You are on page 1of 8

Pembahasan antara Sayyid, Syarif, Habib,

Alawiyin dan Kyai


RASULULLAH SAW dikaruniai 7 anak 3 laki-laki dan 4 perempuan, yaitu Qasim, Abdullah, Ibrahim,
Zaenab, Ruqoiyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah Azzahra. Setiap keturunan berasal dari ayahnya,
namun khusus untuk keturunan Sayyidatuna Fathimah bersambung kepada Rasulullah merekalah
keturunan Nabi Muhammad SAW.

Sebagaimana dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “setiap anak yang
dilahirkan ibunya bernasab kepada ayahnya, kecuali anak-anak dari fathimah, akulah wali
mereka, akulah nasab mereka dan akulah ayah mereka”, (HR Imam Ahmad).

Sayyidatuna Fathimah dikarunia 2 orang putra yaitu Sayyidina Hasan dan Saayidina Husein, dari
kedua cucu Nabi ini lahir para anak cucu Rasulullah SAW yang hingga kini kita kenali dengan sebutan
Syarif, Syarifah, Sayyid, Sayyidah. Namun lebih populernya mereka dari kaum laki-laki dengan
sebutan HABIB sedangkan sebutan untuk kaum perempuannya disebut dengan SYARIFAH.

Keturunan dari Sayyidina Hasan, yaitu sering disebut dengan hanya ada sedikit saja di indonesia.

SAYYID berasal dari bahasa Arab yang berarti Tuan atau junjungan. Kaum Sayyid dianggap sebagai
keturunan Nabi Muhammad Saw melalui putrinya Fatimah Az Zahra. Kaum Sayyid adalah keturunan
dari Husein (Cucu Nabi Muhammad SAW). Sayyid adalah sebutan untuk laki- laki dan Sayyidah untuk
sebutan perempuan.

Adapun keturunan yang melalui jalur Hasan (cucu Nabi Muhammad Saw) disebut dengan Syarif
(untuk laki – laki) dan Syarifah (untuk perempuan) dengan marga Al Hasni atau Al Hasani.

Kata Sayyid / Syarif dan Sayyidah atau Syarifah digunakan sebagai keterangan saja bukan untuk
gelar. Gelar bagi mereka adalah Habib (kekasih) untuk laki- laki dan Habibah untuk perempuan.

Biasanya para zurriyat atau keturunan dari Husin dan Hasan ini yang terseber dipenjuru dunia
menggunakan marga atau asal keturunan nama keluarga dari diantara mereka.

Marga atau nama keluarga adalah nama pertanda dari keluarga mana seorang berasal. Marga lazim
ada di banyak kebudayaan di dunia. Marga dalam kebudayaan Barat dan kebudayaan yang
terpengaruh oleh budaya Barat umumnya terletak di belakang, sehingga sering disebut dengan
nama belakang.

Marga segaris keturunan Nabi Muhammad SAW yang masih ada di dunia, termasuk Indonesia ini
tidak kurang dari 150 marga. Mereka terbagi dalam kabilah -kabilah / keluarga / marga yang
biasanya terdapat di akhir nama mereka misal Assegaf atau Assegaff (bahasa Arab: ‫;السقاف‬
Transliterasi: al-Saqqāf)), Al Habsy, Al Hadad, Al Kaff, Al Qadri, Alaydrus, Al Ba’bud, Al Tuwainah, Al
Quthhan, Al-Attas, Al Jufri, Al Hamid,  Al Muhdor, Al Hadad, bin Smith, Shihab, Shahab, Baraqbah dan
lain – lain.

Assegaf atau Assegaff (bahasa Arab: ‫ ;السقاف‬Transliterasi: al-Saqqāf) adalah salah satu Marga
Alawiyyin yang paling banyak tersebar di Dunia Arab dan negara tujuan diaspora Arab seperti
Indonesia, Malaysia, Singapura, India, Pakistan, dan lainnya. Kalau di Indonesia paling banyak di
daerah Jawa Timur (asal Ampel), Sumatera Selatan (asal Palembang) dan Kalimantan Selatan (asal
Hulu Sungai Tengah/ Barabai).
Diantara kabilah – kabilah tersebut banyak yang mempunyai pimpinan secara turun temurun yang
bergelar Munsib. Para Munsib berdiam di lingkungan keluarga yang paling besar atau di tempat asal
keluarga.

Ada sejumlah keluarga Sayyid yang dianggap suci dan setara dengan wali, sedangkan golongan lain
dianggap sebagai golongan Awas (ahl al Kasyf).

Dalam hadits sahih telah disebutkan bahwa Rasulullah Saw. dalam khotbahnya di Gadir Khum (nama
sebuah mata air) telah bersabda :

َ ْ‫ي ْال َحو‬


“‫ض‬ َّ َ‫ َوِإنَّهُ َما لَ ْم يَ ْفت َِرقَا َحتَّى يَ ِردَا َعل‬،‫َاب هَّللا ِ َو ِع ْت َرتِي‬
َ ‫ ِكت‬:‫ك فِي ُك ُم الثَّقَلَي ِْن‬ ِ ‫”ِإنِّي ت‬
ٌ ‫َار‬

“Sesungguhnya aku menitipkan kepada kalian dua perkara yang berat, yaitu Kitabullah dan
keturunanku (ahli baitku), dan sesungguhnya keduanya tidak dapat dipisahkan sebelum keduanya
sampai di telaga (ku).“

Tradisi cium tangan oleh orang yang bukan Sayyid / Syarif kepada kaum Sayyid / Syarif sebagai
penghormatan disebut dengan Taqbil dengan niat memuliakan mereka.

Nabi Muhammad SAW lalu memangku Hasan dan Husain, masing-masing pada salah satu pahanya.
Sesudah itu beliau (Nabi Muhammad SAW) melilitkan kain atau jubahnya kepada mereka dan
membaca ayat berikut, yaitu firman Allah SWT yang artinya :

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)

Lalu beliau Rasulullah SAW. berkata dalam doanya: “Ya Allah, mereka ini adalah ahli baitku
(keluargaku), dan ahli baitku lebih berhak.”

Gelar habib juga dipakai oleh keturunan Abas bin Abdul Mutallib ( Abbasiyyin ) dan Abi Talib bin
Mutallib (Talbiyyin).

Allawiyyin adalah sebutan bagi keturunan dari Ahmad bin Isa yang merupakan merupakan
keturunan Ali bin Abu Thalib dan Fatimah az-Zahra.

Mereka yang membatasi gelar sayyid hanya untuk keturunan Nabi Muhammad SAW melalui Fatimah
az-Zahra, tidak akan memasukkan Allawi/Alavis dari jalur Ali bin Abu Thalib dengan istri yang lain
(Selain Fatimah Az Zahra) kedalam Sayyid.

Jauh sebelum itu, pada abad – abad pertama Hijriyah, julukan Alawiyin (Alawi) digunakan oleh setiap
orang yang bernasab kepada Ali bin Abi Thalib, baik nasab secara keturunan ataupun karena
persahabatan akrab. Kemudian sebutan Alawi itu dikhususkan untuk keturunan Hasan dan Husein.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya Alawi hanya berlaku bagi keturunan Alwi bin Ubaidullah. Alwi
adalah anak pertama dari cucu Ahmad bin Isa.

Kaum Arab yang bukan Sayyid / Syarif disebut Qabili.

Kaum Sayyid yang pertama masuk di Indonesia adalah marga Basyaiban dan Azmathkhan yang
hingga kini keturunannya banyak yang sudah berbaur dengan masyarakat jawa bahkan sudah agak
sulit dikenali secara Fisik dan nama yang kebanyakan sejak pertama masuk ke Indonesia memang
sudah menyesuaikan diri dengan mengganti nama mereka dengan nama Jawa agar mudah diterima
dalam dakwahnya serta membuka diri dengan menikahi kaum yang bukan Sayyid ( Pribumi ).
Berbeda dengan kaum sayyid yang lain yang kedatangannya jauh sesudah kedua marga tersebut
yang masih membatasi hubungan dan perkawinannya hanya dengan kelompoknya saja, sehingga
masih mudah dikenali dari bentuk fisiknya sebagai etnis arab dan nama marga yang biasanya
disebutkan di belakang namanya seperti Assegaf, Al Habsy, Al Hadad dan lain – lain.

Hal ini sesuai dengan penelitian L.W.C Van Den Berg dalam bukunya Le Hadramawt et Les Colonies
Arabes dans l’Archipel Indien (1886) mengatakan:”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam
(ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam
tersiar diantara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-
suku lain Hadramawt (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan
pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (yakni kaum Sayyid Syarif Hadramaut) adalah
keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”

Dalam buku yang sama hal 192-204, Van Den Berg menulis:”Pada abad XV, di Jawa sudah terdapat
penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu.

Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-
jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya
pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab,
oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW).

Orang-orang Arab Hadramaut membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan
oleh peranakan-peranakan Arab mengikuti jejak nenek moyangnya.”

Perhatikanlah tulisan Van Den Berg ini yang spesifik menyebut abad XV, yang merupakan abad
spesifik kedatangan dan / atau kelahiran sebagian besar Wali Songo di pulau Jawa. Abad XV ini jauh
lebih awal dari abad XVIII yang merupakan kedatangan kaum Hadramawt gelombang berikutnya
yaitu mereka yang sekarang kita kenal bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al
Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga hadramawt lainnya.

Marga Hadramawt yang termasuk sayyid antara lain : Assegaff, Afiff, Alatas, Alaydrus, Albar,
Algadrie, Alhabsyi, AlHamid, AlHadar, AlHadad, AlJufri, Attamimi, AlMuhazir, Baaqil, Baraja (Syekh),
Basyaiban, Baridwan, Bawazier, BinSechbubakar, Jamalullail, Maula Dawileh, Maula Heleh /Maula
Helah, Shahab, Shihab dll.

Adapun Marga Hadramaut yang termasuk Qabili antara lain : Abud, AbdulAzis, Addibani, Alkatiri,
Ba’asyir , Bachrak, Badjubier, Bafadhal, Bahasuan, Basyaib, Baswedan, Haneman, Kawilah, Thalib,
bahafdullah dll.

Marga keturunan Hasan antara lain adalah Syambar (Syanabirah) : Keturunan Sayyid Syambar bin
Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Bersambung pada Sayyid Qatadah bin Idris bin Mutha’in.
Bersambung pada Sayyid Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Kamil bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Ali
bin Abi Thalib. Tersebar di sekitar Makkah dan Tha’if.

Barakat : Keturunan Barakat bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di sekitar Makkah dan Tha’if.
merekapun banyak yang dikenal dengan marga baru, seperti Al-Ghaits, Nasir, Aal-Muflih dll.

Al-Jazan : Keturunan Sayyid Jazan bin Qaytabay bin Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di
Tha’if dan sekitarnya.

Al-Harits : Keturunan Sayyid Muhammad Al-Harits bin Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di
Mekkah, Tha’if dan sekitarnya.
Hamud : Bersambung pada Hasan Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di Makkah dan sekitarnya.

Al-Hazim : Keturunan Sayyid Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di Makkah, Jeddah dll.
Sebagian mereka dikenal dengan julukan Barakat.

Zaid : Keturunan Sayyid Zaid bin Muhsin bin Husain bin Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Kekuasaan
kota Makkah ada pada keluarga mereka selama lebih dari dua abad sebelum keluarga ‘Aun. Dari
mereka banyak yang dikenal dengan julukan lain, seperti marga Yahya, Abdullah, Ghalib, Musa’id dll.

Al-Amir : Keturunan Al-Amir Khalid Quthbuddin bin Muhammad bin Hasyim bin Wahhas bin
Muhammad bin Hasyim bin Ghanim. Bersambung pada Sayyid Sulaiman bin Abdullah Ar-Ridha bin
Musa Al-Jun.

Ats-Tsa’labi (Tsa’alibi) : Keturunan Tsa’lab bin Mutha’in. Bersambung pada Sayyid Musa Al-Jun.
Kebanyakan mereka tinggal di pesisir pantai Laut Merah di Jeddah.

Al-Ja’fari : Keturunan Sayyid Ja’far bin Ni’matullah Al-Akbar bin Ali bin Dawud bin Sulaiman bin
Abdullah Ar-Ridha bin Musa Al-Jun. Tersebar di Yaman dll.

Al-Jailani : Keturunan Sayyid Asy-Syehk Abdulqadir Al-Jailani. Bersambung pada Sayyid Musa Al-Jun.
Tersebar di Iraq, Siria, Maroko dll. Di Maroko mereka lebih dikenal dengan julukan Al-Kailani dan Al-
Qadiri.

Az-Za’bi : Keturunan Sayyid Abdul Aziz Az-Za’bi bin Abudulqadir Al-Jailani. Tersebar di Palestina,
Jordan, Siria, Beirut dll

Al-Khawaji : Keturunan Sayyid Ali Al-Khawaji bin Sulaiman bin Ghanim. Bersambung pada Sayyid
Sulaiman bin Abdullah Ar-Ridha bin Musa Al-Jun.

Asy-Syammakhi : Keturunan Sayyid Syammakh bin Yahya bin Dawud bin Abi Ath-Thayyib.
Bersambung pada Sayyid Sulaiman bin Abdullah Ar-Ridha bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Kamil bin
Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Adz-Dzarwi : Keturunan Sayyid Dzarwah bin Hasan bin Yahya bin Dawud Abu Ath-Thayyib.

Al-Anbari : Bersambung pada Adz-Dzarwi.

Thayyib : Bersambung pada Adz-Dzarwi.

Al-Musaawi : Bersambung pada Adz-Dzarwi.

Al-Jauhari (Jawahirah) : Keturunan Asy-Syarif Syaiban bin Yahya bin Dawud Abu Ath-Thayyib.

Al-Idrisi Al-Maghribi : Keturunan Sayyid Idris bin yang bersambung padan Sayyidina Muhammad bin
Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Leluhur mereka adalah pendiri Kerajaan Maroko, kerajaan ini berjaya
sampai kini dan secara turun temurun dikuasai oleh keluarga Al-Idrisi atau Adarisah.

Al-Idrisi Al-Ifriqi : Keturunan Sayyid Idris bin Abdullah bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Abi
Thalib. Tersebar di Afrika Utara.

Al-Maliki Al-Hasani : Bersambung pada Al-Idrisi.

Al-Masyhur Al-Hasani : Marga ini sebenarnya adalah “Bin Masyhur”, namun, pada masa kolonial
Belanda, orang-orang Belanda menyebut “Al-Masyhur” untuk memukul rata marga-marga Arab
dengan awalan “al”
Marga keturunan Al-Husain antara lain : Ar-Rifa’i : Keturunan Sayyid Hasan Rifa’ah bin Ali Al-Mahdi
bin Al-Qasim bin Husain bin Ahmad bin Musa bin Abi Sabhah bin Ibrahim Al-Murtadha Al-Ashghar
bin Musa Al-Kazhim bin Ja’far Ash-Shadiq. Mereka tersebar di Bashrah, Kuwait, Palestina, Jordan dan
lain-lain.

Al-Kayali : Bersambung pada Ar-Rifa’i.

Ash-Shayyadi : Bersambung pada Ar-Rifa’i.

An-Naqib : Bersambung pada Ar-Rifa’i.

Ar-Rawi : Keturunan Sayyid Yahya bin Hasun bersambung pada Ar-Rifa’i. Julukan Ar-Rawi berasal dari
kota Rawah yang terletak di wilayah Anbar, Iraq. Tersebar di berbagai tempat di Iraq dan Siria,
merekapun banyak yang dikenal dengan marga baru, seperti Al-Ubaid, Sawahik dll.

An-Na’im : Bersambung pada Ar-Rifa’i.

Ar-Rajih : Keturunan Sayyid Rajih bin Abi Numai Al-Awwal. Bersambung Al-Imam Musa Al-Kazhim.
Tersebar di Hijaz, termasuk Tha’if dan sebagainya.

Al-Alawi (Ba’alawi) : Keturunan Sayyid Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin
Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin
Husain bin Abi Thalib. Tersesebar di hampir seluruh negeri Islam, termasuk Indonesia berpusat di
Hadhramaut-Yaman. Lebih dari tiga ratus marga bersambung pada Sayyid Alawi ini, dan masing-
masing bersambung melalui Assayyia Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qisam bin Alawi bin
Muhammad bin Alawi. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath memiliki dua putra, Sayyid Ali dan Sayyid
Alawi. Sayyid Ali mempunyai satu putra yaitu Muhammad Al-Faqih, dan beliau banyak memiliki
keturunan. Sedangkan Sayyid Alawi dikenal dengan sebutan Ammil-faqih dan beliau juga memiliki
banyak keturunan.

Marga keturunan Ammil-faqih antara lain :

Diantara mereka adalah keluarga Azmatkhan, Al-Haddad, Bin Semith, Ba’abud Maghfun, Bahasan
Thawil, Babathinah, Bin Thahir, Bin Hasyim, Bashurrah, Ali Lala, ‘Aidid, Bafagih, Basakutah, Bafaraj,
‘Auhaj, An-Nadhir dan Qullatain.

Keturunan Ammil-faqih tidak begitu banyak memiliki pecahan marga sebagaimana keturunan Al-
faqih, namun bukan berarti keturunan Ammil-faqih lebih sedikit dari keturunan Al-Faqih, karena
banyak dari keturunan Ammil-faqih yang tidak terdaftar, yaitu keturunan Abdullah bin Ammil-faqih
yang dulu hijrah ke Filipina dan Malaysia berbaur dengan pribumi untuk berda’wah, juga keluarga
Azmatkhan yang tersebar di India, Indonesia dan sebagainya. Di Indonesia, keluarga dan keturunan
Azmatkhan lebih banyak dari Ba’alawi yang lain, hanya saja mereka sudah njawani, mereka sudah
seperti orang Jawa biasa.

Artinya jangan aneh, jika banyak para Habaib di Indonesia, Malaysia, Filipina dan negara asia lainnya
sudah tak nampak tampangnya bercirikan ke Arab-Arab pan, bahkan tidak sedikit mereka
menggunakan nama seperti orang lokal, karena mereka sudah bercampur darah dengan orang lokal
setempat, akhirnya garis keturunan mereka melahirkan wajah seperti orang asia kebanyakan.

Di Indonesia banyak para habaib itu menyembunyikan garis keturunannya, dan tidak sedikit mereka
menyembunyikan marganya, apalagi di saat zaman penjajahan, karena para zuriat alawiyin dizaman
penjajahan tersebut dianggap sebagai kaum pembangkang dan penghasut melawan para penjajah.
Oleh karenanya disaat itu jika diketahui oleh penjajah para kaum alawiyin tersebut langsung
ditangkap dan dibuang hingga dibunuh. Itulah sebabnya tidak sedikit kaum alawiyin yang
menyembunyikan marganya hingga mereka senang berbaur dengan orang lokal.

Pada saat Sayyid Husain Jamaluddin (kakek kebanyakan keluarga Azmatkhan Indonesia)
meninggalkan India, beliau pergi bersama tiga orang saudara beliau, yaitu Sayyid Qamaruddin,
Sayyid Majiduddin dan Sayyid Tsana’uddin, mereka memasuki daratan Cina dan negeri-negeri lain di
Asia. Nah, bisa jadi mereka juga memeliki banyak keturunan di Cina dan lainnya, sebagaimana Sayyid
Husain Jamaluddin di Indonesia. Kemudian ditemukan pula saudara Sayyid Husain Jamaluddin yang
berna Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi, beliau menjadi Sultan di Tailand dan sebagian keturunan beliau
hijrah ke Indonesia.

Marga Keturunan Al-Faqih antar lain diantara mereka adalah keluarga Mauladawilah, As-Saqqaf atau
Assegaf, Al-Idrus atau Alaydrus, Bin Syehk Abibakar (biasa disingkat BSA), Al-Atthas atau Alatas, Bin-
syihab atau Shahab, Al-Habsyi, Asy-Syathiri, Maulakhelah, Baharun, Bafagih, Bilfagih, Ba’agil, Bin’agil,
Al-Jufri, Al-Bahar, Bin Jindan, Al-Munawwar, Al-Hamid, Hamid, Al-Bar atau Albar, Al-Kaf, Al-Muhdhar,
Al-Musawa, Al-Masyhur, Al-Muqaibil, Bin Hadun, Al-Haddar, Al-Hinduan, Bin Yahya, Mudhar, Al-Baiti,
Al-Qadri, Basyaiban, Basyumailah, Bin Syaikhan, Ash-Shafi, Ba’umar, Al-Ghamri, Bafaraj, Baraqba, Al-
Musawa, Fad’aq, Barum, Bajahdab, Jamalullail, Assirri, Bin Sahl, Hamdun, Kharid atau Khirid,
Khunaiman, Khamur dan masih banyak lagi yang lainnya.

Keluarga Al-Alawi atau Ba’alawi berpusat di Hadhramaut, Yaman, kemudian berpencar ke penjuru
dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, mereka dikenal dengan sebutan “Habib”, kecuali
keluarga “Azmatkhan” dan “Basyaiban” yang telah lama berbaur dengan masyarakat Jawa, maka
merekapun yang menjadi tokoh agama lebih dikenal dengan julukan semisal Kiai. Padahal mereka
tersebut benar-benar keturunan dan cicitnya Rasulullah SAW.

Gelar sebutan para Sayyid/ Syarif berdasarkan periode abad Rabithah Alawiyah : dalam artikel
onlinenya, menyatakan bahwa menurut Sayyid Muhammad Ahmad Al-Syatri dalam bukunya Sirah
Al-Salaf Min Bani Alawi Al-Husainiyyin, para salaf kaum Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat
tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat
Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah :

1. IMAM (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-
Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum khariji. Menjelang akhir abad 12
keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya
adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid,
Imam Salim bin Bashri.

2. SYAIKH (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya
Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang
perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini
terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir,
dibesarkan dan wafat di Tarim.

3. HABIB (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai
membanjirnya hijrah kaum Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang
mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga
kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan
Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama ‘Alawi
masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat
dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa, juga terdapat Habib Abdurahman bin
Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin syaikh Abu Bakar bin
Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.

4. SAYYID (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecermelangan kaum
Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad
bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin
Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar. Sejarawan Hadramaut Muhammad
Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Baalawi dianggap qabilah yang terbesar
jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin
di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan
sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.

Kebanyakan dari Masyarakat umum dan bahkan kaum Sayyid / Syarif di Indonesia menganggap
keturunan yang sah apabila para sayyid / syarif tersebut mempunyai nasab yang tak terputus dari
jalur laki – laki, sehingga bila para Sayyid san Syarif tersebut telah memiliki jalur perempuan
kemudian dianggapnya tidak sah. Hal ini adalah budaya Arab Jahiliyah yang dapat dibuktikan secara
otentik dengan melihat turunnya surat al Quran yang sebelumnya didasarkan pada kejadian yang
dialami Nabi Muhammad Saw yakni ketika Al-Qasim, putra Rasulullah, wafat dalam usia masih kecil,
terdengarlah berita duka itu oleh beberapa tokoh musyrikin, diantara mereka adalah Abu Lahab dan
‘Ash bin Wa’il.

Mereka kegirangan dengan berita itu, mereka mengejek Rasulullah dengan mengatakan bahwa
beliau tidak lagi memiliki anak laki-laki yang dapat melanjutkan generasi keluarga beliu, sementara
orang Arab pada masa itu merasa bangga bila memiliki anak laki-laki untuk melanjutkan garis
keturunan mereka. Menjawab ejekan Abu Lahab dan ‘Ash bin Wa’il itu Allah menurunkan surat Al-
Kautsar yang ayat pertamanya berbunyi :

‫ِإنَّا َأ ْعطَ ْينَاكَ ْال َكوْ ثَ َر‬

“Sesungguhnya Kami memberimu karunia yang agung.”

Al-Kautsar artinya karunia yang agung, dan karunia yang dimaksud dalam ayat itu adalah bahwa
Allah memberi banyak keturunan pada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam melalui putri beliau,
Fatimah Az-Zahra’.

Sedangkan Abu lahab dan ‘Ash bin Wa’il dinyatakan oleh ayat terakhir surat Al-Kautsar bahwa justru
merekalah yang tidak akan memiliki keturunan, yaitu ayat..

‫ك هُ َو اَأل ْبتَ ُر‬


َ ‫ِإ َّن شَانَِئ‬
“Sesungguhnya orang yang membencimu itulah yang tidak sempurna (putus keturunan).”

Benarlah apa yang difirmankan oleh Allah SWT, sampai kini keturunan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam, melalui Al-Hasan dan Al-Husain putra Fatimah Az-Zahra’, benar-benar memenuhi belahan
bumi, baik mereka yang dikenal sebagai cucu Rasulullah oleh masyarakat, maupun yang tidak.

Kalau ada yang berkata bahwa tidak semua Kiai keturunan “Sunan” itu bergaris laki-laki, bahkan
kebanyakan mereka (?) adalah keturunan “Sunan” dari perempuan, maka pertanyaan itu justru
dijawab dengan pertanyaan “kenapa kalau bergaris perempuan?”. Islam dan “budaya
berpendidikan” telah sepakat untuk membenarkan “status keturunan” dari garis perempuan. Maka
bila ada orang yang membeda-bedakan geris laki-laki dan perempuan maka berarti orang itu bukan
penganut paham Islam dan bukan pula penganut “budaya berpendidikan.” Dan lebih “tidak
berpendidikan” lagi orang yang mengatakan bahwa hubungan nasab keturunan anak perempuan
terputus dari ayah si perempuan.

Semoga Allah SWT selalu merahmati dan meridhoi kita semua fil Jasad, wal batin.

Aamin Yaa Rabbal’Aalamii.

Penulis : Kastalani bin Tuan Guru Muhammad Idris bin Syech Sayyid Abdurrasyid Assegaf

You might also like