- ber
Ms
“Dr Ir Mu lyon. |. Baskoro, M.Sc
rai Sune in, S.Pi., M.Si
iTEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN
DENGAN CAHAYA
Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc
Dr. Agus Suherman, S.Pi, M.SiMULYONO S. BASKORO
AGUS SUHERMAN
TEKNOLOGI PENANGKAPAN [KAN
DENGAN CAHAYA
ISBN : 979.704.462.9
@2007 Badan Penerbit UNDIP-Semaran;
XX, 1764vill halaman 160x250 mm.
Lay out dan Setting : Agus Suherman
Desain Cover : Wendi Supriyadi
@ 2007 Hak Cipta ada pada Penulls, Dilarang Mereproduks!
sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa seijin
PENGANTAR
haya merupakan salah satu faktor penting yang
menentukan keberhasilan kegiatan penangkapan ikan
joperasikan pada malam hari.
Cahaya berfungsi untuk meng) mn area penangkapan buatan
(artificial fishing ground), jika ikan-ikan belum terkumpul pada
sesuatu catchable area, ataupun jika ikan-ikan berada diluar
kemampuan tangkap dari jaring, maka haruslah diupayakan
agar ikan-ikan itu terkumpul dalam suatu wilayah penangkapan
catchable area. Salah satu upaya untuk menghasilkan Catchable
area atau suatu wilayah penangkapan yang baik adalah dengan
membentuk sebuah daerah penangkapan buatan (artificial
fishing ground, dengan menggunakan cahaya lampu.
Buku ini bertujuan untuk mengulas berbagai hal tentang
peranan cahaya dalam penangkapan ikan. Pengadaan buku ini
didorong pula oleh keinginan untuk menambah bacaan atau
referensi tentang perikanan lampu di Indonesia yang masih
sedikit jumlahnya. Bagi mahasiswa yang belajar tentang
perikanan khususnya perikanan tangkap atau pihak lain yang
memerlukannya, kiranya buku ini dapat menjadi tambahan
sumber informasi untuk lebih mengenal dan memahami
pentingnya perikanan lampu dalam operasi penangkapan yang
Imawati S.Pi; Dina Mayasari, S.Pi; Nurcholis Rokhmat Yulianto;
Andi Agui wandy, $.Pi; Budi Joko Siswanto S.Pi; Wawi Suroso
S.Pi; Eko Prasetyo Budi S.Pi yang telah banyak membantu dalam
penulisan buku ini dan kepada teman sejawat di Jurusan PSP di
FPIK-IPB dan UNDIP yang banyak memberikan masukan dalam
penyusunan buku ini. Penulis yakin bahwa buku ini masih jauh
dari sempurna dan penulis sangat mengharapkan adanya Kritik
dan saran dari pembaca. Terima kasih.
Bogor, Januari 2007
PenulisDAETAR ISI
PENGANTAR....
Prinsip Dasar Light Fi
BAB II PENGGUNAAN CAHAYA DALAM PENANGKAPAI uw
Cahaya dalam Perairan..
Sumber Cahaya untuk Penangkapan..
Sensitivitas Ikan terhadap Cahaya
Respon Ikan terhadap Cahaya
BAB IV CAHAYA LAMPU SEBAGAI DAERAH PENANGKAPAN
IKAN BUATAN.
METODE PENANGKAPAN DENGAN CAHAYA,
Pukat Cincin (Purse seine).
Proses Tertangkapnya Ikan
dengan Alat Bantu Penangkapan Cahaya
Jaring Lampara
Squid jigging (panci
BAB VI EFEKTIVITAS CAHAYA DALAM PENANGKAPAN
Respon Ikan terhadap Caha}
Warna Cahaya..
Kekuatan dan Sebaran Cahaya.
Layang (Decapterus macrosoma)
Peperek (Le/ognathus splendens).DAFTAR TABEL
Halaman
Pengaruh sudut datang terhadap refleksi dan absorpsi
se 16
warna cahaya
a 19
Hubungan antara Kecerahan dan warna air dengan
efektivitas penangkapan yang menggunakan alat bantu
20
56
Perbandingan
‘menangkap ikan 2
Efisensi penerangan cahaya dari berbagai suber
73
Perbandingan intensitas cahaya pada beberapa jenis
B
alat tangkap
Hubungan antara GT
untuk papal perikanan stick held dip net.
Jumlah cahaya (lux) pada depth 0 m,
untuk berbagai GT kapal stick held dip net.
1s
17
18
19
20
21
22
23
24
25
DAFTAR GAMBAR
Proses fokus pada lensa mata vertebrata
Proses fotokimia pada sel batang....
(a) Segmen lwar se} kerucut dan sel batang diambil dari
Jalur sumber cahaya, (b) Foto mikroskop electron yang
menunjukkan sel batang lel
37
39
Mekanisme penentuan warna pada retin 44
Penginderaan warna putih menurut teori Young-
Helmhol 47
48
Tiga pasang otot oculomotor pada mata ikai 49
Lapisan retina mata ikan. 51
Struktur mata ikan laut dalam. 58
Klasifikasi alat tangkap bagan 89
Bagan tancap (Stationery lift ne 94
96
100
105
106
Purse seine dengan tipe operasi one boat system 116
Purse seine dengan tipe operasi two boat system. 116
Proses penarikan purse line... 124
Proses pengoperasian purse sei 126
Diagram proses tertangkapnya ikan pada operasi
penangkapan dengan mini purse seine yang
menggunakan alat bantu caha . 129
Alat tangkap payang.... 135
Teri (Stolephorus commersoni). 146
Selar (Selar crumenophthalmus) 150
Kembung (Rastrelliger kanagurta).. _ 15226 Layang (Decapterus macrosoma)
27 Tembang (Sardinellas
28 Cumi-cumi (Loligo sp).
29 Lemuns (Sardinella longi
30 Alu-alu (Sphyraena sp)
viii
BABI
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas
wilayah perairan mencapai 2/3 dari seluruh luas wilayah
Indonesia. Luas perairan yang mencapai 5,8 juta Km? yang
terbagi atas perairan teritorial 0,3 juta Km’, perairan nusantara
2,8 juta Km? dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 2,7 juta Km?
Walaupun dengan wilayah perairan yang luas, potensi dan
sumber daya yang terkandung didalamnya masih belum
dimanfaatkan secara optimal. Dari data yang diperoleh,
pemanfaatan potensi sumber daya perikanan di wilayah
Indonesia baru mencapai setengah dari potensi lestari yang
dimiliki. Berdasarkan hasil evaluasi, potensi lestari sumber daya
perikanan mencapai kurang lebih 4,5 juta ton/tahun dan potensi
ZEE sebesar 2,1 juta ton/tahun (Dahuri, 2000).
Sumber daya hayati (ikan) merupakan bagian dari sumber
daya alam yang memberikan andil sebagai penghasil devisa
negara. Mengingat perikanan Indonesia terdiri dari beberapa
Jenis dan beragam (multi-species), maka pengembangan yang
mengacu pada peningkatan produksi (perikanan tangkap)
mempunyai peluang yang sangat besar untuk dikembangkan.
Pemanfaatan sumber daya perikanan dari waktu ke waktu
(fishing technique and fishing tactics) untuk dapat memproduksi
secara lebih efektif dan efisien.
Berhasil tidaknya suatu alat tangkap dalam operasi
Penangkapan sangatlah tergantung + pada _bagaimana
mendapatkan daerah penangkapan yang baik, potensi perikanan
yang ada dan bagaimana operasi penangkapan dilakukan.
Beberapa cara dilakukan dalam upaya penangkapan diantaranya
12
dengan menggunakan alat bantu penangkapan. Macam-macam
alat bantu penangkapan yang umum digunakan dalam operasi
penangkapan ikan di Indonesia diantaranya dengan
menggunakan rumpon dan cahaya lampu.
Salah satu bentuk teknologi penangkapan ikan yang
dianggap sukses dan berkembang dengan pesat pada industri
penangkapan ikan sampai pada saat ini adalah penangkapan
ikan dengan menggunakan alat bantu cahaya (Nikonorov, 1975;
Arimoto, 1999; Baskoro 2001).
Cahaya merupakan salah satu faktor penting yang
menentukan keberhasilan kegiatan penangkapan ikan dengan
alat tangkap yang dioperasikan pada malam hari. Cahaya
berfungsi untuk menghasilkan area penangkapan buatan
(artificial fishing ground, jika ikan-ikan belum terkumpul pada
sesuatu catchable area, ataupun jika ikan-ikan berada diluar
kemampuan tangkap dari jaring, maka haruslah diupayakan
agar ikan-ikan itu terkumpul ke catchable area. Salah satu upaya
untuk menghasilkan catchable area atau suatu wilayah
penangkapan yang baik adalah dengan membentuk sebuah
daerah penangkapan buatan (artificial fishing ground, dengan
menggunakan cahaya lampu.
Awalnya cahaya lampu digunakan pada perairan dangkal
dengan menggunakan alat tangkap pukat pantai, jaring serok
dan pancing. Pada tahun 1953 penggunaan cahaya lampu telah
berkembang dengan cepat Khususnya pada perikanan pantai
(perikanan bagan), tetapi sekarang tidak terbatas pada perikanan
Pantai saja tetapi juga pada perikanan lepas pantai (Ayodhyoa et
al, 2001). Penggunaan cahaya lampu telah banyak digunakan
sebagai alat bantu pada penangkapan ikan pelagis kecil pada
perikanan pukat cincin (purse seine) dan bagan (Linting dan
Wijopriono, 1993). Perikanan dengan cahaya sudah dilakukan
dengan banyak cara yang berbeda dan ada berbagai teknik yang
dipakai, pilihan metode bergantung dari besarnya faktor
pengembangan setiap tingkat teknologi pada suatu tempat dan
pengembangan investasi pada peralatan.
Metode penangkapan ikan dengan menggunakan cahaya
sudah sejak lama diketahui sebagai teknik yang efektif untuk
3
tujuan penangkapan ikan tunggal maupun berkelompok (Yami,
1987). Nomura dan Yamazaki (1977) menyatakan bahwa pada
mulanya sumber cahaya yang digunakan adalah obor yang
diperkirakan mempunyai intensitas cahaya sebesar 100 kandela,
setelah itu gas karbit dengan intensitas cahaya 100-1000 kandela,
diperkirakan pada tahun 1930 mulai digunakan lampu minyak,
setelah itu kemudian berkembang lampu listrik. Metode
Penangkapan ini digunakan untuk menangkap ikan pelagis
dengan menggunakan alat tangkap seperti surrounding net
(purse seine dan lampata), stationary dan movable life nets (stick
held dip nets di Jepang) dan pancing.
Penggunaan cahaya lampu sebagai alat bantu penangkapan
berfungsi untuk mengumpulkan populasi atau kawanan ikan
pada suatu wilayah atau tempat untuk memudahkan dalam
operasi penangkapan. Alat bantu penangkapan ini memiliki
Peranan yang sangat penting dalam usaha perikanan tangkap
Khususnya yang ada di Indonesia. Pengembangan teknologi
cahaya lampu sebagai alat bantu dalam penangkapan mulai
berkembang dengan sangat cepat, penggunaan komponen-
komponen cahaya seperti warna dan jenis lampu yang digunakan
mulai diujicobakan untuk mendapatkan hasil terbaik dalam
Penggunaan cahaya lampu tersebut. Alat bantu ini kemudian
digabungkan dengan berbagai jenis alat tangkap untuk
memudahkan operasi penangkapan yang umumnya dilakukan
pada waktu malam, Dalam teknologi penangkapan ikan, semua
Jenis alat tangkap yang menggunakan cahaya sebagai alat bantu
penangkapan disebut dengan light fishing.
Dalam buku ini pada bab-bab selanjutnya akan diuraikan
berbagai aspek yang kiranya perlu diketahui mengenai light
fishing terutama yang menyangkut cahaya dalam penangkapan,
metode penangkapan dengan cahaya dan efektifitas cahaya
dalam penangkapan. Selain itu akan diulas berbagai hal tentang
respon ikan terhadap cahaya dan masalah teknis yang
menyangkut pengembangan light fishing selanjutnya. Beberapa
alat penangkapan yang menggunakan cahaya sebagai alat bantu
diberikan sebagai informasi dasar untuk mendapatkan gambaran
tentang light fishing secara umurn.BAB IL
LIGHT FISHING
Upaya penangkapan ikan dilakukan manusia dengan
menggunakan metode dan alat penangkapan yang terus
berkembang. Beberapa alat tangkap mulai dikembangkan dengan
menggunakan prinsip-prinsip penangkapan yang efektif dan
efisien. Mulai dari penggunaan jenis alat, bahan maupun
‘modifikasi konstruksi mulai dikembangkan.
Beberapa lat tangkap dalam _pengoperasiannya
menggunakan bahan dan alat tertentu untuk memberikan
rangsangan guna menarik perhatian ikan. Salah satu alat yang
digunakan untuk memberikan rangsangan pada ikan adalah
cahaya. Cahaya digunakan untuk menarik perhatian ikan-ikan
yang bersifat fototaksis positif dan akan direspon dengan
berkumpulnya ikan pada sumber cahaya atau catchable area
tertentu untuk kemudian ditangkap dengan menggunakan jaring
maupun alat pancing lainnya. Penangkapan ikan dengan
memanfaatkan cahaya sebagai alat bantu umumnya disebut
dengan light fishing.
Menurut Brandt (1984), light fishing atau penangkapan
ikan dengan cahaya adalah suatu bentuk dari umpan yang
berhubungan dengan mata (optical baid) yang digunakan untuk
menarik dan untuk mengumpulkan ikan. Light fishing oleh
Brandt (1984) diklasifikasikan ke dalam kelompok attracting,
concentrating and frightening fish, karena dalam hal ini cahaya
digunakan untuk mengumpulkan (concentrating) ikan pada suatu
daerah tertentu schingga mudah untuk dilakukan operasi
penangkapan.
Cahaya merupakan faktor penting bagi kehidupan ikan,
yaitu: dalam penangkapan korban (mangsa) dalam. tingkah laku
reproduksi, mencari perlindungan bagi calon korban predator,
dalam orientasi migrasi (vertikal dan horizontal) dan pola
pertumbuhannya. Cahaya berpengaruh besar dalam orientasi
4
5
migrasi tkan. Arah migrasi fkan secara mudah dapat
dihubungkan dengan tingkah laku diurnal dengan siklus diurnal
matahari. Hubungan antara cahaya dan hasil penangkapan ikan
telah dikenal oleh nelayan sejak dahulu. Pengaruh cahaya
terhadap tingkah laku ikan tidak mudah dipisahkan. Hela dan
Laevestu (1970) juga menyatakan bahwa cahaya buatan akan
merangsang banyak organisme laut untuk mendekatinya,
Sehingga organisme laut tersebut pada akhirnya merupakan
makanan bagi ikan-ikan pemangsa lainnya.
Ikan-ikan pemangsa biasanya memakan korbannya di
waktu pagi dan sore. Rangsangan cahaya mengganggu migrasi
diurnal dan tingkah laku kawanan ikan, karenanya beberapa
Jenis ikan justru tertarik cahaya dalam batas intensitas tertentu
dan kenyataan ini digunakan oleh para nelayan untuk
menangkap ikan di waktu malam hari dengan menggunakan
cahaya lampu, sebagaimana pendapat Hela dan Laevastu (1970)
bahwa efektivitas penangkapan ikan dengan alat bantu cahaya
adalah sebelum tengah malam karena fototaksis maksimum ikan
terdapat pada waktu tersebut. Sehingga . untuk operasi
enangkapan ikan pelagis yang menggunakan alat bantu cahaya
sebagai alat pengumpul ikan akan lebih efektif dan efisien jika
dilakukan sejak matahari terbenam hingga tengah malam.
Sejarah Light Fishing
Setelah manusia mengetahui cara membuat api, mereka
penangkapan ikan dengan menggunakan alat bantu cahaya
(ami, 1987). Berawal dari sinilah penangkapan ikan dengan
menggunakan alat bantu cahaya berkembang terus.
Sebagaimana telah di ulas di bagian pendahuluan buku ini,
bahwa awal mula penggunaan cahaya secara modern sebagai
alat bantu dalam upaya penangkapan ikan belum diketahui
secara pasti. Sumber cahaya yang digunakan mulai dari obor
(ang mempunyai intensitas cahaya kurang lebih 100 candela),6
petromaks (lampu tekan minyak tanah), sampai lampu listrik
(Nomura and Yamazaki, 1975). Cahaya digunakan untuk menarik
dan mengkonsentrasikan kawanan ikan pada catchable area
yang selanjutnya dengan menggunakan alat tangkap tertentu
untuk menangkapnya. Setiap alat dan metode penangkapan
bervariasi pada ruang dan waktu, demikian juga intensitas
cahaya yang digunakan oleh nelayan berbeda-beda tergantung
pada jenis alat tangkap, spesies target, fishing ground dan
kemampuan finansial dari nelayan.
Di Indonesia sendiri penggunaan cahaya lampu dalam
kegiatan penangkapan: belum diketahui secara jelas siapa yang
menggunakan dan kapan mula-mula mulai digunakan. Meski
demikian pada tahun 1949-1950 telah ditemukan sekitar 500
buah lampu petromaks yang digunakan untuk melakukan
penangkapan cakalang pada daerah perairan Indonesia Timur di
mana daerah-daerah lain belum menggunakannya (Subani,
1983).
Pada mulanya penggunaan lampu untuk penangkapan,
masih, terbatas pada daerah-daerah tertentu dan umumnya
dilakukan hanya di tepi-tepi pantai dengan menggunakan alat
tangkap beach seine, serok (scoop net) dan pancing (hand line).
Pada tahun 1953 perkembangan penggunaan lampu untuk
tujuan penangkapan ikan tumbuh dengan pesat bersamaan
dengan perkembangan bagan untuk penangkapan ikan. Saat ini
pemanfaatan lampu tidak hanya terbatas pada daerah pantai
saja, tetapi juga dilakukan pada daerah lepas pantai yang
Indonesia dewasa ini telah berkembang cukup pesat, sehingga
tempat-tempat di mana térdapat kegiatan perikanan tangkap
hampir dapat dipastikan bahwa di daerah tersebut terdapat
Jampu yang digunakan untuk usaha penangkapan ikan.
1900 untuk menarik perhatian berbagai jenis ikan, kemudian
berkembang dengan pesat setelah Perang Dunia II. Di Norwegia
7
Penggunaan lampu berkembang sejak tahun 1930 dan di uni
Soviet baru mulai digunakan pada tahun 1948 (Nikonorov, 1975).
Prinsip Dasar Light Fishing
Pada dasarnya penggunaan cahaya dalam penangkapan
berfungsi untuk membantu mengumpulkan ikan-ikan di dalam
Perairan untuk mendekati cahaya sehingga lebih mudah dalam
penangkapannya. Dapat dikatakan bahwa penangkapan dengan
bantuan cahaya dilakukan dengan memanfaatkan sifat-sifat
alamiah dari ikan itu sendiri.
Tertariknya ikan untuk mendekati cahaya dapat disebabkan
oleh beberapa hal, antara lain berasal dari sifat alami ikan itu
sendiri terhadap cahaya (fototaksis), keinginan untuk mencari
makan dan keinginan bergerombol untuk menghindari predator.
Pada umurnya ikan-ikan yang tertarik pada cahaya adalah ikan-
ikan yang bersifat fototaksis positif. Cahaya dengan segala
karakteristiknya di dalam perairan memiliki pengaruh terhadap
pola tingkah laku dari organisme.
Pengetahuan tingkah laku ikan dalam proses penangkapan
ikan yang menggunakan cahaya sebagai alat bantu penangkapan
penting untuk diketahui Khususnya tingkah laku di sekitar
encahayaan, antara: lain pola penyebaran dan distribusi ikan
sebelum dan sesudah proses penangkapan, pola kedatangan ikan
di sekitar pencahayaan dan pola pergerakan ikan di sekitar
pencahayaan.
Reaksi ikan terhadap cahaya secara teoritis dikemukakan
berbeda-beda, seperti fototaksis positif, preferensi untuk
intensitas cahaya optimum, investigatory reflex, untuk
mengelompok dan makan di bawah cahaya, serta dis-orientasi
sebagai akibat kondisi buatan dari gradien intensitas cahaya di
bawah air (Yami, 1987).
Ayodhyoa (1981) menyebutkan bahwa peristiwa tertariknya
ikan di bawah cahaya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Peristiwa langsung, yaitu ikan tertarik oleh cahaya lalu
berkumpul. Ini tentu berhubungan langsung denganperistiwa fototaksis, seperti pada jenis-jenis sardinelta,
kembung dan layang.
s
dengan tujuan mencari makan (feeding). Beberapa jenis
kan yang termasuk dalam kategori ini seperti ikan
predator. Hal ini terjadi berkaitan dengan pembentukan
schooling dan kemampuan penglihatan pada ikan. Ikan pada
umumnya akan membentuk schooling pada saat terang dan
menyebar saat gelap. Dalam keadaan tersebar ikan akan lebih
mudah dimangsa predator dibandingkan saat berkelompok.
Adanya pengaruh cahaya buatan pada malam hari akan menarik
ikan ke daerah iluminasi, sehingga memungkinkan mereka
membentuk schooling dan lebih aman dari incaran predator. tkan
yang tergolong fototaksis positifakan memberikan respon dengan
mendekati sumber cahaya, sedangkan ikan yang bersifat
fototaksis negatif akan bergerak menjauh. Persoalan-persoalan
yang terkait dengan aktivitas light fishing antara lain:
A. Persoalan-persoalan fisika
1. Cahaya : kuat cahaya (light intensity), warna cahaya (light
colour}, merambatnya cahaya ke dalam air laut,
pengaturan cahaya, dan lain-lain sebagainya.
2. Air laut : gelombang, kekeruhan (turbidity), kecerahan
(cransparancy), arus dan lain-lain sebagainya.
3. Hubungan cahaya dengan air laut : refraction,
penyerapan (absorption), _penyebaran (scattering),
pemantulan, extinction dan lain-lain sebagainya.
B. Persoalan-persoalan biol
1, Jenis cahaya yang disenangi ikan : berapa besar atau
volume rangsangan (stimuli) yang harus diberikan, supaya
ikan terkumpul dan tidak berusaha untuk melarikan diri
dalam suatu jangka waktu tertentu. Tidaklah dikehendaki,
sehubungan dengan berjalannya waktu. pengaruh
9
rangsangan ini akan lenyap, karena ikan menjadi terbiasa
(accustomed.
Kemampuan daya tarik (attracting intensity) dari cahaya
yang dipergunakan haruslah sedemikian rupa sehingga
dapat mengalahkan (minimum meng-eliminir) pengaruh
intimidasi dari beradanya jaring, kapal, suara mesin dan
lain-lain.
|. Berbeda spesies, besar, umur, suasana _sekeliling
(environmend akan berbeda pula cahaya (intensity, colour,
waktu) yang disenangi; dan faktor suasana sekeliling
(environmental condition factor} yang berubah-ubah
Gelombang, arus, suhu, salinitas, sinar bulan) akan
sangat mempengaruhi.
Bersamaan dengan spesies ikan yang menjadi tujuan
penangkapam akan berkumpul juga jenis lain yang tak
diinginkan Gkan kecil, Jarvae), sedang kita menghendaki
catch yang selektif. Ada tidaknya pengaruh cahaya
terhadap spawning season, over fishing, resources.
Agar cahaya dalam kegiatan light fishing dapat
memberikan daya guna yang maksimal, diperlukan syarat-syarat
antara lain sebagai berikut :
1. Mampu mengumpulkan ikan-ikan yang berada pada
Jarak yang jauh (horizontal maupun vertikal).
2. Ikan-ikan tersebut hendaklah berkumpul ke sekitar
sumber cahaya, di mana mungkin akan tertangkap
(catchable area).
3. Setelah ikan berkumpul, hendaklah ikan-ikan tersebut
tetap senang berada di sana pada suatu jangka waktu
tertentu (minimum sampai saat alat tangkap mulai
beroperasi atau diangkat).
4, Sekali ikan berkumpul pada sekitar sumber cahaya
hendaklah ikan-ikan tersebut jangan melarikan diri
ataupun menyebarkan diri (escape, disperse).
Faktor yang cukup Arusia/ dalam kegiatan light fishing
adalah kekuatan dari cahaya lampu yang digunakan, di mana
keberadaan cahaya lampu sendiri yang masuk atau menembus
perairan akan dipengaruhi kondisi cuaca saat penangkapan
x
*10
@elap atau terang). Selanjutnya Verheyen (1959) mengemukakan
jelas, namun diduga berkumpulnya ikan-ikan disebabkan
‘mencari intensitas cahaya yang sesuai.
dengan persoalan-persoalan tersebut, maka perlu
kajian-kajian mendalam, antara lain :
1. Kajian tentang cahaya lampu dalam kegiatan light fishing
sebagai suatu sumber cahaya (light resources.
2. Kajian tentang pemantulan, penyerapan, refraction,
pemadaman, dan lain-lain peristiwa fisika dari cahaya
yang dihasilkan oleh fishing Jamp yang mengenai
permukaan air atau air.
Hubungan yang ada antara jumlah terang yang terjadi
dalam perairan (ight intensity, brightness, lux akibat
s
penyinaran lampu dalam kegiatan penangkapan dan
ikan-ikan yang berkumpul. tkan-ikan ini hendaklah
berada dalam keadaan alamiahnya dan hubungan
tersebut hendaklah dapat diungkapkan dengan suatu
satuan (unit) (besar attracting intensity, besar
intimidation effect, besar stimulus, dan Jain-lain
sebagainya).
Pola pergerakan ikan terhadap cahaya dalam aktivitas
light fishing, serta motivasi ikan berada di sekitar cahaya
tersebut.
-
BAB III
CAHAYA DALAM PENANGKAPAN
Cahaya merupakan bentuk energi elektromagnetik seperti
gelombang radio. Bentuk energi ini dapat melalui satu material
ke material yang lain tanpa bahan material perantara. Cahaya
adalah salah satu faktor ekologi penting di laut yang
mempengaruhi proses-proses produksi utama sampai penglihatan
pada ikan. Cahaya adalah berkas-berkas kecil dalam spektrum
elektromagnetik dengan kisaran 400-700 milimikron yang
mengandung semua warna yang kasat mata (Mueller dan
Rudolph, 1983). Menurut teori Newton, cahaya harus terdiri dari
Panjang gelombang cahaya berkisar antara 3.600-7.000 A dengan
frekuensi cahaya tampak bervariasi dari 7,9x10"*Hz~4,3x10Hz
(MacDonald dan Burns, 1975).
Cahaya adalah gelombang yang memindahkan tenaga
tanpa perambatan massa dan memberikan informasi yang vital
tentang lingkungan kepada hewan (Cromer, 1994). Cahaya
matahari yang tipis adalah cahaya yang dapat terurai menjadi
komposisi warna yang disebut spektrum. Komposisi warna cahaya
tampak tersebut adalah merah, oranye, kuning, hijau, biru dan
ungu. Cahaya dengan panjang gelombang tunggal diterima oleh
Pengamat yang mempunyai penglihatan warna yang normal
sebagai suatu warna dari warna-warna spektral. Warna ini
menjangkau dari ungu sampai biru untuk cahaya dengan
panjang gelombang 420 nm, hijau dengan panjang gelombang
520 nm dan merah untuk panjang gelombang 700 nm. Namun
pada kenyataannya kebanyakan cahaya yang kita lihat seperti
cahaya yang terpantulkan dari buku biru terdiri dari satu
panjang gelombang. Analisis spektral cahaya itu pada dasarnya
menunjukkan bahwa cahaya itu mengandung semua panjang
gelombang meskipun mungkin akan terdapat intensitas cahaya
cn12
yang lebih besar pada ujung spektrum yang lebih pendek (biru)
dibandingkan pada ujung spektrum yang lebih panjang (merah)
(Cromer, 1994).
Cahaya yang umum masuk ke dalam perairan adalah berkas
cahaya putih. Selanjutnya cahaya mengalami dispersi membentuk
spektrum. Pada air yang dangkal ditemukan adanya variasi
wama yang dapat dibedakan menurut panjang gelombangnya,
sebaliknya pada kedalaman 100 m atau lebih hanya sebagian
yang dapat ditransmisikan ke dalam laut yaitu hanya panjang
gelombang yang mendekati 470 nm (Shaw dan Stowe, 1982).
Edenton diacu dalam Herring et al, (1990) menambahkan bahwa
pada kedalaman kira-kira 200 m gelombang warna biru masih
ditransmisikan dan komposisi warna nyaris konstan sesuai
dengan sudut datang cahaya. Intensitas cahaya menurun setiap
peningkatan 75 m kedalaman. Cahaya bioluminescen adalah biru
atau blue-green.
Cahaya terdiri dari radiasi panjang gelombang tunggal
yang disebut monokromatik. Contoh pendekatan paling
sempurna pada sumber cahaya monokromatik adalah panjang
gelombang cahaya laser. Cahaya dan semua radiasi
elektromagnetik berjalan melalui hampa udara dalam garis lurus
pada kecepatan yang sama yaitu kurang lebih 300.000 Km/detik
(ami, 1987).
Cahaya mempunyai kecepatan yang begitu besar, kira-kira
3x10" m per detik, yang diukur sejak tahun 1675. Dari hasil
pengukuran sampai tahun 1953, Du Mond dan Cohen
melaporkan bahwa nilai yang baik untuk kecepatan cahaya
adalah ¢=2,997929x10° m/det, yang dapat dipercaya dalam batas
Kesalahan + 0,000008x10* m/det. Kecepatan rambat cahaya pada
suatu media seperti udara atau air, akan berkurang bila
dibandingkan dengan ruang hampa udara, dengan adanya faktor
yang disebut indeks pembias dari media tersebut. Ketika cahaya
merambat melalui suatu media menuju media lainnya, frekuensi
cahaya tersebut tidak berubah, tetapi perubahan terjadi pada
Kecepatan rambat yang diikuti oleh perubahan panjang
gelombangnya, karena perbandingan antara cepat rambat dan
13
Panjang gelombang harus selalu konstan (Cayless and Marsden,
1983).
Kecepatan cahaya dalam zat-zat yang transparan, seperti
air dan gelas yang diperoleh dari hasil pengukuran selalu lebih
kecil dari kecepatan cahaya di dalam ruang hampa. Dalam air,
kecepatan cahaya, Vy=2,25x10° m/det (Cromer, 1994). Hal ini
sesuai dengan hasil percobaan Jean Leon Foulcault (1850), bahwa
cahaya merambat lebih lambat di dalam air dari pada dalam
Tuang hampa (Tilley, 1976).
Dengan memperhatikan gejala-gejala optik yang ada dan
hasil-hasil percobaan, para abli fisika berkesimpulan bahwa
cahaya mempunyai sifat dual, yaitu teori gelombang
elektromagnetik untuk menjelaskan gejala tentang penjalaran
(perambatan) cahaya, sedang teori kuantum untuk menerangkan
gejala interaksi cahaya dengan bahan, juga gejala absorbsi
(serapan) dan pancaran cahaya.
Cahaya Dalam Perairan
Cahaya merupakan faktor ekologi yang sangat penting bagi
kehidupan biota laut. Cahaya adalah gelombang yang
memindahkan tenaga tanpa perambatan massa (Cromer, 1994).
Cahaya memiliki peranan penting baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap kehidupan organisme yang ada di
Perairan. Bagi organisme planktonik (produsen), cahaya adalah
faktor utama yang berperan dalam membantu produksi makanan
yang dihasilkan melalui fotosintesis. Kemampuan menghasilkan
makanan inilah yang pada akhirnya berhubungan dengan
kehidupan organisme air lainnya melalui proses makan memakan
dalam rantai makanan.
Cahaya merupakan bagian yang fundamental dalam
menentukan tingkah laku ikan di laut (Woodhead, 1966). Stimuli
cahaya terhadap tingkah laku ikan sangat kompleks, antara lain:
intensitas, sudut penyebaran, polarisasi. komposisi spektralnya
dan lama penyinaran. Nicol (1963) telah melakukan suatu telaah
mengenai penglihatan dan penerimaan cahaya oleh ikan dan14
menyimpulkan bahwa mayoritas mata ikan laut sangat tinggi
sensitifitasnya terhadap cahaya. Tidak semua cahaya dapat
diterima oleh mata ikan. Cahaya yang dapat diterima memiliki
Panjang gelombang pada interval 400-750 my (Mitsugi, 1974 dan
Nikonorov, 1975).
Penetrasi cahaya dalam air sangat erat hubungannya
dengan panjang gelombang yang dipancarkan oleh cahaya
tersebut. Semakin besar panjang gelombangnya maka semakin
kecil daya tembusnya ke dalam perairan. Dengan demikian
cahaya biru yang mempunyai panjang gelombang kecil akan
menembus jauh ke dalam perairan daripada warna lainnya. Di
dalam penerapannya pada operasi penangkapan ikan, maka
untuk menarik ikan dari jarak yang jauh, baik secara vertikal
maupun horizontal, digunakan warna biru karena sangat sedikit
dapat di absorbsi oleh air sehingga penetrasinya ke dalam
perairan sangat tinggi. Untuk mengkonsentrasikan ikan di
sekitar catchable area digunakan warna merah atau kuning
karena daya tembusnya rendah.
Selain panjang gelombang, faktor lain yang menentukan
penetrasi cahaya masuk ke dalam perairan adalah absorbsi
cahaya dari partikel-partikel air, kecerahan, pemantulan cahaya
oleh permukaan laut, cahaya bulan, musim dan lintang geografis
(Nybakken, 1988). Yami (1987) menyatakan bahwa nilai jluminasi
(aX suatu sumber cahaya akan menurun dengan semakin
meningkatnya jarak dari sumber cahaya tersebut dan nilainya
akan berkurang apabila cahaya tersebut masuk ke dalam air
karena mengalami pemudaran.
Cahaya sendiri merupakan bentuk energi yang merambat
dari satu material ke material lainnya tanpa medium perantara.
Kecepatan rambat cahaya pada beberapa medium berbeda-beda,
hal ini disebabkan adanya faktor pembiasan yang berbeda dari
masing-masing medium (Yami, 1987).
Cahaya di perairan memiliki karakteristik yang sangat
bergantung pada keadaan perairan tersebut. Cahaya yang jatuh
ke permukaan perairan, akan dipantulkan dan sebagian lagi
akan diteruskan. Air yang senantiasa bergerak menyebabkan
pemantulan cahaya ke segala arah, percikan-percikan putih pada
15
ermukaan air akan semakin memperbanyak terjadinya
Pemantulan. Untuk cahaya yang diteruskan melewati air, akan
diserap dan sebagian akan dibaurkan oleh partikel-partikel air
dan benda-benda tersuspensi, termasuk jasad renik yang hidup
dalam perairan. Akibatnya intensitas cahaya akan semakin
berkurang pada setiap kedalaman. Oleh karena itu tingkat
kecerahan di dalam perairan juga turut mempengaruhi penetrasi
cahaya di perairan. Jika transparansi perairan besar, cahaya
akan lebih dalam menembus lapisan air, dan sebaliknya jika
transparansi perairan kecil akan mengurangi jarak tempuh
cahaya.
Menurut Yami (1987), iluminasi suatu sumber cahaya akan
menurun dengan semakin meningkatnya jarak dari sumber
cahaya, dan akan lebih berkurang nilainya apabila cahaya
tersebut memasuki media air. Gunarso (1985) menyatakan bahwa
cahaya yang masuk ke dalam air akan mengalami pereduksian
yang jauh lebih besar bila dibandingkan dalam udara. Nybakken
(1988) berpendapat bahwa kedalaman penetrasi cahaya dalam
laut tergantung pada beberapa faktor, antara lain absorpsi
cahaya oleh partikel-partikel air, panjang gelombang cahaya,
kecerahan air, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, serta
lintang geografis dan musim.
Warna cahaya yang berbeda akan diserap secara berbeda
pula sejalan dengan kedalaman air. Air menghalangi radiasi
cahaya ultraviolet dan inframerah dari matahari. Radiasi cahaya
merah dan orange diserap air pada bagian atas dan sebagian lagi
dinamburkan. Radiasi cahaya biru dan hijau diserap paling
sedikit oleh air, pereduksiannya disebabkan oleh penghamburan
(ami, 1987).
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Yami (1987),
diketahui bahwa penetrasi cahaya buatan pada permukaan air
menyebabkan hampir separuh dari cahaya tersebut dipantulkan.
Tuminasi cahaya di bawah permukaan air hanya bernilai lebih
dari separuh iluminasi di permukaan air.
Menurut Gunarso (1985), berkas cahaya terpanjang dari
cahaya merah umumnya tidak menembus lebih dari 10 meter.
Kemudian akan disusul dengan cahaya orange, kuning dan16
beberapa warna cahaya lainnya yang mempunyai gelombang
pendek. Cahaya biru dan ungu mempunyai daya tembus yang
lebih dari cahaya lainnya.
Penyebaran cahaya dipengaruhi oleh bahan medium yang
dilewatinya. Peristiwa yang terjadi apabila cahaya melalui dua
medium yang berbeda kerapatan atau indeks bias yaitu
pemantulan, pembiasan dan penyerapan. Cahaya yang masuk ke
dalam air mengalami pereduksian yang jauh lebih besar bila
dibandingkan dalam udara, karena adanya penyerapan dan
perubahan cahaya ke berbagai bentuk energi yang disebabkan
oleh berbagai partikel dalam air, cuaca dan gelombang (Cayless
and Marsden, 1983).
Penyebaran radiasi cahaya yang berasal dari udara masuk
kepermukaan air sangat kompleks dan sangat dipengaruhi oleh
sudut datang cahaya matahari, kondisi awan dan kekeruhan
pada permukaan air. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada
kedalaman kira-kira 200 m gelombang warna biru masih
ditransmisikan dan komposisi warna nyaris konstan sesuai
dengan sudut datang cahaya. Intensitas cahaya menurun setiap
peningkatan 75 m kedalaman (Herring ef al, 1990). Perbedaan
sudut datang mempengaruhi refleksi dan absorbsi energi cahaya
matahari (Tabel 1).
Tabel 1. Fengaruh sudut datang terhadap refleksi dan absorbsi
Elevasi Matahari di 7 2
- 90° 60-30" 35 5
% refleksi radiast 2 3 6 20 40
% absorbsi radiasi 989794806
‘Sumber : Herring ef al. 1990
Tabel 1. diatas menunjukkan bahwa sudut datang
mempengaruhi persentase absorbsi radiasi cahaya matahari oleh
molekul air. Sudut datang 90° memberikan absorbsi terbaik yakni
98%, sedangkan sudut datang 5° merupakan absorbsi terendah
yakni sebesar 60%.
17
Bentuk distribusi intensitas cahaya lampu di bawah air
tergantung tipe lampu yang digunakan sebagai sumber cahaya.
Pengamatan distribusi jintensitas cahaya di bawah air
menunjukkan bahwa pada garis luar iso-lux dari 4 lampu
kerosene (lampu gas) bentuknya oval, intensitas maksimum (250
lux) di permukaan air dan 0.1 lux pada kedalaman 14 meter
(Baskoro et al, 1998).
Selanjutnya Choi ef al, (1997) melaporkan bahwa lampu
listrik jenis mega! halide mempunyai bentuk sebaran intensitas
cahaya seperti angka delapan yang diputar 90° ke kiri dan ke
kanan. Pada lampu petromaks sesuai penelitian Tupamahu (2003)
pola penyebaran cahaya pada permukaan 200 lux dan berkurang
dengan bertambahnya kedalaman sampai 0.1 lux pada
kedalaman 12 meter. Jarak 1 m dari sumber cahaya intensitas
cahaya 120 lux kemudian berkurang sampai 0.1 lux pada
kedalaman 11 meter. Jarak 2 meter, intensitas cahaya antara 20-
10 lux dan menyebar dari permukaan sampai kedalaman 2.5
meter kemudian berkurang sampai 0.1 lux pada kedalaman 9
meter. Demikian seterusnya sampai pada jarak 4 m dari sumber
eahaya.
Tingkah taku cahaya di dalam air sangat dipengaruhi oleh
sifat-sifat air. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku
cahaya dalam air adalah suhu, densitas, salinitas, viscositas,
tekanan (kedalaman) dan kekeruhan. Hal ini perlu dibahas
terlebih dahulu karena sifat-sifat air mempengaruhi karakteristik
cahaya di dalam air. Sifat-sifat air tersebut dipengaruhi oleh dua
faktor utama yakni suhu dan kuantitas material an-organik yang
terlarut dalam air. Salah satu faktor penting yang dipengaruhi
suhu adalah densitas. Densitas air merupakan fungsi dari suhu,
salinitas dan keberadaan atau kedalaman. Suku berperan
mengubah struktur internal dan sifat air. Jika panas banyak
diserap oleh air maka ikan hidrogennya menjadi putus.
Selanjutnya suhu mempengaruhi kelarutas gas-gas yang terdapat
di dalam air. Menurunnya kelarutan gas-gas dalam air akan
mempengaruhi densitas air. Densitas air maksimum pada suhu
4°C, jika suhu meningkat maka densitas air menurun. Densitas
atau kepadatan massa air merupakan salah satu masalah utamayang dihadapi oleh ikan. Densitas air 775 kali lebih padat
dibandingkan udara. Kepadatan jaringan dari organisme yang
hidup didalamnya sangat erat kaitannya dengan air. Organisme
yang hidup di darat lebih kuat dan kompak struktur rangkanya
dibanding dengan organisme yang hidup di perairan. Densitas air
juga dipengaruhi oleh salinitas. Air yang salinitasnya berbeda
densitasnya juga berbeda.
Warna Cahaya
Keberadaan cahaya untuk dapat dimanfaatkan bagi
organisme di dalam perairan sangat tergantung pada
kemampuan cahaya untuk menembus lapisan perairan. Berkas
cahaya yang jatuh pada permukaan air, sebagian akan
dipantulkan dan sebagian lagi akan diteruskan ke dalam air.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan cahaya untuk
menembus lapisan perairan adalah panjang gelombang cahaya.
Cromer (1994) menyatakan apa yang dilihat hewan
tergantung pada sifat-sifat fisik khusus dari cahaya yang sensitif
untuk matanya. Pada serangga hanya dapat mendeteksi warna
dan polarisasi. Sedangkan pada ikan yang matanya sangat mirip
mata manusia, mempunyai kemampuan untuk membedakan
warna. Hal ini sesuai dengan pendapat Fujaya (2002) yang
menyatakan pada ikan laut absorbsi pigmen utama adalah pada
panjang gelombang cahaya biru, sedangkan pada ikan air tawar
adalah kuning, sebaliknya ikan Hiv tidak memiliki penglihatan
warna. Warna dibedakan menurut tingkat kecerahannya. Ikan
karang memiliki kemampuan menyerap warna biru, biru-hijau
dengan panjang gelombang berkisar 440-500 nm (Sale (ed), 1991).
Sale (ed) (1991) menjelaskan bahwa dengan melakukan
pengukuran absorban kemampuan pigmen visual ikan , spektrum
warna yang mampu dibedakan ditentukan oleh pigmen ganda.
Artinya jika pigmen tunggal maka ikan hanya bisa menangkap
cahaya monokromatik. Namun jika memiliki pigmen ganda
dengan ya yang berbeda maka kermungkinan akan mampu
membedakan warna.
i9
Teori Maxwell menyatakan cahaya yang dipancarkan
adalah dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Cahaya
tampak (visible light) mempunyai range frekuensi dari
3,87x10"Hz sampai 8,35x10"Hz yang setara dengan panjang
gelombang antara 7.800-3.600 Angstrom (1A = 10° m). Sifat
alamiah cahaya akan menentukan kontras _lingkungan
disekitarnya. Jumlah partikel akan menentukan koefisien
pemudaran cahaya. Banyaknya cahaya yang terpantul di
permukaan akan mempengaruhi jumlah cahaya yang masuk ke
kolom air (Nadir, 2000). Panjang gelombang dari masing-masing
cahaya seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Panjang gelombang pada berbagai warna cahaya
tampak
Warna Cahaya Panjang Gelombang (Angstrom)
Ultraviolet Tebih pendek dari 3.900
Violet 3.900-4.550
Biru
Hijua
Kuning
Orange .
Merah 6.220-7.700
Inframerah Lebih panjang dari 7.700
‘Sumber : Yami (1987).
Dari enam warna cahaya tersebut dijelaskan bahwa warna
cahaya biru dan hijau paling dalam menembus lapisan perairan,
sementara cahaya merah dan ungu akan terabsorpsi oleh air
hanya beberapa meter (2-3 meter) setelah menembus permukaan
dengan lampu dipengaruhi oleh warna air laut serta
transparansi air. Selanjutnya Yami (1987) membuat hubungan
antara kecerahan dan warna air dengan efektivitas penangkapan
ikan yang menggunakan alat bantu lampu (Tabel 3).20
Tabel 3. Hubungan antara kecerahan dan warna air dengan
efektivitas penangkapan yang menggunakan alat bantu
cahaya
“Wo. —“Kecerahan air Warna laut Keterangan
(m)
30 ‘iru gelap
29-27 Biru Baik untuk
1 16-12 Biru Kehijauan penangkapan
11-10 Hijau kebiruan
3-8 Hijau Kurang baik
2. 7-6 Hijau kekuningan untuk
55-5 Kuning kehijauan __penangkapan
45-3 Kuning
35-3 Kuning Pane
3. Kecoklatan tidak dapat
25-2 Coklat _—
kekuningan
2 Coklat
‘Sumber : Yami (1987).
Perbedaan panjang gelombang (kualitas cahaya) akan
membedakan warna dari cahaya. Dari hasil-hasil penelitian yang
pernah ada, menunjukan bahwa warna cahaya yang baik untuk
digunakan pada light fishing adalah biru, kuning dan merah.
Namun dalam penerapannya tidak dinyalakan secara bersama-
sama karena perbedaan dari masing-masing sifat cahaya.
Untuk mengumpulkan ikan pada jarak yang jauh baik
secara vertikal maupun horizontal biasanya digunakan cahaya
berwarna biru Karena penetrasinya yang tinggi ke dalam
perairan. Sebaliknya untuk mengkonsentrasikan ikan di
permukaan air digunakan warna kuning atau merah karena
memiliki daya penetrasi yang lebih rendah. Walaupun demikian
penggunaan warna cahaya juga perlu dilakukan penelitian
terhadap kesukaan jenis-jenis ikan pada warna-warna cahaya
yang ada.
21
Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai
Penggunaan berbagai warna cahaya dalam penangkapan ikan.
Linting dan Wijopriono (1982) meneliti tentang pengaruh warna
cahaya terhadap hasil tangkapan pada penangkapan ikan hias
dengan alat bantu cahaya, hasil penelitian menunjukkan bahwa
warna cahaya biru memperoleh hasil tangkapan yang terbanyak.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Najamuddin et al. (1994)
yang menggunakan tiga jenis warna lampu neon, masing-masing
: merah, kuning, dan biru yang dipasang dalam air pada alat
tangkap purse seine, menunjukkan bahwa lampu neon berwarna
kuning memberikan hasil tangkapan yang lebih besar,
dibandingkan dengan warna merah dan biru. Sedangkan ikan
layang merupakan ikan yang dominan tertangkap dengan warna
cahaya tersebut.
Sebaran Cahaya
Menurut Yami (1987) dan Nikironov diacu dalam
Kristjonsson (1964) aspek teknik cahaya yang diperhitungkan dan
satuan internasional yang dipakai adalah: intensitas cahaya
dengan satuan candela (cd); iluminasi cahaya dengan satuan lux
(ix); kuat penyinaran dengan satuan lumen. Kedalaman penetrasi
cahaya dalam laut tergantung pada beberapa faktor, antara lain:
absorbsi cahaya oleh partikel-partikel air, panjang gelombang
cahaya, kecerahan air, pemantulan cahaya oleh permukaan laut,
serta musim dan lintasan geografis (Nybakken, 1988). Iluminasi
cahaya akan menurun dengan semakin meningkatnya jarak dari
sumber cahaya tersebut dan nilainya akan lebih berkurang
apabila cahaya tersebut memasuki air (Yami, 1987).
Intensitas cahaya adalah ukuran kemampuan suatu sumber
cahaya untuk memancarkan cahaya baik secara umum maupun
Pada suatu arah tertentu. Intensitas cahaya diukur dengan
satuan candela (cd). Intensitas cahaya (1) suatu sumber cahaya
adalah ukuran intensitas atau kekuatan sumber menurut mata
kita, Sumber cahaya (dengan komposisi warna apa saja)
dikatakan memiliki intensitas cahaya sebesar 1 candela (1 cd) jika22
tampak sama terang, seperti sumber baku tertentu yang bersuhu
2046°K (putih~menyala). Kebanyakan suber cahaya
menunjukkan intensitas yang bernilai I suatu sumber dapat
bergantung pada sudut pandang. Secara matematis intensitas
cahaya dinyatakan dengan rumus :
I= apa
keterangan =
J = intensitas cahaya (cd)
dF = perbandingan fluks (Im)
dQ = sudut ruang
Berdasarkan rumus diatas, dapat dijelaskan bahwa
umumnya intensitas cahaya suatu sumber berbeda untuk arah
yang berlawanan. Tidak ada benda yang tembus cahaya dengan
sempurna, seperti halnya cahaya yang melalui suatu media
optical (kecuali hampa) energinya sebagian besar akan diabsorpsi
dan intensitas akan melemah. Penurunan intensitas cahaya yang
melalui suatu media dirumuskan sebagai berikut :
DI = -alde
keterangan :
DI = penurunan intensitas (cd)
J = intensitas cahaya (cd)
dx = ketebalan media (m)
a = keefisien absorpsi
Intensitas cahaya setelah melalui suatu ketebalan media
tertentu dapat diperoleh dengan menggunakan rumus
berdasarkan hukum Burger (Tyler et al. diacu dalam Hill 1962) :
T= leew
keterangan :
Jo = intensitas cahaya pada ketebalan x=0
¢ = koefisien Euler (2,718)
23
a = koefisien absorpsi
x = ketebalan media (m)
Tuminasi cahaya atau kecemerlangan cahaya (4)
didefinisikan sebagai jumlah cahaya yang masuk ke kolom air
yang tergantung pada intensitas cahaya (1) dan jarak dari
permukaan (Yami, 1987). luminasi cahaya di bawah permukaan
air hanya bernilai lebih dari separuh iluminasi di permukaan air.
Huminasi suatu sumber akan menurun dengan semakin jauh
dari sumber cahaya tersebut nilainya akan lebih berkurang
apabila cahaya tersebut memasuki air karena mengalami
pemudaran. Pengukuran iluminasi cahaya dari suatu sumber
dapat dilakukan dengan menggunakan ramus:
Bair
keterangan :
£ = iluminasi cahaya (lux)
7 = intensitas cahaya (cd)
4 = jarak dari sumber cahaya (m) (Kenworthy, 1961).
Rumus diatas berdasarkan asumsi jika cahaya menyinari
(fluks cahaya) permukaan secara tegak lurus. Jika permukaan
tidak tegak lurus fluks, tetapi normal, permukaan membentuk
sudut @ dengan arah fluks, maka tidak semua fluks akan
menerangi permukaan, melainkan :
E = Eqetz Cos
Terang cahaya atau brightness (e) didefinisikan sebagai
intensitas cahaya yang menembus setiap satuan luas permukaan
secara tegak lurus. Dan secara matematis terang cahaya
dirumuskan :
e=IA
keterangan :
e
!
A
terang cahaya
intensitas cahaya (cd)
luas permukaan (mm?)24
Mengingat cahaya yang dipancarkan sumber cahaya
menyebar ke segala arah, dengan demikian terang cahaya di
suatu titik yang berjarak r dari sumber cahaya, titik yang
menghasilkan intensitas I dapat dirumuskan dengan :
= Waar
Rumus ini menyatakan bahwa titik yang dekat dengan
sumber cahaya mempunyai terang cahaya lebih besar dari pada
titik yang jauh dari sumber cahaya.
Intensitas penerangan disebut juga iluminasi atau kekuatan
penerangan. Intensitas penerangan adalah flux cahaya yang
jatuh pada suatu permukaan, sedangkan flux cahaya yang
dipancarkan oleh suatu sumber cahaya adalah seluruh jumlah
cahaya yang dipancarkan dalam satu detik. Intensitas
penerangan atau iluminasi dari suatu permukaan bidang diukur
dengan flux cahaya persatuan luas permukaan yang menerima
cahaya (Cayless and Marsden, 1983). Semakin besar iluminasi
pada suatu permukaan, maka flux cahaya juga akan bertambah
besar. uminasi dapat didefinisikan dalam bentuk rumus :
E=QA
keterangan :
B=
ifensitas penerangan atau iluminasi (ux atau
lumen/m’*)
@ = jumlah flux cahaya (lumen)
A = luas permukaan yang diterangi (m? atau cm)
Nilai intensitas penerangan tidak akan selalu sama pada
setiap titik bidang. Hal ini tergantung dari sumber cahaya dan
juga jarak sumber cahaya dengan titik pada permukaan.
Tluminasi cahaya akan berkurang dengan semakin meningkatnya
jarak dari sumber cahaya dan nilainya akan berkurang apabila
‘cahaya memasuki media air (Yami, 1987).
Perbedaan media rambat yang dilalui cahaya akan
berpengaruh terhadap karakteristik cahaya. Di dalam air laut,
kedalaman penetrasi cahaya tergantung pada beberapa faktor,
antara lain absorpsi cahaya oleh partikel-partikel terlarut dalam
25
air atau tingkat kekeruhan (turbidigy) perairan akibat adanya
partikel-partikel organik maupun anorganik yang terlarut di
dalam perairan. Adanya partikel-partikel terlarut di dalam
perairan, akan mengurangi daya tembus cahaya, hal ini
disebabkan cahaya yang dipancarkan akan diabsorbsi dan
dipantulkan oleh partikel-partikel air, akibatnya cahaya tersebut
mengalami pembauran (scattering) dan pemantulan, panjang
gelombang cahaya, kecerahan air, pemantulan cahaya oleh
permukaan laut, serta musim dan lintang geografis (Nybakken,
1988).
Selain sifat-sifat cahaya, ada beberapa tingkah laku cahaya
yang secara teknis perlu diketahui sehubungan dengan
perjalanan cahaya dan sumber cahaya hingga sampai ke objek
pencahayaan. Tingkah laku cahaya yang dimaksud adalah
refleksi, refraksi, polarisasi dan interferensi cahaya (Tilley, 1976).
Menurut Tilley (1976), apabila cahaya mengenai suatu bidang
permukaan yang halus dari material yang transparan, sebagian
cahaya dipantulkan dan sebagian menembus ke dalam material
tersebut. Pada peristiwa ini, pemantulan cahaya terjadi secara
teratur (regular reflection) oleh permukaan benda yang tidak
teratur seperti permukaan laut yang bergelombang. Selain
‘mengalami pemantulan (refleksi), cahaya yang datang ke dalam
suatu media yang transparan seperti gelas atau air, juga akan
mengalami pembelokkan (refraksi), yang mangakibatkan
kecepatan cahaya selalu lebih rendah dari kecepatan sebelumnya.
Salah satu karakteristik yang sangat penting dari gerakan
gelombang adalah gejala interferensi yang terjadi bila dua atau
lebih gelombang bergerak dalam ruang dan waktu yang
bersamaan. Secara umum interferensi dapat diartikan sebagai
perpaduan dua atau lebih gelombang yang hasilnya dapat saling
memperkuat atau memperlemah.
Interferensi destruktif (saling mematikan atau gelap) terjadi
pada titik-titik di mana kedua gelombang berbeda fase,
sedangkan interferensi Konstruktif (memperkuat atau terang)
terjadi pada titik-titik di mana kedua gelombang satu fase.
Interferensi tidak hanya terjadi pada cahaya yang berasal dari
satu sumber, tapi juga bisa terjadi terhadap cahaya yang berasal26
dari dua sumber, di mana hasilnya adalah interferensi
maksimum, yaitu garis terang atau interferensi minimum yaitu
garis gelap.
Ketertarikan Ikan Terhadap Cahaya
Pada umumnya ikan lebih efektif dan menunjukkan sifat
fototaksis yang maksimum sebelum tengah malam. Dengan
diketahuinya sifat fototaksis ini maka biasanya penangkapan
yang dilakukan sebelum dan sesudah tengah malam lebih efektif.
Cahaya juga mempengaruhi beberapa tingkah laku ikan, seperti
Tangsangan untuk makan, menghindarkan diri dari alat tangkap
dan rangsangan ikan untuk mendekati cahaya (Hela dan
Laevastu, 1970).
Pemahaman tingkah laku ikan disekitar pencahayaan dapat
dijadikan suata pedoman untuk membuat taktik penangkapan
agar hasil tangkapan dapat lebih meningkat. Disamping itu
dapat juga dijadikan landasan untuk merancang atau
memodifikasi suatu alat tangkap yang lebih efektif dan efisien
dalam melakukan operasi penangkapan.
Umumnya ikan sangat peka tethadap adanya cahaya di
dalam perairan. Kemampuan ikan untuk menerima rangsangan
cahaya akan sangat bergantung pada daya adaptasi ikan
tersebut terhadap besar cahaya yang dipancarkan. Ayodhyoa
(1981) menyatakan bahwa tertariknya ikan terhadap cahaya
karena terjadi fototaksis, di mana cahaya merarigsang dan
menarik ikan untuk berkumpul pada sumber cahaya itu atau bisa
pula karena rangsangan cahaya (stimulus, maka kemudian ikan
memberikan responnya. Peristiwa inilah yang dimanfaatkan
dalam penangkapan ikan dengan cahaya (light fishing).
Cahaya buatan merangsang banyak organisme laut untuk
mendekatinya, hal ini merupakan makanan bagi organisme lain,
sehingga dalam lapisan air tersebut terdapat suatu komunitas
dengan komponen rantai makanan yang lengkap. Lebih lanjut
dikatakan ikan yang lapar lebih mudah tertarik untuk mendekati
cahaya dan mencari makanan dibandingkan ikan yang kenyang.
27
Apabila intensitas cahaya lampu berada pada titik kritis, maka
ikan akan berhenti makan dan menjauhi lapisan air tersebut.
Berdasarkan pendapat Yami (1988), penggunaan cahaya
untuk periode 30 menit sampai 3 jam cukup untuk menarik
kumpulan ikan dan suatu lampu berkekuatan + 300 watt,
mungkin cukup untuk mempertahankan kelompok _ikan.
Selanjutnya dikemukakan bahwa ada dua pola reaksi ikan
terhadap cahaya, yaitu fototaksis dan photokinesis. Fototaksis
merupakan gerakan spontan dari ikan yang mendekati cahaya
~ atau menjauhi cahaya. Gerakan spontan yang mendekati sumber
cahaya disebut fototaksis positif dan yang menjauhi sumber
cahaya disebut fototaksis negatif. Photokinesis merupakan respon
yang ditimbulkan oleh hewan dalam kebiasaan hidup. Aktivitas
ikan akan meningkat dengan meningkatnya intensitas cahaya.
Dalam hubungan antara cahaya dengan kegiatan makan
dari ikan, efisiensi makan (feeding efficiency bergantung pada
intensitas cahaya yang mempengaruhi penampakan mata dan
tergantung pada faktor-faktor lain yang pada hakekatnya
terhadap predator, mangsa dan interaksi keduanya.
Kemungkinan lain ikan tertarik mendekati cahaya dikarenakan
adanya latar belakang (back ground) yang gelap, sehingga terjadi
dis-orientasi penglihatan ikan pada saat tersebut.
Ikan yang tertarik pada cahaya umumnya menyukai cahaya
yang terang dan tenang. Cahaya yang tidak tenang (flickering
Zigh® seperti cahaya petir, lampu senter (flash light) yang dapat
dihidup matikan, akan menakutkan atau setidak-tidaknya
mengganggu syaraf ikan (Subani, 1983). Selanjutnya dikatakan
bahwa pada waktu bulan purnama, tingkat keberhasilan
enangkapan ikan dengan menggunakan lampu ° biasanya
rendah. Hal ini karena cahaya terbagi rata, pada hal untuk
penangkapan ikan dengan lampu diperlukan keadaan gelap guna
menarik ikan ke titik yang terang.
Menurut Gunarso (1985), ikan mempunyai respon terhadap
rangsangan yang disebabkan oleh cahaya, yang besarnya
berkisar antara 0,01-0,001 lux sekalipun tergantung kemampuan
sesuatu jenis ikan untuk beradaptasi. Bull diacu dalam Gunarso
(2985), mengatakan bahwa ikan sangat peka terhadap sinar yang28
datang dari arah dorsal tubuhnya dan tidak menyukai cahaya
yang datang dari arah bawah tububnya.
Ikan-ikan umummya sangat peka terhadap cahaya yang
datang dari arah atas (dorsal). Ikan tidak menyukai cahaya yang
datang dari bagian bawah (ventral) tubuhnya, dan bila keadaan
tidak memungkinkan untuk turun ke arah sumber cahaya, ikan-
ikan akan menyebar menurut arah horizontal (Parish, 1952 diacu
dalam Gunarso, 1985). Selanjutnya dijelaskan, bahwa kondisi
lingkungan yang _—berpengaruh terhadap _keberhasilan
penangkapan ikan dengan cahaya lampu adalah musim, fase
bulan, kecerahan dan ada atau tidaknya predator. Selanjutnya
dijelaskan oleh Blaxter (1980), bahwa ambang cahaya yang
diperlukan ikan-ikan teleostei untuk makan adalah 0,1 lux, dan
ambang ini berbeda sesuai dengan lintang dan musim.
Ruivo diacu dalam Masyahoro (1998) menyebutkan, bahwa
daya pemikat bagi ikan adalah rangsangan atau tanda-tanda.
Rangsangan-rangsangan yang diberikan supaya ikan dapat
berkumpul berupa rangsangan cahaya (visa), bunyi (audio),
mekanis dan kimia. Pemikatan oleh suatu sumber cahaya bukan
saja tergantung dari sifat fototaksis positif dari ikan tersebut,
tetapi faktor ekologis juga berpengaruh terhadap makhluk-
makhluk hidup lainnya. Mula-mula yang tertarik untuk
mendekati sumber cahaya adalah jenis zooplankton, kemudian
diikuti oleh ikan kecil dan akhirnya ikan yang lebih besar
(Takayama, 1959 diacu dalam Masyahoro, 1998).
Faktor yang berasal dari lampu adalah sebagai berikut :
a. Lampu kurang terang
Cahaya lampu yang kurang terang tidak akan dapat
‘menjangkau perairan yang dalam serta luas. Sehingga ikan
yang berkumpul akan terbatas di lapisan yang hanya dapat
maka lampu tersebut akan kurang efektif.
Nyala lampu tidak teratur
‘Subani dan Barus (1972) menyatakan bahwa meskipun lampu
cukup terang tetapi kalau lampu tersebut sebentar terang
sebentar mati atau Kurang terang karena gangguan dari
e
29
lampu itu sendiri akan menyebabkan cahaya yang timbul
akan menakutkan ikan dan hewan lain yang mempunyai sifat
fototaksis positif. Akhirnya akan menyebabkan ikan menjauhi
cahaya yang nyalanya tidak teratur.
Brandt (1984) menyatakan bahwa keberhasilan
penangkapan ikan dengan light fishing ditentukan oleh teknik
Penangkapan, kondisi perairan dan lingkungan, serta kualitas
cahaya yang digunakan untuk memikat ikan.
Keberhasilan penangkapan dengan cahaya, selain faktor
cahaya lampu terdapat beberapa faktor yang turut
mempengaruhi antara lain:
1. Kecerahan
Hal ini sangat penting untuk dapat menentukan besar kecil
kekuatan cahaya atau jumiah lampu yang akan digunakan.
Semakin banyak partikel terlarut di perairan, tingkat
kecerahan akan semakin kecil akibamya pembiasan cahaya di
dalam perairan akan berkurang karena diserap atau
dipantulkan oleh partikel-partikel tersebut sehingga efek
cahaya menjadi semakin kecil. Gunarso (1985) menyebutkan
pengaruh kekeruhan terhadap jarak lihat dalam air, di mana
pada kecerahan yang tinggi dan terang, kemampuan daya
penglihatan lebih baik dibandingkan pada kecerahan yang
rendah dan gelap. Jika kecerahan kecil berarti banyak zat-zat
atau partikel-partikel yang menyebar di dalam air, maka
sebagian besar pembiasan cahaya akan habis terserap oleh
zat-zat tersebut dan akhirnya tidak akan menarik perhatian
pada ikan yang ada disekitarnya.
2. Gelombang
Angin dan arus yang kuat mengakibatkan terjadinya
gelombang laut yang cukup besar. Perubahan-perubahan
gelombang yang terjadi akan mempengaruhi kedudukan
lampu dan mengakibatkan sinar lampu menjadi berubah-
ubah sehingga dapat membuat ikan menjadi takut (fickering
Jighd. Untuk itu diperlukan modifikasi terhadap penggunaan
lampu dengan memberikan pengaman dan meletakkan lampu
pada posisi di bawah permukaan air (underwater lamp). Arus
yang kuat akan menghalangi ikan untuk berkumpul di sekitar30
sumber cahaya karena arus yang melebihi kecepatan renang
ikan justru akan menghanyutkan ikan menjauhi sumber
cahaya. Angin, arus kuat dan gelombang besar, jelas akan
mempengaruhi kedudukan lampu, sehingga dengan adanya
faktor tersebut akan merubah sinar-sinar yang semula lurus
menjadi bengkok, sinar yang terang menjadi berubah-ubah
dan akhirnya menimbulkan sinar yang menakutkan ikan.
Untuk mengatasi keadaan tersebut diperlukan penggunaan
Jampu yang dirancang khusus, misalnya dengan memberikan
reflektor dan kap (tudung) atau dengan menggunakan lampu
bawah air.
|. Cahaya bulan
Penggunaan lampu akan sangat efektif pada saat gelap,
sedangkan saat bulan purnama akan sangat sulit sekali untuk
melakukan kegiatan penangkapan dengan lampu disebabkan
cahaya yang menyebar merata di perairan. Cahaya bulan
yang terjadi sangat dipengaruhi oleh fase bulan yang
berlangsung. Satu siklus periode bulan terbagi atas empat
fase dengan setiap fase yang berlangsung 7-8 hari. Fase
pertama (kwartir 1) dan fase ketiga (kwartir 3) yaitu fase saat
bulan memancarkan cahayanya dalam keadaan separuh
bulat. Fase kedua (kwartir 2) bulan memancarkan cahayanya
dalam keadaan bulat purnama sedangkan fase keempat
(kwartir 4) bulan nampak hanya sesaat dan cahayanya sangat
lemah. Menurut Nomura dan Yamazaki (1977), penangkapan
ikan dengan cahaya tidak efektif pada saat bulan purnama
(full moon), karena nilai luminositas cahaya lampu dan
cahaya bulan pada kedalaman 20 meter hampir sama, yaitu
masing-masing 0,033 lux dan 0,032 lux. Pada waktu bulan
purnama sulit sekali untuk melakukan operasi penangkapan
ikan dengan menggunakan lampu karena cahaya terbagi
rata, sedangkan untuk penangkapan dengan lampu
diperlukan keadaan gelap agar cahaya (sinar) lampu terbias
sempurna ke dalam air. Yami. (1987) menyatakan bahwa
adanya cahaya bulan dalam light fishing memberikan
pengaruh negatif karena pengaruh cahaya lampu menjadi
berkurang, disebabkan adanya penyinaran bulan yang
31
menyinari seluruh perairan. Menurut Subani (1983) bahwa
pada saat bulan purnama tingkat keberhasilan penangkapan
ikan dengan menggunakan cahaya lampu menjadi berkurang
karena cahaya menyebar rata pada perairan, hal tersebut
tidak menguntungkan nelayan karena untuk penangkapan
dengan lampu diperlukan keadaan gelap untuk menarik ikan
ke arah sumber cahaya,
Musi
Perubahan musim akan mempengaruhi keadaan perairan di
suatu wilayah. Untuk daerah tertentu bentuk teluk dapat
memberikan dampak positif untuk perikanan yang
menggunakan lampu, misalnya terhadap _pengaruh
gelombang besar, angin dan kuat arus. Hal ini sangat
bermanfaat terutama untuk penangkapan dengan bagan
yang umumnya terdapat di teluk atau tempat yang
terlindung. Di Teluk Jakarta misalnya, pada musim timur
umumnya akan sangat tenang sehingga baik untuk
Pemasangan bagan, tetapi pada musim barat angin dan
gelombang akan sangat kuat sehingga —_kurang
menguntungkan untuk penangkapan. Subani dan Barus
(1972) menyatakan bahwa, musim terutama berpengaruh
terhadap pemantulan cahaya lampu. Saat musim timur dapat
melakukan operasi penangkapan karena gelombang dan arus
kecil, sedangkan pada musim barat operasi tidak dilakukan
karena gelombang dan arus yang besar. Pada musim barat,
lampu banyak kehilangan efektivitas cahaya dan efisiensinya,
karena cahaya banyak dipantulkan oleh gelombang dan
cahaya bulan menjadi cahaya tandingan bagi cahaya lampu.
. Predator
Umurmnya ikan-ikan yang tertarik oleh cahaya didominasi
oleh ikan-ikan kecil seperti : teri, kembung, selar, cumni-cumi,
dan sebagainya. Sedangkan ikan-ikan yang lebih besar atau
Pemangsa umumnya berada pada lapisan yang lebih dalam,
sedangkan binatang lain seperti ular laut (sea snake) dan
lumba-lumba (dolphin) berada di tempat gelap mengelilingi
kawanan ikan kecil. tkan-ikan besar ini sewaktu-waktu akan
menyerang rombongan ikan yang lebih kecil yang berkumpul32
di bawah lampu sehingga membubarkan rombongan ikan
yang akan ditangkap. Binatang pemangsa ikan pada waktu
tertentu dapat menyerang ikan yang berkumpul di bawah
Jampu dan akhirnya menceraiberaikan kawanan ikan yang
‘akan ditangkap.
Untuk menarik ikan ke bawah lampu, digunakan jenis
Jampu yang dinyalakan di atas permukaan air maupun di dalam
air. Dalam kenyataannya penggunaan lampu bawah air lebih
berkembang. Hal ini mengingat bahwa penggunaan lampu
bawah air lebih efektif karena lampu tersebut tidak banyak
kehilangan efisiensinya, selain itu sinarnya lebih tetap dan tidak
banyak cahaya yang hilang karena pemantulan (Gunarso, 1985).
Nomura dan Yamazaki (1977) berpendapat, bahwa ikan
mempunyai sensitivitas lebih baik dalam membedakan gelap dan
terang dibandingkan dengan manusia, tetapi kemampuannya
mengidentifikasi bentuk objek yang dilihat hanya seper-sepuluh
kemampuan manusia. Ikan sebagaimana hewan lainnya
mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk dapat melihat
pada siang hari yang penerangannya beberapa ribu lux dan pada
keadaan gelap sekalipun (Gunarso, 1985). Hal ini erat kaitannya
dengan kemampuan adaptasi retina mata ikan-ikan tersebut.
Hubungan antara cahaya dengan ketertarikan ikan dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal dibawah ini, antara lain:
1. Jenis cahaya yang disenangi ikan, berapa besar kekuatan
Tangsangan cahaya untuk menarik perhatian ikan untuk
mendekati cahaya dan tidak menjadi melarikan diri.
2. Kemampuan daya tarik (attracting intensity) dari cahaya
yang dipergunakan haruslah sedemikian rupa sehingga
mengeliminir faktor yang akan menghambat ketertarikan
ikan tethadap cahaya
3. Perbedaan spesies, besar, umur, kondisi lingkungan
(environment) akan membedakan pula cahaya (intensity,
colour, waktu) yang disenangi oleh ikan di dalam
perairan.
33
Mekanisme Penerimaan Cahaya Pada Ikan
Mata yang merupakan jendela penghubung antara ikan dan
dunia luar bekerja karena adanya cahaya. Kebanyakan ikan
mempunyai penglihatan warna. Berbagai ikan yang berbeda
spesiesnya, berbeda pula adaptasinya terhadap cahaya yang
dapat diatur oleh seleksi kedalaman air. Beberapa spesies ikan
bersifat fototaksis positif atau ada juga yang bersifat fototaksis
negatif,
Tkan mempunyai penglihatan warna, hal ini terbukti dari
reaksi ikan dalam menghindari alat tangkap yang berbeda-beda
wamanya. Cahaya sangat terkait erat dengan pola ruaya vertikal
harian suatu jenis ikan. Dengan mengetahui ruaya secara
vertikal harian suatu jenis ikan, maka waktu untuk melakukan
penangkapan dan alat penangkapan dapat ditentukan, selain itu
kemungkinan berhasilnya penangkapan dengan bantuan sinar
lampu akan lebih besar. Penangkapan dengan bantuan lampu
akan lebih efektif sebelum tengah malam dan hal ini
menunjukkan adanya kecenderungan bahwa fototaksis yang
maksimal bagi ikan adalah pada waktu-waktu tersebut.
Dengan pendekatan biofisika kita dapat memahami
bagaimana cahaya dan energi yang dikandungnya direspon oleh
mata. Setelah cahaya diterima maka mata mampu melihat suatu
objek yang ada disekitamnya. Cahaya masuk ke dalam air dan
diterima oleh mata ikan dengan beberapa tahapan sampai
akhirnya menjadi informasi yang dianalisis oleh otak untuk
gerakan atau tingkah laku lainnya. Cahaya diterima oleh mata
regio pineal yang terletak dekat puncak otak ikan dengan
beberapa tahap sampai akhirnya menjadi informasi yang
dianalisis oleh otak untuk gerakan atau tingkah laku lainnya.
Setelah cahaya diterima maka mata mampu melihat suatu objek
yang ada disekitarnya,
Pertama sekali ketika bagian mata mendapatkan pancaran
cahaya adalah kornea yang memiliki kemampuan untuk
merefraksikan cahaya (Gambar 1). Kornea adalah sebuah selaput
keras, tembus pandang pada bagian muka mata. Kornea34
bentuknya bulat seperti lensa cembung kamera. Membelokkan
sinar cahaya sehingga saling mendekati. Kornea bekerja
memperhitungkan seberapa besar fokus dari cahaya (Mueller et
al, 1983). Pada ikan yang hidup di perairan dangkal seperti ikan
karang mempunyai kornea berwarna kuning dan terkadang lensa
berwarna kuning. Pigmen berwarna kuning berguna sebagai
filter optikal untuk mengurangi jumlah cahaya gelombang
pendek yang tersebar sehingga mengurangi kandungan informasi
bayangan (Fujaya, 2002).
Gambar 1. Proses fokus pada lensa mata vertebrata
(Copenhaver ef al. 1978).
Dibelakang kornea terdapat selaput pelangi atau iris yang
membuka dan menutup seperti diafragma kamera yang mengatur
Jatah cahaya yang memasuki mata. Iris berfungsi dalam
memperlebar sudut lensa yakni dengan meluruskan secara
perlahan-lahan bentuk bola mata. Iris juga berperan dalam
35
mengatur kuat-lemahnya gelombang cahaya yang diperlukan
oleh lensa mata agar mampu melihat objek dengan baik.
Cahaya selanjutnya masuk ke lensa. Pada ikan lensa mata
memiliki kemampuan membiaskan cahaya yang sangat besar
agar sesuai dengan indeks bias air yaitu 1,0. Hal ini akan
menyebabkan lensa mata ikan menjadi seperti bola. Lensa ikan
bergerak ke depan menjauhi retina untuk pandangan tertutup
atau dekat dan bergerak mendekati retina dengan bantuan otot
retraktor untuk pandangan jauh.
Bayangan yang dibentuk lensa jatuh pada retina. Cahaya
mengalami pembelokan dan cahaya dikumpulkan pada satu titik
Tetina atau selaput jala setelah melewati cairan gel mata vitreous
Aumor. Tiba di retina yang terletak pada bagian belakang mata.
Fotoreseptor pada kebanyakan ikan terdiri dari sel kerucut
dan sel batang (Gambar 2). Sel kerucut bertanggung jawab
terhadap penglihatan terang (adaptasi terang) dan pada
diskriminasi warna. Perbedaan sensitivitas cahaya pada sel
kerucut dan sel batang disebabkan oleh kandungan pigmen yang
berbeda. Sel kerucut mengandung rodopsin yang merupakan
gabungan retinen dan fotopsin, sedangkan sel batang gabungan
etinen dan scotopsin. Sel kerucut dan sel batang mampu
menerima rangsangan cahaya karena adanya struktur fungsional
yakni segmen luar dan segmen dalam. Segmen luar mengandung
zat fotokimia berupa pigmen rodopsin dan segmen dalam
mengandung banyak mitokondria sebagai tempat menyimpan
energi bagi fotoreseptor. Selain mitokondria pada bagian segmen
dalam juga ditemukan inti sel dan material genetik untuk
ergantian sel segmen luar. Ketika cahaya sampai di retina di
terima oleh sel kerucut yang mengandung redopsin penyerapan
energi. Disini terjadi proses biofisika dan biokimia sekaligus.36
Gambar 2. (a) Segmen luar sel kerucut dan sel batang diambil dari
Jalur sumber cahaya, (b) Foto mikroskop electron yang
menunjukkan sel batang lebih pendek dan kecil dari
pada sel kerucut (Hopson dan Wessels, 1990).
Rhodopsin mengalami serangkaian perubahan setelah
menyerap foton tunggal. Pertama-tama warna berubah yang
merupakan produk langsung dari proses fotokimia (Gambar 3).
Saat ini diukur dengan menggunakan femtosecond laser.
pengukuran ini dilakukan pada bacteriorodopsin. Pada umumnya
para abli percaya bahwa perubahan pigmen penglihatan yang
telah diketahui sangat cepat seperti pada bacteriorodopsin. Aksi
cahaya ketika diserap rodopsin sekitar 60-70% energi foton per
satu picosecond (1/10 detik) digunakan untuk tahap proses
penglihatan selanjutnya.
37
Gambar 3. Proses fotokimia pada sel batang (Hopson dan
Wessels, 1990).
Pada retina cahaya diserap oleh fotoreseptor-fotoreseptor
tetapi sebelumnya cahaya diteruskan ke neuron yang signalnya
terintegrasi dengan fotoreseptor. Pada fotoreseptor terdapat
material yang sangat sensitif terhadap cahaya yang terletak
dilapisan terbawah retina. Selanjutnya oleh neuron signal
dibawa ke otak (pineal body) terus ke Jobus opticus atau optik
tectum yang berfungsi menerima input sensoris dari saraf optik
dan selanjutnya bekerja sebagai pintegrasi-koordinasi visual
dengan input-input sensoris lainnya dan mengkoordinir respon
motorik.
Retina memiliki struktur berlapis-lapis dan transparan,
yakni terdiri dari lapisan epitelium berpigmen, fotoreseptor, sel
bipolar, sel interplexiform, sel horizontal, sel amakrin dan sel
ganglion. Masing-masing Komponen tersebut berperan dalam
mekanisme penglihatan. £pithelium berpigmen mengeliling
ujung-ujung fotoreseptor yakni sel kerucut dan sel batang.
Sel horizontal tersusun dalam bentuk mosaik sebagai
perantara interaksi kromatik diantara jenis-jenis sel kerucut yang
berbeda (kerucut warna biru, hijau dan merah), menjadi38
Penghubung ke sel-sel bipolar, dan menyusun sebuah jalur
tambahan menuju lapisan inti neuron. Informasi mengenai
penangkapan foton oleh fotoreseptor dikirim ke otak sel bipolar
dan selanjutnya ke sel ganglion.
Nomura (1981) mengemukakan bahwa ikan sardin
(Sardinops melanostiota) dan banyak lagi jenis ikan lebih aktif
pada waktu pagi dan sore hari. Siang hari mereka tidak kelihatan
pada lapisan air yang lebih dangkal dari 30 m dengan kuat
penyinaran atau iluminasi antara 10-1000 lux. Mereka muncul ke
permukaan pada waktu sore hari dan kembali masuk ke lapisan
yang lebih dalam pada waktu malam hari, dalam keadaan cuaca
buruk, sukar untuk memastikan pengaruh cahaya terhadap
tingkah laku ikan.
Ikan Pichard (Sardinops acellata) dapat dipikat dengan
menggunakan cahaya lampu pada waktu malam hari. Selain itu
kedalaman kelompok ikan herring dapat ditentukan berdasarkan
intensitas cahaya. Ikan herring dewasa, sebagaimana telah
dikemukakan terdahulu, tidak bersifat fototaksis positif, karena
mereka menyukai daerah yang berintensitas cahaya yang rendah.
Namun demikian, ikan ini dapat juga tertarik pada cahaya
buatan pada waktu malam hari bila cahaya yang dipakai tidak
begitu kuat. Kelompok ikan herring pada waktu malam hari
bergantung juga kepada penyebaran secara vertikal dari
keseragaman temperatur (homotherma) lapisan permukaan
tersebut. Sehubungan dengan hal itu, maka faktor-faktor penting
pada ruaya harian ikan herring adalah faktor cahaya dan
temperatur. Kelompok ikan cod (Gadus callarias) yang padat
dilaut utara terdapat pada kedalaman antar 0-18 m dari dasar
pada waktu siang hari. Pada malam hari mereka akan menyebar
antara 0-55 m dari dasar perairan, pada perairan yang
kedalamannya mencapai 100 m.
Hubungan antara cahaya dan hasil penangkapan ikan telah
dikenal oleh nelayan sejak dahuh
tingkah laku ikan tidak mudah dipisahkan. Hela dan Laevestu
(1970) juga menyatakan bahwa cahaya buatan akan merangsang
banyak organisme laut untuk mendekatinya (Gambar 4). Sehingga
39
organisme laut tersebut akhirnya merupakan makanan bagi
ikan-ikan pemangsa lainnya.
Penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan akan
ditangkap dan dimanfaatkan oleh biota laut. Energi cahaya akan
diubah menjadi energi kimia oleh fitoplankton yang selanjutnya
dialirkan kepada organisme lain melalui proses makan memakan
dalam suatu rantai makanan. Tidak hanya itu, cahaya
memberikan informasi yang vital bagi ikan tentang lingkungan
habitamya. Dengan pendekatan secara biofisika kita dapat
memahami bagaimana cahaya dan energi yang dikandungnya
dapat diterima dan direspon oleh mata sehingga mata mampu
melihat obyek yang ada disekitarnya.
eva
LL
Gambar 4. Pengaruh cahaya terhadap fisiologi dan tingkah laku
ikan (Hela dan Lavestu 1970).40
Pada ikan, cahaya yang masuk ke dalam perairan akan
diterima oleh mata dan diteruskan menjadi suatu rangsangan
bagi tingkah laku dan kebiasaan hidup ikan-ikan tersebut. Bagi
ikan-ikan yang hidup di perairan dangkal cahaya akan
berpengaruh terhadap pola sebaran dan densitasnya, pada siang
dan malam hari. Pola aktifitas ikan-ikan cenderung bersifat
diurnal, nocturnal dan crepuscular. Pola aktifitas diurnal
umumnya ditemukan pada jenis ikan-ikan karang yang aktif
pada siang hari, pola aktivitas nocturnal ditemukan pada ikan-
ikan karang yang aktif malam hari, sedangkan pola aktivitas
crepuscular ditemukan pada jenis-jenis ikan karang yang aktif
pada waktu matahari akan terbenam.
Mata Sebagai Penerima Cahaya
Komponen mata ikan tidak berbeda dengan vertebrata
lainnya, meskipun sejumlah spesies bervariasi ukuran, struktur
dan posisi. Indera penglihatan ikan merupakan salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap jarak penglihatan di dalam air. Tkan-
ikan yang berukuran besar pada umumnya mempunyai jarak
penglihatan yang lebih jauh dibandingkan ikan-ikan kecil atau
ikan-ikan muda.
Mata sebagai sistem indera penglihatan pada ikan sangat
menarik untuk diilustrasikan karena telah mengalami adaptasi
maksimal dalam rangka mendeteksi dan mengenali objek yang
penting. Mata ikan telah beradaptasi dengan lingkungan tempat
hidupnya yakni dalam air. Penglihatan ikan di dalam air
menghadapi beberapa masalah yang telah diatasi sedemikian
mupa oleh mata ikan.
Penglihatan ikan menghadapi kendala tiga dimensi air
sebagai media hidupnya, Air memiliki dimensi panjang, lebar dan
tinggi atau kedalaman. Karena itu disebut tiga dimensi atau
imbolkan dengan pangkat tiga. Organisme yang hidup didalam
mengalami masalah krusial pada penglihatannya yakni
densitas air 775 kali lebih padat dari pada udara yang
menyebabkan perbedaan absorpsi cahaya dalam air dan pola
41
iluminasinya, Air memiliki Kemampuan menyerap cahaya yang
tinggi yakni sama atau lebih dari 10% ketika cahaya masuk
sedalam satu meter.
Air menyerap cahaya yang memiliki gelombang yang
Panjang. namun rendah frekuensinya lebih mudah dibandingkan
dengan gelombang pendek dan memiliki frekuensi tinggi. Hal ini
menyebabkan warna merah yang gelombangnya pendek
dipantulkan kembali pada perairan dangkal, sementara spektrum
cahaya warna biru yang gelombangnya panjang, memiliki
penentrasi yang lebih dalam masuk ke dalam perairan sampai
kedalaman lebih dari 200 meter. Menghadapi masalah tersebut
diatas, mata ikan sebagai sistem indera telah beradaptasi dengan
sempurna menghadapi habitatnya. Bentuk adaptasi yang
sempurna tersebut terlihat pada kornea mata ikan. Kalau pada
hewan vertebrata darat kornea memiliki permukaan udara.
Permukaan udara pada Kornea vertebrata darat memberikan
kekuatan optikal yakni kekuatan pembiasan cahaya.
Sebaliknya mata hewan vertebrata yang hidup di air seperti
ikan, kornea tidak bermanfaat bagi sifat optik. Hal itu
ditunjukkan oleh indeks bias air yang sama dengan indeks bias
Jensa mata. Perbedaan optik yang utama antara hewan darat
fungsi pembiasan tidak pada kornea mata tetapi diambil alih oleh
Jensa mata secara maksimal, terlihat pada bentuk lensa mata
yang bulat. Disamping itu, bagian dari sifat optik lainnya adalah
antara hewan darat dan hewan air yang berbeda sifat refleksi
dari struktur mata ikan. Mata ikan didesain untuk perubahan
lingkungan cahaya yang besar perbedaannya. Terutama pada
ikan-ikan yang hidup dilaut yang dalam.
Mata pada sebagian jenis ikan yang bernilai ekonomis
merupakan indera penglihatan yang memungkinkan mereka
untuk membentuk pola behaviour terhadap lingkungannya.
Umummya ikan akan tertarik pada cahaya dan melakukan
Penyesuaian antara intensitas cahaya yang diterima dengan
kemampuan mata ikan dalam menerima cahaya. Ada ikan-ikan42
yang tertarik dan senang pada intensitas cahaya yang rendah
dan ada pula jenis ikan yang senang dengan intensitas cahaya
yang tinggi. Kebanyakan spesies ikan mempunyai rod dan cone
pada retinanya, di mana beberapa spesies yang hidup pada
perairan dalam ini berfungsi sebagai photoreseptor. Roddan cone
yang terdapat pada sel photoreseptor ini fungsi yang
berbeda, rod berfungsi untuk mendeteksi intensitas cahaya,
sedangkan cone berfungsi membedakan panjang gelombang
tertentu.
Indera penglihatan ikan dikarakteristikan oleh berbagai
faktor antara lain adalah jarak penglihatan yang jelas, kisaran
penglihatan, warna yang jelas, tingkat kekontrasan, kemampuan
membedakan obyek yang diam dan bergerak serta beberapa hal
lainnya. Pada beberapa teleostei adaptasi retina mata terhadap
cahaya memberi perbedaan penampakan pada pigmen epithelium
dan lapisan photoreseptor secara bersama-sama.
Kemampuan optik seekor ikan memungkinkannya untuk
dapat melihat kesekelilingnya, kecuali pada sebagian daerah kecil
dibelakang tubuh yang disebut “Dead Zone”. Jarak penglihatan
dari ikan tidak saja tergantung dari sifat optik ikan itu sendiri
(kekontrasan dan ketajaman) melainkan juga tergantung pada
keadaan perairan. Contoh paling nyata adalah ketajaman
penglihatan dalam membedakan dua buah titik yang terletak
berdekatan. Dalam keadaan lingkungan yang baik kedua titik
tersebut dapat dibedakan sebagai dua buah titik, tidak menyatu
atau kabur. Sedangkan dalam keadaan kondisi lingkungan yang
buruk, ikan-ikan yang berukuran besar dapat melihat benda-
benda yang berukuran agak besar dengan warna yang kontras
dengan warna latar belakangnya pada jarak beberapa puluh
meter dari benda tersebut. Jenis-jenis ikan yang berukuran lebih
kecil umumnya mempunyai kisaran penglihatan yang lebih
rendah atau dekat. Jenis ikan teri (stelophorus sp) tidak dapat
atau tidak akan jelas membedakan dari ukuran yang sama pada
Jarak sekitar 2,8 m ikan atherina (Atherina sp).
Ketertarikan ikan tethadap cahaya hanya dapat dikatakan
efektif untuk beberapa jenis ikan tertentu saja (yang bersifat
fototaksis positif). Diantara beberapa jenis ikan yang benar-benar
43
bersifat fototaksis positif antara lain: sprat (Sprateloides sp),
saury (Cololabis saira) dan jenis ikan hearing muda.
Mekanisme Diskriminasi Warna
‘Spektrum cahaya merah yang masuk ke mata akan diterima
Jensa dan diteruskan ke retina, maka spektrum cahaya merah
tersebut merangsang sel kerucut merah untuk aktif dan
memberikan signal merah karena adanya eksitasi dari sel-sel
ganglion merah hijau (red-green ganglion cel). Ketika spektrum
cahaya hijau sampai di retina maka cahaya hijau merangsang sel
kerucut hijau dengan menghambat sel-sel ganglion merah hijau
(red green ganglion cell) tanpa mempengaruhi sel kerucut biru.
Demikian pula untuk spektrum cahaya biru masuk ke retina, sel
kerucut merah dan hijau dirangsang menyebabkan eksitasi sel
ganglion kuning biru (yellow blue ganglion) memberikan signal
biru (Gambar 5).
Beberapa hasil penelitian mengenai respon warna cahaya
dan pengaruhnya terhadap tingkah laku ikan menunjukkan
adanya perbedaan. Seperti penelitian Kuroki yang menyimpulkan
bahwa warna efektif untuk mengumpulkan ikan adalah warna
biru dan oranye, sedangkan Kawamoto mendapatkan bahwa
warna efektif untuk mengumpulkan ikan adalah biru dan kuning
(Gunarso, 1985). Penelitian mutakhir yang dilakukan Mubarak
(2003) mendapatkan bahwa cahaya biru mampu menarik juvenil
ikan kerapu tikus paling dekat dengan sumber cahaya dan
memiliki nilai iluminasi paling besar dibandingkan cahaya putih
dan merah.
‘Suatu objek berupa benda terlihat berwarna karena sifat
selektifnya terhadap penyerapan panjang gelombang tertentu
dan merefleksikannya pada kisaran optik tectum cahaya tampak
(400-750 nm). Kemampuan suatu benda menyerap panjang
gelombang tertentu sehingga terlihat sebagai warna karena
adanya gugus fungsional yang disebut kromofor. Adsorpsi
maksimum kromofor bergantung tidak hanya pada gugus molekul44
yang terlibat tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungannya seperti
pelarut dan suhu.
Y '
as
Gambar 5.Mekanisme penentuan warna pada retina (Carlson,
1994).
Warna yang mampu dilihat oleh ikan karang secara umum
adalah warna biru dan cenderung sensitive terhadap warna
hijau. Ikan karang dizrnalketajaman penglihatan (visual acuity)
lebih baik dari pada ikan karang nocturnal ataupun crepuscular
karena sel-sel kerucut lebih banyak. Pada ikan nokturnal
fotoreseptornya mengalami modifikasi dimana kepadatan sel-sel
batangnya-nya 10° - 10" per mm? yang lebih banyak dari pada
ikan karang diurnal. Demikian juga ketebalan lapisan
fotoreseptor pada ikan nocturnal juga lebih tebal dari pada ikan
karang diurnal (Sale (ed), 1991)
Perbedaan jenis ikan yang menyebabkan variasi yang besar
pada matanya disebabkan oleh adanya jumlah jenis sel kerucut
45
dan jumlah pigmen penglihatan yang terdapat pada
ipengaruhi oleh faktor lingkungan yang
merupakan tempat di mana ikan itu hidup (Partridge dalam
Herring et al, 1990). Pada ikan karang yang hanya memiliki
pigmen visual tunggal maka ikan tersebut hanya mampu melihat
cahaya putih (monochromatic vision). Sebaliknya pada ikan
karang yang memiliki pigmen visu: ih dari satu jenis maka
ada kemungkinan mampu untuk membedakan warna. Umumnya
pigmen visual terdapat pada sel kerucut karena kemampuan
membedakan warna cahaya secara eksklusif berhubungan kondisi
terang (photopid.
Penelitian Mc Farland dan Munz (1975) diacu dalam Sale
(ed), (1991) menunjukkan bahwa pigmen visual pada sel batang
dari beberapa jenis ikan karang Pasifik memiliki kemampuan
menyerap gelombang warna berkisar 480-502 nm (rata-rata =
493 nm + 4.5 sd). Kisaran tersebut berbeda dan lebih sempit
kisarannya dibandingkan dengan laporan sebelumnya yang
menyebutkan bahwa kisaran spektrum gelombang untuk pigmen
sel batang untuk ikan air tawar dan ikan laut berkisar 467-551
nm. Hal ini sesuai dengan penelitian Lythgoe (1966) yang
atas dapat disimpulkan bahwa adaptasi absorbsi gelombang
maksimal dari pigmen visual ikan karang adalah berkisar 493 nm
dan hasil itu berasal dari tekanan selektif yang kuat (Munz dan
Mc Farland (1975) diacu dalam Sale (ed), 1991).
Mosaik sel kerucut dan sel batang menunjukkan kepekaan
pada Kondisi cahaya terang dengan penglihatan yang luas,
mosaik lebih banyak tersusun dari kumpulan sel kerucut baik
tunggal maupun ganda. Ikan yang memiliki sel kerucut dengan
pola mosaik menunjukkan bahwa ikan tersebut sangat intensif
menggunakan penglihatannya. Susunan mosaik ini dapat
berubah pada satu individu tergantung keadaan habitatnya
(Fujaya, 2002).Teori-teori yang berbeda-beda tentang penglihatan warna
mempunyai satu kesamaan yakni semuanya didasarkan pada
penmuan Isaac Newton pada tahun 1666. Newton menyatakan
bahwa cahaya putih mengandung semua warna dalam spectrum.
Berdasarkan eksperimen, Newton mendapatkan pengetahuan
bahwa sebuah benda mendapat warna dengan menyerap dan
memantulkan yang lainnya. Sebuah jeruk berwarna kuning
karena spectrum warna kuning yang terutama dipantulkan oleh
Jeru tersebut.
Pada tahun 1801, Thomas Young membuat sebuah hipotesis
menarik. Young menolak ide Newton yang menyatakan bahwa
mata mempunyai partikel-partikel yang jumlahnya tak terbatas.
Young berteori bahwa ada 3 macam reseptor dan setiap tipe
menanggapi 1 dari 3 warna utama. Dengan menggabungkan
warna-warna ini, warna-warna yang lain akan terbentuk
termasuk warna putih. Sayangnya, Young tidak pernah
melakukan percobaan apa pun tentang warna. Sebaliknya, Young
memusatkan perhatian pada sifat fisis warna. tmuwan
Jermaniah yang menghidukan kembali teori Young atau dikenal
dengan teori trikromatik yakni von Helmholtz pada abad ke-19.
Menurut Helmholtz ketiga jenis reseptor bereaksi terhadap semua
warna tetapi pada tingkat yang bermacam-macam dan sensasi
menyeluruh yang diteima otak itulah yang menentukan warna-
warna yang sebenarnya terlihat.
Selanjutnya, menurut teori Young-Helmholtz menjelaskan
bahwa pada penginderaan warna putih ada tiga tipe reseptor
warna pada retina. Reseptor ini memnyerap berbagai takaran
warna merah, hijau dan biru; mengirimkan isyarat tersebut
langsung ke otak dan mengolahnya hingga menghasilkan
penginderaan berbagai warna (Gambar 6).
47
Gambar 6. Penginderaan warna putih menurat teori Young-
Helmholtz (Mueller ef a/, 1983).
Mata Ikan
Struktur mata ikan (Gambar 7) pada umumnya terdiri dari
segmen bagian depan dan dinding bola mata. Pada kebanyakan
ikan, mata merupakan reseptor yang sempurna mirip dengan
mata manusia. Mata memiliki kemampuan pengumpulan cahaya
dan membentuk fokus bayangan untuk dianalisis oleh retina.
Lensa mata ikan mengikuti aturan dasar fisik pembengkokan
cahaya sampai benda yang diketahuinya memberi strategi-untuk
selanjutnya dianalisis. Karena itulah, sensitivitas‘dan ketajaman
mata ikan tergantung pada terangnya bayangan mencapai retina
(Fujaya, 2002).