zaid
pernah belajar kepada washil bin atho’
3) Sifat-sifat Tuhan
a) Menurut aliran Mu'tazilah
Pertentangan paham antara kaum Mu'tazilah dan kaum asy’ariyah dalam masalah ini
berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai
sifat-sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan zat Tuhan. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat
akan membawa kepada paham banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’ atau poltiplicity of
eternals). Dan ini selanjutnya membawa pula kepada paham syirik atau polyteisme. Suatu hal
yang tak dapat diterima dalam teologi.
Sebagian telah dilihat dalam bagian 1, kaum Mu'tazilah mencoba menyelesaikan
persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Ini berarti bahwa
Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuatan dan sebagainya. Tuhan
tetap mengetahui dan sebagainya bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya. Arti “Tuhan
mengetahui dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.
b) Menurut Aliran Asy’ariyah
Kaum asy’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan Mu'tazilah mereka
dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat.
Menurut aliran asy’ariyah sendiri tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat,
karena perbuatan-perbuatan nya, di samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan
sebagainya, juga menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
c) Aliran Maturidiyah
Dapat ditemukan persamaan antara al-maturidi dan al-asy’ari, seperti di dalam
pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama’, basher dan sebagainya. walaupun
begitu pengertian al-maturidi tentang sifat berbeda dengan al-asy’ari. Menurut al-maturidi
sifat tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu
mulazamah (ada bersama, baca: inheren) dzat tanpa pemisah.
Tampaknya paham al-maturidi, tentang makna sifat cenderung mendekati paham
Mu'tazilah. Perbedaannya al-maturidi mengaku adanya sifat-sifat sedangkan al-Mu'tazilah
menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
d) Aliran Syi’ah Rafidhah
Sebagian besar tokoh Syi’ah rafidhah menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu,
namun adapula sebagian dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak bersifat tahun terhadap
sesuatu sebelum ia menghendaki. Tatkala ia menghendaki sesuatu, ia pun bersifat tahu, jika
dia tidak menghendaki, dia tidak bersifat tahu, maka Allah berkehendak menurut merek
adalah bahwa Allah mengeluarkan gerakan (taharraka harkah), ketika gerakan itu muncul, ia
bersifat tahu terhadap sesuatu itu. Mereka berpendapat pula bahwa Allah tidak bersifat tahu
terhadap sesuatu yang tidak ada.4
4) Iman dan kufur
a) Aliran Khawarij
Khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya, yaitu dosa besar agar dengan
demikian orang Islam yang tidak sejalan dengan pendiriannya dapat diperangi dan dapat
dirampas harta bendanya dengan dalih mereka berdosa dan setiap yang berdosa adalah kafir.
Mengkafirkan Ali, Utsman, 2 orang hakam, orang-orang yang terlibat dalam perang jamal dan
orang-orang yang rela terhadap tahkim dan mengkafirkan orang-orang yang berdosa besar dan
wajib berontak terhadap penguasa yang menyeleweng.
Dan iman menurut kwaharij, iman bukanlah tasdiq. Dan iman dalam arti mengetahui
pun belumlah cukup. Menurut Abd. Al-jabbar, orang yang tahu Tuhan tetapi melawan
kepada-nya, bukanlah orang yang mukmin, dengan demikian iman bagi mereka bukanlah
tasdiq, bukan pula ma’rifah tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan
tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan
b) Aliran Murji’ah
Menurut sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa
keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang
yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya,
bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Sementara yang dimaksud murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa
pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal
didalamnya bergantung pada dosa yang dilakukannya. 7
c) Aliran Mu'tazilah
Iman adalah tashdiq di dalam hati, iktar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan
konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan
seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut pula olah Khawarij.8
d) Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh syahrastani, iman secara esensial adalah tasdiq bil
al janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qaul dengan lesan dan melakukan berbagai
kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’ (cabang-cabang) iman. Oleh sebab
itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya dan juga membenarkan
utusan-utusan nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya, iman secara ini merupakan sahih.
Dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu dari hal-hal
tersebut.
e) Maturidiyah
Iman adalah tasdid dalam hati dan diikrarkan dengan lidah, dengan kata lain,
seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan kebenaran Allah dan
mengikrarkan kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan iman
dengan amal perbuatan manusia. yang penting tasdid dan ikrar.
5) Perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
a) Aliran Jabariyah
Menurut aliran ini, manusia tidak berkuasa atas perbuatannya yang menentukan
perbuatan manusia itu adalah Tuhan, karena itu manusia tidak berdaya sama sekali untuk
mewujudkan perbuatannya baik atau buruk.
Diumpamakan manusia seperti wayang yang tidak berdaya, bagaimana dan kemana ia
bergerak terserah dalang yang memainkan wayang itu. Dalang manusia adalah Tuhan, ini
dianggap paham Jabariyah yang dianggap moderat, perbuatan manusia tidak sepenuhnya
ditentukan untuk Tuhan, tetapi manusia punya andil juga dalam dalam mewujudkan
perbuatannya.
b) Aliran Qadariyah
Manusia mempunyai iradat (kemampuan berkehendak atau memilih) dan qudrah
(kemampuan untuk berbuat). Menurut paham ini Allah SWT membekali manusia sejak
lahirnya dengan qudrat dan iradat, suatu kemampuan untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan
tersebut.
c) Aliran Mu'tazilah
Paham ini dalam masalah af’al ibadah seirama dengan paham Qadariyah untuk
perbuatan-perbuatan Tuhan, mereka berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-
kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban yaitu kewajiban berbuat baik dan
terbaik bagi manusia seperti kewajiban Tuhan menepati janji-janji-Nya. Kewajiban Tuhan
mengirim Rasul-rasul-Nya untuk petunjuk kepada manusia dan lain-lain.11
d) Aliran Asy’ariyah
Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan qodrat dan iradat Tuhan,
Abu Hasan Ali Bin Ismail al-Asy’ari menggunakan paham kasb yang dimaksud dengan al-
Kasb adalah berbarengan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Artinya apabila
seseorang ingin melakukan suatu perbuatan, perbuatan itu baru terlaksana jika sesuai dengan
kehendak Tuhan.
e) Aliran Maturidiyah
Menurut golongan maturidiyah, kemauan sebenarnya adalah kemauan Tuhan namun
tidak selamanya perbuatan manusia dilakukan atas kerelaan Tuhan karena Tuhan tidak
menyukai perbuatan-perbuatan buruk. Jadi di dalam aliran maturidiyah ada 2 unsur: kehendak
dan kerelaan.
6) Kehendak muthlak dan keadilan Tuhan
a) Aliran Mu'tazilah
Mu'tazilah yang berperinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan
tidak mungkin bebuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian
mengharuskan hamba-Nya untuk menanggung akibat perbuatannya, secara lebih jelas aliran
Mu'tazilah mengatakan bahwa kekuasaan sebenarnya tidak mutlak lagi. Itulah sebabnya
Mu'tazilah menggunakan ayat 62 surat Al-Ahzab (33)
Artinya: “Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu
sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah.”
b) Aliran Asy’ariyah
Mereka percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan
Tuhan tidak mempunyai tujuan, yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata
adalah kekuasan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau
tujuan yang lain.
Landasan surat al-Buruj ayat 16
Artinya: “Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.”
c) Aliran Maturidiyah
Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah samarkand, dibatasi oleh keadilan
Tuhan, Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak
mampu untuk berbuat serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban hanya terhadap manusia.
pendapat ini lebih dekat dengan Mu'tazilah.
Adapun maturidiyah bukharak berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan
mutlak, Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya tidak
ada yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Tampaknya
aliran maturidiyah bukhara lebih dekat dengan asy’ariyah.

B. Ilmu Fiqh
1. Pengertian istilah (syariah, fiqh dan hukum Islam) Sumber hukum Islam (al-Qur’an, hadits dan ijthad)
a. Pengertian Syariah
Secara etimologis syariah berarti “jalan yang harus diikuti.” Kata syariah muncul dalam
beberapa ayat Al-Qur’an, seperti dalm surah Al-Maidah:48, asy-Syura: 13, yang mengandung arti
“ jalan yang jelas yang membawa kepada kemenangan.”(Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqih. Hal. 1). Dalam hal ini agama yang ditetapkan oleh Allah disebut syariah, dalam artian
lughawi karena umart isla selalu melaluinya dalam kehidupannya.
Menurut para ahli, syariah secara terminologi adalah “segala titah Allah yang
berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang mengenai akhlak”. Dengan demikian
syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah. Karena memang syariah itu
adalah hukum amaliah yang berbeda menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap
yang dating kemudian mengoreksi yang dating lebih dahulu. Sedangkan dasar agama yaitu
tauhid/aqidah tidak berbeda antara Rasul yang satu dengan yang lain. Sebagian ulama ada yang
mengartikan syariah itu dengan: “ Apa-apa yang bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan
perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada hal yang halal dan haram.” Lebih dalam
lagi Syaltut mengartikan syariah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah
bagi hamba-hambaNya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan
manusia. Dr.Farouk Abu Zeid menjelaskan bahwa syariah itu adalah apa-apa yang ditetapkan
Allah melalui lisan Nabi-Nya. Allah adalah pembuat huku yang menyangkut kehidupan agama
dan kehidupan dunia.
b. Pengertian Fiqh
Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan
potensi akal. Sedangkan secara terminologi fiqh merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu
pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang
telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci. Sedangkan menurut
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin mengatakan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’I yang
bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dengan dalil-dalil yang tafsili.
Penggunaan kata “syariah” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqh itu
menyangkut ketentuan yang bersifat syar’I, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Kata
“amaliah” yang terdapat dalam definisi diatas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut
tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian hal-hal yang bersifat bukan
amaliah seperti masalah keimanan atau “aqidah” tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam
uraian ini. penggunaan kata “digali dan ditemukan” mengandung arti bahwa fiqh itu adalah hasil
penggalian, penemuan, penganalisisan, dan penentuan ketetapan tentang hukum. Fiqh itu adalah
hasil penemuan mujtahid dalam hal yang tdak dijelaskan oleh nash.
Dari penjelasan diata dapat kita tarik benang merah, bahwa fiqh dan syariah memiliki
hubungan yang erat. Semua tindakan manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik itu
harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak Allah dan Rasul itu sebagian
terdapat secara tertulis dalam kitab-Nya yang disebut syari’ah. Untuk mengetahui semua
kehendak-Nya tentang amaliah manusia itu, harus ada pemahaman yang mendalam tentang
syari’ah, sehingga amaliah syari’ah dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi apapun dan
bagaimanapun. Hasilnya itu dituangkan dalam ketentuan yang terinci. Ketentuan yang terinci
tentang amaliah manusia mukalaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman
terhadap syari’ah itu disebut fiqh.
c. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam merupakan rangkaian kata “hukum” dan “islam”. Secara terpisah hukum
dapat diartikan sebagai seperangkat perturan tentang tingkah laku manusia yang diakui
sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku
dan mengikat seluruh anggotanya. Bila kata “hukum” di gabungkan dengan kata “islam”, maka
hukum islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah rasul tentang
tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang
beragama islam.
Bila artian sederhana tentang hukum islam itu dihubungkan dengan pengertian fiqh, maka
dapat dikatakan bahwa yang dimaksud hukum islam itu adalah yang bernama fiqh dalam literatur
islam yang berbahasa arab.
Sumber hukum islam adalah sesuatu yang menimbulkan suatu aturan yang mengikat dan
menjadi sumber rujukan apabila mendapati suatu hambatan dalam memecahkan masalah bagi umat
islam. Sumber hukum islam terdapat tiga hal yaitu, Al-Qur'an, Hadits, dan Ijtihad. Al-Qur’an
merupakan sumber utama dalam hukum Islam. Dengan demikian, segala ketentuan hukum harus
merujuk pada kitab suci tersebut. Untuk mengetahui tuntunan salat misalnya, kita terlebih dahulu perlu
mengacu penjelasan dalam Al-Qur’an. Di sana banyak ayat yang menyatakan, ”tunaikanlah salat”.
Untuk memahami lebih lanjut, kita perlu mencari penjelasan dalam hadis. Selanjutnya, kita perlu
menentukan hukumnya dengan menggunakan bantuan ilmu fikih sehingga diketahui salat itu
hukumnya harus dikerjakan (wajib), diperbolehkan (mubah), dianjurkan (sunah) atau hukum-hukum
yang lain.
Untuk lebih jelasnya mari kita simak bersama penjelasan di bawah ini:
a. Al-Qur'an Sebagai Sumber Hukum Islam Pertama
Al-Qur’an merupakan kitab suci sekaligus menjadi sumber utama dalam penetapan hukum.
Dengan demikian, semua ketentuan hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan aturan-
aturan yang termuat dalam Al-Qur’an.
1) Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui
perantara Malaikat Jibril. Kitab ini diturunkan secara berangsur-angsur sebagai petunjuk dan
pedoman bagi seluruh umat manusia. Ketentuan ini sebagaimana dijelaskan pada ayat berikut.
Artinya: Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-
Nya (Muhammad) agar dia menjadi pemberi peringatan bagi seluruh alam (jin dan manusia).
(Q.S. al-Furqan [25]: 1)
Al-Qur’an juga merupakan kitab suci Allah yang terakhir. Setelah kitab suci Al-
Qur’an tidak ada kitab suci lain yang boleh dijadikan sebagai pedoman hidup. Dalam Al-
Qur’an memuat tiga pembahasan pokok, yaitu akidah (keimanan), ibadah mahdah, dan
muamalah.
2) Kedudukan Al-Qur’an
Al-Qur’an memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia,
misalnya sebagai berikut.
a) Wahyu Allah Swt.
Segala ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an murni merupakan firman dari
Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril. Oleh
karena merupakan firman Allah, Al-Qur’an memiliki kedudukan yang utama dan harus
dijadikan pijakan manusia dalam menjalani hidup.
b) Pedoman Hidup
Sebagai kitab suci, Al-Qur’an harus menjadi pedoman hidup manusia untuk
meraih keselamatan dan kebahagiaan. Orang yang berpedoman pada Al-Qur’an termasuk
golongan orang yang bertakwa dan akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
c) Mukjizat Nabi Muhammad saw.
Oleh karena kedudukannya sebagai mukjizat Nabi Muhammad, Al-Qur’an
memiliki keistimewaan yang tiada banding. Contohnya kitab suci ini merupakan wahyu
Allah yang paling sempurna dan menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya. Seluruh isi
Al-Qur’an menunjukkan kebenaran. Dengan keistimewaan ini, Al-Qur’an harus menjadi
pedoman manusia dari sejak diturunkan hingga akhir zaman.
3) Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam
Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber hukum agama berarti
menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pokok dan dalil pertama untuk menentukan suatu
hukum. Dengan demikian, jika terjadi suatu masalah atau persoalan, rujukan pertama adalah
pada aturan Al-Qur’an. Kedudukan Al-Qur’an sangat utama dalam hukum Islam karena
langsung diturunkan dari Allah Swt. Oleh karena itu, di dalamnya memuat jawaban segala
persoalan, baik yang menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah (hablun minallah)
maupun antarsesama manusia (hablun minannas). Di dalamnya juga memuat informasi
tentang alam gaib, seperti akhirat, surga, dan neraka.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang sangat lengkap. Dalam beberapa hal
seperti warisan, pembahasan diuraikan secara terperinci. Dalam hal lain Al-Qur’an hanya
memberi penjelasan secara global. Oleh karena itu, perlu penjelasan pendukung, yaitu dengan
hadis Rasulullah saw. (Satria Effendi dan M. Zein. 2005. Halaman 92)
b. Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
Hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan taqrir yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad. Sebagai seorang rasul, Nabi Muhammad saw. adalah teladan bagi setiap muslim
sehingga semua perintah dan ajarannya harus kita ikuti. Mengikuti Rasulullah juga merupakan
kewajiban bagi setiap muslim karena salah satu bukti ketakwaan kita kepada Allah adalah mau
mengikuti perintah Rasulullah saw. Dengan demikian, kedudukan hadis bagi umat Islam juga
sangat penting.
1) Derajat / Tingkatan-Tingkatan Hadis
Dalam ilmu hadis, hadis dibagi menjadi beberapa macam. Sebagai pengenalan, kita
akan membahas bentuk hadis berdasarkan nilainya. Jika hadis dilihat dari segi nilainya dapat
dibedakan menjadi hadis sahih, hasan, dan da’if.
a) Hadis Sahih
Disebut hadis sahih jika memenuhi syarat; sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh
rawi yang adil, dan matannya tidak mengandung kejanggalan-kejanggalan.
b) Hadis Hasan
Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung dan diriwayatkan oleh rawi yang
adil, tetapi tidak sempurna, meskipun matannya tidak mengandung kejanggalan.
c) Hadis Da‘if
Hadis da’if derajatnya paling rendah, di bawah sahih dan hasan. Suatu hadis dianggap
memiliki kedudukan da'if karena banyak sebab. Misalnya karena matan (isi) hadis
tersebut ada yang cacat, perawinya tidak bersambung, dan kelemahan-kelemahan
lainnya.
2) Kedudukan Hadis dalam Hukum Islam
Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Dengan demikian, hadis
memiliki fungsi yang sangat penting dalam hukum Islam. Di antara fungsi hadis, yaitu untuk
menegaskan ketentuan yang telah ada dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, ada ketentuan-
ketentuan hukum yang telah tercantum dalam Al-Qur’an yang dipertegas kembali dalam
hadis. Fungsi lainnya adalah untuk menjelaskan ketentuan yang telah ada dalam Al-Qur’an.
Ketentuan hukum dalam Al-Qur’an kadang masih bersifat umum sehingga butuh penjelasan
yang lebih khusus.
Contohnya fungsi hadis yang menjelaskan ketentuan tentang waktu salat, jumlah
rakaatnya, dan doa-doanya. Jika dalam Al-Qur’an ketentuan-ketentuan tersebut tidak
dijelaskan secara terperinci. Meskipun suatu hukum kadang tidak dijelaskan dalam Al-
Qur’an, jika dalam hadis disebutkan aturan tertentu, kita pun harus mematuhinya. Contohnya,
dalam ayat-ayat Al-Qur’an sedikit dijelaskan tentang salat-salat sunah. Akan tetapi,
Rasulullah memerintahkan dan memberi contoh kepada kita untuk mengerjakan beberapa
macam salat sunah, kita pun harus mematuhinya. (Satria Effendi dan M. Zein. 2005. 124)
c. Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam Ketiga
1) Pengertian Ijtihad
Setelah Al-Qur’an dan hadis sebagai rujukan penetapan hukum, sumber hukum yang
ketiga adalah ijtihad. Ijtihad berasal dari kata ijtahada yang artinya bersungguh-sungguh atau
mencurahkan segala kemampuan. Ijtihad dilakukan dengan mencurahkan kemampuan untuk
mendapatkan syara’ atau ketentuan hukum yang bersifat operasional dengan mengambil
kesimpulan dari prinsip dan aturan yang telah ada dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi
Muhammad saw.
Dalil yang menegaskan kedudukan ijtihad sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang
artinya, ”Dari Mu‘az, bahwasanya Nabi Muhammad saw., ketika mengutusnya ke Yaman
bersabda sebagai berikut. ”Bagaimana pendapat engkau jika suatu perkara diajukan kepadamu
bagaimana engkau memutuskannya?” Mu’az menjawab, ”Saya akan memutuskan menurut
kitabullah (Al-Qur’an).” Selanjutnya Nabi saw. bertanya, ”Dan jika di dalam kitabullah,
engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” ”Jika begitu saya akan memutuskan
menurut sunah Rasulullah,” jawab Mu’az. Nabi saw. bertanya kembali, ”Dan jika engkau
tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu di dalam sunah Rasulullah?” Jawab Mu‘az, ”Saya
akan berijtihad mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ajtahidu ra’yi) tanpa
bimbang sedikit pun.” Selanjutnya Nabi saw. (sambil menepuk dada Muaz) berkata,
”Mahasuci Allah yang memberikan bimbingan kepada utusan rasul-Nya dengan satu sikap
yang disetujui rasul-Nya.” (H.R. Abu-Daud dan Tirmizi)
Hadis dari Mu‘az bin Jabal di atas menjelaskan bahwa Al-Qur’an merupakan rujukan
sumber dari segala sumber hukum Islam. Demikian juga halnya dengan hadis Rasulullah. Jika
pada kedua sumber tersebut tidak ditemukan ketentuan hukum secara konkret, kita boleh
berijtihad dengan akal sehat kita. Para ulama juga berpendapat bahwa hasil ijtihad dapat
digunakan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
2) Mujtahid dan Syarat-syaratnya
Kedudukan ijtihad sangat penting dan diperlukan. Oleh karena pentingnya, dalam
hadis Rasulullah dijelaskan bahwa jika hasil ijtihad seseorang benar akan mendapat balasan
dua pahala, sebaliknya jika keliru tetap mendapatkan pahala satu. Dengan demikian,
berijtihad sangat penting kita lakukan untuk menetapkan ketentuan hukum. Tidak benar
pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Sebaliknya, umat Islam
dianjurkan untuk berijtihad. Ijtihad harus dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi syarat-
syarat tertentu. Yusuf Qardawi dalam bukunya Al-Ijtihad fiasy-Syari‘ah al-Islamiyyah
mengatakan bahwa ada delapan hal yang menjadi syarat pokok untuk menjadi mujtahid.
Kedelapan hal itu sebagai berikut.
a) memahami Al-Qur’an dengan beragam ilmu tentangnya;
b) memahami hadis dengan berbagai ilmu tentangnya;
c) mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab;
d) mengetahui tempat-tempat ijmak;
e) mengetahui usul fikih;
f) mengetahui maksud-maksud syariat;
g) memahami masyarakat dan adat istiadatnya; serta
h) bersifat adil dan takwa.
Selain delapan syarat tersebut, beberapa ulama menambah tiga syarat lainnya, yaitu:
a) mendalami ilmu us.uluddin (pokok-pokok agama);
b) memahami ilmu mantiq (logika); dan
c) menguasai cabang-cabang fikih.
3) Kedudukan Ijtihad dalam Hukum Islam
Kita telah sepakat bahwa Al-Qur’an dan hadis merupakan sumber pokok hukum
Islam. Ijtihad untuk menentukan hukum dibenarkan dengan tujuan kemaslahatan untuk
menjawab setiap persoalan yang terjadi. Dengan demikian, hukum Islam secara dinamis
mampu mengantisipasi tuntutan perubahan zaman. Ijtihad ini dapat dilakukan dengan
beragam cara, misalnya qiyas, istihsan, dan urf. Dalam melakukan ijtihad terhadap suatu
masalah yang sama, kadang ulama yang satu menggunakan cara pendekatan yang berbeda
dengan ulama yang lain. Oleh karena menggunakan cara pendekatan yang berbeda, hasil
ijtihad tidak tertutup kemungkinan untuk berbeda. Akan tetapi, perbedaan pendapat yang
terjadi merupakan rahmat yang tidak perlu diperselisihkan.
Dengan dilakukannya ijtihad mengandung beberapa manfaat yang sangat penting.
Dengan ijtihad hukum Islam semakin dinamis karena dapat menjawab persoalan yang terjadi
pada masa-masa tertentu. Selain itu, dengan dibolehkannya ijtihad akan melatih para ulama
untuk berpikir kritis dan mau menggali lebih dalam ajaran-ajaran Al-Qur’an. Pada saat ini
ijtihad tumbuh subur di dunia, khususnya di negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam. Ijtihad dilakukan oleh para ulama, baik secara kolektif yang tergabung dalam lembaga
atau organisasi tertentu serta secara pribadi.
Hukum Ijtihad Ulama fikih membagi hukum ijtihad menjadi tiga macam. Hukum-
hukum tersebut berkaitan dengan saat ijtihad tersebut disampaikan.
Pertama, ijtihad itu fardu ‘ain, yaitu harus dilakukan oleh setiap muslim. Hal ini terjadi
jika seseorang berada dalam suatu keadaan atau masalah dan ia harus menentukan sikap,
sementara tidak ada orang lain di sana.
Kedua, ijtihad itu fardu kifayah, yaitu jika ada suatu masalah dan pada saat yang sama
ada para ulama yang mampu melakukan ijtihad. Oleh karena itu, hanya mereka yang telah
mampu yang dibolehkan melakukan ijtihad.
Ketiga, ijtihad itu mandub atau sunah, jika terdapat masalah yang masih baru dan
masih bersifat wacana atau belum terjadi. Saat itu, ijtihad tidak harus dilakukan, walaupun
jika dilakukan tetap diperbolehkan sebagai langkah antisipasi kemungkinan pada masa depan.
2. Thaharah (hadas dan najis) Shalat (pengertian, dasar, syarat-rukun, macamnya)
a. Thaharah
1) Pengertian Thaharah
Thaharah menurut bahasa ialah bersih dan bersuci dari segala kotoran, baik yang
nyata seperti najis, maupun yang tidak nyata seperti aib. Menurut istilah para fuqaha’ berarti
membersihkan diri dari hadas dan najis, seperti mandi berwudlu dan bertayammum.
Suci dari hadas ialah dengan mengerjakan wudlu, mandi dan tayammum. Suci dari
najis ialah menghilangkan najis yang ada di badan, tempat dan pakaian.
Urusan bersuci meliputi beberapa perkara sebagai berikut:
a) Alat bersuci seperti air, tanah, dan sebagainya.
b) Kaifiat (cara) bersuci.
c) Macam dan jenis-jenis najis yang perlu disucikan.
d) Benda yang wajib disucikan.
e) Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:


Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh;
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci,
maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
(QS. 2:222)
Adapun thaharah dalam ilmu fiqh ialah:
a) Menghilangkan najis. c) Mandi.
b) Berwudlu. d) Tayammum.
Alat yang terpenting untuk bersuci ialah air. Jika tidak ada air maka tanah, batu dan
sebagainya dijadikan sebagai alat pengganti air. Air yang dapat dipergunakan untuk bersuci
ada tujuh macam: Air hujan. Air sungai. Air laut. Air dari mata air. Air sumur. Air salju. Air
embun.
Air tersebut dibagi menjadi 4, yaitu :
a) Air mutlak (air yang suci dan mensucikan), yaitu air yang masih murni, dan tidak
bercampur dengan sesuatu yang lain.
b) Air musyammas (air yang suci dan dapat mensucikan tetapi makhruh digunakan), yaitu
air yang dipanaskan dengan terik matahari di tempat logam yang bukan emas.
c) Air musta’mal (air suci tetapi tidak dapat mensucikan), yaitu air yang sudah digunakan
untuk bersuci.
d) Air mutanajis (air yang najis dan tidak dapat mensucikan), yaitu air telah kemasukan
benda najis atau yang terkena najis.
2) Macam-Macam Thaharah
a) Bersuci dari dosa (bertaubat).
Bertaubat kepada Allah yang merupakan thaharah ruhaniah, juga sebagai metode
mensucikan diri dari dosa-dosa yang besar maupun yang kecil kepada Allah. Jika dosa
yang dimaksudkan berhubungan dengan manusia, sebelum bertaubat ia harus meminta
maaf kepada semua orang yang disakitinya. Sebab Allah akan menerima taubat hamba-
Nya secara langsung jika berhubungan dengan dosa-dosa yang menjadi hak Allah.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an
Artinya : “Dan hendaklah kamu memohon ampunan kepada Tuhanmu dan
bertaubat kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu
sampai waktu yang telah ditentukan. Dan Dia akan memberikan karunia-Nya kepada
setiap orang yang berbuat baik. Dan jika kamu berpaling maka sungguh Aku takut kamu
akan ditimpa azab pada hari yang besar (kiamat)”.
Yang dimaksud dengan taubat nashuha adalah taubat yang sesungguhnya. Ciri-
cirinya adalah:
(1) Menyesal dengan perbuatan yang telah dilakukan.
(2) Berjanji tidak akan mengulanginya.
(3) Selalu meminta ampunan kepada Allah dan berzikir.
(4) Berusaha terus menerus untuk memperbaiki diri dengan memperbanyak perbuatan
baik dengan mengharap keridhoan dari Allah SWT.
b) Bersuci menghilangkan najis.
Najis menurut bahasa ialah apa saja yang kotor, baik jiwa, benda maupun amal
perbuatan. Sedangkan menurut fuqaha’ berarti kotoran (yang berbentuk zat) yang
mengakibatkan sholat tidak sah.
Benda-benda najis
(1) Bangkai (kecuali bangkai ikan dan (6) Kencing dan kotoran (tinja) manusia
belalang) maupun binatang
(2) Darah (7) Susu binatang yang haram dimakan
(3) Babi dagingnya
(4) Khamer dan benda cair apapun yang (8) Wadi dan madzi
memabukkan (9) Muntahan dari perut
(5) Anjing
Macam-macam najis
(1) Najis dibagi menjadi 3 bagian:
(a) Najis mukhaffafah (ringan), ialah air kencing bayi laki-laki yang belum berumur
2 tahun dan belum pernah makan sesuatu kecuali ASI. Cara mensucikannya,
cukup dengan memercikkan air ke bagian yang terkena najis sampai bersih.
(b) Najis mutawassithah (sedang), ialah najis yang keluar dari kubul dan dubur
manusia dan binatang, kecuali air mani. Najis ini dibagi menjadi dua: Najis
‘ainiyah, ialah najis yang berwujud atau tampak dan Najis hukmiyah, ialah najis
yang tidak tampak seperti bekas kencing atau arak yang sudah kering dan
sebagainya. Cara mensucikannya, dibilas dengan air sehingga hilang semua
sifatnya (bau, warna, rasa dan rupanya)
(c) Najis mughallazah (berat), ialah najis anjing dan babi. Cara mensucikannya,
lebih dulu dihilangkan wujud benda najis itu, kemudian dicuci dengan air bersih
7 kali dan salah satunya dicampur dengan debu.
Najis yang dimaafkan
(a) Bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir seperti nyamuk, kutu, dan
sebagainya.
(b) Najis yang sangat sedikit.
(c) Darah bisul dan sebangsanya.
(d) Kotoran binatang yang mengenai biji-bijian yang akan ditebar, kotoran binatang
ternak yang mengenai susu ketika diperah.
(e) Kotoran ikan d dalam air.
(f) Darah yang mengenai tukang jagal.
(g) Darah yang masih ada pada daging.
c) Bersuci dari hadas
Hadas menurut makna bahasa “peristiwa”. Sedangkan menurut syara’ adalah
perkara yang dianggap mempengaruhi anggora-anggota tubuh sehingga menjadikan sholat
dan pekerjaan-pekerjaan lain yang sehukum dengannya tidak sah karenanya, karena tidak
ada sesuatu yang meringankan. Hadas dibagi menjadi dua :
(1) Hadas kecil, adalah perkara-perkara yang dianggap mempengaruhi empat anggota
tubuh manusia yaitu wajah, dua tangan dan dua kaki. Lalu menjadikan sholat dan
semisalnya tidak sah. Hadas kecil ini hilang dengan cara berwudlu.
(2) Hadas besar, adalah perkara yang dianggap mempengaruhi seluruh tubuh lalu
menjadikan sholat dan pekerjaan-pekerjaan lain yang sehukum dengannya tidak sah.
Hadas besar ini bisa hilang dengan cara mandi besar.
3) Wudlu
a) Pengertian Wudlu
Wudlu secara bahasa berarti keindahan dan kecerahan. Sedangkan menurut istilah
syara’ bersuci dengan air dalam rangka menghilangkan hadas kecil yang terdapat pada
wajah, kedua tangan, kepala dan kedua kaki disertai dengan niat.
b) Rukun Wudlu
(1) Niat (4) Mengusap sebagian kepala
(2) Membasuh muka (5) Membasuh kaki sampai mata kaki
(3) Membasuh dua tangan sampai siku (6) Tertib, artinya urut.
c) Sunnah Wudlu
1) Membaca basmallah 7) Mengusap kepala
2) Membasuh tangan sampai 8) Menyela-nyela jari tangan dan jari
pergelangan terlebih dahulu kaki
3) Berkumur-kumur 9) Megusap kedua telinga
4) Membersihkan hidung 10) Membasuh sampai tiga kali
5) Menyela-nyela janggut yang tebal 11) Berturut-turut
6) Mendahulukan anggota yang kanan 12) Berdo’a sesudah wudlu
d) Hal-hal yang membatalkan wudlu
1) Keluarnya sesuatu dari dua jalan
2) Tertidur dengan posisi tidak duduk yang tetap
3) Hilangnya akal (gila, pingsan, mabuk dan sebagainya)
4) Tersentuh kemaluan dengan telapak tangan
5) Tersentuhnya kulit laki-laki dengan kulit perempuan yang bukan muhrim dan tidak
beralas
4) Mandi
1. Pengertian
Mandi dalam bahasa arab al ghuslu artinya mengalirkan alir pada apa saja.
Menurut pengertian syara’ berarti meratakan air yang suci pada seluruh tubuh disertai
dengan niat. Pengertian lain ialah mengalirkan air ke seluruh tubuh baik yang berupa
kulit, rambut, ataupun kuku dengan memakai niat tertentu. Mandi ini ada yang hukumnya
wajib dan ada yang sunnah.
2. Hal-hal yang mewajibkan mandi (mandi besar/ mandi wajib) yaitu Hubungan suami
istri, Mengeluarkan mani, Mati, Haid, Nifas, dan Wiladah (melahirkan)
3. Rukun mandi yaitu Niat, Menghilangkan najis bila terdapat pada badannya, dan
Meratakan air ke seluruh tubuh, baik berupa rambut maupun kulit
4. Sunnah mandi
a. Membaca basmallah d. Menyela-nyela pada g. Mendahulukan anggota
b. Berwudlu sebelum rambut yang tebal yang kanan
mandi e. Membasuh sampai tiga h. Memakai basahan
c. Menggosok badan kali
dengan tangan f. Berturut-turut
5) Tayammum
1. Pengertian
Tayammum adalah salah satu cara bersuci, sebagai ganti berwudlu atau mandi
apabila berhalangan memakai air. (Imam Zarkasyi, 1995:20)
2. Syarat tayammum
a. Islam
b. Tidak ada air dan telah berusaha mencarinya, tetapi tidak bertemu
c. Berhalangan mengguankan air, misalnya karena sakit yang apabila menggunakan air
akan kambuh sakitnya
d. Telah masuk waktu shalat
e. Dengan debu yang suci
f. Bersih dari Haid dan Nifas
3. Rukun tayammum
a. Niat
b. Mengusap muka dengan debu dari tangan yang baru dipukulkan atau diletakkan ke
debu
c. Mengusap kedua tangan sampai siku, dengan debu dari tangan yang baru dipukulkan
atau diletakkan ke debu, jadi dua kali memukul.
d. Tertib
4. Sunnah tayammum
a. Membaca basmallah
b. Mendahulukan anggota kanan
c. Menipiskan debu di telapak tangan
d. Berturut-turut
5. Hal-hal yang membatalkan tayammum
a. Semua yang membatalkan wudlu
b. Melihat air, bagi yang sebabnya ketiadaan air
c. Karena murtad
6) Istinja’
Apabila keluar kotoran dari salah satu dua jalan, wajib istinja’ dengan air atau dengan
tiga buah batu, yang lebih baik mula-mula dengan batu atau sebagainya kemudian diikuti
dengan air. (Sulaiman Rasjid, 1981:37)
Adab buang air:
a. Sunnah mendahulukan kaki kiri ketika masuk ke dalam kamar mandi, mendahulukan
kaki kanan ketika keluar dari kamar mandi.
b. Tidak berbicara selama ada di dalam kamar mandi.
c. Memakai alas kaki.
d. Hendaklah jauh dari orang sehingga bau kotoran tidak sampai kepadanya.
e. Tidak buang air di air yang tenang.
f. Tidak buang air di lubang lubang tanah.
g. Tidak buang air di tempat perhentian.
7) Hikmah Bersuci
a) Thaharah termasuk tuntutan fitrah.
b) Memelihara kehormatan dan harga diri orang Islam.
c) Memelihara kesehatan.
d) Menghadap Allah dalam keadaan suci dan bersih.
e) Thaharah berfungsi menghilangkan hadas dan najis juga berfungsi sebagai penghapus
dosa kecil dan berhikmah membersihkan kotoran indrawi.
b. Shalat
1) Pengertian Sholat
Sholat menurut bahasa adalah do’a, sedangkan menurut istilah adalah pekerjaan dan
ucapan yang diawali oleh takbiratul ihram dan diakhiri oleh salam.
Permulaan shalat, shalat didirikan dengan membaca kalimah kebesaran Allah. Yaitu
musholi bertakbir dengan mengucapkan Allahu Akbar, maka serempak jiwanya bergerak
menghadap ke Hadirat Allah Yang Mahatinggi-Mahamulia. Sementara musholi
meninggalakan seluruh urusan dunianya dan memusatkan pikirannya untuk menghadap Allah
SWT. Sehingga, sudah barang tentu ia putus hubungan dengan (makhluk) di bumi, meskipun
jasadiahnya ada di atas hamparan bumi.
Sesungguhnya shalat dengan adzan dan iqamatnya, berjamaah dengan keteraturannya,
dengan dilakukan di rumah-rumah Allah, dengan kebersihan dan kesucian, dengan
penampilan yang rapi, menghadap ke kiblat, ketentuan waktunya dan kewajiban-kewajiban
lainnya seperti gerakan, tilawah, bacaan-bacaan dan perbuatan-perbuatan, yang dimulai
dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan ini semuanya maka shalat mempunyai nilai
lebih dari sekedar ibadah bumi, seraya berdoa selamat (mengucap salam) kepada makhluk
bumi, keselamatan dan kesejahteraan yang diperuntukkan bagi sesama makhluk-Nya. Sebab
itulah shalat berawal dengan takbir ihram, Allahu Akbar dan berakhir dengan salam,
‘Assalamu’alaikum’.
2) Rukun Sholat
Rukun sholat adalah setiap bagian sholat yang apabila ketinggalan salah satunya
dengan sengaja atau karena lupa maka sholatnya batal (tidak sah).
a) Berdiri bagi yang mampu, bila tidak h) Duduk diantara dua sujud
mampu berdiri maka dengan duduk, i) Tuma'ninah dalam setiap rukun
bila tidak mampu duduk maka dengan j) Tasyahud akhir
berbaring secara miring atau terlentang. k) Duduk tasyahud akhir
b) Takbiratul Ihram l) Shalawat atas Nabi pada Tasyahud
c) Membaca Al Fatihah Akhir
d) Rukuk m) Membaca salam yang pertama
e) I’tidal n) Tertib : berurutan mengerjakan rukun-
f) Sujud rukun tersebut
g) Bangun dari sujud
3) Yang Membatalkan Sholat
Sholat itu batal, apabila salah satu syarat rukunnya tidak dilaksanakan atau
ditinggalkan dengan sengaja. Dan sholat itu batal dengan hal-hal yang seperti berikut :
a) Berhadast f) Tersingkapnya aurat
b) Berbicara ketika shoal g) Memalingkan badan dari kiblat
c) Tertawa h) Menambah rukuk, sujud, berdiri atau
d) Makan dan minum duduk secara sengaja
e) Berjalan terlalu banyak tanpa ada i) Mendahului imam dengan sengaja
keperluan j) Terkena najis yang tidak dimanfaatkan
4) Macam-macam Sholat
Sholat terbagi menjadi dua macam, yaitu:
b) Sholat Fardhu
Yaitu sholat yang diwajibkan Alloh SWT kepada hamba-hamba-Nya sesuai
batasan-batasan yang telah dijelaskan-Nya, baik melalui perintah maupun larangan.
Dalam hal ini adalah sholat 5 waktu dalam sehari semalam, yaitu:
a. Dzuhur, waktunya dari tergelincirnya matahari kearah barat sampai panjang
bayangan dua kali lipat dari panjang benda aslinya
b. 'Ashar, waktunya dari panjang bayangan dua kali lipat dari panjang benda aslinya
sampai tenggelamnya matahari.
c. Magrib, waktunya dari tenggelamnya matahari sampai hilangnya mendung merah
dilangit.
d. 'Isya', waktunya dari hilangnya mendung merah di langit sampai munculnya fajar
shodiq.
e. Shubuh, waktunya dari menculnya fajar shodiq sampai terbitnya matahari.
c) Sholat Tathowwu'
Yaitu sholat sunnah atau tambahan dari sholat-sholat fardhu 5 waktu.
a. Sholat Tathowwu' Muthlaq
Yaitu sholat sunnah yang batas dan ketentuannya tidak ditentukan oleh syara'.
b. Sholat Tathowwu' Muqoyyad
Yaitu sholat yang batas dan ketentuannya telah ditentukan oleh syara'. Ibnu
Umar rodhiallohu anhuma berkata: "Aku mengahafal 10 rokaat (sholat) dari Nabi
sholallohu alaihi wa sallam. 2 rokaat sebelum Dzuhur dan 2 rokaat sesudahnya, 2
rokaat setelah maghrib dirumahnya, 2 rokaat setelah isya' dirumahnya, dan 2 rokaat
sebelum shubuh disaat Nabi sholallohu alaihi wa sallam tidak boleh dimasuki orang
lain". (HR. Bukhori: 118, dan Muslim: 729)
Sholat lain yang disyariatkan dalam bagian ini antara lain, sholat-sholat sunah
seperti sholat tahajud, sholat witir dan rowatib, sholat istihoroh, sholat dhuha, sholat
taubat, sholat tahiyyatul masjid, dan sholat tasbih.
5) Syarat Wajib Sholat
a) Islam
Syarat ini sudah pasti harus dipenuhi, karena orang yang tidak islam tidak wajib
mengerjakan Shalat, tetapi Ia pasti akan mendapatkan siksa di Akhirat.
b) Berakal
Karena sholat merupakan jalinan hubungan antara manusia dengan Allah maka manusia
yang bisa berfikir secara logislah yang diwajibkan menjalankan Shalat, orang-orang yang
tidak berakal atau orang yang tidak sehat akalnya seperti orang gila, orang yang baru
mabuk ( walaupun orang itu normal tapi saat itu sedang dalam keadaan diluar akalnya atau
diluar kesadarannya maka ia tidak bisa berpikir, sehingga orang yang mabuk juga termasuk
orang yang tidak berakal ), dan juga orang yang pingsan tidak diwajibkan Shalat karena
dalam kondisi yang tidak sadar.
c) Baligh (Dewasa)
Orang yang belum baigh tidak diwajibkan mengerjakan shalat, berikut adalah beberapa ciri
atau tanda-tanda orang yang sudah baligh :
a. Sudah menginjak umur kurang lebih 13-15 tahun
b. Mimpi bersetubuh (mimpi basah) untuk anak laki-laki
c. Mulai keluar darah haid atau sering disebut datang bulan untuk anak perempuan
Berikut adalah salah satu cara/metode untuk melatih anak menjadi terbiasa untuk
melaksanakan Shalat. Bagi orang tua yang memiliki anak sudah berumur sekitar 7 tahun
orang tua harus sudah menyuruh untuk melaksanakan Shalat , apabila anaknya sudah
berumur 10 tahun dan belum mengerjakan Shalat maka orang tua itu wajib untuk
menyuruh dengan lebih keras (maksudnya lebih disiplin) bahkan orang tua diwajibkan
memukulnya, semua itu dilakukan agar tertanam dalam diri anak itu agar tidak meninggal
kan shalat.
d) Telah sampainya dakwah kepadanya Orang yang belum pernah mendapatkan
dakwah/seruan agama, tidak wajib mengerjakan Shalat, dan dia tidak mendapat siksa
diakhirat, belum mendapat seruan disini dimaksudkan seperti seorang anak kecil/bayi yang
meninggal, bukan orang yang tidak mau mendapatkan seruan agama, karena belajar Ilmu
agama itu wajib.
e) Suci dari haid dan nifas
Seorang wanita yang sedang datang bulan atau habis melahirkan tidak diwajibkan
melaksanakan Shalat karena dalam kondisi yang tidak Suci
f) Jaga
Maksudnya orang yang sedang tidur tidak diwajibkan untuk melaksanakan Shalat. ( tanpa
disengaja ).
3. Zakat, puasa dan haji (pengertian, syarat-rukun dan macamnya)
a. Zakat
1) Pengertian zakat
Zakat menurut lughot artinya suci dan subur. Sedangkan menurut istilah syara’ yaitu
mengeluarkan dari sebagian harta benda atas perintah Allah, sebagai shadaqah wajib kepada
mereka yang telah ditentukan oleh hukum Islam. Secara harfiah zakat berarti "tumbuh",
"berkembang", "menyucikan", atau "membersihkan". Sedangkan secaraterminologi syari'ah,
zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian kekayaan dalam jumlah dan perhitungan
tertentu untuk orang-orang tertentu sebagaimana ditentukan. Zakat merupakan rukun ketiga
dari rukun Islam.
2) Syarat-Syarat Zakat
Adapun syarat syarat zakat yang perlu diketahui adalah :
a) Islam
Jadi, zakat tidak diwajibkan untuk dikeluarkan atas mereka yang bukan muslim. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam hadits yang diinformasikan oleh Abu Bakar :”Inilah
sedekah yang diwajibkan Rasulullah SAW atas orang – orang muslim”.
b) Berakal dan baligh.
Sebagian besar fuqaha berpendapat bahwa orang yang gila sama dengan hukum anak kecil
pada semua hal (bahwa tak ada kewajiban zakat atasnya). Demikian juga zakat tak
diwajibkan bagi mereka yang belum baligh.
c) Telah mencapai nishab.
Nishab adalah batas minimal mulainya harta wajib dizakati. Dan nishab tersebut berbeda –
beda atas benda – benda yang wajib zakat.
d) Merdeka.
Maka dengan demikian zakat itu tidak wajib bagi budak.
e) Mencapai haul.
Artinya bahwa pemilikan senishab itu berlangsung genap satu tahun qamariyah. Jadi zakat
tidak wajib dikeluarkan dari harta berapapun jumlahnya, kecuali bila pemilikannya telah
genap satu tahun penuh. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW :
“Tidak ada kewajiban zakat pada harta sehingga ia berulang tahun”.
f) Kepemilikan yang penuh / sempurna.
Harta tersebut merupakan hak penuh bagi pemiliknya di mana dia dapat
membelanjakannya (menggunakannya).
g) Barangnya produktif atau bisa diproduktifkan.
Berkembang atau dapat diperkembangkan. Barang tersebut bersifat produktif, berkembang
dan dapat dikembangkan/ diproduksikan. Ada barang seperti uang yang disimpan, itu
adalah produktif dan dikenakan zakat.
h) Selamat dari hutang / bebas hutang (aslamah minaddaini)
Adapun yang menjadi syarat sah dalam zakat adalah niat yang menyertai pelaksanaan
zakat. Zakat tidak sah kecuali dengan niat taqarrub kepada Allah SWT, sebab ia adalah
merupakan ibadah. Maka barang siapa menunaikannya hanya karena untuk kedudukan
atau karena pamer, maka zakatnya tidak sah.
3) Rukun Zakat
Rukun zakat ialah mengeluarkan sebagian dari nishab (harta) dengan melepaskan kepemilikan
terhadapnya, menjadikannya sebagai milik orang fakir, dan menyerahkannya kepadanya atau
harta tersebut diserahkan kepada wakilnya, yakni imam atau orang yang bertugas untuk
memungut zakat.
4) Macam – Macam
Zakat Macam-macam zakat secara garis besar ada dua macam yaitu zakat harta benda atau
maal dan zakat fitrah. Ulama madzhab sepakat bahwa tidak sah mengeluarkan zakat kecuali
dengan niat:
a) Zakat Mal
Maal sendiri menurut bahasa berarti harta. Jadi, zakat maal yaitu zakat yang harus
dikeluarkan setiap umat muslim terhadap harta yang dimiliki, yang telah memenuhi syarat,
haul, dan nishabnya. Dan syaratsyaratnya diantaranya:
1) Pertama, menurut Imamiyah syaratnya adalah baligh dan berakal. Jadi, orang gila dan
anak-anak tidak wajib mengeluarkan zakat. Kalau dalam madzhab Syafi‟i, berakal dan
baligh tidak menjadi syarat. Bahkan orang gila dan anak-anak, wali mereka harus yang
mengeluarkan zakat atas nama mereka.
2) Kedua, menurut madzhab Syafi‟i, syarat wajib zakat yang kedua adalah muslim.
3) Ketiga, syarat berikutnya yaitu milik penuh. Disini berarti orang yang mempunyai
harta itu menguasai sepenuhnya terhadap harta bendanya, dan dapat mengeluarkan
sekehendaknya. Maka harta yang hilang tidak wajib dizakati, juga harta yang
dirampas—dibajak dari pemiliknya, sekalipun tetap menjadi miliknya.
4) Keempat, cukup satu tahun berdasarkan hitungan tahun qomariyah untuk selain biji-
bijian, buah-buahan, dan barang-barang tambang.
5) Kelima, sampai kepada nishab (ketentuan wajib zakat) ketika harus mengeluarkan.
Setiap harta yang wajib dizakati jumlah yang harus dikeluarkan berbeda-beda dan
keterangan lebih rinci akan dijelaskan nanti.
6) Keenam, orang yang punya utang, dan dia mempunyai harta yang sudah mencapai
nishab. Menurut Imamiyah dan Syafi‟i, jika berhutang maka harus tetap wajib
mengeluarkan zakat. Menurut Hambali harus melunasi hutangnya terlebih dahulu.
Menurut Maliki, jika berhutang tetapi memiliki emas dan perak maka harus melunasi
hutang terlebih dahulu. Dan jika yang dimiliki selain emas dan perak maka tetap wajib
zakat. Dan menurut Hanafi, jika berhutang dimana utangnya itu menjadi hak Allah
untuk dilakukan oleh seorang manusia dan manusia lain tidak menuntutnya seperti haji
dan kifarat-kifaratnya, maka tetap harus berzakat. Tetapi jika berhutangnya itu untuk
manusia dan Allah, serta manusia memiliki tuntutan atau tanggung jawab untuk
melunasinya, maka tidak wajib mengeluarkan zakat kecuali zakat tanaman dan buah-
buahan.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Zakat mal adalah zakat kekayaan
yang harus dikeluarkan dalam jangka satu tahun sekali yang sudah memenuhi nishab
mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan,
emas dan perak serta hasil kerja (profesi). Masing-masing tipe memiliki perhitungannya
sendiri.
b) Zakat Fitrah
Zakat fitrah dilihat dari komposisi kalimat yang membentuknya terdiri dari kata
“zakat” dan “fitrah”. Zakat secara umum sebagaimana dirumuskan oleh banyak ulama‟
bahwa dia merupakan hak tertentu yang diwajibkan oleh Allah terhadap harta kaum
muslimin menurut ukuranukuran tertentu (nishab dan khaul) yang diperuntukkan bagi fakir
miskin dan para mustahiq lainnya sebagai tanda syukur atas nikmat Allah swt. Dan untuk
mendekatkan diri kepada-Nya, serta untuk membersihkan diri dan hartanya. Dengan kata
lain, zakat merupakan kewajiban bagi seorang muslim yang berkelebihan rizki untuk
menyisihkan sebagian dari padanya untuk diberikan kepada saudara-saudara mereka yang
sedang kekurangan. Sabda Rasulullah saw:
Artinya: “Barang siapa membayar fitrah sebelum shalat, maka itu adalah zakat
yang makbul, akan tetapi barang siapa membayarnya sesudah shalat Id maka merupakan
shadaqah biasa.”
Sementara itu, fitrah dapat diartikan dengan suci sebagaimana hadits Rasul “kullu
mauludin yuladu ala al fitrah” (setiap anak Adam terlahir dalam keadaan suci) dan bisa
juga diartikan juga dengan ciptaan atau asal kejadian manusia. Dari pengertian di atas
dapat ditarik dua pengertian tentang zakat fitrah. Pertama, zakat fitrah adalah zakat untuk
kesucian. Artinya, zakat ini dikeluarkan untuk mensucikan orang yang berpuasa dari
ucapan atau perilaku yang tidak ada manfaatnya. Kedua, zakat fitrah adalah zakat karena
sebab ciptaan. Artinya bahwa zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan kepada setiap
orang yang dilahirkan ke dunia ini. Oleh karenanya zakat ini bisa juga disebut dengan
zakat badan atau pribadi. Zakat fitrah ialah zakat pribadi yang harus dikeluarkan pada hari
raya fitrah. Seperti hadits Nabi saw:
Artinya:“Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah guna menyucikan orang yang
berpuasa dari ucapan dan perbuatan yang tidak baik dan guna makanan bagi para
miskin.”
5) Kelompok Penerima Zakat
Agama Islam memberi petunjuk siapa orang yang pantas dan perlu di bantu dan di
perhatikan menurut keadaan yang sebenarnya. Di bawah ini akan di jelaskan orang-orang yang
berhak menerima zakat (mutahiqq al-zakat) sesuai petunjuk Al-Qur‟an surat At-Taubah ayat 60
adalah sebagai berikut:
a) Orang Fakir (al-Fuqara’)
Al-fuqara’ adalah kelompok pertama yang menerima bagian zakat. Al-fuqara‟ adalah
bentuk jama‟ dari kata al-faqir. Al-faqir menurut madzhab syafi‟I dan hambali adalah
orang yang tidak memiliki harta benda dan pekerjaan yang mampu mencukupi
kebutuhannya sehari-hari. Dia tidak memiliki suami, ayah, ibu, dan keturunan yang dapat
membiayainya baik untuk membeli pakaian, makanan dan sebagainya. Misalnya,
kebutuhannya berjumalah 10 tetapi dia hanya mendapatkan tidak lebih dari 3 , sehingga
meskipun dia sehat dia meminta-minta kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhan
tempat tinggal serta pakaianya.
b) Orang Miskin (al-Masakin)
Al-masakin adalah bentuk jama‟ dari kata al-miskin. Orang miskin ialah orang yang
memiliki pekerjaan, tetapi penghasilannya tidak dapat di pakai untuk memenuhi hajat
hidupnya. Orang fakir menurut madzhab syafi‟I dan hambali, lebih sengsara dibandingkan
dengan orang miskin. Orang fakir ialah orang yang tidak memiliki harta benda dan tidak
memiliki perkerjaan sedangkan orang miskin ialah orang yang memiliki pekerjaan atau
mampu bekerja tetapi penghasilannya hanya mampu memenuhi lebih dari sebagian hajat
kebutuhannya. (QS. 18:79)
c) Panitia Zakat
(Al-„Amil Panitia zakat adalah orang yang bekerja memungut zakat. Panitia ini di
syaratkan harus memiliki sifat kejujuran dan menguasai hukum zakat. Yang boleh di
kategorikan sebagai panitia zakat ialah orang yang di tugasi mengambil zakat sepersepuluh
(Al-„asyr ; penulis (al-Katib); pembagi zakat untuk para mustahiqqnya; penjaga harta yang
di kumpulkan; Al-hasyir; yaitu orang yang di tugasi untuk mengumpulkan pemilik harta
kekayaan / orang-orang yang di wajibkan mengeluarkan zakat; al-„arif (orang yang di
tugasi menaksir orang yang telah memilik kewajiban untuk zakat); penghitung binatang
ternak; tukang takar, tukang tumbang dan pengemabala; dan setiap orang yang menjadi
panitia selain ahli hukum (islam) atau al-qadhi, dan penguasa, karena mereka tidak boleh
mengambil dari Bayit Almal. Upah menakar dan menimbang dilaksanakan pada saat harta
itu hendak di keluarkan zakatnya. Adapun ongkos pembagiannya kepada penerima zakat di
bebankan kepada panitia atau al- „amil. Bagian yang di berikan kepada para panitia di
kategorikan sebagai upah atas kerja yang dilakukannya. Panitia masih tetap di beri bagian
zakat, meskipun dia orang kaya. Karena jika hal itu di kategorikan sebagai zakat atau
sedekah dia tidak boleh mendapatkannya.
d) Mu‟allaf
Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain orang-orang yang lemah niatnya untuk
masuk islam. Mereka di beri bagian dari zakat agar niat mereka memasuki islam menjadi
kuat. Mereka terdiri dari atas dua macam: kafir dan muslim. Kelompok kafir terdiri atas
dua bagian. Yaitu orang-orang yang di harapkan kebaikannya bisa muncul, dan orang-
orang yang di takuti kejelekannya. Disebutkan bahwa Nabi SAW pernah memberikan
sesuatu kepada orang kafir, untuk menundukan hatinya agar mereka mau masuk islam. Di
dalam kitab sahih muslim, di sebutkan bahwa Nabi SAW pernah memberi „Alqomah bin
„Allatsah harta benda yang di peroleh dari rampasan perang hunayin. Adapun mu‟allaf
yang sudah muslim boleh di beri bagian zakat, karena kita perlu menarik perhatiian
mereka, dengan alasan- alasan berikut;
1) Mereka adalah orang-orang yang lemah niatnya untuk memeluk islam.
2) Kepala suku yang muslim yang di hormati oleh kaumnya.
3) Orang-orang muslim yang bertempat tinggal di wilayah kaum muslim yang berbatasan
dengan orang-orang kafir untuk menjaga agar orang-orang kafir tidak memerangi kita.
4) Orang yang memungut zakat dari suatu kaum yang tidak memungkinkan pengiriman
pengambil zakat itu sampai kepada mereka, meskipun pada dasarnya mereka tidak
enggan mengeluarkan zakat.
e) Para Budak
Para budak yang di maksud disini, para budak yang di maksud di sini, menurut jumhur
uama, ialah para budaak muslim yang telah membuat perjanjian dengan tuannya (al-
mukatabun). Oleh karena itu sangat di anjurkan untuk memberikan zakat kepada para
budak itu agar dapat memerdekakan diri mereka. Syarat pembayaran zakat budak yang di
janjikan untuk di merdekakan adalah budak itu harus muslim dan memerlukan bantuan
seperti itu
f) Orang yang memiliki hutang
Mereka adalah orang-orang yang memiliki hutang, baik hutang itu untuk dirinya sendiri
maupun bukan. Jika hutang itu di lakukannya untuk kepentingannya sendiri, dia tidak
berhak mendapatkan bagian dari zakar kecuali dia adalah seorang yang di anggap fakir.
Tetapi, jika utang itu untuk kepentingannya orang banyak yang berada di bawah tanggung
jawabnya, untuk menebus denda pembunuhan atau menghilangkan barang orang lain, dia
boleh di beri bagian zakat, meskipun sebenarnya dia itu kaya.
g) Orang yang berjuang di jalan Allah (Fi Sabilillah)
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah para pejuang yang berperang di jalan Allah
yang tidak di gaji oleh markas komando mereka karena yang mereka lakukan hanyalah
berperang. Abu hanifah berpedapat bahwa orang-orang yang berperang di jalan Allah tidak
perlu di beri bagian zakat, kecuali jika mereka ialah orang-orang fakir.
h) Orang yang sedang dalam perjalanan
Orang yang sedang melakukan perjalanan adalah orang-orang yang berpergian atau
musafir untuk melaksanakan suatu hal yang baik tidak termasuk maksiat. Dia diperkirakan
tidak akan mencapai maksud dan tujuannya jika tidak di bantu. Sesuatu yang termasuk
perbuatan baik ini antara lain, ibadah haji, berperang di jalan Allah, dan ziarah yang di
anjurkan
b. Puasa
1) Pengertian Puasa
Puasa berasal dari bahasa Sansekerta upawasa. Orang jawa biasa menyebutnya pasa.
Sejumlah suku di Indonesia biasa menyebut puasa juga.Puasa juga disebut shaum/syiam
(Arab), fasting (Inggris), onthaunding (Belanda), yang diartikan “hal yang berpantang”.Dalam
istilah syariat Islam, puasa suatu bentuk ibadah berupa menahan diri dari makan, minum,
hubungan seks, dan hal lain-lain yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai waktu
maghrib untuk mencari Ridha Allah.
2) Syarat-Syarat Puasa
Para Ulama’ telah sepakat bahwa orang yang berkewajiban puasa itu adalah orang yang
telah memenuhu beberapa syarat dibawah ini:
a) Orang yang Islam, maka bagi yang kafir tidak syah puasanya.
b) Orang yang berakal, tidak wajib berpuasa bagi orang yang gila.
c) Orang yang sudah baligh, bagi anak-anak yang belum dewasa maka belum wajib berpuasa.
d) Orang yang sehat dan mampu, bagi orang yang sedang sakit dan tidak mampu untuk
berpuasa tidak diwajibkan untuk berpuasa.
e) Orang yang bermukim, bagi musafir tidak diwajibkan untuk berpuasa.
f) Dalam keadaan suci dari haid. Nifas, serta hadas besar.
3) Rukun-Rukun Puasa
Rukun adalah segala sesuatu yang berkaiyan dengan ibadah itu sendiri. Jika rukun tidak
dijalankan, maka ibadah tersebut tidak sah alias batal. Rukun puasa ada dua, yaitu:
a) Niat
Kedudukan niat dalam puasa sangat utama. Tanpa niat puasa seseorang tidak akan
sah. Berbeda dengan ibadah lain, niat untuk ibadah puasa dilakukan jauh sebelum
menunaikannya, yaitu pada malam harinya.
b) Menahan Diri
Maksudnya adalah menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan
puasa. Seorang yang berpuasa harus dapat menahan diri dari apa-apa yang dapat merusak
puasanya dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
4) Macam-Macam Puasa
Dalam islam, ada beberapa macam puasa. Macam-macam puasacama ini bermacam
pula sifatnya. Dan kita sebagai umat muslim harus mentaati sesuai dengan sifatnya itu sendiri.
a) Puasa Wajib
Puasa yang bersifat wajib adalah puasa yang harus dilaksanakan dan aka berdosa
bila meninggalkannya.
1) Puasa Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan yang paling suci bulan yang paling istimewa.
Bulan Ramadhan adalah satu-satunya bulan yang dipilih Alloh untuk menurunkan Al-
Qur’an.
2) Puasa Qadha
Puasa Qadha adalah puasa yang menggantikan puasa ramadhan yang
ditinggalkan karena sebab sesuatu yang syar’i.
3) Puasa Nadzar
Puasa Nadzar pada dasarnya adalah utang. Oleh karena itu, seseorang yang
yang bernadzar wajib melaksanakan puasa nadzar tersebut karena ia sendiri yang
membuatnya wajib.
4) Puasa Kifarat
Puasa Kifarat diberlakukan atas pelanggaran yang sudah dilakukan seorang
muslim atas hukum Alloh yang sudah berketetapan.
b) Puasa Sunnah
Puasa sunnah adalah puasa yang dianjurkan untuk dikerjakan.
1) Puasa Senin dan Kamis
Puasa ini adalah puasa yang sangat dianjurkan. Karena pada hari senin adalah
hari Rosululloh lahir dan pada hari kamis para malaikat sedang turun ke bumi.
2) Puasa 6 Hari Syawal
3) Puasa Pertengahan Bulan
4) Puasa Dawud
c) Puasa Haram
Puasa Haram adalah puasa yang tidak boleh dikerjakan oleh umat muslim.hari-hari
1) Puasa pada Hari-Hari Tertentu
Ada hari-hari yang Alloh haramkan untuk kita berpuasa. Yaitu pada dua hari
raya dan hari tasyrik.
2) Puasa Terus Menerus
Puasa yang terus menerus tidak berbuka dan melanjutkan puasa pada esok hari.
3) Puasa Wanita Haid atau Nifas
4) Puasa Sunnah Istri Tanpa Izin Suami
d) Puasa Makruh
1) Puasa Sunnah Hari Jum’at atau Sabtu Saja
2) Puasa yang Membuat Diri Sendiri Menderita
c. Haji
1) Definisi Haji
Haji (al-hajju) dalam bahasa Arab berarti al- qashu yaitu menyengaja atau menuju.
Dalam istilah syara’ al-hajj berarti sengaja mengunjungi ka’bah untuk melakukan ibadah
tertentu.Haji termasuk ibadah yang telah dikenal pada syariat agama-agama terdahulu, sebelum
Islam. Nabi Ibrahim dan Isma’il membangun Ka’bah sebagai rumah ibadah unt menyembah
Allah semata dan beliau menyeru umat manusia untuk berhaji ke Baitullah. Orang-orang
mematuhi seruannya, datang dari berbagai penjuru dan mempelajari dasar-dasar agama tawhid.
Menurut pengertian bahasa (lughah), haji mempunyai arti: ‫ القلصد‬yaitu menyengaja atau
menuju.Menurut pengertian syara’, yang dimaksudkan dengan haji yaitu: menyengaja
mengunjungi Ka`bah atau Baitullah di tanah suci Makkah untuk melakukan beberapa amal
ibadah, dengan tata cara dan syarat-syarat tertentu.
2) Syarat Ibadah Haji
Syarat wajib haji adalah sifat-sifat yang harus dipenuhi oleh seseorang sehingga dia
diwajibkan untuk melaksanakan haji, dan barang siapa yang tidak memenuhi salah satu dari
syarat-syarat tersebut, maka dia belum wajib menunaikan haji.
Kewajiban haji ini dibebankan atas orang yang telah mmenuhi beberapa persyaratan,
yaitu :
1. Islam. Seperti ibadah lainnya, haji tidak wajib dan tidak sah dilakukan oleh orang kafir.
2. Baligh.
3. Berakal.
4. Merdeka, sebab tuan seorang budak berhak atas manfaat dirinya, dan membebankan
kewajiban haji atas budak dapat merugikan kepentingan tuannya. Nabi bersabda :
Artinya : seorang hamba yang telah haji, kemudian dimerdekakan, maka wajib atasnya haji
sekali lagi.
5. Mampu. Allah SWT menyatakan bahwa haji itu adalah bagi mereka yang mampu. Para
ulama menafsirkan kemampuan (istita’ah) itu dengan :
a. Tersedianya bekal untuk perjalanan pergi dan kembali selama berada di tanah suci.
b. Tersedianya kendaraan, baik dengan memiliki atau dengan menyewa, dengan harga atau
sewa yan pantas. (kendaraan disyaratkan bagi mereka yang tempat tinggalnya jauh).
c. Aman di perjalanan, artinya tidak ada ancaman yang berarti terhadap jiwa, kehormatan,
dan hartanya.
d. Memugkinkan melakukan perjalanan. Artinya, setelah seseorang mendapatkan biaya,
masih tersedia cukup waktu untuk melakukan perjalanan haji.
Akan tetapi haji yang dilakukan oleh anak kecil dan budak tidak menggugurkan
kewajiban hajinya sebagai seorang Muslim, menurut pendapat yang lebih kuat, berdasarkan
hadits:
“Barang siapa (seorang budak) melaksanakan haji, kemudian ia dimerdekakan, maka ia
berkewajiban untuk melaksanakan haji lagi, barang siapa yang melaksanakan haji pada usia
anak-anak, kemudian mencapai usia baligh, maka ia wajib melaksanakan haji lagi.“
Adapun “mampu” hanya merupakan syarat wajib haji. Apabila seorang yang “tidak
mampu” berusaha keras dan menghadapi berbagai kesulitan hingga dapat menunaikan haji,
maka hajinya dianggap sah dan mencukupi. Hal ini seperti shalat dan puasa yang dilakukan
oleh orang yang kewajiban tersebut telah gugur darinya. Maka shalat dan puasanya tetap sah
dan mencukupi.
3) Rukun Haji
Rukun yaitu sesuatu yang tidak sah haji melainkan dengan melakukannya, dan ia tidak
boleh diganti dengan dam (menyembelih binatang disebabkan melakukan hal-hal yang dilarang
dalam pelaksanaan ibadah haji).
1. Ihram
Ihram (niat). Yakni berniat memulai ibadah haji atau umrah dengan mengenaka
pakaian ihram yaitu slendang yang menutup bagian badan atas kecuali kepala dan sarung
yang menutup badan bagain bawah.
Yang dimaksud dengan ihram yaitu berniat untuk memulai ibadah haji. Nabi SAW
bersabda :
‫ت‬
ِ ‫ع َمالُ بِا لنِيَّا‬ َ ‫اِنَّ َما ا‬
‫اْل ا‬
Artinya : “sesungguhnya, tiap-tiap amal hanya (sah)dengan niat…(Muttafaq
‘Alayh).
Berdasarkan hadits ini jelaslah bahwa niat (ihram) haji temasuk rukun haji. Akan
tetapi, melakukan ihram dari miqat merupakan salah satu wajib haji. Miqat itu ada dua
macam, yaitu miqat zamani dan miqat makani.
Miqat zamani bagi ibadah haji adalah bulan-bulan Syawal, Zu al-qa’dah dan
sepuluh hari dari bulan Zu al-hijjah. Ihram untuk haji tidak sah dilakukan kecuali pada
bulan-bulan ini.
Miqat Makani ialah tempat-tempat yang ditentukan untuk melakukan ihram,
menurut daerah asal atau arah datangnya dalam perjalanan ke Makkah.
Orang yang dalam perjalanannya tidak melewati salah satu miqat ini, maka
miqatnya adalah tempat yang setentang dengan miqat terdekat dengan jalan yang
dilaluinya.
Bagi orang yang bertempat tinggal atau muqim di Makkah muqatnya adalah kota
Makkah itu sendiri, sedangkan orang yang tinggal di luar kota Makkah, tetapi tidak
melampaui salah satu dari miqat tersebut diatas, maka miqatnya adalah desanya sendiri,
dan mereka ihram dari tempat tinggalnya.
Sunnah dalam persiapan melakukan ihram :
1. Mandi, sekalipun ia perempuan yang sedang haid atau nifas. Dalam hadits Zayd ibn
Sabit disebutkan : “Nabi SAW mandi untuk melakukan ihramnya. (HR.Tirmidzi).
2. Menanggalkan pakaian berjahit yang sedang dipakainya.
3. Memakai izar (sarung), rida’ (selendang) dan sandal. Dan sebaiknya kain selendang
itu berwarna putih. (HR.Abu Dawud dan Tirmidzi).
4. Memakai wangi-wangian pda tubuhnya.
5. Melakukan shalat dua rakaat.
Selanjutnya, setelah melakukan hal-hal ini barulah ihram dilakukan dengan berniat
melakukan haji, sambil mengucapkan talbiyah.
2. Wuquf
Artinya hadir di Arofah mulai dari tergelincir matahari (waktu dzuhur) tanggal 9
dzulhijjah sebelum terbit fajar pada tanggal 10 dzulhijjah. Arofah adalah nama suatu
padang disebelah timur kota Makkah yang jaraknya kurang lebih 9 mil.
Wuquf dilaksanakan di Arafah pada waktu antara tergelincir matahari pada hari
Arafah sampai terbit fajar pada hari idul Adha.
Sunnah melaksanakan wuquf :
1. Mandi.
2. Berwuquf di dekat al-sakhrat, jabal al-Rahmah, yakni tempat Nabi melakukan
wuqufnya.
3. Menghadap ke Kiblat, karena Nabi SAW juga selalu menghadap qiblat, dan itulah
arah yang terbaik pada setiap majlis.
4. Banyak berdo’a, untuk dirinya, orang tuanya, dan sebagainya.
5. Mengangkat tangan ketika berdo’a.
6. Berwuquf sejak tergelincir matahari sampai terbenamnya.
3. Thawaf
Thawaf adalah mengelilingi ka`bah sebanyak tujuh kali putaran, dimulai dari hajar
aswad, dengan posisi ka`bah disebelah kiri orang yang thawaf. Thawaf yang menjadi rukun
haji ialah thawaf ifadah. Para ulama telah ijma’ bahwa itulah yang dimaksudkan dalam
ayat:
Artinya :”…dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan
hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu
(Baitullah).” (QS. Al-Hajj : 29).
Selain thawaf ifadah yang menjadi rukun haji, ada dua thawaf yang berkaitan engan
pelaksanaan haji, yaitu thawaf qudum, sunnah dilakukan ketika tiba di Makkah, dan thawaf
wada’ yang diwajibkan ketika hendak meninggalkan kota suci itu.
Thawaf artinya mengelilingi baitullah sebanyak tujuh kali, dengan memenuhi
beberapa syarat, yaitu :
1. Menutup aurat
2. Thahrah dari hadats dan najis pada badan, pakaian dan tempat.
3. Menempatkan baitullah di sebelah kirinya.
4. Dimulai dari hajar aswad.
5. Thawaf itu dilakukan dalam masjid, tetapi diluar baitullah.
4. Sa’i
Sa’i yakni berlari kecil antara bukit shofa dan bukit marwah. Dalam mengerjakan
sa’i, harus diperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Sa’i mesti dikerjakan setelah melakukan thawaf terlebih dahulu, sesuai contoh yang
diberikan oleh Rasulullah SAW. Bila sa’i tidak dikerjakan setelah thawaf qudum,
maka ia harus dikerjakan setelah thawaf ifadah.
2. Tartib, dimulai dari Shafa.
3. Sa’i itu mesti dikerjakan tujuh kali dengan ketentuan bahwa perjalanan dari Shafa ke
Marwah dihitung satu kali, dan berikutnya dari Marwah ke Shafa pun demikian.
Dalam beberapa hadits, Nabi SAW melakukan sa’i setelah selesai thawaf. Beliau
naik ke atas bukit Shafa, sehingga baitullah tampak olehnya, kemudian beliau menghadap
ke sana, bertakbir dan mengucapkan dzikir dan doa seraya mengangkat tangannya.
5. Tahalul
Yang dimaksud tahalul adalah penghalalan beberapa larangan dalam berihram.
Adapun penghalalannya seperti: memakai pakaian biasa, memakai wangi-wangian,
bercukur, dan lain sebagainya. Kecuali nikah dan menggauli istrinya, masih tetap dilarang
(haram), sampa selesai thawaf ifadhah yang dinamakan tahalul kedua.
Setelah melakukan tahalul, masih berkewajiban malanjutkan pekerjaan hajinya
yang belum selesai, yaitu melempar jumrah dan bermalam di Mina pada hari tasyriq.
6. Tertib
Dalam hal ini tertib berarti melaksanankan rukun-rukun haji ssuai dengan urutan
yang semestinya. Ihram mesti dikerjakan sebelum melakukan yang lainnya, wuquf harus
lebih dulu sebelum thawaf ifadhah, dan thawaf mesti lebih dahulu daripada sa’i kecuali
bila sa’i telah dikerjakan setelah thawaf qudum.
4) Wajib Haji
1. Ihram (yakni niat berhaji dari Miqot)
2. Bermalam di Muzdalifah
Waktu bermalam di Muzdalifah ialah pada malam hari nahar, setelah selesai
melakukan wuquf di Arafah. Firman Allah SWT :
Artinya : “…Maka apabila kamu telah bertolak dari ´Arafat, berdzikirlah kepada
Allah di Masy´arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang
ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk
orang-orang yang sesat”. (QS. Al-Baqarah : 198)
Masy’arilharam yang dimaksudkan dalam ayat itu adalah Muzdalifah yang juga
disbut Jam’. Beberapa ulama tabi’in memasukannya pada fardhu haji, apabila
meninggalkannya akan diwajibkan qadha tahun berikutnya, Jumhur mengatal=kan itu
wajib, bila ditinggalkan mewajibkan dam, tetapi ada juga yang mengatakan sunnah.
Dalam beberapa riwayat Nabi SAW bertolak dari Arafah setelah terbenam
matahari, berjalan dengan tenang, tetapi ditempat-tempat yang lapang beliau mempercepat
jalan kendaraannya, dan melakukan shalat maghrib dan isya’ dengan jama’ di Muzdailifah,
dan tetap di Muzdalifah sampai terbit fajar kemudian shalat subuh.
Pada waktu berada di Muzdalifah, disunnahkan pula mengambil batu-batu untuk
digunakan melempar jumrah pada hari sesudahnya. Sebelum bertolak ke Mina untuk
melempar jumrah ‘Aqabah, setelah subuh Nabi naik ke Qazh untuk berdo’a sampai cahaya
matahari menguning dari timur sebelum matahari terbit.
3. Bermalam di Mina
Yakni bermalam di Mina. Mina merupakan kota antara Makkah dan Muzdalifah,
yang jaraknya 8 km dari kota Makkah dan 5 km dari Muzdalifah.
Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa Nabi SAW bermalam di Mina selama hari-
hari tasyriq.
4. Melempar Jumrah
Pada hari Nahr 10 Zulhijjah, di Mina dilakukan melempar jumrah Aqobah dengan
tujuh batu. Melempar jumrah ini disunnahkan setelah terbit matahari.
Kemudian pada hari-hari tasyriq, setiap hari dilakukan pelemparan tiga jumrah,
mulai dari jumrah pertama yang berada dekat masjid al-Khayf atau jumrah Ula, jumrah
kedua jumrah Wustho dan jumrah Aqabah, masing-masing dengan tujuh batu. Waktu yang
baik untuk melempar yaitu mulai tergelincirnya matahari sampai terbenamnya matahari
seriap hari,
Pada setiap kali melempar, disunnahkan membaca takbir. Dan setelah selesai
melemparkan tujuh batu pada jumrah pertama disunnahkan berhenti beberapa waktu untuk
berdo’a, begitu pula pada jumrah kedua, namun Nabi tidak berhenti setelah jumrah ketiga.
Bila seseorang tidak mampu melakukannya, karena sakit misalnya, maka boleh
meminta orang lain untuk menggantikannya.
5. Thawaf Wada’
Thawaf Wada’ yakni thawaf yang diwajibkan ketika hendak meninggalkan kota
Makkah.
Thawaf wada’ adalah sebagai penghormatan terakhir pada Masjidil Haram. Jadinya
thawaf wada’ adalah amalan terakhir bagi orang yang menjalankan haji sebelum ia
meninggalkan Mekkah, tidak ada lagi amalan setelah itu.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : “Manusia diperintahkan menjadikan akhir amalan
hajinya adalah di Baitullah (dengan thowaf wada’) kecuali hal ini diberi keringanan bagi
wanita haidh.” (HR. Bukhari no. 1755 dan Muslim no. 1328).
5) Larangan Saat Berhaji
Beberapa perbuatan yang haram dilakukan selama berihram, dan orang yang
melanggarnya wajib membayar dam. Larangan tersebut ialah :
1. Mencukur rambut
2. Menyisir atau meminyaki rambut, karena perbuatan menghias diri tidak sesuai dengan
keadaan ibadah. Bila rambutnya ada yang gugur ketika menyisirnya, ia dikenakan wajib
fidyah.
3. Memotong kuku, hal ini di qiyaskan kepada mencukur rambut, berdasarkan persamaan
keduanya merupakan perbuatan menghias diri.
4. Menutup kepala bagi laki-laki, dan menutup muka bagi perempuan.
5. Memakai pakaian berjahit.
6. Memakai wangi-wangian, baik di badan maupun di pakaiannya.
7. Melakukan aqad nikah. Orang yang sedang berihram tidak dibenarkan melaksanakan aqad
nikah baik sebagai suami, sebagai wali, atau sebagai wakil dari mereka. Nabi SAW
bersabda:
‫ْلَيَ ان ِك ُح ا ال ُمحا ِر ُم َوْلَيُ ان ِك اح‬
Artinya : “orang yang sedang ihram tidak menikah dan tidak pula menikahkan. (HR.
Muslim).
8. Bersetubuh, dan mubasyarah dengan syahwat. Allah SWT berfirman:
Artinya : “…maka barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam
masa mengerjakan haji”.(QS.Al-Baqarah:197)
9. Membunuh binatang buruan. Firman allah SWT :
Artinya : “…dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu
dalam ihram…”. (QS. Al-Maidah : 96).
6) Perbedaan Haji Dan Umrah
Allah SWT menyebut umrah bersamaan dengan haji pada ayat :
Artinya : “dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah.”(QS. Al-Baqarah
:196)
Dari ayat ini jelaslah bahwa umrah itu disyari’atkan dalam Islam. Akan tetapi,
mengenai hukumnya, masih terdapat perbedaan fatwa para ulama.
Di samping memiliki sejumlah kesamaan, ada banyak pula hal yang membedakan antara
ibadah haji dengan umroh, perbedaan tersebut meliputi perbedaan waktu, banyaknya tempat,
dan dalam tata cara pelaksanaannya.
Perbedaan haji dan umrah adalah :
1. haji hanya dilakukan pada bulan haji, yaitu tanggal 9-13 Zulhijjah, sedangkan umrah dapat
dilakukan kapan saja.
2. haji dilakukan tidak hanya di Makkah, akan tetapi juga wuquf di Arafah dan jumrah di
Mina. Adapun umrah hanya dilakukan di Masjidil Haram, di Mekkah, yaitu dengan
melaksanakan ritual tawaf dan sa’i.
HAJI UMRAH
 Pelaksanaan ibadah haji dapat ditempuh  Melakukan ihram, yaitu memakai
dengan tiga cara, yaitu: pakaian ihram setelah mandi dan
1. Setelah melaksanakan tahallul umroh berwudhu, kemudian shalat dua
(sudah berganti dengan pakaian biasa), rakaat dan berniat ihram.
pada 8 Zulhijjah, jamaah berpakaian  Tempat berangkatnya adalah salah
ihrom lagi untuk melaksanakan ibadah satu dari tempat-tempat berikut ini,
haji. Ini disebut Haji Tamattu’ yaitu:
2. Setelah melaksanakan umrah tidak 1. Dzulhulaifah untuk jamaah yang
bertahallul (tetap dalam pakaian ihram), berangkat dari arah Madinah
kemudian langsung melaksanakan 2. Juhfah untuk jamaah yang
ibadah haji. Ini disebut Haji Qiran. berangkat dari arah Mesir dan
3. Melaksanakan ibadah haji saja tanpa Syria
umrah terlebih dahulu. Ini disebut Haji 3. Qarnulmanazil untuk jamaah yang
Ifrad. berangkat dari arah Najd
 Tanggal 8 Zulhijjah disebut hari Tarwiyyah, 4. Yulamlam untuk jamaah yang
di mana seluruh jamaah haji setelah berangkat dari arah Yaman, India,
berpakaian ihram berangkat menuju padang Asia Tenggara
Arafah untuk melaksanakan wukuf. 5. Dzati Iraq untuk jamaah yang
 Tanggal 9 Zulhijjah, sekitar waktu Magrib, berangkat dari arah Irak
jamaah haji berangkat ke Muzdalifah dan 6. Makkah untuk jamaah yang berangkat
menginap satu malam di sana, sambil dari Mekah
memungut batu-batu kecil sebanyak 70  Kemudian berangkat menuju Masjidil
buah. Haram, lalu melakukan tawaf, yaitu
 Tanggal 10 Zulhijjah pagi-pagi (masih mengelilingi Ka’bah tujuh kali
gelap), jamaah harus sudah ada di Mina dimulai dari arah Hajar Aswad, di
untuk melaksanakan Jumratul ’Aqabah, mana Ka’bah berada di sebela kiri
yaitu melemparkan 7 buah batu dengan 7 orang yang tawaf.
kali lemparan di satu tempat.  Dilanjutkan dengan melakukan sa’i,
 Setelah tahallul, jamaah melaksanakan yaitu lari-lari kecil antara bukit Shafa
penyembelihan kurban di Mina. dan Marwah.
 Siang harinya berangkat ke Makkah untuk  Setelah sa’i, jamaah melakukan
melaksanakan tawaf ifadhah. tahallul, yaitu dengan memotong
 Sebelum Magrib tanggal 10, jamaah sudah rambut sedikit agar bebas dari
harus berada di Mina lagi. ketentuan-ketentuan ihram. Setelah
 Tanggal 11, 12, 13 (atau hanya tangal 11 dan tahallul ini, selesai pulalah ibadah
12 saja, jamaah pulang ke Makkah sebelum umrah.
waktu Magrib tanggal 12) untuk
melaksanakan umrah lanjutan dengan
melemparkan batu pada tiga tempat, yaitu 7
batu dengan 7 lemparan (sehari 21 kali
lemparan).
 Selesai jumrah seluruhnya, jamaah menuju
kota Makah untuk bersiap pulang ke tanah
air.
 Menjelang pulang diperintahkan untuk
melaksanakan tawaf wada’ atau tawaf
perpisahan.
7) MACAM-MACAM HAJI
Dari segi hukumnya, haji terbagi dua, wajib dan sunnah. Seperti telah di-kemukakan
pada bagian lalu, pada dasarnya haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup atas orang yang
mampu melakukannya, dan ini disebut juga dengan haji Islam, karena merupakan salah satu
rukun Islam. Haji sunnah adalah haji yang dilakukan sebagai tambahan setelah lebih dahulu
menunaikan haji wajib. Menurut cara pelaksanaannya, haji itu ada tiga macam, yaitu ifrad,
tamattu’ dan qiran. Berikut ini akan dijelaskan tiga macam cara itu dengan singkat :
a. Ifrad
Haji ifrad adalah orang yang berniat saat ihramnya hanya untuk haji saja. Ia
mengucapkan (‫ )لبيكَ بحج‬kemudian memasuki Mekah untuk thawaf qudum, dan terus ihram
hingga datang waktu haji. Kemudian ia tunaikan manasik haji; wukuf di Arafah, mabit di
Muzdallifah, melontar jumrah Aqabah, thawaf ifadhah, sa’iy antara Shafa Marwa,
bermalam di Mina untuk melontar jumrah pada hari tasyriq. Kemudian setelah usai
menunaikan seluruh manasik haji itu ia tahallul kedua, lalu keluar dari Mekah memulai
ihram yang kedua dengan niat umrah, jika mau melaksanakan manasiknya.
Haji ifrad adalah manasik paling afdhal menurut Syafi’i dan Maliki karena dengan
manasik ini tidak membayar dam. Dan kewajiban dam adalah untuk menambal kekurangan
yang ada. Sebagaimana haji Rasulullah saw, menurut mereka adalah ifrad.
b. Tamattu’
Haji tamattu’ adalah haji dengan terlebih dahulu ihram untuk melaksanakan umrah
dari miqat. Dengan mengucapkan (‫ )لبيك بعُمرة‬kemudian memasuki kota Mekah,
menyempurnakan manasik umrah thawaf dan sa’i lalu memotong atau mencukur rambut,
kemudian tahallul dari ihram. Halal baginya segala larangan ihram termasuk berhubungan
suami istri. Ia dalam keadaan demikian sehingga dating tanggal 8 Dzulhijjah lalu ihram
haji, melaksanakan manasiknya wukuf di Arafah, thawaf, sa’i dsb. Ia melaksanakan
seluruh manasik umrah, kemudian melaksanakan manasik haji dengan sempurna pula.
Haji tamattu’ adalah cara paling afdhal menurut mazhab Hambali.
Syarat haji tamattu adalah memadukan umrah dan haji dalam satu perjalanan di
satu musim (bulan) haji di tahun yang sama menurut jumhurul fuqaha’. Mazhab Hanafi
menambahkan syarat lain yaitu: bukan penduduk Mekah, seperti dalam firman Allah:
Artinya : “…. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin
mengerjakan `umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih)
korban yang mudah didapat. (QS. Al Baqarah: 196)
c. Qiran
Haji qiran adalah dengan berniat ketika ihram sekaligus haji dan umrah dengan
mengucapkan: kemudian memasuki Mekah thawaf qudum, dan terus dalam keadaan ihram
sehingga datang waktu melaksanakan manasik haji. Ia melaksanakan manasik itu dengan
sempurna, wuquf di Arafah, melontar jumrah, thawaf ifadhah, sa’i antara Shafa dan Marwa
serta manasik lainnya. Ia tidak berkewajiban thawaf dan sa’i lain untuk umrah, cukup
dengan thawaf dan sa’i haji. Seperti yang pernah Rasulullah katakana kepada Aisyah RA :
thawaf-mu di Ka’bah dan sa’i-mu antara Shafa dan Marwa sudah cukup untuk haji dan
umrahmu” HR. Muslim.
Haji Qiran adalah haji yang paling afdhal menurut mazhab Hanafi.
Bagi orang menunaikan haji tamattu’ dan qiran wajib menyembelih hewan hadyu,
minimal seekor kambing, dan jika tidak mampu bias diganti dengan puasa sepuluh hari:
tiga hari di antaranya dilakukan pada waktu haji, (setelah memulainya dengan ihram) dan
yang afdhal pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, diperbolehkan pula puasanya pada hari
tasyriq juga seperti dalam hadits Al Bukhari: Tidak ada rukhshah berpuasa di hari tasyriq
kecuali bagi orang yang tidak mendapatkan al hadyu. Jika puasa tiga hari lewat waktunya
maka ia wajib mengqadha’nya. Dan tujuh hari lainnya ketika sudah kembali ke tanah air,
tidak disyaratkan berkelanjutan puasa itu kecuali pada tiga hari pertama. Dan tujuh hari
berikutnya tidak wajib berurutan.
4. Hub. syariat-fiqih dengan akidah dan akhlak
Di antara keistimewaan-keistimewaan Fiqih Islam – yakni seperti yang telah kita katakan:
hukum-hukum Syari’at yang mengatur amal-perbuatan dan perkataan-perkataan orang mukallaf –
ialah, bahwa ia berkaitan erat dengan keimanan kepada Allah Ta’ala, dan terikat kuat dengan rukun-
rukun aqidah Islam, terutama aqidah keimanan kepada Allah Ta’ala. Inilah yang menyebabkan seorang
muslim mau berpegang teguh pada hukum-hukum agama, dan dengan suka-rela dan tanpa terpaksa
melaksanakannya. Dan juga, karena orang tidak beriman kepada Allah Ta’ala, takkan merasa terikat
dengan shalat maupun puasa, dan dalam melakukan perbuatannya takkan perdulu dengan halal-haram.
Jadi, keterkaitan dengan hukum-hukum syari’at adalah salah satu cabang dari keimanan kepada Dzat
yang telah menurunkannya dan mensyari’atkannya kepada hamba-hamba-Nya.
Dengan demikian, tiap kali Anda dapatkan sesuatu hukum agama dalam Al-Qur’an, maka
pasti digandengkan dengan keimanan kepada Allah Ta’ala, dan dikaitkan dengan rukun-rukun Aqidah
Islam. Dan dengan demikian, Fiqih Islam memperoleh kedudukan agama dan mempunyai kewibawaan
ruhani. Karena Fiqih Islam memang berupa hukum-hukum syari’at yang keluar dari Allah Ta’ala yang
wajib ditaati, dan menyebabkan ridha-Nya, sedang untuk melanggarnya diancam dengan murka dan
siksa Allah; dan bukan sekedar hukum-hukum perundang-undangan semata, yang tidak terasa oleh
manusia adanya suatu tali yang mengikat hukum-hukum itu pada sanubarinya, atau
menghubungkannya dengan penciptannya.

C. Akhlaq
1. Pengertian akhlak dan ruang lingkupnya (vertikal dan horisontal)
Secara etimologis, kata akhlak berasal dari bahasa arab akhlak dalam bentuk jama’, sedang
mufrodnya adalah khuluq, yang dalam kamus munjid berarti budi pekerti, perangai atau tingkah laku,
akhlak bersinonim dengan etika dan moral. Secara terminologis ada beberapa definisi tentang akhalak,
diantaranya sebagai berikut:
a. Menurut Al-Ghazali dalam, Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mwnimbulkan
pebuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikirn dan pertimbangan.
b. Ibrahim Anis, mendefinisikan akhlak sebagai sifat yag tertanam dalam jiwa, yang dengannya
lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
c. Abdul Karim Zaidan, mendefinisikan akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yag tertanam dalam
jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk
untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.
d. Ibnu Miskawaih dalam kitab Tahdzibul Akhlak mendefinisikan akhlak ialah keadaan gerak jiwa
yang mendorong kea rah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pemikiran.
e. Menurut Ahmad Amin dalam bukunya Al-akhlak menyatakan “ khuluk ialah membiasakan
kehendak”.
f. Menurut Abd. al-Hamid Yunus dalam kitab Dairat al-Ma’rif, mendefinisikan akhlak secara
singkat, yaitu akhlak adalah sifat-sifat yang terdidik.
Ruang lingkup akhlak dalam pandangan islam sangatlah luas sepanjang sikap jiwa atau hajat
manusia, mulai dari hajat yang terkecil sampai hajat yang terbesar.
Muhammad Abdullah Daras membagi ruang lingkup akhlak menjadi 5 bagian, diantaranya:
a. Akhlak pribadi (Al-Ahklaq Al-Fardiyah). Terdiri dari: a. Yang diperintahkan (Al Awanir) b. Yang
dilarang (An-Nawahi) c. Yang dibolehkan (Al Mubahal) dan d. Akhlak dalam keadaan darurat (Al-
Mukholafah bi-al Idhtbirar).
b. Akhlak berkeluarga (Al-Akhlaq Al-Usrawiyah). Terdiri dari:
1. kewajiban timbal balik orang tua dan anak (Wajibal nahwa al-Usbul wa-Alfuru’)
2. kewajiban suami istri (Wajibal Baina al- Azwaja) dan
3. kewajiban terhadap karib kerabat (Wajibal nahwa al- aqarib).
c. Akhlak bermasyarakat (Al-Akhlaq Al-Ijtima’iyah). Terdiri dari:
1) Yang dilarang (Al- Mahzurrat)
2) Yang diperintahkan (al- Awamir) dan
3) kaedah-kaedah adab (Qowaid al- Adab).
d. Akhlak bernegara (Akhlaq ad-Daulah). Terdiri dari:
a. Hubungan antara pemimpin dan rakyat (Al-Alaqah baina ar- Rais wa as- Sya’b)
b. Hubungan luar negeri (al- Alaqat al Kharijiyyah).
e. Akhlak beragama (al- Akhlaq ad- Diniyah). Yaitu kewajiban terhadap Allah Swt. (Wajibat nahwa
Allah).
Dari beberapa uraian diatas Yunahar Ilyas berpendapat bahwa ruang lingkup akhlak itu sangat
luas, mencakup seluruh asfek kehidupan, baik secara vertikal dengan Allah Swt. maupun secara
horizontal sesama makhluk Tuhan.
Dan Yunahar Ilyas pun membagi ruang lingkup akhlak menjadi 6 bagian, diantaranya:
1. Akhlak terhadap Allah Swt.
2. Akhlak terhadap Rasulullah Saw.
3. Akhlak terhadap diri sendiri.
4. Akhlak dalam keluarga.
5. Akhlak bermasyarakat.
2. Perbandingan akhlak dengan etika dan moral Sumber akhlak Islam
Yang dimaksud dengan sumber akhlak adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia
dan tercela. Sumber akhlak adalah Al-Quran dan sunah, bukan akal pikiran atau pandangan
masyarakat sebagaimana konsep etika dan moral. Dan bukan karena baik dan buruk dengan sendirinya
sebagaimana pandangan muktazilah.Hati nurani atau fitrah dalam bahasa Al-Quran memang dapat
menjadi ukuran baik dan buruk karena manusia diciptakan oleh Allah swt memiliki fitrah bertauhid,
mengakui keesaan-Nya (QS. Arrum: 30). Karena fitrah itulah manusia cinta kepada kesucian dan
selalu cenderung kepada kebenaran. Namun fitrah manusia tidak selalu terjamin dapat berfungsi
dengan baik karena pengaruh dari luar, misalnya pengaruh pendidikan dan linngkungan. Oleh sebab
itu ukuran baik dan buruk tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada hati nurani atau fitrah manusia
semata. Fitrah hanyalah potensi dasar yang perlu dipelihara dan dikembangkan.Semua keputusan
syara’ tidak akan bertentangan dengan hati nurani manusia, karena kedua-duanya berasal dari sumber
yang sama yaitu Allah swt. Demikian juga dengan akal pikiran, Ia hanyalah salah satu kekuatan yang
dimilki manusia untuk mencari kebaikan atau keburukan. Pandangan masyarakat juga bisa dijadikan
salah satu ukuran baik dan buruk. Masyarakat yang hati nuraninya sudah tertututp dan akal pikiran
mereka sudah dikotori oleh perilaku tercela tidak bisa dijadikan ukuran. Hanya kebiasaan masyarakat
yang baiklah yang dapat dijadikan ukuran.
Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama,
kalau dalam pembicaraan etika untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk tolak ukur
yang digunakan atau sumbernya adalah akal pikiran atau rasio (filsafat), sedangkan dalam
pembicaraan moral tolak ukur yanng digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang
dan berlangsung dimasyarakat.Mengenai istilah akhlak, etika dan moral dapat dilihat perbedaannya
dari objeknya, dimana akhlak menitikberatkan perbuatan terhadap Tuhan dan sesama manusia,
sedangkan etika dan moral hanya menitikberatkan perbuatan terhadap sesama manusia saja. Maka
istilah akhlak sifatnya teosentris, meskipun akhlak itu ada yang tertuju kepada manusia dan makhluk-
makhluk lain, namun tujuan utaetika dan moral semata-mata sasaran dan tujuannya untuk manusia
saja. Karena itu, istilah tersebut bersifat antroposentris (kemanusiaan saja).
3. Hubungan akhlak dengan akidah dan Syariah.
Aqidah merupakan kepercayaan, keimanan mengenai keesaan Allah. Syariah (hukum) adalah
jalan menuju sesuatu yang benar. Akhlak adalah budi pekerti, sopan santun, dan perilaku. Aqidah,
Syariah dan Akhlak, ketiganya merupakan 3 pokok ajaran Islam. Ketiganya harus selalu bersamaan
dengan aqidah berjalan di depan.
Aqidah, Syariah dan akhlak pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran Islam.
Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Aqidah sebagai sistem
kepercayaan yang bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan, menggambarkan sumber dan hakikat
keberadaan agama. Sementara syariah sebagai system nilai berisi peraturan yang menggambarkan
fungsi agama. Sedangkan akhlak sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan yang hendak
dicapai agama.
Islam tidak hanya memberi tuntunan ritual, dalam rangka hubungan manusia dengan Tuhan,
tetapi juga memberi bimbingan dalam hubungan antar manusia, bahkan hubungan manusia dengan
alam dan lingkungannya, baik lingkungan wujud nyata maupun yang tak nyata (Yaa ‘alimal ghaibi wa
syahadah).
Tuntunannya bukan hanya menyangkut hal-hal besar melainkan juga yang kecil-kecil, dan
boleh dianggap remeh oleh sementara orang, lalu yang remeh itu pun dikaitkan dengan Tuhan Yang
Maha Esa, Allah SWT. Aneka aktivitas, bahkan makan dan berpakaian, tidur, cara tidur, bangun tidur,
mandi atau ke wc, termasuk kaki mana yang hendaknya didahulukan melangkah ketika masuk dan
keluar, semua ada aturan dan tuntunannya, dan semua dikaitkan dengan Allah SWT.
Semua persoalan yang dihadapi oleh umat manusia dapat ditemukan tuntunannya secara
eksplisit atau implisit dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Islam menyatukan dalam
tuntunan akidah, syariah dan akhlak, ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan,
dan di situlah letak kekuatan Islam.
Muslim yang baik adalah orang yg memiliki aqidah yg lurus dan kuat yg mendorongnya untuk
melaksanakan syariah yg hanya ditujukan pada Allah sehingga tergambar akhlak yg terpuji pada
dirinya.
Atas dasar hubungan itu, maka seseorang yg melakukan suatu perbuatan baik, tetapi tidak
dilandasi oleh aqidah atau keimanan, maka orang itu termasuk ke dalam kategori kafir. Seseorang yg
mengaku beraqidah atau beriman, tetapi tidak mau melaksanakan syariah, maka orang itu disebut
fasik. Sedangkan orang yg mengaku beriman dan melaksanakan syariah tetapi dengan landasan aqidah
yg tidak lurus disebut munafik.
Aqidah, syariah dan akhlak dalam Al-Qur’an disebut iman dan amal saleh. Iman menunjukkan
makna aqidah, sedangkan amal saleh menunjukkan pengertian syariah dan akhlak.
Seseorang yg melakukan perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi Aqidah, maka perbuatannya
hanya dikategorikan sebagai perbuatan baik. Perbuatan baik adalah perbuatan yg sesuai dengan nilai-
nilai kemanusiaan, tetapi belum tentu dipandang benar menurut Allah. Sedangkan perbuatan baik yg
didorong oleh keimanan terhadap Allah sebagai wujud pelaksanaan syariah disebut amal saleh. Kerena
itu didalam Al-Qur’an kata amal saleh selalu diawali dengan kata iman.
4. Jenis-jenis akhlak (mahmudah dan madzmumah)
a. Akhlak terpuji ( Mahmudah )
Penerapan akhlak sesama manusia yang dan merupakan akhlak yang terpuji adalah sebagai
berikut:
1) Husnuzan
Berasal dari lafal husnun ( baik ) dan Adhamu (Prasangka). Husnuzan berarti
prasangka, perkiraan, dugaan baik. Lawan kata husnuzan adalah suuzan yakni berprasangka
buruk terhadap seseorang . Hukum kepada Allah dan rasul nya wajib, wujud husnuzan kepada
Allah dan Rasul-Nya antara lain:
Meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua perintah Allah dan Rasul-Nya Adalah
untuk kebaikan manusia
Meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua larangan agama pasti berakibat buruk.
Hukum husnuzan kepada manusia mubah atau jaiz (boleh dilakukan).Husnuzan
kepada sesama manusia berarti menaruh kepercayaan bahwa dia telah berbuat suatu kebaikan.
Husnuzan berdampak positif berdampak positif baik bagi pelakunya sendiri maupun orang
lain.
2) Tawaduk
Tawaduk berarti rendah hati.Orang yang tawaduk berarti orang yang merendahkan diri
dalam pergaulan.Lawan kata tawaduk adalah takabur. Rasulullah Saw bersabda :
“Barangsiapa rendah hati kepada saudaranya semuslim maka Allah akan mengangkat
derajatnya, dan barangsiapa mengangkat diri terhadapnya maka Allah akan merendahkannya”
(HR. Ath-Thabrani).
3) Tasamu
Artinya sikap tenggang rasa, saling menghormati dan saling menghargai sesama
manusia. Allah berfirman,
”Untukmu agamamu, dan untukku agamaku (Q.S. Alkafirun/109: 6) Ayat tersebut
menjelaskan bahwa masing-masing pihak bebas melaksanakan ajaran agama yang diyakini.
4) Ta’awun
Ta’awun berarti tolong menolong, gotong royong, bantu membantu dengan sesama
manusia. Allah berfirman, ”
…dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan…”(Q.S. Al Maidah/5:2)
Selain sifat-sifat di atas masih banyak lagi sifat-sifat terpuji lainya yang menjadi
patokan akhlak kita antar sesama.
b. Akhlak Tercela ( Mazmumah)
1) Hasad
Artinya iri hati, dengki. Iri berarti merasa kurang senang atau cemburu melihat orang
lain beruntung. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Janganlah kamu saling membenci dan
janganlah kamu saling mendengki, dan janganlah kamu saling menjatuhkan. Dan hendaklah
kamu menjadi hamba Allah yang bersaudara dan tidak boleh seorang muslim mendiamkan
saudaranya lebih dari tiga hari“. (HR. Anas).
2) Dendam
Dendam yaitu keinginan keras yang terkandung dalam hati untuk membalas kejahatan.
Allah berfirman:
”Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhlah itulah yang
terbaik bagi orang yang sabar” (Q.S.An Nahl/16:126)
3) Gibah dan Fitnah
Membicarakan kejelekan orang lain dengan tujuan untuk menjatuhkan nama baiknya.
Apabila kejelekan yang dibicarakan tersebut memang dilakukan orangnya dinamakan
gibah.Sedangkan apabila kejelekan yang dibicarakan itu tidak benar, berarti pembicaraan itu
disebut fitnah. Allah berfirman,
”…dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah
ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu
merasa jijik…” (Q.S. Al Hujurat/49:12).
4) Namimah
Adu domba atau namimah, yakni menceritakan sikap atau perbuatan seseorang yang
belum tentu benar kepada orang lain dengan maksud terjadi perselisihan antara keduanya.
Allah berfirman,
”Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik(keluar dari ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya datang kepadamu membawa suatu berita maka telitilah
kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan),
yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (Q.S. Al-Hujurat/49:6)

You might also like